cost recovery sebagai upah investor migas

Upload: rizael-jrs

Post on 01-Mar-2016

216 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Istilah cost recovery (pengembalian/pemulihan biaya) dalam industri migas yang semula masih asing di kalangan awam, kini telah mulai banyak dikenal. Satu hal yang cukup menggembirakan, karena sedikit banyak publik kini mulai mengerti bahwa di dalam pengusahaan migas di Indonesia, para kontraktor bagi hasil migas, KPS (sekarang istilahnya adalah kontraktor kontrak kerja sama, KKKS), akan mendapatkan pengembalian biaya dari pemerintah (baca: rakyat) berkenaan dengan seluruh biaya (100%) yang telah dikeluarkannya untuk mencari (eksplorasi) dan memproduksikan migas.Namun, kegembiraan di satu sisi tersebut juga diiringi dengan keterkejutan, ketika mengetahui bahwa besarnya cost recovery migas selama 2006 diperkirakan mencapai Rp70 triliun lebih (Bisnis Indonesia, 28 September 2006). Untuk 2007, cost recovery yang diajukan bahkan mencapai Rp93,9 triliun (Kompas, 26 Juli 2007). Besaran yang mencengangkan ini merupakan kelanjutan peningkatan cost recovery migas yang terus terjadi sejak 2001. Dari data yang beredar, untuk 2001-2005, besarnya cost recovery migas yang harus ditanggung negara (dalam miliar dolar AS) berturut-turut adalah 4,35 ; 5,06 ; 5,52 ; 5,60 ; dan 7,68. Atau jika dirata-ratakan dengan kurs Rp9.000/US$, adalah sekitar Rp50 triliun per tahun. Di sisi lain, produksi dan cadangan migas kita menunjukkan tren yang terus menurun. Tak mengherankan jika kemudian masyarakat pun bertanya-tanya, apa saja yang sebenarnya dibiayai oleh cost recovery migas ini? Dimanakah sebenarnya ketentuan tentang cost recovery migas ini diatur? Dari pertanyaan-pertanyaan ini, setidaknya ada dua aspek penting yang terkait, yaitu standardisasi cost recovery dan transparansi cost recovery.Standardisasi komponenSecara normatif, biaya yang dapat dimasukkan sebagai cost recovery (mestinya) adalah biaya yang dikeluarkan oleh kontraktor yang terkait langsung dengan operasi eksplorasi dan produksi migas di Indonesia. Dalam hal ini, ada tiga komponen utama dari cost recovery migas kita, yaitu pertama biaya operasi tahun berjalan. Biaya ini merupakan biaya non-capital (intangible) yang meliputi biaya operasi dan administrasi perusahaan untuk eksplorasi dan pengembangan lapangan migas. Termasuk di dalamnya adalah biaya tenaga kerja (domestik dan ekspatriat, konsultan), biaya administrasi perkantoran, biaya pelatihan dan kesehatan tenaga kerja. Kedua, biaya depresiasi dari capital/tangible assets tahun berjalan. Biaya barang-barang modal, peralatan dan fasilitas eksplorasi produksi yang digunakan tercakup disini. Dan ketiga, sisa cost recovery tahun-tahun sebelumnya (carry over/unrecovered costs). Namun, pada kenyataannya, hasil temuan audit BPK dan BPKP belum lama ini mengindikasikan bahwa terdapat banyak pengeluaran yang tidak berhubungan langsung dengan operasi eksplorasi dan produksi tetapi dimasukkan ke dalam cost recovery. Pengeluaran itu di antaranya adalah untuk community development, biaya administrasi kantor pusat di negara asal si kontraktor, dan biaya depresiasi barang modal yang ternyata sudah tak dapat lagi digunakan. Singkatnya, ada indikasi kuat bahwa cost recovery migas telah digelembungkan. Besarannya pun sangat mencengangkan. Untuk periode 2003-2004 dan hanya untuk 5 kontraktor KKS, indikasi penyimpangan yang ditemukan oleh BPK telah mencapai Rp13 triliun lebih. Apa yang menyebabkan biaya-biaya yang tidak berhubungan langsung dengan aktivitas eksplorasi produksi migas itu dapat dimasukkan ke dalam cost recovery? Jawaban dari pertanyaan ini bisa sangat beragam. Lemahnya pengawasan, khususnya terkait masalah teknis, ditambah dengan praktik korupsi dan kolusi tentu merupakan salah satu dari sekian banyak hal yang sangat mungkin terjadi di sini. Satu hal yang patut digarisbawahi di sini adalah bahwa hal itu sangat mungkin terjadi karena tidak adanya standardisasi yang jelas dan tegas dalam aturan cost recovery ini. Pemerintah hanya mempunyai aturan garis besarnya, tetapi tidak secara detail dan tegas mengatur biaya-biaya mana saja yang dapat dan tidak dapat dimasukkan ke dalam cost recovery. Tidak adanya standardisasi yang jelas inilah yang menyebabkan pada akhirnya penentuan cost recovery lebih banyak dilakukan melalui negosiasi-negosiasi antara pemerintah dan para kontraktor. Praktik-praktik semacam ini sudah berlangsung sejak lama dan tak banyak diketahui masyarakat luas. Tak mengherankan, karena transparansi mengenai cost recovery ini dapat dikatakan memang (hampir) tak ada. Ketentuan cost recovery yang diatur dalam kontrak kerja sama antara pemerintah dan kontraktor praktis selama ini tak dapat diakses oleh masyarakat luas. Pun DPR sebagai wakil rakyat dan pengawas pemerintah, juga mengalami kesulitan untuk mengetahui secara pasti apa yang tertulis di dalam kontrak tersebut. Dengan dalih menjaga kerahasiaan negara, transparansi mengenai isi kontrak-kontrak migas pada umumnya, dan transparansi mengenai ketentuan cost recovery pada khususnya, menjadi suatu hal yang diharamkan. Kedua hal di atas, standardisasi dan transparansi cost recovery, menjadi kata kunci dari awal upaya perbaikan yang harus segera dilakukan. Lebih dari lima puluh triliun rupiah per tahun jelas suatu angka yang mestinya dapat memberi kontribusi signifikan bagi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Terlalu mahal jika hanya ditujukan untuk sesuatu yang 'abu-abu' yang bernama cost recovery.

Salah satu tabiat alami dari investasi pengusahaan hulu migas oleh pemerintah kita adalah disparitas modal yang tidak seimbang dengan potensi sumber daya migas yang tersedia. Dana investasi yang dibutuhkan untuk melakukan serangkaian kegiatan usaha hulu migas tentu saja tidak sedikit, biaya-biaya operasional yang harus dikeluarkan mulai dari tahap eksplorasi hingga ekploitasi (produksi) lazimnya menelan biaya triliunan rupiah. Bayangkan saja, untuk mendirikan satu infrastruktur fasilitas produksi (on shore) di daratan membutuhkan dana sedikitnya AS$5 miliar atau setara dengan Rp45 triliun. Belum lagi jika pembangunannya dilakukan diatas permukaaan laut (off shore) dengan kompleksitas medan yang khas, maka dana yang dibutuhkanpun otomatis membumbung berkali-kali lipat. Kalaupun telah beberapa tahapan operasional eksplorasi dan produksi, para pelaku usaha sektor hulu migas juga masih akan dihantui oleh ketidakpastian hasil produksinya. Tidak jarang, suatu lapangan produksi yang telah menelan biaya puluhan bahkan ratusan triliun justru tidak menghasilkan apa-apa kecuali bebatuan geologis yang terendap dalam perut bumi. Sungguh sebuah kerugian yang tidak sebanding dengan usaha yang telah dilakukan. Resiko ketidakberhasilan operasional produksi migas inilah yang seringkali menjadi momok menakutkan bagi semua pelaku kegiatan usaha hulu migas, termasuk pemerintah didalamnya. Saya sendiri tidak yakin pemerintah kita akan berani mengorbankan biaya yang begitu besar untuk kegiatan opearasioal hulu migas dengan menggunakan uang Negara. Jika tidak berhasil, maka rakyatlah yang pada akhirnya akan terkena imbasnya. Dengan kata lain, tingginya resiko menjadikan pemerintah enggan berjudi di sektor hulu migas. Hal inilah yang kemudian melatarbelakangi mengapa pemerintah kita gencar mengundang investor-investor asing (multinational oil company/MOC) dalam rangka membantu pemerintah untuk memaksimalkan potensi produksi migas yang tersedia, tentunya dengan berharap pada tebalnya kantong, canggihnya teknologi dan keterampilan sumber daya manusia yang dibawa. Sayangnya semua ini ada harganya, seperti telah disinggung dalam tulisan mengenai konsep PSC sebelumnya, dimana dalam mekanisme tersebut biaya-biaya yang dikeluarkan oleh kontraktor kontrak kerjasama (dalam hal ini oleh MOC) mulai dari tahap awal sampai dengan tahap produksi akan diganti oleh pemerintah jika suatu wilayah kerja (WK) migas yang diusahakan telah berpropduksi. Ya, itulah yang disebut cost recovery. Sistem ini memang masih asing di telinga masyarakat Indonesia pada umumnya. Dari pengalaman saya meliput sebagai jurnalis, bahkan ada anggota dewan yang kurang memahami mekanismenya. Sungguh ironis memang, mengingat krusialnya sistem ini bagi penerimaan Negara sektor migas. Lalu, apa itu sebenarnya cost recovery? Sejauh yang saya pahami, ini merupakan sistem yang muncul sebagai konsekuensi logis dari model kontrakPSC. Secara harfiah, cost recovery sendiri diartikan sebagai pengembalian atau penggantian biaya yang telah dikeluarkan MOC dalam melaksanakan kegiatan operasi usaha hulu migas di Indonesia. Jelasnya, biaya operasi yang timbul dalam pelaksanaan kontrak PSC ini diganti atau ditanggung oleh pemerintah di akhir tahun produksi. Dalam konteks ini, MOC menalangi dulu nilai pengeluaran untuk biaya operasi tersebut. Pemerintahlah yang pada akhirnya akan membayar biaya operasional yang telah dikeluarka MOC dari bagi hasil produksi migas yang telah berdasar pada kontrak PSC. Yang menggembirakan, selain menyediakan dana, teknologi, peralatan dan keahlian yang diperlukan bagi usaha produksi migas tersebut, MOC juga akan menanggung semua risiko yang timbul darinya. Secara normative, cost recovery telah diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 79 Tahun 2010 tentang Biaya Operasi yang Dapat Dikembalikan dan Pemberlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Migas dengan mengacu pada Undang-Undang Perpajakan (UU 41/2008). Biaya yang dapat dimasukkan sebagai cost recovery (mestinya) adalah biaya yang dikeluarkan oleh kontraktor yang terkait langsung dengan operasi eksplorasi dan produksi migas di Indonesia sebagaimana yang tertuang dalam pasal 12 PP 79/2010.Dalam hal ini, ada dua komponen utama dari cost recovery migas kita, yaitu:a. Biaya operasi tahun berjalan. Biaya ini merupakan biaya non-capital (intangible) yang meliputi biaya operasi dan administrasi perusahaan untuk eksplorasi dan pengembangan lapangan migas. Termasuk di dalamnya adalah biaya tenaga kerja (domestik dan ekspatriat, konsultan), biaya administrasi perkantoran, biaya pelatihan dan kesehatan tenaga kerja.b. Biaya depresiasi dari capital/tangible assets tahun berjalan. Biaya barang-barang modal, peralatan dan fasilitas eksplorasi produksi yang digunakan tercakup disini. Dan ketiga, sisa cost recovery tahun-tahun sebelumnya (carry over/unrecovered costs). Singkatnya, besaran dana. Besarannya pun sangat mencengangkan. Di lain pihak, biaya produksi yang tidak rasional akan mengurangi ETBS sehingga memangkas porsi yang akan dibagi oleh pemerintah dengan perusahaan migas. Dalam hal biaya produksi yang terlalu tinggi itu, perusahaan sudah mengambil keuntungan terlebih dahulu yang disembunyikan dalam bentuk biaya. Praktik seperti ini akan merugikan pemerintah akan rugi walaupun porsi pembagian bagi hasil (PSC) kepada negara cukup besar.

Berbagai konsep dalam perpajakan dapat digunakan untuk menganalisis konsepcost recoveryyang dipergunakan dalamindustri migasdi Indonesia. Konsep-konsep itu adalah upaya untuk mencegah penghindaranpajak(tax avoidance) ataupun menggelapkannya (tax evasion), ketidaktaatan akan aturan pajak (non-compliance), laporan atas pendapatan yang terlalu rendah (miss-reporting) maupun perhitungan biaya (recoverable cost) yang lebih tinggi.Sementara itu, yang termasuk dalam kelompok penerimaan adalah pemasaran serta harga dantransfer pricingatas penjualan kepada anak ataupun induk perusahaan di luar negeri. Di lain pihak, pengadaan dari anak perusahaan sendiri menggunakan tingkat harga yang lebih tinggi daripada harga pasar (over pricing). Sebagian dari masalah ini tergantung pada penafsiran atas hal-hal yang tidak diperhitungkan atau dikecualikan (exemptions) dalam perhitungan besarnya beban pajak ataupun komponen yang dapat dikurangkan (deductions) dari perhitungan beban itu.Dengan menggunakan konsep perpajakan itu, dapat disimpulkan bahwa berbagai hal berikut perlu diperhatikan dalam mendesain maupun mengontrol pelaksanaancost recovery. Pertama, laporan tentang produksi (lifting)minyakdan gas bumi. Kedua, bagaimana pemasaran produk itu, tingkat harga serta kemungkinan adanya transferpricing. Ketiga, komponen yang masuk dalam perhitungan biaya. Keempat, ada atau tidakover pricingdarisuppliermilik sendiri. Kelima, komponen apa saja yang dapat dikecualikan (exemptions) dalam menghitung biaya. Keenam, komponen apa saja yang dapat dikeluarkan (deductables) dari perhitungan biaya.Jika perhitungan itu tidak cermat dan definisinya tidak tegas, dapat merugikan pemerintah atau perusahaan migas. Di satu pihak, biaya yang dapat dibayar kembali (recoverable) itu seyogyanya dapat memberikaninsentifbagi perusahaan migas untuk melakukan kegiatan usahanya dengan risiko tinggi itu.Di lain pihak, biaya produksi yang tidak rasional akan mengurangi ETBS sehingga memangkas porsi yang akan dibagi oleh pemerintah dengan perusahaan migas. Dalam hal biaya produksi yang terlalu tinggi itu, perusahaan sudah mengambil keuntungan terlebih dahulu yang disembunyikan dalam bentuk biaya. Praktik seperti ini akan merugikan pemerintah akan rugi walaupun porsi pembagian bagi hasil (PSC) kepada negara cukup besar.