coal bed methane word

Download Coal Bed Methane WORD

If you can't read please download the document

Upload: zlatan-ramdanovic

Post on 14-Aug-2015

105 views

Category:

Documents


8 download

DESCRIPTION

pengertian coalbed methane

TRANSCRIPT

Coal Bed Methane: Dari Dalam Bumi Membawa SolusiSebuah Tinjauan Singkat Dari Segi Teknis dan Keekonomian Oleh : Safrian Adam Farizi, Teknik Perminyakan ITB Kondisi keenergian Indonesia saat ini berada di ujung tanduk. Berdasarkan data dari KapusdatinESDM pada Pertemuan Tahunan Pengelolaan Energi Nasional (PT-PEN) 2008 [15] , pertumbuhanpasokan energi primer adalah 1.5% per tahun, sementara pertumbuhan konsumsi energi final per sektor naik 4% per tahun, dengan pemakai terbesar adalah sektor transportasi sebesar 42,67%.Jelas terlihat dalam hal ini bahwa pertumbuhan pasokan tidak dapat memenuhi pertumbuhankonsumsi. Sebagai solusi hal tersebut, pemerintah menetapkan target pendayagunaan EBT 25%pada bauran energi primer tahun 2025. Sejalan dengan hal tersebut, Agenda 21 Sektor Energi [4] juga membahas tentang problematika keenergian secara umum. Dalam dokumen tersebut antaralain disebutkan bahwa salah satu problem utama perkembangan EBT terletak pada asimetriinformasi, yaitu kurang pahamnya masyarakat terhadap teknologi dan pengembangan EBT diIndonesia. Tentunya sebagai masyarakat terpelajar, mahasiswa harus menjadi elemen yangmampu mengatasi hal tersebut, sehingga penting untuk memahami EBT sebagai solusi jangkapanjang keenergian Indonesia. EBT Sebagai Solusi Masalah Keenergian Indonesia Pada prinsipnya, energi merupakan penggerak utama dari aktivitas manusia. Sekalipun energikekal, keterbatasan teknologi manusia menghasilkan klasifikasi energi berdasarkanketerbaruannya, yaitu energi terbarukan dan energi tak terbarukan. Energi terbarukan merupakanenergi yang tingkat pembaruannya mampu mengimbangi laju pemakaiannya, sedangkan energitak terbarukan adalah energi yang tingkat pembaruannya tidak mampu mengimbangi tingkatkonsumsinya. [22] Selain energi terbarukan dan energi tak terbarukan, terdapat pula istilah energi baru. Energi baruini adalah sumber energi yang ditemukan dengan teknologi baru ( recent technology ) dan dapatberasal dari energi tak terbarukan maupun terbarukan. Contoh dari energi baru adalahCoal Bed Methane (CBM) dan nuklir. Energi baru dan energi terbarukan inilah dua komponen yangmenyusun EBT, yang dapat menjadi solusi masalah keenergian di Indonesia apabila dikeloladengan baikBerdasarkan data ESDM [14] pada tahun 2010, bauran energi primer masih bertumpu pada minyak bumi, yaitu sebesar 43.9%, sementara EBT baru menempati 4.4%. Hal ini jelas memperlihatkanketimpangan bauran energi primer, dengan akibat makin cepatnya laju konsumsi salah satusumber energi yang dalam hal ini minyak, melebihi dari laju pembaruannya. Laju pembaruanminyak dalam hal ini adalah penemuan cadangancadangan baru, menggantikan cadangan yangtelah dieksploitasi. Cadangan terbukti ( proven reserve )minyak bumi Indonesia sendiri terdapatpada angka 4.4 milyar barrel, dengan produksi kurang lebih 350 juta barrel per tahun, maka rasiocadangan-produksi ada pada angka 12.4. [1] Sekalipun nantinya ditemukan cadangan-cadanganbaru, diprediksi penemuan ini tidak sebanding dengan pertumbuhan kebutuhan energi darimasyarakat Indonesia.Pertimbangan tersebut merupakan salah satu pendorong pemerintah untuk melakukandiversifikasi energi, dan juga optimalisasi. Pada bauran energi primer tahun 2025, persentaseminyak bumi dibatasi sebanyak 20%, dan optimalisasi cadangan batubara dan gas menyebabkankeduanya akan memiliki persentase 32% dan 23%. EBT akan menempati persentase 25%,direvisi dari target bauran energi pemerintah tahun 2007 sebesar 17%. EBT sendiri memilikibanyak macam seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, sehingga persentasenya pun bervariasiantara sumber energi yang satu dan yang lain. Dari sekian macam EBT yang ada, CBMmerupakan salah satu dari sumber energi yang menarik karena potensinya yang mumpuni diIndonesia untuk dikembangkan lebih lanjut. CBM: Sebuah Gambaran Umum CBM, yang dikenal juga sebagai Gas Metana Batubara (GMB) merupakan sumberenergi tak terbarukan yang ditemukan denganrecent technology , sehingga diklasifikasikan sebagai EBTdan termasuk dalam kategori cadangan gas non konvensional. Perbedaan cadangan konvensionaldan non konvensional terletak pada tingkat teknologi yang digunakan untuk mengambilnya, sertaperbedaan pola pikir yang dibutuhkan. Sebagai cadangan gas non konvensional, CBMmerupakan gas dengan kandungan metana tinggi, mencapai 88-98% dan terjebak pada poriporibatubara, dimana batubara ini tergenangi oleh air. [2] Kandungan metana yang tinggimenguntungkan untuk dipakai secara langsung, karena tidak mengandung zat lain yangmerugikan dalam pengolahan semisal H2S, sehingga disebut sweet gas. Dengan sedikitnyajumlah pengotor seperti H2S maka biaya pengolahan bisa diminimalisasi, berbeda dengan gas alam pada umumnya. Berdasar beberapa sampel yang diambil di lapangan, kandungan panas dariCBM mencapai 900-1100 BTU/SCF ( British Thermal Unit / Standard Cubic Feet ). [19] Sebagaiperbandingan, dengan laju alir gas 1000 SCF/day, maka dapat terbangkitkan listrik sebesar 100kWh. [9] Berdasarkan segitiga sumberdaya Holditch (Gambar 1), cadangan non konvensional memilikijumlah yang lebih besar dari cadangan konvensional, sehingga ketika permintaan energimeningkat dan teknologi telah mumpuni, eksplorasi dan eksploitasinya tidak terhindarkan. Untuk minyak, cadangan konvensionalnya adalah minyak ringan, sementara cadangan nonkonvensionalnya adalah minyak berat, minyak ekstra berat, serta oil shale . Untuk gas, cadangankonvensionalnya adalah gas kualitas tinggi ( high quality gas ), sedangkan cadangan nonkonvensionalnya adalah CBM, shale gas, gas mutu rendah, dan tight gas .Berdasarkan data ESDM, cadangan batubara Indonesia adalah sekitar 18-22 miliar ton, sehinggaberimpilikasi cukup besarnya potensi CBM. Potensi CBM di cekungan batubara Indonesiaberkisar pada angka 337-450 TCF ( Trillion Cubic Feet ), yang tersebar dengan detil sebagaiberikut :Nama Daerah Potensi (TCF) Cadangan (TCF)Kabupaten Berau 8.4 4Pasir/Asem 3 0.75Tarakan 17.5 5Kutai 80.4 10Gambar 1: Segitiga sumberdaya Holditch [18]Kalimantan Timur (subtotal) 109.3 19.75Barito, Kalimantan Tengah 101.6 10Sumatera Tengah 52.5 5Sumatera Selatan 183 10Ombilin - 0.7Sumatra Barat Daya - 0.5Bengkulu 3.6 0.5Jatibarang(Jawa Barat) 0.8 0.5Sulawesi 2 Total 452.8 46.95Dari Tabel 1 dapat terlihat bahwa potensi CBM yang paling besar terdapat di Sumatera danKalimantan, yang merupakan konsekuensi yang wajar sebagai wilayah yang memiliki cadanganbatubara terbesar di Indonesia. Perbedaan utama cadangan dan potensi terletak pada tingkatkepastiannya, dimana cadangan memiliki tingkat kepastian lebih besar. Untuk mengetahuicadangan dibutuhkan investasi lebih lanjut dalam bentuk pemboran atau penambangan langsung.Apabila dibandingkan dengan potensi gas alam pada tahun 2005 sebesar 384 TCF [14] , maka CBMmemiliki keunggulan dalam jumlah potensi. Namun, cadangan gas alam pada 2005 telahmencapai 180 TCF sedangkan proyek-proyek CBM baru dimulai di Indonesia pada tahun 2008.Meskipun demikian, prospek CBM dapat dikatakan lebih baik dari gas alam, karena secaraprinsip dimana ada batubara, disitu terdapat CBM. Prinsip ini dikembangkan dengan acuanteori pembentukan CBM dari lapisan batubara yang ada. Tinjauan Singkat Proses Pembentukan CBM Sebelum CBM dihasilkan oleh lapisan batubara, terdapat suatu proses yang mendahuluinya,disebut coalification (pembentukan batu bara). Coalification dimulai dengan pemendamanmateri organik yang berasal dari tumbuh-tumbuhan. Pemendaman selama ratusan juta tahunmengakibatkan meningkatnya suhu dan tekanan, dan menyebabkan perubahan fisik dan kimiawipada materi organik. Tergantung pada waktu pemendaman dan utamanya suhu, terdapattingkatantingkatan dalam batubara yang terbentuk, dengan lignit merupakan batubara palingmuda dan antrasit batubara yang paling tua. Tingkatan-tingkatan tersebut adalah sebagai berikut :Kelas Sub kelas SingkatanAntrasitMeta Antrasit MaAntrasit AnSemi Antrasit SaBitumen Low Volatile LvbMedium Volatile Mvb High Volatile A hvAb High Volatile B hvBb High Volatile C hvCbSub BitumenSub Bitumen A subASub Bitumen B subBSub Bitumen C subCLignitLignit A ligALignit B ligBGas metana yang merupakan komponen terbesar CBM terbentuk berdasar dua proses yaitubiogenik dan termogenik. Proses biogenik adalah proses produksi metana dari aktivitas bakteri,dan terjadi pada saat awal proses pembentukan batubara, yaitu pada saat di tingkat lignit dansubbitumen. Proses termogenik adalah proses produksi metana berdasarkan temperatur, waktu,tekanan, dan komposisi kimia materi organik, dimulai saat sudah melewati tingkat lignit.Sebagian besar CBM merupakan hasil dari proses termogenik, karena metana yang terbentuk pada saat proses biogenik di awal akan cepat hilang ke permukaan. Perkecualian kasus inicontohnya ada di Montana, AS pada formasi Fort Union dimana kebanyakan CBM berasal dariproses biogenik. [2] Secara umum makin tinggi tingkatan batubaranya, semakin banyak gas metana yang terproduksi.Lapisan antrasit sebagai contoh, dapat memproduksi 7000-30000 scf/ton gas metana, namunpada tingkat batubara ini, pori-pori batubara sudah tidak maksimal karena rusak akibat tekanandan temperatur sehingga kebanyakan dari gas yang terproduksi akan hilang ke permukaanataupun bermigrasi ke tempat lain. [2] Sedangkan pada saat batubara pada tingkatan hvAb hinggalvb, pori-porinya masih optimal untuk menampung metana yang terproduksi, yang secara rata-rata berada pada kisaran 100-600 scf/ton. Berikut grafik yang dapat membantu mendeskripsikanhal tersebut :Setelah CBM terbentuk, sebagian besar gas ini akan lolos menuju permukaan atau lapisan lain,dan hanya sekitar 5-20% yang tersimpan dalam batubara. Terdapat empat mekanismepenyimpanan gas dalam batubara yaitu absorpsi, adsorpsi, gas bebas, dan gas larut dalam air. [9] Absorpsi merupakan masuknya molekul gas ke dalam susunan molekul batubara. Adsorpsimerupakan menempelnya lapisan molekul gas metana ke permukaanbatubara, sehingga jumlahmetana tergantung dari luas daerah adsoprsi. Gas bebas akan menempati pori-pori berukuranbesar dalam batubara. Mekanisme terakhir merupakan larutnya gas dalam air yang menggenangilapisan batubara. Dari empat mekanisme tersebut, mekanisme yang memiliki kontribusi palingbesar adalah adsorpsi, yaitu sebesar 98% dari total kandungan metana. [2] Terdapat beberapa perbedaan antara CBM dan gas alam konvensional. Dari segi asal, CBMmerupakan gas metana yang berasal dari batubara, sedangkan gas alam konvensional berasal darilapisan batupasir ataupun batuan berpori lainnya. Dengan demikian, sering kali terjadi bahwaletak CBM lebih dangkal daripada letak gas alam (Gambar 3), sekalipun CBM kebanyakandiambil dari lapisan batubara yang tidak dapat dijangkau pertambangan batubara saat ini, yang diIndonesia berkisar pada kedalaman 1000ft.Pada CBM, asal gas dan tempat gas terjebak merupakan batuan yang sama, sedangkan pada gasalam, gas berasal dari tempat lain dan kemudian bermigrasi menuju reservoir (jebakan) gastersebut. Sehingga Dari segi sistem penyimpanan, gas alam tersimpan dalam sistem pori yangterhubung satu sama lain, dan berada dalam suatu tekanan dan temperatur tertentu. CBMtersimpan dalam suatu sistem gabungan antara micropores dan cleat seperti terdapat padaGambar 4. Micropores dalam sistem CBM ini merupakan kunci utama tersedianya jumlah gas 3-10 kalilipat dari batupasir, karena luas area adsorpsi gas menjadi 1000000-1500000 ft2/lb batubara [21] atau sekitar 16-25 kali luas lapangan sepakbola dalam 1 pound batubara. Alasan terjadinyaadsorpsi pada permukaan batubara adalah karena ukuran dari porinya, yang hanya sebesar beberapa lapisan molekul saja (5-20 ) sehingga daya tarik lapisan batubara mampu mengikatmolekul metana yang ada. Sedangkan cleatlebih mirip rekahan yang memiliki prinsip dasar yang sama dengan pori-pori biasa. Secara umum jumlah gas yang akan teradsorpsi akan semakinbanyak seiring dengan makin besarnya tekanan dalam batubara.CBM yang terikat dengan tiga mekanisme yang telah disebutkan diatas akan tersimpan dalamlapisan batubara selama ada tekanan yang menahannya. Tekanan ini dapat berasal dari tekananlapisan tanah diatasnya (tekanan overburden ) dan juga berasal dari kolom air yang merendamlapisan batubara, yaitu tekanan hidrostatik. Air dalam lapisan batubara dapat berasal dari akuifer terdekat maupun air lain yang terperangkap ketika coalification . Semakin besar tekanannya,semakin banyak metana yang dapat tersimpan, namun dapat juga berakibat pada semakinsulitnya metana keluar dari lapisan batubara, karena pori-pori batubara sendiri menyempit akibattekanan tersebut. [2] Dengan demikian, diperlukan teknik tersendiri untuk mengambil CBM daribatubara sebelum dapat digunakan. Mengangkat CBM ke Permukaan Setelah diputuskan tempat yang potensial untuk dilakukan pemboran CBM berdasarkanpertimbangan ahli geologi dan geofisika, maka pemboran sumur CBM dilakukan. Inti daripemboran sendiri adalah membuat sambungan berdasarkan perbedaan tekanan antara lapisanbatubara yang mengandung CBM dengan permukaan, sehingga gas dapat mengalir. Pemboransumur CBM harus mempertimbangkan kekuatan batubara yang cukup lemah dibandingkanbatuan lain. Gambar 4: Idealisasi struktur pori batubara [2] Sebelum produksi CBM dapat dilakukan, dewatering harus dilakukan terlebih dahulu (Gambar 5). Dewateringmerupakan proses mengurangi ketinggian air dalam lapisan batubara, hinggaketinggian air ini tidak lebih tinggi dari lapisan batubara terbawah yang ingin diproduksi(dimungkinkan lebih dari satu lapisan batubara yang ingin diproduksi). Fungsi utama dari dewatering adalah menginisiasi terjadinya desorbsi dari micropores yang ada, yang terjadiapabila tekanan akibat ketinggian air berkurang. Proses ini dilakukan dengan menggunakanpompa tertentu, misalnya pompa angguk, dimana sumur CBM yang dangkal biasanya tidak dapatmengangkat air secara optimal karena kurangnya tekanan bawah permukaan. Pada Gambar 5terlihat bahwa dewatering dilakukan dengan pompa, dan air melewati pipa kecil bernama tubing ,sementara CBM akan melewati anulus, yaitu ruang kosong diantara formasi (atau pipa selubung)dan tubing . Gas secara umum tidak akan masuk melalui tubing , karena terhalang oleh kolomhidrostatik air setinggi tubing .Selain proses dewatering , terdapat juga prosesyang dinamakan komplesi, yaitu untuk melengkapi sumur dengan peralatan yang dibutuhkan untuk melakukan produksi. Problem utamadalam komplesi CBM adalah permeabilitas (ukuran kemudahan untuk mengalir) batubara yangsangat kecil, yaitu 0.1-1 md. Selain itu, seringkali terakumulasi kepingan-kepingan kecilbatubara ( coal fines) yang dapat menghambat produksi CBM. Untuk mengatasi hambatan tersebut, secara umum dilakukan dua jenis komplesi dalam produksi CBM. Jenis pertama adalah open hole completions dan jenis kedua adalah cased hole completions . Masing-masing tipekomplesi memiliki pertimbangannya sendiri, dan memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing.Komplesi open hole memiliki artian komplesi dilakukan tanpa adanya casing (pipa selubung) disekitar lapisan batubara yang ingin diproduksi, sehingga gas CBM langsung masuk ke dalamlubang bor. Secara umum ada tiga keunggulan komplesi jenis ini, yaitu :1. Tidak ada casing yang ditinggalkan yang dapat menghalangi penambangan batubaraapabila dilakukan setelahnya. 2. Penyemenan casing seperti pada Gambar 5, tidak merusak permukaan lapisan batubara. 3. CBM dapat masuk tanpa halangan apapun. [2] Sejalan dengan perkembangan, maka juga dilakukan multi-zoneopen hole completion , yaitukomplesi open hole yang dilakukan pada beberapa lapisan batubara sekaligus. Meskipun cukupmurah, dan juga memiliki laju alir yang besar, komplesi ini memiliki beberapa kekurangan,yaitu:1. Batubara akan memproduksi kepingan kecil-kecil dan terakumulasi sepanjang waktutertentu dan apabila tidak dibersihkan akan mengurangi produksi CBM.2. Hanya dapat dilakukan apabila lapisan-lapisan batubara cukup berdekatan letaknya(untuk multi zone open hole ). 3. Banyaknya lapisan batubara yang terhubung akan menyulitkan apabila lapisan yang lebihdiatas memiliki tekanan yang justru lebih besar daripada di bawah, sehingga akan terjadi back flow yang merugikan karena dapat mematikan lapisan yang tekanannya lebih kecil,dan akan mengurangi produksi total dari sumur.Dalam komplesi open hole juga sering dilakukan cavity completion , yaitu proses meruntuhkansebagian lapisan batubara sehingga tercipta gerowong yang memperlancar produksi CBM.Peruntuhan yang dimaksud adalah peledakan terkontrol, yang dilakukan dengan prosespenurunan tekanan secara tiba-tiba selama jangka waktu tertentu. Berdasarkan pengalaman perusahaan Amoco di cekungan San Juan yang terletak di Colorado, AS, peningkatan dari 22MCFD ( Metric Cubic Feet per Day )menggunakan open hole completion biasa menjadi 108MCFD dengan cavity completion , atau sekitar lima kali dari semula. Namun perlu diingat bahwateknik ini hanya dapat dilakukan dengan kondisi lapisan batubara yang tebal dan memilikikelebihan tekanan dibandingkan keadaan normal. [2]Komplesi jenis kedua adalah cased hole completions , dimana seluruh lapisan termasuk lapisanbatubara dilapisi dengan casing (Gambar 7). Casing merupakan pipa pelindung yang direkatkanpada batuan dengan menggunakan semen. Komplesi ini sering dilakukan pada sumur yangmemiliki beberapa lapisan batubara yang ingin diproduksi batubaranya sehingga CBM darilapisan-lapisan yang berbeda dapat diproduksi baik bergantian maupun bersamaan sesuaikeinginan. Setelah dicasing dan dilakukan penyemenan, maka dilakukan perforasi untuk membuka jalur masuk CBM ke lubang sumur. Perforasi merupakan proses menembak casinghingga berlubang.Pada komplesi cased hole sering juga dilakukan hydraulic fracturing , yaitu merekahkan lapisanbatuan batubara, dengan tujuan mempermudah CBM untuk mengalir. Prosesnya adalah denganpenyuntikan fluida perekah dengan tekanan tinggi sehingga batuan rekah, dan selanjutnya diganjal dengan suatu bahan tertentu (proppant) sehingga rekahan tidak tertutup kembali. Secaraumum, cased hole tidak perlu dilakukan fracturing , hanya perforasi saja, apabila CBM cukupmudah untuk mengalir. Namun demikian, baik perforasi maupun fracturing dapat menimbulkankerusakan bagi lapisan batubara.Selain dua jenis komplesi diatas, terdapat pula perkembangan lain dalam pengambilan CBM,misalnya adalah sumur gob dan pemboran horizontal di Gambar 8. Sumur gob adalahpengambilan gas metana setelah pengambilan CBM menyebabkan pilar batubara runtuh, danruang kosongnya akan diisi oleh metana, dimana biasanya kandungan metannya lebih rendah. [19] Pemboran horizontal merupakan suatu cara pemboran dimana lapisan batubara ditembus dengancara sejajar lapisan tersebut dimana dengan cara ini luas permukaan batubara yang tereksposoleh lubang sumur akan lebih besar, sehinggaCBM pun akan lebih banyak mengalir ke dalamsumur. Selain pemboran horizontal, juga terdapat ERD ( Extended Reach Drilling ) dimanadengan teknologi ini, satu lubang bor akan dapat menguras lebih banyak CBM dari lapisanbatubara yang ditargetkan. Lingkungan yang Lebih Sehat Serta Produksi CBM yang Meningkat Gambar 8: Fracture, pemboran horizontal, dan sumur gob [20] Gambar 7: Komplesi cased hole pada sumur gob [16] Seperti telah dibahas sebelumnya, metana menempel (teradsorpsi) di permukaan batubara pada micropores . Demikian halnya dengan molekul gas lain juga memiliki kesempatan untuk menempel pada permukaan batubara, bahkan ada yang lebih besar kesempatannya, dan ada pulayang lebih kecil. Perbedaan diantara keduanya adalah diameter molekul, karena gaya yangbekerja adalah gaya van der Waals. Prinsip ini yang digunakan untuk mengusir metana daripermukaan batubara, yang akan berimplikasi pada peningkatan jumlah metana yang bisa diambildari lapisan batubara. Teknik ini disebut Enhanced Gas Recover (EGR), dan gas yang dipakaiadalah karbondioksida (CO 2 ) dan nitrogen (N2 ). Kedua gas ini dipilih karena selain harganyamurah, juga inert (tidak merusak lapisan batubara).Terdapat dua skema yang dapat dipakai dimana masing-masing skema memiliki subskema,sebagai berikut :1. Injeksi gas inert dari sumber laina. Injeksi karbondioksidab. Injeksi nitrogenc. Injeksi campuran nitrogen karbondioksida 2. Injeksi gas inert yang terintegrasi dengan CCS ( Carbon Capture and Storage )Untuk skema pertama, injeksi gas inert dilakukan dari sumber lain, dimana gas-gas ini dapatdibeli ataupun dengan kerjasama dengan perusahaan tertentu diluar kontraktor yangmengusahakan lapangan CBM. Semua gas diinjeksikan dengan tekanan tinggi sehingga padasaat masuk ke dalam tanah berada dalam kondisi cair. Kemudian karbondioksida maupunnitrogen akan melakukan pengusiran terhadap metana, yaitu untuk karbondioksida, ia akanlebih melekat pada batubara dibandingkan metana dan akan menggantikan posisi metana dilapisan batubara. Sedangkan untuk nitrogen, ia bertindak untuk menurunkan fraksi tekananmetana, sehingga metana akan lebih mudah mengalami desorbsi.Jamshidi dan Jessen [3] menunjukkan bahwa untuk injeksi karbondioksida murni akanmenunjukkan peningkatan perolehan yang semakin besar saat kemudahan mengalir (permeabilitas) semakin kecil. Sebagai contoh untuk permeabilitas 1md (mili darcy) maka peningkatan produksi mencapai 275% dari keadaan awal yang mencapai faktor perolehan sekitar 85%, sementara pada saat permeabilitas semakin besar maka peningkatan ini menjadi penurunan,yaitu faktor perolehan hanya 10%. Injeksi nitrogen murni akan menghasilkan peningkatansebesar sekitar 200% dari perolehan awal, dengan tambahan akan memberikan penurunanproduksi air. Untuk injeksi campuran nitrogen-oksigen akan menghasilkan peningkatan faktor perolehan yang sama dengan injeksi karbondioksida murni, dengan pengurangan produksi air.Perlu diperhatikan bahwa diperlukan laju injeksi dua kali lebih besar dari laju metana yangdiinginkan untuk kasus karbondioksida, sementara dibutuhkan laju injeksi yang sama denganlaju produksi metana yang diinginkan untuk nitrogen. Sedangkan injeksi nitrogen akan breakthroughlebih cepat daripada injeksi karbondioksida. [17]Breakthrough merupakan kejadiandimana gas yang diinjeksikan ikut terproduksi bersama metana yang diinginkan. Breakthrough yang diinginkan adalah yang lebih lambat.Skema kedua adalah sumber gas yang diintegrasikan menjadi satu dengan lapangan CBM. Disinimerupakan letak solusi terhadap masalah lingkungan. Walsh [7] menyarankan agar dalam instalasiterintegrasi ini, pembangkit listrik tenaga batubara dan CBM, disatukan pula instalasi produksibahan bakar hidrogen dan metanol (gambar 9). Selama ini, instalasi-instalasi produksi bahanbakar hidrogen dan metanol memang memproduksi bahan bakar yang lebih ramah lingkungan,namun dalam proses produksinya sendiri menghasilkan sangat banyak karbondioksida. Sehinggadicari suatu cara untuk membatasi karbondioksida yang terlepas, dengan melakukanpenangkapan karbondioksida dari sumber-sumber yang sangat kaya akan elemen tersebut,misalnya instalasi produksi metanol dan hidrogen. Setelah ditangkap, dalam bentuk cair ia akandiinjeksikan ke bawah, sehingga prosesnya disebut CCS ( Carbon Capture and Storage ). Sumber kaya karbondioksida lain misalnya adalah pembangkit tenaga listrik batubara + CBM. Padapembangkit tenaga listrik sengaja dipakai batubara untuk menambah jumlah karbondioksida daripembangkit, dan batubara ini kemungkinan besar berasal dari daerah sekitar proyek tersebut.Diperlukannya sumber kaya karbondioksida ini adalah karena belum adanya teknologi untuk menangkap karbondiosksida dari udara bebas.Dengan adanya sistem lapangan CBM dan CCS yang terintegrasi ini, maka emisi karbondioksidamaupun emisi metana sebagai gas rumah kaca akan jauh berkurang, dan akan menghasilkanenergi yang lebih banyak lewat pembangkit listrik, hydrogen fuel cell , dan metanol sertamenghasilkan udara yang lebih layak hirup dengan penangkapan 80% karbondioksida buanganinstalasi-instalasi diatas. CBM di Indonesia : Problematika dan Keekonomian Proyek CBM di Indonesia telah dimulai sejak tahun 2008. Sejak itu pula, banyak Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) telah ambil bagian dalam bisnis ini. Berdasarkan data dari ESDM,untuk tahun 2011, tercatat 5 KKKS yang ditargetkan untuk memulai produksi gasnya (selesaifasa dewatering ), yaitu Selain West Sangatta, kontraktor lainnya adalah (Wilayah Kerja) WK CBM Sekayu (Medco Energy International), Tanjung Enim (Arrow PTE), Barito Banjar (Indobarambai) dan Sanga-Sanga (VICO). Masing-masing produksi direncanakan satuMMSCFD, kecuali Sanga-Sanga yang produksinya 1,5 MMSCFD. Total produksi kelimanyasekitar 5,5 juta kaki kubik per hari atau listrik yang dihasilkan setara dengan 13,75 megawatt.Sedangkan untuk realisasi listrik dari CBM yang terdekat adalah dari WK West Sangatta I yangdirencanakan pada Mei 2011 menghasilkan 1 Million Cubic Feet per Day (MMSCFD) yangdiproyeksikan menghasilkan listrik 2.5 MW. [11] Hingga saat ini, pemerintah telah memiliki 23 WK CBM yang merupakan bagian dari rencanapemerintah untuk memanfaatkan potensi CBM Indonesia. Pada tahun2011, rencana WK yangditawarkan berjumlah 13 buah sehingga diharapkan 2011 menjadi tahun awal pemenuhan listrik skala kecil, sedangkan masing-masing pada 2015, 2020 dan 2025 akan diproduksi CBMsebanyak 500, 1000, 1500 MMSCFD. [11] Gambar 9: Skema CCS yang terintegrasi dengan produksimetanol,hidrogen dan lapangan CBM [7]Menilik potensi CBM di Indonesia, maka hal ini cukup menarik minat para investor untuk mengembangkannya. Walaupun demikian, masih terdapat problem yang belum selesai dalamkegiatan pengusahaan CBM di Indonesia. Untuk lebih menarik minat investor, harus terdapatkajian lebih mendalam dari aspek teknis maupun ekonomis sehingga investor berani untuk menanamkan modalnya pada proyek CBM yang belum pasti resikonya, dan juga akan melihatkondusif tidaknya pasar gas bumi domestik, jangka waktu kontrak, dan harga gas. [1] Sementaraini, pola kontrak yang dipakai masih memakai Production Sharing Contract (PSC) tradisionalyang dimodifikasi, dimana bagi keuntungan pemerintah-kontraktor adalah 55:45. [10] Terdapat perbedaan yang cukup mendasar antara keekonomian gas konvensional dan CBM.Berikut grafik yang menggambarkan produksi CBM dan air hasildewatering :Menilik potensi CBM di Indonesia, maka hal ini cukup menarik minat para investor untuk mengembangkannya. Walaupun demikian, masih terdapat problem yang belum selesai dalamkegiatan pengusahaan CBM di Indonesia. Untuk lebih menarik minat investor, harus terdapatkajian lebih mendalam dari aspek teknis maupun ekonomis sehingga investor berani untuk menanamkan modalnya pada proyek CBM yang belum pasti resikonya, dan juga akan melihatkondusif tidaknya pasar gas bumi domestik, jangka waktu kontrak, dan harga gas. [1] Sementaraini, pola kontrak yang dipakai masih memakai Production Sharing Contract (PSC) tradisionalyang dimodifikasi, dimana bagi keuntungan pemerintah-kontraktor adalah 55:45. [10] Terdapat perbedaan yang cukup mendasar antara keekonomian gas konvensional dan CBM.Berikut grafik yang menggambarkan produksi CBM dan air hasil dewatering :Dari gambar 9 terlihat karakteristik khusus yang dimiliki sumur CBM, yaitu produksi air yangsangat banyak pada awal proyek. Air ini berasal dari dewatering yang berfungsi untuk menurunkan muka air dari lapisan batubara. Sekalipun CBMsudah mulai terproduksi di awal,produksinya baru mencapai puncak saat air sudah makin sedikit terproduksi, setelah itu mulaimenurun secara alamiah. Puncak produksi dari CBM kebanyakan hanya berkisar pada ratusanMCFD. Disinilah terdapat permasalahan, dimana produksi gas yang sangat kecil pada awal,maka investor kesulitan untuk mendapatkan modalnya kembali dalam waktu yang cepat.Berbeda dengan gas alam, yang pada saat awal dimana tekanan reservoir masih sangat besar, produksi gas akan sangat besar, sehingga dalam waktu singkat investor kembali mendapatkanmodalnya. Karakteristik ini merupakan karakteristik khusus CBM. Produksi Awal Kebanyakan air GasPuncak laju produksi Berada di tengah-tengah proyek setelah dewatering selesai (1-3tahun)Berada di awal proyek Jumlah Sumur Rata-rata*5-10 1Biaya per Sumur 0.5 juta US$ 2.5-5 juta US$Faktor Perolehan 45-60% 60-70%Bagi hasil (Pemerintah :Kontraktor)55 : 45 70 :30Biaya Tambahan Fracturing Cavity completion Kompresor Fasilitas pengolahan air Pompa ( dewatering )Kompresor Scrubber * Jumlah sumur CBM yang dibutuhkan untuk menyamai produksi 1 sumur gas alam Tabel 9 meringkas perbandingan CBM dengan gas alam dari faktor keekonomiannya. Dari tabelterlihat bahwa CBM memiliki beberapa perbedaan karakteristik dengan gas alam. Produksi air merupakan perbedaan karakteristik yang cukup mencolok dibanding gas alam, dimana pada saatawal produksi air dapat berkisar 170-700 barel per hari [1] , namun dapat menurun hingga hanya 10barel per hari saat gas sudah banyak terproduksi. Kuantitas air yang besar ini memerlukanpenanganan lebih dengan fasilitas khusus karena secara alami mengandung ion klorida,bikarbonat, mangan, maupun besi dalam jumlah besar. Terdapat beberapa opsi untuk menanganihal ini, yaitu : (1) diinjeksikan kembali; (2) digunakan langsung; (3) digunakan denganpemrosesan terlebih dulu; (4) dibuang ke badan air; (5) diuapkan di permukaan. Pemilihanproses ini sangat tergantung oleh baku mutu lingkungan, pertimbangan ekonomi, lapisan batuanyang cocok untuk injeksi kembali, iklim, dan komposisi kimia dari air itu sendiri.[2] Saat ini di Tabel 3: Perbandingan beberapa faktor keekonomian CBM danIndonesia belum ada baku mutu khusus untuk air buangan lapangan CBM, sehingga hal inisering mempersulit turunnya izin melakukan produksi. Untuk karakteristik keekonomiannya,biaya operasi pengolahan air akan menurun dengan sendirinya ketika produksi air menurun.Untuk jumlah sumur dan biaya sumur, diasumsikan untuk suatu jumlah tertentu produksi gasalam, dibutuhkan 5-10 sumur CBM untuk memproduksi gas dalam jumlah yang sama. Hal inikarena memang faktor alami tekanan sumur CBM yang rendah (500-1000 psi) dibanding sumur gas alam (10003000 psi), sehingga sumur gas akan berproduksi lebih banyak. Namun, karenasumur CBM rata-rata lebih dangkal, biaya per sumurnya pun lebih rendah. Tergantung dariproduksi per sumur CBM, maka untuk memproduksi gas dengan jumlah yang sama, biayatotalnya bisa 2 kali lebih mahal [1] , namun juga bisa lebih murah. Perlu diingat untuk jumlahsumur, perbanyakan jumlah sumur yang berdekatan di lapangan CBM tidak akan menggangguproduksi (fenomena yang terjadi di sumur minyak dan gas) namun dapat lebih mempercepatproses dewatering . Gambar 10 dan Gambar 11 dapat lebih memperjelas perbedaan antara proyek gas konvensional dan CBM.Gambar 10: Perbandingan CBM vs gas alam dari segi jumlahsumur, pembiayaan, dan produksi [5Gambar 11: Perbandingan CBM vs gas alam dari segiketidakpastian volume sumberdaya [5] Dari gambar 10 cukup terlihat perbedaan antara gas konvensional dan CBM, misalkan padajumlah sumur, seperti yang telah ditabulasikan pada Tabel 3. Jumlah sumur CBM akan makinbanyak seiring waktu untuk memperthankan laju produksi yang diinginkan. Namun, umur proyek CBM lebih panjang karena lajunya yang kecil dibandingkan gas konvensional. Hal inisebenranya juga tergantung pada GIP ( Gas In Place ) atau cadangan awal dari CBM itu sendiri.Untuk biaya ( expenditure ), kebanyakan sumur gas konvensional lebih mahal di awal proyek karena sumur yang lebih dalam dan peralatan lain, namun akan segera berkurang sejalan denganperkembangan proyek. Sementara untuk CBM, justru bertambah seiring makin banyaknya sumur yang harus dibuat, sekalipun lebih murah di awal proyek. Sedangkan pada gambar 11karakteristik paling mencolok adalah selisih ketidakpastian antara skenariohigh estimate dan low estimate yang lebih besar pada awal proyek CBM. Hal ini disebabkan oleh belum jelasnyainformasi teknis tentang kelakuan CBM pada awal proyek, misalnya model aliran dua fasa (air dan gas) pada lapisan batubara. Sejalan dengan makin banyaknya informasi, maka ketidakpastianakan semakin kecil. [5] Terdapat lima tahapan penting[1] yang seyogyanya dilakukan dalam pengembangan lapanganCBM, tahapan tersebut adalah berikut : a) Identifikasi prospek CBM, menghasilkan potensi CBM.b) Eksplorasi, untuk menemukan cadangan CBM. Digunakan untuk mengambil datageologi, komposisi gas. Pemboran eksplorasi biasanya menggunakan 3-4 sumur pemboran dengan analisa datanya adalah 750 ribu hingga 1 juta US$. c) Pemboran pilot, sering disebut micro pilot. Digunakan untuk mengetahui kemampuanproduksi gas dari lapisan batubara. Biaya untuk 4-5 sumur dengan analisanya adalah 2-2.5 juta US$. d) Tes produksi. Merupakan langkah terakhir sebelum produksi skala besar, mengetahuiprofil produksi air dan gas. Biaya untuk 10-25 sumur termasuk fasilitas pendukungadalah 5-10 juta US$.e) Pengembangan komersial.Untuk evaluasi skenario keekonomian proyek CBM di Indonesia, terdapat beberapa pilihan yangbisa dipakai, dimana masih mengacu pada PSC yang sekarang dengan modifikasi perbandinganbagi hasil pemerintah-kontraktor adalah 55:45. Hal ini dilakukan karena pada bagi hasilpemerintah kontraktor 70:30sementara terdapat biaya tambahan sumur yang lebih banyak danfasilitas pengolahankontraktor mengalami penundaan waktu pengembalian modal awal,karena Internal Rate of Return (IRR) yang lebih rendah dibanding proyek gas alam dengan bagihasil tersebut. Sebagai perbandingan, IRR proyek gas alam dengan perbandingan 70:30 adalah20% sedangkan IRR CBM dengan perbandingan yang sama adalah 14%.Terdapat juga faktor harga gas yang dipatok terlalu rendah dalam pasar domestik, sehingga menyebabkan investor tidak mau menjual gasnya ke pasar domestik. Rangkuman skenario [1] yang memberikan IRR 20% (IRR yang sesuai dengan IRR gas alam pada perbandingan 70:30) pada proyek CBMadalah:a) Harga gas US$ 4.5/MCF, royalti 5%, perbandingan bagi hasil 70:30b) Harga gas US$ 4/MCF, royalti 5%, perbandingan bagi hasil 55:45c) Harga gas US$ 4.7/MCF, royalti 10%, perbandingan bagi hasil 70:30d) Harga gas US$ 4.2/MCF, royalti 10%, perbandingan bagi hasil 55:45 Untuk harga gas saat ini US$ 3.5/MCF, hal ini jelas tidak akan menarik investor pada proyek CBM karena lebih merugikan dari pengembangan gas alam, apalagi apabila diperparah oleh bagihasil 70 :30 dengan royalti 10%. Partowidagdo [1] menyarankan, seyogyanya royalti dibuatfleksibel sesuai harga jual gas, sehingga contohnya apabila diterapkan bagi hasil 55:45 denganharga gas US$ 3.5 /MCF, royaltinya 0%, sementara untuk harga gas US$ 4/MCF diberlakukanroyalti 10%. Selain itu, Indonesia seyogyanya menerapkan harga yang lebih tinggi pada gas,minimal US$ 4/MCF atau US$ 5 MCF, karena pada harga yang disebutkan terakhir, setaradengan US$ 30/ barel minyak, jauh dengan harga minyak saat ini yang diatas US$ 100/barel.Dengan demikian, investor akan lebih tertarik untuk mengembangkan CBM di Indonesia,termasuk mendayagunakan jalur pipa yang telah ada, misalnya jalur pipa Sumsel-Jabar danKalsel-Jateng.Hambatan lain dalam pengembangan CBM di Indonesia adalah masih tingginya subsidi BahanBakar Minyak (BBM) di Indonesia. Sebagai sumber energi yang masih dipandang sebagaisumber energi alternatif, tentu saja CBM dan EBT lainnya akan kesulitan untuk menembus pasar domestik, ditambah paradigma masyarakat yang menganggap bahwa energi itu murah. Mengutippernyataan Prof. Rudi Rubiandini bahwa masyarakat tidak akan dapat menghemat energi, yangbisa dihemat adalah uang. Implikasi dari pernyataan ini adalah bahwa selama masyarakay masihmenganggap energi mudah didapat, maka tidak akan pernah terjadi konservasi energi.Masyarakat akan terus menerus memakai energi tanpa adanya budaya hemat energi. Budayahemat energi ini tidak akan timbul hanya dengan sosialisasi Earth Hour , Bike to Work dan lainsebagainya. Budaya ini akan timbul apabila harga energi mulai dianggapmahal oleh masyarakat.Memang, tidak dapat dipungkiri hal ini akan menimbulkan inflasi pada perekonomian kita,dimana akan lebih terasa oleh masyrakat kalangan menengah bawah. Namun demikian apabilasebagian dana subsidi tersebut dipakai untuk pengembangan hal-hal lain yang lebih bermanfaat,lama kelamaan masyarakat akan terbiasa, contohnya adalah kebijakan pemakaian tabung gas 3kguntuk menggantikan minyak tanah.Salah satu alokasi pengalihan dana ini terutama dari bidang migas dinamakan DepletionPremium (DP). Apabila dijelaskan dengan singkat, DP adalah suatu dana yang berasal daripendapatan sektor energi tak terbarukan dimana dana ini harus dialokasikan untuk menemukandan meneliti pengganti dari energi yang akan habis tersebut. [6]Dana ini merupakan insentif yang diperlukan oleh kalangan pelaku pengembangan dan pengusahaan EBT, misalnya kontraktor yang berminat dalam CBM, maupun badan-badan usaha lain yang mengusahakan mikrohidromaupun biofuel. Dengan adanya DP, maka pengembangan EBT diharapkan lebih cepat karenaketiadaan insentif merupakan salah satu akar permasalahan EBT di Indonesia.Apabila kita kembali pada falsafah PSC yang dikembangkan oleh Presiden Soekarno setelahmelihat buruh di ladang yang dimiliki oleh seorang pemilik lahan, sistem ini adalah sistembelajar dari kontraktor asing. Pemilik lahan adalah Indonesia, sedangkan buruhnya adalahkontraktor asing. Pada saat PSC dikembangkan, Indonesia belum memiliki teknologi danpemikiran yang diperlukan untuk mengangkat migas dari dalam buminya sendiri, sehingga padasaat itu banyak kontraktor diundang, dan dengan sistem dimana kontraktor harus melaporkansetiap kegiatannya pada pemerintah, maka kita juga melakukan transfer ilmu dan teknologi.Namun tentu saja tidak selamanya seorang murid belajar, dan tidak selamanya Indonesiamembutuhkan transfer teknologi tersebut. Faktanya pada saat ini posisi engineer muda disebagian besar kontraktor asing telah diisi oleh anak bangsa, sehingga transfer ilmu seharusnyasudah terjadi. Umur PSC juga sudah sangat cukup sebagai sistem pembelajaran yang terjadiselama 30-40 tahun.Saat ini problem utamanya terjadi pada teknologi dan modal. Pemecahan dari masalah ini sangatjelas. Perusahaan dalam negeri belum mampu untuk membuat peralatan-peralatan dasar dalameksplorasi dan ekploitasi migas, sebut saja casing yang selalu buatan luar negeri. Pemerintahsebagai pihak yang memiliki otoritas harus melakukan langkah-langkah untuk mengkondusifkanpasar dalam negeri agar perusahaan lebih tertarik untuk memproduksi peralatan-peralatantersebut. Langkah nyata yang dapat dilakukan misalnya adalah menambah pajak masuk bagibarangbarang eksplorasi migas luar negeri, dan mengurangi pajak bagi peralatan produksidalamnegeri. Dengan sistem ini diharapkan kemandirian teknologi dapat terjadi. Sedangkan untuk modal, kenyataannya di Indonesia banyak terdapat dana dengan jumlah besar yang mengendapdi bank-bank dimana dana ini tidak liquid . [1] Persoalan yang sering terjadi adalah lembagakeuangan seringkali tidak ingin mencairkan dana tersebut apabila resiko besar dan tidak diketahui, yang justru merupakan karakteristik dunia energi khususnya migas. Hal ini dapatdiatasi dengan melakukan konsorsium untuk pembiayaan dana tersebut dimana pinjamanterhadap kegiatan migas ditanggung bersama oleh beberapa lembaga. Selain itu, ketidakpastian resiko ini dapat ditanggulangi dengan menggunakan DP dari migas, untuk melakukan pencariandata geologi dan geofisik dengan kualitas yang lebih baik, sehingga badan keuangan lebihmengetahui resiko yang ada. Langkah ini harus diimbangi dengan duduk bersamanya seluruh stakeholder yang ada, sehingga permasalahan modal dapat diatasi.CBM yang saat ini juga memakai PSC dapat memakai solusi yang mirip dengan yang telahdipaparkan diatas. Namun perlu diketahui bahwa resiko awal CBM lebih besar dari proyek migaskonvensional. Meskipun pada saat ini beberapa diantara WKP yang telah ada menggunakanbantuan kontraktor asing, sedapat mungkin dimasa yang akan datang Indonesia mampu untuk mengeksplorasi cadangan CBM yang dimilikinya sendiri. Pelaku pengusahaannya telah jelas,yaitu mendayagunakan perusahaan nasional seperti PHE ( Pertamina Hulu Energy ), juga MedcoE&P dan perusahaan dalam negeri lainnya. Skema bagi hasil yang mendatangkan IRR besar bagikontraktor dalam proyek CBM memang dapat menjaring investor asing, namun hal ini tidak dapat berlangsung terus menerus, karena dapat membuat negara kita menjadi tergantung olehasing seperti pada migas saat ini. Kerjasama dalam ilmu dan teknologi memang akan diperlukankedepannya baik dalam ekplorasi maupun ekploitasi CBM sebagai sumber energi yang baru,namun prinsip yang perlu diingat adalah dalam tiap kerjasama tersebut Indonesia tidak bolehsebagai posisi yang lebih rendah, harus benar-benar setara. Alih ilmu dan teknologi harusmenghasilkan sumber daya manusia dan korporasi nasional yang siap untuk mandiri tanpabantuan luar lagi. Dengan demikian, CBM akan segera didayagunakan dengan teknologi, ilmu,dan modal dalam negeri demi kemandirian energi Indonesia. KesimpulanCBM merupakan salah satu jenis EBT yang berasal dari sisa proses pembentukan batubara dibawah permukaan, sehingga gas ini adalah 88-98% metana yang terperangkap dalam poribatubara dengan sistem adsorbsi. Produksinya dilakukan dengan pertama kali dewatering agar gas bisa terdesorbsi dan terproduksi ke permukaan. Sebelum dapat diproduksi, sumur harusdikomplesi dengan pertimbangan yang tepat. Karakteristik produksinya yang kecil menyebabkandilakukan injeksi karbondioksida maupun nitrogen dengan pilihan integrasi dengan sistempembangkit listrik dan metanolhydrogen fuel cell dan akan berimplikasi pada berkurangnyaemisi karbondioksida dan bertambahnya produksi metana. Dari sisi keekonomian, perbedaankarakteristik bisnis CBM dan gas konvensional menyebabkan digunakannya bagi hasil yangberbeda dari PSC gas, yaitu 55:45. Namun demikian, harga domestik dan royalti seharusnya jugadibuat lebih fleksibel untuk menarik investor. PSC sendiri merupakan sistem belajar sehinggaalih teknologi dan ilmu seharusnya sudah terjadi, sementara modal dapat menggunakan danadalam negeri, dengan opsi konsorsium. Kerjasama teknologi seharusnya dilakukan dengan tidak mengubah posisi Indonesia sebagai pemilik sumber daya. Sehingga pada akhirnya Indonesiaakan mencapai kemandirian pengusahaan energi pada sektor CBM dengan menggunakan modal,ilmu, teknologi, dan sumber daya dalam negeri. Pustaka 1. Partowidagdo, Widjajono, Migas dan Energi di Indonesia : Permasalahan dan Analisis Kebijakan ,Development Studies Foundation, 2009 2. Rogers, Rudy E., Coalbed Methane: Principles and Practice , Prentice Hall Petroleum Engineering Series,1994 3. Jamshidi, M. dan Jessen, K., Impact of Reservoir Characteristics on Water Production in Enhanced CoalbedMethane Operations , Paper SPE No. 132521, SPE, 2010 4. Partowidagdo, W., Dicky E. Hindarto, Asclepias Rachmi S.I., dan Arsegianto, Agenda 21 Sektor Energi:Meningkatkan Kualitas Hidup Manusia Indonesia Melalui Pembangunan Sektor Energi yang Berkelanjutan , Jakarta, 2000 5. Atkins, Bruce, Coal Bed Methane-From Resource to Reserves , Issue No. 34, Gaffney,Cline & Associates,2003 6. Wijaya, Agus Rendi, Kajian Penerapan Depletion Premium Dalam Analisis Keekonomian Proyek Minyak dan Gas Bumi 7. Walsh, John H., The Linkage of Coal Bed Methane Production to Energy Conversion TechnologiesEquipped for Capture of Carbon Dioxide , http://pages.ca.inter.net/ 8. Dongeng Geologi : Sumberdaya Gas Alam 2 : CBM ,http://rovicky.wordpress.com/2010/07/27/sumberdaya-gas-alam-2-cbm/ 9. De Bruin, Rodney H., Robert M. Lyman, Richard W. Jones, dan Lance W. Cook, Coalbed Methane inWyoming , Black Diamond Energy, Inc.10. Dira, Bisnis CBM Indonesia: All About CBM Business in Indonesia , http://cbm-indonesia.blogspot.com/,2009 11. Listrik Dari CBM, Kuartal II 2011 Ditargetkan Capai 2,5 MW , http://www.reffburn.org/energy/, 2011 12. Lubis, Ibrahim, Potensi Coal Bed Methane (CBM) Sebagai Energi Alternatif di Indonesia ,http://ibrahimlubis.wordpress.com/, 2009 13. Coal Bed Methane , Energy Justice Network, http://www.energyjustice.net/naturalgas 14. Blueprint Pengelolaan Energi Nasional , Sekretariat Panitia Teknis Sumber Energi, 2006 15. Ringkasan Ekseskutif Pertemuan Tahunan Pengelolaan Energi Nasional, 2008 16. Schwoebel, Jeff, Applications of Current CBM Technology for Enhanced CMM Drainage ,dipresentasikan pada 26-27 September 2006 , Colorado, AS 17. Coal Bed Methane Development in The Midcontinent Area, Petroleum Technology Transfer Council, 1999 18. Ertekin, T, Coalbed Methane as Unconventional Gas dipresentasikan pada September 2006, Bandung,Indonesia 19. Ertekin, T, Coal Seam as A Natural Gas Reservoir , dipresentasikan pada September 2006, Bandung,Indonesia 20. Ertekin, T, Field Operations in Coalbed Methane Reservoir , dipresentasikan pada September 2006,Bandung, Indonesia 21. Ertekin, T, Reservoir Engineering of Coalbed Methane Reservoirs , dipresentasikan pada September 2006, Bandung, Indonesia 22. Farizi, Safrian A., Mahasiswa dan Energi Baru Terbarukan Sebagai Solusi Permasalahan Energi diIndonesia , essay tata kelola energi KENMI, 2011