dampak zonasi taman nasional karimunjawa … · tinggi dari nelayan tradisional, ... alat tangkap,...

115
DAMPAK ZONASI TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA TERHADAP STRATEGI NAFKAH NELAYAN KOMPRESSOR (Kasus Desa Karimunjawa, Kecamatan Karimunjawa, Kabupaten Jepara, Provinsi Jawa Tengah) Oleh Faris Priyanto I34070126 DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

Upload: nguyenhuong

Post on 03-Mar-2019

222 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

i

DAMPAK ZONASI TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA TERHADAP

STRATEGI NAFKAH NELAYAN KOMPRESSOR

(Kasus Desa Karimunjawa, Kecamatan Karimunjawa,

Kabupaten Jepara, Provinsi Jawa Tengah)

Oleh

Faris Priyanto

I34070126

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2011

iii

ABSTRACT

FARIS PRIYANTO. The Impact of National Park Zoning Against Livelihood Strategy of Compressor’s Fisherman. (Case in Village of Karimunjawa, Jepara Regency, Central Java) (Supervised by: SOERYO ADIWIBOWO)

This research was conducted and located in the village of Karimunjawa, Jepara Regency, Central Java for six weeks from the April 2nd to May 15th. The purpose of this study is to analyze the impact of the presence of Karimunjawa Marine National Park to the livelihood strategies of the fisherman. The second purpose of this study is to analyze the effectivity of the biodiversity conservation program carry out by the National Park. This research conducted using quantitative approach and supported by a qualitative data. Quantitative data obtained through an interview to 35 fisherman’s respondents. Through field observation, in-depth interviews and secondary data, the qualitative data are collected.

The results found that, first, the marine park did not influence or create adverse impacts to the compressor’s fisherman. The compressor’s fisherman until now could easily acces to the fishing area at the core zone of the park. Limited officers and lack of resources are two factors that hinder the park enforce its management zonation particularly the core zone. Second, lack of resource for enforce the management zonation of the park are imbalance with the sharp increase of fishing efforts in Karimunjawa sea waters. The last few years the fishing efforts increase due to the policy of Central Java Province Government that boost the Karimunjawa as one of the central fishing production in the region.

Keywords: Livelihood System, Compressor’s Fisherman, and National Park Zoning.

iv

RINGKASAN

FARIS PRIYANTO. Dampak Zonasi Taman Nasional Karimunjawa terhadap Strategi Nafkah Nelayan Kompressor. (Kasus Desa Karimunjawa, Kecamatan Karimunjawa, Kabupaten Jepara) (Dibimbing oleh SOERYO ADIWIBOWO)

Penelitian ini dilakukan di Desa Karimunjawa, Kecamatan Karimunjawa,

Kabupaten Jepara. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui menganalisis

dampak kehadiran Taman Nasional Karimunjawa berikut dengan zonasi perairan

laut terhadap nafkah nelayan. serta menganalisis eksistensi keberadaan zona di

lingkungan Taman Nasional Karimunjawa. Penelitian ini menggunakan metode

kuantitatif dengan kuesioner yang didukung oleh data kualitatif melalui observasi,

wawancara mendalam dan penelusuran dokumen yang terkait dengan

pembahasan. Responden dari penelitian ini adalah 35 orang yang diperoleh

melalui simple random sampling yang diwakili oleh masing-masing ketua

kelompok kapal, dari 90 kerangka sampling.

Hasil penelitian menunjukkan Zonasi Taman Nasional Karimunjawa

ditetapkan melalui Surat Keputusan Direktur Jenderal PHKA Nomor: 79/IV/Set-

3/2005 tanggal 30 Juni 2005 yang merupakan evaluasi dari penetapan zonasi

sebelumnya pada tahun 1999, tidak memberikan pengaruh yang signifikan

terhadap nelayan kompressor. Padahal nelayan kompressor beroperasi di sekitar

pulau-pulau dengan jarak sekitar 50-200 meter dari bibir pantai, untuk mencari

ikan diantara batu-batu karang tempat ikan bereproduksi. Ketidaktahuan

masyarakat tentang isi dan maksud dari zonasi Taman Nasional menyebabkan

maraknya penangkapan ikan di zona inti dan zona perlindungan.

Nelayan kompressor merupakan kelompok nelayan yang memiliki resiko

tinggi dalam mencari nafkah, namun memiliki penghasilan yang rata-rata lebih

tinggi dari nelayan tradisional, yakni rata-rata sekitar Rp 1.956.000 per bulan.

Tingkat penghasilan nelayan kompressor sangat ditentukan oleh kapasitas mesin

kapal untuk menjangkau wilayah-wilayah yang memiliki stock ikan melimpah,

serta kegigihan dari para awak kapal untuk mendapatkan hasil yang banyak.

v

Nelayan kompressor mayoritas berusia muda (65,7%), dengan tingkat pendidikan

yang rendah (94%).

Penetapan zonasi Taman Nasional Karimunjawa tidak serta merta

menyelesaikan masalah yang ada, karena keberadaannya pun tidak sepenuhnya

dipahami dan dipatuhi oleh masyarakat. Sebagian besar nelayan kompressor

mencari ikan di semua kawasan Taman Nasional Karimunjawa karena mereka

tidak mengetahui tentang zonasi kawasan. Selain itu, minimnya patroli laut yang

dilakukan Balai Taman Nasional Karimunjawa (BTNKJ) membuat kasus

pelanggaran memasuki zona inti dan perlindungan terus berlanjut.

Efektivitas pengelolaan Taman Nasional Karimunjawa dipengaruhi oleh

kualitas sumberdaya manusia, ketersediaan sarana dan prasarana, serta dukungan

anggaran yang memadai. Pegawai BTNKJ yang hanya berkekuatan 81 orang tidak

sebanding dengan luas wilayah daratan dan perairan Taman Nasional

Karimunjawa yang harus diawasi atau dikontrol; yakni seluas 111.625 hektar dan

terdiri dari 22 pulau. Kondisi ini diperparah lagi dengan terbatasnya sarana dan

prasarana dan dukungan anggaran yang tidak memadai. Di lain pihak, dalam

beberapa tahun terakhir terdapat peningkatan jumlah nelayan, alat tangkap, serta

produksi hasil tangkapan ikan di Kepulauan Karimunjawa. Peningkatan produksi

perikanan laut ini terjadi merupakan implikasi dari kebijakan Pemerintah Provinsi

Jawa Tengah yang menetapkan perairan Karimunjawa sebagai salah satu sentra

pengembangan produksi perikanan laut di wilayah Jawa Tengah.

Taman Nasional Laut Karimunjawa mampu meningkatkan diversifikasi

nafkah dengan mendorong pertumbuhan sektor pariwisata, namun tidak

mempengaruhi daerah tangkap dan alat tangkap nelayan kompressor. Sehingga

dapat dikatakan bahwa manajemen zonasi yang dilakukan oleh BTNKJ belum

efektif.

ii

DAMPAK ZONASI TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA TERHADAP

STRATEGI NAFKAH NELAYAN KOMPRESSOR

(Kasus Desa Karimunjawa, Kecamatan Karimunjawa,

Kabupaten Jepara, Provinsi Jawa Tengah)

Oleh

Faris Priyanto

I34070126

SKRIPSI Sebagai Prasyarat untuk Mendapatkan Gelar

Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2011

vi

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Dengan ini menyatakan bahwa Skripsi yang disusun oleh:

Nama Mahasiswa : Faris Priyanto

NIM : I34070126

Judul Proposal Skripsi : Dampak Zonasi Taman Nasional Karimunjawa terhadap

Strategi Nafkah Nelayan Kompressor (Kasus Desa

Karimunjawa, Kecamatan Karimunjawa, Kabupaten Jepara)

Dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Menyetujui, Dosen Pembimbing Skripsi

Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS NIP. 19550630 198103 1 003

Mengetahui

Ketua Departemen Sains Komunikasi

dan Pengembangan Masyarakat

Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS NIP. 19550630 198103 1 003

Tanggal Pengesahan :

vii

LEMBAR PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL

“DAMPAK ZONASI TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA TERHADAP

STRATEGI NAFKAH NELAYAN KOMPRESSOR (KASUS DESA

KARIMUNJAWA, KECAMATAN KARIMUNJAWA, KABUPATEN

JEPARA)” BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI

ATAU LEMBAGA LAIN MANAPUN UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH

GELAR AKADEMIK TERTENTU. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA

SKRIPSI IN BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK

MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU

DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN

RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.

Bogor, September 2011

Faris Priyanto

I34070126

viii

RIWAYAT HIDUP

Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara dari pasangan Bapak

Imam Supriyadi dan Ibu Syafa’atun. Penulis lahir di Bogor, pada tanggal 07

Januari 1988. Penulis menamatkan pendidikan di TK Insan Kamil (1993-1994),

SD Rimba Putra (1994-2000), SMP Negeri 4 Bogor (2000-2003), dan SMA

Negeri 9 Bogor (2003-2006). Setelah menamatkan SMA, penulis berniat

melanjutkan ke jenjang Akademi Militer, namun cita-cita tersebut tidak tercapai.

Kemudian pada tahun 2007, penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian

Bogor (IPB) di Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

Fakultas Ekologi Manusia melalui jalur SPMB.

Selama di IPB, penulis mengikuti beberapa kegiatan kemahasiswaan

antara lain Koran Kampus, Himpunan Mahasiswa Peminat Ilmu-Ilmu Komunikasi

dan Pengembangan Masyarakat (HIMASIERA), Forum Unit Kegiatan Mahasiswa

(FUKM), Ikatan Mahasiswa Peminat Ekologi Manusia(IMPEMA). Selain itu,

penulis juga pernah terpilih menjadi Duta FEMA, utusan Duta Lingkungan IPB,

dan Jajaka Kota Bogor. Selain kegiatan kemahasiswaan, penulis juga menjadi

asisten praktikum MK. Sosiologi Umum dan MK. Dasar-dasar Komunikasi.

Penulis menaruh minat yang besar terhadap ilmu-ilmu ekonomi, seni,

sejarah, filsafat, sosial, sastra, sains dan psikologi. Selain itu, penulis juga

menekuni bidang fotografi, menulis, olah raga dan berpetualang. Bagi penulis,

Tuhan tidak menginginkan seseorang untuk menjadi mahasiswa yang baik, dosen

yang baik, pejabat yang baik, atau tokoh agama yang baik. Penulis percaya bahwa

Tuhan menginginkan setiap orang untuk menjadi manusia yang baik. Oleh karena

itu, tidak ada hasrat yang lebih besar dari penulis selain untuk menikmati hidup

dan memperbaiki kehidupan diri sendiri, dan jika memungkinkan, kehidupan

orang lain.

ix

KATA PENGANTAR

Puji Puji syukur kehadirat Tuhan YME atas kesempatan yang diberikan kepada

penulis hingga dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Dampak Zonasi

Taman Nasional Karimunjawa terhadap Strategi Nafkah Nelayan

Kompressor” dengan baik.

Selesainya penelitian dan penulisan skripsi ini tidak terlepas dari

kontribusi berbagai pihak baik secara moral maupun material. Oleh karena itu

penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Ayah dan Ibu (Bpk. Imam Supriyadi dan Ibu Syafa’atun) yang selalu

memberikan dukungan baik secara moral, material, maupun spiritual.

2. Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS, selaku dosen pembimbing yang telah

mencurahkan waktu untuk memberikan bimbingan, arahan serta kritik dan

saran yang membangun hingga penulis menyelesaikan proposal penelitian ini.

3. Semua staff Balai Taman Nasional Karimunjawa (BTNKJ) yang telah

memberikan banyak masukan dan pelajaran berharga untuk penelitian ini.

4. Mas Jambrong, yang sudah menyediakan tempat menyenangkan di

Karimunjawa. Juga untuk semua nelayan kompressor yang ramah dan

bersahabat: senang bisa melaut dengan kalian.

5. Untuk M Danny Julainsyah, yang menyediakan tempat bermalam di

Semarang. Terima kasih untuk semua bantuan dan keikhlasannya. Juga untuk

Aditya Nugraha, yang telah sangat membantu tersusunnya skripsi ini.

6. Sahabat-sahabat di Winaya Lokatmala, Garda Paksi, PPI, Mojang-Jajaka,

Koran Kampus, IMPEMA, dan tentu saja KPM 44.

7. Untuk Yochan, Asih, dan Monic yang selalu memberikan hal terbaik dari 4

tahun ini.

8. Dan untuk Ardini.

Bogor, 8 September 2011

Faris Priyanto

NIM I34070126

x

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI .......................................................................................... x

DAFTAR TABEL .................................................................................. xii

DAFTAR GAMBAR.............................................................................. xiv

DAFTAR LAMPIRAN........................................................................... xv

1. PENDAHULUAN.............................................................................. 1

1.1. Latar Belakang ........................................................................ 1

1.2. Perumusan Masalah.................................................................. 3

1.3. Tujuan Penelitian ..................................................................... 4

1.4. Kegunaan Penelitian ............................................................... 5

2. PENDEKATAN TEORETIS ............................................................. 6

2.1. Tinjauan Pustaka ...................................................................... 6

2.2. Kerangka Pemikiran ................................................................ 19

2.3. Hipotesa Penelitian.................................................................... 21

2.4. Definisi Operasional ................................................................ 21

3.METODOLOGI PENELITIAN.......................................................... 23

3.1. Metode Penelitian .................................................................... 23

3.2. Lokasi dan Waktu .................................................................... 23

3.3. Teknik Pengambilan Data…..................................................... 24

3.4. Teknik Analisis Data…………………………………………. 25

4. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN…........................... 27

4.1. Sejarah Lokasi…....................................................................... 27

4.2. Lokasi Geografis....................................................................... 27

4.3. Kependudukan……………....................................................... 28

4.4. Iklim dan Topografi................................................................... 30

4.5 Sarana Dan Prasarana …..……………………………………. 31

5. ZONASI TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA DAN

NELAYAN KOMPRESSOR.............................................................

32

5.1. Zonasi Taman Nasional Laut Karimunjawa............................. 32

xi

5.2. Pengetahuan Masyarakat Tentang Zonasi Kawasan................. 38

5.3. Nelayan Kompressor................................................................. 41

5.4. Karakteristik Nelayan Kompressor........................................... 44

5.5 Ikhtisar....................................................................................... 52

6. DAMPAK ZONASI TAMAN NASIONAL TERHADAP

STRATEGI NAFKAH NELAYAN KOMPRESSOR.......................

54

6.1. Daerah Tangkap……………………......................................... 54

6.2. Alat Tangkap............................................................................. 57

6.3. Diversifikasi Nafkah.................................................................. 61

6.4. Ikhtisar....................................................................................... 65

7. EFEKTIFITAS PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA

66

7.1. Manajemen Konservasi Keanekaragaman Hayati Taman

Nasional Karimunjawa Melalui Sistem Zonasi .......................

66

7.2 Kapasitas Balai Taman Nasional Karimunjawa........................ 68

7.3. Kondisi Perikanan Tangkap Kepulauan Karimunjawa............ 70

7.4. Ikhtisar....................................................................................... 74

8. PENUTUP.......................................................................................... 76

8.1. Kesimpulan………….......…………......................................... 76

8.2. Saran ......................................................................................... 78

DAFTAR PUSTAKA 80

LAMPIRAN ........................................................................................... 83

xii

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

Tabel 1 Data Kependudukan Tiga Desa di Kecamatan

Karimunjawa Tahun 2010................................................

28

Tabel 2 Data Kependudukan Tiga Desa di Kecamatan

Karimunjawa Berdasarkan Pendidikan dan Agama

Tahun 2002.......................................................................

29

Tabel 3 Data Mata Pencaharian Penduduk Kecamatan

Karimunjawa Tahun 2009...............................................

Tabel 4 Fasilitas Umum yang Terdapat di Kecamatan

Karimunjawa Tahun 2002...............................................

31

Tabel 5 Pengetahuan Nelayan Kompressor tentang Zonasi

Taman Nasional Karimunjawa Tahun 2011.....................

40

Tabel 6 Jumlah dan Persentase Responden Menurut Kelompok

Umur Tahun 2011.............................................................

44

Tabel 7 Jumlah dan Persentase Responden Menurut Tingkat

Pendidikan Tahun 2011....................................................

45

Tabel 8 Jumlah dan Persentase Responden Menurut Pengalaman

Melaut Tahun 2011...........................................................

46

Tabel 9 Jumlah dan Persentase Responden Menurut Kapasitas

Mesin Kapal Tahun 2011..................................................

47

Tabel 10 Nilai Hasil Tangkapan Berdasarkan Kelompok Kapal

Nelayan Kompressor Tahun 2011....................................

48

Tabel 11 Jenis Ikan Hasil Tangkapan Nelayan Kompressor........... 50

Tabel 12 Daerah Tangkap Responden Sebelum dan Sesudah

Zonasi Kawasan Tahun 2005............................................

54

Tabel 13 Perubahan Alat Tangkap Sebelum dan Sesudah Zonasi

Kawasan Tahun 2005.......................................................

58

Tabel 14 Perubahan Nafkah Ganda Sebelum dan Sesudah Zonasi

Kawasan Tahun 2005......................................................

62

xiii

Tabel 15 Keadaan pegawai Balai Taman Nasional Karimunjawa

Berdasarkan Golongan dan Jenis Kelamin Tahun 2008...

69

Tabel 16 Keadaan Pegawai Balai Taman Nasional Karimunjawa

Berdasarkan Tingkat Pendidikan Tahun 2008..................

69

Tabel 17 Data Sarana Balai Taman Nasional Karimunjawa Tahun

2008.........................................................................

70

Tabel 18 Data Angaran Program Kegiatan Balai Taman Nasional

Karimunjawa Tahun 2008..............................................

71

Tabel 19 Perkembangan Jumlah Nelayan di Karimunjawa Tahun

1996-2005..................................................................

72

Tabel 20 Perkembangan Jumlah Kapal Penangkapan Ikan Tahun

1996-2005.........................................................................

73

Tabel 21 Jenis dan jumlah alat tangkap di Karimunjawa tahun

1996-2005.........................................................................

73

xiv

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

Gambar 1. Kerangka Pemikiran ....................................................... 20

Gambar 2. Peta Karimunjawa Tahun 2002........................................ 27

Gambar 3. Pengetahuan Masyarakat tentang Zonasi pada Tahun

2005..................................................................................

38

Gambar 4. Pengetahuan Masyarakat tentang Zonasi pada Tahun

2009..................................................................................

39

Gambar 5. Produksi Ikan Kepulauan Karimunjawa tahun 1996-

2005..................................................................................

74

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

Lampiran 1 Peta Lokasi Penelitian................................................... 84

Lampiran 2 Panduan Pertanyaan...................................................... 85

Lampiran 3 Daftar Kerangka Sampling............................................ 87

Lampiran 4 Alat Tangkap Sebelum dan Sesudah Zonasi Kawasan 88

Lampiran 5 Nafkah Ganda Sebelum dan Sesudah Zonasi Kawasan 90

Lampiran 6 Aktifitas Perikanan Panah-Kompressor........................ 78

Lampiran 7 Dokumentasi Penelitian................................................ 79

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Keanekaragaman hayati yang dipertahankan melalui konsep konservasi

merupakan sebuah langkah penting yang harus diambil pemerintah untuk

memastikan agar keseimbangan ekosistem di Indonesia tetap terjaga. Berdasarkan

UU No 5 Tahun 1990, konservasi sumber daya alam hayati diartikan sebagai

pengelolaan sumber daya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara

bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap

memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya. Konservasi

tersebut dilakukan untuk menjamin terciptanya perlindungan terhadap sumber

daya alam kawasan serta terjaminnya akses masyarakat terhadap sumber alam

tersebut untuk dimanfaatkan secara berkelanjutan. Berdasarkan Peraturan Menteri

Kehutanan Nomor P. 56 /Menhut-II/2006 pasal 1, Zonasi Taman Nasional

dibedakan menjadi tujuh, yaitu zona inti, zona rimba, zona pemanfaatan, zona

tradisional, zona rehabilitasi, zona religi dan zona khusus. Pedoman zonasi ini

diperuntukkan untuk mewujudkan sistem pengelolaan Taman Nasional yang

efektif dan optimal sesuai dengan fungsinya.

Meski demikian, pelaksanaan konservasi tak jarang mengurangi akses

masyarakat terhadap tempat mereka menggantungkan hidup. Pemanfaatan sumber

daya alam dan pembangunan yang berkelanjutan menjadi konsep penting dalam

melihat masalah tersebut. Tidak ada masyarakat yang secara tak sengaja

menghambat kemenerusan lingkungan mereka, tetapi dengan terus

berlangsungnya masalah lingkungan yang disebabkan oleh dampak negatif

kegiatan manusia, merupakan tanda bahwa keberlanjutan memang masih

diragukan. Keberlanjutan bukan merupakan akhir yang harus dicapai, tetapi target

yang secara terus menerus harus dinegosiasikan sementara masyarakat belajar

mengenali gejala ketidakberlanjutan (Francis, 1995: 4 dalam Mitchell et al. 2007).

Wilayah pesisir merupakan wilayah peralihan antara darat dan lautan yang

biasa ditempati olah masyarakat dengan mata pencaharian sebagai nelayan. Desa

pesisir merupakan entitas sosial-ekonomi, sosial-budaya, serta sosial-ekologi,

2  

yang menjadi batas antara dataran dan lautan (Satria 2009). Pesisir adalah

wilayah yang unik, karena dalam konteks bentang alam, wilayah pesisir

merupakan tempat bertemunya daratan dan lautan. Sejalan dengan pertambahan

penduduk dan peningkatan kegiatan pembangunan sosial-ekonomi, "nilai"

wilayah pesisir terus bertambah.

Menyadari nilai strategis yang dimiliki Kepulauan Karimunjawa, kawasan

ini ditetapkan sebagai kawasan konservasi (Cagar Alam Laut) pada Tahun 1986.

kemudian pada Tahun 1999 melalui Keputusan Menhutbun No.78/Kpts-II/1999

Cagar Alam Karimunjawa dan perairan sekitarnya seluas 111.625 Ha diubah

menjadi Taman Nasional dengan nama Taman Nasional Karimunjawa (TNKJ).

Pada Tahun 2001 sebagian kawasan Taman Nasional Karimunjawa ditetapkan

sebagai Kawasan Pelestarian Alam. Perubahan status kawasan tersebut dilakukan

untuk mengakomodir keberadaan masyarakat yang telah tinggal dan menetap di

wilayah kepulauan Kepulauan Karimunjawa, agar dapat memanfaatkan

sumberdaya alam untuk memenuhi kebutuhan mereka melalui sistem zonasi.

Sebagian besar masyarakat Karimunjawa berprofesi sebagai nelayan,

dimana hampir 60,25% dari jumlah penduduknya adalah nelayan. Pada Tahun

2005, jumlah nelayan mencapai 2.923 orang, yang terdiri dari juragan sebanyak

299 orang, dan pandega sebanyak 2.624 orang. Dari 14 kecamatan yang ada di

Kabupaten Jepara, Kecamatan Karimunjawa memiliki jumlah nelayan terbesar,

yaitu pada tahun 2004 sebanyak 2.945 orang dari total nelayan seluruhnya

sebanyak 12.382 orang. Nelayan di Kepulauan Karimunjawa dari tahun ke tahun

sudah banyak mengalami perkembangan, khususnya dalam penggunaan mesin

kapal yaitu dari perahu tak bermesin (perahu layar) ke perahu bermesin tempel

atau perahu motor. Sekarang ini di Karimunjawa telah banyak nelayan yang

menggunakan perahu kapal motor untuk melakukan aktivitas penangkapan (PPP

Karimunjawa 2006)

Kawasan konservasi laut (Marine Protected Area/MPA) merupakan

kawasan ekosistem laut yang ditujukan untuk perlindungan dan pemeliharaan

keanekaragaman hayati, sumberdaya alam dan budaya setempat, yang dikelola

berdasarkan undang-undang atau peraturan yang berlaku (IUCN 2003). Oleh

karenanya penetapan kawasan lindung dapat dianggap sebagai instrumen yang

terkait dengan aspek ekologis dan kelembagaan/hukum secara bersamaan. Meski

3  

demikian, penetapan kepulauan Karimunjawa sebagai Kawasan Konservasi

Laut/Taman Nasional menyebabkan masyarakat harus melakukan proses adaptasi

dalam menjalankan strategi nafkahnya, terutama terkait dengan adanya sistem

zonasi kawasan Taman Nasional.

Kecamatan Karimunjawa adalah wilayah pesisir yang memiliki luas

sekitar 107.225 ha, dengan wilayah pemukiman penduduk seluas 2000 ha.

Kawasan ini dihuni oleh 8.773 jiwa yang tersebar di tiga desa yang terdapat pada

satu kecamatan dengan 85% masyarakatnya bergantung kepada sumberdaya alam,

khususnya sumberdaya perikanan dan kelautan. Penelitian ini dilakukan dalam

rangka mengetahui dampak Zonasi Taman Nasional terhadap strategi nafkah

nelayan kompressor. Nelayan kompressor merupakan kelompok nelayan yang

menggunakan alat tangkap berupa Speargun dan alat bantu berupa mesin

kompressor. Kelompok nelayan ini bekerja di sekitar batu-batu karang di perairan

dangkal. Dengan adanya perubahan dalam strategi nafkah yang dilakukan

nelayan, akan menarik untuk diteliti sejauh mana penetapan Zonasi Taman

Nasional tersebut berdampak terhadap nelayan kompressor.

1.2 Perumusan Masalah

Wilayah perairan Kepulauan Karimunjawa telah ditetapkan sebagai Taman

Nasional melalui Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan No. 78/Kpts-II/1999.

Dari ketujuh zona yang ada, hanya zona pemanfaatan perikanan tradisional yang

terbuka untuk usaha penangkapan ikan, karena selebihnya hanya dipergunakan

untuk upaya atau kegiatan konservasi dalam usaha pelestarian alam. Hal ini

menjadi menarik untuk diketahui apakah sistem zonasi yang diterapkan di TNKJ

tidak menyebabkan marjinalisasi masyarakat nelayan, bahkan dapat mendorong

terjadinya perikanan tangkap yang berkelanjutan.

Kepulauan Karimunjawa merupakan salah satu sentra produksi perikanan

laut di Kabupaten Jepara, Propinsi Jawa Tengah. Walaupun merupakan pulau-

pulau kecil dan terpisah oleh lautan, Karimunjawa memiliki potensi perikanan

yang besar, hal ini terlihat dari produksi perikanan pada Tahun 2005 sebesar

92.022 kg, di mana produksi ini masih berada di bawah nilai potensi lestari

Karimunjawa yaitu sebesar 167.734,45 kg (PPP Karimunjawa 2006 dalam

Irnawati 2008). Dari 14 kecamatan yang ada di Kabupaten Jepara, Kecamatan

4  

Karimunjawa memiliki jumlah nelayan terbesar, yaitu pada Tahun 2004 sebanyak

2.945 orang dari total nelayan seluruhnya sebanyak 12.382 orang. Seiring dengan

meningkatnya jumlah nelayan, teknologi dan alat tangkap yang digunakan pun

semaju maju dan bervariasi (lihat Tabel 11 dan Tabel 12).

Balai Taman Nasional Karimunjawa sejak Tahun 1998 telah merintis

kegiatan pemberdayaan masyarakat, baik melalui peningkatan perekonomian,

penguatan kelembagaan, penciptaan mata pencaharian alternatif, serta

peningkatan kapasitas masyarakat. Kegiatan ini diharapkan dapat memunculkan

kesiapan masyarakat untuk berpartisipasi dalam menjaga dan melestarikan Taman

Nasional Karimunjawa1. Meski demikian, perlu diperhatikan bahwa partisipasi

masyarakat dalam konteks ini bisa jadi menempatkan masyarakat sebagai objek,

bukan sebagai subjek. Oleh karenanya, dibutuhkan kajian lebih lanjut tentang

apakah konservasi keanekaragam hayati yang terwujud dalam Zonasi Taman

Nasional Karimunjawa benar-benar memberikan dampak positif bagi masyarakat

nelayan kompressor dan bagi keberlanjutan ekologi. Terlebih lagi, nelayan

kompressor hanya bekerja di sekitar terumbu karang di perairan dangkal, sehingga

sangat rentan terhadap pelanggaran sistem Zonasi Taman Nasional.

Terkait dengan hal tersebut, rumusan masalah yang akan diangkat dalam

proposal penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Dengan dibatasinya ruang pemanfaatan ikan hanya pada zona pemanfaatan

tradisional, sejauh mana Zonasi TNKJ berdampak terhadap strategi nafkah

nelayan kompressor?

2. Seberapa jauh efektivitas pengelolaan TNKJ berikut dengan batas

zonasinya, dapat mengimbangi aktifitas perikanan laut di Kepulauan

Karimunjawa?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah diatas, dirumuskan tujuan dari penelitian

sebagai berikut:

1. Menganalisis dampak kehadiran Taman Nasional Karimunjawa berikut

dengan zonasi perairan laut terhadap nafkah nelayan kompressor.

                                                            1 http://karimunjawanationalpark.org/pemberdayaan-masyarakat/blog

5  

2. Menganalisis efektivitas konservasi keanekaragaman hayati yang

dilakukan di Taman Nasional Karimunjawa, terkait dengan Kepulauan

Karimunjawa yang merupakan sentra produksi perikanan laut terbesar

di Jawa Tengah.

1.4 Kegunaan Penelitian

Penelitian ini memiliki beberapa manfaat untuk mahasiswa selaku

pengamat dan akademisi, masyarakat dan pemerintah. Adapun manfaat yang

dapat diperoleh yaitu:

1. Bagi Mahasiswa

Penelitian ini memberikan tambahan hazanah pengetahuan kepada

mahasiswa mengenai proses dan dampak yang ditimbulkan dari zonasi

kawasan Taman Nasional Karimunjawa dan membuka realitas pikiran bagi

mahasiswa dalam menanggapi permasalahan ini.

2. Bagi Masyarakat

Penelitian ini membantu kepada masyarakat, khususnya masyarakat

nelayan di kawasan Taman Nasional Karimunjawa untuk memahami lebih

dalam tentang latar belakang, proses dan dampak dari adanya zonasi

kawasan, terutama hubungannya dengan strategi nafkah yang dilakukan

nelayan.

3. Bagi Pemerintah

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dan bahan pertimbangan

dalam menentukan kebijakan yang berkaitan dengan pengelolaan

sumberdaya alam di kawasan Taman Nasional.

6  

BAB II

PENDEKATAN TEORITIS

2.1 Tinjauan Pustaka

2.1.1 Konservasi dan Pemanfaatan Berkelanjutan

Konservasi adalah segenap proses pengelolaan suatu tempat agar makna

kultural yang dikandungnya terpelihara dengan baik (Piagam Burra 1981 dalam

Sofa 2008). Konservasi juga memiliki makna sebagai bentuk pemeliharaan dan

perlindungan terhadap sesuatu yang dilakukan secara teratur untuk mencegah

kerusakan dan kemusnahan dengan cara pengawetan (Peter Salim dan Yenny

Salim 1991 dalam Sofa 2008) 2. Namun demikian, Purwanti et al.2008

mengatakan bahwa berbagai ketentuan peraturan di bidang otonomi daerah

maupun di bidang konservasi sumber daya alam dan ekosistem belum memberi

ketegasan dan kejelasan arah pelaksanaan kebijakan dan peran yang harus

dilakukan oleh berbagai pihak, baik tingkat pusat maupun daerah. Selain itu,

pemerintah pusat juga belum berhasil membentuk mekanisme pengelolaan Taman

Nasional yang efektif, karena adanya disharmoni sistem hukum dalam hal

kewenangan pengelolaan3.

Oleh karena itu, dibutuhkan tindakan-tindakan strategis dari pengelola

kawasan konservasi dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya sesuai dengan

konteks sosial, ekonomi dan politik masyarakat di sekitar kawasan konservasi.

Tindakan tersebut diperlukan dalam koridor menjaga fungsi wilayah konservasi

sekaligus memelihara hubungan yang baik dengan masyarakat dalam membangun

pemanfaatan sumber daya alam yang berkelanjutan di sekitar kawasan. Dalam

memahami konservasi, pemanfaatan berkelanjutan menjadi konsep yang penting

karena dapat menyelaraskan kebutuhan untuk memanfaatkan sumberdaya alam

dengan pemeliharaan dan perlindungan kawasan konservasi.

                                                            2 http://massofa.wordpress.com/2008/02/03/konservasi-sumber-daya-alam-dan-buatan/, diakses tanggal 26 Februari 2011 pukul 16.12 WIB 3 Purwanti, Frida, Hadi S. Alikodra, Sambas Basuni, Dedi Soedharma. 2008. Pengembangan Co-management Taman Nasional Karimunjawa. Jurnal Ilmu Kelautan Vol. 13 (3) : 159 – 166  

7  

Istilah keberlanjutan pertama kali dikenalkan pada tahun 1987 oleh World

Commission On Environment and Development melalui bukunya Our Common

Future. Buku ini memperkenalkan gagasan "pembangunan berkelanjutan" beserta

konsep-konsepnya yang sangat menarik, termasuk debat mengenai hubungan

seperti apakah yang seharusnya ada antara "lingkungan" dan "pembangunan".

Tidak ada sistem perputaran sumberdaya dapat berkelanjutan seperti pada

awalnya. Perubahan pasti terjadi. Paradigma pembangunan berkelanjutan harus

dipahami sebagai etika politik pembangunan, yaitu sebuah komitmen moral

tentang bagaimana seharusnya pembangunan itu diorganisir dan dilaksanakan

untuk mencapai tujuan. Dalam kaitan dengan itu, paradigma pembangunan

berkelanjutan bukan sebuah konsep tentang pentingnya lingkungan hidup, bukan

juga tentang pembangunan ekonomi. Ini sebuah etika politik mengenai

pembangunan dan bagaiman pembangunan itu seharusnya dijalankan (Keraf

2002).

Lebih lanjut lagi, Biasane (2004) mengatakan bahwa konsep

pembangunan perikanan berkelanjutan harus mengandung beberapa aspek yang

dapat menyeimbangkan antara kebutuhan konservasi dan kebutuhan sosial

ekonomi, antara lain:

1. Ecological sustainability (keberlanjutan ekologi).

Dalam pandangan ini memelihara keberlanjutan stok/biomass sehingga

tidak melewati daya dukungnya, serta meningkatkan kapasitas dan kualitas

dari ekosistem menjadi konsern utama.

2. Socioeconomic sustainability (keberlanjutan sosio-ekonomi).

Pembangunan perikanan harus memperhatikan keberlanjutan dari

kesejahteraan pelaku perikanan pada tingkat individu.

3. Community sustainability (keberlanjutan komunitas).

Mengandung makna bahwa keberlanjutan kesejahteraan dari sisi

komunitas atau masyarakat haruslah menjadi perhatian membangun

perikanan yang berkelanjutan.

4. Institutional sustainability (keberlanjutan kelembagaan).

Dalam kerangka ini keberlanjutan yang kelembagaan menyangkut

memelihara aspek finansial dan administrasi yang sehat merupakan

prasyarat dari ketiga pembangunan keberlanjutan di atas.

8  

Perubahan lingkungan fisik dan lingkungan sosial merupakan tantangan

yang harus dihadapi dalam menjaga pembangunan perikanan yang berkelanjutan.

Menurut Homer-Dixon (1993) dalam Mitchell et al (2007), kegiatan manusia

dapat menyebabkan kerusakan lingkungan atau kelangkaan sumber daya dalam

tiga cara. Pertama, kegiatan manusia dapat menyebabkan penurunan jumlah dan

kualitas sumber daya, terutama jika jumlah sumber daya dieksploitasi dengan

tingkat kecepatan yang melebihi daya pulihnya. Kedua, penurunan atau

kelangkaan sumber daya disebabkan oleh pertumbuhan penduduk. Ketiga, akses

terhadap lingkungan dan sumber daya alam yang tidak seimbang juga akan

menyebabkan banyak persoalan. Akses yang tidak seimbang biasanya disebabkan

oleh hak kepemilikan yang terkonsentrasi pada sekelompok kecil masyarakat

sehingga menyebabkan kelangkaan hak kepemilikan bagi kelompok lain (Mitchel

et al. 2007).

2.1.2 Konsep Zonasi Kawasan Taman Nasional

Definisi Taman Nasional menurut UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi

SDA Hayati dan Ekosistemnya, adalah merupakan kawasan pelestarian alam yang

mempunyai ekosistem asli dan dikelola dengan sistem zonasi serta dapat

dimanfaatkan untuk tujuan pendidikan, penelitian, pengembangan

budidaya,rekreasi, dan pariwisata. Dalam pasal 30 disebutkan bahwa pengelolaan

taman nasional adalah tercapainya tiga fungsi, yaitu: (1) perlindungan terhadap

ekosistem kehidupan, (2) pengawetan sumber plasma nutfah dan ekosistemnya,

dan (3) pelestarian pemanfaatan. Selain beberapa fungsi tersebut, taman nasional

dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat baik secara langsung maupun tidak

langsung melalui pemanfaatan yang lestari. Sebagian wilayah taman nasional

selama ini menjadi sumber kehidupan bagi masyarakat melalui berbagai kegiatan,

antara lain kegiatan perikanan, pertanian, dan pemanfaatan sumber daya alam

(SDA) yang lain.

Keterpaduan pengelolaan antara kegiatan pemanfaatan sumber daya

perikanan dengan kegiatan konservasi berarti bahwa kegiatan pemanfaatan

sumber daya yang ada harus menyesuaikan dengan kegiatan dan pengelolaan

konservasi, karena aspek sumber daya bertumpu pada keberhasilan dari usaha

konservasi (Maksum 2006). Pengelolaan konservasi juga harus

9  

mengakomodasikan dan mengedepankan kepentingan pengelolaan dan

pemanfaatan sumber daya perikanan dan pemberdayaan masyarakat nelayan

untuk mencapai keberlanjutan sumber daya perikanan.

Taman Nasional Laut atau disebut juga Marine Protected Area (MPA)

adalah sebuah kawasan laut yang secara khusus ditujukan sebagai perlindungan

dan pemeliharaan keanekaragaman hayati secara alami, pembudidayaan, dan

dikelola melalui aturan-aturan (IUCN 2003). MPA diharapkan dapat membantu

dalam melindungi habitat-habitat penting contoh-contoh perwakilan kehidupan

laut, dan juga dapat membantu dalam memulihkan produktifitas laut dan

menghindari kerusakan yang lebih jauh. Prinsip manfaat Kawasan Konservasi

Laut adalah dampak limpahan, dimana pada kawasan yang dilindungi, stok ikan

akan tumbuh dengan baik, dan limpahan dari pertumbuhan ini akan mengalir ke

wilayah di luar kawasan, yang kemudian dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan

tanpa mengurangi sumber pertumbuhan di daerah yang dilindungi. Kawasan

Konservasi Laut dapat berfungsi sebagai nursery ground (tempat pembesaran),

feeding ground (tempat mencari makan) ataupun spawning ground (tempat

memijah) bagi ikan-ikan yang hidup di area sekitar kawasan tersebut 4.

Terkait dengan hal tersebut, Permenhut No: P. 56 /Menhut-II/2006

mengatur tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional. Dalam peraturan tersebut

dikatakan bahwa Zonasi Taman Nasional adalah suatu proses pengaturan ruang

dalam Taman Nasional menjadi zona-zona, yang mencakup kegiatan tahap

persiapan, pengumpulan dan analisi data, penyusunan draft rancangan rancangan

zonasi, konsultasi publik, perancangan, tata batas, dan penetapan, dengan

mempertimbangkan kajian-kajian dari aspek-aspek ekologis, sosial, ekonomi dan

budaya masyarakat. Untuk dapat menciptakan tata kelola yang efektif dan optimal

seperti yang terkandung dalam Pasal 2 Permenhut Nomor P. 56 /Menhut-II/2006,

maka dibutuhkan pembagian zona kawasan menurut fungsinya. Adapaun zonasi

seperti yang tercantum dalam Permenhut tersebut adalah sebagai berikut:

1. Zona inti adalah bagian Taman Nasional yang mempunyai kondisi alam

baik biota ataupun fisiknya masih asli dan tidak atau belum diganggu oleh

                                                            4 Maksum, Mochamad Asep. 2006. Analisis Manfaat Ekonomi Sumberdaya Perikanan Kawasan Konservasi Laut Taman Nasional Karimunjawa. Tesis: Istitut Pertanian Bogor.

10  

manusia yang mutlak dilindungi, berfungsi untuk perlindungan

keterwakilan keanekaragaman hayati yang asli dan khas.

2. Zona rimba, untuk wilayah perairan laut disebut zona perlindungan bahari

adalah bagian Taman Nasional yang karena letak, kondisi dan potensinya

mampu mendukung kepentingan pelestarian pada zona inti dan zona

pemanfaatan.

3. Zona pemanfaatan adalah bagian Taman Nasional yang letak, kondisi dan

potensi alamnya, yang terutama dinamfaatkan untuk kepentingan

pariwisata alam dan kondisi/jasa lingkungan lainnya.

4. Zona tradisional adalah bagian dari Taman Nasional yang ditetapkan untuk

kepentingan pemanfaatan tradisional oleh masyarakat yang karena

kesejarahan mempunyai ketergantungan dengan sumber daya alam.

5. Zona rehabilitasi adalah bagian dari Taman Nasional yang karena

mengalami kerusakan, sehingga perlu dilakukan kegiatan pemulihan

komunitas hayati dan ekosistemnya yang mengalami kerusakan.

6. Zona religi, budaya dan sejarah adalah bagian dari taman nasionai yang

didalamnya terdapat situs religi, peninggalan warisan budaya dan atau

sejarah yang dimanfaatkan untuk kegiatan keagamaan, perlindungan nilai-

nilai budaya atau sejarah.

7. Zona khusus adalah bagian dari Taman Nasional karena kondisi yang tidak

dapat dihindarkan telah terdapat kelompok masyarakat dan sarana

penunjang kehidupannya yang tinggal sebelum wilayah tersebut ditetapkan

sebagai Taman Nasional antara lain sarana telekomunikasi, fasilitas

transportasi dan listrik.

Penetapan zonasi kawasan melibatkan Staf Balai Taman Nasional, Unsur

Pemerintah Daerah, Lembaga Swadaya Masyarakat, Kelompok Masyarakat dan

Mitra kerja. Adapaun peran serta masyarakat seperti yang diatur dalam Pasal 19

Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P. 56 /Menhut-II/2006 adalah memberi

saran, informasi dan pertimbangan, memberikan dukungan dalam pelaksanaan

kegiatan zonasi, melakukan pengawasan kegiatan zonasi, dan ikut menjaga dan

memelihara zonasi. Zonasi yang ditetapkan harus mempertimbangkan beberapa

faktor, antara lain:

11  

a. Keanekaragaman hayati, nilai arkeologi, nilai obyek daya tarik wisata,

nilai potensi jasa lingkungan

b. Data spatial: tanah, geologi, iklim, topografi, geomorfologi, penggunaan

lahan;

c. Kondisi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat

d. Oseanografi untuk wilayah perairan.

Taman Nasional harus dirancang sedemikian rupa agar tidak menimbulkan

konflik kepentingan dalam penggunaan ruang di dalamnya. Wakil ekosistem-

ekosistem yang alami dan khas dapat dilindungi dan dilestarikan jika gangguan-

gangguan terhadapnya ditekan sekecil mungkin. Ekosistem yang rapuh harus

dibebaskan dari konflik penggunaan lahan. Untuk kepentingan pemanfaatan

wisata alam dan rekreasi dapat dilakukan pada daerah-daerah yang memiliki daya

tahan yang cukup (Basuni 1987).

Sistem zonasi yang diterapkan di TNKJ diharapkan dapat menyelaraskan

kondisi Karimunjawa sebagai taman nasional dengan kepentingan penduduk yang

mayoritas berprofesi sebagai nelayan. Lebih lanjut, Maksum (2006) mengatakan

bahwa penetapan hak pemanfaatan dan penangkapan ikan eksklusif juga perlu

diberlakukan di perairan TNKJ pada zona pemanfaatan perikanan tradisional

sehingga kegiatan perikanan tangkap oleh masyarakat nelayan setempat dapat

terus dilakukan dengan tetap menjaga kelestarian perikanan dan keberadaan

Karimunjawa sebagai sebuah taman nasional.

Dalam konsep pengelolaan Taman Nasional, zona inti merupakan unit

dalam Taman Nasional yang memberikan ciri khas kawasan konservasi dan

berfungsi sebagai pengatur yang menentukan totalitas ciri Taman Nasional.

Pemasukan sumber daya alam ke dalam unit zona inti harus berupa ekosistem atau

unsur ekosistem yang unik atau rapuh, tumbuhan atau satwa yang terancam punah

atau gejala alam yang memerlukan upaya perlindungan. Sumber daya alam

demikian dapat dipandang sebagai obyek konservasi utama. Untuk daerah-daerah

yang memiliki tingkat kerentanan kawasan sedang sampai rendah, maka bisa

diperuntukan sebagai Zona Pemanfaatan. Bila daerah-daerah dalam zona

pemanfaatan merupakan daerah perlindungan satwa, daerah tangkapan air atau

daerah bahaya erosi, maka sebaiknya diperuntukan sebagai Zona Pemanfaatan

Semi Intensif. Sedangkan bila daerah-daerah dalam zona pemanfaatan bukan

12  

merupakan daerah perlindungan satwa, daerah tangkapan air dan daerah bahaya

erosi, maka bisa diperuntukan sebagai Zona Pemanfaatan Intensif. Untuk daerah-

daerah dimana terdapat aktifitas pemanfaatan lahan yang berada pada tingkat

kerentanan tinggi sampai sangat tinggi, sebaiknya diperuntukan sebagai Zona

Lain (Pemulihan). Untuk daerah-daerah dimana terdapat aktifitas pemanfaatan

lahan yang berada pada tingkat kerentanan rendah dan berbatasan dengan batas

Taman Nasional, sebaiknya diperuntukan sebagai Zona Penyangga (Hutan atau

Ekonomi). Untuk daerah-daerah dimana terdapat aktifitas pemanfaatan lahan yang

berada pada tingkat kerentanan rendah dan tidak berbatasan dengan batas Taman

Nasional, sebaiknya diperuntukan sebagai Zona Lain (Peruntukan Khusus). Untuk

daerah-daerah dimana terdapat aktifitas pemanfaatan lahan yang berada pada

tingkat kerentanan sedang, sebaiknya diperuntukan sebagai Zona Lain

(Peruntukan Khusus) (Basuni 1987).

Menurut Alikodra (1987), ketergantungan masyarakat dapat dikategorikan

menjadi tidak legal dan legal. Ketergantungan tidak legal adalah pengambilan

kayu, buah, daun, rumput dan menggembalakan ternak secara liar, dimana

menurut peraturan mengenai Taman Nasional, semua kegiatan tersebut dilarang.

Jika tidak dilakukan pengaturan, maka akan merusak potensi Taman Nasional.

Sedangkan ketergantungan yang legal antara lain menjadi pemandu wisata alam,

sopir angkutan dan usaha pelayanan pengunjung. Ketergantungan ini dapat

ditingkatkan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat.

2.1.3 Strategi Adaptasi Nafkah Nelayan

Adaptasi merupakan tingkah laku penyesuai yang menunjuk pada tindakan

(Bennet dalam Subri 2007). Dalam hal ini, adaptasi dikatakan sebagai tingkah

laku yang bersifat strategis dalam upaya memaksimalkan kesempatan hidup.

Dalam Sosiologi Nafkah, Dharmawan (2006) memberikan penjelasan bahwa

livelihood memiliki pegertian yang lebih luas daripada sekedar means of living

yang bermakna sempit mata pencaharian. Dalam sosiologi nafkah, pengertian

strategi nafkah lebih mengarah pada pengertian livelihood strategy (strategi

penghidupan) daripada means of living strategy (strategi cara hidup). Pengertian

livelihood strategy yang disamakan pengertiannya menjadi strategi nafkah

(dalam bahasa Indonesia), sesungguhnya dimaknai lebih besar daripada sekedar

13  

“aktivitas mencari nafkah” belaka. Sebagai strategi membangun sistem

penghidupan, maka strategi nafkah bisa didekati melalui berbagai cara atau

manipulasi aksi individual maupun kolektif. Strategi nafkah bisa berarti cara

bertahan hidup atau memperbaiki status kehidupan. Strategi nafkah adalah taktik

dan aksi yang dibangun oleh individu maupun kelompok dalam rangka

mempertahankan kehidupan mereka dengan tetap memperhatikan eksistensi

infrastruktur sosial, struktur sosial, dan sistem nilai budaya yang berlaku.

Merujuk pada Scoones (1998), dalam penerapan strategi nafkah, rumah

tangga petani memanfaatkan berbagai sumberdaya yang dimiliki dalam upaya

untuk dapat bertahan hidup. Scoones membagi tiga klasifikasi strategi nafkah

(livelihood strategy) yang mungkin dilakukan oleh rumah tangga petani, yaitu: (1)

Rekayasa sumber nafkah pertanian, yang dilakukan dengan memanfaatkan sektor

pertanian secara efektif dan efisien baik melalui penambahan input eksternal

seperti teknologi dan tenaga kerja (intensifikasi), maupun dengan memperluas

lahan garapan (ekstensifikasi); (2) Pola nafkah ganda (diversifikasi), yang

dilakukan dengan menerapkan keanekaragaman pola nafkah dengan cara mencari

pekerjaan lain selain pertanian untuk menambah pendapatan. Atau dengan

mengerahkan tenaga kerja keluarga (ayah, ibu dan anak) untuk ikut bekerja –

selain pertanian- dan mamperoleh pendapatan; (3) Rekayasa spasial (migrasi),

merupakan usaha yang dilakukan dengan melakukan mobilitas ke daerah lain di

luar desanya, baik secara permanen maupun sirkuler untuk memperoleh

pendapatan.

Long (1987) dalam Widiyanto et al. (2010) mencirikan bahwa sistem

perekonomian desa di Negara-negara dunia ketiga bercorak kombinasi antara non-

kapitalis yang “tradisional” dengan kapitalis yang emergen. Boeke (1953) dalam

Sajogyo (1982) dalam Widiyanto et al. (2010) menyebutnya sebagai teori

ekonomi ganda (dualisctic economics) dimana dalam waktu yang sama terdapat

dua atau lebih sistem sosial, dan masing-masing sistem sosial ini jelas berbeda

satu sama lain dan masing-masing menguasai bagian tertentu dari masyarakat

bersangkutan. Dalam konteks pertanian, petani di pedesaan mengalami mixed

ethic, pada satu sisi berorientasi kepada etika sosial-kolektif dan pada sisi yang

lain harus berorientasi kepada keuntungan yang maksimal. Kedua etika tersebut

14  

“dimainkan” oleh petani sebagai upaya membangun sistem penghidupan yang

berkelanjutan.

Fadjar (2009) dalam Widiyanto et al. (2010) membuktikan bahwa pada

petani kakao menerapkan strategi amphibian, dimana walaupun pengeruh

kapitalisme telah merembes (masuk sedikit demi sedikit) namun nilai-nilai

tradisional tidak sepenuhnya ditinggalkan. Nilai-nilai subsistensi melekat pada

aktifitas produksi (on farm) baik pada komoditas padi maupun kakao. Pada sisi

yang lain, semangat kapitalisme sangat menonjol pada proses penjualan hasil

produksi kebun kakao. Kakao merupakan komoditas yang berorientasi pada pasar

yang diperlukan sebagai komoditas baku bagi industri yang berada di luar

komunitas petani.

Secara etimologis, makna kata ’livelihood’ itu meliputi aset atau modal

(alam, manusia, finansial, sosial dan fisik), aktifitas di mana akses atas aset

dimaksud dimediasi oleh kelembagaan dan relasi sosial) yang secara bersama

mendikte hasil yang diperoleh oleh individu maupun keluarga. Kata ”akses”

didefinisikan di sini sebagai ”aturan dan norma sosial yang mengatur atau

mempengaruhi kemampuan yang berbeda antara orang dalam memiliki,

mengontrol, mengklaim atau menggunakan sumber daya seperti penggunaan

lahan di desa atau komunitas kampung”5. Keberlanjutan mempunyai banyak

dimensi yang semuanya penting bagi pendekatan sustainable livelihoods.

Penghidupan dikatakan berkelanjutan jika ia:

1. Elastis dalam menghadapi kejadian-kejadian yang mengejutkan dan

tekanan-tekanan dari luar;

2. Tidak tergantung pada bantuan dan dukungan luar (atau jika

tergantung,bantuan itu sendiri secara ekonomis dan kelembagaan harus

sustainable);

3. Mempertahankan produktivitas jangka panjang sumberdaya alam;

4. Tidak merugikan penghidupan dari, atau mengorbankan pilihan-pilihan

penghidupan yang terbuka bagi orang lain.

Strategi nafkah di sektor perikanan dibedakan menjadi budi daya ikan dan

penangkapan ikan. Budi daya ikan dalam pola kerjanya lebih menyerupai

                                                            5 Saragih, Sebastian, Jonatan Lassa, Afan Ramli. 2007. Kerangka Penghidupan Berkelanjutan. Aceh: -.

15  

peternakan karena lebih terkontrol. Di lain pihak, penangkapan ikan lebih

bergantung pada ketersediaan sumberdaya bersama (open acces) para nelayan

yang mempunyai hak yang sama terhadap sumberdaya (Mulyadi 2005).

Secara mendasar, pekerjaan sebagai nelayan banyak mengandung resiko

dan ketidakpastian. Adanya risiko dan ketidakpastian ini disarankan untuk

disiasati dengan mengembangkan pola-pola adaptasi berupa perilaku ekonomi

yang spesifik yang selanjutnya berpengaruh terjadap pranata ekonominya. Pola-

pola adaptasi yang menonjol adalah pembagian resiko dalam bentuk pola bagi

hasil pendapatan dan kepemilikan kolektif serta mengutamakan hubungan

patronage dalam aktifitas kerja (Mulyadi 2005). Untuk mengatasi kesulitan

modal, masyarakat nelayan disarankan untuk mengembangkan suatu mekanisme

tersendiri, yaitu sistem modal bersama, untuk memungkinkan terjadinya

“pemerataan resiko” karena kerugian besar yang dapat terjadi setiap saat, seperti

perahu hilang atau rusaknya alat tangkap, akan ditanggung bersama.

Lebih lanjut, karaktersitik masyarakat pesisir sebagai representasi komunitas

desa-pantai dan desa terisolasi, dilihat dari berbagai aspek ialah sebagai berikut

(Satria 2002):

a. Sistem Pengetahuan, pengetahuan tentang teknik penangkapan ikan umumnya

diperoleh secara turun temurun berdasarkan pengalaman empirik. Kuatnya

pengetahuan lokal ini menjadi salah satu faktor penyebab terjaminnya

kelangsungan hidup sebagai nelayan. Pengetahuan lokal (indigenous

knowledge) tersebut merupakan kekayaan intelektual yang hingga kini terus

dipertahankan

b. Sistem kepercayaan, secara teologi nelayan masih memiliki kepercayaan yang

kuat bahwa laut memiliki kekuatan khusus dalam melakukan aktivitas

penangkapan ikan agar keselamatan dan hasil tangkapan semakin terjamin.

Namun, seiring berjalannya waktu berbagai tradisi dilangsungkan hanya

sebagai salah satu instrument stabilitas sosial dan komunitas nelayan.

c. Peran wanita, umumnya selain banyak bergelut dalam urusan domestik

rumah tangga, istri nelayan tetap menjalankan aktivitas ekonomi dalam

kegiatan penangkapan di perairan dangkal, pengolahan ikan, maupun

kegiatan jasa dan perdagangan. Istri nelayan juga dominan dalam

mengatur pengeluaran rumah tangga sehari-hari sehingga sudah sepatutnya

16  

peranan istri-istri nelayan tersebut menjadi salah satu pertimbangan dalam

setiap program pemberdayaan.

d. Struktur sosial. Struktur yang terbentuk dalam hubungan produksi

(termasuk pasar) pada usaha perikanan, perikanan tangkap maupun

perikanan budidaya umumnya dicirikan dengan kuatnya ikatan patron-

klien. Kuatnya ikatan ini merupakan konsekuensi dari sifat kegiatan

penangkapan ikan yang penuh dengan resiko dan ketidakpastian. Pada

perikanan budidaya, patron meminjamkan modal kepada para nelayan

lokal untuk pembudidayaan ikan. Konsekuensinya ialah hasilnya harus

dijual kepada patron dengan harga yang lebih murah. Ciri kedua adalah

stratifikasi sosial, bentuk stratifikasi masyarakat pesisir Indonesia sangat

beragam. Seiring modernisasi akan terjadi diferensiasi sosial yang dilihat

dari semakin bertambahnya jumlah posisi sosial atau jenis pekerjaan

sekaligus terjadi pula perubahan stratifikasi karena sejumlah posisi sosial

tersebut tidaklah bersifat horisontal, melainkan vertikal dan berjenjang

berdasarkan ukuran ekonomi, prestise, dan kekuasaan.

e. Posisi sosial nelayan. Di kebanyakan masyarakat, nelayan memiliki status

yang relatif rendah. Rendahnya posisi sosial nelayan ini merupakan akibat

dari keterasingan nelayan sehingga masyarakat bukan nelayan tidak

mengetahui lebih jauh cara hidup nelayan. Hal ini terjadi akibat sedikitnya

waktu dan kesempatan nelayan untuk berinteraksi dengan masyarakat lain

karena alokasi waktu yang besar untuk kegiatan penangkapan ikan

dibanding untuk bersosialisasi dengan masyarakat bukan nelayan yang

memang secara geografis relative jauh dari pantai. Secara politis posisi

nelayan kecil terus dalam posisi dependen dan karjinal akibat terbatasnya

faktor kapital yang dimilikinya.

2.1.4 Kemiskinan Nelayan

Kemiskinan diartikan sebagai suatu keadaan di mana seseorang tidak

sanggup memelihara dirinya sendiri sesuai dengan taraf kehidupan kelompok dan

juga tidak mampu memanfaatkan tenaga mental, maupun fisiknya dalam

17  

kelompok tersebut6. Paradigma lama memandang bahwa orang miskin disebabkan

oleh tidak adanya modal. Dengan tidak ada modal maka produktivitas rendah, dan

lalu menyebabkan tabungan rendah. Namun Sachs (2005) dalam Satria (2006)

mencoba memodifikasi teori kemiskinan menjadi tidak sesederhana itu. Bagi

Sachs, untuk mengakhiri kemiskinan, caranya dengan membuat orang termiskin

dapat menapaki tangga pembangunan. Dan untuk mendorong orang miskin

tersebut untuk menapaki anak tangga pertama, maka diperlukan sejumlah modal7,

yaitu :

1. Modal manusia (human capital) seperti kesehatan, gizi, dan keterampilan

yang diperlukan oleh setiap orang untuk produktif secara ekonomi

2. Modal usaha (business capital) seperti mesin, fasilitas, alat transportasi

bermotor

3. Modal infrastruktur (infrastructure capital) seperti jalan, tenaga lsitrik, air,

dan sanitasi, bandara, pelabuhan, dan sistem telekomunikasi yang menjadi

prasyarat penting bagi produktivitas usaha

4. Modal alam (natural capital) seperti suburnya lahan, keanekaragaman

hayati, dan ekosistem yang berfungsi baik

5. Modal kelembagaan publik (public institustional capital) seperti hukum

eknomi, sistem peradilan, layanan pemerintah dan kebihjakan yang

mendukung terciptanya kemakmuran,

6. Modal pengetahuan seperti pengetahuan dan teknologi yang dapat

meningkatkan produktivitas usaha dan pemanfaatan sumberdaya alam.

Widiyanto et al. (2010) mengatakan bahwa salah satu pendekatan dalam

memahami kemiskinan adalah sustainable livelihood. Pendekatan ini tidak hanya

berbicara mengenai pendapatan (income poverty) dan pekerjaan (jobs) tetapi lebih

holistik dengan memahami kehidupan orang miskin, apa prioritas hidup mereka,

dan apa yang dapat membentu mereka. Dengan kata lain, memahami orang

miskin harus bersifat komprehensif, dengan berbagai elemen penting yang harus

dipahami secara tepat dan benar, seperti siapa orang miskin itu, dimana mereka

                                                            6 Soerjono Soekanto. “Sosiologi Suatu Pengantar”. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006). hal. 320. 7 http://agrimedia.mb.ipb.ac.id/uploads/doc/2010-07-06_Arief_satria-KEMISKINAN_NELAYAN, diakses pada tanggal 26 Mei 2011 pukul 09.25 WIB  

18  

tinggal, mengapa mereka miskin, mengapa mereka tetap miskin, bagaimana

persepsi mereka mengenai apa yang dimaksud dengan “miskin”, dan bagaimana

usaha mereka untuk mengatasinya.

Chambers (1995) dalam Widiyanto et al. (2010) mengatakan bahwa

banyak dimensi penting yang perlu mendapatkan perhatian, yaitu: inferioritas,

pengasingan, kerentanan, perampasan, ketidakberdayaan, dan penghinaan.

Muladi (2005) mengemukakan faktor-faktor yang menjadi penyebab

kemiskinan nelayan:

1. Masalah yang berkaitan dengan kepemilikan alat tangkap

2. Akses terhadap modal khususnya menyangkut persyaratan kredit

3. Persyaratan pertukaran hasil tangkapan yang tidak berpihak pada buruh

nelayan

4. Sarana penyimpanan ikan

5. Hak pengusahaan kawasan tangkap

6. Perusakan sistem organisasi masyarakat pesisir.

Tingkat perekonomian masyarakat nelayan juga dipengaruhi oleh cara

kerja dan hubungan sosial yang terbentuk dalam komunitas nelayan tersebut.

Mulyadi (2005) menguraikan beberapa hal yang menjadi karakteristik sosial

masyarakat nelayan, antara lain:

1. Keterasingan relatif: dalam banyak hal, nelayan membentuk

masyarakatnya sendiri dan sering terasing karena mereka harus hidup di

sepanjang tepi danau, sungai dan laut. Di samping itu, karena banyak

nelayan bekerja pada malam hari atau pagi buta, pada saat orang lain

masih tidur, nelayan sering dipandang sebagai orang yang terpencil dari

masyarakat (Pollnac dalam Mulyadi 2007).

2. Organisasi kerja: koordinasi antara awak kapal penangkap ikan perlu

dikombinasikan. Adanya risiko fisik berkaitan dengan lingkungan laut,

menambah pentingnya kesalingtergantungan setiap pekerja. Bersamaan

dengan cepatnya peralatan menyusut dan kemungkinan hilangnya

peralatan, kerja sama ini mengurangi jarak sosial dan ekonomi antara

pemilik dan buruhnya.

3. Pembagian tenaga kerja: mayoritas tenaga kerja yang terlibat dalam nafkah

nelayan adalah laki-laki, namun demikian bukan berarti perempuan tidak

19  

memiliki andil dalam kegiatan nelayan. Wanita biasanya melakukan

kegiatan-kegiatan di tepi pantai, dimana pekerjaan tidak akan bertentangan

dengan pemeliharaan anak. Pada banyak masyarakat penangkap ikan,

wanita mengambil alih fungsi membeli dan menjual ikan. Peranan wanita

sebagai pedagang ikan menstabilkan ekonomi pada beberapa masyarakat

penangkap ikan karena pria mungkin hanya kadang-kadang menangkap

ikan, tetapi wanita bekerja sepanjang tahun.

4. Hak-hak atas sumberdaya laut: di beberapa wilayah, gelombang arus

menggeser batas-batas tepi laut, muara, dan pantai sehingga secara praktis

tidak mungkin untuk mempertahankan batas-batas secara jelas. Karena

sasaran tangkapan relatif berpindah-pindah, hak atas suatu tempat khusus,

bidang kecil penangkapan ikan tidak akan bermanfaat karena ikannya

berpindah-pindah. Hak-hak komunal agak sering ditemukan, tetapi sering

berjalan tidak sesuai dengan undang-undang nasional yang menentukan

laut sebagai suatu sumberdaya yang terbuka untuk umum.

2.2 Kerangka Pemikiran

Penetapan Kepulauan Karimunjawa sebagai Kawasan Taman Nasional

Karimunjawa diharapkan dapat mempertahankan kondisi lingkungan dan

sumberdaya kelautan di wilayah ini sehingga manfaatnya dapat diambil secara

berkelanjutan. Namun di sisi lain, kehadiran Kawasan Taman Nasional berikut

sistem zonasinya mengakibatkan nelayan tradisional harus melakukan

penyesuaian terhadap lokasi-lokasi penangkapan ikan yang selama ini menjadi

ladang penghidupan mereka.

Menurut Balai Taman Nasional Karimunjawa (2002) dalam Maksum

(2005), masalah utama pengelolaan Kawasan Konservasi Laut Taman Nasional

Karimunjawa adalah perlindungan ekosistem perairan laut. Hal ini disebabkan

oleh permasalahan yang timbul akibat pemanfaatan sumberdaya alam yang tidak

berkelanjutan, seperti yang tercermin dari maraknya kerusakan ekosistem terumbu

karang akibat eksploitasi sumberdaya perikanan dengan alat tangkap yang

merusak lingkungan, perambahan dan perubahan fungsi ekosistem mangrove

menjadi areal pertambakan, pengambilan batu karang untuk bahan bangunan,

20  

tingginya animo membangun resort di pulau-pulau, serta pengambilan biota laut

yang dilindungi undang-undang secara ilegal8.

Permasalahan-permasalahan tersebut menjadi menarik untuk ditelaah

bahwa:

1. Sejauh mana kehadiran Taman Nasional Karimunjawa berikut sistem

zonasinya memberi pengaruh terhadap strategi nafkah nelayan

kompressor. Pengaruh ini terutama diukur dari segi Daerah Tangkap, Alat

Tangkap dan Diversifikasi Nafkah.

2. Mengingat bahwa Kepulauan Karimunjawa merupakan salah satu dari tiga

pusat perikanan yang diandalkan di Jawa Tengah, dan fakta bahwa

sebagian besar penduduknya yang berjumlah lebih dari 8.800 jiwa adalah

nelayan, maka penting untuk dikaji pengaruh aktifitas perikanan tangkap

di Kepulauan Karimunjawa terhadap efektivitas konservasi

keanekaragaman hayati di TNKJ yang dilakukan dengan sistem zonasi.

Gambar 1 Kerangka Pemikiran

                                                            8 Laporan Evaluasi Balai Taman Nasional Karimunjawa Tahun 2009 

Efektivitas Sistem Manajemen Zonasi

Strategi Nafkah Nelayan Kompressor

1. Daerah Tangkap 2. Alat Tangkap 3. Diversifikasi

Nafkah

Sistem Zonasi Kawasan Taman

Nasional Karimun

Upaya Perlindungan

Taman Nasional

Pemanfaatan Perikanan Laut di Taman Nasional

Karimun jawa Karimunjawajawa

21  

Keterangan :

: hubungan pengaruh

: dianalisis secara deskriptif

2.3 Hipotesis Penelitian

Penyusunan hipotesis bertujuan untuk memudahkan peneliti menjawab

permasalahan dan dalam rangka untuk mencapai tujuan dari penelitian yang telah

dirumuskan. Dari kerangka pemikiran diatas dapat disusun hipotesis berupa:

1. Pengelolaan Taman Nasional Karimunjawa yang dikelola dengan sistem

zonasi berpengaruh terhadap daerah tangkap ikan, alat tangkap, dan

diversifikasi nafkah dari nelayan kompressor di Kepulauan Karimunjawa

2. Kegiatan pengelolaan konservasi keanekaragaman hayati di Taman

Nasional Karimunjawa yang dijalankan melalui sistem zonasi tidak

mampu mengimbangi aktifitas perikanan tangkap yang berkembang di

kepulauan Karimunjawa (diukur dari segi produksi perikanan laut, jumlah

nelayan, dan alat tangkap). Sebagai akibatnya, efektivitas pengelolaan

sistem zonasi tergolong rendah.

2.4 Definisi Operasional

Definisi operasional untuk masing-masing variabel adalah sebagai berikut:

1. Strategi adaptasi nafkah adalah tingkah laku strategis dalam

memaksimalkan kesempatan hidup (Hansen, 1979, dalam Saharudin

2007). Strategi nafkah yang dimaksud berada dalam konteks masyarakat

nelayan, yaitu taktik dan aksi yang dibangun oleh individu maupun

kelompok dalam rangka mempertahankan kehidupan mereka dengan tetap

memperhatikan eksistensi infrastruktur sosial, struktur sosial, dan sistem

nilai budaya yang berlaku (Dharmawan, 2006). Strategi adaptasi nafkah

yang dimaksud dibedakan ke dalam tiga kelompok, yakni:

a. Daerah tangkap adalah cakupan kawasan yang menjadi tempat

nelayan mencari ikan. Cakupan kawasan ini berupa zona-zona

yang boleh dimasuki dan digunakan, serta jarak tertentu (dalam

22  

satuan km) dari batas pantai yang mampu dicapai oleh kapal

nelayan.

b. Alat tangkap adalah jenis peralatan yang digunakan dalam

mengambil sumberdaya perikanan

c. Diversifikasi nafkah yang dimaksud dalam penilitian ini yaitu

penerapan pola nafkah yang beragam dengan cara mencari

pekerjaan lain selain pertanian untuk menambah pendapatan

(Soones 1998).

23  

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif yang didukung oleh

data kualitatif. Pendekatan kuantitatif yang digunakan adalah penelitian survei

yaitu penelitian yang mengambil sampel dari satu populasi dan menggunakan

kuesioner sebagai alat pengumpulan data yang utama (Singarimbun dan Efendi

2008). Pengumpulan data kuantitatif dilakukan melalui metode survei kepada

nelayan kompressor dengan menggunakan kuesioner.

Pendekatan kualitatif digunakan peneliti untuk memahami secara

mendalam dan rinci mengenai suatu peristiwa, serta dapat menggali bebagai

realitas, proses sosial, dan makna yang berkembang dari orang-orang yang

menjadi subjek penelitian. Strategi penelitian kualitatif yang digunakan dalam

penelitian ini ialah studi kasus. Peneliti memilih suatu kejadian atau gejala untuk

diteliti (Sitorus 1998). Hasil pendekatan kualitatif ini diperkaya dengan data yang

diperoleh dari metode survey. yang menggunakan instrument kuesioner untuk

mengumpulkan informasi dari responden. Penelitian ini bersifat explanatory

research yang menjelaskan hubungan-hubungan kausal antara variabel melalui

pengujian hipotesa (Singarimbun 1995).

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Desa Karimunjawa, Kecamatan Karimunjawa,

Kabupaten Jepara, Propinsi Jawa Tengah. Penentuan lokasi penelitian dilakukan

secara sengaja (purposive). Pemilihan lokasi penelitian ini berdasarkan:

1. Desa Karimunjawa merupakan kawasan Taman Nasional yang sebagian

besar penduduknya berprofesi sebagai nelayan;

2. Tersedianya data pendukung yag dapat membantu peneliti dalam

melakukan penelitian; dan

3. Bahasa yang digunakan oleh masyarakat di Desa Karimunjawa dapat

dipahami oleh peneliti sehingga memudahkan peneliti dalam melakukan

wawancara dan pengumpulan data

24  

Oleh karena itu dengan mengambil wilayah Desa Karimunjawa sebagai

tempat penelitian, diharapkan dapat memberikan manfaat dan solusi dari

permasalahan yang diteliti oleh penulis terhadap masyarakat Desa Karimunjawa.

Pengumpulan data sekunder, dan data primer akan dilakukan selama satu bulan,

dimulai pada bulan April – bulan Mei 2011. Dalam kurun waktu satu bulan

tersebut peneliti mengumpulkan semua data dan informasi yang akan digunakan

dalam penyusunan skripsi.

3.3 Teknik Pengambilan Data

3.3.1 Kerangka Sampling

Kerangka sampling dalam penelitian ini adalah nelayan Desa

Karimunjawa yang mengambil ikan di wilayah Taman Nasional Karimunjawa

dengan menggunakan alat tangkap berupa speargun dan kompressor. Golongan

nelayan ini bekerja dalam tim yang relatif tetap, berjumlah lima sampai tujuh

orang di setiap kapal dimana terdapat 17 kapal yang menggunakan alat tangkap

speargun dan kompressor di desa Karimunjawa. Komunitas nelayan ini berjumlah

90 orang, mayoritas berada di wilayah perkampungan Lego di sebelah timur Desa

Karimunjawa.

3.3.2 Pemilihan Responden

Responden adalah individu yang dapat memberikan keterangan atau

informasi mengenai dirinya sendiri. Dalam penelitian ini populasi adalah

masyarakat Desa Karimunjawa yang berprofesi sebagai nelayan, dimana populasi

sampling pada penelitian ini adalah masyarakat Desa Karimunjawa yang memiliki

umur produktif antara 15-65 tahun dengan unit analisis individu. Responden dari

penelitian ini adalah nelayan Karimunjawa yang beroperasi di sekitar TNKJ dan

menggunakan alat tangkap berupa panah dan kompressor.

Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik Simple

Random Sampling, dengan jumlah responden 35 orang. Populasi nelayan

kompressor adalah 90 orang. Karena bekerja secara berkelompok, seluruh anggota

nelayan kompressor terbagi ke dalam 17 kelompok (1 kelompok terdiri dari lima

sampai tujuh orang). Dari 17 kelompok tersebut, kemudian dipilih secara acak

25  

sebanyak enam kelompok melalui perwakilan dari setiap ketua kelompok. Alasan

dipilihnya responden berdasarkan tim adalah agar waktu, tenaga dan biaya yang

dikeluarkan dalam penelitian menjadi lebih efektif dan efisien, mengingat

karakteristik nelayan kompressor relatif homogen. Dari masing-masing tim yang

terpilih, kemudian dilakukan wawancara terhadap anggota-anggota timnya hingga

mencapai jumlah 35 orang.

3.3.3 Wawancara Mendalam

Terdapat dua subjek dalam penelitian ini yaitu informan dan responden.

Informan adalah seseorang yang dapat menjelaskan dan memberikan keterangan

atau gambaran mengenai dirinya sendiri, keluarga, pihak lain dan lingkunganya.

Adapun informan yang dituju adalah tokoh masyarakat, yakni ketua kelompok

nelayan, ketua RT dan ketua RW, Guru, Kepala Desa, Kaur Kependudukan

tingkat Kecamatan, Juragan, nelayan tradisional, dan tokoh masyarakat lainnya.

Jumlah Informan dalam penelitian ini adalah sebanyak 21 orang. Selain tokoh

masyarakat, wawancara juga dilakukan terhadap petugas Balai Taman Nasional

sebanyak enam orang, dan Lembaga Swadaya Masyarakat yang bergerak di

bidang perlindungan dan pelestarian alam sebanyak dua orang.

Data primer berasal dari wawancara melalui kuesioner yang ditanyakan

pada responden dan data pendukung berupa wawancara mendalam terhadap

responden. Sedangkan data sekunder diperoleh dari hasil dokumentasi dan studi

literatur melalui hasil penelitian sebelumnya, dapat berupa jurnal, skripsi, tesis,

disertasi, makalah, laporan dari Balai Taman Nasional Karimunjawa, informasi

dari internet dan karya ilmiah lainnya.

3.4 Teknik Analisis Data

Data hasil kuisioner dari responden diolah menggunakan program

microsoft excel. Data tersebut diolah melalui teknik regresi linear untuk melihat

pengaruh sistem Zonasi Taman Nasional Karimunjawa terhadap strategi nafkah

nelayan. Data kualitatif dari wawancara mendalam dan observasi disajikan secara

deskriptif untuk mendukung dan memperkuat analisis kuantitatif. Gabungan data

tersebut diolah dan dianalisis dengan disajikan dalam bentuk teks naratif, matriks,

26  

atau bagan. Kemudian ditarik kesimpulan dari semua data yang telah diolah.

Kemudian hasil dari kuesioner tersebut dicatat seperti apa adanya dan diolah

dengan melakukan analisis serta interpretasi, baru selanjutnya dilakukan

pembuatan kesimpulan tentang hasil kuesioner.

27  

BAB IV

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Sejarah Lokasi

Menurut sejarah yang berkembang di masyarakat, Karimunjawa berasal

dari nama pulau utama dan terbesar yaitu Karimunjawa. Menurut cerita

masyarakat Jawa pada zaman Kesunanan Muria “Kremun-kremun saka Jawa”

berarti samar-samat dari Jawa. Nama Karimunjawa juga digunakan untuk nama

kecamatan/kepulauan, pulau, dan desa.

4.2 Lokasi Geografis

Secara geografis Karimunjawa merupakan kepulauan yang terletak antara

5°40’39 - 5°55’00 LS dan 110°05’57 - 110°31’15’ BT dengan luas wilayah

sekitar 107.225 ha, tepatnya di sebelah utara dari Kabupaten Jepara, Jawa Tengah.

Secara administratif, daerah ini termasuk wilayah Kecamatan karimunjawa,

Kabupaten Jepara, Jawa Tengah. Kecamatan ini terbagi menjadi beberapa

kawasan seperti kawasan pemerintahan, kawasan pemukiman, kawasan

konservasi, dan kawasan pariwisata (Taman Nasional Karimunjawa 2010).

Gambar 2 Peta Karimunjawa

28  

Kecamatan Karimunjawa merupakan kumpulan dari 27 pulau yang

dikelilingi oleh Laut Jawa dan terdiri atas tiga desa yaitu Desa Karimunjawa,

Desa Kemujan, dan Desa Parang. Sarana transportasi umum yang dapat

digunakan untuk mengakses daerah ini adalah dengan kapal ferry dari Jepara atau

Semarang. Transportasi yang dapat digunakan untuk menuju pulau lainnya

menggunakan kapal bermotor.

4.3 Kependudukan

Kecamatan Karimunjawa mempunyai sumberdaya manusia yang terdiri

dari 8.733 jiwa. Jumlah penduduk ini terdiri atas beragam suku yaitu Jawa, Bugis,

Bajo, Madura, dan Baton. Berikut ini adalah data perbandingan jumlah penduduk

di Kecamatan Karimunjawa sejak tahun 1990 hingga 2010.

Tabel 1 Data Kependudukan Tiga Desa di Kecamatan Karimunjawa Tahun 2010

Desa Luas Daratan (Ha)

Sensus 1990

Sensus 2000

Sensus 2010

Kepadatan Penduduk 2010

Laju Pertumbuhan Penduduk (%/thn)

Karimunjawa 4,619 3795 4062 4422 1.04 0.852782 Kemujan 1,626 2344 2628 2736 0.68 0.403551 Parang 870 1300 1400 1581 0.55 1.223275 Total Kecamatan Karimunjawa

7,115 7439 8090 8733 0.81 0.767734

Sumber: Badan Pusat Statistik 2010

Kepadatan penduduk paling besar terdapat di Desa Karimunjawa, karena

Desa ini tergolong yang paling maju diantara tiga desa yang lainnya. Meski

demikian, laju pertumbuhan penduduk tertinggi justru terjadi Desa Parang. Secara

keseluruhan, kepadatan penduduk di Kecamatan Karimunjawa adalah sebesar

0.81 per hektar, dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 0,76 %/tahun.

Tingkat pendidikan di Kepulauan Karimunjawa masih tergolong rendah

karena penduduk usia sekolah banyak bekerja membantu orang tua. Hal ini terjadi

karena rendahnya kesadaran penduduk tentang pentingnya pendidikan dan

keterbatasan biaya. Mayoritas penduduk Karimunjawa beragama Islam, tetapi ada

29  

juga yang memeluk agama Kristen dan Katholik. Data kependudukan

selengkapnya beserta tingkat pendidikan dan agama tersaji dalam Tabel 2.

Tabel 2 Data Kependudukan Tiga Desa di Kecamatan Karimunjawa Berdasarkan Pendidikan dan Agama Tahun 2002

Desa Jumlah Penduduk

Pendidikan Agama SD* SLTP SLTA PT ISLAM KRISTEN

Karimunjawa 4.137 3865 156 92 24 4107 30 Kemujan 2.698 2128 115 57 11 2687 11 Parang 2.007 1974 25 7 1 2007 0 Total 8.842 7967 296 156 36 8801 41 * Sudah tamat, tidak tamat, dan belum sekolah Sumber Data : Monografi Desa Kecamatan Karimunjawa, 2002

Adapun mata pencaharian masyarakat Karimunjawa sangat beragam.

Nelayan dan pembudidaya ikan sebagai mata pencaharian utama diikuti juga

dengan pekerjaan lainnya sebagai petani. Berikut adalah Tabel yang menyajikan

mata pencaharian masyarakat Karimunjawa.

Tabel 3 Data mata pencaharian penduduk Kecamatan Karimunjawa Tahun 2009

No Mata Pencaharian

Jumlah Penduduk (Jiwa) Total Persentasi (%) Karimunjawa Kemujan Parang

1 Petani/buruh tani

378 407 348 1133 18.99

2 Nelayan 1238 696 421 2355 39.47 3 Pengusaha 8 12

- 20 0.36

4 Buruh 285 202 55 542 9.08 5 Pedagang 12 30 37 79 1.32 6 Peternak 124 947 544 1615 27.07 7 PNS dan TNI 96 53 13 162 2.73 8 Pensiunan 27 33 - 60 1.01 Jumlah 2168 2380 1418 5966 100.00 Sumber: Balai Taman Nasional Karimunjawa 2009

Dari Tabel diatas dapat dilihat sebagian besar merupakan nelayan yakni

39,47 persen. Selanjutnya peternak dan petani/buruh tani menempati posisi

pekerjaan paling besar di Karimunjawa, yakni sebesar 27,07 persen dan 18,99

persen. Meski demikian, masyarakat Karimunjawa pada umumnya memiliki mata

pencaharian ganda untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sejak meningkatnya

sektor pariwisata di Karimunjawa, sebagian masyarakat memanfaatkan potensi

30  

ekowisata di daerah tersebut dengan menjadi tour guide, penyewaan alat selam,

penginapan, warung makan dll.

4.4 Iklim dan Topografi

Wilayah Kepulauan Karimunjawa mempunyai iklim tropis yang

dipengaruhi oleh angin laut dengan suhu rata-rata 26-30oC. Suhu maksimum 34

oC

dengan suhu minimum 22oC. Kelembaban nisbi antara 70-85%, dan tekanan udara

berkisar antara 1,012 mbar. Dalam satu tahun terdapat dua pergantian musim,

yaitu musim kemarau dan musim penghujan dengan musim pancaroba

diantaranya. Musim kemarau (musim timur) terjadi pada bulan Juni-Agustus.

Pada musim ini cuaca sepanjang hari cerah dengan curah hujan rata-rata <200

mm/bulan, rata-rata penyinaran matahari antara 70-80% setiap hari. Bulan kering

terjadi pada Maret-Agustus dengan curah hujan sekitar 60 mm/bulan. Arah angin

datang dari timur sampai tenggara dengan kecepatan 7-10 knot, kadang-kadang

mencapai 16 knot lebih. Musim pancaroba pertama terjadi pada September-

Oktober, pada periode ini angin didominasi dari barat dan barat laut, juga dari

timur dan utara dengan kecepatan yang sangat bervariasi (BTNKJ 2001 dalam

Irnawati 2008).

Topografi Kepulauan Karimunjawa dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu

perbukitan, perbukitan bergelombang, dan dataran rendah. Perbukitan terbentang

luas di Pulau Karimunjawa dengan ketinggian 200-500 m. Bertekstur kasar,

berlereng terjal, dan disusun oleh batuan sedimen pra-tersier. Perbukitan

bergelombang terbentang di Pulau Karimunjawa, Pulau Kemujan, Pulau Parang,

dan Pulau Genting, dengan ketinggian 25-200 m, bertekstur halus hingga agak

kasar, berlereng landai, dan disusun oleh batuan sedimen dan batuan gunung api.

Gunung Walang dan beberapa gumuk (bukit kecil) merupakan tonjolan topografi

pada daerah ini. Dataran rendah terbentang di Pulau Karimunjawa, Pulau

Kemujan, Pulau Parang, Pulau Genting, Pulau Menjangan, Pulau Cemara, Pulau

Bengkoang, Pulau Geleang, dan Pulau Sintok dengan ketinggian antara 0-25 m.

Penyusun substrat dataran rendah ini antara lain aluvium dan sedikit batuan

gunung api atau batuan sedimen (BTNKJ 2001 dalam Irnawati 2008).

31  

4.6 Sarana dan Prasarana

Prasarana fisik yang ada terdiri dari jalan desa, bangunan desa, serta

bangunan fasilitas umum. Listrik di Kecamatan Karimunjawa diperoleh dari

PLTD dan tenaga surya. PLTD di Desa Karimunjawa hanya dapat beroperasi 12

jam, terhitung dari pukul 18.00-06.00 WIB. Jalan-jalan desa berupa jalan

beraspal. Bangunan-bangunan seperti sekolah, tempat ibadah dan sarana

kesehatan jumlahnya cukup banyak dan terawat. Selain itu juga terdapat bangunan

untuk sarana olah raga dan berkumpulnya masyarakat berupa alun-alun dan aula

pertemuan. Berikut merupakan Fasilitas yang ada di Kecamatan Karimunjawa

tersaji dalam Tabel 4.

Tabel 4 Fasilitas Umum yang terdapat di Kecamatan Karimunjawa Tahun 2002

No Jenis fasilitas Jumlah Keterangan 1 Hotel dan resort 3 buah Swasta & dinas pariwisata 2 Homestay 16 buah Milik masyarakat 3 Komunikasi 1 buah Telkom 4 Air bersih 4 buah Pdam swakarsa 5 Listrik 2 buah Pltd kalisda dan telkom 6 Transportasi

Transportasi air Transportasi darat Transportasi udara Pelabuhan Bandar udara

2 buah 11 buah 1 buah 6 buah 1 buah

Kmp. Muria dan kmp kartini Mobil dan motor Kura-kura resort Pemerintah, swasta Pemerintah

7 Kesehatan 1 kantor Puskesmas 8 Keamanan 5 kantor Koramil, Polsek, Pol Air, TN.

Karimunjawa dan AL. 9 Tempat ibadah 38 buah Mesjid, mushola dan gereja. 10 Sekolah 18 buah SD, SLTP, SMU, SMK 11 Pasar 1 buah Di desa Karimunjawa 12 Olah raga 16 buah Lapangan sepak bola dan bola

voli Sumber : Balai Taman Nasional Karimunjawa 2004

32  

BAB V

ZONASI TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA DAN

NELAYAN KOMPRESSOR

5.1 Zonasi Taman Nasional Laut Karimunjawa

Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan no. 185/Kpts-II/1997 tanggal

31 Maret 1997 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Taman Nasional dan Unit

Taman Nasional, maka sejak tanggal 23 Januari 1998 Karimunjawa secara

definitif dikelola oleh organisasi pengelola yang mandiri dengan status sebagai

UPT Dirjen PHKA dengan nama Balai Taman Nasional Karimunjawa (BTNKJ).

Purwanti et al. (2008) mengatakan bahwa BTNKJ sebagai pemegang otoritas

pengelolaan mempunyai tugas melaksanakan pengelolaan ekosistem kawasan

TNKJ secara optimal, yaitu menyusun rencana, program dan evaluasi pengelolaan

taman nasional; mengelola taman nasional; melakukan pengawetan dan

pemanfaatan secara lestari taman nasional; perlindungan, pengamanan dan

penanggulangan kebakaran taman nasional; promosi dan informasi, bina wisata

dan cinta alam, penyuluhan konservasi sumberdaya alam hayati dan

ekosistemnya; kerjasama pengelolaan tama nasional; dan melaksanakan urusan

tata usaha dan rumah tangga.

Taman Nasional Karimunjawa sejak tahun 1999 telah memiliki 4 zona

yaitu zona inti, zona perlindungan, zona pemanfaatan dan zona penyangga.

Namun demikian, pada tahun 2004 zonasi yang ada dinilai sudah tidak sesuai

dengan kondisi riil di lapangan, disebabkan adanya beberapa permasalahan9,

antara lain:

1. Zonasi tersebut belum mengakomodir berbagai kepentingan pengelolaan

terutama dari aspek ekologi, sosial ekonomi serta budaya termasuk

kearifan lokal

2. Banyak terjadi tumpang tindih kebijakan berbagai pihak, baik di tingkat

propinsi maupun kabupaten.

Sebagai akibatnya, banyak terjadi pelanggaran memasuki zona dan

pelanggaran hukum lainnya, yaitu penangkapan ikan dengan bahan dan/ atau alat

                                                            9 Laporan evaluasi Balai Taman Nasional Karimunjawa Tahun 2009 

33  

tangkap yang merusak lingkungan (26,32%), pengambilan biota yang dilindungi

(36,84%), pencurian kayu mangrove (31,58%) (Purwanti et a., 2008). Lebih lanjut

lagi, Purwanti et al (2008) juga mengatakan bahwa banyaknya pelanggaran

tersebut terjadi karena sosialisasi tentang pelanggaran-pelanggaran hukum di

bidang pengelolaan sumberdaya alam dan wilayah pesisir yang diancam sanksi

hukum belum ada. Selain itu pendidikan sebagian besar penduduk (87,99%)

hanya sampai tingkat dasar sehingga pemahaman terhadap hukum kurang dan

juga didorong oleh kebutuhan hidup karena hasil penangkapan semakin kecil

sedangkan biaya operasi penangkapan makin besar.

Adanya permasalahan-permasalahan tersebut menyebabkan dilakukannya

perubahan zonasi pada Tahun 2005 melalui Surat Keputusan Direktur Jenderal

PHKA Nomor: 79/IV/Set-3/2005 tanggal 30 Juni 2005. Zonasi tersebut

diharapkan dapat mengakomodir kepentingan masyarakat untuk memanfaatkan

sumberdaya alam serta kepentingan pelestarian oleh Balai Taman Nasional

Karimunjawa. Proses perbaikan Zonasi Taman Nasional Karimunjawa

dilaksanakan melalui berbagai tahapan. Tahap pertama adalah dengan

mengumpulkan informasi serta mencari masukan dari berbagai pihak yang

mempunyai kepentingan terhadap pengelolaan kawasan Taman Nasional

Karimunjawa. Tahap berikutnya adalah dengan mengadakan lokakarya sebagai

berikut:

1. Lokakarya Kabupaten Jepara I

a. Lokakarya ini dilaksanakan pada tanggal 24 Juni 2004. Lokakarya ini

menghasilkan 2 rekomendasi yang berkaitan dengan Balai Taman

Nasional Karimunjawa (BTNKJ) yaitu:

b. BTNKJ segera menyelesaikan penyusunan rencana pengelolaan TN

Karimunjawa, serta rencana teknis terkait (antara lain rencana

pengembangan zonasi dan pariwisata alam laut) secara terpadu

melalui forum koordinasi yang efektif dengan memperhatikan aspek

ekologi, ekonomi dan sosial.

c. Khusus untuk penyusunan rencana pengembangan zonasi yang

merupakan inti dari pengelolaan Taman Nasional, data dan informasi

yang berkaitan dengan kondisi potensi dan sosek perlu di cermati

dengan menganalisa data tersebut. Data dan informasi tersebut

34  

bersumber dari pihak-pihak yang telah melakukan penelitian di

Karimunjawa. Pembahasan dilakukan secara bertahap (lokal,

kabupaten, propinsi) dan konsisten dengan partisipasi pihak-pihak

terkait.

2. Lokakarya Desa

Lokakarya dilaksanakan pada tanggal 8 – 10 Januari 2004 yang bertujuan

untuk menggali pemikiran masyarakat mengenai Zonasi Taman Nasional

Karimunjawa. Lokakarya desa dihadiri oleh perwakilan dari masing-

masing desa dan menghasilkan beberapa usulan masyarakat mengenai

zonasi. Berdasarkan laporan Penataan Zonasi Taman Nasional (2004),

masukan masyarakat tentang lokasi masing-masing zona sebagai berikut:

a. Zona Inti : Taka Menyawakan.

Kriteria yang harus dimiliki untuk zona inti adalah tidak harus

berbentuk pulau, sebagai pensuplai ikan bagi daerah sekitar, tidak ada

kepemilikan, merupakan daerah pemijahan ikan, dan memiliki satwa

langka. Taka Menyawakan diusulkan menjadi zona inti karena lokasi

ini menjadi tempat pemijahan ikan, dan secara geografis mewakili tiga

Desa, sehingga diharapkan bisa mensuplai ikan ke perairan tiga Desa.

b. Zona Perlindungan: Hutan Mangrove Kemujan, Hutan Karimun, P.

Batu, Taka Laijo, Gosong Cemara, Taka Mrican.

Kriteria zona perlindungan antara lain daerah jauh dari pemukiman

(minimal 1,5 mil), cukup tersedia makanan bagi ikan, adanya

kesepakatan masyarakat, memiliki ekosistem yang masih utuh, tidak

ada pencemaran lingkungan, memiliki syarat budidaya, pemanfaatan

terbatas/wisata terbatas. Alasan diusulkannya lokasi-lokasi tersebut

antara laen karena memiliki mangrove, sebagai tempat

berkembangbiak udang dan daerah wisata, tempat tinggal dan

berkembangbiak satwa langka, adanya wisata religi dan wisata alami

c. sebelah timur Kemujan dan Barat Kemujan), Wilayah Barat Tanjung

Gelam hingga Nyamplungan Zona Pemanfaatan: Taka Besi, Perairan

P. Sintok, P. Bengkoang, Tanjung Seloka, Legon Kemujan.

35  

Kriteria zona pemanfaatan adalah Wilayah yang kaya potensi

sumberdaya alam, Sering dimanfaatkan oleh masyarakat, Cara dan

alat tangkap ramah lingkungan, dan Tidak mengganggu ekosistem.

d. Zona Penyangga: P. Genting, P. Cendikian, P. Seruni, P. Sambangan,

P. Nyamuk, P. Kumbang, P. Parang (Selain Daerah Selatan P.

Parang), Kemujan (Wilayah Mrican – sepanjang pantai Mrican,

Tlogo, Batu Lawang, Pantai

3. Lokakarya Kabupaten Jepara II

Lokakarya ini dilaksanakan pada tanggal 20 - 21 Januari 2004 untuk

menindaklanjuti hasil dari lokakarya Jepara I dan Lokakarya desa. Kegiatan

ini bertujuan untuk menampung aspirasi semua pihak yang terkait dalam

rangka penyusunan naskah zonasi. Hasil dari lokakarya ini adalah (1)

Rumusan rancangan naskah zonasi, (2) Membentuk tim teknis yang bertugas

menyusun naskah Zonasi Taman Nasional Karimunjawa dan melakukan

konsultasi publik. Tim teknis ini bertugas melakukan pembahasan draft

zonasi dan sosialisasi dalam rangka mencari masukan dari semua pihak yang

terkait.

4. Lokakarya Kabupaten Jepara III

Kegiatan ini dilaksanakan pada tanggal 12 Oktober 2004 yang bertujuan

untuk membahas dan menyetujui draft terakhir kajian Zonasi Taman Nasional

Karimunjawa. Hasil dari pertemuan ini menetapkan Taman Nasional

Karimunjawa seluas 111.625 terbagi menjadi tujuh zonasi, yaitu (lihat

lampiran 1) :

1. Zona Inti seluas 444,629 hektar meliputi sebagian perairan P. Kumbang,

perairan Taka Menyawakan, perairan Taka Malang dan Perairan Tanjung

Bomang.

2. Zona Perlindungan seluas 2.587,711 hektar meliputi hutan tropis dataran

rendah dan hutan mangrove, serta wilayah perairan P. Geleang, P. Burung,

Tanjung Gelam, P.Sitok, P. Cemara Kecil, P.Katang, Gosong Selikur,

Gosong tengah.

3. Zona Pemanfaatan Pariwisata seluas 1.226,525 hektar meliputi perairan P.

Menjangan Besar, P. Menjangan kecil, P. Menyamakan, P. Kembar,

36  

sebelah timur P. Kumbang, P.Tengah, P. Bengkoang, Indonor dan Karang

Kapal.

4. Zona Pemukiman seluas 2.571,546 hektar melalui P. Karimunjawa, P.

Kemujan, P. Parang dan P. Nyamuk.

5. Zona Rehabilitasi seluas 122,514 hektar meliputi perairan sebelah Timur

P. Parang, sebelah Timur P. Nyamuk, sebelah Barat P. Kemujan dan

sebelah Barat P. Karimunjawa.

6. Zona Budidaya seluas 788,213 hektar meliputi perairan P. Karimunjawa,

P.Kemujan, P. Menjangan Besar, P. Parang dan P. Nyamuk.

7. Zona Pemanfaatan Perikanan Tradisional seluas 103.883,862 hektar

meliputi seluruh perairan di luar zona yang telah ditetapkan yang berada di

dalam kawasan TN Karimunjawa.

Selain menyangkut batas zonasi, masyarakat juga mengusulkan beberapa

hal lain sebagai berikut, seperti yang tertuang dalam Laporan Penataan Zonasi

Taman Nasional Karimunjawa (2004):

• Diperlukan alternatif mata pencaharian bagi nelayan pada musim paceklik,

dengan memanfaatkan potensi yang terdapat di darat.

• Diperlukan peningkatan kapasitas lembaga lokal dalam upaya penyadaran

masyarakat. Ditujukan untuk meningkatkan peran aktif masyarakat dalam

upaya pengelolaan Kawasan Taman Nasional Karimunjawa.

• Masyarakat ingin ikut dilibatkan dalam pengelolaan Taman Nasional,

kerjasama dengan pihak-pihak terkait dan penegakan hukum.

Dari ketiga butir tersebut, terlihat bahwa masyarakat Karimunjawa memiliki

keinginan untuk terlibat aktif dalam aktivitas-aktivitas perlindungan dan

penegakan hukum tentang pemanfaatan sumberdaya alam. Hal ini menandakan

bahwa masyarakat memiliki kepedulian yang tinggi dalam menjaga dan

melestarikan kawasan Taman Nasional Karimunjawa.

Meski demikian, sebagian masyarakat belum merasakan manfaat setelah

adanya zonasi tersebut, seperti yang diungkap oleh seorang tokoh masyarakat, JN

(46):

37  

Sampai sekarang masih ada konflik tentang tapal batas. Mestinya kalau ada pembaharuan zonasi, yang salah diperbaiki biar ga terjadi masalah. Tapi sampai sekarang tidak. Kepentingannya gini, dia (BTNKJ) ada proyek, maka harus menambah zona inti. Katakanlah zona inti sebagai lumbung dari pada ikan yang ada, tapi kenapa ko tidak berdampak langsung.. katanya nelayan akan mudah mendapat ikan, tapi kenyataannya apa?lho katanya zona inti mau ditambah lagi..kalau mau ditambah, yang lama saja tidak dirasakan manfaatnya apalagi kalau ditambah?

Sebagian masyarakat merasa kepentingannya tidak diwakili dalam proses

penentuan zonasi. Hal ini terjadi karena banyaknya stakekolders yang terlibat,

sehingga usulan dari masyarakat masih harus dipertemukan dengan usulan dari

pihak Pemerintahan Desa dan Kecamatan, LSM, Staff Ahli yang ditunjuk,

BTNKJ, dan Pemerintah Kabupaten. Perasaan ketidakterwakilan tersebut juga

terjadi karena orang-orang yang mewakili masyarakat disinyalir merupakan

orang-orang yang “dekat” dengan BTNKJ, seperti petikan wawancara dengan

salah satu pejabat kecamatan, MK (46 tahun),

Memang ada perwakilan masyarakat, tapi yang diajak komunikasi ya orang yang itu-itu saja, tanpa melibatkan pihak yang kontra.. Orang-orang yang kritis malah tidak dilibatkan. Kalau kebijakan mau bagus ya harus banyak masukan dan kritik kan mas.. Penerimaan dan peran serta masyarakat terhadap pola pengelolaan sangat

menentukan efektivitas dari pengelolaan tersebut. Tidak efektifnya pengelolaan

kawasan perlindungan alam di Karimunjawa terutama disebabkan oleh kurangnya

apresiasi dan keikutsertaan masyarakat dalam kegiatan pengelolaan. Penyebab

kurangnya peran aktif masyarakat adalah (1) Kurangnya sosialisasi program-

program pengelolaan di Taman Nasional Karimunjawa kepada masyarakat, (2)

kurangnya upaya membangun kepedulian masyarakat dalam hal perlindungan

kelestarian alam, (3) tidak terbangunnya komunikasi dua arah antara Balai Taman

Nasional dengan masyarakat sehingga terbentuk pola pikir “konservasi berarti

pelarangan”10.

Penerapan sistem zonasi tersebut akan memberikan konsekuensi baik

secara langsung maupun tidak langsung. Dampak langsung yang pasti dirasakan

masyarakat adalah adanya perubahan pola pemanfaatan yang biasa mereka

                                                            10 Laporan Penataan Zonasi Taman Nasional Karimunjawa, 2004 

38  

lakukan. Penerapan zona inti dan perlindungan di suatu lokasi akan mengalihkan

sebagian nelayan untuk melakukan aktifitas penangkapan di lokasi lain. Hal ini

sejalan dengan yang dikatakan oleh salah satu staff BTNKJ, PP (36 tahun),

Tujuan kita menerapkan zonasi selain memang berdasarkan Undang-undang adalah agar nelayan bisa mengambil ikan di tempat yang diperuntukkan untuk mengambil ikan. Saat ini volume penangkapan ikan di TNKJ sudah cukup besar, dan berdasarkan penelitian, dampak aktivitas penangkapan ikan telah menguras jumlah ikan yang ada. Jadi jangan salah persepsi..zonasi tidak ditujukan untuk membatasi pendapatan nelayan los mas, tapi untuk menjaga agar SDA nya berkelanjutan

5.2 Pengetahuan Masyarakat Tentang Zonasi Kawasan

Berdasarkan monitoring yang dilakukan oleh Balai Taman Nasional

Karimunjawa yang bekerja sama dengan Wildlife Conservation Society (WCS)

yang dilakukan terhadap 150 responden menunjukkan bahwa pengetahuan

masyarakat terhadap zonasi pada tahun 2005 dan 2009 mengalami peningkatan di

tiga desa (lihat Gambar 3 dan Gambar 4).

Sumber: Balai Taman Nasional Karimunjawa 2009

Gambar 3. Pengetahuan Masyarakat tentang Zonasi pada Tahun 2005

Pada Tahun 2005, pengetahuan masyarakat tentang zonasi di Desa

Karimunjawa hanya berkisar 43.06 persen. Sementara di Kecamatan

Karimunjawa, masyarakat yang mengetahui zonasi sebanyak 40.76 persen dari

39  

150 orang responden. Sementara pada Tahun 2009, tingkat pengetahuan

masyarakat mengalami peningkatan sebagai berikut:

Sumber: Balai Taman Nasional Karimunjawa 2009

Gambar 4. Pengetahuan Masyarakat tentang Zonasi pada Tahun 2009

Meskipun dalam monitoring tersebut pengetahuan masyarakat pada Tahun

2009 meningkat tajam dibanding Tahun 2005, namun dari hasil observasi lapang

ditemukan bahwa pengetahuan masyarakat tentang zonasi kawasan hanya

mencakup eksistensi Zonasi Taman Nasional, tetapi masyarakat belum

mengetahui isi dan bentuk zonasi. Hal ini terungkap dari hasil wawancara dengan

seorang nelayan, JK (29 tahun).

Kita mah ngga ngerti mas zona-zona mana yang boleh diambil. Dulu pernah katanya ada pengumuman, tapi kan saya ga tau.. informasinya ga merata jadinya. Ya..mestinya kan ada papan pengumuman biar kita ngerti. Tapi ya jangan semua pulau jadi zona inti toh mas

Ketidaktahuan masyarakat tentang isi dan maksud dari Zonasi Taman

Nasional menyebabkan penangkapan ikan di zona inti dan zona perlindungan

masih berlangsung dengan marak. Terlebih lagi, minimnya patroli yang dilakukan

pihak BTNKJ menyebabkan penangkapan ikan di zona tersebut seakan sudah

menjadi hal yang biasa. Pada tahun 2005, pihak BTNKJ telah memasang tanda

larangan di wilayah-wilayah zona inti dan perlindungan, namun tak lama setelah

40  

terpasang tanda tersebut hilang. Tanda larangan di zona yang dilindungi dapat

membantu nelayan dalam memilih lokasi penangkapan ikan, seperti yang

diungkap oleh BD (50 tahun),

Klo ada tandanya kita juga ya,, istilahnya ada perhitungan lah untuk masuk ke sana.. la klo ngga ada kan kita mana tau. Harusnya orang PPA (BTNKJ) itu masang papan larangan, atau apalah gitu.. biar kita masyarakat juga ngerti. Jangan tiba-tiba ditangkep gitu aja.

Lain halnya dengan IM (26 tahun), yang telah mengetahui beberapa zona inti dan

perlindungan namun tetap mengambil ikan di sana karena merasa tidak ada

bentuk larangan yang kuat,

Pulau Taka Menyawakan itu sebenernya ya nda boleh mas.. tapi saya klo nyari ikan ya kadang bebas aja.. soalnya kan kita nyari wilayah yang ikannya banyak toh.. moso jadi nelayan nyari ikannya di tempat yang sepi.. asal kita tau batasan aja. kalau ada patroli atau ada peringatan-peringatan ya kita nyingkir dulu.

Pengetahuan nelayan kompressor yang rendah tentang Zonasi Taman Nasional

juga tercermin dari banyaknya jumlah responden yang hanya mengetahui jenis

zonasi tanpa mengetahui daerah mana saja yang ditetapkan sebagai tipe zonasi

tersebut. Hal ini tercermin dari data berikut:

Tabel 5 Pengetahuan Nelayan Kompressor tentang Zonasi Taman Nasional Karimunjawa Tahun 2011

No Pengetahuan tentang zonasi Jumlah responden 1 Tidak tahu tentang zonasi 2 Tahu tentang jenis zonasi, tapi tidak mengetahui

contoh lokasinya • 1-3 zonasi • >4 zonasi

84

3 Tahu tentang jenis zonasi dan contoh lokasinya • 1-3 zonasi dan lokasi • >4 zonasi dan lokasi

185

Total 35

Sebanyak delapan orang responden mengetahui kurang dari empat jenis

zonasi, namun tidak mampu memberikan contoh bagi masing-masing kategori

zonasi. Empat lainnya mengetahui sama dengan atau lebih dari empat macam

41  

zonasi namun tidak mampu memberikan contoh kawasan untuk tiap zonasi.

Sementara itu, sebanyak delapan belas responden mengetahui kurang dari empat

jenis zonasi dan mampu memberikan beberapa contoh untuk masing-masing zona

tersebut. Zona yang paling banyak diketahui tipe dan contoh lokasinya adalah

zona inti, dengan contoh lokasi pulau Taka Menyawakan dan Karam Kapal.

Hanya lima responden yang mengetahui lebih dari tiga tipe zona dan mampu

menyebabkan contoh kawasan yang termasuk dalam tipe tersebut. Dari hasil

tersebut, terlihat bahwa sosialisasi yang dilakukan Balai Taman Nasional

Karimunjawa belum berjalan dengan baik.

5.3 Nelayan Kompressor

Nelayan Kompressor adalah nelayan yang menggunakan alat tangkap

panah sederhana dan alat bantu berupa mesin kompressor yang digunakan untuk

memompa udara dari atas kapal ke bawah air. Saat melakukan penyelaman,

biasanya terdapat tiga orang yang mencari ikan di bawah air, kemudian sisanya

memastikan keselamatan para penyelam dari atas kapal dengan mengontrol

tekanan udara dan memastikan bahwa selang udara tidak terlilit mesin kapal.

Dengan menggunakan pipa/selang yang panjangnya puluhan meter, udara

dialirkan dari kompresor ke penyelam yang berada di bawah permukaan laut.

Dengan pasokan udara dari atas, penyelam bebas beraktivitas memungut atau

mencari hasil tangkapan tanpa khawatir persedian udara menipis. Setelah 2 jam

mencari ikan, para penyelam akan naik ke atas kapal untuk bertukar shift dengan

nelayan lain yang sebelumnya di atas kapal.

Secara historis penyelaman menggunakan kompresor ban di Karimunjawa

sudah ada sejak era 80-an. Cara ini mula-mula diperkenalkan oleh eksportir ikan

hidup dari Korea, yang memiliki karamba jaring apung di perairan Legon Boyo.

Semula memang sudah ada praktek-praktek penangkapan ikan hidup yang

dilakukan oleh nelayan Karimunjawa dengan skin diving. Alat tangkap yang

digunakan pun berupa panah/tembak ikan. Namun ikan yang diperoleh tentu saja

mati karena luka panah. Hadirnya eksportir dari Korea memicu nelayan

tembak/panah beralih menyelam dengan kompresor ban. Bahkan pada saat itu,

sebagian penangkapan ikan diduga menggunakan bahan-bahan kimia seperti

potasium sianida, atau sejenisnya untuk membius ikan dengan cara menyemprot.

42  

Meskipun dugaan itu sulit dibuktikan, tapi secara nyata dampak kerusakan

terumbu pada saat itu berpengaruh pada menurunnya ikan hasil tangkapan nelayan

pancing. Apalagi kehadiran eksportir Korea tersebut tak lama kemudian diikuti

pula oleh hadirnya eksportir Hongkong, yang menambah maraknya penangkapan

ikan hidup secara besar-besaran di wilayah kepulauan Karimunjawa. Sisi

positifnya pendapatan masyarakat menjadi semakin meningkat. Tetapi bagi

nelayan yang tidak memiliki keahlian menyelam, hal ini merupakan tantangan

nyata. Sebab lokasi yang biasa dijadikan tempat pemancingan juga didatangi para

penyelam kompresor. Inilah awal perang dingin antara nelayan pancing dengan

nelayan selam, seperti yang diungkap oleh SK (48 tahun),

Pokonya susahnya nelayan mas waktu ada alat menyelam. Banyak yang mengeluh mas. Di sini ada orang yang mancing, tapi di bawahnya ada yang nyelem. Diubek-ubek itu mas di bawah, lah kita mana bisa dapet ikan. Berdasarkan analisis data primer, nelayan kompressor secara rata-rata

memiliki penghasilan yang lebih tinggi dari nelayan tradisional, yakni sekitar Rp

1.956.000, per bulan. Meski demikian, resiko yang dihadapi juga lebih tinggi. SM

(48 tahun) berpendapat bahwa penghasilan yang lebih tinggi menimbulkan

kecemburuan dari nelayan tradisional terhadap nelayan kompressor,

Nelayan kompressor ini banyak yang nda suka kenapa, karena penghasilan kita lebih tinggi. Ya memang kalau dihitung-hitung kita sedikit lebih tinggi, tapi ya sama saja sebenernya.. kalau lagi ngga ada ikan ya sama saja, kita ga bisa makan. Nah terus karena disangkanya penghasilan kita lebih tinggi, nelayan yang laen jadi nda suka.. dikiranya kita pake potaslah, ngobok-ngobok orang yang lagi mancing lah, ngerusak bubu lah, apalah, macem-macem lah mas pokonya. Meski terdapat persaingan antara nelayan tradisional dan nelayan

kompressor, namun masyarakat Karimunjawa tetap mengedepankan asas-asas

kekeluargaan dalam menyelesaikan masalah, sehingga perbedaan pendapat

diantara mereka dapat diselesaikan secara baik-baik, seperti yang diungkap oleh

YN (35 tahun),

43  

Orang Karimun ini ya satu keluarga. Jangan sampai teradu domba. Kalau ada masalah ya pasti, kalau ada perbedaan ya pasti, tapi kita harus sama-sama ngerti. Nelayan tradisional butuh makan, nelayan kompressor juga butuh makan. Yaa sama-sama ngerti lah pokonya.. jadi kalau di sini mas,, kalau ada masalah kita omongin bareng-bareng. Klo nda ketemu solusinya ya minta tolong sama Petinggi (Kepala Desa), atau Pa Camat, minta tolong ama orang PHPA (BTNKJ). Kompressor ban waktu itu dianggap sebagai teknologi “tepat guna”,

selain bisa memasok udara ke ban dalam, juga bisa memasok udara ke paru-paru

manusia. Kelebihan kompresor ban untuk penyelaman gampang digunakan,

praktis dan murah biaya operasionalnya. Sebenarnya terdapat cara yang lebih

aman, yaitu dengan menggunakan tabung penyelam plus kompressornya. Namun

demikian, harga dan biaya penggunaannya mencapai jutaan rupiah. Hal ini tak

memungkinkan nelayan miskin untuk mengakses alat tersebut. Untuk

perlengkapan selam lainnya seperti kaca mata dan kaki katak (fin) barangkali

masih terjangkau oleh mereka. Tapi untuk membeli tabung udara dan pakaian

selam kedap air, tentu terlalu mahal bagi nelayan Karimunjawa.

Nelayan kompressor sebagian besar tinggal di sebelah barat pulau

Karimunjawa, yang biasa disebut Kampung Lego. Meski demikian terdapat juga

beberapa nelayan tradisional yang hidup berdampingan dengan mereka di wilayah

tersebut. Hubungan antara nelayan kompressor dan nelayan tradisional

sebenarnya menyimpan potensi konflik. Nelayan tradisional menganggap nelayan

kompressor merusak terumbu karang dan mengganggu reproduksi ikan-ikan yang

bertelur di terumbu karang. Selain itu, penyelaman dengan menggunakan mesin

kompressor juga dianggap tidak layak dan berbahaya bagi para pelaku, sehingga

masyarakat tradisional menginginkan agar penggunaan mesin kompressor

dilarang. Hal ini seperti yang diungkap oleh ketua kelompok nelayan Desa

Karimunjawa, MT (51 tahun),

Itu sebenernya bahaya mas pake kompressor itu. Itu kan harusnya buat nyoblos ban, tapi ini kenapa dipake buat manusia. Udah gitu nelayan kompressor itu pasti nginjak-nginjak terumbu karang, ga mungkin ngga mas.. kalo mas ngeliat sendiri nanti, itu semua ikan diambilin ama dia mas. Mau kecil mau gede, ditembak aja semuanya. Harusnya kan ngga boleh itu..

44  

Hingga saat ini, terdapat pro dan kontra dari tokoh-tokoh masyarakat

untuk menutup penggunaan mesin kompressor, namun masih terdapat kendala

karena tidak menemui titik temu dengan nelayan kompressor.

5.4 Karakteristik Nelayan Kompressor

5.4.1 Umur

Pekerjaan sebagai nelayan kompressor membutuhkan stamina dan

ketahanan fisik yang memadai, sehingga usia menjadi faktor yang sangat penting

bagi para penyelam kompressor. Kebanyakan nelayan kompressor memulai

pekerjaannya semenjak usia remaja. Meski demikian, tidak menutup

kemungkinan adanya nelayan berusia tua yang masih berprofesi sebagai nelayan

kompressor. Data penelitian di lapangan menunjukkan bahwa usia nelayan

kompressor beragam antara 19-50 tahun. Klasifikasi responden berdasarkan umur

tersaji dalam Tabel 6.

Tabel 6 Jumlah dan Persentase Responden Menurut Kelompok Umur di Karimunjawa Tahun 2011

Umur Jumlah

(orang) Persentase (%)

Muda (15-29 Tahun) 23 65.7 Sedang (30-39 Tahun) 9 25.7 Tua (45-65 Tahun) 3 8.6 Total 35 100

Berdasarkan tabel tersebut dapat diketahui bahwa sebagian besar

responden berusia muda (15-29 tahun), yakni sebesar 65.7 persen. Adapun

responden yang berusia sedang (30-39 tahun) sebanyak 25.7 persen dan yang

berusia tua (45-65 tahun) sebanyak 8.6 persen. Hal ini terjadi karena nelayan

kompressor membutuhkan ketahanan fisik yang baik dalam melakukan

penyelaman, sehingga jarang sekali nelayan yang berusia lanjut menjadi nelayan

kompressor. Tiga responden yang berusia tua dalam penelitian ini adalah nelayan

yang menggunakan mesin kompressor sejak awal maraknya penggunaan mesin

kompressor, sekitar tahun 1980-an. Setelah merasakan hasil yang lebih signifikan,

sebagian besar nelayan akan tetap mempertahankan penggunaan mesin

45  

kompressor dalam mencari ikan. Hal ini terjadi juga pada responden dengan usia

sedang dan muda, seperti yang terungkap dari hasil wawancara YN (35 tahun),

Jadi nelayan kompressor ya mas, itu harus punya keahlian nyelem dan fisiknya kuat. Emang bahaya kalau ngga hati-hati, tapi hasilnya juga sepadan. Lumayanlah dibandingin sama nelayan mancing, atau njaring. Saya udah belasan taun jadi nelayan kompressor. Payah mas kalau kita cuma ngandelin mancing aja. Ngga sekolah anak saya nanti

Petikan wawancara tersebut menunjukkan bahwa profesi sebagai nelayan

kompressor merupakan pilihan yang diambil karena lebih menjanjikan hasil yang

maksimal dibandingkan pekerjaan yang lain. Hal ini membuat mereka bertahan

sebagai nelayan kompressor untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, meskipun

resiko yang ditanggung juga tinggi. Hal ini sesuai dengan yang dijelaskan oleh

Dharmawan (2001), bahwa pilihan strategi nafkah sangat ditentukan oleh

kesediaan sumberdaya dan kemampuan mengakses sumber-sumber nafkah

tersebut.

5.4.2 Tingkat Pendidikan

Tingkat pendidikan responden yang dimaksud dalam penelitian ini diukur

berdasarkan tingkat pendidikan formal yang pernah diikuti. Kategori tingkat

pendidikan responden di Desa Karangtengah terbagi menjadi tiga kelompok yaitu:

lulusa SD atau tidak tamat SD, SMP, SMA dan perguruan tinggi. Berikut

merupakan data hasil penelitian:

Tabel 7 Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan di Karimunjawa Tahun 2011

Pendidikan Jumlah (orang) Persentase (%)

Rendah (Tidak Sekolah-SD) 33 94 Sedang (SMP-SMA) 2 6 Tinggi (≥ Perguruan Tinggi) 0 0

Total 35 100

Tingkat pendidikan responden pada umumnya masih dalam taraf rendah,

yakni 94 persen lulusan SD atau tidak tamat SD, 6 persen SMP, dan 0 persen

SMA dan perguruan tinggi. Selain karena tidak adanya fasilitas pendidikan yang

memadai di Pulau Karimunjawa, kesadaran nelayan terhadap pendidikan pun

46  

rendah, terutama pada responden yang berusia tua dan sedang. Dua orang

responden yang bersekolah sampai tingkat SMP termasuk dalam usia muda. Hal

ini terjadi karena fasilitas sekolah SMP baru dibangun pada tahun 1985, dan SMK

pada tahun 2004, sehingga dalam kurun waktu sebelum tahun tersebut masyarakat

tidak dapat memiliki akses terhadap pendidikan yang memadai. Hal ini sesuai

dengan hasil wawancara dengan seorang tokoh masyarakat, PD (48 tahun),

Sebenernya banyak penduduk punya keinginan tuk bersekolah, buktinya ada juga orang asli karimun yang jadi pejabat di luar karimun. Cuma memang saat itu belum ada sekolahan. Memang secara umum kesadaran tentang pendidikan itu munculnya ya tahun 2000an, apalagi setelah ada SMK itu. Minimnya tingkat pendidikan responden juga dipengaruhi oleh

keterlibatan mereka dalam usaha mencari nafkah saat berusia 11-13 tahun. Anak

yang sudah lulus SD tidak memiliki dorongan untuk melanjutkan sekolah karena

mereka ingin mendapatkan uang tambahan dengan ikut melaut bersama orang tua

mereka. Setelah cukup dewasa, mereka akan mulai mencari pekerjaan sebagai

nelayan secara mandiri, dengan atau tanpa melibatkan orang tua mereka.

5.4.3 Pengalaman Melaut

Pengalaman Melaut merupakan lama waktu dalam satuan tahun yang

dihabiskan oleh responden dalam aktivitas penangkapan ikan secara reguler.

Kategori pengalaman melaut dibagi ke dalam tiga kelompok, yakni nelayan

dengan pengalaman melaut rendah (6-10 tahun), sedang (11-18) tahun, dan tinggi

(≥ 19 tahun). Mayoritas responden telah memulai aktifitas penangkapan ikan sejak

usia yang sangat muda. Berikut merupakan data hasil penelitian:

Tabel 8 Jumlah dan Persentase Responden Menurut Pengalaman Melaut di

Karimunjawa Tahun 2011

Pengalaman Melaut Jumlah (orang) Persentase (%) Rendah (6-10 Tahun) 7 20 Sedang (11-18 Tahun) 17 49 Tinggi (≥ 19Tahun) 11 31

Total 35 100

Sebanyak 20 persen responden memiliki pengalaman melaut yang rendah,

yakni dalam kisaran 6-10 tahun. Dari 20 persen responden tersebut, semuanya

47  

berada dalam kelompok usia muda. Sementara itu, 49 persen responden berada

pada kelompok pengalaman sedang (11-18 tahun) dan sisanya sebanyak 31 persen

memiliki pengalaman melaut yang tinggi (>18 tahun). Semua responden mengaku

bahwa mereka mulai melaut sejak berusia antara 11-13 tahun, dengan membantu

orang tua mereka memancing, menjaring ikan, dll. Rata-rata pengalaman melaut

responden dalam penelitian ini adalah 16 tahun, yang jika dihitung selisihnya

dengan rata-rata usia responden (29 tahun), akan diperoleh angka usia 13 tahun.

Angka ini menunjukkan usia rata-rata saat responden mulai melaut. Hal ini

menjelaskan kenapa tingkat pendidikan responden dalam penelitian ini tergolong

rendah.

Keterampilan menyelam yang dimiliki oleh Responden diperoleh secara

otodidak, melalui proses belajar dari orang tua dan lingkungan mereka. Sejak

kecil nelayan Karimunjawa terbiasa bermain di pinggir laut, sambil memancing

dengan peralatan sederhana seperti kail dan benang. Setelah menamatkan SD,

pada umumnya responden mulai beraktifitas sebagai nelayan secara reguler, baik

dengan belajar dari orang tua mereka atau bekerja pada nelayan lain.

5.4.4 Kapasitas Mesin Kapal

Kapasitas mesin kapal yang dimiliki responden diukur dalam satuan

“Paardekracht” atau yang biasa dikenal dengan istilah PK (1 HP = 1,014 PK=750

Watt). Data tentang jumlah dan presentese responden menurut kapasitas mesin

kapal adalah sebagai berikut:

Tabel 9 Jumlah dan Persentase Responden Menurut Kapasitas Mesin Kapal di

Karimunjawa Tahun 2011

Kapasitas mesin kapal Jumlah (orang) Persentase (%) Rendah (12-16 PK) 6 17 Sedang (18-20 PK) 6 17 Tinggi (> 20 PK) 23 66

Total 35 100

Terdapat 12 persen responden yang memiliki kapasitas mesin kapal yang

rendah (12-16 PK), juga 12 persen responden yang memiliki kapasitas mesin

kapal yang sedang (18-20 PK). Sementara itu, kapasitas mesin kapal yang besar

dimiliki oleh kapal yang memiliki 2 mesin, dengan kapasitas lebih dari 20 PK.

48  

Responden yang memiliki kapasitas mesin kapal besar sebanyak 66 persen.

Responden yang diteliti terbagi ke dalam enam tim nelayan kompressor, dimana

masing-masing kelompok memiliki satu orang kapten sekaligus pemiliki kapal.

Pemiliki kapal memiliki satu bagian hasil dalam sekali melaut, yang artinya jika

pemilik kapal tersebut ikut melaut maka dia mendapatkan satu bagian sebagai

penyelam dan satu bagian sebagai pemilik kapal. Meskipun kapasitas mesin kapal

menentukan wilayah cakupan yang dapat dijangkau oleh nelayan, namun ada juga

kelompok nelayan yang memiliki kapasitas mesin besar tapi memilih untuk

menyelam tidak jauh dari sekitar pulau utama, karena mereka tidak terlalu

“ngoyo” (ngotot) dalam mencari ikan.

5.4.5 Nilai Hasil Tangkapan

Nilai hasil tangkapan merupakan nominal angka penghasilan yang didapat

oleh nelayan dari setiap satu kali perjalanan melaut, yakni dimulai pada sore hari

sampai dengan subuh. Sistem bagi hasil yang dilakukan oleh nelayan di

Karimunjawa didasarkan pada kesepakatan atau perjanjian yang dibuat dan telah

disepakati bersama antara pemilik dan jurumudi beserta pandeganya yaitu hasil

kotor dikurangi seluruh biaya operasional melaut (perbekalan) maka didapatkan

hasil bersih atau raman bersih. Dari hasil bersih itu kemudian dibagi sesuai

dengan kesepakatan (Irnawati 2007).

Nelayan Kompressor bekerja secara berkelompok, dimana pendapatan

setiap anggota kelompok dibagi rata. Nominal ini dibagi ke dalam tiga kategori,

yakni periode dalam satu bulan ketika nilai hasil tangkapan rendah, sedang dan

tinggi. Dari masing-masing kategori tersebut, terdapat pendapatan rata-rata

minimum (dilambangkan dengan “-“) dan pendapatan rata-rata maksimum

(dilambangkan dengan “+”) dari masing-masing anggota kelompok nelayan

kompressor. Berikut merupakan nilai tangkapan individu yang diperoleh dari hasil

pembagian per kelompok responden:

Kategori hasil tangkapan rendah biasanya terjadi selama 6 hari dalam satu bulan,

dimana rata-rata penghasilan terendah mencapai Rp 45.000,- dan rata-rata

penghasilan tertinggi mencapai Rp 75.000,-. Periode tangkapan rendah terjadi

dalam kurun waktu yang tidak menentu, yang bisa disebabkan oleh iklim, cuaca,

dan mobilitas ikan yang tidak menentu. Kategori hasil tangkapan sedang terjadi

49  

selama 9 hari dalam satu bulan, dengan rata-rata penghasilan terendah sebesar Rp

84.000,- dan rata-rata penghasilan tertinggi sebesar Rp 119.000,-. Periode

tangkapan dengan hasil sedang biasanya terjadi pada iklim dan cuaca normal.

Untuk kategori hasil tangkapan tinggi terjadi rata-rata selama 4 hari, dengan rata-

rata penghasilan terendah sebesar Rp 129.000,- dan tertinggi sebesar Rp 172.000.

Secara keseluruhan, kelompok nelayan dengan penghasilan paling rendah

adalah kelompok dengan kapten kapal RDN. Rendahnya hasil tangkapan

kelompok ini disebabkan karena area penangkapannya terbatas, yakni hanya

sekitar pulau Menjangan, Karimunjawa, Kemujan, dan sekitarnya. Hal ini

dipengaruhi oleh kapasitas mesin kapal yang hanya sebesar 12 PK dan kondisi

fisik kapal yang tidak terlalu baik. Sementara itu, kelompok dengan penghasilan

paling besar adalah kelompok dengan kapten kapal HKM. Kelompok ini

memiliki daerah tangkapan yang paling luas di antara yang lain, didukung oleh

kapasitas mesin kapal yang paling besar, yakni dengan dua mesin berkekuatan 16

dan 20 PK. Selain karena besarnya kekuatan mesin kapal, kelompok ini juga

dikenal memiliki usaha yang gigih dalam mencari ikan.

Tabel 10 Nilai Hasil Tangkapan Berdasarkan Kelompok Kapal Nelayan

Kompressor di Karimunjawa tahun 2011

Nama Kelompok

Hasil Tangkapan/Bulan

Rendah Sedang Tinggi Total Rp (ribu)/bln

Rp (ribu)/hari

Jml hari/ bulan

Rp (ribu)/hari

Jumlah hari/ bulan

Rp (ribu)/hari

Jml hari/ bulan

- + - + - + - +

HKM 50 80 5 100 130 11 150 200 3 1800 2430RDN 30 60 6 60 100 10 100 130 6 1380 2140SRN 50 80 5 80 120 9 140 180 5 1670 2380AJB 50 80 6 90 120 9 130 180 4 1630 2280YD 50 80 5 90 120 10 130 180 4 1670 2320HD 40 70 6 80 120 9 120 160 4 1440 2140nilai rataan 45 75 5 84 119 10 129 172 4 1601 2283

- : nilai tangkapan minimum + : nilai tangkapan minimum 5.4.6 Ikan Hasil Tangkapan

Nelayan kompressor pada dasarnya menangkap semua jenis ikan. Ikan yang

mereka peroleh sangat bervariasi. Berdasarkan Laporan Penataan Zonasi (2004)

50  

yang dikeluarkan oleh Balai Taman Nasional Karimunjawa, pada perairan

dangkal Karimunjawa ditemukan 43 famili ikan karang, terutama ikan-ikan yang

berasosiasi erat dengan terumbu karang. Dalam satu kali penyelaman selama 60

menit, dapat ditemukan 69 sampai 141 spesies ikan karang. Dari 138 spesies

Pomacentridae yang ditemukan di Indonesia, di Karimunjawa terdapat 71 spesies.

Famili ini merupakan komponen terbanyak ikan karang. Selain itu, komponen

ikan karang terbesar lainya adalah Labridae 52 spesies, Chaetodontidae 25

spesies, Scaridae 27 spesies, Serranidae 24 spesies. Secara total jumlah spesies

ikan karang yang ditemukan selama survei di seluruh perairan Karimunjawa

adalah 353 species, yaitu di sebelah timur P. Sintok. Berdasarkan hasil observasi

dan wawancara, berikut merupakan daftar 10 ikan yang paling sering ditangkap

oleh nelayan kompressor:

Tabel 11 Jenis Ikan Hasil Tangkapan Nelayan Kompressor di Karimunjawa

Tahun 2011 No Nama lokal ikan Nama Latin Harga/Kg 1 Sunuk Plectropomus Rp 40.000- Rp 110.000 2 Ijo Scarus Rp 6.000 3 Ekor kuning Caesio cuning Rp 10.000- Rp 13.000 4 Kerapu Epinephelus Rp 27.000- Rp. 90.000 5 Kleke Cephalopholis Rp. 10.000-Rp. 20.000 6 Lengak Anyperodon

leucogrammicus Rp. 7.000

7 Kambing-kambing Pomacanthus sexstriatus Rp. 5.500 8 Mogo Chlorurus microrhinos Rp. 6.000 9 Pisang ijo Caesio caerulaurea Rp. 6.000 10 Blukutak Plectropomus Rp. 15.000- Rp. 19.000

Ikan Sunuk dan ikan Kerapu adalah dua jenis ikan yang memiliki harga

yang paling mahal diantara jenis ikan tangkapan lainnya. Hal ini menyebabkan

nelayan kompressor mengutamakan kedua ikan tersebut untuk ditangkap dalam

setiap kali perjalanan melaut. Dalam kondisi ikan yang telah mati, ikan Sunuk

dihargai sebesar Rp 40.000/kg, sementara ikan Kerapu Rp 27.000/kg. dalam

kondisi ikan yang masih hidup, ikan Sunuk dihargai Rp 110.000/kg, sementara

ikan Kerapu Rp 90.000/kg. Karena gencarnya perburuan ikan Sunuk dan Kerapu

oleh nelayan kompressor, akhirnya nelayan tradisional merasa dirugikan karena

mereka kesulitan mendapat kedua jenis ikan tersebut. Pada April 2011, akhirnya

dibentuk kesepakatan diantara para nelayan bahwa nelayan kompressor tidak

51  

boleh menangkap ikan Sunuk dan ikan Kerapu pada bulan Februari-April (saat

musim bertelur ikan).

Sementara itu, ikan jenis lainnya memiliki harga yang bervariasi tergantung

pada ukuran. Ikan Ijo dan Ekor Kuning adalah jenis ikan yang paling sering

ditemui di antara batu-batu karang, sehingga mudah bagi nelayan untuk

mendapatkan kedua jenis ikan tersebut. Saat musim angin Timur dan Barat,

nelayan kompressor lebih memilih mencari Gamet karena banyak terdapat di

perairan dangkal yang mudah dijangkau serta relatif mudah menangkapnya.

Saat cuaca buruk, terdapat 24 responden yang mengambil teripang di zona

budidaya rumput laut karena relatif lebih dekat dan aman, serta dapat menutup

kerugian akibat tidak dapat mengambil ikan di lokasi yang jauh. Sementara 11

responden lebih memilih menganggur atau mencari alternatif pekerjaan lain selain

melaut, seperti buruh dan tour guide.

5.4.7 Musim Tangkap

Wilayah Kepulauan Karimunjawa mempunyai iklim tropis yang

dipengaruhi oleh angin laut dengan suhu rata-rata 26-30oC. Dalam satu tahun

terdapat dua pergantian musim, yaitu musim kemarau dan musim penghujan

dengan musim pancaroba diantaranya. Musim kemarau (musim timur) terjadi

pada bulan Juni-Agustus. Pada musim ini cuaca sepanjang hari cerah dengan

curah hujan rata-rata <200 mm/bulan, rata-rata penyinaran matahari antara 70-

80% setiap hari. Bulan kering terjadi pada Maret-Agustus dengan curah hujan

sekitar 60 mm/bulan. Arah angin datang dari timur sampai tenggara dengan

kecepatan 7-10 knot, kadang-kadang mencapai 16 knot lebih. Musim pancaroba

pertama terjadi pada September-Oktober, pada periode ini angin didominasi dari

barat dan barat laut, juga dari timur dan utara dengan kecepatan yang sangat

bervariasi (BTNKJ dalam Irnawati 2008).

Musim penghujan (musim barat) berlangsung antara November-Maret

dengan curah hujan >200 mm/bulan dan angin dengan gelombang laut yang besar.

Rata-rata penyinaran matahari 30-60% setiap harinya. Bulan Januari merupakan

bulan terbasah dengan curah hujan 400 mm/bulan. Pada saat ini gelombang laut

relatif besar, berkisar antara 0,40-1,25 m bahkan pada cuaca buruk di laut terbuka

untuk terjadi gelombang tinggi hingga mencapai 1,7 m. Angin bertiup cukup

52  

kencang dengan arah bervariasi dari barat dan barat laut dengan kecepatan rata-

rata 7-16 knot, dan dapat pula mencapai 21 knot. Setelah musim penghujan

kemudian dilanjutkan dengan musim pancaroba kedua yang biasa terjadi antara

April-Mei, arah angin lebih bervariasi dari barat dan timur silih berganti dengan

kecepatan rata-rata 4-10 knot (BTNKJ dalam Irnawati 2008).

Nelayan kompressor mencari ikan dengan jarak sekitar 50-2000 meter dari

garis pantai pulau terdekat, pada kedalaman 5-30 meter pada musim biasa, dan 5-

15 meter pada musim terang bulan. Nelayan kompressor tidak memiliki musim

paceklik, karena hampir sepanjang tahun mereka dapat beroperasi kecuali pada

saat angin besar dan terang bulan. Dalam satu bulan, rata-rata aktivitas melaut

mereka sebanyak 19 kali, kecuali bulan Januari yang tidak dapat diprediksi.

Nelayan kompressor bekerja dalam tim yang terdiri dari lima sampai delapan

orang dalam satu kapal, dan bekerja pada malam hari, sekitar pukul 20.00 – 03.00

WIB.

5.5 Ikhtisar

Zonasi Taman Nasional Karimunjawa ditetapkan melalui Surat Keputusan

Direktur Jenderal PHKA Nomor: 79/IV/Set-3/2005 tanggal 30 Juni 2005.

Penetapan ini dilakukan karena zonasi sebelumnya dirasakan tidak lagi relevan

dengan kondisi yang ada, dan sebagai respon atas masalah-masalah yang dihadapi

dalam pengelolaannya. Masalah tersebut adalah:

1. Zonasi tersebut belum mengakomodir berbagai kepentingan pengelolaan

terutama dari aspek ekologi, sosial ekonomi serta budaya termasuk

kearifan lokal

2. Banyak terjadi tumpang tindih kebijakan berbagai pihak, baik di tingkat

propinsi maupun kabupaten.

Setelah ditetapkannya Zonasi Taman Nasional pada 2005, BTNKJ

melakukan berbagai upaya untuk mensosialisasikan zonasi pada nelayan. Namun

pengetahuan masyarakat tentang zonasi kawasan hanya mencakup eksistensi

zonasi TN, belum mengetahui isi dan bentuk zonasi. Ketidaktahuan masyarakat

tentang isi dan maksud dari Zonasi Taman Nasional menyebabkan maraknya

penangkapan ikan di zona inti dan zona perlindungan. Penerimaan dan peran serta

masyarakat terhadap pola pengelolaan sangat menentukan efektivitas dari

53  

pengelolaan tersebut. Tidak efektifnya pengelolaan kawasan perlindungan alam di

Karimunjawa terutama disebabkan oleh kurangnya apresiasi dan keikutsertaan

masyarakat dalam kegiatan pengelolaan

Nelayan kompressor merupakan kelompok nelayan yang memiliki resiko

tinggi dalam mencari nafkah, namun memiliki penghasilan yang rata-rata lebih

tinggi dari nelayan tradisional. Mayoritas nelayan kompressor berusia muda,

yakni sebanyak 65,7 persen. Tingkat pendidikan nelayan berada pada kelompok

rendah, yakni sebanyak 94 persen tidak bersekolah atau hanya lulus sd, sedangkan

6 % mengenyam pendidikan SMP-SMA. Minimnya tingkat pendidikan ini terjadi

karena hampir semua responden mulai mencari nafkah di laut sejak berusia 11-13

tahun. Pengalaman melaut responden bervariasi dari 8-35 tahun, dengan rata-rata

pengalaman melaut selama 16 tahun. Kapasitas mesin kapal responden sebagian

besar tinggi (66%), yakni lebih dari 20 PK. Kapasitas mesin kapal yang tinggi

dibutuhkan untuk dapat menjelajahi pulau-pulau yang memiliki stock ikan yang

melimpah. Nilai hasil tangkapan responden merupakan bagi rata hasil tangkapan

yang didapat setiap kali melaut. Nilai tersebut sangat bervariasi bergantung hasil

“peruntungan” nelayan. Penghasilan terendah yang didapat nelayan adalah sebesar

Rp. 30.000 sekali melaut, sedangkan yang tertinggi mencapai Rp. 200.000.

Penghasilan rata-rata nelayan kompressor sebesar Rp 1.956.000 per bulan. Nilai

tangkapan ini sangat dipengaruhi oleh kemampuan mesin kapal dan kegigihan

nelayan dalam mencari lokasi-lokasi yang memiliki stock ikan melimpah. Ikan

hasil tangkapan nelayan sangat bervariasi, karena alat tangkap speargun-

kompressor dapat mengambil semua jenis ikan. Ikan yang paling banyak dicari

oleh nelayan kompressor adalah ikan Sunuk dan Kerapu karena memiliki harga

yang mahal. Nelayan kompressor bekerja tidak bergantung pada musim, karena

mereka mencari ikan di sekitar terumbu karang yang menyediakan stock ikan

sepanjang tahun. Meski demikian, nelayan kompressor pada umumnya tidak

melaut pada saat terang bulan dan pada saat angin barat, terutama bulan Januari-

Februari.

54  

BAB VI

DAMPAK ZONASI TAMAN NASIONAL TERHADAP

STRATEGI NAFKAH NELAYAN KOMPRESSOR

6.1 Daerah Tangkap

Daerah tangkap yang dicakup oleh nelayan kompressor meliputi seluruh

kawasan Taman Nasional Karimunjawa. Ikan tangkapan yang diambil oleh

nelayan berada di wilayah yang tidak terlalu jauh dari pulau, yang artinya

kawasan terumbu karang yang memiliki kedalaman sekitar 5-30 meter pada

musim biasa, dan 5-15 meter pada musim terang bulan. Pada umumnya nelayan

kompressor tidak memiliki aturan khusus tentang pulau mana yang akan didatangi

setiap kali mereka pergi melaut. Hampir semua pulau di kawasan Taman Nasional

Karimunjawa pernah menjadi tempat mereka mencari ikan, termasuk zona inti dan

perlindungan. Berikut merupakan Tabel yang menunjukkan daerah tangkap

nelayan kompressor.

Tabel 12 Daerah Tangkap Responden Sebelum dan Sesudah Zonasi Kawasan di Karimunjawa Tahun 2005 

Kelompok

Nelayan

Kompressor

Daerah Tangkap

< 2005 > 2005

< 7,5 km > 7,5 km < 7,5 km > 7,5 km

ZI ZL ZP ZI ZL ZP ZI ZL ZP ZI ZL ZP

HKM

RDN

SRN

AJB

YD

HD

= intensitas penangkapan rendah (sesekali) ZI = Zona Inti

= intensitas penangkapan sedang ZL=Zona Perlindungan

= intensitas penangkapan tinggi ZP= Zona Pemanfaatan

55  

Sebelum adanya Zonasi Taman Nasional (<2005), semua kelompok

nelayan kompressor mencari ikan di semua kawasan Taman Nasional baik itu

zona inti, zona perlindungan, maupun zona pemanfaatan. Kelompok dengan

inisial kapten kapal HKM, mencari ikan di semua kawasan TN, terutama di

daerah yang jauh dari pelabuhan utama dengan jarak lebih dari 7,5 km. Pulau

yang sering didatangi oleh kelompok ini antara lain Genting, Pulau Seruni, Pulau

Burung, Parang, dan Nyamuk. Daerah tangkap ini masih menjadi daerah yang

paling sering dikunjungi baik sebelum maupun setelah zonasi TN (>2005).

Kelompok dengan inisial kapten kapal RDN, mencari ikan hanya di sekitar

kawasan pulau Karimunjawa, dengan jarak tidak lebih dari 7,5 km. Hal ini karena

keterbatasan mesin kapal dan kondisi kapal yang tidak memungkinkan untuk

dibawa jauh. Di kawasan dengan radius 7,5 km, kelompok ini mencari ikan

dengan intensitas yang sedang dan merata di semua kawasan, termasuk zona inti,

zona perlindungan dan zona pemanfaatan. Pulau yang sering dikunjungi oleh

kelompok ini antara lain Pulau Cemara Kecil, Cemara Besar, Kumbang, Gosong

Tengah, Gosong Selikur dan beberapa pulau lainnya. Pola ini diterapkan baik

sebelum adanya zonasi kawasan maupun setelah adanya zonasi kawasan tahun

2005.

Kelompok dengan inisial kapten kapal SRN, mengambil ikan di semua

kawasan dengan intensitas sedang dan merata sebelum tahun 2005. Setelah tahun

2005, kelompok ini mengurangi pencarian ikan di kawasan zona inti, karena takut

diketahui oleh pihak yang berwajib. Namun demikian, aktifitas pencarian ikan di

kawasan zona inti masih dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Hal ini tercermin

dari hasil wawancara dengan salah satu anggota kelompok, IML (23 tahun),

Ya di mana aja nyari ikan itu. Nda mesti harus dianu-dianu.. kalau zona larangan paling kita sembunyi-sembunyi mas.. itu pun ngga sering. Takut ketauan. Lagi pula kita kan nyari ikan, ngga merusak lingkungan.

Wilayah yang sering dikunjungi oleh kelompok ini adalah Tanjung Gelam,

Tanjung Bomang, Gosong Selikur, Sintok, Gosong Tengah, dan beberapa pulau

lainnya.

Kelompok dengan nama kapten kapal AJB, mencari ikan di semua

kawasan terutama yang berada di bawah radius 7,5 km dari pelabuhan. Kelompok

56  

ini memilih daerah-daerah yang tidak terlalu jauh karena mereka tidak terlalu

“ngoyo” (ngotot) saat mencari ikan. Meski demikian, kelompok ini sesekali juga

melakukan perjalanan ke pulau-pulau yang cukup jauh dari pulau utama, terutama

zona inti dan zona perlindungan yang berjarak > 7,5 km karena memiliki banyak

ikan. Pulau yang sering dikunjungi oleh kelompok ini antara lain Pulau Kumbang,

Gosong Selikur, Sintok, Cemara Kecil, dan sekitarnya.

Kelompok dengan nama kapten kapal YD, sebelum tahun 2005 mencari

ikan di semua kawasan secara merata dengan intensitas sedang. Hal ini didukung

oleh kondisi kapal yang memadai dan memiliki 2 mesin, yakni sebesar 12 dan 16

PK. Setelah tahun 2005, kelompok ini mengurangi intensitas penangkapan di

wilayah zona inti, baik di lokasi yang jauh dari dermaga maupun yang dekat. Hal

ini terjadi karena mereka menyadari adanya sanksi hukum bagi nelayan yang

mencari ikan di zona ini. Meski demikian, intensitas pencarian di zona

perlindungan masih tetap sama seperti sebelum adanya zonasi kawasan.

Kelompok dengan kapten kapal HD, memiliki daerah tangkapan yang

sama baik sebelum dan sesudah tahun 2005. Biasanya mereka beroperasi di

wilayah Pulau Geleang dan Burung, Gosong Selikur, Gosong Tengah, Taka

Nyawaan, Kumbang, dan beberapa pulau lain di zona pemanfaatan. Mereka tidak

mengetahui tentang Zonasi Taman Nasional, sehingga tidak memperhitungkan

ketentuan zonasi dalam mencari ikan.

Meski pada umumnya terdapat satu atau dua orang anggota kelompok

yang mengetahui wilayah yang terlarang untuk dimasuki, masing-masing

kelompok nelayan kompressor tetap mencari ikan di wilayah zona-inti dan

perlindungan. Hal ini terjadi karena nelayan kompressor memiliki semacam etika

bahwa mengambil ikan di zona inti dan zona perlindungan tidak menjadi masalah

asalkan mereka tidak merusak terumbu karang. Hal ini sesuai dengan yang

dikatakan oleh seorang nelayan, SR (27 tahun),

Kita nyari ikan ngga tentu mas, dimana aja yang lagi rame. Kalaupun itu zona inti ya asalkan ga ngerusak terumbu karang aja.. Bebasnya aktifitas mencari ikan di wilayah zona inti dan zona

perlindungan juga diperkuat dengan data yang diperoleh oleh Wildlife

Conservation Society (WCS) yang bekerja sama dengan BTNKJ, melalui survey

57  

yang dilakukan terhadap semua nelayan yang beraktifitas di wilayah perairan

Taman Nasional Karimunjawa. Hal ini ditunjukkan oleh peta aktivitas perikanan

panah di lampiran 4. Dari gambar tersebut, dapat dilihat bahwa seluruh pulau yang

ada di Taman Nasional Karimunjawa mayoritas dimanfaatkan dalam intensitas

yang sedang dan merata oleh nelayan kompressor.

6.2 Alat Tangkap

Nelayan-nelayan di Karimunjawa biasanya memiliki berbagai jenis alat

tangkap, hal ini dilakukan agar para nelayan dapat tetap melakukan kegiatan

penangkapan ikan sepanjang tahun, sehingga meskipun terjadi pergantian musim

yang berarti pergantian musim ikan pula, nelayan dapat tetap melakukan

penangkapan ikan, dalam hal ini misalnya nelayan pancing tonda yang juga

memiliki alat tangkap pancing lain, seperti pancing cumi-cumi dan pancing ulur

(Irnawati, 2008). Namun demikian, nelayan kompressor cenderung menggunakan

alat tangkap yang sama, karena speargun dan kompressor bisa digunakan

sepanjang tahun. Hal ini diperkuat dengan hasil wawancara berikut, NR (25

tahun),

Klo yang namanya kompressor mas, kita ga ngenal musim. Karena ikan karang itu kan terus ada, ga abis-abis dia..yaa kecuali, kalau lagi terang bulan atau lagi angin timur. Baru kita pere. Pada saat periode terang bulan, sebagian nelayan kompressor tidak

menggunakan speargun, melainkan hanya sarung tangan untuk menangkap gamet

(Holoturia sp). Hal ini sebagai bentuk strategi adaptasi mereka terhadap kondisi

fisik dan lingkungan yang dihadapi. Komoditas hasil tangkapan nelayan

kompressor sangat bervariasi, tidak terpaku pada satu jenis ikan tertentu.

Secara keseluruhan, terdapat 17 kapal kompressor yang beroperasi di

TNKJ. Karakteristik khas yang membedakan nelayan kompressor dengan nelayan

lainnya adalah penggunaan alat tembak (speargun) dan alat bantu berupa ratusan

meter selang untuk memompa udara dari atas kapal ke dalam air. Perlu dicatat

bahwa seluruh responden telah memakai alat kompressor sebelum tahun 2005,

yakni dalam kurun waktu 1980-2003. Setelah menggunakan kompressor, seluruh

resonden meninggalkan alat tangkap yang lain. Berikut merupakan Tabel

perubahan alat tangkap sebelum zonasi dan setelah zonasi (lihat juga lampiran 4):

58  

Tabel 13 Perubahan Alat Tangkap Sebelum dan Sesudah Zonasi Kawasan di Karimunjawa Tahun 2005 

No Sebelum tahun 2005 Setelah tahun 2005 Jumlah responden 1 Muroami

Jaring Pancing

Potassium Kompressor

Kompressor Up grade mesin

2 orang

2 Pancing Potassium Kompressor

Kompressor Up grade mesin

4 orang

3 Muroami Jaring Pancing

Potassium Kompressor

Kompressor Up grade mesin

1 orang

4 Potassium Kompressor

Kompressor 6 orang

5 Muroami Potassium Kompressor

Kompressor 1 orang

6 Muroami Jaring Pancing

Potassium Kompressor

Kompressor 2 orang

7 Muroami Jaring Pancing

Potassium Kompressor

Pancing Kompressor

4 orang

8 Pancing Potassium Kompressor

Pancing Kompressor

7 orang

9 Bubu Potassium Kompressor

Kompressor 1 orang

10 Jaring Pancing Potassium

Kompressor Kompressor 1 orang

11 Pancing Potassium Kompressor

Pancing Kompressor

2 orang

12 Bubu Potassium Kompressor

Bubu Kompressor

1 orang

13 Pancing Potassium Kompressor

Bubu Kompressor

1 orang

14 Jaring Potassium Kompressor

Kompressor 1 orang

15 Muroami Pancing Potassium

Kompressor Kompressor 1 orang

Total 35 orang

59  

Nelayan Karimunjawa pada umumnya pernah menggunakan alat pancing

untuk mencari ikan. Seiring dengan berjalannya waktu, alternatif alat tangkap

yang dapat digunakan pun bertambah. Setelah responden beralih ke alat tangkap

speargun-kompressor, mereka meninggalkan alat tangkap pancing karena merasa

kebutuhannya sudah cukup terpenuhi, kecuali delapan orang responden yang

menggunakan alat pancingan hanya untuk memenuhi kebutuhan subsisten rumah

tangga saat tidak melaut menggunakan kompressor. Dengan demikian, perubahan

ini tidak disebabkan oleh adanya Zonasi Taman Nasional.

Alat tangkap jaring dipakai untuk menangkap udang, ikan, atau teri.

Sebanyak sebelas orang nelayan menggunakan jaring sebelum Zonasi Taman

Nasional, namun tidak ada yang menggunakan setelah adanya zonasi. Hal ini

disebabkan karena setelah mereka menggunakan alat kompressor, hasil yang

didapat melalui kompressor cenderung lebih banyak. Selain itu, penggunaan

mesin kompressor pun tidak bergantung pada musim. Karena itu, nelayan lebih

senang menggunakan alat kompressor dalam mencari nafkah dan meninggalkan

alat-alat yang lain. Perubahan alat tangkap jaring ini tidak dipengaruhi oleh

Zonasi Taman Nasional, melainkan dipengaruhi oleh faktor ekonomi.

Kompressor digunakan oleh semua responden sebelum adanya Zonasi

Taman Nasional. Hanya terdapat satu orang responden yang tidak lagi memakai

alat kompressor sejak tahun 2009 karena tidak diperbolehkan oleh keluarganya,

dengan alasan membahayakan keselamatan. Semua responden mengaku bahwa

hasil yang didapatkan dengan menggunakan alat kompressor lebih memuaskan

dibanding dengan memakai alat lainnya. Karena alasan inilah, hampir semua

responden tetap menggunakan alat kompressor untuk mencari ikan. Awal

penggunaan kompressor pada masing-masing responden bervariasi, namun secara

umum telah ada sejak tahun 1980-an, dan mulai marak di tahun 1990-an.

Beberapa nelayan sejak awal berprofesi sebagai nelayan sudah menggunakan alat

tangkap speargun-kompressor, terutama kelompok responden yang berusia

antara18-24 tahun.

Potassium digunakan secara meluas oleh nelayan pada kurun waktu 1990-

an, dan mulai hilang setelah pihak BTNKJ gencar melakukan penyuluhan dan

penegakan hukum terkait dengan penggunaan potassium kurun waktu 2000-an.

60  

Semua responden menggunakan potassium sebagai alat bantu dalam menangkap

ikan sebelum zonasi ditetapkan. Setelah dilakukan penyuluhan oleh BTNKJ,

semua responden menyadari bahaya yang ditimbulkan oleh potassium dan mulai

berhenti menggunakannya. Setelah Zonasi Taman Nasional tahun 2005, secara

perlahan penggunaan potassium mulai ditinggalkan oleh nelayan Karimunjawa.

Jaring muroami digunakan oleh 9 orang responden sebelum Zonasi Taman

Nasional. Satu jaring muroami dioperasikan dengan tiga buah kapal dengan

jumlah ABK lebih dari 22 orang. Jumlah tersebut menyebabkan pembagian hasil

tangkapan menjadi sedikit meskipun hasil yang didapat terhitung banyak. Selain

itu, responden mengaku lebih nyaman bekerja dengan alat tangkap speargun-

kompressor dengan jumlah ABK yang relatif sedikit, yakni lima sampai delapan

orang. Oleh karena itu responden memilih beralih alat tangkap dari muroami ke

kompressor. Karena perubahan alat tangkap ini terjadi dalam kurun waktu tahun

1998-2003, maka perubahan ini pun tidak dipengaruhi oleh adanya Zonasi Taman

Nasional pada tahun 2005.

Mesin yang digunakan oleh responden pada umumnya dirawat/diperbaiki

hanya saat rusak atau mengalami gangguan. Tidak ada responden yang secara

khusus menjadwalkan waktu tertentu untuk melakukan perbaikan/pemeriksaan

rutin. Hanya 7 orang responden (semuanya berasal dari tim yang sama) yang

melakukan upgrade mesin pada bagian mesin kompressor dan menambah

kapasitas mesin motor. Upgrade mesin tersebut baru dilakukan pada tahun 2008

karena alasan modal. Dengan demikian perbaikan alat tangkap ini bukan

disebabkan oleh Zonasi Taman Nasional.

Bubu merupakan alat tangkap tradisional yang terdiri dari dua jenis, yakni

bubu yang ditempatkan di daerah dekat pantai, dan bubu yang ditempatkan di laut

lepas. Sebelum tahun 2005, terdapat dua orang responden yang memakai bubu

untuk mencari ikan. Setelah Zonasi Taman Nasional, satu responden memutuskan

tidak lagi memakai bubu karena lebih nyaman bekerja sebagai nelayan

kompressor (STM), sementara satu orang lainnya (AJB) mengajak kerabatnya

(ALF) untuk menggunakan bubu agar mendapat penghasilan tambahan. Kedua

responden tersebut bekerja sama karena masih memiliki hubungan darah.

Penggunaan bubu dilakukan saat kedua responden sedang “malas” melaut

menggunakan kompressor. Biasanya, bubu digunakan setidaknya satu kali setiap

61  

minggu. Motif perubahan alat tangkap ini tidak disebabkan oleh adanya Zonasi

Taman Nasional, melainkan oleh motif ekonomi.

Selain penggunaan potassium, secara keseluruhan perubahan alat yang

dipakai nelayan terjadi karena motif ekonomi, yakni dengan memperhitungkan

hasil tangkapan yang diperoleh dari masing-masing alat tangkap. Adapun Zonasi

Taman Nasional tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap perubahan alat

tangkap nelayan. Selain itu, adanya sanksi hukum dan penyuluhan tentang bahaya

potassium juga berhasil menghilangkan penggunaan potassium di kawasan TNKJ.

6.3 Diversifikasi Nafkah

Diversifikasi nafkah yang dimaksud dalam penilitian ini yaitu penerapan

pola nafkah yang beragam dengan cara mencari pekerjaan lain selain pertanian

untuk menambah pendapatan (Soones 1998). Dalam konteks masyarakat nelayan,

strategi nafkah utama yang dilakukan adalah mencari ikan.

Diversifikasi nafkah sudah ada sejak sebelum ditetapkannya zonasi taman

nasional tahun 2005. Namun setelah meningkatnya sektor pariwisata setelah

adanya Zonasi Taman Nasional, jenis-jenis strategi tersebut menjadi lebih

bervariasi dengan adanya sumber nafkah baru seperti tour guide, penyewaan alat-

alat selam, penyewaan kapal, penyewaan motor, penginapan, berdagang, dll.

Diversifikasi nafkah melalui sektor pariwisata merupakan respon positif dari

keberadaan Taman Nasional yang menawarkan peluang baru bagi nelayan

kompressor untuk mendapatkan pemasukan tambahan. Namun tidak semua

nelayan dapat terlibat dalam bisnis ekowisata tersebut karena keterbatasan akses

dan kemampuan.

Meningkatnya sektor pariwisata di kepulauan Karimunjawa dapat

meningkatkan taraf kehidupan masyarakat karena masyarakat memiliki lebih

banyak pilihan dalam mencari nafkah. Dengan meningkatnya pilihan dalam

mencari nafkah, maka nelayan kompressor tidak hanya bergantung pada hasil laut.

Berikut merupakan Tabel nafkah ganda sebelum dan sesudah adanya Zonasi

Taman Nasional (lihat juga lampiran 5):

62  

Tabel 14 Perubahan Diversifikasi Nafkah Sebelum dan Sesudah Zonasi Kawasan di Karimunjawa Tahun 2005 

No Sebelum tahun 2005 Setelah tahun 2005 Jumlah

1 Nelayan kompressor Nelayan kompressor 7 orang 2 Nelayan kompressor Nelayan kompressor

Buruh 2 orang

3 Nelayan kompressor Nelayan kompressor Tour guide

10 orang

4 Nelayan kompressor Nelayan kompressor Rumput laut

2 orang

5 Nelayan kompressor Nelayan kompressor Tour guide Buruh

2 orang

6 Nelayan kompressor Nelayan kompressor Tour guide Rumput laut

1 orang

7 Nelayan kompressor Nelayan kompressor Tour guide Menyewakan kapal

2 orang

8 Nelayan kompressor Buruh

Nelayan kompressor Buruh

3 orang

9 Nelayan kompressor Buruh

Nelayan kompressor Rumput laut

1 orang

10 Nelayan kompressor Buruh

Nelayan kompressor Tour guide

1 orang

11 Nelayan kompressor ABK kapal transportasi

Nelayan kompressor 1 orang

12 Nelayan kompressor Buruh ABK kapal transportasi

Nelayan kompressor 1 orang

13 Nelayan kompressor Buruh ABK kapal transportasi

Nelayan kompressor Tour guide

1 orang

14 Nelayan kompressor Buruh Dagang

Nelayan kompressor Rumput laut

1 orang

Total 35 orang

Terdapat 26 orang responden yang tidak melakukan diversifikasi nafkah

sebelum adanya Zonasi Taman Nasional. Setelah adanya zonasi, 7 dari 26

responden tersebut tetap tidak melakukan diversifikasi nafkah, sementara 19

orang lainnya menerapkan pola nafkah ganda selain menjadi nelayan.

Sebelum adanya Zonasi Taman Nasional, tidak ada responden yang

berprofesi sebagai tour guide saat mereka tidak melaut. Sekitar tahun 2004-2005,

sektor pariwisata di TNKJ mulai berkembang dan menjadi ladang usaha tambahan

63  

yang menggiurkan bagi mereka. Perkembangan sektor pariwisata ini terjadi

karena potensi keindahan alam yang terpelihara di TNKJ, serta maraknya promosi

yang dilakukan oleh berbagai pihak melalui internet. Setelah tahun 2005, 17

responden memilih menjadi tour guide sebagai mata pencaharian tambahan selain

melaut. Lima diantaranya dilakukan hanya saat musim paceklik, sementara 12

lainnya dilakukan saat ada peluang, baik pada musim paceklik maupun musim

normal. Hal ini sesuai dengan yang diungkap oleh TL (25 tahun),

Kalau ada tamu ya kita layani (tanpa mengenal musim).. lumayan kan mas jadi tour guide itu, sehari dapet Rp 75.000 satu orang. Tapi paling kalau ada kawan yang nawari itu juga.

Pekerjaan menjadi tour guide kebanyakan dilakukan oleh responden yang berada

dalam kelompok usia 30 tahun ke bawah, dan oleh mereka yang memiliki akses

terhadap rumah tinggal, hotel dan agen pariwisata.

Sebelum Zonasi Taman Nasional, tidak ada nelayan yang menyewakan

kapalnya untuk dipakai sebagai kapal wisata. Setelah adanya zonasi, dua orang

responden menyewakan kapal mereka kepada para wisatawan atau agen wisata

yang hendak berkeliling kepulauan Karimunjawa. Satu diantaranya memilih untuk

menjadi tour guide disamping menyewakan kapal, sementara satu lainnya hanya

menjadi tour guide saat-saat tertentu saja. Kedua responden tersebut memilih

untuk memanfaatkan potensi pariwisata dengan menerapkan nafkah ganda berupa

menjadi tour guide dan menyewakan kapal.

Pertanian rumput laut mulai berkembang setelah adanya bantuan dari

pemerintah kabupaten Jepara yang bekerja sama dengan BTNKJ untuk

menyediakan zona khusus untuk pertanian rumput laut. Sebelum tahun 2005,

tidak ada responden yang menjadi petani rumput laut. Setelah 2005, terdapat lima

responden yang membudidayakan rumput laut sebagai penghasilan tambahan.

Pekerjaan sebagai petani rumput laut dirasakan tidak mengganggu kesibukan

mereka sebagai nelayan, karena aktifitas melaut dilakukan saat malam hari dan

bertani rumput laut pada pagi atau siang hari. Seperti yang diungkap oleh SRN

(27 tahun),

64  

Rumput laut hasilnya lumayan. Kan panennya juga cuma 40 hari,

paling kalau lagi ada waktu kita kerja, kalau lagi males ya nda..

keliatannya si ngga ngeganggu saya jadi nelayan

Secara ekonomi, pertanian rumput laut merupakan usaha yang cukup menjanjikan

bagi nelayan kompressor, karena cukup praktis dan dapat dilakukan tanpa

mengganggu profesi mereka sebagai nelayan kompressor. Namun karena

ketiadaan modal, tidak semua responden dapat menjalankan usaha budi daya

rumput laut.

Sebanyak delapan orang yang melakukan strategi nafkah ganda dengan

menjadi buruh sebelum adanya zonasi. Upah sebagai buruh dalam satu hari

sebesar Rp 50.000- Rp 65.000. Pekerjaan ini dilakukan oleh delapan orang.

Responden yang berprofesi sebagai buruh mayoritas berusia 30 tahun ke atas.

Setelah tahun 2005, empat orang responden tidak lagi menjadi buruh karena

beralih profesi menjadi petani rumput laut dan tour guide. Tiga diantaranya tidak

mengubah strategi nafkah ganda mereka, dengan menjadi nelayan dan buruh baik

sebelum maupun sesudah Zonasi Taman Nasional.

Sebanyak tiga orang responden yang menjadi ABK kapal sebelum adanya

zonasi kawasan. Pada awal menjadi nelayan kompressor, ketiga responden

tersebut masih mencoba menyempatkan diri menjadi ABK kapal dengan alasan

sebagai pemasukan tambahan. Namun karena hasil yang didapat melalui nelayan

kompressor lebih menjanjikan, ketiga responden tersebut akhirnya memutuskan

untuk tidak lagi menjadi ABK kapal. Dua diantaranya merasa hasil yang didapat

dengan menjadi nelayan kompressor sudah cukup unutk menghidupi keluarganya,

sementara satu lainnya menjadi tour guide.

Dari berbagai profesi di atas, dapat diketahui bahwa pekerjaan sebagai

tour guide, rumput laut dan penyewaan kapal dipengaruhi oleh keberadaan Zonasi

Taman Nasional tahun 2005. Sedangkan perubahan pada strategi nafkah buruh

dan ABK (kapal angkut dan transportasi) tidak dipengaruhi oleh Zonasi Taman

Nasional, melainkan karena faktor kebutuhan ekonomi. Meski demikian,

perubahan pada kedua strategi nafkah ganda tersebut tetap terkait secara tidak

langsung dengan Zonasi Taman Nasional.

65  

6.4 Ikhtisar

Daerah tangkap yang dicakup oleh nelayan kompressor meliputi seluruh

kawasan Taman Nasional Karimunjawa. Ikan tangkapan yang diambil oleh

nelayan berada di wilayah terumbu karang. Seluruh pulau di Taman Nasional

Karimunjawa mayoritas dimanfaatkan dalam intensitas yang sedang dan merata

oleh nelayan kompressor. Nelayan-nelayan di Karimunjawa biasanya memiliki

berbagai jenis alat tangkap, hal ini dilakukan agar para nelayan dapat tetap

melakukan kegiatan penangkapan ikan sepanjang tahun. Setelah memakai alat

tangkap speargun-kompressor, mayoritas responden tidak memakai alat tangkap

lain karena kompressor dapat digunakan sepanjang tahun. Hanya terdapat 8 orang

yang masih menggunakan alat pancing saat musim paceklik, serta dua orang yang

menggunakan bubu untuk mendapat penghasilan tambahan. Perubahan alat

tangkap ini tidak dipengaruhi oleh Zonasi Taman Nasional, kecuali potassium

yang gencar dilarang sejak tahun 2000-an.

Strategi nafkah yang dilakukan responden sebelum tahun 2005 lebih

banyak mengandalkan pada pemanfaatan sektor perikanan (nelayan) dan jasa

(buruh, ABK kapal angkut/transportasi, dan berdagang). Setelah 2005, dengan

meningkatnya sektor pariwisata, jenis-jenis strategi nafkah menjadi lebih

bervariasi dengan adanya sumber nafkah baru seperti tour guide, penyewaan alat-

alat selam, penyewaan kapal, penyewaan motor, penginapan, berdagang, dll.

Dengan meningkatnya pilihan dalam mencari nafkah, maka nelayan kompressor

tidak hanya bergantung pada hasil laut. Sektor pariwisata juga dapat merangsang

kepedulian nelayan untuk menjaga dan melestarikan lingkungannya agar tetap

menarik bagi para wisatawan, sehingga sektor pariwisata tersebut dapat

mendukung keberlanjutan Taman Nasional Karimunjawa. Dari berbagai profesi

tersebut, pekerjaan sebagai tour guide, rumput laut dan penyewaan kapal

dipengaruhi oleh adanya Zonasi Taman Nasional tahun 2005.

66  

BAB VII

EFEKTIVITAS PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA

7.1 Manajemen Konservasi Keanekaragaman Hayati Taman Nasional Karimunjawa Melalui Sistem Zonasi

Taman Nasional Karimunjawa sebagai kawasan pelestarian alam memiliki

fungsi yang kompleks yaitu sebagai daerah perlindungan dan pengamanan bagi

sistem penyangga kehidupan masyarakat Karimunjawa, pengawetan

keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan yang adil dan

berkelanjutan. Visi Taman Nasional Karimunjawa adalah mewujudkan

pengelolaan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistem Taman Nasional

Karimunjawa melalui perlindungan hutan dan penegakan hukum, optimalisasi

pemanfaatan berdasarkan prinsip kelestarian yang didukung kelembagaan dan

kemitraan yang kuat. Misi Taman Nasional Karimunjawa, sebagai berikut :

1) Meningkatkan efektivitas pengelolaan TNKJ sesuai fungsi kawasan

2) Mewujudkan kelembagaan dan kemitraan yang kuat dalam pengelolaan

3) TNKJ.

4) Mengembangkan dan memantapkan upaya pengawetan, pengendalian dan

5) pemanfaatan tumbuhan satwa liar.

6) Memantapkan upaya perlindungan, penegakan hukum dan pengendalian

7) kebakaran hutan di TNKJ.

8) Mengembangkan ODTWA, jasa lingkungan dan pengembangan bina cinta

alam.

Berdasarkan Program Pembangunan Daerah Kabupaten Jepara Tahun

2001-2005, pengelolaan Taman Nasional Karimunjawa ke depan ditujukan untuk

dapat menanggulangi persoalan dengan mempertimbangkan pelestarian SDA dan

ekonomi sehingga terwujud pengelolaan yang lestari dengan tetap dapat

memberikan kesejahteraan kepada masyarakat sesuai dengan perubahan dinamika

masyarakat. Tantangan yang dihadapi dalam upaya pembangunan di bidang

sumber daya alam adalah menciptakan suatu kondisi yang serasi antara

ketersediaan sumber daya dengan kebutuhan masyarakat.

67  

Kondisi perikanan tangkap Karimunjawa yang memiliki kekayaan potensi

sumber daya dan keanekaragaman sosial budaya masih menjanjikan untuk

dikelola. Hal ini memungkinkan untuk dilakukannya pola pembangunan yang

sesuai dan berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dan tetap

memegang teguh aspek kelestarian dan konservasi alam. Pemikiran pembangunan

yang relevan untuk mengembangkan pulau kecil adalah membangun pulau kecil

dengan berbasiskan pada kekuatan sumber daya lokal yang dimiliki, sehingga

dapat mengembangkan perekonomian masyarakat lokal (Maksum, 2006).

Menurut Kusumastanto (2003) dalam Maksum (2006), pengembangan pulau-

pulau kecil dengan karakteristiknya memiliki beberapa kendala pembangunan,

yaitu:

1) Ukuran yang kecil dan terisolasi (keterasingan) menyebabkan penyediaan

prasarana dan sarana menjadi sangat mahal. SDM yang andal dan mau

bekerja di lokasi tersebut sedikit. Luas pulau kecil itu bukan suatu

kelemahan jika barang dan jasa yang diproduksi dan dikonsumsi oleh

penghuninya tersedia di pulau yang dimaksud. Akan tetapi, begitu jumlah

penduduk meningkat secara drastis, diperlukan barang dan jasa dari pasar

yang jauh dari pulau itu, berarti biaya mahal.

2) Kesukaran dan ketidakmampuan untuk mencapai skala ekonomi yang

optimal dan menguntungkan dalam hal administrasi, usaha produksi, dan

transportasi. Hal ini turut menghambat pembangunan hampir semua pulau

kecil di dunia.

3) Ketersediaan SDA dan jasa-jasa lingkungan, seperti air tawar, vegetasi,

tanah, ekosistem pesisir dan satwa liar, yang pada gilirannya menentukan

daya dukung sistem pulau kecil dan menopang kehidupan manusia penghuni

serta segenap kegiatan pembangunan.

4) Produktivitas SDA dan jasa-jasa lingkungan (seperti pengendalian erosi)

yang terdapat di setiap unit ruang (lokasi) di dalam pulau dan yang terdapat

di sekitar pulau (seperti ekosistem terumbu karang dan perairan pesisir)

saling terkait satu sama lain secara erat.

5) Budaya lokal kepulauan kadang kala bertentangan dengan kegiatan

pembangunan. Contohnya bidang pariwisata yang akhir-akhir ini dianggap

sebagai dewa penolong (panacea) bagi pembangunan pulau-pulau kecil. Di

68  

beberapa pulau kecil budaya yang dibawa oleh wisatawan (asing) dianggap

tidak sesuai dengan adat atau agama setempat.

Sementara itu, Maksum (2006) mengatakan bahwa permasalahan-

permasalahan dalam pengelolaan TNKJ antara lain:

1) Kondisi sosial ekonomi masyarakat setempat yang masih rendah sehingga

seringkali kurang mendukung dan memahami terhadap kawasan konservasi,

2) Belum sinergisnya kegiatan-kegiatan pemanfaatan yang ada di tnkj dengan

kegiatan konservasi, masyarakat belum mengerti pola pengelolaan yang

dilakukan,

3) Pengawasan yang dilakukan belum efektif,

4) Belum adanya peraturan khusus dalam bidang perikanan

5) Hal ini sesuai dengan pendapat Sya’rani dan Suryanto (2006) dalam

Maksum (2006) yang menyatakan bahwa hambatan dalam pengembangan

kepulauan Karimunjawa diantaranya adalah zonasi yang ada belum efektif,

karena kesenjangan kepentingan konservasi dan kepentingan pemanfaatan

untuk kegiatan ekonomi masyarakat, dan kemampuan pengendalian

eksplorasi dan eksploitasi SDA terbatas .

7.2 Kapasitas Balai Taman Nasional Karimunjawa

7.2.1 Sumberdaya Manusia

Balai Taman Nasional Karimunjawa merupakan salah satu Unit Pelaksana

Teknis Pengelolaan kawasan Taman Nasional Karimunjawa yang bertanggung

jawab langsung kepada Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi

Alam berdasarkan Permenhut No. P.03/Menhut-II/2007 tanggal 1 Februari 2007.

Saat ini BTNKJ mempunyai 81 pegawai yang terdiri atas 77 PNS dan 4 tenaga

upah (lihat Tabel 15).

69  

Tabel 15 Keadaan Pegawai Balai Taman Nasional Karimunjawa Berdasarkan Golongan dan Jenis Kelamin Tahun 2008

Unit organisasi PNS/CPNS (golongan) Pgw

honorer Pgw

harian

Jenis kelamin Jumlah

total IV III II I jml L P Balai TN Karimunjawa 1 16 7 0 24 0 1 15 9 24

seksi Pengelolaan TN I Kemujan 1 8 18 0 27 0 2 23 4 27

Seksi Pengelolaan TN II Karimunjawa

0 10 15 1 26 0 1 25 1 26

Jumlah 2 34 40 1 77 0 4 63 14 77 Sumber: Statistik Balai Taman Nasional Karimunjawa 2008

Efektivitas pengelolaan juga ditentukan oleh keterampilan dan

pengetahuan dari pengelola. Berdasarkan statistik BTNKJ (2008) dari 80 orang

pegawai BTNKJ, sebagian besar pendidikannya (67,5 persen) bukan sarjana (lihat

Tabel 15). Selain itu, walaupun berpendidikan sarjana, latar belakang pendidikan

juga kurang sesuai dengan skill yang dibutuhkan (hanya 30 persen dari kehutanan

dan perikanan). Untuk itu BTNKJ perlu melakukan upaya peningkatan kapasitas

pengelolaan melalui kegiatan pendidikan dan Pelatihan untuk peningkatan

pengetahuan kemampuan dan ketrampilan sesuai kompetensinya agar dapat

melaksanakan tugas dengan baik.

Tabel 16 Keadaan Pegawai Balai Taman Nasional Karimunjawa Berdasarkan Tingkat Pendidikan Tahun 2008

Unit Organisasi S2 S1 Diploma SMA SMP UPAH HARIAN jumlah

total H L H L H L SMA SMP SD Balai TN Karimunjawa 0 4 4 0 0 2 14 0 1 0 0 25

Seksi Pengelolaan TN I Kemujan

1 2 5 2 0 6 11 0 2 0 0 29

Seksi Pengelolaan TN II Karimunjawa

0 3 4 0 0 6 12 1 1 0 0 27

Jumlah 1 9 13 2 0 14 37 1 4 0 0 81 Sumber: Statistik Balai Taman Nasional Karimunjawa 2008 Ket H : Program Studi Kehutanan L : Lainnya

70  

7.2.2 Sarana yang Dimiliki Balai Taman Nasional Karimunjawa

Sampai dengan tahun 2008, Balai Taman Nasional Karimunjawa

mempunyai 282 jenis barang inventaris dengan nilai barang dalam rupiah adalah

Rp 66.087.540,00. Pada tahun anggaran 2008 BTNKJ melakukan penambahan

fasilitas kantor berupa pengadaan fasilitas internet sebanyak 1 paket dengan nilai

Rp 9.480.000,00. Selain itu BTNKJ juga menerima penyerahan kapal patroli dari

pusat. Terlepas dari penambahan barang, beberapa barang inventaris juga

mengalami penghapusan (Statistik Balai Taman Nasional Karimunjawa 2008).

Data sebagian sarana yang dimiliki tersaji pada Tabel 16.

Tabel 17 Data Sarana Balai Taman Nasional Karimunjawa Tahun 2008

Nama barang Kuantitas Kondisi Keterangan Kendaraan Roda 4 6 buah baik • 5 buah di Kantor Balai (Semarang)

• 2 buah di Seksi Wil I & II Kendaraan Roda 2 13 buah baik • 2 buah di Jepara

• 11 buah di Seksi Wil I & II Speed Boat + Mesin Yamaha

2 buah baik • Seksi Wil 2

Alat Selam 3 unit baik • Seksi Wil 2 Live Jacket 50 baik • 40 Seksi Wil II

• 10 Seksi Wil I Sumber: Statistik Balai Taman Nasional Karimunjawa 2008

Sarana tersebut tidak sebanding dengan luas wilayah daratan dan perairan

Taman Nasional Karimunjawa yang mencapai 111.625 hektar dan terdiri dari 22

pulau, serta jumlah penduduk yang semakin bertambah (lihat Tabel 1). Dengan

terbatasnya sarana yang dimiliki staf Balai Taman Nasional Karimunjawa,

perlindungan dan pengelolaan kawasan pun menjadi tidak efektif. Patroli yang

dilakukan oleh Polisi Hutan pun lebih banyak dilakukan di darat, karena selain

jumlah armada kapal speed boat yang terbatas, patroli di kawasan laut pun

membutuhkan anggaran yang cukup besar untuk memenuhi kebutuhan bahan

bakar kapal patroli.

7.2.3 Anggaran Pengelolaan Taman Nasional Karimunjawa

Kapasitas pengelolaan Taman Nasional Karimunjawa juga dapat diukur

dari penggunaan dana dan penilaian pelaksanaan program kegiatan. Anggaran

pengelolaan TNKJ selalu meningkat dari tahun ke tahun, namun jika dilihat

71  

penggunaan anggaran, sebagian besar dana (> 60 persen) digunakan untuk

administrasi umum, termasuk gaji pegawai; sedangkan dana untuk kegiatan

pengelolaan keanekaragaman hayati dan perlindungan dan pengamanan kawasan

hanya 8,30 dan 17,40 persen (Purwanti et al, 2008).

Sumber pendanaan untuk mendukung pelaksanaan tugas pokok dan fungsi

Balai Taman Nasional Karimunjawa tahun 2008 hanya berasal dari DIPA 29

tahun 2008. Jumlah alokasi anggaran dimaksud sebesar Rp. 5.513.351.000,-

namun akibat adanya kebijakan pemerintah tentang penghematan anggaran maka

alokasi anggaran untuk Balai Taman Nasional Karimunjawa hanya menjadi Rp.

3.958.680.000,- (BTNKJ 2008). Rincan alokasi DIPA 29 tahun 2008 untuk tiap

program kegiatan tersaji pada Tabel 17.

Tabel 18 Data Angaran Program Kegiatan Balai Taman Nasional Karimunjawa

Tahun 2008

No. Program Kegiatan Pagu Awal (Rp) Pagu Revisi (Rp) 1. Penerapan Kepemerintahan

Yang Baik 3.490.835.000 3.490.835.000

2. Pemantapan Keamanan Dalam Negeri

645.157.000 75.533.000

3. Perlindungan dan Konservasi Sumber Daya Alam

1.056.759.000 274.757.000

4. Pengembangan Kapasitas Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup

311.600.000 117.555.000

Jumlah 5.513.351.000 3.958.680.000 Sumber: Statistik Balai Taman Nasional Karimunjawa 2008

Dari data diatas, dapat dilihat bahwa anggaran untuk Perlindungan dan

Konservasi Sumber Daya Alam hanya sebesar 6,9 persen, anggaran untuk

Pengembangan Kapasitas Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan

Hidup sebesar 2,9 persen, dan angaran untuk Pemantapan Keamanan Dalam

Negeri sebesar 1,9 persen. Alokasi tersebut jauh dari jumlah yang dianggarkan

untuk Penerapan Kepemerintahan yang Baik sebesar 88,3 persen. Minimnya

anggaran yang dialokasikan untuk kegiatan pengelolaan keanekaragaman hayati

dan perlindungan dan pengamanan kawasan menyebabkan program-program

perlindungan kawasan TNKJ pun tidak maksimal. Hal ini terbukti dari tingkat

72  

pelanggaran yang terjadi di Karimunjawa relatif besar, yaitu penangkapan ikan

dengan bahan dan/ atau alat tangkap yang merusak lingkungan (26,32 persen),

pengambilan biota yang dilindungi (36,84 persen), serta pencurian kayu mangrove

(31,58 persen) (Purwanti et al, 2008).

7.3 Kondisi Perikanan Tangkap Kepulauan Karimunjawa 7.3.1 Perkembangan Jumlah Nelayan

Irnawati (2008) mengklasifikasikan nelayan yang ada di Kepulauan

Karimunjawa berdasarkan dua tipe, yaitu juragan dan pandega. Nelayan juragan

adalah nelayan yang memiliki alat tangkap dan kapal penangkapan ikan,

sedangkan nelayan pandega atau nelayan penggarap adalah nelayan yang

melakukan usaha atau kegiatan penangkapan ikan di laut. Perkembangan jumlah

nelayan di Karimunjawa selama periode 1996-2005 menurut kelompok juragan

dan pandega disajikan pada Tabel 17.

Tabel 19 Perkembangan Jumlah Nelayan di Karimunjawa Tahun 1996-2005 Tahun Juragan (orang) Pandega (orang) Total (orang) 1996 488 1.608 2.096 1997 488 1.608 2.096 1998 374 1.861 2.225 1999 287 1.953 2.240 2000 244 2.131 2.375 2001 251 2.269 2.520 2002 262 2.318 2.580 2003 264 2.436 2.700 2004 761 2.148 2.945 2005 299 2.624 2.923

Sumber : PPP Karimunjawa 2006 dalam Irnawati 2008

6.3.2 Perkembangan Alat Tangkap

Kondisi perikanan tangkap di Karimunjawa dari segi produksi ikan selama

tahun 1996-2005 mengalami fuktuasi, tetapi sejak tahun 2001 terus mengalami

peningkatan, hal ini didukung dengan perkembangan jumlah nelayan yang sampai

dengan tahun 2005 terus mengalami peningkatan hingga mencapai 2.923 orang

dan peningkatan jumlah kapal penangkap ikan, di mana banyak nelayan yang

sudah meninggalkan perahu layar dan beralih menggunakan kapal motor dan

motor tempel untuk melakukan penangkapan ikan sehingga dapat menjangkau

73  

daerah penangkapan yang lebih jauh (Irnawati, 2008). Perkembangan jumlah

kapal penangkap ikan tahun 1996-2005 disajikan pada Tabel berikut.

Tabel 20 Perkembangan jumlah kapal penangkapan ikan di Karimunjawa tahun

1996-2005

Tahun Kapal Motor

Motor Tempel

Perahu Layar Total (buah) Besar Sedang Kecil

1996 0 210 54 69 45 378 1997 0 210 54 69 45 378 1998 32 183 40 55 45 355 1999 241 151 26 32 37 487 2000 553 113 21 26 29 742 2001 584 118 14 24 27 767 2002 639 120 3 13 23 798 2003 795 128 3 8 16 950 2004 699 115 0 5 10 829 2005 855 130 0 0 10 995

Sumber: PPP Karimunjawa dalam Irnawati 2008

Seiring dengan penambahan jumlah nelayan dan jumlah kapal, dalam

kurun waktu 1996-2005 nelayan di kepulauan karimunjawa juga mengalami

peningkatan jenis dan jumlah alat tangkap, seperti yang disajikan pada Tabel 12,

Tabel 21 Jenis dan Jumlah Alat Tangkap di Karimunjawa tahun 1996-2005

Tahun Jaring Insang

Pancing Tonda

Bubu Bagan Apung

Muroami Payang Lain-lain

Total (buah)

1996 22 170 115 77 0 0 9 3931997 20 170 115 77 0 0 9 3911998 25 284 360 71 0 0 11 7511999 36 473 600 71 0 0 11 1.1912000 79 550 1.200 83 0 0 13 1.9252001 98 680 1.600 87 2 0 9 2.4762002 154 640 2.000 92 11 0 7 2.9042003 227 650 2.000 96 18 2 7 3.0002004 334 662 2.062 102 26 2 6 3.1942005 384 612 2.128 114 38 0 3 3.279

Sumber: PPP Karimunjawa dalam Irnawati (2008)

6.3.3 Perkembangan Produksi Perikanan

Berdasarkan data produksi ikan yang dirilis PPP Karimunjawa dalam

Purwanti et al (2008) dari tahun 1996-2005, dapat diketahui bahwa produksi ikan

pada tahun 1996 mencapai 127.487 kg, kemudian terus mengalami penurunan

74  

hingga mencapai 30.016 kg pada tahun 1998. Pada tahun 1999 produksi ikan

meningkat menjadi 57.102 kg kemudian kembali mengalami penurunan sampai

dengan tahun 2001 hingga mencapai 48.663 kg. Pada tahun 2002 produksi ikan

kembali meningkat menjadi 79.406 kg dan terus mengalami peningkatan hingga

pada tahun 2005 produksi ikan mencapai 92.022 kg. Secara keseluruhan dari

Gambar 5 dapat dilihat bahwa selama 10 tahun terakhir produksi ikan tertinggi

dicapai pada tahun 1996 yaitu sebesar 127.487 kg, dan produksi terendah terjadi

pada tahun 1998 yaitu sebesar 37.016 kg.

Sumber : PPP Karimunjawa dalam Purwanti et al (2008) Gambar 5 Produksi Ikan Kepulauan Karimunjawa tahun 1996-2005

6.4 Ikhtisar

Berdasarkan kondisi perikanan Karimunjawa yang telah dikemukakan

diatas, maka pengelolaan dan pembangunan TNKJ harus mengikuti prinsip-

prinsip ekologis dan konservasi secara terpadu. Kegiatan pengembangan pulau-

pulau kecil harus dilakukan dengan perencanaan yang baik dan terarah agar hasil

dari pengembangan dan pembangunannya dapat optimal dan berkelanjutan. Hal

ini penting dilakukan untuk dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat

nelayan yang merupakan mayoritas penduduk di Karimunjawa.

Efektivitas pengelolaan Taman Nasional Karimunjawa tidak terlepas dari

kualitas SDM, sarana yang memadai, serta dukungan anggaran yang cukup. Pada

aspek kualitas SDM, Balai Taman Nasional Karimunjawa memiliki kualitas SDM

75  

yang kurang memadai karena 67,5 persen tidak mengenyam pendidikan sarjana.

Selain itu, jumlah karyawan sebanyak 81 orang tidak sebanding dengan luas

wilayah daratan dan perairan Taman Nasional Karimunjawa yang mencapai

111.625 hektar dan terdiri dari 22 pulau, serta jumlah penduduk yang semakin

bertambah (lihat Tabel 1). Hal ini diperparah dengan sarana yang terbatas dan

dukungan anggaran yang tidak mencukupi,sehingga mengakibatkan perlindungan

dan pengelolaan Taman Nasional Karimunjawa menjadi tidak efektif. Selain itu,

meningkatnya jumlah nelayan, alat tangkap, serta produksi hasil tangkapan ikan di

Kepulauan Karimunjawa memicu eksploitasi yang berlebih terhadap sumberdaya

alam di Taman Nasoinal Karimunjawa.

76  

BAB VIII

PENUTUP

8.1 Kesimpulan

Strategi nafkah nelayan kompressor diharapkan mampu memberi

kontribusi terhadap perbaikan standar hidup nelayan. Namun strategi nafkah ini

seringkali berbenturan dengan konservasi keanekaragaman hayati di Taman

Nasional Laut Karimunjawa yang dijalankan dengan manajemen zonasi. Dari dua

hipotesis yang diajukan, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

Hipotesis pertama, menyatakan bahwa pengelolaan Taman Nasional Laut

Karimunjawa yang dikelola dengan sistem zonasi berpengaruh terhadap daerah

tangkap ikan, alat tangkap, dan diversifikasi nafkah dari nelayan kompressor di

Kepulauan Karimunjawa. Hipotesis ini tidak sepenuhnya ditolak karena alasan

sebagai berikut,

a) Daerah tangkap ikan nelayan kompressor tidak mengalami perubahan

walau sebagian daerah tangkapan mereka kini berada di dalam

kawasan Taman Nasional laut Karimunjawa. Para nelayan kompressor

masih melakukan penangkapan ikan hingga ke zona inti Taman

Nasional. Ketidaktahuan nelayan atas batas-batas zona dan

terbatasnya kemampuan Balai Taman Nasional Laut Karimunjawa

(BTNKJ) dalam melakukan pengawasan dan manajemen zona,

menyebabkan kehadiran TNKJ dipandang tidak membatasi daerah

tangkap nelayan kompressor.

b) Mayoritas responden nelayan kompressor memakai alat tangkap

speargun-kompressor sejak sebelum Taman Nasional Laut

Karimunjawa berdiri dan tetap digunakan hingga saat ini. Hal ini

disebabkan karena alat tangkap ini memberi pendapatan yang relatif

lebih tinggi serta dapat digunakan sepanjang tahun. Meskipun usaha

konservasi yang dilakukan BTNKJ mampu menghilangkan

penggunaan potassium di kalangan nelayan kompressor, namun

kehadiran Taman Nasional Laut Karimumjawa tidak mengubah atau

77  

mempengaruhi jenis alat tangkap yang digunakan oleh nelayan

kompressor.

c) Sebelum tahun 2005, strategi nafkah yang dilakukan responden

nelayan kompressor lebih banyak bertumpu pada pemanfaatan sektor

perikanan (nelayan) dan jasa (sebagai buruh, anak buah kapal

angkut/transportasi, dan berdagang). Konservasi keanekaragaman

hayati yang dilakukan oleh BTNKJ, mendorong pertumbuhan sektor

pariwisata dengan terbukanya peluang nafkah baru seperti tour guide,

penyewaan alat-alat selam, penyewaan kapal, penyewaan motor,

penginapan, berdagang, dan lain sebagainya. Taman Nasional Laut

Karimunjawa dapat dikatakan telah mendorong diversifikasi nafkah

dikalangan nelayan kompressor.

Hipotesis kedua, menyatakan bahwa kegiatan pengelolaan konservasi

keanekaragaman hayati di Taman Nasional Karimunjawa yang dijalankan melalui

sistem zonasi tidak mampu mengimbangi aktifitas perikanan tangkap yang

berkembang di kepulauan Karimunjawa (diukur dari segi produksi perikanan laut,

jumlah nelayan, dan alat tangkap). Hipotesis ini diterima dengan alasan sebagai

berikut,

a) Meskipun BTNKJ telah melakukan berbagai upaya sosialisasi

zonasi pada nelayan, namun di mata nelayan zonasi tetap

dipandang sebagai suatu cara untuk membatasi daerah tangkap

mereka. Terlebih lagi peluang usaha yang tumbuh sebagai akibat

adanya wisata laut masih terbatas. Selain itu, sektor pariwisata juga

belum mampu menggantikan seluruh kesempatan kerja yang

tumbuh akibat penangkapan ikan dengan sistem kompressor.

b) Efektivitas pengelolaan Taman Nasional Karimunjawa dipengaruhi

oleh kualitas sumberdaya manusia, ketersediaan sarana dan

prasarana, serta dukungan anggaran yang memadai. Saat ini

BTNKJ dioperasikan oleh 81 pegawai dengan hanya 32,5 persen

diantaranya yang berlatar pendidikan S1. Pegawai BTNKJ yang

hanya berkekuatan 81 orang ini tidak sebanding dengan luas

wilayah daratan dan perairan Taman Nasional Karimunjawa yang

harus diawasi atau dikontrol; yakni seluas 111.625 hektar dan

78  

terdiri dari 22 pulau. Kondisi ini diperparah lagi dengan

terbatasnya sarana dan prasarana dan dukungan anggaran yang

tidak memadai.

c) Di lain pihak, dalam beberapa tahun terakhir terdapat peningkatan

jumlah nelayan, alat tangkap, serta produksi hasil tangkapan ikan

di Kepulauan Karimunjawa. Peningkatan produksi perikanan laut

ini terjadi merupakan implikasi dari kebijakan Pemerintah Provinsi

Jawa Tengah yang menetapkan perairan Karimunjawa sebagai

salah satu sentra pengembangan produksi perikanan laut di wilayah

Jawa Tengah.

Taman Nasional Laut Karimunjawa mampu meningkatkan diversifikasi

nafkah dengan mendorong pertumbuhan sektor pariwisata, namun tidak

mempengaruhi daerah tangkap dan alat tangkap nelayan kompressor. Sehingga

dapat dikatakan bahwa manajemen zonasi yang dilakukan oleh BTNKJ belum

efektif. Temuan studi ini penting diperhatikan oleh para pengambil kebijakan

terkait, agar pengelolaan Taman Nasional Laut Karimunjawa dapat menjaga

kelestarian keanekaragaman hayati perairan laut sekaligus meningkatkan

kesejahteraan nelayan Karimunjawa.

 

7.2 Saran

Penetapan Zonasi Taman Nasional Karimunjawa tidak serta merta

menyelesaikan masalah yang ada, karena keberadaannya pun tidak sepenuhnya

dipahami dan dipatuhi oleh masyarakat. Sebagian besar nelayan kompressor

mencari ikan di semua kawasan Taman Nasional Karimunjawa karena mereka

tidak mengetahui tentang zonasi kawasan. Selain itu, minimnya patroli laut yang

dilakukan BTNKJ membuat kebiasaan memasuki zona inti dan perlindungan terus

berlanjut. Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan langkah-langkah strategis yang

ditunjang dengan kelembagaan lokal yang kuat agar pelaksanaan dan

pengawasannya pun lebih komprehensif. Oleh sebab itu, peneliti memberikan

saran sebagai berikut:

1. Perlunya pelaksanaan pembangunaan kawasan pesisir yang

berkelanjutan, dengan menerapkan konsep Pengelolaan Sumberdaya

Perikanan Berbasis Masyarakat (PSPBM) karena kearifan lokal

79  

berperan penting dalam menjaga dan memelihara ekologi pesisir. Untuk

itu diperlukan adanya identifikasi kearifan tradisional berdasarkan ciri

khas dan struktur sosial yang berlaku, sehingga lokalitas dan

keunikannya dapat terakomodasi.

2. Dalam rangka memperjuangkan kepentingan nelayan, diperlukan

organisasi yang independen baik berupa organisasi profesi maupun

organisasi usaha yang secara sistematis dapat melakukan fungsi

koordinasi dan fungsi kontrol terhadap pemerintah (dalam hal ini

BTNKJ) serta fungsi pengorganisasian untuk kepentingan ekonomi,

kelestarian sumberdaya, maupun sosial.

3. Komunitas nelayan kompressor perlu diberikan pembinaan dan fasilitas

yang memungkinkan mereka untuk beralih mata pencaharian ke

alternatif usaha lain yang mendukung keberlanjutan Taman Nasional

Karimunjawa.

4. Diperlukan dukungan dana dan kualitas SDM yang memadai agar

usaha-usaha pelestarian kawasan Taman Nasional Karimunjawa dan

pemanfaatan sektor perikanan yang berkelanjutan dapat berjalan secara

sinergis.

 

80  

DAFTAR PUSTAKA

Alikodra HS. 1987. Manfaat Taman Nasional bagi masyarakat di sekitarnya.

Media Konservasi 1(3):13-19.

Basuni S. 1987. Konsep pengaturan sumberdaya taman nasional. Media

Konservasi 1(3):1-11.

Biasane AN. 2004. Konstruksi kearifan tradisional dalam pengelolaan perikanan

berkelanjutan. Makalah Pengantar ke Falsafah Sains. Sekolah Pasca

Sarjana Institut Pertanian Bogor. 16 hal.

[BTNKJ] Balai Taman Nasional Karimunjawa. 2004. Penataan zonasi taman

nasional karimunjawa kabupaten jepara Provinsi Jawa Tengah.

Semarang: BTNKJ.

[BTNKJ] Balai Taman Nasional Karimunjawa. 2009. Laporan evaluasi Balai

Taman Nasional Karimunjawa Tahun 2009. Semarang: BTNKJ.

[BTNKJ] Balai Taman Nasional Karimunjawa. Pemberdayaan Masyarakat.

[Internet]. [Dikutip 26 Februari 2011 ]. Semarang: BTNKJ. Dapat

diunduh dari:

http://karimunjawanationalpark.org/pemberdayaan-masyarakat/blog

[BTNKJ] Balai Taman Nasional Karimunjawa. 2007. Statistik Balai Taman

Nasional Karimunjawa tahun 2006. Semarang: BTNKJ. 100 hlm.

Carlsson L, Fikret B. 2005. Co-management: concepts and methodological

implications. Journal of Environmental Management 75 65–76

Dharmawan AH. 2006, Sistem penghidupan dan nafkah pedesaan pandangan

sosiologi nafkah (Livelihood Sociology) Mazhab Barat dan Mazhab

Bogor. Sodality: Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan

Ekologi Manusia, Vol. 01, No.02 Agustus 2007.

Faiza R. 2004. Kajian beberapa aspek program pemberdayaan masyarakat pesisir

nelayan pengolah Muara Angke. [disertasi]. Sekolah Pasca Sarjana

Institut Pertanian Bogor

Jones Peter JS, Jacquelin Burgess. 2005. Building Partnership capacity for the

collaborative management of marine protected areas in the UK: a

preliminary analysis. Journal of Environmental Management 77 227–

2430, diakses pada 27 Februari 2011 pukul 11.30 WIB

81  

Konservasi Sumberdaya Alam dan Buatan. 2009 Feb. [Internet]. [Diunduh 26

Februari 2011]. Dapat diunduh dari:

http://massofa.wordpress.com/2008/02/03/konservasi-sumber-daya-

alam-dan-buatan

Irnawati R. 2008. Pengembangan perikanan tangkap di Kawasan Taman Nasional

Karimunjawa Jawa Tengah. [tesis]. Institut Pertanian Bogor.

Keraf S. 2002. Etika lingkungan. Jakarta: Penerbit Buku KOMPAS.

Maksum MA. 2005. Analisis manfaat ekonomi sumberdaya perikanan kawasan

konservasi laut taman nasional karimunjawa. [tesis] Pascasarjana IPB.

Mitchell B, Setiawan B, Rahmi DH. 2007. Pengelolaan sumber daya dan

lingkungan. Yogyakarta: Bulaksumur

Moeis S. 2008. Adaptasi ekologi masyarakat pesisir selatan Jawa Barat. Laporan

Penelitian Universitas Pendidikan Indonesia. 30 hal.

Muchsin I. 2007. Pengentasan kemiskinan di sektor perikanan. Dalam Pemikiran

Guru Besar IPB. Bogor: IPB Press.

Mulyadi. 2005. Ekonomi kelautan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Musyafar. 2006. Analisis perilaku masyarakat pesisir dan faktor-faktor yang

mempengaruhi dalam melestarikan ekosistem mangrove di pesisir

barat Sulawesi Selatan. Laporan Penelitian Universitas Negeri

Makassar. 25 hal.

Nurmalasari Yessy. 2010. Analisis pengelolaan wilayah pesisir berbasis

masyarakat. [tesis] 8 hal.

[PPP Karimunjawa] Pelabuhan Perikanan Pantai Karimunjawa. 2006. Laporan

Tahunan Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Karimunjawa.

Karimunjawa: PPP Karimunjawa. 80 hlm. Purwanti F, Alikodra HS, Basuni S, Soedhama D. 2008. Pengembangan co-

management Taman Nasional Karimunjawa. Jurnal Ilmu Kelautan Vol.

13 (3) : 159 – 166

Saharuddin. 2007. Antropologi ekologi. Adiwibowo S (ed.) 2007. Ekologi

manusia. Bogor. Fakultas Ekologi Manusia IPB.

Satria A. 2009. Pesisir dan laut untuk rakyat. Bogor: IPB Press

_________. 2002. Pengantar sosiologi masyarakat pesisir. Jakarta : PT. Pustaka

Cidesindo.

82  

Scoones I, 1998, Sustainable Rural Livelihoods a Framework for Analysis, IDS

Working Paper 72, Brighton: IDS. 22 hal.

Singarimbun M. 1989. Metode dan proses penelitian. Jakarta : Pustaka LP3ES

Indonesia.

Sitorus F. 1998. Penelitian kualitatif “suatu perkenalan”. kelompok dokumentasi

ilmu-ilmu sosial untuk laboratorium sosiologi, antropologi dan

kependudukan jurusan ilmu sosial dan ekonomi pertanian, fakultas

pertanian IPB.

Widiyanto, Dharmawan AH, Prasodjo NW. 2010. Strategi nafkah rumahtangga

petani tembakau di lereng gunung sumbing : studi kasus Desa

Wonotirto dan Desa Campursari, Kecamatan Bulu, Kabupaten

Temanggung. Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi dan Ekologi

Manusia. 24 hal.

83  

LAMPIRAN

84  

LAMPIRAN 1. PETA TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA, KECAMATAN KARIMUNJAWA, KABUPATEN JEPARA, PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2005

85  

Lampiran 2. Panduan Pertanyaan

• Pertanyaan untuk responden 1. Apakah anda mengetahui tentang adanya zonasi kawasan di Taman

Nasional Karimunjawa?jika iya, apa saja?

2. Apakah masyarakat dilibatkan dalam proses penetapan zonasi tersebut?

3. Setelah adanya Zonasi di Taman Nasional Karimunjawa, apakah ada

peraturan-peraturan baru yang dibuat untuk nelayan?jika ada, apa saja?

4. Apa dampak positif dan negatif dengan adanya sistem zonasi tersebut?

jelaskan

5. Jika terdapat dampak negatif, Apakah pihak BTNKJ memberikan

kompensasi terkait adanya zonasi tersebut?(misalnya, alat tangkap,

alternatif mata pencaharian, dll)

6. Apakah masyarakat menaati sistem zonasi dan/atau peraturan lain yang

ditetapkan setelah ditetapkannya Karimunjawa sebagai Taman Nasional?

7. Dengan adanya penetapan zonasi di Taman Nasional Karimunjawa,

apakah terdapat konflik baik antar masyarakat maupun antara masyarakat

dengan BTNKJ? Kenapa?

• Pertanyaan untuk informan

1. Apakah anda mengetahui tentang adanya zonasi kawasan di Taman

Nasional Karimunjawa?jika iya, apa saja?

2. Apakah masyarakat dilibatkan dalam proses penetapan zonasi tersebut?

3. Setelah adanya Zonasi di Taman Nasional Karimunjawa, apakah ada

peraturan-peraturan baru yang dibuat untuk nelayan?jika ada, apa saja?

4. Apa dampak positif dan negatif dengan adanya sistem zonasi tersebut?

jelaskan

5. Jika terdapat dampak negatif, Apakah pihak BTNKJ memberikan

kompensasi terkait adanya zonasi tersebut?(misalnya, alat tangkap,

alternatif mata pencaharian, dll)

6. Apakah masyarakat menaati sistem zonasi dan/atau peraturan lain yang

ditetapkan setelah ditetapkannya Karimunjawa sebagai Taman Nasional?

7. Dengan adanya penetapan zonasi di Taman Nasional Karimunjawa,

apakah terdapat konflik baik antar masyarakat maupun antara masyarakat

dengan BTNKJ? Kenapa?

86  

• Pertanyaan untuk petugas BTNKJ 1. Bagaimana proses penetapan zonasi kawasan di Taman Nasional

Karimunjawa?

2. Siapa saja yang terlibat dalam pembentukan tersebut?

3. Apa hak dan kewajiban masyarakat (terutama nelayan) yang muncul

setelah adanya sistem zonasi tersebut?

4. Bagaimana masyarakat menanggapi hak dan kewajiban tersebut?

5. Bagaimana masyarakat memanfaatkan sumberdaya alam sebelum dan

sesudah adanya zonasi kawasan taman nasional?

6. Apa saja upaya yang dilakukan dalam menjaga kelestarian kawasan?

7. Apakah masyarakat menaati ketentuan yang tertuang dalam sistem zonasi

ini? Apa saja yang ditaati dan tidak ditaati?

8. Apakah yang dilakukan untuk menghindari adanya konflik dengan

masyarakat?

9. Apa kesulitan yang dialami dalam membangun pemahaman dengan

masyarakat?

10. Apakah kekurangan dan kelebihan dari zonasi kawasan yang ada saat ini?

11. Apa saja program-program yang dilakukan untuk mendukung efektifitas

dan optimalisasi zonasi kawasan Taman Nasional?

87  

Lampiran 3. Daftar Kerangka Sampling dan Responden Berdasarkan Nama Ketua Kelompok Kapal No Nama Kampung Jumlah Anggota/Kapal 1 LKN LEGO 6 2 SLM LEGO 6 3 HKM LEGO 7 4 YTK LEGO 5 5 RDN LEGO 6 6 HUR LEGO 7 7 MAH LEGO 7 8 JUR LEGO 5 9 HD LEGO 6 10 JOK LEGO 8 11 PRN LEGO 6 12 SRN LEGO 5 13 BOL LEGO 4 14 ROH LEGO 4 15 AHM LEGO 6 16 AJB LEGO 5 17 NUR LEGON BOYO 5 : Kelompok responden terpilih Sumber: Observasi dan Wawancara (2011)

88  

Lampiran 4. Alat Tangkap Sebelum dan Sesudah Zonasi Kawasan

No Nama Lama melautAlat tangkap

< 2005 >2005 bubu mrm jrg pcg pot kom bubu pcg kom upg

1 nrl 13 2 Hkm 16 3 inl 11 4 slk 20 5 tkm 9 6 smt 13 7 kpr 12 8 rdn 12 9 ytn 25

10 jk 14 11 tsn 30 12 bll 8 13 rdh 7 14 srn 14 15 stm 30 16 pn 10 17 bd 35 18 ism 8 19 ajb 18 20 alf 19 21 khl 19 22 rf 18 23 tul 12 24 drn 12 25 mln 25 26 prn 22 27 bd 17 28 yd 11 29 slt 20 30 hd 19 31 lkn 15 32 so 15 33 js 10 34 rmn 13 35 ynt 8

TOTAL 2 9 11 25 35 35 2 8 35 7

89  

Keterangan: jrg : jaring kom : kompressor upg : up grade mesin mrm : muroami pts : potassium pcg : pancing bubu : bubu

= digunakan saat musim paceklik

= digunakan saat musim panen dan musim paceklik

90  

Lampiran 5. Nafkah Ganda Sebelum dan Sesudah Zonasi Kawasan

No Nama Lama melautNafkah Ganda

< 2005 >2005 nel bur abk dgg nel tg sew bur rum

1 nrl 13 2 hkm 16 3 inl 11 4 slk 20 5 tkm 9 6 smt 13 7 kpr 12 8 rdn 12 9 ytn 25

10 jk 14 11 tsn 30 12 bll 8 13 rdh 7 14 srn 14 15 stm 30 16 pn 10 17 bd 35 18 ism 8 19 ajb 18 20 alf 19 21 khl 19 22 rf 18 23 tul 12 24 drn 12 25 mln 25 26 prn 22 27 bd 17 28 yd 11 29 slt 20 30 hd 19 31 lkn 15 32 so 15 33 js 10 34 rmn 13 35 ynt 8

TOTAL 35 8 3 1 35 17 2 7 4

91  

Keterangan: nt : nelayan tradisional sew : menyewakan kapal bur : buruh tg : tour guide abk : abk kapal angkut/transportasi dgg : berdagang rum : budi daya rumput laut nk : nelayan kompressor

= dilakukan saat musim paceklik

= dilakukan saat musim panen dan musim paceklik

92  

Lampiran 6. Aktifitas Perikanan Panah-Kompressor

93  

Lampiran 7. Dokumentasi Penelitian

Photo 1. Aktivitas Perikanan di Desa Karimunjawa

Photo 2. Kapal angkut yang membawa hasil tangkapan nelayan setiap minggunya

94  

Photo 3. Aktifitas Patroli hutan bersama Polisi Hutan

Photo 4. Petani rumput laut di kawasan Legon Boyo

95  

Photo 5. Persiapan penyelaman Nelayan Kompressor

Photo 6. Nelayan Kompressor yang baru mulai menyelam

96  

Photo 7. Anggota kelompok yang tidak menyelam memastikan keselamatan para

penyelam

Photo 8. Hasil tangkapan nelayan kompressor

97  

Photo 9. Ikan Kerapu hidup hasil tangkapan nelayan kompressor

Photo 9. Nelayan kompressor sedang menimbang berat kerapu hidup yang

ditangkapnya

98  

Photo 9. Nelayan kompressor sedang beristirahat menunggu ombak reda

Photo 9. Alat Speargun yang digunakan nelayan kompressor untuk menangkap

ikan

99  

Photo 9. Gamet/Teripang merupakan komoditi yang diminati nelayan saat musim

terang bulan atau angin timur

Photo 9. Tempat aktifitas jual beli Gamet/Teripang

100  

Photo 9. Tempat nelayan kompressor melakukan aktifitas jual beli ikan

Photo 9. Ikan ekor kuning yang ditangkap nelayan. Gambar di tengah berumur 3

bulan, gambar di kanan berumur 2-3 minggu