dampak konversi htn

17
CENTER FOR INTERNATIONAL FORESTRY RESEARCH Office address: Jalan CIFOR, Situ Gede, Sindang Barang, Bogor 16680, Indonesia Mailing address: P.O. Box 6596 JKPWB, Jakarta 10065, Indonesia Tel.: +62 (251) 622622; Fax: +62 (251) 622100 E-mail: [email protected] Website: http://www.cgiar.org/cifor ISSN 0854-9818 Jan. 2000 OCCASIONAL PAPER NO. 26(I) Dampak Pembangunan Sektoral terhadap Konversi dan Degradasi Hutan Alam: Kasus Pembangunan HTI dan Perkebunan di Indonesia Hariadi Kartodihardjo dan Agus Supriono

Upload: mulyanto-tejokusumo

Post on 23-Jun-2015

1.686 views

Category:

Documents


7 download

TRANSCRIPT

Page 1: Dampak konversi htn

CENTER FOR INTERNATIONAL FORESTRY RESEARCHOffice address: Jalan CIFOR, Situ Gede, Sindang Barang, Bogor 16680, IndonesiaMailing address: P.O. Box 6596 JKPWB, Jakarta 10065, IndonesiaTel.: +62 (251) 622622; Fax: +62 (251) 622100E-mail: [email protected]: http://www.cgiar.org/cifor

ISSN 0854-9818Jan. 2000OCCASIONAL PAPER NO. 26(I)

Dampak Pembangunan Sektoral terhadapKonversi dan Degradasi Hutan Alam:Kasus Pembangunan HTI dan Perkebunandi Indonesia

Hariadi Kartodihardjo dan Agus Supriono

Page 2: Dampak konversi htn

Sistem CGIAR

Consultative Group on International Agricultural Research (CGIAR) merupakan kelompok

donor informal dari 41 donor dunia baik sektor swasta maupun masyarakat yang dibentuk

guna mendukung jaringan kerja 16 lembaga penelitian pertanian internasional. Sistem

CGIAR didirikan pada tahun 1971, di mana CIFOR merupakan anggota terbaru, adalah

bagian dari sistem penelitian pertanian global yang menerapkan solusi ilmiah bagi

permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat yang tidak mampu di seluruh dunia.

CIFOR

CIFOR dibentuk di bawah Sistem CGIAR sebagai tanggapan terhadap keprihatinan dunia

akan konsekuensi sosial, lingkungan dan ekonomi yang disebabkan oleh kerusakan dan

kepunahan hutan. Kegiatan penelitian dilakukan melalui kerjasama kemitraan dengan

perorangan dan lembaga penelitian di negara-negara berkembang dan maju. Sifat dan

lamanya kerjasama ini ditentukan oleh kajian masalah yang sedang dihadapi. Agenda

penelitian ini selalu dikaji ulang dan dapat berubah sewaktu-waktu jika mitra kerja CIFOR

menemukan masalah dan kesempatan baru.

Page 3: Dampak konversi htn

Ringkasan 1

Pendahuluan 1

Pembangunan HTI dan Perkebunan 2

Hutan Tanaman Industri 2Perkebunan 3

Konversi Hutan Alam 4Kerusakan Hutan Alam oleh HPH 5

Alokasi Hutan Konversi 7

Perambahan Hutan Konservasi dan Hutan Lindung 8

Analisis Kebijakan Pembangunan HTI

dan Perkebunan 8Reaksi Pengusaha: Orientasi pada kayu hasil

pembukaan hutan alam 8

Sengketa Agraria dan Dampak Sosial 8Kontroversi Kebijakan HTI 9

Kebijakan Tata Guna Hutan 10

Perubahan Kebijakan di Era Refomasi 10

Ringkasan Penemuan dan Rekomendasi 11

Ringkasan Penemuan 11Rekomendasi 12

Ucapan Terimakasih 12

Catatan Akhir 12

Daftar Pustaka 14

Daftar Isi

Page 4: Dampak konversi htn

Pendahuluan

Perkembangan pembangunan HTI dan perkebunansecara besar-besaran mempunyai latar belakang yangberbeda. Pembangunan HTI lebih dilatarbelakangi olehtimbulnya hutan produksi yang tidak produktif dalamjumlah yang luas dan insentif yang menarik swasta.Sedangkan pembangunan perkebunan, terutama kelapasawit, lebih dirangsang oleh tingginya permintaan pasarekspor. Kebijakan pemerintah yang menyangkutkonversi hutan dan peruntukan lahan serta berbagaipaket kemudahan investasi mendorong pertumbuhanpembangunan sektor ini.

Sejak akhir tahun 1970-an, Indonesia mengandalkanhutan alam sebagai penopang pembangunan ekonominasional, dan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) menjadisistem yang dominan dalam memanfaatkan hasil hutandari hutan alam. Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK)dan Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP)1

digunakan untuk merancang dan mengendalikanpembangunan HPH, HTI dan perkebunan, terutamaperkebunan besar, agar dapat meminimumkan dampaknegatif terhadap lingkungan dengan cara sesedikitmungkin mengkonversi hutan alam.

Dalam pelaksanaannya, HPH telah mendahului sebagaipenyebab degradasi hutan alam. Degradasi ini semakinbesar ketika pada tahun 1990 pemerintah mengundangswasta untuk melakukan pembangunan HTI melaluisejumlah insentif. Demikian pula tingginya lajupenanaman kelapa sawit yang dilakukan denganmengkonversi hutan. Padu serasi antara TGHK danRTRWP yang dilakukan secara top-down belum dapatmenyelesaikan masalah, bahkan menghadirkan dampaknegatif terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat.

Pembangunan HTI dan perkebunan dapat berkembangmengingat – berdasarkan TGHK dan RTRWP – lahanmasih tersedia. Pemerintah mengatur penggunaan lahanuntuk pembangunan HTI yaitu pada kawasan hutanproduksi berdasarkan TGHK dan yang kondisinya tidakproduktif. Sedangkan untuk pembangunan perkebunan,pemerintah mengalokasikan lahan di luar kawasan hutanberdasarkan klasifikasi TGHK atau dalam lahan budidayanonkehutanan berdasarkan klasifikasi RTRWP.

Dampak Pembangunan Sektoral terhadap Konversidan Degradasi Hutan Alam: Kasus Pembangunan

HTI dan Perkebunan di Indonesia

Hariadi Kartodihardjo* dan Agus Supriono**

RingkasanPaper ini mengkaji pelaksanaan konversi hutan alam di Indonesia yang digunakan untukpembangunan hutan tanaman industri (HTI) dan perkebunan, khususnya kelapa sawit dankaret. Tujuannya adalah untuk mengetahui dampaknya, baik terhadap kerusakan hutan alammaupun masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitarnya, dan juga untuk mengetahui apakahkebijakan di masa lalu dan yang berjalan saat ini mampu menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang ditimbulkannya.

Beberapa penemuan dari studi ini adalah: (1) kebijakan pembangunan HTI melegitimasi danmendorong kerusakan hutan alam; (2) subsidi bagi pembangunan HTI sebenarnya tidakdiperlukan; (3) pembangunan perkebunan telah mengkonversi lebih banyak lahan daripadayang dibutuhkan untuk mendapatkan tambahan keuntungan dari kayu hasil pembukaanlahan; (4) sistem klasifikasi penggunaan lahan hutan yang tumpang tindih dan tidak kunjungdapat diselesaikan telah menjadi sumber keuntungan bagi para pengembang melalui lepasnyahak-hak masyarakat dan semakin memburuknya kehidupan mereka yang tinggal di dalam dandi sekitar hutan; dan (5) pemecahan masalah ini dihambat oleh kaku dan kuatnya pendekatantop-down serta tidak adanya pengakuan bagi hak-hak masyarakat adat terhadap lahan hutan.

Direkomendasikan bahwa hutan alam yang masih tersisa di dalam kawasan hutan konversisegera dialihfungsikan sebagai hutan tetap, sehingga pembangunan HTI dan perkebunandilakukan benar-benar dalam lahan tidak berhutan, serta memberikan kewenangan redistribusilahan hutan kepada organisasi pengelola hutan di daerah.

*Staf Pengajar pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.E-mail: [email protected]

**Staf Peneliti pada Asosiasi Penelitian Perkebunan Indonesia, Bogor.

Page 5: Dampak konversi htn

2 Kasus Pembangunan HTI dan Perkebunan di Indonesia

Dalam pelaksanaannya, padu serasi antara TGHK danRTRWP tidak dapat digunakan sebagai pegangan yangpasti. Hal ini disebabkan pertama, secara de facto,pendekatan padu serasi tidak memecahkan masalahadanya hak-hak masyarakat lokal akan lahan. Kedua,banyak intervensi penggunaan lahan dari pusat. Olehkarena itu, dalam pelaksanaan pembangunanperkebunan dan HTI masalah penggunaan lahan tidakdapat dihindari.

Sampai sejauh mana masalah-masalah institusi danekonomi politik berpengaruh terhadap penetapankebijakan dan implementasi pembangunan HTI danperkebunan merupakan bagian pengamatan terpentingdari paper ini. Data dan informasi yang digunakan untukmenyusun paper ini berasal dari sumber-sumber resmipemerintah, media masa, pustaka, wawancara, sertapengalaman penulis sendiri.

Paper ini terdiri atas empat bagian. Bagian pertamamemberikan informasi tentang perkembanganpembangunan HTI dan perkebunan besar. Bagian keduamenyampaikan konversi hutan alam oleh HPH, HTI danperkebunan. Bagian ketiga mengupas analisis kebijakanpembangunan HTI dan perkebunan. Dalam bagiankesimpulan dirumuskan ringkasan penemuan danrekomendasi perubahan kebijakan yang diperlukan.

Pembangunan HTI dan Perkebunan

Hutan Tanaman IndustriPembangunan HTI dilaksanakan baik secara mandiri,maupun dikaitkan dengan hak pengusahaan hutan (HPH)yang sudah ada. Pembangunan HTI yang dilaksanakansecara mandiri dapat berupa HTI Pulp dan HTI Perkakas/Pertukangan. Sedangkan pembangunan HTI yangdikaitkan dengan HPH dilaksanakan dengan menyertakan

transmigran sebagai tenaga kerjanya. Pembangunan HTIini disebut sebagai HTI-Transmigrasi yang biasanyamenanam kayu perkakas/pertukangan.

Dari luas HTI yang dicadangkan yaitu 4,7 juta ha (Dephut1997), luas HTI yang telah disetujui pemerintah sampaidengan Oktober 1998 adalah 4,6 juta ha, yang rinciannyadapat dilihat pada Tabel 1.

HTI yang sudah ditanami sampai dengan Oktober 1998seluas 2 juta ha atau 45% dari luas HTI yang telahdisetujui pemerintah (Lihat Tabel 1). Berdasarkan jumlahluas, pembangunan HTI Pulp menempati urutan teratas(68%), disusul HTI Pertukangan (18%), dan HTITransmigrasi (14%). Pertumbuhan pembangunan HTITransmigrasi dibatasi oleh ketersediaan lahantransmigrasi baru. Namun demikian, permintaan lahanbagi pembangunan HTI Transmigrasi ini akan meningkatseiring dengan meningkatnya target program transmigrasi(resettlement), terutama di Kawasan Indonesia Timur.Dari sisi penggunaan dana reboisasi, HTI Pulp menyeraphampir 40% dalam pembiayaan pembangunan HTI,sedangkan HTI Pertukangan hanya menyerap 8%.

Dari 98 unit HTI yang pembangunannya telah disetujui,24 unit di antaranya dimiliki oleh 17 pemilik yangmencakup HTI seluas 3,4 juta ha atau 73% dari seluruhluas HTI yang sudah disetujui (Dephutbun 1998a).Perkembangan HTI yang sangat pesat disebabkan olehadanya insentif bantuan biaya pembangunan HTI yangberasal dari dana reboisasi.

Namun dalam kenyataannya 22 unit HTI yang terdiri dari4 unit HTI pulp dan 18 unit HTI pertukangan dibanguntanpa insentif dari dana reboisasi. Salah satu direktur dariperusahaan kelompok ini yang diwawancarai, yang tidakbersedia disebut namanya, mengungkapkan alasannya

No Jenis JumlahPermohonan

Jumlah yangDisetujui

(Unit)

Luas yangDisetujui

(ha)

Luas yangSudah Ditanami

1. HTI Pulp (23 unit )

Prioritas

- Menggunakan DR

- Tanpa DR

Nonprioritas

23

13

9

4

10

18

13

9

4

5

3.128.443

2.605.938

1.799.162

806.776

522.505

997.213

395.908

na

na

601.305

2. HTI Pertukangan (52 unit)

Menggunakan DR

Tanpa DR

52

17

35

31

13

18

835.334

377.613

457.721

812.399

na

na

3. HTI Transmigrasi (70 unit) 70 49 640.441 266.007

JUMLAH 145 98 4.604.218 2.075.619

l

l

l

l

Tabel 1. Rekapitulasi Pembangunan Hak Pengusahaan HTI s/d Oktober 1998 (Dephutbun 1999).

DR = dana reboisasi; HTI Prioritas = diprioritaskan pemerintah, berupa HTI Pulp; na= data tidak tersedia.

Page 6: Dampak konversi htn

3CIFOR Occasional Paper No. 26 (I)Hariadi Kartodihardjo dan Agus Supriono

bahwa adanya subsidi dana reboisasi yang diikuti olehmasuknya Badan Usaha Milik Negara dalam manajemenperusahaan, menambah biaya manajemen perusahaan danbiaya lainnya untuk urusan administratif yang berkaitandengan pencairan dana reboisasi. Di samping ituperusahaan-perusahaan yang tidak bersedia menerimasubsidi sudah mempunyaikepastian pasar hasil kayu dariHTInya, terutama untuk industriperkayuan yang sudah adamaupun untuk ekspor.

PerkebunanLuas areal perkebunan diIndonesia, baik perkebunan besarmaupun perkebunan rakyat,cenderung meningkat dari tahunke tahun. Dari seluruh komoditasutama perkebunan (karet, kopi,teh, kelapa, kakao, tebu dankelapa sawit), komoditas karetdan kelapa sawit adalah arealpertanaman yang terluas.Pertambahan luas yang palingspektakuler dialami olehperkebunan kelapa sawit yang dalam 10 tahun terakhirluasnya meningkat rata-rata 14% per tahun, jauh di ataspeningkatan perkebunan karet yang hanya rata-rata 2%per tahun (Susila 1998). Pada tahun 1986, luas perkebunankelapa sawit baru mencapai 606.800 ha, tetapi pada tahun1997 meningkat pesat menjadi 2,25 juta ha. Saat ini pusatperkebunan kelapa sawit terletak di propinsi SumateraUtara (905.000 ha), propinsi Riau (544.700 ha), propinsiKalimantan Barat (211.400 ha) dan propinsi SumateraSelatan (206.000 ha). Di masa mendatang akandikembangkan secara cepat di Kalimantan Timur, Sulawesidan Irian Jaya (Susila 1998).

Luas seluruh areal perkebunan kelapa sawit masih di bawahperkebunan karet yang mencapai 3,5 juta ha pada tahun1997. Namun struktur pemilikan pada perkebunan kelapasawit terbalik dengan perkebunan karet. Perkebunan karetpemilikannya didominasi oleh perkebunan rakyat (83%),tetapi perkebunan kelapa sawit dimiliki oleh perusahaanbesar, baik milik negara maupun milik swasta yangmendominasi luas lahan dengan pangsa 66% (Susila 1998).

Perkebunan kelapa sawit mulai berkembang pesat sejaktahun 1978 (Lihat Gambar 1), dengan laju pertumbuhanluas per tahun yang sangat tinggi, yaitu 21,7%(perkebunan swasta), 2,9% (perkebunan negara) dan19,3% (perkebunan rakyat) (Susila 1998). Untukmendapatkan lahan yang dibutuhkan, cara yang palingsering ditempuh oleh pengusaha adalah melakukankonversi kawasan hutan, karena mekanisme untuk

mendapatkannya relatif mudah dan mereka memperolehkeuntungan dari hasil tebangan kayu. Dengan demikiandapat dikatakan bahwa hampir seluruh pertanamankelapa sawit yang ada sekarang merupakan arealpertanaman baru (new planting) dari areal hutan produksiyang dapat dikonversi.

Laju pertumbuhan areal perkebunan karet rakyat hanyamencapai 2,2% per tahun (1986-1996), sedangkan untukperkebunan kopi rakyat pertumbuhannya hanya 2,3%untuk periode yang sama. Di samping laju pertumbuhanareal yang rendah, perkebunan rakyat biasanya tidakdibangun pada areal hutan produksi. Para pekebun kecilumumnya memanfaatkan lahan kritis2, hutan sekunderdan bahkan memanfaatkan kebun tua (replanting).Perkebunan karet rakyat merupakan pertanamantradisional masyarakat, terutama di Sumatera danKalimantan, sedangkan kopi banyak diusahakan diLampung, Sumatera Selatan dan Sulawesi Selatan.Perkembangan produksi minyak sawit, karet dan kopiIndonesia (1987-1997) dapat dilihat pada Gambar 2.

1987

1988

1989

1990

1991

1992

1993

1994

1995

1996

1997

Kopi

Karet

Sawit

1.000

2.000

3.000

4.000

5.000

6.000

000

Ton

Tahun

0

Gambar 2. Perkembangan Produksi Minyak Sawit, Karetdan Kopi Indonesia (1987-1997).

500.000

1.000.000

1.500.000

2.000.000

2.500.000

3.000.000

3.500.000

4.000.000

1967

1969

1971

1973

1975

1977

1979

1981

1983

1985

1987

1989

1991

1993

1995

1997

Tahun

Lu

as (

ha)

Karet Kelapa Sawit

0

Gambar 1. Perkembangan Luas Perkebunan Kelapa Sawit dan Karet di Indonesia(1967-1997).

Page 7: Dampak konversi htn

4 Kasus Pembangunan HTI dan Perkebunan di Indonesia

Perkembangan perkebunan kelapa sawit sangat cepat,namun berkurang sejak awal pertengahan tahun 1998.Salah satu penyebabnya adalah tingginya pajak ekspor,berkurangnya minat investor asing akibat kondisi politikyang tidak stabil, dan takut tingginya pasokan. Di tengah-tengah kondisi ini, pertumbuhan kelapa sawit padapertengahan 1998 adalah seperti berikut. Dengan tingkatproduktivitas 18-21 ton TBS (tandan buah segar)/ha/tahun, usaha ini mempunyai nilai Internal Rate of Returnsampai 24-43%. Di samping itu prospek minyak sawitmentah atau CPO (crude palm oil) juga sangat cerah.Untuk konsumsi domestik Indonesia, diperkirakanmeningkat dengan laju pertumbuhan 8-10% per tahunpada periode 1995-2000 dan 5-7% per tahun pada periode2000-2005 (Arifin dan Susila 1998). Tingkat konsumsiminyak sawit dunia akan meningkat sebesar 5% per tahunantara tahun 1995-2000 dan pada tahun 2000diproyeksikan konsumsi akan mencapai 18,2 juta ton,walaupun harga minyak sawit diproyeksikan menurunmenjadi US$ 415/ton pada tahun 2000 (Susila 1997).

Pada awal 1998 terdapat 50 perusahaan asing yang sedangmelaksanakan pembangunan perkebunan kelapa sawitdengan investasi US$ 3 miliar. Rencana perkebunan yangakan dikelola seluas 926.650 ha di Sumatera, Kalimantan,Sulawesi, dan Irian Jaya.3 Khusus untuk Propinsi Riaudan Sumatera Utara, pemerintah telah menyatakan daerahini telah tertutup untuk investasi baru pengembanganperkebunan.4 Perusahaan asing yang sangat berambisiuntuk mengembangkan perkebunan kelapa sawit diIndonesia adalah Malaysia. Hal ini disebabkanketerbatasan lahan untuk perkebunan kelapa sawit diMalaysia dan letak Indonesia yang paling dekat denganlokasi fasilitas pabrik pengolahan di Malaysia.

Investor asing lainnya seperti dari Inggris dan Singapurasudah mengincar perkebunan milik negara yangkinerjanya baik. Pemerintah Indonesia memangbermaksud melakukan program privatisasi perkebunannegara dengan menjual sebagian saham kepada pihakswasta nasional maupun asing. Akan tetapi, agar pihakasing tidak menjadi pemegang saham mayoritas,pemerintah tidak menjual keseluruhan saham, karenayang dibutuhkan perkebunan hanya pengembanganproduk derivatif dan jaringan pemasaran internasional.5

Untuk investor dalam negeri, keinginan berinvestasi diperkebunan kelapa sawit tidak terbatas pada perusahaanyang sudah biasa mengelola perkebunan, tetapi juga padaperusahaan lain seperti perusahaan kehutanan miliknegara. PT. INHUTANI III6 misalnya, sudah menargetkanuntuk membangun perkebunan kelapa sawit seluas 500hingga 1.000 ha per tahun.7 Sementara itu PT INHUTANII juga akan memasuki bisnis perkebunan, terutamatanaman karet dan kelapa sawit. Pada akhir Februari 1998,Menhutbun secara resmi telah mengizinkan PerumPerhutani dan PT Inhutani I s/d V melakukan ekspansi

ke sektor perkebunan seperti kelapa sawit.8 Alasannyaadalah usaha hutan merupakan investasi jangka panjang.Sedangkan perkebunan merupakan investasi jangkapendek yang diharapkan bisa memperbaiki cashflowBadan Usaha Milik Negara tersebut.9

Banyak perusahaan Indonesia yang belum mempunyaipengalaman di bidang perkebunan mencoba berbisniskelapa sawit. Pada umumnya mereka memanfaatkanskema kredit khusus untuk pengembangan perkebunanrakyat dengan pola kemitraan, misalnya Pola PerusahaanInti Rakyat-Transmigrasi (PIR-Trans) dan Kredit KoperasiPrimer untuk Anggota (KKPA). Walaupun perusahaanbesar mempunyai beban harus bermitra dan membinapetani, dengan menggunakan pola-pola tersebut merekaberkesempatan untuk menjadi kontraktor pembangunankebun milik petani, dapat memanfaatkan kayu tebanganhutan dan mendapatkan fee khusus untuk pengurusankredit petani. Berbagai kalangan menyebutkan bahwadengan mekanisme kerja seperti ini, perusahaan besartidak membantu petani, tetapi mereka justrumemanfaatkan skema kredit petani.10

Meskipun perkembangan investasi perkebunan melemah,terdapat indikasi bahwa investasi sektor ini akan segerameningkat (Casson 1999). Diproyeksikan bahwa luasareal perkebunan kelapa sawit di Indonesia akanmencapai 2,97 juta ha pada tahun 2000. Sampai dengantahun 1997, persetujuan dan pelepasan hutan produksiuntuk perkebunan sudah mencapai 6,7 juta ha. Luas inibelum termasuk luas permohonan pembangunanperkebunan yaitu 9 juta ha (Dephutbun 1998a).

Konversi Hutan Alam

Sejak dilaksanakannya padu serasi antara TGHK danRTRWP, kawasan hutan negara11 mengalami perubahan.Perbandingan data luas kawasan hutan negara tahun 1984dan 1997 menunjukkan bahwa secara nasional kawasanhutan lindung bertambah luasnya dari 29,3 juta hamenjadi 34,6 juta ha. Kawasan hutan konservasi tetapluasnya, sedangkan kawasan hutan produksi menurunluasnya dari 64 juta ha menjadi 58,6 juta ha. Sementaraitu hutan konversi yang digunakan untuk berbagaikepentingan pembangunan perkebunan, transmigrasi, dll.terus mengalami penurunan dari seluas 30 juta ha padatahun 1984 menjadi 8,4 juta ha pada tahun 1997.

Sampai dengan Juni 1998, kawasan hutan produksi dankonversi tersebut di atas telah dialokasikan untuk HPHseluas 69,4 juta ha, dan dicadangkan untuk HTI seluas4,7 juta ha,12 serta untuk perkebunan besar (bukan kebunrakyat) seluas juta 3 ha. Menurut Peraturan PemerintahNo. 21 Tahun 197013 dan No. 9 Tahun 1990, pembangunanHPH dan HTI dilaksanakan di dalam kawasan hutan

Page 8: Dampak konversi htn

5CIFOR Occasional Paper No. 26 (I)Hariadi Kartodihardjo dan Agus Supriono

produksi yang dinyatakan sebagai kawasan hutan tetap(permanent forest). Sedangkan pembangunan perkebunandilaksanakan di dalam hutan konversi.

Menurut hasil perhitungan dari berbagai studi kelayakan,di dalam kawasan HTI terdapat hutan alam yang masihproduktif rata-rata sebesar 22% dari seluruh kawasanhutan yang dikelolanya.14 Dengan demikian, hutan alamyang dikonversi dalam pembangunan HTI sampai denganJuni 1998 adalah seluas 1 juta ha (22% x 4,6 juta ha).

Sementara itu meskipun kawasan hutan lindung maupunhutan konservasi tidak diijinkan diubah fungsinya, dibeberapa lokasi terdapat perambahan hutan olehperkebunan, hutan tanaman, maupun perladangan olehpenduduk setempat. Kondisi perubahan kawasan hutantahun 1984 – 1997 disajikan dalam Tabel 2.

Kerusakan Hutan Alam oleh HPHData dari Departemen Kehutanan dan Perkebunan15

menunjukkan bahwa sampai dengan Juni 1998 areal hutanyang dialokasikan untuk 651 HPH seluas 69,4 juta ha. Dari69,4 juta ha ini 34 juta ha (49%) di antaranya dikelolaoleh 291 HPH yang sedang menjalankan jangka waktukonsesi pertamanya (20 tahun yang pertama). Sedangkan359 unit HPH lainnya, dengan luas 35,5 juta ha (51%),jangka waktu konsesi pertamanya telah berakhir.

Data di atas dan rincian dalam Gambar 3 bagian bawahmenunjukkan bahwa kerusakan hutan oleh HPH sampaiJuni 1998 adalah 16,57 juta ha, yang oleh pemerintahdialihfungsikan, direhabilitasi, serta dicadangkan untukkeperluan lain yang belum ditetapkan. Untuk lebihjelasnya, perubahan status HPH dan alih fungsi hutanyang dikelola HPH dapat dilihat pada Gambar 3.

Kategori Penatagunaan KawasanHutan Negara

Perubahan Fungsi Hutan yangDiijinkan

Perubahan Fungsi Hutan yang Sudah Terjadi

Hutan Lindung

1984 = 29,3 juta ha

1997 = 34,6 juta ha

[Tidak diijinkan diubahfungsinya]

l Setelah tahun 1997 ketika padu serasi antara TGHK dan RTRWP mulai dilakukan, jumlah kawasan hutan lindung naik menjadi 34,6 juta ha.Berdasarkan hasil evaluasi kawasan HPH,kawasan hutan lindung dan konservasibertambah seluas 1,31 juta ha (lihat Gambar 3,pada kotak perubahan fungsi kawasan HPH).

l Terdapat perambahan, tetapi datanya tidaktersedia.

Hutan Konservasi

(Suaka Alam, Taman Nasional, dll)

1984 = 1997 = 19 juta ha

[Tidak diijinkan diubahfungsinya]

l Terdapat perambahan, tetapi datanya tidaktersedia.

Hutan Produksi

1984 = 64 juta ha; 1997 = 58,6 juta ha

Terdiri dari:

- Hutan Produksi Tetap

1984 = 1997 = 34 juta ha

- Hutan Produksi Terbatasa

1984 = 30 juta ha

1997 = 24,6 juta ha

l Dikelola HPH seluas 69,4juta ha.b

l Rencana pembangunanHTI seluas 4,7 juta ha

l Dalam kawasan HTIdapat dibangun tanamanperkebunan

l Sisa hutan yang belum ditebang oleh HPH dihutan produksi tetap seluas 9,4 juta ha, hutanproduksi terbatas seluas 12,3 juta ha. Hutanyang telah rusak di kawasan HPH seluas 16,57juta ha c.

l Sampai Juni 1998 ~ sudah dialokasikan untukHTI seluas 4,6 juta ha. Pembangunan HTI inidiperkirakan dilakukan dengan mengkonversihutan alam primer seluas 1 juta ha.

l Sampai Maret 1998, terdapat perusahaanperkebunan di dalam hutan produksi seluas60.000 ha.

Hutan Konversi

1984 = 30 juta ha

1997 = 8,4 juta ha

l Dialihfungsikanseluruhnya

l Tahun 1997 ~ Jumlahhutan konversi yangmasih tersisa seluas 8,4juta Ha. Hutan konversiini masih berupa hutanalam primer.

l Jumlah hutan untuk perkebunan sampai denganJuni 1998 :

l Group (holding company) ~ 2,8 juta ha

l Nongroup (perusahaan tunggal) ~ 3,9 juta ha

l Total (Group dan Nongroup) ~ 6,7 juta ha

l Perkiraan jumlah defisit/surplus jika seluruhperusahaan perkebunan beroperasi dapat dilihatpada Tabel 3.

Tabel 2. Perubahan Kawasan Hutan Negara dan Alih Fungsi Hutan di Indonesia (1984 – 1997).

a Hutan produksi terbatas lebih curam dan mempunyai kelerengan lebih terjal daripada hutan produksi tetap, sehingga jumlah kayu yang ditebanglebih dibatasi. Dalam peraturan Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI), batas diameter kayu yang ditebang di hutan produksi terbatas minimal 60cm, sedangkan di hutan produksi tetap diameter yang boleh ditebang dibatasi paling kecil sebesar 50 cm.

b Kawasan hutan yang dikelola HPH juga berupa hutan konversi.

c Hutan yang telah rusak di dalam kawasan HPH yang akan direhabilitasi seluas 9,54 juta ha, pencadangan areal dan belum ada alokasi seluas 5,12juta ha, serta dilakukan alih fungsi untuk hutan tanaman seluas 0,71 juta ha, perkebunan seluas 30.000 ha dan transmigrasi seluas 80.000 ha.

Page 9: Dampak konversi htn

6 Kasus Pembangunan HTI dan Perkebunan di Indonesia

HPH = 652 UnitSeluas 69,4 juta ha

s/d Juni 1998 =16,57 juta ha

A. HPH yang SK HPH Jangka Masih Berlaku

Dikekola BUMN

Dikelola Swasta

Berakhir tahun 1998

2 HPH 0,31 juta ha

258 HPH 30,88 juta ha

32 HPH 2,86 juta ha

293 HPH 33,95 juta haJumlah

B. HPH yang SK HPH Jangka I Dihapus

1. Berakhir masa 282 HPH 29,98 juta ha

2. Diserahkan ke negara 77 HPH 5,47 juta ha

Jumlah 359 HPH 35,45 juta ha

B2. HPH yang Dicabut/Diserahkan ke Negara

Dicabut karena pelanggaran 67 HPH 4,32 juta ha

HPH diserahkan kembali ke negara

10 HPH 1,15 juta ha

Jumlah 77 HPH 5,47 juta ha

B1. HPH yang SK HPH Jangka I Telah Berakhir

1. HPH diperpanjang 96 HPH 14,29 juta ha

2. HPH tidak diperpanjang 186 HPH 15,69 juta ha

Jumlah 282 HPH 29,98 juta ha

B1.1. Perubahan HPH yang Diperpanjang

Perpanjang Sementara

Perpanjang Prinsip 20 th

Perpanjang Definitif

34 HPH 5,54 juta ha

46 HPH 6,64 juta ha

16 HPH 2,11 juta ha

96 HPH 14,29 juta haJumlah

Status Kepemilikan HPH

Swasta Murni

BUMN murni

Penyertaan Saham

36 HPH 5,53 juta ha

7 HPH 6,64 juta ha

53 HPH 2,11 juta ha

96 HPH 14,29 juta haJumlah

B1.2. TidakDIperpanjang

Dikelola sebagai HPH

Rehabilitasi

Pencadangan areal

32 HPH 3,24 juta ha

96 HPH 6,53 juta ha

29 HPH 3,38 juta ha

186 HPH 15,69 juta haJumlah

1 HPH 0,04 juta ha

43 HPH 2,29 juta ha

8 HPH 0,87 juta ha

67 HPH 4,32 juta ha

0 HPH 0,00 juta ha

8 HPH 0,72 juta ha

0 HPH 0,00 juta ha

10 HPH 1,15 juta ha

Belum ada penugasan 4 HPH 0,37 juta ha 5 HPH 0,50 juta ha 0 HPH 0,00 juta ha

Berubah fungsi 25 HPH 2,17 juta ha 10 HPH 0,62 juta ha 2 HPH 0,43 juta ha

B2.1. Dicabut karenapelanggaran

B2.2. Diserahkan kembali

Pembagian Areal

33 HPH 3,28 juta ha

147 HPH 9,54 juta ha

37 HPH 4,25 juta ha

263 HPH 21,16 juta ha

9 HPH 0,87 juta ha

37 HPH 3,22 juta ha

Jumlah

16 HPH 1,31 juta ha7 HPH 0,71 juta ha

1 HPH 0,03 juta ha

37 HPH 3,22 juta ha

1 HPH 0,08 juta ha

12 HPH 1,09 juta ha

Berubah Fungsi

Hutan Lindung/KonservasiHutan Tanaman Industri

Perkebunan

Jumlah

Transmigrasi

Proyek Lahan Gambut 1 juta hadi Kalimantan Tengah

Kerusakan Hutandi dalam

Kawasan HPH

Gambar 3. Perubahan Status HPH dan Alih Fungsi Hutan yang Dikelola HPH s/d Juni1998 (Diolah dari data Dephutbun, 1998).

Page 10: Dampak konversi htn

7CIFOR Occasional Paper No. 26 (I)Hariadi Kartodihardjo dan Agus Supriono

Dalam rangka alih fungsi tersebut PT. INHUTANI Imencari mitra usaha dengan pengusaha swasta untukmengembangkan kebun kelapa sawit di atas lahan HPHyang telah dicabut haknya dan dilimpahkanpengurusannya ke PT INHUTANI I. Sampai Maret 1998,PT. INHUTANI I telah bermitra dengan lima perusahaanswasta yang semua berada di Kawasan Indonesia Timur.Empat di antaranya dengan PT. Texmaco di Malukuseluas 60.000 ha. Selain itu juga dengan PT. GmelinaLestari, PT. Surya Dumai Group dan PT. Komismar MajuAgro yang belum diketahui luasnya.16

Alokasi Hutan KonversiLuas hutan produksi yang dapat dikonversi terus mengalamipenurunan dan pada akhir tahun 1997 mencapai 8,4 jutaha. Perkebunan yang akan dibangun di hutan konversi ini,untuk tahap persetujuan dan pelepasan adalah seluas 6,8juta ha.17 Dari luas ini khusus untuk perluasan perkebunanmelalui pola PIR mencapai 938.763 ha (Ditjenbun 1998).

Luas rencana pembangunan perkebunan ini belumtermasuk tahap permohonan yang sampai dengan Juni 1998mencapai 9 juta ha.18 Jika permintaan investor perkebunanini seluruhnya dipenuhi, tanpa memperhitungkan tahappermohonan, propinsi-propinsi di Sumatera danKalimantan akan mengalami defisit hutan konversi.Demikian pula jika tahap permohonan seluas 9 juta ha padaakhirnya diimplementasikan di lapangan, yang sebagianbesar diarahkan ke Kawasan Indonesia Timur, juga akanmenghadapi masalah yang sama karena di wilayah Malukudan Irian Jaya pun, hutan konversi hanya berjumlah 4,6juta ha. Kenyataan ini menunjukkan betapa tingginyapotensi konversi hutan tetap (permanent forest) di masayang akan datang.

Tabel 3 menunjukkan perkembangan luas hutan konversidari tahun 1981-1997 serta potensi surplus/defisit hutankonversi bila perusahaan perkebunan sudah beroperasipada tahap persetujuan dan pelepasan.

Perkembangan Luas HutanKonversi (a)

Perusahaan Perkebunan Skala Besar (1.000 ha) (b) +/- Hutan

Propinsi/Region (1.000 ha) Nongrup Grup(c) Jumlah

Konversi

1981 1984 1990 1997 Persetujuan Pelepasan Persetujuan Pelepasan

(1.000 ha)

DI. Aceh 188 193 848 95 136,35 120,62 5,78 6,46 269,21 -174

Sumut 532 254 254 37 65,40 46,90 56,61 26,24 195,15 -158

Sumbar 597 438 438 189 56,53 60,60 - - 117,12 72

Riau 2773 1754 (*) 335 837,84 717,28 719,94 330,02 2605,07 -2270

Jambi - 1013 727 - 105,81 98,48 136,51 124,22 465,02 -465

Sumsel 2421 1186 1186 774 123,24 17,77 11,50 11,51 164,03 610

Bengkulu 23 194 179 120 - - - - - 120

Lampung 573 - 153 137 68,20 74,78 57,69 64,27 264,94 -128

SUMATERA 7107 5032 3785 1687 1393,35 1136,43 988,03 562,72 4080,53 -2394

Bali 4 - (*) (*) - - - - - -

NTB 224 196 (*) (*) - - - - - -

NTT 278 2802 181 181 - - - - - 181

Timor Timur 45 10 10 - - - - - - -

BALI, NUSRA dan TIMTIM

551 3008 191 181 - - - - - 181

Kalbar 1323 1509 1509 534 94,76 58,84 49,40 24,60 227,60 306

Kalteng 6068 3000 (*) (*) 267,37 267,99 159,36 82,46 777,18 -777

Kalsel 1331 285 285 265 - - 126,18 101,68 227,86 37

Kaltim 5513 3500 (*) (*) 309,60 207,01 254,39 52,68 823,67 -824

KALIMANTAN 14235 8294 1794 799 671,73 533,83 589,32 261,42 2056,30 -1257

Sulut 304 699 294 35 8,00 0,59 - - 8,59 26

Sulteng 1028 335 242 269 76,57 61,33 59,95 19,12 216,97 52

Sulsel 165 259 259 259 41,40 15,70 30,35 40,77 128,22 131

Sultra 669 699 699 212 13,12 - - - 13,12 199

SULAWESI 2166 1992 1494 775 139,09 77,62 90,30 59,89 366,89 408

MALUKU 1030 436 (*) 2305 - - - - - 2305

IRIAN JAYA 7123 11775 11775 2671 11,19 3,28 257,81 20,51 292,78 2378

INDONESIA 33635 30537 19039 8418 2215,35 1751,16 1925,46 904,53 6796,50 1621

Tabel 3. Perkembangan Luas Hutan Konversi (1981-1997) dan Surplus/Defisit Hutan Konversi bila Seluruh PerusahaanPerkebunan Tahap Persetujuan dan Pelepasan Beroperasi.

(a). Diolah dari data Biro Pusat Statistik (berbagai tahun); (b). Diolah dari data Dephutbun (1998); (c). Perkebunan Nongrup adalah perusahaanperkebunan yang tidak memiliki holding company, sedangkan perkebunan grup memiliki holding company; (*). Pada propinsi-propinsi ini lokasihutan produksi yang dapat dikonversi dan areal penggunaan lainnya belum dapat dipisahkan.

Page 11: Dampak konversi htn

8 Kasus Pembangunan HTI dan Perkebunan di Indonesia

Perambahan Hutan Konservasi dan HutanLindungPembangunan HTI dan perkebunan juga sering tumpangtindih dengan kawasan konservasi. Sebagai contoh TamanNasional Bukit Tigapuluh seluas 127.698 ha yangmembentang di antara Propinsi Jambi dan Riau, telahterancam kelestariannya oleh dua perkebunan besar, yaituPT Sumatera Makmur Lestari seluas 8.000 ha dan PTArvena Sepakat seluas 5.450 ha.19 Demikian juga yangterjadi pada Perkebunan Inti Rakyat Blambangan UmpuLampung yang merambah areal hutan lindung seluas 216ha (Ditjenbun 1998). Di Kalimantan Timur terdapat 21kasus pembangunan perkebunan menggunakan kawasanhutan lindung (Sunderlin 1998).

Analisis Kebijakan Pembangunan HTIdan Perkebunan

Reaksi Pengusaha: Orientasi pada kayuhasil pembukaan hutan alamKebijakan alokasi dan konversi hutan alam telahmendorong swasta bereaksi sangat cepat untukmenanamkan modalnya, baik untuk pembangunan HTImaupun perkebunan. Jika dilihat dari kepemilikannya,satu holding company dapat mempunyai perusahaanHPH, HTI dan perkebunan sekaligus. Dari berbagailaporan, holding company seperti Raja Garuda Mas,Astra, Kalimanis, Salim Group, Sinar Mas, UniserayaGroup, Texmaco, dan Barito Pacific mempunyaiperusahaan-perusahaan HPH, HTI dan perkebunan.20

Perkembangan investasi yang cepat di atas juga diikutioleh hal-hal yang menyimpang. Setelah para pengusahamendapat areal, terbukti ada yang tidak melaksanakanatau menunda pelaksanaan pembangunan, dengan fakta-fakta sebagai berikut:

1. Evaluasi pembangunan HTI sampai Januari 1996menunjukkan bahwa realisasi penanamandibandingkan dengan rencana yang telah ditetapkansebesar 46% untuk HTI Pulp dan 13% untuk HTIKayu Perkakas (Dephut 1996). HTI yang dalam kurunwaktu 8 tahun diharapkan oleh pemerintah mampumemasok kebutuhan bahan baku kayu bagi industripulp menggantikan pasokan kayu dari hutan alam,ternyata sejak dikembangkan mulai awal Pelita Vsampai Juli 1997 secara keseluruhan realisasipenanamannya baru mencapai 23,1% dari rencana.21

Hal ini menyebabkan industri pulp dan perkayuanpada umumnya masih selalu mengandalkan hutanalam sebagai sumber bahan bakunya. Akibatnyapencurian kayu dari hutan alam terus meningkat.

2. Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal DaerahPropinsi Bengkulu, Ir Syahrir AB MSc mengatakan,sebanyak 10 perusahaan perkebunan di Bengkuluakan dicabut izin lokasinya, karena para investor tidakmengolah lahan yang telah diberikan. Kesepuluhinvestor ini terdapat di Kabupaten Bengkulu Selatansebanyak 7 perusahaan (61.000 ha), Bengkulu Utara1 perusahaan (3.150 ha), dan di KabupatenRejanglebong 2 perusahaan (2.350 ha).22

3. Pegawai Dinas Perkebunan Propinsi Riaumengatakan, izin pelepasan kawasan hutan yangdimiliki puluhan perusahaan perkebunan yangternyata kemudian menelantarkan lahanya, akansegera dicabut dan dialihkan ke perusahaan lain.23

4. Pemerintah daerah Kalimantan Timur juga akankembali mencabut 50 dari 105 izin lokasi investorperkebunan yang bermaksud membuka proyeknya didaerah ini. Ancaman ini disampaikan, karena banyakpemodal yang dinilai tidak serius dan bermaksudhanya mengeruk keuntungan dari izin yang telahdiberikan. Ancaman yang sama juga sudah pernahdilaksanakan oleh Pemerintah Daerah sebelumnyapada awal tahun 1998, dengan mencabut 93 izinlokasi. Tindakan mereka ini dengan sendirinya sangatmerugikan kepentingan pembangunan daerah. Bukansaja hasil hutan berupa kayunya habis, juga banyakpengusaha lain yang bisa jadi lebih serius, menjaditertutup peluang usahanya di Kalimantan Timur.24

Hal lain adalah dampak adanya kebijakan yangmenganjurkan pembangunan hutan tanaman dipadukandengan pembangunan perkebunan di dalam kawasanhutan produksi yang dilakukan oleh Badan Usaha MilikNegara. Di samping untuk meningkatkan kinerja ekonomiperusahaan, alasan pemerintah lainnya untuk melibatkanperusahaan negara kehutanan dalam usaha perkebunanadalah sebagai langkah strategis untuk mengamankanhutan. Namun, pada kenyataannya langkah-langkahseperti itu hampir selalu mengorbankan hutan alam untukmembangun perkebunan kelapa sawit. Dengan demikian,motivasi badan usaha milik negara untuk terjun dalambisnis kelapa sawit tidak berbeda dengan perusahaan-perusahaan swasta di atas, yaitu mencari keuntunganekonomi ganda, dari usaha kelapa sawit maupunperolehan kayu dari hutan alam saat pembukaan lahan.

Sengketa Agraria dan Dampak SosialMeskipun studi kelayakan dilakukan sebagai syaratpembangunan HTI dan perkebunan, acuan TGHK,RTRWP maupun hasil padu serasinya ternyata tidakmenyelesaikan masalah terjadinya sengketa agraria.

Page 12: Dampak konversi htn

9CIFOR Occasional Paper No. 26 (I)Hariadi Kartodihardjo dan Agus Supriono

Pembangunan perkebunan di Sumatera Selatan, misalnya,dalam pelaksanaannya telah menggusur kebun rakyat.Sedikitnya 41.155,5 ha lahan perkebunan rakyat milik4.101 kepala keluarga di delapan kabupaten di PropinsiSumatera Selatan telah diambil paksa oleh 13 perusahaanperkebunan daerah. Ke-13 perusahaan itu adalah PTBarito Pasific Timber, PT Pakerin, PTPN VII, PT MitraOgan, PT Gunung Sawit Bina Lestari, PT LondonSumatera, CV Harvelia, PT Bumi Arjo Makmur, PTPerjapin Prima, PT Tata Hamparan Eka Persada, PT CiptaFutura Plantation, PT Multradin Multi Maju, dan PTSurya Bumi Agro Langgeng.25

Dari 81 perusahaan perkebunan kelapa sawit, yang adadi Propinsi Sumatera Selatan, yang luas pencadanganarealnya 554.000 ha, seluruhnya terdapat masalahsengketa lahan dengan penduduk setempat. Lahan yangmenjadi sengketa dalam perkebunan kelapa sawitmencapai 83 ribu ha atau 11% dari luas seluruhnya.Demikian pula untuk pembangunan HTI yangdilakukan oleh sebanyak 14 perusahaan, seluruhnyamenghadapi konflik lahan dengan penduduk setempat.26

Dengan demikian saat ini Sumatera Selatanmenghadapi 103 kasus sengketa tanah akibatpembangunan HTI dan perkebunan.

Dalam kondisi krisis ekonomi dan ketidakstabilan politikseperti sekarang ini timbul gerakan-gerakan antiHPH,HTI dan Perkebunan. Di beberapa tempat telah terjadiperusakan dan pencurian hasil HTI dan perkebunan,dengan contoh-contoh kasus berikut:

1. Aksi masa petani yang menduduki HTI milik PTDharma Hutan Lestari di Gedongwani,Tanjungbintang, Lampung Selatan makin meluas.Ribuan petani terus membabati pohon,menimbunnya di puluhan tempat di tepi jalan untukseterusnya dijual.27

2. Lahan-lahan PTPN II Sumatera Utara yang sengajadi-bera-kan untuk tanaman tembakau pada musimtanam 1999, 2000 dan 2001 mulai digarap oleh wargamasyarakat yang tidak berhak menggarapnya. Parapenggarap menjarah tandan buah segar sawit, kakaodan tebu milik PTPN II tersebut.28 Pencurian kelapasawit milik PT Raya Padang Langkat diperkirakanmencapai 200 ha di kecamatan Besitang, KabupatenLangkat, Sumatera Utara.29

3. Di kebun PTPN IV Sumatera, selama kurun waktuJanuari-Juni 1998, telah terjadi pencurian 5793 kasuspencurian kelapa sawit sebanyak 6480 ton dan 450kasus pencurian kakao sebanyak 30,5 ton.30 MenurutSudjai Kartasasmita, Ketua Badan KerjasamaPerusahaan Perkebunan Sumatera, memburuknya

keamanan di perkebunan, seperti pencurian tandanbuah sawit dan pengkaplingan areal perkebunan olehberagam masyarakat, telah menimbulkanketidaktenangan suasana kerja di kebun baik bagipimpinan maupun karyawan.31 Keadaan ini telahmemaksa aparat keamanan menempatkan sekitar 900personil Brimob di kebun-kebun milik perkebunanbesar di Sumatera Utara.

4. Penjarahan tidak hanya terjadi di perkebunan besar,tetapi juga merambah ke perkebunan rakyat. Petanikopi dan lada di Lampung, selain kopi dan ladanyadijarah di kebun, hasil penjualannya juga menjadisasaran perampokan. Tercatat dalam bulan Juli-Agustus 1998 di Lampung terjadi 8 kasus perampokanyang menyebabkan kerugian ratusan juta rupiah.32

Kontroversi Kebijakan HTISetelah sekian lama HPH beroperasi, pemerintahdihadapkan pada dua kondisi yang saling kontradiktif.Pertama, banyak HPH yang hutannya rusak dan tidakdiperpanjang serta pengelolaannya dilimpahkan kepadaBadan Usaha Milik Negara (PT. INHUTANI), sehinggapemerintah harus melaksanakan mekanisme baru dalamupaya rehabilitasi hutan alam. Kedua, penerimaan devisamelalui ekspor kayu olahan, khususnya kayu lapis, sertadaya serap tenaga kerja oleh HPH dan industri perkayuanharus dipertahankan.

Menghadapi kenyataan demikian, pembangunan HTIdianggap sebagai suatu solusi untuk meningkatkanproduktivitas hutan alam,33 sehingga insentifpembangunan HTI diwujudkan. Insentif inikenyataannya sangat menarik swasta, terutama adanyasubsidi dari dana reboisasi. Namun demikian, karenapasokan kayu dari hutan alam terus ‘melimpah’ –karena juga dipasok dari kayu ilegal – harga kayu HTImenjadi sangat murah, bahkan tidak ada pasarnya.34

Akibatnya, perusahaan HTI tidak pernahdiperhitungkan layak secara finansial, jika ia mandiri.Oleh karena itu perhitungan kelayakan finansial selaludilakukan dengan mengaitkan HTI dengan industriyang mengolah hasil kayunya.35

Kenyataan di atas terbukti telah dimanfaatkan olehsejumlah pengusaha swasta untuk mendapatkan fasilitaspembangunan HTI yang tujuannya memperolah kayu darihutan alam yang dijadikan lokasi HTI, serta memperolehsubsidi dari dana reboisasi. Menghadapi kenyataandemikian, pemerintah seharusnya melakukan perubahansistem pengusahaan hutan alam produksi (HPH), sebagaipenyebab utama rusaknya hutan alam. Perubahan initidak kunjung dilakukan karena pemerintahberkepentingan mempertahankan peran HPH untukmenunjang pendapatan negara. Oleh karena itu, dari visi

Page 13: Dampak konversi htn

10 Kasus Pembangunan HTI dan Perkebunan di Indonesia

pemerintah, kebijakan pembangunan HTI diinter-pretasikan sebagai suatu jalan penyelesaian masalah.36

Rusaknya hutan alam di dalam kawasan HPH dikeluarkandari kawasan HPH dan menjadi kawasan HTI, sehinggakinerja HPH seolah-olah tidak menurun akibat adanyakerusakan hutan di dalam kawasannya. Dengan kebijakanini, sistem pengusahaan hutan alam produksi (HPH) dapatdipertahankan, karena terbebas dari buruknya kinerjayang terlihat dari hutan yang rusak.

Kebijakan pembangunan HTI di atas secara implisitmelegitimasi kerusakan hutan alam yang dilakukan olehHPH. Skenario pembangunan HTI tidak pernah ada,seandainya HPH mampu mengelola hutan alam denganbaik. Oleh karena itu tidak mengherankan jika kebijakanpembangunan HTI – yang formulasi subsidinya dirancangoleh suatu studi yang dibiayai Bank Pembangunan Asia– mendapat dukungan dari kalangan swasta.

Menurut pemerintah, dengan dimasukkannya danareboisasi ke dalam anggaran pendapatan dan belanjanegara (APBN), atas permintaan IMF, pembangunan HTIakan mengalami hambatan. Karena kredit yang adadengan bunga paling rendah 12% akan membuatpembangunan HTI tidak layak secara finansial(Dephutbun 1998b).

Pernyataan pemerintah tersebut belum tentu benar,mengingat terdapat 22 perusahaan yang mengelola sekitar1,2 juta ha HTI justru tidak menggunakan fasilitas subsididari dana reboisasi yang ditawarkan pemerintah. Salahsatu direktur dari perusahaan kelompok ini, yang tidakbersedia disebut namanya, mengungkapkan bahwaadanya subsidi dana reboisasi yang diikuti oleh masuknyaBadan Usaha Milik Negara dalam manajemen perusahaanjustru meningkatkan inefisiensi perusahaan. Alasannya,biaya manajemen perusahaan dan biaya lainnya untukurusan administratif yang berkaitan dengan pencairandana reboisasi menjadi meningkat. Pada umumnyaperusahaan-perusahaan yang tidak bersedia menerimasubsidi sudah mempunyai kepastian pasar hasil kayu dariHTInya, terutama untuk industri perkayuan yang sudahada maupun untuk ekspor.

Kenyataan di atas menunjukkan bahwa, bagi perusahaan-perusahaan tertentu, adanya subsidi pembangunan HTIdianggap tidak memberikan manfaat karena biayatransaksinya37 lebih tinggi daripada manfaat subsidi yangdiberikan. Oleh karena itu, dari sudut pandang ini,masuknya dana reboisasi ke dalam APBN yangmeniadakan pinjaman dana reboisasi tanpa bungabukanlah hambatan pembangunan HTI seperti yangdikatakan pemerintah. Karena apa yang terjadi dilapangan, hambatannya bukan pada suku bunga pinjamanyang tinggi, melainkan pada tingginya biaya transaksi.

Kebijakan Tata Guna HutanMasalah lain yang berkaitan dengan pembangunan HTIdan perkebunan adalah tidak mampunya TGHK danRTRWP serta padu serasinya dalam menyelesaikankonflik penggunaan lahan.38 Seperti telah diuraikan diatas, masalah penggunaan lahan telah memicu konfliksosial. Meskipun jumlah luasnya relatif kecildibandingkan luas HPH dan HTI, pembangunanperkebunan, khususnya kelapa sawit yangpertumbuhannya sangat cepat, mempunyai dampak sosialpaling besar.

Masalah struktural seperti ini tidak dapat dipecahkan jikapemerintah tetap menggunakan perencanaan yang bersifattop down, karena ternyata pengesahan hasil padu serasiTGHK dan RTRWP hanya berlaku di atas kertas.Ironinya, meskipun model perencanaan partisipatif(bottom up) telah cukup lama diperkenalkan dandipresentasikan di Departemen Kehutanan danPerkebunan oleh berbagai pihak, sistem ini belum jugadiadopsi dan diimplementasikan di lapangan.39

Meskipun terdapat Undang-Undang Tata Ruang No. 29Tahun 1992, yang dijabarkan ke dalam RTRWP, secarade facto, Dephutbun memegang peran sangat pentingdalam pelaksanaan alokasi hutan dan lahan. InterpretasiUndang-Undang Pokok Kehutanan (UUPK) No. 5 Tahun1967 dengan melakukan claim seluruh hutan yang tidakdibebani hak milik menjadi hutan negara, telah menutupirealitas adanya hutan adat dan keberadaan masyarakatyang tinggal di dalam kawasan hutan negara. Akibatnya,peraturan pemerintah sebagai penjabaran UUPK tidakmengakomodasikan suatu proses yang memungkinkanadanya representasi masyarakat lokal.

Hambatan lain dalam pelaksanaan tata guna hutan iniadalah adanya kenyataan tingginya conflict of interestantara pihak-pihak yang ingin mempertahankankeberadaan hutan tetap dengan pihak-pihak yangmenginginkan konversi hutan untuk penggunaan lain,seperti perkebunan dan HTI. Menurut penjelasan salahseorang pejabat Badan Inventarisasi Tata Guna Hutan danKebun, Dephutbun, yang tidak bersedia disebutkannamanya, pelaksanaan padu serasi antara TGHK danRTRWP yang selama ini dilakukan cenderung inginmemperluas areal perkebunan besar di setiap propinsi.Hal ini antara lain karena adanya kelompok-kelompokusaha besar yang mempengaruhi pejabat daerah untukmendukung investasi perkebunan di daerahnya.

Perubahan Kebijakan di Era ReformasiTerjadinya krisis ekonomi dan reformasi ekonomi danpolitik di Indonesia secara langsung atau tidak langsungmeningkatkan potensi tekanan terhadap hutan alam, tetapisekaligus juga memberi harapan perubahan-perubahan

Page 14: Dampak konversi htn

11CIFOR Occasional Paper No. 26 (I)Hariadi Kartodihardjo dan Agus Supriono

kebijakan fundamental yang diperkirakan dapatmemperbaiki kelemahan-kelemahan pembangunankehutanan dan perkebunan yang selama ini terjadi.40

Memperhatikan pelaksanaan perubahan kebijakan dilingkungan Dephutbun, tampaknya pengakuan hak-hakadat atas sumber daya hutan masih sulit diterimapemerintah. Di pihak lain orientasi kebijakan lebihdiarahkan untuk melakukan redistribusi hak-hakpengusahaan atas kawasan hutan negara yang semuladimiliki oleh pengusaha besar ke perusahaan kecil dankoperasi, tanpa ada suatu konsep yang jelas tentang upayapenyelamatan keberadaan hutan alam. Kenyataandemikian ini menunjukkan adanya suatu kecenderunganbahwa perbaikan terhadap kelemahan-kelemahanpembangunan kehutanan dan perkebunan, yangdiharapkan dapat meminimumkan degradasi hutan alam,masih jauh dari harapan.

Ringkasan Penemuan dan Rekomendasi

Ringkasan Penemuan1. Kegagalan HPH dalam mengelola hutan, telah

membuat pemerintah mencabut HPH-HPH yanghutannya telah rusak. Kawasan hutan yang rusak inidiklasifikasikan menjadi kawasan hutan sebagaiareal pencadangan, areal yang peruntukannya belumditetapkan, dan areal yang dialihfungsikan untukpenggunaan lain. Luas areal ini sebesar 8,3 juta ha.Jika areal ini ditambah dengan areal dalam kawasanHPH yang akan direhabilitasi seluas 9,5 juta ha,maka jumlah hutan yang rusak di dalam kawasanHPH sampai Juni 1998 seluas 16,57 juta ha. Jikarata-rata umur HPH 20 tahun, maka hutan yang rusakdi dalam kawasan HPH, yang dialihfungsikan untukpenggunaan lain, rata-rata sebesar 828.500 ha pertahun. Dengan demikian, dalam rangkapenyelamatan hutan alam, perbaikan kebijakan HPHmemegang peranan sangat penting.

2. Dalam areal HTI terdapat hutan alam yang masihproduktif rata-rata sebesar 22% dari seluruh kawasanhutan yang dikelolanya. Dengan demikian, hutan alamyang dikonversi dalam pembangunan HTI sampaidengan Juni 1998 seluas 1 juta ha. Ini berarti bahwadilihat dari hutan alam yang rusak, pembangunan HTIjuga mempunyai peran cukup besar.

3. Pembangunan perkebunan telah mengkonversi hutanalam yang luasnya sama dengan luas perkebunan yangsudah dan akan dibangun yaitu seluas 6,7 juta ha.Keadaan demikian telah memberikan ‘keuntungantambahan’ bagi perusahaan perkebunan yang berupakayu dari pembukaan lahan. Kesempatan yang demikian

ini sering dimanfaatkan oleh perusahaan perkebunanuntuk melakukan mark up atas luas kebun yangdiperlukan. Dalam kenyataanya di beberapa propinsiditemukan perusahaan perkebunan yang hanya mencarilokasi, melakukan pembukaan lahan untukmendapatkan kayu, dan kemudian meninggalkannyatanpa melakukan pembangunan perkebunan.

4. Tidak adanya institusi penatagunaan hutan yang baik,yang disebabkan lemahnya kebijakan penggunaanlahan nasional dan aspek-aspek politik ekonomi, telahmenyebabkan pelaksanaan pembangunan HTI danperkebunan telah secara nyata menimbulkan masalahsosial yang berkaitan dengan penggunaan lahan. Salahsatu aspek politik ekonomi yang mendorong degradasihutan alam adalah adanya kenyataan diversifikasiusaha HPH berupa usaha HTI dan perkebunan,sehingga ketika HPH menyisakan hutan yang rusak,maka HTI dan/atau perkebunan mendapat legalitasuntuk menempati lokasi hutan yang rusak.

5. Faktor utama yang mendorong perkembanganpembangunan HTI adalah adanya subsidi dankemudahan untuk mendapatkan lahan hutan sebagailokasi HTI. Kemudahan ini telah menyebabkansebagian besar pembangunan HTI dilakukanpengusaha swasta untuk mendapatkan kayu darikonversi hutan alam dan untuk mendapatkan danamurah yang disediakan pemerintah. Hal iniditunjukkan oleh rendahnya realisasi pembangunanHTI yaitu hanya mencapai 23,1%. Di pihak lainterdapat suatu ironi bahwa dengan harga kayu darihasil HTI yang relatif murah dan ketidakpastianadanya investasi pabrik yang dapat memanfaatkankayu hasil HTI sebagai bahan bakunya, justrumendorong pengusaha swasta terus-menerus mintaijin pemerintah untuk membangun HTI.

6. Ada beberapa pengusaha swasta yang membangunHTI tanpa subsidi dari dana reboisasi. Kelompokpengusaha yang memilih pembangunan HTI tanpasubsidi menganggap manfaat subsidi, yang berupadana reboisasi tanpa bunga, lebih kecil daripada biayatransaksi yang ditimbulkannya. Biaya transaksi inimuncul karena masuknya Badan Usaha Milik Negarake dalam tubuh perusahaan dalam bentuk usahapatungan serta biaya-biaya yang timbul daripengurusan pencairan dana reboisasi. Kenyataan diatas menunjukkan bahwa usaha HTI tanpa subsidijuga menjadi pilihan pengusaha, artinya HTI tanpasubsidi masih menguntungkan.

7. Penggabungan Direktorat Jenderal Perkebunan kedalam struktur organisasi Dephutbun belummenghasilkan kebijakan yang diperkirakan mampu

Page 15: Dampak konversi htn

12 Kasus Pembangunan HTI dan Perkebunan di Indonesia

memberikan penyelesaian masalah tumpang tindihpenggunaan kawasan hutan. Permasalahan dalampelaksanaan padu serasi antara TGHK dan RTRWPbelum terpecahkan walaupun sektor perkebunan dankehutanan sudah digabungkan.

8. Sampai saat ini belum terdapat kebijakan danimplementasi di lapangan yang mampu memecahkanmasalah tata guna lahan dan hutan. Memperhatikan apayang diperbuat oleh pengusaha swasta dalammempengaruhi keputusan-keputusan alokasi lahan danhutan terdapat indikasi bahwa ketidakpastian tata gunalahan dan hutan telah menguntungkan pengusaha swastayang mempunyai akses untuk mempengaruhipelaksanaan alokasi lahan dan hutan. Sementara itu, dipihak lain, pengambil keputusan dengan perilaku rentseekingnya memperoleh keuntungan dari situasi tersebut.

Rekomendasi

Untuk menyelamatkan hutan alam yang masih tersisa,pemerintah perlu melakukan perubahan status hutannegara, sehingga hutan alam primer yang saat ini beradadi dalam kawasan hutan produksi yang dapat dikonversidiubah menjadi hutan tetap yang tidak dapat dikonversiuntuk keperluan lain. Sementara itu, pembangunan HTIdan perkebunan besar diarahkan pada hutan produksiyang tidak produktif.

Dalam implementasinya diperlukan proses pengukuhankawasan hutan dengan memperhatikan keberadaan hutanadat dan kondisi sosial ekonomi masyarakat yang tinggaldi dalam dan sekitar hutan. Pelaksanaan ini benar-benardapat dilakukan jika ditunjang oleh perubahan orientasiorganisasi Dephutbun baik di pusat maupun di daerah,sehingga mampu memfasilitasi pelaksanaan alokasi hutandan lahan di lapangan. Sejalan dengan hal ini diperlukandesentralisasi untuk meningkatkan peran pemerintahdaerah dan instansi kehutanan dan perkebunan di daerahdalam pelaksanaan redistribusi pengelolaan hutan danlahan yang saat ini sedang dijalankan. Dalamimplementasinya karakteristik biofisik dan kondisi sosialekonomi di daerah masing-masing diharapkan dapatdipertimbangkan.

Ucapan Terimakasih

Kedua penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepadaWilliam D. Sunderlin yang telah memberi kesempatansehingga studi ini dapat dilakukan serta pemikiran dankomentarnya atas tulisan ini. Di samping itu juga kepadaAnne Casson, Dudung Darusman dan Rita Lindayati ataswaktu yang disediakan untuk mengomentari tulisan ini.Penulis bertanggung jawab atas kesalahan substansi yangmungkin masih dijumpai dalam hasil akhir tulisan ini.

Catatan Akhir

1 TGHK (Tata Guna Hutan Kesepakatan) adalahpembagian hutan negara menurut fungsinya yaitu hutanlindung, hutan konservasi, hutan produksi, serta hutanproduksi yang dapat dikonversi. TGHK ditetapkan sejaktahun 1983 oleh Departemen Kehutanan yang disepakatioleh Pemerintah Daerah serta sektor lainnya. RTRWP(Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi) adalahpembagian tata ruang wilayah propinsi sebagaipenjabaran dari Undang Undang Tata Ruang Tahun 1992.Dalam RTRWP dikenal pembagian ruang sebagai hutanlindung, kawasan budidaya kehutanan dan kawasanbudidaya nonkehutanan. Dalam implementasinya, sejaktahun 1993, antara TGHK dan RTRWP dipaduserasikan.2 Lahan kritis yang dimaksud biasanya juga meliputilahan yang seharusnya berfungsi konservasi atauperlindungan.3 “50 PMA Sedang Bangun Perkebunan Kelapa Sawit”.Neraca. 14 Juli 1998.4 “Menhutbun Tetapkan Kriteria Baru Pembukaan KebunSawit”. Neraca. 11 April 1998.5 “BUMN Perkebunan Sudah Diincar Asing”. Kompas.2 September 1998.6 Perum Perhutani dan PT INHUTANI adalah BadanUsaha Milik Negara yang bekerja dalam bidangpengelolaan hutan.7 “PT INHUTANI III Mulai Garap Sawit”. Suara Karya.18 Juni 1998.8 “PT INHUTANI I akan Memasuki Bisnis Perkebunan”.Suara Pembaruan, 23 Juni 1997.9 “BUMN Kehutanan Diizinkan Masuk UsahaPerkebunan”. Neraca, 05 Mei 1998.10 Hasil diskusi “Pemberdayaan Ekonomi MasyarakatBerbasis Sumber Daya Alam: Studi Kasus Perkebunandan Kehutanan”, 9 Maret 1999, yang diselenggarakanoleh Kelompok Kajian Pengelolaan Sumber DayaBerkelanjutan (K3SB), di Bogor.11 Kawasan hutan negara menjelaskan statusnya secarahukum bahwa hutan tersebut hutan milik negara.Kawasan hutan negara tidak selalu berhutan, sehinggapeningkatan kawasan hutan dapat berarti secara hukumkawasan hutan negara naik jumlahnya, tetapi luas yangberhutan dapat menurun. Pada tahun 1984, kawasan hutannegara ditetapkan berdasarkan TGHK. Sedangkan padatahun 1997 kawasan hutan negara berubah setelahdilakukan paduserasi antara TGHK dengan RTRWP.12 Berdasarkan luas pencadangan areal kerja HTI sebanyak44 unit yang telah mendapat SK HP-HTI. Seluruh HTIyang sudah disahkan RKTnya sebanyak 132 unit, terdiridari HTI Pulp 22 unit, HTI Kayu Perkakas 47 Unit danHTI Transmigrasi 63 Unit. Sasaran tahunan pembangunanHTI seluas 250.000 ha. Dephutbun (1998).

Page 16: Dampak konversi htn

13CIFOR Occasional Paper No. 26 (I)Hariadi Kartodihardjo dan Agus Supriono

13 Saat ini Peraturan Pemerintah ini sudah diubah menjadiPeraturan Pemerintah No 6 tahun 1999. Meskipun demikianketentuan tersebut tidak berubah.14 Pengalaman penulis dalam melaksanakan studi kelayakanpembangunan HTI di Kalimantan dan Sumatera sebanyak6 unit, pada tahun 1990-1995.15 Data yang digunakan bersumber dari Departemen Kehutanandan Perkebunan. Bahan Rapat Ekuin 3 Agustus 1998.16 “BUMN Kehutanan Diizinkan Masuk UsahaPerkebunan”. Neraca, 5 Mei 1998.17 “Luas Hutan yang Dikonversi untuk Perkebunan 7 Jutaha”. Suara Pembaruan, 10 Oktober 1997.18 “Minat Investor Perkebunan Masih Tinggi”. SuaraPembaruan, 26 Juli 1998.19 “Selamatkan Taman Nasional Bukit Tigapuluh”. SuaraPembaruan, 14 September 1998.20 Informasi diperoleh dari Departemen Kehutanan dan PusatData Bisnis Indonesia, berbagai tahun.21 “Sampai Juli 1997 Realisasi Penanaman HTI Pulp Baru23,1%”. Neraca, 7 November 1997.22 “10 Perusahaan Perkebunan Di Bengkulu Akan DicabutIzinnya”. Suara Pembaruan, 22 Agustus 1998. On line.23 “Izin Prinsip Perkebunan di Riau yang Ditelantarkan AkanSegera Dicabut”. Suara Pembaruan, 27 Juli 1998. On line.24 “Pemda Kaltim Akan Mencabut 50 Izin LokasiPerkebunan”. Suara Pembaruan, 14 Agustus 1998. On line.25 “41.155 ha Perkebunan Rakyat Sumsel dicaplok 13Perusahaan”. Bisnis Indonesia, 3 September 1998.26 Siaran Pers Bersama Lembaga Bantuan HukumPalembang dan Konsorsium Pembaruan Agraria Sumsel.Dalam Peringatan Hari Tani. 24 September 1998.27 “Pembabatan HTI di Lampung Meluas”. Kompas, 28September 1998.28 “Lahan PTPN II Dijarah Massa”. Kompas, 14 Juli 1998.29 “Menhutbun: Saya Akan Cek Oknum yang MencuriKelapa Sawit”. Sinar Pagi, 18 April 1998.

30 “Harga Jual Produk Plasma Ditentukan Pasar”. Sinar Tani,14 Oktober 1998.31 “Pengusaha Perkebunan Kembali Naikkan Upah”. SinarTani, 14 Oktober 1998.32 “Petani Kopi antara Jutawan dan Ancaman Perampokan”.Sinar Tani, 26 Agustus 1998.33 Berdasarkan PP No. 7 Tahun 1990, salah satu tujuanpembangunan HTI adalah meningkatkan produktivitas lahandan kualitas lingkungan hidup.34 Pengalamaan PT Kiani Hutani Lestari dan PT ITCI HutaniManunggal dua perusahaan HTI di Kalimantan Timur padatahun 1995-1996 ketika akan memanen hasil HTInyamengalami kesulitan untuk menjualnya, sehinggapemanenannya ditunda.35 Pengalaman penulis pada saat mengikuti pembahasanbeberapa studi kelayakan pembangunan HTI di DepartemenKehutanan dan Perkebunan antara tahun 1990-1994.36 Pernyataan ini adalah kesan penulis selama mengikutiberbagai diskusi dan pertemuan-pertemuan lainnya tentangpembangunan HTI yang melibatkan atau diprakarsai olehpemerintah.37 Biaya transaksi (transaction cost) dapat berupa biayauntuk mengukur nilai atribut barang dan jasa (informationcost) yang akan dipertukarkan, biaya untuk melindungihak atas barang (exclusion cost), biaya untuk menetapkankontrak/perjanjian (contractual cost), serta biaya untukmenjalankan perjanjian (policing cost).38 Salah satu hasil lokakarya sosialisasi ekolabel yangdilakukan oleh Lembaga Ekolabel Indonesia dan GTZ diSamarinda, Kalimantan Timur. 3-4 Nopember 1998.Lokakarya ini dihadiri oleh lebih 200 peserta dari HPH, HTI,Pemerintah Daerah, Perguruan Tinggi, LSM, dan InstansiKehutanan di daerah.39 Hasil diskusi dengan Ir. Diah Rahardjo, staf pada GTZSamarinda, Kalimantan Timur.40 Uraian detail mengenai hal ini dapat dilihat dalamSunderlin (1998).

Page 17: Dampak konversi htn

14 Kasus Pembangunan HTI dan Perkebunan di Indonesia

Arifin, S. and W.R.Susila.1998. Indonesia as a MajorPalm Oil Producer: Prospects and Challenges. Centerfor Economic Studies. Research and Development.Departmen of Agriculture. Bogor.

Casson, Anne. 1999. The Hesitant Boom: Indonesia’s OilPalm Sub-Sector in an Era of Economic Crisis andPolitical Change. Programme on the Underlying Causesof Deforestation. Bogor, Indonesia: Center forInternational Forestry Research.

Dephut. 1996. Statistik Sumber Daya Hutan Indonesia II(Kecuali P. Jawa). Proyek Inventarisasi Hutan Nasional.Ditjen Intag. Departemen Kehutanan dengan bantuanteknis FAO. Jakarta.

Dephut. 1997. Laporan Akuntabilitas Menteri KehutananPeriode 1996/1997. Jakarta.

Dephutbun. 1998a. Penataan Ulang Penguasaan Lahandan Pengusahaan Hutan Skala Besar dalam RangkaRedistribusi Manfaat Sumber Daya. Jakarta.

Dephutbun. 1998b. Arah, Strategi dan KebijaksanaanPembangunan Kehutanan dan Perkebunan KabinetReformasi Pembangunan dan Tanggapan Pemerintahatas Laporan Kunjungan Kerja Komisi III DPR-RIDalam Reses Masa Persidangan III. Tahun Sidang1997/1998. Jakarta.

Ditjenbun. 1998. Laporan Pelaksanaan dan PenilaianPerkebunan Inti Rakyat. Jakarta.

Sunderlin, William D. 1998. Between Danger andOpportunity: Indonesia’s Forests in an Era ofEconomic Crisis and Political Change. September23, 1998. http://www.cgiar.org/cifor/

Susila, W.R. 1998. Perkembangan dan ProspekKomoditas Utama Perkebunan. Pusat Studi Ekonomi.Lembaga Penelitian dan Pengembangan Pertanian.Bogor.

Susila, W.R. 1997. Model Ekonomi Minyak SawitMentah Dunia. Pusat Studi Ekonomi. LembagaPenelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor.

Daftar Pustaka