forestdigest.com d gest dari prambanan teh telang ... filederita satwa bencana kita teh telang dari...

76
DERITA SATWA BENCANA KITA teh telang dari prambanan identifikasi kayu dengan aplikasi konservasi di balik kopi F rest D gest 09 oktober-desember 2018 forestdigest.com

Upload: domien

Post on 01-Apr-2019

258 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

DERITA SATWA BENCANA KITA

teh telang dari prambanan

identifikasi kayu dengan aplikasi

konservasi di balik kopi

F rest D gest

09oktober-desember 2018

forestdigest.com

F rest D gest2 o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 8

PT. ARINDHITA MEGA KENCANA Mining, Forestry, Manage Earth Resources, Application Web GIS, Survey

PT. ARINDHITA MEGA KENCANA adalah Perusahaan Nasional yang bergerak dalam bidang Jasa Konsultansi, siap memberikan sumbangsihnya untuk mengisi dan melaksanakan pekerjaan-pekerjaan yang berkaitan dengan Jasa Konsultan dalam rangka mencapai sasaran pembangunan bangsa Indonesia. Dengan dukungan tenaga ahli yang sudah berpengalaman dibidangnya serta dengan didasari etos kerja profesional, maka kami berkeyakinan Insya Allah proyek-proyek yang ditangani oleh PT. ARINDHITA MEGA KENCANA akan dapat diselesaikan dengan baik.

Dibawah kepemimpinan ASEP SUTISNA,S.Kom, H. SUKARSIMAN (H. MAMAN) dan IR. APEP YUSUP, PT. ARINDHITA MEGA KENCANA memberikan jasa pelayanan sebagai berikut : 1. Pertambangan : Pembuatan Citra Satelit dan penafsirannya, Pembuatan Rencana

Kerja Tambang, Pembuatan Tata Batas, Pembuatan Studi Kelayakan, Pembuatan Analisa Dampak Lingkungan, Ekonomi dan Konversi Energi, Minyak dan Gas; Batubara, Lignite dan Anthracite, Komoditi dan Eksplorasi Mineral, Teknologi Mineral, Ekonomi, Pemasaran dan Eksplorasi Mineral, Sub-bidang Pertambangan dan Energi Lainnya.

2. Kehutanan dan Lingkungan Hidup : Proposal Pembangunan dan Perpanjangan

IUPHHK (Alam/Tanaman), Perencanaan Hutan (IHMB, RKUPHHK, ITSP, Tata Batas, Citra Landsat), Studi Kelayakan, AMDAL/UKL/UPL, Rehabilitasi DAS, Tata Batas Areal Kerja, Restorasi Ekosistem, Penyusunan Rencana Kerja Jasa Lingkungan dan Ekotourisme, SIA, HCVF.

3. Penilaian : Penilaian Hutan Tanaman Industri, Penilaian Asset IUPHHK pada Hutan

Alam, Pendampingan Pencapaian Kinerja PHAPL UPHHK Hutan Alam, Penilaian Tanaman, Penilaian Bibit, Penilaian Lingkungan, Penilaian Perkebunan

4. Pemetaan dan Interpretasi : Jasa Survey dan Penataan Batas, Jasa Pembuatan Peta,

Jasa Geologi Geofisik & Proyek Lainnya, Digitasi Pemetaan, Jasa Pemotretan Foto Udara, Field Check, Pengadaan data CRST, Analisa data CRST, Pengambilan data Drone

Gedung Manggala Wanabhakti Blok IV Lt. 2 No. 208 A, Jalan Jenderal Gatot Subroto Jakarta

Ruko Nirwana Golden Park Blok C No. 3, Jl. Baru GOR Tegar Beriman, Cibinong – Bogor Telp./Fax. (021) 87925081, e-mail : [email protected]

F rest D gest4 o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 8

daftaR isi

L A P OR A N U TA M A — Hlm. 18

Ironi Rumah Orang TuaHUTAN Indonesia seperti rumah. Satwa yang menghuninya ibarat orang tua. Kini

rumah itu menuju kekosongan karena penghuninya tak lagi hidup di dalamnya. Mereka punah atau terdesak oleh kebutuhan dan nafsu mamalia lain yang bisa berpikir untuk berkembang biak: manusia. Perlu perubahan paradigma menyelamatkan agar rumah orang tua itu tak jadi suwung.

SU R AT ......................................................5A L BUM .....................................................6S A L A M K ET UA ...................................7KA BA R R I M BAWA N ........................8PIG U R A .................................................12R AG A M ..................................................14K I L AS ......................................................16BU K U ......................................................52F OTO G R A F I .......................................58BI N TA NG ..............................................72OASE ........................................................74

T E K NOL O G I .......................................54

Identifikasi Kayu Melalui Aplikasi

Mengenali kayu kini bisa melalui aplikasi. Pusat penelitian Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengembangkan terobosan baru dalam identifikasi kayu secara digital.

PROF I L ..................................................60

Teh Telang dari Prambanan

Suami-istri ini mengembangkan bunga telang menjadi bahan makanan yang berekonomi tinggi dan bernilai ekspor. Menjadi sehat ada di sekeliling kita.

R E P ORTASE ........................................64

Kopi dan Konservasi adalah Sejoli

Di Kampung Cibulao, Puncak, masyarakat menanam kopi untuk merevitalisasi mata air Ciliwung. Ekonomi dan ekologi bisa serasi.

72

F rest D gest 5o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 8

surat

Koreksi Artikel Para Sarjana yang Dipercepat

Pada artikel berjudul Para Sarjana yang Dipercepat dalam edisi khusus Forest Digest 08, ada beberapa informasi yang perlu dikoreksi. Saya khawatir jika tak diluruskan akan menjadi acuan para alumni dan mahasiswa Fakultas Kehutanan IPB. Beberapa informasi tersebut antara lain:

IPB belum pernah menerapkan IPK di bawah 2 (pada skala 1-4) langsung drop-out. Yang benar pada perkuliahan sistem paket, IPK < 2 tidak naik tingkat, alias yang dikenal

oleh mahasiswa saat itu adalah RCD atau residivis, yaitu mahasiswa yang bersangkutan masih boleh mengulang di tingkat tersebut. Dalam sistem baru, Sistem Kredit Semester (SKS), Peraturan DO diterapkan, jika IPK < 1,5, dan saat ini DO jika IPK < 1,7.

Tidak ada peraturan bahwa Draft Skripsi Program lama harus dibuat rangkap 9. Memang, Program Studi lama ada 3 Skripsi, yaitu: Sripsi Mayor, Skripsi Minor dan Skripsi Elektif. Draft skripsi dibuat tergantung banyaknya dosen pembimbing. Pada program lama, memang dosen pembimbing ditentukan sebanyak dua orang, Pembimbing Utama dan Co-Pembimbing. Pada kasus tertentu bisa ada tiga dosen pembimbing. Program Studi yang lama, ada tiga ijazah, yaitu: Ijazah Tingkat Persiapan, Ijazah Sarjana Muda dan Ijazah Sarjana. Dengan Ijazah Sarjana Muda sudah dapat digunakan untuk melamar PNS dengan Golongan D-II (waktu itu), yang kemudian berubah menjadi Golongan II-B.

Semasa masih Universitas Indonesia, bukan hanya ada Fakultas Pertanian, tetapi juga ada Fakultas Kedokteran Hewan, jadi UI cabang Bogor ada dua Fakultas, sebelum tahun 1963 berubah menjadi IPB dengan lima Fakultas (Faperta, FKH, Faperikan, Fapet dan Fahutan). Setahun kemudian (1964) bertambah dengan Fatemeta sebagai Fakultas ke-6 di IPB.

Suwarno Sutarahardja dalam artikel tersebut, ditulis Angkatan 1963, yang benar adalah angkatan 1965 atau Angkatan 3.

Demikian yang dapat saya koreksi dari artikel tersebut.—Suwarno Sutarahardja

E-3, tinggal di Bogor

Terima kasih atas informasi tambahannya dan mohon maaf atas kekeliruan tersebut. Redaksi

Koreksi Penerima Wanabakti Award

Bapak Prof. Ir. Soedarwono Hardjosoediro bukan lulusan SMA seperti tertulis dalam Inforial Penerima Wanabakti Award pada Forest Digest 08, tetapi SKMA Bogor. Awalnya beliau sebagai lulusan SKMA menjadi Sinder Hutan, kemudian baru beberapa bulan dipanggil tugas belajar di UGM Klaten. Setelah perang usai, Bapak Soedarwono dipindahkan ke Universitas Indonesia Bogor, karena UGM belum ada jurusan kehutanannya.

—Nucky DarwonoPutri Bapak Prof. Ir. Soedarwono

Hardjosoediro

Format Penulisan Forest Digest

Saya dari Puslitbang Kehutanan Bogor. Mau tanya, saya mau kirim artikel ke Majalah Forest Digest. Di mana saya bisa dapatkan info format penulisan? Terima kasih.

—Dr. Drh. Zuraida, M.Si

Terima kasih. Informasi format penulisan dan tata caranya bisa dilihat di web ForestDigest.com, terutama di kolom “Hubungi Kami” atau “Tentang Kami”. Redaksi

F rest D gest

Penanggung JawabBambang Supriyanto

Ketua Umum Himpunan AlumniFakultas Kehutanan IPB

Pemimpin UmumGagan Gandara

Pemimpin RedaksiBagja Hidayat

Sekretariat Redaksi Drajad Kurniadi

Dewan RedaksiR. Eko Tjahjono

Librianna ArshantiRina Kristanti

Satrio Cahyo NugrohoKaka E. PrakasaFitri AndrianiMustofa Fato

M. Labib MubaarokRobi Waldi

Fairuz GhaisaniWike Andiani

Mawardah Nur HRazi Aulia Rahman

Zahra FirdausFirli DikdayatamaUbaidillah Syohih

Hubungan Usaha dan EksternalAtik Ratih Susanti

DesainerFahmi Albi

DistribusiUnit Kesekretariatan DPP HA-E IPB

AlamatSekretariat HA-E IPB,

Kampus Fakultas Kehutanan IPB,Jalan Lingkar Akademik Darmaga Bogor 16680

Kontak (Email)[email protected]

Forest Digest adalah majalah triwulanan yang diterbitkan Himpunan Alumni Fakultas

Kehutanan Institut Pertanian Bogor dan didistribusikan secara gratis. Redaksi

mengundang Anda menulis artikel dengan panjang 4.000-8.000 karakter dengan spasi dan format Microsoft Word disertai foto penunjang.

Sampul: Mata Duka karya R. Eko Tjahjono

Tema Edisi 10 (Januari-Maret 2019): Perubahan Iklim di Sekitar Kita. Kirim tulisan Anda seputar tema tersebut paling lambat pekan

kedua Februari 2019.

F rest D gest6 o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 8

album

M E N I NG G A L

Tb. Unu Rahmat Nitibaskara Dekan Fakultas Kehutanan Universitas Nusa Bangsa Bogor ini meninggal

pada 21 Oktober 2018 pada usia 67 tahun di Bogor, Jawa Barat. Unu adalah lulusan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor pada 1975. Angkatan Unu adalah Shintaro, kependekan dari Shinting tapi Romantis. Ia pernah menjadi Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Hutan Jawa Barat dan Wakil Rektor III Universitas Nusa Bangsa.

Ubaidillah SalabiKepala Sub Direktorat Inventarisasi Hutan Kementerian Lingkungan

Hidup dan Kehutanan ini menjadi salah satu korban jatuhnya pesawat Lion Air PK-LQP di perairan Karawang, Jawa Barat, pada 29 Oktober 2018. Ubaidillah hendak menghadiri sebuah acara di Pangkalpinang. Ia seharusnya

naik pesawat Garuda Indonesia sehari sebelumnya. Karena masih ada acara dengan orang tuanya, ia naik pesawat Lion paling pagi pada hari Senin itu. Menurut Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup Siti Nurbaya, sepulang dari Pangkalpinang, Ubaidillah mengikuti tes naik pangkat menjadi Eselon II. Jenazah Ubaidillah dimakamkan di Desa Karangmojo, Kecamatan Tasikmadu, Karanganyar, Jawa Tengah.

“Bumi mencukupi kebutuhan setiap manusia, tapi tak akan bisa mencukupi keserakahan kita.”

Mahatma Gandhi

“Yang diperlukan agar hidup tetap selaras hanya jika semua mahluk mengikuti hukum alam.”

Paulo Coelho

PE NG HA RG A A N

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

KLHK meraih penghargaan Top 40 Inovasi Pelayanan Publik 2018. Penilaian ini dibuat oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan diumumkan dalam Public Service Forum di Jakarta Convention Center pada 7 November 2018. Kemenpan menilai KLHK bisa mengembangkan inovasi inovasi Sistem Informasi Legalitas Kayu (SILK).

SILK terpilih dari 2.824 inovasi yang ikut dalam kompetisi. SILK menjadi satu-satunya inovasi pelayanan publik wakil dari Indonesia yang dikirim pemerintah Indonesia ke OECD dalam kompetisi ‘Observatory of Public Sector Innovation’ tingkat dunia. Top 40 Inovasi Pelayanan Publik 2018 merupakan inovasi dengan kategori outstanding (terpuji) hasil seleksi dari Top 99.

SILK adalah platform online pertama di dunia untuk penerbitan dokumen penjaminan legalitas kayu. Sampai 24 Oktober 2018, melalui platform SILK telah diterbitkan sebanyak 920.133 Dokumen V-Legal, dan Lisensi FLEGT yang menyertai ekspor produk kehutanan ke pasar dunia dengan total nilai ekspor 52 miliar dolar AS.

SILK merupakan sistem pelacakan yang disusun untuk memastikan legalitas sumber kayu yang beredar dan diperdagangkan. Dengan sistem ini, legalitas produk kayu terjamin sehingga bisa meningkatkan daya saing ekspor produk Indonesia. ‘’Kita satu-satunya negara yang sudah pakai sistem legalitas kayu dalam perdagangan kayu di Eropa, sehingga tidak perlu lagi due diligence,’’ ujar Menteri KLHK Siti Nurbaya seperti dikutip Republika.

F rest D gest 7o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 8

salam ketua

FOREST Digest memasuki edisi ke-9. Artinya majalah ini sudah melewati dua tahun. Bisa terbit sesuai jadwal melewati 48 bulan, bagi kami, adalah sebuah prestasi yang layak dibanggakan. Para pengelola majalah ini sebermula tak punya pengalaman mengurus

sebuah majalah yang dikemas secara populer.

Pengalaman selama dua tahun mengajarkan kepada kami bahwa hal paling krusial dalam menerbitkan sebuah berkala adalah tenggat. Kami baru sadar bahwa tenggat tak bisa dilawan, tapi dengan tenggat disiplin bisa ditegakkan. Kami mematuhi tenggat yang kami buat sendiri itu agar anggota redaksi terbiasa dengan kerja yang punya batas akhir ini.

Tenggat mengandung banyak makna dalam penerbitan. Ia yang membatasi edisi bulan ini, sekaligus ia yang membuka kembali edisi bulan mendatang. Siklus itu terus berputar dan kami di dalamnya dituntut mengisi halaman-halaman majalah ini dengan sajian-sajian yang, mudah-mudahan, makin bermutu.

Kami mencita-citakan majalah ini sebagai bacaan alternatif media populer tentang hutan dan lingkungan hidup sekaligus referensial. Artinya, majalah ini setengah populer-setengah-jurnal, namun bukan jurnal akademis yang rigid oleh aturan-aturan penulisan karya ilmiah. Seperti jurnal populer karena kami ingin isi majalah ini berupa penelitian-penelitian akademis yang dikemas dengan feature atau teknik-teknik penulisan yang menghibur.

Dalam dua tahun ini kami terus mengupayakan cita-cita ini dalam setiap penerbitan. Sebab, kami ingin makin meluaskan pembaca Forest Digest, tidak saja alumni Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Tema-tema yang disajikan, seperti edisi kali ini, juga mengikuti berita hangat di publik yang kami tinjau dan meluaskan isunya agar sebuah masalah punya konteks yang lengkap.

Urusan satwa liar adalah urusan kita bersama. Kita hidup bersama satwa dan fauna sebagai sesama mahluk penghuni bumi. Bahasan dari para ahli satwa, juga studi-studi mutakhir, dalam edisi ini kian menegaskan bahwa seyogyanya manusia hidup secara harmonis dengan mereka. Jumlah satwa yang merosot 60 persen dalam 40 tahun terakhir mencengangkan sekaligus mencemaskan.

Hewan-hewan endemik kita kelak tinggal nama jika kita tak melakukan sebuah upaya serius menyelamatkan mereka sejak sekarang. Kehilangan mereka sesungguhnya sama saja dengan kehilangan manusia, sebab bumi adalah sebuah ekosistem yang saling mendukung. Berkurangnya jumlah ikan dan penguin menandakan pemanasan global adalah masalah serius yang kita hadapi hari ini, yang imbasnya kita rasakan.

Untuk meluaskan pembaca tadi itu, kami juga sudah menerbitkan web agar artikel-artikel bisa dibagikan secara lebih mudah. Bagi yang menyukai format majalahnya kami tetap mencetak secara terbatas dan menyediakan tautan pdf di web ForestDigest.com.

Beberapa rubrik juga berubah menyesuaikan tujuan majalah umum. Kabar Alumni berganti menjadi Kabar Rimbawan. Kabar Kampus tak hanya merekam kegiatan mahasiswa di Fakultas Kehutanan IPB, tapi kampus-kampus di seluruh Indonesia. Berita Kilas juga akan diperbanyak agar pembaruan informasi tetap terjaga di antara artikel-artikel yang tak lekang oleh waktu.

Majalah ini tetap diedarkan secara gratis. Meskipun sejarawan Yuval Noah Harari mengatakan hal paling berbahaya di era Internet adalah informasi gratis, kami ingin tetap merayakan demokratisasinya. Setiap orang berhak mendapat informasi yang kredibel dan akuntabel, justru agar yang dicemaskan Harari tak terjadi, yakni meruyaknya hoaks dan kabar bohong di tengah tsunami informasi dewasa ini.

Akhir kata, semoga apa yang kami ikhtiarkan dan sajikan bermanfaat buat para pembaca.

Salam Rimbawan,

—Bambang Supriyanto

Menuju Majalah Umum

F rest D gest8 o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 8

1. SiNav sebagai media informasi kinerjaProgram PSKL kepada masyarakat, pemerintah dan stakeholder lainnya.

2. Sumber Database Ditjen PSKL yang terupdate dan terintegrasi oleh beberapasistem serta dapat diakses secara online.

3. SiNav dapat menjadi alat pelaporankondisi kegiatan PS di tingkat tapak yangdilakukan oleh pendamping secara online (Android base).

TUJUAN :

1. Sistem Informasi dan Navigasi (SiNav) PS telah terupdate dan dapat diimplementasikanpada tingkat tapak. Hasil upgrade SiNavdapat dilihat pada website https://new-dot-sinav-perhutanan-sosial.appspot.com/

2. Sinav dapat di-install pada smartphone Android dengan mengunduh aplikasi yang ada pada GooglePlay Store dengan kata kunci pencarian sinavps

3. SiNav PS telah terintegrasi dengan sisteminformasi Direktorat Teknis lingkup DitjenPSKL serta sistem informasi eselon I lainnyaseperti SIMPING- BP2SDM dan SINPASDOK-HPH

4. Telah terbentuk tim pengelolaan data, informasi dan publikasi SiNav yang tertuangSK Dirjen PSKL No. SK.11/PSKL/SET/KUM.1/6/2018 pada tanggal06 juni 2018.

HASIL KEGIATAN :

NO SKEMA

1 HUTAN DESA 1.095.827,18 2 HUTAN KEMASYARAKATAN 530.655,66 3 HUTAN TANAMAN RAKYAT 319.058,68 4

A. KULIN KK 176.385,01

B. IPHPS 23.186,59 5 HUTAN ADAT 27.950,34

2.173.063,46 JUMLAH

KEMITRAAN KEHUTANAN

LUAS (HA)

REALISASI PER SKEMA

Luas Capaian 2.173.063,46 ha

KepalaKeluarga 497.925 unit

Surat Keputusan 5.097 unit

MONITORING PERHUTANAN SOSIAL

F rest D gest 9o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 8

NEGARA MEMERCAYAKAN RAKYAT KELOLA HUTAN

Setelah wilayah Jawa Barat, kini PresidenJoko Widodo menyerahkan Surat Keputusan (SK) Perhutanan Sosial di Taman Wisata Alam(TWA) Punti Kayu, Kota Palembang, ProvinsiSumatera Selatan (25/11).

Penerima SK ini berasal dari 10 kabupaten(Muara Enim, Musi Rawas, Pagar Alam, Lahat, Banyuasin, OKU selatan, OKU, OKI, OKI Timur, dan Musi Banyuasin), dengan luas 56.276 Ha, yang meliputi 9.710 KK. "Hari ini telahdiserahkan kepada bapak/ibu semuanyasebanyak 56 ribu hektar (Ha).

Hati-hati loh 56 ribu itu gede (besar) sekali, banyak sekali. Dan di seluruh Indonesia, telahdiserahkan sebanyak 2,1 juta hektar kepadamasyarakat, bukan kepada yang 'gede-gede', dan target 12,7 juta hektar akan kita serahkanseterusnya," tutur Presiden Joko Widodo, yang langsung disambut meriah oleh para masyarakat penerima SK.

Di sela-sela arahannya, Presiden juga melakukan dialog dengan perwakilan penerimaSK. Salah satunya adalah Bambang Wahyudi, petani Karet dari Kabupaten OKU Timur, yang menyampaikan rasa syukurnya karena telahmendapat akses kelola lahan, setelah sekianlama dirinya hidup menumpang pada lahannegara. Menanggapi Bambang, Presidenberpesan agar para penerima SK dapatmemanfaatkan kesempatan ini dengan sebaik-baiknya. "Kita ingin lahan-lahan kita produktif, jika sudah diberikan, betul-betul ini digunakanagar produktif dan bisa mensejahterakan," pesan Presiden.

Sementara itu, kepada Zainal Abidin, salah satu petani Kopi dari Kabupaten OKI, Presidenmengimbau agar para petani jangan menjualbahan mentah, melainkan sudah dalam bentuksetengah jadi, untuk meningkatkan harga jualkomoditinya. "Pemerintah akan terusmembagikan konsesi-konsesi seperti ini kepadapara petani, agar lahan-lahan yang ada betul-betuk produktif dimanfaatkan untukkesejahteraan," ujar Presiden menutuparahannya.

Presiden RI, Joko Widodo

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Dr. SitiNurbaya dan Direktur Jenderal Perhutanan Sosialdan Kemitraan Lingkungan Dr. Ir. BambangSupriyanto, M.Sc.

“Edukasi Hutan Sosial dan hiburan untukrakyat”

F rest D gest10 o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 8

kabar rimbawan

PARADIGMA pengelolaan hutan memasuki fase baru, yakni tak lagi memakai kacamata forest first tapi people first. “Pengelolaan yang memprioritaskan pola hidup sejajar dibandingkan pola hidup berhadapan karena lebih mengedepankan kearifan dan manajemen,” kata

Dudung Darusman, Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB dalam seminar Kelestarian Hutan dan Kejayaan Nusantara: Potret Pelibatan Masyarakat dalam Pembangunan Hutan Indonesia di Biotrop Bogor pada 6 September 2018.

People first membuat pengelolaan hutan menjadi inklusif karena dengan mengedepankan pembangunan manusia, pengelolaan hutan akan terikutkan dengan sendirinya. Pola pengelolaan inklusif itu, menurut Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kementerian Lingkungan

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Bambang Supriyanto, adalah perhutanan sosial.

Bambang setuju paradigma forest firt membuat pengelolaan hutan menjadi tidak adil. Ia menunjukkan pengelolaan sumber daya hutan masih timpang karena 90 per-sen izin usaha jatuh ke tangan korporasi, sementara masyarakat baru menikmati 4 persen. “Sementara jumlah desa yang berada di sekitar atau bahkan di dalam ka-wasan hutan kurang lebih 25.800 dengan penduduk 37,2 juta orang,” kata dia.

Kepala Badan Penyuluhan dan Pengembangan KLHK Helmi Basalamah menambahkan bahwa perhutanan sosial dan reforma agraria adalah kebijakan pemerintah dalam memberi akses kepada masyarakat dalam mengelola lahan, modal, teknologi, dan pasar. “Perhutanan sosial merupakan strategi pengentasan kemiskinan dan resolusi konflik,” katanya.

Menurut Helmi, melalui perhutanan sosial masyarakat diharapkan memiliki

akses terhadap lahan sekitar 1-2 hektare di pulau Jawa dan 2-4 hektare di luar pulau Jawa. Target hingga Agustus 2018 seluas sekitar 1,7 juta hektare, meliputi 405.055 kepala keluarga atau sekitar 2 juta orang. Ditjen PSKL telah menambah luasannya menjadi 1,849.146,07 hektare hingga 2 September 2018.

Guru besar kebijakan kehutanan IPB Hariadi Kartodihardjo menambahkan bahwa tuntutan pembangunan kehutanan berbasis masyarakat ini memerlukan tiga syarat: koordinasi internal dan eksternal kementerian untuk mencapai hasil yang maksimal, birokrat harus menguasai masalah lapangan, dan implementasi kebijakan harus disokong dengan keterbukaan informasi, mengurangi konflik kepentingan, memenuhi akuntabilitas, dan merangsang inovasi.

Hariadi menceritakan pengalamannya meneliti implementasi perhutanan sosial di Nusa Tenggara Barat. Dukungan kelapa daerah sangat krusial agar perhutanan sosial sesuai tujuan baiknya terwujud. “Karena itu KPH menjadi ujung tombak dalam program perhutanan sosial, sehingga perlu dukungan pendanaan dan sumber daya manusia yang kuat,” katanya.

—Rina Kristanti

Perhutanan Sosial yang Inklusif

F rest D gest 11o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 8

TAHUN ini Angkatan 30, atau mahasiswa Institut Pertanian Bogor yang masuk kuliah tahun 1993, mengadakan hajat besar Reuni Perak untuk merayakan kebersamaan selama 25 tahun. Untuk menyemarakkan reuni akbar tersebut, mereka mengadakan beberapa

acara sebelum acara puncak pada 9 September 2018.

Pada 5 September 2018, alumni Fakultas Kehutanan menggelar unjuk-bincang “Berbagi 30 Cinta Fahutan” di ruang auditorium Sylva Pertamina di Kampus IPB Dramaga. “Cinta” kependekan dari “Cerita Inspiratif Alumni”. Karena itu talkshow ini menghadirkan pembicara para alumni yang datang dari pelbagai profesi untuk berbagi kisah mereka kepada mahasiswa Fahutan. Karena merupakan rangkaian reuni perak, acara serupa digelar di fakultas lain, seperti Fakultas Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, dan Fakultas Perikanan.

Ada lima pembicara yang berbagi kisah inspiratif mereka setelah lulus dari Fahutan. Mereka adalah Doni

Sriputra, yang kini menjabat Kepala Sub Direktorat Pemantauan Sumber Daya Hutan di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Wahyu Wijayasari yang menjadi Kepala Sekolah Islam Terpadu Mutiara Insani School), Agustin “Ririn” Hariyani, pendamping sosial Kementerian Sosial), Irwan Gunawan, Direktur Kalimantan Program WWF, Bayu Murtiyoso yang menjabat Country Manager at Position Partner), Dwi Pujiyanto, Manager Hibah dan Administrasi Yayasan Kehati), Akhmad Hidayat dari Environment Manager Adaro MetCoal – Adaro Energy). Unjuk-bincang dipandu oleh Indra “Sanca” Gunawan.

Acara yang diikuti hampir 200 mahasiswa ini dibuka dengan menyanyikan hymne IPB dan Mars Rimbawan. Dekan Fahutan Rinekso Soekmadi dalam sambutannya mengatakan bahwa acara berbagi cerita seperti ini baru pertama kali digelar di Fahutan. “Acara seperti layak diteruskan secara berkala untuk memberikan bekal bagi para calon Sarjana Kehutanan dalam menghadapi tantangan dunia kerja,” katanya.

Akhmad “Mamak” Hidayat bercerita bahwa fase terpenting selama ia kuliah

di Fahutan adalah mengikuti praktik lapangan. Sebab, kata dia, praktik saat libur kuliah kenaikan tingkat itu “membekali kita menghadapi dunia kerja.” Adapun Bayu Murtiyoso berwasiat agar mahasiswa aktif dalam organisasi dan membangun jaringan. “Berorganisasi itu akan melatih kita dalam manajemen,” katanya.

Dwi Pujianto memaparkan sesuatu yang tak asing, yakni ketakutannya kuliah di Fahutan karena Ospeknya yang gahar dan keras. “Tapi setelah menjalaninya rasa persaudaraan kita menjadi terpelihara, kita menjadi akrab dengan teman, senior, dan dosen,” katanya. Doni Sri Putra juga menegaskan soal kekompakan yang tertera dalam syair Mars Rimbawan “Bersatulah bersatu tinggi rendah jadi satu, bertolongan selalu”.

Bu Guru Wahyu “Ai” Wijayasari bercerita bahwa kekompakan di Fahutan mendorong mahasiswa punya rasa saling memiliki yang berguna menumbuhkan empati setelah memasuki dunia kerja. Sebagai guru, ia menularkan sikap tolong-menolong dan saling menghargai kepada murid-muridnya tanpa memandang suku, agama, ras, atau kelompok.

Ririn menutup sesi inspirasi itu dengan mengatakan bahwa tiap orang harus mencintai profesinya, apa pun itu. “Karena ia adalah sarana pemuliaan bagi kehidupanmu,” katanya. Para pembicara lain setuju. Mereka sepakat bahwa beragam profesi alumni Fahutan akan punya peran sepanjang mereka yang menjalaninya mencintai serta memuliakan pekerjaan itu.

Saat sesi tanya jawab, banyak mahasiswa yang bertanya kepada Ririn karena ia berkiprah langsung di lapangan tapi tidak secara langsung bersentuhan dengan hutan. Rupanya cerita Ririn tentang bagaimana dia menjalani hari-harinya sebagai pendamping sosial masyarakat berhasil membangkitkan keinginan dari banyak peserta untuk tahu lebih banyak tentang dunia pendampingan.

Selain cerita dan tanya jawab, sesi berbagi ini diselingi kuis berhadiah dari panitia bagi seluruh peserta. Jumlah hadiah yang melimpah membuat moderator kewalahan membagikannya kepada peserta. Karena acara cukup sukses, panitia berencana membuat acara serupa secara rutin dengan pembicara dari pelbagai angkatan. — Atik Ratih Susanti

Inspirasi Angkatan 30

F rest D gest12 o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 8F rest D gest12 o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 8

pigura

bukan bedil.Senjata terbaik membidik satwa adalah kamera.Foto: Oki Hidayat

F rest D gestF rest D gest 13o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 8

F rest D gest14 o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 8F rest D gest

ragam

DI kalangan konservasionis ada ungkapan “manusia sejati menembak dengan kamera, bukan dengan senjata.” Ungkapan ini mengandung pesan bahwa cara terbaik menikmati alam, yang di dalamnya ada flora dan fauna,

adalah dengan mengabadikannya dengan kamera. Sebab, dengan kamera, kita tak perlu menyentuh mereka tapi tetap mendapatkan keindahan dan maknanya.

Semangat menangkap keindahan dunia lewat kamera terasa dalam foto-foto yang tersaji dalam lomba Foto Hutan dan Lingkungan. Lomba yang menjadi bagian Hari Pulang Kampus Alumni Fakultas Kehutanan IPB ke-17 ini digelar pada 8-9 September 2018 di Kampus Fahutan Dramaga, Bogor.

FHL ketiga ini diikuti oleh 150 peserta, dari alumni Fahutan IPB maupun umum. Antusiasme peserta terutama karena lomba ini tak hanya adu foto terbaik, juga adalah pelatihan memotret, pameran, dan penggalangan dana melalui lelang foto. FHL kali ini mengusung tema Rupa Bumi Nusantara. Total hadiah lomba mencapai Rp 15 juta.

Juri lomba ada tiga orang, yakni dua fotografer senior Pinto NH dan Dwi Oblo Prasetyo dan Dones Rinaldi dari Fahutan. Juri menilai puluhan foto untuk diseleksi dan menetapkannya menjadi juara 1, 2, dan 3. Pengunjung juga diminta memilih foto favorit.

Juara 1 diraih Nana Tasus Maulana dengan foto berjudul Pesona Curug Cimarinjung. Juri memilih foto ini karena keunikannya memotret aliran air curug secara slowmotoin. Hasilnya adalah foto air terjun yang mirip lukisan. “Teknik dan cerita dari foto ini lumayan kuat,” kata

Pinto NH.Juara 2 diraih oleh Yoevy Prasetyo

dengan foto berjudul Manusia dan Aktivitasnya, yang menggambarkan aktivitas manusia dengan latar Gunung Bromo. Sementara juara 3 jatuh kepada foto Rayuan Cendrawasih karya Andhy PS yang bercerita betapa beragamnya kekayaan fauna Indonesia.

Untuk juara favorit yang dipilih pengunjung pameran dimenangkan Erlina Budiarti dengan foto yang berjudul Hutan dan Anak Punan. Menurut juri, foto-foto yang terpilih mewakili tema yang ditetapkan panitia. Karya-karya itu telah meneruskan pesan kamera adalah jalan terbaik menikmati keindahan alam raya tanpa merusaknya.

Hasil lelang foto bisa mengumpulkan Rp 11 juta. Keseluruhan dana tersebut digunakan untuk aksi lingkungan yang dikelola oleh Himpunan Alumni Fahutan IPB (HA-E IPB). — Mustofa Fato

Menembak dengan Kamera

Rayuan Cendrawasih, Manusia dan Aktivitasnya, Pesona Curug Cimarinjung, Hutan dan Anak Punan.

F rest D gest 15o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 8

F rest D gest16 o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 8

kilas

MAHKAMAH Agung didesak mengeksekusi putusan Pengadilan Tinggi Meulaboh yang menganulir putusan Pengadilan Negeri Meulaboh yang menyatakan

perusahaan pembakar hutan Rawa Tripa di Aceh tak perlu bertanggung jawab. Sebanyak 220 ribu pendukung petisi Gerakan Rakyat Aceh Menggugat dan HAKA Sumatera meminta Mahkamah segera mengeksekusi putusan tersebut.

MA meresponsnya dengan memberikan hukuman disiplin kepada Ketua Pengadilan Meulaboh. “Satu suaramu menyelamatkan ribuan hektare hutan Indonesia,” kata Farwiza Farhan dari HAKA Sumatera kepada para pendukung petisi.

Putusan tersebut merupakan jalan panjang para pembela lingkungan meyakinkan hakim dan publik memperhatikan kondisi lingkungan. Seperti dikutip Mongabay.com edisi 19

Oktober 2018, kasus ini bermula ketika PT. Kallista Alam diduga membakar hutan gambut Rawa Tripa untuk dijadikan perkebunan sawit.

Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Banda yang diketuai Djumali serta Petriyanti dan Wahyono sebagai hakim anggota, dalam putusan Nomor Perkara 80/PDT-LH/2018/PT.BNA, membatalkan putusan Pengadilan Negeri Meulaboh Nomor: 16/Pdt.G/2017/Pn.Mbo, tertanggal 12 April 2018.

Dalam putusan itu, hakim menerima permohonan banding Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Hakim juga menyatakan gugatan PT. Kallista Alam tidak dapat diterima dan menghukumnya membayar biaya perkara Rp.150.000,-

Apresiasi putusan Pengadilan Tinggi Banda Aceh juga disampaikan pegiat lingkungan di Aceh. “Ini adalah kemenangan usaha penyelamatan lingkungan, khususnya hutan rawa gambut, yang selama ini disuarakan banyak orang,” ungkap Nurul Ikhsan, tim Advokasi Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA).

Menurut Nurul Ikhsan, meski putusan

telah dilakukan bukan berarti masalah selesai. “Eksekusi harus segera dijalankan,” ungkapnya.

Sebelumnya, Pengadilan Negeri Meulaboh membebaskan PT. Kallista Alam dari segala tuduhan terkait pembakaran Rawa Tripa. Putusan tersebut berlawanan dengan putusan Mahkamah Agung, baik saat kasasi maupun peninjauan kembali yang diajukan perusahaan tersebut.

Data analisis Geographic Information System (GIS) yang dibuat oleh Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA) memperlihatkan bahwa tutupan hutan di Rawa Tripa semakin berkurang. Pada Desember 2016, tutupan hutan hanya tersisa 6.200 hektar. Perhitungan ini dilakukan berdasarkan SK Menhut No.190/Kpts-II/2001 tentang Pengesahan Batas KEL Daerah Istimewa Aceh. Sedangkan pada Desember 2017, tutupan hutan di Rawa Tripa tersisa menjadi 5.824 hektar atau berkurang 376 hektar. Ini terjadi hingga September 2018 dengan menyisakan 5.460 hektar. 

Kondisi ini sangat berpengaruh terhadap kehidupan satwa liar, terutama orangutan Sumatra yang kini keberadaannya semakin terancam. —

Saling Gugat Rawa Tripa

F rest D gest 17o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 8

KEMATIAN paus sperma akibat memakan plastik di Wakatobi, Sulawesi Tenggara, pada pekan pertama November lalu kian menunjukkan bahaya sampah. Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, dalam Instagramnya, mengunggah foto paus

yang di perutnya terdapat enam kilogram sampah plastik.

Kepada 9,4 juta pengikutnya, Ridwan mengimbau agar tak membuang sampah sembarangan. Sebab, “Sampah yang kita buang akan terbawa air hujan, lalu masuk sungai, kemudian sampai di laut dan dimakan ikan yang bingung, salah satunya paus,” tulis Ridwan. “Buanglah sampah pada tempatnya, dan buanglah mantan pada temannya.”

Kematian paus sperma itu kian mencemaskan karena menambah daftar panjang kematian paus jenis ini. Koor-dinator Kampanye Kelautan Perikanan World Wildlife Found (WWF) Indonesia, Dwi Aryo Tjiptohandono, mengatakan populasi paus sperma terus menurun. Data National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA), lembaga yang fokus pada pengelolaan sumber daya laut dan habitatnya, menunjukkan populasi paus sperma di dunia berkisar 300 ribu hingga 450 ribu individu. “Mamalia laut seringkali terdampar di pesisir Indone-sia sebagai perairan terbesar,” kata Dwi kepada Tempo.co yang sedang mengikuti konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa pada Kamis, 22 November 2018.

Di Konferensi Keanekaragaman Hayati PBB di Mesir, populasi sampah plastik yang merusak ekosistem laut juga dibahas. Pegiat konservasi mendesak ratusan negara yang terlibat dalam konferensi itu bergerak cepat menyelesaikan plastik yang mencemari laut.

Data NOAA menunjukkan paus sperma merupakan mamalia laut yang banyak ditemukan di lautan dalam, dari

Katulistiwa hingga ke tepi Artik dan Antartika. Paus sperma menjadi target utama industry penangkapan ukan komersial sejak 1800 hingga 1987. Paus sperma terancam punah karena masifnya perburuan.

Berbasis data jejaring mamalia laut yang terdapat melalui Whale Standing Indonesia, terdapat 26 paus berbagai jenis yang terdampar di pesisir Indonesia tahun ini. Selain Wakatobi, Sulawesi Tenggara, paus sperma tahun ini ditemukan di Alor Nusa Tenggara Timur. Kabupaten Sabu Raijua Nusa Tenggara Timur, Bugeng Aceh Timur, Fak Fak Papua Barat dan Seram Malukau.

Indonesia memiliki lebih darii 35 spesies Cetacean (paus dan lumba-lumba). Juga satu spesies Sirenia yaitu duyung (Duugong dugong). Paus sperma di Wakatobi itu ditemukan membusuk (level 4) ketika terdampar sehingga sudah tidak bisa dilakukan nekropsi atau pembedahan

untuk mengetahui penyebab kematiannya. Tanpa nekropsi, tidak bisa dipastikan sebaran sampah plastiknya. “WWF belum bias menyimpulkan paus mati akibat sampah plastic atau sebab lain,” kata Dwi.

Staf kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Isai Yusidarta, mengatakan paus sperma merupakan jenis paus jenis pembunuh. Paus sperma yang ditemukan di Wakatobi bisa melewati tiga jalur yakni selatan Jawa-Selatan Flores-Alor-Wakatobi jalur kedua bisa melewati Australia-Laut Sawu-Alor-Wakatobi. Juga bisa melewati selatan Jawa-Selatan NTB-Selatan Sape-Komodo-Takabonerate-Wakatobi.

Paus sperma, kata Isai, melewati daerah-daerah yang jumlah sampahnya banyak, yakni di selatan Jawa, Bali, Flores, dan Utara NTT. “Saya pernah melihat anak buah kapal sering membuang bungkus plastik berwarna hitam di Laut Sawu,” terang dia. —

Plastik di Perut Paus

F rest D gest18 o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 8F rest D gest18 o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 8

F rest D gest 19o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 8F rest D gest 19o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 8

laporan utama

Ironi Rumah Orang TuaHUTAN Indonesia seperti rumah. Satwa yang menghuninya ibarat orang tua. Kini rumah itu menuju kekosongan karena penghuninya tak lagi hidup di dalamnya. Mereka punah atau terdesak oleh kebutuhan dan nafsu mamalia lain yang bisa berpikir untuk berkembang biak: manusia. Perlu perubahan paradigma menyelamatkan agar rumah orang tua itu tak jadi suwung.

Sekawanan gajah Sumatera.Fotografer R Eko Tjahjono

F rest D gest20 o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 8

BERGIAT di dunia konservasi satwa selama hampir 30 tahun, Sunarto merasakan hutan Indonesia kian suwung. Di kawasan-kawasan yang masih berhutan, tiap kali ia masuk ke sana, ekolog satwa di World Wide Fund of Nature (WWF)

ini sudah sulit bahkan mencari suara burung. “Hutan seperti rumah kosong,” katanya pada September lalu.

Pada 1980-an, kata Sunarto, tiap kali ia masuk hutan di pelbagai pedalaman di kepulauan Indonesia, ia masih merasakan perbedaan-perbedaan rimba karena isinya yang kaya. Meski hutannya sama, rimba Kalimantan memberikan suara berbeda dengan hutan-hutan di Sumatera karena penghuninya juga tak sama.

Ilustrasi Sunarto menggambarkan laporan 20 tahunan WWF yang terbit pada akhir Oktober lalu. WWF melaporkan bahwa sejak 1970, jumlah satwa menurun drastis hingga 60 persen. Satwa penghuni perairan dan daratan Austronesia, termasuk Indonesia di dalamnya, mencatat penurunan jumlah satwa paling besar di banding wilayah-wilayah lain. Angkanya paling tinggi dari rata-rata penurunan tingkat dunia, yakni 69 persen.

Para peneliti bahkan memperkirakan orangutan, hewan endemik Sumatera dan Kalimantan, akan tinggal cerita dalam 500 tahun ke depan. Padahal, Indonesia terkenal sebagai wilayah dengan predikat mega-bioiversity. Dengan 17.000 pulau, dengan 120 juta hektare hutan, 108 ribu kilometer garis pantai, menurut The International Union for Conservation of Nature (IUCN), 17% satwa dunia hidup di Nusantara, meski luas daratan hanya 1,3 persen permukaan bumi.

Dari 300.000 jenis satwa liar yang hidup di wilayah Indonesia, 184 jenis mamalia, 119 jenis burung, 32 jenis reptil, dan 32 jenis amfibi sudah dinyatakan terancam punah. Penyebabnya justru datang dari manusia. Deforestasi dan konversi hutan menjadi permukiman dan perkebunan adalah biang utama kehancuran keragaman hayati itu.

Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Wiratno menyebut degradasi lahan dan kehilangan habitat menjadi faktor penyebab paling tinggi dalam kepunahan satwa liar itu. “Angkanya 44,8 persen dan faktor kedua adalah perburuan satwa liar sebesar 37 persen,” kata Wiratno bulan lalu.

Penyakit dan perubahan iklim menjadi faktor lain penyebab hewan-hewan itu punah dengan angka 2% dan 17%. Naiknya populasi manusia, semakin tinggi pula konsumsi yang berujung pada konflik antar mamalia: manusia dan satwa untuk saling mempertahankan hidup.

Lingkaran setan kekacauan ini kemudian membuat rantai sebab-akibat yang tak putus. Pola konsumsi dan naiknya populasi manusia ini membuat alam tereksploitasi, dengan teknologi, dengan ilmu pengetahuan yang canggih. Eksploitasi membuat alam terdegradasi yang mengakibatkan bumi berubah. Es di kutub selatan dan utara mulai mencair akibat suhu di permukaan bumi naik

karena lapisan ozon penahan matahari kian melepuh.

Di daerah tropis, kekeringan membuat kegagalan panen hingga kebakaran lahan akibat suhu bumi yang naik itu. Belum lagi perburuan dan perdagangan liar satwa langka. Tingginya permintaan terhadap bagian-bagian tubuh satwa menaikkan penawaran sehingga perburuan menjadi tak terkendali. Sebuah video yang viral akhir November lalu di media sosial menunjukkan itu: seekor hiu menggelepar tak bisa berenang akibat siripnya dipangkas.

Permintaan terhadap sup sirip hiu untuk kuliner yang menjadi tren baru di beberapa negara, juga sebagai bahan obat, membuat perburuan hiu kian masif. Padahal tanpa sirip, hiu seperti manusia yang kehilangan tangan, kehilangan separuh tenaga untuk berenang.

Menurut Guru Besar Konservasi Fakultas Kehutanan IPB Hadi S. Alikodra, semua penyebab punahnya satwa-satwa

laporan utama

F rest D gest 21o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 8

dari alam bebas berhulu pada keserakahan manusia. “Aturan cukup, manusia makin banyak yang sekolah, ilmu cukup, tapi kita tak punya etika terhadap alam,” katanya.

Bagi Alikodra, laporan WWF itu menunjukkan dengan telak tak berfungsinya institusi-institusi manusia seperti sekolah, organisasi masyarakat, perguruan tinggi, hukum, karena lembaga-lembaga hasil peradaban itu tak bisa menegakkan moral dan etika dalam berhubungan dengan alam.

Ketika alam hancur akibat eksploitasi, menurut Alikodra, ekosistem bumi menjadi pincang. Sebab manusia membutuhkan satwa untuk hidup, tak seperti satwa yang bisa hidup tanpa manusia. Seekor serangga akan menghasilkan serbuk yang mendorong produksi oksigen yang dibutuhkan manusia. Ketika pola hidup serangga berubah akibat alam yang mengubah makanan dan pakan mereka, siklus produksi oksigen juga akan berubah.

Dalam pandangan konservasi, satwa adalah sumber pangan, energi, dan obat-obatan. Ketamakan manusia yang menentukan apakah fungsi-fungsi tersebut melampaui batas kemampuan alam menyediakannya. Penurunan jumlah satwa sejak 1970 menunjukkan daya dukung semesta tak sanggup mengimbangi eksploitasi yang dilakukan manusia.

Akibatnya satwa tak sejahtera. Mereka kehilangan pakan akibat habitatnya hilang dirambah manusia. Mereka kehilangan rumah dan tempat bermain akibat hutan dibagi-bagi ke dalam kawasan yang lebih kecil. Eksploitasi hutan, dengan alasan kesejahteraan manusia maupun atas nama keserakahan, membuat hutan seperti rumah yang roboh.

Seperti Sunarto, Sectionov dari Yayasan Badak Indonesia mengibaratkan hutan seperti rumah bagi satwa-satwa itu. Ketika deforestasi dan degradasi lahan menggila, mereka kehilangan tempat tinggal dan berlindung, tempat bersarang

sekembali dari permainan, seperti manusia kehilangan mimpi dan kampung halaman akibat tergusur pembangunan atau bencana alam.

Yayasan Badak, menurut Sectionov, berusaha menjaga populasi badak Jawa dan Sumatera yang tersisa. Dua jenis badak tersebut kini tak lebih 100 ekor di alam. Data survei Taman Nasional Ujung Kulon pada 2017 saja menemukan badak Jawa tinggal 67 ekor, 37 jantan dan 30 betina.

Menurut Kepala Taman Nasional Ujung Kulon Mamat Rahmat, rasio ini tak ideal untuk menjaga perkembangbiakan badak Jawa. Sebab, penelitian-penelitian menyebutkan rasio ideal agar populasi badak tak punah adalah 1:4, satu pejantan bisa membuahi 4 betina. Apalagi, belum ada data yang merekam keberhasilan konservasi eks-situ dalam mengawinkan badak Jawa.

Badak Jawa hanya ada di semenanjung Ujung Kulon, ujung barat Pulau Jawa. Para pengunjung taman nasional hanya bisa menemukan jejaknya tanpa bertemu dengan fisiknya karena hewan besar ini sangat sensitif pada bau manusia. Sensitivitas itu membuat badak rentan punah tanpa diproteksi dari perburuan. “Dalam konservasi, hewan ini dikategorikan sebagai satwa payung,” kata Sectionov. “Melindungi badak berarti melindungi satwa besar lain.”

terancam.WWF menggolongkan 21 spesies satwa yang harus mendapat perhatian lebih agar tak punah. Salah satunya harimau.

F rest D gest22 o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 8

laporan utama

Menurut Sectionov, usaha konservasi tak akan jalan tanpa melibatkan masyarakat di sekitar hutan dan para pemangku kepentingan. Dalam sistem yang modern, pemangku kepentingan yang memiliki hak atas hutan tersebut adalah negara, yang diwakili pemerintah. Maka kolaborasi ketiga pihak itu akan menentukan pola konservasi dalam melindungi satwa langka.

Yayasan Badak, misalnya, melakukan patroli bersama polisi hutan dan masyarakat selama 15 hari dalam sebulan untuk mendata dan memantau perkembangan badak. Melalui Rhino Protection Unit (RPU), Sumatran Rhino Sanctuary (SRS), Rhinos Goes to School,

Yayasan Badak mendorong publik punya pengetahuan akan pentingnya badak bagi kelangsungan bumi. Juga mendorong penegakan hukum terhadap aktivitas perburuan.

Masalahnya, badak adalah jenis hewan yang masuk kategori ally effect. Menurut Sunato, ally effect adalah istilah konservasi untuk mengategorikan satwa yang punah karena sudah sangat langka. Atau tabiatnya secara alamiah. Panda termasuk hewan jenis ini karena mereka kawin hanya dua tahun sekali.

Tanpa faktor-faktor luar yang bisa memusnahkan hewan itu pun, satwa jenis ini akan punah dengan sendirinya jika tanpa campur tangan manusia.

“Tekanannya tidak hanya dari deforestasi atau perburuan saja, tapi karena saking langkanya hewan ini,” kata Sunarto.

WWF menggolongkan 21 spesies satwa yang harus mendapat perhatian lebih agar tak punah. Dari hewan besar seperti gajah, harimau, badak, orangutan, hingga burung, seperti Cendrawasih di Papua. Ada empat program WWF yang bekerja sama dalam pelbagai lembaga melindungi 21 spesies itu. “Tujuan besarnya memastikan populasinya aman,” kata dia.

Program pertama adalah menjaga habitatnya tetap memadai, dari segi kualitas maupun kuantitas. Kemudian menjaga populasinya terjaga dengan melindungi mereka dari perburuan liar,

F rest D gest 23o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 8

perdagangan. Lalu menghindarkan mereka terlibat konflik dengan manusia. Dan, terakhir, program yang bertujuan inovasi, yakni mengembalikan satwa ke dalam populasi dan habitatnya.

Jika Sectionov menyebut hutan seperti rumah, Sunarto mengibaratkan satwa seperti orang tua. Keberhasilan konservasi akan sangat ditentukan oleh paradigma manusia dalam memandang rumah dan orang tua itu. “Jika kita lihat keberadaan orang tua sebagai beban, kita akan menjaganya sebagai beban, sebaliknya, jika kita anggap merawat orang tua sebagai kemewahan karena diberi kesempatan kita akan merawatnya dengan cinta,” kata dia.

Di Indonesia perlindungan satwa

dengan cinta itu dijalankan dalam dua skema: konservasi in-situ, yaitu pengembangbiakan di alam, dan eks-situ melalui kebun-kebun binatang atau taman safari. Menurut Sunarto, penangkaran eks-situ semestinya hanya punya dua tujuan: sebagai edukasi dan pengembangbiakan. Hewan-hewan yang tak tergolong hampir punah bisa ditangkarkan untuk dikembangkan biakan dengan tujuan edukasi.

Direktur Taman Safari Indonesia di Bogor, Jansen Manangsang, menambahkan bahwa pembangunan kebun binatang di negara mana pun memiliki empat tujuan: konservasi, edukasi, riset, dan rekreasi. “Kalau tak ada kebun binatang orang buta tak akan bisa membedakan belalai gajah dan ular,” kata Jansen.

Kebun binatang, kata dia, memungkinkan manusia mengetahui jenis-jenis binatang tanpa harus pergi ke hutan. Menurut Jansen, agar tujuan konservasi tercapai ada lima domain yang wajib ditaati pengelola kebun binatang: nutrisi yang tercukupi, lingkungan yang memadai, pemantauan kesehatan,

penyesuaian perilaku, dan mental satwa.Di Taman Safari Indonesia, kata Jansen,

pemeliharaan satwa memakai domain itu. Ia menjamin tak ada perlakuan kepada hewan yang tak sesuai sifat alamiahnya. “Tak ada monyet disuruh menyetir mobil atau gajah disuruh jalan dengan dua kaki,” kata dia.

Menurut Jansen, status hewan di TSI sepenuhnya milik negara. Manajemen TSI hanya bertindak sebagai pengelola. Pemerintah menitipkan hewan-hewan langka tersebut ke taman safari untuk dirawat dan dijaga dengan imbal hasil pendapatan dari tujuan rekreasi itu. “Tiap negara punya aturan berbeda-beda,” kata dia.

Konservasi in-situ dan eks-situ, kata Jansen, adalah pilihan terbaik menjaga hewan tidak punah. Sebab, membiarkan satwa berada di alam juga bisa punah karena tiap hewan akan saling memangsa untuk bertahan hidup. Ular sawah, Jansen mencontohkan, akan punah karena dimakan oleh babi dan harimau.

Perkembangan teknologi juga bisa menjadi ancaman bagi hewan itu meski sudah ada penetapan satwa payung, seperti harimau dan gajah yang dibiarkan hidup liar di alam. Teknologi pengobatan yang memburu hewan langka untuk mengobati penyakit manusia salah satunya. “Karena itu ada kebun binatang untuk riset sehingga kita tetap punya sperma mereka untuk dikembangbiakkan,” kata Jansen.

Usaha-usaha eks-situ maupun in-situ itu layak diapresiasi, sepanjang sesuai dengan perilaku alamiah hewan-hewan tersebut dan mengedepankan kesejahteraannya. Menurut Alikodra, jaringan konservasi eks-situ maupun in-situ di Indonesia sudah lumayan mumpuni dalam menyelamatkan dan melindungi satwa-satwa dari kepunahan.

Upaya-upaya tersebut menjadi tak berarti ketika penyebab utamanya tak diperbaiki. “Tak ada negara lain sebagus Indonesia dalam hal jaringan konservasi,” kata Alikodra. “Tapi memakai ilmu saja tanpa etika kepada alam hewan akan tetap punah.”

Tanpa etika, hutan akan seperti rumah yang suwung karena sudah ditinggalkan para orang tua...

—Firli Dikdayatama, Mawardah Nur Hanifianti, Zahra Firdausi, Razi Aulia

Rahman

Badak.Populasi badak Jawa dan Sumtera kini tak lebih 100 ekor di alam.

F rest D gest24 o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 8

laporan utama

BARU kali ini soal burung membuat heboh seluruh Indonesia. Para pehobi dan pebisnis burung kicau menolak Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.20/MenLHK/Setjen/Kum.1/6/2018 tentang jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi.

Mereka menganggap peraturan yang terbit pada 28 Juni 2018 itu akan menghambat hobi memelihara burung kicau.

Soalnya, tidak saja memelihara satwa dilindungi sebagai perbuatan terlarang tapi juga ada sanksi pidana lima tahun penjara dan denda Rp 100 juta seperti diatur dalam Undang-Undang Konservasi Nomor 5/1990. Penjelasan Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Wiratno yang menyebut peraturan itu tak berlaku surut tak membuat pehobi burung berhenti protes.

Di beberapa daerah mereka mendatangi Badan Konservasi Sumber Daya Alam memprotes aturan itu. Media sosial juga riuh dengan pelbagai keberatan dan alasan. Pernyataan Wiratno yang menyebut sanksi pidana kepada pemelihara burung sebagai “hoaks” juga tetap tak mempan. Ia mengimbau agar pemilik burung kicau melaporkan piaraannya ke balai konservasi setempat. “Kami buka posko di tiap provinsi, silakan laporkan, gratis,” katanya.

Menurut Wiratno, aturan tersebut memiliki waktu transisi sebelum berlaku definitif. Waktu transisi itu akan diisi dengan pendataan burung untuk mengestimasi populasi tiap jenis. Dalam konsideran “menimbang” disebutkan bahwa tumbuhan dan satwa yang dilindungi atau tak dilindungi akan berkembang secara dinamis mengikuti data.

Ada tiga jenis burung yang sebelumnya tak dilindungi menjadi berstatus dilindungi seperti diatur dalam P.20/2018

itu. Burung-burung itu adalah kucica hutan atau murai batu (Kittacincla malabarica), jalak suren (Gracupica jalla), dan cucak rawa (Pycnonotus zeylanicus) dari 921 tanaman dan satwa yang harus dilindungi. Tiga jenis burung yang harus dilindungi ini merupakan rekomendasi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia karena jumlahnya di alam kian menipis.

Sebaliknya, bagi kalangan konservasionis, P.20 itu ibarat angin segar dan harapan baru melindungi satwa-satwa yang hampir punah. Menurut mereka, kebijakan Menteri Siti Nurbaya itu sudah benar karena akan melindungi burung yang sudah sulit ditemukan di alam. Para pegiat perlindungan satwa membuat petisi agar Menteri Siti tak perlu mencabut aturan yang bagus itu.

Dalam petisi di Change.org yang digagas Kelompok Kerja Konservasi, kumpulan lembaga swadaya dan individu yang bergiat dalam perlindungan satwa, sudah mendapat 40.000 pendukung hingga akhir November lalu. Dalam petisi itu mereka menyajikan bukti-bukti bahwa tiga jenis burung tersebut memang layak dilindungi karena hampir punah.

Penelitian LIPI pada 200-2014 menunjukkan bahwa kucica hutan hanya ditemukan di dua titik di Sumatera dan satu di Kalimantan. Burung ini tak lagi ditemukan di Jawa. LIPI bahkan memastikan tak menemukan lagi cucak rowo di kepulauan Indonesia. Para peneliti menyimpulkan bahwa jenis burung yang ditemukan dan diberi nama pada 1789 ini sudah punah.

Laporan yang diterima Burungnesia selama 2016-2018, sebuah aplikasi yang menghimpun para sukarelawan konservasionis burung, hanya menemukan jalak suren di tiga lokasi sebanyak 14 ekor, dari 2.309 lokasi pengamatan. Menurut Swiss Winasis, pendiri Burungnesia, para pebisnis burung kicau merasa terganggu dengan aturan itu karena khawatir bisnis mereka tergerus. “Memang bisnis tiga jenis

burung itu hanya sebagian kecil saja dari bisnis burung kicau,” kata dia.

Dugaan bisnis besar perdagangan burung di balik penolakan terhadap P.20 itu beralasan. Menurut Presiden Joko Widodo, seperti dikutip Tempo.co saat menghadiri Festival dan Pameran Burung Berkicau di Kebun Raya Bogor pada Maret lalu, nilai uang di sekitar bisnis burung kicau mencapai Rp 1,7 triliun setahun. “Dihitung dari bisnis penangkaran, sangkar, pakan, obat-obatan,” kata dia.

Di Festival itu saja ada 3.000 burung yang dipamerkan. Dengan ancaman sanksi pidana bagi pemelihara dan penangkar tiga jenis burung itu, para pebisnis cemas tak ada lagi pasar yang besar. Bagi sebagian orang Indonesia, memelihara burung punya nilai sakral dan tradisi, bahkan kepercayaan kepada hal-hal gaib tentang keberuntungan dan nasib baik.

Maka, tradisi dan kesakralan itu kini menjadi bernilai ketika bertemu dengan

Nasib Burung dalam TangkarPegiat konservasi dan pehobi burung kicau berdebat soal perlindungan lima jenis burung. Nilai bisnisnya sangat besar.

F rest D gest 25o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 8

rumus dagang. Jokowi, presiden yang lahir di Solo, Jawa Tengah, berani menawar seekor burung murai batu dalam festival itu Rp 600 juta. Di zaman media sosial dan Internet, para YouTuber juga bisa mengais untung dari iklan karena video burung mereka ditonton jutaan orang.

Toh, suara para konservasionis yang lebih cemas rusaknya ekosistem akibat tak ada lagi burung sebagai bagian dari rantai ekologi tak digubris Kementerian Lingkungan Hidup. Mereka lebih mendengar protes para pehobi burung yang keras berdemo dengan merevisi P.20. Tanpa rekomendasi LIPI, seperti dugaan Pokja Konservasi, pada 30 Agustus 2018 Kementerian Lingkungan Hidup menerbitkan P92/2018.

Aturan baru ini bahkan tak hanya mengeluarkan tiga jenis burung dilindungi yang ditolak pehobi, tapi lima jenis sekaligus. Dua jenis burung tambahan yang tak lagi dilindungi adalah anis-

bentet kecil (Colluricicla megarhyncha) dan Anis-bentet Sangihe (Collurincincla sangiherensis). “Tidak ada bukti dalam tiga bulan populasi lima jenis burung ini meningkat,” kata Darmawan Liswanto, anggota Pokja Konservasi dan pendiri Yayasan Titian Lestari.

Menurut Darmawan, P.92 itu cacat karena tak ada rekomendasi otoritas lembaga ilmu seperti LIPI yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 7/1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. “P92 ini bikin kacau usaha perlindungan karena ukurannya tak jelas,” kata dia.

Kepada Forest Digest, Wiratno mengatakan bahwa pertimbangan menerbitkan P.92 tidak hanya atas masukkan dari LIPI, melainkan dari banyak lembaga, seperti peneliti luar negeri, lembaga konservasi, bahkan dari masyarakat. “Kami ambil data dari banyak sumber karena data LIPI masih lemah,” katanya. “LIPI tidak bisa menyampaikan adanya daerah penyebaran endemik, tapi hanya penurunan yang tajam pada jumlah individu di alam, itu pun hanya persentase.”

Ketua Umum Pelestari Burung Indonesia Bagya Rahmadi mengatakan bahwa tiga burung yang termasuk dilindungi dalam P.20 tidak terancam punah karena ditangkarkan oleh para pehobi burung kicau. Burung-burung tersebut biasa diikutkan dalam pelbagai lomba burung kicau. “Para penangkar adalah pahlawan konservasi karena bisa melestarikan tiga burung yang dinyatakan hampir punah oleh LIPI,” katanya kepada Kompas.com.

Ia meyakinkan bahwa burung-burung yang diikutkan dalam lomba merupakan hasil penangkaran karena para peserta yang ikut lomba wajib mencantumkan gelang di kaki burung. Gelang tersebut menunjukkan bahwa burung yang ikut lomba bukan hasil tangkapan dari alam, dibeli dari pengepul, melainkan ditangkarkan sendiri.

Swiss Winasis menunjukkan riset Nijman pada 2017 yang menyebutkan bahwa ada 1,2 juta burung ditangkap dari alam untuk dijual-belikan di Jawa dan Bali. Angka ini naik dua kali lipat jika membandingkan dengan riset Japson dan Ladle tahun 2005 yang menghitung ada

600.000-760.000 burung ditangkap di alam per tahun.

Pokja Konservasi bahkan menunjukkan fakta baru soal tangkapan Balai Besar Karantina Pertanian Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur pada 27 Agustus hingga 28 September 2018. Para petugas menggagalkan penyelundupan 109 ekor kucica hutan, 278 ekor cucak hijau, dan 26 ekor cucak jenggot. Artinya, menurut Pokja, penangkapan dari alam dan perdagangan liar burung kicau masih terjadi.

—Libriana Arshanti, Mawar Hanifianti, Razi Aulia, Firli

Dikdayatama, Fairuz Sholikah

Perlindungan burung.Kucica hutan atau murai batu (Kittacincla malabarica), kanan atas: jalak suren (Gracupica jalla), dan kanan bawah: anis-bentet sangihe (Coracornis sanghirensis).Foto: Hanom Bashari

F rest D gest26 o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 8

laporan utama

KITA sering bangga dengan kekayaan alam Indonesia. Namun, kebanggaan itu mungkin segera pudar karena kekayaan itu sedang rentan bahkan terancam punah. Keanekaragaman hayati yang melimpah itu tergerus oleh aktivitas manusia, baik dalam bertahan hidup maupun eksploitasi untuk kepentingan ekonomi. Meski luas daratan Indonesia hanya 1,3 persen permukaan bumi, satwa yang hidup sekitar 17% dari jumlah binatang yang hidup di dunia.

Luas Hutan

120162

SATWA KITA DALAM ANGKA

300.00045%515

mereka terancam punah

Konservasi satwa di habitatnya, terutama untuk spesies yang jumlahnya masih melimpah

Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 104/KPTS-II/2000 tentang Tata Cara Mengambil Tumbuhan Liar dan Menangkap Satwa Liar

Keputusan Menteri Kehutanan No. 26/Kpts-II/1994 tentang Pemanfaatan Jenis Kera Ekor Panjang (Macaca fascicularis), Beruk (Macaca nemestrina) dan

Ikan Arowana (Scleropages formosus) untuk Keperluan Ekspor

Keppres RI No. 4 Tahun 1993 tentang Satwa dan Bunga Nasional

PP RI No. 13 Tahun 1994 tentang Perburuan Satwa Buru

PP RI No. 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam

PP RI No. 7 Tahun 1999 tentang PengawetanJenis Tumbuhan dan Satwa

PP RI No. 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar

UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

UU no 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

UU RI No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam

Hayati dan Ekosistemnya

jenis mamalia

jenis satwa liar

jenis ikan yang hidup di bumi

Penyebab Kepunahan

r E G U L A S I1539 259 384JenisEndemikAmpibi

JenisBurung

JenisMamaliaEndemik

krisis69 spesies 197 Jenis

bahaya539 jenis

rentan

Kategori kepunahan

Deforestasi dan alih fungsiPerburuan

Liar

Penyakit

PerburuanLiar

juta hektar (2013)

juta hektar (1950)

Sumber: Profauna, IUCN (2013)

Foto : Eko Tjahjono

Penangkaran seperti taman safari, terutama untuk spesies yang jumlahnya menipis

JENISKONSERVASI

ex-situ IN-situ

HukumUndang-Undang 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam hayati dan Ekosistemnya.294 jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi menurut Peraturan Pemerintah No 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar

Mereka yang memperdagangkan satwa dilindungi terancam hukuman 5 tahun penjara dan denda Rp 100 juta.

F rest D gest 27o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 8

KITA sering bangga dengan kekayaan alam Indonesia. Namun, kebanggaan itu mungkin segera pudar karena kekayaan itu sedang rentan bahkan terancam punah. Keanekaragaman hayati yang melimpah itu tergerus oleh aktivitas manusia, baik dalam bertahan hidup maupun eksploitasi untuk kepentingan ekonomi. Meski luas daratan Indonesia hanya 1,3 persen permukaan bumi, satwa yang hidup sekitar 17% dari jumlah binatang yang hidup di dunia.

Luas Hutan

120162

SATWA KITA DALAM ANGKA

300.00045%515

mereka terancam punah

Konservasi satwa di habitatnya, terutama untuk spesies yang jumlahnya masih melimpah

Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 104/KPTS-II/2000 tentang Tata Cara Mengambil Tumbuhan Liar dan Menangkap Satwa Liar

Keputusan Menteri Kehutanan No. 26/Kpts-II/1994 tentang Pemanfaatan Jenis Kera Ekor Panjang (Macaca fascicularis), Beruk (Macaca nemestrina) dan

Ikan Arowana (Scleropages formosus) untuk Keperluan Ekspor

Keppres RI No. 4 Tahun 1993 tentang Satwa dan Bunga Nasional

PP RI No. 13 Tahun 1994 tentang Perburuan Satwa Buru

PP RI No. 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam

PP RI No. 7 Tahun 1999 tentang PengawetanJenis Tumbuhan dan Satwa

PP RI No. 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar

UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

UU no 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

UU RI No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam

Hayati dan Ekosistemnya

jenis mamalia

jenis satwa liar

jenis ikan yang hidup di bumi

Penyebab Kepunahan

r E G U L A S I1539 259 384JenisEndemikAmpibi

JenisBurung

JenisMamaliaEndemik

krisis69 spesies 197 Jenis

bahaya539 jenis

rentan

Kategori kepunahan

Deforestasi dan alih fungsiPerburuan

Liar

Penyakit

PerburuanLiar

juta hektar (2013)

juta hektar (1950)

Sumber: Profauna, IUCN (2013)

Foto : Eko Tjahjono

Penangkaran seperti taman safari, terutama untuk spesies yang jumlahnya menipis

JENISKONSERVASI

ex-situ IN-situ

HukumUndang-Undang 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam hayati dan Ekosistemnya.294 jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi menurut Peraturan Pemerintah No 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar

Mereka yang memperdagangkan satwa dilindungi terancam hukuman 5 tahun penjara dan denda Rp 100 juta.

F rest D gest28 o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 8

BERADA di gugus Kepulauan Sunda Kecil, atau dalam dunia biogeografi lebih dikenal dengan sebutan Lesser Sunda Islands, Nusa Tenggara Timur menyimpan keanekaragaman hayati yang unik dan endemik. Kondisi fisik NTT

berbeda secara signifikan dengan wilayah Indonesia lainnya, dengan iklim semi-arid yang gersang, kering serta periode hujan yang singkat, membuat wilayah ini kaya akan jenis satwa dan tumbuhan endemik.

Pada 2017, ilmuwan menemukan jenis baru seperti Myzomela Rote dan Cikrak Daun Rote yang diumumkan pada 23 Oktober 2018. Selain itu masih ada

laporan utama

beberapa kandidat jenis baru yang hingga kini masih dalam proses penelitian dan penelaahan lebih lanjut oleh para ahli, seperti jenis burung bondol hijau baru di Gunung Mutis, jenis burung Myzomela di Alor dan burung ponggok dari Rote. Semua jenis burung tersebut hingga kini masih belum terdeskripsikan.

Kita lega karena biawak Komodo (Varanus komodoensis) yang menjadi ikon NTT, telah mendapat perhatian lebih sehingga keberadaannya relatif aman dari ancaman. Tapi, bagaimana dengan nasib hewan endemik NTT yang lain?

NTT adalah rumah beberapa jenis hewan endemis, terutama reptil dan burung. Ular Sanca Timor (Malayophython timoriensis), Biawak Timor (Varanus timorensis), Biawak Rote (Varanus auffenbergi), kura-kura leher ular Rote

(Chelodina mccordii) adalah sedikit dari hewan endemik itu. Sedangkan untuk kelompok burung, NTT memiliki berbagai jenis burung yang unik dan khas, seperti Julang Sumba (Aceros everetti) dan Myzomela Rote (Myzomela irianawidodoae).

Hanya sebagian satwa endemik NTT yang mendapatkan perhatian dalam bentuk perlindungan hukum. Jumlahnya pun masih lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah yang belum dilindungi. Ada juga jenis dilindungi yang sangat memprihatinkan. Kura-kura leher ular Rote tak bernasib baik seperti Komodo. Habitat alaminya tak diketahui dan masih menjadi misteri. Pencarian satu dekade tak membuahkan hasil. Besar kemungkinan mereka telah punah.

Perburuan tak terkontrol secara besar-besaran telah menurunkan populasinya secara drastis hingga tak ditemukan lagi. Sebagian besar habitatnya telah rusak, menyempit dan beralih jadi lahan pertanian. Saat ini hanya Danau Peto dan Danau Ledulu yang menjadi harapan, namun kondisinya juga sudah rusak. Ancaman invasive alien species (IAR), yaitu ikan gabus, menjadi predator anakan kura-kura.

Derita Satwa Nusa TenggaraSatwa endemik Nusa Tenggara Timur kian tergerus karena habitatnya yang hancur. Perlu dikelola dengan paradigma konservasi.

Satwa Nusa Tenggara.Julang Sumba, Kakatua Jambul Jingga, Anak kura-kura leher rote.

F rest D gest 29o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 8

Jenis Nama latin Sebaran Perlindung-an Interna-sional

Perlindungan Nasional

Anis Timor Zoothera peronii peronii

Timor, Rote, NT -

Anis Nusa Tenggara

Zoothera dohertyi

Lombok, Sumbawa, Flores, Sumba, dan Timor

NT -

Decu Timor Saxicola gutturalis

Timor, Semau LC -

Sikatan Bakung Cyornis hyacinthinus hyacinthinus

Timor, Semua, Rote LC -

Meliphaga Dada-lurik

Meliphaga reticulata

Timor, Semau LC PP No.7/1999

Myzomela Rote Rote -Cikukua Timor Philemon

inornatusTimor LC -

Kacamata Wallacea

Heleia wallacei Sumbawa, Komodo, Rinca, Flores, Besar, Lomblen, Sumba

LC Permen LHK No.92/2018

Kacamata Limau

Zosterops citrinellus

Sumba, Sawu, Timor, dan Rote

LC -

Burung Madu-matari

Cinnyris solaris Sumbawa, Komodo, Flores, Lomblen, Alor, Atauro, Timor, Semau, Rote, Wetar

LC PP No.7/1999

Perkici Timor Trichoglassus euteles

Timor, Lomblen, Pantar, Alor, Wetar, Moa, Kisar, Leti, Luang, Babar, Romang, Damar dan Teun Nila

LC, Appendiks II

Permen LHK No.92/2018

Perkici Oranye Trichoglossus capistratus

Timor, Sumba, Wetar, Romang

NR, Appendiks II

Permen LHK No.92/2018

Perkici Flores Trichoglossus weberi

Flores NT, Appendiks II

Permen LHK No.92/2018

Perkici Iris Psitteuteles iris Timor, Wetar NT, Appendiks II

Permen LHK No.92/2018

Nuri Raja-kembang

Aprosmictus jonquillaceus

Timor, Rote, Wetar NT, Appendiks II

Permen LHK No.92/2018

Gelatik Timor Lonchura fuscata

Timor, Rote, Semau NT -

Tak ada pilihan lain, konservasi eks-situ melalui penangkaran merupakan strategi terakhir menyelamatkan kura-kura Rote dari kepunahan. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sudah melakukannya. Kura-kura leher ular Rote telah berhasil ditangkarkan di Kupang sejak tahun 2013. Namun demikian, terbatasnya jumlah induk menjadi kendala serius dalam kekayaan materi genetik.

Cara memperkaya adalah dengan

cara mendatangkan induk yang tersebar di beberapa negara seperti Singapura, Amerika Serikat, dan beberapa negara Eropa. Namun, biaya operasional yang tinggi serta tidak adanya mekanisme pendanaan untuk mendatangkan induk dari luar membuat langkah pelestarian semakin sulit dan jauh dari harapan.

Ancaman NyataSejak 2000 banyak operator birdwatching

tour aktif mengunjungi NTT sebagai lokasi pengamatan burung. Potensi wisata alam berbasis keanekaragaman hayati yang dapat memberikan manfaat bagi masyarakat di sekitar habitat burung. Namun potensi ini harus berhadapan dengan merebaknya penggunaan senapan angin dan perburuan ilegal burung endemik sebagai satwa peliharaan (burung berkicau). Jenis-jenis burung endemik yang banyak diperdagangkan berupa jenis burung berkicau (song birds) dan burung paruh bengkok (parrot) (Tabel 1).

Penangkapan dan perdagangan burung-burung asli NTT cenderung meningkat. Jual beli burung kini tidak hanya dilakukan secara konvensional melalui pasar atau kios burung namun telah bertransformasi menjadi jual beli secara online melalui media sosial. Paling tidak saat ini ada enam grup jual beli burung di Facebook di sekitar NTT. Anggotanya aktif memperjualbelikan berbagai macam burung mulai dari burung asli NTT, burung eksotik NTT hingga burung eksotik Indonesia.

Tiap tahun ratusan burung dari berbagai jenis ditangkap untuk diperjualbelikan. Tidak hanya burung dewasa, burung muda hingga anakannya pun juga ditangkap secara tak terkendali. Burung yang paling banyak ditangkap untuk diperjualbelikan adalah anis Timor, kacamata Wallacea, kacamata Limau dan perkici Timor.

Pada periode tertentu khususnya pada masa perkembangbiakan, anakan burung akan banyak sekali dijual, khususnya di Kota Kupang. Contohnya anakan burung Anis Timor, jumlahnya dapat mencapai ratusan ekor pada bulan Desember hingga Maret. Selain burung endemik, penangkapan secara besar-besaran juga dilakukan terhadap berbagai jenis burung lainnya seperti Branjangan Jawa (Miafra javanica).

Beberapa kali upaya penyelundupan jenis ini berhasil digagalkan oleh pihak kepolisian dan polisi kehutanan. Seperti yang terjadi pada 6 September 2018 lalu, sebanyak 526 ekor Branjangan Jawa dan 24 ekor Decu Belang yang akan dikirim ke Pulau Lombok dan Jawa, tertangkap kare-na terbukti tidak dilengkapi dengan Surat Angkut Tumbuhan dan Satwa – Dalam Negeri (Taman Nasional Matalawa, 2018).

—Oki Hidayat, peneliti di Balai Penelitian Kehutanan Kupang.

F rest D gest30 o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 8

MASYARAKAT Papua memelihara nilai-nilai kearifan lokal dengan menakjubkan. Mereka memiliki karakteristik dasar yang sangat terikat kepada alam, memelihara

mitologi sebagai nilai-nilai sakral, dan memiliki cita rasa seni yang tinggi. Tiga karakteristik itu berpengaruh penting dalam hal perlindungan satwa liar di Papua.

Orang Papua menganggap alam atau tanah adalah mama atau ibu kandung. Menurut Daniel Toto, Ketua Dewan Adat Suku Imbi Numbay di Jayapura, alam sebagai “mama” merujuk pada suatu kawasan, yaitu Cagar Alam Pegunungan Cycloop. Sejak zaman nenek moyang, Cycloop telah menyediakan segala kebutuhan, mulai pangan, sandang, hingga papan. Sampai saat ini Cycloop masih memerankan fungsi utamanya sebagai penyedia sumber air bagi masyarakat di Kota dan Kabupaten Jayapura.

Masyarakat Amungme di Kabupaten Mimika juga memandang alam sebagai mama yang melahirkan, menyediakan makan, memelihara, dan membesarkan. Ungkapan dalam bahasa Amungkal, Te aro neweak lak-o, yang berarti alam adalah aku. Maksud ungkapan tersebut adalah aku milik mama, atau aku milik tanah. Hal ini dituliskan oleh Karel Phil Erari di dalam sebuah buku berjudul Tanah Kita, Hidup Kita yang terbit tahun 1999 oleh Pustaka Sinar Harapan. Bagi masyarakat Kamoro, hutan adalah kehidupan yang merepresentasikan jati diri. Apabila rusak hutan-hutan ulayat, sama artinya rusak pula jati diri mereka.

Masyarakat Kamoro bahkan

memberikan nama bagi setiap pohon di dalam hutan, yang menandakan adanya kedekatan mendalam antara masyarakat Kamoro dengan alamnya, termasuk hutan-hutannya. Dapat dikatakan, persepsi masyarakat di sekitar Pegunungan Cycloop, Amungme, dan Kamoro telah mewakili persepsi seluruh masyarakat Papua mengenai alam, hutan, atau tanah mereka.

Berikutnya kita tilik karakter masyarakat Papua yang memandang sakral mitos-mitos. Berbagai sumber informasi dari kalangan masyarakat adat menuturkan, mitos-mitos yang mereka pelihara mayoritas terkait dengan alam dan mengandung nilai-nilai pelestarian. Di dalam mitologi tersebut terdapat pula cerita tentang totem dari suatu suku atau marga-marga.

Secara sederhana, totem dapat dipahami sebagai simbol yang mencitrakan suatu kelompok masyarakat, suku, atau klan. Di dalam simbol tersebut memuat berbagai pandangan, juga konvensi yang disepakati bersama di dalam kelompok. Misalnya, tentang aturan-aturan tabu dan sanksi, jati diri dan watak suatu klan, juga harapan-harapan akan kehidupan di masa mendatang. Biasanya totem menggunakan simbol flora atau fauna yang terdapat di sekitar masyarakat pemiliknya.

Sepintas mengenai totem, kita dapat menjumpai beberapa klan di Kabupaten Merauke, antara lain klan Awaliter yang memiliki totem ikan Arwana irian (Scleropages jardinii). Dalam aturan adat, klan Awaliter harus melindungi totemnya. Mereka dilarang memburu dan memakan ikan Arwana Irian dalam keadaan apa pun. Demikian halnya dengan klan-klan lain di Kabupaten Merauke yang memiliki totem fauna. Masing-masing dilarang memburu totem mereka di alam dan tabu pula memakannya. Bagi yang melanggar aturan tersebut dapat dikenakan sanksi adat, atau

bahkan mereka percaya alam pun dapat memberikan sanksi bagi siapa saja yang melakukan pelanggaran. Tidak jarang berbagai totem tersebut dimunculkan dalam bentuk kesenian.

Sebagai kelompok masyarakat dengan cita rasa seni yang tinggi, orang Papua merepresentasikan cerita dan harapan hidup dalam berbagai bentuk tarian, nyanyian, juga motif lukis, ukir, dan pahat. Tarian-tarian dan nyanyian adat banyak berkisah tentang fauna yang dekat dengan mereka. Tarian Balada Cenderawasih, misalnya, merupakan simbol cerita yang berisi kepedihan atas perburuan cenderawasih yang terus-menerus, sehingga saat ini populasinya sangat sedikit di alam. Biasanya tarian-tarian atau terkadang disebut dansa adat oleh masyarakat Papua, diiringi dengan nyanyian berbahasa daerah. Antara dentam tifa, gerakan-gerakan tubuh, dan nyanyian berpadu menyajikan kisah-kisah tentang keadaan alam. Kesenian

laporan utama

Melindungi Satwa, Melindungi Mama KitaBagi masyarakat Papua melindungi alam seperti menjaga ibu mereka sendiri. Satwa adalah bagian dari mama yang sakral.

F rest D gest 31o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 8

ini dimiliki oleh semua suku dan marga di seluruh Papua, dengan ciri khas kedaerahan masing-masing.

Di sisi lain, masyarakat Papua di daerah tertentu juga sangat mahir melukis, mengukir, dan memahat. Dalam konteks ini kita akan menelisik dua kelompok masyarakat, yaitu Sentani dan Asmat.

Masyarakat Sentani di Kabupaten Jayapura memiliki keahlian melukis dengan media kulit kayu yang disebut malo atau maro. Mereka juga ahli mengukir dengan media kayu. Dr. Wigati Setyaningtyas-Modouw membahas dalam bukunya Helaihili dan Ehabla yang terbit tahun 2008 di Adicita, bahwa motif dasar lukisan dan ukiran Sentani adalah lingkaran yang berpusat pada sebuah titik. Motif dasar ini disebut fouw. Pusat lingkaran pada motif fouw melambangkan pemimpin besar adat (ondofolo) sebagai pemegang kendali pemerintahan adat. Segala keputusan yang menyangkut kehidupan sosial masyarakat diatur oleh

alam sekitarnya. Don A.L. Flassy membicarakan hal ini di dalam bukunya Refleksi Seni Rupa di Tanah Papua, yang terbit tahun 2007 di Balai Pustaka. Flassy mencatat 25 jenis ornamen ukir dan pahat Asmat yang terkait dengan fauna, termasuk di dalamnya adalah jenis-jenis yang dilindungi. Di antara yang dapat disebutkan di sini adalah imbri kokom atau paruh burung julang Papua (Rhyticeros plicatus), ufir kus wow atau kepala burung kakatua raja hitam (Probosciger aterrimus), pit wow atau ornamen ular, dan bu wow atau ornamen penyu. Masing-masing ornamen memiliki makna tersendiri berdasarkan nilai-nilai adat orang Asmat.

Imbri kokom merupakan simbol pelayanan dan doa-doa untuk panglima perang agar selalu bahagia dan mendapatkan kelimpahan rezeki. Ufir kus wow bermakna peringatan bahwa manusia harus melatih panca indranya demi keselamatan diri sendiri dan masyarakat banyak. Pit wow memiliki makna upaya manusia dalam mengatur strategi untuk mengatasi setiap kesulitan. Adapun bu wow merupakan simbol kesuburan. Ornamen ini berisi makna pengharapan agar manusia selalu memiliki kecukupan makanan dan hasil usaha turun-temurun. Seperti banyaknya telur penyu, demikianlah mereka selalu mengharapkan berkat berkelimpahan.

Sampai di sini kita merasakan kehidupan masyarakat Papua yang harmoni dan penuh filosofi. Ini benar adanya. Berbagai disiplin ilmu membuktikan bahwa masyarakat Papua

ondofolo, dan dilaksanakan oleh seluruh masyarakat. Pola demikian berlaku hampir di semua tempat di Papua, sehingga memunculkan istilah “Bila ingin memengaruhi ekornya, pegang dulu kepalanya”.

Selain motif dasar fouw, masyarakat Sentani juga menggunakan motif fauna yang dekat dengan kehidupan sehari-hari mereka, antara lain ikan, biawak, kadal, cicak, ular, anjing, kelelawar, dan burung. Masyarakat Sentani menganggap anjing dan kelelawar sebagai nenek moyang, dan pada konteks lain anjing juga berperan sebagai sahabat. Sementara ikan merupakan sumber kehidupan. Orang Sentani menerakan motif-motif tersebut pada tifa, perahu, dayung, piring kayu, serta tiang-tiang dan dinding rumah.

Beralih ke masyarakat Asmat, pola-pola atau motif ukiran mereka jelas terbaca sebagai ekspresi dari hasil interaksi manusia Asmat dengan

Satwa Papua.Kura-kura moncong babi dan Cendrawasih ekor kuning.

F rest D gest32 o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 8

laporan utama

sanggup memelihara alam yang menjadi hak ulayatnya selama berabad-abad sehingga tetap lestari. Di Papua, tidak terdapat sejengkal tanah pun yang tidak bertuan. Mereka melindungi semua tempat, baik wilayah daratan maupun lautan, sesuai nilai-niai adat yang telah disepakati bersama. Sebagai timbal balik, alam menyediakan sumber pangan, sandang, juga papan yang berlimpah. Nyaris tidak terdapat persoalan dalam hal perlindungan atau peredaran satwa di Papua, bahkan dalam hal konservasi secara lebih luas. Faktanya, hingga saat ini belum terdapat laporan adanya satwa liar endemik Papua yang dinyatakan punah. Meski tidak dapat disangkal, beberapa jenis di antaranya berada dalam kondisi kritis karena jumlah populasinya sangat sedikit di alam, seperti keluarga

cenderawasih, terutama cenderwasih kuning kecil (Paradisaea minor). Mengapa?

Keadaan alamiah masyarakat Papua tidak dapat dijamin aman sama sekali dari interaksi dengan dunia luar. Pergeseran mulai terjadi pada masyarakat Papua semenjak adanya transaksi menggunakan uang merasuki kehidupan mereka. Sekitar pertengahan abad ke-19, berbagai komoditas berharga dari Papua mulai diangkut ke luar, bahkan sampai ke dunia Barat. Cenderawasih kuning kecil menjadi primadona di antara berbagai komoditas yang diminati. Keadaan itu berlangsung dalam waktu cukup panjang. Sampai saat ini berbagai pengaruh luar semakin banyak mewarnai tatanan nilai adat orang Papua, ditambah tuntutan ekonomi yang semakin tinggi. Persoalan pun menjadi

semakin kompleks. Sebagian masyarakat menjawab

segala persoalan itu dengan jalan pintas, memanfaatkan yang masih tersisa di alam secara berlebihan. Perburuan dan perdagangan cenderawasih dan satwa-satwa lainnya masih berlangsung, baik diam-diam maupun terang-terangan. Kus-kus, kasuari, kanguru, penyu, dan berbagai satwa liar yang ditemukan oleh pemburu menjadi terancam. Kerumitan semakin bertambah saat kondisi habitat mereka tidak senyaman dulu. Masyarakat sekitar yang membuka kebun, juga berbagai kasus pembalakan liar menjadi ancaman tersendiri bagi kelestarian kehidupan satwa di alam.

Tercatat di tahun 2018 Balai Besar KSDA Papua menghadapi berbagai persoalan peredaran satwa liar ini, dan

F rest D gest 33o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 8

sebagian telah masuk ke ranah hukum. Sekadar kilas balik temuan peredaran satwa ilegal di Papua, pada 9 Januari 2018, pihak otoritas Bandara Merauke menemukan NA membawa kura-kura moncong babi (Carettochelys insculpta) yang akan dibawa ke luar Merauke. NA disidangkan dengan dakwaan melanggar UU No. 5 tahun 1990 Pasal 40 ayat (2) Jo. Pasal 21 ayat (2) huruf a, tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Barang bukti yang diajukan ke pengadilan berupa 1.195 ekor kura-kura moncong babi dalam keadaan hidup.

Saat yang sama, Januari 2018, otoritas Hong Kong menggagalkan masuknya 2300 ekor kura-kura moncong babi asal Indonesia. Pelaku penyelundupan adalah warga negara Indonesia dan telah diproses hukum oleh pemerintah Hong Kong.

Masih di Bulan Januari 2018, di Bandara Sentani tim BBKSDA Papua bersama stakeholder menggagalkan penyelundupan 210 spesimen burung dalam keadaan mati, beserta 33 lembar kulit mamalia, tiga mamalia, dua paruh burung, dua kaki mamalia, satu kepala mamalia, satu tulang rahang bawah mamalia, satu tulang ekor dan tengkorak reptilia, serta lima kulit reptilia. Pelaku adalah warga negara asing.

Selebihnya, dalam rentang Februari-November 2018 BBKSDA Papua menemukan berbagai kasus lain, termasuk ketika tim melakukan patroli di pasar tradisional Hamadi, Jayapura, dan menemukan penyu hijau yang hendak diperdagangkan. Berbagai catatan temuan itu tentu membuat kita prihatin. Banyak pihak telah melakukan upaya pengawasan, namun pelanggaran masih juga terjadi. Lantas tindakan apa lagi yang mesti diambil?

Mungkin saja tawaran kembali kepada adat dapat menjadi bentuk upaya yang ampuh. Nilai-nilai adat atau kearifan lokal masyarakat Papua telah terbukti sanggup

memelihara alamnya hingga berabad-abad. Setiap pimpinan adat, kepala suku, ondoafi, juga ondofolo memiliki kharisma dan pengaruh besar dalam membuat peraturan. Karena karakteristik budayanya, masyarakat Papua sanggup mematuhi peraturan atau keputusan-keputusan yang dibuat pimpinan adat. Ini merupakan karakteristik unik masyarakat Papua, yaitu kepatuhan terhadap aturan-aturan adatnya.

Termasuk hal yang bukan lagi rahasia, bahwa masyarakat Papua lebih patuh kepada keputusan ondoafi atau para pimpinan suku mereka daripada surat keputusan resmi dari lembaga pemerintahan Negara Republik Indonesia. Dengan demikian, peraturan adat memiliki peluang keberhasilan sangat besar dalam pengawasan peredaran satwa liar di Papua. Di sinilah perlunya sinergi antara instansi pemerintah, khususnya BBKSDA Papua, dengan dewan adat. Setiap kasus pelanggaran terhadap satwa liar dapat dilihat dari dua sisi: kebijakan pemerintah dan kebijakan adat. Keduanya bukan untuk dipertentangkan, namun justru saling melengkapi demi kehidupan konservasi yang lebih baik di masa mendatang.

—Timbul Batubara, Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Papua.

Kearifan lokal.Julang Papua (atas). Penulis bersama masyarakat adat Tablasupa, Papua.

F rest D gest34 o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 8

laporan utama

SEBAGAI negara yang berada di garis khatulistiwa, dengan 17.000 pulau, Indonesia adalah negara tropis dengan kekayaan alam luar biasa. Keanekaragaman hayati tak hanya menyangkut soal jenis flora dan fauna, tapi juga keunikannya.

Hewan-hewan endemik Indonesia bahkan tak ditemukan di kepulauan negara mana pun.

Hanya saja, keanekaragaman hayati itu pelan-pelan memudar. Keunikan terancam punah oleh ulah manusia yang terdorong oleh kepentingan ekonomi mengeruk kekayaan alam itu. Deforestasi dan perburuan liar—yang berujung pada perdagangan—adalah dua penyebab utama keanekaragaman hayati Indonesia menjadi rentan.

Hewan-hewan langka Indonesia pun masuk kategori rentan yang mendekati punah. Laporan Living Planet Report 2018 yang diterbitkan World Wide Fund pada Oktober lalu mencatat laju penurunan populasi satwa secara global sebesar 60 persen sejak 1970-2014. WWF menyimpulkan kehancuran sumber daya alam itu akibat pola hidup dan konsumsi manusia.

Untuk mengetahui peta keanekaragaman hayati Indonesia teranyar dan apa yang dilakukan pemerintah untuk mencegahnya, Razi Aulia dari Forest Digest mewawancarai Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Wiratno. Wawancara berlangsung di ruang kerjanya di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada awal November lalu. Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati, Indra Exploitasia, yang mendampingi Wiratno menambahkan beberapa penjelasan.

Apa saja dasar KLHK menetapkan satu jenis satwa dalam kategori dilindungi?

Ada banyak pertimbangan. Kami dapatkan data dari banyak lembaga,

seperti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, peneliti dari luar negeri, lembaga swadaya masyarakat yang konsen dengan konservasi, dari lembaga konservasi, bahkan dari masyarakat dan citizen journalism. Dari masyarakat kami petakan soal perburuan, penangkaran, kepemilikan, pasar burung/pasar satwa, para pehobi, bahkan lomba burung yang mengakibatkan nilai ekonomi yang besar.

Kami ambil data dari banyak sumber karena data kita masih lemah. LIPI mendapat mandat memberikan informasi terkait jumlah satwa di alam yang mempunyai populasi kecil, penurunan jumlah individunya tajam di alam, penyebaran terbatas atau endemik. Namun ternyata data masih lemah karena LIPI tidak bisa menyampaikan adanya daerah penyebaran endemik. LIPI hanya menyebutkan ada penurunan yang tajam pada jumlah individu di alam yang hanya disebutkan persentase saja.

Pada dasarnya apa kebijakan besar dalam perlindungan satwa ini?

Ada banyak. Kami menerbitkan kebijakan untuk beberapa hal, seperti stop perburuan, bekerja sama dengan direktorat penegakan hukum KLHK, polisi, jaksa, perguruan tinggi, LSM. Lalu kembalikan sitaan ke alam. Ada juga kerja sama pengawasan di pelabuhan, kargo, terminal, kereta api, pelabuhan ilegal, kapal-kapal angkutan, media sosial, kampanye law inforcement dengan Persatuan Menembak Indonesia, Pelestari Burung Indonesia, Kicau Mania. Berikutnya adalah menjaga habitat di alam. Ini kerja sama dengan masyarakat, Masyarakat Mitra Polhut itu, membuat desa wisata, kemitraan konservasi juga bisa membantu. Terakhir adalah pemetaan jalur perdagangan legal dan ilegal, seperti melalui pasar-pasar satwa.

Jadi apa penyebab utama keanekaragaman hayati Indonesia menjadi rentan?

Indra: Data dari Zoological Society of London, dan sudah dikombinasikan dengan data penegakan hukum di KLHK, kita mendapat informasi bahwa penyebab terbesar terhadap kerentanan dan

keberadaan satwa liar adalah deforestasi dan degradasi hutan. Angka degradasi dan kehilangan habitat sebesar 44,8%, disusul akibat perburuan liar sebesar 37%, penyakit-penyakit 2%, sisanya sekitar 17% akibat perubahan iklim, polusi, jenis evasive spesies.

Apa upaya KLHK untuk mencegah penurunan itu makin meluas dan menjaga wilayah jelajah hewan kita?

Indra: Membangun kerja sama dengan masyarakat melalui Masyarakat Mitra Polhut (MMP), membuat desa wisata, dan kemitraan konservasi. Semua policy KSDAE itu adalah upaya untuk mencegah penurunan populasi.

Kuncinya di masyarakat?Indra: Ini harus menjadi gerakan

bersama, semua pihak, karena yang kita utamakan adalah mencegah terjadinya perburuan, melakukan penangkaran yang benar dan sesuai aturan. Karena kita tahu satwa dan burung-burung tinggal di kawasan konservasi, mereka tahu kalau sebuah wilayah berbahaya, mereka tidak akan datang ke situ lagi. Makanya di mana terjadi perburuan mereka akan lari dari situ untuk mencari tempat yang lebih aman lagi.

Sudah ada contoh gerakan masyarakat mencegah perburuan?

Ada yang di Desa Jatimulyo di Kulonprogo, Jawa Tengah. Di sana Kepala Desa membuat aturan larangan perburuan burung. Karena burung merasa dilindungi dan aman, burung banyak yang datang ke area desa dan desa tersebut bisa menjadi desa wisata. Desa Saporkren di Raja Ampat juga dikelola oleh masyarakat untuk turisme melihat burung Cendrawasih dan burung-burung lainnya. Ini memang perlu kerja sama dengan Kementerian Desa dan Kementerian Dalam Negeri.

Tapi apa strategi besar mencegah perburuan liar?

Ini harapan saya kepada masyarakat agar semakin sedikit yang tertarik berburu dan menjualbelikan satwa. Kita sedang melakukan operasi pasar, untuk mendata pasar satwa yang juga merupakan tempat jual beli satwa dari alam. Kami baru melepaskan 70 ekor red lory (burung beo)

W I R AT NO, DI R E K T U R J E N DE R A L KON SE RVASI SUM BE R DAYA A L A M DA N E KO SI ST E M K L H K

Saya Ingin Menegakkan Hukum dengan Keras

F rest D gest 35o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 8

dari Makassar untuk dikembalikan ke Ambon. Lalu ada 210 sitaan Jawa Timur dikembalikan ke Kalimantan dengan jenis Cucak Hijau dan Murai Batu.

Mengapa himbauannya kepada masyarakat?

Masyarakat itu tidak tahu burung itu memiliki fungsi ekologis di alam, sebagai penyeimbang dari meledaknya hama penyakit dan lainnya. Ini sangat berkaitan dengan bidang-bidang pertanian yang menjadi kepentingan manusia juga.

Bukan soal penegakan hukum?Saya ingin melakukan penegakan

hukum yang keras terhadap perburuan satwa ini. Kami akan bekerja sama

dengan kepolisian dan penegak hukum lainnya untuk menegakkan hukum agar menimbulkan efek jera. Kalau akar masalah penyebab perburuan itu ekonomi, kami akan pecahkan dengan solusi ekonomi seperti desa-desa wisata itu. Semuanya saya kira harapan saya akan terus membaik kondisinya untuk satwa-satwa di Indonesia.

Apa hasilnya?Indra: Untuk konteks mengawal

tidak spesifik kepada satwa liar, tetapi kepada alam. Ada program yang disebut “One Healt”. Ada tiga pilar yang diukur, yaitu alam, hewan dan manusia. KLHK mendapat peringkat pertama untuk

“pengendalian penyakit bersumber dari satwa liar”. Penghargaan ini diberikan oleh FAO.

Masyarakat Mitra Polhut itu di bawah Direktorat Penegakan Hukum atau KSDAE?

Indra: MMP di bawah KSDAE. Setiap unit pelaksana tugas ide taman nasional mempunyai satuan-satuan tugas yang isinya adalah polisi hutan dan masyarakat. Jadi mereka bersama-sama melakukan patroli secara rutin,. Anggota MMP direkrut dari masyarakat di sekitar kawasan taman nasional.

Bagaimana dengan aturan pemanfaatan bagian tubuh satwa liar untuk pengobatan dan medis?

Indra: Untuk tanaman obat, mikroba, dan sebagainya, kami menyebutnya sebagai plasma nutfah, dan itu sudah ada aturannya di PP 02/018 tentang akses pada sumberdaya genetik spesies liar dan pembagian keuntungan atas pemanfaatannya. Di situ diatur bagaimana caranya memanfaatkan plasma nutfah atau sumberdaya genetik. Ada tiga hal yang diatur. Pertama, mendapatkan PADIA atau persetujuan atas dasar informasi awal, yang kedua MAT (mutual agree terms) atau perjanjian kedua pihak, yang ketiga MTA (matrial transfer agreement).

Untuk pehobi burung, sekarang dilarang?

Indra: Tidak dilarang sepenuhnya, tetapi ada aturan tertentunya. Dalam Peraturan Pemerintah 8/1999 tentang pemanfaatan tumbuhan satwa liar diatur semua untuk penangkaran, lembaga konservasi, edukasi, untuk tujuan pemanfaatan. Bagi pehobi akan kami arahkan untuk penangkaran. Jadi nanti tujuan pemanfaatannya semua sejalan dengan PP 8 tersebut.

Jika ada seseorang memelihara satwa langka, apa tindakan pemerintah kepada mereka?

Indra: Di Pasal 3 PP 8 diatur soal penangkaran, perburuan, perdagangan, peragaan, pertukaran, budidaya, pemeliharaan. Berarti memungkinkan untuk pemeliharaan. Yang perlu disampaikan kepada KLHK adalah data kepemilikan tersebut. Tapi kita masih membahas soal data kepemilikan satwa untuk para pehobi. Para pehobi harusnya melaporkan ke KSDAE setempat, jenisnya apa, jenis kelamin, usia, dan sebagainya. —

F rest D gest36 o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 8F rest D gest36 o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 8

F rest D gest 37o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 8

laporan utama

Usaha-Usaha Melindungi SatwaIndonesia tergolong serius melindungi satwa-satwa langka, meski harus bersaing dengan perburuan liar dan degradasi hutan. Pengembangbiakan di alam (in-situ) maupun kebun binatang (ex-situ) jalin-menjalin kendati masih ada perdebatan soal skema mana yang paling efektif dalam melindungi satwa.

Damai semesta alam.Foto: Asep Ayat

F rest D gest 37o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 8

F rest D gest38 o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 8

laporan utama

SETIAP pukul 5 pagi, saya duduk di teras belakang rumah yang menghadap Gunung Salak. Di situ ada banyak sekali burung yang datang. Selama setahun menikmati hari-hari di akhir pekan, kamera saya setidaknya menangkap gambar 18 jenis burung yang berbeda-beda. Dari pola makan mereka saya kelompokkan lagi menjadi lima jenis.

Kelompok burung itu adalah pemakan buah (frugivora), pemakan biji-bijian (granivora), pemakan serangga (insectivora), penghisap

madu (nectivora), dan pemakan ikan (piscivora). Golongan pemakan buah terdiri dari burung Cucak kutilang

(Pycnonotus aurigaster), Merbah cerukcuk (Pycnonotus guiavier) dan Cabai jawa (Dicaeun trocheieum) yang terkenal paling ribut dibanding teman-temannya. Sementara burung pemakan biji adalah Tekukur biasa (Streptopelia chinensis), Bondol jawa (Lonchura leucogastroides), Bondol tunggir-putih (Lonchura striata), dan Burung gereja (Paser montanus) kerap mencari makan rerumputan di sekitar pekarangan.

Pekarangan yang didominasi oleh pohon buah-buahan, memberikan sumber makanan bagi Burung madu sriganti (Nectania jugularis) dan Burung madu kelapa (Anthreptes malacensis ). Tak heran bila si pengisap nektar ini sering singgah pada bunga pohon buah-buahan tersebut dan membantu peyerbukannya, sehingga buahnya dapat dinikmati ketika musim buah tiba.

Serangga yang beterbangan di pekarangan menarik perhatian burung Cipoh kacat (Aegithina tiphia), Cinenen kelabu (Orthotomus ruficeps) dan Cinenen jawa (Orthotomus sepium). Sesekali terlihat burung-burung tersebut menyambar dan memakan serangga yang sedang terbang. Ditambah lagi burung Walet sapi (Calocalia esculenta) dengan ligat menyambar serangga dari udara bagaikan manufer pesawat tempur. Tak lepas dari perhatian saya, ketika si agresif Raja-udang meninting (Alcedo meninting) dan Cekakak belukar (Halcyon smyrnensis) mengintip ikan yang muncul di kolam belakang rumah. Hilir mudik mereka melakukan manuver untuk menyambar ikan yang lengah dari atas kolam. Kedua burung tersebut termasuk dalam kelompok pemakan ikan.

Paruh burung pemakan larva serangga yang hidup di balik

kulit kayu pepohonan mampu melubangi kulit sebuah pohon ketika mencari makanan atau membuat sangkar. Jenis Caladi tilik (Dendrocopos moluccensis) dan caladi ulam (Dendrocopos macei) sangat indah untuk beterbangan.

Ketika matahari akan tenggelam terdengar pula lengkingan nyaring si Wiwik kelabu (Cocomantis merulinus). Lengkingan yang membikin bulu kuduk merinding seolah-seolah membawa kabar buruk. Bahkan saat malam terdengar sahutan Serak Jawa (Tyto alba) dan Celepuk reban (Otus lempiji ) yang biasanya bersembunyi dalam lubang gelap dan terbang rendah dengan kepakkan tanpa suara. Burung ini termasuk pemangsa yang biasanya memakan tikus-tikus yang berkeliaran di kebun.

Pekarangan Pemikat BurungSelain bulunya yang indah, burung memberikan kicauan yang

merdu. Tak jarang orang mengeluarkan biaya cukup banyak dan pergi jauh hanya untuk menikmati kicauan burung.

Burung tidak hanya dapat dinikmati keindahan suara dan bulunya, tetapi juga memberikan jasa ekosistem sebagai pengendali hama, pemencar biji dan membantu penyerbukan, juga menjadi salah satu indikator kualitas lingkungan.

Artinya keberadaan burung menjadi indikator bahwa tempat tersebut memberikan daya dukung bagi kelangsungan hidupnya untuk mencari makan, bersarang dan berkembang biak. Terjawab sudah pertanyaan mengapa mereka menghampiri

Melestarikan Burung Secara Liar

F rest D gest 39o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 8

pekarangan rumah saya karena ternyata pohon-pohon yang tumbuh di pekarangan menjadi tempat untuk mencari makan dan bertengger bagi beberapa jenis burung, bahkan beberapa di antaranya membuat sarang di pohon-pohon tersebut.

Dengan demikian, jika Anda ingin menikmati suara burung, cara terbaik adalah menanam pohon-pohon di pekarangan. Tentu saja kita harus tahu jenis pohon apa saja yang disukai mereka. Pohon bertajuk tinggi dan pohon penghasil buah adalah jenis yang umumnya mereka sukai.

Pohon di sekitar rumah tidak hanya berfungsi sebagai peneduh melainkan juga menjadi pabrik buah, pabrik bunga, dan yang pasti pabrik oksigen. Bagi beberapa jenis burung, pohon bagaikan sebuah restoran cepat saji. Menu makanan yang mereka sukai adalah bunga, buah dan biji. Sering pula pohon dijadikan tempat berburu bagi burung pemakan serangga. Selain itu, pohon juga dijadikan tempat membuat sarang. Sarang mereka buat dari berbagai bahan seperti ranting, daun, bahkan tanah. Terakhir, pohon merupakan sebuah “hotel atau vila” tempat burung-burung beristirahat seperti halnya penduduk Jakarta menikmati vila di kawasan puncak.

Apakah pohon merana jika dikunjungi burung? Secara teori, burung merupakan agen penyebar biji yang paling andal. Pohon tertolong dengan perkembangbiakan alami yang disebar oleh burung. Selain itu pohon pun akan senang dan tumbuh subur apabila diberi pupuk kotoran burung.

Pohon buah punya daya tarik luar biasa bagi burung, antara lain sawo kecik, srikaya, nangka, rambutan, talok, jambu air, jamblang, durian, belimbing, kemang atau pohon salam.

Selain jenis buah-buahan, beberapa tanaman hias yang disukai burung adalah kenanga, dadap merah, bunga kupu-kupu, sikat botol, kemboja, bambu kuning, palem merah atau kembang soka. Sementara untuk pohon peneduh atau jenis tanaman keras lainnya, burung-burung ternyata senang hinggap di pohon asam ranji, beringin, butun, cemara laut, kapuk, jarak pagar, flamboyan, karet kebo, kayu putih, laban, sempur, sengon, tanjung, turi, mindi dan beringin.

Ibarat investasi kenyamanan, tak ada salahnya mulai memilih tanaman atau pohon yang mampu memikat para burung untuk singgah di taman rumah. Biarkan kicauannya menjadi bagian dari harmonisasi alam di sekitar kita. Selain itu, menanam pohon merupakan salah satu langkah untuk mengurangi dampak pemanasan global, karena pohon mampu menyerap dan menyimpan karbon. Oleh karena itu, usahakan mulai dari sekarang kita memulai untuk menanam pohon dan rajin-rajin merawatnya.

Biarkan burung-burung hidup dan berkeliaran di alam bebas. Menikmati suara cantik mereka lebih indah di alam liar ketimbang terkurung di sangkar. Mari tanam pohon sebanyak-banyaknya untuk rumah mereka.

Asep Ayat Pemerhati burung liar di Burung Indonesia

K O L O M

F rest D gest40 o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 8

laporan utama

INDONESIA menyandang predikat mega-diversity karena keanekaragaman dan keunikan hayati yang sangat tinggi, baik satwa maupun tumbuhan. Namun demikian, seiring dengan predikat anugerah itu, Indonesia juga tergolong ke dalam negara yang tingkat kepunahan satwa dan tumbuhan langkanya sangat tinggi. Indonesia termasuk ke dalam hot-spot atau prioritas konservasi.

Konservasi keanekaragaman hayati adalah langkah-langkah pengelolaan keanekaragaman secara bijaksana. Ada tiga pilar penting dalam konservasi, yaitu pengawetan, perlindungan, dan pemanfaatan yang

lestari (sustainable use) terhadap genetik, spesies, dan ekosistem. Bahasan dalam makalah ini lebih fokus pada konservasi spesies, terutama pada pemanfaatan jenis karena acap disalahpahami.

Pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar melalui perijinan, termasuk genetik, diatur dalam Peraturan Pemerintah 8/1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar. Pemanfaatan jenis terbatas pada penggunaan sumber daya alam baik tumbuhan maupun satwa liar dan atau bagian-bagiannya serta hasil dari padanya dalam bentuk: (1) pengkajian, penelitian dan pengembangan; (2) penangkaran; (3) perburuan; (4) perdagangan; (5) peragaan; (6) pertukaran; (7) budidaya tanaman obat-obatan, dan (8) pemeliharaan untuk kesenangan.

Pengkajian, Penelitian dan PengembanganPengkajian, penelitian dan pengembangan dapat dilakukan

terhadap jenis tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi atau yang tidak dilindungi. Penggunaan jenis tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi untuk kepentingan ini harus dengan izin dan wajib diberitahukan kepada pemerintah. Sebagai tindak lanjut dari Protokol Nagoya dan UU No. 11 tahun 2013 tentang Pengesahan Protokol Nagoya tentang Akses pada Sumber Daya Genetik dan Pembagian Keuntungan yang Adil dan Seimbang yang Timbul atas Pemanfaatannya, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan cq Direktorat Jenderal Konservasi dan Sumber Daya Ekosistem sedang menyusun Peraturan Menteri LHK tentang Akses Pada Sumber Daya Genetik Spesies Liar dan Pembagian Keuntungan atas Pemanfaatannya.

PenangkaranPenangkaran adalah upaya perbanyakan melalui pengembang-

biakan dan pembesaran tumbuhan dan satwa liar dengan tetap memperhatikan kemurnian jenisnya. Penangkaran bertujuan 1) mendapatkan spesimen tumbuhan dan satwa liar (TSL) dalam jumlah, mutu, kemurnian jenis dan keanekaragaman genetik yang terjamin, untuk kepentingan pemanfaatan sehingga mengurangi tekanan langsung terhadap populasi di alam, dan 2) mendapatkan kepastian secara administratif maupun secara fisik bahwa peman-faatan spesimen TSL yang dinyatakan berasal dari penangkaran adalah benar-benar berasal dari kegiatan penangkaran.

Acuan normatif penangkaran adalah Peraturan Menteri

Kehutanan No. P.19/Menhut-II/2005 tentang Penangkaran Tumbuhan dan Satwa Liar Jo Peraturan Menteri Kehutanan No. P 69/Menhut-II/2014 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kehutanan No. P.19/Menhut-II/2005 tentang Penangkaran TSL. Penangkaran untuk tujuan pemanfaatan jenis dilakukan melalui kegiatan: (1) pengembangbiakan satwa atau perbanyakan tum-buhan secara buatan dalam lingkungan yang terkontrol; dan (2)penetasan telur dan atau pembesaran anakan yang diambil dari alam.

Hasil penangkaran satwa liar yang dilindungi yang dapat digunakan untuk keperluan perdagangan adalah satwa liar generasi kedua dan generasi berikutnya. Generasi kedua dan generasi berikutnya dari hasil penangkaran jenis satwa liar yang dilindungi, dinyatakan sebagai jenis satwa liar yang tidak dilindungi. Sampai saat ini tercatat ada 903 unit penangkaran yang terdaftar pada Ditjen KSDAE Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Di dalamnya ada 59 jenis tumbuhan dan satwa liar dilindungi dan 210 jenis TSL tilindungi yang telah dan sedang ditangkarkan.

Perburuan Satwa BuruPerburuan jenis satwa liar diizinkan untuk keperluan olah raga

buru (sport hunting), perolehan trofi (hunting trophy), dan perburu-an tradisional oleh masyarakat setempat. Kegiatan perburuan diatur dalam PP 13/1994, PP 8/1999 dan peraturan turunannya. Meski begitu, perburuan satwa buru tetap berdasarkan asas kelestarian manfaat dengan memperhatikan populasi, daya dukung habitat, dan keseimbangan ekosistem. Dengan demikian, perburuan satwa buru merupakan salah satu instrumen pembinaan populasi satwa.

Dalam perspektif hukum, perburuan diperbolehkan sebagai salah satu bentuk pemanfaatan satwa liar dalam konteks pembinaan dan pengendalian populasi. Sebenarnya pengembangan pengusahaan kegiatan perburuan legal melalui pengusahaan taman buru dan kebun buru bisa memberikan kontribusi terhadap peta sosial dan ekonomi masyarakat sekitar dan devisa negara. Sebagaimana yang telah dikembangkan oleh beberapa Negara seperti halnya Afrika Selatan, Amerika Serikat, dan lainnya. Tidak sedikit bagi banyak orang yang hobi berburu dan mempunyai kemampuan finansial membelanjakan uangnya untuk tujuan berburu satwa.

PerdaganganAcuan normatif perdagangan tumbuhan dan satwa liar adalah

Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 447/Kpts-II/2003 tentang Tata Usaha Pengambilan atau Penangkapan dan Peredaran Tumbuhan dan Satwa Liar. Tumbuhan dan satwa liar yang dapat diperdagangkan adalah jenis yang tidak dilindungi. Tumbuhan dan satwa liar untuk keperluan perdagangan diperoleh dari: hasil penangkaran dan pengambilan atau penangkapan dari alam yang ditetapkan berdasarkan kuota tahunan pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar tidak dilindungi. Kuota tahunan didasarkan atas

Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar

F rest D gest 41o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 8

prinsip kehati-hatian (precautinary principle) dengan mempertim-bangkan aspek bioekologi spesies dan aspek perdagangan spesies serta pemanfaatan yang berkelanjutan (sustainable use).

Tiap-tiap perdagangan tumbuhan dan satwa liar wajib dilengkapi dengan dokumen yang sah. Dokumen perdagangan untuk tujuan ekspor, re-ekspor, dan impor, sah apabila telah memenuhi: (1) memiliki dokumen pengiriman atau pengangkutan (SATS-DN dan SATS-LN); (2) izin ekspor, re-ekspor, atau impor; dan (3) rekomendasi otoritas keilmuan (Scientific Authority). Tumbuhan dan satwa liar yang diekspor, re-ekspor, atau impor wajib dilakukan tindak karantina. Ekspor, re-ekspor, atau impor jenis tumbuhan dan satwa liar tanpa dokumen atau memalsukan dokumen atau menyimpang dari syarat-syarat dokumen termasuk dalam pengertian penyelundupan.

Nilai ekspor tumbuhan dan satwa liar terus meningkat setiap tahun. Pada 2014, nilai ekspor TSL sebesar Rp 743 juta, tahun 2015 sebesar Rp 5,3 triliun, tahun 2016 meningkat menjadi Rp 6,5 triliun, dan tahun 2017 sebesar Rp 8,3 triliun. Sedangkan, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari pemanfaatan jenis TSL tahun 2014 sebesar Rp 8,4 miliar, tahun 2015 sebesar Rp 8,6 miliar, dan tahun 2016 meningkat menjadi Rp 9,5 miliar, dan tahun 2017 sebesar Rp 24,7 miliar.

Peragaan Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang

Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya telah diatur mengenai peragaan. Acuan normatif lebih detail tentang peragaan adalah Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.40/Menhut-II/2012 tentang Revisi Permenhut No. P.52/Menhut-II/2006 tentang Peragaan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar Dilindungi. Sedangkan untuk jenis yang tidak dilindungi diatur dalam Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 447/Kpts-II/2003 tentang Tata Usaha Pengambilan atau Penangkapan dan Peredaran Tumbuhan dan Satwa Liar.

Peragaan jenis tumbuhan dan satwa liar bisa berupa koleksi hidup atau koleksi mati termasuk bagian-bagiannya serta hasil dari padanya. Peragaan jenis tumbuhan dan satwa liar bisa dilakukan oleh lembaga konservasi dan lembaga pendidikan formal atas dasar izin. Lembaga, badan, atau orang yang melakukan peragaan tumbuhan dan satwa liar bertanggung jawab atas kesehatan dan keamanan tumbuhan dan satwa liar yang diperagakan tersebut.

Pertukaran

Soal pertukaran TSL diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8/1999, yang diturunkan dalam Permenhut No. P.39/Menhut-II/2012 tentang Pertukaran Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar Dilindungi dengan Lembaga Konservasi Luar Negeri, serta Peraturan Menteri Kehutanan No. P.63/Menhut-II/2013 tentang Tata Cara Memperoleh Spesimen Tumbuhan dan Satwa Liar Untuk Lembaga Konservasi. Intinya mengatur hal-hal di bawah ini.

Pertukaran jenis tumbuhan dan satwa liar dilakukan

dengan tujuan mempertahankan atau meningkatkan populasi, memperkaya keanekaragaman jenis, penelitian dan ilmu pengetahuan, dan atau penyelamatan jenis yang bersangkutan.

Pertukaran jenis tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi hanya bisa dilakukan terhadap jenis tumbuhan dan satwa liar yang sudah dipelihara oleh lembaga konservasi.

Pertukaran jenis tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi hanya bisa dilakukan oleh dan antar lembaga konservasi dan pemerintah.

Pertukaran hanya bisa dilakukan antara satwa dengan satwa, atau tumbuhan dengan tumbuhan.

Pertukaran dilakukan atas dasar keseimbangan nilai konservasi jenis tumbuhan dan satwa liar yang bersangkutan. Penilaian atas keseimbangan nilai konservasi dilakukan oleh tim penilai yang pembentukan dan tata kerjanya ditetapkan dengan keputusan Menteri.

Pengembangan skema perolehan koleksi satwa liar bagi lembaga konservasi di luar negeri dilakukan melalui pengakomodasian dalam Peraturan Menteri Kehutanan No. P.83/Menhut-II/2014 tentang Peminjaman Jenis Satwa Liar Dilindungi Untuk Tujuan Pengembangbiakan (Breeding Loan). Oleh karena itu, skema perolehan TSL bagi lembaga konservasi menjadi tiga, yaitu hadiah cendera mata dari pemerintah, pertukaran, dan breeding loan.

Budidaya Tanaman Obat-obatanPemanfaatan jenis tumbuhan liar yang berasal dari habitat alam

untuk keperluan budidaya tanaman obat-obatan dilakukan dengan tetap memelihara kelangsungan potensi, populasi, daya dukung, dan keanekaragaman jenis tumbuhan liar. Pemanfaatan jenis tumbuhan liar untuk kepentingan budidaya dilakukan dengan izin.

Pemeliharaan untuk KesenanganSetiap orang bisa memelihara jenis tumbuhan dan satwa

liar untuk tujuan kesenangan. Tumbuhan dan satwa liar untuk keperluan pemeliharaan untuk kesenangan hanya bisa dilakukan terhadap jenis yang tidak dilindungi dengan penetapan batas maksimum jumlah tumbuhan dan satwa liar yang bisa dipelihara untuk kesenangan melalui izin.

Tumbuhan dan satwa liar untuk keperluan ini merupakan hasil penangkaran, perdagangan yang sah, atau dari habitat alam sesuai peraturan perundangan. Pemelihara jenis tumbuhan dan satwa liar untuk kesenangan, wajib: (1) memelihara kesehatan, kenyamanan, dan keamanan jenis tumbuhan atau satwa liar peliharaannya; dan (2) menyediakan tempat dan fasilitas yang memenuhi standar pemeliharaan jenis tumbuhan dan satwa liar.

Setiap lima tahun pemerintah mengevaluasi kecakapan atau kemampuan seseorang atau lembaga atas kegiatannya memelihara satwa liar untuk kesenangan ini. Untuk keperluan ini, pemelihara wajib menyampaikan laporan berkala sesuai ketentuan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Sampai saat ini pengaturan lanjutan pemeliharaan untuk kesenangan belum diundangkan.

—Kontributor: Nunu Anugrah, Ikeu Sri Rejeki

Indra ExploitasiaBekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan

Kehutanan

K O L O M

F rest D gest42 o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 8

laporan utama

LOKAKARYA Population and Habitat Viability Assessment (PHVA) Orangutan pada Mei 2016 menghasilkan gambaran terkini dan rinci mengenai sebaran dan populasi orangutan di Sumatera dan Kalimantan (termasuk Sarawak dan Sabah, Malaysia). Mengacu pada hasil PHVA (Population and Habitat Viability Assessment) tersebut, diperkirakan masih ada sekitar 71.820 individu orangutan di Sumatera dan Kalimantan.

Orangutan tersebut hidup di habitat seluas sekitar 181.773Km2 yang tersebar di

51 metapopulasi. Di Sumatera, ada 10 metapopulasi dan di Kalimantan 41 metapopulasi (12 metapopulas di Sarawak dan Sabah).

Berdasarkan analisis keberlanjutan hidup populasi orangutan, diperkirakan hanya 23% metapopulasi di Indonesia yang akan lestari dalam 100-500 tahun ke depan, jika ancaman tidak berkurang atau hilang (Utami-Atmoko dkk 2017). Para pemangku kepentingan sepakat bahwa ancaman terbesar terhadap kelestarian orangutan adalah konversi hutan pada habitat orangutan. Taman-taman nasional dan kawasan konservasi lainnya di Sumatera dan Kalimantan yang merupakan habitat utama orangutan seharusnya tidak dikonversi dalam 100-500 tahun ke depan bahkan lebih.

AncamanOrangutan memerlukan hutan yang luas untuk tempat

hidupnya. Oleh karena itu, hilang dan rusaknya hutan yang menjadi habitat orangutan akan sangat berpengaruh terhadap menyusutnya populasi mereka. Orangutan merupakan satwa yang sangat rentan terhadap kepunahan karena memiliki laju reproduksi yang sangat lambat. Saat ini, populasi ketiga spesies orangutan masuk ke dalam daftar merah IUCN Red-List dalam status critical endangered/kritis, (IUCN 2017). Namun demikian, menurut hasil PHVA 2016, orangutan Kalimantan diprediksi bertahan sampai 500 tahun ke depan. Ancaman utama adalah deforestasi dan konversi hutan, perburuan dan perdagangan ilegal, konflik manusia-orangutan serta kebakaran hutan (Utami-Atmoko dkk. 2017).

Konflik dengan Manusia Konversi hutan pada habitat orangutan telah menyebabkan

konflik dengan manusia. Langkah terakhir untuk mencegah dampak lebih buruk adalah dengan translokasi orangutan

ke habitat yang baru. Habitat orangutan yang baru tersebut harus aman dan mempunyai daya dukung yang layak untuk menjamin keberlanjutan mereka di tempat itu. Translokasi meliputi tindakan penyelamatan di lokasi konflik (rescue), proses rehabilitasi (jika diperlukan), pencarian lokasi baru, dan pemindahan orangutan ke tempat baru (reintroduksi). Untuk itu, diperlukan kerja sama dari semua pihak yang terlibat untuk mengatasi persoalan konflik.

Berdasarkan rekomendasi IUCN, orangutan hasil rescue dari daerah konflik atau hasil penyitaan/penyerahan, sebelum dikembalikan ke habitat alaminya atau reintroduksi harus direhabilitasi terlebih dahulu. Rehabilitasi diperlukan untuk memulihkan kondisi kesehatan dan perilakunya agar bertahan di habitat baru sekaligus mencegah penyakit menular, seperti hepatitis B manusia dan tuberkulosis (TBC) tidak menularkan penyakitnya ke populasi liar di alam.

Reintroduksi orangutan ke habitat asli perlu kehati-hatian agar tidak terjadi pencemaran genetik. Selain itu, mereka harus dinyatakan sehat, orangutan yang akan direintroduksi harus mampu mengidentifikasi dan mengonsumsi pakan alaminya; mampu memanjat dengan baik dan membuat sarang di pohon untuk istirahat dan tidur; lebih banyak beraktivitas di pohon dan mampu berpindah dari satu pohon ke pohon lainnya; dinilai memiliki kapasitas untuk bertahan-hidup di alam berdasarkan hasil pengamatan perilaku hariannya; serta telah disetujui untuk direintroduksi di lokasi yang baru oleh Direktorat Jenderal KSDAE.

Tantangan Konservasi OrangutanSoliditas populasi dan habitat orangutan saat ini menghadapi

banyak tantangan. Habitat di luar kawasan konservasi, masih belum aman, apalagi kondisinya berada di luar kawasan hutan. Untuk itu, perlu terus didorong kerja sama para pihak untuk membuat suatu perencanaan konservasi di tingkat meta populasi untuk mengelola orangutan dan habitatnya, khususnya untuk orangutan di luar kawasan konservasi dan non hutan.

Unit-unit manajemen pengelola kawasan hutan dan non hutan yang kawasannya merupakan habitat orangutan seperti KPHP, KPHL, HPT, HTI, dan perkebunan perlu didorong untuk mengawasi dan evaluasi, pengelolaan populasi orangutan dan membuat rencana pengelolaan konservasi orangutan. Aspek penegakan hukum perlu ditingkatkan. Dibentuknya Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Lingkungan pada Kementerian LHK diharapkan bisa semakin memperkuat pemberantasan

Tantangan Konservasi Orangutan

F rest D gest 43o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 8

tindak pidana perburuan, perdagangan, pemeliharaan ilegal, dan penyelundupan satwa-satwa liar khususnya orangutan. Makin berkembangnya dunia digital dan sosial media juga merupakan tantangan tersendiri dalam konservasi orangutan, karena para pelaku kriminal dengan mudah berhubungan satu sama lain.

Dibentuknya KPHP dan KPHL yang merupakan unit pelaksana teknis dari pemerintah provinsi dalam mengelola hutan produksi dan hutan lindung, seharusnya bisa menjadi mitra badi BKSDA dan Balai Taman Nasional dalam upaya mengelola orangutan yang hidup di hutan produksi dan hutan lindung. Skema IUPHHK-Restorasi Ekosistem merupakan salah satu solusi untuk mendapatkan hak pengelolaan hutan produksi untuk lokasi pelepaslairan orangutan.

Adapun untuk mengelola orangutan di luar kawasan hutan dan daerah penyangga, konsep Kawasan Ekosistem Esensial (KEE) merupakan satu solusi yang bisa difungsikan untuk membangun koridor satwa. Saat ini Kementerian LHK juga sudah membentuk Direktorat Bina Pengelolaan Ekosistem Esensial di bawah Direktorat Jenderal KSDAE.

Tantangan besar lainnya dalam konservasi orangutan adalah pusat-pusat rehabilitasi yang sudah melebihi kapasitasnya. Diperkirakan sekitar 10% orangutan yang berada di pusat-pusat

rehabilitasi tidak layak dilepasliarkan akibat cacat, faktor psikis, dan penyakit yang dikhawatirkan berbahaya bagi orangutan liar dan atau orangutan reintroduksi lainnya.

Tantangan besar dalam kebijakan saat ini adalah revisi Peraturan Menteri Kehutanan 280/1995 terkait pedoman rehabilitasi dan pelepasliaran yang belum selesai. Kasus penyitaan dan penyerahan orangutan serta kematian orangutan akibat kelalaian perusahaan yang mengakibatkan kematian orangutan di areal kerjanya masih sedikit yang ditindaklanjuti dengan penegakkan hukum. Dalam bidang penegakan hukum mungkin perlu suatu inisiasi untuk memasukkan kejahatan lingkungan termasuk pembunuhan, perdagangan, dan penyelundupan orangutan menjadi kejahatan luar biasa sehingga penanganannya pun harus dilakukan secara khusus oleh komisi khusus, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Dibidang SDM dan lembaga penegakan hukum, meskipun tujuan dibentuknya Ditjen Gakum sangat bagus, namun dampaknya banyak polisi kehutanan dari UPT Ditjen KSDAE (Balai KSDA dan Balai Taman Nasional) yang pindah menjadi staf Ditjen Gakum. Sehingga tenaga polhut di Balai KSDA dan Balai Taman Nasional menjadi terbatas.

Saat ini juga sudah dibentuk forum-forum konservasi orangutan di tingkat regional dan nasional. Meski demikian, forum-forum tersebut belum berfungsi maksimal sebagai forum para pelaku konservasi orang-utan. Forum-forum ini seharusnya menjadi media komunikasi para pihak baik di tingkat regional maupun nasional agar isu-isu konservasi orangutan dan habitatnya menjadi bagian dari tujuan pembangunan berkelanjutan.

Penelitian dan pemanfaatan orangutan dan habitatnya merupakan tantangan tersendiri selain masih rendahnya minat mahasiswa Indonesia meneliti orangutan. Pendanaan merupakan tantangan lain yang tak kalah krusial. Dana berkelanjutan untuk konservasi orangutan belum tersedia. Hal ini bisa menyebabkan upaya konservasi tidak bisa optimal dan berkelanjutan.

Menyikapi tantangan dalam konservasi orangutan di Indonesia, Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati, Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sedang menyiapkan dokumen Strategi dan Rencana Aksi Konservasi (SRAK) Orangutan Tahun 2018-2028 yang prosesnya dimulai dari tingkat regional. Dokumen akan menjadi acuan para pemangku kepentingan dalam upaya konservasi orangutan dan habitatnya. —

Ade SoeharsoStaf Direktorat Konservasi Keanekaragaman

Hayati, Ditjen KSDAE, Kementerian LHK

K O L O M

Reintroduksi orangutan ke habitat asli perlu kehati-hatian agar tidak terjadi pencemaran genetik. Selain itu, mereka harus dinyatakan sehat, orangutan yang akan direintroduksi harus mampu mengidentifikasi dan mengonsumsi pakan alaminya; mampu memanjat dengan baik dan membuat sarang di pohon untuk istirahat dan tidur; lebih banyak beraktivitas di pohon dan mampu berpindah dari satu pohon ke pohon lainnya; dinilai memiliki kapasitas untuk bertahan-hidup di alam berdasarkan hasil pengamatan perilaku hariannya; serta telah disetujui untuk direintroduksi di lokasi yang baru oleh Direktorat Jenderal KSDAE.

F rest D gest44 o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 8

laporan utama

KEBERADAAN harimau sangat memprihatinkan. Mamalia besar ini terancam akibat maraknya perburuan, perdagangan, dan berkurangnya mangsa. Selain itu, kehadiran harimau ketika berada di luar habitatnya sering dianggap sebagai ancaman oleh manusia yang bermukim di sekitar hutan. Tak jarang, harimau yang memangsa ternak, menyerang manusia, atau sekadar melintas menjadi sasaran perburuan yang diiringi dengan penyiksaan.

Di awal 2018, seekor harimau mati dibunuh kemudian digantung dengan kondisi yang mengenaskan dan menjadi tontonan warga di Mandailing Natal, Sumatera Utara, setelah masuk ke permukiman. Di Indragiri Hilir, Riau, seekor harimau dilaporkan menewaskan dua orang. Di kabupaten yang sama harimau bunting mati akibat terjerat di kebun milik penduduk.

Deforestasi adalah akar utama konflik manusia dengan harimau. Margono et al., (2012) mencatat setidaknya sekitar 7,54 juta hektare lahan hutan primer di Sumatra hilang selama 1990-2010 atau sekitar 0,38 juta hektar per tahun. Riau menjadi provinsi yang mengalami tingkat deforestasi paling tinggi yakni mencapai 68% dari total deforestasi hutan primer yang terjadi di Sumatera. Saat ini, hanya di beberapa lanskap besar saja seperti di lanskap Ulu masen-Leuser dan Kerinci Seblat yang memiliki tingkat hunian harimau tertinggi (Wibisono et al., 2011).

Harimau menyukai habitat hutan hujan lembab dengan kanopi yang rapat dan jumlah tumbuhan bawah yang sedikit biasanya memiliki ketersediaan mangsa yang sedikit (Eisenberg, 1980). Hal ini juga yang menyebabkan densitas harimau rendah, berkisar antara 0,5-3,0 individu/100 km2.

Harimau dewasa bisa menjelajah hingga 5-30 kilometer per hari dan membutuhkan pakan minimal 1 ekor mangsa seukuran rusa dewasa setiap pekan. Dengan kondisi hutan yang tercerai berai serta minimnya satwa mangsa, menyebabkan tingginya konflik manusia dan harimau. Studi Nyhus & Tilson (2004), mencatat harimau telah membunuh 146 orang dan mencederai 30 lainnya, sekitar 870 ekor ternak diserang yang menyebabkan pemindahan 362 ekor harimau terlibat konflik dari alam liar.

Konflik harimau dan manusia paling banyak terjadi Sumatera

Barat (48 kasus), Riau (38), Aceh (34), Jambi (14), Lampung (6), Sumatera Utara (6). Mayoritas konflik terjadi di daerah dengan berbagai tipe penggunaan lahan yang berdekatan dengan hutan di mana manusia dan harimau hidup bersama.

Pada 2001-2016, Forum Harimau Kita (FHK) mendokumentasikan setidaknya 1.065 kasus konflik manusia-harimau, termasuk serangan terhadap 184 orang dan 376 ekor ternak yang menyebabkan sekitar 130 harimau terbunuh atau dipindahkan dari habitatnya yang telah terusik (Kartika, 2017). Pada periode ini, konflik paling banyak terjadi di Aceh (230 kasus), disusul oleh Bengkulu (216), Jambi (203), Riau (148), Lampung (95), Sumatera Barat (82), Sumatera Utara (71), dan Sumatera Selatan (13).

Dari dua periode tersebut, tercatat sekitar 492 ekor harimau harus mati atau dikeluarkan dari habitatnya akibat berkonflik dengan manusia. Jika hal ini terus berlanjut tanpa adanya penanggulangan yang optimal, tidak lama lagi harimau Sumatera yang berkisar tinggal 700 akan punah mengikuti jejak saudaranya yang telah punah terlebih dahulu seperti harimau Bali (Panthera tigris balica) dan harimau Jawa (Panthera tigris sondaica).

Sebagai lanskap dengan konflik tinggi, Lanskap Leuser layak mendapatkan perhatian khusus untuk mitigasi konflik manusia dengan harimau. Sejak awal 2007, Wildlife Conservation Society (WCS) melalui program Wildlife Response Unit (WRU) melakukan mitigasi konflik harimau dan satwa kunci lainnya seperti gajah, orangutan, dan beruang yang sering berkonflik dengan masyarakat sekitar hutan.

Melalui jaringan informan yang tersebar di berbagai daerah, informasi konflik diverifikasi oleh tim WRU bersama staf Balai Konservasi Sumber Daya Alam, LSM dan masyarakat lokal di lokasi terjadinya konflik. Sesuai dengan tingkatan konflik yang terjadi, misalnya, untuk kasus harimau melintas, tim mitigasi hanya perlu melakukan pengusiran dengan menggunakan bunyi-bunyian keras seperti petasan atau dentuman. Bila perlu, beberapa kamera intai kemudian dipasang untuk memonitor keberadaan harimau di daerah tersebut.

Selain itu, tim mitigasi juga melakukan sosialisasi kepada masyarakat meningkatkan kewaspadaan dan memitigasi konflik secara tepat, terutama untuk

Strategi Mengurangi Konflik Harimau dan Manusia

F rest D gest 45o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 8

menghindari adanya pihak-pihak yang akan mengambil keuntungan dari kejadian tersebut, seperti pemburu harimau. Untuk menghindari pemangsaan terhadap ternak, tim mitigasi membantu masyarakat membangun kandang anti serangan harimau (Tiger Proof Enclosure/TPE) yang telah terbukti efektif menjaga ternak dari ancaman predator tersebut.

Tim WRU juga berpatroli di desa sekaligus sosialisasi terkait mitigasi konflik. Beberapa desa yang terpilih kemudian dijadikan sebagai desa mandiri yang salah satu tujuannya membekali kemampuan dan sumber daya yang cukup memitigasi konflik dengan satwa liar secara mandiri.

Dari data yang telah dikumpulkan dan diverifikasi, WRU mencatat sekitar 182 kasus konflik terjadi pada periode 2008-2017, atau sekitar 18,3 kejadian per tahun. Kasus terbanyak terjadi pada 2010, 2012 dan 2017, dan terendah pada tahun 2013. Berdasarkan kategori konflik, tipe konflik yang terbanyak terjadi pada tipe harimau menyerang ternak (46,2%), harimau

mendekati perkampungan/lahan pertanian (40.2%), harimau terjerat (7.1%), harimau terbunuh (4.9%) dan harimau menyerang manusia (1.6%).

Di Lanskap Leuser, konflik harimau-manusia terjadi di 21 kabupaten yang terdiri dari 57 kecamatan, dan 105 desa. Kabupaten Aceh Selatan menjadi kabupaten dengan tingkat kejadian KMH tertinggi (45.4%), disusul oleh Gayo Lues (9.8%), Aceh Tenggara (8,2%), Langkat (7,7%), Subulussalam (6,0%) dan sisa 13 kabupaten dengan masing-masing kurang dari 5%. Konflik di Aceh Selatan terjadi di 36 desa, dengan frekuensi konflik tertinggi terjadi di Panton Luas (22,9%), diikuti oleh Jambo Papeun (16,9%), Jambo Apha (4,8%), dan Payonan Gadang (4,8%).

Dari hasil analisis data-data lokasi KMH yang terjadi di Leuser periode 2008-2017 dengan menggunakan metode maximum entrophy (Phillips et al., 2004), bisa diketahui konflik harimau-manusia dipengaruhi beberapa faktor, seperti tipe penggunaan lahan, keberadaan satwa mangsa dan ternak. Dengan melihat akar masalah konflik harimau-manusia, berikut beberapa mitigasi yang bisa dilakukan untuk menguranginya:

Pembentukan tim mitigasi konflik yang bertujuan untuk mencegah jatuhnya korban lebih lanjut terhadap masyarakat, ternak, maupun harimau. Kehadiran tim mitigasi terbukti efektif membangun kepercayaan dan saluran komunikasi yang tepat dengan masyarakat, terutama untuk mencegah para pemburu oportunis yang memanfaatkan situasi kearah yang tidak baik.

Mendukung program pemerintah daerah mensosialisasikan praktik peternakan yang bertanggungjawab. Adanya dana desa’yang bisa dialokasikan untuk membentuk tim mitigasi konflik atau dapat digunakan untuk mendukung pembangunan kandang anti serangan harimau (TPE).

Sosialisasi dan edukasi terhadap masyarakat lokal agar tidak memburu satwa liar seperti babi hutan atau rusa yang merupakan salah satu mangsa harimau. Penggunaan jerat untuk menghalau babi liar yang dianggap sebagai hama oleh petani sebaiknya dikurangi dan dicari jalan keluar yang lebih baik. Keberadaan jerat juga dapat dikendalikan dengan melakukan patroli pengamanan kawasan seperti “sapu jerat” yang lebih intensif khususnya daerah yang rawan konflik KMH atau daerah yang rawan aktivitas illegal manusia.—

M. Irfansyah LubisConservation Evidence Coordinator

Wildlife Conservation Society – Indonesia Program

K O L O M

Pada 2001-2016, Forum Harimau Kita (FHK) mendokumentasikan setidaknya 1.065 kasus konflik manusia-harimau, termasuk serangan terhadap 184 orang dan 376 ekor ternak yang menyebabkan sekitar 130 harimau terbunuh atau dipindahkan dari habitatnya yang telah terusik (Kartika, 2017). Pada periode ini, konflik paling banyak terjadi di Aceh (230 kasus), disusul oleh Bengkulu (216), Jambi (203), Riau (148), Lampung (95), Sumatera Barat (82), Sumatera Utara (71), dan Sumatera Selatan (13).

F rest D gest46 o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 8

laporan utama

GAJAH Sumatera sedang diambang kepunahan. Gajah Sumatera merupakan sub spesies dari gajah Asia (Elephas maximus). Dalam kurun 30 tahun terakhir, jumlah populasinya turun hingga 70% (Sukamar, 2003). Winata (2018) menambahkan, dengan mengutip Forum Konservasi Gajah Indonesia (FKGI), populasi gajah per 2016 diperkirakan sekitar 1.700 ekor dan lebih dari 700 gajah mati dalam 10 tahun terakhir. Kasus kematian gajah banyak ditemukan di Propinsi Aceh, Jambi, Bengkulu

dan Lampung. Selain gajah yang berada di alam liar, saat ini 500 gajah tersebar di berbagai Pusat Konservasi Gajah yang berada di Sumatera, Jawa dan Bali.

Maka konservasi gajah tak bisa ditawar, baik in situ (pada habitat alaminya) maupun konservasi ex situ (diluar habitatnya). Dalam ilmu konservasi modern, konservasi bukan hanya pada aspek preservasi (preservation) atau pelestarian sumber daya alam akan tetapi termasuk aspek pemanfaatan sumber daya alam dengan penggunaan secara nalar (intellect utilization) dan secara bijak (wise use).

Dalam perkembangan ilmu pengetahuan juga saat ini dikenal juga dengan “bisnis konservasi”. Ini cara pandang baru yang menyeimbangkan pembangunan ekonomi, sosial, dan ekologi dengan memanfaatkan potensi alam, keragaman hayati termasuk budaya masyarakat untuk kesejahteraan masyarakat dan kelestarian lingkungan.

Program konservasi gajah yang banyak dikembangkan di era modern, baik pada habitat alaminya maupun yang berada di bawah kendali manusia adalah melalui pengembangan ekowisata. Ekowisata pada hakikatnya merupakan perjalanan dan kunjungan yang bertanggungjawab terhadap lingkungan yang tidak merusak kawasan alam karena hanya menikmati, mempelajari, dan mengapresiasi alam, termasuk aspek budayanya untuk menunjang program konservasi.

Salah satu program konservasi gajah melalui ekowisata yang baru dikembangkan adalah di Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Aek Nauli. Pemilihan lokasi pengembangan konservasi dan ekowisata gajah di KHDTK Aek Nauli memiliki prospek yang besar dan mendukung program strategis nasional

karena memiliki aksesibilitas yang mudah dikunjungi dan terdapat di pinggir jalan negara yang menuju Kawasan Danau Toba. Kawasan ini tepatnya berada sekitar 10 kilometer sebelum Kota Parapat (Danau Toba) sehingga memiliki posisi yang sangat strategis karena merupakan lintasan utama menuju kawasan pariwisata tersebut.

Kawasan KHDTK Aek Nauli berada di daerah pegunungan pada ketinggian sekitar 1.000-1.750 meter dari permukaan laut dengan kemiringan antara 3-65 % (rata-rata antara 25-40%). Kawasan KHDTK Aek Nauli merupakan salah satu areal penanaman reboisasi Tusam (Pinus merkusii) terluas yang masih tersisa di Danau Toba. Penanaman telah dimulai sejak awal kemerdekaan hingga awal tahun 1970-an dengan jenis yang ditanam sebagian besar merupakan Tusam/Pinus strain Aceh.

Beragam jenis mamalia juga teridentifikasi di sini, di antaranya monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), Beruk (M. nemestrina), Siamang (Hylobates syndactylus), kijang (Muntiacus muntjak), Babi hutan (Sus scrofa), dan Rusa (Rusa unicolor). Selain itu juga diketahui keberadaan Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) dan beruang madu (Helarchos malayanus). Jenis-jenis burung yang banyak dijumpai diantaranya adalah kucica hutan (Copsychus malabaricus), tekukur (Streptopelia chinensis), kutilang (Pynonotus aurigaster) dan lainnya (Kuswanda, dan Pratiara. 2017).

Ekowisata Gajah Danau Toba

F rest D gest 47o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 8

Program pengembangan gajah di KHDTK Aek Nauli merupakan hasil kerjasama antara Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BP2LHK) Aek Nauli, Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Sumatera Utara, dan Veterinary Society for Sumatran Wildlife Conservation (Vesswic). Para pihak sepakat memberi nama kawasan ini dengan sebutan ANECC (Aek Nauli Elephant Conservation Camp).

Pada Kawasan ANECC telah dipelihara empat gajah yaitu Figo (jantan), Vini, Ester dan Siti (betina). Manajemen ekowisata di KHDTK Aek Nauli akan dikembangkan berbasis wisata ilmiah dengan prinsip edutaiment. Pengembangan prinsip edutaiment memiliki fungsi penting sebagai wahana penelitian dan pengembangan, pendidikan, sekaligus pertunjukan dan/atau peragaan wisata bagi kepuasan pengunjung (wisatawan) guna memberikan kesan positif dan pengetahuan kepada pengunjung.

Gajah jinak yang menjadi obyek wisata di KHDTK Aek Nauli merupakan hasil domestikasi dari gajah tangkapan yang dijinakkan, dilatih, dan dikembangbiakkan (ditangkarkan). Gajah jantan Vigo merupakan hasil pengembangbiakan di Pusat Konservasi Gajah (PKG) Holiday Resort, Labuan Batu, Sumatera Utara.

Untuk mendukung pengelolaan ekowisata gajah jinak tersebut maka Balai Litbang LHK Aek Nauli melakukan rangkaian kegiatan

penelitian dengan topik di antaranya : Penelitian tahun 2017 :

• Kajian Adaptasi Perilaku Gajah di KHDTK Aek Nauli• Jenis dan Produktivitas Pakan Gajah pada Hutan Dataran

Tinggi DTA Danau Toba• Tingkat Persepsi dan Peluang Pengembangan Ekowisata

Gajah di Sekitar Danau Toba• Analisis Pemanfaatan Ekosistem KHDTK Aek Nauli

Terhadap Kualitas dan Kuantitas Air • Penelitian tahun 2018 :• Penelitian Pakan, Perilaku, Pengayaan Area Rumput Gajah

dan Aplkasi Teknik Pengembangan Reproduksi Gajah pada Area KHDTK Aek Nauli

• Penguatan Kelembagaan, Desain Produk Pendukung dan Strategi Pengelolaan Kawasan Ekowisata Gajah Jinak di KHDTK Aek Nauli

• Pembangunan Demplot Pengayaan Pohon Pakan Gajah Pada Areal Penggembalaan Gajah di Areal Ekowisata Gajah di KHDTK Aek Nauli.

• Analisis Pakan dan Pengembangan Penangkaran Semi Alami Rusa untuk Mendukung Ekowisata Gajah di KHDTK Aek Nauli

Pengembangan ekowisata gajah di KHDTK Aek Nauli juga merupakan perwujudan untuk mendukung pengelolaan KHDTK yang bersifat mandiri. KHDTK Aek Nauli memiliki posisi yang strategis sebagai lokasi ekowisata karena berada di pinggiran jalan menuju Danau Toba. Selain ekowisata gajah, beragam keindahan dan keunikan alam dapat dinikmati juga di kawasan KHDTK Aek Nauli, seperti air terjun, sungai, ekosistem hutan dataran tinggi, habitat kantong semar sampai panorama Danau Toba.

Di Kawasan Arboretum, potensi ekowisata yang sudah dikembangkan oleh Balai Litbang LHK Aek Nauli di antaranya Aeknauli Beecosystem yang merupakan suatu kesatuan sistem yang terdiri dari sumber daya manusia yang ahli dalam budidaya lebah madu, sumber pakan lebah yang sangat berlimpah berupa taman nektar dan tanaman hutan, galeri lebah madu, serta teknologi budidaya dan pemanenan lebah madu.

Pratiara LaminKepala Balai Penelitian dan Pengembangan

Lingkungan Hidup dan Kehutanan Aek Nauli

K O L O M

F rest D gest48 o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 8

laporan utama

ORANGUTAN merupakan kera terbesar tersisa di Indonesia yang terancam punah. Pemerintah Indonesia telah menetapkan orangutan sebagai maskot pelestarian hutan untuk menarik perhatian internasional dalam membantu upaya konservasinya.

Ancaman terhadap orangutan terjadi karena kian berkurangnya hutan sebagai habitat mereka. Orangutan kian terisolasi akibat pembukaan lahan untuk perkebunan sawit, pertanian dan budidaya, pemukiman manusia

sampai prasarana kehidupan lainnya. Córdova-Lepe et al. (2018) menyatakan bahwa fragmentasi dan berkurangnya habitat alami akibat peningkatan populasi manusia, permukiman dan pertanian menyebabkan hilangnya konektivitas atau penghubung wilayah jelajah satwa sehingga menjadi ancaman serius dalam konservasi satwa liar, termasuk pada orangutan (Kuswanda, 2014).

Orangutan di Indonesia ada tiga spesies, yaitu orangutan Sumatera (Pongo abelii Lesson), orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus Linnaeus) dan Orangutan Tapanuli. Penetapan orangutan Tapanuli, yang sebelumnya dianggap satu spesies untuk seluruh orangutan di Pulau Sumatera berdasarkan hasil riset genetik yang menyatakan bahwa genetik (hasil uji DNA) orangutan Tapanuli berbeda dengan orangutan Sumatera lainnya, bahkan lebih mendekati susunan DNA dari orangutan Kalimantan (Nater et al., 2017). Habitat orangutan Tapanuli berdasarkan penemuan langsung baru ditemukan di Kawasan Batangtoru, meskipun berdasarkan identifikasi sarang kemungkinan masih tersebar juga di Kawasan Hutan Barumun.

Penelitian terkait orangutan Tapanuli memang belum banyak karena riset orangutan lebih banyak terfokus di Propinsi Aceh. Program riset orangutan Tapanuli baru dimulai di awal tahun 2000-an. Beberapa lembaga yang melakukan riset dan pengembangan program konservasi orangutan di Hutan Batangtoru adalah OFI/Orangutan Foundation International (2001), Balai Litbang LHK Aek Nauli, Badan Litbang dan Inovasi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (2003), Conservation International Indonesia/CII, Sumatera yang dimulai sekitar tahun 2005.

Berdasarkan yang saya lakukan dari tahun 2003 sampai sekarang telah teridentifikasi bahwa secara morfologi dan perilaku orangutan Tapanuli sedikit berbeda dengan orangutan

Sumatera lainnya. Warna bulu orangutan Tapanuli tampak lebih terang kekuning-kuningan (seperti rambut berwarna pirang) dan rambut lebih panjang dan tebal. Sebaran habitat pun lebih lebar, orangutan Tapanuli mampu hidup dari ketinggian sekitar 300-1.500 meter dari permukaan laut, seperti yang banyak ditemukan di Kawasan Cagar Alam Dolok Sibual-buali dan Dolok Sipirok serta Suaka Alam Lubuk Raya.

Jenis tumbuhan pakan yang dikonsumsi buah dan daun hampir sama, berbeda dengan orangutan di Provinsi Aceh yang cenderung lebih banyak mengonsumsi buah karena sebarannya banyak ditemukan di dataran rendah. Beberapa jenis tumbuhan pakan orangutan Tapanuli yang banyak ditemukan pada hutan dataran tinggi (ketinggian lebih dari 800 mdpl) di antaranya adalah teurep (Artocarpus elasticus), motung (Ficus toxicaria), asam hing (Dracontomelon dao), dongdong (Ficus fistulosa), gala-gala (Ficus racemosa), beringin (Ficus benjamina), hoteng (Quercus maingayi).

Perbedaan secara morfologi ini diduga merupakan hasil proses adaptasi untuk bertahan hidup pada hutan dataran tinggi akibat suhu udara yang lebih dingin dan sebaran pohon penghasil buah lebih rendah dibandingkan pada hutan dataran rendah.

Alokasi waktu mencari makan dan bergerak dalam aktivitas harian orangutan Tapanuli hampir sama sebagai akibat sebaran pohon pakan cukup merata di setiap lokasi habitatnya. Tidak ada suatu habitat yang menyediakan pakan yang melimpah di area hutan Batangtoru, terutama pohon-pohon penghasil buah.

Hal menarik lainnya adalah bahwa orangutan Tapanuli lebih banyak membuat sarang pada tumbuhan tingkat tiang, diamater pohon antara 10-20 cm, dengan ketinggian penempatan sarang rata-rata hanya 6-15 meter di atas permukaan tanah, lebih pendek dibandingkan penempatan sarang orangutan Sumatera di lokasi lainnya. Kondisi ini mengindikasikan sebagai strategi orangutan untuk lebih mudah memantau keberadaan predator, terutama manusia yang sejak dulu memasuki kawasan Batangtoru untuk mencari kebutuhan hidupnya, seperti ikan, hasil hutan bukan kayu maupun membuka lahan pertanian maupun perkebunan karet.

Lanskap Batangtoru sebagai bagian habitat orangutan Tapanuli secara keseluruhan diperkirakan seluas 234.399 hektare di bagian barat Provinsi Sumatera Utara. Secara administrasi terletak pada tiga wilayah kabupaten, yaitu Tapanuli Selatan, Tapanuli Utara dan Tapanuli Tengah. Lanskap ini masih menyisakan hutan alam

Kolaborasi Mengonservasi Orangutan Tapanuli

F rest D gest 49o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 8

seluas 142.000 hektare, sisanya merupakan lahan terdegradasi di dalam kawasan hutan dan berbagai bentuk penggunaan lahan lain di luar kawasan hutan.

Untuk hutan alam yang tersisa, sekitar 61% berada di Kabupaten Tapanuli Utara, 29,7% di Tapanuli Selatan dan sisanya 9,3% di Tapanuli Tengah. Ekosistem Batangtoru merupakan perwakilan dari ekosistem hujan dataran rendah dan perbukitan (300 mdpl), hutan batuan gamping (limestone), hutan pegunungan rendah sampai hutan pegunungan tinggi. Kawasan hutan alam memiliki ketinggian mulai dari 50 meter di atas permukaan laut yang berada di Sungai Sipan Sihaporas (dekat Kota Sibolga), sampai dengan 1.875 mdpl (puncak gunung Lubuk Raya).

Topografi kawasan secara umum memiliki kelerengan antara 16% sampai dengan lebih dari 60%. Dari pengamatan yang saya lakukan, sebaran habitat potensial bagi orangutan Tapanuli saat ini diperkirakan hanya tersisa pada habitat seluas 138.431 hektare. Sebaran tersebut telah terbagi menjadi tiga blok habitat sebagai berikut:• Blok I (Timur), Blok ini dipisahkan oleh jalan nasional,

kebun dan penggunaan lahan lainnya. Luas habitat orangutan di Blok Timur sekitar 44.912 ha

• Blok II (Barat), Blok ini dipisahkan oleh jalan nasional dan Sungai Batangtoru. Luas habitat orangutan di Blok Barat sekitar 73.256 ha.

• Blok III (Selatan), yang dipisahkan oleh Sungai Batangtoru dengan jalan nasional. Luas habitat orangutan di Blok Selatan sekitar 20.267 ha.

Populasi orangutan Tapanuli tersebar pada berbagai status hutan, mulai dari hutan konservasi, hutan lindung, hutan produksi dan area penggunaan lain. Berdasarkan hasil penelitian penulis, kepadatan orangutan Tapanuli diperkirakan sebesar 0,3-0,78 ind/km2 dengan kepadatan tertinggi ditemukan di hutan dataran tinggi seperti di CA. Dolok Sibual-buali, CA. Dolok Sipirok dan Kesatuan Pengelola Hutan Lindung di Kabupaten Tapanuli Utara. Secara total jumlah populasi orangutan Tapanuli yang tersisa diperkirakan sekitar 495-577 individu.

Hasil penelitian lain sebelumnya, seperti Simorangkir (2009) menyebutkan di Blok Barat (termasuk Blok Selatan) sekitar 337-421 individu dengan kepadatan populasi yang tinggi ditemukan pada hutan dataran tinggi.

Dengan perkiraan populasi yang kecil dan tersebar pada tiga

sub populasi maka program konservasi orangutan Tapanuli harus menjadi prioritas oleh berbagai kelembagaan terkait. Hal ini karena orangutan Tapanuli tersebar pada berbagai status kawasan hutan maupun lahan masyarakat yang kewenangan pengelolaannya berada pada instansi yang berbeda-beda.

Pelaksanaan konservasi dalam kondisi ini yang tepat harus dilakukan melalui pengelolaan kolaboratif/co-management. Dalam sistem pengelolaan kolaboratif akan terbentuk kemitraan antara lembaga pemerintah, komunitas lokal dan pengguna sumberdaya, lembaga non pemerintah dan kelompok kepentingan lainnya untuk bernegosiasi dan menentukan kerangka kerja yang tepat tentang kewenangan dan tanggung jawab untuk melindungi orangutan. Manajemen kolaboratif juga bisa mengakomodasikan kepentingan-kepentingan seluruh stakeholders secara adil dan memandang harkat setiap stakeholders serta membagi secara adil mengenai fungsi pengelolaan, hak dan tanggung jawab.

Untuk mengimplementasikan pengelolaan kolaboratif dengan melibatkan berbagai kelembagaan, mulai dari pemerintah pusat dan daerah, perusahaan swasta, LSM, Perguruan Tinggi dan masyarakat perlu dibentuk forum/wadah/lembaga multipihak. Pembentukan lembaga multipihak bertujuan untuk memaduserasikan aspirasi, peranan, tugas dan tangung jawab dari antar lembaga dalam menciptakan kesepakatan program bersama dalam mendukung program konservasi orangutan maupun peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Adanya Forum Bersama juga diharapkan dapat mengurangi beban pembiayaan yang semula hanya ditanggung oleh pemerintah menjadi tanggungjawab multi pihak. Oleh karena pelaksanaan konservasi merupakan kewajiban para pihak.

Tahap awal yang harus segera dilakukan adalah membentuk Forum Bersama Pengelolaan Hutan Batangtoru untuk memaduserasikan berbagai program yang akan dan sedang dilakukan oleh para pihak terutama dalam mengkonservasi orangutan. Pembentukan Forum Bersama dapat diprakarsai oleh Balai Besar KSDA Sumatera Utara dengan Dinas Kehutanan Propinsi karena kawasan ini meliputi berbagai status hutan dan lintas kabupaten. Harapan kedepannya, Forum Bersama dapat memfasilitasi berbagai program konservasi dalam konteks kesetaraan dan keseimbangan antara aktivitas untuk mendukung perlindungan orangutan dengan program pembangunan untuk kesejahteraan masyarakat dalam mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan. —

Wanda KuswandaPeneliti Balai Litbang Lingkungan Hidup dan

Kehutanan Aek NauliKontak: [email protected]

K O L O M

F rest D gest50 o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 8

Badak merupakan salah satu satwa purba yang masih bertahan hingga saat

ini. Kerabat tertua satwa bercula ini diberi nama Paraceratherium yang sudah hidup pada 50 juta tahun silam. Ukurannya pun 4 kali lebih besar dari badak modern yang ada sekarang. Berbagai peristiwa katastropik besar berhasil dilewati oleh para keturunan badak ini dengan selamat hingga badak yang kita kenal saat ini seperti badak sumatra dan badak jawa masih bisa bertahan hidup.

Pertanyaannya apakah era 2000-an merupakan akhir dari keberlangsungan hidup satwa yang suka berkubang di lumpur ini. Keganasan alam selama jutaan tahun rupanya tidak berarti bila dibandingkan dengan ancaman yang dihadapi badak saat ini: perburuan dan perdagangan satwa, degradasi dan fragmentasi habitat, perkawinan sedarah dan penyakit pada sistem reproduksi. Menurunnya populasi badak masuk dalam jalur cepat, lebih dahsyat dari efek peristiwa letusan dahsyat gunung Tambora maupun musim es berkepanjangan yang mampu memusnahkan spesies kuat seperti dinosaurus.

Dalam 20 tahun terakhir misalnya, jumlah badak sumatra berkurang sebanyak 70 persen. Saat ini, populasi badak yang tersisa masih dapat ditemukan jejaknya di alam pada 3 bentang alam, yaitu di kawasan Leuser, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Taman Nasional Way Kambas di pulau Sumatra serta Kutai, Kalimantan Timur. Diperkirakan jumlah badak sumatra tersisa dibawah

100 individu yang hidup di alam liar. Data lainnya menyebutkan bahwa jumlah yang mampu dihitung hanya berkisar 30 individu saja. Indonesia masih lebih beruntung dibanding Malaysia, negara yang juga memiliki spesies badak Sumatra. Di negara jiran ini, badak dinyatakan punah di alam liar pada tahun 2015.

Apalagi dengan munculnya kebijakan Cina baru-baru ini yang kembali melegalkan penggunaan cula badak dan tulang harimau sebagai bahan obat-obatan. Hal ini membuat pekerjaan penyelamatan badak menjadi lebih berat. Para aktivis pun sontak melancarkan aksi protes yang meminta pemerintah negeri tirai bambu untuk membatalkan aturan tersebut.

Tentunya, menurunnya angka populasi badak ini menjadi perhatian bagi pemerintah dan para aktivis pelindung badak. Dalam rangka mempertahankan populasi yang tersisa, pemerintah bersama dengan para pegiat perlindungan badak melakukan aksi cepat tanggap menyusun suatu Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Badak (SRAK). SRAK pertama kali disusun pada tahun 1994, kemudian diperbaharui setiap 10 tahun sekali. Proses penyusunan dokumen yang menjadi acuan konservasi jenis ini bukanlah suatu perkara mudah. Sebab ada beberapa hal yang perlu menjadi masukan dan bahan pertimbangan untuk menyusun dokumen tersebut. Salah satunya adalah estimasi jumlah populasinya. Sementera estimasi populasinya belum diketahui dan gangguan ancaman di alam terus meningkat, maka perlu tindakan cepat

untuk menyelamatkannya. Sehingga, Rencana Aksi Darurat (RAD) dianggap bisa menjadi solusi sementara.

RAD ini dibuat dengan target jangka pendeknya berupa dihasilkannya anakan-anakan badak baru yang dapat dikembalikan ke habitat asalnya. “Kita ingin agar populasi badak bisa bertambah”, ujar Muhammad Agil, pakar badak dari Institut Pertanian Bogor. RAD ini juga diharapkan dapat bersinergi dengan penataan ruang daerah serta sejalan dengan rencana pembangunan jangka panjang dan jangka menengah daerah.

Saat ini pendanaan untuk konservasi badak di Indonesia sebagian besar didukung oleh TFCA-Sumatera. Program pengalihan utang untuk lingkungan (debt for nature swap) antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Amerika Serikat ini menjadikan salah upaya untuk perlindungan 4 flagship spesies Sumatera, khususnya badak sumatera.

Sementara menunggu dokumen SRAK maupun RAD selesai, monitoring populasi dan pengamanan kawasan harus terus berjalan. Fokus

MENJAGA ASA BADAK DI SUMATERA

INFORIAL KEHATI

F rest D gest 51o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 8

kegiatan dilaksanakan di tiga bentang alam, yaitu di Kawasan Ekosistem Leuser bagian barat serta bagian timur, Taman Nasional Bukit Barisan, dan Taman Nasional Way Kambas. Tim tim patroli baru dibentuk, kelembagaannya diperkuat dan sumber daya manusia petugas patroli ditingkatkan kapasitasnya melalui berbagai kegiatan pelatihan.

Ada tiga aktivitas utama yang tengah dilaksanakan, yaitu survei okupansi, patroli dan penyelesaian Rencana Aksi Darurat. Survei okupansi dilakukan agar dapat diketahui sebaran, perkiraan tingkat hunian (okupansi) atas blok habitat (yang dibagi dalam bentuk sel-sel grid) serta mempelajari faktor-faktor yang mempengaruhi keberadaan satwa berambut ini.

Kegiatan patroli dilakukan untuk menjaga populasi badak Sumatra di habitat aslinya dan menurunkan angka perburuan serta kasus kejahatan terhadap satwa kharismatik Sumatra ini. Selain berdampak pada terlindunginya badak, patroli juga berdampak langsung pada terlindunginya kawasan hutan dan satwa lain yang ada di dalamnya.

Meski data survei okupansi telah selesai dilaksanakan, namun untuk menentukan estimasi badak diperlukan analisis dan survei lanjutan seperti survei kamera trap. TFCA-Sumatera memberikan pendanaan untuk pengadaan 317 kamera jebak (camera trap) yang dipasang di Leuser, Bukit Barisan Selatan dan Way Kambas. Diharapkan keberadaan maupun jumlah populasi badak yang masih tersisa dapat diketahui dengan lebih akurat.

Dalam jangka pendek, dokumen RAD diharapkan mampu menjembatani payung aksi bagi penyelamatan badak Sumatera. “ Selambatnya kuartal pertama 2019 aksi bersama penyelamatan badak bisa dilakukan secara serentak”, ujar Samedi, Direktur Program TFCA-Sumatera. Ia menggagas sebuah pertemuan para pemerhati badak Indonesia untuk membuat sebuah proposal bersama penanganan darurat pemulihan populasi badak sumatra.

Menurut Samedi, ada dua pilihan aksi darurat yang harus diambil. Pertama, jika jumlah individu kurang dari 15 ekor per kantong

populasi dan lokasinya terisolasi, maka diperlukan aksi darurat berupa penyelamatan (rescue) individu untuk dikonsolidasikan ke dalam suaka perlindungan badak Sumatera. Kedua, bagi kantong populasi yang memiliki jumlah badak lebih dari 15 ekor namun terancam oleh hilangnya habitat dan perburuan maka dilakukan aksi darurat berupa proteksi intensif. Menurutnya, angka 15 individu diperoleh dari kesepakatan para ahli badak dalam berbagai pertemuan nasional maupun internasional.

Beberapa lembaga yang telah lama menekuni konservasi badak didukung sekaligus didorong untuk ambil bagian dalam upaya mencegah punahnya badak dari bumi Indonesia. Kegiatan patroli di lapangan dijalankan oleh beberapa konsorsium termasuk Yayasan Badak Indonesia (YABI), Forum Konservasi Leuser (FKL) dan Yayasan Leuser Internasional (YLI). Kegiatan survey dijalankan oleh FKL, Aliansi Lestari Rimba Terpadu (ALeRT), World Wildlife Fund Indonesia dan YLI. Sementara lembaga Yayasan Pendidikan Konservasi Alam (YAPEKA) mencoba merangkul masyarakat untuk turut ambil bagian dalam penyelamatan badak.

Para pakar badak sepakat bahwa disamping mengembangkan zona perlindungan intensif dan mengkonsolidasikan hewan terisolasi, pengembangbiakan individu adalah salah satu dari beberapa strategi kunci yang dibutuhkan untuk menyelamatkan spesies. Untuk itu dibutuhkan perlu campur tangan untuk membuat satwa yang konon sangat sulit untuk melakukan reproduksi ini dapat menghasilkan keturunan yang tidak terbatas hanya dari perkawinan satu garis keturunan.

Yang jelas, masa depan jangka panjang satwa bercula ini pada akhirnya akan ditentukan oleh tindakan pemerintah Indonesia dan masyarakat sipil. Untuk itu perlu kerja sama yang efektif dari semua elemen masyarakat yang peduli pada kelestarian badak.

Ali Sofiawan, TFCA-Sumatera

F rest D gest52 o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 8

buku

BAGI William Dawbney Nordhaus perubahan iklim seperti dadu. Kita sedang mengadu nasib dalam putaran kasino iklim yang tak diketahui kapan waktu berhenti. Ketidakpastian membuat manusia meraba-raba dampak terburuk perubahan iklim bahkan ada yang menyangsikannya. Presiden Amerika Serikat Donald Trump bahkan menuduh perubahan iklim adalah hoaks yang dibuat pemerintah Cina.

Selama menjadi profesor ekonomi di Yale University, Nordhaus memfokuskan penelitiannya pada perubahan iklim ini. Ia mencoba mendekati perubahan iklim dengan sebuah model matematika-ekonomi yang, misalnya, bisa menghitung harga karbon yang menjadi pokok dalam global warming. Permodelan itu ia tuangkan dalam buku ini, The Climate Casino : Risk, Uncertainty, and Economics for a Warming World.

Dalam buku tersebut, ilmuwan kelahiran Albuquerque, New Mexico, Amerika Serikat pada 1941 ini menjelaskan perubahan iklim kemungkinan bisa terjadi terjadi serta peluang yang mungkin bisa dilakukan oleh kita untuk menghindarinya.

Bagian awal buku ini menguraikan semua permodelan untuk menggambarkan perubahan iklim dan pemanasan global yang sudah dan sedang terjadi. Semua model memberikan hitungan matematika yang serupa walaupun memiliki variabel pembentuk yang berbeda-beda. Menurut Nordhaus bukan suhu yang semakin panas yang seharusnya dikhawatirkan sebagai ukuran pemanasan global, melainkan kadar karbon dioksida di udara. Karena itu untuk memperlambat laju pemanasan global kadar CO2 itu mesti dimanipulasi untuk memperlambat peningkatan suhu bumi secara global.

Ilustrasi permodelan ekonomi di buku ini cukup lengkap. Semua variabel diuji untuk melihat pemicu kadar CO2 meningkat lebih cepat. Begitu pula sebaliknya, variabel mana yang harus dihilangkan untuk menurunkan kadar CO2 di udara.

Penghitungan Nordhaus menunjukan bahwa CO2 meningkat tanpa terkendali setelah melewati titik tertentu, sehingga tanpa melakukan kegiatan yang menghasilkan karbon dioksida pun jumlahnya di udara tetap akan naik. Hal ini karena karena benda-benda yang sudah ada secara diam-diam tetap melepaskan

energi dan karbon ke udara.Setelah menjelaskan bagaimana

karbon bisa terus bertambah, buku ini menjelaskan dalam bentuk permodelan ekonomi lain akibat yang akan terjadi sampai tahun 2100. Tidak hanya faktor kesehatan manusia dan keragaman hayati yang akan terganggu akibat pemanasan global, namun sampai pada prediksi penyimpangan perilaku cuaca dan bencana alam. Tanda-tandanya sudah kita rasakan hari ini.

Menyadari bahwa perubahan iklim sangan sulit dikendalikan, maka untuk mencegahnya Nordhaus menyodorkan beberapa model. Permodelan yang dibuat oleh Nordhaus mungkin bisa digunakan untuk menghitung biaya yang dilepaskan atau didapatkan dari karbon di negara mana pun.

Rumus Ekonomi Perubahan IklimBuku yang mengantarkan William Nordhaus meraih Nobel Ekonomi 2018. Ia membuat model matematika mencegah perubahan iklim yang menghancurkan bumi.

The Climate Casino : Risk, Uncertainty, and Economics for a Warming WorldPenulis: William NordhausPenerbit: Yale University pressTahun Terbit: 2013Tebal: 378 Halaman

F rest D gest 53o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 8

Kekurangan dari model-model yang dibuat Nordhaus adalah semua variabelnya memakai ukuran tingkat dan standar hidup di Amerika. Nordhaus mengakui standar itu sebagai kelemahannya. Demikian pula proses menciptakan inovasi untuk memperlambat pemanasan global. Harganya tetap mahal dan tak ekonomis.

Banyak ahli yang berkomentar terhadap temuan Nordhaus. Komentar paling umum menyangkut kerangka biaya dan manfaat yang tak sepadan. Biaya yang dikeluarkan untuk mitigasi karbon tidak bisa dibandingkan dengan kerusakan iklim yang ditimbulkannya. Masih agak sulit memperkirakan biaya beralih ke energi terbarukan, walaupun masuk akal.

Demikian halnya dengan pertanyaan tentang perbandingan biaya atas terjadinya

peristiwa kepunahan massal di bumi. Bagaimana menghitung jutaan orang yang meninggal, sakit, atau mengungsi akibat perubahan iklim. Berapa banyak nilai yang hancur akibat hilangnya komunitas bersejarah, kota, dan bahkan negara? Nordhaus mengakui para ekonom tidak memiliki jawaban yang kredibel untuk pertanyaan-pertanyaan ini.

Pengaruh dari semakin meningkatnya kadar karbon dioksida di udara juga telah menurunkan pemasukan negara Amerika. Sektor yang terkena dampak langsung paling besar dan tingkat penurunan pendapatannya paling tinggi adalah pertanian, kehutanan, dan perikanan. Pemanasan global telah menimbulkan hama dan kematian satwa di Amerika.

Buku ini menawarkan beberapa strategi yang disertai penghitungan atas keuntungan dan kerugian yang mungkin terjadi. Strategi itu tidak hanya bagaimana mengurangi pelepasan emisi CO2 ke udara namun juga mempercepat emisi terserap kembali.

Pada bagian akhir, Nordhaus menawarkan strategi kebijakan politik yang mendorong teknologi rendah karbon yang paling mungkin diterapkan. Titik tekannya tetap pada biaya yang timbul jika kebijakan itu diterapkan atau tak diindahkan. Model-model ekonomi yang dia buat telah bisa mendekati hasil-hasil yang spesifik sehingga para pemangku kebijakan langsung diberikan pilihan yang rasional.

Membaca buku ini kita bisa paham mengapa panitia Nobel memilihnya untuk ekonomi tahun ini. Ikhtiar Nordhaus layak diapresiasi mengingat usahanya sangat bermanfaat bagi manusia hari ini. Permodelan perubahan iklim yang dibuatnya sangat sederhana dan bisa diterapkan. Sama seperti buku ini, yang disusun dan diarahkan kepada siapa saja.

Penjelasan Nordhaus sangat sederhana dan mudah dicerna. Bagi pembaca yang awam ilmu ekonomi ada penjelasan setiap istilah teknis yang tak terhindarkan dipakai Nordhaus. Hanya saja, penjelasan itu ditaruh di catatan pendamping di bagian akhir, bukan catatan kaki di tiap halaman kata tersebut. Agak merepotkan tapi layak dibaca, sebagai pengingat bumi makin tua dan kita bisa terperangkap di dalamnya.

—Librianna Arshanti

“Kita semua memasuki kasino iklim dan sedang memutar sebuah dadu yang mungkin saja menjadi sebuah penentuan terjadinya pemanasan global. Peringatan ini keluar dari pemikiran seorang ekonomis bernama William Nordhaus. Namun dalam buku ini dia optimis bahwa masih ada waktu untuk kembali dan memutar balikan keadaan keluar dari permainan.”

F rest D gest54 o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 8

teknologi

F rest D gest 55o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 8

Indonesia perlu alat yang bisa meningkatkan efisiensi dan kemudahan proses identifikasi kayu sehingga dapat, meningkatkan kinerja pelaku usaha dan industri perkayuan, meningkatkan pendapatan negara bukan pajak, membantu memverifikasi jenis kayu dengan cepat dan akurat, mempermudah penataan dan pengelompokan jenis kayu perdagangan, membantu mempercepat proses penegakan hukum lingkungan hidup dan kehutanan terutama penyelesaian konflik penentuan jenis kayu, dan pemetaan potensi jenis kayu untuk kepentingan konservasi dan pengembangan usaha.

Pada 2011, sistem yang ada belum mampu mengakomodasi penambahan contoh kayu sehingga penelitian hanya berlangsung dua tahun. Pimpinan baru di Puslitbang Hasil Hutan, Dr. Dwi Sudharto, membuka kembali peluang pengembangan sistem identifikasi kayu otomatis tersebut.

Pada tahun 2017, dengan fasilitasi dana dari Kementerian Riset dan Teknologi Perguruan Tinggi, digelar penelitian untuk mengembangkan sistem identifikasi jenis kayu otomatis yang akurat, terintegrasi melalui jaringan internet, dan mudah digunakan oleh para petugas di lapangan. Algoritma identifikasi kayu dikembangkan dengan metode computer vision berdasarkan citra struktur makroskopis penampang lintang kayu. Kelebihannya, sistem ini dirancang mampu memperbaharui kemampuan identifikasi jenis kayu sehingga database citra penampang kayu (database Lignoindo) dapat terus ditambahkan sehingga dapat

PROSES paling awal dalam pengolahan kayu adalah mengidentifikasinya. Namun, identifikasi kayu ini acap memakan waktu lama, sekitar satu hari hingga dua pekan tergantung tingkat kesulitan yang dihadapi, karena dilakukan secara manual. Hanya

orang yang punya pengalaman panjang yang bisa mengidentifikasi sebuah kayu hingga ke berat jenis dan saran penggunaanmakaiannya.

Kini proses itu bisa dilalui dan dipangkas dengan hanya hitungan detik. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan di Bogor menelurkan sebuah alat yang diberi nama alat identifikasi kayu otomatis yang disingkat AIKO. AIKO adalah hasil kolaborasi dengan Pusat Penelitian Informatika LIPI KLHKmelalui dengan program Insentif Riset Sistem Inovasi Nasional (INSINAS), Kemenristekdikti sejak tahun 2017.

Pada 28 September 2018, AIKO secara resmi diluncurkan oleh Presiden Republik Indonesia di Yogyakarta, bersamaan dengan Deklarasi Xylarium Bogoriense sebagai koleksi kayu terbesar di dunia.

Penelitiannya sendiri sudah dimulai sejak 2011. Bermula dari pemikiran

Identifikasi Kayu Melalui AplikasiMengenali kayu kini bisa melalui aplikasi. Pusat penelitian Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengembangkan terobosan baru dalam identifikasi kayu secara digital.

AIKOAplikasi alat indentifikasi kayu otomatis.

F rest D gest56 o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 8

mengakomodasi seluruh jenis kayu di Indonesia yang berjumlah sekitar 4.000.

Jika ditemukan jenis kayu yang baru (belum masuk dalam sistem) atau pun meragukan, ahli anatomi kayu akan berperan dalam memberikan validasi. Sistem terintegrasi dalam jaringan internet sebagai bentuk implementasi teknologi Internet of Things (IoT). Dengan demikian proses identifikasi kayu di lapangan bisa dilakukan secara cepat dan akurat.

AIKO dilatih hingga mampu mengenali minimal 186 jenis/kelompok jenis kayu perdagangan yang tercantum pada Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 163/Kpts-II/2003 tentang Pengelompokan Jenis Kayu sebagai Dasar Pengenaan Iuran Kehutanan, dan akan terus ditambahkan dengan jenis kayu yang saat ini telah diperdagangkan berdasarkan daftar jenis kayu dalam LIU (License Information Unit). Pengguna potensial dari sistem ini antara lain: petugas bea cukai, petugas

identifikasi kayu di dinas kehutanan daerah, pelaku industri hasil hutan, hingga kepolisian untuk keperluan forensik.

Perangkat AIKO berkembang dalam dua generasi. Generasi pertama (2017) diberi nama WoodID, yang merupakan aplikasi identifikasi kayu otomatis menggunakan desktop dan Dino-Lite (digital mikroskop). Cara kerja alat ini adalah dengan meletakkan sampel kayu pada mikroskop digital Dino-Lite yang terhubung dengan komputer. Komputer

akan merekam dan mengidentifikasi citra permukaan bidang lintang sampel kayu tersebut dan mencocokkannya dengan pangkalan data citra jenis kayu.

AIKO generasi kedua (2018) merupakan aplikasi yang memakai telepon pintar dengan tambahan lensa. Hasil identifikasi dari AIKO generasi kedua ini berupadilengkapi informasi nama spesies, nama latin, berat jenis, kelas kuat, kelas awet, klasifikasi perdagangan dan rekomendasi penggunaan.

teknologi

Xylarium BogorienseKoleksi kayu di Xylarium Bogoriense.

F rest D gest 57o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 8

Cara kerja AIKO:1. Instal aplikasi AIKO pada sistem

operasi Android dengan versi minimal 4.4 (KitKat) dan kamera 8 mega piksel.

2. Pasang lensa mikroskop tambahan dengan perbesaran 60x ke kamera telepon.

3. Siapkan penampang lintangs yang jelas dari sampel kayu memakai silet (cutter) tajam.

4. Buka aplikasi AIKO dan pilih “identify” untuk menangkap penampang melintang kayu yang jelas

5. Hasilnya menunjukkan nama dagang dan nama botani dari kayu tersebut; dan berdasarkan literatur, informasi mengenai, dilengkapi dengan nama latin lengkap dengan nama author dan atau sinonim, suku, nama dagang, nama jenis, nama Latin, berat jenis, kelas kuat, kelas awet, klasifikasi perdagangan, dan rekomendasi pemakaiannya juga ditambahkan.

Agar bisa dipakai secara luas, diperlukan beberapa dukungan berupa sistem pembayaran dan maupun dukungan regulasi. Kebutuhan start up termasuk sistem pembayaran saat ini sedang disiapkan bekerja sama dengan PT Telkom Indonesia. Pada awal tahun 2019, AIKO diharapkan sudah terpasang di PlayStore sehingga bisa diakses secara nasional. Aplikasi ini bisa diunduh secara gratis,

namun biaya identifikasi jenis kayu sebesar Rp 100.000 (masih dalam kajian), akan masuk sebagai Pendapatan Negara Bukan Pajak.

Data dan informasi jenis kayu Xylarium Bogoriense dikembangkan sebagai basis data AIKO. Xylarium Bogoriense adalah “perpustakaan kayu” yang dibangun pada 1914. Xylarium dikelola oleh Badan Penelitian, Pengembangan, dan Inovasi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BLI-KLHK).

Contoh kayu yang ada di Xylarium dikumpulkan oleh para peneliti, pejabat kehutanan daerah, panglong, administrator, dinas kehutanan, perguruan tinggi, Perhutani, Inhutani, Kesatuan Pemangku Hutan, HPH/HTI, industri, dan perorangan sejak tahun 1914 hingga saat ini. Pada September 2018, jumlah koleksi kayu Xylarium Bogoriense mencapai 19385.858647 spesimen, dan merupakan xylarium dengan jumlah spesimen terbesar di dunia.

Xylarium Bogoriense telah tercatat dalam Index Xylariorum, Institutional Wood Collection sejak 195775 yang dikelola oleh International Assosiation of

Wood Anatomists (IAWA). Koleksi kayu terbesar kedua adalah Belanda (125.000 spesimen), dan ketiga Amerika Serikat (105.000 spesimen).

Koleksi kayu Xylarium Bogoriense 1915 tersimpan dalam pangkalan data dengan ciri-ciri makro dan mikro, dan setiap contoh kayu dicatat dalam buku register: nomor koleksi, nomor herbarium penyerta, asal contoh, nama setempat, nama botani, suku, nama kolektor, dan tanggal koleksi. Xylarium merupakan aset penting yang harus dipelihara dan dikembangkan untuk dokumentasi keragaman jenis kayu Indonesia, dan sebagai penunjang penelitian, sumber informasi ilmiah jenis kayu, pemetaan jenis kayu, dan bahan rujukan utama dalam identifikasi kayu bagi lembaga penegak hukum, bea dan cukai, praktisi dan akademisi, serta sumber informasi nama lokal dan ilmiah kayu.

Pengembangan Xylarium Bogoriense 1915 ke depan:• Pengembangan dan penambahan

data kayu untuk untuk melengkapi database LignoIndo (basis data citra kayu Indonesia) dan perangkat alat identifikasi kayu otomatis berbasis smartphone yang memudahkan praktisi di lapangan mengenali kayu

• Peningkatan jumlah koleksi kayu untuk melengkapi database LignoIndo (Basis data citra kayu Indonesia) terutama dari wilayah Papua dan pulau-pulau kecil di Nusantara

• Pembangunan Xylarium di tiap propinsi di Indonesia

• Pembangunan laboratorium forensik• Pengembangan database stok

karbon dan kandungan aktif kayu-kayu Indonesia, serta mendukung penghitungan faktor emisi Indonesia

—Dr. Ratih Damayanti, Ph.D*, Kepala Lab. Anatomi Lignoselulosa Pusat Litbang

Hasil Hutan, BLI - KLHKKepala Lab. Anatomi Lignoselulosa

Pusat Litbang Hasil Hutan, BLI - KLHK) Kontributor: Tim Xylarium Indonesia (Dr.

Dwi Sudharto, Dr. Esa Prakasa, Dr. Yan Riyanto, Dr. Krisdianto, Listya Mustika Dewi, Dr. Wening Sri Wulandari, Riyo Wardoyo, Bambang Sugiarto, Vidya F.

Astutiputri, Ganda Rain Panjaitan, Moch. Lutfi Hadiwidjaja, Yazid Hilman Maulana,

Ihsan N. Mutaqin)

peluncuran aikoPresiden Joko Widodo di sela Deklarasi Xylarium Bogoriense dan peluncuran AIKO di Yogyakarta, 28 September 2018.

F rest D gest58 o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 8

fotografi

Pilu Palu

KETIKA lindu yang perkasa itu mengguncang Palu, 28 September 2018, selarik pesan seluler muncul dari ibu: cari bibi, ia sudah tak bisa dihubungi.

Dengan penerbangan paling pagi, aku berangkat ke sana,

memutar lewat Balikpapan lalu Makassar dan Mamuju. Pesawat hanya sama di sana. Aku ikut truk TNI yang mengangkut sembako dan para relawan yang mengalir lewat jalan darat untuk sampai ke Donggala.

Donggala seperti jerami yang ditiup. Pagi yang sunyi. Hanya gelap dan gelap. Tembok-tembok roboh, jembatan ambruk, jalanan terbelah. Lamunan buyar ketika seorang dengan pisau di tangan menghunuskannya ke arah perutku. Ia lapar. Ia nanar. Kuberikan dua bungkus kue dari Jakarta. Seorang lagi datang menodongkan pisau ke arah penodongku. Aku menjauh ketika kulihat ada sepeda motor menderu.

Ia Pak Pinto, narapidana yang dilepas karena ruang-ruang bui tergilas tsunami. Ia juga hendak ke Palu mencari keluarganya. Ia bersedia memberi tumpangan setelah kusodorkan bensin dua liter.

Sepanjang perjalan dua jam tak ada lagi pohon yang tengadah menahan matahari yang naik sepenggalah, setelah dihumbalang air bah. Palu yang pilu, menghampar batu-batu...

Bibiku tak ada di sana. Rumahnya telah rata tanah. Bahkan pondasi, juga bangku bata tempat ia menimangku dulu, tak ada lagi. Orang-orang hiruk, aku tersaruk.

Tapi dari tenda itu, dari balik terpal biru yang koyak itu, menghambur suara yang akrab. Bibi menubruk dengan wajah pucat, dengan mata yang seluruhnya duka. Tak ada lagi kata, hilang segala suara. Ia bibiku, kupapah dengan sisa tenaga.

Pilu, Palu, hari itu...—Foto-foto: Firli Azhar Dikdayatama

F rest D gest 59o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 8

F rest D gest60 o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 8

profil

Teh Telang dari PrambananSuami-istri ini mengembangkan bunga telang menjadi bahan makanan yang berekonomi tinggi dan bernilai ekspor. Menjadi sehat ada di sekeliling kita.

dari nol.Yusuf Napiri dan Rita Kartikasari.Telang (kiri)

BAGI Yusuf Napiri dan Rita Kartikasari, Kota Bogor terlalu nyaman untuk ditinggali. Kota hujan ini telah memberikan segalanya bagi pasangan suami istri ini. Bogor telah memberikan mereka ilmu, pengalaman, juga pekerjaan. Yusuf

dari Cilacap, Jawa Tengah, dan Rita dari Jakarta adalah teman sekelas di Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor angkatan 1989.

Selepas lulus, Yusuf bekerja di ITCI Hutani Manunggal di Kalimantan Timur, lalu ke Perum Perhutani, dan sejumlah lembaga swadaya masyarakat. Sementara Rita, melanglang ke Oregon, Amerika Serikat, karena menjabat Forest Liaison Officer di World Forestry Center Portland. Pulang ke Indonesia ia bekerja di Center of International Forestry Research lalu menjad tenaga ahli di beberapa lembaga swadaya.

Semua pencapaian itu membuat mereka berada di zona nyaman. “Kami sepakat Bogor membuat kami terlena, kami perlu tantangan lain,” kata Yusuf, dalam

perbincangan dengan Forest Digest, pada September lalu. Keduanya sedang mudik ke Bogor. “Kami ingin tantangan lain,” Rita menambahkan.

Maka mereka hijrah ke Yogyakarta pada 2015. Mereka memulai hidup dari nol. Rumah dan semua aset di Bogor mereka jual. “Anak-anak kebetulan sudah kuliah dan SMA,” kata Rita, kini 48 tahun, yang biasa di panggil Itok. Mereka telah memilih Desa Martani di Kecamatan Prambanan untuk masa depan itu. Di sana mereka membeli tanah dan rumah kecil.

Tujuan keduanya jelas: ingin berkontribusi pada hidup orang banyak dengan melestarikan alam. Langkah kecil yang mereka lakukan adalah membuka warung pecel di halaman rumah. Yusuf melihat warga Martani umum punya lahan dan bertani. Ia meminta para petani

F rest D gest 61o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 8

yang menanam sayuran menjadi pemasok warung pecelnya.

Tapi membuka warung pecel tak segampang yang mereka perkirakan. Pecel sudah terlalu umum di Yogyakarta. Pembeli tak terlalu banyak dan sehingga berimbas pada pembelian sayuran dari petani. Hingga suatu hari, Yusuf melihat tanaman telang yang merambat dan tumbuh liar di sekitar perkampungan.

Telang adalah tanaman liar merambat yang mereka temukan di restoran-restoran besar di seluruh dunia tiap kali mereka bepergian ke mancanegara. Makanan dan minuman sehat di negara-negara maju memakai ekstrak telang sebagai pewarna alami makanan. Sementara para floris memanfaatnya untuk hiasan bunga kering. Telang bisa berguna sejak akarnya.

Warga Prambanan memanfaatkannya untuk bunga hias di pekarangan atau gantungan pas. Bunganya yang biru terang, putih, ungu dan putih membuat telang disukai karena memeriahkan teras rumah.

Karena banyak kegunaan itu, di banyak negara, telang punya nama berbeda-beda. Orang India menyebutnya Aparijata, Nagar Hedi di Kanada, Dok Anchan di Thailand, atau Sankhupushpam di Malaysia. Dalam bahasa Inggris, telang juga punya banyak julukan: butterfly pie, pigeon wings, atau blue pie vine.

Dari referensi yang mereka baca, telang ternyata punya banyak khasiat. Yusuf, misalnya, membaca sebuah referensi

bahwa kembang ini mengandung banyak vitamin A yang bisa menyembuhkan gangguan penglihatan, bisa mengobati sakit telinga, bisul, bronkitis, detoksifikasi, batuk, infeksi tenggorokan, bahkan mengatasi gangguan seksual pada perempuan.

Dengan informasi yang lengkap itu, Yusuf dan Rita mulai berpikir membudidayakannya. Dengan tabungan yang tersisa, mereka membangun kebun bibit telang yang bisa diambil secara gratis oleh siapa saja tetangganya yang ingin menanamnya. “Ternyata mereka kurang berminat,” kata Yusuf.

Rita melihatnya dengan cara berbeda. Masyarakat Prambanan tak menggubris telang karena tak memiliki nilai ekonomi. Maka ia mulai masuk ke komunitas bunga telang kering di banyak negara. Ia menjalin komunikasi lagi dengan kawan-kawannya semasa kerja di lembaga-lembaga penelitian dan swadaya di pelbagai negara. Mereka ternyata antusias menampung telang sebagai komoditas bisnis yang menjadi bahan dasar untuk pelbagai keperluan.

Setelah komunikasi dengan pebisnis di Jepang, Rusia, dan Prancis terjalin, Yusuf dan Rita perlu tokoh perintis untuk menunjukkan telang punya potensi ekonomi. Mbah Budi, seorang tetangga, adalah orang pertama yang mau menyisihkan tanahnya seluas 300

meter persegi untuk mencoba bertanam telang. Yusuf dan Rita mengajarinya bercocok tanam telang hingga proses pengeringannya secara tradisional.

Tak dinyana, bunga telang Mbah Budi diterima pasar di negara lain. Yusuf menjualnya secara online dengan pengiriman ekspor. Bunga Mbah Budi diterima. Harganya Rp 2 juta per kilogram. Pada pengiriman pertama, Mbah Budi bisa mendapatkan Rp 8 juta dalam sebulan dengan menjual bunga ini. Cerita Mbah Budi pun segera menyebar ke seluruh Prambanan.

Mereka berbondong-bondong datang ke rumah Yusuf dan Rita untuk meminta bibit. Setelah banyak orang menanam telang, Yusuf menginformasikan pembelinya dari banyak negara kepada mereka. Para pembeli bunga telang mencari pasokan lewat Yusuf melalui email.

Sukses membangun jaringan bisnis telang kering, Yusuf mulai terpikir untuk mengolahnya sendiri. Ia dan Rita mengolahnya menjadi minuman dengan label Martani Organik. Rita juga mencampurkan telang ke nasi. “Siapa pun yang mampir ke sini akan kami sajikan nasi ungu,” kata Rita.

Kini Martani menjadi salah satu tujuan kuliner Yogyakarta. Tak lengkap berkunjung ke Yogyakarta tanpa mencicipi teh telang. Rita dan Yusuf mengemas telang seperti teh celup agar gampang

dalam distribusi dan dimanfaatkan oleh pembeli. Satu saset teh telang

dijual Rp 1.500. Sementara satu kotak Rp 37.500 karena berisi 25 saset.

Keberhasilan mengembangkan telang

membuat Yusuf dan Rita kepada keseharian ketika

mereka masih di Bogor: berkeliling kampus dan instansi pemerintah untuk berceramah. Kali ini ceramah mereka adalah kisah inspiratif membudidayakan tanaman terlupakan yang ada di sekitar rumah kita. “Telang dan Yogyakarta seperti sebuah serendipity,” kata Yusuf. “Kami menemukan kesenangan dari ketidaksengajaan.”

Alamat Martani Organik: Dusun Karangmojo Desa Taman Martani, Kecamatan Kalasan, Sleman

—R. Eko Tjahjono

F rest D gest62 o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 8

‘Dalam memenuhi target penurunan emisi Indonesia sesuai dokumen NDC, peran aktif aktor non pemerintah menjadi penting karena pemerintah sendiri masih harus memastikan target pembangunan berkelanjutan sejalan dengan upaya menanggulangi perubahan iklim’

Persetujuan Paris atau Paris Agreement merupakan perjanjian dalam Konvensi

Kerangka Kerja Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa atau United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) mengenai mitigasi emisi gas rumah kaca, adaptasi, dan keuangan, yang diharapkan akan efektif pada tahun 2020. Sebanyak 195 dari 196 negara anggota UNFCCC menyepakati Paris Agreement tersebut sebagai suatu kesepakatan bersama yang menjadi protokol baru untuk menangani perubahan iklim dengan berbagai aspeknya dan berkomitmen untuk menjalankan pembangunan yang rendah emisi. Indonesia merupakan salah satu negara yang menandatangani perjanjian ini pada 22 April 2016.

Paris Agreement menyepakati upaya global untuk menjaga kenaikan suhu bumi di bawah 2oC, salah satu nya dengan menetapkan skema ‘pledge and review’ untuk upaya mitigasi perubahan iklim melalui Nationally Detemined Contribution atau umum dikenal sebagai NDC.

Indonesia telah menyampaikan NDC pertama nya yang menetapkan komitmen penurunan emisi nasonal menjadi sebesar 29% dengan upaya sendiri dan 41% dengan bantuan internasional terhadap Business

As Usual baseline di tahun 2030. Kegiatan penurunan emisi difokuskan ke sektor energi, pengelolaan limbah, proses industri, pertanian, dan kehutanan. Indonesia juga telah meratifikasi Paris Agreement dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Persetujuan Paris atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim pada bulan Oktober 2016 yang merupakan dasar hukum untuk menyusun rencana aksi pengendalian perubahan iklim.

Tabel 1. Target Penurunan Emisi per Sektor dalam Perpres 61/2011 tentang RAN-GRK

Sektor Target Penurunan Emisi (Juta ton CO2e)

Kehutanan dan Gambut

672

Limbah 48

Energi dan Transportasi

38

Pertanian 8

Industri 1

Total 767

Sumber: Laporan Pelaksanaan Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca. 2018

Dalam Tabel 1. di atas dapat terlihat bahwa sektor kehutanan berpotensi

menjadi penyumbang upaya mitigasi perubahan iklim terbesar di Indonesia yaitu 65% dari total potensi penurunan emisi yang disepakati dalam Nationally Determined Contribution (NDC) atau sebesar 132,72 juta ton CO2. Menjaga luasan hutan 30% dari total luas daratan Indonesia adalah salah satu cara paling efektif untuk memastikan penurunan emisi dari sektor kehutanan itu dapat terjadi. Ini berarti mencegah perusakan hutan dan lahan menjadi keharusan bagi Indonesia, termasuk upaya pencegahan kebakan dan pengendalian konversi hutan yang ditenggarai merupakan penyebab utama deforestasi.

Tabel 2 Capaian Mitigasi Perubahan Iklim yang Terverifikasi tahun 2016

Sektor Penurunan Emisi (Juta Ton CO2e)

Energi 39,81

Pengelolaan Limbah

11,58

IPPU 0,97

Pertanian 6,95

Kehutanan 132,72

RAD-GRK* 10,79

Total 202,82

Sumber: KLHK dan Bappenas, 2017

Berdasarkan Tabel 2, dapat dilihat pencapaian terbesar penurunan

MENGGAPAI KOMITMEN INDONESIA DI PERUBAHAN IKLIM:

PERAN PENTING AKTOR NON PEMERINTAH

INFORIAL KEMITRAAN

F rest D gest 63o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 8

emisi terjadi di sektor kehutanan dan energi. Walaupun demikian, apabila dibandingkan dengan target di tahun 2030, maka pencapaian sektor energi dan kehutanan masih jauh dari target yaitu hanya 27% untuk sektor energi dan 30% untuk sektor kehutanan. Apabila kondisi ini dipertahankan, maka Indonesia dapat gagal memenuhi target penurunan emisi di sektor kehutanan. Dibutuhkan kebijakan yang lebih strategis, termasuk bagaimana mendorong kegiatan penurunan emisi yang tidak hanya tergantung pada pendanaan pemerintah.

Mengingat tantangan penurunan emisi 2020 sampai dengan tahun 2030 akan semakin berat, maka sinergi, inovasi dan prioritasi dari seluruh pemangku kepentingan menjadi sangat penting demi tercapainya komitmen penurunan emisi sesuai dengan targen NDC yang ditetapkan sendiri oleh Indonesia. Hal ini sejalan dengan semangat dari Paris Agreement sendiri dimana semakin besar peran sub- dan non-state actors dalam memastikan kontribusi terhadap penurunan emisi global.

Para pemangku kepentingan di Indonesia sebenarnya juga telah melakukan beberapa inisiatif yang

sudah menghasilkan penurunan emisi karbon yang riil. Salah satu contoh adalah yang dilakukan oleh KKI Warsi dan komunitas Bujang Raba dalam PES Project. Melalui skema Plan Vivo, diperkirakan akan berhasil menurunkan 379,101 Ton CO2e (Plan Vivo, 2016). Masyarakat adat dapat menjual karbon mereka dengan harga 6 USD/Ton. Contoh lain adalah yang dilakukan masyarakat adat melalui pengetahuan tradisional mereka. AMAN telah melakukan studi mengenai berapa besar harga ekonomi dari upaya penurunan emisi dengan memanfaatkan jasa lingkungan yaitu serapan karbon. Sebagai contoh, Hutan Malaumkarta, Sorong Papua memiliki fungsi sebagai serapan karbon dan bernilai sebesar 78 Miliar rupiah per tahun (AMAN, 2018). Selain itu, masih ditambah dengan beberapa inisiatif ditingkat pemerintah daerah yang salah satunya difasilitasi melalui Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL) dan Desa Perduli Gambut (DPG). Seluruh upaya ini tentunya akan menambah kontribusi terhadap upaya implementasi pencapaian target NDC dan perlu dicatatkan sebagai bagian kontribusi Indonesia dalam pencapaian penurunan emisi global.

Agar kontribusi sub- dan non-state actors ini bisa lebih efektif dan efisien, perlu disediakan dua perangkat kebijakan yang sangat penting: (1) platform untuk mencatatkan hasil penurunan emisi dari semua pemangku kepentingan dan (2) sumber pendanaan yang dapat menjadi leverage fund untuk menjaga keberlanjutan kegiatan penurunan emisi.

Pemerintah Indonesia saat ini tengah mengembangkan Sistem Registrasi Nasional Pengendalian Perubahan Iklim (SRN-PPI) yang berfungsi sebagai platform untuk mencatatkan program program penurunan emisi yang nantinya akan menjadi dasar pelaporan pencapaian NDC ke UNFCCC. SRN-PPI masih dalam tahap penyempurnaan dan diharapkan dapat diterapkan secara lebih efisien dan efektif. Salah satu nya yang perlu diperhatikan adalah kemudahan akses kedalam sistim sehingga yang dapat menggunakan adalah semua pemangku kebijakan termasuk komunitas dan LSM pendamping yang berada di tempat terpencil. Sulitnya mengakses sistim telah ditenggarai menjadi salah satu sebab tidak banyaknya kegiatan oleh aktor non-pemerintah tercatatkan dalam SRN.

PP no 16/2018 mengenai Badan Layanan Umum Pendanaan Lingkungan Hidup (BLU-PDH) merupakan salah satu breakthrough dalam upaya memastikan tersedianya leverage fund bagi upaya pengendalian perubahan iklim di Indonesia. Diharapkan dengan adanya BLU-PDH maka beberapa inistiatif yang dilakukan oleh komunitas dan masyarakat adat juga dapat di fasilitasi. Karena BLU-PDH ini masih dalam taraf penyusunan kelembagaan tentunya masih jauh untuk mengukur keberhasilannya. Diharapkan dalam proses pengembangannya, komunikasi dan keterlibatan para kandidta penerima seperti komunitas dan masyarakat adat ataupun civil society lain nya akan tetap terjaga.

Monica Tanuhandaru(Executive Director, Kemitraan)

Dewi Rizki(Program Director, Kemitraan)

F rest D gest64 o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 8

DI ketinggian 1.450 meter dari permukaan laut, aroma kopi menyeruak dari rumah-rumah penduduk di Kampung Cibulao, terbawa angin dan kabut yang merayap lereng-lereng kebun teh Puncak. Hanya satu jam dari Kota Bogor, Jawa Barat, inilah kampung

halaman kopi nomor satu Indonesia versi

Kontes Kopi Spesialti Indonesia VIII di Takengon Aceh pada 2016.

Ada sekitar 30 hektare kebun kopi yang ditanam masyarakat Kampung Cibulao, separuh untuk kopi robusta dan separuh untuk arabika. Uap kopi yang saya hirup di bawah suhu 20 derajat Celcius ketika mendaki ke kampung itu salah satunya berasal dari rumah Kiryono. Ia anggota Kelompok Tani Hutan Kampung Cibulao. Ia adalah saksi hidup bagaimana penduduk kampung ini mengubah nasib

secara mandiri.Kampung ini dihuni 120 kepala

keluarga. Nenek moyang mereka awalnya buruh pemetik teh milik Perhutani sejak zaman kolonial Belanda. Menurut Kiryono, menjadi buruh membuat hidup orang Kampung Cibulao tak beranjak dari garis kemiskinan. “Sudah bertahun-tahun yang lulus SMA cuma tiga orang,” katanya, dalam percakapan pada September lalu.

Kiryono dan beberapa keluarga generasi keempat pemetik teh di kampung itu mulai

Kopi dan Konservasi adalah SejoliDi Kampung Cibulao, Puncak, masyarakat menanam kopi untuk merevitalisasi mata air Ciliwung. Ekonomi dan ekologi bisa serasi.

reportase

F rest D gest 65o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 8

berpikir hal lain. Mereka lihat banyak tanah telantar milik Perhutani di sekitar Telaga Saat, hutan lindung yang menjadi rumah mata air yang menjadi sumber Sungai Ciliwung. Dari danau inilah air bah tiap musim hujan yang menghumbalang Jakarta berasal.

Dengan inisiatif beberapa kepala keluarga pada 2004, dan seizin Perhutani, mereka mulai menanami kopi. Waktu itu, Yono dan teman-temanya hanya berpikir menghijaukan kembali hutan yang mulai botak di sekitar danau. Kampung mereka acap longsor dan pasokan air dari danau berkurang jika musim kemarau.

Pikiran Yono sederhana saja, jika Telaga Saat lebih hijau, dan danaunya dalam, ia akan lebih banyak menampung air sehingga limpahannya tak turun terlalu banyak menuju Laut Jawa. Sejak 1987, bukit-bukit mulai gersang karena tak lagi

berpohon membuat tanah merungkup danau dan tak lagi menahan air hujan. Di Bogor, hujan seperti minum obat resep dokter: sehari bisa tiga kali tanpa jam yang pasti.

Orang kampung yang hanya mengandalkan penghasilan menjadi buruh kebun teh mulai merambah hutan terutama ketika krisis moneter. Mereka mencari kayu bakar dengan masuk ke hutan-hutan lindung di puncak bukit. Mereka kucing-kucingan dengan polisi hutan yang berpatroli.

Sejak perambahan meningkat, kualitas air danau juga memburuk. Capung makin sedikit hinggap di airnya. Perambahan itu terutama terjadi sejak krisis moneter, terutama jika ada kenaikan harga bahan bakar minyak. Orang Cibulao yang hidup sulit masuk ke hutan untuk mencari kayu bakar karena harga minyak meroket.

Longsor pun tak terhindarkan. Hingga kini di Kampung Cibulao masih tampak bekas tanah-tanah longsor. Orang Cibulao tak sadar tanah longsor itu akibat perambahan mata air yang mereka lakukan. Tapi, umumnya mereka tak punya pilihan. Merambah hutan lindung adalah satu-satunya cara ketika tak ada penghasilan lain dari hutan di sekelilingnya.

Sampai akhirnya, sampai suatu ketika di awal 2000, longsor dari bukit-bukit yang kerontang membuat penduduk Cibulao sadar mereka telah merusak rumah mereka sendiri dengan menebangi kayu di hutan. Orang seperti Yono dan penduduk lain lalu mulai terpikir menanami kembali bukit-bukit itu seraya menanam kopi—komoditas yang mereka kenal dan cocok dengan iklim daerah pegunungan itu.

Konsorsium Penyelamatan Kawasan Puncak, yang terdiri dari LPPM Pusat Studi Wilayah Institut Pertanian Bogor, Forest Watch, dan beberapa komunitas konservasionis juga datang ke Cibulao untuk mengajari cara menanam kopi sekaligus mengkonservasi DAS Ciliwung. Soalnya, di Titik Nol Ciliwung ini, juga bersemayam pohon-pohon dan satwa endemik Jawa Barat, seperti Surili dan Elang Jawa.

Maka selain membudidayakan kopi, masyarakat juga menanam pohon agar resapan air juga kian tinggi. Selain Telaga Saat, di kaki Gunung Pangrango juga terdapat Telaga Warna dan Telaga Gayonggong yang juga menjadi pusat penampungan air Sungai Ciliwung. Orang Cibulao mafhum, jika masih banyak capung berkeliaran di sekitar danau menunjukkan airnya masih bagus.

Tahun 2004, telaga Saat (bahasa Sunda yang berarti kering) dikelola oleh Dinas Pekerjaan Umum DKI Jakarta. Penamaan itu merujuk pada pemerintahan Belanda yang mengeringkan danau ini dan mengubahnya menjadi kebun teh. Mereka membutuhkan komoditas untuk diekspor ke negaranya dari daerah jajahan ini.

Dinas PU Jakarta lalu mengeruk danau ini pada 2004. Kedatangan Dinas PU Jakarta yang datang untuk mengembalikan fungsi danau sebagai pengatur volume

cibulaoPerkebunan teh, titik nol Ciliwung, dan buah kopi Cibulao.

F rest D gest66 o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 8

air Ciliwung, mendorong kesadaran masyarakat Cibulao akan fungsi telaga ini. “Kami jadi tahu danau yang kering membuat banjir di Jakarta,” kata Dili, penjaga telaga. “Sejak itu kami berharap dengan menghijaukan lahan di sekitar danau tak ada lagi banjir.”

Yono menambahkan hingga kini 95 persen masyarakat sudah memiliki kesadaran menjaga hutan karena ketika telaga-telaga itu kering, mereka juga jadi kekurangan air. Desa-desa di sekitar telaga itu mengandalkan air untuk hidup mereka dari danau ini dengan mengalirkannya melalui pipa ke rumah-rumah.

Panen pertama kopi penduduk terjadi pada 2008. Panen kopi tidak terlalu banyak karena baru hanya berasal dari 16 hektare lahan. Kedatangan para pendamping dari IPB dan lembaga swadaya membuat mereka belajar memproduksi biji kopi sendiri sehingga kopi yang dijual sudah dalam bentuk biji kopi siap pakai.

Setelah paham bagaimana menanam dan memproduksi kopi, jumlah kopi yang dipanen pun pelan-pelan mulai naik. Menurut Jumpono, Ketua Kelompok Tani Cibulao, kini rata-rata satu pohon menghasilkan 7-10 kilogram kopi. Selain dijual di desa, para petani juga mengirimkannya ke Bogor. Kafe Ranin di Bogor adalah salah satu penampung dan penjual kopi Cibulao.

Agar masyarakat lebih banyak tahu kopi Cibulao, mereka juga mulai mengembang-kan ekowisata di daerah ini. Wisata Kebun Teh dan trek bersepeda mereka tawarkan kepada pengunjung yang mampir ke sana.

Juga, tentu saja, pertunjukan mengolah kopi secara langsung. Yono dan Jumpono menyebutnya “konsep desa wisata edukasi konservasi”.

Dalam paket itu juga ada paket penginapan. Penduduk menyediakan kamar-kamar di rumah mereka bagi wisatawan yang bermalam. Pada pagi, mereka mengajak tamu-tamu berkeliling bukit dan naik ke lereng dengan sepeda untuk mengamati burung-burung khas yang ada di sana.

Kebun-kebun kopi terbaik ada di puncak-puncak bukit. Mesti mendaki dengan jalan kaki ke sana menembus kabut dan gigil Puncak untuk menjangkaunya. Di sini, kopi adalah tanaman ketiga. Tanaman utama tetap pohon-pohon hutan seperti Rasamala,

Puspa, atau Pasang. Kopi berada di bawah naungan pohon sengon atau dadap.

Menurut Yono, naungan itulah yang membentuk rasa yang khas kopi Cibulao, yang pekat dengan rasa asam yang meng-gantung. Ia menjual biji kopi yang dikemas lumayan rapi. Ia juga menyediakan kopi giling jika pembeli menginginkannya. Ia menuang kopi tubruk arabika untuk saya ketika kami terlibat percakapan soal sejarah kopi Cibulao ini.

Jumpono bercerita awalnya bukan perkara mudah bagi mereka menanam kopi dengan rasa yang khas hingga menjadi kopi terbaik di Indonesia. Ketiadaan pengetahuan, kemiskinan strategi, dan kefakiran menguasai rantai pasokan membuat para petani Cibulao asal-asalan menanam kopi

F rest D gest 67o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 8

Elang Jawa Kembali ke Sarangnya

BERTAHUN-tahun hidup bersama Elang Jawa, baru sepuluh tahun terakhir orang Kampung Cibulao tahu burung endemik di Desa Tugu Utara, Puncak, Bogor ini harus dilindungi. Mereka hanya tahu burung ganas ini jadi hama bagi penduduk desa. “Jadi pemakan anak ayam,” kata Dili, penduduk setempat.

Desa yang berbatasan dengan hutan lindung Taman Nasional Gunung Gede-Pangarango ini adalah habitat asli Elang Jawa. Burung ini sudah langka karena jumlahnya menipis akibat hutan tempat sarang mereka dirambah manusia. Mereka terancam punah karena hanya bertelur satu. Pasangan elang akan membesarkan anak itu dan segera menyapihnya begitu mereka bisa mencari makan sendiri.

Dalam ekologi, Elang Jawa berada di puncak rantai makanan. Keberadaannya merupakan penanda kualitas hutan dan lingkungannya. Keberadaan satwa ini dilindungi dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI no. 20/MenLHK/Setjen/Kum.1/6/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi. Di Gede Pangrango, jumlahnya tinggal 16 ekor dan masing-masing ekor. Para peneliti memasangkan alat pelacak agar terpantau keberadaannya.

Gunung Gede-Pangrango adalah habitat sempurna untuk Elang Jawa. Mereka biasanya hidup di lereng gunung dengan kecuraman 45 derajat. Ada sumber mata yang melimpah dan pohon untuk bertenggar dengan banyak cabang dan dahan. Di Pangrango, Puspa, Pasang, dan Saninten adalah pohon terbaik untuk mereka hidup.

Jawa Barat memiliki hutan asli dengan kondisi yang masih baik dan dalam hamparan yang cukup luas, sehingga ideal sebagai salah satu habitat alami Elang jawa. Kegiatan pelestarian elang jawa memang banyak dilakukan di TN gunung gede Pangrango dan hutan-hutan disekitar TN.

Burung predator ini bersarang di pohon yang tinggi secara berpasangan. Elang Jawa di Gede-Pangrango sudah dipasangkan agar berkembang biak.

Setelah tahu elang Jawa akan punah, Dili dan masyarakat Kampung Cibulao secara sukarela menjadi pengamat mereka. Dili kini bisa fasih menjelaskan bagaimana perilaku elang Jawa. “Setelah menetas, anak elang akan dipindahkan oleh induknya sejauh satu kilometer dari sarang bertelur,” kata dia.

Dili dan orang-orang Kampung Cibulao belajar secara otodidak mengamati elang Jawa. Mereka hanya pernah diarahkan oleh seorang peneliti dari Jepang. Gara-gara bisa mengidentifikasi perilaku Elang Jawa itulah Dili pernah diundang ke Jepang untuk berceramah soal burung ini. Menurut dia, orang Jepang sangat antusias mendengar penjelasannya.

Kini Elang Jawa tak lagi takut melintasi Kampung Cibulao. Mereka telah kembali menemukan sarang karena penduduk menjaga Puspa dan Pasang sebagai tempatnya bertelur dan membangun keluarga.

—LA

dan menjualnya. Kedatangan para pendamping dari IPB dan LSM membuka wawasan mereka tentang bagaimana cara menghasilkan kopi yang bagus.

Yono maupun Jumpono bersyukur bisa mengubah nasib mereka secara mandiri. Kini para petani di Cibulao tak lagi hanya mengandalkan penghasilan sebagai buruh pemetik teh. Mereka telah mandiri memiliki penghasilan sendiri dengan menjadi petani kopi. “Anak-anak juga bisa bersekolah lebih tinggi,” kata dia.

Telaga Saat, sementara itu, juga menjadi bersih kembali. Capung-capung kembali berkerumun di airnya yang tenang dan dalam. Jarang ada longsor. Rumah-rumah penduduk cukup mendapat pasokan air.

Di Cibulao, kopi dan konservasi berjalan dengan serasi. —Librianna Arshanti

kopi cibulao.Kopi olahan dan petani serta pengunjung kopi Cibulao.

F rest D gest68 o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 8

reportase

SEBANYAK 30 mahasiswa Fakultas Kehutanan IPB anggota Forest Management Students’ Club tiba di Kabupaten Kerinci, Jambi, pada 21 Agustus 2018. Mereka akan tinggal di beberapa desa di kabupaten itu selama 10 hari untuk mengamati praktik perhutanan sosial.

Perhutanan sosial adalah pendekatan baru,

meski pun praktiknya sudah lama ada, dalam pengelolaan hutan yang lestari.

Ada enam desa yang menjadi lokasi perhutanan sosial yang diampu Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi Kerinci Unit I. Perhutanan sosial merupakan upaya pemerataan ekonomi dan mengurangi ketimpangan ekonomi melalui tiga pilar, yaitu lahan, kesempatan uaha dan sumberdaya manusia. Untuk memetakan pola perhutanan sosial di Kerinci kami membagi diri dalam enam kelompok, agar

tiap kelompok bisa meneliti satu desa.Enam desa itu adalah Desa Pungut

Mudik, Desa Pengasi Lama, Desa Pasar Minggu, Desa Sungai Renah, Desa Sungai Dalam dan Desa Danau Tinggi. Penelitian di tiap desa didampingi oleh seorang penyuluh.

Pengumpulan data primer meliputi observasi lapangan dan wawancara terhadap kepala desa, kepala adat, juga masyarakat desa. Data sekunder berasal dari instansi terkait. Analisisnya

Pengalaman Membangun Perhutanan SosialReportase partisipatif mahasiswa Fakultas Kehutanan IPB dalam Environomic Social Mapping yang menjadi bagian National Environment

& Social Talk (NEST) 2018 oleh Forest Management Students’ Club (FMSC) dari Kerinci, Jambi. Kegiatan ini didukung Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Pusat Informasi Kehutanan Fakultas Kehutanan IPB, Departemen Manajemen Hutan IPB, dan Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (LPPM) IPB.

F rest D gest 69o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 8

memakai analisis deskriptif untuk menjelaskan karakteristik enam desa lokasi pembangunan perhutanan sosial melalui kajian PRA (Participatory Rural Appraisal) menggunakan teknik penelusuran desa dengan lintasan garis lurus.

Kabupaten Kerinci umumnya memiliki kawasan hutan yang rimbun dilengkapi dengan ladang-ladang masyarakat yang ditanam beraneka tanaman, seperti kopi, kayu manis , teh, yang menjadi komoditas utama masyarakat kerinci. Selain tanaman yang beragam dan tumbuh subur, kerinci masih memiliki satwa dilindungi. Dalam perjalanan ground check kami melihat beberapa monyet ekor panjang dan siamang yang sedang bergelantungan di pohon. Juga jejak-jejak harimau dan bekas cakaran beruang.

Desa Pungut Mudik merupakan sebuah desa kecil yang terletak di kaki gunung

Kerinci. Secara administratif desa ini terletak di Kecamatan Air Hangat Timur, dua jam perjalanan memakai mobil dari Kota Sungai Penuh. Desa ini belum terjangkau jaringan telepon dan internet. Kami harus meyakinkan masyarakat di sana agar menerima kami untuk tujuan penelitian.

Dalam ground check dan analisis potensi wilayah tim peneliti harus menempuh perjalanan 10 kilometer dari desa menuju ladang. Kami harus menginap tiga malam di rumah ladang milik penduduk.

Hari pertama dilapangan dimulai dengan kegiatan ground check pada pukul 14.00 WIB. Kegiatan tersebut melewati ladang-ladang, semak belukar, dan hutan dengan bantuan penunjuk arah dari GPS dan aplikasi Avenza Map. Karena bertepatan dengan hari raya Idul

Adha, banyak pemilik dan penggarap ladang yang pulang ke kampung. Hal ini membuat tim gagal wawancara pada hari pertama.

Karena itu wawancara dilakukan di desa, sekaligus sosialisasi perhutanan social serta pembentukan Kelompok Tani Hutan (KTH). Kegiatan ini makan waktu empat hari. Sosialisasi dilakukan dengan metode purposive sampling dengan cara mendatangi setiap rumah (door to door). Selain wawancara, tim beserta pemandu lapang juga mensosialisasikan perhutanan sosial sekaligus mengundang masyarakat untuk ikut diskusi pembentukan KTH.

Pekerjaan utama masyarakat desa adalah petani ladang dengan menanam kayu manis, kopi dan sayuran. Kayu manis merupakan investasi masyarakat desa Pungut Mudik, karena pohon ini baru bisa dipanen setelah usia 15-20 tahun. Sekali panen penduduk mendapatkan ratusan bahkan miliar rupiah. Sambil menunggu waktu panen kayu manis, masyarakat menanami lahan mereka dengan tumbuhan kopi dan sayuran seperti kentang, terong, cabai, memakai sistem agroforestri atau tumpangsari.

Perladangan dengan sistem agroforestry ini mampu meningkatkan pendapatan masyarakat karena menghasilkan lebih dari satu pendapatan di lahan yang sama. Sistem ini juga menjadikan nilai perkapita masyarakat desa Pungut Mudik menjadi tinggi. Hasil berladang kayu manis, kopi dan sayuran digunakan juga untuk meningkatkan pendidikan anak-anak sampai jenjang pekuliahan sehingga banyak masyarakat yang memiliki gelar sarjana.

Masyarakat desa ini memiliki kearifan yang sangat tinggi, khususnya dalam berkomunikasi satu sama lain. Karena belum ada telepon, komunikasi antar penduduk dilakukan secara tatap muka.

hasil hutan.Tokoh masyarakat hutan adat Desa Pengasi Lama, Jambi dan hasil hutan Desa Pungut Mudik.

F rest D gest70 o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 8

Ini yang membuat masyarakat Pungut Mudik menjadi guyub.

Desa Pengasi Lama adalah desa yang memiliki jarak tempuh yang paling dekat dari dari Kota Sungai Penuh. Melewati Danau Kerinci, hanya perlu 30 menit berkendara untuk mencapainya. Hidup masyarakat desa ini bergantung kepada hasil hutan. Tanah yang subur membuat berbagai tanaman dapat tumbuh dengan baik. Berbagai komoditas tanaman hutan dan non hutan menjadi mata pencaharian utama masyarakat. Kopi, arabika maupun robusta, merupakan salah satu komoditas dominan yang ditanam di lahan milik masyarakat yang tinggal di ketinggian 800-1500 meter dari permukaan laut.

Desa ini masih kental dengan adat. Hukum adat masih kuat dan dijaga serta dipatuhi oleh masyarakat. Salah satu kegiatan adat adalah kenduri. Kenduri pusaka adalah mengumpulkan semua pusaka untuk disucikan atau dibersihkan

oleh para suku atau kepala adat yang disaksikan oleh seluruh masyarakat desa. Acara dilakukan pada malam hari dimulai pukul 21.00 sampai dengan pukul 23.00.

Rumah masyarakat Desa Pengasi Lama sangat unik, masih sangat tradisional yang terbuat dari kayu, berbentuk seperti rumah panggung yang tangga menuju rumah di lantai ke duanya berada di luar rumah tepatnya disamping atau di depan rumah. Lantai satu rumahnya biasanya digunakan untuk menyimpan berbagai hasil panen seperti padi.

Desa Pengasi Lama yang awalnya merupakan bagian dari Desa Pengasi yang kemudian memekarkan diri menjadi Desa Pengasi Lama dan Desa Pengasi Baru. Topografi Desa Pengasi lama didominasi perbukitan. Hutan yang semulanya akan diajukan dalam skema Hutan Desa mengalami perubahan skema dengan berbagai pertimbangan dari pihak masyarakat Desa Pengasi Lama. Salah

satu yang menjadi pertimbangan adalah masyarakat Desa Pengasi Lama melihat Desa Pengasi Baru yang wilayah hutannya dialokasikan menjadi Hutan Adat sebagai percontohan yang baik.

Melalui musyawarah tokoh masyarakat Desa Pengasi Lama, mereka bersepakat membentuk Hutan Adat, setelah mendapatkan penjelasan manfaatnya. Mereka tak sabar mengelolanya.

Desa Pasar Minggu merupakan salah satu desa di Kabupaten Kerinci yang dihuni oleh 1.031 jiwa dengan luas 120 hektare. Penduduknya banyak keturunan Jawa. Alamnya sejuk dengan hamparan kebun teh Kayu Aro dan kebun kopi, kentang, kulit manis, dan sayur-sayuran menambah kesan yang menyenangkan.

Berdasarkan kesepakatan dengan warga Desa Pasar Minggu, mereka akan menerapkan skema hutan kemasyarakatan. Berdasarkan hasil pemetaan area, HKm akan dibuka pada areal seluas 112 hektare.

reportase

F rest D gest 71o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 8

bagi mereka. Butuh pendekatan ekstra kepada mereka agar mau menerima sosialisasi perhutanan sosial.

Skema hutan kemasyarakatan juga diajukan untuk perhutanan sosial di Desa Danau Tinggi, yang berbatasan langsung dengan Taman Nasional Kerinci Seblat. Masyarakat desa ini antusias terhadap program perhutanan social. Masalahnya sebagian besar ladang mereka berada di taman nasional sehingga hanya sedikit ladang yang diterima untuk skema ini.

—Tiara Fajar Cahyani, Nugraha Akbar Nurrochmat, Nafa Nurkhalifa

Masyarakat Desa Pasar Minggu umumnya baru mendengar istilah perhutanan sosial. Saat diskusi mereka antusias bertanya soal pemanfaatannya. Mereka cemas perhutanan sosial merupakan program pemerintah untuk mengambil alih ladang mereka. Setelah mendapat penjelasan mereka beramai-ramai mengajukan ladangnya masuk skema HKm.

Sementara di Desa Sungai Renah rata rata bermata pencarian penduduknya sebagai pekebun di tanah milik sendiri. Infrastruktur desa terbilang cukup baik dan sangat layak. Di Desa Sungai Renah

pernah diprogramkan skema yang serupa dengan perhutanan sosial tetapi tidak berkelanjutan, sehingga antusiasme masyarakat menurun untuk program yang serupa. Karena itu mereka kurang antusias ketika kami akan menggelar sosialisasi perhutanan sosial. Di Desa Sungai Dalam yang berada di Kecamatan Kayu Aro, topografinya agak sulit ketika ground check karena lahannya didominasi rawa. Rawa belum dimanfaatkan oleh warga desa karena belum mereka tak pernah mengukur kedalamannya. Masyarakat belum sepenuhnya mengerti tentang perhutanan sosial dan pentingnya hutan

tim ekspedisi.Mahasiswa Managemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB saat ekspedisi di Kerinci, Jambi.Desa Pengasi Lama (kanan atas).Cakar beruang (kanan).

F rest D gest72 o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 8

bintang

SYAHARANI Tugas Bersama

BAGI Syaharani, menjaga lingkungan itu wujud rasa syukur telah diberi hidup dan yang membuatnya hidup. Tiap jalan-jalan pagi di sekitar rumahnya di Jakarta atau Surabaya, penyanyi jazz dengan suara serak yang khas itu selalu kagum pada mereka yang mempraktikkan cara hidup sehat yang berimbas pada lingkungan yang sehat.

Salah satunya adalah tak terlalu banyak memakai bahan-bahan yang terbuat dari plastik untuk keperluan sehari-hari. Apalagi, mereka yang tak bosan terus-menerus menyuarakan pentingnya menjaga alam. “Jika kita bersahabat dengan alam, kita akan terhindar dari

bencana,” kata penyanyi 47 tahun ini.Syaharani menyukai jalan ke gunung, meski sering juga ia treking

di pantai. Buat dia, naik ke gunung itu nagih. Seperti ketika ia treking ke Coban Pitu di Pujon, kota kelahiran di selatan Malang, Jawa Timur. “Setelah tanjakan curam kita bisa lihat air terjun yang tujuh itu,” katanya. “Ternyata begitu naik masih ada empat lagi.”

Treking juga cara Syaharani bersyukur hidup di Indonesia dengan alam yang kaya. Sebab dengan tahu alam itu kaya, katanya, kita akan terdorong melestarikannya. “Tugas menjaga alam itu adalah tugas kita semua,” kata dia kepada Kaka Prakasa dari Forest Digest sebelum naik panggung Dramaga Jungle Jazz awal September lalu. —

MARCELLO TAHITOEBebaskan Pantai dari Plastik

SEBAGAI anak Ambon, Marcello Tahitoe akrab dengan pantai. Meski lahir di Jakarta, sejak kecil tempat bermainnya adalah pantai di ibu kota Maluku itu. “Tidur-tiduran dan main ombak,” kata penyanyi 35 tahun ini.

Karena itu Ello lebih suka pantai dibanding gunung jika diminta memilih objek untuk

jalan-jalan. Pantai yang sepi membuatnya bisa merenung dan mendapat inspirasi dalam menciptakan lagu. Di Ambon, kata dia, pantainya masih bersih dan asri.

Menurut Ello, kesadaran masyarakat Indonesia menjaga lingkungan kian meningkat, meskipun di beberapa tempat masih saja terlihat orang buang sampah sembarangan. Beberapa pantai yang pernah ia datangi malah menjadi tempat pembuangan sampah plastik. “Semoga kita makin sadar untuk membebaskan pantai dari sampah plastik,” kata dia kepada Rina Kristanti dari Forest Digest. —

F rest D gest 73o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 8

F rest D gest74 o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 8

BARANGKALI begitu alurnya: mencari Tuhan pada akhirnya akan sampai pada humor. Seperti Abu Nuwas atau Nasruddin Hoja, juga film P.K. Ini film agak lama, tapi kian terasa relevan hari-hari ini, terutama ketika Tuhan dan agama, iman dan logika, kian dipertentangkan seolah-olah keduanya unsur yang saling meniadakan.

P.K film yang lengkap: humornya tak menohok, satir yang tak mengolok, cerita yang padu, akhir mengejutkan, akting yang natural, tema universal, dan cerita ringan yang

mempertanyakan soal-soal filosofis secara jenaka. Humor yang berhasil selalu mengundang kita bersetuju pada cara dan sudut padang pembuatnya mempertanyakan realitas, meski tak harus akur dengan kesimpulannya.

Film P.K mempertanyakan cara kita melihat dan menghidupkan Tuhan, lewat seorang alien yang tersesat di bumi karena remot pemanggil piring terbangnya raib dicuri orang ketika ia singgah di bumi. Cerita P.K adalah cerita pencarian remot itu, selama alien itu tersesat di bumi, yang bermuara pada cara manusia memelihara harapan, sering kali lewat agama, dari kacamata seorang alien yang asing dan jolong.

Di India, dan rupanya di mana pun, para penganut agama menyerahkan segala urusan dunia kepada Tuhan, jauh sebelum apa yang bisa dilakukannya. Maka ketika alien ini bertanya di mana ia bisa menemukan remot itu—tentu setelah ia menyerap bahasa Hindi lewat transfer energi dari seorang pelacur—manusia yang ditemuinya selalu mengarahkannya bertanya kepada Tuhan. Di mana Dia? Orang menunjuk ke kuil.

Alien ini pun pergi ke kuil, membeli makanan dan antre bersama ribuan jemaat, untuk menyampaikan permohonan. Tapi yang ia dapat dari kuil itu malah kelapa, bukan remot. Tuhan di kuil itu tak bisa berbuat apa-apa dengan permohonannya. Ia pun mandi di sungai Gangga, membawa susu sapi, dan menyiramkan ke tubuhnya. Remotnya tetap tak kembali.

Di gereja juga sama saja, meski ia sudah membawa dua botol anggur dan selapis roti, melebihi apa yang dianjurkan pendeta. Begitu ke masjid ia malah dikejar-kejar karena membawa alkohol. Pendeknya Tuhan di semua agama tak bisa menolongnya mendapatkan remotnya kembali. Ia pun menangis di rumah seorang pengrajin patung Tuhan: dari semua dewa dan Tuhan di sini, siapa yang bisa menolongku?

Sebab tiap Tuhan melarang dan menganjurkan hal yang berbeda dan bertolak belakang. Tuhan Muslim melarang umatnya makan babi, sementara Tuhan Nasrani membolehkannya. Tuhan Hindu melarang umatnya makan daging sapi, tapi penganut agama lain malah menyembelihnya. Tuhan mana yang benar dan harus ia

ikuti agar remot itu kembali dan ia bisa pulang ke planetnya?Jawabannya datang berhari-hari kemudian, setelah ia

bertemu seorang reporter televisi, dan tinggal di rumahnya. Ia lihat reporter ini setiap hari menerima telepon yang salah sambung, menanyakan nasib operasi seseorang. Jengkel karena tak tahu apa yang ditanyakan, perempuan itu menjawab bahwa orang yang dicari si penelepon itu sudah meninggal. Alien itu terkejut. “Mengapa kau tega membohongi dia?” katanya. “Bukan membohongi, saya justru memberikan kebahagiaan. Betapa bahagianya orang itu ketika mendapati temannya masih segar bugar.”

Begitulah kita selama ini: bertahan dan memohon kepada Tuhan lewat nomor yang keliru. Tuhan palsu di ujung sana bercanda dengan memberikan kenyataan tak sesuai permintaan kita. Seperti seorang pemuka Hindu yang punya ribuan jemaat. Ia menganjurkan seorang jemaat bersemedi di Himalaya untuk mengobati istrinya yang lumpuh. Bagi pendeta ini, penyakit akan hilang dengan berdoa di dekat rumah-Nya.

Bagi alien itu, bersemadi adalah cara salah sambung yang dianjurkan Tuhan palsu. Menurut dia, yang harus dilakukan jemaat itu adalah kembali ke istrinya ketimbang pergi ribuan mil meninggalkan yang sakit. Dari situlah, jemaat yang mendengar ceramah alien itu mengubah cara pandang terhadap Tuhan dan agama mereka. Bagi alien ini, Tuhan dan ajaran agama sering disampaikan secara salah sambung melalui ketakutan.

Dan pikiran seperti ini segera dicap ateis yang membahayakan stabilitas iman. Maka pendeta yang punya jutaan pengikut itu mengecam alien ini dan menantangnya debat di televisi tentang Tuhan, karena khawatir umat yang memberinya sedekah dan kekayaan itu akan meninggalkannya setelah mendengar pikiran-pikiran alien sesat yang terdengar kian masuk akal. Pendeta ini bertekad menjungkirkan pendapat alien itu untuk “melindungi Tuhan dalam iman kita.” “Jika kamu ingin menghilangkan Tuhan dari hati manusia, akan diisi apa kekosongan itu?”

“Yang mulia,” kata alien yang menuliskan namanya dengan P.K (baca: pi-kai, bahasa Hindi yang berarti “slebor”) di surat perpisahan kepada reporter televisi itu, “Kalian menyebut Tuhan hanya satu, padahal dua: Tuhan yang menciptakan semesta dan Tuhan yang kalian ciptakan. Tuhan pencipta selamanya tak terjangkau karena maha luas dan maha besar. Tuhan yang kita ciptakan sempit dan tak asyik: menuntut dilindungi, dibela dengan darah dan nyawa. Kita selalu berdoa kepada Tuhan yang kita ciptakan, bukan Tuhan yang menciptakan.”

Jika ulasan ini jadi tak selucu filmnya, barangkali karena humor yang bagus tak bisa diulang sebab ia mengandung renungan yang kompleks…

—Bagja Hidayat

Tuhan dan Humor

oase

F rest D gest com

lebih interaktifklik