dampak zonasi taman nasional karimunjawa … · tinggi dari nelayan tradisional, ... alat tangkap,...
TRANSCRIPT
i
DAMPAK ZONASI TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA TERHADAP
STRATEGI NAFKAH NELAYAN KOMPRESSOR
(Kasus Desa Karimunjawa, Kecamatan Karimunjawa,
Kabupaten Jepara, Provinsi Jawa Tengah)
Oleh
Faris Priyanto
I34070126
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011
iii
ABSTRACT
FARIS PRIYANTO. The Impact of National Park Zoning Against Livelihood Strategy of Compressor’s Fisherman. (Case in Village of Karimunjawa, Jepara Regency, Central Java) (Supervised by: SOERYO ADIWIBOWO)
This research was conducted and located in the village of Karimunjawa, Jepara Regency, Central Java for six weeks from the April 2nd to May 15th. The purpose of this study is to analyze the impact of the presence of Karimunjawa Marine National Park to the livelihood strategies of the fisherman. The second purpose of this study is to analyze the effectivity of the biodiversity conservation program carry out by the National Park. This research conducted using quantitative approach and supported by a qualitative data. Quantitative data obtained through an interview to 35 fisherman’s respondents. Through field observation, in-depth interviews and secondary data, the qualitative data are collected.
The results found that, first, the marine park did not influence or create adverse impacts to the compressor’s fisherman. The compressor’s fisherman until now could easily acces to the fishing area at the core zone of the park. Limited officers and lack of resources are two factors that hinder the park enforce its management zonation particularly the core zone. Second, lack of resource for enforce the management zonation of the park are imbalance with the sharp increase of fishing efforts in Karimunjawa sea waters. The last few years the fishing efforts increase due to the policy of Central Java Province Government that boost the Karimunjawa as one of the central fishing production in the region.
Keywords: Livelihood System, Compressor’s Fisherman, and National Park Zoning.
iv
RINGKASAN
FARIS PRIYANTO. Dampak Zonasi Taman Nasional Karimunjawa terhadap Strategi Nafkah Nelayan Kompressor. (Kasus Desa Karimunjawa, Kecamatan Karimunjawa, Kabupaten Jepara) (Dibimbing oleh SOERYO ADIWIBOWO)
Penelitian ini dilakukan di Desa Karimunjawa, Kecamatan Karimunjawa,
Kabupaten Jepara. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui menganalisis
dampak kehadiran Taman Nasional Karimunjawa berikut dengan zonasi perairan
laut terhadap nafkah nelayan. serta menganalisis eksistensi keberadaan zona di
lingkungan Taman Nasional Karimunjawa. Penelitian ini menggunakan metode
kuantitatif dengan kuesioner yang didukung oleh data kualitatif melalui observasi,
wawancara mendalam dan penelusuran dokumen yang terkait dengan
pembahasan. Responden dari penelitian ini adalah 35 orang yang diperoleh
melalui simple random sampling yang diwakili oleh masing-masing ketua
kelompok kapal, dari 90 kerangka sampling.
Hasil penelitian menunjukkan Zonasi Taman Nasional Karimunjawa
ditetapkan melalui Surat Keputusan Direktur Jenderal PHKA Nomor: 79/IV/Set-
3/2005 tanggal 30 Juni 2005 yang merupakan evaluasi dari penetapan zonasi
sebelumnya pada tahun 1999, tidak memberikan pengaruh yang signifikan
terhadap nelayan kompressor. Padahal nelayan kompressor beroperasi di sekitar
pulau-pulau dengan jarak sekitar 50-200 meter dari bibir pantai, untuk mencari
ikan diantara batu-batu karang tempat ikan bereproduksi. Ketidaktahuan
masyarakat tentang isi dan maksud dari zonasi Taman Nasional menyebabkan
maraknya penangkapan ikan di zona inti dan zona perlindungan.
Nelayan kompressor merupakan kelompok nelayan yang memiliki resiko
tinggi dalam mencari nafkah, namun memiliki penghasilan yang rata-rata lebih
tinggi dari nelayan tradisional, yakni rata-rata sekitar Rp 1.956.000 per bulan.
Tingkat penghasilan nelayan kompressor sangat ditentukan oleh kapasitas mesin
kapal untuk menjangkau wilayah-wilayah yang memiliki stock ikan melimpah,
serta kegigihan dari para awak kapal untuk mendapatkan hasil yang banyak.
v
Nelayan kompressor mayoritas berusia muda (65,7%), dengan tingkat pendidikan
yang rendah (94%).
Penetapan zonasi Taman Nasional Karimunjawa tidak serta merta
menyelesaikan masalah yang ada, karena keberadaannya pun tidak sepenuhnya
dipahami dan dipatuhi oleh masyarakat. Sebagian besar nelayan kompressor
mencari ikan di semua kawasan Taman Nasional Karimunjawa karena mereka
tidak mengetahui tentang zonasi kawasan. Selain itu, minimnya patroli laut yang
dilakukan Balai Taman Nasional Karimunjawa (BTNKJ) membuat kasus
pelanggaran memasuki zona inti dan perlindungan terus berlanjut.
Efektivitas pengelolaan Taman Nasional Karimunjawa dipengaruhi oleh
kualitas sumberdaya manusia, ketersediaan sarana dan prasarana, serta dukungan
anggaran yang memadai. Pegawai BTNKJ yang hanya berkekuatan 81 orang tidak
sebanding dengan luas wilayah daratan dan perairan Taman Nasional
Karimunjawa yang harus diawasi atau dikontrol; yakni seluas 111.625 hektar dan
terdiri dari 22 pulau. Kondisi ini diperparah lagi dengan terbatasnya sarana dan
prasarana dan dukungan anggaran yang tidak memadai. Di lain pihak, dalam
beberapa tahun terakhir terdapat peningkatan jumlah nelayan, alat tangkap, serta
produksi hasil tangkapan ikan di Kepulauan Karimunjawa. Peningkatan produksi
perikanan laut ini terjadi merupakan implikasi dari kebijakan Pemerintah Provinsi
Jawa Tengah yang menetapkan perairan Karimunjawa sebagai salah satu sentra
pengembangan produksi perikanan laut di wilayah Jawa Tengah.
Taman Nasional Laut Karimunjawa mampu meningkatkan diversifikasi
nafkah dengan mendorong pertumbuhan sektor pariwisata, namun tidak
mempengaruhi daerah tangkap dan alat tangkap nelayan kompressor. Sehingga
dapat dikatakan bahwa manajemen zonasi yang dilakukan oleh BTNKJ belum
efektif.
ii
DAMPAK ZONASI TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA TERHADAP
STRATEGI NAFKAH NELAYAN KOMPRESSOR
(Kasus Desa Karimunjawa, Kecamatan Karimunjawa,
Kabupaten Jepara, Provinsi Jawa Tengah)
Oleh
Faris Priyanto
I34070126
SKRIPSI Sebagai Prasyarat untuk Mendapatkan Gelar
Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011
vi
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini menyatakan bahwa Skripsi yang disusun oleh:
Nama Mahasiswa : Faris Priyanto
NIM : I34070126
Judul Proposal Skripsi : Dampak Zonasi Taman Nasional Karimunjawa terhadap
Strategi Nafkah Nelayan Kompressor (Kasus Desa
Karimunjawa, Kecamatan Karimunjawa, Kabupaten Jepara)
Dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui, Dosen Pembimbing Skripsi
Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS NIP. 19550630 198103 1 003
Mengetahui
Ketua Departemen Sains Komunikasi
dan Pengembangan Masyarakat
Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS NIP. 19550630 198103 1 003
Tanggal Pengesahan :
vii
LEMBAR PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL
“DAMPAK ZONASI TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA TERHADAP
STRATEGI NAFKAH NELAYAN KOMPRESSOR (KASUS DESA
KARIMUNJAWA, KECAMATAN KARIMUNJAWA, KABUPATEN
JEPARA)” BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI
ATAU LEMBAGA LAIN MANAPUN UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH
GELAR AKADEMIK TERTENTU. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA
SKRIPSI IN BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK
MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU
DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN
RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.
Bogor, September 2011
Faris Priyanto
I34070126
viii
RIWAYAT HIDUP
Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara dari pasangan Bapak
Imam Supriyadi dan Ibu Syafa’atun. Penulis lahir di Bogor, pada tanggal 07
Januari 1988. Penulis menamatkan pendidikan di TK Insan Kamil (1993-1994),
SD Rimba Putra (1994-2000), SMP Negeri 4 Bogor (2000-2003), dan SMA
Negeri 9 Bogor (2003-2006). Setelah menamatkan SMA, penulis berniat
melanjutkan ke jenjang Akademi Militer, namun cita-cita tersebut tidak tercapai.
Kemudian pada tahun 2007, penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian
Bogor (IPB) di Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Fakultas Ekologi Manusia melalui jalur SPMB.
Selama di IPB, penulis mengikuti beberapa kegiatan kemahasiswaan
antara lain Koran Kampus, Himpunan Mahasiswa Peminat Ilmu-Ilmu Komunikasi
dan Pengembangan Masyarakat (HIMASIERA), Forum Unit Kegiatan Mahasiswa
(FUKM), Ikatan Mahasiswa Peminat Ekologi Manusia(IMPEMA). Selain itu,
penulis juga pernah terpilih menjadi Duta FEMA, utusan Duta Lingkungan IPB,
dan Jajaka Kota Bogor. Selain kegiatan kemahasiswaan, penulis juga menjadi
asisten praktikum MK. Sosiologi Umum dan MK. Dasar-dasar Komunikasi.
Penulis menaruh minat yang besar terhadap ilmu-ilmu ekonomi, seni,
sejarah, filsafat, sosial, sastra, sains dan psikologi. Selain itu, penulis juga
menekuni bidang fotografi, menulis, olah raga dan berpetualang. Bagi penulis,
Tuhan tidak menginginkan seseorang untuk menjadi mahasiswa yang baik, dosen
yang baik, pejabat yang baik, atau tokoh agama yang baik. Penulis percaya bahwa
Tuhan menginginkan setiap orang untuk menjadi manusia yang baik. Oleh karena
itu, tidak ada hasrat yang lebih besar dari penulis selain untuk menikmati hidup
dan memperbaiki kehidupan diri sendiri, dan jika memungkinkan, kehidupan
orang lain.
ix
KATA PENGANTAR
Puji Puji syukur kehadirat Tuhan YME atas kesempatan yang diberikan kepada
penulis hingga dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Dampak Zonasi
Taman Nasional Karimunjawa terhadap Strategi Nafkah Nelayan
Kompressor” dengan baik.
Selesainya penelitian dan penulisan skripsi ini tidak terlepas dari
kontribusi berbagai pihak baik secara moral maupun material. Oleh karena itu
penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Ayah dan Ibu (Bpk. Imam Supriyadi dan Ibu Syafa’atun) yang selalu
memberikan dukungan baik secara moral, material, maupun spiritual.
2. Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS, selaku dosen pembimbing yang telah
mencurahkan waktu untuk memberikan bimbingan, arahan serta kritik dan
saran yang membangun hingga penulis menyelesaikan proposal penelitian ini.
3. Semua staff Balai Taman Nasional Karimunjawa (BTNKJ) yang telah
memberikan banyak masukan dan pelajaran berharga untuk penelitian ini.
4. Mas Jambrong, yang sudah menyediakan tempat menyenangkan di
Karimunjawa. Juga untuk semua nelayan kompressor yang ramah dan
bersahabat: senang bisa melaut dengan kalian.
5. Untuk M Danny Julainsyah, yang menyediakan tempat bermalam di
Semarang. Terima kasih untuk semua bantuan dan keikhlasannya. Juga untuk
Aditya Nugraha, yang telah sangat membantu tersusunnya skripsi ini.
6. Sahabat-sahabat di Winaya Lokatmala, Garda Paksi, PPI, Mojang-Jajaka,
Koran Kampus, IMPEMA, dan tentu saja KPM 44.
7. Untuk Yochan, Asih, dan Monic yang selalu memberikan hal terbaik dari 4
tahun ini.
8. Dan untuk Ardini.
Bogor, 8 September 2011
Faris Priyanto
NIM I34070126
x
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI .......................................................................................... x
DAFTAR TABEL .................................................................................. xii
DAFTAR GAMBAR.............................................................................. xiv
DAFTAR LAMPIRAN........................................................................... xv
1. PENDAHULUAN.............................................................................. 1
1.1. Latar Belakang ........................................................................ 1
1.2. Perumusan Masalah.................................................................. 3
1.3. Tujuan Penelitian ..................................................................... 4
1.4. Kegunaan Penelitian ............................................................... 5
2. PENDEKATAN TEORETIS ............................................................. 6
2.1. Tinjauan Pustaka ...................................................................... 6
2.2. Kerangka Pemikiran ................................................................ 19
2.3. Hipotesa Penelitian.................................................................... 21
2.4. Definisi Operasional ................................................................ 21
3.METODOLOGI PENELITIAN.......................................................... 23
3.1. Metode Penelitian .................................................................... 23
3.2. Lokasi dan Waktu .................................................................... 23
3.3. Teknik Pengambilan Data…..................................................... 24
3.4. Teknik Analisis Data…………………………………………. 25
4. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN…........................... 27
4.1. Sejarah Lokasi…....................................................................... 27
4.2. Lokasi Geografis....................................................................... 27
4.3. Kependudukan……………....................................................... 28
4.4. Iklim dan Topografi................................................................... 30
4.5 Sarana Dan Prasarana …..……………………………………. 31
5. ZONASI TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA DAN
NELAYAN KOMPRESSOR.............................................................
32
5.1. Zonasi Taman Nasional Laut Karimunjawa............................. 32
xi
5.2. Pengetahuan Masyarakat Tentang Zonasi Kawasan................. 38
5.3. Nelayan Kompressor................................................................. 41
5.4. Karakteristik Nelayan Kompressor........................................... 44
5.5 Ikhtisar....................................................................................... 52
6. DAMPAK ZONASI TAMAN NASIONAL TERHADAP
STRATEGI NAFKAH NELAYAN KOMPRESSOR.......................
54
6.1. Daerah Tangkap……………………......................................... 54
6.2. Alat Tangkap............................................................................. 57
6.3. Diversifikasi Nafkah.................................................................. 61
6.4. Ikhtisar....................................................................................... 65
7. EFEKTIFITAS PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA
66
7.1. Manajemen Konservasi Keanekaragaman Hayati Taman
Nasional Karimunjawa Melalui Sistem Zonasi .......................
66
7.2 Kapasitas Balai Taman Nasional Karimunjawa........................ 68
7.3. Kondisi Perikanan Tangkap Kepulauan Karimunjawa............ 70
7.4. Ikhtisar....................................................................................... 74
8. PENUTUP.......................................................................................... 76
8.1. Kesimpulan………….......…………......................................... 76
8.2. Saran ......................................................................................... 78
DAFTAR PUSTAKA 80
LAMPIRAN ........................................................................................... 83
xii
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
Tabel 1 Data Kependudukan Tiga Desa di Kecamatan
Karimunjawa Tahun 2010................................................
28
Tabel 2 Data Kependudukan Tiga Desa di Kecamatan
Karimunjawa Berdasarkan Pendidikan dan Agama
Tahun 2002.......................................................................
29
Tabel 3 Data Mata Pencaharian Penduduk Kecamatan
Karimunjawa Tahun 2009...............................................
Tabel 4 Fasilitas Umum yang Terdapat di Kecamatan
Karimunjawa Tahun 2002...............................................
31
Tabel 5 Pengetahuan Nelayan Kompressor tentang Zonasi
Taman Nasional Karimunjawa Tahun 2011.....................
40
Tabel 6 Jumlah dan Persentase Responden Menurut Kelompok
Umur Tahun 2011.............................................................
44
Tabel 7 Jumlah dan Persentase Responden Menurut Tingkat
Pendidikan Tahun 2011....................................................
45
Tabel 8 Jumlah dan Persentase Responden Menurut Pengalaman
Melaut Tahun 2011...........................................................
46
Tabel 9 Jumlah dan Persentase Responden Menurut Kapasitas
Mesin Kapal Tahun 2011..................................................
47
Tabel 10 Nilai Hasil Tangkapan Berdasarkan Kelompok Kapal
Nelayan Kompressor Tahun 2011....................................
48
Tabel 11 Jenis Ikan Hasil Tangkapan Nelayan Kompressor........... 50
Tabel 12 Daerah Tangkap Responden Sebelum dan Sesudah
Zonasi Kawasan Tahun 2005............................................
54
Tabel 13 Perubahan Alat Tangkap Sebelum dan Sesudah Zonasi
Kawasan Tahun 2005.......................................................
58
Tabel 14 Perubahan Nafkah Ganda Sebelum dan Sesudah Zonasi
Kawasan Tahun 2005......................................................
62
xiii
Tabel 15 Keadaan pegawai Balai Taman Nasional Karimunjawa
Berdasarkan Golongan dan Jenis Kelamin Tahun 2008...
69
Tabel 16 Keadaan Pegawai Balai Taman Nasional Karimunjawa
Berdasarkan Tingkat Pendidikan Tahun 2008..................
69
Tabel 17 Data Sarana Balai Taman Nasional Karimunjawa Tahun
2008.........................................................................
70
Tabel 18 Data Angaran Program Kegiatan Balai Taman Nasional
Karimunjawa Tahun 2008..............................................
71
Tabel 19 Perkembangan Jumlah Nelayan di Karimunjawa Tahun
1996-2005..................................................................
72
Tabel 20 Perkembangan Jumlah Kapal Penangkapan Ikan Tahun
1996-2005.........................................................................
73
Tabel 21 Jenis dan jumlah alat tangkap di Karimunjawa tahun
1996-2005.........................................................................
73
xiv
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
Gambar 1. Kerangka Pemikiran ....................................................... 20
Gambar 2. Peta Karimunjawa Tahun 2002........................................ 27
Gambar 3. Pengetahuan Masyarakat tentang Zonasi pada Tahun
2005..................................................................................
38
Gambar 4. Pengetahuan Masyarakat tentang Zonasi pada Tahun
2009..................................................................................
39
Gambar 5. Produksi Ikan Kepulauan Karimunjawa tahun 1996-
2005..................................................................................
74
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
Lampiran 1 Peta Lokasi Penelitian................................................... 84
Lampiran 2 Panduan Pertanyaan...................................................... 85
Lampiran 3 Daftar Kerangka Sampling............................................ 87
Lampiran 4 Alat Tangkap Sebelum dan Sesudah Zonasi Kawasan 88
Lampiran 5 Nafkah Ganda Sebelum dan Sesudah Zonasi Kawasan 90
Lampiran 6 Aktifitas Perikanan Panah-Kompressor........................ 78
Lampiran 7 Dokumentasi Penelitian................................................ 79
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Keanekaragaman hayati yang dipertahankan melalui konsep konservasi
merupakan sebuah langkah penting yang harus diambil pemerintah untuk
memastikan agar keseimbangan ekosistem di Indonesia tetap terjaga. Berdasarkan
UU No 5 Tahun 1990, konservasi sumber daya alam hayati diartikan sebagai
pengelolaan sumber daya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara
bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap
memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya. Konservasi
tersebut dilakukan untuk menjamin terciptanya perlindungan terhadap sumber
daya alam kawasan serta terjaminnya akses masyarakat terhadap sumber alam
tersebut untuk dimanfaatkan secara berkelanjutan. Berdasarkan Peraturan Menteri
Kehutanan Nomor P. 56 /Menhut-II/2006 pasal 1, Zonasi Taman Nasional
dibedakan menjadi tujuh, yaitu zona inti, zona rimba, zona pemanfaatan, zona
tradisional, zona rehabilitasi, zona religi dan zona khusus. Pedoman zonasi ini
diperuntukkan untuk mewujudkan sistem pengelolaan Taman Nasional yang
efektif dan optimal sesuai dengan fungsinya.
Meski demikian, pelaksanaan konservasi tak jarang mengurangi akses
masyarakat terhadap tempat mereka menggantungkan hidup. Pemanfaatan sumber
daya alam dan pembangunan yang berkelanjutan menjadi konsep penting dalam
melihat masalah tersebut. Tidak ada masyarakat yang secara tak sengaja
menghambat kemenerusan lingkungan mereka, tetapi dengan terus
berlangsungnya masalah lingkungan yang disebabkan oleh dampak negatif
kegiatan manusia, merupakan tanda bahwa keberlanjutan memang masih
diragukan. Keberlanjutan bukan merupakan akhir yang harus dicapai, tetapi target
yang secara terus menerus harus dinegosiasikan sementara masyarakat belajar
mengenali gejala ketidakberlanjutan (Francis, 1995: 4 dalam Mitchell et al. 2007).
Wilayah pesisir merupakan wilayah peralihan antara darat dan lautan yang
biasa ditempati olah masyarakat dengan mata pencaharian sebagai nelayan. Desa
pesisir merupakan entitas sosial-ekonomi, sosial-budaya, serta sosial-ekologi,
2
yang menjadi batas antara dataran dan lautan (Satria 2009). Pesisir adalah
wilayah yang unik, karena dalam konteks bentang alam, wilayah pesisir
merupakan tempat bertemunya daratan dan lautan. Sejalan dengan pertambahan
penduduk dan peningkatan kegiatan pembangunan sosial-ekonomi, "nilai"
wilayah pesisir terus bertambah.
Menyadari nilai strategis yang dimiliki Kepulauan Karimunjawa, kawasan
ini ditetapkan sebagai kawasan konservasi (Cagar Alam Laut) pada Tahun 1986.
kemudian pada Tahun 1999 melalui Keputusan Menhutbun No.78/Kpts-II/1999
Cagar Alam Karimunjawa dan perairan sekitarnya seluas 111.625 Ha diubah
menjadi Taman Nasional dengan nama Taman Nasional Karimunjawa (TNKJ).
Pada Tahun 2001 sebagian kawasan Taman Nasional Karimunjawa ditetapkan
sebagai Kawasan Pelestarian Alam. Perubahan status kawasan tersebut dilakukan
untuk mengakomodir keberadaan masyarakat yang telah tinggal dan menetap di
wilayah kepulauan Kepulauan Karimunjawa, agar dapat memanfaatkan
sumberdaya alam untuk memenuhi kebutuhan mereka melalui sistem zonasi.
Sebagian besar masyarakat Karimunjawa berprofesi sebagai nelayan,
dimana hampir 60,25% dari jumlah penduduknya adalah nelayan. Pada Tahun
2005, jumlah nelayan mencapai 2.923 orang, yang terdiri dari juragan sebanyak
299 orang, dan pandega sebanyak 2.624 orang. Dari 14 kecamatan yang ada di
Kabupaten Jepara, Kecamatan Karimunjawa memiliki jumlah nelayan terbesar,
yaitu pada tahun 2004 sebanyak 2.945 orang dari total nelayan seluruhnya
sebanyak 12.382 orang. Nelayan di Kepulauan Karimunjawa dari tahun ke tahun
sudah banyak mengalami perkembangan, khususnya dalam penggunaan mesin
kapal yaitu dari perahu tak bermesin (perahu layar) ke perahu bermesin tempel
atau perahu motor. Sekarang ini di Karimunjawa telah banyak nelayan yang
menggunakan perahu kapal motor untuk melakukan aktivitas penangkapan (PPP
Karimunjawa 2006)
Kawasan konservasi laut (Marine Protected Area/MPA) merupakan
kawasan ekosistem laut yang ditujukan untuk perlindungan dan pemeliharaan
keanekaragaman hayati, sumberdaya alam dan budaya setempat, yang dikelola
berdasarkan undang-undang atau peraturan yang berlaku (IUCN 2003). Oleh
karenanya penetapan kawasan lindung dapat dianggap sebagai instrumen yang
terkait dengan aspek ekologis dan kelembagaan/hukum secara bersamaan. Meski
3
demikian, penetapan kepulauan Karimunjawa sebagai Kawasan Konservasi
Laut/Taman Nasional menyebabkan masyarakat harus melakukan proses adaptasi
dalam menjalankan strategi nafkahnya, terutama terkait dengan adanya sistem
zonasi kawasan Taman Nasional.
Kecamatan Karimunjawa adalah wilayah pesisir yang memiliki luas
sekitar 107.225 ha, dengan wilayah pemukiman penduduk seluas 2000 ha.
Kawasan ini dihuni oleh 8.773 jiwa yang tersebar di tiga desa yang terdapat pada
satu kecamatan dengan 85% masyarakatnya bergantung kepada sumberdaya alam,
khususnya sumberdaya perikanan dan kelautan. Penelitian ini dilakukan dalam
rangka mengetahui dampak Zonasi Taman Nasional terhadap strategi nafkah
nelayan kompressor. Nelayan kompressor merupakan kelompok nelayan yang
menggunakan alat tangkap berupa Speargun dan alat bantu berupa mesin
kompressor. Kelompok nelayan ini bekerja di sekitar batu-batu karang di perairan
dangkal. Dengan adanya perubahan dalam strategi nafkah yang dilakukan
nelayan, akan menarik untuk diteliti sejauh mana penetapan Zonasi Taman
Nasional tersebut berdampak terhadap nelayan kompressor.
1.2 Perumusan Masalah
Wilayah perairan Kepulauan Karimunjawa telah ditetapkan sebagai Taman
Nasional melalui Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan No. 78/Kpts-II/1999.
Dari ketujuh zona yang ada, hanya zona pemanfaatan perikanan tradisional yang
terbuka untuk usaha penangkapan ikan, karena selebihnya hanya dipergunakan
untuk upaya atau kegiatan konservasi dalam usaha pelestarian alam. Hal ini
menjadi menarik untuk diketahui apakah sistem zonasi yang diterapkan di TNKJ
tidak menyebabkan marjinalisasi masyarakat nelayan, bahkan dapat mendorong
terjadinya perikanan tangkap yang berkelanjutan.
Kepulauan Karimunjawa merupakan salah satu sentra produksi perikanan
laut di Kabupaten Jepara, Propinsi Jawa Tengah. Walaupun merupakan pulau-
pulau kecil dan terpisah oleh lautan, Karimunjawa memiliki potensi perikanan
yang besar, hal ini terlihat dari produksi perikanan pada Tahun 2005 sebesar
92.022 kg, di mana produksi ini masih berada di bawah nilai potensi lestari
Karimunjawa yaitu sebesar 167.734,45 kg (PPP Karimunjawa 2006 dalam
Irnawati 2008). Dari 14 kecamatan yang ada di Kabupaten Jepara, Kecamatan
4
Karimunjawa memiliki jumlah nelayan terbesar, yaitu pada Tahun 2004 sebanyak
2.945 orang dari total nelayan seluruhnya sebanyak 12.382 orang. Seiring dengan
meningkatnya jumlah nelayan, teknologi dan alat tangkap yang digunakan pun
semaju maju dan bervariasi (lihat Tabel 11 dan Tabel 12).
Balai Taman Nasional Karimunjawa sejak Tahun 1998 telah merintis
kegiatan pemberdayaan masyarakat, baik melalui peningkatan perekonomian,
penguatan kelembagaan, penciptaan mata pencaharian alternatif, serta
peningkatan kapasitas masyarakat. Kegiatan ini diharapkan dapat memunculkan
kesiapan masyarakat untuk berpartisipasi dalam menjaga dan melestarikan Taman
Nasional Karimunjawa1. Meski demikian, perlu diperhatikan bahwa partisipasi
masyarakat dalam konteks ini bisa jadi menempatkan masyarakat sebagai objek,
bukan sebagai subjek. Oleh karenanya, dibutuhkan kajian lebih lanjut tentang
apakah konservasi keanekaragam hayati yang terwujud dalam Zonasi Taman
Nasional Karimunjawa benar-benar memberikan dampak positif bagi masyarakat
nelayan kompressor dan bagi keberlanjutan ekologi. Terlebih lagi, nelayan
kompressor hanya bekerja di sekitar terumbu karang di perairan dangkal, sehingga
sangat rentan terhadap pelanggaran sistem Zonasi Taman Nasional.
Terkait dengan hal tersebut, rumusan masalah yang akan diangkat dalam
proposal penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Dengan dibatasinya ruang pemanfaatan ikan hanya pada zona pemanfaatan
tradisional, sejauh mana Zonasi TNKJ berdampak terhadap strategi nafkah
nelayan kompressor?
2. Seberapa jauh efektivitas pengelolaan TNKJ berikut dengan batas
zonasinya, dapat mengimbangi aktifitas perikanan laut di Kepulauan
Karimunjawa?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah diatas, dirumuskan tujuan dari penelitian
sebagai berikut:
1. Menganalisis dampak kehadiran Taman Nasional Karimunjawa berikut
dengan zonasi perairan laut terhadap nafkah nelayan kompressor.
1 http://karimunjawanationalpark.org/pemberdayaan-masyarakat/blog
5
2. Menganalisis efektivitas konservasi keanekaragaman hayati yang
dilakukan di Taman Nasional Karimunjawa, terkait dengan Kepulauan
Karimunjawa yang merupakan sentra produksi perikanan laut terbesar
di Jawa Tengah.
1.4 Kegunaan Penelitian
Penelitian ini memiliki beberapa manfaat untuk mahasiswa selaku
pengamat dan akademisi, masyarakat dan pemerintah. Adapun manfaat yang
dapat diperoleh yaitu:
1. Bagi Mahasiswa
Penelitian ini memberikan tambahan hazanah pengetahuan kepada
mahasiswa mengenai proses dan dampak yang ditimbulkan dari zonasi
kawasan Taman Nasional Karimunjawa dan membuka realitas pikiran bagi
mahasiswa dalam menanggapi permasalahan ini.
2. Bagi Masyarakat
Penelitian ini membantu kepada masyarakat, khususnya masyarakat
nelayan di kawasan Taman Nasional Karimunjawa untuk memahami lebih
dalam tentang latar belakang, proses dan dampak dari adanya zonasi
kawasan, terutama hubungannya dengan strategi nafkah yang dilakukan
nelayan.
3. Bagi Pemerintah
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dan bahan pertimbangan
dalam menentukan kebijakan yang berkaitan dengan pengelolaan
sumberdaya alam di kawasan Taman Nasional.
6
BAB II
PENDEKATAN TEORITIS
2.1 Tinjauan Pustaka
2.1.1 Konservasi dan Pemanfaatan Berkelanjutan
Konservasi adalah segenap proses pengelolaan suatu tempat agar makna
kultural yang dikandungnya terpelihara dengan baik (Piagam Burra 1981 dalam
Sofa 2008). Konservasi juga memiliki makna sebagai bentuk pemeliharaan dan
perlindungan terhadap sesuatu yang dilakukan secara teratur untuk mencegah
kerusakan dan kemusnahan dengan cara pengawetan (Peter Salim dan Yenny
Salim 1991 dalam Sofa 2008) 2. Namun demikian, Purwanti et al.2008
mengatakan bahwa berbagai ketentuan peraturan di bidang otonomi daerah
maupun di bidang konservasi sumber daya alam dan ekosistem belum memberi
ketegasan dan kejelasan arah pelaksanaan kebijakan dan peran yang harus
dilakukan oleh berbagai pihak, baik tingkat pusat maupun daerah. Selain itu,
pemerintah pusat juga belum berhasil membentuk mekanisme pengelolaan Taman
Nasional yang efektif, karena adanya disharmoni sistem hukum dalam hal
kewenangan pengelolaan3.
Oleh karena itu, dibutuhkan tindakan-tindakan strategis dari pengelola
kawasan konservasi dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya sesuai dengan
konteks sosial, ekonomi dan politik masyarakat di sekitar kawasan konservasi.
Tindakan tersebut diperlukan dalam koridor menjaga fungsi wilayah konservasi
sekaligus memelihara hubungan yang baik dengan masyarakat dalam membangun
pemanfaatan sumber daya alam yang berkelanjutan di sekitar kawasan. Dalam
memahami konservasi, pemanfaatan berkelanjutan menjadi konsep yang penting
karena dapat menyelaraskan kebutuhan untuk memanfaatkan sumberdaya alam
dengan pemeliharaan dan perlindungan kawasan konservasi.
2 http://massofa.wordpress.com/2008/02/03/konservasi-sumber-daya-alam-dan-buatan/, diakses tanggal 26 Februari 2011 pukul 16.12 WIB 3 Purwanti, Frida, Hadi S. Alikodra, Sambas Basuni, Dedi Soedharma. 2008. Pengembangan Co-management Taman Nasional Karimunjawa. Jurnal Ilmu Kelautan Vol. 13 (3) : 159 – 166
7
Istilah keberlanjutan pertama kali dikenalkan pada tahun 1987 oleh World
Commission On Environment and Development melalui bukunya Our Common
Future. Buku ini memperkenalkan gagasan "pembangunan berkelanjutan" beserta
konsep-konsepnya yang sangat menarik, termasuk debat mengenai hubungan
seperti apakah yang seharusnya ada antara "lingkungan" dan "pembangunan".
Tidak ada sistem perputaran sumberdaya dapat berkelanjutan seperti pada
awalnya. Perubahan pasti terjadi. Paradigma pembangunan berkelanjutan harus
dipahami sebagai etika politik pembangunan, yaitu sebuah komitmen moral
tentang bagaimana seharusnya pembangunan itu diorganisir dan dilaksanakan
untuk mencapai tujuan. Dalam kaitan dengan itu, paradigma pembangunan
berkelanjutan bukan sebuah konsep tentang pentingnya lingkungan hidup, bukan
juga tentang pembangunan ekonomi. Ini sebuah etika politik mengenai
pembangunan dan bagaiman pembangunan itu seharusnya dijalankan (Keraf
2002).
Lebih lanjut lagi, Biasane (2004) mengatakan bahwa konsep
pembangunan perikanan berkelanjutan harus mengandung beberapa aspek yang
dapat menyeimbangkan antara kebutuhan konservasi dan kebutuhan sosial
ekonomi, antara lain:
1. Ecological sustainability (keberlanjutan ekologi).
Dalam pandangan ini memelihara keberlanjutan stok/biomass sehingga
tidak melewati daya dukungnya, serta meningkatkan kapasitas dan kualitas
dari ekosistem menjadi konsern utama.
2. Socioeconomic sustainability (keberlanjutan sosio-ekonomi).
Pembangunan perikanan harus memperhatikan keberlanjutan dari
kesejahteraan pelaku perikanan pada tingkat individu.
3. Community sustainability (keberlanjutan komunitas).
Mengandung makna bahwa keberlanjutan kesejahteraan dari sisi
komunitas atau masyarakat haruslah menjadi perhatian membangun
perikanan yang berkelanjutan.
4. Institutional sustainability (keberlanjutan kelembagaan).
Dalam kerangka ini keberlanjutan yang kelembagaan menyangkut
memelihara aspek finansial dan administrasi yang sehat merupakan
prasyarat dari ketiga pembangunan keberlanjutan di atas.
8
Perubahan lingkungan fisik dan lingkungan sosial merupakan tantangan
yang harus dihadapi dalam menjaga pembangunan perikanan yang berkelanjutan.
Menurut Homer-Dixon (1993) dalam Mitchell et al (2007), kegiatan manusia
dapat menyebabkan kerusakan lingkungan atau kelangkaan sumber daya dalam
tiga cara. Pertama, kegiatan manusia dapat menyebabkan penurunan jumlah dan
kualitas sumber daya, terutama jika jumlah sumber daya dieksploitasi dengan
tingkat kecepatan yang melebihi daya pulihnya. Kedua, penurunan atau
kelangkaan sumber daya disebabkan oleh pertumbuhan penduduk. Ketiga, akses
terhadap lingkungan dan sumber daya alam yang tidak seimbang juga akan
menyebabkan banyak persoalan. Akses yang tidak seimbang biasanya disebabkan
oleh hak kepemilikan yang terkonsentrasi pada sekelompok kecil masyarakat
sehingga menyebabkan kelangkaan hak kepemilikan bagi kelompok lain (Mitchel
et al. 2007).
2.1.2 Konsep Zonasi Kawasan Taman Nasional
Definisi Taman Nasional menurut UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi
SDA Hayati dan Ekosistemnya, adalah merupakan kawasan pelestarian alam yang
mempunyai ekosistem asli dan dikelola dengan sistem zonasi serta dapat
dimanfaatkan untuk tujuan pendidikan, penelitian, pengembangan
budidaya,rekreasi, dan pariwisata. Dalam pasal 30 disebutkan bahwa pengelolaan
taman nasional adalah tercapainya tiga fungsi, yaitu: (1) perlindungan terhadap
ekosistem kehidupan, (2) pengawetan sumber plasma nutfah dan ekosistemnya,
dan (3) pelestarian pemanfaatan. Selain beberapa fungsi tersebut, taman nasional
dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat baik secara langsung maupun tidak
langsung melalui pemanfaatan yang lestari. Sebagian wilayah taman nasional
selama ini menjadi sumber kehidupan bagi masyarakat melalui berbagai kegiatan,
antara lain kegiatan perikanan, pertanian, dan pemanfaatan sumber daya alam
(SDA) yang lain.
Keterpaduan pengelolaan antara kegiatan pemanfaatan sumber daya
perikanan dengan kegiatan konservasi berarti bahwa kegiatan pemanfaatan
sumber daya yang ada harus menyesuaikan dengan kegiatan dan pengelolaan
konservasi, karena aspek sumber daya bertumpu pada keberhasilan dari usaha
konservasi (Maksum 2006). Pengelolaan konservasi juga harus
9
mengakomodasikan dan mengedepankan kepentingan pengelolaan dan
pemanfaatan sumber daya perikanan dan pemberdayaan masyarakat nelayan
untuk mencapai keberlanjutan sumber daya perikanan.
Taman Nasional Laut atau disebut juga Marine Protected Area (MPA)
adalah sebuah kawasan laut yang secara khusus ditujukan sebagai perlindungan
dan pemeliharaan keanekaragaman hayati secara alami, pembudidayaan, dan
dikelola melalui aturan-aturan (IUCN 2003). MPA diharapkan dapat membantu
dalam melindungi habitat-habitat penting contoh-contoh perwakilan kehidupan
laut, dan juga dapat membantu dalam memulihkan produktifitas laut dan
menghindari kerusakan yang lebih jauh. Prinsip manfaat Kawasan Konservasi
Laut adalah dampak limpahan, dimana pada kawasan yang dilindungi, stok ikan
akan tumbuh dengan baik, dan limpahan dari pertumbuhan ini akan mengalir ke
wilayah di luar kawasan, yang kemudian dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan
tanpa mengurangi sumber pertumbuhan di daerah yang dilindungi. Kawasan
Konservasi Laut dapat berfungsi sebagai nursery ground (tempat pembesaran),
feeding ground (tempat mencari makan) ataupun spawning ground (tempat
memijah) bagi ikan-ikan yang hidup di area sekitar kawasan tersebut 4.
Terkait dengan hal tersebut, Permenhut No: P. 56 /Menhut-II/2006
mengatur tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional. Dalam peraturan tersebut
dikatakan bahwa Zonasi Taman Nasional adalah suatu proses pengaturan ruang
dalam Taman Nasional menjadi zona-zona, yang mencakup kegiatan tahap
persiapan, pengumpulan dan analisi data, penyusunan draft rancangan rancangan
zonasi, konsultasi publik, perancangan, tata batas, dan penetapan, dengan
mempertimbangkan kajian-kajian dari aspek-aspek ekologis, sosial, ekonomi dan
budaya masyarakat. Untuk dapat menciptakan tata kelola yang efektif dan optimal
seperti yang terkandung dalam Pasal 2 Permenhut Nomor P. 56 /Menhut-II/2006,
maka dibutuhkan pembagian zona kawasan menurut fungsinya. Adapaun zonasi
seperti yang tercantum dalam Permenhut tersebut adalah sebagai berikut:
1. Zona inti adalah bagian Taman Nasional yang mempunyai kondisi alam
baik biota ataupun fisiknya masih asli dan tidak atau belum diganggu oleh
4 Maksum, Mochamad Asep. 2006. Analisis Manfaat Ekonomi Sumberdaya Perikanan Kawasan Konservasi Laut Taman Nasional Karimunjawa. Tesis: Istitut Pertanian Bogor.
10
manusia yang mutlak dilindungi, berfungsi untuk perlindungan
keterwakilan keanekaragaman hayati yang asli dan khas.
2. Zona rimba, untuk wilayah perairan laut disebut zona perlindungan bahari
adalah bagian Taman Nasional yang karena letak, kondisi dan potensinya
mampu mendukung kepentingan pelestarian pada zona inti dan zona
pemanfaatan.
3. Zona pemanfaatan adalah bagian Taman Nasional yang letak, kondisi dan
potensi alamnya, yang terutama dinamfaatkan untuk kepentingan
pariwisata alam dan kondisi/jasa lingkungan lainnya.
4. Zona tradisional adalah bagian dari Taman Nasional yang ditetapkan untuk
kepentingan pemanfaatan tradisional oleh masyarakat yang karena
kesejarahan mempunyai ketergantungan dengan sumber daya alam.
5. Zona rehabilitasi adalah bagian dari Taman Nasional yang karena
mengalami kerusakan, sehingga perlu dilakukan kegiatan pemulihan
komunitas hayati dan ekosistemnya yang mengalami kerusakan.
6. Zona religi, budaya dan sejarah adalah bagian dari taman nasionai yang
didalamnya terdapat situs religi, peninggalan warisan budaya dan atau
sejarah yang dimanfaatkan untuk kegiatan keagamaan, perlindungan nilai-
nilai budaya atau sejarah.
7. Zona khusus adalah bagian dari Taman Nasional karena kondisi yang tidak
dapat dihindarkan telah terdapat kelompok masyarakat dan sarana
penunjang kehidupannya yang tinggal sebelum wilayah tersebut ditetapkan
sebagai Taman Nasional antara lain sarana telekomunikasi, fasilitas
transportasi dan listrik.
Penetapan zonasi kawasan melibatkan Staf Balai Taman Nasional, Unsur
Pemerintah Daerah, Lembaga Swadaya Masyarakat, Kelompok Masyarakat dan
Mitra kerja. Adapaun peran serta masyarakat seperti yang diatur dalam Pasal 19
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P. 56 /Menhut-II/2006 adalah memberi
saran, informasi dan pertimbangan, memberikan dukungan dalam pelaksanaan
kegiatan zonasi, melakukan pengawasan kegiatan zonasi, dan ikut menjaga dan
memelihara zonasi. Zonasi yang ditetapkan harus mempertimbangkan beberapa
faktor, antara lain:
11
a. Keanekaragaman hayati, nilai arkeologi, nilai obyek daya tarik wisata,
nilai potensi jasa lingkungan
b. Data spatial: tanah, geologi, iklim, topografi, geomorfologi, penggunaan
lahan;
c. Kondisi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat
d. Oseanografi untuk wilayah perairan.
Taman Nasional harus dirancang sedemikian rupa agar tidak menimbulkan
konflik kepentingan dalam penggunaan ruang di dalamnya. Wakil ekosistem-
ekosistem yang alami dan khas dapat dilindungi dan dilestarikan jika gangguan-
gangguan terhadapnya ditekan sekecil mungkin. Ekosistem yang rapuh harus
dibebaskan dari konflik penggunaan lahan. Untuk kepentingan pemanfaatan
wisata alam dan rekreasi dapat dilakukan pada daerah-daerah yang memiliki daya
tahan yang cukup (Basuni 1987).
Sistem zonasi yang diterapkan di TNKJ diharapkan dapat menyelaraskan
kondisi Karimunjawa sebagai taman nasional dengan kepentingan penduduk yang
mayoritas berprofesi sebagai nelayan. Lebih lanjut, Maksum (2006) mengatakan
bahwa penetapan hak pemanfaatan dan penangkapan ikan eksklusif juga perlu
diberlakukan di perairan TNKJ pada zona pemanfaatan perikanan tradisional
sehingga kegiatan perikanan tangkap oleh masyarakat nelayan setempat dapat
terus dilakukan dengan tetap menjaga kelestarian perikanan dan keberadaan
Karimunjawa sebagai sebuah taman nasional.
Dalam konsep pengelolaan Taman Nasional, zona inti merupakan unit
dalam Taman Nasional yang memberikan ciri khas kawasan konservasi dan
berfungsi sebagai pengatur yang menentukan totalitas ciri Taman Nasional.
Pemasukan sumber daya alam ke dalam unit zona inti harus berupa ekosistem atau
unsur ekosistem yang unik atau rapuh, tumbuhan atau satwa yang terancam punah
atau gejala alam yang memerlukan upaya perlindungan. Sumber daya alam
demikian dapat dipandang sebagai obyek konservasi utama. Untuk daerah-daerah
yang memiliki tingkat kerentanan kawasan sedang sampai rendah, maka bisa
diperuntukan sebagai Zona Pemanfaatan. Bila daerah-daerah dalam zona
pemanfaatan merupakan daerah perlindungan satwa, daerah tangkapan air atau
daerah bahaya erosi, maka sebaiknya diperuntukan sebagai Zona Pemanfaatan
Semi Intensif. Sedangkan bila daerah-daerah dalam zona pemanfaatan bukan
12
merupakan daerah perlindungan satwa, daerah tangkapan air dan daerah bahaya
erosi, maka bisa diperuntukan sebagai Zona Pemanfaatan Intensif. Untuk daerah-
daerah dimana terdapat aktifitas pemanfaatan lahan yang berada pada tingkat
kerentanan tinggi sampai sangat tinggi, sebaiknya diperuntukan sebagai Zona
Lain (Pemulihan). Untuk daerah-daerah dimana terdapat aktifitas pemanfaatan
lahan yang berada pada tingkat kerentanan rendah dan berbatasan dengan batas
Taman Nasional, sebaiknya diperuntukan sebagai Zona Penyangga (Hutan atau
Ekonomi). Untuk daerah-daerah dimana terdapat aktifitas pemanfaatan lahan yang
berada pada tingkat kerentanan rendah dan tidak berbatasan dengan batas Taman
Nasional, sebaiknya diperuntukan sebagai Zona Lain (Peruntukan Khusus). Untuk
daerah-daerah dimana terdapat aktifitas pemanfaatan lahan yang berada pada
tingkat kerentanan sedang, sebaiknya diperuntukan sebagai Zona Lain
(Peruntukan Khusus) (Basuni 1987).
Menurut Alikodra (1987), ketergantungan masyarakat dapat dikategorikan
menjadi tidak legal dan legal. Ketergantungan tidak legal adalah pengambilan
kayu, buah, daun, rumput dan menggembalakan ternak secara liar, dimana
menurut peraturan mengenai Taman Nasional, semua kegiatan tersebut dilarang.
Jika tidak dilakukan pengaturan, maka akan merusak potensi Taman Nasional.
Sedangkan ketergantungan yang legal antara lain menjadi pemandu wisata alam,
sopir angkutan dan usaha pelayanan pengunjung. Ketergantungan ini dapat
ditingkatkan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat.
2.1.3 Strategi Adaptasi Nafkah Nelayan
Adaptasi merupakan tingkah laku penyesuai yang menunjuk pada tindakan
(Bennet dalam Subri 2007). Dalam hal ini, adaptasi dikatakan sebagai tingkah
laku yang bersifat strategis dalam upaya memaksimalkan kesempatan hidup.
Dalam Sosiologi Nafkah, Dharmawan (2006) memberikan penjelasan bahwa
livelihood memiliki pegertian yang lebih luas daripada sekedar means of living
yang bermakna sempit mata pencaharian. Dalam sosiologi nafkah, pengertian
strategi nafkah lebih mengarah pada pengertian livelihood strategy (strategi
penghidupan) daripada means of living strategy (strategi cara hidup). Pengertian
livelihood strategy yang disamakan pengertiannya menjadi strategi nafkah
(dalam bahasa Indonesia), sesungguhnya dimaknai lebih besar daripada sekedar
13
“aktivitas mencari nafkah” belaka. Sebagai strategi membangun sistem
penghidupan, maka strategi nafkah bisa didekati melalui berbagai cara atau
manipulasi aksi individual maupun kolektif. Strategi nafkah bisa berarti cara
bertahan hidup atau memperbaiki status kehidupan. Strategi nafkah adalah taktik
dan aksi yang dibangun oleh individu maupun kelompok dalam rangka
mempertahankan kehidupan mereka dengan tetap memperhatikan eksistensi
infrastruktur sosial, struktur sosial, dan sistem nilai budaya yang berlaku.
Merujuk pada Scoones (1998), dalam penerapan strategi nafkah, rumah
tangga petani memanfaatkan berbagai sumberdaya yang dimiliki dalam upaya
untuk dapat bertahan hidup. Scoones membagi tiga klasifikasi strategi nafkah
(livelihood strategy) yang mungkin dilakukan oleh rumah tangga petani, yaitu: (1)
Rekayasa sumber nafkah pertanian, yang dilakukan dengan memanfaatkan sektor
pertanian secara efektif dan efisien baik melalui penambahan input eksternal
seperti teknologi dan tenaga kerja (intensifikasi), maupun dengan memperluas
lahan garapan (ekstensifikasi); (2) Pola nafkah ganda (diversifikasi), yang
dilakukan dengan menerapkan keanekaragaman pola nafkah dengan cara mencari
pekerjaan lain selain pertanian untuk menambah pendapatan. Atau dengan
mengerahkan tenaga kerja keluarga (ayah, ibu dan anak) untuk ikut bekerja –
selain pertanian- dan mamperoleh pendapatan; (3) Rekayasa spasial (migrasi),
merupakan usaha yang dilakukan dengan melakukan mobilitas ke daerah lain di
luar desanya, baik secara permanen maupun sirkuler untuk memperoleh
pendapatan.
Long (1987) dalam Widiyanto et al. (2010) mencirikan bahwa sistem
perekonomian desa di Negara-negara dunia ketiga bercorak kombinasi antara non-
kapitalis yang “tradisional” dengan kapitalis yang emergen. Boeke (1953) dalam
Sajogyo (1982) dalam Widiyanto et al. (2010) menyebutnya sebagai teori
ekonomi ganda (dualisctic economics) dimana dalam waktu yang sama terdapat
dua atau lebih sistem sosial, dan masing-masing sistem sosial ini jelas berbeda
satu sama lain dan masing-masing menguasai bagian tertentu dari masyarakat
bersangkutan. Dalam konteks pertanian, petani di pedesaan mengalami mixed
ethic, pada satu sisi berorientasi kepada etika sosial-kolektif dan pada sisi yang
lain harus berorientasi kepada keuntungan yang maksimal. Kedua etika tersebut
14
“dimainkan” oleh petani sebagai upaya membangun sistem penghidupan yang
berkelanjutan.
Fadjar (2009) dalam Widiyanto et al. (2010) membuktikan bahwa pada
petani kakao menerapkan strategi amphibian, dimana walaupun pengeruh
kapitalisme telah merembes (masuk sedikit demi sedikit) namun nilai-nilai
tradisional tidak sepenuhnya ditinggalkan. Nilai-nilai subsistensi melekat pada
aktifitas produksi (on farm) baik pada komoditas padi maupun kakao. Pada sisi
yang lain, semangat kapitalisme sangat menonjol pada proses penjualan hasil
produksi kebun kakao. Kakao merupakan komoditas yang berorientasi pada pasar
yang diperlukan sebagai komoditas baku bagi industri yang berada di luar
komunitas petani.
Secara etimologis, makna kata ’livelihood’ itu meliputi aset atau modal
(alam, manusia, finansial, sosial dan fisik), aktifitas di mana akses atas aset
dimaksud dimediasi oleh kelembagaan dan relasi sosial) yang secara bersama
mendikte hasil yang diperoleh oleh individu maupun keluarga. Kata ”akses”
didefinisikan di sini sebagai ”aturan dan norma sosial yang mengatur atau
mempengaruhi kemampuan yang berbeda antara orang dalam memiliki,
mengontrol, mengklaim atau menggunakan sumber daya seperti penggunaan
lahan di desa atau komunitas kampung”5. Keberlanjutan mempunyai banyak
dimensi yang semuanya penting bagi pendekatan sustainable livelihoods.
Penghidupan dikatakan berkelanjutan jika ia:
1. Elastis dalam menghadapi kejadian-kejadian yang mengejutkan dan
tekanan-tekanan dari luar;
2. Tidak tergantung pada bantuan dan dukungan luar (atau jika
tergantung,bantuan itu sendiri secara ekonomis dan kelembagaan harus
sustainable);
3. Mempertahankan produktivitas jangka panjang sumberdaya alam;
4. Tidak merugikan penghidupan dari, atau mengorbankan pilihan-pilihan
penghidupan yang terbuka bagi orang lain.
Strategi nafkah di sektor perikanan dibedakan menjadi budi daya ikan dan
penangkapan ikan. Budi daya ikan dalam pola kerjanya lebih menyerupai
5 Saragih, Sebastian, Jonatan Lassa, Afan Ramli. 2007. Kerangka Penghidupan Berkelanjutan. Aceh: -.
15
peternakan karena lebih terkontrol. Di lain pihak, penangkapan ikan lebih
bergantung pada ketersediaan sumberdaya bersama (open acces) para nelayan
yang mempunyai hak yang sama terhadap sumberdaya (Mulyadi 2005).
Secara mendasar, pekerjaan sebagai nelayan banyak mengandung resiko
dan ketidakpastian. Adanya risiko dan ketidakpastian ini disarankan untuk
disiasati dengan mengembangkan pola-pola adaptasi berupa perilaku ekonomi
yang spesifik yang selanjutnya berpengaruh terjadap pranata ekonominya. Pola-
pola adaptasi yang menonjol adalah pembagian resiko dalam bentuk pola bagi
hasil pendapatan dan kepemilikan kolektif serta mengutamakan hubungan
patronage dalam aktifitas kerja (Mulyadi 2005). Untuk mengatasi kesulitan
modal, masyarakat nelayan disarankan untuk mengembangkan suatu mekanisme
tersendiri, yaitu sistem modal bersama, untuk memungkinkan terjadinya
“pemerataan resiko” karena kerugian besar yang dapat terjadi setiap saat, seperti
perahu hilang atau rusaknya alat tangkap, akan ditanggung bersama.
Lebih lanjut, karaktersitik masyarakat pesisir sebagai representasi komunitas
desa-pantai dan desa terisolasi, dilihat dari berbagai aspek ialah sebagai berikut
(Satria 2002):
a. Sistem Pengetahuan, pengetahuan tentang teknik penangkapan ikan umumnya
diperoleh secara turun temurun berdasarkan pengalaman empirik. Kuatnya
pengetahuan lokal ini menjadi salah satu faktor penyebab terjaminnya
kelangsungan hidup sebagai nelayan. Pengetahuan lokal (indigenous
knowledge) tersebut merupakan kekayaan intelektual yang hingga kini terus
dipertahankan
b. Sistem kepercayaan, secara teologi nelayan masih memiliki kepercayaan yang
kuat bahwa laut memiliki kekuatan khusus dalam melakukan aktivitas
penangkapan ikan agar keselamatan dan hasil tangkapan semakin terjamin.
Namun, seiring berjalannya waktu berbagai tradisi dilangsungkan hanya
sebagai salah satu instrument stabilitas sosial dan komunitas nelayan.
c. Peran wanita, umumnya selain banyak bergelut dalam urusan domestik
rumah tangga, istri nelayan tetap menjalankan aktivitas ekonomi dalam
kegiatan penangkapan di perairan dangkal, pengolahan ikan, maupun
kegiatan jasa dan perdagangan. Istri nelayan juga dominan dalam
mengatur pengeluaran rumah tangga sehari-hari sehingga sudah sepatutnya
16
peranan istri-istri nelayan tersebut menjadi salah satu pertimbangan dalam
setiap program pemberdayaan.
d. Struktur sosial. Struktur yang terbentuk dalam hubungan produksi
(termasuk pasar) pada usaha perikanan, perikanan tangkap maupun
perikanan budidaya umumnya dicirikan dengan kuatnya ikatan patron-
klien. Kuatnya ikatan ini merupakan konsekuensi dari sifat kegiatan
penangkapan ikan yang penuh dengan resiko dan ketidakpastian. Pada
perikanan budidaya, patron meminjamkan modal kepada para nelayan
lokal untuk pembudidayaan ikan. Konsekuensinya ialah hasilnya harus
dijual kepada patron dengan harga yang lebih murah. Ciri kedua adalah
stratifikasi sosial, bentuk stratifikasi masyarakat pesisir Indonesia sangat
beragam. Seiring modernisasi akan terjadi diferensiasi sosial yang dilihat
dari semakin bertambahnya jumlah posisi sosial atau jenis pekerjaan
sekaligus terjadi pula perubahan stratifikasi karena sejumlah posisi sosial
tersebut tidaklah bersifat horisontal, melainkan vertikal dan berjenjang
berdasarkan ukuran ekonomi, prestise, dan kekuasaan.
e. Posisi sosial nelayan. Di kebanyakan masyarakat, nelayan memiliki status
yang relatif rendah. Rendahnya posisi sosial nelayan ini merupakan akibat
dari keterasingan nelayan sehingga masyarakat bukan nelayan tidak
mengetahui lebih jauh cara hidup nelayan. Hal ini terjadi akibat sedikitnya
waktu dan kesempatan nelayan untuk berinteraksi dengan masyarakat lain
karena alokasi waktu yang besar untuk kegiatan penangkapan ikan
dibanding untuk bersosialisasi dengan masyarakat bukan nelayan yang
memang secara geografis relative jauh dari pantai. Secara politis posisi
nelayan kecil terus dalam posisi dependen dan karjinal akibat terbatasnya
faktor kapital yang dimilikinya.
2.1.4 Kemiskinan Nelayan
Kemiskinan diartikan sebagai suatu keadaan di mana seseorang tidak
sanggup memelihara dirinya sendiri sesuai dengan taraf kehidupan kelompok dan
juga tidak mampu memanfaatkan tenaga mental, maupun fisiknya dalam
17
kelompok tersebut6. Paradigma lama memandang bahwa orang miskin disebabkan
oleh tidak adanya modal. Dengan tidak ada modal maka produktivitas rendah, dan
lalu menyebabkan tabungan rendah. Namun Sachs (2005) dalam Satria (2006)
mencoba memodifikasi teori kemiskinan menjadi tidak sesederhana itu. Bagi
Sachs, untuk mengakhiri kemiskinan, caranya dengan membuat orang termiskin
dapat menapaki tangga pembangunan. Dan untuk mendorong orang miskin
tersebut untuk menapaki anak tangga pertama, maka diperlukan sejumlah modal7,
yaitu :
1. Modal manusia (human capital) seperti kesehatan, gizi, dan keterampilan
yang diperlukan oleh setiap orang untuk produktif secara ekonomi
2. Modal usaha (business capital) seperti mesin, fasilitas, alat transportasi
bermotor
3. Modal infrastruktur (infrastructure capital) seperti jalan, tenaga lsitrik, air,
dan sanitasi, bandara, pelabuhan, dan sistem telekomunikasi yang menjadi
prasyarat penting bagi produktivitas usaha
4. Modal alam (natural capital) seperti suburnya lahan, keanekaragaman
hayati, dan ekosistem yang berfungsi baik
5. Modal kelembagaan publik (public institustional capital) seperti hukum
eknomi, sistem peradilan, layanan pemerintah dan kebihjakan yang
mendukung terciptanya kemakmuran,
6. Modal pengetahuan seperti pengetahuan dan teknologi yang dapat
meningkatkan produktivitas usaha dan pemanfaatan sumberdaya alam.
Widiyanto et al. (2010) mengatakan bahwa salah satu pendekatan dalam
memahami kemiskinan adalah sustainable livelihood. Pendekatan ini tidak hanya
berbicara mengenai pendapatan (income poverty) dan pekerjaan (jobs) tetapi lebih
holistik dengan memahami kehidupan orang miskin, apa prioritas hidup mereka,
dan apa yang dapat membentu mereka. Dengan kata lain, memahami orang
miskin harus bersifat komprehensif, dengan berbagai elemen penting yang harus
dipahami secara tepat dan benar, seperti siapa orang miskin itu, dimana mereka
6 Soerjono Soekanto. “Sosiologi Suatu Pengantar”. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006). hal. 320. 7 http://agrimedia.mb.ipb.ac.id/uploads/doc/2010-07-06_Arief_satria-KEMISKINAN_NELAYAN, diakses pada tanggal 26 Mei 2011 pukul 09.25 WIB
18
tinggal, mengapa mereka miskin, mengapa mereka tetap miskin, bagaimana
persepsi mereka mengenai apa yang dimaksud dengan “miskin”, dan bagaimana
usaha mereka untuk mengatasinya.
Chambers (1995) dalam Widiyanto et al. (2010) mengatakan bahwa
banyak dimensi penting yang perlu mendapatkan perhatian, yaitu: inferioritas,
pengasingan, kerentanan, perampasan, ketidakberdayaan, dan penghinaan.
Muladi (2005) mengemukakan faktor-faktor yang menjadi penyebab
kemiskinan nelayan:
1. Masalah yang berkaitan dengan kepemilikan alat tangkap
2. Akses terhadap modal khususnya menyangkut persyaratan kredit
3. Persyaratan pertukaran hasil tangkapan yang tidak berpihak pada buruh
nelayan
4. Sarana penyimpanan ikan
5. Hak pengusahaan kawasan tangkap
6. Perusakan sistem organisasi masyarakat pesisir.
Tingkat perekonomian masyarakat nelayan juga dipengaruhi oleh cara
kerja dan hubungan sosial yang terbentuk dalam komunitas nelayan tersebut.
Mulyadi (2005) menguraikan beberapa hal yang menjadi karakteristik sosial
masyarakat nelayan, antara lain:
1. Keterasingan relatif: dalam banyak hal, nelayan membentuk
masyarakatnya sendiri dan sering terasing karena mereka harus hidup di
sepanjang tepi danau, sungai dan laut. Di samping itu, karena banyak
nelayan bekerja pada malam hari atau pagi buta, pada saat orang lain
masih tidur, nelayan sering dipandang sebagai orang yang terpencil dari
masyarakat (Pollnac dalam Mulyadi 2007).
2. Organisasi kerja: koordinasi antara awak kapal penangkap ikan perlu
dikombinasikan. Adanya risiko fisik berkaitan dengan lingkungan laut,
menambah pentingnya kesalingtergantungan setiap pekerja. Bersamaan
dengan cepatnya peralatan menyusut dan kemungkinan hilangnya
peralatan, kerja sama ini mengurangi jarak sosial dan ekonomi antara
pemilik dan buruhnya.
3. Pembagian tenaga kerja: mayoritas tenaga kerja yang terlibat dalam nafkah
nelayan adalah laki-laki, namun demikian bukan berarti perempuan tidak
19
memiliki andil dalam kegiatan nelayan. Wanita biasanya melakukan
kegiatan-kegiatan di tepi pantai, dimana pekerjaan tidak akan bertentangan
dengan pemeliharaan anak. Pada banyak masyarakat penangkap ikan,
wanita mengambil alih fungsi membeli dan menjual ikan. Peranan wanita
sebagai pedagang ikan menstabilkan ekonomi pada beberapa masyarakat
penangkap ikan karena pria mungkin hanya kadang-kadang menangkap
ikan, tetapi wanita bekerja sepanjang tahun.
4. Hak-hak atas sumberdaya laut: di beberapa wilayah, gelombang arus
menggeser batas-batas tepi laut, muara, dan pantai sehingga secara praktis
tidak mungkin untuk mempertahankan batas-batas secara jelas. Karena
sasaran tangkapan relatif berpindah-pindah, hak atas suatu tempat khusus,
bidang kecil penangkapan ikan tidak akan bermanfaat karena ikannya
berpindah-pindah. Hak-hak komunal agak sering ditemukan, tetapi sering
berjalan tidak sesuai dengan undang-undang nasional yang menentukan
laut sebagai suatu sumberdaya yang terbuka untuk umum.
2.2 Kerangka Pemikiran
Penetapan Kepulauan Karimunjawa sebagai Kawasan Taman Nasional
Karimunjawa diharapkan dapat mempertahankan kondisi lingkungan dan
sumberdaya kelautan di wilayah ini sehingga manfaatnya dapat diambil secara
berkelanjutan. Namun di sisi lain, kehadiran Kawasan Taman Nasional berikut
sistem zonasinya mengakibatkan nelayan tradisional harus melakukan
penyesuaian terhadap lokasi-lokasi penangkapan ikan yang selama ini menjadi
ladang penghidupan mereka.
Menurut Balai Taman Nasional Karimunjawa (2002) dalam Maksum
(2005), masalah utama pengelolaan Kawasan Konservasi Laut Taman Nasional
Karimunjawa adalah perlindungan ekosistem perairan laut. Hal ini disebabkan
oleh permasalahan yang timbul akibat pemanfaatan sumberdaya alam yang tidak
berkelanjutan, seperti yang tercermin dari maraknya kerusakan ekosistem terumbu
karang akibat eksploitasi sumberdaya perikanan dengan alat tangkap yang
merusak lingkungan, perambahan dan perubahan fungsi ekosistem mangrove
menjadi areal pertambakan, pengambilan batu karang untuk bahan bangunan,
20
tingginya animo membangun resort di pulau-pulau, serta pengambilan biota laut
yang dilindungi undang-undang secara ilegal8.
Permasalahan-permasalahan tersebut menjadi menarik untuk ditelaah
bahwa:
1. Sejauh mana kehadiran Taman Nasional Karimunjawa berikut sistem
zonasinya memberi pengaruh terhadap strategi nafkah nelayan
kompressor. Pengaruh ini terutama diukur dari segi Daerah Tangkap, Alat
Tangkap dan Diversifikasi Nafkah.
2. Mengingat bahwa Kepulauan Karimunjawa merupakan salah satu dari tiga
pusat perikanan yang diandalkan di Jawa Tengah, dan fakta bahwa
sebagian besar penduduknya yang berjumlah lebih dari 8.800 jiwa adalah
nelayan, maka penting untuk dikaji pengaruh aktifitas perikanan tangkap
di Kepulauan Karimunjawa terhadap efektivitas konservasi
keanekaragaman hayati di TNKJ yang dilakukan dengan sistem zonasi.
Gambar 1 Kerangka Pemikiran
8 Laporan Evaluasi Balai Taman Nasional Karimunjawa Tahun 2009
Efektivitas Sistem Manajemen Zonasi
Strategi Nafkah Nelayan Kompressor
1. Daerah Tangkap 2. Alat Tangkap 3. Diversifikasi
Nafkah
Sistem Zonasi Kawasan Taman
Nasional Karimun
Upaya Perlindungan
Taman Nasional
Pemanfaatan Perikanan Laut di Taman Nasional
Karimun jawa Karimunjawajawa
21
Keterangan :
: hubungan pengaruh
: dianalisis secara deskriptif
2.3 Hipotesis Penelitian
Penyusunan hipotesis bertujuan untuk memudahkan peneliti menjawab
permasalahan dan dalam rangka untuk mencapai tujuan dari penelitian yang telah
dirumuskan. Dari kerangka pemikiran diatas dapat disusun hipotesis berupa:
1. Pengelolaan Taman Nasional Karimunjawa yang dikelola dengan sistem
zonasi berpengaruh terhadap daerah tangkap ikan, alat tangkap, dan
diversifikasi nafkah dari nelayan kompressor di Kepulauan Karimunjawa
2. Kegiatan pengelolaan konservasi keanekaragaman hayati di Taman
Nasional Karimunjawa yang dijalankan melalui sistem zonasi tidak
mampu mengimbangi aktifitas perikanan tangkap yang berkembang di
kepulauan Karimunjawa (diukur dari segi produksi perikanan laut, jumlah
nelayan, dan alat tangkap). Sebagai akibatnya, efektivitas pengelolaan
sistem zonasi tergolong rendah.
2.4 Definisi Operasional
Definisi operasional untuk masing-masing variabel adalah sebagai berikut:
1. Strategi adaptasi nafkah adalah tingkah laku strategis dalam
memaksimalkan kesempatan hidup (Hansen, 1979, dalam Saharudin
2007). Strategi nafkah yang dimaksud berada dalam konteks masyarakat
nelayan, yaitu taktik dan aksi yang dibangun oleh individu maupun
kelompok dalam rangka mempertahankan kehidupan mereka dengan tetap
memperhatikan eksistensi infrastruktur sosial, struktur sosial, dan sistem
nilai budaya yang berlaku (Dharmawan, 2006). Strategi adaptasi nafkah
yang dimaksud dibedakan ke dalam tiga kelompok, yakni:
a. Daerah tangkap adalah cakupan kawasan yang menjadi tempat
nelayan mencari ikan. Cakupan kawasan ini berupa zona-zona
yang boleh dimasuki dan digunakan, serta jarak tertentu (dalam
22
satuan km) dari batas pantai yang mampu dicapai oleh kapal
nelayan.
b. Alat tangkap adalah jenis peralatan yang digunakan dalam
mengambil sumberdaya perikanan
c. Diversifikasi nafkah yang dimaksud dalam penilitian ini yaitu
penerapan pola nafkah yang beragam dengan cara mencari
pekerjaan lain selain pertanian untuk menambah pendapatan
(Soones 1998).
23
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif yang didukung oleh
data kualitatif. Pendekatan kuantitatif yang digunakan adalah penelitian survei
yaitu penelitian yang mengambil sampel dari satu populasi dan menggunakan
kuesioner sebagai alat pengumpulan data yang utama (Singarimbun dan Efendi
2008). Pengumpulan data kuantitatif dilakukan melalui metode survei kepada
nelayan kompressor dengan menggunakan kuesioner.
Pendekatan kualitatif digunakan peneliti untuk memahami secara
mendalam dan rinci mengenai suatu peristiwa, serta dapat menggali bebagai
realitas, proses sosial, dan makna yang berkembang dari orang-orang yang
menjadi subjek penelitian. Strategi penelitian kualitatif yang digunakan dalam
penelitian ini ialah studi kasus. Peneliti memilih suatu kejadian atau gejala untuk
diteliti (Sitorus 1998). Hasil pendekatan kualitatif ini diperkaya dengan data yang
diperoleh dari metode survey. yang menggunakan instrument kuesioner untuk
mengumpulkan informasi dari responden. Penelitian ini bersifat explanatory
research yang menjelaskan hubungan-hubungan kausal antara variabel melalui
pengujian hipotesa (Singarimbun 1995).
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Desa Karimunjawa, Kecamatan Karimunjawa,
Kabupaten Jepara, Propinsi Jawa Tengah. Penentuan lokasi penelitian dilakukan
secara sengaja (purposive). Pemilihan lokasi penelitian ini berdasarkan:
1. Desa Karimunjawa merupakan kawasan Taman Nasional yang sebagian
besar penduduknya berprofesi sebagai nelayan;
2. Tersedianya data pendukung yag dapat membantu peneliti dalam
melakukan penelitian; dan
3. Bahasa yang digunakan oleh masyarakat di Desa Karimunjawa dapat
dipahami oleh peneliti sehingga memudahkan peneliti dalam melakukan
wawancara dan pengumpulan data
24
Oleh karena itu dengan mengambil wilayah Desa Karimunjawa sebagai
tempat penelitian, diharapkan dapat memberikan manfaat dan solusi dari
permasalahan yang diteliti oleh penulis terhadap masyarakat Desa Karimunjawa.
Pengumpulan data sekunder, dan data primer akan dilakukan selama satu bulan,
dimulai pada bulan April – bulan Mei 2011. Dalam kurun waktu satu bulan
tersebut peneliti mengumpulkan semua data dan informasi yang akan digunakan
dalam penyusunan skripsi.
3.3 Teknik Pengambilan Data
3.3.1 Kerangka Sampling
Kerangka sampling dalam penelitian ini adalah nelayan Desa
Karimunjawa yang mengambil ikan di wilayah Taman Nasional Karimunjawa
dengan menggunakan alat tangkap berupa speargun dan kompressor. Golongan
nelayan ini bekerja dalam tim yang relatif tetap, berjumlah lima sampai tujuh
orang di setiap kapal dimana terdapat 17 kapal yang menggunakan alat tangkap
speargun dan kompressor di desa Karimunjawa. Komunitas nelayan ini berjumlah
90 orang, mayoritas berada di wilayah perkampungan Lego di sebelah timur Desa
Karimunjawa.
3.3.2 Pemilihan Responden
Responden adalah individu yang dapat memberikan keterangan atau
informasi mengenai dirinya sendiri. Dalam penelitian ini populasi adalah
masyarakat Desa Karimunjawa yang berprofesi sebagai nelayan, dimana populasi
sampling pada penelitian ini adalah masyarakat Desa Karimunjawa yang memiliki
umur produktif antara 15-65 tahun dengan unit analisis individu. Responden dari
penelitian ini adalah nelayan Karimunjawa yang beroperasi di sekitar TNKJ dan
menggunakan alat tangkap berupa panah dan kompressor.
Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik Simple
Random Sampling, dengan jumlah responden 35 orang. Populasi nelayan
kompressor adalah 90 orang. Karena bekerja secara berkelompok, seluruh anggota
nelayan kompressor terbagi ke dalam 17 kelompok (1 kelompok terdiri dari lima
sampai tujuh orang). Dari 17 kelompok tersebut, kemudian dipilih secara acak
25
sebanyak enam kelompok melalui perwakilan dari setiap ketua kelompok. Alasan
dipilihnya responden berdasarkan tim adalah agar waktu, tenaga dan biaya yang
dikeluarkan dalam penelitian menjadi lebih efektif dan efisien, mengingat
karakteristik nelayan kompressor relatif homogen. Dari masing-masing tim yang
terpilih, kemudian dilakukan wawancara terhadap anggota-anggota timnya hingga
mencapai jumlah 35 orang.
3.3.3 Wawancara Mendalam
Terdapat dua subjek dalam penelitian ini yaitu informan dan responden.
Informan adalah seseorang yang dapat menjelaskan dan memberikan keterangan
atau gambaran mengenai dirinya sendiri, keluarga, pihak lain dan lingkunganya.
Adapun informan yang dituju adalah tokoh masyarakat, yakni ketua kelompok
nelayan, ketua RT dan ketua RW, Guru, Kepala Desa, Kaur Kependudukan
tingkat Kecamatan, Juragan, nelayan tradisional, dan tokoh masyarakat lainnya.
Jumlah Informan dalam penelitian ini adalah sebanyak 21 orang. Selain tokoh
masyarakat, wawancara juga dilakukan terhadap petugas Balai Taman Nasional
sebanyak enam orang, dan Lembaga Swadaya Masyarakat yang bergerak di
bidang perlindungan dan pelestarian alam sebanyak dua orang.
Data primer berasal dari wawancara melalui kuesioner yang ditanyakan
pada responden dan data pendukung berupa wawancara mendalam terhadap
responden. Sedangkan data sekunder diperoleh dari hasil dokumentasi dan studi
literatur melalui hasil penelitian sebelumnya, dapat berupa jurnal, skripsi, tesis,
disertasi, makalah, laporan dari Balai Taman Nasional Karimunjawa, informasi
dari internet dan karya ilmiah lainnya.
3.4 Teknik Analisis Data
Data hasil kuisioner dari responden diolah menggunakan program
microsoft excel. Data tersebut diolah melalui teknik regresi linear untuk melihat
pengaruh sistem Zonasi Taman Nasional Karimunjawa terhadap strategi nafkah
nelayan. Data kualitatif dari wawancara mendalam dan observasi disajikan secara
deskriptif untuk mendukung dan memperkuat analisis kuantitatif. Gabungan data
tersebut diolah dan dianalisis dengan disajikan dalam bentuk teks naratif, matriks,
26
atau bagan. Kemudian ditarik kesimpulan dari semua data yang telah diolah.
Kemudian hasil dari kuesioner tersebut dicatat seperti apa adanya dan diolah
dengan melakukan analisis serta interpretasi, baru selanjutnya dilakukan
pembuatan kesimpulan tentang hasil kuesioner.
27
BAB IV
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1 Sejarah Lokasi
Menurut sejarah yang berkembang di masyarakat, Karimunjawa berasal
dari nama pulau utama dan terbesar yaitu Karimunjawa. Menurut cerita
masyarakat Jawa pada zaman Kesunanan Muria “Kremun-kremun saka Jawa”
berarti samar-samat dari Jawa. Nama Karimunjawa juga digunakan untuk nama
kecamatan/kepulauan, pulau, dan desa.
4.2 Lokasi Geografis
Secara geografis Karimunjawa merupakan kepulauan yang terletak antara
5°40’39 - 5°55’00 LS dan 110°05’57 - 110°31’15’ BT dengan luas wilayah
sekitar 107.225 ha, tepatnya di sebelah utara dari Kabupaten Jepara, Jawa Tengah.
Secara administratif, daerah ini termasuk wilayah Kecamatan karimunjawa,
Kabupaten Jepara, Jawa Tengah. Kecamatan ini terbagi menjadi beberapa
kawasan seperti kawasan pemerintahan, kawasan pemukiman, kawasan
konservasi, dan kawasan pariwisata (Taman Nasional Karimunjawa 2010).
Gambar 2 Peta Karimunjawa
28
Kecamatan Karimunjawa merupakan kumpulan dari 27 pulau yang
dikelilingi oleh Laut Jawa dan terdiri atas tiga desa yaitu Desa Karimunjawa,
Desa Kemujan, dan Desa Parang. Sarana transportasi umum yang dapat
digunakan untuk mengakses daerah ini adalah dengan kapal ferry dari Jepara atau
Semarang. Transportasi yang dapat digunakan untuk menuju pulau lainnya
menggunakan kapal bermotor.
4.3 Kependudukan
Kecamatan Karimunjawa mempunyai sumberdaya manusia yang terdiri
dari 8.733 jiwa. Jumlah penduduk ini terdiri atas beragam suku yaitu Jawa, Bugis,
Bajo, Madura, dan Baton. Berikut ini adalah data perbandingan jumlah penduduk
di Kecamatan Karimunjawa sejak tahun 1990 hingga 2010.
Tabel 1 Data Kependudukan Tiga Desa di Kecamatan Karimunjawa Tahun 2010
Desa Luas Daratan (Ha)
Sensus 1990
Sensus 2000
Sensus 2010
Kepadatan Penduduk 2010
Laju Pertumbuhan Penduduk (%/thn)
Karimunjawa 4,619 3795 4062 4422 1.04 0.852782 Kemujan 1,626 2344 2628 2736 0.68 0.403551 Parang 870 1300 1400 1581 0.55 1.223275 Total Kecamatan Karimunjawa
7,115 7439 8090 8733 0.81 0.767734
Sumber: Badan Pusat Statistik 2010
Kepadatan penduduk paling besar terdapat di Desa Karimunjawa, karena
Desa ini tergolong yang paling maju diantara tiga desa yang lainnya. Meski
demikian, laju pertumbuhan penduduk tertinggi justru terjadi Desa Parang. Secara
keseluruhan, kepadatan penduduk di Kecamatan Karimunjawa adalah sebesar
0.81 per hektar, dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 0,76 %/tahun.
Tingkat pendidikan di Kepulauan Karimunjawa masih tergolong rendah
karena penduduk usia sekolah banyak bekerja membantu orang tua. Hal ini terjadi
karena rendahnya kesadaran penduduk tentang pentingnya pendidikan dan
keterbatasan biaya. Mayoritas penduduk Karimunjawa beragama Islam, tetapi ada
29
juga yang memeluk agama Kristen dan Katholik. Data kependudukan
selengkapnya beserta tingkat pendidikan dan agama tersaji dalam Tabel 2.
Tabel 2 Data Kependudukan Tiga Desa di Kecamatan Karimunjawa Berdasarkan Pendidikan dan Agama Tahun 2002
Desa Jumlah Penduduk
Pendidikan Agama SD* SLTP SLTA PT ISLAM KRISTEN
Karimunjawa 4.137 3865 156 92 24 4107 30 Kemujan 2.698 2128 115 57 11 2687 11 Parang 2.007 1974 25 7 1 2007 0 Total 8.842 7967 296 156 36 8801 41 * Sudah tamat, tidak tamat, dan belum sekolah Sumber Data : Monografi Desa Kecamatan Karimunjawa, 2002
Adapun mata pencaharian masyarakat Karimunjawa sangat beragam.
Nelayan dan pembudidaya ikan sebagai mata pencaharian utama diikuti juga
dengan pekerjaan lainnya sebagai petani. Berikut adalah Tabel yang menyajikan
mata pencaharian masyarakat Karimunjawa.
Tabel 3 Data mata pencaharian penduduk Kecamatan Karimunjawa Tahun 2009
No Mata Pencaharian
Jumlah Penduduk (Jiwa) Total Persentasi (%) Karimunjawa Kemujan Parang
1 Petani/buruh tani
378 407 348 1133 18.99
2 Nelayan 1238 696 421 2355 39.47 3 Pengusaha 8 12
- 20 0.36
4 Buruh 285 202 55 542 9.08 5 Pedagang 12 30 37 79 1.32 6 Peternak 124 947 544 1615 27.07 7 PNS dan TNI 96 53 13 162 2.73 8 Pensiunan 27 33 - 60 1.01 Jumlah 2168 2380 1418 5966 100.00 Sumber: Balai Taman Nasional Karimunjawa 2009
Dari Tabel diatas dapat dilihat sebagian besar merupakan nelayan yakni
39,47 persen. Selanjutnya peternak dan petani/buruh tani menempati posisi
pekerjaan paling besar di Karimunjawa, yakni sebesar 27,07 persen dan 18,99
persen. Meski demikian, masyarakat Karimunjawa pada umumnya memiliki mata
pencaharian ganda untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sejak meningkatnya
sektor pariwisata di Karimunjawa, sebagian masyarakat memanfaatkan potensi
30
ekowisata di daerah tersebut dengan menjadi tour guide, penyewaan alat selam,
penginapan, warung makan dll.
4.4 Iklim dan Topografi
Wilayah Kepulauan Karimunjawa mempunyai iklim tropis yang
dipengaruhi oleh angin laut dengan suhu rata-rata 26-30oC. Suhu maksimum 34
oC
dengan suhu minimum 22oC. Kelembaban nisbi antara 70-85%, dan tekanan udara
berkisar antara 1,012 mbar. Dalam satu tahun terdapat dua pergantian musim,
yaitu musim kemarau dan musim penghujan dengan musim pancaroba
diantaranya. Musim kemarau (musim timur) terjadi pada bulan Juni-Agustus.
Pada musim ini cuaca sepanjang hari cerah dengan curah hujan rata-rata <200
mm/bulan, rata-rata penyinaran matahari antara 70-80% setiap hari. Bulan kering
terjadi pada Maret-Agustus dengan curah hujan sekitar 60 mm/bulan. Arah angin
datang dari timur sampai tenggara dengan kecepatan 7-10 knot, kadang-kadang
mencapai 16 knot lebih. Musim pancaroba pertama terjadi pada September-
Oktober, pada periode ini angin didominasi dari barat dan barat laut, juga dari
timur dan utara dengan kecepatan yang sangat bervariasi (BTNKJ 2001 dalam
Irnawati 2008).
Topografi Kepulauan Karimunjawa dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu
perbukitan, perbukitan bergelombang, dan dataran rendah. Perbukitan terbentang
luas di Pulau Karimunjawa dengan ketinggian 200-500 m. Bertekstur kasar,
berlereng terjal, dan disusun oleh batuan sedimen pra-tersier. Perbukitan
bergelombang terbentang di Pulau Karimunjawa, Pulau Kemujan, Pulau Parang,
dan Pulau Genting, dengan ketinggian 25-200 m, bertekstur halus hingga agak
kasar, berlereng landai, dan disusun oleh batuan sedimen dan batuan gunung api.
Gunung Walang dan beberapa gumuk (bukit kecil) merupakan tonjolan topografi
pada daerah ini. Dataran rendah terbentang di Pulau Karimunjawa, Pulau
Kemujan, Pulau Parang, Pulau Genting, Pulau Menjangan, Pulau Cemara, Pulau
Bengkoang, Pulau Geleang, dan Pulau Sintok dengan ketinggian antara 0-25 m.
Penyusun substrat dataran rendah ini antara lain aluvium dan sedikit batuan
gunung api atau batuan sedimen (BTNKJ 2001 dalam Irnawati 2008).
31
4.6 Sarana dan Prasarana
Prasarana fisik yang ada terdiri dari jalan desa, bangunan desa, serta
bangunan fasilitas umum. Listrik di Kecamatan Karimunjawa diperoleh dari
PLTD dan tenaga surya. PLTD di Desa Karimunjawa hanya dapat beroperasi 12
jam, terhitung dari pukul 18.00-06.00 WIB. Jalan-jalan desa berupa jalan
beraspal. Bangunan-bangunan seperti sekolah, tempat ibadah dan sarana
kesehatan jumlahnya cukup banyak dan terawat. Selain itu juga terdapat bangunan
untuk sarana olah raga dan berkumpulnya masyarakat berupa alun-alun dan aula
pertemuan. Berikut merupakan Fasilitas yang ada di Kecamatan Karimunjawa
tersaji dalam Tabel 4.
Tabel 4 Fasilitas Umum yang terdapat di Kecamatan Karimunjawa Tahun 2002
No Jenis fasilitas Jumlah Keterangan 1 Hotel dan resort 3 buah Swasta & dinas pariwisata 2 Homestay 16 buah Milik masyarakat 3 Komunikasi 1 buah Telkom 4 Air bersih 4 buah Pdam swakarsa 5 Listrik 2 buah Pltd kalisda dan telkom 6 Transportasi
Transportasi air Transportasi darat Transportasi udara Pelabuhan Bandar udara
2 buah 11 buah 1 buah 6 buah 1 buah
Kmp. Muria dan kmp kartini Mobil dan motor Kura-kura resort Pemerintah, swasta Pemerintah
7 Kesehatan 1 kantor Puskesmas 8 Keamanan 5 kantor Koramil, Polsek, Pol Air, TN.
Karimunjawa dan AL. 9 Tempat ibadah 38 buah Mesjid, mushola dan gereja. 10 Sekolah 18 buah SD, SLTP, SMU, SMK 11 Pasar 1 buah Di desa Karimunjawa 12 Olah raga 16 buah Lapangan sepak bola dan bola
voli Sumber : Balai Taman Nasional Karimunjawa 2004
32
BAB V
ZONASI TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA DAN
NELAYAN KOMPRESSOR
5.1 Zonasi Taman Nasional Laut Karimunjawa
Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan no. 185/Kpts-II/1997 tanggal
31 Maret 1997 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Taman Nasional dan Unit
Taman Nasional, maka sejak tanggal 23 Januari 1998 Karimunjawa secara
definitif dikelola oleh organisasi pengelola yang mandiri dengan status sebagai
UPT Dirjen PHKA dengan nama Balai Taman Nasional Karimunjawa (BTNKJ).
Purwanti et al. (2008) mengatakan bahwa BTNKJ sebagai pemegang otoritas
pengelolaan mempunyai tugas melaksanakan pengelolaan ekosistem kawasan
TNKJ secara optimal, yaitu menyusun rencana, program dan evaluasi pengelolaan
taman nasional; mengelola taman nasional; melakukan pengawetan dan
pemanfaatan secara lestari taman nasional; perlindungan, pengamanan dan
penanggulangan kebakaran taman nasional; promosi dan informasi, bina wisata
dan cinta alam, penyuluhan konservasi sumberdaya alam hayati dan
ekosistemnya; kerjasama pengelolaan tama nasional; dan melaksanakan urusan
tata usaha dan rumah tangga.
Taman Nasional Karimunjawa sejak tahun 1999 telah memiliki 4 zona
yaitu zona inti, zona perlindungan, zona pemanfaatan dan zona penyangga.
Namun demikian, pada tahun 2004 zonasi yang ada dinilai sudah tidak sesuai
dengan kondisi riil di lapangan, disebabkan adanya beberapa permasalahan9,
antara lain:
1. Zonasi tersebut belum mengakomodir berbagai kepentingan pengelolaan
terutama dari aspek ekologi, sosial ekonomi serta budaya termasuk
kearifan lokal
2. Banyak terjadi tumpang tindih kebijakan berbagai pihak, baik di tingkat
propinsi maupun kabupaten.
Sebagai akibatnya, banyak terjadi pelanggaran memasuki zona dan
pelanggaran hukum lainnya, yaitu penangkapan ikan dengan bahan dan/ atau alat
9 Laporan evaluasi Balai Taman Nasional Karimunjawa Tahun 2009
33
tangkap yang merusak lingkungan (26,32%), pengambilan biota yang dilindungi
(36,84%), pencurian kayu mangrove (31,58%) (Purwanti et a., 2008). Lebih lanjut
lagi, Purwanti et al (2008) juga mengatakan bahwa banyaknya pelanggaran
tersebut terjadi karena sosialisasi tentang pelanggaran-pelanggaran hukum di
bidang pengelolaan sumberdaya alam dan wilayah pesisir yang diancam sanksi
hukum belum ada. Selain itu pendidikan sebagian besar penduduk (87,99%)
hanya sampai tingkat dasar sehingga pemahaman terhadap hukum kurang dan
juga didorong oleh kebutuhan hidup karena hasil penangkapan semakin kecil
sedangkan biaya operasi penangkapan makin besar.
Adanya permasalahan-permasalahan tersebut menyebabkan dilakukannya
perubahan zonasi pada Tahun 2005 melalui Surat Keputusan Direktur Jenderal
PHKA Nomor: 79/IV/Set-3/2005 tanggal 30 Juni 2005. Zonasi tersebut
diharapkan dapat mengakomodir kepentingan masyarakat untuk memanfaatkan
sumberdaya alam serta kepentingan pelestarian oleh Balai Taman Nasional
Karimunjawa. Proses perbaikan Zonasi Taman Nasional Karimunjawa
dilaksanakan melalui berbagai tahapan. Tahap pertama adalah dengan
mengumpulkan informasi serta mencari masukan dari berbagai pihak yang
mempunyai kepentingan terhadap pengelolaan kawasan Taman Nasional
Karimunjawa. Tahap berikutnya adalah dengan mengadakan lokakarya sebagai
berikut:
1. Lokakarya Kabupaten Jepara I
a. Lokakarya ini dilaksanakan pada tanggal 24 Juni 2004. Lokakarya ini
menghasilkan 2 rekomendasi yang berkaitan dengan Balai Taman
Nasional Karimunjawa (BTNKJ) yaitu:
b. BTNKJ segera menyelesaikan penyusunan rencana pengelolaan TN
Karimunjawa, serta rencana teknis terkait (antara lain rencana
pengembangan zonasi dan pariwisata alam laut) secara terpadu
melalui forum koordinasi yang efektif dengan memperhatikan aspek
ekologi, ekonomi dan sosial.
c. Khusus untuk penyusunan rencana pengembangan zonasi yang
merupakan inti dari pengelolaan Taman Nasional, data dan informasi
yang berkaitan dengan kondisi potensi dan sosek perlu di cermati
dengan menganalisa data tersebut. Data dan informasi tersebut
34
bersumber dari pihak-pihak yang telah melakukan penelitian di
Karimunjawa. Pembahasan dilakukan secara bertahap (lokal,
kabupaten, propinsi) dan konsisten dengan partisipasi pihak-pihak
terkait.
2. Lokakarya Desa
Lokakarya dilaksanakan pada tanggal 8 – 10 Januari 2004 yang bertujuan
untuk menggali pemikiran masyarakat mengenai Zonasi Taman Nasional
Karimunjawa. Lokakarya desa dihadiri oleh perwakilan dari masing-
masing desa dan menghasilkan beberapa usulan masyarakat mengenai
zonasi. Berdasarkan laporan Penataan Zonasi Taman Nasional (2004),
masukan masyarakat tentang lokasi masing-masing zona sebagai berikut:
a. Zona Inti : Taka Menyawakan.
Kriteria yang harus dimiliki untuk zona inti adalah tidak harus
berbentuk pulau, sebagai pensuplai ikan bagi daerah sekitar, tidak ada
kepemilikan, merupakan daerah pemijahan ikan, dan memiliki satwa
langka. Taka Menyawakan diusulkan menjadi zona inti karena lokasi
ini menjadi tempat pemijahan ikan, dan secara geografis mewakili tiga
Desa, sehingga diharapkan bisa mensuplai ikan ke perairan tiga Desa.
b. Zona Perlindungan: Hutan Mangrove Kemujan, Hutan Karimun, P.
Batu, Taka Laijo, Gosong Cemara, Taka Mrican.
Kriteria zona perlindungan antara lain daerah jauh dari pemukiman
(minimal 1,5 mil), cukup tersedia makanan bagi ikan, adanya
kesepakatan masyarakat, memiliki ekosistem yang masih utuh, tidak
ada pencemaran lingkungan, memiliki syarat budidaya, pemanfaatan
terbatas/wisata terbatas. Alasan diusulkannya lokasi-lokasi tersebut
antara laen karena memiliki mangrove, sebagai tempat
berkembangbiak udang dan daerah wisata, tempat tinggal dan
berkembangbiak satwa langka, adanya wisata religi dan wisata alami
c. sebelah timur Kemujan dan Barat Kemujan), Wilayah Barat Tanjung
Gelam hingga Nyamplungan Zona Pemanfaatan: Taka Besi, Perairan
P. Sintok, P. Bengkoang, Tanjung Seloka, Legon Kemujan.
35
Kriteria zona pemanfaatan adalah Wilayah yang kaya potensi
sumberdaya alam, Sering dimanfaatkan oleh masyarakat, Cara dan
alat tangkap ramah lingkungan, dan Tidak mengganggu ekosistem.
d. Zona Penyangga: P. Genting, P. Cendikian, P. Seruni, P. Sambangan,
P. Nyamuk, P. Kumbang, P. Parang (Selain Daerah Selatan P.
Parang), Kemujan (Wilayah Mrican – sepanjang pantai Mrican,
Tlogo, Batu Lawang, Pantai
3. Lokakarya Kabupaten Jepara II
Lokakarya ini dilaksanakan pada tanggal 20 - 21 Januari 2004 untuk
menindaklanjuti hasil dari lokakarya Jepara I dan Lokakarya desa. Kegiatan
ini bertujuan untuk menampung aspirasi semua pihak yang terkait dalam
rangka penyusunan naskah zonasi. Hasil dari lokakarya ini adalah (1)
Rumusan rancangan naskah zonasi, (2) Membentuk tim teknis yang bertugas
menyusun naskah Zonasi Taman Nasional Karimunjawa dan melakukan
konsultasi publik. Tim teknis ini bertugas melakukan pembahasan draft
zonasi dan sosialisasi dalam rangka mencari masukan dari semua pihak yang
terkait.
4. Lokakarya Kabupaten Jepara III
Kegiatan ini dilaksanakan pada tanggal 12 Oktober 2004 yang bertujuan
untuk membahas dan menyetujui draft terakhir kajian Zonasi Taman Nasional
Karimunjawa. Hasil dari pertemuan ini menetapkan Taman Nasional
Karimunjawa seluas 111.625 terbagi menjadi tujuh zonasi, yaitu (lihat
lampiran 1) :
1. Zona Inti seluas 444,629 hektar meliputi sebagian perairan P. Kumbang,
perairan Taka Menyawakan, perairan Taka Malang dan Perairan Tanjung
Bomang.
2. Zona Perlindungan seluas 2.587,711 hektar meliputi hutan tropis dataran
rendah dan hutan mangrove, serta wilayah perairan P. Geleang, P. Burung,
Tanjung Gelam, P.Sitok, P. Cemara Kecil, P.Katang, Gosong Selikur,
Gosong tengah.
3. Zona Pemanfaatan Pariwisata seluas 1.226,525 hektar meliputi perairan P.
Menjangan Besar, P. Menjangan kecil, P. Menyamakan, P. Kembar,
36
sebelah timur P. Kumbang, P.Tengah, P. Bengkoang, Indonor dan Karang
Kapal.
4. Zona Pemukiman seluas 2.571,546 hektar melalui P. Karimunjawa, P.
Kemujan, P. Parang dan P. Nyamuk.
5. Zona Rehabilitasi seluas 122,514 hektar meliputi perairan sebelah Timur
P. Parang, sebelah Timur P. Nyamuk, sebelah Barat P. Kemujan dan
sebelah Barat P. Karimunjawa.
6. Zona Budidaya seluas 788,213 hektar meliputi perairan P. Karimunjawa,
P.Kemujan, P. Menjangan Besar, P. Parang dan P. Nyamuk.
7. Zona Pemanfaatan Perikanan Tradisional seluas 103.883,862 hektar
meliputi seluruh perairan di luar zona yang telah ditetapkan yang berada di
dalam kawasan TN Karimunjawa.
Selain menyangkut batas zonasi, masyarakat juga mengusulkan beberapa
hal lain sebagai berikut, seperti yang tertuang dalam Laporan Penataan Zonasi
Taman Nasional Karimunjawa (2004):
• Diperlukan alternatif mata pencaharian bagi nelayan pada musim paceklik,
dengan memanfaatkan potensi yang terdapat di darat.
• Diperlukan peningkatan kapasitas lembaga lokal dalam upaya penyadaran
masyarakat. Ditujukan untuk meningkatkan peran aktif masyarakat dalam
upaya pengelolaan Kawasan Taman Nasional Karimunjawa.
• Masyarakat ingin ikut dilibatkan dalam pengelolaan Taman Nasional,
kerjasama dengan pihak-pihak terkait dan penegakan hukum.
Dari ketiga butir tersebut, terlihat bahwa masyarakat Karimunjawa memiliki
keinginan untuk terlibat aktif dalam aktivitas-aktivitas perlindungan dan
penegakan hukum tentang pemanfaatan sumberdaya alam. Hal ini menandakan
bahwa masyarakat memiliki kepedulian yang tinggi dalam menjaga dan
melestarikan kawasan Taman Nasional Karimunjawa.
Meski demikian, sebagian masyarakat belum merasakan manfaat setelah
adanya zonasi tersebut, seperti yang diungkap oleh seorang tokoh masyarakat, JN
(46):
37
Sampai sekarang masih ada konflik tentang tapal batas. Mestinya kalau ada pembaharuan zonasi, yang salah diperbaiki biar ga terjadi masalah. Tapi sampai sekarang tidak. Kepentingannya gini, dia (BTNKJ) ada proyek, maka harus menambah zona inti. Katakanlah zona inti sebagai lumbung dari pada ikan yang ada, tapi kenapa ko tidak berdampak langsung.. katanya nelayan akan mudah mendapat ikan, tapi kenyataannya apa?lho katanya zona inti mau ditambah lagi..kalau mau ditambah, yang lama saja tidak dirasakan manfaatnya apalagi kalau ditambah?
Sebagian masyarakat merasa kepentingannya tidak diwakili dalam proses
penentuan zonasi. Hal ini terjadi karena banyaknya stakekolders yang terlibat,
sehingga usulan dari masyarakat masih harus dipertemukan dengan usulan dari
pihak Pemerintahan Desa dan Kecamatan, LSM, Staff Ahli yang ditunjuk,
BTNKJ, dan Pemerintah Kabupaten. Perasaan ketidakterwakilan tersebut juga
terjadi karena orang-orang yang mewakili masyarakat disinyalir merupakan
orang-orang yang “dekat” dengan BTNKJ, seperti petikan wawancara dengan
salah satu pejabat kecamatan, MK (46 tahun),
Memang ada perwakilan masyarakat, tapi yang diajak komunikasi ya orang yang itu-itu saja, tanpa melibatkan pihak yang kontra.. Orang-orang yang kritis malah tidak dilibatkan. Kalau kebijakan mau bagus ya harus banyak masukan dan kritik kan mas.. Penerimaan dan peran serta masyarakat terhadap pola pengelolaan sangat
menentukan efektivitas dari pengelolaan tersebut. Tidak efektifnya pengelolaan
kawasan perlindungan alam di Karimunjawa terutama disebabkan oleh kurangnya
apresiasi dan keikutsertaan masyarakat dalam kegiatan pengelolaan. Penyebab
kurangnya peran aktif masyarakat adalah (1) Kurangnya sosialisasi program-
program pengelolaan di Taman Nasional Karimunjawa kepada masyarakat, (2)
kurangnya upaya membangun kepedulian masyarakat dalam hal perlindungan
kelestarian alam, (3) tidak terbangunnya komunikasi dua arah antara Balai Taman
Nasional dengan masyarakat sehingga terbentuk pola pikir “konservasi berarti
pelarangan”10.
Penerapan sistem zonasi tersebut akan memberikan konsekuensi baik
secara langsung maupun tidak langsung. Dampak langsung yang pasti dirasakan
masyarakat adalah adanya perubahan pola pemanfaatan yang biasa mereka
10 Laporan Penataan Zonasi Taman Nasional Karimunjawa, 2004
38
lakukan. Penerapan zona inti dan perlindungan di suatu lokasi akan mengalihkan
sebagian nelayan untuk melakukan aktifitas penangkapan di lokasi lain. Hal ini
sejalan dengan yang dikatakan oleh salah satu staff BTNKJ, PP (36 tahun),
Tujuan kita menerapkan zonasi selain memang berdasarkan Undang-undang adalah agar nelayan bisa mengambil ikan di tempat yang diperuntukkan untuk mengambil ikan. Saat ini volume penangkapan ikan di TNKJ sudah cukup besar, dan berdasarkan penelitian, dampak aktivitas penangkapan ikan telah menguras jumlah ikan yang ada. Jadi jangan salah persepsi..zonasi tidak ditujukan untuk membatasi pendapatan nelayan los mas, tapi untuk menjaga agar SDA nya berkelanjutan
5.2 Pengetahuan Masyarakat Tentang Zonasi Kawasan
Berdasarkan monitoring yang dilakukan oleh Balai Taman Nasional
Karimunjawa yang bekerja sama dengan Wildlife Conservation Society (WCS)
yang dilakukan terhadap 150 responden menunjukkan bahwa pengetahuan
masyarakat terhadap zonasi pada tahun 2005 dan 2009 mengalami peningkatan di
tiga desa (lihat Gambar 3 dan Gambar 4).
Sumber: Balai Taman Nasional Karimunjawa 2009
Gambar 3. Pengetahuan Masyarakat tentang Zonasi pada Tahun 2005
Pada Tahun 2005, pengetahuan masyarakat tentang zonasi di Desa
Karimunjawa hanya berkisar 43.06 persen. Sementara di Kecamatan
Karimunjawa, masyarakat yang mengetahui zonasi sebanyak 40.76 persen dari
39
150 orang responden. Sementara pada Tahun 2009, tingkat pengetahuan
masyarakat mengalami peningkatan sebagai berikut:
Sumber: Balai Taman Nasional Karimunjawa 2009
Gambar 4. Pengetahuan Masyarakat tentang Zonasi pada Tahun 2009
Meskipun dalam monitoring tersebut pengetahuan masyarakat pada Tahun
2009 meningkat tajam dibanding Tahun 2005, namun dari hasil observasi lapang
ditemukan bahwa pengetahuan masyarakat tentang zonasi kawasan hanya
mencakup eksistensi Zonasi Taman Nasional, tetapi masyarakat belum
mengetahui isi dan bentuk zonasi. Hal ini terungkap dari hasil wawancara dengan
seorang nelayan, JK (29 tahun).
Kita mah ngga ngerti mas zona-zona mana yang boleh diambil. Dulu pernah katanya ada pengumuman, tapi kan saya ga tau.. informasinya ga merata jadinya. Ya..mestinya kan ada papan pengumuman biar kita ngerti. Tapi ya jangan semua pulau jadi zona inti toh mas
Ketidaktahuan masyarakat tentang isi dan maksud dari Zonasi Taman
Nasional menyebabkan penangkapan ikan di zona inti dan zona perlindungan
masih berlangsung dengan marak. Terlebih lagi, minimnya patroli yang dilakukan
pihak BTNKJ menyebabkan penangkapan ikan di zona tersebut seakan sudah
menjadi hal yang biasa. Pada tahun 2005, pihak BTNKJ telah memasang tanda
larangan di wilayah-wilayah zona inti dan perlindungan, namun tak lama setelah
40
terpasang tanda tersebut hilang. Tanda larangan di zona yang dilindungi dapat
membantu nelayan dalam memilih lokasi penangkapan ikan, seperti yang
diungkap oleh BD (50 tahun),
Klo ada tandanya kita juga ya,, istilahnya ada perhitungan lah untuk masuk ke sana.. la klo ngga ada kan kita mana tau. Harusnya orang PPA (BTNKJ) itu masang papan larangan, atau apalah gitu.. biar kita masyarakat juga ngerti. Jangan tiba-tiba ditangkep gitu aja.
Lain halnya dengan IM (26 tahun), yang telah mengetahui beberapa zona inti dan
perlindungan namun tetap mengambil ikan di sana karena merasa tidak ada
bentuk larangan yang kuat,
Pulau Taka Menyawakan itu sebenernya ya nda boleh mas.. tapi saya klo nyari ikan ya kadang bebas aja.. soalnya kan kita nyari wilayah yang ikannya banyak toh.. moso jadi nelayan nyari ikannya di tempat yang sepi.. asal kita tau batasan aja. kalau ada patroli atau ada peringatan-peringatan ya kita nyingkir dulu.
Pengetahuan nelayan kompressor yang rendah tentang Zonasi Taman Nasional
juga tercermin dari banyaknya jumlah responden yang hanya mengetahui jenis
zonasi tanpa mengetahui daerah mana saja yang ditetapkan sebagai tipe zonasi
tersebut. Hal ini tercermin dari data berikut:
Tabel 5 Pengetahuan Nelayan Kompressor tentang Zonasi Taman Nasional Karimunjawa Tahun 2011
No Pengetahuan tentang zonasi Jumlah responden 1 Tidak tahu tentang zonasi 2 Tahu tentang jenis zonasi, tapi tidak mengetahui
contoh lokasinya • 1-3 zonasi • >4 zonasi
84
3 Tahu tentang jenis zonasi dan contoh lokasinya • 1-3 zonasi dan lokasi • >4 zonasi dan lokasi
185
Total 35
Sebanyak delapan orang responden mengetahui kurang dari empat jenis
zonasi, namun tidak mampu memberikan contoh bagi masing-masing kategori
zonasi. Empat lainnya mengetahui sama dengan atau lebih dari empat macam
41
zonasi namun tidak mampu memberikan contoh kawasan untuk tiap zonasi.
Sementara itu, sebanyak delapan belas responden mengetahui kurang dari empat
jenis zonasi dan mampu memberikan beberapa contoh untuk masing-masing zona
tersebut. Zona yang paling banyak diketahui tipe dan contoh lokasinya adalah
zona inti, dengan contoh lokasi pulau Taka Menyawakan dan Karam Kapal.
Hanya lima responden yang mengetahui lebih dari tiga tipe zona dan mampu
menyebabkan contoh kawasan yang termasuk dalam tipe tersebut. Dari hasil
tersebut, terlihat bahwa sosialisasi yang dilakukan Balai Taman Nasional
Karimunjawa belum berjalan dengan baik.
5.3 Nelayan Kompressor
Nelayan Kompressor adalah nelayan yang menggunakan alat tangkap
panah sederhana dan alat bantu berupa mesin kompressor yang digunakan untuk
memompa udara dari atas kapal ke bawah air. Saat melakukan penyelaman,
biasanya terdapat tiga orang yang mencari ikan di bawah air, kemudian sisanya
memastikan keselamatan para penyelam dari atas kapal dengan mengontrol
tekanan udara dan memastikan bahwa selang udara tidak terlilit mesin kapal.
Dengan menggunakan pipa/selang yang panjangnya puluhan meter, udara
dialirkan dari kompresor ke penyelam yang berada di bawah permukaan laut.
Dengan pasokan udara dari atas, penyelam bebas beraktivitas memungut atau
mencari hasil tangkapan tanpa khawatir persedian udara menipis. Setelah 2 jam
mencari ikan, para penyelam akan naik ke atas kapal untuk bertukar shift dengan
nelayan lain yang sebelumnya di atas kapal.
Secara historis penyelaman menggunakan kompresor ban di Karimunjawa
sudah ada sejak era 80-an. Cara ini mula-mula diperkenalkan oleh eksportir ikan
hidup dari Korea, yang memiliki karamba jaring apung di perairan Legon Boyo.
Semula memang sudah ada praktek-praktek penangkapan ikan hidup yang
dilakukan oleh nelayan Karimunjawa dengan skin diving. Alat tangkap yang
digunakan pun berupa panah/tembak ikan. Namun ikan yang diperoleh tentu saja
mati karena luka panah. Hadirnya eksportir dari Korea memicu nelayan
tembak/panah beralih menyelam dengan kompresor ban. Bahkan pada saat itu,
sebagian penangkapan ikan diduga menggunakan bahan-bahan kimia seperti
potasium sianida, atau sejenisnya untuk membius ikan dengan cara menyemprot.
42
Meskipun dugaan itu sulit dibuktikan, tapi secara nyata dampak kerusakan
terumbu pada saat itu berpengaruh pada menurunnya ikan hasil tangkapan nelayan
pancing. Apalagi kehadiran eksportir Korea tersebut tak lama kemudian diikuti
pula oleh hadirnya eksportir Hongkong, yang menambah maraknya penangkapan
ikan hidup secara besar-besaran di wilayah kepulauan Karimunjawa. Sisi
positifnya pendapatan masyarakat menjadi semakin meningkat. Tetapi bagi
nelayan yang tidak memiliki keahlian menyelam, hal ini merupakan tantangan
nyata. Sebab lokasi yang biasa dijadikan tempat pemancingan juga didatangi para
penyelam kompresor. Inilah awal perang dingin antara nelayan pancing dengan
nelayan selam, seperti yang diungkap oleh SK (48 tahun),
Pokonya susahnya nelayan mas waktu ada alat menyelam. Banyak yang mengeluh mas. Di sini ada orang yang mancing, tapi di bawahnya ada yang nyelem. Diubek-ubek itu mas di bawah, lah kita mana bisa dapet ikan. Berdasarkan analisis data primer, nelayan kompressor secara rata-rata
memiliki penghasilan yang lebih tinggi dari nelayan tradisional, yakni sekitar Rp
1.956.000, per bulan. Meski demikian, resiko yang dihadapi juga lebih tinggi. SM
(48 tahun) berpendapat bahwa penghasilan yang lebih tinggi menimbulkan
kecemburuan dari nelayan tradisional terhadap nelayan kompressor,
Nelayan kompressor ini banyak yang nda suka kenapa, karena penghasilan kita lebih tinggi. Ya memang kalau dihitung-hitung kita sedikit lebih tinggi, tapi ya sama saja sebenernya.. kalau lagi ngga ada ikan ya sama saja, kita ga bisa makan. Nah terus karena disangkanya penghasilan kita lebih tinggi, nelayan yang laen jadi nda suka.. dikiranya kita pake potaslah, ngobok-ngobok orang yang lagi mancing lah, ngerusak bubu lah, apalah, macem-macem lah mas pokonya. Meski terdapat persaingan antara nelayan tradisional dan nelayan
kompressor, namun masyarakat Karimunjawa tetap mengedepankan asas-asas
kekeluargaan dalam menyelesaikan masalah, sehingga perbedaan pendapat
diantara mereka dapat diselesaikan secara baik-baik, seperti yang diungkap oleh
YN (35 tahun),
43
Orang Karimun ini ya satu keluarga. Jangan sampai teradu domba. Kalau ada masalah ya pasti, kalau ada perbedaan ya pasti, tapi kita harus sama-sama ngerti. Nelayan tradisional butuh makan, nelayan kompressor juga butuh makan. Yaa sama-sama ngerti lah pokonya.. jadi kalau di sini mas,, kalau ada masalah kita omongin bareng-bareng. Klo nda ketemu solusinya ya minta tolong sama Petinggi (Kepala Desa), atau Pa Camat, minta tolong ama orang PHPA (BTNKJ). Kompressor ban waktu itu dianggap sebagai teknologi “tepat guna”,
selain bisa memasok udara ke ban dalam, juga bisa memasok udara ke paru-paru
manusia. Kelebihan kompresor ban untuk penyelaman gampang digunakan,
praktis dan murah biaya operasionalnya. Sebenarnya terdapat cara yang lebih
aman, yaitu dengan menggunakan tabung penyelam plus kompressornya. Namun
demikian, harga dan biaya penggunaannya mencapai jutaan rupiah. Hal ini tak
memungkinkan nelayan miskin untuk mengakses alat tersebut. Untuk
perlengkapan selam lainnya seperti kaca mata dan kaki katak (fin) barangkali
masih terjangkau oleh mereka. Tapi untuk membeli tabung udara dan pakaian
selam kedap air, tentu terlalu mahal bagi nelayan Karimunjawa.
Nelayan kompressor sebagian besar tinggal di sebelah barat pulau
Karimunjawa, yang biasa disebut Kampung Lego. Meski demikian terdapat juga
beberapa nelayan tradisional yang hidup berdampingan dengan mereka di wilayah
tersebut. Hubungan antara nelayan kompressor dan nelayan tradisional
sebenarnya menyimpan potensi konflik. Nelayan tradisional menganggap nelayan
kompressor merusak terumbu karang dan mengganggu reproduksi ikan-ikan yang
bertelur di terumbu karang. Selain itu, penyelaman dengan menggunakan mesin
kompressor juga dianggap tidak layak dan berbahaya bagi para pelaku, sehingga
masyarakat tradisional menginginkan agar penggunaan mesin kompressor
dilarang. Hal ini seperti yang diungkap oleh ketua kelompok nelayan Desa
Karimunjawa, MT (51 tahun),
Itu sebenernya bahaya mas pake kompressor itu. Itu kan harusnya buat nyoblos ban, tapi ini kenapa dipake buat manusia. Udah gitu nelayan kompressor itu pasti nginjak-nginjak terumbu karang, ga mungkin ngga mas.. kalo mas ngeliat sendiri nanti, itu semua ikan diambilin ama dia mas. Mau kecil mau gede, ditembak aja semuanya. Harusnya kan ngga boleh itu..
44
Hingga saat ini, terdapat pro dan kontra dari tokoh-tokoh masyarakat
untuk menutup penggunaan mesin kompressor, namun masih terdapat kendala
karena tidak menemui titik temu dengan nelayan kompressor.
5.4 Karakteristik Nelayan Kompressor
5.4.1 Umur
Pekerjaan sebagai nelayan kompressor membutuhkan stamina dan
ketahanan fisik yang memadai, sehingga usia menjadi faktor yang sangat penting
bagi para penyelam kompressor. Kebanyakan nelayan kompressor memulai
pekerjaannya semenjak usia remaja. Meski demikian, tidak menutup
kemungkinan adanya nelayan berusia tua yang masih berprofesi sebagai nelayan
kompressor. Data penelitian di lapangan menunjukkan bahwa usia nelayan
kompressor beragam antara 19-50 tahun. Klasifikasi responden berdasarkan umur
tersaji dalam Tabel 6.
Tabel 6 Jumlah dan Persentase Responden Menurut Kelompok Umur di Karimunjawa Tahun 2011
Umur Jumlah
(orang) Persentase (%)
Muda (15-29 Tahun) 23 65.7 Sedang (30-39 Tahun) 9 25.7 Tua (45-65 Tahun) 3 8.6 Total 35 100
Berdasarkan tabel tersebut dapat diketahui bahwa sebagian besar
responden berusia muda (15-29 tahun), yakni sebesar 65.7 persen. Adapun
responden yang berusia sedang (30-39 tahun) sebanyak 25.7 persen dan yang
berusia tua (45-65 tahun) sebanyak 8.6 persen. Hal ini terjadi karena nelayan
kompressor membutuhkan ketahanan fisik yang baik dalam melakukan
penyelaman, sehingga jarang sekali nelayan yang berusia lanjut menjadi nelayan
kompressor. Tiga responden yang berusia tua dalam penelitian ini adalah nelayan
yang menggunakan mesin kompressor sejak awal maraknya penggunaan mesin
kompressor, sekitar tahun 1980-an. Setelah merasakan hasil yang lebih signifikan,
sebagian besar nelayan akan tetap mempertahankan penggunaan mesin
45
kompressor dalam mencari ikan. Hal ini terjadi juga pada responden dengan usia
sedang dan muda, seperti yang terungkap dari hasil wawancara YN (35 tahun),
Jadi nelayan kompressor ya mas, itu harus punya keahlian nyelem dan fisiknya kuat. Emang bahaya kalau ngga hati-hati, tapi hasilnya juga sepadan. Lumayanlah dibandingin sama nelayan mancing, atau njaring. Saya udah belasan taun jadi nelayan kompressor. Payah mas kalau kita cuma ngandelin mancing aja. Ngga sekolah anak saya nanti
Petikan wawancara tersebut menunjukkan bahwa profesi sebagai nelayan
kompressor merupakan pilihan yang diambil karena lebih menjanjikan hasil yang
maksimal dibandingkan pekerjaan yang lain. Hal ini membuat mereka bertahan
sebagai nelayan kompressor untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, meskipun
resiko yang ditanggung juga tinggi. Hal ini sesuai dengan yang dijelaskan oleh
Dharmawan (2001), bahwa pilihan strategi nafkah sangat ditentukan oleh
kesediaan sumberdaya dan kemampuan mengakses sumber-sumber nafkah
tersebut.
5.4.2 Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan responden yang dimaksud dalam penelitian ini diukur
berdasarkan tingkat pendidikan formal yang pernah diikuti. Kategori tingkat
pendidikan responden di Desa Karangtengah terbagi menjadi tiga kelompok yaitu:
lulusa SD atau tidak tamat SD, SMP, SMA dan perguruan tinggi. Berikut
merupakan data hasil penelitian:
Tabel 7 Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan di Karimunjawa Tahun 2011
Pendidikan Jumlah (orang) Persentase (%)
Rendah (Tidak Sekolah-SD) 33 94 Sedang (SMP-SMA) 2 6 Tinggi (≥ Perguruan Tinggi) 0 0
Total 35 100
Tingkat pendidikan responden pada umumnya masih dalam taraf rendah,
yakni 94 persen lulusan SD atau tidak tamat SD, 6 persen SMP, dan 0 persen
SMA dan perguruan tinggi. Selain karena tidak adanya fasilitas pendidikan yang
memadai di Pulau Karimunjawa, kesadaran nelayan terhadap pendidikan pun
46
rendah, terutama pada responden yang berusia tua dan sedang. Dua orang
responden yang bersekolah sampai tingkat SMP termasuk dalam usia muda. Hal
ini terjadi karena fasilitas sekolah SMP baru dibangun pada tahun 1985, dan SMK
pada tahun 2004, sehingga dalam kurun waktu sebelum tahun tersebut masyarakat
tidak dapat memiliki akses terhadap pendidikan yang memadai. Hal ini sesuai
dengan hasil wawancara dengan seorang tokoh masyarakat, PD (48 tahun),
Sebenernya banyak penduduk punya keinginan tuk bersekolah, buktinya ada juga orang asli karimun yang jadi pejabat di luar karimun. Cuma memang saat itu belum ada sekolahan. Memang secara umum kesadaran tentang pendidikan itu munculnya ya tahun 2000an, apalagi setelah ada SMK itu. Minimnya tingkat pendidikan responden juga dipengaruhi oleh
keterlibatan mereka dalam usaha mencari nafkah saat berusia 11-13 tahun. Anak
yang sudah lulus SD tidak memiliki dorongan untuk melanjutkan sekolah karena
mereka ingin mendapatkan uang tambahan dengan ikut melaut bersama orang tua
mereka. Setelah cukup dewasa, mereka akan mulai mencari pekerjaan sebagai
nelayan secara mandiri, dengan atau tanpa melibatkan orang tua mereka.
5.4.3 Pengalaman Melaut
Pengalaman Melaut merupakan lama waktu dalam satuan tahun yang
dihabiskan oleh responden dalam aktivitas penangkapan ikan secara reguler.
Kategori pengalaman melaut dibagi ke dalam tiga kelompok, yakni nelayan
dengan pengalaman melaut rendah (6-10 tahun), sedang (11-18) tahun, dan tinggi
(≥ 19 tahun). Mayoritas responden telah memulai aktifitas penangkapan ikan sejak
usia yang sangat muda. Berikut merupakan data hasil penelitian:
Tabel 8 Jumlah dan Persentase Responden Menurut Pengalaman Melaut di
Karimunjawa Tahun 2011
Pengalaman Melaut Jumlah (orang) Persentase (%) Rendah (6-10 Tahun) 7 20 Sedang (11-18 Tahun) 17 49 Tinggi (≥ 19Tahun) 11 31
Total 35 100
Sebanyak 20 persen responden memiliki pengalaman melaut yang rendah,
yakni dalam kisaran 6-10 tahun. Dari 20 persen responden tersebut, semuanya
47
berada dalam kelompok usia muda. Sementara itu, 49 persen responden berada
pada kelompok pengalaman sedang (11-18 tahun) dan sisanya sebanyak 31 persen
memiliki pengalaman melaut yang tinggi (>18 tahun). Semua responden mengaku
bahwa mereka mulai melaut sejak berusia antara 11-13 tahun, dengan membantu
orang tua mereka memancing, menjaring ikan, dll. Rata-rata pengalaman melaut
responden dalam penelitian ini adalah 16 tahun, yang jika dihitung selisihnya
dengan rata-rata usia responden (29 tahun), akan diperoleh angka usia 13 tahun.
Angka ini menunjukkan usia rata-rata saat responden mulai melaut. Hal ini
menjelaskan kenapa tingkat pendidikan responden dalam penelitian ini tergolong
rendah.
Keterampilan menyelam yang dimiliki oleh Responden diperoleh secara
otodidak, melalui proses belajar dari orang tua dan lingkungan mereka. Sejak
kecil nelayan Karimunjawa terbiasa bermain di pinggir laut, sambil memancing
dengan peralatan sederhana seperti kail dan benang. Setelah menamatkan SD,
pada umumnya responden mulai beraktifitas sebagai nelayan secara reguler, baik
dengan belajar dari orang tua mereka atau bekerja pada nelayan lain.
5.4.4 Kapasitas Mesin Kapal
Kapasitas mesin kapal yang dimiliki responden diukur dalam satuan
“Paardekracht” atau yang biasa dikenal dengan istilah PK (1 HP = 1,014 PK=750
Watt). Data tentang jumlah dan presentese responden menurut kapasitas mesin
kapal adalah sebagai berikut:
Tabel 9 Jumlah dan Persentase Responden Menurut Kapasitas Mesin Kapal di
Karimunjawa Tahun 2011
Kapasitas mesin kapal Jumlah (orang) Persentase (%) Rendah (12-16 PK) 6 17 Sedang (18-20 PK) 6 17 Tinggi (> 20 PK) 23 66
Total 35 100
Terdapat 12 persen responden yang memiliki kapasitas mesin kapal yang
rendah (12-16 PK), juga 12 persen responden yang memiliki kapasitas mesin
kapal yang sedang (18-20 PK). Sementara itu, kapasitas mesin kapal yang besar
dimiliki oleh kapal yang memiliki 2 mesin, dengan kapasitas lebih dari 20 PK.
48
Responden yang memiliki kapasitas mesin kapal besar sebanyak 66 persen.
Responden yang diteliti terbagi ke dalam enam tim nelayan kompressor, dimana
masing-masing kelompok memiliki satu orang kapten sekaligus pemiliki kapal.
Pemiliki kapal memiliki satu bagian hasil dalam sekali melaut, yang artinya jika
pemilik kapal tersebut ikut melaut maka dia mendapatkan satu bagian sebagai
penyelam dan satu bagian sebagai pemilik kapal. Meskipun kapasitas mesin kapal
menentukan wilayah cakupan yang dapat dijangkau oleh nelayan, namun ada juga
kelompok nelayan yang memiliki kapasitas mesin besar tapi memilih untuk
menyelam tidak jauh dari sekitar pulau utama, karena mereka tidak terlalu
“ngoyo” (ngotot) dalam mencari ikan.
5.4.5 Nilai Hasil Tangkapan
Nilai hasil tangkapan merupakan nominal angka penghasilan yang didapat
oleh nelayan dari setiap satu kali perjalanan melaut, yakni dimulai pada sore hari
sampai dengan subuh. Sistem bagi hasil yang dilakukan oleh nelayan di
Karimunjawa didasarkan pada kesepakatan atau perjanjian yang dibuat dan telah
disepakati bersama antara pemilik dan jurumudi beserta pandeganya yaitu hasil
kotor dikurangi seluruh biaya operasional melaut (perbekalan) maka didapatkan
hasil bersih atau raman bersih. Dari hasil bersih itu kemudian dibagi sesuai
dengan kesepakatan (Irnawati 2007).
Nelayan Kompressor bekerja secara berkelompok, dimana pendapatan
setiap anggota kelompok dibagi rata. Nominal ini dibagi ke dalam tiga kategori,
yakni periode dalam satu bulan ketika nilai hasil tangkapan rendah, sedang dan
tinggi. Dari masing-masing kategori tersebut, terdapat pendapatan rata-rata
minimum (dilambangkan dengan “-“) dan pendapatan rata-rata maksimum
(dilambangkan dengan “+”) dari masing-masing anggota kelompok nelayan
kompressor. Berikut merupakan nilai tangkapan individu yang diperoleh dari hasil
pembagian per kelompok responden:
Kategori hasil tangkapan rendah biasanya terjadi selama 6 hari dalam satu bulan,
dimana rata-rata penghasilan terendah mencapai Rp 45.000,- dan rata-rata
penghasilan tertinggi mencapai Rp 75.000,-. Periode tangkapan rendah terjadi
dalam kurun waktu yang tidak menentu, yang bisa disebabkan oleh iklim, cuaca,
dan mobilitas ikan yang tidak menentu. Kategori hasil tangkapan sedang terjadi
49
selama 9 hari dalam satu bulan, dengan rata-rata penghasilan terendah sebesar Rp
84.000,- dan rata-rata penghasilan tertinggi sebesar Rp 119.000,-. Periode
tangkapan dengan hasil sedang biasanya terjadi pada iklim dan cuaca normal.
Untuk kategori hasil tangkapan tinggi terjadi rata-rata selama 4 hari, dengan rata-
rata penghasilan terendah sebesar Rp 129.000,- dan tertinggi sebesar Rp 172.000.
Secara keseluruhan, kelompok nelayan dengan penghasilan paling rendah
adalah kelompok dengan kapten kapal RDN. Rendahnya hasil tangkapan
kelompok ini disebabkan karena area penangkapannya terbatas, yakni hanya
sekitar pulau Menjangan, Karimunjawa, Kemujan, dan sekitarnya. Hal ini
dipengaruhi oleh kapasitas mesin kapal yang hanya sebesar 12 PK dan kondisi
fisik kapal yang tidak terlalu baik. Sementara itu, kelompok dengan penghasilan
paling besar adalah kelompok dengan kapten kapal HKM. Kelompok ini
memiliki daerah tangkapan yang paling luas di antara yang lain, didukung oleh
kapasitas mesin kapal yang paling besar, yakni dengan dua mesin berkekuatan 16
dan 20 PK. Selain karena besarnya kekuatan mesin kapal, kelompok ini juga
dikenal memiliki usaha yang gigih dalam mencari ikan.
Tabel 10 Nilai Hasil Tangkapan Berdasarkan Kelompok Kapal Nelayan
Kompressor di Karimunjawa tahun 2011
Nama Kelompok
Hasil Tangkapan/Bulan
Rendah Sedang Tinggi Total Rp (ribu)/bln
Rp (ribu)/hari
Jml hari/ bulan
Rp (ribu)/hari
Jumlah hari/ bulan
Rp (ribu)/hari
Jml hari/ bulan
- + - + - + - +
HKM 50 80 5 100 130 11 150 200 3 1800 2430RDN 30 60 6 60 100 10 100 130 6 1380 2140SRN 50 80 5 80 120 9 140 180 5 1670 2380AJB 50 80 6 90 120 9 130 180 4 1630 2280YD 50 80 5 90 120 10 130 180 4 1670 2320HD 40 70 6 80 120 9 120 160 4 1440 2140nilai rataan 45 75 5 84 119 10 129 172 4 1601 2283
- : nilai tangkapan minimum + : nilai tangkapan minimum 5.4.6 Ikan Hasil Tangkapan
Nelayan kompressor pada dasarnya menangkap semua jenis ikan. Ikan yang
mereka peroleh sangat bervariasi. Berdasarkan Laporan Penataan Zonasi (2004)
50
yang dikeluarkan oleh Balai Taman Nasional Karimunjawa, pada perairan
dangkal Karimunjawa ditemukan 43 famili ikan karang, terutama ikan-ikan yang
berasosiasi erat dengan terumbu karang. Dalam satu kali penyelaman selama 60
menit, dapat ditemukan 69 sampai 141 spesies ikan karang. Dari 138 spesies
Pomacentridae yang ditemukan di Indonesia, di Karimunjawa terdapat 71 spesies.
Famili ini merupakan komponen terbanyak ikan karang. Selain itu, komponen
ikan karang terbesar lainya adalah Labridae 52 spesies, Chaetodontidae 25
spesies, Scaridae 27 spesies, Serranidae 24 spesies. Secara total jumlah spesies
ikan karang yang ditemukan selama survei di seluruh perairan Karimunjawa
adalah 353 species, yaitu di sebelah timur P. Sintok. Berdasarkan hasil observasi
dan wawancara, berikut merupakan daftar 10 ikan yang paling sering ditangkap
oleh nelayan kompressor:
Tabel 11 Jenis Ikan Hasil Tangkapan Nelayan Kompressor di Karimunjawa
Tahun 2011 No Nama lokal ikan Nama Latin Harga/Kg 1 Sunuk Plectropomus Rp 40.000- Rp 110.000 2 Ijo Scarus Rp 6.000 3 Ekor kuning Caesio cuning Rp 10.000- Rp 13.000 4 Kerapu Epinephelus Rp 27.000- Rp. 90.000 5 Kleke Cephalopholis Rp. 10.000-Rp. 20.000 6 Lengak Anyperodon
leucogrammicus Rp. 7.000
7 Kambing-kambing Pomacanthus sexstriatus Rp. 5.500 8 Mogo Chlorurus microrhinos Rp. 6.000 9 Pisang ijo Caesio caerulaurea Rp. 6.000 10 Blukutak Plectropomus Rp. 15.000- Rp. 19.000
Ikan Sunuk dan ikan Kerapu adalah dua jenis ikan yang memiliki harga
yang paling mahal diantara jenis ikan tangkapan lainnya. Hal ini menyebabkan
nelayan kompressor mengutamakan kedua ikan tersebut untuk ditangkap dalam
setiap kali perjalanan melaut. Dalam kondisi ikan yang telah mati, ikan Sunuk
dihargai sebesar Rp 40.000/kg, sementara ikan Kerapu Rp 27.000/kg. dalam
kondisi ikan yang masih hidup, ikan Sunuk dihargai Rp 110.000/kg, sementara
ikan Kerapu Rp 90.000/kg. Karena gencarnya perburuan ikan Sunuk dan Kerapu
oleh nelayan kompressor, akhirnya nelayan tradisional merasa dirugikan karena
mereka kesulitan mendapat kedua jenis ikan tersebut. Pada April 2011, akhirnya
dibentuk kesepakatan diantara para nelayan bahwa nelayan kompressor tidak
51
boleh menangkap ikan Sunuk dan ikan Kerapu pada bulan Februari-April (saat
musim bertelur ikan).
Sementara itu, ikan jenis lainnya memiliki harga yang bervariasi tergantung
pada ukuran. Ikan Ijo dan Ekor Kuning adalah jenis ikan yang paling sering
ditemui di antara batu-batu karang, sehingga mudah bagi nelayan untuk
mendapatkan kedua jenis ikan tersebut. Saat musim angin Timur dan Barat,
nelayan kompressor lebih memilih mencari Gamet karena banyak terdapat di
perairan dangkal yang mudah dijangkau serta relatif mudah menangkapnya.
Saat cuaca buruk, terdapat 24 responden yang mengambil teripang di zona
budidaya rumput laut karena relatif lebih dekat dan aman, serta dapat menutup
kerugian akibat tidak dapat mengambil ikan di lokasi yang jauh. Sementara 11
responden lebih memilih menganggur atau mencari alternatif pekerjaan lain selain
melaut, seperti buruh dan tour guide.
5.4.7 Musim Tangkap
Wilayah Kepulauan Karimunjawa mempunyai iklim tropis yang
dipengaruhi oleh angin laut dengan suhu rata-rata 26-30oC. Dalam satu tahun
terdapat dua pergantian musim, yaitu musim kemarau dan musim penghujan
dengan musim pancaroba diantaranya. Musim kemarau (musim timur) terjadi
pada bulan Juni-Agustus. Pada musim ini cuaca sepanjang hari cerah dengan
curah hujan rata-rata <200 mm/bulan, rata-rata penyinaran matahari antara 70-
80% setiap hari. Bulan kering terjadi pada Maret-Agustus dengan curah hujan
sekitar 60 mm/bulan. Arah angin datang dari timur sampai tenggara dengan
kecepatan 7-10 knot, kadang-kadang mencapai 16 knot lebih. Musim pancaroba
pertama terjadi pada September-Oktober, pada periode ini angin didominasi dari
barat dan barat laut, juga dari timur dan utara dengan kecepatan yang sangat
bervariasi (BTNKJ dalam Irnawati 2008).
Musim penghujan (musim barat) berlangsung antara November-Maret
dengan curah hujan >200 mm/bulan dan angin dengan gelombang laut yang besar.
Rata-rata penyinaran matahari 30-60% setiap harinya. Bulan Januari merupakan
bulan terbasah dengan curah hujan 400 mm/bulan. Pada saat ini gelombang laut
relatif besar, berkisar antara 0,40-1,25 m bahkan pada cuaca buruk di laut terbuka
untuk terjadi gelombang tinggi hingga mencapai 1,7 m. Angin bertiup cukup
52
kencang dengan arah bervariasi dari barat dan barat laut dengan kecepatan rata-
rata 7-16 knot, dan dapat pula mencapai 21 knot. Setelah musim penghujan
kemudian dilanjutkan dengan musim pancaroba kedua yang biasa terjadi antara
April-Mei, arah angin lebih bervariasi dari barat dan timur silih berganti dengan
kecepatan rata-rata 4-10 knot (BTNKJ dalam Irnawati 2008).
Nelayan kompressor mencari ikan dengan jarak sekitar 50-2000 meter dari
garis pantai pulau terdekat, pada kedalaman 5-30 meter pada musim biasa, dan 5-
15 meter pada musim terang bulan. Nelayan kompressor tidak memiliki musim
paceklik, karena hampir sepanjang tahun mereka dapat beroperasi kecuali pada
saat angin besar dan terang bulan. Dalam satu bulan, rata-rata aktivitas melaut
mereka sebanyak 19 kali, kecuali bulan Januari yang tidak dapat diprediksi.
Nelayan kompressor bekerja dalam tim yang terdiri dari lima sampai delapan
orang dalam satu kapal, dan bekerja pada malam hari, sekitar pukul 20.00 – 03.00
WIB.
5.5 Ikhtisar
Zonasi Taman Nasional Karimunjawa ditetapkan melalui Surat Keputusan
Direktur Jenderal PHKA Nomor: 79/IV/Set-3/2005 tanggal 30 Juni 2005.
Penetapan ini dilakukan karena zonasi sebelumnya dirasakan tidak lagi relevan
dengan kondisi yang ada, dan sebagai respon atas masalah-masalah yang dihadapi
dalam pengelolaannya. Masalah tersebut adalah:
1. Zonasi tersebut belum mengakomodir berbagai kepentingan pengelolaan
terutama dari aspek ekologi, sosial ekonomi serta budaya termasuk
kearifan lokal
2. Banyak terjadi tumpang tindih kebijakan berbagai pihak, baik di tingkat
propinsi maupun kabupaten.
Setelah ditetapkannya Zonasi Taman Nasional pada 2005, BTNKJ
melakukan berbagai upaya untuk mensosialisasikan zonasi pada nelayan. Namun
pengetahuan masyarakat tentang zonasi kawasan hanya mencakup eksistensi
zonasi TN, belum mengetahui isi dan bentuk zonasi. Ketidaktahuan masyarakat
tentang isi dan maksud dari Zonasi Taman Nasional menyebabkan maraknya
penangkapan ikan di zona inti dan zona perlindungan. Penerimaan dan peran serta
masyarakat terhadap pola pengelolaan sangat menentukan efektivitas dari
53
pengelolaan tersebut. Tidak efektifnya pengelolaan kawasan perlindungan alam di
Karimunjawa terutama disebabkan oleh kurangnya apresiasi dan keikutsertaan
masyarakat dalam kegiatan pengelolaan
Nelayan kompressor merupakan kelompok nelayan yang memiliki resiko
tinggi dalam mencari nafkah, namun memiliki penghasilan yang rata-rata lebih
tinggi dari nelayan tradisional. Mayoritas nelayan kompressor berusia muda,
yakni sebanyak 65,7 persen. Tingkat pendidikan nelayan berada pada kelompok
rendah, yakni sebanyak 94 persen tidak bersekolah atau hanya lulus sd, sedangkan
6 % mengenyam pendidikan SMP-SMA. Minimnya tingkat pendidikan ini terjadi
karena hampir semua responden mulai mencari nafkah di laut sejak berusia 11-13
tahun. Pengalaman melaut responden bervariasi dari 8-35 tahun, dengan rata-rata
pengalaman melaut selama 16 tahun. Kapasitas mesin kapal responden sebagian
besar tinggi (66%), yakni lebih dari 20 PK. Kapasitas mesin kapal yang tinggi
dibutuhkan untuk dapat menjelajahi pulau-pulau yang memiliki stock ikan yang
melimpah. Nilai hasil tangkapan responden merupakan bagi rata hasil tangkapan
yang didapat setiap kali melaut. Nilai tersebut sangat bervariasi bergantung hasil
“peruntungan” nelayan. Penghasilan terendah yang didapat nelayan adalah sebesar
Rp. 30.000 sekali melaut, sedangkan yang tertinggi mencapai Rp. 200.000.
Penghasilan rata-rata nelayan kompressor sebesar Rp 1.956.000 per bulan. Nilai
tangkapan ini sangat dipengaruhi oleh kemampuan mesin kapal dan kegigihan
nelayan dalam mencari lokasi-lokasi yang memiliki stock ikan melimpah. Ikan
hasil tangkapan nelayan sangat bervariasi, karena alat tangkap speargun-
kompressor dapat mengambil semua jenis ikan. Ikan yang paling banyak dicari
oleh nelayan kompressor adalah ikan Sunuk dan Kerapu karena memiliki harga
yang mahal. Nelayan kompressor bekerja tidak bergantung pada musim, karena
mereka mencari ikan di sekitar terumbu karang yang menyediakan stock ikan
sepanjang tahun. Meski demikian, nelayan kompressor pada umumnya tidak
melaut pada saat terang bulan dan pada saat angin barat, terutama bulan Januari-
Februari.
54
BAB VI
DAMPAK ZONASI TAMAN NASIONAL TERHADAP
STRATEGI NAFKAH NELAYAN KOMPRESSOR
6.1 Daerah Tangkap
Daerah tangkap yang dicakup oleh nelayan kompressor meliputi seluruh
kawasan Taman Nasional Karimunjawa. Ikan tangkapan yang diambil oleh
nelayan berada di wilayah yang tidak terlalu jauh dari pulau, yang artinya
kawasan terumbu karang yang memiliki kedalaman sekitar 5-30 meter pada
musim biasa, dan 5-15 meter pada musim terang bulan. Pada umumnya nelayan
kompressor tidak memiliki aturan khusus tentang pulau mana yang akan didatangi
setiap kali mereka pergi melaut. Hampir semua pulau di kawasan Taman Nasional
Karimunjawa pernah menjadi tempat mereka mencari ikan, termasuk zona inti dan
perlindungan. Berikut merupakan Tabel yang menunjukkan daerah tangkap
nelayan kompressor.
Tabel 12 Daerah Tangkap Responden Sebelum dan Sesudah Zonasi Kawasan di Karimunjawa Tahun 2005
Kelompok
Nelayan
Kompressor
Daerah Tangkap
< 2005 > 2005
< 7,5 km > 7,5 km < 7,5 km > 7,5 km
ZI ZL ZP ZI ZL ZP ZI ZL ZP ZI ZL ZP
HKM
RDN
SRN
AJB
YD
HD
= intensitas penangkapan rendah (sesekali) ZI = Zona Inti
= intensitas penangkapan sedang ZL=Zona Perlindungan
= intensitas penangkapan tinggi ZP= Zona Pemanfaatan
55
Sebelum adanya Zonasi Taman Nasional (<2005), semua kelompok
nelayan kompressor mencari ikan di semua kawasan Taman Nasional baik itu
zona inti, zona perlindungan, maupun zona pemanfaatan. Kelompok dengan
inisial kapten kapal HKM, mencari ikan di semua kawasan TN, terutama di
daerah yang jauh dari pelabuhan utama dengan jarak lebih dari 7,5 km. Pulau
yang sering didatangi oleh kelompok ini antara lain Genting, Pulau Seruni, Pulau
Burung, Parang, dan Nyamuk. Daerah tangkap ini masih menjadi daerah yang
paling sering dikunjungi baik sebelum maupun setelah zonasi TN (>2005).
Kelompok dengan inisial kapten kapal RDN, mencari ikan hanya di sekitar
kawasan pulau Karimunjawa, dengan jarak tidak lebih dari 7,5 km. Hal ini karena
keterbatasan mesin kapal dan kondisi kapal yang tidak memungkinkan untuk
dibawa jauh. Di kawasan dengan radius 7,5 km, kelompok ini mencari ikan
dengan intensitas yang sedang dan merata di semua kawasan, termasuk zona inti,
zona perlindungan dan zona pemanfaatan. Pulau yang sering dikunjungi oleh
kelompok ini antara lain Pulau Cemara Kecil, Cemara Besar, Kumbang, Gosong
Tengah, Gosong Selikur dan beberapa pulau lainnya. Pola ini diterapkan baik
sebelum adanya zonasi kawasan maupun setelah adanya zonasi kawasan tahun
2005.
Kelompok dengan inisial kapten kapal SRN, mengambil ikan di semua
kawasan dengan intensitas sedang dan merata sebelum tahun 2005. Setelah tahun
2005, kelompok ini mengurangi pencarian ikan di kawasan zona inti, karena takut
diketahui oleh pihak yang berwajib. Namun demikian, aktifitas pencarian ikan di
kawasan zona inti masih dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Hal ini tercermin
dari hasil wawancara dengan salah satu anggota kelompok, IML (23 tahun),
Ya di mana aja nyari ikan itu. Nda mesti harus dianu-dianu.. kalau zona larangan paling kita sembunyi-sembunyi mas.. itu pun ngga sering. Takut ketauan. Lagi pula kita kan nyari ikan, ngga merusak lingkungan.
Wilayah yang sering dikunjungi oleh kelompok ini adalah Tanjung Gelam,
Tanjung Bomang, Gosong Selikur, Sintok, Gosong Tengah, dan beberapa pulau
lainnya.
Kelompok dengan nama kapten kapal AJB, mencari ikan di semua
kawasan terutama yang berada di bawah radius 7,5 km dari pelabuhan. Kelompok
56
ini memilih daerah-daerah yang tidak terlalu jauh karena mereka tidak terlalu
“ngoyo” (ngotot) saat mencari ikan. Meski demikian, kelompok ini sesekali juga
melakukan perjalanan ke pulau-pulau yang cukup jauh dari pulau utama, terutama
zona inti dan zona perlindungan yang berjarak > 7,5 km karena memiliki banyak
ikan. Pulau yang sering dikunjungi oleh kelompok ini antara lain Pulau Kumbang,
Gosong Selikur, Sintok, Cemara Kecil, dan sekitarnya.
Kelompok dengan nama kapten kapal YD, sebelum tahun 2005 mencari
ikan di semua kawasan secara merata dengan intensitas sedang. Hal ini didukung
oleh kondisi kapal yang memadai dan memiliki 2 mesin, yakni sebesar 12 dan 16
PK. Setelah tahun 2005, kelompok ini mengurangi intensitas penangkapan di
wilayah zona inti, baik di lokasi yang jauh dari dermaga maupun yang dekat. Hal
ini terjadi karena mereka menyadari adanya sanksi hukum bagi nelayan yang
mencari ikan di zona ini. Meski demikian, intensitas pencarian di zona
perlindungan masih tetap sama seperti sebelum adanya zonasi kawasan.
Kelompok dengan kapten kapal HD, memiliki daerah tangkapan yang
sama baik sebelum dan sesudah tahun 2005. Biasanya mereka beroperasi di
wilayah Pulau Geleang dan Burung, Gosong Selikur, Gosong Tengah, Taka
Nyawaan, Kumbang, dan beberapa pulau lain di zona pemanfaatan. Mereka tidak
mengetahui tentang Zonasi Taman Nasional, sehingga tidak memperhitungkan
ketentuan zonasi dalam mencari ikan.
Meski pada umumnya terdapat satu atau dua orang anggota kelompok
yang mengetahui wilayah yang terlarang untuk dimasuki, masing-masing
kelompok nelayan kompressor tetap mencari ikan di wilayah zona-inti dan
perlindungan. Hal ini terjadi karena nelayan kompressor memiliki semacam etika
bahwa mengambil ikan di zona inti dan zona perlindungan tidak menjadi masalah
asalkan mereka tidak merusak terumbu karang. Hal ini sesuai dengan yang
dikatakan oleh seorang nelayan, SR (27 tahun),
Kita nyari ikan ngga tentu mas, dimana aja yang lagi rame. Kalaupun itu zona inti ya asalkan ga ngerusak terumbu karang aja.. Bebasnya aktifitas mencari ikan di wilayah zona inti dan zona
perlindungan juga diperkuat dengan data yang diperoleh oleh Wildlife
Conservation Society (WCS) yang bekerja sama dengan BTNKJ, melalui survey
57
yang dilakukan terhadap semua nelayan yang beraktifitas di wilayah perairan
Taman Nasional Karimunjawa. Hal ini ditunjukkan oleh peta aktivitas perikanan
panah di lampiran 4. Dari gambar tersebut, dapat dilihat bahwa seluruh pulau yang
ada di Taman Nasional Karimunjawa mayoritas dimanfaatkan dalam intensitas
yang sedang dan merata oleh nelayan kompressor.
6.2 Alat Tangkap
Nelayan-nelayan di Karimunjawa biasanya memiliki berbagai jenis alat
tangkap, hal ini dilakukan agar para nelayan dapat tetap melakukan kegiatan
penangkapan ikan sepanjang tahun, sehingga meskipun terjadi pergantian musim
yang berarti pergantian musim ikan pula, nelayan dapat tetap melakukan
penangkapan ikan, dalam hal ini misalnya nelayan pancing tonda yang juga
memiliki alat tangkap pancing lain, seperti pancing cumi-cumi dan pancing ulur
(Irnawati, 2008). Namun demikian, nelayan kompressor cenderung menggunakan
alat tangkap yang sama, karena speargun dan kompressor bisa digunakan
sepanjang tahun. Hal ini diperkuat dengan hasil wawancara berikut, NR (25
tahun),
Klo yang namanya kompressor mas, kita ga ngenal musim. Karena ikan karang itu kan terus ada, ga abis-abis dia..yaa kecuali, kalau lagi terang bulan atau lagi angin timur. Baru kita pere. Pada saat periode terang bulan, sebagian nelayan kompressor tidak
menggunakan speargun, melainkan hanya sarung tangan untuk menangkap gamet
(Holoturia sp). Hal ini sebagai bentuk strategi adaptasi mereka terhadap kondisi
fisik dan lingkungan yang dihadapi. Komoditas hasil tangkapan nelayan
kompressor sangat bervariasi, tidak terpaku pada satu jenis ikan tertentu.
Secara keseluruhan, terdapat 17 kapal kompressor yang beroperasi di
TNKJ. Karakteristik khas yang membedakan nelayan kompressor dengan nelayan
lainnya adalah penggunaan alat tembak (speargun) dan alat bantu berupa ratusan
meter selang untuk memompa udara dari atas kapal ke dalam air. Perlu dicatat
bahwa seluruh responden telah memakai alat kompressor sebelum tahun 2005,
yakni dalam kurun waktu 1980-2003. Setelah menggunakan kompressor, seluruh
resonden meninggalkan alat tangkap yang lain. Berikut merupakan Tabel
perubahan alat tangkap sebelum zonasi dan setelah zonasi (lihat juga lampiran 4):
58
Tabel 13 Perubahan Alat Tangkap Sebelum dan Sesudah Zonasi Kawasan di Karimunjawa Tahun 2005
No Sebelum tahun 2005 Setelah tahun 2005 Jumlah responden 1 Muroami
Jaring Pancing
Potassium Kompressor
Kompressor Up grade mesin
2 orang
2 Pancing Potassium Kompressor
Kompressor Up grade mesin
4 orang
3 Muroami Jaring Pancing
Potassium Kompressor
Kompressor Up grade mesin
1 orang
4 Potassium Kompressor
Kompressor 6 orang
5 Muroami Potassium Kompressor
Kompressor 1 orang
6 Muroami Jaring Pancing
Potassium Kompressor
Kompressor 2 orang
7 Muroami Jaring Pancing
Potassium Kompressor
Pancing Kompressor
4 orang
8 Pancing Potassium Kompressor
Pancing Kompressor
7 orang
9 Bubu Potassium Kompressor
Kompressor 1 orang
10 Jaring Pancing Potassium
Kompressor Kompressor 1 orang
11 Pancing Potassium Kompressor
Pancing Kompressor
2 orang
12 Bubu Potassium Kompressor
Bubu Kompressor
1 orang
13 Pancing Potassium Kompressor
Bubu Kompressor
1 orang
14 Jaring Potassium Kompressor
Kompressor 1 orang
15 Muroami Pancing Potassium
Kompressor Kompressor 1 orang
Total 35 orang
59
Nelayan Karimunjawa pada umumnya pernah menggunakan alat pancing
untuk mencari ikan. Seiring dengan berjalannya waktu, alternatif alat tangkap
yang dapat digunakan pun bertambah. Setelah responden beralih ke alat tangkap
speargun-kompressor, mereka meninggalkan alat tangkap pancing karena merasa
kebutuhannya sudah cukup terpenuhi, kecuali delapan orang responden yang
menggunakan alat pancingan hanya untuk memenuhi kebutuhan subsisten rumah
tangga saat tidak melaut menggunakan kompressor. Dengan demikian, perubahan
ini tidak disebabkan oleh adanya Zonasi Taman Nasional.
Alat tangkap jaring dipakai untuk menangkap udang, ikan, atau teri.
Sebanyak sebelas orang nelayan menggunakan jaring sebelum Zonasi Taman
Nasional, namun tidak ada yang menggunakan setelah adanya zonasi. Hal ini
disebabkan karena setelah mereka menggunakan alat kompressor, hasil yang
didapat melalui kompressor cenderung lebih banyak. Selain itu, penggunaan
mesin kompressor pun tidak bergantung pada musim. Karena itu, nelayan lebih
senang menggunakan alat kompressor dalam mencari nafkah dan meninggalkan
alat-alat yang lain. Perubahan alat tangkap jaring ini tidak dipengaruhi oleh
Zonasi Taman Nasional, melainkan dipengaruhi oleh faktor ekonomi.
Kompressor digunakan oleh semua responden sebelum adanya Zonasi
Taman Nasional. Hanya terdapat satu orang responden yang tidak lagi memakai
alat kompressor sejak tahun 2009 karena tidak diperbolehkan oleh keluarganya,
dengan alasan membahayakan keselamatan. Semua responden mengaku bahwa
hasil yang didapatkan dengan menggunakan alat kompressor lebih memuaskan
dibanding dengan memakai alat lainnya. Karena alasan inilah, hampir semua
responden tetap menggunakan alat kompressor untuk mencari ikan. Awal
penggunaan kompressor pada masing-masing responden bervariasi, namun secara
umum telah ada sejak tahun 1980-an, dan mulai marak di tahun 1990-an.
Beberapa nelayan sejak awal berprofesi sebagai nelayan sudah menggunakan alat
tangkap speargun-kompressor, terutama kelompok responden yang berusia
antara18-24 tahun.
Potassium digunakan secara meluas oleh nelayan pada kurun waktu 1990-
an, dan mulai hilang setelah pihak BTNKJ gencar melakukan penyuluhan dan
penegakan hukum terkait dengan penggunaan potassium kurun waktu 2000-an.
60
Semua responden menggunakan potassium sebagai alat bantu dalam menangkap
ikan sebelum zonasi ditetapkan. Setelah dilakukan penyuluhan oleh BTNKJ,
semua responden menyadari bahaya yang ditimbulkan oleh potassium dan mulai
berhenti menggunakannya. Setelah Zonasi Taman Nasional tahun 2005, secara
perlahan penggunaan potassium mulai ditinggalkan oleh nelayan Karimunjawa.
Jaring muroami digunakan oleh 9 orang responden sebelum Zonasi Taman
Nasional. Satu jaring muroami dioperasikan dengan tiga buah kapal dengan
jumlah ABK lebih dari 22 orang. Jumlah tersebut menyebabkan pembagian hasil
tangkapan menjadi sedikit meskipun hasil yang didapat terhitung banyak. Selain
itu, responden mengaku lebih nyaman bekerja dengan alat tangkap speargun-
kompressor dengan jumlah ABK yang relatif sedikit, yakni lima sampai delapan
orang. Oleh karena itu responden memilih beralih alat tangkap dari muroami ke
kompressor. Karena perubahan alat tangkap ini terjadi dalam kurun waktu tahun
1998-2003, maka perubahan ini pun tidak dipengaruhi oleh adanya Zonasi Taman
Nasional pada tahun 2005.
Mesin yang digunakan oleh responden pada umumnya dirawat/diperbaiki
hanya saat rusak atau mengalami gangguan. Tidak ada responden yang secara
khusus menjadwalkan waktu tertentu untuk melakukan perbaikan/pemeriksaan
rutin. Hanya 7 orang responden (semuanya berasal dari tim yang sama) yang
melakukan upgrade mesin pada bagian mesin kompressor dan menambah
kapasitas mesin motor. Upgrade mesin tersebut baru dilakukan pada tahun 2008
karena alasan modal. Dengan demikian perbaikan alat tangkap ini bukan
disebabkan oleh Zonasi Taman Nasional.
Bubu merupakan alat tangkap tradisional yang terdiri dari dua jenis, yakni
bubu yang ditempatkan di daerah dekat pantai, dan bubu yang ditempatkan di laut
lepas. Sebelum tahun 2005, terdapat dua orang responden yang memakai bubu
untuk mencari ikan. Setelah Zonasi Taman Nasional, satu responden memutuskan
tidak lagi memakai bubu karena lebih nyaman bekerja sebagai nelayan
kompressor (STM), sementara satu orang lainnya (AJB) mengajak kerabatnya
(ALF) untuk menggunakan bubu agar mendapat penghasilan tambahan. Kedua
responden tersebut bekerja sama karena masih memiliki hubungan darah.
Penggunaan bubu dilakukan saat kedua responden sedang “malas” melaut
menggunakan kompressor. Biasanya, bubu digunakan setidaknya satu kali setiap
61
minggu. Motif perubahan alat tangkap ini tidak disebabkan oleh adanya Zonasi
Taman Nasional, melainkan oleh motif ekonomi.
Selain penggunaan potassium, secara keseluruhan perubahan alat yang
dipakai nelayan terjadi karena motif ekonomi, yakni dengan memperhitungkan
hasil tangkapan yang diperoleh dari masing-masing alat tangkap. Adapun Zonasi
Taman Nasional tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap perubahan alat
tangkap nelayan. Selain itu, adanya sanksi hukum dan penyuluhan tentang bahaya
potassium juga berhasil menghilangkan penggunaan potassium di kawasan TNKJ.
6.3 Diversifikasi Nafkah
Diversifikasi nafkah yang dimaksud dalam penilitian ini yaitu penerapan
pola nafkah yang beragam dengan cara mencari pekerjaan lain selain pertanian
untuk menambah pendapatan (Soones 1998). Dalam konteks masyarakat nelayan,
strategi nafkah utama yang dilakukan adalah mencari ikan.
Diversifikasi nafkah sudah ada sejak sebelum ditetapkannya zonasi taman
nasional tahun 2005. Namun setelah meningkatnya sektor pariwisata setelah
adanya Zonasi Taman Nasional, jenis-jenis strategi tersebut menjadi lebih
bervariasi dengan adanya sumber nafkah baru seperti tour guide, penyewaan alat-
alat selam, penyewaan kapal, penyewaan motor, penginapan, berdagang, dll.
Diversifikasi nafkah melalui sektor pariwisata merupakan respon positif dari
keberadaan Taman Nasional yang menawarkan peluang baru bagi nelayan
kompressor untuk mendapatkan pemasukan tambahan. Namun tidak semua
nelayan dapat terlibat dalam bisnis ekowisata tersebut karena keterbatasan akses
dan kemampuan.
Meningkatnya sektor pariwisata di kepulauan Karimunjawa dapat
meningkatkan taraf kehidupan masyarakat karena masyarakat memiliki lebih
banyak pilihan dalam mencari nafkah. Dengan meningkatnya pilihan dalam
mencari nafkah, maka nelayan kompressor tidak hanya bergantung pada hasil laut.
Berikut merupakan Tabel nafkah ganda sebelum dan sesudah adanya Zonasi
Taman Nasional (lihat juga lampiran 5):
62
Tabel 14 Perubahan Diversifikasi Nafkah Sebelum dan Sesudah Zonasi Kawasan di Karimunjawa Tahun 2005
No Sebelum tahun 2005 Setelah tahun 2005 Jumlah
1 Nelayan kompressor Nelayan kompressor 7 orang 2 Nelayan kompressor Nelayan kompressor
Buruh 2 orang
3 Nelayan kompressor Nelayan kompressor Tour guide
10 orang
4 Nelayan kompressor Nelayan kompressor Rumput laut
2 orang
5 Nelayan kompressor Nelayan kompressor Tour guide Buruh
2 orang
6 Nelayan kompressor Nelayan kompressor Tour guide Rumput laut
1 orang
7 Nelayan kompressor Nelayan kompressor Tour guide Menyewakan kapal
2 orang
8 Nelayan kompressor Buruh
Nelayan kompressor Buruh
3 orang
9 Nelayan kompressor Buruh
Nelayan kompressor Rumput laut
1 orang
10 Nelayan kompressor Buruh
Nelayan kompressor Tour guide
1 orang
11 Nelayan kompressor ABK kapal transportasi
Nelayan kompressor 1 orang
12 Nelayan kompressor Buruh ABK kapal transportasi
Nelayan kompressor 1 orang
13 Nelayan kompressor Buruh ABK kapal transportasi
Nelayan kompressor Tour guide
1 orang
14 Nelayan kompressor Buruh Dagang
Nelayan kompressor Rumput laut
1 orang
Total 35 orang
Terdapat 26 orang responden yang tidak melakukan diversifikasi nafkah
sebelum adanya Zonasi Taman Nasional. Setelah adanya zonasi, 7 dari 26
responden tersebut tetap tidak melakukan diversifikasi nafkah, sementara 19
orang lainnya menerapkan pola nafkah ganda selain menjadi nelayan.
Sebelum adanya Zonasi Taman Nasional, tidak ada responden yang
berprofesi sebagai tour guide saat mereka tidak melaut. Sekitar tahun 2004-2005,
sektor pariwisata di TNKJ mulai berkembang dan menjadi ladang usaha tambahan
63
yang menggiurkan bagi mereka. Perkembangan sektor pariwisata ini terjadi
karena potensi keindahan alam yang terpelihara di TNKJ, serta maraknya promosi
yang dilakukan oleh berbagai pihak melalui internet. Setelah tahun 2005, 17
responden memilih menjadi tour guide sebagai mata pencaharian tambahan selain
melaut. Lima diantaranya dilakukan hanya saat musim paceklik, sementara 12
lainnya dilakukan saat ada peluang, baik pada musim paceklik maupun musim
normal. Hal ini sesuai dengan yang diungkap oleh TL (25 tahun),
Kalau ada tamu ya kita layani (tanpa mengenal musim).. lumayan kan mas jadi tour guide itu, sehari dapet Rp 75.000 satu orang. Tapi paling kalau ada kawan yang nawari itu juga.
Pekerjaan menjadi tour guide kebanyakan dilakukan oleh responden yang berada
dalam kelompok usia 30 tahun ke bawah, dan oleh mereka yang memiliki akses
terhadap rumah tinggal, hotel dan agen pariwisata.
Sebelum Zonasi Taman Nasional, tidak ada nelayan yang menyewakan
kapalnya untuk dipakai sebagai kapal wisata. Setelah adanya zonasi, dua orang
responden menyewakan kapal mereka kepada para wisatawan atau agen wisata
yang hendak berkeliling kepulauan Karimunjawa. Satu diantaranya memilih untuk
menjadi tour guide disamping menyewakan kapal, sementara satu lainnya hanya
menjadi tour guide saat-saat tertentu saja. Kedua responden tersebut memilih
untuk memanfaatkan potensi pariwisata dengan menerapkan nafkah ganda berupa
menjadi tour guide dan menyewakan kapal.
Pertanian rumput laut mulai berkembang setelah adanya bantuan dari
pemerintah kabupaten Jepara yang bekerja sama dengan BTNKJ untuk
menyediakan zona khusus untuk pertanian rumput laut. Sebelum tahun 2005,
tidak ada responden yang menjadi petani rumput laut. Setelah 2005, terdapat lima
responden yang membudidayakan rumput laut sebagai penghasilan tambahan.
Pekerjaan sebagai petani rumput laut dirasakan tidak mengganggu kesibukan
mereka sebagai nelayan, karena aktifitas melaut dilakukan saat malam hari dan
bertani rumput laut pada pagi atau siang hari. Seperti yang diungkap oleh SRN
(27 tahun),
64
Rumput laut hasilnya lumayan. Kan panennya juga cuma 40 hari,
paling kalau lagi ada waktu kita kerja, kalau lagi males ya nda..
keliatannya si ngga ngeganggu saya jadi nelayan
Secara ekonomi, pertanian rumput laut merupakan usaha yang cukup menjanjikan
bagi nelayan kompressor, karena cukup praktis dan dapat dilakukan tanpa
mengganggu profesi mereka sebagai nelayan kompressor. Namun karena
ketiadaan modal, tidak semua responden dapat menjalankan usaha budi daya
rumput laut.
Sebanyak delapan orang yang melakukan strategi nafkah ganda dengan
menjadi buruh sebelum adanya zonasi. Upah sebagai buruh dalam satu hari
sebesar Rp 50.000- Rp 65.000. Pekerjaan ini dilakukan oleh delapan orang.
Responden yang berprofesi sebagai buruh mayoritas berusia 30 tahun ke atas.
Setelah tahun 2005, empat orang responden tidak lagi menjadi buruh karena
beralih profesi menjadi petani rumput laut dan tour guide. Tiga diantaranya tidak
mengubah strategi nafkah ganda mereka, dengan menjadi nelayan dan buruh baik
sebelum maupun sesudah Zonasi Taman Nasional.
Sebanyak tiga orang responden yang menjadi ABK kapal sebelum adanya
zonasi kawasan. Pada awal menjadi nelayan kompressor, ketiga responden
tersebut masih mencoba menyempatkan diri menjadi ABK kapal dengan alasan
sebagai pemasukan tambahan. Namun karena hasil yang didapat melalui nelayan
kompressor lebih menjanjikan, ketiga responden tersebut akhirnya memutuskan
untuk tidak lagi menjadi ABK kapal. Dua diantaranya merasa hasil yang didapat
dengan menjadi nelayan kompressor sudah cukup unutk menghidupi keluarganya,
sementara satu lainnya menjadi tour guide.
Dari berbagai profesi di atas, dapat diketahui bahwa pekerjaan sebagai
tour guide, rumput laut dan penyewaan kapal dipengaruhi oleh keberadaan Zonasi
Taman Nasional tahun 2005. Sedangkan perubahan pada strategi nafkah buruh
dan ABK (kapal angkut dan transportasi) tidak dipengaruhi oleh Zonasi Taman
Nasional, melainkan karena faktor kebutuhan ekonomi. Meski demikian,
perubahan pada kedua strategi nafkah ganda tersebut tetap terkait secara tidak
langsung dengan Zonasi Taman Nasional.
65
6.4 Ikhtisar
Daerah tangkap yang dicakup oleh nelayan kompressor meliputi seluruh
kawasan Taman Nasional Karimunjawa. Ikan tangkapan yang diambil oleh
nelayan berada di wilayah terumbu karang. Seluruh pulau di Taman Nasional
Karimunjawa mayoritas dimanfaatkan dalam intensitas yang sedang dan merata
oleh nelayan kompressor. Nelayan-nelayan di Karimunjawa biasanya memiliki
berbagai jenis alat tangkap, hal ini dilakukan agar para nelayan dapat tetap
melakukan kegiatan penangkapan ikan sepanjang tahun. Setelah memakai alat
tangkap speargun-kompressor, mayoritas responden tidak memakai alat tangkap
lain karena kompressor dapat digunakan sepanjang tahun. Hanya terdapat 8 orang
yang masih menggunakan alat pancing saat musim paceklik, serta dua orang yang
menggunakan bubu untuk mendapat penghasilan tambahan. Perubahan alat
tangkap ini tidak dipengaruhi oleh Zonasi Taman Nasional, kecuali potassium
yang gencar dilarang sejak tahun 2000-an.
Strategi nafkah yang dilakukan responden sebelum tahun 2005 lebih
banyak mengandalkan pada pemanfaatan sektor perikanan (nelayan) dan jasa
(buruh, ABK kapal angkut/transportasi, dan berdagang). Setelah 2005, dengan
meningkatnya sektor pariwisata, jenis-jenis strategi nafkah menjadi lebih
bervariasi dengan adanya sumber nafkah baru seperti tour guide, penyewaan alat-
alat selam, penyewaan kapal, penyewaan motor, penginapan, berdagang, dll.
Dengan meningkatnya pilihan dalam mencari nafkah, maka nelayan kompressor
tidak hanya bergantung pada hasil laut. Sektor pariwisata juga dapat merangsang
kepedulian nelayan untuk menjaga dan melestarikan lingkungannya agar tetap
menarik bagi para wisatawan, sehingga sektor pariwisata tersebut dapat
mendukung keberlanjutan Taman Nasional Karimunjawa. Dari berbagai profesi
tersebut, pekerjaan sebagai tour guide, rumput laut dan penyewaan kapal
dipengaruhi oleh adanya Zonasi Taman Nasional tahun 2005.
66
BAB VII
EFEKTIVITAS PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA
7.1 Manajemen Konservasi Keanekaragaman Hayati Taman Nasional Karimunjawa Melalui Sistem Zonasi
Taman Nasional Karimunjawa sebagai kawasan pelestarian alam memiliki
fungsi yang kompleks yaitu sebagai daerah perlindungan dan pengamanan bagi
sistem penyangga kehidupan masyarakat Karimunjawa, pengawetan
keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan yang adil dan
berkelanjutan. Visi Taman Nasional Karimunjawa adalah mewujudkan
pengelolaan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistem Taman Nasional
Karimunjawa melalui perlindungan hutan dan penegakan hukum, optimalisasi
pemanfaatan berdasarkan prinsip kelestarian yang didukung kelembagaan dan
kemitraan yang kuat. Misi Taman Nasional Karimunjawa, sebagai berikut :
1) Meningkatkan efektivitas pengelolaan TNKJ sesuai fungsi kawasan
2) Mewujudkan kelembagaan dan kemitraan yang kuat dalam pengelolaan
3) TNKJ.
4) Mengembangkan dan memantapkan upaya pengawetan, pengendalian dan
5) pemanfaatan tumbuhan satwa liar.
6) Memantapkan upaya perlindungan, penegakan hukum dan pengendalian
7) kebakaran hutan di TNKJ.
8) Mengembangkan ODTWA, jasa lingkungan dan pengembangan bina cinta
alam.
Berdasarkan Program Pembangunan Daerah Kabupaten Jepara Tahun
2001-2005, pengelolaan Taman Nasional Karimunjawa ke depan ditujukan untuk
dapat menanggulangi persoalan dengan mempertimbangkan pelestarian SDA dan
ekonomi sehingga terwujud pengelolaan yang lestari dengan tetap dapat
memberikan kesejahteraan kepada masyarakat sesuai dengan perubahan dinamika
masyarakat. Tantangan yang dihadapi dalam upaya pembangunan di bidang
sumber daya alam adalah menciptakan suatu kondisi yang serasi antara
ketersediaan sumber daya dengan kebutuhan masyarakat.
67
Kondisi perikanan tangkap Karimunjawa yang memiliki kekayaan potensi
sumber daya dan keanekaragaman sosial budaya masih menjanjikan untuk
dikelola. Hal ini memungkinkan untuk dilakukannya pola pembangunan yang
sesuai dan berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dan tetap
memegang teguh aspek kelestarian dan konservasi alam. Pemikiran pembangunan
yang relevan untuk mengembangkan pulau kecil adalah membangun pulau kecil
dengan berbasiskan pada kekuatan sumber daya lokal yang dimiliki, sehingga
dapat mengembangkan perekonomian masyarakat lokal (Maksum, 2006).
Menurut Kusumastanto (2003) dalam Maksum (2006), pengembangan pulau-
pulau kecil dengan karakteristiknya memiliki beberapa kendala pembangunan,
yaitu:
1) Ukuran yang kecil dan terisolasi (keterasingan) menyebabkan penyediaan
prasarana dan sarana menjadi sangat mahal. SDM yang andal dan mau
bekerja di lokasi tersebut sedikit. Luas pulau kecil itu bukan suatu
kelemahan jika barang dan jasa yang diproduksi dan dikonsumsi oleh
penghuninya tersedia di pulau yang dimaksud. Akan tetapi, begitu jumlah
penduduk meningkat secara drastis, diperlukan barang dan jasa dari pasar
yang jauh dari pulau itu, berarti biaya mahal.
2) Kesukaran dan ketidakmampuan untuk mencapai skala ekonomi yang
optimal dan menguntungkan dalam hal administrasi, usaha produksi, dan
transportasi. Hal ini turut menghambat pembangunan hampir semua pulau
kecil di dunia.
3) Ketersediaan SDA dan jasa-jasa lingkungan, seperti air tawar, vegetasi,
tanah, ekosistem pesisir dan satwa liar, yang pada gilirannya menentukan
daya dukung sistem pulau kecil dan menopang kehidupan manusia penghuni
serta segenap kegiatan pembangunan.
4) Produktivitas SDA dan jasa-jasa lingkungan (seperti pengendalian erosi)
yang terdapat di setiap unit ruang (lokasi) di dalam pulau dan yang terdapat
di sekitar pulau (seperti ekosistem terumbu karang dan perairan pesisir)
saling terkait satu sama lain secara erat.
5) Budaya lokal kepulauan kadang kala bertentangan dengan kegiatan
pembangunan. Contohnya bidang pariwisata yang akhir-akhir ini dianggap
sebagai dewa penolong (panacea) bagi pembangunan pulau-pulau kecil. Di
68
beberapa pulau kecil budaya yang dibawa oleh wisatawan (asing) dianggap
tidak sesuai dengan adat atau agama setempat.
Sementara itu, Maksum (2006) mengatakan bahwa permasalahan-
permasalahan dalam pengelolaan TNKJ antara lain:
1) Kondisi sosial ekonomi masyarakat setempat yang masih rendah sehingga
seringkali kurang mendukung dan memahami terhadap kawasan konservasi,
2) Belum sinergisnya kegiatan-kegiatan pemanfaatan yang ada di tnkj dengan
kegiatan konservasi, masyarakat belum mengerti pola pengelolaan yang
dilakukan,
3) Pengawasan yang dilakukan belum efektif,
4) Belum adanya peraturan khusus dalam bidang perikanan
5) Hal ini sesuai dengan pendapat Sya’rani dan Suryanto (2006) dalam
Maksum (2006) yang menyatakan bahwa hambatan dalam pengembangan
kepulauan Karimunjawa diantaranya adalah zonasi yang ada belum efektif,
karena kesenjangan kepentingan konservasi dan kepentingan pemanfaatan
untuk kegiatan ekonomi masyarakat, dan kemampuan pengendalian
eksplorasi dan eksploitasi SDA terbatas .
7.2 Kapasitas Balai Taman Nasional Karimunjawa
7.2.1 Sumberdaya Manusia
Balai Taman Nasional Karimunjawa merupakan salah satu Unit Pelaksana
Teknis Pengelolaan kawasan Taman Nasional Karimunjawa yang bertanggung
jawab langsung kepada Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi
Alam berdasarkan Permenhut No. P.03/Menhut-II/2007 tanggal 1 Februari 2007.
Saat ini BTNKJ mempunyai 81 pegawai yang terdiri atas 77 PNS dan 4 tenaga
upah (lihat Tabel 15).
69
Tabel 15 Keadaan Pegawai Balai Taman Nasional Karimunjawa Berdasarkan Golongan dan Jenis Kelamin Tahun 2008
Unit organisasi PNS/CPNS (golongan) Pgw
honorer Pgw
harian
Jenis kelamin Jumlah
total IV III II I jml L P Balai TN Karimunjawa 1 16 7 0 24 0 1 15 9 24
seksi Pengelolaan TN I Kemujan 1 8 18 0 27 0 2 23 4 27
Seksi Pengelolaan TN II Karimunjawa
0 10 15 1 26 0 1 25 1 26
Jumlah 2 34 40 1 77 0 4 63 14 77 Sumber: Statistik Balai Taman Nasional Karimunjawa 2008
Efektivitas pengelolaan juga ditentukan oleh keterampilan dan
pengetahuan dari pengelola. Berdasarkan statistik BTNKJ (2008) dari 80 orang
pegawai BTNKJ, sebagian besar pendidikannya (67,5 persen) bukan sarjana (lihat
Tabel 15). Selain itu, walaupun berpendidikan sarjana, latar belakang pendidikan
juga kurang sesuai dengan skill yang dibutuhkan (hanya 30 persen dari kehutanan
dan perikanan). Untuk itu BTNKJ perlu melakukan upaya peningkatan kapasitas
pengelolaan melalui kegiatan pendidikan dan Pelatihan untuk peningkatan
pengetahuan kemampuan dan ketrampilan sesuai kompetensinya agar dapat
melaksanakan tugas dengan baik.
Tabel 16 Keadaan Pegawai Balai Taman Nasional Karimunjawa Berdasarkan Tingkat Pendidikan Tahun 2008
Unit Organisasi S2 S1 Diploma SMA SMP UPAH HARIAN jumlah
total H L H L H L SMA SMP SD Balai TN Karimunjawa 0 4 4 0 0 2 14 0 1 0 0 25
Seksi Pengelolaan TN I Kemujan
1 2 5 2 0 6 11 0 2 0 0 29
Seksi Pengelolaan TN II Karimunjawa
0 3 4 0 0 6 12 1 1 0 0 27
Jumlah 1 9 13 2 0 14 37 1 4 0 0 81 Sumber: Statistik Balai Taman Nasional Karimunjawa 2008 Ket H : Program Studi Kehutanan L : Lainnya
70
7.2.2 Sarana yang Dimiliki Balai Taman Nasional Karimunjawa
Sampai dengan tahun 2008, Balai Taman Nasional Karimunjawa
mempunyai 282 jenis barang inventaris dengan nilai barang dalam rupiah adalah
Rp 66.087.540,00. Pada tahun anggaran 2008 BTNKJ melakukan penambahan
fasilitas kantor berupa pengadaan fasilitas internet sebanyak 1 paket dengan nilai
Rp 9.480.000,00. Selain itu BTNKJ juga menerima penyerahan kapal patroli dari
pusat. Terlepas dari penambahan barang, beberapa barang inventaris juga
mengalami penghapusan (Statistik Balai Taman Nasional Karimunjawa 2008).
Data sebagian sarana yang dimiliki tersaji pada Tabel 16.
Tabel 17 Data Sarana Balai Taman Nasional Karimunjawa Tahun 2008
Nama barang Kuantitas Kondisi Keterangan Kendaraan Roda 4 6 buah baik • 5 buah di Kantor Balai (Semarang)
• 2 buah di Seksi Wil I & II Kendaraan Roda 2 13 buah baik • 2 buah di Jepara
• 11 buah di Seksi Wil I & II Speed Boat + Mesin Yamaha
2 buah baik • Seksi Wil 2
Alat Selam 3 unit baik • Seksi Wil 2 Live Jacket 50 baik • 40 Seksi Wil II
• 10 Seksi Wil I Sumber: Statistik Balai Taman Nasional Karimunjawa 2008
Sarana tersebut tidak sebanding dengan luas wilayah daratan dan perairan
Taman Nasional Karimunjawa yang mencapai 111.625 hektar dan terdiri dari 22
pulau, serta jumlah penduduk yang semakin bertambah (lihat Tabel 1). Dengan
terbatasnya sarana yang dimiliki staf Balai Taman Nasional Karimunjawa,
perlindungan dan pengelolaan kawasan pun menjadi tidak efektif. Patroli yang
dilakukan oleh Polisi Hutan pun lebih banyak dilakukan di darat, karena selain
jumlah armada kapal speed boat yang terbatas, patroli di kawasan laut pun
membutuhkan anggaran yang cukup besar untuk memenuhi kebutuhan bahan
bakar kapal patroli.
7.2.3 Anggaran Pengelolaan Taman Nasional Karimunjawa
Kapasitas pengelolaan Taman Nasional Karimunjawa juga dapat diukur
dari penggunaan dana dan penilaian pelaksanaan program kegiatan. Anggaran
pengelolaan TNKJ selalu meningkat dari tahun ke tahun, namun jika dilihat
71
penggunaan anggaran, sebagian besar dana (> 60 persen) digunakan untuk
administrasi umum, termasuk gaji pegawai; sedangkan dana untuk kegiatan
pengelolaan keanekaragaman hayati dan perlindungan dan pengamanan kawasan
hanya 8,30 dan 17,40 persen (Purwanti et al, 2008).
Sumber pendanaan untuk mendukung pelaksanaan tugas pokok dan fungsi
Balai Taman Nasional Karimunjawa tahun 2008 hanya berasal dari DIPA 29
tahun 2008. Jumlah alokasi anggaran dimaksud sebesar Rp. 5.513.351.000,-
namun akibat adanya kebijakan pemerintah tentang penghematan anggaran maka
alokasi anggaran untuk Balai Taman Nasional Karimunjawa hanya menjadi Rp.
3.958.680.000,- (BTNKJ 2008). Rincan alokasi DIPA 29 tahun 2008 untuk tiap
program kegiatan tersaji pada Tabel 17.
Tabel 18 Data Angaran Program Kegiatan Balai Taman Nasional Karimunjawa
Tahun 2008
No. Program Kegiatan Pagu Awal (Rp) Pagu Revisi (Rp) 1. Penerapan Kepemerintahan
Yang Baik 3.490.835.000 3.490.835.000
2. Pemantapan Keamanan Dalam Negeri
645.157.000 75.533.000
3. Perlindungan dan Konservasi Sumber Daya Alam
1.056.759.000 274.757.000
4. Pengembangan Kapasitas Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup
311.600.000 117.555.000
Jumlah 5.513.351.000 3.958.680.000 Sumber: Statistik Balai Taman Nasional Karimunjawa 2008
Dari data diatas, dapat dilihat bahwa anggaran untuk Perlindungan dan
Konservasi Sumber Daya Alam hanya sebesar 6,9 persen, anggaran untuk
Pengembangan Kapasitas Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan
Hidup sebesar 2,9 persen, dan angaran untuk Pemantapan Keamanan Dalam
Negeri sebesar 1,9 persen. Alokasi tersebut jauh dari jumlah yang dianggarkan
untuk Penerapan Kepemerintahan yang Baik sebesar 88,3 persen. Minimnya
anggaran yang dialokasikan untuk kegiatan pengelolaan keanekaragaman hayati
dan perlindungan dan pengamanan kawasan menyebabkan program-program
perlindungan kawasan TNKJ pun tidak maksimal. Hal ini terbukti dari tingkat
72
pelanggaran yang terjadi di Karimunjawa relatif besar, yaitu penangkapan ikan
dengan bahan dan/ atau alat tangkap yang merusak lingkungan (26,32 persen),
pengambilan biota yang dilindungi (36,84 persen), serta pencurian kayu mangrove
(31,58 persen) (Purwanti et al, 2008).
7.3 Kondisi Perikanan Tangkap Kepulauan Karimunjawa 7.3.1 Perkembangan Jumlah Nelayan
Irnawati (2008) mengklasifikasikan nelayan yang ada di Kepulauan
Karimunjawa berdasarkan dua tipe, yaitu juragan dan pandega. Nelayan juragan
adalah nelayan yang memiliki alat tangkap dan kapal penangkapan ikan,
sedangkan nelayan pandega atau nelayan penggarap adalah nelayan yang
melakukan usaha atau kegiatan penangkapan ikan di laut. Perkembangan jumlah
nelayan di Karimunjawa selama periode 1996-2005 menurut kelompok juragan
dan pandega disajikan pada Tabel 17.
Tabel 19 Perkembangan Jumlah Nelayan di Karimunjawa Tahun 1996-2005 Tahun Juragan (orang) Pandega (orang) Total (orang) 1996 488 1.608 2.096 1997 488 1.608 2.096 1998 374 1.861 2.225 1999 287 1.953 2.240 2000 244 2.131 2.375 2001 251 2.269 2.520 2002 262 2.318 2.580 2003 264 2.436 2.700 2004 761 2.148 2.945 2005 299 2.624 2.923
Sumber : PPP Karimunjawa 2006 dalam Irnawati 2008
6.3.2 Perkembangan Alat Tangkap
Kondisi perikanan tangkap di Karimunjawa dari segi produksi ikan selama
tahun 1996-2005 mengalami fuktuasi, tetapi sejak tahun 2001 terus mengalami
peningkatan, hal ini didukung dengan perkembangan jumlah nelayan yang sampai
dengan tahun 2005 terus mengalami peningkatan hingga mencapai 2.923 orang
dan peningkatan jumlah kapal penangkap ikan, di mana banyak nelayan yang
sudah meninggalkan perahu layar dan beralih menggunakan kapal motor dan
motor tempel untuk melakukan penangkapan ikan sehingga dapat menjangkau
73
daerah penangkapan yang lebih jauh (Irnawati, 2008). Perkembangan jumlah
kapal penangkap ikan tahun 1996-2005 disajikan pada Tabel berikut.
Tabel 20 Perkembangan jumlah kapal penangkapan ikan di Karimunjawa tahun
1996-2005
Tahun Kapal Motor
Motor Tempel
Perahu Layar Total (buah) Besar Sedang Kecil
1996 0 210 54 69 45 378 1997 0 210 54 69 45 378 1998 32 183 40 55 45 355 1999 241 151 26 32 37 487 2000 553 113 21 26 29 742 2001 584 118 14 24 27 767 2002 639 120 3 13 23 798 2003 795 128 3 8 16 950 2004 699 115 0 5 10 829 2005 855 130 0 0 10 995
Sumber: PPP Karimunjawa dalam Irnawati 2008
Seiring dengan penambahan jumlah nelayan dan jumlah kapal, dalam
kurun waktu 1996-2005 nelayan di kepulauan karimunjawa juga mengalami
peningkatan jenis dan jumlah alat tangkap, seperti yang disajikan pada Tabel 12,
Tabel 21 Jenis dan Jumlah Alat Tangkap di Karimunjawa tahun 1996-2005
Tahun Jaring Insang
Pancing Tonda
Bubu Bagan Apung
Muroami Payang Lain-lain
Total (buah)
1996 22 170 115 77 0 0 9 3931997 20 170 115 77 0 0 9 3911998 25 284 360 71 0 0 11 7511999 36 473 600 71 0 0 11 1.1912000 79 550 1.200 83 0 0 13 1.9252001 98 680 1.600 87 2 0 9 2.4762002 154 640 2.000 92 11 0 7 2.9042003 227 650 2.000 96 18 2 7 3.0002004 334 662 2.062 102 26 2 6 3.1942005 384 612 2.128 114 38 0 3 3.279
Sumber: PPP Karimunjawa dalam Irnawati (2008)
6.3.3 Perkembangan Produksi Perikanan
Berdasarkan data produksi ikan yang dirilis PPP Karimunjawa dalam
Purwanti et al (2008) dari tahun 1996-2005, dapat diketahui bahwa produksi ikan
pada tahun 1996 mencapai 127.487 kg, kemudian terus mengalami penurunan
74
hingga mencapai 30.016 kg pada tahun 1998. Pada tahun 1999 produksi ikan
meningkat menjadi 57.102 kg kemudian kembali mengalami penurunan sampai
dengan tahun 2001 hingga mencapai 48.663 kg. Pada tahun 2002 produksi ikan
kembali meningkat menjadi 79.406 kg dan terus mengalami peningkatan hingga
pada tahun 2005 produksi ikan mencapai 92.022 kg. Secara keseluruhan dari
Gambar 5 dapat dilihat bahwa selama 10 tahun terakhir produksi ikan tertinggi
dicapai pada tahun 1996 yaitu sebesar 127.487 kg, dan produksi terendah terjadi
pada tahun 1998 yaitu sebesar 37.016 kg.
Sumber : PPP Karimunjawa dalam Purwanti et al (2008) Gambar 5 Produksi Ikan Kepulauan Karimunjawa tahun 1996-2005
6.4 Ikhtisar
Berdasarkan kondisi perikanan Karimunjawa yang telah dikemukakan
diatas, maka pengelolaan dan pembangunan TNKJ harus mengikuti prinsip-
prinsip ekologis dan konservasi secara terpadu. Kegiatan pengembangan pulau-
pulau kecil harus dilakukan dengan perencanaan yang baik dan terarah agar hasil
dari pengembangan dan pembangunannya dapat optimal dan berkelanjutan. Hal
ini penting dilakukan untuk dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat
nelayan yang merupakan mayoritas penduduk di Karimunjawa.
Efektivitas pengelolaan Taman Nasional Karimunjawa tidak terlepas dari
kualitas SDM, sarana yang memadai, serta dukungan anggaran yang cukup. Pada
aspek kualitas SDM, Balai Taman Nasional Karimunjawa memiliki kualitas SDM
75
yang kurang memadai karena 67,5 persen tidak mengenyam pendidikan sarjana.
Selain itu, jumlah karyawan sebanyak 81 orang tidak sebanding dengan luas
wilayah daratan dan perairan Taman Nasional Karimunjawa yang mencapai
111.625 hektar dan terdiri dari 22 pulau, serta jumlah penduduk yang semakin
bertambah (lihat Tabel 1). Hal ini diperparah dengan sarana yang terbatas dan
dukungan anggaran yang tidak mencukupi,sehingga mengakibatkan perlindungan
dan pengelolaan Taman Nasional Karimunjawa menjadi tidak efektif. Selain itu,
meningkatnya jumlah nelayan, alat tangkap, serta produksi hasil tangkapan ikan di
Kepulauan Karimunjawa memicu eksploitasi yang berlebih terhadap sumberdaya
alam di Taman Nasoinal Karimunjawa.
76
BAB VIII
PENUTUP
8.1 Kesimpulan
Strategi nafkah nelayan kompressor diharapkan mampu memberi
kontribusi terhadap perbaikan standar hidup nelayan. Namun strategi nafkah ini
seringkali berbenturan dengan konservasi keanekaragaman hayati di Taman
Nasional Laut Karimunjawa yang dijalankan dengan manajemen zonasi. Dari dua
hipotesis yang diajukan, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
Hipotesis pertama, menyatakan bahwa pengelolaan Taman Nasional Laut
Karimunjawa yang dikelola dengan sistem zonasi berpengaruh terhadap daerah
tangkap ikan, alat tangkap, dan diversifikasi nafkah dari nelayan kompressor di
Kepulauan Karimunjawa. Hipotesis ini tidak sepenuhnya ditolak karena alasan
sebagai berikut,
a) Daerah tangkap ikan nelayan kompressor tidak mengalami perubahan
walau sebagian daerah tangkapan mereka kini berada di dalam
kawasan Taman Nasional laut Karimunjawa. Para nelayan kompressor
masih melakukan penangkapan ikan hingga ke zona inti Taman
Nasional. Ketidaktahuan nelayan atas batas-batas zona dan
terbatasnya kemampuan Balai Taman Nasional Laut Karimunjawa
(BTNKJ) dalam melakukan pengawasan dan manajemen zona,
menyebabkan kehadiran TNKJ dipandang tidak membatasi daerah
tangkap nelayan kompressor.
b) Mayoritas responden nelayan kompressor memakai alat tangkap
speargun-kompressor sejak sebelum Taman Nasional Laut
Karimunjawa berdiri dan tetap digunakan hingga saat ini. Hal ini
disebabkan karena alat tangkap ini memberi pendapatan yang relatif
lebih tinggi serta dapat digunakan sepanjang tahun. Meskipun usaha
konservasi yang dilakukan BTNKJ mampu menghilangkan
penggunaan potassium di kalangan nelayan kompressor, namun
kehadiran Taman Nasional Laut Karimumjawa tidak mengubah atau
77
mempengaruhi jenis alat tangkap yang digunakan oleh nelayan
kompressor.
c) Sebelum tahun 2005, strategi nafkah yang dilakukan responden
nelayan kompressor lebih banyak bertumpu pada pemanfaatan sektor
perikanan (nelayan) dan jasa (sebagai buruh, anak buah kapal
angkut/transportasi, dan berdagang). Konservasi keanekaragaman
hayati yang dilakukan oleh BTNKJ, mendorong pertumbuhan sektor
pariwisata dengan terbukanya peluang nafkah baru seperti tour guide,
penyewaan alat-alat selam, penyewaan kapal, penyewaan motor,
penginapan, berdagang, dan lain sebagainya. Taman Nasional Laut
Karimunjawa dapat dikatakan telah mendorong diversifikasi nafkah
dikalangan nelayan kompressor.
Hipotesis kedua, menyatakan bahwa kegiatan pengelolaan konservasi
keanekaragaman hayati di Taman Nasional Karimunjawa yang dijalankan melalui
sistem zonasi tidak mampu mengimbangi aktifitas perikanan tangkap yang
berkembang di kepulauan Karimunjawa (diukur dari segi produksi perikanan laut,
jumlah nelayan, dan alat tangkap). Hipotesis ini diterima dengan alasan sebagai
berikut,
a) Meskipun BTNKJ telah melakukan berbagai upaya sosialisasi
zonasi pada nelayan, namun di mata nelayan zonasi tetap
dipandang sebagai suatu cara untuk membatasi daerah tangkap
mereka. Terlebih lagi peluang usaha yang tumbuh sebagai akibat
adanya wisata laut masih terbatas. Selain itu, sektor pariwisata juga
belum mampu menggantikan seluruh kesempatan kerja yang
tumbuh akibat penangkapan ikan dengan sistem kompressor.
b) Efektivitas pengelolaan Taman Nasional Karimunjawa dipengaruhi
oleh kualitas sumberdaya manusia, ketersediaan sarana dan
prasarana, serta dukungan anggaran yang memadai. Saat ini
BTNKJ dioperasikan oleh 81 pegawai dengan hanya 32,5 persen
diantaranya yang berlatar pendidikan S1. Pegawai BTNKJ yang
hanya berkekuatan 81 orang ini tidak sebanding dengan luas
wilayah daratan dan perairan Taman Nasional Karimunjawa yang
harus diawasi atau dikontrol; yakni seluas 111.625 hektar dan
78
terdiri dari 22 pulau. Kondisi ini diperparah lagi dengan
terbatasnya sarana dan prasarana dan dukungan anggaran yang
tidak memadai.
c) Di lain pihak, dalam beberapa tahun terakhir terdapat peningkatan
jumlah nelayan, alat tangkap, serta produksi hasil tangkapan ikan
di Kepulauan Karimunjawa. Peningkatan produksi perikanan laut
ini terjadi merupakan implikasi dari kebijakan Pemerintah Provinsi
Jawa Tengah yang menetapkan perairan Karimunjawa sebagai
salah satu sentra pengembangan produksi perikanan laut di wilayah
Jawa Tengah.
Taman Nasional Laut Karimunjawa mampu meningkatkan diversifikasi
nafkah dengan mendorong pertumbuhan sektor pariwisata, namun tidak
mempengaruhi daerah tangkap dan alat tangkap nelayan kompressor. Sehingga
dapat dikatakan bahwa manajemen zonasi yang dilakukan oleh BTNKJ belum
efektif. Temuan studi ini penting diperhatikan oleh para pengambil kebijakan
terkait, agar pengelolaan Taman Nasional Laut Karimunjawa dapat menjaga
kelestarian keanekaragaman hayati perairan laut sekaligus meningkatkan
kesejahteraan nelayan Karimunjawa.
7.2 Saran
Penetapan Zonasi Taman Nasional Karimunjawa tidak serta merta
menyelesaikan masalah yang ada, karena keberadaannya pun tidak sepenuhnya
dipahami dan dipatuhi oleh masyarakat. Sebagian besar nelayan kompressor
mencari ikan di semua kawasan Taman Nasional Karimunjawa karena mereka
tidak mengetahui tentang zonasi kawasan. Selain itu, minimnya patroli laut yang
dilakukan BTNKJ membuat kebiasaan memasuki zona inti dan perlindungan terus
berlanjut. Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan langkah-langkah strategis yang
ditunjang dengan kelembagaan lokal yang kuat agar pelaksanaan dan
pengawasannya pun lebih komprehensif. Oleh sebab itu, peneliti memberikan
saran sebagai berikut:
1. Perlunya pelaksanaan pembangunaan kawasan pesisir yang
berkelanjutan, dengan menerapkan konsep Pengelolaan Sumberdaya
Perikanan Berbasis Masyarakat (PSPBM) karena kearifan lokal
79
berperan penting dalam menjaga dan memelihara ekologi pesisir. Untuk
itu diperlukan adanya identifikasi kearifan tradisional berdasarkan ciri
khas dan struktur sosial yang berlaku, sehingga lokalitas dan
keunikannya dapat terakomodasi.
2. Dalam rangka memperjuangkan kepentingan nelayan, diperlukan
organisasi yang independen baik berupa organisasi profesi maupun
organisasi usaha yang secara sistematis dapat melakukan fungsi
koordinasi dan fungsi kontrol terhadap pemerintah (dalam hal ini
BTNKJ) serta fungsi pengorganisasian untuk kepentingan ekonomi,
kelestarian sumberdaya, maupun sosial.
3. Komunitas nelayan kompressor perlu diberikan pembinaan dan fasilitas
yang memungkinkan mereka untuk beralih mata pencaharian ke
alternatif usaha lain yang mendukung keberlanjutan Taman Nasional
Karimunjawa.
4. Diperlukan dukungan dana dan kualitas SDM yang memadai agar
usaha-usaha pelestarian kawasan Taman Nasional Karimunjawa dan
pemanfaatan sektor perikanan yang berkelanjutan dapat berjalan secara
sinergis.
80
DAFTAR PUSTAKA
Alikodra HS. 1987. Manfaat Taman Nasional bagi masyarakat di sekitarnya.
Media Konservasi 1(3):13-19.
Basuni S. 1987. Konsep pengaturan sumberdaya taman nasional. Media
Konservasi 1(3):1-11.
Biasane AN. 2004. Konstruksi kearifan tradisional dalam pengelolaan perikanan
berkelanjutan. Makalah Pengantar ke Falsafah Sains. Sekolah Pasca
Sarjana Institut Pertanian Bogor. 16 hal.
[BTNKJ] Balai Taman Nasional Karimunjawa. 2004. Penataan zonasi taman
nasional karimunjawa kabupaten jepara Provinsi Jawa Tengah.
Semarang: BTNKJ.
[BTNKJ] Balai Taman Nasional Karimunjawa. 2009. Laporan evaluasi Balai
Taman Nasional Karimunjawa Tahun 2009. Semarang: BTNKJ.
[BTNKJ] Balai Taman Nasional Karimunjawa. Pemberdayaan Masyarakat.
[Internet]. [Dikutip 26 Februari 2011 ]. Semarang: BTNKJ. Dapat
diunduh dari:
http://karimunjawanationalpark.org/pemberdayaan-masyarakat/blog
[BTNKJ] Balai Taman Nasional Karimunjawa. 2007. Statistik Balai Taman
Nasional Karimunjawa tahun 2006. Semarang: BTNKJ. 100 hlm.
Carlsson L, Fikret B. 2005. Co-management: concepts and methodological
implications. Journal of Environmental Management 75 65–76
Dharmawan AH. 2006, Sistem penghidupan dan nafkah pedesaan pandangan
sosiologi nafkah (Livelihood Sociology) Mazhab Barat dan Mazhab
Bogor. Sodality: Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan
Ekologi Manusia, Vol. 01, No.02 Agustus 2007.
Faiza R. 2004. Kajian beberapa aspek program pemberdayaan masyarakat pesisir
nelayan pengolah Muara Angke. [disertasi]. Sekolah Pasca Sarjana
Institut Pertanian Bogor
Jones Peter JS, Jacquelin Burgess. 2005. Building Partnership capacity for the
collaborative management of marine protected areas in the UK: a
preliminary analysis. Journal of Environmental Management 77 227–
2430, diakses pada 27 Februari 2011 pukul 11.30 WIB
81
Konservasi Sumberdaya Alam dan Buatan. 2009 Feb. [Internet]. [Diunduh 26
Februari 2011]. Dapat diunduh dari:
http://massofa.wordpress.com/2008/02/03/konservasi-sumber-daya-
alam-dan-buatan
Irnawati R. 2008. Pengembangan perikanan tangkap di Kawasan Taman Nasional
Karimunjawa Jawa Tengah. [tesis]. Institut Pertanian Bogor.
Keraf S. 2002. Etika lingkungan. Jakarta: Penerbit Buku KOMPAS.
Maksum MA. 2005. Analisis manfaat ekonomi sumberdaya perikanan kawasan
konservasi laut taman nasional karimunjawa. [tesis] Pascasarjana IPB.
Mitchell B, Setiawan B, Rahmi DH. 2007. Pengelolaan sumber daya dan
lingkungan. Yogyakarta: Bulaksumur
Moeis S. 2008. Adaptasi ekologi masyarakat pesisir selatan Jawa Barat. Laporan
Penelitian Universitas Pendidikan Indonesia. 30 hal.
Muchsin I. 2007. Pengentasan kemiskinan di sektor perikanan. Dalam Pemikiran
Guru Besar IPB. Bogor: IPB Press.
Mulyadi. 2005. Ekonomi kelautan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Musyafar. 2006. Analisis perilaku masyarakat pesisir dan faktor-faktor yang
mempengaruhi dalam melestarikan ekosistem mangrove di pesisir
barat Sulawesi Selatan. Laporan Penelitian Universitas Negeri
Makassar. 25 hal.
Nurmalasari Yessy. 2010. Analisis pengelolaan wilayah pesisir berbasis
masyarakat. [tesis] 8 hal.
[PPP Karimunjawa] Pelabuhan Perikanan Pantai Karimunjawa. 2006. Laporan
Tahunan Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Karimunjawa.
Karimunjawa: PPP Karimunjawa. 80 hlm. Purwanti F, Alikodra HS, Basuni S, Soedhama D. 2008. Pengembangan co-
management Taman Nasional Karimunjawa. Jurnal Ilmu Kelautan Vol.
13 (3) : 159 – 166
Saharuddin. 2007. Antropologi ekologi. Adiwibowo S (ed.) 2007. Ekologi
manusia. Bogor. Fakultas Ekologi Manusia IPB.
Satria A. 2009. Pesisir dan laut untuk rakyat. Bogor: IPB Press
_________. 2002. Pengantar sosiologi masyarakat pesisir. Jakarta : PT. Pustaka
Cidesindo.
82
Scoones I, 1998, Sustainable Rural Livelihoods a Framework for Analysis, IDS
Working Paper 72, Brighton: IDS. 22 hal.
Singarimbun M. 1989. Metode dan proses penelitian. Jakarta : Pustaka LP3ES
Indonesia.
Sitorus F. 1998. Penelitian kualitatif “suatu perkenalan”. kelompok dokumentasi
ilmu-ilmu sosial untuk laboratorium sosiologi, antropologi dan
kependudukan jurusan ilmu sosial dan ekonomi pertanian, fakultas
pertanian IPB.
Widiyanto, Dharmawan AH, Prasodjo NW. 2010. Strategi nafkah rumahtangga
petani tembakau di lereng gunung sumbing : studi kasus Desa
Wonotirto dan Desa Campursari, Kecamatan Bulu, Kabupaten
Temanggung. Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi dan Ekologi
Manusia. 24 hal.
84
LAMPIRAN 1. PETA TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA, KECAMATAN KARIMUNJAWA, KABUPATEN JEPARA, PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2005
85
Lampiran 2. Panduan Pertanyaan
• Pertanyaan untuk responden 1. Apakah anda mengetahui tentang adanya zonasi kawasan di Taman
Nasional Karimunjawa?jika iya, apa saja?
2. Apakah masyarakat dilibatkan dalam proses penetapan zonasi tersebut?
3. Setelah adanya Zonasi di Taman Nasional Karimunjawa, apakah ada
peraturan-peraturan baru yang dibuat untuk nelayan?jika ada, apa saja?
4. Apa dampak positif dan negatif dengan adanya sistem zonasi tersebut?
jelaskan
5. Jika terdapat dampak negatif, Apakah pihak BTNKJ memberikan
kompensasi terkait adanya zonasi tersebut?(misalnya, alat tangkap,
alternatif mata pencaharian, dll)
6. Apakah masyarakat menaati sistem zonasi dan/atau peraturan lain yang
ditetapkan setelah ditetapkannya Karimunjawa sebagai Taman Nasional?
7. Dengan adanya penetapan zonasi di Taman Nasional Karimunjawa,
apakah terdapat konflik baik antar masyarakat maupun antara masyarakat
dengan BTNKJ? Kenapa?
• Pertanyaan untuk informan
1. Apakah anda mengetahui tentang adanya zonasi kawasan di Taman
Nasional Karimunjawa?jika iya, apa saja?
2. Apakah masyarakat dilibatkan dalam proses penetapan zonasi tersebut?
3. Setelah adanya Zonasi di Taman Nasional Karimunjawa, apakah ada
peraturan-peraturan baru yang dibuat untuk nelayan?jika ada, apa saja?
4. Apa dampak positif dan negatif dengan adanya sistem zonasi tersebut?
jelaskan
5. Jika terdapat dampak negatif, Apakah pihak BTNKJ memberikan
kompensasi terkait adanya zonasi tersebut?(misalnya, alat tangkap,
alternatif mata pencaharian, dll)
6. Apakah masyarakat menaati sistem zonasi dan/atau peraturan lain yang
ditetapkan setelah ditetapkannya Karimunjawa sebagai Taman Nasional?
7. Dengan adanya penetapan zonasi di Taman Nasional Karimunjawa,
apakah terdapat konflik baik antar masyarakat maupun antara masyarakat
dengan BTNKJ? Kenapa?
86
• Pertanyaan untuk petugas BTNKJ 1. Bagaimana proses penetapan zonasi kawasan di Taman Nasional
Karimunjawa?
2. Siapa saja yang terlibat dalam pembentukan tersebut?
3. Apa hak dan kewajiban masyarakat (terutama nelayan) yang muncul
setelah adanya sistem zonasi tersebut?
4. Bagaimana masyarakat menanggapi hak dan kewajiban tersebut?
5. Bagaimana masyarakat memanfaatkan sumberdaya alam sebelum dan
sesudah adanya zonasi kawasan taman nasional?
6. Apa saja upaya yang dilakukan dalam menjaga kelestarian kawasan?
7. Apakah masyarakat menaati ketentuan yang tertuang dalam sistem zonasi
ini? Apa saja yang ditaati dan tidak ditaati?
8. Apakah yang dilakukan untuk menghindari adanya konflik dengan
masyarakat?
9. Apa kesulitan yang dialami dalam membangun pemahaman dengan
masyarakat?
10. Apakah kekurangan dan kelebihan dari zonasi kawasan yang ada saat ini?
11. Apa saja program-program yang dilakukan untuk mendukung efektifitas
dan optimalisasi zonasi kawasan Taman Nasional?
87
Lampiran 3. Daftar Kerangka Sampling dan Responden Berdasarkan Nama Ketua Kelompok Kapal No Nama Kampung Jumlah Anggota/Kapal 1 LKN LEGO 6 2 SLM LEGO 6 3 HKM LEGO 7 4 YTK LEGO 5 5 RDN LEGO 6 6 HUR LEGO 7 7 MAH LEGO 7 8 JUR LEGO 5 9 HD LEGO 6 10 JOK LEGO 8 11 PRN LEGO 6 12 SRN LEGO 5 13 BOL LEGO 4 14 ROH LEGO 4 15 AHM LEGO 6 16 AJB LEGO 5 17 NUR LEGON BOYO 5 : Kelompok responden terpilih Sumber: Observasi dan Wawancara (2011)
88
Lampiran 4. Alat Tangkap Sebelum dan Sesudah Zonasi Kawasan
No Nama Lama melautAlat tangkap
< 2005 >2005 bubu mrm jrg pcg pot kom bubu pcg kom upg
1 nrl 13 2 Hkm 16 3 inl 11 4 slk 20 5 tkm 9 6 smt 13 7 kpr 12 8 rdn 12 9 ytn 25
10 jk 14 11 tsn 30 12 bll 8 13 rdh 7 14 srn 14 15 stm 30 16 pn 10 17 bd 35 18 ism 8 19 ajb 18 20 alf 19 21 khl 19 22 rf 18 23 tul 12 24 drn 12 25 mln 25 26 prn 22 27 bd 17 28 yd 11 29 slt 20 30 hd 19 31 lkn 15 32 so 15 33 js 10 34 rmn 13 35 ynt 8
TOTAL 2 9 11 25 35 35 2 8 35 7
89
Keterangan: jrg : jaring kom : kompressor upg : up grade mesin mrm : muroami pts : potassium pcg : pancing bubu : bubu
= digunakan saat musim paceklik
= digunakan saat musim panen dan musim paceklik
90
Lampiran 5. Nafkah Ganda Sebelum dan Sesudah Zonasi Kawasan
No Nama Lama melautNafkah Ganda
< 2005 >2005 nel bur abk dgg nel tg sew bur rum
1 nrl 13 2 hkm 16 3 inl 11 4 slk 20 5 tkm 9 6 smt 13 7 kpr 12 8 rdn 12 9 ytn 25
10 jk 14 11 tsn 30 12 bll 8 13 rdh 7 14 srn 14 15 stm 30 16 pn 10 17 bd 35 18 ism 8 19 ajb 18 20 alf 19 21 khl 19 22 rf 18 23 tul 12 24 drn 12 25 mln 25 26 prn 22 27 bd 17 28 yd 11 29 slt 20 30 hd 19 31 lkn 15 32 so 15 33 js 10 34 rmn 13 35 ynt 8
TOTAL 35 8 3 1 35 17 2 7 4
91
Keterangan: nt : nelayan tradisional sew : menyewakan kapal bur : buruh tg : tour guide abk : abk kapal angkut/transportasi dgg : berdagang rum : budi daya rumput laut nk : nelayan kompressor
= dilakukan saat musim paceklik
= dilakukan saat musim panen dan musim paceklik
93
Lampiran 7. Dokumentasi Penelitian
Photo 1. Aktivitas Perikanan di Desa Karimunjawa
Photo 2. Kapal angkut yang membawa hasil tangkapan nelayan setiap minggunya
94
Photo 3. Aktifitas Patroli hutan bersama Polisi Hutan
Photo 4. Petani rumput laut di kawasan Legon Boyo
95
Photo 5. Persiapan penyelaman Nelayan Kompressor
Photo 6. Nelayan Kompressor yang baru mulai menyelam
96
Photo 7. Anggota kelompok yang tidak menyelam memastikan keselamatan para
penyelam
Photo 8. Hasil tangkapan nelayan kompressor
97
Photo 9. Ikan Kerapu hidup hasil tangkapan nelayan kompressor
Photo 9. Nelayan kompressor sedang menimbang berat kerapu hidup yang
ditangkapnya
98
Photo 9. Nelayan kompressor sedang beristirahat menunggu ombak reda
Photo 9. Alat Speargun yang digunakan nelayan kompressor untuk menangkap
ikan
99
Photo 9. Gamet/Teripang merupakan komoditi yang diminati nelayan saat musim
terang bulan atau angin timur
Photo 9. Tempat aktifitas jual beli Gamet/Teripang