cricopharyngeal dysfunction

27
BAB I PENDAHULUAN Disfungsi krikofaringeal merupakan salah satu penyebab disfagia servikal, yaitu sebesar 5 – 25%. Disfagia sendiri mengacu kepada kesulitan dalam menelan makanan sebagai akibat dari gangguan dalam proses menelan. Disfagia dapat menjadi ancaman serius bagi kesehatan seseorang karena risiko pneumonia aspirasi, malnutrisi, dehidrasi dan obstruksi jalan napas. Sebagian besar disfungsi krikofaringeal atau disebut juga dengan akalasia krikofaringeal terjadi karena kegagalan otot krikofaring atau sfingter atas esofagus untuk berelaksasi, sehingga bolus makanan tidak dapat masuk ke esofagus. Penyebab dari disfungsi krikofaringeal ini sebagian masih belum diketahui (idiopatik), sabagian lagi merupakan disfungsi krikofaringeal sekunder yang pada umumnya disebabkan oleh kelainan neurologis seperti stroke ataupun neuropati perifer. Hal ini sering terjadi pada pasien dengan usia lanjut karena fungsi menelan yang menurun. Oleh karena komplikasi yang dapat terjadi akibat dari disfagia, terutama pneumonia aspirasi, perlu dilakukan penanganan segera terhadap penyebab disfagia tersebut. Pada disfungsi krikofaringeal, dapat dilakukan terapi dengan medikamtentosa ataupun tindakan 1

Upload: suciramadhani13

Post on 10-Apr-2016

59 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

spasme krikofaring/upper esophagus sphincter

TRANSCRIPT

Page 1: cricopharyngeal dysfunction

BAB I

PENDAHULUAN

Disfungsi krikofaringeal merupakan salah satu penyebab disfagia servikal,

yaitu sebesar 5 – 25%. Disfagia sendiri mengacu kepada kesulitan dalam menelan

makanan sebagai akibat dari gangguan dalam proses menelan. Disfagia dapat

menjadi ancaman serius bagi kesehatan seseorang karena risiko pneumonia

aspirasi, malnutrisi, dehidrasi dan obstruksi jalan napas.

Sebagian besar disfungsi krikofaringeal atau disebut juga dengan akalasia

krikofaringeal terjadi karena kegagalan otot krikofaring atau sfingter atas esofagus

untuk berelaksasi, sehingga bolus makanan tidak dapat masuk ke esofagus.

Penyebab dari disfungsi krikofaringeal ini sebagian masih belum diketahui

(idiopatik), sabagian lagi merupakan disfungsi krikofaringeal sekunder yang pada

umumnya disebabkan oleh kelainan neurologis seperti stroke ataupun neuropati

perifer. Hal ini sering terjadi pada pasien dengan usia lanjut karena fungsi

menelan yang menurun.

Oleh karena komplikasi yang dapat terjadi akibat dari disfagia, terutama

pneumonia aspirasi, perlu dilakukan penanganan segera terhadap penyebab

disfagia tersebut. Pada disfungsi krikofaringeal, dapat dilakukan terapi dengan

medikamtentosa ataupun tindakan pembedahan. Kedual hal tersebut dapat

memperbaiki prognosis dan juga menghindarkan pasien dari komplikasi

berbahaya disfagia yang disebabkan oleh disfungsi krikofaringeal.

1

Page 2: cricopharyngeal dysfunction

BAB II

ANATOMI DAN FISIOLOGI FARING

A. Anatomi Faring

Suatu saluran yang menghubungkan mulut dan hidung ke esofagus dan laring.

Faring juga berhubungan dengan telinga tengah melalui tuba Eustachius yang

berfungsi menyeimbangkan tekanan udara di liang telinga tengah. Faring

terbagi menjadi tiga bagian: a.orofaring; b.nasofaring; c. laringofaring

(hipofaring). Nasofaring dan laringofaring merupakan saluran pernapasan,

sedangkan orofaring merupakan gabungan dari saluran pencernaan dan

pernapasan.1

Gambar 1. Anatomi Tenggorok1

Permukaan eksterior faring berada di sebelah anterior vertebra servikal dan

tediri atas otot volunter yang dilapisi oleh fasia bucofaringeal. Tepat di atas

fasia bukofaringeal, terdapat pleksus vena faringeal dan pleksus nervus

faringeal. Nasofaring membuka ke arah hidung melalui koana posterior.

Adenoid terletak pada mukosa atap dari nasofaring. Di kedua sisi nasofaring,

2

Page 3: cricopharyngeal dysfunction

merupakan muara tuba Eustachius yang berada di sebelah depan dari suatu

lekukan yang dinamakan fosa Rosenmuller. Otot tensor veli palatini

merupakan otot yang menegangkan palatum dan membuka tuba Eustachius dan

berhubungan dengan faring melalui ruangan ini. Orofaring berhubungan

dengan rongga mulut. Tonsila faringeal dalam kapsulnya terletak pada mukosa

dinding lateral rongga mulut. Di depan tonsila, terdapat arkus faring anterior

yang disusun oleh otot palatoglosus, dan di belakang dari arkus faring posterior

disusun oleh otot palatofaring. Otot-otot ini membantu menutupnya orofaring

bagian posterior dan otot-otot tersebut dipersarafi oleh pleksus faring. Tonsila

disusun oleh jaringan limfoid yang diliputi oleh epitel skuamosa yang berisi

beberapa kripta.

Hipofaring atau laringofaring terbuka ke arah depan dan berhubungan

dengan introitus laring. Epiglotis dilekatkan pada dasar lidah oleh kedua

frenulum lateral dan satu frenulum di garis tengah. Hal ini menyebabkan

terbentuknya valekula di setiap sisi.2

Dinding eksterior faring terdiri dari empat otot utama: faring konstriktor

superior, faring kontriktor media, faring konstriktor inferior, dan stilofaring.

Muskulus faringeus konstriktor superior berorigo di rafe pterigomandibular,

pterygoid hamulus os.sfenoid, ujung posterior mandibula dan aspek lateral

lidah. Tepat di atasnya, terdapat fasia faringobasilar yang melekatkan faring ke

basis cranii.

Muskulus faring konstriktor media berada tepat dibawah m.faring

konstriktor superior. Berorigo pada ligamen stiloid. Serabut otot ini akan

bertumpang tindih dengan serabut m.faring kontriktor superior dan inferior.

Muskulus faring konstriktor inferior terdiri dari dua otot yang terpisah,

yaitu m.tirofaring dan m.krikofaring karena kedua otot tersbut memiliki origo,

insersi dan fungsi yang berbeda. M.tirofaring berorigo di kartilago tiroid dan

berinsersi di rafe faringeal, sedangkan m.krikofaringeus berorigo di permukaan

lateral dari kartilago dan tiroid dan tempat insersinya berada di serabut-serabut

sirkuler dari esofagus. Oleh karena itu, otot krikofaring berperan sebagai

sfingter esofagus superior.3

3

Page 4: cricopharyngeal dysfunction

Gambar 2. Otot Dinding Faring3

Pleksus saraf faring memberi pasokan saraf eferen dan aferen faring dan

dibentuk oleh cabang dari nervus glosofaring (saraf kranial IX), nervus vagus

(saraf kranial X), dan serat simpatis dari rantai servikal. Selain muskulus

stilofaring, yang dipersarafi oleh saraf glosofaring, semua otot-otot faring

dipersarafi oleh nervus vagus.4

Semua otot-otot intrinsik laring dipersarafi oleh nervus laring, cabang

nervus vagus, kecuali untuk otot krikotiroid, yang menerima persarafan dari

cabang eksternal dari nervus laring superior, juga dari cabang nervus vagus.4

Pleksus faring menerima cabang-cabang nervus vagus dan glosofaring

untuk persarafan sensorik faring. Sepertiga lidah posterior, di orofaring,

menerima baik sensasi rasa dan sensasi somatik dari nervus glosofaring. Otot

krikofaring (UES) menerima persarafan parasimpatis untuk relaksasi dari

nervus vagus dan persarafan simpatis untuk kontraksi dari serabut post

ganglionik dari ganglion servikal superior.4

4

Page 5: cricopharyngeal dysfunction

Gambar 3. Sirkulasi dan Inervasi Faring3

B. Fisiologi Menelan

Pada umumnya, menelan dapat dibagi menjadi: (1) tahap volunter, yang

mencetuskan proses menelan, (2) tahap faringeal, yang bersifat involunter dan

membantu jalannya makanan melalui faring ke dalam esofagus, dan (3) tahap

esofageal, fase involunter lain yang mengangkut makanan dari faring ke lambung.

Tahap volunter

Bila makanan sudah siap untuk ditelan, secara sadar makanan ditekan atau

digulung ke arah posterior ke dalam faring oleh tekanan lidah ke atas dan ke

belakang terhadap palatum. Dari sini, proses menelan menjadi seluruhnya

berlangsung secara otomatis dan umumnya tidak bisa dihentikan.

5

Page 6: cricopharyngeal dysfunction

Tahap faringeal

Sewaktu bolus makanan memasuki bagian posterior mulut dan faring, bolus

merangsang daerah epitel reseptor menelan di sekeliling pintu faring, khususnya

pada tiang-tiang tonsil, dan sinyal-sinyal dari sini berjalan ke batang otak untuk

mencetuskan serangkaian kontraksi otot faringeal secara otomatis sebagai berikut:

1. Palatum mole tertarik ke atas untuk menutupi nares posterior, untuk mencegah

refluks makanan ke ronga hidung; 2. Lipatan palatofaringeal pada setiap sisi

faring tertarik ke arah medial untuk saling mendekat satu sama lain. Dengan cara

ini, lipatan-lipatan tersebut membentuk celah sagittal yang harus dilewati oleh

makanan untuk masuk ke dalam faring posterior. Celah ini melakukan kerja

selektif, sehingga makanan yang telah cukup dikunyah dapat lewat dengan

mudah. Karena tahap penelanan ini berlangsung kurang dari 1 detik, setiap benda

besar apapun biasanya sangat dihalangi untuk berjalan masuk ke esofagus; 3. Pita

suara laring menjadi sangat berdekatan, dan laring tertarik ke atas dan anterior

oleh kontraksi m.stilofaring, m.salfingofaring, m.hioid dan m.palatofaring5. Hal

ini, digabung dengan adanya ligamen yang mencegah pergerakan epiglotis ke

atas, menyebabkan epiglotis bergerak ke belakang di atas pembukaan laring.

Aditus laring tertutup oleh epiglottis, sedangkan ketiga sfingter laring, yaitu plika

ariepiglotika, plika ventrikular dan plika vokal tertutup karena kontraksi

m.ariepiglotika dan m.aritenoid obligus; 4. Gerakan laring ke atas juga menarik

dan melebarkan pembukaan esofagus. Pada saat yang bersamaan 3-4 cm di atas

dinding otot esofagus, yang dinamakan sfingter esofagus atas (juga disebut

sfingter faringoesofageal atau otot krikofaring) berelaksasi, sehingga makanan

dapat bergerak dengan mudah dan bebas dari faring posterior ke dalam esofagus

bagian atas. Di antara penelanan, sfingter ini tetap berkontraksi dengan kuat,

sehingga mencegah udara masuk ke esofagus selama respirasi. Gerakan laring ke

atas juga mengangkat glotis keluar dari jalan utama makanan, sehingga makanan

terutama hanya melewati setiap sisi epiglotis dan bukan melintas di atas

permukaanya; hal ini menambah pencegahan terhadap masuknya makanan ke

dalam trakea; 5. Setelah laring terangkat dan sfingter krikofaring mengalami

relaksasi, seluruh otot dinding faring berkontraksi, mulai dari bagian superior

6

Page 7: cricopharyngeal dysfunction

faring lalu menyebar ke bawah melintasi daerah faring media dan inferior, yang

mendorong makanan ke dalam esofagus melalui proses peristaltik.

Gambar 4. Proses menelan. Fase oral, Fase faringeal, dan Fase esofagal3

Tahap esofageal

Esofagus terutama berfungsi untuk menyalurkan makanan secara cepat

dari faring ke lambung, dan gerakannya diatur secara khusus untuk fungsi

tersebut. Normalnya, esofagus memiliki dua gerakan peristaltik : peristaltik

primer dan peristaltik sekunder. Peristaltik primer hanya merupakan kelanjutan

dari gelombang peristaltik yang dimulai di faring dan menyebar ke esofagus

selama tahap faringeal dari proses menelan. Jika gelombang peristaltik primer

gagal mendorong semua makanan yang telah masuk ke esofagus ke dalam

lambung, terjadi gelombang peristaltik sekunder yang dihasilkan dari peregangan

esofagus oleh makanan yang tertahan, gelombang ini terus berlanjut sampai

semua makanan dikosongkan ke dalam lambung. Gelombang peristaltik sekunder

ini sebagian dimulai oleh sirkuit saraf intrinsik dalam sistem saraf mienterikus dan

7

Page 8: cricopharyngeal dysfunction

sebagian oleh refleks - refleks yang dimulai pada faring lalu dihantarkan ke atas

melalui serabut-serabut aferen vagus ke medula dan kembali lagi ke esofagus

melalui serabut-serabut saraf eferen glosofaringeal dan vagus.6

Susunan otot dinding faring dan sepertiga bagian atas esofagus adalah otot

lurik. Karena itu, gelombang peristaltik di daerah ini diatur oleh sinyal saraf

rangka dari saraf glosofaringeal dan saraf vagus. Pada dua pertiga bagian bawah

esofagus, susunan ototnya merupakan otot polos, namun bagian esofagus ini juga

secara kuat diatur oleh saraf vagus yang bekerja melalui perhubungan dengan

system saraf mienterikus esofageal.5,6

8

Page 9: cricopharyngeal dysfunction

BAB III

DISFUNGSI KRIKOFARINGEAL

A. Definisi

Disfungsi krikofaringeal adalah kegagalan dari otot krikofaringeus atau

sfingter atas esofagus untuk berelaksasi. Disfungsi krikofaringeal ini disebut juga

dengan akalasia krikofaringeus.7

B. Epidemiologi

Insidensi disfagia servikal yang disebabkan oleh disfungsi krikofaringeal

masih belum sepenuhnya diketahui. Kurangnya data epidemiologik ini

dikarenakan oleh adanya kontroversi dalam kriteria diagnostik disfungsi

krikofaringeal. Sebagian peneliti mendiagnosis disfungsi krikofaringeal cukup

dengan tanda dan gejala klinis saja, sedangkan di pihak lain, berpendapat bahwa

untuk mendiagnosis disfungsi krikofaringeal diperlukan pemeriksaan radiologik

lebih lanjut atau studi invasif lainnya. Walaupun insidensi pasti dari disfungsi

krikofaringeal masih belum diketahui, pada literatur dilaporkan bahwa akalasia

krikofaringeal merupakan penyebab primer atau kontributor utama disfagia, yaitu

sebesar 5 – 25%.8

C. Etiologi

Dalam keadaan normal, otot krikofaring berada dalam kondisi kontraksi

dan akan berelaksasi pada saat menelan untuk dilewati oleh bolus makanan. Pada

disfungsi krikofaringeal, terjadi kegagalan relaksasi otot krikofaring pada saat

menelan. Disfungsi krikofaringeal ini disebut juga dengan akalasia

krikofaringeal.7

Disfungsi krikofaringeal terbagi menjadi dua jenis berdasarkan

penyebabnya, yaitu disfungsi krikofaringeal primer dan sekunder. Pada disfungsi

9

Page 10: cricopharyngeal dysfunction

krikofaringeal primer terjadi spasme atau kegagalan otot krikofaring untuk

berelaksasi tanpa adanya penyebab sistemik atau neurologis yang mendahului.

Grup primer ini kemudian dibagi lagi menjadi disfungsi krikofaringeal idiopatik

(tidak diketahui penyebabnya) dan disfungsi krikofaringeal yang disebabkan oleh

kelainan intrinsik otot krikofaring (misal: polimiositis, distrofi muskular,

hipotiroidisme).

Pada kasus lain, spasme otot krikofaring disebabkan oleh adanya suatu

kelainan neurologis, seperti polio, disfagia okulofaringeal, stroke, dan

amyotrophic lateral sclerosis (ALS). Penyakit saraf perifer seperti, neuropati

dibetikum, myastenia gravis dan neuropati perifer juga diketahui dapat

menyebabkan disfungsi krikofaringeal atau akalasia krikofaringeal.9

D. Patofisiologi

Dampak ketidak-normalan pada fase faringeal dalam proses menelan

adalah choking, coughing dan aspirasi. Hal ini terjadi bila : 1. Refleks menelan

gagal teraktivasi sehingga fase faring tidak berlangsung. Terjadi akibat gangguan

neurologi pada pusat proses menelan di medulla atau saraf kranial sehingga terjadi

ketidakstabilan saat menelan ludah dan timbul pengeluaran air liur (drooling)

serta penumpukan sekresi; 2. Refleks menelan terlambat, sehingga dapat terjadi

aspirasi sebelum proses menelan dimulai; 3. Sfingter krikofaring gagal

berelaksasi. Aspirasi dapat terjadi karena penumpukan bahan/makanan pada

sfingter yang tertutup sehingga dapat masuk ke jalan napas yang sedang terbuka.5

E. Diagnosis

Anamnesis

Tanda dan gejala yang muncul pada disfungsi krikofaringeal dapat

bervariasi. Gejala yang timbul antara lain : (a) Disfagia (makanan padat dan

cairan, terutama makanan padat), (b) perasaan makanan yang menyangkut di

tenggorok. Sebagian besar pasien mengeluh rasa menyangkut atau mengganjal di

leher sepertiga bawah. Pasien biasanya akan menunjuk di daerah krikoid saat

10

Page 11: cricopharyngeal dysfunction

mendeskripsikan disfagia yang dialami. Selain itu, pasien juga dapat mengeluh

heartburn, rasa tercekik (choking) dan nyeri saat menelan. Tanda dan gejala lain

yang lebih jarang ditemukan antara lain, disfonia, globus sensation, dan rasa

tertekan di leher saat proses menelan makanan. Gejala-gejala ini dapat terjadi

selama berbulan-bulan hingga bertahun-tahun.9

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan daerah leher dilakukan untuk melihat dan meraba adanya

massa tumor atau pembesaran kelenjar limfe yang dapat menekan esofagus.

Daerah rongga mulut perlu diteliti, apakah ada tanda-tanda peradangan orofaring

dan tonsil selain adanya massa tumor yang dapat menganggu proses menelan.

Selain itu, diteliti adanya kelumpuhan otot-otot lidah dan arkus faring yang

disebabkan oleh gangguan di pusat menelan maupun pada saraf kranial n.V, VII,

IX, X, dan XII. 5

Pemeriksaan Penunjang

Untuk diagnosis selain anamnesis dan pemeriksaan fisik yang dapat

dilakukan pemeriksaan penunjang untuk diagnosis kelainan disfagia antara lain :

Video Fluoroskopic Swallow Assessment (VFSA). Pemeriksaan ini yang

juga dikenal sebagai Modified Barium Swallow (BMS), adalah pemeriksaan yang

sering dilakukan untuk mengevaluasi disfagia dan aspirasi. Pemeriksaan ini

menggambarkan struktur dan fisiologi menelan pada rongga mulut, faring, laring

dan esofagus bagian atas. Pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan bolus

kecil dengan berbagai konsistensi yang dicampur dengan barium.5 Pada disfungsi

krikofaringeal ditemukan gambaran bar horizontal (cricopharyngeal bar) setinggi

kartilago krikoid. Hal ini menimbulkan indentasi atau lekukan posterior di saluran

yang dilewati barium selama proses menelan. VFSS juga dapat melihat ada atau

tidaknya suatu aspirasi nasofaringeal, luapan laringeal, aspirasi dan stasis

faringeal, dimana hal-hal tersebut biasa ditemukan pada disfungsi krikofaringeal.9

11

Page 12: cricopharyngeal dysfunction

Gambar 4. Indentasi Faring pada Pencitraan Radiologik7

Flexible Endoscopy Evaluation of Swallowing (FEES). Pemeriksaan ini

dilakukan untuk mengevaluasi fungsi menelan dengan menggunakan

nafaringoskop serat lentur. Pasien diberikan berbagai jenis konsistensi makanan

dari jenis makanan cair sampai padat dan dinilai kemampuan pasien dalam proses

menelan. Dengan pemeriksaan FEES, dinilai lima proses fisilogi dasar, yaitu (a)

sensitivitas, pada daerah orofaring dan hipofaring yang sangat berperan dalam

terjadinya aspirasi; (b) Spillage (preswallowing leakage), masuknya makanan ke

dalam hipofaring sebelum refleks menelan dimulai sehingga mudah terjadi

aspirasi; (c) Residu, menumpuknya sisa makanan pada daerah valekula, sinus

piriformis, poskrikoid dan dinding faring posterior sehingga makanan tersebut

akan mudah masuk ke jalan napas pada saat proses menelan; (d) Penetrasi,

masuknya makanan ke vestibulum laring tetapi belum melewati pita suara; (e)

Aspirasi, masuknya makanan ke jalan napas melewati pita suara.5

Tes Manometri. Pemeriksaan ini digunakan untuk mengevaluasi

perubahan tekanan yang terjadi saat proses menelan. Dalam prosesnyaa,

menggunakan kateter tipis dan fleksibel yang di masukan ke esofagus melalui

hidung atau mulut. Kateter yang digunakan memiliki suatu sensor tekanan yang

terpasang di lokasi spesifik tertentu. Sensor tekanan ini dapat menilai kekuatan

12

Page 13: cricopharyngeal dysfunction

dan koordinasi dari gerakan peristaltik faring dan esofagus serta kekuatan

kontraksi dan relaksasi dari sfingter esofagus bagian atas dan bawah. Tetapi

pemeriksaan ini lebih sering digunakan untuk menilai kekuatan motorik dari

esofagus karena untuk menilai disfungsi dari sfingter esofagus atas diperlukan alat

khusus tambahan karena perubahan kecepatan tekanan faringeal pada proses

menelan melebihi kapasitas yang dimiliki oleh alat biasa yang digunakan untuk

manometri esofageal.10

Gambar 5. Tes Manomateri10

F. Penatalaksanaan

Medikamentosa

Disfungsi krikofaringeal pada umumnya refrakter terhadap terapi

medikamentosa, termasuk terapi dengan muscle relaxant. Injeksi toksin botulinum

pada otot krikofaring diketahui sebagai intervensi terapeutik yang paling

memungkinkan. Teradapat dua manfaat yang didapatkan dari injeksi toksin

13

Page 14: cricopharyngeal dysfunction

botulinum ini, yang pertama adalah pada pasien yang masih diragukan menderita

dasfagia yang disebabkan oleh disfungsi krikofaring, toksin botulinum dapat

digunakan sebagai terapi percobaan. Jika keluhan disfagia pasien membaik atau

menghilang setalah pemberian toksin botulinum, diagnosis disfungsi

krikofaringeal bisa ditegakkan dan tindakan pembedahan diperlukan lebih lanjut.

Manfaat kedua adalah, pada pasien yang tidak dapat menjalan tindakan bedah,

injeksi toksin botulinum merupakan terapi pilihan. Sayangnya, penyuntikan toksin

botulinum ke otot krikofaring cukup sulit dilakukan dan juga membuat pasien

tidak nyaman. Selain itu, efek dari toksin ini hanya sementara, sehingga

diperlukan penyuntikan berulang dan terus menerus untuk mempertahankan efek

terapeutik. Efek samping yang dapat terjadi bila penyuntikan tidak tepat di otot

krikofaring adalah paralisis sementara dari otot-otot laringeal, yang kemudian

menyebabkan disfonia atau aspirasi.9

Pembedahan

Pembedahan yang dilakukan pada disfungsi krikofaringeal yaitu eksternal

krikofaringeal miotomi. Dilakukan pemotongan pada otot krikofaring, dan

diperluas ke arah superior dan inferior untuk memastikan bahwa seluruh otot

terbebas, sehingga dapat dikatakan dilakukan miotomi sepanjang 4 – 5 cm.8

Gambar 6. a. Krikofaringeal Miotomi, b. Panjang Insisi Miotomi8

Akhir-akhir ini, beberapa ahli bedah sudah melakukan krikofaringeal

miotomi dengan pendekatan transoral endoskopik laser. Tehnik ini memiliki

14

Page 15: cricopharyngeal dysfunction

beberapa keuntungan, antara lain tidak dilakukannya insisi eksternal pada leher

dan mengurangi resiko cedera pada jaringan sekitar. Komplikasi dari

krikofaringeal miotomi antara lain adalah pemotongan berlebih hingga memasuki

lumen esofagus (inadvertent esophagotomy), yang dapat menyebabkan fistula.

Komplikasi lainnya yaitu, cedera pada nervus laringeal rekuren yang akan

menyebabkan hoarsness atau suara parau.9

G. Prognosis

Secara umum, prognosis pada pasien disfagia yang tidak diobati adalah buruk.

Hanya sedikit pasien yang mengalami perbaikan secara spontan. Pasien yang tidak

diberi terapi biasanya dapat menimbulkan kematian oleh karena pneumonia

aspirasi. Dilaporkan bahwa angka kesuksesan dari cricopharyngeal myotomy

mencapai 75%. 8

BAB IV

RESUME

15

Page 16: cricopharyngeal dysfunction

Proses menelan atau deglutisi terdiri dari 3 fase, yaitu fase oral, faringeal

dan esofageal. Disfagia atau sulit menelan dapat terjadi apabila terdapat gangguan

di salah satu fase deglutisi tersebut. Pada tahap akhir dari fase faringeal, terdapat

suatu proses peristaltik faring dan relaksasi sfingter atas esofagus atau yang

disebut juga dengan otot krikofaring. Relaksasi dari otot ini memungkinkan bolus

makanan masuk ke esofagus. Tetapi, pada disfungsi krikofaring, proses tersebut

tidak terjadi, sehingga pasien akan mengalami disfagia. Dengan gejala antara lain

rasa menyangkut di tenggorok, biasanya pasien sulit menelan makanan padat, bila

sudah semakin berat, pasien juga dapat mengalami kesulitan menelan air. Selain

itu pasien juga akan menunjuk ke sepertiga leher bagian bawah saat diminta untuk

mendeskripsikan disfagianya.

Disfungsi krikofaring terbagi menjadi dua berdasarkan penyebabnya, yaitu

disfungsi krikofaring idiopatik/primer (penyebabnya tidak diketahui) dan

disfungsi krikofaring sekunder, yang biasanya disebabkan oleh kelainan saraf

seperti stroke, polio, parkinson’s disease, ataupun neuropati perifer.

Diagnosis pasti dari disfungsi krikofaring adalah dengan melakukan

pemeriksaan radiologi, yaitu videofluoroskopic swallow assessment (VFSS).

Pemeriksaan ini dapat memberikan visualisasi faring dan esofagus. Akan terlihat

gambaran cricopharingeal bar setinggi kartilagi krikoid yang menimbulkan

lekukan pada saluran yang dilewati barium.

Disfagia yang tidak ditangani, dapat menimbulkan berbagai komplikasi,

yang paling sering dijumpai dan berbahaya adalah pneumonia aspirasi. Oleh

karena itu, pada pasien disfagia yang disebabkan oleh disfungsi krikofaringeal,

dapat diberikan terapi medikamentosa ataupun pembedahan. Terapi

medikamentosa yang paling efektif adalah injeksi toksin botulinum pada otot

krikofaring, tetapi terapi yang paling dianjurkan adalah dengan pembedahan.

Teknik bedah yang dilakukan yaitu eksternal miotomi krikofaring.

Dengan diberikannya terapi tersebut, dapat memperbaiki prognosis pasien

dengan menghindari terjadinya komplikasi dari disfagia.

16

Page 17: cricopharyngeal dysfunction

DAFTAR PUSTAKA

17

Page 18: cricopharyngeal dysfunction

1. Keeton WT. Human Digestive System. Encyclopaedia Brittanica. Diunduh

dari http://www.britannica.com/science/human-digestive-system/Pharynx.

2. Adams GL, Boeis L, Higler PA, et al. Embriologi, Antomi, dan Fisiologi

Rongga Mulut, Faring, Esofagus, dan Leher. Dalam Boeis Buku Ajar

Penyakit THT. Edisi 6. Jakarta: EGC, 2012.

3. Joshi AS. Pharynx Anatomy. Medscape. Diunduh dari

http://emedicine.medscape.com/article/1949347-overview#a4.

4. Throat anatomy. Diunduh dari

http://emedicine.medscape.com/article/1899345-overview#showall.

5. Soepardi EA. Disfagia. Dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung

Tenggorok Kepala dan Leher. Editor: Soepardi EA, Iskandar N,

Bashiruddin J, Restuti RD. Edisi ke 6. Jakarta: FKUI. 2007. h. 276-302.

6. Guyton AC, Hall JE. Propulsi dan Pencampuran Makanan dalam Saluran

Pencernaan. Dalam Guyton and Hall Buku Ajar Fisiologi Kedokteran.

Edisi 11. Jakarta: EGC, 2006. h: 821-831.

7. Cricopharyngeal Dysfunction. Bastian Medical Media for Laryngology.

Diunnduh dari http://bastianmedicalmedia.com/cricopharyngeal-

dysfunction/.

8. Bhattacharayya N. Cricophyaringeal Myotomy. Medscape. Diuunduh dari

http://emedicine.medscape.com/article/836966-overview.

9. Rao SM, Satischandra T, Murthy PSN. Case Report : Cricopharyngeal

Myotomy Revisited. International Journal of Phonosurgery and

Laryngology, July-December 2011; 1(2): 76 – 79.

10. Swallowing Disorder. Diunduh dari

http://www.hopkinsmedicine.org/gastroenterology_hepatology/_pdfs/esop

hagus_stomach/swallowing_disorders.pdf. 2015

18