critc reportcoremap.or.id/downloads/baseline_wakatobi_2001.pdf · 4 lereng terumbu, kelimpahan...
TRANSCRIPT
1
NATIONAL CRITC
CCRRIITTCC RREEPPOORRTT
BASE LINE STUDY WAKATOBI SULAWESI TENGGARA
DESEMBER 2001
COREMAP CORAL REEF REHABILITATION AND MANAGEMENT PROGRAM
Jl.Raden Saleh No. 43 Jakarta 10330 Telp. (021) 3143080 Fax. (021) 3143082
Email : [email protected] - WebSite : http://www.coremap.or.id
2
RINGKASAN EKSEKUTIF
Kepulauan Wakatobi terletak di pertemuan Laut Banda dan Laut Flores. Di sebelah utara dibatasi
dengan Laut Banda dan Pulau Buton. Di sebelah Selatan dibatasi oleh laut Flores, di sebelah Timur oleh
Laut Banda dan sebelah Barat dibatasi oleh Pulau Buton dan Laut Flores. Wakatobi merupakan singkatan
dari nama 4 pulau besar yang ada di kawasan tersebut, yaitu pulau Wangi-wangi, Pulau Kaledupa Pulau
Tomia dan pulau Binongko. Semula gugusan pulau ini dikenal dengan nama kepulauan Tukang Besi,
karena sejak dahulu penduduk di kepulauan ini dikenal sebagai pengrajin atau pandai besi yang
memasok kebutuhan rumah tangga dan alat-alat perang bagi kerajaan Buton dan sekitarnya.
Secara geografis Kepulauan Wakatobi terletak antara 123°15’00’’ – 124°45’00’’ Bujur Timur dan
05°15’00’’ – 06°10’00’’ Lintang Selatan. Secara keseluruhan kepulauan ini terdiri dari 39 pulau, 3 gosong
dan 5 atol. Terumbu karang di kepulauan ini terdiri dari karang tepi (fringing reef), gosong karang (patch
reef) dan atol. Keempat pulau tersebut relatif kering, berbukit-bukit dan ditumbuhi oleh hutan tropis yang
kering, sedangkan pulau-pulau yang lain berukuran relatif kecil.
Secara administratif kepulauan Wakatobi termasuk dalam Kabupaten Buton, Propinsi Sulawesi
Tenggara. Kepulauan Wakatobi terdiri dari empat pulau besar, yaitu Pulau Wangi-wangi,
Kaledupa, Tomia dan Binongko. Luas masing-masing pulau berturut-turut adalah sebagai berikut :
pulau Wangi-wangi 156,5 km2; Kaledupa 64,8 km2; Tomia 52,4 km2 dan Binongko 98,7 km2.
Kawasan Wakatobi telah ditetapkan sebagai Taman Nasional berdasarkan Surat Keputusan Menteri
Kehutanan No. 393/Kpts-VI/1996 tanggal 30 Juli 1996. Kawasan tersebut memiliki luas 1.390.000
hektar yang dibagi menjadi 5 zona, yaitu : Zona Inti, Zona Pelindung, Zona Pemanfaatan, Zona
Pemanfaatan Tradisional dan Zona Rehabilitasi.
Dalam rangka mempersiapkan desain COREMAP tahap kedua Taman Nasional Laut Wakatobi
telah dipilih oleh Pemerintah daerah Propinsi Sulawesi Tenggara sebagai lokasi COREMAP fase II.
Oleh karena itu diperlukan informasi dasar tentang keadaan lokasi tersebut yang telah dilakukan
dalam kegiatan baseline studi ini. Adapun tujuan baseline studi ini adalah mengumpulkan data-data
dasar mengenai kondisi karang, ikan, lamun serta kondisi lingkungan perairan setempat. Data yang
diperoleh akan digunakan untuk penyusunan desain fase II COREMAP-LIPI.
Pemetaan
Hasil citra diketahui bahwa luas terumbu karang di kepulauan Wakatobi adalah 88.161,69 hektar. Di
kompleks P. Wangi-wangi dan sekitarnya (P. Kapota, P. Suma, P. Kamponaone) lebar terumbu mencapai
120 meter (jarak terpendek) dan 2,8 kilometer (jarak terjauh). Untuk P. Kaledupa dan P. Hoga, lebar
terpendek terumbu adalah 60 meter dan terjauh 5,2 kilometer. Pada P. Tomea, rataan terumbunya
mencapai 1,2 kilometer untuk jarak terjauh dan 130 meter untuk jarak terdekat. Kompleks atol Kaledupa
3
mempunyai lebar terumbu 4,5 kilometer pada daerah tersempit dan 14,6 kilometer pada daerah terlebar.
Panjang atol Kaledupa sekitar 48 kilometer.
Karang
Terumbu karang di Wakatobi bertipe karang tepi (fringing reef), karang gosong, patch reef dan
atol. Rataan terumbu mempunyai lebar yang bervariasi antara 50 meter -1,5 km untuk terumbu
karang tepi. Rataan terumbu mempunyai moat dan reef rampart di tepi tubir. Kondisi tubir hampir
semuanya dengan reef slope yang curam. Karang yang tumbuh di rataan terumbu umumnya
didominansi oleh Montipora digitata, Porites cylindrica dan Goniastrea rectiformis. Lereng terumbu
atas umumnya didominasi oleh Acropora spp dan lereng terumbu tengah pada kedalaman sekitar
20 meter didominasi oleh karang Acropora hyacinthus, Echinopora spp. Karang yang hidup di
Wakatobi mencapai kedalaman lebih dari 40 meter.
Hasil RRA menunjukkan bahwa persentase tutupan karang hidup di Pulau Wangi-wangi
(2,7%/reef top; 28,7%/reef edge) relatif lebih jelek dibandingkan dengan Pulau Kaledupa (7,7%/reef
top; 37,8%/reef edge), Pulau Tomia (32,3%/reef edge), Pulau Lintea (2,4%/reef top; 22,3%/reef
edge) dan Atol Kaledupa (23,3%/reef top; 19%/reef edge). Analisis Bentic Life Form menunjukkan
bahwa peresentase tutupan karang hidup di Pulau Kaledupa 49,59%, Pulau Lintea 43,96%, Pulau
Tomia 42,71% dan Atol Kaledupa 37,57%. Secara keseluruhan, diketahui bahwa persentase
tutupan karang hidup di daerah Reef Edge relatif masih lebih baik bila dibandingkan dengan di
daerah Reef Top, kecuali di Atol Kaledupa.
Selama pengamatan, dijumpai 238 jenis karang batu dari 71 marga di Atol Kaledupa, 174 jenis
dari 64 marga di pulau Kaledupa, 163 jenis dari 64 marga di pulau Lintea, 146 jenis dari 56 marga di
pulau Tomia dan 131 jenis dari 55 marga di pulau Wangi-wangi.
Ikan Karang
Pengamatan dengan metoda RRA di perairan Wakatobi mencatat sejumlah 3117 individu ikan dari
rataan terumbu (reef top) dan 20597 individu ikan dari lereng terumbu (reef edge) yang terdiri dari 39
suku, 105 marga dan 326 jenis. Dari rataan terumbu, jumlah jenis tertinggi dijumpai di P. Kaledupa (97
jenis) diikuti berturut-turut oleh P. Wangi-Wangi (83 jenis), P. Tomia (73 jenis) dan Atol Kaledupa (57
jenis). Sedangkan dari lereng terumbu, jumlah jenis tertinggi dijumpai di Atol Kaledupa (182 jenis), diikuti
oleh P. Wangi-Wangi (177 jenis), P. Kaledupa (150 jenis) dan P. Tomia (117 jenis).
Berdasarkan kategori ikan, kekayaan jenis tertinggi untuk kelompok ikan major dimiliki oleh marga
Pomacentridae dengan 61 jenis, ikan target ditempati oleh marga Serranidae (kelompok kerapu)
sedangkan ikan indikator tercatat sebanyak 4 jenis. Kelimpahan ikan tertinggi untuk RRA di rataan
terumbu ditempati oleh D. aruanus (Pomacentridae) dari kategori ikan major dengan 315 individu. Di
4
lereng terumbu, kelimpahan tertinggi diduduki oleh Cesio caerulaurea (Caesionidae) dari kelompok ikan
target dengan 3365 individu.
Dari hasil pengamatan ikan karang dengan metoda LIT di perairan Wakatobi (Atol Kaledupa, P.
Kaledupa dan Selat Tomia) diperoleh sebanyak 23678 individu yang terdiri dari 40 suku, 111 marga
dan 320 jenis. Dari ikan yang diperoleh, tercatat 25 marga adalah ikan major, 14 marga merupakan
ikan target, dan 1 marga merupakan ikan indikator. Berdasarkan jumlah jenis tertinggi untuk
kategori ikan major adalah marga Pomacentridae dengan 55 jenis ikan; kategori ikan target marga
Serranidae dengan 21 jenis dan untuk ikan indikator tercatat 30 jenis ikan. Kelimpahan ikan
tertinggi untuk LIT ditempati oleh Chromis ternatensis (Pomacentridae) dengan 1874 ekor (ikan
target).
Ikan indikator masih banyak dijumpai di perairan Wakatobi. Demikian pula dengan ikan target
yang bernilai ekonomis penting. Selain itu ikan komersial lainnya seperti ikan Napoleon masih
banyak dijumpai.
Lamun
Hasil pengamatan lamun di Wakatobi mencatat 9 jenis lamun yaitu : Haludule uninervis, H.
pinifolia, Cymodocea rotundata, C. serrulata, Thalassodendron ciliatum, Syringodium isoetifolium,
Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii dan Halophila ovalis. Sebaran jenis lamun umumnya
merata disetiap lokasi pengamatan. Kekayaan jenis lamun yang ada di Wakatobi tergolong tinggi
jika dibandingkan dengan kehadiran lamun di Indonesia yaitu 12 jenis. Secara umum padang lamun
didominasi oleh Thalassodendron ciliatum, dengan persentase tutupan 66% + 9,7%, kerapatan 738
+ 100 tegakan/m2 dan total biomassa 236,21 + 43,92 gram berat kering/m2.
Berdasarkan hasil penelitian maka dapat dikatakan bahwa padang lamun umumnya homogen dan
dapat digolongkan pada tipe padang lamun yang berasosiasi dengan terumbu karang. Vegetasi dari
padang lamun pada lokasi-lokasi yang diteliti pada umumnya adalah tipe tunggal Thalassodendron
ciliatum , dan tipe campuran dengan kombinasi antara E. acoroides, T. hemprichii dan H. ovalis serta
Thalassodendron ciliatum dan T. hemprichii.
Kualitas Air
Kualitas air di perairan Wakatobi tergolong masih bersih dan belum terlihat adanya pengaruh
kegiatan manusia (limbah rumah tangga, pelabuhan, wisata). Kadar oksigen terlarut di seluruh
perairan berkisar antara 5,28 - 7,59 ppm (6,40 ±0,48 ppm). Kadar nitrat berkisar antara < 1,00 -
22,46 ppb (2,00 ±3,55 ppb),sedangkan kadar nitrit berkisar antara < 1,00 - 4,20 ppb (0,66 ±1,28
ppb). Kadar fosfat berkisar antara 1,57 - 12,11 ppb (4,82 ±2,42 ppb). Kadar TSS berkisar antara
5
2,76 – 5,02 ppm (3,81±0,49 ppm). Salinitas dan pH permukaan di perairan TN Wakatobi berkisar
antara 34,5 - 35,0 %o dan 8,01 – 8,50.
Oseanografi
Suhu permukaan laut (2 m) berkisar antara 27,26 – 28,73oC. Nilai salinitas pada permukaan (2
m) berkisar antara 34,15 – 34,34 psu. Kecerahan pada permukaan (2 m) di perairan Wakatobi
berkisar antara 70,8 – 86,1 %. Nilai kekeruhan (turbiditas) sangat rendah yaitu < 1 NTU. Intensitas
matahari mampu menembus sampai kedalaman antara 55 meter hingga 122 meter. Kecepatan
arus pada kedalaman 13 meter berkisar antara 25 – 43 meter/detik.
6
PENGANTAR
Dalam rangka mempersiapkan COREMAP fase II, maka Pemerintah Daerah Propinsi Sulawesi Tenggara
memilih Kepulauan Taman Nasional Wakatobi sebagai lokasi COREMAP fase II. Sebagai tindak lanjutnya,
maka CRITC-Nasional melakukan baseline studi ekologi di daerah tersebut. Pada baseline studi ini data-data
yang dikumpulkan adalah data karang, ikan karang, lamun, kualitas air serta beberapa parameter oseanografi.
Metode pengumpulan data telah disepakati bersama dalam pertemuan yang diadakan pada bulan Agustus
2001. Salah satunya adalah menggunakan Rapid Reef Resources Assessment dan Line Intercept Transect
untuk melihat kondisi karang, ikan karang serta lamun. Data yang terkumpul diharapkan dapat digunakan untuk
mempersiapkan desain COREMAP fase II.
Baseline studi ini tidak akan terlaksana tanpa bantuan serta kerjasama dari berbagai pihak. Ucapan terima
kasih kami sampaikan kepada seluruh tim peneliti, Kapten serta ABK Kapal Riset Baruna Jaya VIII, Pemerintah
Daerah Propinsi Sulawesi Tenggara, Pemda Kabupaten Buton, Taman Nasional, Camat Wangi-wangi,
Operation Wallacea, serta berbagai pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu-persatu.
Tanpa bermaksud mengecilkan arti usaha dari para peneliti, kami percaya bahwa masih banyak kekurangan
dari laporan ini. Oleh sebab itu segala kritik dan saran sangat dibutuhkan.
Mengetahui Asisten Direktur Bidang Penelitian dan Informasi, Koordinator, Dr. Suharsono Dra. Nurul Dhewani, Msi.
7
DAFTAR ISI
Hal RINGKASAN EKSEKUTIF 2 PENGANTAR 6 DAFTAR ISI 7 DAFTAR TABEL 9 DAFTAR GAMBAR 10 DAFTAR LAMPIRAN 12 1. PENDAHULUAN 13
1.1. Latar Belakang 13 1.2. Tujuan dan Sasaran 15 1.3. Hasil yang Diharapkan 15
2. METODOLOGI 16
2.1. Waktu dan Lokasi Penelitian 16 2.2. Pemetaan 20 2.3. Karang 21 2.4. Ikan Karang 22 2.5. Lamun 22 2.6. Kualitas Air 26 2.7. Oseanografi 28
3. HASIL DAN BAHASAN 30
3.1. Kondisi Umum Kawasan Wakatobi 30 3.1.1. Pemetaan 30 3.1.2. Karang 32 3.1.3. Ikan Karang 34 3.1.4. Lamun 38 3.1.5. Kualitas Air 40
3.1.5.1. Oksigen 40 3.1.5.2. Nitrit dan Nitrat 41 3.1.5.3. Fosfat 41 3.1.5.4. TSS 42 3.1.5.5. Salinitas dan pH 42
3.1.6. Oseanografi 42 3.1.6.1. Suhu 42 3.1.6.2. Salinitas 43 3.1.6.3. Kecerahan 44 3.1.6.4. Kekeruhan (turbiditas) 45 3.1.6.5. Intensitas Matahari 45
3.2. Kondisi Masing-masing Lokasi Penelitian 47
3.2.1. Pulau Wangi-wangi 47 3.2.1.1. Karang 47 3.2.1.2. Ikan Karang 48 3.2.1.3. Lamun 49 3.2.1.4. Kualitas Air 50 3.2.1.5. Arus 53
8
3.2.2. Pulau Kaledupa 55
3.2.2.1. Karang 55 3.2.2.2. Ikan Karang 57 3.2.2.3. Lamun 59 3.2.2.4. Kualitas Air 59 3.2.2.5. Arus 62
3.2.3. Pulau Tomia 64
3.2.3.1. Karang 64 3.2.3.2. Ikan Karang 66 3.2.3.3. Lamun 67 3.2.3.4. Kualitas Air 68 3.2.3.5. Arus 72
3.2.4. Atol Kaledupa 74
3.2.4.1. Karang 74 3.2.4.2. Ikan Karang 76 3.2.4.3. Lamun 77 3.2.4.4. Kualitas Air 77 3.2.4.5. Arus 81
4. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 83
4.1. Kesimpulan 83 4.2. Rekomendasi 83
DAFTAR PUSTAKA 84
9
DAFTAR TABEL
Tabel Hal 1 Jumlah Stasiun Pengamatan Di Kawasan Taman Nasional Wakatobi,
Sulawesi Tenggara 18
2 Persentase Tutupan Karang Berdasarkan Life Form di Kawasan TN Wakatobi 33 3 Keragaman Jenis Lamun Di Lokasi Penelitian Wakatobi (Klasifikasi Menurut
Den Hartog, 1970; Phillips &Menez, 1988). 38
4 Kisaran Kadar DO, Ph, Salinitas,TSS, Nitrat, Nitrit Dan Fosfat Di Perairan Taman Nasional Kepulauan Wakatobi, Oktober-November 2001
40
5 Hasil RRA Di Tubir (Reef Edge) Dan Rataan Terumbu (Reef Top)Di Pulau Wangi-Wangi
48
6 Kelimpahan Dan Kelimpahan Relatif Dari 10 Jenis Ikan Karang Yang Dominan Yang Dilakukan Di Rataan Terumbu (Reef Top) P. Wangi-Wangi
49
7 Kelimpahan Dan Kelimpahan Relatif Dari 10 Jenis Ikan Karang Yang Dominan Yang Dilakukan Dilereng Terumbu (Reef Edge) P.Wangi-Wangi
49
8 Rata-Rata Kerapatan (Tegakan / M2), Total Biomasa (Gram Berat Kering/M2), Rata-Rata Tutupan (%) Dan Dominansi Jenis Di Pulau Wangi-Wangi.
50
9 Hasil RRA Di Lereng Terumbu (Reef Edge) Dan Rataan Terumbu (Reef Top) Di Pulau Kaledupa
57
10 Kelimpahan Dan Kelimpahan Relatif Dari 10 Jenis Ikan Karang Yang Dominan Yang Dilakukan Di Rataan Terumbu (Reef Edge) P. Keledupa
58
11 Kelimpahan Dan Kelimpahan Relatif Dari 10 Jenis Ikan Karang Yang Dominan Yang Dilakukan Dilereng Terumbu (Reef Top) P.Kaledupa
58
12 Rata-Rata Kerapatan (Tegakan / M2), Total Biomasa (Gram Berat Kering/M2), Rata-Rata Tutupan (%) Dan Dominansi Jenis Dipulau Kaledupa
59
13 Hasil RRA Di Lereng Terumbu (Reef Edge) Dan Rataan Terumbu (Reef Top) Di Pulau Tomia Dan Lintea, Oktober 2001
66
14 Kelimpahan Dan Kelimpahan Relatif Dari 10 Jenis Ikan Karang Yang Dominan Yang Dilakukan Di Lereng Terumbu (Reef Edge) P. Tomia
67
15 Kelimpahan Dan Kelimpahan Relatif Dari 10 Jenis Ikan Karang Yang Dominan Yang Dilakukan Di Rataan Terumbu (Reef Top) P.Tomia
67
16 Rata-Rata Kerapatan (Tegakan / M2), Total Biomasa (Gram Berat Kering M2), Rata-Rata Tutupan Dan Dominansi Jenis Dipulau Tomia Dan Atol Tomia
68
17 Hasil RRA Di Lereng Terumbu (Reef Edge) Dan Rataan Terumbu (Reef Top) Di Atol Kaledupa
75
18 Kelimpahan Dan Kelimpahan Relatif Dari 10 Jenis Ikan Karang Yang Dominan Yang Dilakukan Di Lereng Terumbu (Reef Edge) P. Atol Kaledupa
76
19 Kelimpahan Dan Kelimpahan Relatif Dari 10 Jenis Ikan Karang Yang Dominan Yang Dilakukan Di Rataan Terumbu (Reef Top) Atol Kaledupa
77
20 Rata-Rata Kerapatan (Tegakan / M2), Total Biomasa (Gram Berat Kering M2), Rata-Rata Tutupan Dan Dominansi Jenis Di Atol Kaledupa
77
10
DAFTAR GAMBAR
Gambar Hal 1 Peta Lokasi Penelitian 19 2 Stasiun Penelitian di Reef Top 23 3 Stasiun Penelitian Reef Edge 24 4 Titik LIT 25 5 Stasiun Penelitian Kualitas air 27 6 Stasiun Oseanografi 29 7 Persentase Karang Hidup hasil RRA di Lokasi penelitian, Kepulauan
Wakatobi, Oktober 2001 33
8 Jumlah Jenis dan Jumlah Marga Karang Keras di Lokasi Penelitian, Kepulauan Wakatobi, Oktober 2001.
34
9 Jumlah Jenis Ikan Hasil RRA di Rataan Terumbu (reef top = 110 stasiun) dan Lereng Terumbu (reef edge = 146 stasiun) di Perairan Wakatobi.
35
10 Jumlah Jenis Ikan Berdasarkan Kategori Ikan Hasil RRA di Perairan Wakatobi.
35
11 Jumlah Jenis dan Marga Ikan Hasil LIT di Perairan Wakatobi 36 12 Profil Tegak Suhu di Perairan Wakatobi, Sulawesi Tenggara 43 13 Profil Tegak Salinitas Di Perairan Wakatobi Sulawesi Tenggara 44 14 Profil Tegak Kecerahan Air Di Perairan Wakatobi Sulawesi Tenggara 45 15 Profil Tegak Intensitas Matahari Di Perairan Wakatobi Sulawesi Tenggara 46 16 Jumlah Jenis dan Jumlah Individu Ikan Berdasarkan Kategori Ikan yang
Tercatat Hasil RRA Selama Penelitian di Pulau Wangi-wangi, Oktober 2001 48
17 Distribusi oksigen terlarut, nitrat, nitrit, fosfat, TSS, salinitas dan pH di perairan Pulau Wangi-wangi, TN Wakatobi
52
18a Kecepatan dan Arah Arus pada Kedalaman 13 meter di Sekitar Pulau Wangi-wangi, Sulawesi Tenggara
52
18b Kecepatan dan Arah Arus pada Kedalaman 20 meter di Sekitar Pulau Wangi-wangi, Sulawesi Tenggara
53
18c Kecepatan dan Arah Arus pada Kedalaman 50 meter di Sekitar Pulau Wangi-wangi, Sulawesi Tenggara
54
18d Kecepatan dan Arah Arus pada Kedalaman 100 meter di Sekitar Pulau Wangi-wangi, Sulawesi Tenggara
54
19 Jumlah Jenis dan Jumlah Individu Ikan Berdasarkan Kategori Ikan yang Tercatat Hasil RRA Selama Penelitian di Pulau Kaledupa
56
20 Distribusi oksigen terlarut, nitrat, nitrit, fosfat, TSS, salinitas dan pH di perairan Pulau Kaledupa, TN Wakatobi
58
21a Kecepatan dan Arah Arus pada Kedalaman 13 meter di Sekitar Pulau Kaledupa, Sulawesi Tenggara
61
21b Kecepatan dan Arah Arus pada Kedalaman 20 meter di Sekitar Pulau Kaledupa, Sulawesi Tenggara
62
21c Kecepatan dan Arah Arus pada Kedalaman 50 meter di Sekitar Pulau Kaledupa, Sulawesi Tenggara
62
21d Kecepatan dan Arah Arus pada Kedalaman 100 meter di Sekitar Pulau Kaledupa, Sulawesi Tenggara
63
22 Jumlah Jenis dan Jumlah Individu Ikan Berdasarkan Kategori Ikan yang Tercatat Hasil RRA Selama Penelitian di Pulau Tomia
63
23 Distribusi oksigen terlarut, nitrat, nitrit, fosfat, TSS, salinitas dan pH di perairan Pulau Tomia, TN Wakatobi
67
24a Kecepatan dan Arah Arus pada Kedalaman 13 meter di Perairan Pulau Tomia, Sulawesi Tenggara
71
24b Kecepatan dan Arah Arus pada Kedalaman 20 meter di Perairan Pulau Tomia, Sulawesi Tenggara
72
11
24c Kecepatan dan Arah Arus pada Kedalaman 50 meter di Perairan Pulau Tomia, Sulawesi Tenggara
72
24d Kecepatan dan Arah Arus pada Kedalaman 100 meter di Perairan Pulau Tomia, Sulawesi Tenggara
73
25 Jumlah Jenis dan Jumlah Individu Ikan Berdasarkan Kategori Ikan yang Tercatat dari Hasil RRA Selama Penelitian di Pulau Atol Kaledupa
78
26a Distribusi oksigen terlarut, nitrat, nitrit, fosfat, TSS, salinitas dan pH di perairan Atol Kaledupa Bagian Utara, TN Wakatobi
79
26b Distribusi oksigen terlarut, nitrat, nitrit, fosfat, TSS, salinitas dan pH di perairan Atol Kaledupa Bagian Selatan, TN Wakatobi
80
27a Kecepatan dan Arah Arus pada Kedalaman 13 meter di Perairan Sekitar Atol Kaledupa, Sulawesi Tenggara
81
27b Kecepatan dan Arah Arus pada Kedalaman 20 meter di Perairan Sekitar Atol Kaledupa, Sulawesi Tenggara
81
27c Kecepatan dan Arah Arus pada Kedalaman 50 meter di Perairan Sekitar Atol Kaledupa, Sulawesi Tenggara
82
27d Kecepatan dan Arah Arus pada Kedalaman 50 meter di Perairan Sekitar Atol Kaledupa, Sulawesi Tenggara
82
12
DAFTAR LAMPIRAN
Lamp. Hal 1 Tabel Jumlah dan Sebaran Jenis Karang Batu Hidup di Wakatobi dan sekitarnya 88 2 Tabel Kelimpahan dan Kehadiran Ikan Karang dengan metode LIT di perairan Wakatobi 96 3 Tabel Index Keanekaragaman Jenis 104 4 Gambar Reef Habitat 105 5 Gambar Life Coral Cover Hasil RRA Reef Edge dan Reef Top di Seluruh Lokasi Penelitian Persentase Tutupan Karang Hidup Hasil RRA Reef Edge P. Wangi-Wangi 105 Persentase Tutupan Karang Hidup Hasil RRA Reef Edge P. Kaledupa 106 Persentase Tutupan Karang Hidup Hasil RRA Reef Edge P. Tomia 107 Persentase Tutupan Karang Hidup Hasil RRA Reef Edge Atol Kaledupa Utara 108 Persentase Tutupan Karang Hidup Hasil RRA Reef Edge Atol Kaledupa Selatan 109 Persentase Tutupan LifeForm Hasil RRA Reef EdgeWangi-Wangi 110 Persentase Tutupan LifeForm Hasil RRA Reef Edge P.Kaledupa 111 Persentase Tutupan LifeForm Hasil RRA Reef Edge P.Tomia 112 Persentase Tutupan LifeForm Hasil RRA Reef Edge Atol Kaledupa Utara 113 Persentase Tutupan LifeForm Hasil RRA Reef Edge Atol Kaledupa Selatan 114 Persentase Tutupan Karang Hidup Hasil RRA Reef Top P. Wangi-Wangi 115 Persentase Tutupan Karang Hidup Hasil RRA Reef Top P. Kaledupa 116 Persentase Tutupan Karang Hidup Hasil RRA Reef Top P. Tomia 117 Persentase Tutupan Karang Hidup Hasil RRA Reef Top Atol Kaledupa Utara 118 Persentase Tutupan Karang Hidup Hasil RRA Reef Top Atol Kaledupa Selatan 119 Persentase Tutupan LifeForm Hasil RRA Reef Top P. Wangi-Wangi 120 Persentase Tutupan LifeForm Hasil RRA Reef Top P.Kaledupa 121 Persentase Tutupan LifeForm Hasil RRA Reef Top P.Tomia 122 Persentase Tutupan LifeForm Hasil RRA Reef Top Atol Kaledupa Utara 123 Persentase Tutupan LifeForm Hasil RRA Reef Top Atol Kaledupa Selatan 124
6 Gambar Karang Karang merayap (Coral encrusting) 127 Karang submasif 127 Karang massif dari jenis Porites sp. dan karang lunak (soft coral) 128 Padang lamun yang dijumpai di lokasi penelitian 128 Gorgonian 129 Metode RRA untuk ikan karang yang diterapkan dalam penelitian. 129
7 Tabel Posisi Geografi Stasiun Penelitian di perairan Wakatobi 130
13
I. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Terumbu karang Indonesia dan sumber daya yang berada di dalamnya telah dimanfaatkan oleh
masyarakat melalui berbagai macam cara. Akhir-akhir ini penangkapan biota dengan cara merusak
kelestarian sumber daya seperti penggunaan bahan peledak atau zat kimia telah merebak hampir di
seluruh perairan Indonesia. Akibatnya kondisi terumbu karang yang ada saat ini cenderung menurun.
Menurut hasil penelitian Puslitbang Oseanologi tahun 2000 kondisi terumbu karang yang ada di Indonesia
6,20 % dalam kondisi sangat baik, sedangkan 70 % dalam keadaan sedang atau sangat buruk.
Dalam upaya memperlambat kerusakan dan menghindari semakin parahnya kondisi terumbu karang
maka Pemerintah Indonesia telah mencanangkan Program Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu
karang (COREMAP). Tujuan utama program ini adalah untuk pengelolaan pemanfaatan sumber daya
terumbu karang yang berkelanjutan dan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Program
COREMAP akan berlangsung selama 15 tahun dan di bagi menjadi 3 tahapan. Tahap pertama (inisiasi)
selama 3 tahun, tahap kedua (akselerasi) selama 6 tahun dan tahap ketiga (institusionalisasi) selama 6
tahun.
Tahap pertama program COREMAP telah dilaksanakan di 4 propinsi, yaitu Riau, Sulawesi Selatan,
Papua dan Nusa Tenggara Timur dan akan berakhir pada bulan Oktober 2002. Untuk mempersiapkan
tahap kedua maka akan dilakukan perluasan ke propinsi Sulawesi Tenggara. Oleh karena itu pihak
pemerintah daerah setempat diminta untuk mengusulkan calon lokasi COREMAP tahap kedua tersebut
berdasarkan 14 kriteria yang telah ditentukan. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa kawasan
Wakatobi dipilih dan diusulkan oleh pemerintah daerah propinsi Sulawesi Tenggara sebagai calon lokasi
COREMAP tahap kedua.
Dalam rangka mempersiapkan desain COREMAP tahap kedua di lokasi yang telah dipilih maka
diperlukan informasi dasar tentang keadaan lokasi tersebut. Oleh karena itu perlu dilakukan baseline
studi ekologi di kawasan Wakatobi.
Kepulauan Wakatobi terletak di pertemuan Laut Banda dan Laut Flores. Di sebelah utara dibatasi
dengan Laut Banda dan Pulau Buton. Di sebelah Selatan dibatasi oleh laut Flores, di sebelah Timur oleh
Laut Banda dan sebelah Barat dibatasi oleh Pulau Buton dan Laut Flores. Wakatobi merupakan singkatan
dari nama 4 pulau besar yang ada di kawasan tersebut, yaitu pulau Wangi-wangi, Pulau Kaledupa Pulau
Tomia dan pulau Binongko. Semula gususan pulau ini dikenal dengan nama kepulauan Tukang Besi,
karena sejak dahulu penduduk di kepulauan ini dikenal sebagai pengrajin atau pandai besi yang
memasok kebutuhan rumah tangga dan alat-alat perang bagi kerajaan Buton dan sekitarnya.
Secara geografis Kepulauan Wakatobi terletak antara 123°15’00’’ – 124°45’00’’ Bujur Timur dan
05°15’00’’ – 06°10’00’’ Lintang Selatan. Secara keseluruhan kepulauan ini terdiri dari 39 pulau, 3 gosong
14
dan 5 atol. Terumbu karang di kepulauan ini terdiri dari karang tepi (fringing reef), gosong karang (patch
reef) dan atol. Keempat pulau tersebut relatif kering, berbukit-bukit dan ditumbuhi oleh hutan tropis yang
kering, sedangkan pulau-pulau yang lain berukuran relatif kecil.
Terbentuknya kepulauan Wakatobi dimulai sejak jaman Tersier hingga akhir jaman Miosen.
Pembentukan pulau-pulau di kawasan ini akibat adanya proses geologi berupa sesar geser, sesar naik
maupun sesar turun dan lipatan yang tidak dapat dipisahkan dari bekerjanya gaya tektonik yang
berlangsung sejak jaman dulu hingga sekarang. Kawasan di sekitar Sulawesi, laut Flores, Laut Banda
dan Laut Jawa bagian Timur merupakan kawasan dinamis yang mengalami interaksi tiga lempeng
tektonik, yaitu lempeng Eurasia di sebelah barat, lempeng Indo-Australia di sebelah selatan dan lempeng
Filipina di sebelah utara ke arah timur laut (Daly, et.al., 1991). Ketiga lempeng ini mengakibatkan tekanan
dan tarikan, baik dari arah barat-timur maupun utara-selatan. Lempeng dasar dari kepulauan Wakatobi
merupakan pecahan lempeng dasar yang berasal dari Papua Nugini. Lempeng ini memanjang sekitar
200 km ke arah barat laut dan tenggara. Dasar dari lempeng ini tidak berasal dari vulkanik dan selama ini
tidak pernah tercatat adanya aktivitas vulkanik di daerah Wakatobi (Hamilton, 1979).
Dari proses pembentukannya, atol yang berada di sekitar kepulauan Wakatobi berbeda dengan atol
daerah lain. Atol yang berada di kepulauan ini terbentuk oleh adanya penenggelaman dari lempeng
dasar. Terbentuknya atol dimulai dari adanya kemunculan beberapa pulau yang kemudian diikuti oleh
pertumbuhan karang yang mengelilingi pulau. Kemudian terjadi proses antiklinal untuk bagian tertentu
dan pelipatan keatas pada bagian yang lain yang diikuti oleh penenggelaman secara bersamaan dari
lempeng dasar hingga beberapa ratus meter. Terumbu karang yang ada di sekeliling pulau terus tumbuh
ke atas sehingga terbentuk atol seperti beberapa atol yang terlihat sekarang. Atol Kaledupa, Atol Kapota,
Atol Tomia merupakan pulau yang dasarnya tenggelam oleh proses antiklinal, sedangkan pulau Wangi-
wangi, pulau Kaledupa, pulau Tomia dan pulau Binongko merupakan pulau yang mengalami kenaikan
karena proses pelipatan (Kuenen, 1933).
Secara administratif kepulauan Wakatobi termasuk dalam Kabupaten Buton, Propinsi Sulawesi
Tenggara. Kepulauan Wakatobi terdiri dari empat pulau, yaitu Pulau Wangi-wangi, Kaledupa,
Tomia dan Binongko. Luas masing-masing pulau berturut-turut adalah sebagai berikut : pulau
Wangi-wangi 156,5 km2; Kaledupa 64,8 km2; Tomia 52,4 km2 dan Binongko 98,7 km2.
Saat ini Kawasan Wakatobi ditetapkan sebagai Taman Nasional berdasarkan Surat Keputusan
Menteri Kehutanan No. 393/Kpts-VI/1996 tanggal 30 Juli 1996. Kawasan tersebut memiliki luas
1.390.000 hektar yang dibagi menjadi 5 zona, yaitu :
a. Zona Inti :
pulau Aname, pulau Kantole, pulau Runduma, pulau Cowo-cowo dan pulau Moromaho
b. Zona Pelindung :
pulau Ndaa, karang Koromaho, karang Koko.
c. Zona Pemanfaatan :
pulau Hoga, pulau Tomia, pulau Tolandono, pulau Tokobao dan pulau Lintea.
15
d. Zona Pemanfaatan Tradisional :
Pulau Kambodi, pulau Timau, pulau Kompo Nuone, pulau Kaledupa, pulau Binongko dan pulau
Wangi-wangi.
e. Zona Rehabilitasi :
Karang Kaledupa dan karang Kapota
Tujuan dan Sasaran
Tujuan baseline studi ini adalah mengumpulkan data-data dasar mengenai kondisi karang, ikan,
lamun serta kondisi lingkungan perairan setempat. Data yang diperoleh akan digunakan untuk
penyusunan desain fase II COREMAP-LIPI.
Hasil yang Diharapkan
Dari hasil studi ini diharapkan akan dapat dibuat Laporan yang berisi informasi tentang kawasan
Wakatobi serta peta tematik sumberdaya perairan tersebut.
16
II. METODOLOGI
Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian baseline studi di Kawasan Wakatobi dilakukan dari Bulan September - Oktober 2001.
Lokasi penelitian dibagi menjadi 4 daerah, yaitu Pulau Wangi-wangi, Pulau Kaledupa Pulau Tomia,
Karang Kaledupa (Gambar 1). Keadaan fisik keempat lokasi penelitian diuraikan sebagai berikut :
Topografi Kepulauan Wakatobi umumnya datar, disekitarnya terdapat beberapa mikro atoll seperti
karang kapota, karang kaledupa dan karang tomia. Konfigurasi perairan pada umumnya mendatar,
kemudian melandai ke arah laut dan beberapa daerah bertubir tajam. Kedalaman air bervariasi,
bagian terdalam terletak di sebelah barat (sampai 1044 meter) dan bagian timur pulau Kaledupa
(Dirjen PHPA, 1990).
Pulau Wangi-wangi
Pulau Wangiwangi merupakan pulau terbesar diantara pulau yang ada di Kepulauan Wakatobi,
berbentuk memanjang kearah barat laut dengan lebar sekitar 14.63 km dan panjang 16.09 km. Di
rataan Pulau Wangiwangi itu sendiri terdiri dari beberapa pulau antara lain Pulau Kapota, Pulau
Kamponaone dan Pulau Suma. Di pulau ini terdapat 6 desa, tiga diantaranya terletak di tepi pantai.
Rataan terumbu cenderung melebar kearah timur dan selatan dengan panjang sekitar 250m - 1.5
km
Pulau Kaledupa
Pulau Kaledupa dikelilingi oleh rataan terumbu yang di dalamnya terdapat beberapa pulau
antara lain Pulau Kaledupa, Pulau Lintea dan Pulau Hoga. Mempunyai panjang lebih kurang 22,92
km dan lebar 7.31 km, dengan rataan terumbu agak landai sampai kedalaman 5 meter dan melebar
kearah timur dan utara. Di pulau Hoga terdapat Marine Research Station milik Operation Wallacea.
Di sebelah selatan perairan Pulau Hoga oleh masyarakat ditetapkan sebagai daerah perlindungan
kecil (no fishing zone).
Biota laut di pulau ini sangat beragam. Menurut informasi pemerintah daerah setempat saat ini
terumbu karang banyak dieksploitasi, selain itu penangkapan ikan di pulau ini banyak menggunakan
bahan peledak. Dari hasil survey bulan Februari 2000 menunjukkan bahwa banyak nelayan yang
menangkap ikan dengan menggunakan bom dan cyanide (NaCN dan KCN)
17
Pulau Tomia
Pulau Tomia merupakan salah satu pulau besar yang ada dalam kawasan taman nasional
Wakatobi. Pada sisi barat sampai selatan ada perkampungan yang terdiri dari lebih kurang 750
kepala keluarga dan semuanya menggantungkan hidupnya sebagai nelayan. Aktifitas penduduk
pada pulau ini cukup ramai, terlihat adanya dermaga besar dengan kapal-kapal ikan dapat sandar
pada dermaga tersebut.
Pulau Tomia berbentuk memanjang kearah timur barat dengan lebar pulau sekitar 7.80 km dan
panjang 13.17 km. Merupakan pulau yang relatif besar, terdiri dari Pulau Tomia dan Pulau
Tolandono. Di sekitar pulau banyak ditumbuhi pohon kelapa dan semak belukar, dan sebagian
besar terdiri dari batuan vulkanik dengan beberapa pantai yang mempunyai dasar pasir putih.
Rataan terumbu agak landai sampai kedalaman 3 meter dan melebar kearah timur dan selatan.
Topografi pulau ini datar, disekitarnya terdapat mikro atoll seperti karang Koko, karang Ndaa,
karang Sawa Olo-olo dan karang Wailale. Konfigurasi terumbu karang (Waturumbu) pada
umumnya datar, kadang-kadang muncul di permukaan dengan beberapa kawasan mempunyai
tubir-tubir karang yang tajam. Biota-biota yang ada : kima, lola, penyu, karang keras, karang lunak,
spons, seagrass, dan lain-lain.
Sejak ditetapkan sebagai Taman Nasional, masyarakat resah karena tidak dapat
memanfaatkan sumberdaya laut di sekitarnya. Hal ini terjadi karena sosialisasi dari pemerintah
terkait tentang eksistensi Taman Nasional belum pernah dilakukan. Selain itu batas-batas zonasi
serta biota yang dilindungi belum diketahui masyarakat. Perusakan terumbu karang di kecamatan
ini dilakukan oleh pengusaha dengan menggunakan racun sianida. Hasil penelitian PHPA dan
WWF menunjukkan bahwa terumbu karang di kecamatan Tomia (306.680 ha) telah mengalami
degradasi. Menurut pemerintah daerah setempat daerah yang perlu untuk direhabilitasi adalah
sebelah utara dan selatan pulau Lintea, sebelah selatan pulau Tokobao, sebelah timur pulau
Tolandono.
Karang Kaledupa
Karang Kaledupa merupakan atol yang terletak disebalah barat Pulau Lintea, sebelah selatan
Pulau Kaledupa dan Pulau Wangi-wangi serta memanjang kearah Tenggara dan Barat Laut dengan
Panjang lebih kurang 49.26 km dan lebar 9.75 km. Atol Kaledupa merupakan atol terbesar yang ada
di kawasan Wakatobi.
Keempat lokasi penelitian tersebut di atas dipilih berdasarkan konsentrasi sebaran terumbu
karang di kawasan Wakatobi yang dilihat dari hasil citra. Posisi dan jumlah stasiun pengamatan
18
berbeda untuk masing-masing kajian. Jumlah stasiun pengamatan untuk masing-masing kajian
disajikan pada Tabel 1. di bawah ini :
Tabel 1. Jumlah Stasiun Pengamatan di Kawasan Taman Nasional Wakatobi, Sulawesi Tenggara.
Jumlah stasiun No. Bidang kajian P. Wangi-
wangi P.
Kaledupa P. Tomia &
Lintea Karang
Kaledupa 1 Oseanografi • CTD 5 5 5 5
2 GIS : • titik ikat (GCP) 4 1 6 0 • titik interpretasi 24 41 22 44
3 Lingkungan 10 15 14 19 4 Karang (Reef edge) 26 20 28 72 5 Ikan (Reef edge) 26 20 28 72 6 Lamun (Reef edge) 26 20 28 72 7 Karang (Reef Top) 24 25 25 36 8 Ikan (Reef Top) 24 25 25 36 9 Lamun (Reef Top) 24 25 25 36 10 Line Intercept
Transek - 3 3 2
19
Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian
20
Pemetaan
Untuk keperluan pembuatan peta dasar sebaran ekosistem perairan dangkal, data citra penginderaan
jauh (indraja) digunakan sebagai data dasar. Data citra indraja yang dipakai dalam studi ini adalah citra
digital Landsat 7 Enhanced Thematic Mapper Plus (selanjutnya disebut Landsat ETM+) pada kanal sinar
tampak dan kanal infra-merah dekat (band 1, 2, 3, 4 dan 5). Saluran ETM+ 7 tidak digunakan dalam studi
ini karena studinya lebih ke mintakat perairan bukan mintakat daratan. Sedangkan saluran infra-merah
dekat ETM+ 4 dan 5 tetap dipakai karena band 4 masih berguna untuk perairan dangkal dan band 5
berguna untuk pembedaan mintakat mangrove.
Citra yang digunakan adalah citra dengan cakupan penuh (full scene) yaitu 185 km x 185 km persegi.
Ukuran piksel, besarnya unit areal di permukaan bumi yang diwakili oleh satu nilai digital citra, pada
saluran multi-spectral (band 1, 2, 3, 4, 5, dan 7) adalah 30 m x 30 m persegi. Citra ini merekam daerah
studi (Path/Row : 111/64) pada tanggal 29 Juni 2000. Survei atau kerja lapang untuk pengumpulan data
maupun untuk keperluan verifikasi telah dilakukan pada akhir September sampai awal Oktober 2001.
Sebelum kerja lapang dilakukan, di laboratorium terlebih dulu disusun peta tentatif. Pengolahan citra
untuk penyusunan peta dilakukan dengan perangkat lunak Image Analysis pada Extension ArcView 3.1
version. Prosedur untuk pengolahan citra sampai mendapatkan peta tentatif daerah studi meliputi
beberapa langkah berikut ini. Pertama, citra dibebaskan atau setidaknya dikurangi terhadap pengaruh
noise yang ada. Koreksi untuk mengurangi noise ini dilakukan dengan teknik smoothing menggunakan
filter low-pass.
Selanjutnya memblok atau membuang daerah tutupan awan. Ini dilakukan dengan pertama-tama
memilih areal contoh (training area) tutupan awan dan kemudian secara otomatis komputer diminta untuk
memilih seluruh daerah tutupan awan pada cakupan citra. Setelah terpilih kemudian dikonversikan
menjadi format shape file. Konversi ini diperlukan agar didapatkan data berbasis vector (data citra
berbasis raster) beserta topologinya yaitu table berisi atribut yang sangat berguna untuk analisis
selanjutnya. Dari table itu kemudian dilakukan pemilihan daerah yang bukan awan dan selanjutnya
disimpan dalam bentuk shape file. Daerah bukan awan inilah yang akan digunakan untuk analisis
lanjutan.
Langkah ketiga yaitu memisahkan mintakat darat dan mintakat laut. Pada citra yang telah bebas dari
tutupan awan dilakukan digitasi batas pulau dengan cara digitasi langsung pada layar komputer (on the
screen digitizing). Agar diperoleh hasil digitasi dengan ketelitian memadai, digitasi dilakukan pada skala
tampilan citra 1 : 25000. Setelah batas pulau diselesaikan, dengan cara yang sama pada mintakat laut
didigitasi batas terluar dari mintakat terumbu. Poligon sebaran mintakat terumbu ini kemudian dijadikan
masker untuk klasifikasi jenis tutupan perairan dangkal di mintakat terumbu. Klasifikasi jenis tutupan
perairan dangkal dilakukan dengan masukan band 1, 2, 3 dan 4 dengan metode isodata clustering
(pengkelasan tanpa data acuan atau istilah lainnya yaitu unsupervised classification). Citra dikelaskan
menjadi 8 klas tentatif yaitu klas 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7 dan 8.
21
Ke delapan klas ini secara acak dipilih, ditentukan posisinya Berdasarkan posisi itu dilakukan
kunjungan lapangan dengan dipandu oleh alat GPS. Selain sample model titik-titik ini digunakan pula
sample model garis transek dari pantai kearah tubir yang juga dipilih secara acak. GPS yang
dipergunakan saat kerja lapang adalah merk Garmin tipe 12CX dengan ketelitian posisi absolut sekitar 15
meter. Untuk keperluan kerja lapang ini selain menggunakan hard-copy peta tentative juga dibantu
dengan peta rupa bumi Bakosurtanal yang meliput daerah studi. Peta rupa bumi ini perlu sebagai
orientasi terutama nama-nama desa dan kota kecamatan. Dari data yang terkumpul kemudian di
laboratorium dilakukan klasifikasi ulang agar diperoleh klas yang sebenarnya. Hasilnya disusun menjadi
peta sebaran ekosistem perairan dangkal.
Karang
Pengamatan dilakukan dengan 3 cara yaitu secara kualitatif, semi kuantitatif dan kuantitatif.
Pengamatan kualitatif dilakukan secara visual dengan mengamati profil habitat yang dilakukan di rataan
terumbu karang sampai kedalaman dimana karang masih tumbuh. Pengamatan populasi karang untuk
mengetahui kekayaan jenis pada lereng terumbu di lakukan secara vertikal, dengan jarak pandang 2,5
meter kekiri dan kekanan. Pengamatan semi kuantitatif dilakukan dengan metode Rapid Reef Resource
Assessment (RRA) dengan mengamati persentase (%) area terumbu karang seluas 10 x 10 m selama 5
menit pada masing-masing stasiun dengan tujuan untuk mengetahui komposisi habitat. Observasi
dengan RRA dilakukan pada rataan terumbu/reef top (Gambar 2) dan lereng terumbu/reef edge (Gambar
3). Jumlah titik contoh yang diamati dengan metoda RRA sebanyak 256.
Pengamatan kondisi terumbu karang dilakukan secara kuantitatif dengan menggunakan metoda Line
Intercept Transect (LIT). Penentuan titik-titik LIT ini diambil berdasarkan hasil pengamatan RRA reef edge
pada hari sebelumnya (Gambar 4). Titik-titik tersebut diharapkan dapat mewakili kondisi terumbu karang
yang ada. Roll meter digunakan untuk membuat garis transek dengan ukuran 2 x 50 meter yang
diletakkan pada kedalaman 5 meter dan sejajar garis pantai. Semua bentuk pertumbuhan dan jenis
karang (species) serta biota lainnya yang berada dibawah garis transek dicatat dengan ketelitian
mendekati centimeter. Semua lokasi pengamatan dipetakan dalam Base map dengan menggunakan
GPS. Peralatan SCUBA, alat tulis bawah air, roll meter, dan kamera bawah air digunakan selama
melakukan pengamatan di bawah air.. Jumlah titik contoh yang diamati dengan metoda LIT adalah
sebanyak 8 titik.
Untuk mengetahui nilai indeks keanekaragaman serta persentase tutupan karang digunakan formula
sebagai berikut :
Analisis keanekaragaman genera digunakan formula Shannon-wiener
H’ = - ∑ (ni/N) log(ni/N)
Dimana : H = indek keragaman jenis
N = total jumlah individu/koloni (presentase tutupan jenis karang)
Ni = jumlah individu dalam spesies ke-I (presentase tutupan karang)
22
Analisis persentase total tutupan karang dipakai formula Cox (1967)
Total panjang intersep per spesies Persentase
tutupan (%) = Total panjang transek X 100
Ikan Karang
Pengamatan ikan karang dilakukan bersama-sama dengan pengamatan karang. Peneliti
karang dan ikan karang secara bersama-sama melakukan pengamatan di rataan terumbu (reef top)
dan lereng terumbu (reef edge) (Gambar 2 dan 3). Metoda yang dipakai dalam penelitian ini dapat
dikelompokkan dalam 2 jenis; 1). Rapid Reef Resources Assessment (RRA) merupakan metoda
penilaian kondisi terumbu karang yang berdasarkan pada metoda manta taw, selanjutnya
dikembangkan oleh CSIRO (Long et al., 1996; 1997). 2). Line Intercept Transect/LIT, yakni metoda
sensus visual.
Pengambilan data dasar dengan metoda RRA di lereng terumbu, penyelam berenang bebas
sepanjang 5 – 10 meter (kurang lebih 10-15 menit). Semua ikan yang ditemui dalam jarak pandang
2 m (kiri dan kanan penyelam) dicatat. Jumlah titik contoh yang diamati dengan metoda RRA
sebanyak 256 titik.
Penentuan lokasi LIT berdasar pertimbangan hasil dari RRA pada daerah lereng terumbu.
Penyelam akan mencatat semua ikan pada garis transek sepanjang 50 meter dengan jarak
pandang 2 - 5 meter (kiri dan kanan penyelam) dengan 3 kali ulangan. LIT ini dilakukan pada
kedalaman, 5 meter. Ikan dikelompokkan dalam 3 kategori, yakni ikan indikator, ikan target dan ikan
major. Jumlah Titik contoh yang diamati dengan metoda LIT sebanyak 8 titik (Gambar 4).
Lamun
Pengamatan lamun di kawasan Wakatobi dilakukan bersama-sama dengan pengamatan karang dan
ikan. Untuk mempetakan distribusi lamun dilakukan pengamatan dengan merujuk metode “RRA (Rapid
Reef Resource Assesment)” dan pengambilan contoh lamun dengan metode garis transek yang telah
dimodifikasi dari Dartnall & Jones (1986) dan English et al. 1994. Jika suatu area luas padang lamunnya
kecil dan kelimpahannya rendah, maka hanya informasi umum tentang jenis dan luas padang lamun yang
dicatat. Transek garis dilakukan pada setiap pulau/atoll dengan tegak lurus dari garis pantai. Jumlah
transek yang diamati sebanyak 8 titik.
Untuk mengetahui kelimpahan, komposisi jenis dan biomassa lamun dilakukan pengambilan contoh
secara acak sebanyak tiga kali dengan bingkai 25 cm x 25 cm yaitu pada bagian pinggir, tengah dan
ujung dekat tubir. Lamun yang diambil diidentifikasi dan diestimasi persen tutupan secara visual pada
setiap lokasi transek. Contoh-contoh lamun tersebut diberi tanda (label) dan dibawa ke laboratorium untk
dibersihkan, dicuci dengan air asin dan diidentifikasi. Kemudian setiap contoh lamun dipisahkan menurut
jenisnya dan dihitung jumlah tegakannya serta ditimbang dengan berat basah. . Setiap titik/stasiun
pengambilan contoh dicatat posisinya dengan GPS.
23
Gambar 2. Stasiun Penelitian di Reef Top
24
Gambar 3. Stasiun Penelitian di Reef Edge
25
Gambar 4. Titik LIT
26
Kualitas Air
Penelitian kualitas air dilakukan bersamaan dengan penelitian terumbu karang di perairan
Wakatobi. Setiap titik/stasiun pengambilan contoh dicatat posisinya dengan GPS (Gambar 5).
Parameter kualitas air yang diteliti adalah oksigen terlarut (DO), nutrien (nitrat, nitrit, fosfat),
salinitas, pH dan zat padat tersuspensi.
Contoh air permukaan (± 1 meter) diambil dengan Van Dorn. Kadar oksigen terlarut ditentukan
dengan modifikasi Winkler (Carritt et al. 1966). Contoh air yang diambil segera disaring dengan kertas
saring sellulosa ester 0,45 um, dimasukkan ke dalam botoll polietilen, kemudian disimpan (tidak lebih dari
28 hari) dalam freezer (- 4oC). Kadar nitrit ditentukan dengan metode spektrofotometrik berdasarkan
pembentukan senyawa diazonium (Strickland et al. 1968). Kadar nitrat ditentukan dengan metode
spektrofotometrik setelah direduksi terlebih dahulu menjadi nitrit (Grasshoff 1976). Kadar fosfat ditentukan
dengan metode spektrofotometrik didasarkan pada pembentukan senyawa komplek fosfomolibdat
(Koreleff 1976). Kadar zat padat tersuspensi ditentukan dengan metode gravimetric (APHA-AWWA-
WPCF 1980). Nilai salinitas diukur langsung dengan menggunakan Refraktometer. Demikian pula
dengan nila pH yang juga diukur langsung dengan menggunakan pH meter.
27
Gambar 5. Stasiun Kualitas Air
28
Oseanografi
Pengukuran parameter oseanografi dilakukan di 20 stasiun pengamatan seperti yang terlihat
dalam Gambar 6.
Suhu, salinitas dan transmisi cahaya (kecerahan), turbiditas, intensitas matahari
Pengukuran parameter suhu, salinitas, kecerahan, turbiditas dan intensitas matahari terhadap
kedalaman dilakukan dengan menggunakan CTD Model SBE 911 Plus. Sistem CTD tersebut diturunkan
dari kapal Baruna Jaya VIII ke dalam air secara perlahan selama lebih kurang 10 menit. Data parameter
direkam dalam monitor untuk dianalisa lebih lanjut. Pada survei kali ini, CTD diturunkan pada kedalaman
300 m sesuai dengan kedalaman laut di lokasi survei.
Analisa data menggunakan paket program SEASAVE (Sea-Bird Electronics, Inc., 1998). Program ini
dapat memberikan gambaran data suhu, salinitas, kecerahan, turbisitas dan yang lainnya dengan
interval kedalaman 1 m dari permukaan hingga 300 m (dapat dilihat pada hasil print stasiun CTD ). Nilai
suhu dinyatakan dalam satuan derajat Celcius, salinitas dalam psu, kecerahan dalam persen (%),
turbididas dalam NTU sedangkan intensitas matahari dalam meter.
Pengukuran arus laut
Pengukuran kecepatan arus di perairan Wakatobi dilakukan dengan menggunakan ADCP
(Acoustic Doppler Current Profiler) frekuensi 75 kHz. Lokasi pengukuran arus dilakukan di Pulau
Wangi-wangi, P. Kalaedupa, P. Tomea dan Atol Besar dengan cara membuat trek (lintasan)
mengelilingi pulau pada kedalaman laut antara 30 hingga 300 m.. Kuat arus diukur dengan
ketebalan lapisan 5 m dan jumlah lapisan 20. Lama perekaman data setiap trek di setiap lokasi
berkisar antara 5 hingga 7 jam tergantung panjang lintasan (trek ADCP). Kedalaman pengukuran
untuk menggambarkan stik arus kecepatan dan arah dipilih pada kedalaman 13, 20, 50 dan 100 m.
Dimulai dari kedalaman 13 meter karena kedalaman ini merupakan kedalaman minimum yang
dapat dideteksi oleh ADCP.
29
Gambar 6. Stasiun Oseanografi
30
III. HASIL DAN BAHASAN
Kondisi Umum Kawasan Wakatobi
Pemetaan
Peta akhir hasil analisis dideskripsi dan dibahas berdasarkan data hasil pengamatan lapangan yang
telah dikumpulkan. Selain itu dibahas pula geometri citra dan keterbatasan yang ada dalam pemrosesan
citra sehingga tersusun peta akhir. Alur pembahasan di bawah ini diurutkan menurut alur proses yang
dilalui.
Geometri Citra
Data mentah citra (raw data) sudah dalam kondisi terkoreksi geometri karena produk data Landsat 7
ETM+ yang dipasarkan merupakan data level 1G. Pada level ini data sudah terkoreksi geometri dengan
datum WGS’84 menggunakan system koordinat Universal Transverse Mercator (UTM). Berdasarkan
keterangan yang tertera pada dokumen produk data Landsat 7, data yang direkam satelit setelah tanggal
28 April 2000 mempunyai tingkat kesalahan posisi kurang dari 50 meter. Ketelitian ini dapat dinaikkan lagi
dengan aplikasi koreksi geometri menggunakan ground control points (GCP) lokal sampai mencapai
kurang dari 15 meter kesalahannya.
Untuk studi kali ini, walaupun rencananya akan diaplikasikan koreksi geometri citra ke koordinat lokal
dengan GCP lokal, hal ini tidak jadi dilaksanakan. Ini didasari suatu kenyataan bahwa dari sekitar 142 titik
ground check di lapangan (termasuk 11 titik yang akan dijadikan GCP) yang tersebar pada terumbu dekat
pantai, terumbu tengah dan tubir, ternyata kesemuanya dapat diplot dengan baik pada peta dasar. Ini
mengindikasikan bahwa tingkat kesalahan posisi karena kesalahan geometri peta hasil interpretasi kurang
dari 1 piksel citra (kurang dari 30 meter). Untuk itu koreksi geometri dengan koordinat lokal sudah tidak
diperlukan lagi karena seluruh posisi hasil pengukuran di lapangan dapat diplotkan ke peta dasar dengan
presisi tinggi.
Hasil Interpretasi Manual
Daerah studi merupakan gugusan pulau-pulau dengan empat pulau utama yaitu P. Wangi-wangi, P.
Kaledupa, P. Tomia, dan P. Binongko, serta dua kawasan terumbu karang besar yaitu Karang Kapota
dan Karang Kaledupa. Oleh Pemerintah, dalam hal ini Dirjen PHPA, kawasan Kepulauan Wakatobi ini
ditetapkan sebagai Taman Nasional.
Dari citra komposit warna semu (false color composite) band 4, 3, 2 untuk saluran warna merah,
hijau dan biru, dapat diintepretasi bahwa daerah studi merupakan pulau-pulau karang dan merupakan
hasil proses pengangkatan tektonik. Bentuk-bentuk kenampakan igir – lembah yang relatif rendah di
31
daratan sebagai hasil proses itu dapat dikenali dengan baik. Ketika kerja lapang di semua pulau yang
dikunjungi mempunyai tanah pasiran dengan dasar pasir koral. Ini sangat memperkuat interpretasi bahwa
daerah studi adalah pulau koral yang berkembang dengan proses utamanya pengendapan.
Dari citra dapat pula diukur lebar terumbu pada masing-masing pulau. Di kompleks P. Wangi-wangi
dan sekitarnya (P. Kapota, P. Suma, P. Kamponaone) lebar terumbu mencapai 120 meter (jarak
terpendek) dan 2,8 kilometer (jarak terjauh). Untuk P. Kaledupa dan P. Hoga, lebar terpendek terumbu
adalah 60 meter dan terjauh 5,2 kilometer. Pada P. Tomea, rataan terumbunya mencapai 1,2 kilometer
untuk jarak terjauh dan 130 meter untuk jarak terdekat. Kompleks atol Kaledupa mempunyai lebar
terumbu 4,5 kilometer pada daerah tersempit dan 14,6 kilometer pada daerah terlebar. Panjang atol
Kaledupa sekitar 48 kilometer. Secara keseluruhan luas total terumbu karang di kepulauan wakatobi
adalah 8.816,169 hektar.
Menggunakan kombinasi band 5, 3, 2 dalam citra komposit warna semu agar dapat mengenali
mangrove, ternyata sulit sekali menemukan mangrove dari interpretasi citra. Dengan citra komposit ini
mangrove akan mempunyai rona merah lebih gelap dibanding vegetasi lainnya. Ini menjadi sifat khas dari
tumbuhan mangrove yang relatif basah dengan struktur daging daun yang lebih tebal dibanding
tumbuhan lain. Oleh karena mintakat mangrove kurang dapat dikenali dari citra komposit ini maka tidak
dilakukan digitasi terhadap sebaran mangrove. Namun demikian kenyataan di lapangan menunjukkan
bahwa pada beberapa lokasi ditemukan mangrove. Umumnya mangrove yang ditemukan mempunyai
sebaran relatif sempit (diperkirakan lebarnya sekitar 10 – 15 meteran) dan berupa spot-spot saja. Kondisi
ini tentunya tidak memungkinkan mangrove ini dapat tergambar di citra. Citra yang digunakan mempunyai
ukuran piksel 30 x 30 m, sedangkan lebar mangrove hanya 10 – 15 m yang berarti 1 piksel-pun tidak ada.
Memang ada juga ditemukan mangrove yang mempunyai hamparan luas (mungkin dalam hitungan
hektar) di lapangan namun di citra termasuk dalam daerah tutupan awan sehingga tidak memungkinkan
didigitasi.
Klasifikasi Citra
Sebelum proses klasifikasi, batas-batas pulau dan juga batas tubir terumbu didigitasi. Pada
prakteknya pendigitasian ini menemui kendala ketika harus mendigit daerah yang tertutup awan. Satu-
satunya jalan adalah dengan mendigit secara menduga-duga. Konsekuensinya, hasil digitasi merupakan
batas yang tidak akurat. Hal inilah yang menjadi kendala dan sekaligus merupakan keterbatasan metode
ini. Namun demikian oleh karena kondisi ini tidak begitu banyak dijumpai maka dapatlah dimaklumi.
Kendala tutupan awan ini juga berdampak kepada berubahnya nilai pantulan obyek yang berada di
dekat tutupan awan maupun di daerah bayangan awan itu. Kondisi ini secara teknis memang sulit untuk
diatasi. Dengan demikian ini harus menjadi catatan karena berpengaruh pada ketelitian hasil klasifikasi
isodata clustering.
Keterbatasan lain dengan klasifikasi dengan citra ini adalah keterbatasan kemampuan energi
elektromagnetik dalam hal penetrasinya pada perairan. Oleh karena itu untuk klasifikasi multispektral
32
pada obyek bawah air seperti kali ini hanya menggunakan band 1, 2, 3, dan 4 sebagai masukan dalam
proses. Ini didasari beberapa referensi yang mengatakan bahwa band-band itulah yang mampu
menembus kedalam air. Pada perairan relatif jernih (seperti di daerah studi) band 4 dapat menembus
sampai kedalaman 0,5 meter. Band 3 dapat menembus sampai kedalaman sekitar 5 meter. Band 2 lebih
dalam lagi yaitu mencapai 15 meter, dan band 1 dapat mencapai 25 meter bahkan bisa diatas 30
meteran. Ini berarti bahwa obyek, apapun itu, yang berada di kedalaman lebih dari 25 meter, sangat sulit
diklasifikasikan.
Pada studi ini telah disebutkan bahwa untuk peta tentatif obyek bawah air di perairan dangkal
diklasifikasi menjadi 8 klas. Setelah dilakukan pengecekan lapangan di 130 titik sampel maka ke delapan
klas ini diklasifikasikan lagi menjadi 3 klas yaitu pasir, koral dan lamun. Sebenarnya dari ke 130 titik
sampel ada 2 titik sampel diantaranya dimana ditemukan tutupan algae diatas pasir. Karena di lapangan
tutupan ini sebaran dan dominasinya kurang maka tidak dijadikan sebagai klas tersendiri tetapi
dimasukkan sebagai klas pasir.
Dari 130 titik sampel yang tersebar di P. Wangi-wangi, P. Kaledupa, P. Tomia dan Atol
Kaledupa, ketika diamati di lapangan tidak semuanya merupakan obyek tunggal. Kebanyakan dari
titik sampel tersebut pada luasan pengamatan sekitar 30 x 30 meter (sesuai dengan ukuran piksel
citra) merupakan obyek non-tunggal. Untuk ini dalam analisis, pertimbangan dominasi diperlukan.
Hal ini sesuai dengan prinsip klasifikasi citra yang hanya mendasarkan pada rona seperti pada
model isodata clustering ini. Satu piksel citra diwakili oleh satu nilai digital yang dapat dianggap
sebagai nilai pantulan dari obyek seluas 30 x 30 m di lapangan. Sedangkan kenyataan di lapangan
areal seluas itu dapat terdiri dari beragam obyek. Sehingga obyek yang dominanlah yang
berpengaruh secara signifikan terhadap nilai pantulan untuk 1 piksel. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa nilai digital pada 1 piksel itu mewakili nilai pantulan obyek dominan pada luasan 30
x 30 m di lapangan. Hal ini perlu menjadi perhatian dalam menanggapi hasil klasifikasi citra.
Karang
Terumbu karang di Wakatobi bertipe karang tepi (fringing reef), karang gosong, patch reef dan
atol. Rataan terumbu mempunyai lebar yang bervariasi antara 50-1,5 km untuk terumbu karang
tepi. Rataan terumbu mempunyai moat dan reef rampart di tepi tubir. Tubir hampir semuanya
dengan reef slope yang curam. Karang yang tumbuh di rataan terumbu umumnya didominansi oleh
Montipora digitata, Porites cylindrica dan Goniastrea rectiformis. Hal ini menunjukkan bahwa rataan
terumbu masih dalam kondisi ideal. Lereng terumbu atas umumnya didominasi oleh Acropora spp
dan lereng terumbu tengah pada kedalaman sekitar 20 meter didominasi oleh karang Acropora
hyacinthus, Echinopora spp. Karang yang hidup di Wakatobi mencapai kedalaman lebih dari 40
meter.
33
Hasil RRA menunjukkan bahwa persentase tutupan karang hidup di Pulau Wangi-wangi relatif
lebih jelek dibandingkan dengan Pulau Kaledupa, Pulau Tomia dan Atol Kaledupa (Gambar 7)..
Secara keseluruhan, diketahui bahwa persentase tutupan karang hidup di daerah Reef Edge relatif
masih lebih baik bila dibandingkan dengan di daerah Reef Top kecuali di Atol Kaledupa. Hal ini
mungkin disebabkan oleh aktivitas manusia yang banyak dilakukan di daerah Reef Top, disamping
faktor alami yang tidak stabil dan dinamis. Berdasarkan pengamatan dilapangan, terutama di pulau
Wangi-wangi terlihat banyaknya pecahan-pecahan karang yang hancur tak beraturan yang diduga
akibat bahan peledak. Dugaan ini juga dikuatkan oleh informasi dari pemerintah daerah setempat
yang menceritakan bahwa mereka sering mendengar dentuman-dentuman bom yang dilakukan
untuk menangkap ikan oleh nelayan-nelayan dari luar kawasan ini.
0
5
10
15
20
25
30
35
Reef Top 2.7308 7.72 0 2.44 23.3056
Reef Edge 28.7083 34.85 32.3 22.333 19.0278
Pulau Wangi-
Pulau Kaledupa
Pulau Tomia
Pulau Lintea
Atol kaledupa
Gambar 7. Persentase Karang Hidup hasil RRA di Lokasi penelitian, Kepulauan Wakatobi, Oktober 2001
Hasil analisis bentik life form disajikan dalam Tabel 2. Dari Tabel tersebut terlihat bahwa
persentase karang hidup di Pulau Kaledupa 49,59%, Pulau Lintea 43,96%, Pulau Tomia 42,71%
dan Atol Kaledupa 37,57%.
Tabel 2. Persentase Tutupan Karang Berdasarkan Life Form di Kepulauan Wakatobi
L O K A S I Bentic Life Form A B C D E F G H
Hard Coral (Acropora 3,66 4,8 7,87 9 5,55 8,22 13,98 6,68 Hard Coral (Non-Acropora) 35,43 31,28 54,98 36,23 34,46 34,49 40,09 27,17 Dead Scleractinia 5,84 6,6 3,78 4,67 0,72 1,68 2,29 4,69 Algae 15,45 21,54 19,4 20,84 20,89 26,52 8,32 22,05 Other Fauna 32,42 32,54 7,33 21,9 37,72 27,91 16,28 36,48 Abiotic 7,2 3,24 6,64 7,36 0,66 1,18 19,04 2,93 Total 100 100 100 100 100 100 100 100 Keterangan :
A = Atol Kaledupa Timur D = Pulau Kaledupa Utara G = Pulau Lintea Utara
B = Atol Kaledupa Barat E = Pulau Kaledupa Timur H = Pulau Lintea Selatan
C = Pulau Kaledupa Barat F = Pulau Tomia Utara
34
Selama pengamatan, dijumpai 238 jenis karang batu dari 71 marga di Atol Kaledupa, 174 jenis
dari 64 marga di pulau Kaledupa, 163 jenis dari 64 marga di pulau Lintea, 146 jenis dari 56 marga di
pulau Tomia dan 131 jenis dari 55 marga di pulau Wangi-wangi (Gambar 8)
0
50
100
150
200
250
Jumlah jenis 131 174 146 163 238
Jumlah suku 55 64 56 64 71
Pulau Wangi-
Pulau Kaledupa
Pulau Tomia
Pulau Lintea
Atol Kaledupa
Gambar 8. Jumlah jenis dan jumlah marga karang keras di Lokasi Penelitian, Kepulauan Wakatobi, Oktober 2001.
Ikan Karang
Dari hasil pengamatan selama penelitian ini, terlihat bahwa kondisi alam di Kepulauan Wakatobi
merupakan pulau-pulau karang dengan terumbu karang yang mengitarinya. Kondisi terumbu karang
dibeberapa tempat terutama di daerah yang landai dan dangkal mengalami kerusakan karena
kemungkinan kegiatan-kegiatan seperti pengeboman ikan dan pengambilan karang untuk keperluan
pembangunan fisik. Pada kedalaman antara 5 meter sampai >8 meter umumnya berada pada
kondisi yang sangat baik dan kaya akan jenis-jenis kehidupan laut. Keanekaragaman ikanpun
dijumpai sangat tinggi.
Pengamatan yang dilakukan dengan metoda RRA di empat wilayah penelitian di perairan Wakatobi
mencatat sejumlah 3117 individu ikan dari rataan terumbu (reef top) dan 20597 individu ikan dari lereng
terumbu (reef edge) yang terdiri dari 39 marga, 105 marga dan 326 jenis. Dari rataan terumbu, jumlah
jenis tertinggi dijumpai di P. Kaledupa (97 jenis) diikuti berturut-turut oleh P. Wangi-Wangi (83 jenis), P.
Tomia (73 jenis) dan Atol Kaledupa (57 jenis). Sedangkan dari lereng terumbu, jumlah jenis tertinggi
dijumpai di Atol Kaledupa (182 jenis), diikuti oleh P. Wangi-Wangi (177 jenis), P. Kaledupa (150 jenis) dan
P. Tomia (117 jenis). (Gambar 9)
35
0
50
100
150
200
Reef Edge 83 97 73 57
Reef Top 177 150 117 182
Pulau Wangi-wangi
Pulau Kaledupa
Pulau Tomia Atol Kaledupa
Gambar 9. Jumlah Jenis Ikan Hasil RRA di Rataan Terumbu (reef top = 110 stasiun) dan Lereng Terumbu (reef edge = 146 stasiun) di Perairan Wakatobi.
Berdasarkan kategori ikan, kekayaan jenis tertinggi untuk kelompok ikan major dimiliki oleh marga
Pomacentridae dengan 61 jenis, diikuti oleh Labridae dengan 11 jenis dan Balistidae 5 jenis. Sedangkan
sisanya berkisar antara 1-4 jenis ikan. Untuk ikan target, kekayaan jenis tertinggi ditempati oleh marga
Serranidae (kelompok kerapu) dengan 7 jenis, diikuti oleh Labridae 5 jenis, Acanthuridae 4 jenis, dan
sisanya berkisar antara 1-3 jenis. Kekayaan jenis ikan untuk kelompok ikan indikator tercatat sebanyak 4
jenis. (Gambar 10)
81
194
Major Target Indikator
Gambar 10. Jumlah Jenis Ikan Berdasarkan Kategori Ikan Hasil RRA di Perairan Wakatobi.
Kelimpahan ikan tertinggi untuk RRA di rataan terumbu ditempati oleh D. aruanus (Pomacentridae)
dari kategori ikan major dengan 315 individu , sedangkan terendah 1 individu ikan yang tercatat dari 32
jenis ikan. Untuk lereng terumbu, kelimpahan tertinggi diduduki oleh Caesio caerulaurea (Caesionidae)
dari kelompok ikan target dengan 3365 individu dan terendah 1 individu yang berasal dari 20 jenis ikan.
Umumnya di rataan terumbu kelimpahan tertinggi didominasi oleh marga Pomacentridae dari kelompok
ikan major, sedangkan untuk daerah lereng terumbu, kelimpahan tertinggi ditempati oleh kelompok ikan
ekor kuning (Caesionidae) dari kategori ikan target.
Dari hasil pengamatan ikan karang dengan LIT di tiga (3) wilayah pengamatan di perairan
Wakatobi (Atol Kaledupa, P. Kaledupa dan Selat Tomia) diperoleh sebanyak 23678 individu yang
terdiri dari 40 suku, 111 marga dan 320 jenis. Dari ikan yang diperoleh, tercatat 25 marga adalah
ikan major, 14 marga merupakan ikan target, dan 1 marga merupakan ikan indikator. Berdasarkan
36
jumlah jenis, untuk kategori ikan major, marga Pomacentridae menempati jumlah jenis tertinggi
dengan 55 jenis ikan. Sedangkan untuk kategori ikan target, jumlah jenis tertinggi diduduki oleh
marga Serranidae dengan 21 jenis dan untuk ikan indikator tercatat sejumlah 30 jenis ikan.
0
20
40
60
Jumlah Jenis 55 21 30
Jumlah Marga 25 14 1
Major Target Indikator
Gambar 11. Jumlah Jenis dan Marga Ikan Hasil LIT di Perairan Wakatobi
Kelimpahan tertinggi untuk ikan yang dicatat dari penelitian ini ditempati oleh Chromis
ternatensis (Pomacentridae) dengan 1874 ekor, diikuti oleh Caesio caerulaurea (1591 ekor),
Pterocaesio randalli (1246 ekor) dan Caesio teres (1061ekor). Ketiga jenis terakhir ini termasuk
dalam kategori ikan target dari kelompok ikan ekor kuning (Tabel 10). Dilihat dari persentasi
kehadiran, 4 jenis ikan memiliki kehadiran 100%, yakni ditemui disetiap stasiun pengamatan dalam
setiap ulangannya. Tiga jenis diantaranya termasuk marga Pomacentridae, yaitu Amblyglyphydodon
leucogaster, Amphiprion clarkii dan Paraglyphydodon nigroris serta satu jenis dari marga
Acanthuridae yakni Zebrasoma scopas. Keempat jenis ikan ini masuk dalam kategori ikan major.
Sedangkan jenis yang paling rendah kelimpahan dan kehadirannya dijumpai pada 22 jenis ikan
dengan kelimpahan 1 ekor dengan 4,16% kehadirannya (Tabel 10).
Dominasi ikan major disuatu terumbu karang merupakan suatu fenomena yang umum dijumpai
(Hilomen & Yap 1991; Satumanatpan & Sudara 1992). Penelitian yang dilakukan dengan metoda
RRA dan LIT menunjukkan bahwa kelimpahan dan kehadiran tertinggi ditemui pada jenis-jenis ikan
dari marga Pomacentridae. Ikan dari marga Pomacentridae merupakan salah satu ikan yang paling
dominan di terumbu karang dan memiliki jumlah jenis yang sangat tinggi. Fenomena ini sesuai
dengan penelitian lainnya dibanyak terumbu karang (Kuiter & Debelius 1994; Allen 1997).
Variasi kelimpahan dan keanekaragaman jenis ikan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara
lain kedalaman. Pada rataan terumbu, dijumpai kelimpahan dan keanekaragaman yang lebih
rendah dibandingkan dengan di lereng terumbu. Hal ini disebabkan pengamatan pada daerah
rataan yang sangat tergantung pada keadaan pasang surut, sehingga ada keterbatasan
pengamatan pada waktu air surut rendah. Selain itu untuk keragaman jenis ikan yang tinggi pada
beberapa penelitian dijumpai pada daerah lereng terumbu.
37
Komunitas ikan karang yang terdiri dari berbagai jenis ikan yang sangat bervariasi,
menunjukkan bahwa sebagian ikan mempunyai spesialisasi hidup hanya pada daerah karang hidup,
sebagian menyenangi daerah karang mati untuk habitatnya dan lainnya berasosiasi dengan
menunjukan kelimpahan yang tinggi pada persentasi tutupan karang yang sedang.
Keanekaragaman yang tinggi dan sebaran ikan dapat dikatakan sebagai konsekuensi alami dari
adanya struktur habitat dan adanya response individu dari setiap jenis ikan terhadap adanya habitat
tertentu yang disenanginya (preferensi habitat).
Kelimpahan dan kekayaan jenis ikan disuatu terumbu karang seringkali dikaitkan dengan
kondisi terumbu karang itu sendiri dan persentasi tutupan karangnya. Semakin tinggi persentasi
tutupan karangnya semakin tinggi kelimpahan dan jumlah jenisnya. Keanekaragaman dan
kelimpahan ikan yang tinggi pada penelitian ini kemungkinan disebabkan struktur habitat yang
kompleks dari terumbu karang yang masih dalam kondisi baik. Beberapa peneliti menemukan
bahwa kelimpahan dan keragaman jenis ikan kepe-kepe meningkat dengan meningkatnya
persentasi tutupan karang (Bell & Galzin 1984; Bouchon-Navaro & Bouchon 1989, Suharsono et al.
1998). Akan tetapi pada penelitian lain dijumpai bahwa kekayaan jenis yang dijumpai pada kondisi
terumbu karang dengan persentasi tutupan karang yang rendah maupun tinggi tidak berbeda nyata
(Jones & Syms 1995).
Tingginya jumlah jenis ikan kepe-kepe di perairan Wakatobi dapat dijadikan gambaran bahwa
terumbu karang diperairan ini masih tergolong cukup baik, mengingat ikan kepe-kepe dijadikan
suatu indikator lingkungan terumbu karang. Semakin subur tingkat kondisi terumbu karang semakin
tinggi keragaman jenis ikan kepe-kepenya. Hal ini dapat dibandingkan dengan penelitian
sebelumnya di perairan Riau, dimana kondisi terumbu karang sudah sangat rusak, hanya dijumpai 3
jenis ikan kepe-kepe selama penelitian tersebut.
Keanekaragaman jenis ikan karang yang tinggi dan tingginya kelimpahan ikan yang tercatat
diterumbu karang perairan Wakatobi menunjukkan bahwa perairan karang Kep. Wakatobi masih
memiliki daya dukung yang tinggi untuk kehidupan ikan karangnya. Dengan perkataan lain, masih
tersedia cukup banyak ruang kehidupan bagi ikan-ikan karang dan biota laut lainnya. Banyaknya
jenis-jenis ikan target bernilai ekonomis penting, disamping itu ikan-ikan yang ditempat-tempat lain
sudah dianggap langka seperti ikan Napoleon dan ikan pari burung, diperairan waktobi masih dapat
ditemukan dengan mudah. Hal ini menunjukkan bahwa daerah tersebut memiliki potensi yang tinggi
dan perlu dikelola secara baik untuk menjaga kelestariannya. Selain itu dari pengamatan terlihat
penangkapan ikan oleh nelayan setempat dilakukan dengan cara yang ramah lingkungan yakni
dengan menggunakan pancing, walaupun tidak menutup kemungkinan adanya usaha penagkapan
dengan cara yang merusak seperti menggunakan bom dan bubu. Dari pengamatan, sebagian besar
jenis ikan target yang dijumpai sudah berada dalam ukuran tangkap. Hal ini menunjukkan bahwa
eksploitasi ikan diperairan ini masih dalam toleransi yang dapat terkontrol cukup baik. Hal ini
kemungkinan disebabkan adanya Taman Nasional Laut yang berfungsi baik.
38
Perairan karang diwilayah tersebut masih sangat potensial untuk dijadikan daerah konservasi
mengingat banyaknya jenis ikan indikator dan ikan target bernilai ekonomis penting dan beberapa
jenis ikan komersial lainnya yang selalu diburu (Ikan Napoleon) dan jenis-jenis lainnya yang
termasuk jarang (ikan Pari Burung) yang dijumpai selama penelitian. Penangkapan ikan oleh
nelayan tradisional dilakukan dengan menggunakan pancing yang merupakan alat tangkap ramah
lingkungan, walaupun tidak menutup kemungkinan adanya indikasi penangkapan secara ilegal
dengan menggunakan alat tangkap yang merusak (bom dan bubu).
Lamun
Hasil pengamatan lamun di Wakatobi mencatat 9 jenis lamun yaitu : Haludule uninervis, H. pinifolia,
Cymodocea rotundata, C. serrulata, Thalassodendron ciliatum, Syringodium isoetifolium, Enhalus
acoroides, Thalassia hemprichii dan Halophila ovalis (Tabel 3), sebaran jenis lamun umumnya merata
disetiap lokasi pengamatan Kekayaan jenis lamun yang ada di Wakatobi tergolong tinggi jika
dibandingkan dengan kehadiran lamun di Indonesia yaitu 12 jenis. Sebaran jenis lamun umumnya
merata di setiap lokasi pengamatan. Dari tabel 3 terlihat bahwa jumlah jenis lamun yang paling banyak
terdapat di perairan pulau Kaledupa. Padang lamun di perairan ini secara umum didominasi oleh
Thalassodendron ciliatum, sedangkan persentase tutupan 66%, kerapatan 738,2 tegakan/m2 dan total
biomassa 236,21 gram berat kering/m2.
Tabel 3. Keragaman jenis lamun di lokasi penelitian Wakatobi (klasifikasi menurut Den Hartog, 1970;
Phillips &Menez, 1988).
LOKASI J E N I S 1 2 3 4 5
I. POTAMOGETONACEAE 1. Halodule pinifolia - - - - + 2. H. uninervis + + - + + 3. Cymodocea rotundata + + + + + 4. C. serrulata - - - - + 5.Syringodium isoetifolium + + + + + 6.Thallasodendron ciliatum + + + + + II. HYDROCHARITACEAE 7. Enhalus acroides - + + + + 8. Thallasia hemprichii + + + + + 9. Halophila ovalis + + + + + Jumlah jenis 6 7 6 7 9
Keterangan : + ada; - tidak ada
1. Atol Kaledupa 2. Atol Tomia 3. Pulau Tomia4. Pulau Wangi-wangi 5.Pulau kaledupa
39
Tipe padang lamun
Padang lamun di lima lokasi penelitian umumnya homogen dan dapat digolongkan pada tipe:
padang lamun yang berasosiasi dengan terumbu karang. Tipe ini, umumnya ditemukan di lokasi-lokasi di
daerah pasang-surut dan rataan terumbu yang dangkal serta daerah tubir yang dalam.
Vegetasi dari padang lamun di lokasi-lokasi yang diteliti umumnya adalah tipe tunggal dan tipe
campuran dengan kombinasi dari beberapa jenis lamun yang tumbuh di daerah pasang surut mulai dari
pinggir pantai sampai ke tubir. Tipe tunggal adalah Thalassodendron ciliatum, sedangkan tipe campuran
merupakan kombinasi antara E. acoroides, T. hemprichii dan H. ovalis serta Thalassodendron ciliatum
dan T. hemprichii. Hal ini hampir sama dengan padang lamun di perairan Taman laut Nasional
Takabonerate untuk tipe tunggal, dan perairan Indonesia umumnya untuk tipe campuran yaitu : E.
acoroides dan T. hemprichii (Heijs & Brouns 1986; Azkab 1991).
Kerapatan merupakan elemen dari struktur komunitas yang dapat digunakan untuk mengestimasi
produksi (Jacobs 1984). Kerapatan setiap jenis lamun mempunyai variasi, dimana secara kuantitatif
terdapat perbedaan pada setiap lokasi penelitian dengan jenis yang sama, khususnya untuk jenis-jenis T.
ciliatum. Nilai kerapatan terbesar dijumpai pada Halophila ovalis yang tumbuh di Atol Tomia, yaitu 3264
tegakan/m2.
Ada enam jenis lamun yang umumnya ditemukan pada lokasi-lokasi penelitian. Lamun ini tumbuh
pada rataan terumbu di daerah pasang surut Pulau. Tutupannya cukup tinggi (50 % - 90 %) dengan
Thalassodenron ciliatum adalah jenis lamun yang dominan, kecuali di Pulau Kaledupa yang didomiansi
oleh T. hemprichii dan E. acoroides. Substrat bervariasi dari pasir kasar sampai karang mati atau karang
hidup.
Berdasarkan pertumbuhan, pola distribusi dan habitat, maka selayaknya perairan Taman Nasional
Laut Wakatobi didominasi oleh T. ciliatum karena substrat yang umumnya keras terdiri dari karang mati
dan karang hidup. Hal ini karena T. ciliatum memiliki perakaran yang cukup kuat dan dapat hidup di
perairan mulai dari bagian atas sub litoral sampai kedalaman 30 meter. Jenis-jenis lainnya seperti marga
Halophila, Halodule dan Cymodocea hanya tumbuh di daerah intertidal bawah, sedangkan E. acroides
walaupun karakter system vegetatifnya hampir sama dengan T. ciliatum lebih cenderung hidup di daerah
yang agak stabil dengan substrat berlumpur.
Dengan melihat hasil penelitian pada ke lima lokasi yang tutupannya rata-rata 66%, maka dapat
ditarik kesimpulan bahwa sumberdaya lamun di perairan Taman Laut Nasional Wakatobi secara umum
dapat dikatakan cukup besar. Lebih-lebih lagi bila dikaitkan dengan biota yang berasosiasi dengan
padang lamun, potensi sumberdaya lamun cukup tinggi, khususnya dari segi perikanan dan sumbangan
nutrisinya pada ekosistem terumbu karang disekitarnya.
40
Kualitas Air
Perairan Taman Nasional Wakatobi tergolong masih bersih dan belum terlihat adanya pengaruh
kegiatan manusia (limbah rumah tangga). Hal ini ditandai oleh tingginya dan homogennya kadar
oksigen terlarut (5,28 - 7,59 ppm; 6,40 ±0,48 ppm), serta kadar nitrit (< 1,00 - 4,20 ppb; 0,66 ±1,28
ppb) yang selalu lebih rendah dibandingkan dengan kadar nitrat (< 1,00 - 22,46 ppb; 2,00 ±3,55
ppb).
Dari keempat perairan yang diteliti (Karang Kaledupa, Pulau Kaledupa, P. Tomia, P. Wangi-wangi)
terlihat bahwa kualitas perairan Pulau Tomia sedikit lebih baik dibandingkan ketiga perairan lainnya. Hal
ini disebabkan kadar oksigen terlarut, nitrat dan fosfat di perairan Tomia lebih tinggi dibandingkan ketiga
perairan lainnya (Tabel 4). Kualitas air ketiga perairan lainnya hampir sama.
Tabel 4. Kisaran kadar DO, pH, salinitas,TSS, nitrat, nitrit dan fosfat di perairan Taman Nasional Kepulauan Wakatobi, Oktober-November 2001
Perairan Parameter Karang Kaledupa Pulau Kaledupa P. Tomia P.Wangi-wangi
DO, ppm 6,19-7,21 (6,48+0,31)
5,28-7,26 (6,22+0,64)
5,53-7,59 (6,54+0,51)
5,68-7,06 (6,35+0,40)
PH 8,06-8,26 (8,15+0,05)
8,01-8,43 (8,24+0,13)
8,18-8,50 (8,25+0,08)
8,14-8,22 (8,20+0,02)
Salinitas, %o 34,5-35,0 (34,9+0,2)
35,0 34,5-35,0 (34,9+0,2)
34,5-35,0 (34,5+0,2)
TSS, mg/L 2,92-4,68 (3,60+0,44)
3,33-5,02 (3,95+0,46)
3,42-4,80 (3,99+0,39)
2,76-4,84 (3,77+0,64)
Nitrat, ppb < 1-6,79 (1,72+2,31)
< 1-9,69 (1,74+2,86)
< 1-22,46 (2,85+5,84)
< 1-6,23 (1,77+2,42)
Nitrit, ppb < 1-4,20 (0,96+1,60)
<1-1,09 (0,07+0,28)
<1-3,81 (0,73+1,32)
<1-3,40 (0,90+1,34)
Fosfat, ppb 1,57-10,60 (5,38+2,48)
1,57-7,59 (3,98+1,95)
3,08-12,11 (5,34+2,42)
1,57-10,60 (4,28+2,82)
( + ) rata-rata + sd
Oksigen terlarut (DO)
Kadar oksigen terlarut di seluruh perairan yang diteliti (perairan Karang Kaledupa, Pulau
Kaledupa, Pulau Tomia, Pulau Wangi-wangi) berkisar antara 5,28 - 7,59 ppm (6,40 ±0,48 ppm).
Data ini menunjukkan bahwa kadar oksigen terlarut di perairan tersebut tergolong tinggi, homogen
dan masih memenuhi Baku Mutu Air Laut yang ditetapkan oleh Menteri Lingkungan Hidup yaitu > 4
ppm (Kep.Men.KLH 1988). Tingginya kadar oksigen terlarut ini serta homogenitasnya menunjukkan
bahwa perairan tersebut masih bersih dan belum terlihat adanya pengaruh kegiatan manusia
(limbah rumah tangga).
Dari keempat perairan yang diteliti, kisaran kadar DO yang tertinggi (5,53 - 7,59 ppm; 6,54
±0,51 ppm) ditemukan di perairan Pulau Tomia, menyusul perairan Karang Kaledupa (6,19 - 7,21
41
ppm; 6,48 ±0,31 ppm); perairan Pulau Wangi-wangi (5,68 – 7,06 ppm; 6,35 ±0,40 ppm), kemudian
perairan Pulau Kaledupa (5,28 – 7,26 ppm; 6,22 ±0,64 ppm).
Nitrat dan nitrit
Kadar nitrat di seluruh perairan yang diteliti (perairan Karang Kaledupa, Pulau Kaledupa, Pulau
Tomia, Pulau Wangi-wangi) berkisar antara < 1,00 - 22,46 ppb (2,00 ±3,55 ppb). Kisaran kadar
nitrat ini adalah normal ditemukan di perairan-perairan Indonesia. Seperti oksigen terlarut, kisaran
kadar nitrat yang tertinggi ( < 1,00 - 22,46 ppb; 2,85 ±5,84 ppb) juga ditemukan di perairan Pulau
Tomia. Kisaran kadar nitrat di tiga perairan lainnya, yaitu Karang Kaledupa (<1,00 - 6,79 ppb), Pulau
Kaledupa (<1,00-9,69 ppb) dan Pulau Wangi-wangi (<1,00 - 6,23 ppb) adalah hampir sama.
Di perairan yang masih bersih atau perairan yang kadar oksigen terlarutnya tergolong tinggi
(> 5 ppm), kadar nitrit lebih rendah dibandingkan kadar nitrat. Di seluruh perairan Taman Nasional
Kepulauan Wakatobi, kadar nitrit berkisar antara < 1,00 - 4,20 ppb (0,66 ±1,28 ppb) juga lebih
rendah dibandingkan dengan kadar nitrat (< 1,00 - 22.46 ppb; 2,00 ±3,55 ppb). Data ini
menunjukkan bahwa secara umum perairan Karang Kaledupa, Pulau Kaledupa, Pulau Tomia dan
Pulau Wangi-wangi masih bersih atau belum terpengaruh oleh kegiatan manusia (limbah rumah
tangga). Berbeda dengan oksigen terlarut dan nitrat yang kisaran kadar tertingginya di perairan
Tomia, kisaran kadar nitrit yang tertinggi (< 1,00 - 4,20 ppb; 0,96 ±1,59 ppb) ditemukan di perairan
Karang Kaledupa. Dari keempat perairan yang diteliti, kisaran kadar nitrit yang terendah (<1,00 –
1,09 ppb; 0,07 ±0,28 ppb) ditemukan di perairan Pulau Kaledupa, menyusul perairan Pulau Tomia
(<1,00 - 3,81 ppb; 0,73 ±1,32 ppb); perairan Pulau Wangi-wangi (<1,00 – 3,42 ppb; 0,90 ±1,34 ppb),
kemudian perairan Karang Kaledupa (<1,00 - 4,20 ppb; 0,96 ±1,59 ppb).
Fosfat
Kadar fosfat di seluruh perairan yang diteliti (perairan Karang Kaledupa, Pulau Kaledupa, Pulau
Tomia, Pulau Wangi-wangi) berkisar antara 1,57 - 12,11 ppb (4,82 ±2,42 ppb). Kisaran kadar fosfat
ini juga biasa ditemukan di perairan-perairan Indonesia (perairan Takalar, Sulsel = 5,34 ±1,88 ppb;
Pantai Carita, Banten = 7,70 ±4,05 ppb). Seperti oksigen terlarut dan nitrat, kisaran kadar fosfat
yang tertinggi (3,08 - 12,11 ppb; 5,34 ±2,42 ppb) juga ditemukan di perairan Pulau Tomia. Setelah
itu menyusul perairan Karang Kaledupa (1,57 – 10,60 ppb), Pulau Wangi-wangi (1,57 – 10,60 ppb)
dan yang terendah adalah di perairan Pulau Kaledupa (1,57 – 7,59 ppb).
42
Total Suspended Solid
Kadar TSS di seluruh perairan yang diteliti (perairan Karang Kaledupa, Pulau Kaledupa, Pulau
Tomia, Pulau Wangi-wangi) berkisar antara 2,76 – 5,02 ppm (3,81±0,49 ppm). Kisaran kadar TSS
ini tergolong rendah dibandingkan dengan yang biasanya ditemukan di perairan-perairan Indonesia.
Rendahnya nilai TSS ini menunjukkan bahwa perairan Kepulauan Wakatobi termasuk perairan yang
jernih. Kadar maksimum TSS dalam air laut untuk kehidupan biota yang ditetapkan oleh Menteri
Neg. Lingkungan Hidup adalah 80 ppm. Hal ini menunjukkan bahwa seluruh perairan Kepulauan
Wakatobi masih sesuai dengan Baku Mutu tersebut. Zat padat tersuspensi (TSS) yang terdapat di
perairan Kepulauan Wakatobi ini bukan berasal dari erosi (partikel tanah) tetapi berasal dari detritus.
Detritus dapat dipakai sebagai ukuran tingkat kesuburan perairan. Berdasarkan nilai TSS-nya, maka
perairan yang paling subur adalah perairan Pulau Tomia (3,99+0,39 ppm), menyusul P. Kaledupa
(3,95+0,46 ppm), P. Wangi-wangi (3,77+0,64 ppm) yang terakhir adalah perairan Karang Kaledupa
(3,60+0,44 ppm).
Salinitas dan pH
Salinitas dan pH permukaan di perairan TN Wakatobi berkisar antara 34,5 - 35,0 %o dan 8,01 –
8,50. Kisaran salinitas dan pH seperti ini adalah normal di perairan bebas. Dari nilai rata-rata dan
standar deviasi salinitas (34,9+0,2 %o) dan pH (8,2 ±0,2) terlihat bahwa perairan TN Wakatobi
sangat homogen dan tidak terlihat adanya indikasi kegiatan yang mempengaruhi kedua parameter
tersebut. Kisaran kedua parameter tersebut masih sesuai dengan Baku Mutu Air Laut untuk
kehidupan biota yang ditetapkan oleh Menteri Neg. Lingkungan Hidup Tahun 1988 yaitu pH = 6,5 - 9
dan perubahan salinitas hanya boleh + 10 % (Men. KHL 1988).
Oseanografi
Suhu
Pengukuran suhu yang dilakukan pada 20 stasiun CTD di perairan Wakatobi menunjukkan
bahwa suhu permukaan laut (2 m) berkisar antara 27,26 – 28,73 oC, suhu minimum terdapat di st 9
(27,26 oC ) sedangkan maksimum di st 17 (28,73 oC). Pada kedalaman 50 m, suhu air laut masih
rendah di st 8 yaitu sebesar 23,88 oC dan tertinggi di st 17 sebesar 27.53 oC. Fluktuasi suhu pada
kedalaman tersebut (50 m) sekitar 3 - 4 oC. Bila dilihat dari profil tegak suhu (Gambar 12)
menunjukkan bahwa tidak ditemui secara jelas lapisan percampuran (mixing layer) yang merupakan
lapisan homogen karena adanya percampuran yang intensif baik diakibatkan oleh pengaruh angin,
43
gelombang dan arus laut. Umumnya suhu air laut di perairan tersebut menurun dari lapisan
permukaan hingga dekat dasar. Gradien suhu yang lebih besar diperoleh mulai dari kedalaman 100
m hingga dekat dasar (300 m) dimana lapisan ini merupakan lapisan termoklin.
Salinitas
Nilai salinitas (kadar garam) dinyatakan dalam satuan psu (practical salinity unit). Dari
pengukuran salinitas pada 20 stasiun CTD diperoleh bahwa nilai salinitas pada permukaan (2 m)
berkisar antara 34,15 – 34,34 psu. Nilai salinitas pada kedalaman 100 m berkisar antara 34,28 –
34,49 psu. Fluktuasi salinitas pada kedalaman 100 m antara 0,2 – 0,25 psu lebih tinggi dari pada
di lapisan permukaan.
Dari profil tegak salinitas menunjukkan bahwa fluktuasi salinitas yang lebih tinggi terdapat di
lapisan permukaan hingga kedalaman 200 m (Gambar 13). Dari kedalaman 200 m hingga 300 m,
nilai salinitas perubahannya cukup kecil atau dapat dikatakan hampir konstan
Gambar 12. Profil tegak suhu di perairan Wakatobi, Sulawesi Tenggara
44
Gambar 13. Profil Tegak Salinitas Di Perairan Wakatobi Sulawesi Tenggara
Kecerahan
Kecerahan pada permukaan (2 m) di perairan Wakatobi berkisar antara 70,8 – 86,1 %.
Kecerahan minimum sebesar 70,8 % terdapat pada stasiun 20 dan maksimum 86,1 % pada st.13.
Kecerahan pada permukaan (2 m) umumnya lebih besar dari 84 % kecuali pada st 20 (70,8 %). Hal
ini menunjukkan bahwa perairan sangat jernih dimana pengaruh daratan relatif kecil. Nilai
kecerahan air tersebut umumnya terdapat di perairan laut dalam yang jauh dari kegiatan-kegiatan di
pantai.
Fluktuasi kecerahan terlihat dari permukaan (2 m) hingga kedalaman sekitar 100 m, sedangkan
dari kedalaman 100 m hingga dekat dasar laut dapat dikatakan mempunyai nilai yang konstan.
Profil tegak kecerahan menunjukkan bahwa pada permukaan sedikit lebih rendah, dan makin dalam
kecerahan meningkat walaupun peningkatannya relatif kecil (Gambar 14).
45
Gambar 14. Profil Tegak Kecerahan Air Di Perairan Wakatobi Sulawesi Tenggara
Kekeruhan (turbiditas)
Kekeruhan merupakan kebalikan daripada kecerahan. Kekeruhan akan mempenagaruhi daya
tembus sinar matahari dalam kolom air. Bila kecerahan tinggi, maka nikai kekeruhan akan semakin
kecil.
Kecerahan air di perairan Wakatobi cukup tinggi dengan nilai >84 %, maka nilai kekeruhan
(turbiditas) sangat rendah dan nilainya < 1 NTU dan kadang-kadang hampir 0 (nol). Oleh karena itu,
perairan Wakatobi adalah perairan yang jernih seperti umumnya perairan laut dalam di Indonesia.
Intensitas Matahari.
Pengukuran daya tembus cahaya matahari dilakukan pada waktu pagi hingga sore hari sekitar
13 stasiun dari 20 stasiun pengukuran CTD. Dari hasil pengukuran tersebut hampir semua stasiun
pengukuran CTD menunjukkan bahwa intensitas matahari mampu menembus hingga kedalaman
antara 55 meter hingga 122 meter. Nilai daya tembus terdalam terlihat pada stasiun CTD no 8 (
Tomea-8 ) yaitu sampai pada kedalaman 122 m pada pukul 11:25 LT dan terendah pada stasiun
CTD no 4 ( Atol Utara – 4 ) pada pukul 16:45 LT. ( Gambar 15.) Hal ini menunjukkan bahwa
perairan tersebut sangat jernih.
46
Gambar 15. Profil Tegak Intensitas Matahari Di Perairan Wakatobi Sulawesi Tenggara
47
Kondisi Masing-Masing Lokasi Penelitian
Pulau Wangi-wangi
Karang
Pantai Pulau wangi-wangi mempunyai kenampakan yang hampir sama dengan pulau-pulau yang
ada disekitarnya yaitu rataan terumbu umumnya sebagian besar landai dengan rataan terumbu
yang lebar. Rataan terumbu ditumbuhi oleh Thallasodendron ciliatum yang hampir merata, menutupi
dasar perairan sebesar 50 %. Beberapa jenis algae yang cukup melimpah diantaranya Eucheuma
yang telah dibudidayakan oleh masyarakat setempat. Di antara pertumbuhan lamun banyak
dijumpai bintang laut jenis Protoreaster nodosus dan Choriaster granulatus dari Family
Oreasteridae. Pertumbuhan karang dimulai pada kedalaman 1-2 meter yang berupa koloni-koloni
kecil dengan keanekaragaman yang rendah. Pada rataan terumbu reef flat yang mendatar
didominasi oleh Montipora digitata, Porites cylindrica dan Goniastrea retiformis
Pengamatan di Pulau Wangiwangi telah dilakukan sebanyak 50 stasiun RRA, yang terdiri dari 26
stasiun di reef top dan 24 stasiun di reef edge. Hasil pengamatan rata-rata dari stasiun RRA di
daerah reef top menunjukkan bahwa persentase tutupan pasir sebesar 21.92%, rubble sebesar
21.85%, DCA sebesar 29.04%, seagrass sebesar 15.65% dan Live coral sebesar 2.73%. Pada reef
edge persentase tutupan rata-rata untuk Rubble sebesar 11.17%, DCA sebesar 20.50%, Soft coral
sebesar 18.45% dan Live coral sebesar 28.71% (Tabel 5). Didaerah Reef Edge presentase karang
hidup 35% dijumpai di stasiun 4, 10, 19, 22, 44 sedangkan didaerah Reef Top tidak dijumpai
stasiun yang memiliki persentase live coral sebesar >30%. Hasil RRA pada masing-masing stasiun
baik di rataan terumbu (reef top) maupun di lereng terumbu (reef edge) disajikan dalam gambar
pada Lampiran.
Di daerah tubir karang cukup bervariasi jenisnya seperti Acropora spp, Montipora spp, Porites
spp, dan Stylophora pistillata. Lereng terumbu mempunyai kemiringan antara 60-70o dengan
pertumbuhan karang hidup yang tidak begitu rapat (patches) sampai kedalaman 40 meter. Karang
yang tumbuh hanya didominasi oleh Acropora hyacinthus Echinopora mammiformis, Porites
cylindrica dan beberapa Favia spp.
Pertumbuhan biota lainnya yang cukup menonjol adalah sponge dan soft coral (karang lunak)
dari jenis Sinularia sp. dan Dendronephthya sp.. Sponge mempunyai variasi ukuran, bentuk dan
warna yang tinggi, umumnya tumbuh bergelantung dan menempel dinding sehingga memberi kesan
yang sangat artistik. Dendronephthya sp. termasuk dalam golongan karang lunak dengan
pertumbuhan yang sangat khas serta kaya akan warna dari putih, ungu sampai merah jingga dan
menambah kesan yang sangat menarik. Gorgonian dan anemon menambah kekayaan bentuk serta
warna. Gorgonian banyak tumbuh dan mendominasi pada kedalaman lebih dari 30 meter dan
makin kedalam densitas pertumbuhannya semakin tinggi.
48
Secara keseluruhan pengamatan bebas di rataan dan lereng terumbu karang ditemukan 55 marga
yang meliputi 131 jenis karang batu hidup yang didominasi oleh jenis karang Non-Acropora yaitu Pectinia
paeonia, Porites nigrescens, Stylophora pistillata dan Diploastrea heliopora (Lampiran 1). Kondisi
pertumbuhan karang disini dikategorikan rusak, dengan demikian perlu diperhatikan lebih intensif untuk
kelestariannya.
Tabel 5. Hasil RRA di tubir (reef edge) dan rataan terumbu (reef top)di Pulau Wangi-wangi
P. Wangi-wangi (top) P. Wangi-wangi (edge) Benthic
Jumlah 26 stasiun Jumlah 24 stasiun
% Pasir* 21.9231 ± 13.8215 7.5417 ± 3.0500
% Rubble 21.8462 ± 12.9883 11.1667 ± 6.5053
% Live Coral 2.7308 ± 2.8363 28.7083 ± 7.8435
% Dead Coral 0.9615 ± 2.7200 0.9583 ± 1.9219
% Dead Coral Algae 29.0385 ± 15.8959 20.5000 ± 6.0935
% Soft Coral 0.0769 ± 0.3922 18.4583 ± 11.2481
% Sponges 0.8462 ± 0.9249 6.4583 ± 3.7646
% Algae 6.2308 ± 4.5983 4.4583 ± 2.7343
% Seagrass 15.6538 ± 10.8294 0.0000
% Others 0.6923 ± 0.4707 1.7500 ± 0.6757
Ikan Karang
Berdasarkan kategori ikan yang tercatat dari hasil RRA terlihat bahwa kelompok ikan major,
target dan indikator di lereng terumbu lebih banyak daripada di rataan terumbu baik dari jumlah jenis
maupun jumlah individu (Gambar 16). Perbedaan ini sangat dipengaruhi antara lain oleh kondisi
terumbu karang dan pasang surut di wilayah tersebut.
0
1000
Rataan Terumbu
Major 55 587
Target 21 138
Indikator 7 29
Jml jenis Jml indv.
0
5000
Lereng Terumbu
Major 70 3679
Target 83 2327
Indikator 24 551
Jml jenis Jml Individu
Gambar 16. Jumlah jenis dan jumlah individu ikan berdasarkan kategori ikan yang tercatat hasil RRA selama penelitian di Pulau Wangi-wangi, Oktober 2001
Pengamatan ikan karang di rataan terumbu Pulau Wangi-wangi memperlihatkan bahwa
Pomacentrus tripunctatus memiliki kelimpahan relatif tinggi (15.58%). Kelimpahan relatif rendah
49
dimiliki oleh Halichoeres trimaculatus (2.60%). Di lereng terumbu kelimpahan relatif tinggi dimiliki
oleh Chromis weberi (15,39%), sedangkan kelimpahan relatif rendah adalah Amblyglyphydodon
curacao, yaitu 2.45% (Tabel 6 & 7)
Tabel 6. Kelimpahan dan Kelimpahan Relatif dari 10 jenis ikan karang yang dominan yang dilakukan di rataan terumbu (reef top) P. Wangi-wangi
Jenis Kelimpahan Kelimpahan relatif Pomancentrus tripunetatus Pomancentrus coelestis Dascyllus aruanus Chrysiptera eyanea Dischistodus prosopotaenia Aenthurus triostegus Pomancentrus chrysurus Abudefduf sexfasciatus Seolopsis lineatus Halichhoeres trimaeulatus
108 99 44 27 25 25 24 22 19 18
15.58% 13.01% 9.16% 4.95% 4.75% 4.39% 3.66% 2.84% 2.75% 2.24%
Tabel 7. kelimpahan dan kelimpahan relatif dari 10 jenis ikan karang yang dominan yang dilakukan dilereng terumbu (reef edge) P.Wangi-wangi
Jenis Kelimpahan Kelimpahan relatif Chromis weberi Abudefduf saxatilis Caesio caerulaurea Chromis ternatensis Caesio euning Chromis margaritfer Hemitaurichthys polylepsis Pterocaesio randalli Chromis xanthura Amblyglyphydodon curacao
840 710 500 270 260 240 200 155 150 134
15.39% 13.01% 9.16% 4.95% 4.76% 4.39% 3.66% 2.84% 2.75% 2.45%
Lamun
Pengamatan lamun yang dilakukan di Pulau Wangi-wangi memperlihatkan hasil bahwa tutupan
berkisar antara 20-70 % yang sebagian besar didominasi oleh Thallassodendron ciliatum. Pada daerah ini
lamun tumbuh pada substrat pasir dan karang. Ditemukan padang E. acoroides dengan tipe tunggal. Dari
tujuh jenis lamun yang tercatat, ada lima jenis yang terambil pada saat transek yaitu; Thalassodendron
ciliatum (928 ± 62 tegakan/m2), C. rotundata (96 ± 23 tegakan/m2), E. acoroides (32 ± 16 tegakan/m2), T.
hemprichi (192 ± 43 tegakan/m2) dan Halophila ovalis (64 ± 22 tegakan/m2). Total biomassa pada lokasi
ini adalah 147.43 ± 32,34 gram berat kering/m2. Komposisi jenis mulai dari garis pantai sampai tubir
adalah E. acroides dengan tipe tunggal, Thallasia hemprichii, Cymodocea rotundata dan Halophila ovalis,
kemudian E.acroides dan T. hemprichii, mendekati tubir didominasi oleh T. ciliatum.(Tabel 8)
50
Tabel 8. Rata-rata Kerapatan (tegakan / m2), Total Biomasa (gram berat kering/m2), Rata-rata Tutupan (%) dan Dominansi Jenis di Pulau Wangi-wangi.
Jenis Kerapatan Total biomassa Tutupan % dominansi
Thallassodendron ciliatum Enhalus acroides Cymodecea rotundata Thallasia hemprichii Halophila ovalis
928 ± 62 32 ± 16 96 ± 23 192 ± 43 64 ± 22
147.43 ± 32,34
50 ± 11,7% Thallassodendron
ciliatum
Kualitas Air
Oksigen terlarut
Kadar oksigen terlarut di perairan P. Wangi-wangi berkisar antara 5,68 - 7,06 ppm (6,35 ±0,40
ppm). Kisaran kadar oksigen terlarut di perairan P. Wangi-wangi tergolong tinggi dan homogen.
Kadar terendah (5,68 ppm) ditemukan di dalam areal pelabuhan Wangi-wangi (St. 3), sedangkan
kadar tertinggi (7,06 ppm) ditemukan di St. 7 (areal budidaya rumput laut). Terlihat adanya 2
kegiatan berbeda yang mempengaruhi kadar oksigen terlarut, kegiatan yang pertama adalah
budidaya rumput laut, kegiatan yang kedua adalah aktivitas pelabuhan. Kadar oksigen terlarut di
daerah budidaya rumput laut (St. 7,8,9,10) lebih tinggi dibandingkan dengan di daerah lainnya
(Gambar 17). Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan budidaya rumput laut berdampak positif karena
meningkatkan kadar oksigen terlarut. Kegiatan di pelabuhan hanya berdampak kecil terhadap
oksigen terlarut karena kadar oksigen terlarut di pelabuhan ini masih tergolong tinggi (di Indonesia,
kadar oksigen terlarut dalam pelabuhan sering kurang dari 4 ppm).
Nitrat dan Nitrit
Kadar nitrat (< 1,00 – 6,23 ppb; 1,77 ± 2,42 ppb) dan nitrit (< 1,00 – 3,42 ppb; 0,90 ± 1,34 ppb)
di perairan pulau Wangi-wangi juga sangat bervariasi. Kadar nitrat (6,23 ppb) dan nitrit (3,42 ppb)
yang tertinggi ditemukan di areal pelabuhan (Gambar 17). Kadar nitrat dan nitrit di Pelabuhan
Wangi-wangi juga lebih tinggi dibandingkan dengan yang di Pel. Tomia (nitrat = < 1 ppb, nitrit = 1,09
ppb) dan di Pel. Kaledupa (nitrat = < 1ppb, nitrit = < 1 ppb). Data-data ini menunjukkan bahwa
aktivitas pelabuhan telah menaikkan kadar nitrat dan nitrit. Namun pengaruh aktivitas pelabuhan ini
hanya terbatas di areal pelabuhan karena di luar areal pelabuhan kadar nitrit sudah normal ( < 1
ppb).
Fosfat
Kadar fosfat berkisar antara 1,57 – 10,60 ppb (4,28 ±2,82 ppb). Kisaran kadar fosfat seperti ini
juga biasa ditemukan di perairan-perairan Indonesia (perairan Takalar, Sulsel = 5,34 ±1,88 ppb;
Pantai Carita, Banten = 7,70 ±4,05 ppb). Seperti di perairan Pulau Tomia dan di perairan P.
Kaledupa, di perairan P. Wangi-wangi kadar fosfat (3,98 ±1,95 ppb) juga cukup bervariasi. Kadar
51
fosfat yang tertinggi (10,60 ppb) ditemukan di dekat pemukiman (St. 1), pada lokasi di sekitarnya
(St.2 = 4,58 ppb dan St. 3 = 3,08 ppb) menurun tajam (Gambar 17). Hal ini menunjukkan kegiatan
pemukiman telah menaikkan kadar fosfat, namun hal ini berdampak positif karena menyuburkan
perairan.
Zat Padat Tersuspensi (TSS)
Kadar TSS di perairan Pulau Wangi-wangi juga tergolong rendah, berkisar antara 2,76 – 4,84
ppm (3,77±0,64 ppm). Rendahnya nilai TSS ini menunjukkan bahwa perairan P. Tomia termasuk
perairan yang jernih. Kadar maksimum TSS dalam air laut untuk kehidupan biota yang ditetapkan
oleh Menteri Neg. Lingkungan Hidup adalah 80 ppm. Hal ini menunjukkan bahwa perairan Pulau
Wangi-wangi masih sesuai dengan Baku Mutu tersebut.
Salinitas dan pH
Di perairan P. Wangi-wangi salinitas (34,5 – 35 %o; 34,5+0,2 %o) dan pH air (8,14 – 8,22; 8,20
±0,02) juga homogen. Kisaran salinitas dan pH seperti ini adalah normal di perairan bebas dan tidak
terlihat adanya indikasi kegiatan yang mempengaruhi kedua parameter tersebut. Kisaran kedua
parameter tersebut masih sesuai dengan Baku Mutu Air Laut untuk kehidupan biota yaitu pH = 6,5-9
dan perubahan salinitas hanya boleh + 10 % (Men. KHL 1988).
52
Gambar 17. Distribusi oksigen, nitrat, nitrit, fosfat, TSS, salinitas dan pH di perairan Pulau Wangi-wangi, TN Wakatobi
53
Arus
Kecepatan arus di P. Wangi-wangi menunjukkan kekuatan yang hampir sama pada kedalaman
13, 20, 50 hingga 100 m. Kecepatan rata-rata selama pengukuran pada kedalaman 13 m sekitar 25
cm/det, kedalaman 20 m sebesar 19 cm/det, kedalaman 50 m sebesar 28 cm/det dan pada
kedalaman 100 m sekitar 23 cm/det. Kecepatan arus minimum adalah 1 cm/det sedangkan paling
besar sekitar 78 cm/det.
Pola arus sepanjang trek di perairan P. wangi-wangi menunjukkan pola yang hampir sama baik
pada kedalaman 13, 20, 50 dan 100 m. (Gambar 18a, 18b, 18c dan 18d). Pengukuran arus
dilakukan pada trek dekat pantai P. Wangi-wangi, umumnya arah arus di dekat pantai menuju ke
arah pantai pada periode pasang kemudian ke arah laut pada periode surut. Demikian halnya di
perairan sekitar P. Wangi-wangi pola arus menunjukkan arah yang seirama sesuai dengan kondisi
pasang surut di lokasi tersebut. Di bagaian selatan, timur hingga utara pulau tersebut arah arus
menuju pantai, sedangkan di bagian timur laut pulau arus menuju ke arah barat-utara atau menuju
ke arah laut. Pola arus ini besar kemungkinan mengikuti pengaruh pasang-surut, sehingga pada
periode pasang arus laut menuju pantai dan periode surut arus laut menuju ke arah laut dengan
kecepatan lebih besar dari pada periode pasang.
Gambar 18a. Kecepatan dan arah arus pada kedalaman 13 meter di sekitar pulau Wangi-wangi, Sulawesi Tenggara
54
Gambar 18b. Kecepatan dan arah arus pada kedalaman 20 meter di sekitar pulau Wangi-wangi, Sulawesi Tenggara
Gambar 18c. Kecepatan dan arah arus pada kedalaman 50 meter di sekitar pulau Wangi-wangi, Sulawesi Tenggara
55
Gambar 18d. Kecepatan dan arah arus pada kedalaman 100 meter di sekitar pulau Wangi-wangi, Sulawesi Tenggara
Pulau Kaledupa
Karang
Pantai Pulau Kaledupa mempunyai kenampakan yang hampir sama dengan pulau-pulau yang
ada disekitarnya yaitu rataan terumbu umumnya sebagian besar landai dengan rataan terumbu
yang lebar sekitar 200 m – 6 km. Pantai pasir putih dilanjutkan rataan terumbu yang lebar dengan
dasar berupa karang mati dan pasir lumpuran.
Rataan ditumbuhi oleh sea grass dari jenis Thalassia hemprichii dan Enhalus acoroides sebesar
60 % yang hampir merata lengkap dengan biota assosiasinya terutama dari jenis ekhinodermata
dan sponge. Beberapa jenis algae yang cukup melimpah diantaranya Sargassum sp dan Turbinaria
sp. Pada daerah ini terdapat juga budidaya rumput laut dari jenis Eucheuma. Pertumbuhan karang
dimulai pada kedalaman 2-4 meter yang berupa koloni-koloni kecil dengan keanekaragaman yang
tinggi. Pada rataan terumbu didominasi oleh Porites cylindrica, Porites nigrescens dan Acropora
palifera
Pengamatan dengan metoda RRA telah dilakukan di Pulau Kaledupa dan sekitarnya dengan
titik sampel sebanyak 45 stasiun, terdiri dari 25 stasiun di reef top dan 20 stasiun di reef edge,
sedangkan untuk LIT sebanyak 3 stasiun. Hasil pengamatan rata-rata dari stasiun RRA di daerah
reef top menunjukkan bahwa persentase tutupan yang cukup tinggi adalah pasir sebesar 24.52 %,
DCA sebesar 21.76 %, seagrass sebesar 23.80% dan Live coralnya sendiri sebesar 7.72 %. Pada
56
reef edge persentase tutupan rata-rata untuk rubble sebesar 14.20 %, DCA sebesar 19.00%, Soft
coral sebesar 14.49% dan Live coralnya sebesar 34.85 % (Tabel 9). Di daerah Reef Edge
presentase karang hidup >35% dijumpai di stasiun 1, 5, 6, 8, 10 dan 20 sedangkan didaerah Reef
Top tidak dijumpai persentase live coral >30%. Hasil RRA pada masing-masing stasiun baik di
rataan terumbu (reef top) maupun di lereng terumbu (reef edge) disajikan dalam gambar pada
Lampiran 2.
Mendekati tubir, pertumbuhan karang semakin banyak dan beragam, didominasi oleh pertumbuhan
Acropora acuminata , A. microphthalma dan Pocillopora verrucosa. Karang tumbuh dengan baik sampai
kedalaman 30 meter. Lereng terumbu agak curam dengan kemiringan antara 70-80o dan pada beberapa
lereng terumbu terlihat adanya parit-parit (grove/spur) yang tegak lurus dengan pantai. Hal ini
menandakan bahwa energi gelombang di daerah tersebut cukup tinggi. Pada kedalaman lebih dari 30
meter pertumbuhan karang mulai jarang, berupa patches-patches dan umumnya didominasi oleh karang
yang mempunyai bentuk pertumbuhan masive dan encrusting. Tetapi di lokasi ini masih didapatkan jenis
karang yang jarang dijumpai di daerah lain seperti marga Blastomussa dan Catalaphyllia. Komunitas
karang sangat majemuk dan didominasi oleh jenis karang dari family Faviidae, Agariciidae,
Caryophylliidae dan Mussidae. Rugositas cukup tinggi dengan kecerahan air berkisar antara 15-25 meter.
Pertumbuhan soft coral (karang lunak) mendominasi pada kedalaman 3-10 meter yang umumnya dari
marga Lobophytum dan Sinularia dengan ukuran koloni relatif besar, terutama pada tempat-tempat
karang mati .
Persentase tutupan karang hidup dari hasil LIT berkisar antara 40.01-62.85% (Lihat Tabel 2). Dari
hasil transek dan pengamatan bebas di Pulau Kaledupa dan sekitarnya diperoleh 64 marga yang meliputi
174 jenis karang batu (Lampiran 1). Hasil analisis diperoleh nilai indeks kemerataan berkisar antara
0.2623-0.2731, dan indeks keanekaragaman karang batu berkisar antara 1.6386-1.7009 (Lampiran 3).
Hal ini menunjukkan bahwa keragaman jenis karang batu di Pulau Kaledupa tergolong tinggi. Menurut
Stodart dan Johanson (19..) terumbu karang yang mempunyai indeks keanekaragaman > 0.5-0.75
tergolong cukup produktif, >0.75-1.0 tergolong produktif dan >1.0 tergolong sangat produktif. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa terumbu karang di Pulau Kaledupa tergolong sangat produktif.
Pertumbuhan biota lainnya yang cukup menonjol adalah Gorgonian dan soft coral (karang
lunak) dari jenis Sinularia sp. dan Lobophytum sp.. Gorgonian mempunyai variasi ukuran, bentuk
dan warna yang tinggi, umumnya tumbuh bergelantung dan menempel dinding sehingga memberi
kesan yang sangat artistik. Subergorgia mollis dan Echinogorgia sp. termasuk dalam golongan
Gorgonian dengan pertumbuhan yang sangat khas serta kaya akan warna dari putih, ungu sampai
merah jingga dan menambah kesan yang sangat menarik. Gorgonian banyak tumbuh dan
mendominasi pada kedalaman lebih dari 30 meter dan makin kedalam densitas pertumbuhannya
semakin tinggi.
Analisis Benthic Life Form memperlihatkan bahwa persentase karang hidup adalah 49.59%, karang
mati antara 0.72-4.67%, dan ditumbuhi algae yang cukup besar yaitu antara 19.4-20.89%. Secara
57
keseluruhan dapat dikatakankan bahwa kondisi terumbu karang daerah ini termasuk kategori baik.
Sementara biota lain seperti moluska, ekhinodermata dan krustasea memberi kontribusi yang relatif
rendah pada persentase tutupan. Namun demikian pada daerah ini perlu diusahakan konservasi untuk
menjaga kondisi ekosistem terumbu karangnya agar lebih baik.
Tabel 9. Hasil RRA di lereng terumbu (reef edge) dan rataan terumbu (reef top) di Pulau Kaledupa
Pulau Kaledupa (top) Pulau Kaledupa (edge) Benthic
Jumlah 25 stasiun Jumlah 20 stasiun
% Pasir 24.5200 ± 18.1914 9.3000 ± 9.0210
% Rubble 7.8800 ± 10.5330 14.2000 ± 6.8334
% Live Coral 7.7200 ± 9.3475 34.8500 ± 18.8352
% Dead Coral 3.1200 ± 6.7720 0.0000
% Dead Coral Algae 21.7600 ± 20.0172 19.0000 ± 11.6980
% Soft Coral 3.3600 ± 4.6805 14.6000 ± 14.4892
% Sponges 1.4400 ± 1.8502 5.3000 ± 2.7164
% Algae 4.9200 ± 5.2195 0.7500 ± 1.8317
% Seagrass 23.8000 ± 29.3428 0.0000
% Others 1.4800 ± 0.9626 2.0000 ± 0.4588
Ikan Karang
Berdasarkan kategori ikan yang tercatat dari hasil RRA terlihat bahwa jumlah jenis ikan target
dan indikator di lereng terumbu lebih banyak dibandingkan dengan rataan terumbu. Namun
sebaliknya jumlah jenis ikan major di lereng terumbu lebih sedikit dibandingkan dengan rataan
terumbu (Gambar 19). Fenomena ini sangat dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain adalah
waktu pencatatan yang relatif cepat.
Pengamatan ikan karang di lereng terumbu Pulau Kaledupa memperlihatkan bahwa Caesio
caerulaurea memiliki kelimpahan relatif tertinggi (23.52%). Kelimpahan relatif terendah dimiliki oleh
Lutjanus fulfifamma (2.30%). Di rataan terumbu kelimpahan relatif tertinggi dimiliki oleh
Pomacentrus tripunctatus (15.48%), sedangkan kelimpahan relatif terendah adalah Chrysiptera
cynea, yaitu 2.75% (Tabel 10 & 11)
58
0
100
200
300
400
500
600
700
Rataan Terumbu
Major 62 663
Target 27 164
Indikator 8 32
Jml jenis Jml indv.
0
1000
2000
3000
Lereng Terumbu
Major 59 1359
Target 68 2604
Indikator 23 250
Jml jenis Jml Individu
Gambar 19. Jumlah jenis dan jumlah individu ikan berdasarkan kategori ikan yang tercatat hasil RRA selama penelitian di Pulau Kaledupa Tabel 10. Kelimpahan dan kelimpahan relatif dari 10 jenis ikan karang yang dominan yang dilakukan di rataan terumbu (reef edge) P. Keledupa
Jenis Kelimpahan Kelimpahan relatif Caesio caerulaurea Pterocaesio trilineata Chromis ternatensis Siganus canaliculatus Caesio lunaris Amblyglyphydodon curacao Chromis weberi Chromis xanthura Lutjanus fulviflamma Pterocaesio tile
747 480 221 171 165 162 137 120 95 94
23.52% 15.15% 6.98% 5.40% 5.21% 5.11% 4.32% 3.79% 2.30% 2.97%
Tabel 11. Kelimpahan dan kelimpahan relatif dari 10 jenis ikan karang yang dominan yang dilakukan dilereng terumbu (reef top) P.Kaledupa
Jenis Kelimpahan Kelimpahan relatif Pamacentrus tripuntatus Pomacentrus mollucensis Dascyllus aruanus Pterocaesio tile Chromis amboinensis Thalassoma hardwicki Chromis viridid Dascyllus trimaculatus Pomacentrus bankanensis Chrysiptera cyanea
118 80 45 31 30 30 28 24 24 21
15.48% 10.50% 5.51% 4.07% 3.94% 3.94% 3.67% 3.15% 3.15% 2.75%
59
Lamun
Padang lamun di pulau Kaledupa didominasi oleh Thalassia hemprichii dan Enhalus acoroides,
hanya pada bagian barat pulau didominasi oleh Thalassodendron ciliatum. Tutupan lamun berkisar antara
40-70%, dengan rata-rata tutupan adalah 60 %. Kerapatan masing-masing adalah Thalassodendron
ciliatum (180 ± 89 tegakan/m2), Enhalus acoroides (40 ± 28 tegakan/m2), Cymodocea rotundata (176 ±
64 tegakan/m2 ) dan Thalassia hemprichii (188 ± 99 tegakan/m2). Total biomassa adalah 206.38 ± 40,83
gram berat kering /m2. Komposisi jenis mulai dari garis pantai sampai tubir adalah E. acroides; E.
acroides dan T. hemprichii; Syringodium isoetifolium dan H. ovalis, T. hemprichii dan C. rotundata.
Mendekati tubir pada bagian barat pulau ditemukan tipe vegetasi tunggal dari T. ciliatum.
Tabel 12. Rata-rata Kerapatan (tegakan / m2), Total Biomasa (gram berat kering/m2), Rata-rata Tutupan (%) dan Dominansi Jenis di Pulau Kaledupa
Jenis Kerapatan (N=12)
Total biomassa (N=10)
Tutupan % (N=6)
dominansi
Thallassodendron ciliatum Enhalus acroides Cymodecea rotundata Thallasia hemprichii
180 ± 89 140 ± 28 176 ± 64 188 ± 99
206.38 ± 40,83 60 ± 9,8 Thallassia hemprichii Enhalus acroides
Kualitas Air
Oksigen terlarut
Kadar oksigen terlarut di perairan P. Kaledupa berkisar antara 5,28 - 7,26 ppm (6,22 ±0,64 ppm).
Kisaran kadar oksigen terlarut di perairan P. Kaledupa juga tergolong tinggi dan homogen. Kadar
terendah (5,28 ppm) ditemukan di Stasiun 3 (dalam areal rataan terumbu karang). Di perairan
Pulau Kaledupa tidak terlihat adanya pengaruh kegiatan manusia yang akan menurunkan kadar
oksigen. Hal ini terlihat dari kadar oksigen terlarut di dekat lokasi pemukiman (St. 5 dan St. 11) dan
di dalam pelabuhan (St. 7). Di dekat lokasi pemukiman kadar oksigen terlarut masih tinggi yaitu 5,67
ppm di St. 5 dan 5,60 ppm di St. 11. Demikian juga di lokasi pelabuhan (St. 7) yaitu 6,78 ppm
(Gambar 20).
Nitrat dan Nitrit
Kadar nitrat (< 1,00 – 9.69 ppb; 1,74 ±2,86 ppb) dan nitrit (< 1,00 – 1,09 ppb; 0,07 ±0,28 ppb) di
perairan P. Kaledupa sangat bervariasi. Kisaran kadar nitrat dan nitrit seperti ini biasa ditemukan di
perairan Indonesia. Kadar nitrat yang tertinggi (9,69 ppb) ditemukan di St. 12 (tidak ada kegiatan
penduduk), sedangkan di lokasi yang ada kegiatan penduduk (pemukiman St. 5 dan St. 11) dan
60
pelabuhan (St. 7) kadar nitrat tidak terdeteksi(< 1 ppb). Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada
pengaruh kegiatan pemukiman dan pelabuhan terhadap kadar nitrat di perairan P. Kaledupa.
Di perairan yang masih bersih atau perairan yang kadar oksigen terlarutnya tergolong
tinggi (> 5 ppm), kadar nitrit umumnya tidak terdeteksi ( < 1 ppb) dan lebih rendah dari kadar nitrat.
Hal ini juga dijumpai di perairan P. Kaledupa, yaitu kadar nitritnya rendah (< 1,00 ppb) dan tidak
ditemukan adanya lokasi yang kadar nitritnya lebih tinggi dari kadar nitratnya. Hal ini menunjukkan
bahwa perairan P. Kaledupa masih benar-benar alami.
Fosfat
Kadar fosfat berkisar antara 1,57 – 7,59 ppb (3,98 ±1,95 ppb). Kisaran kadar fosfat seperti ini
juga biasa ditemukan di perairan-perairan Indonesia (perairan Takalar, Sulsel = 5,34 ±1,88 ppb;
Pantai Carita, Banten = 7,70 ±4,05 ppb). Seperti di perairan Pulau Tomia, kadar fosfat di perairan P.
Kaledupa juga cukup bervariasi (3,98 ±1,95 ppb). Walaupun kadar fosfat di perairan P. Kaledupa
cukup bervariasi namun belum terlihat adanya kegiatan yang mempengaruhi kadar fosfat di perairan
ini. Hal ini dapat dilihat dari kadar fosfat di sekitar lokasi pemukiman (St. 5 dan St. 11) dan di lokasi
pelabuhan (St. 7). Kadar fosfat di dekat lokasi pemukiman (St. 5 = 3,08 ppb dan St. 11 = 3,08 ppb)
serta di lokasi pelabuhan (St. 7 = 1,57 ppb) ternyata lebih rendah dibandingkan dengan di lokasi
yang jauh dari lokasi pemukiman dan dari areal pelabuhan (Gambar 20).
Zat Padat Tersuspensi (TSS)
Perairan Pulau Kaledupa juga tergolong jernih karena kadar TSS-nya masih rendah, berkisar
antara 3,42 – 4,80 ppm (3,99±0,39 ppm). Kadar maksimum TSS dalam air laut untuk kehidupan
biota yang ditetapkan oleh Menteri Neg. Lingkungan Hidup adalah 80 ppm. Hal ini menunjukkan
bahwa perairan Pulau Kaledupa masih sesuai dengan Baku Mutu tersebut.
Salinitas dan pH
Salinitas air di 15 lokasi pengamatan adalah sama, yaitu 35 %o. Ditinjau dari salinitasnya, maka
perairan P. Kaledupa benar-benar homogen. Demikian juga dengan nilai pH-nya, hampir tidak
terlihat perbedaan yang nyata (8,01 –8,43; 8,24 ±0,13). Kisaran salinitas dan pH seperti ini adalah
normal di perairan bebas dan tidak terlihat adanya indikasi kegiatan yang mempengaruhi kedua
parameter tersebut. Kisaran kedua parameter tersebut masih sesuai dengan Baku Mutu Air Laut
untuk kehidupan biota yaitu pH = 6,5-9 dan perubahan salinitas hanya boleh + 10 % (Men. KHL
1988).
61
Gambar 20. Distribusi oksigen terlarut, nitrat, nitrit, fosfat, TSS, salinitas dan pH di perairan Pulau Kaledupa, TN Wakatobi
62
Arus
Trek ADCP di pulau Kaledupa dengan lama perekaman sepanjang trek sekitar 7 jam diperoleh
sebagai berikut: pada kedalaman 13 m, 20 dan 50 m kecepatan arus sekitar 36 cm/det, 34 dan 31
cm/det berturut-turut. Kecepatan arus pada kedalaman 13 m hingga 50 m, besarnya hampir sama
dengan perbedaan yang relatif kecil. Kecepatan minimum yang diperoleh selama pengukuran 1
cm/det dan maksimum 100 cm/det.
Arus laut yang lebih kuat dijumpai di sebelah timur P. Kaledupa dengan arah ke timur laut baik
pada kedalaman 13, 20, 50 dan 100 m.
Gambar 21a. Kecepatan dan arah arus pada kedalaman 13 meter Di sekitar pulau Kaledupa, Sulawesi Tenggara
Gambar 21b. Kecepatan dan arah arus pada kedalaman 20 meter Di sekitar pulau Kaledupa, Sulawesi Tenggara
63
Gambar 21c. Kecepatan dan arah arus pada kedalaman 50 meter Di sekitar pulau Kaledupa, Sulawesi Tenggara
Gambar 21d. Kecepatan dan arah arus pada kedalaman 100 meter Di sekitar pulau Kaledupa, Sulawesi Tenggara
64
Pulau Tomia
Karang
Pulau Tomia
Pantai di Pulau Tomia mempunyai kenampakan yang hampir sama dengan pulau-pulau yang ada
disekitarnya yaitu rataan terumbu umumnya landai dengan rataan terumbu yang lebar sekitar 1.30 m –
1.2 km. Pantai sebagian besar landai dengan area rataan terumbu sempit dan dasar berupa karang mati
serta pasir lumpuran yang ditumbuhi lamun jenis Thallasodendron ciliatum sekitar 60 % serta diselingi
oleh pertumbuhan alga Halimeda sp.
Pengamatan di Pulau Tomia telah dilakukan sebanyak 10 stasiun RRA untuk reef edge, untuk
reef top tidak dilakukan dan 1 stasiun LIT. Hasil pengamatan rata-rata dari stasiun RRA di daerah
reef edge menunjukkan bahwa persentase tutupan rubble sebesar 10.60 %, DCA sebesar 14.80 %,
Soft coral sebesar 14.60% dan Live coral sebesar 32.30% (Tabel 13). Didaerah Reef Edge
presentase karang hidup >35% dijumpai di stasiun 1, 2, 3, 5, 9 dan 36 sedangkan didaerah Reef
Top tidak dijumpai. Hasil RRA pada masing-masing stasiun baik di rataan terumbu (reef top)
maupun di lereng terumbu (reef edge) disajikan dalam gambar pada Lampiran 2.
Lereng terumbu agak terjal sampai kedalaman lebih dari 50 meter. Di lereng terumbu banyak dijumpai
adanya parit-parit (grove/spuur) yang tegak lurus pantai. Pertumbuhan karang pada kedalaman 15 meter
keatas yang umumnya didominasi oleh karang yang mempunyai bentuk pertumbuhan masive dan
encrusting terutama pada tempat-tempat yang terlindung. Pada tempat yang terbuka didominasi oleh oleh
pertumbuhan karang bercabang, dari kelompok Acroporidae.
Hasil analisa benthic life form diperoleh persentase tutupan karang hidup sekitar 42.71 % (Lihat Tabel
2) . Dari hasil transek dan pengamatan bebas di Pulau Tomia dan sekitarnya diperoleh 56 marga yang
meliputi 146 jenis karang batu (Lampiran 1). Nilai indeks kemerataan 0.2596, dan indeks
keanekaragaman karang batu sebesar 1.5913. Hal ini menunjukkan bahwa keragaman jenis karang batu
di Pulau Tomia tergolong tinggi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa terumbu karang di Pulau Tomia
tergolong sangat produktif.
Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa kondisi terumbu karang daerah ini termasuk kategori
sedang. Walaupun dalam analisis benthic life form ditemukan karang mati sekitar 1.68 %, tetapi
kenyataannya daerah ini ditumbuhi algae yang cukup besar antara 26.52 % jadi lebih sedikit dibandingkan
dengan karang batu hidup. Melihat kondisi terumbu karang yang demikian memang cukup
memprihatinkan, untuk itu diperlukan usaha-usaha untuk menjaga kelestarian terumbu karang tersebut
melalui monitoring atau penyuluhan tentang pentingnya ekosistem terumbu karang dalam menunjang
pariwisata khususnya wisata bahari.
65
P. Lintea
Pulau Lintea berbentuk memanjang kearah timur barat dengan panjang pulau sekitar 5 km.
Merupakan pulau yang relatif besar dengan panjang rataan terumbu sekitar 15.60 km dan lebar 9.75 km.
Rataan terumbu agak landai sampai kedalaman 3 meter dan cenderung berkembang kearah barat dan
selatan. Pantai mempunyai kenampakan yang hampir sama dengan pulau-pulau yang ada disekitarnya
yaitu rataan terumbu umumnya sebagian besar landai dengan rataan terumbu yang lebar sekitar 1 meter
– 10 km. Terumbu karang di Pulau Lintea merupakan terumbu karang tepi (fringing reef). Secara umum
profil dasar pulau ini adalah sama yang pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua tipe dasar yaitu rataan
terumbu dengan rampart (gudus) di dekat tubir, dan rataan terumbu tanpa gudus. Rataan terumbu tanpa
gudus terdapat di sebelah timur sampai tenggara, sedangkan rataan terumbu yang menghadap kearah
utara, barat sampai selatan mempunyai gudus yang berada dekat tubir. Area rataan terumbu yang lebar
dengan dasar berupa karang mati dan pasir lumpuran ditumbuhi oleh sea grass dari jenis
Thallasodendron ciliatum sebesar 70 % yang hampir merata. Biota yang berasosiasi di dalamnya
adalah beberapa jenis ekhinodermata, sponge dan beberapa jenis algae yang cukup melimpah
diantaranya Sargassum sp dan Halimeda sp.
Pengamatan di Pulau Lintea telah dilakukan sebanyak 43 stasiun RRA, yang terdiri dari 25
stasiun di reef top dan 18 stasiun di reef edge, sedangkan untuk LIT sebanyak 1 stasiun. Hasil
pengamatan rata-rata dari stasiun RRA di daerah reef top menunjukkan bahwa persentase tutupan
yang cukup tinggi adalah pasir sebesar 27.24 %, rubble sebesar 11.80 %, DCA sebesar 30.04 %,
seagrass sebesar 13.68% dan Live coralnya sendiri sebesar 2.44 %. Pada reef edge persentase
tutupan rata-rata untuk rubble sebesar 10.44 %, DCA sebesar 19.50%, Soft coral sebesar 26.55%
dan Live coralnya sebesar 22.33 % (Tabel 13). Hasil RRA pada masing-masing stasiun baik di
rataan terumbu (reef top) maupun di lereng terumbu (reef edge) disajikan dalam gambar pada
Lampiran 4.
Mendekati daerah tubir pertumbuhan karang semakin banyak dan beragam, didominasi oleh
pertumbuhan Porites cylindrica , Acropora brueggemmani, Diploastrea heliopora, Montipora sp.dan
Heliopora coerulea. Karang tumbuh dengan baik sampai kedalaman 30 meter. Lereng terumbu agak
curam dengan kemiringan antara 60-80o sampai kedalaman lebih dari 50 meter dan pada beberapa
tempat juga ditemukan adanya parit-parit (moats) yang tegak lurus dengan pantai.
Pada kedalaman lebih dari 40 meter pertumbuhan karang mulai jarang dan berupa patches-patches.
Komunitas karang sangat majemuk dan didominasi oleh jenis karang dari family Faviidae, Agariciidae,
Caryophylliidae dan Mussidae. Rugositas cukup tinggi dengan kecerahan air berkisar antara 15-25 meter.
Pertumbuhan soft coral (karang lunak) mendominasi pada kedalaman 1-10 meter yang umumnya dari
marga Lobophytum dan Sinularia dengan ukuran koloni relatif besar, terutama pada tempat-tempat
karang mati . Persentase tutupan karang hidup hasil LIT berkisar antara 23.85 – 54.07% (Lihat Tabel 2).
Dari hasil transek dan pengamatan bebas di Pulau Lintea diperoleh 64 marga yang meliputi 163 jenis
karang batu (Lampiran 1). Hasil analisis diperoleh nilai indeks kemerataan berkisar antara 0.2669-0.2738,
66
dan indeks keanekaragaman karang batu berkisar antara 1.5893-1.6667. Ini menunjukkan tingginya
keragaman jenis karang batu di Pulau Lintea. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa terumbu karang
di Pulau Lintea tergolong sangat produktif.
Secara keseluruhan dapat dibedakan bahwa kondisi terumbu karang daerah ini termasuk kategori
baik. Walaupun dalam analisis benthic life form sedikit ditemukan karang mati antara 2.29-4.69 %, tetapi
kenyataannya daerah ini ditumbuhi algae yang cukup besar antara 8.32-22.05 % jadi lebih sedikit
dibandingkan dengan karang batu hidup. Namun demikian pada daearah ini perlu diusahakan konservasi
untuk menjaga kondisi ekosistem terumbu karangnya agar lebih baik.
Tabel 13. Hasil RRA di lereng terumbu (reef edge) dan rataan terumbu (reef top) di Pulau Tomia dan Lintea, Oktober 2001
Pulau Lintea (Top) Pulau Lintea (edge) Pulau Tomia (edge) Benthic
Jumlah 25 stasiun Jumlah 18 stasiun Jumlah 10 stasiun
% Pasir 27.2400 ± 34.1153 4.9444 ± 2.0428 8.0000 ± 2.1602
% Rubble 11.8000 ± 10.9810 10.4444 ± 2.8122 10.600 ± 2.5906
% Live Coral 2.4400 ± 2.4509 22.3333 ± 5.9508 32.300 ± 7.9310
% Dead Coral 6.1600 ± 5.9839 1.9444 ± 3.6858 3.0000 ± 3.4960
% Dead Coral Algae 30.0400 ± 20.0925 19.5000 ± 10.1010 14.800 ± 5.8080
% Soft Coral 0.5200 ± 1.6361 26.5556 ± 6.8704 14.600 ± 6.0773
% Sponges 1.4000 ± 1.7559 6.5556 ± 2.7701 6.2000 ± 3.0478
% Algae 5.1600 ± 3.5903 6.2778 ± 3.2864 8.5000 ± 4.8819
% Seagrass 13.6800 ± 7.0458 0.0000 0.0000
% Others 1.5600 ± 0.8206 1.4444 ± 0.5113 2.0000 ± 0.0000
Ikan Karang
Berdasarkan kategori ikan yang tercatat dari hasil RRA terlihat bahwa kelompok ikan major,
target dan indikator di lereng terumbu lebih banyak daripada di rataan terumbu baik dari jumlah jenis
maupun jumlah individu (Gambar 22). Perbedaan ini sangat dipengaruhi antara lain oleh kondisi
terumbu karang dan pasang surut di wilayah tersebut.
Pengamatan ikan karang di lereng terumbu Pulau Tomia memperlihatkan bahwa Chromis viridis
memiliki kelimpahan relatif tertinggi (10.54%). Kelimpahan relatif terendah dimiliki oleh Chromis
tertatensis (3.73%). Di rataan terumbu kelimpahan relatif tertinggi dimiliki oleh Dascyllus arunatus
(15.92%), sedangkan kelimpahan relatif terendah adalah Abudefduf saxatilis dan Halichoeres sp.
yaitu 3.28% (Tabel 14 & 15)
67
0
100
200
300
400
500
600
Rataan Terumbu
Major 43 533
Target 24 81
Indikator 6 23
Jml jenis Jml indv.
0
200
400
600
800
Lereng Terumbu
Major 45 795
Target 53 481
Indikator 19 131
Jml jenis Jml Individu
Gambar 22. Jumlah jenis dan jumlah individu ikan berdasarkan kategori ikan yang tercatat hasil RRA selama penelitian di Pulau Tomia
Tabel 14. Kelimpahan dan Kelimpahan Relatif dari 10 jenis ikan karang yang dominan yang dilakukan di lereng terumbu (reef edge) P. Tomia
Jenis Kelimpahan Kelimpahan relatif Chromis viridis Chromis xanthura Dascyllus reticulatus Scarus sp Caesio caerulaurea Pseudoanthias squamipinnis Chromis margaritifer Dascyllus trimaculatus Chaetodon kleini Chromis tertatensis
113 97 80 74 70 63 62 61 47 40
10.54% 9.05% 7.46% 6.90% 6.53% 5.88% 5.78% 5.69% 4.38% 3.73%
Tabel 15. Kelimpahan dan Kelimpahan Relatif dari 10 jenis ikan karang yang dominan yang dilakukan di rataan terumbu (reef top) P.Tomia
Jenis Kelimpahan Kelimpahan relatif Dascyllus aruanus Apogon hartzfeldi Pomacentrus chrysurus Dascyllus reticulatus Amblyglyphododon leucogaster Halichoeres purpurescens Halichoeres trimaculatus Thallasoma hardwicki Audefduf saxatilis Halichoeres sp.
92 82 35 33 27 26 26 26 19 19
15.92% 14.18% 6.05% 5.71% 4.67% 4.50% 4.50% 4.50% 3.28% 3.28%
Lamun
Padang lamun di Pulau Tomia didominasi oleh Thalassodendron ciliatum, lamun tersebut tumbuh di
substrat pasir-lumpuran, pasir dan karang. Tutupan lamun berkisar antara 20-80% dengan rata-rata
68
tutupan adalah 60%. Ada tiga jenis yang terambil pada transek yaitu Thalassodendron ciliatum (432 ± 99
tegakan/m2), Thalassia hemprichii (192 ± 64 tegakan/m2) dan Halophila ovalis (176 ± 43 tegakan/m2).
Total biomassanya adalah 196.51 ± 37,87 gram kering basah/m2. Mintakat mulai dari garis pantai
sampai ke tubir selalu dengan kombinasi T. ciliatum, yaitu T. cilliatum dan T.hemprichii; T. cilliatum,
T.hemprichii dan H. ovalis dan pada tubir vegetasi tunggal T.cilliatum.
Luas padang lamun di Atol Tomia mempunyai rata-rata tutupan 70%. Thalassodendron ciliatum
merupakan jenis lamun yang dominan dari enam jenis lamun yang terambil pada saat transek. Pada
Tabel 33 menunjukkan bahwa kerapatan jenis lamun masing-masing : Thalassodendron ciliatum (807 ±
118), Enhalus. acoroides (32 ± 19 tegakan/m2), T. hemprichii (752 ± 99 tegakan/m2) dan Halodule
uninervis (2304 ± 85 tegakan/m2). Syringodium isoetifolium (256 ± 43 tegakan/m2), Halophila ovalis (3264
± 167 tegakan/m2). Total biomassanya adalah 272,38±48,71 gram berat kering /m2. Komposisi jenis
mulai dari garis pantai sampai tubir adalah : E.acroides dan H.Uninervis; T.cilliatum dan T.hemprichii dan
daerah tubir oleh vegetasi tunggal T.cilliatum
Tabel 16. Rata-rata Kerapatan (tegakan / m2), Total Biomasa (gram berat kering m2), Rata-rata Tutupan dan Dominansi Jenis di Pulau Tomia dan Atol Tomia
Jenis Kerapatan
(N=10) Total biomassa
(N=6)
Tutupan %
(N=10) dominansi
Pulau Tomia Thallassodendron ciliatum Thallasia hemprichii Halophila ovalis
432 ± 99 192 ± 64 176 ± 43
196.51 ± 37,87
60 ± 10,0
Thallassodendron
ciliatum
Jenis Kerapatan
(N=6) Total biomassa
(N=6)
Tutupan %
(N=10) dominansi
Atol Tomia Thallasodendron cilitum Enhalus acroides Thallasia hemprichii Syringodium isoetifolium Halodule pinifolia Halophila ovalis
807 ± 118 32 ± 19 752 ± 99 256 ± 43
2304 ± 85 3264 ± 167
272.38 ± 48,71
70 ± 7,5
Thallassodendron
ciliatum
Kualitas Air
Oksigen terlarut
Kadar oksigen terlarut di perairan Pulau Tomia berkisar antara 5,53 - 7,59 ppm (6,54 ±0,51
ppm). Dibandingkan dengan di perairan pantai lainnya di Indonesia, kisaran kadar ini tergolong
tinggi dan homogen. Kadar terendah (5,53 ppm) ditemukan di Stasiun 10 (dalam areal Pelabuhan
Tomia). Disini terlihat adanya pengaruh aktivitas pelabuhan terhadap kadar oksigen terlarut.
69
Namun pengaruh aktivitas pelabuhan ini tergolong kecil karena di areal pelabuhan biasanya kadar
oksigen terlarut lebih rendah dari 4 ppm. Selain itu di Stasiun 9 (lokasi terumbu karang yang
terdekat dengan Stasiun 10), kadar oksigen terlarut sudah mencapai 6,00 ppm. Pengaruh aktivitas
penduduk (pemukiman penduduk di dekat St. 8) terhadap penurunan kadar oksigen terlarut juga
tidak ada. Hal ini ditandai dengan tingginya kadar oksigen terlarut di stasiun 8 (6,44 ppm) yang
sudah sama dengan di lokasi lainnya sekitar Pulau Tomia (Gambar 23).
Nitrat dan Nitrit
Berbeda dengan oksigen terlarut, kadar nitrat di perairan Tomia sangat bervariasi, yaitu berkisar
antara < 1,00 - 22,46 ppb (2,85 ±5,84 ppb). Kisaran kadar ini biasa ditemukan di perairan Indonesia.
Kadar tertinggi (22,46 ppb) ditemukan di sebelah timur P. Tomia Stasiun 13 (Gambar 23).
Di perairan yang masih bersih atau perairan yang kadar oksigen terlarutnya tergolong tinggi (> 5
ppm), kadar nitrit umumnya tidak terdeteksi ( < 1 ppb) dan lebih rendah dari kadar nitrat. Di perairan
P. Tomia, dari 14 lokasi pengamatan hanya 4 lokasi yang kadarnya > 1ppb yaitu St. 2 (2,26 ppb);
St. 7 (3,81 ppb), St. 10 (1,091 ppb) dan di St. 12 (3,03 ppb)(Tabel 34). Di St. 7, kadar nitrit (3,81
ppb) bahkan lebih tinggi dari kadar nitratnya (2,95 ppb). Kondisi ini bukan disebabkan oleh dampak
kegiatan manusia tetapi keadaan alamnya yang seperti itu. Hal ini dapat dilihat dari perbandingan
kadar nitrit di lokasi dekat pemukiman (St. 8 dan St. 14) serta lokasi yang jauh dari pemukiman (St.
2 dan St. 7). Di lokasi dekat pemukiman (St. 8 dan St. 14), kadar nitritnya rendah (< 1 ppb),
sedangkan di lokasi yang jauh dari pemukiman kadar nitritnya tinggi yaitu 2,56 ppb di St. 2 dan 3,81
ppb di St. 7 (Gambar 23).
Fosfat
Kadar fosfat berkisar antara 3,08 - 12,11 ppb (5,34 ±2,42 ppb). Kadar tertinggi (12,11 ppb)
ditemukan di St. 5, sedangkan kadar terendah (3,08 ppb ditemukan di St. 8, St. 9 dan St. 12
(Gambar 29). Kisaran kadar fosfat seperti ini juga biasa ditemukan di perairan-perairan Indonesia
(perairan Takalar, Sulsel = 5,34 ±1,88 ppb; Pantai Carita, Banten = 7,70 ±4,05 ppb). Berbeda
dengan nitrat dan nitrit yang kadarnya sangat bervariasi, kadar fosfat di perairan P. Tomia tidak
begitu bervariasi ((5,34 ±2,42 ppb). Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada kegiatan di Pulau Tomia
yang mempengaruhi kadar fosfat.
Zat Padat Tersuspensi (TSS)
Kadar TSS di perairan Pulau Tomia berkisar antara 3,42 – 4,80 ppm (3,99±0,39 ppm). Kisaran
kadar TSS ini tergolong rendah dibandingkan dengan yang biasanya ditemukan di perairan-perairan
Indonesia. Rendahnya nilai TSS ini menunjukkan bahwa perairan P. Tomia termasuk perairan yang
jernih. Kadar maksimum TSS dalam air laut untuk kehidupan biota yang ditetapkan oleh Menteri
70
Neg. Lingkungan Hidup adalah 80 ppm. Hal ini menunjukkan bahwa perairan Pulau Tomia masih
sesuai dengan Baku Mutu tersebut.
Salinitas dan pH
Salinitas dan pH di perairan Pulau Tomia berkisar antara 34,5-35,0 %o dan 8,18-8,50 . Kisaran
salinitas dan pH seperti ini adalah normal di perairan bebas. Dari nilai rata-rata dan standar deviasi
salinitas (34,9 ±0,2 %o) dan pH (8,3 ±0,1) terlihat bahwa perairan Pulau Tomia mempunyai nilai
salinitas dan pH yang sangat homogen dan tidak terlihat adanya indikasi kegiatan yang
mempengaruhi kedua parameter tersebut. Kisaran kedua parameter tersebut masih sesuai dengan
Baku Mutu Air Laut untuk kehidupan biota yaitu pH = 6,5-9 dan perubahan salinitas hanya boleh +
10%(Men.KLH1988).
71
Gambar 23. Distribusi oksigen terlarut, nitrat, nitrit, fosfat, TSS, salinitas dan pH di perairan Pulau Tomia, TN Wakatobi
72
Arus
Trek ADCP di pulau Tomea dengan lama perekaman sepanjang trek sekitar 5 jam kecepatan
arus berkisar antara 0.01 – 0.96 m/det dengan kecepatan rata-rata pada setiap kedalaman sebagai
berikut: pada kedalaman 13 m, 20 ,50 dan 100 m kecepatan arus berturut-turut adalah sekitar 40
cm/det, 40 cm/det, 34 cm/det dan 26 cm/det. Kecepatan arus pada kedalaman 13 m hingga 20 m,
kuat arus hampir sama, sedangkan semakin dalam kecepatan arus makin menurun.
Gambar 24a. Kecepatan dan arah arus pada kedalaman 13 meter Di perairan pulau Tomia, Sulawesi Tenggara
Gambar 24b. Kecepatan dan arah arus pada kedalaman 20 meter Di perairan pulau Tomia, Sulawesi Tenggara
73
Gambar 24c. Kecepatan dan arah arus pada kedalaman 50 meter Di perairan pulau Tomia, Sulawesi Tenggara
Gambar 24d. Kecepatan dan arah arus pada kedalaman 100 meter Di perairan pulau Tomia, Sulawesi Tenggara
74
Atol Kaledupa
Karang
Rataan terumbu sangat luas dan pada beberapa lokasi terlihat adanya rampat (gudus) yang muncul
pada waktu air surut. Di dalam rataan terumbu karang terdapat goba-goba yang mempunyai kedalaman
antara 5-15 meter, dan banyak ditumbuhi oleh karang masive dan sub-massive serta didominasi oleh
pertumbuhan soft coral dari marga Sinularia sp dan Lobophytum sp.. Area rataan terumbu yang lebar
dengan dasar berupa karang mati dan pasir lumpuran ditumbuhi oleh sea grass dari jenis
Thallasodendron ciliatum sebesar 90% yang hampir merata lengkap dengan biota assosiasinya terutama
beberapa jenis ekhinodermata, sponge dan beberapa jenis algae yang cukup melimpah diantaranya
Sargassum sp dan Turbinaria sp.
Pengamatan di Atol Kaledupa telah dilakukan sebanyak 108 stasiun RRA, yang terdiri dari 36
stasiun di reef top dan 72 stasiun di reef edge, sedangkan untuk LIT sebanyak 3 stasiun. Hasil
pengamatan rata-rata dari stasiun RRA di daerah reef top menunjukkan bahwa persentase tutupan
yang cukup tinggi adalah pasir sebesar 10.47 %, rubble sebesar 9.06 %, DCA sebesar 19.28 %,
Soft coral sebesar 20.17% dan Live coralnya sendiri sebesar 23.31 %. Sedangkan pada reef edge
persentase tutupan rata-rata untuk pasir sebesar 16.31%, rubble sebesar 14.69 %, DCA sebesar
13.92%, Soft coral sebesar 14.50% dan Live coralnya sebesar 19.03 % (Tabel 17). Didaerah reef
edge, presentase karang hidup diatas 35% dijumpai di stasiun 5, 22, 30, 37 dan 62 , sedangkan
didaerah reef top distasiun 14 dan 26. Hasil RRA pada masing-masing stasiun baik di rataan
terumbu (reef top) maupun di lereng terumbu (reef edge) disajikan dalam gambar pada Lampiran 4.
Mendekati tubir pertumbuhan karang semakin baik dan beragam, didominasi oleh pertumbuhan
Acropora gemmifera , Seriatopora hystrix dan Porites lutea. Lereng terumbu agak terjal dengan
kemiringan >70o dan pertumbuhan karang didominasi oleh Acropora spp dan Porites spp dengan ukuran
yang relatif kecil. Di lokasi ini juga ditemukan adanya parit-parit (moats) yang tegak lurus dengan tubir. Hal
ini menunjukkan bahwa daerah tersebut selalu mendapat tekanan arus dan gelombang yang cukup kuat.
Pada kedalaman 5 –10 meter komunitas karang sangat majemuk dan didominasi oleh jenis karang dari
suku Poritidae, Faviidae, Agariciidae, Mussidae dan Merulinidae. Rugositas cukup tinggi dengan
kecerahan air berkisar antara 15 –25 meter.
Pertumbuhan karang di atol kaledupa ini mempunyai keunikan yang sangat menarik karena pada
beberapa lereng terumbunya mempunyai kenampakan komunitas yang berbeda. Pada habitat tertentu
karang berkembang secara optimal dan mencapai proses suksesi kearah kondisi klimaks dimana pada
area yang cukup luas hanya didominasi oleh beberapa jenis karang tertentu. Pada kedalaman lebih dari
40 meter pertumbuhan karang mulai jarang dan berupa patches-patches. Dan di lokasi ini ditemukan
jenis karang yang jarang dijumpai didaerah lain seperti marga Zoopilus, Blastomussa, Catalaphyllia dan
Heteropsamia.
75
Pertumbuhan soft coral (karang lunak) mendominasi pada kedalaman 3-10 meter yang umumnya
dari marga Lobophytum dan Sinularia dengan ukuran koloni relatif besar, terutama pada tempat-tempat
karang mati . Pertumbuhan biota lainnya yang cukup menonjol dan bernilai ekonomi penting adalah
Holothurians dari jenis Holothuria edulis, dan Thelenota ananas dan Gastropoda dari jenis Trochus
niloticus dan Trochus maculatus, yang mempunyai variasi ukuran dan umumnya hidup menempel di sela-
sela karang . Selain itu dari kelompok soft coral adalah Dendronephthya sp. juga termasuk dalam
golongan karang lunak dengan pertumbuhan yang sangat khas serta kaya akan warna dari putih, ungu
sampai merah jingga dan menambah kesan yang sangat menarik. Gorgonian dan Tunicate menambah
kekayaan bentuk serta warna. Gorgonian banyak tumbuh dan mendominasi pada kedalaman lebih dari
30 meter dan makin kedalam densitas pertumbuhannya semakin tinggi.
Persentase tutupan karang hidup hasil LIT berkisar antara 36.08-39.09%. Dari hasil transek dan
pengamatan bebas di Atol Kaledupa diperoleh 71 marga yang meliputi 238 jenis karang batu (Lihat
Lampiran 1). Nilai indeks kemerataan berkisar antara 0.2731-0.2740 dan indeks keanekaragaman
karang batu berkisar antara 1.6187-1.7444. Ini menunjukkan tingginya keragaman jenis karang batu di
Atol Kaledupa. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa terumbu karang di Atol Kaledupa tergolong
sangat produktif.
Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa kondisi terumbu karang daerah ini termasuk kategori
sedang. Walaupun dalam analisis benthic life form ditemukan karang mati antara 5.84 - 6.6%, tetapi
kenyataannya daerah ini ditumbuhi algae yang cukup besar antara 15.45 – 21.54% jadi lebih sedikit
dibandingkan dengan karang batu hidup. Melihat kondisi terumbu karang yang demikian memang cukup
memprihatinkan, untuk itu diperlukan usaha-usaha untuk menjaga kelestarian terumbu karang tersebut
melalui monitoring atau penyuluhan tentang pentingnya ekosistem terumbu karang dalam menunjang
pariwisata khususnya wisata bahari.
Tabel 17. Hasil RRA di lereng terumbu (reef edge) dan rataan terumbu (reef top) di Atol Kaledupa
Atol Kaledupa (top) Atol Kaledupa (edge) Benthic
Jumlah 36 stasiun Jumlah 72 stasiun
% Pasir 10.4722 ± 10.9322 16.3056 ± 20.0820
% Rubble 9.0556 ± 4.5604 14.6944 ± 12.0043
% Live Coral 23.3056 ± 9.1240 19.0278 ± 11.6715
% Dead Coral 0.1389 ± 0.8333 1.6667 ± 4.5872
% Dead Coral Algae 19.2778 ± 9.5994 13.9167 ± 10.6820
% Soft Coral 20.1667 ± 12.0392 14.5000 ± 10.1870
% Sponges 4.5000 ± 2.6132 3.8056 ± 2.7865
% Algae 4.6111 ± 3.3998 7.6944 ± 5.3462
% Seagrass 6.8056 ± 12.1674 6.6667 ± 9.3598
% Others 1.9444 ± 1.1198 1.4444 ± 0.7099
76
Ikan Karang
Berdasarkan kategori ikan yang tercatat dari hasil RRA terlihat bahwa kelompok ikan major,
target dan indikator di lereng terumbu lebih banyak daripada di rataan terumbu baik dari jumlah jenis
maupun jumlah individu (Gambar 25). Perbedaan ini sangat dipengaruhi antara lain oleh kondisi
terumbu karang dan pasang surut di wilayah tersebut.
0
200
400
600
800
Rataan Terumbu
Major 41 663
Target 13 164
Indikator 3 22
Jml jenis Jml indv.
0
2000
4000
6000
Lereng Terumbu
Major 75 3706
Target 83 5289
Indikator 24 628
Jml jenis Jml
Gambar 25. Jumlah jenis dan jumlah individu ikan berdasarkan kategori ikan yang tercatat dari RRA selama penelitian di Pulau Atol Kaledupa
Di lereng terumbu Atol Kaledupa memperlihatkan bahwa Caesio caerulaurea memiliki
kelimpahan relatif tertinggi (26.20%). Kelimpahan relatif terendah dimiliki oleh Chaetodon kleini
(3.25%). Di rataan terumbu kelimpahan relatif tertinggi dimiliki oleh Dascyllus aruanus (18.45%),
sedangkan kelimpahan relatif terendah adalah Thallasoma hardwicki dan Mullodichthys
barberinoides , yaitu 2.34% (Tabel 18 & 19)
Tabel 18. Kelimpahan dan Kelimpahan Relatif dari 10 jenis ikan karang yang dominan yang dilakukan di lereng terumbu (reef edge) P. Atol Kaledupa Jenis Kelimpahan Kelimpahan relatif Caesio caerulaurea Caesio terres Abudefduf saxatilis Pterocaesio randalli Chromis xanthura Chromis ternatensis Amblyglyphydodon curacao Chromis weberi Naso unicornis Chaetodon kleini
2050 712 465 439 428 389 335 285 258 254
26.20% 9.10% 5.94% 5.61% 5.47% 4.97% 4.28% 3.64% 3.30% 3.25%
77
Tabel 19. Kelimpahan dan Kelimpahan Relatif dari 10 jenis ikan karang yang dominan yang dilakukan di rataan terumbu (reef top) Atol Kaledupa
Jenis Kelimpahan Kelimpahan relatif Dascyllus aruanus Pomacentrus chrysurus Chaetodon kleini Pomacentrus mollucensis Parupeneus multifasciatus Gnatodentex aurolineatus Halichoeres trimaculatus Labriodes dimidiatus Thallasoma hardwicki Mullodichthys barberinoides
134 85 75 63 37 29 27 25 17 17
18.45% 11.71% 10.33% 8.67% 5.10% 3.99% 3.72% 3.44% 2.34% 2.34%
Lamun
Pengamatan lamun di Atol Kaledupa memperlihatkan bahwa rata-rata tutupan adalah 90%. Lamun
tersebut tumbuh pada substrat pasir dan pecahan karang, jenis yang mendominasi adalah
Thalassodendron Dari enam jenis lamun yang tercatat pada lokasi ini, ada empat jenis yang tersampel
dengan kerapatan (tegakan/m2) masing-masing adalah yaitu : Thalassodendron ciliatum (1344 ± 133 ),
Cymodocea rotundata (144 ± 28), T. hemprichii (32 ± 20) dan H. ovalis (64 ± 32). Total biomassa dari
lokasi ini adalah 357,34 ± 59,87 gram berat kering±/m2.
Komposisi jenis mulai dari garis pantai sampai dengan tubir kombinasinya secara umum adalah
sebagai berikut : T.cilliatum dan T.hemprichii ; H.ovalis didaerah pasir dan daerah tubir C.rotundata,
S.isoetifolium dan T.cilliatum
Tabel 20. Rata-rata Kerapatan (tegakan / m2), Total Biomasa (gram berat kering m2), Rata-rata Tutupan dan Dominansi Jenis di Atol Kaledupa
Jenis Kerapatan (N=12)
Total biomassa (N=6)
Tutupan % (N=10)
Dominansi
Thallassodendron ciliatum Cymodecea rotundata Thallasia hemprichii Halophila ovalis
1344 ± 133 144 ± 28 32 ± 20 64 ± 32
357.34 ± 59,87
90 ± 9,4 Thallassodendron ciliatum
Kualitas Air
Oksigen terlarut
Di perairan Atol Kaledupa kadar oksigen terlarut (6,19 – 7,21 ppm; 6,48 ±0,31 ppm) juga
tergolong tinggi dan homogen. Seperti halnya di perairan P. Tomia dan di perairan P. Kaledupa,
perairan di Atol Kaledupa ini juga tidak terlihat adanya pengaruh kegiatan manusia yang akan
menurunkan kadar oksigen.
78
Nitrat dan Nitrit
Kadar nitrat berkisar antara < 1,00 – 6,79 ppb dan nitrit berkisar antara < 1,00 – 4,20 ppb. Kadar
nitrat (1,72 ±2,3 ppb) dan nitrit (0,96 ±1,60 ppb) di perairan Atol Kaledupa ini juga sangat bervariasi.
Walaupun bervariasi namun kisaran kadar nitrat dan nitrit ini biasa ditemukan di perairan Indonesia.
Kadar nitrat di perairan Atol Kaledupa Bagian Selatan (< 1,00 – 6,79 ppb) lebih tinggi dibandingkan
dengan yang di Bagian Utara (< 1,00 – 3,165 ppb)(Gambar 26a dan 26b), namun kisaran kadar
nitritnya tidak berbeda (< 1,00 – 4,20 ppb).
Di perairan Atol Kaledupa ini ada 2 lokasi yang kadar nitritnya lebih tinggi dibanding kadar
nitratnya, yaitu di St. 11 (nitrit = 4,58 ppb, nitrat = 4,20 ppb) dan St. 16 (nitrit = 3,42 ppb, nitrat = 2,16
ppb). Kedua stasiun ini terletak di Atol Kaledupa Bagian Utara. Hal ini mungkin disebabkan keadaan
alamnya.
Fosfat
Kadar fosfat berkisar antara 1,57 – 10,60 ppb (5,38 ±2,48 ppb). Kadar tertinggi (10,60 ppb)
ditemukan di perairan Atol Kaledupa Bagian Utara (St. 14), sedangkan kadar terendah (1,57 ppb)
ditemukan di perairan Atol Kaledupa Bagian Selatan ( St. 3)(Gambar 26a dan 26b). Kisaran kadar
fosfat seperti ini juga biasa ditemukan di perairan-perairan Indonesia (perairan Takalar, Sulsel =
5,34 ±1,88 ppb; Pantai Carita, Banten = 7,70 ±4,05 ppb). Seperti di perairan Pulau Tomia, P.
Kaledupa dan P. Wangi-wangi, kadar fosfat (5,38 ±2,48 ppb) di perairan Atol Kaledupa juga tidak
begitu bervariasi dan belum terlihat adanya kegiatan yang mempengaruhi kadar fosfat di perairan
Zat Padat Tersuspensi (TSS)
Seperti di perairan Pulau Tomia, P. Kaledupa dan P. Wangi-wangi, perairan Atol Kaledupa juga
tergolong jernih, karena kadar TSS-nya masih rendah, berkisar antara 3,42 – 4,80 ppm (3,99±0,39
ppm). Kadar maksimum TSS dalam air laut untuk kehidupan biota yang ditetapkan oleh Menteri
Neg. Lingkungan Hidup adalah 80 ppm. Hal ini menunjukkan bahwa perairan Atol Kaledupa masih
sesuai dengan Baku Mutu tersebut.
Salinitas dan pH
Salinitas air di perairan Atol Kaledupa berkisar antara 34,5 - 35 %o (34,9 ±0,21 %o). Data ini
menunjukkan bahwa perairan Atol Kaledupa adalah homogen. Demikian juga dengan nilai pH-nya,
hampir tidak terlihat perbedaan (8,06 – 8,26; 8,15 ±0,05). Kisaran salinitas dan pH seperti ini
adalah normal di perairan bebas dan tidak terlihat adanya indikasi kegiatan yang mempengaruhi
kedua parameter tersebut. Kisaran kedua parameter tersebut masih sesuai dengan Baku Mutu Air
Laut untuk kehidupan biota yaitu pH = 6,5-9 dan perubahan salinitas hanya boleh + 10 % (Men.
KHL 1988).
79
Gambar 26a. Distribusi oksigen terlarut, nitrat, nitrit, fosfat, TSS, salinitas dan pH di Atol Kaledupa Bagian Utara, TN Wakatobi
80
Gambar 26b. Distribusi oksigen terlarut, nitrat, nitrit, fosfat, TSS, salinitas dan pH di Atol Kaledupa Bagian Selatan, TN Wakatobi
81
Arus
Trek ADCP yang mengelilingi Atol Kaledupa membentang dari tenggara hingga barat laut
dengan lama perekaman 5 hingga 7 jam. Kecepatan arus yang diperoleh selama pengukuran
antara 1 hingga 120 cm/det. Sedangkan kecepatan arus rata-rata pada 4 lapisan yaitu pada
kedalaman 13 m, 20, 50 dan 100 m, adalah sebesar 43 cm/det, 42 cm/det, 36 cm/det, dan 28
cm/det berturut-turut. Kecepatan arus pada kedalaman 13 m hingga 20 m, besarnya hampir sama
dengan perbedaan yang relatif kecil. Kecepatan arus umumnya menurun terhadap kedalaman laut.
Kecepatan arus yang lebih kuat dijumpai di daerah Atol Kaledupa bagian timur hingga tenggara baik
pada kedalaman 13, 20 50 dan 100 m. Arah arus dominan ke arah timur hingga tenggara kemudian
berbelok arah ke arah barat-barat laut. Di bagian barat hingga barat laut Atol Kaledupa kecepatan
arus lebih lemah dibandingkan di bagian tenggara Atol Kaledupa. Arah arus di bagian barat/barat
laut Atol Kaledupa dominan ke arah timur hingga tenggara
Gambar 27a. Kecepatan dan arah arus pada kedalaman 13 meter Di perairan sekitar Atol Kaledupa, Sulawesi Tenggara
Gambar 27b. Kecepatan dan arah arus pada kedalaman 20 meter Di perairan sekitar Atol Kaledupa, Sulawesi Tenggara
82
Gambar 27c. Kecepatan dan arah arus pada kedalaman 50 meter Di perairan sekitar Atol Kaledupa, Sulawesi Tenggara
Gambar 27d. Kecepatan dan arah arus pada kedalaman 100 meter Di perairan sekitar Atol Kaledupa, Sulawesi Tenggara
83
IV. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Kesimpulan
1. Jumlah jenis karang batu terbanyak dijumpai di Atol Kaledupa , yaitu sebanyak 238 jenis
yang termasuk dalam 71 marga. Berdasarkan hasil RRA dan LIT, terumbu karang di Pulau
Kaledupa dapat dikategorikan baik, sedangkan terumbu karang di pulau Tomia, Pulau
Lintea dan karang Kaledupa dikategorikan sedang.
2. Perairan Wakatobi memiliki keanekaragaman jenis ikan yang relatif tinggi dengan
banyaknya ikan indikator, Ikan major serta ikan target bernilai ekonomis. Masih dijumpai
ikan Napoleon dan ikan Pari Manta.
3. Kepadatan lamun di daerah Wakatobi cukup besar yaitu 66%, dengan tipe padang lamun
yang berasosiasi dengan terumbu karang dan didominasi oleh Thallassodendron ciliatum.
4. Kualitas perairan Wakatobi tergolong bersih, jernih dan belum terlihat adanya pengaruh
kegiatan manusia.
5. Kondisi suhu, salinitas, kecerahan, kekeruhan dan intensitas matahari di perairan
Kepulauan Wakatobi tergolong baik, sedangkan kecepatan arus tergolong cukup kuat.
Rekomendasi
1. Keberadaan terumbu karang di Kepulauan Wakatobi perlu dijaga dari kerusakan lebih
lanjut. Hal ini sangat berkaitan dengan kebedaraan biota-biota lainnya seperti ikan karang,
moluska atau hewan-hewan lain yang hidupnya berasosiasi dengan terumbu karang.
2. Perairan Wakatobi sangat potensial untuk dijadikan kawasan konservasi dilihat dari
keanekaragaman baik jenis-jenis karang maupun biota-biota lain yang hidup berasosiasi
dengan terumbun karang.
3. Program COREMAP sangat cocok untuk diimplementasikan di Kawasan ini. Namun dalam
pelaksanaannya harus terpadu antara aspek yang satu dengan yang lainnya.
84
DAFTAR PUSTAKA Allen, Gerald R. 1997. Marine Fishes of the Great Barrier Reef and South-East Asia. 3rd edition. Western Australian Museum 292 pp. American Publich Health Association; American water works Assocition dan Water Pollution Control Federation 1980. Standard methods for the examination of water and wastewater. APHA,AWWA,WPCF. 15th eds. Azkab. M.H. 1991. Study on seagrass on community structure and biomass in the southern part of Seribu Islands In : Proceeding of the Regional Symposium on Living Resources in Coastal Areas. (A. Alcala ed). University of Philippines, Manila p. 353-362. Bell, JD and R. Galzin. 1984. Influence of living coral cover on coral reef fish communities. Marine Ecology Progress Series, 15: 265-274 Bouchon_Navaro, Y. and Bouchon, C. 1989. Correlations between chaetodontid fishes and coral communities of the Gulf of Aqaba (Red Sea). Env. Biol. Fish. 25: 47-60 Carritt D.E. dan J.H. Carpenter, 1966. Comparison and evaluation of currently modifications of Winkler method for determining dissolved oxygen in seawater. A NASCO Report. J. Mar. Res. (24)3 : 286 – 318. Daly, M.C., M.A.Cooper., I.Wilson., D.G. Smith and G.D.G Hooper, 1991. Cenozoic plate tectonics and basin evoluation in Indonesia. Marine and Petroleum Geology, V.pp 21 Dartnal, A.J. and M. Jones (eds.) 1986. A manual survey methods: living resources coastal areas. Asean-Australia Cooperative Programme on Marine Science Handbook. AIMS, Townsville,167p. Den Hartog,C. 1970. The seagrass of the world. North-Holand Publ. Co., Amsterdam, 275p. English, S., C. Wilkinson and V. Baker 1994. Survey manual for tropical marine resources. Australian Institute of Marine Science, Townsiville, pp. 368. Fonseca,M.S. 1987. The management of seagrass syetem. Trop.Coast.Area.Manag. ICLARM Newsletter 2(2): 5-7. Grasshoff, K. 1976. Determination of nitrate. Dalam : Methods of seawater analysis. (Grasshoff eds.). Verlag Chemie-Weinheim- New york : 137 – 145. Halminton, W, 1979. Tectonic of the Inonesia Region. Geological Survey professional paper1078. US.Gov.print.Off Washington 345pp Heijs, F.M.L. and J.J.W.M. Brouns 1986. A survey of seagrass community around the Bismarck Sea, Papua New Guinea. Proc.K. Ned.Akad.Wet. C89 (1) :11-44. Hilomen, V.V. and H.T. Yap. 1991. Preliminary analysis of trends in individual abundance and species richness of the families Pomacentridae and Labridae in Puerto Galera, Oriental Mindoro, Philippines. Proc. Regional Symposium Living Resources Coastal Areas, Manila. P. 141-149 Jones, G.P. and Syms, C. 1995. Influence of disturbance and habitat degradation on coral reef fissh communities. In: Reefish’95: Recruitment and Population Dynamics of Coral Reef Fishes. G.P. Jones, P.J. Dohehrty, B.D. Mapstone & L. Howlett (eds). First International Workshop, Queensland. P.225-237
85
Koreleff, F. 1976. Determination of phosphorus. Dalam : Methods of seawater analysis. (Grasshoff eds.). Verlag Chemie-Weinheim- New york : 117 – 126. Kuenen, Ph.H. 1933. Geology of coral reef. The Snellius Expedition in the Eastern part of the Netherlands East Indies 1929-1930. Bol.V. geological results, part 2 Kemink En Zoon N.V. Utrecht Kuiter, Rudie H. and H. Debelius. 1994. Southeast Asia Tropical Fish Guide. IKAN -Unterwasserarchiv, Frankfurt. 321 pp. Men. KHL 1988. Pedoman Penentuan Baku Mutu Lingkungan. Baku Mutu Air Laut untuk kehidupan biota. Sekretariat Men. Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup. Mukai, H., K. Aioi and Y. Ishida 1980. Distribution and biomassa of eelgrass (Zostera marina L.)and other seagrasses in Odawa Bay, Central Japan. Aquat. Bot. 8 : 337-342. Nienhuis, P.H., J. Coosen and W. KIswara 1989. Community structure and biomass distribution of seagrass and macrofauna in the Flores sea, Indonesia. Net.J.Sci.Res. 23 (2) : 197-214. Satumanatpan, S and S. Sudara. 1992. Reef fish in Gulf of Thailand. Proc. Marine Science: Living Coastal Resourrces, 3rd ASEAN Science & Tchnology Week , Singapore. p. 145-150 Strickland J.D.H. dan T.R. Parsons, 1968. Determination of reactive nitrite. Dalam : A practical handbook of seawater analysis (Stevenson J.C ; L.W. Billingsley and R.H. Wigmore eds). Fis. Res. Board. Can. Canada : 77 – 78. Suharsono, Giyanto, Yahmantoro and A.J. Munkajee. 1998. Changes of distribution and abundance of reef fish in Jakarta Bay and Seribu Islands. Proc. Coral Reef Evaluation Workshop Pulau Seribu, Jakarta. p. 37-54 Suharti, R.S. 1996. Keanekaragaman jenis dan kelimpahan ikan Pomacentridae di terumbu karang Selat Sunda. OLDI 29: 29-39 Thorhaug, A. and C.B. Austin 1986. Restoration of seagrass with economic analysis. Environ. Conserv. 3(4) : 259-267.
86
TIM PENELITI BASELINE STUDI WAKATOBI
- Koordinator : 1. Dra. Nurul Dhewani M.S., Msi - Koral : 2. Dr. Suharsono 3. Agus Budiyanto 4. Ricoh Siringo-ringo - Ikan Karang : 5. Dra. Sasanti R. Suharti, MSc 6. Drs. Imam Supriyanto 7. Yahmantoro - Lamun : 8. Drs. Husni Azkab 9. Asep Rasyidin - GIS : 10. Abdullah S. 11. Roostam - Kualitas Air : 12. Drs. Horas P. Hutagalung 13. Abdul Rozak - Oseanografi : 14. Sudarto - Data Analis : 15. Rahmat, S.Kom
16. Djuariah
- Administrator : 17. Mayudi
87
LAMPIRAN
88
Lampiran 1. Jumlah dan Sebaran Jenis Karang Batu Hidup di Wakatobi dan sekitarnya
No. Marga L O K A S I Jenis A B C D E I ASTROCOENIIDAE
1 Stylocoeiniella armata 0 1 0 1 1 2 S. guentheri 0 0 0 1 0
II POCILLOPORIDAE
3 Pocillopora damicornis 1 1 1 1 1 4 P. eydouxi 0 1 1 0 1 5 P. meandrina 1 0 0 0 1 6 P. verrucosa 1 1 1 1 1 7 P. woodjonesi 0 0 0 0 1 8 Seriatopora caliendrum 0 1 0 0 1 9 S. hystrix 1 1 1 1 1
10 Stylophora pistillata 1 1 1 1 1 11 Palauastrea ramosa 1 1 0 0 1 12 Madracis Kirby 0 0 0 0 1
III ACROPORIDAE
13 Montipora monasteriata 0 1 0 1 0 14 M. tuberculosa 1 0 1 0 1 15 M. hoffmeisteri 1 0 0 0 1 16 M. millepora 0 0 0 1 1 17 M. spongodes 1 1 0 0 0 18 M. spumosa 0 0 1 0 0 19 M. undata 0 0 1 0 1 20 M. danae 1 1 1 1 1 21 M. verrucosa 0 1 1 1 0 22 M. incrassata 0 0 1 1 1 23 M. foveolata 1 0 0 0 1 24 M. venosa 1 1 1 1 1 25 M. digitata 1 1 1 1 1 26 M. hispida 0 0 1 1 1 27 M. efforescens 1 0 0 1 1 28 M. grisea 0 1 0 0 1 29 M. stellata 0 0 0 0 1 30 M. informis 1 1 1 1 1 31 M. foliosa 1 1 1 1 1 32 M. aequituberculata 1 0 0 0 1 33 M. turgescens 0 1 0 1 0 34 M. crassituberculata 1 0 1 0 0 35 Anacropora forbesi 0 0 0 0 1 36 A. puertogelerae 0 1 0 0 1 37 A. reticulata 0 0 0 1 1 38 A. matthai 1 1 0 0 0
89
39 Acropora abrolhosensis 0 0 0 0 1 40 A. aculeus 0 1 0 0 1 41 A. acuminata 0 1 0 0 1 42 A. anthocercis 0 0 1 0 1 43 A. aspera 1 0 0 1 0 44 A. austera 1 1 0 1 0 45 A. brueggemanni 0 0 1 0 1 46 A. carduus 0 0 0 1 1 47 Acropora caroliniana 0 1 1 0 1 48 A. cerealis 0 1 1 0 1 49 A. clathrata 1 3 1 1 1 50 A. cuneata 0 1 0 0 1 51 A. cytherea 1 1 1 1 1 52 A. danai 1 0 0 1 1 53 A. dendrum 1 0 1 0 1 54 A. digitifera 0 1 0 1 0 55 A. divaricata 0 1 1 1 1 56 A. donei 0 0 1 0 1 57 A. echinata 1 1 1 1 1 58 A. elseyi 1 0 0 0 1 59 A. florida 0 0 0 0 1 60 A. formosa 1 1 1 1 1 61 A. gemmifera 1 1 1 1 1 62 A. glauca 1 0 0 1 0 63 A. grandis 0 1 0 0 1 64 A. granulosa 1 0 0 0 1 65 A. horrida 0 0 0 0 1 66 A. humilis 1 1 1 1 1 67 A. hyacinthus 1 1 1 1 1 68 A. jaquelineae 0 0 0 1 0 69 A. kirstyae 0 0 1 0 1 70 A. latistella 0 0 0 1 1 71 A. longicyathus 1 1 1 1 1 72 A. lovelli 0 1 0 0 1 73 A. microclados 0 0 0 1 0 74 A. microphthalma 0 1 0 1 1 75 A. millepora 0 0 1 1 0 76 A. nana 1 1 0 0 1 77 A. nasuta 0 1 1 0 1 78 A. nobilis 1 1 1 1 1 79 A. palifera 1 1 1 1 1 80 A. palmerae 0 0 1 0 0 81 A. paniculata 0 1 1 1 1 82 A. pulchra 1 0 0 1 1 83 A. robusta 1 0 0 0 1 84 A. samoensis 0 0 1 0 0 85 A. sarmentosa 1 1 1 1 1
90
86 A. secale 0 1 0 1 0 87 A. selago 0 0 0 0 1 88 A. solitaryensis 0 1 0 1 0 89 A. spicifera 0 1 0 0 1 90 Acropora stoddarti 1 0 1 0 1 91 A. subglabra 0 1 0 0 1 92 A. subulata 0 0 0 1 0 93 A. tenuis 1 0 1 0 1 94 A. turtuosa 1 0 0 1 1 95 A. valenciennesi 0 1 0 0 1 96 A. valida 0 1 1 0 1 97 A. vaughani 1 0 0 1 1 98 A. loripes 0 1 0 0 1 99 A. speciosa 0 1 0 1 1
100 A. verweyi 0 1 0 0 1 101 Acropora yongei 1 0 0 1 1 102 Astreopora explanata 0 0 1 1 1 103 A. gracilis 0 1 1 0 0 104 A. listeri 0 0 0 0 1 105 A. myriophthalma 0 1 0 1 1
0 0 0 0 0 IV PORITIDAE 0 0 0 0 0
106 Porites annae 1 1 1 1 1 107 P. cylindrica 1 1 1 1 1 108 P. lichen 0 1 0 1 1 109 P. lobata 1 1 1 1 1 110 P. lutea 1 1 1 1 1 111 P. nigrescens 1 1 1 1 0 112 P. rus 1 1 1 1 1 113 P. solida 1 0 0 0 1 114 P. vaughani 0 0 0 1 1 115 Goniopora columna 0 1 0 1 1 116 G. djiboutiensis 0 1 1 0 1 117 G. lobata 0 1 0 0 1 118 G. minor 0 0 0 1 1 119 G. palmensis 1 0 0 1 0 120 G. pandoraensis 0 0 1 0 0 121 G. pendulus 0 1 0 0 1 122 G. stokesi 1 0 0 1 0 123 G. stutchburyi 0 0 1 0 1 124 G. tenuidens 0 1 0 0 1 125 Alveopora catalai 0 0 1 1 0 126 A. gigas 0 0 1 0 1 127 A. spongiosa 0 0 0 1 1 128 A. tizardi 0 0 1 0 1
V SIDERASTREIDAE
91
129 Pseudosiderastrea tayami 1 1 1 1 1 130 Psammocora contigua 0 0 0 1 1 131 P. digitata 0 1 0 0 1 132 P. explanulata 1 1 0 0 1 133 P. profundacella 0 1 0 1 1 134 P. superficialis 1 0 0 1 1 135 Coscinaraea columna 0 0 1 1 1 136 C. exesa 1 0 1 0 1 137 C. marshae 0 1 0 0 138 C. wellsi 1 1 0 0 1
VI AGARICIIDAE
139 Pavona cactus 0 0 1 0 1 140 P. clavus 1 0 0 1 1 141 P. decussata 0 1 1 0 0 142 P. explanulata 0 1 0 1 0 143 P. minuta 0 0 0 1 1 144 P. varians 0 1 1 1 1 145 P. venosa 1 1 1 1 1 146 Leptoseris explanata 0 1 0 0 1 147 L. foliosa 1 0 0 0 1 148 L. mycetoseroides 1 0 0 1 0 149 Leptoseris papyracea 0 0 1 1 1 150 L. scabra 0 0 1 1 1 151 L. yabei 0 1 0 0 1 152 Gardineroseris planulata 0 0 1 1 0 153 Coeloseris mayeri 1 1 1 1 1 154 Pachyseris rugosa 1 1 1 1 1 155 P. speciosa 1 1 1 1 1
VII FUNGIIDAE
156 Cycloseris patelliformis 0 1 0 0 1 157 C. vaughani 1 0 1 0 1 158 Diaseris distorta 0 1 0 1 1 159 D. fragilis 0 0 1 1 0 160 Heliofungia actiniformis 1 1 1 1 1 161 Fungia concinna 0 1 0 0 1 162 F. danai 1 0 1 0 1 163 F. echinata 1 1 1 1 1 164 F. fungites 1 0 0 0 1 165 F. molluccensis 0 0 1 0 1 166 F. paumotensis 0 1 0 0 1 167 F. repanda 0 1 0 1 1 168 F. scruposa 0 0 0 1 0 169 F. scutaria 0 0 1 1 1 170 F. simplex 0 0 0 0 1 171 F. valida 0 1 0 1 1
92
172 Herpolitha limax 1 1 1 1 1 173 Polyphyllia talpina 0 1 0 1 1 174 Halomitra pileus 0 1 0 0 1 175 Sandalolitha robusta 1 1 1 1 1 176 Lithophyllon edwardsi 0 0 1 0 0 177 L. elegans 0 0 0 1 0 178 Podabacia crustacea 1 1 1 1 1 179 Zooplius echinata 0 0 0 0 1
VIII OCULINIDAE 0 0 0 0 0
180 Galaxea astreata 1 1 1 1 1 181 G. fascicularis 1 1 1 1 1 182 Acrhelia horrescens 1 0 0 1 1
IX PECTINIIDAE
183 Echinophyllia aspera 1 1 0 0 1 184 E. echinata 0 0 0 0 1 185 Oxypora glabra 0 1 1 1 0 186 O. lacera 0 1 0 1 1 187 Mycedium elephantotus 1 1 1 1 1 188 Pectinia alcicornis 0 0 1 1 1 189 P. lactuca 1 1 0 1 1 190 P. paeonia 0 1 1 1 0
X MUSSIDAE
191 Blastomussa merleti 0 1 0 0 1 192 B. wellsi 0 0 0 1 0 193 Cynarina lacrymalis 1 1 1 1 1 194 Scolymia australis 0 1 0 1 1 195 Scolymia vitiensis 0 0 1 0 1 196 Acanthastrea bowerbanki 0 0 0 1 0 197 A. echinata 0 0 0 0 1 198 A. hillae 1 0 1 0 1 199 Lobophyllia corymbosa 1 1 1 1 1 200 L. diminuta 0 0 0 0 1 201 L. hataii 0 1 0 0 1 202 L. hemprichii 1 1 1 1 1 203 L. pachysepta 1 0 0 0 0 204 Symphyllia radians 0 1 0 0 1 205 S. recta 0 0 0 0 1 206 S. valenciennesii 1 0 0 1 0 207 S. agaricia 0 1 0 1 1
XI MERULINIDAE
208 Hydnophora exesa 1 0 1 0 1 209 H. microconos 0 1 1 1 1 210 H. pilosa 1 0 0 0 1
93
211 H. rigida 0 1 0 1 0 212 Merulina ampliata 1 1 1 1 1 213 M. scabricula 1 1 1 1 1 214 Scapophyllia cylindrica 0 1 0 0 1
FAVIIDAE
215 Caulastrea curvata 1 1 0 0 1 216 C. furcata 0 0 1 1 0 217 C. tumida 1 0 1 0 1 218 Favia favus 0 1 0 0 1 219 F. laxa 1 1 1 1 1 220 F. lizardensis 0 1 0 0 1 221 F. maritima 0 0 1 1 0 222 F. matthaii 1 1 1 1 1 223 F. maxima 1 0 0 1 1 224 F. pallida 0 1 0 0 1 225 F. rotumana 1 0 1 0 1 226 F. rotundata 0 1 0 1 1 227 F. speciosa 0 1 0 0 1 228 F. stelligera 0 1 1 1 0 229 F. veroni 1 0 0 0 1 230 Barabattoia amicorum 0 0 0 1 1 231 Favites abdita 1 1 1 1 1 232 F. chinensis 1 0 0 0 1 233 F. complanata 0 0 0 1 1 234 F. flexuosa 0 0 1 0 1 235 F. halicora 1 1 1 1 1 236 F. pentagona 0 1 0 0 0 237 F. russelli 0 1 1 1 0 238 Goniastrea aspera 0 1 0 0 0 239 G. australensis 0 0 1 0 1 240 G. favulus 0 1 0 0 0 241 G. palauensis 0 1 0 0 1 242 G. pectinata 0 0 1 1 1 243 G. retiformis 1 1 1 1 1 244 Platygyra daedalea 0 1 0 1 0 245 Platygyra lamellina 0 1 1 1 1 246 P. pini 1 1 1 1 1 247 P. sinensis 1 0 0 0 1 248 Leptoria phrygia 1 1 1 1 1 249 Oulophyllia bennettae 0 0 0 0 1 250 O. crispa 1 0 0 1 0 251 Montastrea annuligera 0 1 0 0 1 252 M. curta 0 1 1 1 1 253 M. magnistellata 0 0 1 0 1 254 M. valenciennesi 1 1 1 1 1 255 Plesiastrea versipora 1 1 1 1 1
94
256 Diploastrea heliopora 1 1 1 1 1 257 Leptastrea inaequalis 0 0 1 0 1 258 L. pruinosa 1 1 1 1 1 259 L. purpurea 1 1 1 1 1 260 L. transversa 1 0 1 1 0 261 Cyphastrea chalcidicum 1 1 1 1 1 262 C. japonica 0 1 0 0 1 263 C. microphthalma 1 1 1 1 1 264 Cyphastrea serailia 1 1 1 1 1 265 Echinopora gemmacea 0 1 0 1 0 266 E. horrida 1 1 0 1 1 267 E. lamellosa 1 1 1 1 1 268 Echinopora mammiformis 1 1 1 1 1
XIII TRACHYPHYLLIIDAE
269 Trachyphyllia geoffroyi 1 1 1 1 1 XIV CARYOPHYLLIIDAE
270 Euphyllia ancora 1 1 1 1 1 271 E. cristata 1 1 0 0 1 272 E. divisa 0 1 0 0 1 273 E. glabrescens 1 1 1 1 1 274 Catalaphyllia jardinei 0 1 0 0 1 275 Plerogyra sinuosa 1 1 1 1 1 276 Physogyra lichtensteini 1 1 1 1 1
XV DENDROPHYLLIIDAE
277 Turbinaria peltata 0 1 0 1 1 278 T. frondens 0 1 1 0 1 279 T. mesenterina 1 0 1 0 1 280 T. reniformis 0 1 0 1 0 281 T. stellulata 1 0 1 0 1 282 T. conspicua 0 1 1 0 1 283 Heteropsammia cochlea 0 1 0 0 1 284 Tubastrea faulkneri 0 1 1 0 1 285 T. micrantha 1 0 1 1 1
XVI TUBIPORIDAE
286 Tubipora musica 1 1 1 1 1 XVII HELIOPORIDAE
287 Heliopora coerulea 1 1 1 1 1 XVIII MILLEPORIDAE
288 Millepora platyphylla 0 1 1 1 1 289 M. tenella 1 1 1 0 1 290 M. exaesa 1 1 1 0 1
95
XIX STYLASTERIDAE
291 Distichopora sp. 1 1 1 1 1 292 Stylaster sp. 0 1 1 0 1
Jumlah jenis 131 174 146 163 238 Jumlah marga 55 64 56 64 71 Keterangan : A. = Pulau Wangi-wangi 0 = Tidak dijumpai B. = Pulau Kaledupa 1 = Dijumpai C. = Pulau Tomia D. = Pulau Lintea E .= Karang Kaledupa
96
Lampiran 2. Kelimpahan dan kehadiran ikan yang dicatat melalui metode LIT di lereng terumbu, perairan Wakatobi, Oktober 2001
Jenis Kelimpahan Kehadiran (%)
IKAN MAJOR
POMACENTRIDAE
Abudefduf saxatilis 107 16.67 Acanthochromis polyacanthus 69 28.83 Amblyglyphidodon aureus 185 75 Amblyglyphidodon curacao 307 70.83 Amblyglyphidodon leucogaster 476 100 Amphiprion clarkii 105 100 Amphiprion ocellaris 21 20.83 Amphiprion perideraion 46 33.33 Amphiprion sandaracinos 69 50 Cheiloprion labiatus 1 4.16 Chromis amboinensis 205 58.33 Chromis analis 305 70.83 Chromis atripes 231 41.66 Chromis caudalis 120 45.83 Chromis elerae 14 4.17 Chromis lineata 73 29.17 Chromis margaritifer 471 79.16 Chromis nitida 9 4.17 Chromis retrofasciata 113 41.66 Chromis ternatensis 1874 87.5 Chromis viridis 66 16.66 Chromis weberi 933 62.5 Chromis xanthura 541 75 Chromis sp. 20 4.17 Chrysiptera rex 93 62.5 Chrysiptera rollandi 38 50 Chrysiptera springeri 28 16.66 Chrysiptera sp. 4 4.17 Chrysiptera talboti 79 62.5 Dascyllus aruanus 2 4.17 Dascyllus reticulatus 591 91.66 Dascyllus trimaculatus 291 83.33 Glyphidodontops hemicyanea 23 16.66 Hemiglyphidodon plagiometopon 11 16.66 Lepidosygus tapeinosoma 50 8.33 Neopomacentrus cyanomos 21 4.17 Paraglyphidodon melas 67 58.33 Paraglyphidodon nigroris 454 100 Plectroglyphidodon dicki 49 41.66 Plectroglyphidodon lacrymatus 125 58.33 Pomacentrus alexanderae 171 66.67 Pomacentrus amboinensis 106 37.5 Pomacentrus bankanensis 68 41.66 Pomacentrus brachialis 2 4.17 Pomacentrus burroughi 5 8.33 Pomacentrus chrysurus 30 8.33 Pomacentrus lepidogenys 116 45.83 Pomacentrus lepidolepis 32 16.66
97
Jenis Kelimpahan Kehadiran (%) Pomacentrus moluccensis 285 87.5 Pomacentrus nigromarginatus 56 33.33 Pomacentrus pavo 3 4.17 Pomacentrus philippinus 183 58.33 Pomacentrus sp. 8 4.17 Premnas biaculeatus 6 8.33 Stegastes apicalis 13 25
LABRIDAE Anampses meleagrides 5 12.5 Anampses sp. 21 16.66 Bodianus axillaris 6 12.5 Bodianus diana 10 12.5 Bodianus mesothorax 30 62.5 Cheilinus fasciatus 20 20.83 Cheilinus sp. 2 4.17 Cheilinus trilobatus 16 16.66 Cheilinus undulatus 2 4.17 Cheilinus unifasciatus 1 4.17 Cheilio inermis 3 4.17 Cirrhilabrus cyanopleura 85 20.83 Coris gaimard 14 33.33 Gomphosus varius 30 50 Halichoeres hortulanus 83 91.66 Halichoeres marginatus 12 20.83 Halichoeres melanurus 31 45.83 Halichoeres scapularis 12 8.33 Halichoeres sp. 16 20.83 Halichoeres trimaculatus 36 20.83 Labrichthys unimaculatus 5 12.5 Labroides alleni 1 4.17 Labroides bicolor 35 79.17 Labroides dimidiatus 62 79.17 Labroides pectoralis 2 4.17 Stethojulis bandanensis 1 4.17 Thallasoma hardwickii 99 91.66 Thallasoma janseni 15 20.83 Thallasoma lunare 98 87.5 Thallasoma lutescens 4 12.5 POMACANTHIDAE Centropyge bicolor 9 25 Centropyge bispinosus 1 4.17 Centropyge eibli 11 25 Centropyge multifasciatus 5 20.83 Centropyge nox 9 20.83 Centropyge tibicen 16 25 Centropyge sp. 1 4.17 Centropyge vrolicki 21 37.5 Chaetodontoplus mesoleucus 10 16.66 Pomacanthus imperator 1 4.17 Pomacanthus navarchus 2 8.33 Pomacanthus sextriatus 4 33.33
98
Jenis Kelimpahan Kehadiran (%) Pomacanthus xanthometopon 10 29.16 Pygoplites diachantus 28 70.83 SERRANIDAE Labracinus cyclophthalmus 4 12.5 Pseudanthias bimaculatus 12 4.17 Pseudanthias dispar 125 33.33 Pseudanthias fasciatus 6 8.33 Pseudanthias huchti 104 33.33 Pseudanthias pleurotaenia 92 29.16 Pseudanthias squamipinnis 359 54.16 Pseudanthias sp. 65 12.5 Pseudanthias tuka 222 54.16 Pseudochromis bitaeniata 2 4.17 Pseudochromis fuscus 2 4.17 Pseudochromis paccagnellae 79 54.16 Pseudochromis splendens 25 33.33 Serranosirrhitus latus 7 4.17 ACANTHURIDAE Zebrasoma scopas 152 100 Zebrasoma veliferum 12 25 APOGONIDAE Apogon compressus 49 16.66 Cheilodipterus macrodon 22 16.66 Cheilodipterus quenquelineata 77 16.66 BLENIIDAE Paracirrhites forsteri 11 25 Paracirrhites hemistictus 3 4.17 TETHRODONTIDAE Arothron nigropunctatus 4 12.5 AULOSTOMIDAE Aulostomus chinensis 19 45.83 Fistularia commersonii 1 4.17 CENTRISCIDAE Aeoliscus strigatus 5 4.17 MICRODESMIDAE Ptereleotris ovides 7 12.5 DIPLOPRIONIDAE Diploprion bifasciatus 2 4.17 MONACNTHIDAE Amanses scopas 14 20.83 Oxymonacanthus longirostris 9 16.66 CANTHIGASTERIDAE Canthigaster solandri 8 20.83 Canthigaster valentini 10 20.83 PARACIRRHITIDAE Paracirrhites forsteri 10 25 Paracirrhites hemistictus 3 4.17 BALISTIDAE Balistapus undulatus 70 79.16 Balistoides conspicillum 2 8.33
99
Jenis Kelimpahan Kehadiran (%) Balistoides viridescens 2 4.17 Melichthys niger 23 37.5 Melichthys vidua 68 66.67 Odonus niger 654 58.33 Rhinecanthus aculeatus 3 8.33 Sufflamen bursa 8 20.83 Sufflamen chrysopterus 1 4.17 OSTRACIONIDAE Ostracion meleagris 3 12.5 Ostracion sp. 4 8.33 SCORPAENIDAE Pterois volitans 1 4.17 ZANCLIDAE Zanclus cornutus 94 95.83 MALACANTHIDAE Malacanthus lattovittatus 2 4.17 HOLOCENTRIDAE Myripristis hexagonatus 2 4.17 Myripristis murdjan 20 25 Myripristis sp. 13 8.33 Myripristis violacea 13 8.33 Neoniphon sammara 107 54.16 Myripristis adusta 23 20.83 Sargocentron caudimaculatus 270 66.67 Sargocentron rubrum 51 37.5 Sargocentron spinifer 4 8.33 Sargocentron sp. 15 12.5 DASYATIDAE Taeniura lymma 9 16.66 PRIACANTHIDAE Priacanthus hamrur 10 12.5 PARAPERCIDAE Parapercis sp. 2 4.17 EPHIPPIDAE Platax orbicularis 1 4.17 Platax teira 1 4.17
IKAN TARGET SERRANIDAE Aetaloperca roghaa 2 8.33 Anyperodon leucogrammicus 5 20.83 Cephalopholis argus 32 33.33 Cephalopholis boenack 2 8.33 Cephalopholis cyanostigma 36 62.5 Cephalopholis fasciatus 2 8.33 Cephalopholis formosa 2 8.33 Cephalopholis miniata 13 33.33 Cephalopholis pachycentron 8 12.5 Cephalopholis sexmaculatus 5 16.66 Cephalopholis spiloparaea 4 8.33 Cephalopholis sp. 1 4.17
100
Jenis Kelimpahan Kehadiran (%) Cephalopholis urodeta 41 70.83 Epinephelus fasciatus 18 45.83 Epinephelus quoyanus 1 4.17 Epinephelus sp. 5 12.5 Gracila albomarginata 15 20.83 Plectropomus laevis 3 8.33 Plectropomus leopardus 1 4.17 Plectropomus maculatus 1 4.17 Variola louti 4 12.5 LUTJANIDAE Lutjanus biguttatus 174 20.83 Lutjanus bohar 56 62.5 Lutjanus decussatus 75 79.16 Lutjanus fulviflamma 26 33.33 Lutjanus fulvus 36 54.16 Lutjanus gibus 213 45.83 Lutjanus semicinctus 8 25 Lutjanus sp. 1 4.17 Macolor maculatus 16 20.83 Macolor niger 41 58.33 Symphorichthys spilurus 1 4.17 LETHRINIDAE Gnatodentex aurolineatus 128 33.33 Lethrinus harak 6 20.33 Lethrinus erythropterus 12 33.33 Lethrinus lentjan 7 12.5 Lethrinus olivaceus 6 12.5 Monotaxis grandoculis 145 83.33 CENTROPOMIDAE Psammoperca waigiensis 1 4.17 SIGANIDAE Siganus canaliculatus 15 4.17 Siganus corallinus 6 8.33 Siganus doliatus 2 8.33 Siganus guttatus 16 8.33 Siganus vulpinus 39 58.33 Siganus puellus 15 20.83 Siganus punctatus 6 12.5 Siganus spinus 12 8.33 Siganus stellatus 3 4.17 Siganus vermiculatus 15 8.33 Siganus virgatus 18 37.5 ACANTHURIDAE Acanthurus dussumieri 10 12.5 Acanthurus lineatus 15 16.66 Acanthurus nigricans 50 58.33 Acanthurus nigricauda 10 4.17 Acanthurus olivaceus 16 25 Acanthurus pyroferum 71 75 Acanthurus sp. 20 16.66
101
Jenis Kelimpahan Kehadiran (%) Acanthurus thompsoni 86 45.83 Acanthurus triostegus 2 4.17 Ctenochaetus binotatus 62 58.33 Ctenochaetus striatus 355 95.83 Ctenochaetus strigosus 62 54.16 Ctenochaetus tominiensis 8 12.5 Naso brevirostris 118 45.83 Naso lituratus 48 62.5 Naso sp. 1 4.17 Naso unicornis 165 83.33 Naso vlamingi 5 12.5 Paracanthurus hepatus 3 4.17 CAESIONIDAE Caesio caerulaurea 1591 50 Caesio cuning 223 41.66 Caesio lunaris 678 37.5 Caesio teres 1061 41.66 Dipterygonatus balteatus 20 4.17 Pterocaesio pisang 147 12.5 Pterocaesio randalli 1246 45.83 Pterocaesio tile 412 33.33 Pterocaesio trilineata 220 20.83 HAEMULIDAE Plectorhynchus celebicus 4 8.33 Plectorhinchus chaetodontoides 15 29.16 Plectorhinchus goldmanni 12 29.16 Plectorhinchus lessoni 2 4.17 Plectorhinchus lineatus 20 33.33 Plectorhynchus orientalis 2 8.33 Plectorhinchus picus 15 8.33 Plectorhynchus scotaf 4 8.33 SCOLOPSIDAE Scolopsis bilineatus 38 41.66 Scolopsis ciliatus 3 4.17 Scolopsis margaritifer 50 54.16 CARANGIDAE Carangoides bajad 3 4.17 Caranx melampygus 9 25 Caranx sp. 16 25 Carangoides sp. 2 8.33 Elegatis sp. 7 12.5 LABRIDAE Cheilinus chlorurus 18 37.5 Cheilinus fasciatus 58 62.5 Cheilinus trilobatus 9 16.66 Cheilinus unifasciatus 23 41.66 Cheilinus sp. 2 4.17 Choerodon ancorago 15 12.5 Epibulus insidiator 41 62.5 Hemigymnus fasciatus 29 45.83
102
Jenis Kelimpahan Kehadiran (%) Hemigymnus melapterus 56 83.33 Oxycheilinus diagrammus 21 37.5 MULLIDAE Mulloidichthys flavolineata 15 12.5 Parupeneus barberinoides 14 20.83 Parupeneus barberinus 34 45.83 Parupeneus bifasciatus 87 75 Parupeneus cyclostomus 10 16.66 Parupeneus indicus 2 4.17 Parupeneus macronema 6 4.17 Parupeneus multifasciatus 142 91.66 Upeneus tragula 3 4.17 MYLIOBATIDAE Aetobatus narinari 4 8.33 SCOMBRIDAE Rastrelliger sp. 30 4.17 SCARIDAE Bolbometopon muricatus 15 16.66 Scarus atropectoralis 6 12.5 Scarus bicolor 15 33.33 Scarus bleekeri 34 54.16 Scarus bowersi 11 16.66 Scarus dimidiatus 26 45.83 Scarus ghobban 20 33.33 Scarus hypselopterus 15 4.17 Scarus niger 41 62.5 Scarus oviceps 21 33.33 Scarus rubroviolaceus 4 4.17 Scarus sordidus 42 58.33 Scarus schlegeli 13 29.16 Scarus sp. 217 54.16
IKAN INDICATOR CHAETODONTIDAE Chaetodon adiergastos 25 33.33 Chaetodon auriga 9 20.83 Chaetodon baronessa 39 66.66 Chaetodon bennetti 22 45.83 Chaetodon citrinellus 19 16.66 Chaetodon ephippium 14 25 Chaetodon kleini 157 95.83 Chaetodon lineolatus 8 12.5 Chaetodon lunula 1 4.17 Chaetodon semeion 15 29.16 Chaetodon speculum 15 37.5 Chaetodon melannotus 52 75 Chaetodon meyeri 32 58.33 Chaetodon ocellicaudus 17 33.33 Chaetodon ornatissimus 24 45.83 Chaetodon oxicephalus 1 4.17 Chaetodon punctatofasciatus 46 62.5
103
Jenis Kelimpahan Kehadiran (%) Chaetodon rafflesii 7 16.66 Chaetodon trifascialis 24 41.66 Chaetodon trifasciatus 113 95.83 Chaetodon ulietensis 31 41.66 Chaetodon unimaculatus 28 37.5 Chaetodon vagabundus 37 45.83 Coradion altivelis 2 4.17 Hemitaurichthys polylepsis 178 41.66 Heniochus chrysostomus 20 37.5 Heniochus monoceros 27 45.83 Heniochus varius 66 83.33 Heniochus singularis 4 8.33 Forcifiger longirostris 91 95.83
104
Lampiran 3. Index Keanegaraman Jenis
A B C D E F G H
TOTAL 136 156 203 184 191 163 142 136 Jumlah Species 60 73 75 72 82 70 62 68
H' =- S(ni/N)log(ni/N) 1.618736197 1.744413513 1.700949129 1.638633535 1.668144978 1.591308421 1.589275164 1.666813587 E = H/2log S 0.274042014 0.281819541 0.273077322 0.265584028 0.262387941 0.25962391 0.266916823 0.273810885 Keterangan : A. = Karang Kaledupa bagian timur B. = Karang Kaledupa bagian barat C. = Pulau Kaledupa bagian barat D. = Pulau Kaledupa bagian utara E. = Pulau Kaledupa bagian timur F. = Pulau Tomia bagian utara G. = Pulau Lintea bagian utara H .= Pulau Lintea bagian selatan
105
106
107
108
109
110
111
112
113
114
115
116
117
118
119
120
121
122
123
124
125
126
Karang merayap (Coral encrusting)
Karang submasif
127
Karang massif dari jenis Porites sp. dan karang lunak (soft coral)
Padang lamun yang dijumpai di lokasi penelitian
128
Gorgonian
Metode RRA untuk ikan karang yang diterapkan dalam penelitian.
129
Tabel 6. Tabel Posisi Geografi Stasiun Penelitian di perairan Wakatobi
I. REEF TOP
Kaledupa Wangi-wangi No. St. Longitude Latitude No. St. Longitude Latitude
1 123o 31’33.0” E 05o 50’32.7” S 1 123o 30’55.3” E 05o 20’ 32.6’ S 2 123o 31’44.0” E 05o 49’37.6” S 2 123o 29’52.3” E 05o 19’ 55.4’ S 3 123o 30’35.9” E 05o 48’59.0” S 3 123o 28’47.0” E 05o 19’ 24.1’ S 4 123o 30’08.8” E 05o 47’55.4” S 4 123o 27’35.0” E 05o 19’ 39.5’ S 5 123o 29’29.1” E 05o 46’58.8” S 5 123o 27’41.1” E 05o 20’ 55.9’ S 6 123o 28’44.6” E 05o 46’10.0” S 6 123o 28’48.0” E 05o 21’ 52.8’ S 7 123o 28’52.1” E 05o 47’06.0” S 7 123o 29’45.2” E 05o 22’ 09.6’ S 8 123o 28’12.8” E 05o 47’30.7” S 8 123o 31’34.3” E 05o 23’ 00.6’ S 9 123o 27’07.5” E 05o 46’19.4” S 9 123o 33’42.1” E 05o 23’ 42.1’ S 10 123o 26’54.6” E 05o 45’32.3” S 10 123o 34’46.0” E 05o 25’ 01.7’ S 11 123o 28’24.0” E 05o 45’28.9” S 11 123o 36’37.2” E 05o 26’ 03.9’ S 12 123o 28’32.9” E 05o 43’50.3” S 12 123o 38’16.4” E 05o 26’ 14.9’ S 13 123o 27’50.7” E 05o 42’01.6” S 13 123o 38’47.9” E 05o 25’ 19.1’ S 14 123o 28’24.5” E 05o 40’50.0” S 14 123o 38’38.9” E 05o 22’ 59.4’ S 15 123o 30’27.6” E 05o 42’18.4” S 15 123o 38’36.3” E 05o 20’ 54.3’ S 16 123o 32’22.8” E 05o 44’01.3” S 16 123o 38’31.7” E 05o 18’ 34.2’ S 17 123o 33’49.7” E 05o 45’35.8” S 17 123o 38’36.9” E 05o 17’ 20.8’ S 18 123o 35’41.9” E 05o 47’04.3” S 18 123o 37’09.6” E 05o 15’ 46.5’ S 19 123o 36’16.3” E 05o 49’05.2” S 19 123o 35’10.9” E 05o 14’ 46.5’ S 20 123o 35’40.1” E 05o 50’33.1” S 20 123o 33’34.2” E 05o 14’ 55.6’ S 21 123o 35’27.4” E 05o 52’57.9” S 21 123o 32’04.5” E 05o 14’ 45.1’ S 22 123o 33’04.1” E 05o 53’04.6” S 22 123o 31’09.2” E 05o 15’ 39.4’ S 23 123o 31’03.2” E 05o 53’02.8” S 23 123o 31’12.8” E 05o 16’ 24.7’ S 24 123o 31’31.1” E 05o 51’33.6” S 24 123o 31’32.5” E 05o 17’ 36.4’ S 25 123o 31’27.7” E 05o 51’03.2” S 25 123o 31’37.0” E 05o 18’ 52.9’ S 26 123o 31’51.4” E 05o 20’ 42.4’ S
Tomia Atol Kaledupa No. St. Longitude Latitude No. St. Longitude Latitude
1 123o 50’41.3” E 05o 47’ 25.9’ S 1 123o 55’34.8” E 05o 44’36.3” S 2 123o 49’51.7” E 05o 48’ 09.1’ S 2 123o 55’11.8” E 05o 44’40.2” S 3 123o 49’30.4” E 05o 49’ 15.2’ S 3 123o 54’36.7” E 05o 44’40.0” S 4 123o 50’04.6” E 05o 50’ 12.4’ S 4 123o 54’15.6” E 05o 44’06.7” S 5 123o 50’24.3” E 05o 51’ 25.1’ S 5 123o 52’54.3” E 05o 43’08.5” S 6 123o 50’29.8” E 05o 52’ 39.2’ S 6 123o 51’12.1” E 05o 42’34.4” S 7 123o 50’35.7” E 05o 52’ 33.4’ S 7 123o 49’55.9” E 05o 43’01.7” S 8 123o 51’04.2” E 05o 54’ 17.5’ S 8 123o 47’18.5” E 05o 42’14.6” S 9 123o 51’37.2” E 05o 53’ 19.9’ S 9 123o 45’30.5” E 05o 40’50.4” S 10 123o 52’20.2” E 05o 52’ 14.0’ S 10 123o 44’50.9” E 05o 39’43.6” S 11 123o 52’51.8” E 05o 51’ 28.8’ S 11 123o 43’37.2” E 05o 38’32.8” S 12 123o 53’28.0” E 05o 50’ 46.0’ S 12 123o 41’55.2” E 05o 37’23.0” S 13 123o 54’01.1” E 05o 50’ 13.5’ S 13 123o 41’01.3” E 05o 36’52.6” S 14 123o 55’11.2” E 05o 49’ 59.1’ S 14 123o 39’32.5” E 05o 36’36.2” S 15 123o 55’47.5” E 05o 49’ 33.1’ S 15 123o 38’16.9” E 05o 35’26.6” S 16 123o 56’27.4” E 05o 49’ 25.0’ S 16 123o 37’24.7” E 05o 34’45.5” S 17 123o 56’49.3” E 05o 48’ 40.6’ S 17 123o 54’24.0” E 05o 47’37.7” S 18 123o 55’45.0” E 05o 48’ 04.3’ S 18 123o 54’23.0” E 05o 48’06.0” S 19 123o 54’20.6” E 05o 47’ 58.4’ S 19 123o 55’46.4” E 05o 47’50.5” S 20 123o 53’20.7” E 05o 47’ 42.9’ S 20 123o 56’24.1” E 05o 45’10.5” S 21 123o 52’13.7” E 05o 47’ 23.1’ S 21 123o 55’18.8” E 05o 48’54.8” S 22 123o 52’17.2” E 05o 46’ 44.3’ S 22 123o 53’05.7” E 05o 48’49.3” S 23 123o 51’26.3” E 05o 46’ 55.2’ S 23 123o 52’29.5” E 05o 48’28.6” S 24 123o 51’25.0” E 05o 47’ 34.8’ S 24 123o 50’32.9” E 05o 48’01.7” S 25 123o 51’23.7” E 05o 47’ 49.8’ S 25 123o 49’12.9” E 05o 45’48.1” S 26 123o 47’23.0” E 05o 45’08.7” S 27 123o 42’23.2” E 05o 44’45.8” S 28 123o 45’32.1” E 05o 43’02.8” S
29 123o 44’16.6” E 05o 41’42.1” S 30 123o 40’23.3” E 05o 41’29.2” S
130
31 123o 42’19.8” E 05o 41’30.0” S 32 123o 39’16.9” E 05o 38’39.0” S 33 123o 39’55.9” E 05o 37’50.5” S 34 123o 39’19.5” E 05o 36’27.1” S 35 123o 39’25.7” E 05o 35’03.2” S 36 123o 54’28.5” E 05o 47’15.0” S
II. REEF EDGE
Kaledupa Tomia No. St. Longitude Latitude No. St. Longitude Latitude
1 123o 31’25.4” E 05o 51’24.8” S 1 123o 52’02.1” E 05o 46’10.5” S 2 123o 30’13.5” E 05o 49’39.8” S 2 123o 50’39.3” E 05o 47’23.7” S 3 123o 29’22.0” E 05o 47’49.6” S 3 123o 49’43.5” E 05o 48’08.1” S 4 123o 27’07.9” E 05o 46’38.8” S 4 123o 49’28.5” E 05o 49’19.5” S 5 123o 27’35.2” E 05o 45’25.8” S 5 123o 49’59.1” E 05o 50’07.0” S 6 123o 28’34.6” E 05o 45’32.7” S 6 123o 50’21.0” E 05o 51’16.5” S 7 123o 28’19.9” E 05o 43’37.7” S 7 123o 50’27.6” E 05o 52’48.1” S 8 123o 27’48.3” E 05o 42’04.0” S 8 123o 50’40.6” E 05o 54’16.7” S 9 123o 28’00.0” E 05o 40’56.9” S 9 123o 51’41.1” E 05o 53’20.4” S 10 123o 30’19.3” E 05o 42’09.3” S 10 123o 52’31.2” E 05o 52’05.3” S 11 123o 37’41.6” E 05o 43’15.5” S 11 123o 53’26.0” E 05o 50’59.0” S 12 123o 32’44.6” E 05o 44’26.3” S 12 123o 54’35.2” E 05o 50’07.9” S 13 123o 34’17.3” E 05o 46’00.3” S 13 123o 55’31.6” E 05o 49’59.5” S 14 123o 35’49.9” E 05o 47’25.4” S 14 123o 56’39.9” E 05o 49’20.3” S 15 123o 36’20.4” E 05o 49’14.7” S 15 123o 56’26.7” E 05o 48’07.8” S 16 123o 35’39.5” E 05o 51’09.7” S 16 123o 54’45.2” E 05o 47’49.9” S 17 123o 35’35.2” E 05o 53’04.6” S 17 123o 53’20.7” E 05o 47’27.1” S 18 123o 33’17.2” E 05o 53’11.3” S 18 123o 52’34.1” E 05o 46’23.7” S 20 123o 31’25.7” E 05o 51’38.9” S
Pulau Tomia Wangi-wangi
No. St. Longitude Latitude No. St. Longitude Latitude 1 123o 53’43.4” E 05o 46’41.6” S 1 123o 31.008’ E 05o 20.534’ S 2 123o 54’57.5” E 05o 46’57.8” S 2 123o 29.669’ E 05o 20.534’ S 3 123o 56’03.7” E 05o 46’57.6” S 3 123o 27.941’ E 05o 19.422’ S 4 123o 57’56.8” E 05o 47’06.5” S 4 123o 27.610’ E 05o 20.750’ S 5 123o 59’57.1” E 05o 46’20.8” S 5 123o 28.323’ E 05o 21.573’ S 6 123o 00’29.6” E 05o 45’25.5” S 6 123o 29.458’ E 05o 22.134’ S 7 123o 58’17.3” E 05o 44’07.6” S 7 123o 31.029’ E 05o 22.588’ S 8 123o 56’13.4” E 05o 43’14.8” S 8 123o 32.242’ E 05o 23.326’ S 9 123o 54’18.2” E 05o 42’54.0” S 9 123o 33.847’ E 05o 23.849’ S 10 123o 53’29.8” E 05o 44’10.5” S 10 123o 35.004’ E 05o 25.455’ S 11 123o 36.886’ E 05o 26.178’ S 12 123o 38.493’ E 05o 26.131’ S 13 123o 38.131’ E 05o 24.844’ S 14 123o 38.691’ E 05o 23.025’ S 15 123o 38.671’ E 05o 20.990’ S 16 123o 38.800’ E 05o 18.711’ S 17 123o 37.987’ E 05o 16.241’ S 18 123o 36.048’ E 05o 15.031’ S 19 123o 34.505’ E 05o 14.456’ S 20 123o 32.672’ E 05o 14.733’ S 21 123o 31.192’ E 05o 15.450’ S 22 123o 31.410’ E 05o 17.374’ S 23 123o 31.520’ E 05o 18.889’ S 24 123o 31.786’ E 05o 20.670’ S
Atol Kaledupa
No. St. Longitude Latitude No. St. Longitude Latitude 1 123o 47’ 25.9” E 05o 54’ 35.6” S 37 123o 45’38.0” E 05o 45’23.0” S 2 123o 47’ 56.9” E 05o 54’ 42.1” S 38 123o 45’10.8” E 05o 44’40.7” S 3 123o 48’ 25.1” E 05o 54’ 57.4” S 39 123o 44’23.7” E 05o 44’19.2” S 4 123o 47’ 32.9” E 05o 55’ 50.9” S 40 123o 43’39.3” E 05o 43’51.1” S
131
5 123o 47’ 14.5” E 05o 56’ 38.2” S 41 123o 42’05.5” E 05o 43’06.1” S 6 123o 48’ 15.7” E 05o 56’ 16.5” S 42 123o 42’13.1” E 05o 42’01.1” S 7 123o 49’ 00.3” E 05o 55’ 15.1” S 43 123o 41’09.0” E 05o 40’41.0” S 8 123o 49’ 05.4” E 05o 54’ 04.1” S 44 123o 40’38.3” E 05o 39’23.8” S 9 123o 48’ 52.4” E 05o 53’ 06.0” S 45 123o 39’35.1” E 05o 38’44.6” S 10 123o 48’ 53.8” E 05o 51’ 56.6” S 46 123o 38’15.9” E 05o 38’29.7” S 11 123o 49’ 09.6” E 05o 50’ 56.3” S 47 123o 36’47.4” E 05o 37’54.0” S 12 123o 48’ 21.0” E 05o 49’ 41.6” S 48 123o 36’17.4” E 05o 36’19.7” S 13 123o 48’ 03.7” E 05o 48’ 51.4” S 49 123o 36’01.9” E 05o 35’02.8” S 14 123o 47’ 44.8” E 05o 48’ 30.2” S 50 123o 35’35.8” E 05o 33’19.2” S 15 123o 47’ 13.5” E 05o 48’ 54.6” S 51 123o 35’54.2” E 05o 31’39.4” S 16 123o 46’ 22.0” E 05o 48’ 54.8” S 52 123o 37’39.0” E 05o 32’10.1” S 17 123o 46’ 05.0” E 05o 48’ 13.1” S 53 123o 38’31.3” E 05o 33’40.4” S 18 123o 46’ 23.1” E 05o 47’ 15.3” S 54 123o 39’29.1” E 05o 35’01.7” S 19 123o 46’ 33.6” E 05o 46’ 47.9” S 55 123o 40’23.2” E 05o 36’17.4” S 20 123o 46’ 21.9” E 05o 46’ 25.0” S 56 123o 41’41.7” E 05o 36’20.2” S 21 123o 46’ 11.3” E 05o 46’ 16.9” S 57 123o 55’38.4” E 05o 44’13.9” S 22 123o 46’ 04.5” E 05o 46’ 24.0” S 58 123o 56’14.5” E 05o 46’07.0” S 23 123o 45’ 45.7” E 05o 46’ 21.6” S 59 123o 54’26.0” E 05o 42’13.0” S 24 123o 45’ 34.3” E 05o 45’ 58.6” S 60 123o 53’55.0” E 05o 41’23.0” S 25 123o 45’ 25.4” E 05o 45’ 43.9” S 61 123o 51’07.0” E 05o 41’23.0” S 26 123o 45’ 15.9” E 05o 45’ 34.9” S 62 123o 52’30.3” E 05o 41’28.0” S 27 123o 45’ 00.2” E 05o 45’ 19.0” S 63 123o 50’59.0” E 05o 41’56.0” S 28 123o 44’ 34.8” E 05o 44’ 41.5” S 64 123o 50’33.0” E 05o 43’28.0” S 29 123o 44’ 08.0” E 05o 44’ 06.2” S 65 123o 49’02.0” E 05o 42’40.0” S 30 123o 42’ 47.7” E 05o 44’ 53.8” S 66 123o 48’23.0” E 05o 41’32.0” S 31 123o 42’ 41.5” E 05o 45’ 17.8” S 67 123o 44’01.4” E 05o 37’04.3” S 32 123o 43’ 13.5” E 05o 46’ 09.9” S 68 123o 45’13.4” E 05o 38’56.5” S 33 123o 43’ 27.1” E 05o 46’ 42.2” S 69 123o 46’51.1” E 05o 39’36.1” S 34 123o 43’ 35.7” E 05o 47’ 05.4” S 70 123o 47’28.4” E 05o 40’18.5” S 35 123o 43’ 57.4” E 05o 47’ 32.1” S 71 123o 48’06.7” E 05o 40’53.3” S 36 123o 44’ 24.2” E 05o 48’ 17.6” S
III. KUALITAS AIR
Atol Bag. Selatan Atol Bag. Utara No. St. Longitude Latitude No. St. Longitude Latitude
1 123o 44’11.3” E 05o 54’45.1” S 1 123o 41’06.4’ S 05o 41’08.9” E 2 123o 47’03.8” E 05o 55’55.5” S 2 123o 39’52.7’ S 05o 40’51.7” E 3 123o 48’37.0” E 05o 55’09.1” S 3 123o 39’02.0’ S 05o 41’45.9” E 4 123o 49’10.4” E 05o 54’03.8” S 4 123o 37’02.9’ S 05o 42’09.8” E 5 123o 47’43.3” E 05o 54’18.7” S 5 123o 36’44.6’ S 05o 40’02.9” E 6 123o 46’07.4” E 05o 53’43.4” S 6 123o 36’50.9’ S 05o 38’25.2” E 7 123o 47’38.0” E 05o 52’52.7” S 7 123o 38’09.3’ S 05o 36’22.3” E 8 123o 47’05.7” E 05o 50’02.9” S 8 123o 35’12.1’ S 05o 37’36.6” E 9 123o 45’44.5” E 05o 49’07.2” S 10 123o 45’05.3” E 05o 47’45.9” S
Kaledupa Tomia
No. St. Longitude Latitude No. St. Longitude Latitude 1 123o 52’47.6” E 05o 30’59.0’ S 1 123o 50’28.9” E 05o 49’10.6” S 2 123o 51’03.5” E 05o 32’15.0’ S 2 123o 52’50.5” E 05o 48’36.7” S 3 123o 50’08.4” E 05o 31’11.0’ S 3 123o 51’17.5” E 05o 49’59.5” S 4 123o 49’21.9” E 05o 32’33.5’ S 4 123o 54’36.0” E 05o 47’42.2” S 5 123o 48’30.8” E 05o 32’51.3’ S 5 123o 54’36.5” E 05o 50’45.1” S 6 123o 48’12.3” E 05o 30’52.8’ S 6 123o 53’37.6” E 05o 51’33.6” S 7 123o 46’43.0” E 05o 30’38.3’ S 7 123o 53’12.6” E 05o 50’18.9” S 8 123o 45’52.3” E 05o 29’05.6’ S 8 123o 54’05.3” E 05o 45’24.5” S 9 123o 44’05.6” E 05o 28’28.4’ S 9 123o 53’33.4” E 05o 48’45.9” S 10 123o 42’17.4” E 05o 27’44.8’ S 10 123o 54’19.8” E 05o 42’59.7” S 11 123o 44’32.7” E 05o 32’16.0’ S 11 123o 56’54.9” E 05o 43’20.6” S 12 123o 46’47.9” E 05o 35’11.7’ S 12 123o 59’15.7” E 05o 44’42.8” S
132
13 123o 49’11.6” E 05o 35’12.5’ S 13 123o 00’46.2” E 05o 45’54.1” S 14 123o 51’46.0” E 05o 35’44.2’ S 14 123o 56’31.5” E 05o 46’45.7” S 15 123o 53’27.1” E 05o 34’06.2’ S
Wangi-Wangi No. St. Longitude Latitude No. St. Longitude Latitude
1 123o 31’44.1” E 05o 19’21.2” S 6 123o 33’17.5” E 05o 23’09.5” S 2 123o 30’33.4” E 05o 19’56.5” S 7 123o 34’00.9” E 05o 23’19.9” S 3 123o 31’48.6” E 05o 20’04.8” S 8 123o 34’57.6” E 05o 24’19.3” S 4 123o 28’26.5” E 05o 19’09.3” S 9 123o 36’02.8” E 05o 23’43.4” S 5 123o 28’28.0” E 05o 21’38.1” S 10 123o 32’21.2” E 05o 23’51.5” S
IV. OSEANOGRAFI
No. St. Longitude Latitude No. St. Longitude Latitude 1 123o 45’17.1’’ E 05o 54’46.7’’ S 11 123o 26’00.0.’’ E 05o 16’00.0’’ S 2 123o 45’00.0.’’ E 05o 57’00.0’’ S 12 123o 34’00.0.’’ E 05o 12’00.0’’ S 3 123o 38’00.0.’’ E 05o 46’00.0’’ S 13 123o 42’00.0.’’ E 05o 17’00.0’’ S 4 123o 34’00.0.’’ E 05o 40’00.0’’ S 14 123o 42’00.0.’’ E 05o 25’00.0’’ S 5 123o 39’00.0.’’ E 05o 38’00.0’’ S 15 123o 54’00.0.’’ E 05o 52’00.0’’ S 6 123o 46’00.0.’’ E 05o 44’00.0’’ S 16 123o 51’00.0.’’ E 05o 30’00.0’’ S 7 123o 51’00.0.’’ E 05o 44’00.0’’ S 17 123o 39’00.0.’’ E 05o 29’00.0’’ S 8 123o 56’00.0.’’ E 05o 42’00.0’’ S 18 123o 50’00.0.’’ E 05o 37’00.0’’ S 9 124o 01’12.0.’’ E 05o 46’00.0’’ S 19 123o 32’00.0.’’ E 05o 28’00.0’’ S 10 123o 32’00.0.’’ E 05o 32’00.0’’ S 20 123o 25’00.0.’’ E 05o 23’16.0’’ S