bab ii kajian pustaka 2.1. hamstring muscle tightness ... ii.pdfsendiri, juga berakibat pada range...

32
9 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Hamstring Muscle Tightness (HMTs). 2.1.1. Pengertian Muscle Tightness (MTs) merupakan ketidakseimbangan kerja otot (muscle imbalance) yang menyebabkan perubahan elastisitas pada otot tersebut (Key, 2010). Sedangkan menurut Kisner dan Colby (2007) MTs merupakan gambaran keterbatasan gerak akibat pemendekan adaptif dari jaringan kontraktil dan beberapa unsur (element) dari non kontraktil otot. Sedangkan menurut Agustin (2013), HMTs adalah kondisi otot yang memendek akibat menurunnya sifat fisiologis otot maupun patologis seperti trauma, infeksi atau akibat un-activity sehingga menghambat ROM dan muscle performance, MTs berupa contracture, perlekatan, dan pembentukan jaringan parut yang mengarah pada pemendekan otot. Jadi HMTs merupakan gangguan elastisitas pada otot hamstring dan keterbatasan gerak akibat pemendekan yang bersifat adaptif pada element otot. Ghanbari et al (2013), Key (2010), Cantu dan Grodin (2001) menyatakan bahwa HMTs selain menyebabkan gangguan elastisitas pada otot hamstring itu sendiri, juga berakibat pada range of motion dari knee joint, postural dysfunction dan kelemahan otot otot punggung bagian bawah yang dapat menyebabkan low back pain (LBP). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Harty et al (2005) tentang hamstring tightness, ternyata terjadinya plantar fasciitis berkaitan dengan adanya peningkatan ketegangan pada otot hamstring. Penelitian lainnya mengenai HMTs rupanya menjadi faktor penyebab utama terjadinya Hamstring Muscle

Upload: truongkhanh

Post on 29-Jun-2019

215 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Hamstring Muscle Tightness ... II.pdfsendiri, juga berakibat pada range of motion dari knee joint, postural dysfunction dan kelemahan otot – otot punggung

9

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1. Hamstring Muscle Tightness (HMTs).

2.1.1. Pengertian

Muscle Tightness (MTs) merupakan ketidakseimbangan kerja otot (muscle

imbalance) yang menyebabkan perubahan elastisitas pada otot tersebut (Key,

2010). Sedangkan menurut Kisner dan Colby (2007) MTs merupakan gambaran

keterbatasan gerak akibat pemendekan adaptif dari jaringan kontraktil dan

beberapa unsur (element) dari non kontraktil otot. Sedangkan menurut Agustin

(2013), HMTs adalah kondisi otot yang memendek akibat menurunnya sifat

fisiologis otot maupun patologis seperti trauma, infeksi atau akibat un-activity

sehingga menghambat ROM dan muscle performance, MTs berupa contracture,

perlekatan, dan pembentukan jaringan parut yang mengarah pada pemendekan

otot. Jadi HMTs merupakan gangguan elastisitas pada otot hamstring dan

keterbatasan gerak akibat pemendekan yang bersifat adaptif pada element otot.

Ghanbari et al (2013), Key (2010), Cantu dan Grodin (2001) menyatakan

bahwa HMTs selain menyebabkan gangguan elastisitas pada otot hamstring itu

sendiri, juga berakibat pada range of motion dari knee joint, postural dysfunction

dan kelemahan otot – otot punggung bagian bawah yang dapat menyebabkan low

back pain (LBP). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Harty et al (2005)

tentang hamstring tightness, ternyata terjadinya plantar fasciitis berkaitan dengan

adanya peningkatan ketegangan pada otot hamstring. Penelitian lainnya mengenai

HMTs rupanya menjadi faktor penyebab utama terjadinya Hamstring Muscle

Page 2: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Hamstring Muscle Tightness ... II.pdfsendiri, juga berakibat pada range of motion dari knee joint, postural dysfunction dan kelemahan otot – otot punggung

10

Strain Injuries (HMSI) pada atlet terutama pada atlet yang membutuhkan

kecepatan, kekuatan dan kelenturan yang maksimal pada otot hamstring-nya

misalnya pada atlet sepak bola, sprinter, dan rugby (Louis, 2004). Freckleton dan

Pizzari (2011) menyatakan bahwa HMSI beresiko pada atlet yang usianya >22

tahun, pada atlet yang berat badannya tidak propossional, dan pada atlet yang

fleksibilitas otot hamstring-nya lemah.

2.1.2. Anatomi dan Biomekanik Otot Hamstring

1. Anatomi Otot Hamstring

Otot hamstring merupakan group otot yang terdiri dari Biceps Femoris

(BF) yang dibagi dua yakni Biceps Femoris Long Head (BFlh) dan Biceps

Femoris Short Head (BFsh) (Gambar 2.1.A), Semitendonosus (ST) (Gambar

2.1.B), dan Semimembranosus (SM) (Gambar 2.1.C). Semua otot berorigo di

tuberositas ischium kecuali, BFsh yang melekat di linea aspera dan lateral

supracondylar segaris pada osteum femur. Sedangkan untuk insertion dari otot

BF melekat pada sisi lateral dari Os. Fibula, untuk otot ST melekat pada sisi

medial dari permukaan Os. Tibialis bagian superior, sedangkan untuk otot SM

melekat pada sisi medial dari Condylus Os. Tibialis bagian posterior (Hoskins

dan Pollard, 2005).

Menurut Wismanto (2011), otot hamstring memiliki gerak fungsional

dasar untuk knee flexion, sebagai muscle accessory untuk gerakan Hip

Extension dan gerakan eksternal serta internal dari gerakan rotasi hip.

hamstring juga merupakan otot tonik, yang berfungsi sebagai otot stabilitator

Page 3: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Hamstring Muscle Tightness ... II.pdfsendiri, juga berakibat pada range of motion dari knee joint, postural dysfunction dan kelemahan otot – otot punggung

11

postural, dan memiliki serat serabut otot yang tebal yang memiliki kandungan

myoglobin dan kapasitas oksidatif tinggi sehingga tahan terhadap kelelahan

yang cukup tinggi.

2. Koneksi dan Peran Otot Hamstring Pada Otot Postural.

Hamstring yang berfungsi sebagai stabilitator postural menurut

Wismanto (2011) ternyata didukung oleh teorinya Hoskins dan Pollard (2005)

yang mengatakan bahwa otot hamstring terkoneksi dengan otot-otot yang

berada di punggung belakang yang merupakan komponen stabilitator postur

tubuh. Origo dari BFlh (Gambar 2.2 A dan B) yang melekat pada Ischial

Tuberosity merupakan kepanjangan dari ligament sacrotuberous yang

posisinya menyilang di Os. Sacrum dan melekat pada Thoracolumbar Fascia

(TLF). TLF terhubung dengan beberapa jaringan contractile dan non-

A B C

Gambar 2.1 Origo dan Insertio pada otot : A. Biceps Femoris, B.

Semimembranosus, dan C. Semitendinosus (Cael, 2010)

Page 4: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Hamstring Muscle Tightness ... II.pdfsendiri, juga berakibat pada range of motion dari knee joint, postural dysfunction dan kelemahan otot – otot punggung

12

contractile lainnya seperti Latisimus Dorsi, Transversus Abdominus, Internal

Oblique, Rhomboid, Splenius Capitis, Cervicus Tendon, Lumbar Vertebrae,

dan Posterior Superior Iliac Spines. Selain itu BF juga terkoneksi kuat dengan

otot Pereneus Longus (Gambar 2.2 C) yang melekat di Os. Fibula yang

bertugas sebagai penggerak ankle. Sehingga pada intinya otot hamstring

secara fungsional terhubung dengan lumbar-pelvic spine, upper torso, dan

shoulder lalu apabila otot hamstring mengalami tightness maka akan

berdampak pada TLF, dan mengganggu pergerakan dari Sacroiliac Joint (SIJ).

A B C

Gambar 2.2. Koneksi otot Hamstring A. TLF serta Latisimus Dorsi secara

Fungsional terhubung dengan bahu dan punggung belakang atas. B. BF Long

Head yang menyambung dengan bagian superfisial dari ligamen sacrotuberous.

C. koneksi anatara fascia dari BF dengan Peroneus Longus (Hoskins dan

Pollard, 2005)

Page 5: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Hamstring Muscle Tightness ... II.pdfsendiri, juga berakibat pada range of motion dari knee joint, postural dysfunction dan kelemahan otot – otot punggung

13

3. Kompleksitas Otot Hamstring Dalam Gait Cycle.

Menurut Koulouris dan Connell (2005) Kompleksitas Otot Hamstring

atau hamstring muscle complex (HMC) secara fungsional sangat penting

kaitannya bagi hip extensors dan knee flexors dalam gait cycle. Pada fase

swing terutama pada permulaan gerakan ekstensi hip otot hamstring akan

teraktivasi untuk berkontraksi sekitar 25% dan berlanjut menjadi 50% ketika

gerakan full hip ekstensi serta secara aktif menahan gerakan dari knee ekstensi

(Koulouris dan Connell, 2005). Pada saat paha mengayun kedepan terjadi

gerakan knee flexion yang sebagain besar otot-ototnya dalam keadaan passive,

hal tersebut dilakukan, karena tubuh secara baik telah memperhitungkan untuk

mengurangi resiko terjadinya muscle strain pada gerakan difase tersebut, lalu

pada fase Heel Strike, HMC mendapat informasi untuk mengurangi kecepatan

gerakannya, sehingga Os. Tibia dan Os. Femur dalam keadaan mengunci

membentuk knee extension yang membuat perpindahan tumpuan berat tubuh

menjadi maju kedepan (Koulouris dan Connell, 2005). HMC merupakan

stabilisator dinamis pada gerakan knee extension yang berkerjasama dengan

Anterior Crusiatum Ligament (ACL) sebagai stabilator statis di lutut.

Kerjasama antara HMC dan ACL terutama terjadi ketika derajat knee flexion

berada di 30° dan kaki dalam keadaan melangkah kedepan menjauhi tubuh.

Ketika kaki dalam keadaan menumpu maka HMC akan mengalami elongasi

yang optimal sehingga memberikan stabilisasi yang baik bagi lutut. Dan

ketika fase selanjutnya yakni fase Toe Off maka hamstring akan membantu

Page 6: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Hamstring Muscle Tightness ... II.pdfsendiri, juga berakibat pada range of motion dari knee joint, postural dysfunction dan kelemahan otot – otot punggung

14

quadriceps untuk mendorong kaki melangkah kedepan (Koulouris dan

Connell, 2005).

Perubahan yang terjadi secara tiba-tiba pada otot hamstring dari perannya

sebagai stabilitator menjadi penggerak dari extensor knee diasumsikan

menjadi faktor utama terjadinya cedera. Hal ini disebabkan karena kontraksi

dari antagonis muscle yakni quadriceps yang berkerja secara tidak

proposional, karena ketidak proposionalan itulah HMC didesak untuk

memainkan dua peran sekaligus guna menyeimbangkan ketidak stabilan

tersebut. Dan apabila hamstring gagal menyeimbangkan hal tersebut maka

kemungkinan beresiko terjadinya muscle strain injury (Koulouris dan Connell,

2005).

4. Persyarafan Pada Otot Hamstring.

Secara struktur anatomi, gerak pada otot mendapatkan perintah dan

informasi baik sensoris maupun motoris dari sistem saraf yang

menghubungkan. Hamstring, sebagaimana telah dijelaskan pada paragraf

sebelumnya yang berkaitan dengan struktur otot, fungsi dan biomekanik

gerak, hamstring memiliki komponen innervasi fungsi diberbagai area bagian,

misalnya pada otot BF, antara otot BFlh dan BFsh memiliki inervasi yang

berbeda bahkan setiap orangpun bisa berbeda pola inervasinya. Penelitian

yang dilakukan oleh Woodley dan Mercer (2005) yang menguji tentang

Hamstring Architecture and Innervation pada 6 (enam) cadaver yang terbagi

3 (tiga) cadaver wanita dan 3 (tiga) cadaver pria, semua cadaver tersebut

usianya sekitar 66-88 tahun ketika meninggal. Woodley dan Mercer

Page 7: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Hamstring Muscle Tightness ... II.pdfsendiri, juga berakibat pada range of motion dari knee joint, postural dysfunction dan kelemahan otot – otot punggung

15

menemukan pola inervasi (Pattern of Innervation) yang berbeda pada otot

BFlh, perbedaannya terkait asal cabang saraf (nerve branch originated) di 6

(enam) spesimen tersebut, mereka menemukan 4 (empat) diantaranya

bercabang dari saraf sciatic (sciatic nerve) dan 2 (dua) dari spesimen lainnya

dari saraf tibialis (nerve tibialis). Pada otot BFsh 4 (empat) spesimen berasal

dari cabang saraf peroneal (peroneal nerve) sedangkan 2 (dua) spesimen yang

lainnya berasal dari cabang saraf sciatic (sciatic nerve), lalu untuk ST dan SM

muscle innervation untuk ketiga spesimen merupakan percabangan dari saraf

tibial (tibialis nerve) dan ketiga spesimen lainya dari percabangan saraf sciatic

(sciatic nerve).

2.1.3. Etiologi HMTs

Berdasarkan pengertian yang sudah dijelaskan bahwa HMTs merupakan

gangguan fungsi elastisitas dari otot hamstring. Tentunya ada beberapa penyebab

yang mengakibatkan otot hamstring mengalami tightness. Dari beberapa teori

mengatakan bahwa beberapa penyebab otot hamstring mengalami tightness dan

terganggu fleksibilitasnya adalah sebagai berikut :

1. Overuse : aktivitas yang berlebihan pada otot hamstring akan membuat otot

tersebut mengalami kelelahan (fatigue). Page et al (2010) berpendapat

bahwa yang menyebabkan otot menjadi kaku (tight) adalah overuse dan

trauma pada otot, dikarenakan hal tersebut akan menyebabkan ischemia

pada beberapa serabut otot yang lainnya, sehingga akan terganggunya

sirkulasi nutrien pada area serabut otot sekitarnya.

Page 8: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Hamstring Muscle Tightness ... II.pdfsendiri, juga berakibat pada range of motion dari knee joint, postural dysfunction dan kelemahan otot – otot punggung

16

2. Inactivity : jika sebelumnya overuse menyebabkan muscle tightness maka

kurangnya aktivitas pada suatu otot juga akan menyebabkan hal yang sama,

hal tersebut dikarenakan inactvity akan terjadi perubahan secara fisiologis

dalam otot, seperti misalnya : terjadi penurunan neural input pada serabut

otot yang menyebabkan massa otot berubah, perubahan distribusi

metabolisme (metabolic pathways) dalam otot, menurunya massa jenis

pembuluh darah kapiler (capillary density) dalam otot, dan semua hal

tersebut akan mengakibatkan penurunan elastisitas pada otot (Lennard dan

Crabtree, 2005).

3. Muscle Imbalance : ketidak seimbangan pada otot disini dimaksudkan

bahwa terjadinya kompensasi antar kerja otot, contohnya jika pada otot-otot

punggung bawah mengalami kelemahan maka otot hamstring dan gluteal

akan menarik pelvic berputar kearah posterior menyebabkan otot hamstring

dan gluteal terjadi peningkatan tonisitas, begitu juga otot-otot yang berada

di area abdominal akan menarik crista pubica tempat insertio dari otot

rectus abdominus yang menyebabkan otot quardriceps dalam keadaan

eccentric (Page et al, 2010).

4. Postural Disfunction : gangguan fungsi postural sangat berkaitan dengan

Postural Habits, maksudnya keadaan posture dalam rutinitas individu

dikesehariannya (Kisner dan Colby, 2007). Contohnya dalam posisi duduk

yang tidak baik akan menyebabkan kelengkungan posisi kurva vetebra

lumbal akan mengalami perubahan. Perubahan tersebut yakni kurva lumbal

menjadi flatt, dan apabila hal tersebut terjadi maka akan menyebabkan

Page 9: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Hamstring Muscle Tightness ... II.pdfsendiri, juga berakibat pada range of motion dari knee joint, postural dysfunction dan kelemahan otot – otot punggung

17

perubahan postur pada bagian lainnya, seperti misalnya posisi dagu akan

terlalu menjorok ke arah anterior (neck forward) dan kedua bahu akan

mengalami posisi protraksi serta pelvic akan berputar ke arah posterior

(Black et al, 1996), dan kita ketahui sebelumnya apabila posisi pelvic

berputar kearah posterior akan menyebabkan peningkatan tensitas pada otot

hamstring dan apabila menjadi habit beresiko mengalami tightness dan

shortness pada otot tersebut sehingga fleksibilitas dari otot hamstring

menjadi terganggu.

2.1.4. Patofisiologi Hamstring Muscle Tightness

1. Chain Reactions

Dari beberapa pendapat tentang etiologi Hamstring Muscle Tightness

diatas dapat di simpulkan bahwa terdapat keterkaitan penyebab satu dengan

yang lainnya. Hal ini dikarenakan dalam tubuh kita terdapat suatu reaksi yang

berantai (chain reactions). Dalam konsep Janda yang dijelaskan oleh Page et

al (2010) menjelaskan bahwa tubuh memiliki fungsi yang saling berkaitan dari

satu sistem ke sistem yang lain, karena ia berpendapat bahwa tidak ada suatu

sistem dalam tubuh yang berkerja secara independent. Sehingga ia

menjelaskan beberapa komponen sistem Chains Reactions yang saling

berantai dan berkaitan, sistem chains reactions tersebut terdiri dari Articular

Chains, Muscular Chains, dan Neurological Chains. Ketiga interaksi yang

saling berkaitan dari sistem chain reactions tersebut dapat dilihat pada Tabel

2.1.

Page 10: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Hamstring Muscle Tightness ... II.pdfsendiri, juga berakibat pada range of motion dari knee joint, postural dysfunction dan kelemahan otot – otot punggung

18

Dari Tabel 2.1 tentang keterkaitan ketiga sistem chain rections tersebut

menjelaskan bahwa Articular chains berfungsi untuk memelihara, mengatur

dan mempertahankan posture serta gerakan sistem skeletal secara menyeluruh,

lalu Muscular Chains berfungsi menyiapkan gerakan dan stabilisasi melalui

kerja otot yang sinergis antar tiap otot dan jaringan fascial. Sedangkan

Neurogical Chains berfungsi menyediakan control dalam gerakan seperti

reflek memperthankan suatu gerakan (protective reflexes), perkembangan

progresi dari locomotor sistem atau Neurodevelopmental motor progression,

dan mengatur sensorimotor sistem dalam suatu gerakan. Secara bersamaan

ketiga sistem chain reactions ini merupakan suatu komponen kesatuan yang

disebut Neuromusculoskeletal yang berfungsi dan bertanggung jawab atas

gerak fungsional tubuh.

Primary Chain Secondary Chains Types of Chains

Articular Muscular

Neurogical

Postural

Kinetic

Muscular Articular

Neurogical

Synergist

Muscle Slings

Myofascial Chains

Neurogical Articular

Muscular

Primitive reflexive chains

Sensorimotor system

Neurodevelopmental locomotor chains

Tabel 2.1

Keterkaitan Tiga Sistem Chain Reactions

Sumber Page et al. 2010

Gambar 2.3 Chains Posture saat duduk A. Poor Posture saat duduk

dan B. Good Postur saat duduk. (Page et al. 2010)

A B

Page 11: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Hamstring Muscle Tightness ... II.pdfsendiri, juga berakibat pada range of motion dari knee joint, postural dysfunction dan kelemahan otot – otot punggung

19

Gambar 2.3 merupakan ilustrasi keterkaitan sistem reaksi rantai antar

region dalam tubuh, gambar 2.3.B menunjukan posisi sikap postur yang baik

sehingga akan menstabilkan region yang lainya seperti kurva cervical spine,

thoracal spine, dan lumbal spine, serat shoulder area, dan juga pelvic area.

Sedangkan pada gambar 2.3 A menunjukan bahwa posisi sikap yang salah

sehingga mengakibatkan regio lainnya mengalami masalah. Myers (2009)

menganalisa sikap buruk pada saat duduk (Gambar. 2.4) yang mengakibatkan

beberapa regio atau area yang mengalami perubahan, yakni:

a. Upper neck menjadi hyperextension.

b. Kepala menjadi teralu maju kedepan karena kompensasi dari cervical bagian

bawah yang over flexion, sehingga menyebabkan ketegangan pada otot-

otot upper back muscle.

c. Dada menjadi terlalu kedepan dan sangkar thorax menjadi protraksi,

sehingga mengganggu pengembangan sangkar thorax dan juga pola

pernafasan.

d. Kurva lumbal menjadi mundur kebelakang yang menyebabkan

berkurangnya kurva lordosis dari lumbal, yang dalam waktu yang lama

akan menyebabkan hilangnya kurva atau lumbal menjadi flatt, serta

mengakibatkan kelemahan pada otot-otot punggung bagian bawah.

e. Pelvis berputar kearah belakang, yang menyebabkan peningkatan tension

pada otot hamstring dan gluteal sehingga otot tersebut mengalmi tigthness

dan mengakibatkan fleksibilitasnya terganggu. Beberapa keterangan dari

analisa Myers tentang postur duduk yang buruk tadi juga didukung oleh

Page 12: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Hamstring Muscle Tightness ... II.pdfsendiri, juga berakibat pada range of motion dari knee joint, postural dysfunction dan kelemahan otot – otot punggung

20

pernyataan Black et al (1996), Beach et al (2008), dan Page et al (2010)

yang menyatakan bahwa posterior pelvic tilt (PPT) mengakibatkan

fleksibilitas otot hamstring dan gluteal terganggu.

2. Static Low Level Contraction (Cinderella Hypothesis).

Terjadinya peubahan pelvic yang berputar kearah posterior atau PPT

akibat flatt-nya kurva vetebra lumbal maka terjadi perubahan tensitas pada

otot hamstring. Perubahan tersebut akan mengakibatkan aktivitas kinerja otot

yang overload. Apabila kinerja otot mengalami overload dalam waktu yang

lama pada motor unit (prolonged motor task) maka akan membuat

penumpukan sampah metabolic, yang akan menyebabkan gangguan

homeostasis ion kalsium dalam sel otot (Dommerholt et al, 2011). Kondisi ini

akan menyebabkan terjadinya kerusakan autogenic pada membran sel otot.

Kerusakan membran ini menyebabkan kebocoran intraselular enzim laktat

Gambar 2.4. Posisi duduk sambil menggunakan komputer yang

diambil munggunakan X-Ray (Myers. 2009).

Page 13: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Hamstring Muscle Tightness ... II.pdfsendiri, juga berakibat pada range of motion dari knee joint, postural dysfunction dan kelemahan otot – otot punggung

21

dehidrogenase, kerusakan mitokondria sel otot, dan kekurangan energi pada

sel otot dan menghasilkan nyeri karena pelepasan IL-6 dan cytokines lainnya

yang pada akhirnya menyebabkan kerusakan struktur myofilamen pada otot.

Kerusakan yang terjadi pada struktur myofilaments akan menyebabkan

gangguan nyeri pada otot berupa sensasi ketegangan (tightness) yang

menyebabkan keterbatasan gerak otot. Dommerholt et al (2011) menyebut ini

dengan sebutan Cinderella Hypothesis atau yang biasa dikenal dengan Low

level muscle contraction.

Pada static low level contraction terjadi peningkatan tekanan distribusi

terhadap pembuluh darah kapiler otot (Intramuscular Pressure distribution)

khususnya di daerah insersionya. Penekanan ini mengakibatkan penurunan

sirkulasi darah ke otot dan mengakibatkan hipoksia dan ischemic pada sel-sel

otot lokal (Otten, 1988 dalam Dommerholt et al, 2011). Penekanan ini juga

terjadi pada daerah muscle belly maka peningkatan tekanan tadi akan berperan

terhadap terjadinya rasa sensasi tidak nyaman seperti ketegangan (tightness)

dan nyeri pada musculotendinous junction.

3. Respon adaptasi Metabolic dan Neurophysiological.

Pada penjelasan diatas menjelaskan bahwa Static Low Level Contraction

akan menyebabkan struktur myofilament pada otot mengalami kerusakan.

Kerusakan struktur myofilament terpicu karena penekanan pembuluh darah

kapiler dalam jaringan kontraktil yang tertekan (Intramuscular Pressure

distribution) sehingga menyebabkan distribusi sirkulasi darah terganggu pada

tingkat sel-sel otot lokal. Distribusi darah yang sebagaimana kita ketahui,

Page 14: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Hamstring Muscle Tightness ... II.pdfsendiri, juga berakibat pada range of motion dari knee joint, postural dysfunction dan kelemahan otot – otot punggung

22

merupakan jalur asupan energi disetiap komponen jaringan, sehingga apabila

terganggu akan menyebakan beberapa respon fisiologis otot yang ikut

terganggu, seperti proses kontraksi dan relaksasi pada otot. Kontraksi dan

relaksasi otot tidak lepas dari peran actin dan myosin sebagai bagian dari

sarkomer yang berfungsi sebagai jaringan kontraktil pada tubuh manusia.

Terjadinya respon anatara actin dan myosin tersebut membutuhkan energi

cepat sebagai bahan dasar utama timbulnya suatu respon kontraksi dan

relaksasi. Namun pada hal ini kebutuhan energi tersebut tidak dapat terpenuhi

akbibat adanya gangguan sirkulasi darah kapiler dalam jaringan sehingga

respon kontraksi dan relaksasi pada actin dan myosin ikut terganggu,

gangguan tersebut berupa terjadinya Cross Linked pada Actin dan Myosin.

Jaringan elastin yang terganggu tersebut sangat berkaitan dengan Muscle

Spindel (MS) dan Golgi Tendon Organ (GTO) yang berfungsi sebagai Strech

Reseptor pada jaringan kontraktil. Ketika terjadinya perubahan atau kerusakan

pada komponen struktur elastin, akibat level kerja otot dalam posisi statis,

maka hal tersebut akan memberikan dampak signal yang akan direspon oleh

MS sebagai perubahan panjang pada otot, lalu MS akan beradaptasi dengan

kondisi otot yang berkontraksi secara statis. Kondisi adaptasi yang dilakukan

oleh MS akan memberikan rambatan signal kepada GTO yang berfungsi

sebagai pendeteksi ketegangan (muscle tension) selama kontraksi otot atau

peregangan otot. Ketegangan (tightness) yang terjadi jika terlalu lama akan

menimbulkan efek yang tidak baik bagi jaringan kontraktil. Efeknya jaringan

Page 15: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Hamstring Muscle Tightness ... II.pdfsendiri, juga berakibat pada range of motion dari knee joint, postural dysfunction dan kelemahan otot – otot punggung

23

kontraktil tersebut akan mengalami pemendekan (shortness), sehingga akan

berdampak terhadap fleksibilitas dan mobilitas dari otot tersebut.

2.2. Pemeriksaan Hamstring Muscle Tightness

Untuk memeriksa serta memastikan seseorang, menderita HMTs dan

mengalami gangguan fleksibilitasnya dapat dilakukan dengan secara manual.

Menurut Minarro et al (2009) cara manual tersebut terbagi menjadi dua cara

pengukurannya, yakni : Sit and Reach Test (SR), dan Back Saver Sit and Reach

Test (BSSR). Dalam penelitiannya, Minarro et al (2009) mengukur fleksibilitas

hamstring dengan membandingkan alat ukur menggunakan dua pengukuran

tersebut, dari 143 sampel yang terdiri dari 67 wanita dan 76 pria dengan rata-rata

usia 23 tahun, berat badan dengan rata – rata 75kg dan tinggi badan rata-rata

sampel 1.76 m. Dengan hasil bahwa SR lebih valid dibandingkan dengan BSSR,

dan Minarro et al (2009) juga menyarankan para praktisi sebaiknya menggunakan

SR untuk mengukur fleksibilitas dari otot hamstring dikarenakan pemeriksaan ini

lebih mudah dalam memahami protokol serta pemeriksaan ini dianjurkan bagi pria

maupun wanita usia sekitar 23-39 tahun.

Penelitian yang dilakukan Minarro et al (2009) juga didukung oleh Vega et

al (2014), dia menyatakan dalam penelitiannya (Meta-Analysis) bahwa validitas

untuk pengukuran fleksibilitas hamstring SR lebih baik dibandingkan dengan

pengukuran yang lainnya. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Minarro et al

(2009) dan Vega et al (2014) penulis meyakini bahwa pengukuran fleksibilitas

Page 16: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Hamstring Muscle Tightness ... II.pdfsendiri, juga berakibat pada range of motion dari knee joint, postural dysfunction dan kelemahan otot – otot punggung

24

hamsitring akan lebih baik bila menggunakan Sit and Reach Test (SR) maka dari

itu penulis akan menggunakan SR sebagai alat ukur dalam penelitian ini.

2.2.1. Sit and Reach Test (SR)

1. Pengertian Sit and Reach Test (SR)

Wismanto (2011) menjelaskan bahwa metode Sit and Reach Test (SR)

merupakan alat ukur untuk mengukur extensibilitas dari otot hamstring. Sit

and Reach Test (SR) adalah standar pemeriksaan untuk memeriksa

fleksibilitas otot hamstring dan otot punggung belakang (Glynn dan Fiddler,

2009). Sedangkan menurut Quinn (2014) Sit and Reach Test merupakan

metode pengukuran untuk mengukur fleksibilitas dari otot hamstring dan

punggung belakang yang meggunakan media berupa boks terbuat dari papan

atau metal yang tingginya 30 cm, lalu diatas boks tersebut diletakan penggaris

ukur yang panjangnya 26 cm keluar dari boks dan -26 cm sampai ke ujung

dari boks tersebut (Gambar 2.5).

Gambar 2.5. Contoh Sit and Reach Test Box Scale (Quinn. 2014).

Page 17: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Hamstring Muscle Tightness ... II.pdfsendiri, juga berakibat pada range of motion dari knee joint, postural dysfunction dan kelemahan otot – otot punggung

25

2. Metode Pengukuran Sit and Reach Test (SR).

Sit and Reach Test menurut Davis et al (2000) terbagi menjadi beberapa

klasifikasi normal berdasarkan kriteria usia (Tabel 2.2). dapat dilihat bahwa

tabel tersebut menjelaskan skor nilai “Baik Sekali” adalah 80-100, skor nilai

“Baik” 60-79, Skor nilai “Cukup Baik” 40-59, Skor nilai “Cukup” 20-39, dan

Skor nilai “Buruk” 0-19. Untuk mencapai skor 80-100 subjek harus mampu

mencapai lebih dari 13cm pada saat pengukuran melakukan test SR pada

kasus hamstring muscle tightness ini.

Penggunaan SR ini sangatlah mudah dan efisien, pertama-tama

pemeriksa meminta sampel untuk duduk dengan kaki lurus (Straight Leg),

kaki tanpa menggunakan alas (sepatu dan sandal), dilanjutkan dengan sampel

menaruh telapak tangannya diatas telapak tangan yang satunya lagi sehingga

ujung-ujung jari tangan terlihat seperti bertingkat. Lalu perlahan tangan

sampel atau subjek maju ke arah depan sejauh mungkin sambil

mempertahankan posisi lutut dalam posisi lurus, dan menyentuh permukaan

Klasifikasi

fleksibilitas Nilai Angka

Fleksibilitas Statis (cm)

Usia 18-38

Tahun

Usia 39-59

Tahun

Buruk 0 – 19 <1.0 <-6.0

Cukup 20 – 39 1.1 – 6.0 -5.9 – 1.0

Cukup Baik 40 – 59 6.1 – 10.0 1.1 – 7.0

Baik 60 – 79 10.1 – 13.0 7.1 – 10.0

Baik Sekali 80 – 100 13.1> 10.1>

Tabel 2.2

Klasifikasi Normal Pengukuran Sit and Reach Test Berdasarkan Kriteria Usia

Sumber Davis et al. 2000

Page 18: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Hamstring Muscle Tightness ... II.pdfsendiri, juga berakibat pada range of motion dari knee joint, postural dysfunction dan kelemahan otot – otot punggung

26

alat ukur (Gambar 2.6). yang perlu diperhatikan oleh pemeriksa adalah saat

gerakan dari subjek, gerakannya tidak boleh tersendat-sendat. Agar gerakan

subjek menjadi lebih baik, pemeriksa sebaiknya menyarankan untuk

membuang nafas saat gerakan membungkuk kedepan dan menurunkan kepala

sejajar dengan lengan. Hal tersebut dilakukan tiga kali pengulangan dan

pemeriksa mengambil satu dari hasil yang terbaik setelah pemeriksaan

berlangsung.

2.3. Penanganan Hamstring Muscle Tightness

Berdasarkan problem-problem yang dialami oleh penderita HMTs dan telah

kita ketahui beberapa faktor penyebabnya yang menjadikan HMTs ini kasus yang

sering terjadi. Serta banyaknya metode penanganan untuk mengembalikan

Gambar 2.6. Contoh Sit and Reach Test menggunakan Boks Scale (Vega et al. 2013).

Page 19: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Hamstring Muscle Tightness ... II.pdfsendiri, juga berakibat pada range of motion dari knee joint, postural dysfunction dan kelemahan otot – otot punggung

27

fleksibilitas dari otot hamstring akibat HMTs yang telah dijelaskan pada bab

sebelumnya. Oleh karena itu penulis memilih metode Hold Relax Stretching

(HRS) dan metode Aktif Isolated Stretching (AIS) untuk meningkatkan

fleksibilitas otot hamstring. Adapun tujuan pemilihan kedua metode penanganan

tersebut karena karena kedua teknik stretching tersebut memiliki efek fisiologis

yang sama dengan cara menginhibisi tendon golgi yang menyebabkan sarcomer

memanjang. Sehingga akan mengurangi bias dari penelitian yang penulis lakukan.

Untuk penjelasan respon fisiologis dari masing – masing metode penanganan

stretching terhadap peningkatan fleksibilitas otot hamstring akan dijelaskan pada

paragraf selanjutnya, tapi terlebih dahulu penulis akan jelaskan terkait adaptasi

fisiologis tubuh terhadap peningkatan fleksibilitas otot hamstring terhadap

pemberian stretching.

2.3.1. Stretching.

1. Pengertian Stretching.

Stretching merupakan komponen kebutuhan yang penting sekali dalam

kehidupan sehari – hari seseorang, karena dengan stretching membantu

melancarkan oksigen keseluruh tubuh dengan baik (Martin, 2005). Menurut

Nelson dan Kokkonen (2007) stretching merupakan bagian dasar dari

optimalisasi kesehatan dan aktivitas seseorang. Kisner dan Colby (2007) juga

menyatakan bahwa stretching merupakan penguluran pada otot yang akan

membantu meningkatkan fleksibilitas dan mobilitas otot serta memaksimalkan

Range of Motion (ROM) dari persendian.

Page 20: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Hamstring Muscle Tightness ... II.pdfsendiri, juga berakibat pada range of motion dari knee joint, postural dysfunction dan kelemahan otot – otot punggung

28

2. Efek Stretching Terhadap Peningkatan Fleksibilitas Otot

Kisner dan Colby (2007) menjelaskan tentang pengaruh stretching

terhadap otot, stretching akan mempengaruhi perubahan Neurophysiological

pada otot perubahan tersebut terjadi pada muscle spindel (MS) dan golgi

tendon organ (GTO). MS merupakan organ sensoris utama pada otot yang

fungsi utamanya sebagai penerima dan menyampaikan informasi tentang

perubahan dari panjang otot, serta kecepatan perubahan panjang yang terjadi

pada otot atau yang biasa disebut sebagai stretch receptor. MS terbagi menjadi

dua muscle fibers yakni Intrafusal muscle fibers (IMF) dan extrafusal muscle

fibers (EMF). IMF dan EMF tergabung dalam satu bundle dan terletak berjajar

satu sama lainnya, IMF dan EMF secara bersama –sama membentuk otot

rangka pada tubuh (Gambar 2.7).

Gambar 2.7. Muscle Spindle. Diagram Intrafusal muscle fibers

(IMF) dan extrafusal muscle fibers (EMF) (Kisner dan Colby. 2007).

Page 21: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Hamstring Muscle Tightness ... II.pdfsendiri, juga berakibat pada range of motion dari knee joint, postural dysfunction dan kelemahan otot – otot punggung

29

Pada gambar 2.7 dapat dilihat bahwa IMF terbagi menjadi Nuclear Bag

Fiber (NBF) dan Nuclear Chain Fiber (NCF). dinamakan demikian karena

susunan inti mereka di bagian tengah serat otot (muscle fiber). NBF berfungsi

sebagai receptor sensoris utama atau Primary Stretch Receptor (PSR) yang

menerima rangsangan dengan cepat dan secara terus-menerus terhadap

perubahan panjang otot. Sedangkan NCF merupakan receptor yang hanya

menerima rangsangan secara tonic stretch saja dan biasa disebut Secondary

Stretch Receptor (SSR). PSR dan SSR terimplusasi oleh alpha or gamma

motoneurons, dan apabila terstimulasi menyebabkan terangsangnya IMF dan

EMF (Kisner dan Colby, 2007).

Sedangkan GTO adalah stretch receptor yang terletak di dalam tendon

otot tepat di luar perlekatannya pada serabut otot tersebut. Refleks GTO bisa

terjadi akibat tegangan otot yang berlebihan. Sinyal-sinyal dari GTO

merambat ke medula spinalis yang menyebabkan terjadinya hambatan respon

(negative feed-back) terhadap kontraksi otot yang terjadi. Hal ini untuk

mencegah terjadinya sobekan otot sebagai akibat tegangan yang berlebihan.

Dalam hal ini refleks GTO merupakan pelindung untuk mencegah terjadinya

sobekan otot, namun dapat juga bekerja sama dengan muscle spindle untuk

mengontrol seluruh kontraksi otot dalam pergerakan tubuh. Sedangkan peran

GTO dalam proses pergerakan atau pengaturan motorik adalah mendeteksi

ketegangan selama kontraksi otot atau peregangan otot. Namun antara GTO

dengan MS ada perbedaan fungsi. MS berfungsi untuk mendeteksi perubahan

panjang serabut otot, sedangkan GTO berfungsi mendeteksi ketegangan otot.

Page 22: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Hamstring Muscle Tightness ... II.pdfsendiri, juga berakibat pada range of motion dari knee joint, postural dysfunction dan kelemahan otot – otot punggung

30

Signal dari GTO dihantarkan ke medula spinalis untuk menyebabkan

efek refleks pada otot yang bersangkutan. Efek inhibisi dari GTO

menyebabkan rileksasi seluruh otot secara tiba-tiba. Efek inhibisi terjadi pada

waktu kontraksi atau regangan yang kuat pada suatu tendon. Keadaan ini

menyebabkan suatu refleks seketika yang menghambat kontraksi otot serta

tegangan dengan cepat berkurang. Pengurangan tegangan ini berfungsi

sebagai suatu mekanisme protektif untuk mencegah terjadinya robek pada otot

atau lepasnya tendon dari perlekatannya ke tulang. Golgi Tendon Organ

(GTO) memiliki fungsi sebagai propioceptor lain yang punya pengaruh dalam

gerak stretch reflex, GTO terletak di dekat sambungan antara perut otot dan

tendon, yang memiliki fungsi sebagai penghambat terjadinya kontraksi otot.

GTO melindungi otot dari kontraksi yang berlebihan dan saat GTO

terstimulasi maka otot akan rileks.

3. Mekanisme Respon Neurophysiological Terhadap Stretching pada Otot.

Stretching yang diberikan pada otot maka akan memiliki pengaruh yang

pertama akan terjadi pada komponen elastin (aktin dan miosin) dan tegangan

dalam otot meningkat dengan tajam, sarkomer memanjang dan bila dilakukan

terus-menerus otot akan beradaptasi dan hal ini hanya bertahan sementara

untuk mendapatkan panjang otot yang diinginkan respon mekanik otot

terhadap peregangan bergantung pada myofibril dan sarkomer otot. Setiap otot

tersusun dari beberapa serabut otot. Satu serabut otot terdiri atas beberapa

myofibril. Serabut myofibril tersusun dari be-berapa sarkomer yang terletak

sejajar dengan serabut otot.

Page 23: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Hamstring Muscle Tightness ... II.pdfsendiri, juga berakibat pada range of motion dari knee joint, postural dysfunction dan kelemahan otot – otot punggung

31

Sarkomer merupakan unit kontraktil dari myofibril dan terdiri atas

filamen aktin dan miosin yang saling tumpang tindih. Sarkomer memberikan

kemampuan pada otot untuk berkontraksi dan relaksasi, serta mempunyai

kemampuan elastisitas jika diregangkan. Ketika otot secara pasif diregang,

maka pemanjangan awal terjadi pada rangkaian komponen elastis (sarkomer)

dan tension meningkat secara drastis. Kemudian, ketika gaya regangan

dilepaskan maka setiap sarkomer akan kembali ke posisi resting length.

Kecenderungan otot untuk kembali ke posisi resting length setelah peregangan

disebut dengan elastisitas.

Respon Neurophysiological otot terhadap peregangan bergantung pada

struktur MS dan GTO. Ketika otot diregang dengan sangat cepat, maka

serabut afferent primer dari IMF merangsang α (alpha) motor-neuron pada

medulla spinalis dan memfasilitasi kontraksi EMF yaitu meningkatkan

ketegangan (tension) pada otot. Hal ini dinamakan dengan monosynaptik

stretch refleks. Tetapi jika peregangan dilakukan secara lambat pada otot,

maka GTO terstimulasi dan menginhibisi ketegangan pada otot sehinggga

memberikan pemanjangan pada komponen elastik otot yang paralel.

4. Indikasi dan Kontraindikasi Dari Stretching Terhadap Otot Hamstring.

Pada paragraf ini penulis akan menjelaskan beberapa indikasi dari

stretching terhadap otot skeletal pada tubuh. Beberapa indikasi atau hal yang

dibolehkan untuk menggunakan stretching pada otot menurut Wismanto

(2011) adalah:

Page 24: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Hamstring Muscle Tightness ... II.pdfsendiri, juga berakibat pada range of motion dari knee joint, postural dysfunction dan kelemahan otot – otot punggung

32

a. Myostatic Contracture: merupakan kasus yang paling sering terjadi

biasanya tanpa disertai patologis pada jaringan lunak (soft tissue) dan dapat

diatasi dengan gentle stretching exercise dalam waktu yang pendek

misalnya pada otot hamstring, otot rektus femoris dan otot gastrocnemius.

b. Scar Tissue Contracture Adhession: paling sering terjadi pada kapsul sendi

bahu dan bila pasien menggerakkan bahu terdapat nyeri sehingga pasien

cenderung melakukan imobilisasi akibatnya kadar glikoaminoglikans dan

air dalam sendi berkurang sehingga fleksibilitas dan ekstensibilitas sendi

berkurang.

c. Fibrotic Adhession: kasus yang lebih berat dari kondisi kedua di atas karena

bia-sanya bersifat kronis dan terdapat jaringan fibrotik sepeti pada kondisi

tortikolis.

d. Ireversibel Contraktur: biasanya digunakan untuk mengembalikan lingkup

gerak sendi dengan tindakan operatif karena dengan penanganan manual

tidak menghasilkan dampak yang baik.

e. Pseudomiostatik Contraktur: Pada umumnya diakibatkan gangguan pada

susunan saraf pusat sehingga mengakibatkan gangguan sistem

muskuloskeletal.

Serta Wismanto (2011) juga menjelaskan kontraindikasi dari Stretching

pada otot hamstring, berikut kontraindikasinya : 1) terdapat fraktur yang

masih baru pada daerah hip joint. 2) post immobilisasi yang lama karena otot

sudah kehilangan tensile strength. 3) ditemukan adanya tanda-tanda inflamasi

akut.

Page 25: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Hamstring Muscle Tightness ... II.pdfsendiri, juga berakibat pada range of motion dari knee joint, postural dysfunction dan kelemahan otot – otot punggung

33

5. Macam-macam metode Stretching pada otot hamstring.

Metode stretching untuk meningkatkan fleksibilitas otot hamstring

terdapat beberapa jenis teknik, beberapa macam teknik tersebut yakni seperti

Ballistic Stretching (Woolstenhulme et al, 2006), Muscle Energy Technique

(Chaitow, 2001), Proprioceptive Neuromuscular Facilitation (PNF) yang

terdiri dari Hold Relax (HR), Static Stretching (SS) dan Contrax Relax (CR)

(Hwang, 2013), Dynamic Soft Tissue Mobilisation (Hopper et al, 2004), dan

Aktif Isolated Stretching (AIS) (Longo, 2009). Dan pada penelitian ini penulis

akan membahas AIS dan HR, penjelasan kedua teknik stretching tersebut akan

dijelaskan pada paragraf selanjutnya.

2.3.2. Active Isolated Stretching (AIS).

1. Pengertian Aktif Isolated Stretching (AIS)

AIS merupakan suatu teknik atau metode stretching yang menggunakan

adaptasi suatu kontraksi otot agonis secara aktif dan merelaksasikan otot

antagonisnya melalui inhibisi timbal balik (Reciprocal Inhibition) yang

menyebabkan terjadinya peregangan pada otot antagonis tanpa meningkatkan

ketegangan otot (Muscle Tension) pada otot agonis (Longo, 2009). Teknik

AIS atau yang biasa disebut dengan metode Mattes merupakan suatu

pengembangan metode myofascial technique yang memiliki tujuan untuk

pemulihan fisiologis dan fungsi otot, tendon, ligamen, dan persendian untuk

memfasilitasi mobilitas dari permukaan jaringan fascia. Menurut Longo

(2009) AIS sangat baik untuk mengoptimalkan fleksibilitas pada otot, gerakan

aktif yang memungkinkan otot antagonis untuk relaksasi, sehingga terjadi

Page 26: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Hamstring Muscle Tightness ... II.pdfsendiri, juga berakibat pada range of motion dari knee joint, postural dysfunction dan kelemahan otot – otot punggung

34

peningkatan fleksibilitas tanpa hambatan pada otot antagonisnya. Adapun

tujuan dari pemberian AIS adalah untuk mencegah dan atau mengurangi

tightness serta mengulur struktur jaringan lunak (soft tissue) yang berkaitan

dengan spasme sehingga dapat meningkatkan mobilitas dan fleksibilitas pada

struktur soft tissue tersebut.

Beberapa penelitian yang menggunakan AIS sebagai modalitas

memberikan kesimpulan yang baik dalam hasil pelaksanaannya. Misalnya

penelitian yang dilakukan oleh Leimohn et al (1999), yang membandingkan

penggunaan AIS dengan static stretch training terhadap keterbatasan Hip

ROM, penelitian dilakukan dengan sampel yang berjumlah 30 orang dan

terdiri dari 15 pria serta 15 wanita, dengan rata-rata usia sampel berkisar 18-25

tahun. Pada group perlakuan AIS yang dilakukan tindakan 9 sesi pelatihan

yang diawasi selama 3 minggu, menunjukan peningkatan ROM yang

signifikan dan maksimal pada “Hip Joint”, dibandingkan dengan kelompok

group perlakuan static stretch training. Penelitian lainnya dilakukan oleh

Marino et al (2001) terhadap 30 sampel yang terdiri dari 24 wanita dan 6 pria

dengan rata-rata usia 22 tahun. Marino et al (2001) melakukan pengukuran

“Hip Flexion” dengan membandingkan AIS dengan Static Stretch sebagai

metode pelaksanaannya, masing-masing perlakuan dilakukan 3 minggu

dengan setiap sesinya dilakukan 3 kali dalam seminggu serta diberikan

intervensi 60 detik setiap pertemuannya. Setelah penelitian, masing-masing

sampel dilakukan pengukuran menggunakan Sit and Reach Test (SR) dan

Goneometer sebagai instrument pengukurannya. Ditemukan bahwa dari kedua

Page 27: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Hamstring Muscle Tightness ... II.pdfsendiri, juga berakibat pada range of motion dari knee joint, postural dysfunction dan kelemahan otot – otot punggung

35

perlakuan yang dilakukan oleh Marino et al hanya pada perlakuan kelompok

AIS yang menunjukan peningkatan hip flexion yang signifikan.

2. Respon Fisiologis AIS Terhadap Peningkatan Panjang Otot.

Secara umum AIS dilakukan untuk mendapatkan penambahan panjang

dari otot dan jaringan ikat. Dalam prosedur AIS pasien menunjukkan suatu

kontraksi isotonik pada otot agonis dan pada otot yang mengalami

pemendekan (shortness), secara aktif akan memanjang. Alasan penerapan

teknik ini adalah bahwa kontraksi isotonik yang dilakukan saat AIS secara

fisiologis akan merespon otot antagonis untuk menghasilkan pemanjangan

secara maksimal dan juga tanpa perlawanan. Adanya kontraksi isotonik akan

membantu menggerakkan stretch reseptor dari MS untuk segera mengulur

panjang otot yang maksimal. GTO akan terlibat dan menghambat ketegangan

otot bila otot sudah mengulur maksimal sehingga otot dapat dengan mudah di

stretching.

Menurut Wismanto (2011), pemberian AIS dapat mengurangi iritasi

terhadap saraf Aδ dan saraf tipe C yang menimbulkan nyeri akibat adanya

abnormal cross link. Hal ini dapat terjadi karena pada saat diberikan AIS

serabut otot ditarik keluar sampai panjang sarkomer penuh. Ketika hal ini

terjadi maka akan membantu meluruskan kembali beberapa serabut atau

abnormal cross link pada otot yang memendek. AIS dapat bermanfaat pada

serabut otot yang mengalami pemendekan. Serabut otot yang terganggu akan

menyebabkan penurunan elastisitas otot akibat adanya taut band dalam

serabut otot. Sarkomer sebagai komponen elastis di dalam serabut otot akan

Page 28: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Hamstring Muscle Tightness ... II.pdfsendiri, juga berakibat pada range of motion dari knee joint, postural dysfunction dan kelemahan otot – otot punggung

36

mengalami gangguan. Pemberian AIS yang dilakukan secara perlahan akan

menghasilkan peregangan pada sarkomer sehingga peregangan akan

mengembalikan elastisitas sarkomer yang terganggu. AIS dapat mencegah dan

atau mengurangi tightness dan perasaan yang tidak nyaman. AIS merupakan

stretching yang efektif, karena berpengaruh terhadap semua otot hamstring

yang membatasi gerakan.

3. Prosedur Pelaksanaan metode AIS.

Prosedur tindakan metode Aktif Isolated Stretching (AIS) adalah sebagai

berikut:

1. Sampel diminta untuk berbaring diatas matras dalam posisi yang

nyaman.

2. Sampel diminta untuk memasang yoga strap yang direkatkan

permukaan telapak kaki (Gambar 2.8 A)

3. Sampel diminta mengangkat kakinya (dengan lutut dalam posisi full

extensi atau Straight Leg Raises dan ankle dalam posisi dorsi

flexion) sehingga membentuk Hip dalam posisi flexi (Gambar 2.8 B)

4. Sampel menahan posisi tersebut selama 2 detik dan dilakukan

pengulangan sebanyak 10 kali dan 2 set.

5. Sebelumnya sampel diberi demo terlebih dahulu oleh Fisioterapis.

Gambar 2.8 Contoh Metode Aktif Isolated Stretching (AIS) A. Memasang

Yoga Strap Sebelum Stretching. B. Penguluran otot Hamstring (Williams,

2011).

A B

Page 29: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Hamstring Muscle Tightness ... II.pdfsendiri, juga berakibat pada range of motion dari knee joint, postural dysfunction dan kelemahan otot – otot punggung

37

2.3.3. Propioceptive Neural Fascilitation (PNF) Stretching

1. Pengertian

Propioceptive Neural Fascilitation (PNF) Stretching merupakan teknik

peregangan yang umum digunakan baik dalam lingkungan atletik maupun

klinis, untuk meningkatkan ROM baik secra Aktif Range of Motion (AROM)

maupun Pasif Range of Motion (PROM) dengan maksud untuk

mengoptimalkan motor performance pada otot. Penggunaan metode ini sangat

efektif untuk meningkatkan ROM dalam waktu yang sangat cepat. (Sharman

et al, 2006). Menurut Hwang (2013) proprioceptive neuromuscular

facilitation (PNF) terdiri dari beberapa macam teknik stretching beberapa

macam teknik tersebut yakni hold relax (HR), static stretching (SS) dan

contrax relax (CR). Pada penelitian ini penulis memilih HRS untuk dijadikan

metode penanganan pada HMTs untuk meningkatkan fleksibilitas otot

hamstring.

2.3.4. Hold Relax Stretching (HRS).

1. Pengertian.

Menurut Hwang (2013), HRS merupakan bagian metode aplikasi

Propioceptive Neural Fascilitation (PNF). Hwang juga mengatakan bahwa

metode ini sangat membantu meningkatkan fleksibilitas otot dengan cara

mengkombinasikan kontraksi isometrik pada otot yang memendek dan

kemudian dilanjutkan dengan rileksasi serta tambahan stretching secara pasif

pada otot tersebut. Alder et al (2008) menerangkan bahwa HRS terbagi

menjadi dua teknik, yaitu : Direct Treatment (DT) dan Indiricet Treatment

Page 30: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Hamstring Muscle Tightness ... II.pdfsendiri, juga berakibat pada range of motion dari knee joint, postural dysfunction dan kelemahan otot – otot punggung

38

(IT). DT merupakan teknik yang menggunakan kontraksi isometrik pada otot

agonisnya pada Target Muscle (TM). Sedangkan IT merupakan teknik yang

menggunakan kontraksi isometrik pada otot antagonisnya. Kontraksi isometrik

pada otot antagonisnya bertujuan untuk menstimulasi panjang otot melalui

sistem Reciprocal Inhibition (RI). Pada penelitian yang dilakukan oleh

Ghanbari et al (2013) yang membandingkan HRS dengan Static Stretching

terhadap Hamstring Tightness pada sampel sebanyak 51 pria, dengan rata-rata

usia sekitar 18-30 yang dilakukan 2 kali dalam seminggu selama 3 minggu

ditemukan bahwa pada group perlakuan HRS menunjukan hasil yang

signifikan terhadap peningkatan hamstring extensibility dibandingkan group

perlakuan static stretching.

2. Respon fisiologis HRS Terhadap Peningkatan Panjang Otot

Secara umum HRS dilakukan untuk mendapatkan efek rileksasi dan

pengembalian panjang dari otot dan jaringan ikat. Mekanisme penambahan

panjang otot hamstring dengan intervensi HRS adalah dengan kontraksi

isometrik, pada HRS akan meningkatkan rileksasi otot melalui pelepasan

analgesik endogenous opiate sehingga nyeri regang dapat diturunkan atau

dihilangkan. Adanya komponen stretching pada HRS maka panjang otot dapat

dikembalikan dengan mengaktivasi GTO sehingga relaksasi dapat dicapai dan

nyeri akibat ketegangan otot dapat diturunkan dan mata rantai viscous circle

dapat diputuskan. Pemberian intervensi HRS dapat megurangi iritasi terhadap

saraf Aδ dan C yang menimbulkan nyeri akibat adanya abnormal crosslinks

dapat diturunkan. Hal ini dapat terjadi karena pada saat diberikan intervensi

Page 31: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Hamstring Muscle Tightness ... II.pdfsendiri, juga berakibat pada range of motion dari knee joint, postural dysfunction dan kelemahan otot – otot punggung

39

HRS serabut otot ditarik keluar sampai panjang sarkomer penuh. Ketika hal

ini terjadi maka akan membantu meluruskan kembali beberapa kekacauan

serabut atau akibat abnormal cross links pada ketegangan akibat pemendekan

otot.

Adanya kontraksi isometrik pada intervensi HRS akan membantu

menggerakkan stretch reseptor dari MS untuk segera menyesuaikan panjang

otot maksimal. Pada kontraksi isometrik selama 6 detik yang diikuti dengan

inspirasi maksimal akan mengaktifkan motor unit maksimal yang ada pada

seluruh otot. Kontraksi maksimal ini juga akan menstimulus GTO sehingga

memicu rileksasi otot setelah kontraksi (reverse innervation) yang

menyebabkan terjadinya pelepasan adhesi yang terdapat di dalam

intermiofibril dan tendon dengan perbandingan 2:3. Pada metode HRS,

rileksasi setelah kontraksi isometrik dilakukan selama 7-15 detik dimana

dalam proses ini diperoleh rileksasi maksimal yang difasilitasi oleh reverse

innervation tadi. Proses rileksasi yang diikuti ekspirasi maksimal akan

memudahkan perolehan pelemasan otot.

3. Prosedur Pelaksanaan metode HRS.

Prosedur tindakan metode Hold Relax Stretching (HRS) pada otot hamstring

adalah sebagai berikut :

a) Sebelumnya sampel dijelaskan terlebih dahulu terkait intervensi

yang akan diberikan.

b) Pasien diminta untuk berbaring diatas matras dalam posisi yang

nyaman.

Page 32: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Hamstring Muscle Tightness ... II.pdfsendiri, juga berakibat pada range of motion dari knee joint, postural dysfunction dan kelemahan otot – otot punggung

40

c) Terapis berada berhadapan dengan sampel dan terapis meminta

sampel untuk mengangkat kaki dalam posisi Straight Leg Raises

d) Terapis menahan posisi kaki sampel, dan meminta sampel untuk

mendorong kaki kearah depan (hip extension) sekuatnya kearah

terapis. Dan terapis terus menahan sampai 10 detik (Gambar 2.9 A).

e) Setelah itu terapis mendorong segera kaki sampel kearah depan dan

ditahan sekitar 30 detik (Millar, 2012) lihat Gambar 2.9 B.

f) Lakukan secara bergantian antara kaki kanan dan kiri sebanyak tiga

kali pengulangan dalam tiap sesinya.

Gambar 2.9 Contoh Metode Hold Relax Stretching (HRS) A.Sampel

diminta untuk mendorong kakinya. B. Fisioterapis men-stretching otot

hamstring secara pasif. (Anonim, 2012).

A B