dakwah dalam sasteran islam
DESCRIPTION
bahan kajian ini ilmiah ini pastinya sangat berguna kepada para pengkaji sastera Islam yang fasih berbahasa Melayu.Bahan ini mengandungi kajian ilmiah. Saya telah meneliti bahan ini. Bahan ini amat menyumbang dalam penulisan akademik saya.Saya berharap para pembaca yang download bahan ini dapat upload beberapa bahan untuk para pengguna laman ini.Semakin banyak anda memberi, semakin banyak yang ada akan menerima dari Allah.Insya Allah.TRANSCRIPT
BAB II
KAJIAN TENTANG NOVEL
SEBAGAI KARYA SASTRA DAN DAKWAH
2.1 Novel Sebagai Karya Sastra dan Dakwah
2.1.1 Novel Sebagai Karya Sastra
1. Pengertian dan Jenis Sastra
Sastra merupakan karya dan kegiatan seni yang berhubungan
dengan ekspresi dan penciptaan. Oleh karena itu akan relatif sulit
membuat batasan tentang sastra sebagaimana ilmu-ilmu lain. Hal
ini mengakibatkan setiap usaha membuat batasan tentang apa yang
disebut sastra selalu hanya merupakan pemerian/gambaran dari
sesuatu segi sastra saja (Noor : 2005 : 19).
Menurut Jacob Sumarjo dan Saini K. M (1983 : 3) sastra
merupakan ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman,
pemikiran, perasaan, ide, semangat, keyakinan dalam suatu bentuk
gambaran konkret yang membangkitkan pesona dengan alat
bahasa.
Bahasa pengarang itu memancarkan keindahan bagi orang
yang membacanya yang terbuka hatinya terhadap keindahan.
Bahasa sastra berbeda dengan bahasa sehari-hari karena bahasa
sastra lebih segar, lebih dalam meresap, lebih tepat dan langsung
menyatakan hal-hal yang dimaksud sebab ia lebih banyak
16
mengandung perasaan dan lebih kuat membangkitkan angan-
angan atau bangkitnya fantasi daripada membaca karya biasa.
Menurut Aminuddin (1990 :113-114) fungsi bahasa dalam
teks sastra adalah:
a. Emotif : sebagai wacana ekspresi gagasan penutur.
b. Referensial : menggambarkan dunia awam secara simbolik.
c. Puitik : mengandung pesan sebagaimana ciri makna yang
secara imaner melekat dalam teks sastra itu sendiri.
d. Kreatif : memberi imbauan kepada penanggapnya.
Selain berbagai fungsi di atas perlu diperhatikan bahwa
secara mendasar bahasa sebagai sarana komunikasi antar individu
tidak memiliki arti sejauh orang yang satu berbicara dengan yang
lain dengan menggunakan bahasa yang berbeda. Bahkan
pengalihan arti dari bahasa yang satu ke yang lain juga dapat
menimbulkan banyak problem. Manusia memiliki gaya bahasa
tulis yang berbeda-beda. Kesulitan itu akan muncul lebih
kompleks jika manusia saling mengkomunikasikan gagasan-
gagasan mereka dalam bahasa tulis sebagaimana sastra
(Sumaryono, 1993 : 24).
Sastra dapat digolongkan menjadi dua kelompok jenisnya,
yakni sastra imajinatif dan sastra non-imajinatif. Dalam
penggolongan sastra yang pertama, ciri khayali sastra agak kuat
dibanding dengan sastra non-imajinatif. Begitu pula dalam
penggunaan bahasa dalam artinya yang konotatif (banyak arti)
17
dibandingkan dengan sastra non-imajinatif yang lebih menekankan
pada penggunaan bahasa denotatif (tunggal arti) (Sumarjo, 1983 : 17).
Dalam karya sastra imajinatif maupun non-imajinatif ciri-ciri
khayali dan penggunaan bahasa denotatif-konotatif tadi tidak ada
ukurannya. Kedua unsur tersebut bercampur-baur pada masing-
masing jenis karya sastra, hanya bobot penekanannya dapat
bergeser dan berbeda-beda. Kalau dalam sebuah karya sastra,
unsur khayali agak berkurang dan penggunaan bahasa cenderung
denotatif, maka karya demikian cenderung digolongkan kedalam
karya sastra non-imajinatif.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ciri dari sastra
imajinatif adalah: karya sastra tersebut lebih banyak bersifat
khayali, menggunakan bahasa yang konotatif, dan memenuhi
syarat-syarat estetika seni. Sedangkan ciri sastra non-imajinatif
adalah: karya sastra tersebut lebih banyak unsur aktualnya dari
pada khayalinya, menggunakan bahasa yang cenderung denotatif
dan memenuhi syarat-syarat estetika seni.
Adapun genre-genre dalam sastra dapat dibuat diagram
sebagai berikut (Sumarjo, 1983 : 18) :
18
Sastra Non
Imajinatif : 1. Esai 2. Kritik 3. Biografi 4. Otobiografi
5. Sejarah 6. Memoar
Sastra 7. Catatan Harian 8. Surat-Surat Puisi : 1. Empirik 2. Lirik 3. Dramatik
Sastra Fiksi : 1. Novel Imajinatif 2. Cerita Pendek 3. Novelet
Prosa Drama Prosa 1. Komedi 2. Tragedi 3. Melodrama 4. Tragedi Komedi Drama
Drama Puisi
2. Novel Sebagai Karya Sastra
Dari segi bahasa, kata novel berasal dari kata Latin
novellus yang diturunkan dari kata noveis yang berarti baru
(Tarigan, 1986: 164). Dikatakan baru, karena bentuk novel adalah
karya sastra yang datang kemudian dibandingkan karya sastra
lainya, seperti puisi, drama dan lain-lain (Waluyo, 1987: 141).
Novel merupakan salah satu karya sastra prosa yang
mengungkapkan seluruh episode perjalanan hidup tokoh ceritanya,
19
bahkan dapat menyinggung masalah-masalah yang kaitannya agak
rengang dan degresi.
Novel adalah karangan prosa yang panjang mengandung
rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang-orang di
sekelilingnya dengan menonjolkan watak dan sikap pelaku
(Dekdikbud, 1988: 618). Novel merupakan jenis sastra yang
sedikit banyak memberikan gambaran tentang masalah
kemasyarakatan, terkadang tidak bisa dipisahkan dengan gejolak
atau keadaan masyarakat yang melibatkan penulis dan kadang-
kadang juga pembacanya (Damono, 1979: 3).
Sedangkan Faruk (1991: 18) mendefinisikan novel sebagai
cerita mengenai pancaran yang degradasi akan nilai-nilai otentik
dalam dunia yang juga terdegradasi. Pencarian dilakukan oleh
seorang hero yang protolematik.
Novel sebagai sebuah karya sastra menawarkan sebuah
dunia, dunia yang berisi model. Kehidupan yang ideal, dunia
imajinatif yang dibangun melalui berbagai unsur intrinsik seperti
plot/alur, penokohan, latar dan sudut padang yang tentunya juga
bersifat imajinatif. Kesemua itu walau bersifat noneksistensial
(dengan sengaja dikreasikan oleh pengarang) namun dibuat mirip,
diimitasikan dan dianalogikan dengan dunia nyata lengkap dengan
peristiwa-peristiwa sehingga tampak sungguh-sungguh ada dan
terjadi (Nurgiyantoro, 1995 : 4).
20
3. Jenis dan Unsur Novel
Menurut Jakop Sumardjo (1994 : 30) jenis novel ada dua
yaitu; novel pop (popular) dan novel serius.
a. Novel Pop (Populer)
Novel pop ini merupakan novel yang hanya mengambil tema-
tema yang sedang trend atau sedang popular walaupun itu
bersifat fiktif, dengan bahasa yang popular pada novel itu
dibuat dan mengesampingkan isi pesan yang dibuat dalam
novel tersebut. Mereka hanya memikirkan bagaimana novel
tersebut laku keras atau banyak disukai oleh para pembaca,
karena novel ini dibuat hanya untuk nilai konsumtif dan
bersifat komersial.
b. Novel Serius
Dalam novel serius ini justru sebaliknya dari novel populer.
Novel ini mengangkat tema-tema universal yang sedang
dihadapi oleh masyarakat dengan harapan mampu merubah
atau memberikan konstribusi pada masyarakat/pembaca agar
mau mengikuti apa yang diinginkan oleh penulis. Novel ini
lebih mengutamakan isi pesan dari pada sekedar hayalan-
hayalan fiktif yang banyak disukai masyarakat/pembaca saat
ini.
Dalam dunia kesastraan sering ada usaha untuk
membedakan antara novel serius dengan novel populer. Namun
bagaimanapun adanya perbedaan itu tetap saja kabur. Ciri-ciri
21
yang ditemukan dalam novel serius (yang biasanya
dipertentangkan dengan novel populer) sering juga ditemukan
dalam novel populer, atau sebaliknya (Nurgiyantoro, 1995 : 17).
Meskipun perbedaan antara novel serius dan novel populer
kabur namun tetap terdapat perbedaan sebagai garis pemisah
kedua jenis novel tersebut.
Adapun ciri-ciri novel populer antara lain:
1) Tema yang dikisahkan tentang kisah asmara belaka tanpa
masalah lain yang lebih serius.
2) Menekankan pada plot cerita sehingga mengabaikan
karakteristik, problem kehidupan dan unsur-unsur novel
lainnya.
3) Cerita disampaikan dengan gaya emosional. Cerita disusun
hanya mengungkapkan permasalahan kehidupan dangkal tanpa
pendalaman.
4) Masalah yang dibahas kadang artifisal, tidak nyata dalam
kehidupan ini.
5) Pengarang rata-rata tunduk pada hukum konvensional karena
cerita ditulis untuk konsumsi massa.
6) Bahasa yang dipakai bahasa aktual yang hidup dikalangan
muda-mudi kontemporer. Di Indonesia pengaruh gaya
berbicara serta bahasa sehari-hari kota Jakarta amat
berpengaruh dalam novel jenis ini. (Nurgiyantoro, 1995 : 18)
Sedangkan ciri novel serius adalah:
22
1) Cerita novel serius membuka diri tentang masalah yang
penting untuk menyempurnakan hidup manusia.
2) Jalan cerita penting tapi bukan daya tarik utama. Cerita ini
diimbangi bobot yang lain seperti karakteristik, setting cerita
dan tema.
3) Novel jenis ini tidak berhenti permukaan saja tetapi selalu
memahami secara mendalam dan mendasar suatu masalah. Hal
ini dengan sendirinya berhubungan dengan kematangan
pribadi sastrawan sebagai seorang intelektual.
4) Cerita selalu bergerak, selalu segar dan baru, tidak berhenti
pada konvensionalisme dan penuh motivasi.
5) Kejadian yang diceritakan bisa dialami/sudah terjadi dan akan
terus dialami oleh manusia mana saja dan kapan saja. Cerita
novel ini membicarakan hal yang universal dan nyata.
6) Bahasa yang digunakan standar bukan mode sesaat.
(Nurgiyantoro, 1995 : 19)
Dari berbagai ciri-ciri diatas dapat dikatakan bahwa Novel
populer pada umumnya bersifat sementara, cepat ketinggalan
jaman dan tidak memaksa pembacanya untuk membacanya sekali
lagi. Novel jenis ini juga lebih mudah dibaca dan dinikmati karena
semata-mata menyampaikan cerita. Tema yang sering diangkat
oleh novel populer adalah tema percintaan.(Nurgiantoro, 1995 :
18-19)
23
Dalam membaca novel serius, pembaca dituntut untuk
lebih berkonsentrasi karena teks kesastraan jenis ini sering kali
mengemukakan sesuatu secara implisit. Tema yang diangkat novel
serius biasanya tetap bertahan sepanjang masa karena mengenai
hakekat kehidupan.
Adapun unsur-unsur pembentuk novel adalah:
a. Tema
Tema adalah gagasan, ide, atau pilihan utama yang
mendasari suatu karya sastra (Sudjiman, 1988: 50). Sedangkan
(Suharianto, 1982: 28) menyebut tema sebagai dasar cerita,
yakni pokok permasalahan yang mendominiasi suatu karya
sastra.
Dari kedua pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa
tema merupakan gagasan ide, atau pilihan utama yang menjadi
pokok permasalahan yang mendominasi suatu karya sastra
novel.
Tema cerita dapat dinyatakan dengan jelas artinya
dinyatakan secara eksplisit atau disebut juga tema tersurat.
Tema semacam ini dapat terlihat dari judul karya, atau
dinyatakan secara simbolik. Tema tersurat relatif mudah
ditemukan. Tema suatu cerita novel juga dapat dinyatakan
secara implisit atau tersirat, artinya tema tidak dinyatakan
secara tegas tetapi terasa dalam jalinan cerita suatu karya
sastra novel.
24
Tema dalam karya sastra novel dapat dibedakan atas
tema mayor atau tema pokok dan tema minor atau tema
bawahan (Suharianto, 1982: 28). Tema mayor atau tema pokok
disebut juga tema sentral, merupakan permasalahan yang
paling dominan menjiwai suatu karya sastra novel. Sedangkan
tema minor atau tema bawahan disebut juga tema sampingan
merupakan percabangan dari tema mayor.
Tema yang menjadi permasalahan dalam karya sastra
novel sangat beragam, namun kenyataannya sering terlihat
bahwa ada pengarang yang selalu menggarap tema yang sama
dalam setiap karya novelnya. Hal ini menunjukkan bahwa
tema suatu karya novel dipengaruhi oleh pilihan atau selera
pribadi pengarang, di mana pengarang akan selalu menulis
cerita-cerita yang diakrabinya dan menghindari hal-hal yang
tidak disukainya.
b. Alur
Alur atau plot adalah cara pengarang menjalin kejadian-
kejadian secara beruntun dengan memperhatikan hukum sebab
akibat sehingga merupakan kesatuan yang padu, bulat dan
utuh (Suharianto, 1982: 28). Dalam sebuah cerita rekaan
berbagai peristiwa disajikan dalam urutan tertentu. Peristiwa
yang diurutkan itu membangun tulang punggung cerita yaitu
alur (Sudjiman, 1988: 29).
25
c. Tokoh dan Penokohan
Tokoh adalah individu rekaan yang mengalami peristiwa
atau perlakuan dalam berbagai peristiwa dalam cerita. Tokoh
pada umumnya berwujud manusia, tetapi dapat juga berupa
binatang atau benda (Sudjiman, 1988: 16).
Menurut (Sudjiman, 1988: 17) membagi tokoh cerita
berdasarkan fungsinya menjadi tokoh sentral dan tokoh
bawahan. Tokoh sentral atau tokoh utama merupakan tokoh
yang memegang peran sebagai pimpinan. Kriterium yang
digunakan untuk menentukan suatu tokoh termasuk tokoh
utama tidak semata-mata frekuensi kemunculan tokoh
tersebut, melainkan intensitas keterlibatan tokoh dalam
peristiwa-peristiwa yang membangun cerita. Tokoh utama
yang mewakili sifat-sifat terpuji biasa disebut tokoh
protagonist. Tokoh utama penentang utama dari protagonis
adalah antagonis/atau tokoh lawan. Di samping protagonis dan
antogonis, termasuk tokoh sentral adalah wirawan atau
wirawati, yaitu tokoh yang mempunyai keagungan pikiran dan
keluhuran budi yang tercermin di dalam maksud dan
tindakannya (Sudjiman, 1988: 19). Sedangkan yang dimaksud
dengan tokoh bawahan adalah tokoh yang tidak sentral
kedudukannya di dalam cerita, tetapi kehadirannya sangat
diperlukan untuk menunjang atau mendukung tokoh utama
(Sudjiman, 1988: 20). Tokoh bawahan yang protagonis disebut
26
tokoh andalan. Tokoh-tokoh bawahan tidak memegang
peranan di dalam cerita disebut tokoh tambahan.
Penyajian watak dan penciptaan citra tokoh disebut
penokohan (Sudjiman, 1988: 23). Menurut Suharianto, (1982:
31) penokohan atau perwatakan ialah pelukisan mengenai
tokoh cerita, baik keadaan lahirnya maupun batinnya yang
dapat berupa pandangan hidupnya, sikapnya, keyakinannya,
adat-istiadatnya, dan sebagainya.
Penokohan perlu dilakukan, karena tokoh-tokoh yang
ada dalam cerita merupakan rekaan pengarang sehingga yang
mengenal mereka hanya sang pengarang saja. Agar tokoh
dikenal oleh pembaca, maka perlu digambarkan ciri dan sikap,
baik lahir maupun batinnya. Ada dua cara untuk
menggambarkan tokoh cerita, yaitu cara langsung dan cara tak
langsung. Penokohan secara langsung dilakukan oleh
pengarang dengan cara memaparkan saja watak tokohnya baik
secara fisik atau ciri lahiriyah maupun batin atau watak tokoh,
dan dapat pula menambahkan komentar tentang watak
tersebut. Sedangkan cara tak langsung watak tokoh dapat
disimpulkan pembaca dari pikiran, cakapan, dan lakuan tokoh
yang disajikan pengarang, dapat pula dari penampilan fisiknya
serta gambaran lingkungan atau tempat tokoh. Cakapan dan
lakuan serta pikiran tokoh yang dipaparkan pengarang dapat
27
menyiratkan sifat watak tokoh tersebut (Sudjiman, 1988: 23-
27).
d. Latar atau seting
Segala keterangan, petunjuk, pengacuan yang berkaitan
dengan waktu, ruang dan suasana terjadinya peristiwa dalam
suatu karya sastra membangun latar cerita (Sudjiman, 1988:
44). Suatu cerita tak lain merupakan lukisan peristiwa atau
kejadian yang menimpa atau dilakukan oleh satu atau beberapa
orang tokoh pada suatu waktu di suatu tempat.
Dalam suatu sastra novel, latar memberikan informasi
situasi (ruang dan tempat) sebagaimana adanya. Di samping
itu, latar juga berfungsi sebagai proteksi keadaan batin para
tokoh, latar menjadi metafor dari keadaan emosional dan
spiritual tokoh.
Hudson (melalui Sudjiman, 1988: 44) membagi latar
menjadi latar sosial dan latar fisik/material. Latar sosial
menggambarkan keadaan masyarakat, kelompok sosial dan
sikapnya, adat kebiasaan, cara hidup, dan bahasa yang melatari
suatu peristiwa. Sedangkan latar fisik adalah tempat dalam
wujud fisiknya seperti bangunan, daerah, dan waktu yang
melatari suatu peristiwa. Secara sederhana latar dapat
dikatakan segala keterangan, petunjuk, pengacuan, yang
berkaitan dengan waktu, ruang, suasana terjadinya peristiwa
dalam suatu karya sastra. Di samping itu, aspek ruang dalam
28
menggambarkan tempat/lokasi terjadinya peristiwa dalam
cerita adalah sangat penting. Aspek waktu adalah seluruh
rentangan waktu atau jangkauan yang digambarkan dalam
cerita. Adapun aspek suasana adalah aspek yang melukiskan
suasana sekeliling saat terjadinya peristiwa yang menjadi
pengiring atau latar belakang kejadian yang penting
menentukan latar cerita.
Tokoh dan latar merupakan dua unsur yang erat
hubungan dan tunjang menunjang. Untuk membuat tokoh-
tokoh yang meyakinkan, pengarang harus melengkapi diri
dengan pengetahuan yang luas tentang sifat manusia, serta
kebiasaan bertindak dan berujar dalam lingkungan masyarakat
yang dijadikan latar cerita.
Latar dalam fiksi bukan hanya sekedar background yang
menunjukkan tempat dan kapan terjadinya. Sebuah cerpen dan
novel memang harus terjadi di suatu tempat dan dalam suatu
waktu, harus ada tempat dan ruang kejadian (Sumarjo, 1988:
95).
Dengan kata lain, latar tidak hanya terbatas pada waktu
dan tempat terjadinya peristiwa, tetapi terdapat beberapa unsur
lain yang termasuk di dalamnya antara lain suasana, alam atau
lingkungan, dan periode.
29
2.1.2 Kajian Tentang Dakwah
1. Pengertian Dakwah
Dakwah pada hakekatnya adalah mengajak kepada diri
sendiri maupun kepada orang lain untuk berbuat baik sesuai
dengan ketentuan-ketentuan yang diajarkan Allah melalui Al-
Qur'an dan Nabi SAW melalui haditsnya, sedangkan arti ajakan
tersebut berasal dari kata da’a, yad’u da’watan (da’wah). Jadi
dakwah dalam pengertian ini bisa dikatakan amar ma’ruf nahi
munkar (Abda, 1994: 29). Hal ini dapat kita lihat pada surat An-
Nahl 125 :
يي هبالت ملهادجو ةنسالح ظةعوالمو ةكمبالح كببيل رإلى س عاد يندتهبالم لمأع وهو هبيلس نل عض نبم لمأع وه كبإن ر نسأح
)125: النحل (
"Serulah (manusia) kepada jalan tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah dengan cara yang baik. Sesungguhnya tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk" (Q.S An-Nahl 125)
Berdasarkan ayat di atas dapat diketahui bahwa dakwah
semata-mata merupakan ajakan, dorongan, atau memanggil,
sebagaimana Dzikron Abdullah (1987:7) menyatakan bahwa
dakwah menurut bahasa adalah sebagai bentuk masdar dari kata
kerja da’a-yad’u. Sedangkan dakwah menurut istilah secara garis
besar ada dua pengertian yang selama ini terdapat dalam
pemikiran dakwah, pertama bahwa dakwah diberi pengertian
30
tabligh atau penyebaran atau penerangan agama, kedua dakwah
sebagai semua usaha untuk menyebarluaskan Islam dan merealisir
ajarannya di tengah masyarakat dan kehidupannya, agar mereka
memeluk Islam dan mengamalkannya (1987:7).
Dari beberapa pengertian dakwah di atas, dapat penulis
simpulkan bahwa pengertian dakwah adalah suatu proses kegiatan
mengajak umat manusia untuk memeluk dan mentaati ajaran Islam
tanpa adanya unsur paksaan dari pihak manapun, untuk merubah
cara berpikir, bertindak dan bersikap sesuai dengan hukum Islam
untuk mencapai kebahagiaan dan kemaslahatan hidup di dunia dan
di akhirat yang diridhai Allah SWT.
2. Materi Dakwah
Materi dakwah adalah pesan yang disampaikan oleh da’i
kepada mad’u yang mengandung kebenaran dan kebaikan bagi
manusia yang bersumber dari Al-Qur'an dan Hadits. Dengan
demikian materi dakwah merupakan inti dari dakwah itu sendiri.
Agar dakwah bisa dijalankan maka seorang da’i dalam
melaksanakan dakwahnya harus terlebih dahulu mempersiapkan
materi dakwahnya. Oleh karena itu materi dakwah mempunyai
peranan yang sangat penting dalam sukses tidaknya atau bias
diterima atau tidaknya dakwah yang dilakukan oleh seorang da’i
Sebenarnya materi dakwah dalam Islam itu sangat erat
kaitannya dengan tujuan yang hendak dicapai oleh seorang da’i.
jadi tema atau materi dakwah itu bergantung pada apa yang
31
diinginkan oleh oleh da’i, tetapi materi dakwah yang disampaikan
itu tentunya disesuaikan dengan apa yang sedang diharapkan oleh
mad’u (obyek dakwahnya) agar materi yang disampaikan oleh da’i
dapat diterima oleh mad’u.
Menurut Ali Aziz (2004 : 94-95) dakwah secara global
dapat diklasifikasikan menjadi tiga pokok, yaitu :
1. Aqidah (keimanan)
Aqidah merupakan landasan pokok dalam Islam bersifat
I’tiqad bathiniyah yang mencakup masalah-masalah yang erat
hubungannya dengan rukun iman yang terdiri dari; iman
kepada Allah, iman kepada Malaikat-Nya, Iman kepada Kitab-
Kitab-Nya, iman kepada Rasul-Rasul-Nya, iman kepada Hari
Akhir dan iman kepada Qadha dan Qadhar. Bila manusia telah
mempunyai keimanan terhadap rukun iman tersebut maka
akan mempermudah seorang da’i dalam menjalankan misi
dakwahnya dan pada tahap selanjutnya akan dapat
merealisasikannya sehingga akan membentuk manusia yang
beriman, bertaqwa dan berakhlakul karimah.
2. Syari’ah (keislaman)
Syari’ah pada dasarnya merupakan aturan yang
diciptakan oleh Allah yang dipakai oleh Islam dalam
mengamalkan ajaran-ajarannya, baik yang berhubungan
dengan Tuhan maupun dengan sesama manusia. Bila manusia
mampu menjalankan ajaran Islam (syari’ah) maka akan
32
mendapatkan kebahagiaan ketenangan, ketentraman,
kebahagiaan lahir dan batin di dunia dan akhirat.
Adapun pembagian materi dalam syari’ah pada dasarnya
ada dua macam, yaitu :
a) Ibadah merupakan serangkaian ajaran yang menyangkut
aktifitas muslim dan semua aspek kehidupan yang
meliputi; thaharah, shalat, zakat, shaum dan haji.
b) Muamalah, mengkaji masalah yang lebih menitikberatkan
pada aspek kehidupan sosial yang meliputi; hukum perdata
(hukum niaga, hukum nikah, hukum waris, dan lain
sebagainya). Serta hukum publik yang meliputi; hukum
pidana, hukum negara, hukum perang dan damai, dan lain
sebagainya. (Aziz, 2004; 94-95)
3. Akhlak (budi pekerti)
Akhlak sebenarnya merupakan pelengkap bagi manusia
untuk mencapai keimanan dan keislaman yang sempurna,
yaitu bagaimana tata cara manusia dalam berhubungan dengan
sang khaliq, dengan sesama manusia, maupun dengan isi alam
semesta yang lain (Syukir, 1983 ; 60-62).
Dengan demikian kedudukan akhlak ini sangat penting
karena dibutuhkan oleh manusia agar manusia mampu
menempatkan diri bagaimana berhubungan dengan Tuhan,
sesama manusia maupun makhluk lain yang ada di dunia ini.
33
Dari klasifikasi materi dakwah di atas dapat digambarkan
dalam bagan berikut ini :
1. Kepada Allah 2. Kepada Malaikat 3. Kepada Kitab-kitab-Nya 4. Kepada Rasul-rasul 5. Kepada Hari Akhir 6. Kepada Qadla dan Qadar
Rukun Iman Aqidah
1. Thaharah 2. Salat 3. Zakat 4. Puasa 5. Haji
Rukun Islam Ibadah
Muamalah
Syari'ah Islam
1. Hukum 2. Pendidikan 3. Politik 4. Ekonomi 5. Keluarga 6. Sosial 7. Budaya 8. Filsafat, dsb
Tasawuf Tarikat Terhadap Khalik
Akhlak Ihsan
Terhadap Makhluk
Hidup
Mati
Manusia
Bukan Manusia
1. Diri Sendiri 2. Keluarga 3. Tetangga 4. Masyarakat
1. Nabati 2. Hewani 3. Bumi, Air, dll
Gambar : materi Dakwah dikutip dari Muhammad Daud Ali
34
3. Media Dakwah
Yang dimaksud dengan media dakwah adalah alat obyektif
yang menjadi saluran, yang menghubungkan ide dengan umat,
suatu elemen yang vital dan merupakan urat nadi dalam totaliteit
dakwah.
Dalam arti sempit media dakwah dapat diartikan sebagai alat
bantu dakwah, atau yang popular di dalam proses belajar mengajar
disebut dengan istilah alat peraga. Alat bantu berarti media
dakwah memiliki peranan atau kedudukan sebagai penunjang
tercapainya tujuan. Artinya proses dakwah tanpa adanya media
masih dapat mencapai tujuan yang semaksimal mungkin. (Syukir,
1983 : 164).
Aminuddin Sanwar (1986 ; 77-78) mengklasifikasikan
media dakwah dalam berbagai bentuk, yaitu
a. Dakwah melalui saluran lisan ialah dakwah secara langsung
dimana da’i menyampaikan ajakan dakwahnya kepada mad’u.
b. Dakwah melalui saluran tertulis ialah kegiatan dakwah yang
dilakukan melalui tulisan-tulisan.
c. Dakwah melalui alat visual ialah kegiatan dakwah yang
dilakukan dengan melalui alat-alat yang dapat dilihat dan
dinikmati oleh mata manusia.
d. Dakwah melalui alat audio ialah alat yang dapat dinikmati
melalui pendengaran.
35
e. Dakwah melalui alat audio visual yaitu alat yang dipakai untuk
menyampaikan pesan dakwah yang dapat dinikmati dengan
melihat dan mendengar.
f. Dakwah melalui keteladanan ialah bentuk penyampaian pesan
dakwah melalui bentuk percontohan atau keteladanan dari
da’i.
Amin Rais mengatakan semua bidang kehidupan dapat
dijadikan arena dakwah, dan seluruh kegiatan hidup manusia bisa
digunakan sebagai sarana atau media dakwah, kegiatan politik,
sebagaimana kegiatan ekonomi, usaha-usaha sosial, gerakan-
gerakan budaya, kegiatan ilmu dan teknologi, kreasi seni,
kodifikasi hukum, dan lain sebagainya, bagi orang muslim
seharusnya memang menjadi alat dakwah (Rais, 1987: 27).
Apabila dihubungkan dengan komunikasi dakwah berarti
suatu alat (channel) yang dijadikan penghubung, perantara untuk
menyampaikan pesan dakwah (message) kepada mad’u (receiver)
sebagai obyek dakwah. (Yakub, 1986: 47).
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa
media dakwah merupakan sarana yang dapat membantu suatu
proses dakwah untuk mencapai sasarannya secara efektif dan
efisien, dan peranannya sangat penting sebab akan membantu
tercapainya tujuan dalam dakwah.
36
2.1.3 Novel Sebagai Media Dakwah
Novel sebagai sebuah karya sastra menawarkan sebuah dunia,
dunia yang berisi model. Kehidupan yang ideal, dunia imajinatif yang
dibangun melalui berbagai unsur intrinsik seperti plot/alur,
penokohan, latar dan sudut padang yang tentunya juga bersifat
imajinatif. Kesemua itu walau bersifat noneksistensial (dengan sengaja
dikreasikan oleh pengarang) namun dibuat mirip, diimitasikan dan
dianalogikan dengan dunia nyata lengkap dengan peristiwa-peristiwa
sehingga tampak sungguh-sungguh ada dan terjadi (Nurgiyantoro,
1995 : 4).
Menurut H.T (2001 : 36) setidaknya ada 2 kecenderungan besar
dalam novel-novel Indonesia akhir-akhir ini. Yang pertama,
kecenderungan munculnya novel yang terintegrasi; adalah novel yang
menyajikan struktur yang mendukung sistem sosial-ekonomi yang
ada. Kecenderungan kedua (2) yaitu munculnya novel yang tidak
terintegrasi; yaitu adalah novel yang tidak mendukung hal itu.
Novel yang terintegrasi dapat dibedakan menjadi dua macam,
yakni (a) novel yang menggunakan tradisi sebagai alat untuk
penyesuaian dengan sistem yang ada itu, dan (b) novel yang
menggunakan agama Islam untuk tujuan tersebut. Novel yang tak
terintegrasipun dapat dibedakan menjadi dua macam, yakni (a) novel
yang memberikan alternatif baru, dan (b) novel yang hanya melakukan
semacam teror, tanpa memberi alternatif. (Sastrowardoyo, 1988 : 136-
137)
37
Dalam kecenderungan novel yang menggunakan agama Islam
sebagai penyesuaian sistem yang ada, seringkali agama Islam berperan
sebagai solusi atas masalah-masalah yang ditampilkan dalam cerita
novel tersebut.
Novel suatu karya sastra ditulis orang bukan semata-mata
merupakan karya yang dihayal-hayal belaka, tetapi di dalamnya
pertaruhan nilai-nilai juga analisis terhadap suatu masalah. (Sarjono,
2001; 45)
Dengan demikian maka jelas hal-hal yang bersifat intelektual
bisa juga ditemukan dalam karya sastra (novel). Bahkan banyak karya
sastra (novel) yang bersifat religius sebagaimana diungkapkan oleh
Danarto bahwa tak sedikit karya sastra yang berangkat dari hadits Nabi
dan ayat-ayat al-Qur’an. Jadi nilai spiritualitas di dalam karya sastra
khususnya novel itu selalu bermuara pada agama atau nilai-nilai
tradisi.
Dalam kehidupan manusia, sebagai hasil karya seni novel bisa
menjadi tempat kehadiran ilahi. Novel juga bisa membantu masyarakat
memahami realitas sosial. Di sinilah novel akan menjadi sangat
penting keberadaannya sebagai media penyampai pesan. Dalam
pembacaan novel di Indonesia ada dua jenis yaitu; pertama, pembaca
pemburu informasi, adalah mereka yang membaca artikel di surat
kabar dan majalah, membaca buku serta menonton televise atau
mendengarkan radio pada saat warta disiarkan. Kedua, pembaca yang
haus hiburan. Mereka ini bukan pembaca, mereka lebih suka menonton
38
televisi, mendengarkan lagu dan sandiwara di radio. Pada dasarnya
mereka masih berbudaya lisan. Kalaupun pembaca yang mereka baca
adalah novel, pop, komik dan majalah hiburan yang fungsinya hanya
untuk mengisi waktu luang.
Dari keseluruhan uraian di atas dalam kondisi tertentu novel
dapat digunakan sebagai media dakwah. Media yang
mempertontonkan segala bentuk keindahan, kreativitas kata-kata
sebagai karya intelektual dan sebagai penyampai pesan-pesan dakwah
serta dapat dijadikan sebagai media dakwah sebab pada hakekatnya
dakwah adalah sebuah proses komunikasi.
2.2 Sastra Diseputar Munculnya Teks
Berbicara tentang sastra, secara tidak langsung membahas manusia
dan masyarakatnya. Didalamnya kita akan melihat sisi kehidupan manusia
perorangan, manusia dalam kelompok atau manusia dalam lingkup yang
lebih luas, bahkan karya sastra juga membicarakan masyarakat itu sendiri.
Menurut Jabrohim (2003 : 148) dalam menghadapi karya sastra pada
hakekatnya masuk dalam satu suasana berdialog. Dengan kata lain, dalam
komunikasi sastra, kedua pihak yaitu teks (karya sastra) dan pembaca
(masyarakat) saling berinteraksi.
Sebagaimana Ahmad Tohari, dalam menggali permasalahan, memilih
tokoh, peristiwa, dan latar ceritanya, yang tampak menonjol dalam hampir
seluruh karya sastranya adalah permasalahan kehidupan yang dialami tokoh-
tokoh yang tergolong "wong cilik" atau orang kecil, baik di desa maupun di
kota.
39
Sastra dapat dipandang sebagai gejala sosial yang ditulis pada suatu
kurun waktu tertentu yang berkaitan dengan norma-norma dan adat istiadat
jaman itu. Pengarang mengubah karyanya selaku warga masyarakat dan
menyapa pembaca yang sama-sama dengan dia sebagai warga masyarakat
tersebut (Sarjono, 2001 : 23). Sebagai contoh dalam novel Kubah, Ahmad
Tohari yang diilhami kasus tragedy Nasional 30 September 1965, ia
mengungkapkan sebuah fenomena sosial yang khas dalam konteks politik di
Indonesia yang digambarkan melalui tokoh Karman yang tidak berdaya
melawan arus kehidupan politik di sekitarnya sehingga terpaksa menjadi
korban sistem politik.
Karya sastra hadir untuk memperluas, memperdalam, dan
mempertajam kewaspadaan kita terhadap wacana kehidupan, yang tidak lain
merupakan manifestasi, potret manusia yang tumbuh dan berkembang dari
satu zaman ke zaman yang lain. Sastra juga memberi keleluasaan ruang
untuk memahami manusia dan dunia dengan baik dan lebih arif, karena dia
bisa merefleksikan diri sebagai dokumen kemanusiaan yang berdampingan
dengan sejarah kebenaran (Jabrohim, 2003 : 148). Konsep tersebut novel
Kubah dapat digambarkan dengan pemahaman dan pemaafan masyarakat
desa Pegaten terhadap pribadi (Karman) yang telah menyadari kesalahan
atau ketersesatannya untuk mendapatkan kembali harkat kemanusiaannya.