cinta dalam telepon kaleng - memikirkan...

122
1 CINTA DALAM TELEPON KALENG Cinta Selalu Datang di saat yang Tepat, untuk Orang yang Tepat oleh Tegar Setiadi

Upload: others

Post on 26-Oct-2020

30 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: CINTA DALAM TELEPON KALENG - Memikirkan Katagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/CINTA... · 2020. 4. 1. · “Silakan duduk, saya panggil suami saya dulu.” Aku sudah

1

CINTA DALAM TELEPON KALENG

Cinta Selalu Datang di saat yang Tepat, untuk Orang yang Tepat

oleh

Tegar Setiadi

Page 2: CINTA DALAM TELEPON KALENG - Memikirkan Katagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/CINTA... · 2020. 4. 1. · “Silakan duduk, saya panggil suami saya dulu.” Aku sudah

2

Thank’s to

Alhamdulillah, yang pertama dan paling utama adalah ucapan terima kasih yang saya

persembahkan kepada Allah SWT. Tanpa-Mu aku bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa.

Untuk orangtuaku yang selalu mendukung dan menyempatkan doa di setiap detik dalam

hidupku. Untuk kakak dan adik, atas kesetiaannya menemani begadang setiap malam. Serta

untukmu, seseorang yang tetap indah, walaupun terkadang sangat menyebalkan. Juga kepada

orang-orang yang telah memberikan dorongan sampai saya menyelesaikan novel ini.

Yang paling berharga, para pembaca yang telah menyempatkan waktu untuk

menikmati karya sederhana yang telah saya buat, semoga menyukainya.

Amin.

Page 3: CINTA DALAM TELEPON KALENG - Memikirkan Katagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/CINTA... · 2020. 4. 1. · “Silakan duduk, saya panggil suami saya dulu.” Aku sudah

3

BAB SATU

Aku datang. Maka, bertemanlah denganku

Page 4: CINTA DALAM TELEPON KALENG - Memikirkan Katagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/CINTA... · 2020. 4. 1. · “Silakan duduk, saya panggil suami saya dulu.” Aku sudah

4

TETANGGA BARU

Seorang Gadis Kecil yang Menyebalkan

Ting tong…

Bel rumahku berbunyi beberapa kali. Siapa yang datang bertamu sepagi ini? Aku

yang sedang menonton serial kartun di televisi hanya menengok sejenak, lalu kembali asyik

menyaksikan tokoh seekor kucing dan tikus yang sedang berkejaran. Biarlah itu menjadi

urusan orangtuaku atau kakak laki-lakiku saja.

Aku hanya bocah yang baru berusia 11 tahun.

“Iya, sebentar.”

Suara ibu terdengar dari dapur, disusul langkah kakinya yang berjalan terburu-buru.

Kemudian terdengar pintu yang berdecit terbuka. Kedua mataku mendapati 2 orangtua dan 1

anak perempuan seusiaku berdiri di luar. Wajah mereka asing, belum pernah kulihat orang-

orang ini di kompleks rumah.

Sekarang, konsentrasiku benar-benar teralih kepada mereka. Aku penasaran siapa

orang-orang ini, terutama gadis kecil yang memakai baju warna merah dan rok sependek lutut

itu. Aku juga tidak pernah melihatnya di sekolah.

Ibu membawa mereka ke ruang tamu yang tidak jauh dari tempatku sekarang,

membuatku dapat mendengar percakapan mereka dengan jelas.

“Silakan duduk, saya panggil suami saya dulu.”

Aku sudah melewatkan beberapa adegan pada kartun yang sudah kutonton sejak 15

menit yang lalu. Mataku sibuk mengawasi mereka yang sekarang terlihat mengedarkan

pandangan ke seluruh sudut rumah. Dahiku berkerut saat pandanganku dan anak perempuan

itu bertemu, dia tersenyum. Padahal, ini pertama kali kami bertemu.

“Selamat pagi, Pak. Maaf bertamu sepagi ini.”

Salah seorang dari mereka tampak menyapa Ayah ketika beliau sudah berada di ruang

tamu, duduk di depan mereka.

“Iya, Pak. Silahkan duduk kembali. Ngomong-ngomong ada keperluan apa?”

Laki-laki itu tersenyum, “Sebelumnya perkenalkan, saya Hermawan. Ini istri dan anak

saya. Kami penghuni baru di rumah sebelah, baru pindah dari Bandung, 2 hari yang lalu.

Maksud kami bertamu adalah ingin berkenalan dengan para tetangga.”

Page 5: CINTA DALAM TELEPON KALENG - Memikirkan Katagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/CINTA... · 2020. 4. 1. · “Silakan duduk, saya panggil suami saya dulu.” Aku sudah

5

“Oh, iya-iya. Saya mendengar dari Pak RT bahwa akan ada warga baru, pindahan dari

luar kota.”

Aku melihat laki-laki berkumis itu mengangguk.

“Kami sekeluarga harus pindah dari Bandung karena saya dipindahtugaskan oleh

kantor untuk memegang salah satu cabang perusahaan di Purwokerto. Kebetulan kami

disediakan rumah di daerah ini oleh perusahaan.”

Pantas aku tidak pernah melihat mereka di sekitar rumah, baru pindah ternyata. Aku

masih mencuri dengar apa yang sedang mereka bicarakan ketika ibu berjalan dari dapur

dengan membawa 4 gelas minuman dan meletakkan di meja. Ibu duduk di samping ayah.

“Ini lho, Bu. Pak Hermawan dan keluarganya adalah tetangga kita yang baru,

pindahan dari Bandung. Rumah di sebelah kita yang sudah lama kosong itu sekarang

ditempati oleh mereka.”

“Wah, saya ucapkan selamat datang kalau begitu. Kita malah belum tahu kalau sudah

ditinggali. Maaf lho kami belum sempat berkunjung.” Ibu terlihat antusias menyambut

mereka.

“Nggak apa-apa, Bu. Kami yang minta maaf karena baru sempat memperkenalkan

diri, kemarin masih sibuk beres-beres rumah soalnya. Ini saja sebetulnya belum selesai

semua.” Sekarang istri dari laki-laki berkumis itu yang menanggapi omongan ibu.

“Silakan sambil diminum,” Ibu menawarkan.

“Ini putrinya, ya? Cantik sekali. Siapa namanya?”

“Disya.” Anak itu menjawab sendiri pertanyaan ibuku.

“Wah, nama yang cantik, benar-benar pas untuk anak secantik kamu. Kelas berapa?”

Bocah perempuan berambut panjang itu menatap ibunya, membuat wanita itu

tersenyum.

“Kelas 5, Bu. Kami sudah mengurus kepindahan sekolahnya kemarin. Disya akan

sekolah di SD Harapan Bangsa, di ujung jalan sana.”

Aku mendengar nama sekolahku disebut oleh perempuan yang usianya mungkin

hampir sama dengan ibuku. Kelas 5? Berarti sama denganku, aku juga kelas 5. Kalau begitu

pasti anak itu akan satu kelas denganku.

“Kebetulan sekali. Anak saya yang kedua juga sekolah di SD Harapan Bangsa, kelas

5 juga, lho.”

Ibu benar-benar pandai mengakrabkan diri. Baru beberapa menit, tetapi beliau sudah

terlihat akrab dengan mereka.

Page 6: CINTA DALAM TELEPON KALENG - Memikirkan Katagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/CINTA... · 2020. 4. 1. · “Silakan duduk, saya panggil suami saya dulu.” Aku sudah

6

“Oh, ya? Syukurlah, anak saya jadi punya teman nanti. Maklum Jeng, pindahan, jadi

belum kenal siapa-siapa.”

“Sebentar, saya panggil anak saya dulu. Rayhan, sini sayang!”

Aku sedikit kaget waktu ibu memanggil namaku. Dengan malas aku berdiri dan

mendekat ke arah mereka. Ibu menyuruhku duduk di sampingnya, lalu mengenalkan aku

kepada mereka. Anak perempuan ini kembali melemparkan senyum.

Aku memutuskan untuk tidak membalas senyumnya.

“Ini Disya. Dia akan jadi teman sekolahmu yang baru, kenalkan dia pada teman-

teman sekolah, ya.”

Aku hanya mengangguk tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, hanya sekadar

menyebutkan nama untuk memperkenalkan diri beberapa menit yang lalu. Anak perempuan

itu masih terus menatapku dengan senyum yang tetap terpasang di bibirnya, membuatku

jengkel. Menyebalkan sekali wajahnya.

Aku memang bukan anak yang bisa cepat ramah, terlebih dengan orang yang baru

kenal. Sifat ibu yang satu ini sama sekali tidak menurun kepadaku.

“Rayhan, ajak Disya bermain, ya.”

Aku menatap wajah ibu, heran. “Ke mana?”

“Di halaman belakang rumah saja, kan banyak mainan di sana.”

Aku langsung khawatir begitu mendengar jawaban ibuku.

Halaman belakang rumah adalah tempat favoritku setiap hari. Aku sering

menghabiskan waktu di tempat itu untuk bermain seorang diri. Aku memang bukan anak

yang pandai bergaul sehingga tidak banyak memiliki teman. Bagiku, halaman belakang

adalah daerah yang tidak boleh sembarangan orang dapat berada di tempat itu. Sekarang, ibu

menyuruh untuk mengajak Disya bermain di sana, aku takut dia akan merusak mainan-

mainan di tempat itu.

Dengan terpaksa aku mengangguk, lalu mengajak Disya beranjak. Ia mengikuti

langkahku menuju halaman belakang. Wajahnya terlihat ceria, sementara aku masih berlagak

dingin. Aku ingin membuat gadis cilik ini tahu bahwa aku adalah anak yang galak sehingga

dia akan takut dan tidak merusak mainanku nanti.

“Kenapa kamu cemberut terus?” Pertanyaan Disya menghentikan langkahku, aku

membalikkan tubuh.

“Kenapa kamu tersenyum terus?” Aku balik bertanya.

“Senyum lebih baik daripada cemberut, kan?”

Page 7: CINTA DALAM TELEPON KALENG - Memikirkan Katagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/CINTA... · 2020. 4. 1. · “Silakan duduk, saya panggil suami saya dulu.” Aku sudah

7

Aku mendesis mendengarnya, rasa sebalku meningkat 20 persen sekarang. Disya

bukan hanya sok akrab, tapi juga sok tahu. Langkahku kembali membawa kami ke halaman

rumah. Menurutku, itu bukan pertanyaan yang harus dijawab dan bukan sesuatu yang

penting.

“Kamu punya kakak?”

“Punya,” jawabku tanpa menatapnya.

“Senangnya, aku anak tunggal, jadi tidak punya teman main di rumah.”

Pantas saja dia terlihat sangat senang waktu ibu menyuruhku bermain dengannya.

Mungkin dia belum tahu kalau punya saudara itu tidak selalu menyenangkan. Apalagi kalau

sama-sama laki-laki, selalu saja ada alasan yang membuat kami bertengkar.

Kami sampai di halaman belakang rumah, rasa khawatirku menjadi semakin besar

sekarang. Ini adalah daerah teritorial milikku, tidak sembarang orang boleh memasukinya.

Dan sekarang anak perempuan asing ini telah berada di sini.

“Menyenangkan sekali, banyak mainan di halaman belakang rumahmu.” Dia terlihat

begitu takjub.

Memang ada banyak mainan di tempat ini. Ayunan, perosotan, trampolin, kolam

renang kecil yang terbuat dari plastik, sepeda roda tiga, kuda-kudaan kayu, dan ada pula

sebuah mobil mini yang menggunakan pedal untuk menjalankannya. Itu semua adalah

mainan milikku, teman mainku sehari-hari.

Aku tidak sempat mencegah ketika dia secara tiba-tiba berlari ke arah perosotan, lalu

menaiki tangga. Sedetik kemudian anak perempuan itu berteriak girang sambil meluncurkan

badan. Tidak ada yang berani melakukan itu tanpa seizinku sebelumnya. Disya benar-benar

membuatku jengkel, aku sangat sebal dengannya.

Dari perosotan dia berlari menuju ayunan, duduk di atas papan dan mengayun-

ayunkan kakinya. Disya terlihat sangat senang berada di tempat ini, seperti anak TK yang

mendapatkan mainan baru saja.

Kali ini dia pindah ke trampolin, melompat-lompat di atasnya. Suara tawa yang keluar

dari mulutnya benar-benar menyebalkan. Ingin sekali aku menjitak kepalanya dengan keras,

tapi pasti akan dimarahi ibuku.

Aku hanya bisa diam mengawasi anak itu dengan memasang wajah segalak mungkin.

“Hei! Ayo, sini!” Perintahnya kepadaku.

Cih! Sekarang dia menyuruhku untuk menghampirinya. Anak itu benar-benar

membuatku sebal, sangat sok akrab. Dia telah berani masuk ke dalam wilayahku dan

sekarang dia menyuruh untuk mendekat.

Page 8: CINTA DALAM TELEPON KALENG - Memikirkan Katagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/CINTA... · 2020. 4. 1. · “Silakan duduk, saya panggil suami saya dulu.” Aku sudah

8

“Ada apa?”

“Tempat ini benar-benar menyenangkan, bolehkah aku bermain ke sini setiap hari?”

Sekarang, kekhawatiranku menjadi kenyataan. Dia akan mengambil alih semua

mainan yang selama ini aku gunakan seorang diri. Aku harus membagi wilayahku, dan aku

tidak suka! Aku tidak suka bermain dengan anak perempuan, mereka benar-benar cengeng

dan manja.

“Bolehkah?”

Disya kembali bertanya. Kali ini wajahnya terlihat ragu-ragu.

“Asalkan kamu berjanji tidak akan merusak ini semua.”

Aku terkejut dengan jawaban yang baru saja aku ucapkan, benar-benar tidak

menyangka. Aku membiarkan anak ini bermain di halaman belakang rumah, dan sekarang

mengizinkannya untuk kembali ke tempat ini setiap hari. Ada apa denganku sebenarnya?

“Yeeaay. Terima kasih, Rayhan.”

Di hadapanku gadis itu melompat dengan girang. Dia tertawa dengan lebar hingga

mempertontonkan giginya. Aku baru menyadari kalau gigi tengah bagian bawahnya ompong.

Sontak aku tertawa terpingkal-pingkal dibuatnya, sampai air mata sedikit mengisi sudut-sudut

mata.

Anak perempuan ini benar-benar menyebalkan dan… unik.

“Kenapa kamu tertawa sampai seperti itu?”

Aku masih tertawa ketika mendengarnya bertanya, membuat Disya terlihat tidak sabar

menunggu jawaban. Kutarik napas dalam-dalam, mencoba meredakan tawa yang sekarang

sudah tidak sekeras tadi.

Aku menunjuk ke arah mulutnya.

“Gigimu... siapa yang menyembunyikan gigi-gigimu itu?”

Kali ini, wajahnya terlihat cemberut karena mendengar pertanyaanku. Dia

menjulurkan lidahnya, membuatku kembali tertawa dengan keras. Aku sampai merobohkan

badanku di atas trampolin sambil memegang perut. Baru kali ini aku tertawa sampai perutku

terasa sedikit sakit.

Page 9: CINTA DALAM TELEPON KALENG - Memikirkan Katagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/CINTA... · 2020. 4. 1. · “Silakan duduk, saya panggil suami saya dulu.” Aku sudah

9

“Bagaimana dengan teman barumu itu?”

Ibu bertanya padaku ketika kami sedang makan malam. Ada ayah, ibu, dan kakakku.

“Siapa, Bu?”

“Disya. Tetangga baru kita. Tadi kan kamu bermain dengannya.”

“Tetangga baru?”

Kakak terlihat heran mendengar pertanyaan ibu. Benar juga, dia lari pagi dan baru

pulang saat Keluarga Disya sudah pulang.

“Iya. Sekarang mereka akan menempati rumah di sebelah kita.” Ayah menanggapi

pertanyaan Kakak.

Kakak hanya mengangguk-anggukan kepalanya.

“Kamu sudah akrab dengan Disya?” Ibu kembali bertanya kepadaku.

“Disya sedikit menyebalkan,” jawabku jujur.

“Lho, kenapa? Sepertinya dia anak yang menyenangkan.”

“Disya memakai semua mainan di halaman belakang tanpa meminta izin kepadaku.

Tentu saja aku sebal.”

Aku mendengar mereka tertawa kecil karena jawabanku, padahal aku tidak merasa

ada yang salah dengan kalimat yang baru saja aku ucapkan.

“Bukankah memang seperti itu sifatmu, tidak bisa berteman dengan siapa saja.”

Penuturan kakakku lebih terdengar sebagai sebuah sindiran. Aku meliriknya dengan sebal.

Dia adalah satu-satunya kakakku. Namanya Sakti, usia kami beda 3 tahun. Kami

memiliki sifat yang jauh berbeda. Dia mudah akrab dengan orang yang baru saja dikenalnya

dan juga memiliki banyak teman. Tidak sepertiku yang hanya bisa bermain dengan mainan-

mainan yang ada di halaman belakang rumah.

“Jangan seperti itu, Rayhan. Kamu harus bersikap baik dengan teman-temanmu, tidak

baik kalau kamu selalu memasang wajah cemberut setiap kali bertemu dengan seseorang.

Nanti tidak ada yang mau berteman denganmu,” Ibu menasihatiku dengan panjang.

“Iya, Nak. Ayah sudah sering mengajarkan untuk bersikap baik dengan siapa saja,

biar orang lain juga bersikap baik dengan kita. Kamu tidak ingin orang lain membencimu,

kan?”

Aku menggelengkan kepala untuk menjawab pertanyaan ayah.

“Karena itu kita juga jangan membenci orang lain. Menyenangkan kalau punya

banyak teman untuk bermain. Ayah pikir tidak masalah kalau Disya, atau siapa pun memakai

mainanmu.”

Page 10: CINTA DALAM TELEPON KALENG - Memikirkan Katagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/CINTA... · 2020. 4. 1. · “Silakan duduk, saya panggil suami saya dulu.” Aku sudah

10

Aku mendengarkan nasihat yang diberikan oleh ayah.

“Tadi Rayhan sempat tertawa karena melihat gigi Disya yang ompong. Dia lucu kalau

tertawa.”

“Baru kali ini kamu tertawa dengan orang yang baru kamu kenal,” Kakak kembali

mengeluarkan pendapat yang terdengar seperti sindiran di telingaku.

“Makanya kamu harus rajin gosok gigi setiap hari, biar tidak ompong seperti Disya.”

“Iya, Bu.”

“Dan kamu juga tidak boleh menertawakan orang lain seperti itu, nggak baik itu

namanya.”

Aku mengangguk pelan.

Makan malam keluargaku memang selalu seperti ini, tidak pernah sepi dari

percakapan di antara kami. Selalu saja ada topik yang terus mengalir hangat setiap

malamnya.

Page 11: CINTA DALAM TELEPON KALENG - Memikirkan Katagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/CINTA... · 2020. 4. 1. · “Silakan duduk, saya panggil suami saya dulu.” Aku sudah

11

SEKOLAH BARU

Aku Selalu Berharap Bisa Bersahabat Denganmu

Aku berdiri dengan menyandarkan punggung pada tembok keliling rumahku sejak 5

menit yang lalu. Rumah yang baru tiga hari ditempati oleh keluargaku ini memang lebih

besar dari rumah kami sebelumnya, dengan halaman yang juga lebih luas. Cukup nyaman

untukku.

Aku langsung merasa kerasan tinggal di rumah ini.

Ini hari pertamaku berangkat ke sekolah yang baru. Jantungku terasa berdetak lebih

cepat dari biasanya, grogi untuk bertemu dengan teman-teman baru di sana. Karena itu aku

memutuskan untuk berangkat bersama Rayhan. Yah, walaupun anak itu tidak menyambut

ramah kehadiranku kemarin, paling tidak ada seseorang yang kukenal nantinya.

Rumah Rayhan masih tertutup, pikiranku mengatakan anak itu pasti belum berangkat.

Keluarga mereka benar-benar keluarga yang sangat ramah, kecuali Rayhan tentu saja. Entah

kenapa dia selalu memasang wajah cemberut kemarin, mungkin karena kami baru pertama

kali bertemu.

Tidak berapa lama pintu rumah Rayhan perlahan terbuka, menampakkan wajah anak

laki-laki itu dari baliknya. Akhirnya dia muncul juga, aku bisa bernapas lega sekarang. Di

belakang Rayhan, Tante Vita terlihat mengikuti anak bungsunya, membiarkan bocah itu

mencium punggung tangan beliau.

Rayhan berjalan ke arahku. Ekspresi pertama yang aku lihat dari wajahnya pagi ini

adalah bingung. Mungkin dia bertanya-tanya melihatku berdiri di depan gerbang rumahnya

lengkap dengan seragam sekolah putih dan merah.

“Sedang apa kamu di situ?”

“Menunggumu.”

Aku memasang senyum semanis mungkin agar Rayhan tidak menunjukkan sikap

dinginnya lagi. Namun, hasilnya gagal total.

“Maksudmu?”

Page 12: CINTA DALAM TELEPON KALENG - Memikirkan Katagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/CINTA... · 2020. 4. 1. · “Silakan duduk, saya panggil suami saya dulu.” Aku sudah

12

“Aku mau berangkat sekolah bareng. Aku sedikit grogi, karena ini hari pertamaku ke

sekolah baru.”

Aku mendengarnya berdecak sambil menggelengkan kepala, lalu melanjutkan

langkahnya. Membuatku hanya bisa menghela napas, dan membuntuti di belakangnya.

Bagaimanapun, aku membutuhkan Rayhan hari ini untuk membantuku beradaptasi dengan

lingkungan baru. Aku juga tidak berani berangkat sekolah seorang diri.

“Kenapa harus menungguku? Orangtuamu bisa mengantarmu, kan?”

“Iya, tapi menurutku berangkat bareng kamu jauh lebih baik. Aku tidak perlu

kebingungan mencari kelas nanti, karena kita pasti satu kelas.”

Aku terus mencoba menyejajarkan langkahku dengan Rayhan. Anak ini cepat sekali

jalannya.

Rayhan terlihat mengeluarkan sesuatu dari dalam saku seragamnya, aku melirik.

Ternyata sebotol minyak kayu putih ukuran kecil yang sekarang berada di tangan kanannya.

Aku masih mengamati dengan penasaran.

Dia mengeluarkan sedikit cairan itu di telapak tangan, lalu mengoleskan ke bagian

leher dan lengannya.

“Apa yang kamu lakukan?” Rasa penasaranku sudah telanjur semakin besar.

“Apa kamu tidak melihatnya?”

Anak ini benar-benar tidak bisa bersikap ramah denganku, “Aku melihatnya.

Maksudku, kenapa kamu mengoleskan minyak kayu putih itu? Apa kamu sakit?”

Dia menggeleng. “Aku hanya menyukai aromanya. Aku akan mengoleskan minyak

kayu putih ke tubuhku kapan pun saat aku ingin.”

Satu lagi hal aneh yang aku ketahui dari Rayhan. Bocah ini mengoleskan minyak

kayu putih ke tubuhnya hanya karena menyukai aroma dari cairan itu. Selama ini yang aku

tahu, mama mengoleskan minyak kayu putih hanya saat aku merasa gatal setelah digigit

nyamuk atau saat aku sedikit tidak enak badan.

“Ada-ada saja kamu. Dan kamu selalu membawa botol itu ke mana pun?”

“Tentu saja. Ini sudah kebiasaanku sejak dulu. Kenapa memang?”

Aku membenarkan letak tas punggungku yang sedikit melorot. Tas yang sudah aku

miliki sejak kelas 4 ini memang terlalu besar untukku yang bertubuh kecil.

“Lucu aja. Aku baru melihat anak sepertimu.”

Mata Rayhan terlihat menatapku, “Sepertiku?”

“Ya, sepertimu. Suka memakai minyak kayu putih dan galak.” Aku menunggu reaksi

darinya. Mungkin perkataanku akan membuatnya tersinggung.

Page 13: CINTA DALAM TELEPON KALENG - Memikirkan Katagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/CINTA... · 2020. 4. 1. · “Silakan duduk, saya panggil suami saya dulu.” Aku sudah

13

Rayhan justru tertawa kecil.

“Kamu bukan anak pertama yang mengucapkannya. Aku sudah banyak mendengar

penilaian seperti itu sebelumnya dari orang-orang di sekitarku. Kamu akan mendengarnya

nanti dari anak-anak satu sekolah.”

Baru kali ini aku mendengar Rayhan berbicara sepanjang itu. Anak ini benar-benar

anak yang unik, belum pernah aku bertemu anak seperti dia. Sebenarnya aku tetap berharap

bisa berteman dengan Rayhan. Aku ingin cepat-cepat memiliki teman di tempat ini.

Kami terus berjalan menuju sekolah yang terlihat sudah ramai oleh murid-murid lain.

Aku langsung merasa asing dengan lingkungan yang baru pertama kali ini kudatangi. Wajah-

wajah yang tidak pernah aku lihat, ruang kelas yang belum pernah aku masuki, dan sudut-

sudut lain yang membuatku merasa sendirian di tempat ini.

Rayhan terlihat memasuki sebuah kelas, aku masih membuntut di belakangnya. Aku

satu kelas dengannya, tentu saja ini juga kelasku.

Semua anak-anak di dalam kelas menatapku dengan bertanya-tanya, mungkin mereka

merasa asing. Tentu saja, aku pun merasakan hal serupa, tidak ada yang aku kenal di sekolah

ini kecuali bocah galak itu.

Rasa grogi ini semakin membesar mengingat nanti aku harus maju ke depan kelas

untuk memperkenalkan diri.

“Kenapa kamu mau satu bangku dengan Rayhan? Anak itu kan tidak ramah sama sekali,”

kata Tami, temanku yang baru.

Aku tersenyum mendengar pertanyaannya. Menurutku itu sebuah pertanyaan yang

lucu. Rayhan memang kurang ramah, tetapi itu bukan sebuah alasan untuk tidak berteman

dengannya. Toh Rayhan tidak melakukan sesuatu yang membuatku marah.

“Memang harus ada alasan untuk berteman dengan seseorang, ya?”

“Kamu nggak tahu, di sekolah ini jarang ada yang mau berteman sama dia. Anak itu

bukan anak yang asyik untuk dijadikan teman, kami semua tahu hal itu. Rayhan lebih suka

berkelahi, daripada berteman,” Niken, teman baruku yang lain ikut menimpali.

“Iya, bahkan dia sering berantem sama anak kelas 6. Sudah sering dihukum sama

guru, tetapi Rayhan nggak pernah kapok. Dasarnya bandel, sih.”

Page 14: CINTA DALAM TELEPON KALENG - Memikirkan Katagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/CINTA... · 2020. 4. 1. · “Silakan duduk, saya panggil suami saya dulu.” Aku sudah

14

Jadi ini yang dimaksud Rayhan tadi pagi. Anak-anak di sekolah ini tidak terlalu

menyukainya. Pantas hanya bangku di sebelahnya yang kosong. Dan aku menempatinya

sekarang.

Kami bertiga makan jajanan yang kami beli di kantin sekolah. Setelah sempat

mengenalkan diri di sekolah baru tadi pagi, aku akhirnya mendapatkan teman selain Rayhan.

Mereka adalah Tami dan Niken. Kami membawa jajan dari kantin ke dalam kelas.

“Selama dia bersikap baik kepadaku, aku tidak masalah berteman dengannya.

Sudahlah, tidak baik membicarakan kejelekan orang lain, mamaku selalu berkata seperti itu.”

Dua anak itu tampak tidak puas dengan kalimatku. Mungkin aku belum benar-benar

tahu sifat Rayhan yang sebenarnya, dan memang kesan pertama yang aku dapat darinya

adalah dia bukan anak yang ramah. Tetapi menurutku Rayhan tetap anak yang baik, buktinya

dia membolehkan aku untuk bermain di halaman belakang rumahnya.

“Kamu kenapa pindah ke sini?”

“Kantor papaku pindah ke sini, jadi keluargaku juga harus pindah ke Purwokerto.

Rumahku persis di sebelah rumah Rayhan.”

“Semoga kamu betah sekolah di sini.”

Aku mengangguk, “Iya. Semoga saja seperti itu.”

Memang mau tidak mau aku harus menyukai semua sudut di kota baruku ini karena di

sinilah aku akan tinggal untuk waktu yang lama. Tadi malam papa berkata kalau keluarga

kami sudah tidak akan kembali ke Bandung, rumah di sana telah dijual oleh papa.

“Disya!”

Suara Rayhan membuyarkan lamunanku, aku menoleh dan menatap wajahnya.

“Ya?”

“Ayo, ikut aku!”

Aku tidak tahu ke mana Rayhan akan membawaku, tetapi pikiranku menyuruh untuk

menerima ajakan itu. Aku sempat melirik ke arah Tami dan Niken yang kelihatan bingung,

wajah mereka sama-sama terlihat menunjukkan rasa penasaran.

Langkah kakiku menyusul Rayhan yang telah berjalan terlebih dahulu, dia berjalan

dengan sedikit tergesa-gesa.

“Cepatlah, sebentar lagi bel masuk berbunyi!” Perintahnya.

Aku mempercepat langkah, pelan-pelan Rayhan mulai dapat kususul. Kami berjalan

menuju belakang sekolah. Beberapa murid lain memandang ke arah kami dengan heran. Aku

tidak terlalu memedulikan mereka.

“Ke mana kita sebenarnya?”

Page 15: CINTA DALAM TELEPON KALENG - Memikirkan Katagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/CINTA... · 2020. 4. 1. · “Silakan duduk, saya panggil suami saya dulu.” Aku sudah

15

“Ke sini.” Jawab Rayhan seraya berbelok di ujung sekolah.

Kemudian dia berhenti beberapa langkah dari belokan tadi. Rayhan mendorong

sebuah bangku panjang yang terlihat agak lapuk, menempelkannya di tembok keliling. Aku

merasa ngeri waktu bocah itu memanjat ke atasnya, dan dia melongokkan kepala untuk

melihat sesuatu di balik tembok.

“Lihatlah!”

Hatiku merasa ragu-ragu untuk naik ke atas bangku yang terlihat lapuk ini, tapi mata

Rayhan yang masih menatapku memberikan keyakinan untuk menapakkan kaki di

sebelahnya. Pelan-pelan aku menaiki bangku. Dengan sedikit bantuan dari Rayhan, akhirnya

kedua kakiku sukses berdiri di atasnya.

Aku mengikuti Rayhan, menatap ke balik tembok. Kedua mataku langsung terbelalak

ketika mendapati hamparan sawah yang luas dan tertata dengan rapi. Warna hijau yang

tergelar membuatku yang baru pertama kali melihatnya merasa damai, ada ketenangan yang

merasuki hati saat menatapnya. Angin sejuk menerpa wajah, aku memejamkan mata sejenak

untuk menikmatinya.

Jauh di ujung jauh sana, sebuah gunung tampak berdiri dengan gagah. Menjadi batas

mata untuk melihat hamparan sawah yang terbentang. Puncaknya yang seakan menyentuh

langit diselimuti oleh awan putih. Apa yang aku lihat saat ini benar-benar membuatku merasa

damai.

“Itu Gunung Slamet.”

Rayhan tersenyum kali ini. Ternyata anak ini bisa bersikap manis juga rupanya.

“Indah banget, aku nggak tahu kalau di belakang sekolah ada pemandangan sebagus

ini.”

“Ya, tidak semua anak mau ke tempat ini. Mungkin karena mereka tidak mau berada

di dekatku.”

Aku terdiam, sebenarnya sejelek apa Rayhan di mata murid-murid sekolah ini sampai

mereka tidak ingin berteman dengannya. Menurutku, Rayhan tidak seburuk yang mereka

pikirkan, sampai detik ini aku tidak melihat hal-hal buruk yang dia lakukan.

“Kamu sering ke sini?”

Rayhan mengangguk, “Setiap istirahat aku ke tempat ini, sendirian. Menghabiskan

waktu dengan memandang sawah dan gunung itu akan membuatku merasa tenang.”

Baiklah, aku menyimpulkan bahwa sebenarnya anak ini merasa kesepian. Di sekolah

ini tidak ada yang mau berteman dengan Rayhan.

Page 16: CINTA DALAM TELEPON KALENG - Memikirkan Katagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/CINTA... · 2020. 4. 1. · “Silakan duduk, saya panggil suami saya dulu.” Aku sudah

16

Aku akan berteman dengannya, apa pun yang terjadi. Aku akan selalu berteman

dengannya.

“Sekarang kamu tidak perlu memandangi tempat ini seorang diri, aku bersedia

menemanimu.”

Rayhan menatapku tajam, dia tampak berpikir beberapa detik. Tiba-tiba aku melihat

senyum itu lagi, senyum kedua yang aku lihat sejak mengenal Rayhan. Dia mengangguk, lalu

mengacungkan kelingkingnya.

“Janji?”

Tanpa ragu aku langsung menautkan jari kelingkingku dengan jari kelingkingnya.

“Aku janji.”

Page 17: CINTA DALAM TELEPON KALENG - Memikirkan Katagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/CINTA... · 2020. 4. 1. · “Silakan duduk, saya panggil suami saya dulu.” Aku sudah

17

TELEPON KALENG

Benang yang Kusut Sekalipun, Masih Bisa untuk Menyatukan

Aku berada di halaman belakang rumahku bersama Disya. Walaupun sampai

sekarang masih merasa heran mengapa aku bisa akrab dengannya, itu tidak terlalu

kupikirkan. Yang jelas sekarang aku bisa tertawa bersamanya. Pertama kali dalam hidupku

bisa tertawa bersama anak lain.

Kami berdua sedang membuat telepon kaleng, pelajaran yang didapat dari guru ketika

sekolah tadi akan kami praktikkan sekarang. Disya yang pertama kali mengajak dengan

rengekan manjanya. Tentu saja, karena sebelumnya aku tidak berpikir untuk membuatnya di

rumah.

Dua buah kaleng kecil bekas susu dan benang sisa yang masih cukup panjang telah

kami siapkan. Aku dan Disya sama-sama sibuk dengan kegiatan yang harus menyita waktu

tidur siangku.

“Ini, pakai ini untuk melubangi kalengnya!” Disya menyodorkan sebuah paku

kepadaku.

Tanganku menyambutnya, lalu meraih sebuah palu dan memukulkan ke ujung paku

beberapa kali untuk membuat lubang. Cukup susah juga ternyata buat anak seumuranku.

“Hati-hati, Rayhan!” Wajah Disya terlihat khawatir, membuatku harus tertawa kecil.

Setelah beberapa kali pukulan, akhirnya kaleng bekas itu berlubang dan aku beralih

ke kaleng yang satu lagi. Sementara Disya terlihat memasukkan benang ke dalam kaleng

melalui lubang yang kubuat, lalu membuat simpul di ujungnya.

“Kenapa kamu mau membuat telepon kaleng bersamaku?”

Aku bertanya kepada Disya di saat jeda memukul paku. Punggung tanganku

mengusap peluh yang menempel pada kening, meraih botol minyak kayu putih yang

tergeletak tidak jauh dariku, untuk sekadar mencium aroma dari ujung tutupnya sebelum

kembali membuat lubang.

“Tentu saja karena rumah kita berdekatan. Dan kita sudah menjadi teman, kan?”

“Maksudku, kamu tidak takut kalau nanti bakal dijauhi sama teman-teman sekolah

karena kamu berteman denganku?”

Page 18: CINTA DALAM TELEPON KALENG - Memikirkan Katagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/CINTA... · 2020. 4. 1. · “Silakan duduk, saya panggil suami saya dulu.” Aku sudah

18

“Aku bisa berteman dengan siapa saja dan berteman denganmu seharusnya bukan

alasan untuk menjauhiku. Aku percaya mereka adalah teman-teman yang baik, seharusnya

kamu pun bisa berteman dengan mereka semua.”

“Semoga saja seperti itu. Dan, terima kasih karena sudah mau berteman denganku.”

Disya hanya melemparkan senyum kepadaku, dan aku membalasnya.

Benar-benar suatu pengalaman yang baru. Sejak pertama kali bertemu dengan Disya

aku merasa sikapku berbeda, tidak seperti yang biasa aku tunjukkan ke teman-teman sekolah

yang lain. Aku menjadi lebih sering memberikan senyuman kepada anak ini, hal yang tidak

pernah kutunjukkan kepada orang lain.

Beberapa menit kemudian kami tersenyum puas karena telah berhasil membuat

telepon kaleng. Disya menyuruhku menjauh untuk mencobanya, aku menurut. Anak itu

menempelkan kaleng tersebut ke mulutnya, sementara aku menempelkan di telinga.

“Tes, tes.”

Samar-samar kudengar suara Disya dari dalam kaleng yang kupegang.

Aku berganti memindahkan kaleng ke mulutku, dan Disya menempelkan kaleng itu di

telinganya.

“Aku bisa mendengar suaramu.”

Sekarang aku bisa melihat Disya sedang melompat kegirangan dengan tawa lebarnya,

apa dia tidak malu dengan gigi ompongnya? Benar-benar bocah yang aneh.

Sebenarnya aku juga merasakan hal yang serupa, kepuasan karena telah berhasil

membuat sesuatu yang baru dengan tangan kami sendiri. Hanya saja kuputuskan untuk tidak

melompat seperti yang sekarang masih dilakukan gadis kecil itu. Disya memberikan kode

untuk kembali menempelkan kaleng di telinga.

“Sekarang, ayo kita letakkan di kamar kita masing-masing!”

“Maksudmu?”

Disya berjalan mendekatiku, “Kamar kita bersebelahan bukan, tentu kita bisa

memakai telepon ini dari dalam kamar. Satu kaleng di kamarmu, dan satu kaleng di kamarku.

Kita bisa mengobrol melalui telepon kaleng ini dari dalam kamar kapan pun kita mau.”

Untuk masalah ide, aku mengakui kalau Disya satu langkah di depanku. Rumah kami

memang berdekatan, bahkan ada sedikit bagiannya yang menjadi satu, tepatnya pada balkon

kecil di lantai 2. Dan memang kebetulan kamarku dan kamar Disya sama-sama di lantai 2,

berjejer di antara balkon tersebut.

“Bagaimana caranya?”

Page 19: CINTA DALAM TELEPON KALENG - Memikirkan Katagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/CINTA... · 2020. 4. 1. · “Silakan duduk, saya panggil suami saya dulu.” Aku sudah

19

“Kamu masuklah ke kamarmu, bawa telepon kaleng ini. Aku akan menunggu dari

kamarku, nanti lemparkan satu kaleng ke arahku.”

Aku belum begitu paham dengan rencana yang dikatakan olehnya, tapi bocah itu

buru-buru menarik tanganku untuk masuk ke dalam rumah. Disya bergegas pulang dan aku

langsung menuju lantai 2, menunggu sampai ada aba-aba darinya sambil merebahkan tubuh

di atas ranjang. Entah mengapa aku merasa ingin tersenyum sekarang.

“Rayhan, aku sudah sampai di kamar.”

Suara cempreng Disya membuatku bangkit, dan melangkah ke arah jendela sambil

melongokkan kepala. Wajah Disya tampak menyembul dari balik jendela kamarnya.

“Lalu bagaimana?”

“Lemparkan satu kaleng ke sini, aku akan menangkapnya!”

Ada-ada saja anak ini, aku menggenggam satu kaleng bekas itu, lalu mencoba

melemparkannya ke arah Disya. Gagal, kaleng itu sama sekali tidak sampai ke tangan Disya.

Aku mencobanya sekali lagi, tetapi tetap gagal.

“Tangkap dong, Disya!”

“Bagaimana bisa, lemparanmu terlalu lemah, Rayhan? Lebih kuat lagi!”

Aku mendesis, mencoba melakukan kembali lemparan dengan lebih kuat dari

sebelumnya. Namun, lagi-lagi hanya sia-sia, kaleng itu tetap tidak sampai ke tangan Disya.

Anak itu terlihat cemberut, membuatku tidak sabar juga akhirnya.

Dengan keberanian yang kukumpulkan, aku keluar melompati jendela. Meskipun

harus menggunakan kaki yang gemetar, tetap kususuri balkon yang tidak terlalu luas tersebut.

Disya tampak terkejut melihat tindakanku, wajahnya ketakutan.

“Apa yang kamu lakukan? Kamu bisa jatuh nanti. Hati-hati!”

Aku sudah telanjur berada di tengah balkon saat Disya memperingatkanku.

Kusandarkan tubuh ke tembok, lalu dengan keberanian dan tenaga yang tersisa, kulemparkan

kaleng yang sejak tadi berada di tanganku.

Hap!

Akhirnya benda itu sampai juga di tangan Disya. Aku berbalik dan kembali berjalan

menuju kamar. Keringat membanjiri kening, aku menghela napas lega. Lalu kulihat Disya

menempelkan kaleng ke mulutnya, membuatku bergegas meraih kaleng satunya dan

menempelkan di telinga.

“Berani sekali kamu. Bagaimana kalau tadi kamu jatuh?”

Walaupun samar, tetapi aku dapat mendengar suara bocah itu. Nadanya masih

terdengar khawatir, meskipun aku sudah berhasil kembali masuk ke dalam kamar.

Page 20: CINTA DALAM TELEPON KALENG - Memikirkan Katagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/CINTA... · 2020. 4. 1. · “Silakan duduk, saya panggil suami saya dulu.” Aku sudah

20

“Tenang saja, aku sudah sering duduk di balkon itu.” Aku berbohong untuk

menghilangkan rasa khawatir dalam diri Disya. Padahal sebenarnya jantungku berdegup

sangat cepat karena ketakutan.

“Kamu benar-benar anak yang nekat.” Suara Disya terdengar lebih tenang sekarang.

Tiba-tiba aku menyadari sesuatu. Jadi ini ide yang dimaksud Disya tadi, menyimpan

satu-satu kaleng yang dihubungkan dengan benang ini, lalu berbicara dari dalam kamar kami

masing-masing. Benar-benar tidak kusangka kalau aku masih bisa mendengar suaranya dari

jarak sejauh ini.

Aku menoleh ke arah Disya yang masih menyembulkan wajahnya dari balik jendela.

Bocah itu tampak tersenyum. Aku harus mengakuinya, Disya adalah bocah yang cerdas.

Disya memintaku untuk menemaninya memutari kompleks perumahan. Alasannya, karena

dia ingin lebih mengenal lingkungan tempat tinggalnya yang baru. Bocah itu merengek di

depan ibu, tentu saja ibu langsung menyuruhku mengiyakan keinginan Disya. Jadilah kami

pergi untuk mengelilingi perumahan dengan menggunakan sepeda.

Disya mengayuh sepedanya untuk mengiringi laju sepedaku, dan kami sudah jauh

meninggalkan rumah. Roda-roda sepeda berputar cepat menyusuri jalan aspal sore ini,

membawa kami melewati setiap sudut dengan berbagai aktivitas orang-orang yang kami

temui di sepanjang jalan.

“Ke mana lagi kita?” Tanya Disya dengan tetap mengayuh pedal sepedanya. Bocah

itu tidak terlihat lelah, padahal kami sudah bersepeda sejak setengah jam yang lalu.

Aku berpikir sejenak, “Bagaimana kalau kita berhenti sejenak untuk istirahat di TK

waktu aku kecil dulu?”

Disya menyambut antusias saran yang aku ajukan. Dia mengangguk dengan cepat.

Aku membawa Disya menuju TK tempatku dulu bersekolah, dan bocah itu mengikuti di

belakang. Beberapa menit kemudian, kami berdua sampai.

Aku meletakkan sepedaku di halaman rumput di depan TK, Disya melakukan hal

serupa. Kami duduk di dekat sepeda, beralaskan rumput yang tumbuh rapi dan terawat.

Page 21: CINTA DALAM TELEPON KALENG - Memikirkan Katagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/CINTA... · 2020. 4. 1. · “Silakan duduk, saya panggil suami saya dulu.” Aku sudah

21

Aku mengambil botol minyak kayu putih yang selalu kubawa ke mana pun. Aku tahu Disya

melirik, lalu hanya seulas senyuman yang mengembang di bibirnya. Mungkin dia sudah

bosan mengomentari kebiasaanku ini.

“Dulu kamu sekolah di TK ini?” Disya mengedarkan pandangannya ke setiap sudut

tempat itu.

“Iya. Dulu, waktu aku masih kecil.”

Disya tersenyum mendengar jawabanku, “Apa kamu pikir sekarang kamu sudah

besar?”

Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal, benar juga apa yang dikatakan oleh bocah

perempuan ini. Aku masih tetap anak kecil sampai sekarang, usiaku hanya bertambah

beberapa tahun saja. Kalimat Disya sedikit membuatku tersipu. Beruntung wajahku tidak

berubah merah. Atau mungkin wajahku memerah, tetapi aku tidak menyadarinya. Entahlah.

“Apa kamu punya banyak teman di Bandung?”

Disya mengangguk, “Tentu. Ada Indri, Nita, Alan, Reza, Rafka, Ariani, dan banyak

lagi teman sekolahku yang lainnya. Aku kangen bermain bersama mereka.”

“Mungkin nanti kamu bisa bermain bersama teman-temanmu itu kembali.”

“Aku berharap seperti itu.”

Aku mengamati Disya yang sedang menatap kosong ke arah ruang kelas, ia pasti

sedang memikirkan teman-temannya. Batinku berkata demikian.

“Hei! Bagaimana hidup di kota Bandung?”

Disya terpancing, dia kembali menoleh dan tersenyum kepadaku. “Menyenangkan, di

sana lebih sejuk daripada di kota ini. Selain itu, lebih banyak bangunan-bangunan tinggi.

Bandung lebih besar daripada Purwokerto.”

“Sebesar apa?” Aku merasa tertarik dengan perkataan Disya.

Gadis itu menggaruk dagunya, “Emmm... sebesar apa, ya? Pokoknya lebih luas dari

kota ini.”

“Baiklah, aku cari tahu sendiri saja nanti. Suatu saat nanti aku akan ke Bandung,”

ujarku mantap.

Disya tersenyum dan menganggukan kepala mendukung niatku.

Dari kejauhan, tampak tiga anak laki-laki berjalan mendekat. Aku mengenal mereka.

Tomi, Rino, dan Zaenal, mereka adalah anak-anak kelas 6 yang sering mencari gara-gara

denganku di sekolah. Beberapa kali aku berkelahi dengan mereka karena berbagai alasan.

“Hei, lihat! Ada anak mama di sini.” Tomi langsung mengeluarkan ejekan andalan

yang sering dia ucapkan kepadaku.

Page 22: CINTA DALAM TELEPON KALENG - Memikirkan Katagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/CINTA... · 2020. 4. 1. · “Silakan duduk, saya panggil suami saya dulu.” Aku sudah

22

“Anak manja, kenapa bisa pergi jauh-jauh dari rumah. Apa kamu tidak takut tersesat

nanti?” Rino menambahkan, membuat 2 anak yang lainnya tertawa mengejek.

Disya tampak bingung dengan situasi yang sedang terjadi di antara kami. Sementara

aku masih berusaha menahan amarahku, tidak enak kalau harus berkelahi di hadapan anak

perempuan. Sekuat tenaga aku berusaha supaya emosiku tidak terpancing.

“Ada apa denganmu, anak manja? Kenapa kamu tidak emosi seperti biasanya?”

Wajah Zaenal menatapku dengan heran, aku balas menatap tajam ke arahnya.

Tomi mengalihkan pandangannya kepada Disya, keningnya berkerut. “Siapa dia?”

“Anak pindahan, aku dengar rumahnya persis di sebelah rumah anak manja ini.”

“Ohh.... Pantas saja kamu tidak emosi seperti biasanya. Tapi, bagaimana kalau seperti

ini?” Tanpa diduga Tomi menendang keras sepeda milik Disya hingga terjatuh.

Kali ini emosiku mencapai puncaknya, aku berdiri dan langsung menerjang tubuh

Tomi. Kami saling pukul, bergumul di atas rumput. Dua orang lainnya berusaha membantu

Tomi. Meskipun samar-samar kudengar tangisan Disya, tapi perkelahian tidak seimbang ini

tetap berlanjut.

Aku terus melayangkan tinju dengan serampangan. Melawan 3 orang sekaligus tentu

bukan hal yang mudah, apalagi mereka lebih besar dariku. Namun, emosi yang sudah

terlanjur besar membuatku tidak merasa takut. Aku terus mencoba melawan Tomi dan teman-

temannya. Hingga mereka merasa lelah, lalu berlari pergi.

Di tempatnya, Disya masih ketakutan. Tangisannya belum mereda ketika aku berjalan

menghampiri. Kedua tangannya memeluk lutut, aku berjongkok di hadapannya. Hampir

semua badanku terasa sakit dan pegal, dan aku belum tahu bagaimana kondisi wajahku

sekarang.

“Hei,” aku meletakkan kedua tangan di atas lututnya, membuatku langsung menyadari

bahwa seluruh tubuh Disya gemetar.

“Sudah, mereka sudah pergi sekarang. Jangan menangis lagi.”

“Aku takut, kalian saling memukul.” Katanya tanpa menatapku. Tangisannya juga

belum mereda.

“Aku minta maaf telah membuatmu ketakutan. Tapi sekarang aku minta berhentilah

menangis. Semua telah selesai dan sekarang sudah sore, kita harus pulang.”

Disya menatapku sekarang, aku menangkap kekhawatiran dari kedua matanya yang

basah. Dan entah mengapa aku tidak ingin melihat tatapan mata seperti itu lagi.

“Berjanjilah apa pun yang terjadi, kamu tidak akan berkelahi lagi!” Tuturnya tiba-

tiba. Membuatku terkejut. Wajahnya terlihat bersungguh-sungguh.

Page 23: CINTA DALAM TELEPON KALENG - Memikirkan Katagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/CINTA... · 2020. 4. 1. · “Silakan duduk, saya panggil suami saya dulu.” Aku sudah

23

Dengan pelan aku mengangguk, “Baiklah, Disya. Aku janji.”

Page 24: CINTA DALAM TELEPON KALENG - Memikirkan Katagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/CINTA... · 2020. 4. 1. · “Silakan duduk, saya panggil suami saya dulu.” Aku sudah

24

SAKTI

Aku Bahagia atas Perubahan Adikku

Aku melangkahkan kaki menyusuri jalanan di kompleks perumahan. Siang ini, udara

memang cukup panas. Perjalanan dari sekolah ke rumah pun terasa dua kali lebih melelahkan

dari biasanya. Ingin sekali buru-buru sampai rumah dan menenggak air dingin dari dalam

kulkas.

Beberapa kali aku menyeka keringat yang mengalir di kening.

Dahiku berkerut ketika sampai di depan gerbang rumah, melihat Rayhan sedang

duduk di daun jendela sambil melakukan sesuatu yang tidak begitu aku mengerti.

Kutajamkan mata untuk melihat dengan jelas. Dia menempelkan sebuah kaleng di telinganya,

membuatku semakin penasaran. Sebenarnya apa yang dilakukan Rayhan?

Mataku mengikuti pandangan Rayhan yang melihat ke arah rumah penghuni baru itu.

Aku semakin terkejut ketika mendapati Disya juga sedang berdiri, menyandarkan tangannya

di bibir jendela sambil memegang kaleng dan menempelkannya di mulut. Pikiranku terus

menebak apa yang sedang dilakukan oleh 2 anak itu.

Butuh beberapa menit untuk berpikir, sampai akhirnya aku mengerti bahwa mereka

sedang berbicara melalui telepon kaleng. Kugelengkan kepala sembari tersenyum, lalu

kembali melanjutkan langkah.

Kreatif juga mereka berdua, batinku.

“Assalamu’alaikum.”

“Wassalamu’alaikum.” Ibu menjawab salam sembari tersenyum. Aku berjalan

menghampiri, lalu mencium punggung tangan beliau.

“Bagaimana sekolahmu hari ini, Sakti?”

“Seperti biasa, Bu. Menerima pelajaran-pelajaran dan mencatat. Setelah itu

mendapatkan tugas rumah.”

Ibu mengelus rambutku, “Ya sudah. Ganti pakaian dulu sana, setelah itu makan

siang.”

Aku mengangguk dan berjalan menuju kamar. Kurebahkan tubuh di atas tempat tidur

setelah sampai di dalam, mencoba untuk menghilangkan lelah yang melanda selepas sekolah

hari ini.

Page 25: CINTA DALAM TELEPON KALENG - Memikirkan Katagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/CINTA... · 2020. 4. 1. · “Silakan duduk, saya panggil suami saya dulu.” Aku sudah

25

Menjadi murid kelas 3 di sekolah menengah pertama memang melelahkan. Setelah

sekolah usai aku harus menerima pelajaran tambahan sampai sore. Kata kepala sekolah, itu

untuk menyambut ujian nasional yang tinggal hitungan bulan lagi. Kami para siswa kelas 3

semakin banyak diberikan materi-materi yang mungkin akan diujikan nantinya. Benar-benar

menguras tenaga dan pikiran.

Aku duduk di tepi ranjang, melepaskan satu persatu seragam sekolah dan

menggantinya dengan pakaian santai. Tiba-tiba pikiranku kembali teringat dengan aktivitas

yang sedang dilakukan oleh Rayhan dan Disya. Karena penasaran aku memutuskan untuk

melangkah menuju kamarnya yang berada persis di sebelah kamarku.

Pintu kamarnya terbuka, dan aku melihat Rayhan masih asyik berbicara dengan Disya

melalui telepon kaleng itu.

“Hei, sedang apa kamu di tepi jendela?”

Rayhan tampak terkejut karena kehadiranku yang tiba-tiba dan sudah berdiri di

belakangnya.

“Kakak ini mengagetkan saja. Aku sedang bermain telepon kaleng bersama Disya.”

Jawabnya seraya menunjukkan kaleng yang sejak tadi berada dalam genggaman tangannya.

Kemudian kembali asyik berbicara melalui telepon kaleng bersama Disya.

Aku yang sudah sangat mengenal sifat Rayhan tentu saja merasa heran ketika

mengetahui adikku bisa sedekat ini dengan orang lain, terlebih dengan bocah perempuan

yang baru beberapa minggu dikenalnya. Yah, walaupun rumah kami berdekatan dan Disya

merupakan teman satu kelas Rayhan, tetap saja ini adalah sesuatu yang aneh buatku.

Kemarin sore Rayhan pulang dengan wajah yang lebam, bajunya terlihat lusuh dan

kotor. Sebenarnya itu bukan hal baru bagi keluarga kami, mendapati Rayhan pulang ke

rumah dengan kondisi seperti itu. Sudah pasti dia habis berkelahi dengan anak-anak yang

sering mengganggunya.

Rayhan memiliki sifat temperamental. Dia gampang sekali tersulut emosi jika merasa

dihina atau diledek oleh anak lain. Siapa pun akan dia lawan, meskipun mereka jauh lebih

besar darinya. Rayhan memang anak yang pemberani, tetapi juga sering ceroboh dalam

mengambil sikap. Ah, tentu saja, dia memang masih kecil dan belum bisa membedakan baik

dan buruk dari apa yang dia lakukan.

“Kakak masih di sini?”

Pertanyaan Rayhan menyadarkanku. Aku melamun rupanya, mungkin karena terlalu

terkejut dengan perubahan sikap adikku itu. Namun, aku senang Rayhan akhirnya memiliki

teman yang mau diajak bermain.

Page 26: CINTA DALAM TELEPON KALENG - Memikirkan Katagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/CINTA... · 2020. 4. 1. · “Silakan duduk, saya panggil suami saya dulu.” Aku sudah

26

“Kenapa harus seperti itu, bukankah kamu tetap bisa mendengar suaranya meskipun

tanpa menggunakan telepon kaleng?”

“Kata Disya, biar orang lain nggak mendengar pembicaraan kami,” Rayhan menjawab

dengan polos.

Aku hanya mampu tersenyum, Disya benar-benar berhasil membuat Rayhan

mengalami perubahan sebanyak ini.

“Kamu sudah makan, Rayhan?”

“Sudah, Kak. Tadi pulang dari sekolah aku langsung disuruh makan sama Ibu.”

Rayhan menjawab pertanyaanku sambil berjalan ke ranjang, setelah sebelumnya meletakkan

kaleng itu di sisi jendela kamar.

“Lho, sudah tidak bermain telepon kaleng lagi?”

“Disya dipanggil mamanya.”

“Oh. Kakak senang sekarang kamu punya teman bermain, Rayhan.”

Aku bisa melihat wajah Rayhan tersipu, dia tampak menyembunyikan senyumnya.

Geli juga rasanya melihat raut wajah adikku sekarang, Rayhan menjadi lebih ceria dari

sebelumnya.

“Disya keras kepala, Kak. Dia memaksaku untuk menjadi temannya.”

Jawaban konyol Rayhan membuatku tertawa kecil. Ada-ada saja bocah ini.

“Mana mungkin seperti itu, berteman seharusnya tidak dengan paksaan.”

“Aku tahu, Kak Sakti. Tadi aku hanya bercanda. Aku senang bisa berteman dengan

Disya, dia tidak manja seperti bocah perempuan lainnya.”

Benar-benar perubahan yang besar, Rayhan sampai memuji Disya. Aku semakin

penasaran dengan bocah perempuan itu. Apa yang dia lakukan sampai bisa membuat adikku

seperti ini.

“Baguslah. Semoga kamu bisa berteman baik dengan Disya, bahkan mungkin dengan

siapa saja. Punya banyak teman itu menyenangkan, Rayhan.”

“Iya, Kak.”

“Ya sudah, Kakak lapar. Mau makan dulu, ya. Kamu mau ikut turun?”

Rayhan menggelengkan kepalanya, “Nggak. Aku mau tidur siang saja.”

Aku mengangguk sebelum melangkah keluar dari kamar Rayhan. Meskipun kadang

menyebalkan dengan sifat temperamentalnya, tetapi aku sangat menyayangi adikku satu-

satunya lebih dari apa pun.

Page 27: CINTA DALAM TELEPON KALENG - Memikirkan Katagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/CINTA... · 2020. 4. 1. · “Silakan duduk, saya panggil suami saya dulu.” Aku sudah

27

“Kak Sakti, Rayhan ke mana?” Disya bertanya kepadaku saat aku sedang membaca komik di

teras rumah.

Aku menutup halaman komik di bagian yang belum selesai kubaca, lalu

meletakkannya di meja.

“Rayhan sedang pergi bersama Ibu ke supermarket.”

Wajah Disya terlihat cemberut begitu mendengar jawabanku.

“Memangnya ada apa?”

“Aku ingin main trampolin di belakang rumah. Hehehe,” jawabnya.

Wajahnya bocah ini cepat sekali berubah. Tadi cemberut dan sekarang kembali

tertawa dengan riangnya, benar-benar anak yang ceria.

“Kalau gitu masuk saja, sambil nungguin Rayhan pulang.”

“Boleh, Kak?”

Aku tersenyum, “Ya... bolehlah. Berani kan main sendirian di belakang?”

Disya terlihat berpikir sejenak sebelum akhirnya tersenyum dan mengangguk.

Aku membiarkannya masuk ke dalam rumah dan berjalan menuju halaman belakang.

Perhatianku kembali teralih kepada komik yang tergeletak di meja, melanjutkan aktivitas

yang sempat terhenti karena kedatangan Disya.

“Kyaaaaaa.”

Tiba-tiba terdengar suara jeritan Disya dari halaman belakang. Aku langsung

melemparkan komik dan berlari menghampiri bocah perempuan itu. Disya tampak meringis

kesakitan sambil memegang keningnya yang mengeluarkan darah. Ia duduk di sebelah

ayunan. Kepanikan langsung merasuki pikiranku.

“Disya, apa yang terjadi dengan keningmu?” Kupapah tubuh Disya masuk ke dalam

rumah. Gadis kecil itu terus menangis sambil terus memegang keningnya.

Walaupun hanya luka kecil dan tidak mengeluarkan banyak darah, tetapi bagi anak

seusianya tentu saja itu tetap sakit. Aku mendudukkan Disya di sofa sebelum menghambur ke

dapur. Beberapa menit kemudian aku kembali dengan membawa air hangat dan kain bersih

untuk membersihkan luka di kening Disya.

Pelan-pelan kuusapkan kain yang sudah kubasahi dengan air hangat untuk

menghilangkan bercak darah Disya. Bocah itu masih menangis, kali ini wajahnya meringis

setiap aku mengusapkan kain basah.

“Apa yang terjadi, Disya?” Aku meletakkan kain di dalam gayung yang berisi air

hangat. Tanganku menyobek ujung plester luka, lalu merekatkan pada bagian yang luka di

kening Disya.

Page 28: CINTA DALAM TELEPON KALENG - Memikirkan Katagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/CINTA... · 2020. 4. 1. · “Silakan duduk, saya panggil suami saya dulu.” Aku sudah

28

“Waktu bermain ayunan, tiba-tiba kakiku tersangkut di besi. Aku jatuh dan keningku

membentur tanah.” Tangisan Disya mulai mereda, hanya menyisakan kedua matanya yang

sembab.

“Bagaimana sekarang?”

“Sudah tidak sakit lagi. Makasih, Kak Sakti.”

Aku tersenyum dan mengangguk pelan.

Sementara dari depan rumah terdengar suara mobil. Ibu dan Rayhan sudah pulang

rupanya.

“Itu Rayhan pulang,” ucapku kepada Disya.

Ibu dan adikku masuk ke dalam rumah dengan membawa hasil belanjaan. Rayhan

langsung bergegas menghampiri Disya, wajahnya terlihat cemas.

“Kening kamu kenapa?”

“Aku jatuh dari ayunan tadi.”

“Aduh, Disya. Kamu tidak apa-apa? Mana lagi yang luka?” Ibuku juga terdengar

panik. Beliau meneliti seluruh tubuh Disya.

“Nggak apa-apa kok Tante, tadi sudah diobatin sama Kak Sakti.”

“Oh, Syukurlah kalau gitu. Lain kali lebih hati-hati lagi kalau bermain.”

Disya mengangguk menjawab nasihat ibu. Ibu melangkah ke dapur, aku membuntuti

di belakangnya. Meninggalkan Rayhan dan Disya di ruang tengah.

“Beli apa saja, Bu?”

Aku duduk di kursi plastik, memerhatikan ibu yang sedang mengeluarkan belanjaan.

Ada yang dimasukkan ke dalam kulkas, ada pula yang dimasukkan ke dalam kabinet.

“Ini keperluan bulanan. Sayuran dan yang lainnya sudah hampir habis.”

“Rayhan beli minyak kayu putih lagi?”

Ibu menggeleng, “Yang kemarin masih banyak katanya, terakhir kali juga Ibu beli dua

botol sekaligus.”

Aku membolak-balik halaman pada buku resep yang tergeletak di meja. Hanya

memandang sekilas tanpa membacanya.

“Apa yang sedang kamu pikirkan, Nak?”

“Maksud Ibu?”

“Ibu tahu kamu sedang memikirkan sesuatu, Ibu bisa melihatnya dari wajahmu.

Masalah ujian nasional?”

Page 29: CINTA DALAM TELEPON KALENG - Memikirkan Katagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/CINTA... · 2020. 4. 1. · “Silakan duduk, saya panggil suami saya dulu.” Aku sudah

29

“Bukan, Bu,” aku berhenti sejenak. “Maksudku, itu juga kupikirkan. Tetapi sekarang

aku merasa heran dengan perubahan Rayhan sejak dia mengenal Disya. Ibu tahu sendiri kalau

anak itu susah bergaul.”

“Itu malah bagus, adikmu jadi punya teman bermain.”

“Iya, sih. Tapi, aku sebagai kakaknya saja susah banget bikin Rayhan tersenyum. Nah

Disya, jangankan senyum, Rayhan jadi sering tertawa kalau lagi sama Disya.”

“Namanya juga anak kecil, emosinya masih labil. Dulu waktu kamu kecil juga seperti

itu. Kadang gampang nangis, kadang juga sering tertawa kalau lagi bercanda sama

temanmu.”

“Ibu malah dari dulu berharap adikmu punya banyak teman, biar tidak bermain

sendirian terus di belakang rumah. Sekarang ada Disya yang mau menemani Rayhan

bermain, tentu saja Ayah dan Ibu merasa senang,” lanjut ibu.

“Iya. Sakti juga senang Rayhan bisa mendapatkan teman,” aku pun melempar senyum

ke arah ibuku.

Page 30: CINTA DALAM TELEPON KALENG - Memikirkan Katagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/CINTA... · 2020. 4. 1. · “Silakan duduk, saya panggil suami saya dulu.” Aku sudah

30

BAB DUA

Tentang Sebuah Perasaan.

Setiap Insan Menyebutnya Dengan Nama Cinta

Page 31: CINTA DALAM TELEPON KALENG - Memikirkan Katagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/CINTA... · 2020. 4. 1. · “Silakan duduk, saya panggil suami saya dulu.” Aku sudah

31

JATUH HATI

Selamat Datang Rasa Cinta

Lama, aku terpisah dari dirinya sekian lama

Lama, sudah berlalu tapi jejaknya tertanam s’lamanya

Dia selalu ada di dalam doa, terselip nama di dalam doa

Lewat radio, aku sampaikan kerinduan yang lama terpendam

Terus mencari, biar musim berganti

Radio cerahkan hidupnya, jika hingga nanti ku tak bisa

Menemukan hatinya, lagi

Aku mendengarkan sebuah lagu dari Sheila On 7, band favoritku sejak sekolah dasar.

Sesekali mulutku bernyanyi mengikuti suara Duta yang sudah sejak tadi bernyanyi dengan

merdunya. Sore ini, aku merebahkan diri di atas tempat tidur kamar.

Tidak terasa, sudah hampir 6 tahun aku pindah ke Purwokerto, salah satu kota di

Kabupaten Banyumas yang cukup panas, tapi begitu nyaman dan menyenangkan. Tinggal di

rumah yang lebih besar dari rumahku sebelumnya di Bandung. Dan mengenal Rayhan serta

keluarganya.

Ternyata, waktu berlalu begitu cepat.

Sekarang aku sudah menginjak kelas 2 SMA, dan lagi-lagi satu sekolah dengan

Rayhan. Sejak SD, SMP, dan SMA pun aku selalu satu sekolah dengannya. Kami tumbuh

bersama, menjadi sahabat dekat yang tidak pernah terpisahkan. Meskipun sudah banyak

perubahan yang terjadi dalam kehidupan kami, itu tidak memengaruhi persahabatan kami.

Aku dan Rayhan masih sering menghabiskan waktu bersama di belakang rumahnya,

walaupun sekarang yang tersisa dari mainan yang ada di rumah Rayhan hanya tinggal ayunan

dan trampolin. Dan kebiasaan mengobrol melalui telepon kaleng yang kami buat bersama

dulu, masih sering kami lakukan sampai sekarang. Banyak yang berubah, tetapi banyak juga

yang tetap sama.

Rayhan tumbuh menjadi laki-laki yang lebih periang dari waktu pertama kali aku

mengenalnya dulu. Sekarang, dia sudah tidak pelit lagi untuk tersenyum. Sedikit-sedikit,

temperamentalnya mulai hilang meskipun terkadang sifat jelek itu masih muncul. Dia

memiliki banyak teman di sekolah. Rayhan menjadi cowok yang disukai teman-teman,

Radio

Sheila On 7

Page 32: CINTA DALAM TELEPON KALENG - Memikirkan Katagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/CINTA... · 2020. 4. 1. · “Silakan duduk, saya panggil suami saya dulu.” Aku sudah

32

terutama murid cewek. Aku bersyukur untuk itu. Dari segi fisik, Rayhan jauh lebih tinggi

dariku, badannya tegap dan rahangnya menjadi terlihat begitu kokoh. Rambutnya dibiarkan

tumbuh berantakan, jarang sekali dirapikan.

Namun, Rayhan tetaplah Rayhan. Anak yang selalu menyukai aroma minyak kayu

putih.

Sementara Kak Sakti sekarang sudah menjadi mahasiswa jurusan Sastra Prancis di

salah satu perguruan tinggi di kota Semarang. Dia menuntut ilmu jauh dari rumah. Ini adalah

tahun ketiga baginya.

Dia segalanya bagiku, dia segalanya bagiku

Apa yang terjadi jika kugagal menemukannya

Suara merdu Duta masih terdengar melalui earphone, udara yang panas membuatku

enggan untuk melakukan aktivitas apa pun. Tiduran dengan AC yang menyala adalah hal

paling benar menurutku saat ini. Sambil menunggu Rayhan yang masih pergi mengantarkan

sesuatu ke rumah saudaranya.

Pemuda itu sempat mengajakku tadi, tetapi sekali lagi dengan alasan cuaca yang

panas, aku menolak ajakannya dan lebih memilih untuk berada di dalam kamar. Dengan

jengah, kulangkahkan kakiku mendekati jendela, menatap ke jalanan yang cukup lengang. Di

langit tidak ada awan sama sekali, pantas saja udara hari ini benar-benar menyengat.

Lima menit kemudian kulihat tubuh Rayhan melaju dengan sepeda motor sport

miliknya masuk ke pelataran rumah, dia akhirnya pulang. Rayhan menoleh ke arahku, aku

melambaikan tangan dan tersenyum. Cowok itu membalas sebelum melangkah masuk ke

dalam rumah. Aku menunggunya naik ke kamar dan menyembulkan wajah di jendela, lalu

mulai berbincang melalui telepon kaleng. Hal yang rutin kami lakukan.

“Bener kata kamu, Purwokerto lagi panas banget.” Suara Rayhan terdengar dari

dalam kaleng yang kutempelkan di telinga. Membuatku tertawa.

“Apa kubilang. Untung aku tidak ikut, bisa hitam nanti kulitku,” jawabku seraya

bercanda.

Rayhan terlihat tersenyum mengejek dari jendela kamarnya.

“Dasar manja.” Rayhan mengeluarkan ejekan andalannya.

Apa Rayhan benar-benar tidak tahu kalau bagi seorang cewek kulit itu adalah sesuatu

yang penting dan harus selalu dijaga serta dirawat. Dasar cowok tidak peka. Aku sampai

menjulurkan lidah ke arahnya. Sebal.

Page 33: CINTA DALAM TELEPON KALENG - Memikirkan Katagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/CINTA... · 2020. 4. 1. · “Silakan duduk, saya panggil suami saya dulu.” Aku sudah

33

“Nanti malam nyari nasi goreng, yuk. Kalau malam hari nggak perlu khawatir, kan?”

katanya sambil tersenyum kecil.

Rayhan menyebalkan, dia terus mengejekku.

“Oke. Tapi kamu traktir aku, ya?”

“Beres, kebetulan aku baru dapat gajian dari Radio. Kalau cuma nasi goreng sanggup

lah.”

“Rayhan, lihat! Sepertinya kita harus mengganti kaleng ini, deh. Punyaku sudah

sedikit berkarat.”

Cowok itu mengerutkan dahinya, “Benarkah? Perasaan belum ada sebulan sejak

terakhir aku menggantinya. Punyaku masih cukup bagus kok.”

“Memang, tapi tidak ada salahnya kan kalau diganti sekarang? Aku risih kalau masih

memakai kaleng yang ini,” eyelku.

“Ckckckck... bilang saja kalau kulitmu takut kotor.”

Aku tersenyum mendengar Rayhan mengeluh karena permintaanku. Bagiku ini bukan

hal yang baru, mendengar cowok itu mengeluh karena harus mendengar rengekanku. Namun,

pada akhirnya Rayhan pasti melakukan apa yang aku minta.

“Baiklah. Besok aku ganti. Aku harus membeli kaleng yang baru dulu.”

Rayhan memang bisa diandalkan. Aku tersenyum puas meskipun kulihat wajah

Rayhan masih cemberut.

“Benangnya sekalian?”

Aku mengangkat kedua bahuku, “Terserah kamu.”

Telepon kaleng kami memang sudah beberapa kali mengalami perbaikan dan selalu

Rayhan yang melakukannya. Mulai dari mengganti kaleng atau benangnya. Aku hanya

tinggal menunggunya selesai dan kembali menyerahkan telepon kaleng yang baru.

Rayhan selalu menjadi sahabat yang baik untukku dan benar-benar bisa diandalkan.

Rayhan memacu motor sport miliknya menembus keramaian kota Purwokerto di malam hari.

Aku dibonceng di belakangnya. Kami melintasi jalanan, menuju tukang nasi goreng

langganan kami.

“Pelan-pelan, Rayhan. Aku yakin nasi gorengnya belum habis.” Tanganku

menggenggam erat jaket Rayhan yang melajukan motornya dengan kecepatan tinggi.

Membuatku harus menutup mata karena takut.

Page 34: CINTA DALAM TELEPON KALENG - Memikirkan Katagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/CINTA... · 2020. 4. 1. · “Silakan duduk, saya panggil suami saya dulu.” Aku sudah

34

“Kenapa?”

“Aku bilang pelan-pelan,” teriakku persis di dekat telinga Rayhan.

“Aku lapar sekali.”

“Iya, aku juga sama. Tapi, aku takut kalau kamu terus ngebut seperti ini.”

“Tenang saja, kamu aman bersamaku. Pegangan saja yang kencang.” Rayhan malah

menambah kencang laju motornya, sampai aku harus mengeratkan cengkeraman. Pelan-pelan

kurebahkan kepalaku di pundaknya untuk mencari perlindungan.

Aku bernapas lega saat kami sampai di depan penjual nasi goreng. Kuatur denyut

jantungku agar dapat berdetak dengan normal kembali. Adrenalin yang sempat terpacu mulai

kembali mengendur.

“Gila kamu. Mau ngajak bunuh diri?” Ujarku sambil memukul pelan punggung

Rayhan.

Rayhan hanya tertawa kecil dan menyuruhku turun dari boncengan. Kami berjalan

masuk ke dalam warung, mencari meja yang kosong dan duduk. Seperti biasa, aku memesan

nasi goreng sosis, sementara Rayhan memilih nasi goreng ayam untuk makan malamnya.

“Pucat sekali wajahmu.”

Aku melemparkan sedotan ke arahnya, Rayhan mengelak dengan gesit.

“Pokoknya nanti aku yang di depan waktu pulang.”

“Dih, emang kamu bisa bawa motorku?”

“Enggaklah. Nanti aku cuma mau duduk di atas jok, dan kamu mendorongnya dari

belakang. Sampai rumah.”

“Enak aja. Ogah banget.”

“Emang enak. Itu lebih baik daripada harus membonceng kamu yang suka ngebut.

Awas aja kalau nanti kamu ngebut lagi. Aku bakalan loncat dari boncengan.”

Rayhan tertawa renyah, “Iya-iya. Nanti pulangnya aku nggak ngebut deh, di bawah

empat puluh kilometer.” Cowok itu beberapa kali meneteskan minyak kayu putih ke telapak

tangan, lalu mengoleskan di bagian lehernya.

“Ya udah sekarang kita makan dulu, ya.”

Rayhan menyambut nasi goreng pesanannya yang dibawa oleh pelayan. Aku pun

melakukan hal serupa.

“Rayhan!”

Aku mengangkat wajahku ketika mendengar seseorang menyapanya, kulihat seorang

cowok berdiri di sebelah kami. Ia menepuk pundak Rayhan dengan akrab.

“Hei, Yoga, kok di sini? Bukannya sekarang jadwalmu siaran?”

Page 35: CINTA DALAM TELEPON KALENG - Memikirkan Katagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/CINTA... · 2020. 4. 1. · “Silakan duduk, saya panggil suami saya dulu.” Aku sudah

35

“Iya, tiba-tiba pengen makan nasi goreng. Ya udah aku keluar, mumpung ada Roni

yang lagi nge-handle.” Cowok itu duduk di sebelah Rayhan.

“Dasar. Oh iya, kenalin ini Disya. Disya, ini Yoga. Dia penyiar juga di radio yang

sama sepertiku.”

Aku menerima uluran tangan cowok yang ternyata teman Rayhan, kami berkenalan.

Seulas senyum menghiasi bibirnya yang tipis, aku membalasnya. Tatapan kami sejenak

beradu, membuatku tahu kalau cowok ini memiliki mata yang indah.

Diam-diam aku tertarik dengannya.

Page 36: CINTA DALAM TELEPON KALENG - Memikirkan Katagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/CINTA... · 2020. 4. 1. · “Silakan duduk, saya panggil suami saya dulu.” Aku sudah

36

PERASAAN DISYA

Sahabat Kecilku yang Telah Beranjak Dewasa

Disya turun dari boncengan motor setelah kami sampai di parkiran sekolah. Aku

menurunkan standar lalu mengajaknya berlalu dari tempat itu. Suasana sekolah sudah cukup

ramai oleh berbagai aktivitas murid-murid lain yang sudah lebih dahulu datang. Disya

berjalan dengan riang di sebelahku, sesekali mulutnya bergumam kecil menyanyikan sebuah

lagu dari band favoritnya itu. Gadis ini senang sekali menyanyikan lagu-lagu Sheila On 7,

semua lagunya sampai dia hafal di luar kepala.

“Cowok semalam itu, siapa namanya? Yoga, kan? Dia SMA juga?”

“Nggak. Dia udah kuliah. Kenapa emangnya?” Aku menyelidiki wajah Disya,

menatapnya dengan curiga.

“Jangan-jangan, kamu suka?” Lanjutku.

Disya terlihat menyembunyikan wajahnya, “Cuma sedikit tertarik, nggak lebih.”

Aku tersenyum kecil mendengar jawaban gadis itu. Sahabatku ini sedang beranjak

dewasa rupanya, Disya mulai tertarik dengan lawan jenis. mungkin hanya menunggu waktu

sampai dia akan sibuk dengan cowok lain, bermain-main dengan perasaannya.

“Aku punya nomor ponselnya, mau?” Tawarku kepada Disya yang kali ini sedang

memberikan senyum kepada seorang murid lain. Wajah Disya tersipu malu, aku bisa melihat

itu.

“Gengsi lah, mana ada cewek yang menghubungi lebih dulu.”

Dasar lugu, dari kalimatnya saja aku sudah mengerti kalau sebenarnya Disya ingin

mengenal lebih jauh sosok Yoga. Aku tidak kuasa menahan senyum.

“Ya sudah kalau nggak mau,” pancingku, ingin melihat reaksi Disya. Benar saja,

cewek itu menunjukkan wajah protes ke arahku.

“Kenapa wajahmu? Katanya nggak mau.”

“Nggak apa-apa,” jawabnya dengan mimik cemberut, ia berjalan cepat

meninggalkanku.

Aku hanya tertawa kecil melihat sikap Disya seperti itu. Gadis itu benar-benar

bertingkah seperti anak kecil yang menginginkan sebuah mainan baru, tapi tidak berhasil

mendapatkannya. Aku menggelengkan kepala dan mengejar langkah Disya yang sudah

berada agak jauh.

Page 37: CINTA DALAM TELEPON KALENG - Memikirkan Katagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/CINTA... · 2020. 4. 1. · “Silakan duduk, saya panggil suami saya dulu.” Aku sudah

37

“Ngambekan banget. Nanti kalau aku ketemu Yoga di radio, aku kasih nomermu ke

dia,” ucapku ketika aku berhasil menyusulnya.

Disya berhenti melangkah dan menatapku, “Apaan sih, Rayhan. Aku kan sudah bilang

kalau aku hanya sekadar tertarik. Nggak lebih.”

“Sudahlah, kamu nggak perlu malu-malu sama aku. Lagian memang seperti itu,

awalnya cuma tertarik, terus lama-lama jadi lebih dari sekadar tertarik.”

“Gayamu kayak orang pernah jatuh cinta aja.”

Aha! Tepat sasaran! Disya kena telak dengan pancinganku, aku berusaha sekuat

tenaga untuk menahan senyum yang ingin merekah di bibirku.

“Siapa yang sedang ngomongin jatuh cinta coba?”

Gadis itu langsung meninju lenganku dengan pelan, wajahnya benar-benar merah kali

ini. Dan aku tertawa keras saat Disya kembali berjalan cepat meninggalkanku. Ah….

Sahabatku ini sedang jatuh cinta rupanya.

Aku memang bukan cowok yang paham tentang masalah cinta, bahkan sekalipun belum

pernah aku merasakan yang namanya suka atau tertarik dengan lawan jenis. Menurutku buat

apa merasakan hal semacam itu, punya satu sahabat cewek saja sering membuatku kerepotan,

apalagi ditambah satu dan dengan perasaan spesial pula.

Kalau melihat gelagat Disya, siapa pun pasti bakal tahu kalau gadis itu sedang jatuh

cinta.

Sepulang dari sekolah tadi dia terus bertanya tentang Yoga kepadaku. Mulai dari

kuliah di mana, jurusannya apa, tinggalnya di mana, dan tentu saja tidak ketinggalan Disya

bertanya Yoga sudah punya pasangan atau belum. Aku sampai kewalahan menanggapi semua

pertanyaan yang dia ajukan kepadaku.

Oke aku memang berteman dengan Yoga, tetapi bukan berarti aku tahu segalanya

tentang anak itu. Hari ini Disya lebih cerewet dari biasanya.

Aku menghentikan laju motor di depan gerobak penjual es buah yang sedang mangkal

di daerah kampus Universitas Jendral Soedirman, atau orang-orang biasa menyebutnya

Unsoed. Disya langsung melompat turun dan duduk di bangku panjang yang disediakan oleh

penjual es buah.

Page 38: CINTA DALAM TELEPON KALENG - Memikirkan Katagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/CINTA... · 2020. 4. 1. · “Silakan duduk, saya panggil suami saya dulu.” Aku sudah

38

“Bikinin dua ya, Bang. Seperti biasa,” pesan Disya kepada Bang Wawan, penjual es

campur yang sudah sangat mengenal kami. Aku menyusul duduk di seberang meja.

“Oke, kamu bilang kamu nggak jatuh cinta sama Yoga. Tapi kamu terus-terusan

mencari tahu tentang dia. Itu namanya apa?” Aku membuka topik pembicaraan.

“Memang kenyataannya kayak gitu, Rayhan. Gini, aku baru ketemu sama dia satu

kali, nggak mungkin lah aku langsung jatuh cinta dalam waktu sesingkat itu. Aku bukan

orang yang percaya sama istilah jatuh cinta pada pandangan pertama,” kalimat Disya terhenti

oleh kedatangan Bang Wawan yang memberikan pesanan kami.

“Ini yang nggak pakai susu.” Bang Wawan menyodorkan satu mangkok kepada

Disya.

“Makasih, Bang,” ucapku.

“Aku lanjutin, ya. Yang namanya cinta itu bukan perasaan yang bisa tumbuh hanya

dalam waktu 1 atau 2 detik saja, tidak juga satu hari. Tentu butuh proses untuk

menumbuhkan perasaan cinta.”

“Aku nggak ngerti masalah cinta,” potongku sambil menyendok es buah dan

menyuapkan ke mulutku sendiri.

“Makannya aku kasih tahu, dengerin dulu. Nggak segampang itu jatuh cinta, karena

cinta itu butuh keyakinan dan kemantapan hati. Bukan karena dia tampan atau cantik terus

kita memutuskan untuk begitu saja cinta sama dia. Nanti di tengah jalan kalau ternyata

sifatnya nggak sesuai sama yang kita harapkan, gimana coba?”

“Bukannya kata orang-orang cinta itu harus menerima apa adanya, ya? Berarti

menerima sifat pasangan itu juga termasuk, kan?”

Disya mengangguk, “Memang. Tetapi akan lebih baik kalau kita mengetahuinya

sebelum memutuskan untuk jatuh cinta, karena perasaan cinta tidak sesederhana itu.”

Aku menggeledah isi tasku sendiri, mencari botol minyak kayu putih. “Jadi intinya?”

“Intinya jatuh cinta itu butuh proses. Pandangan pertama tidak pernah menumbuhkan

perasaan cinta. Kecuali sekadar, suka.”

Aku tertawa mendengar kalimat terakhir yang diucapkan Disya. Tawa yang cukup

keras ini membuat beberapa mata pembeli lain menatapku. Disya tampak salah tingkah di

tempatnya.

“Jadi? Kamu belum jatuh cinta sama Yoga, tetapi baru sekadar suka sama dia?”

Tanyaku di sela tawa. Disya masih menundukkan wajahnya, membiarkan es buahnya tak

tersentuh.

Page 39: CINTA DALAM TELEPON KALENG - Memikirkan Katagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/CINTA... · 2020. 4. 1. · “Silakan duduk, saya panggil suami saya dulu.” Aku sudah

39

Aku menggelengkan kepala sambil masih tertawa, “Ada-ada saja kamu, sampai-

sampai bikin teori jatuh cinta seperti tadi.”

“Puas ketawanya?” Wajah Disya memerah.

“Nggak nyangka aku. Cewek galak, cerewet, keras kepala sepertimu bisa kayak gini

juga”

“Aku juga cewek normal kali, Rayhan.”

“Iya-iya, jangan ngambek lagi.” Aku menggoda Disya yang mulai menekuk

wajahnya.

“Nanti aku bantu kamu biar bisa deket sama Yoga.”

Disya tersenyum simpul sekarang, aku hanya sanggup menarik napas dalam-dalam

melihat tingkah sahabatku itu. Anak ini selalu saja merepotkan sejak dulu. Bahkan, masalah

perasaan pun aku juga harus turun tangan, padahal aku sendiri tidak mempunyai pengalaman

tentang hal-hal semacam ini. Tapi buat Disya, aku akan melakukannya.

Page 40: CINTA DALAM TELEPON KALENG - Memikirkan Katagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/CINTA... · 2020. 4. 1. · “Silakan duduk, saya panggil suami saya dulu.” Aku sudah

40

KECEWA

Seindah Apa pun, Perasaan Cinta Tetap Bisa Menimbulkan Luka

Ternyata tidak susah menjadi mak comblang untuk teman sendiri. Sampai saat ini

semua kelihatan lancar-lancar saja ketika Disya dan Yoga akhirnya sering bertemu dan jalan

berdua. Bahkan, mereka berdua selalu cerita kepadaku tentang semua momen yang mereka

lewati, seolah aku pendengar yang baik buat mereka. Disya sering mengatakan kalau Yoga

adalah tipe cowok yang bisa membuat orang di sekitarnya merasa nyaman. Sedangkan Yoga

menilai Disya adalah cewek yang asyik untuk dijadikan teman ngobrol.

Sudah dua minggu sejak kali pertama aku membantu mendekatkan mereka, dan

intensitas pertemuan mereka pun semakin rutin. Tidak jarang Yoga sampai menjemput Disya

sepulang sekolah dan mengantarkan ke rumah. Sebuah kebiasaan yang sejak dulu hanya

dilakukan olehku.

Sore ini, aku duduk di tepi jendela seorang diri. Kulihat jendela kamar Disya masih

tertutup, menandakan penghuninya tidak berada di dalamnya. Tadi dia pergi bersama Yoga

selepas sekolah. Entah ke mana.

Aku membuka tutup botol minyak kayu putih yang sejak tadi berada di dalam

genggaman, lalu menempelkan ujung kepala botol ke hidung. Dengan perlahan kuhirup

aroma minyak kayu putih melalui hidung.

Suara mobil terdengar ketika aku hendak melangkah menuju ranjang. Kualihkan

pandanganku. Tampak mobil Yoga berhenti tepat di depan gerbang rumah Disya. Gadis itu

keluar dengan senyum yang terlihat merekah di bibirnya yang tipis. Membuat rasa penasaran

dalam benakku muncul.

Page 41: CINTA DALAM TELEPON KALENG - Memikirkan Katagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/CINTA... · 2020. 4. 1. · “Silakan duduk, saya panggil suami saya dulu.” Aku sudah

41

Langkah Disya mulai menapaki halaman ketika mobil Yoga telah berlalu. Gadis itu

sempat melihat ke arahku dan melambaikan tangan. Aku membalasnya. Sebentar lagi dia

akan menceritakan semuanya, batinku menerka.

Lima menit kemudian jendela kamar gadis itu terbuka, menampakkan wajah dengan

senyum yang belum hilang sejak aku melihatnya tadi. Ada apa gerangan sampai dia terus-

menerus tersenyum seperti itu.

Disya masih mengenakan seragam sekolah dan memberi kode untuk mulai bercerita

melalui telepon kaleng. Aku membiarkannya berbicara terlebih dahulu.

“Kamu tahu, nanti malam Yoga janji akan mengajakku makan malam. Dia bilang

sudah memesan tempat khusus untuk kami berdua.”

Aku mendengarkan Disya bercerita dengan wajah berseri-seri. Gadis itu tampak ceria.

“Bukankah itu sudah sering kalian lakukan?”

“Memang, tapi malam ini akan spesial kata Yoga.”

Begitu rupanya, akan ada yang spesial antara Yoga dan Disya nanti malam ketika

mereka berencana untuk makan malam. Apa yang sedang direncanakan Yoga? Apa mungkin

dia akan menyatakan cinta kepada Disya?

“Jadi, sudah mulai ada cinta yang tumbuh rupanya?” Tanyaku setelah beberapa lama

terdiam.

Senyum merekah di bibir Disya. Aku dapat melihatnya dengan jelas saat gadis itu

akhirnya mengangguk untuk menjawab pertanyaanku. Ternyata secepat itu rasa tertarik yang

sering Disya katakan, berkembang menjadi perasaan cinta. Aku ikut menyunggingkan

senyum untuk sahabat kecilku itu.

“Ternyata hanya butuh waktu dua minggu saja bagimu untuk mengubah suka menjadi

cinta, Disya,” ledekku.

“Seperti yang kubilang dulu, kita bisa memilih untuk jatuh cinta atau tidak setelah kita

mengetahui sifat orang itu. Dan Yoga memenuhi segalanya untuk membuatku jatuh cinta.”

Tawa renyah Disya terdengar di telingaku sekarang, gadis berambut panjang itu

benar-benar ceria hari ini.

“Ya… ya, aku berdoa yang terbaik buat kalian. Semoga cintamu itu bisa bersambut.”

“Terima kasih, Rayhan. Kamu memang sahabatku yang paling istimewa.” Gadis itu

mengacungkan jempol tangannya kepadaku.

“Tapi ingat, ya. Cinta itu bisa membawa kita ke arah bahagia, tetapi juga bisa

membawa kekecewaan buat kita. Aku cuma pesen sama kamu, harus siap dengan semua

kemungkinan yang akan terjadi ketika memutuskan untuk mencintai seseorang.”

Page 42: CINTA DALAM TELEPON KALENG - Memikirkan Katagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/CINTA... · 2020. 4. 1. · “Silakan duduk, saya panggil suami saya dulu.” Aku sudah

42

“Iya, aku tahu. Seperti kata-kata di lagunya Sheila On 7 yang judulnya “Jalan Terus”,

kan?”

“Yang mana?” Tentu saja aku tidak tahu lagu yang Disya maksud.

“Maka apa pun yang terjadi akan kujalani, akan kuhadapi dengan segenap hati walau

kuterluka memang ku terluka tak pernah kulari dari semua ini.” Lagi-lagi Disya

mendendangkan lirik lagu dari band favoritnya itu.

“Sheila teruuus.”

“Iya, dong, setiap lirik di lagu Sheila kan soundtrack hidupku,” jawabnya sambil

tertawa.

Aku menepuk jidat, benar-benar konyol anak ini.

“Baiklah sahabat muda, tidak terasa sudah dua jam VJ Rayhan menemani sahabat

muda semua dalam sesi LDL, lagu dalam dan luar negeri. Terima kasih buat sahabat muda

yang sudah mau bergabung dengan saya malam ini. Dan bagi sahabat muda yang request

lagunya belum bisa diputar VJ Rayhan minta maaf, karena banyak sekali SMS yang masuk.

Baiklah, untuk mengakhiri perjumpaan kita malam ini lagu terakhir yang akan saya putarkan,

“In The End” dari Linkin Park. So, stay tund terus di 110.5 Bintang FM. Radionya anak

muda. VJ Rayhan pamit. Assalamu’alaikum Warrahmatulahiwabarakatu.”

Aku memutar lagu yang kusebutkan tadi melalui mixer. Malam ini adalah jadwalku

siaran. Menjadi penyiar di radio sudah kutekuni sejak enam bulan ini, sekadar hobi dan

menambah uang saku tentu saja. Kulepas headphone yang sejak tadi menempel di telinga,

aku menarik napas sejenak untuk menghilangkan penat.

Langkah kakiku membawaku keluar dari dalam ruang siaran. Kurogoh saku celana

dan mengambil sebungkus rokok dari dalamnya, memantik korek gas untuk menyalakan

sebatang rokok. Asap putih berhembus dari mulutku, membawa sedikit rasa lelah akibat

siaran tadi. Seorang teman tampak tersenyum sebelum masuk ke dalam ruang siaran,

menggantikan waktuku yang sudah habis malam ini.

Jam yang melingkar di pergelangan tangan kiri menunjukkan pukul 9 lebih 15 menit,

belum begitu malam untuk mencari makan di sekitar Stadion Satria.

Page 43: CINTA DALAM TELEPON KALENG - Memikirkan Katagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/CINTA... · 2020. 4. 1. · “Silakan duduk, saya panggil suami saya dulu.” Aku sudah

43

Jalanan malam ini tidak terlalu ramai, hujan memang baru reda sekitar setengah jam

yang lalu. Aspal-aspal yang basah memantulkan bias cahaya kekuningan dari lampu kota,

mengiringi laju motorku yang sengaja aku kemudikan dengan pelan. Aku ingin menikmati

malam ini.

Dua bungkus nasi kucing, dua mendoan hangat, serta segelas teh tawar sudah berada

di atas meja untuk mengisi perut yang sudah kelaparan sejak tadi. Aku menikmatinya dengan

lahap. Sesekali mataku melirik ke arah pengunjung lain, melihat wajah mereka satu per satu.

Tidak ada wajah yang aku kenal di tempat ini.

Dering ponsel berbunyi ketika aku baru menghabiskan satu bungkus nasi kucing.

Wajahku berkerut, nama Disya tertera di layar, ada apa gadis ini menghubungiku? Bukannya

dia sedang pergi makan malam bersama Yoga?

“Halo,” sapaku ketika alat komunikasi itu sudah menempel di telinga.

Wajahku langsung berubah kaget ketika kudengar Disya berbicara sambil menangis.

Ada apa dengannya?

Aku menanyakan apa yang terjadi, dan kenapa dia menangis. Tetapi Disya hanya

menyuruhku untuk bergegas menjemputnya di daerah alun-alun kota tanpa menjawab

pertanyaanku. Dengan perasaan bingung dan khawatir kutinggalkan begitu saja makanan

yang tersisa dan menuju kasir untuk membayar. Aku segera melesat menuju ke tempat Disya

menunggu.

Ini yang kedua, selama aku mengenal gadis itu, ini kali kedua aku mengetahui dia

menangis semenjak terakhir aku melihatnya saat kecil dulu. Ada apa denganmu, Disya?

Kudapati gadis itu sedang duduk seorang diri di pinggir jalan, di bawah pohon

beringin yang tumbuh rindang di sudut alun-alun. Aku menghentikan motor dan berjalan

menghampirinya. Mata Disya terlihat basah dan sendu.

“Ada apa?”

Disya masih terdiam dengan mata yang meneteskan air. Aku membelai rambutnya

yang hitam dan panjang. Kubiarkan ia terus seperti itu sampai beberapa menit, menunggu

Disya dapat menenangkan diri dan mulai bercerita.

“Yoga ternyata sudah punya pacar, Rayhan. Tadi dia mengenalkannya kepadaku

waktu makan malam,” ucap Disya dengan lirih.

Jelas sekali nada kecewa dari kalimatnya. Aku menghela napas dalam-dalam,

sahabatku sedang patah hati rupanya.

“Maaf, aku nggak tahu tentang itu.”

Page 44: CINTA DALAM TELEPON KALENG - Memikirkan Katagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/CINTA... · 2020. 4. 1. · “Silakan duduk, saya panggil suami saya dulu.” Aku sudah

44

Disya mengangguk pelan, “Bukan salahmu. Yoga juga nggak salah, justru aku

menghargai kejujurannya. Tapi aku tetap tidak bisa menyembunyikan rasa kecewaku ini.”

“Lantas, apa yang akan kamu lakukan sekarang?”

Disya merengut, “Bukan seperti itu pertanyaannya, Rayhan.”

“Lalu?” Aku merasa bingung sekarang.

“Seharusnya kamu bertanya, apa yang harus aku lakukan untuk menghiburmu. Seperti

itu harusnya!”

Aku tertawa kecil.

“Ya, ya. Apa yang harus aku lakukan untuk menghiburmu yang sedang patah hati?”

“Mungkin dengan membawaku ngebut sampai ke rumah,” jawabnya dengan senyum

kecil yang sudah kembali menghiasi bibirnya.

Aku terkejut mendengar permintaan Disya, tetapi tangan halus gadis ini sudah

menarikku menuju motor sebelum aku bertanya lebih jauh lagi tentang permintaannya.

Menyuruhku duduk dan menyalakan motor, lalu ia menyusul diboncengan.

Baiklah, kalau itu bisa membuatmu melupakan kesedihanmu, dengan senang hati

akan kulakukan.

Page 45: CINTA DALAM TELEPON KALENG - Memikirkan Katagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/CINTA... · 2020. 4. 1. · “Silakan duduk, saya panggil suami saya dulu.” Aku sudah

45

BINTANG-BINTANG

Mereka Bersinar, Walau Hanya Sekadar Titik Kecil yang Menempel di Langit

Aku sudah melupakan kejadian yang membuatku kecewa beberapa hari lalu. Nama

Yoga sudah berhasil kuhapus dari dalam hati, tentu saja dengan bantuan Rayhan yang terus

menghiburku. Sekali lagi cowok itu bisa diandalkan, aku beruntung bisa memiliki sahabat

sebaik dia. Kini keceriaanku sudah benar-benar kembali seutuhnya, lupakan dulu masalah

perasaan. Rayhan tidak mengizinkanku terus memikirkan itu.

Mau tidak mau aku harus menurutinya, karena cowok itu pasti akan marah besar jika

aku bandel. Entah kenapa aku selalu menuruti apa yang dikatakan Rayhan. Sikapnya seperti

pernah mengalami jatuh cinta saja, padahal sekalipun aku belum pernah melihat pemuda itu

dekat dengan lawan jenis, walaupun banyak gadis yang menyukainya.

“Nanti saja, kalau kamu sudah benar-benar bertemu dengan cowok yang pantas

buatmu.” Seperti itu nasihat Rayhan ketika kami sedang melakukan aktivitas kebiasaan kami,

berbicara melalui telepon kaleng.

Malam ini, aku sedang memandang bintang-bintang yang bertaburan di langit melalui

bingkai jendela. Menatap ke atas, menikmati keindahan yang terlukis sempurna oleh Sang

Pencipta. Bulan di kejauhan bersinar terang, cahayanya mendominasi kegelapan malam.

Aku menopangkan dagu pada kedua tangan, membayangkan seandainya tubuhku

dapat terbang di antara jutaan bintang itu. Tak kuasa senyum merekah di bibir, sampai

kudengar suara berdehem yang berasal dari rumah sebelah. Rayhan duduk di tepi jendela,

sedang menatap dengan senyum mengejek.

“Sudah berapa lama kamu di situ?”

Rayhan mengangkat kedua bahunya, “Yang jelas sudah cukup lama untuk melihatmu

senyum-senyum sendiri. Seperti orang gila.”

Kalimat itu jelas membuatku mendesis. Aku mengalihkan pandanganku kembali ke

langit.

Page 46: CINTA DALAM TELEPON KALENG - Memikirkan Katagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/CINTA... · 2020. 4. 1. · “Silakan duduk, saya panggil suami saya dulu.” Aku sudah

46

Dari arah Rayhan terdengar sedikit suara gaduh, membuatku menoleh. Aku terkesiap

saat melihat Rayhan berusaha meniti balkon di antara rumah kami. Rasa ngeri langsung saja

merayap. Terakhir kali aku melihat Rayhan melakukan hal itu saat masih kecil dulu, ketika

pertama kali kami menggunakan telepon kaleng dari kamar masing-masing.

“Rayhan, apa yang kamu lakukan?” Rasa khawatir jelas sekali terdengar dari suaraku.

Rayhan tidak menjawab, dia justru duduk dengan santai di tengah-tengah balkon

sekarang. Apa Rayhan tidak merasa takut duduk di situ? Tempat itu lumayan tinggi. Tubuhku

bergidik ngeri melihat dia sedang mengayun-ayunkan kakinya.

“Hei, kalau kamu berani ke sini dan duduk di sebelahku, aku akan berikan apa pun

yang kamu mau.”

Rayhan gila, dia menyuruhku untuk menyusulnya ke tempat itu? Mana mungkin aku

berani. Dan lagi, bisa-bisa aku dimarahin mama kalau sampai beliau tahu anak gadisnya

pecicilan sampai ke balkon setinggi itu.

“Ogah ah, kamu aja yang di situ. Aku cukup di sini.”

“Yakin? Dari sini bintang sama bulannya lebih terlihat jelas. Indah banget ternyata.”

Rayuan Rayhan mulai memengaruhiku sekarang. Namun, rasa takutku terasa lebih

besar. Aku kembali menggeleng untuk menolak.

“Dasar penakut,” ejeknya dengan wajah yang menyebalkan.

Aku membalasnya dengan menjulurkan lidah, Rayhan tertawa renyah setelah itu.

Ingin sekali aku menjitak kepalanya dengan sangat keras, sampai dia merasa kesakitan.

“Kadang aku heran, sekarang aku mempunyai banyak teman, tapi kenapa ujung-

ujungnya pasti aku menghabiskan waktu sama kamu, bosan juga,” tutur Rayhan sambil

terkekeh.

Aku tahu dia hanya bercanda, tetapi di dalam hatinya, aku tetap membenarkan kalimat

yang terucap dari bibirnya.

“Iya, aku juga sebenarnya merasa jenuh setiap hari melihat wajahmu,” balasku,

disusul dengan tawa kami berdua. Tidak ada yang sungguh-sungguh saat mengatakannya,

mana mungkin seperti itu.

“Cari pacar sana!” Perintahku spontan, membuat tawa Rayhan semakin keras.

Memangnya ada yang aneh dengan ucapanku sampai dia berhak tertawa seperti itu?

“Ogah ah, aku belum mau ada yang mengganggu kehidupanku. Sebentar-sebentar

nanti minta dijemput, anter sana anter sini. Minta ditemenin ke mana pun. Cewek kan kaya

gitu.”

“Dih, emang aku pernah gitu?”

Page 47: CINTA DALAM TELEPON KALENG - Memikirkan Katagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/CINTA... · 2020. 4. 1. · “Silakan duduk, saya panggil suami saya dulu.” Aku sudah

47

“Seriiiiiiing pakek banget. Kamu nggak inget kalau kamu sering bikin repot.”

Aku tersenyum mendengar keluhan Rayhan. Memang tidak ada selain dia yang bisa

ku-andalkan, bukan bermaksud untuk merepotkan atau memanfaatkannya. Tetapi selain

Rayhan, aku tidak punya teman dekat lagi. Tidak sedekat aku dengan Rayhan, sampai

membuatku sungkan untuk meminta bantuan.

“Aku selalu mengucapkan terima kasih, kan?”

Rayhan merubah posisi duduknya, dia memeluk kedua kakinya sendiri.

“Aku tidak keberatan melakukan apa pun untukmu.” Cowok itu mengambil jeda pada

kalimatnya, “Karena aku tahu kamu tidak bisa apa-apa tanpaku.”

Tawa keras kembali terdengar dari bibir Rayhan. Sial, dia memang paling bisa

meledekku. Mau tidak mau aku pun ikut tertawa, entah bagian mana yang lucu. Namun, hal

itu sering terjadi, saat salah satu di antara kami ada yang tertawa.

“Kakakmu kapan pulang? Betah banget dia di Semarang.” Aku mengganti topik

pembicaraan.

Rayhan mengangkat bahu, “Nggak tahu. Terakhir dia BBM katanya masih banyak

tugas yang nggak bisa ditinggalin.”

Aku mengangguk-angguk paham, “Kamu nggak kangen sama dia?”

“Apaan sih pertanyaanmu? Ada-ada aja.”

“Lho, apa salahnya dengan pertanyaanku?”

“Laki-laki kangen sama laki-laki, biarpun itu saudara sendiri, tetapi tetap ada rasa

canggung, kan?”

Kali ini aku tidak bisa menahan tawaku mendengar nada bicara Rayhan yang terkesan

ingin berkata, iya aku kangen Kak Sakti, tetapi malu untuk mengatakan kepadanya.

“Segitunya kamu, padahal sama Kakak sendiri.”

“Sudahlah. Mending kita lihat bintang-bintang itu, bukankah malam ini banyak sekali

bintangnya?”

Aku kembali melempar pandanganku, menatap langit yang memang dipenuhi bintang.

“Kamu percaya kalau sebenarnya bintang juga ada di siang hari?”

“Mana ada?”

Senyum melengkung di bibirku, “Menurutku bintang tetap ada di langit saat siang

hari, hanya saja sinarnya tertutup oleh matahari yang memiliki sinar jauh lebih terang.”

“Kamu selalu punya teori sendiri untuk hal-hal yang kamu yakini.”

Page 48: CINTA DALAM TELEPON KALENG - Memikirkan Katagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/CINTA... · 2020. 4. 1. · “Silakan duduk, saya panggil suami saya dulu.” Aku sudah

48

“Bintang memang mempunyai berbagai keunikan. Bisa membentuk sebuah rasi,

membentuk keajaiban yang tidak bisa kita lihat di siang hari. Walaupun jumlah bintang

sangat banyak, tetapi tetap memberikan tempat untuk bulan.”

“Sejak kapan kamu menyukai bintang?”

“Sejak Papa mengajaku berlibur di puncak. Dulu, dulu sekali. Sudah sangat lama.”

Rayhan tidak menanggapi omongaku, membuat bola mataku melirik ke arahnya. Dia

sedang tersenyum sambil menatap bintang, entah apa yang dipikirkan Rayhan. Membuat

bibirku turut serta tersenyum.

“Sudah malam, tidur yuk! Besok kan harus sekolah,” ajakku kemudian.

Rayhan menoleh dan mengangguk. Cowok itu berdiri, membersihkan celana bagian

belakang dengan dua tangannya lalu kembali berjalan menuju kamar dengan perlahan. Aku

masih ngeri saat melihat Rayhan melakukan itu, walaupun sekarang dia sudah berdiri aman di

dalam kamar.

Rayhan tampak menunjukkan kaleng miliknya, dengan heran aku pun meraih kaleng

milikku dan menempelkan ke telinga.

“Selamat tidur, cewek manja.” Aku dapat mendengar suara tawa Rayhan dengan jelas.

Bahkan saat akan tidur pun dia masih mengejekku.

“Awas kamu besok!” Ancamku sambil tersenyum.

“Buruan dong!”

Rayhan menyuruhku untuk bergegas naik ke atas boncengan motor dengan cepat. Aku

langsung menurut. Wajah Rayhan yang tegang membuatku tidak berani untuk berdebat.

Namun, aku tetap memasang wajah yang tidak kalah garang dari Rayhan. Dia harus tahu

kalau aku juga bisa galak.

“Bisa-bisanya jam segini baru siap, jadi telat kan kita. Semoga pintu gerbangnya

belum di tutup sama Pak Saleh.” Rayhan masih menggerutu tidak kalah keras dari suara

knalpot motornya yang menggerung, ingin sekali aku mencekik lehernya dari belakang.

Pukul 7 kurang 10 menit, kami baru akan berangkat menuju sekolah yang jaraknya

sekitar lima belas menit jika Rayhan melajukan motor dengan kecepatan normal. Tetapi jika

melihat situasi saat ini, aku harus bersiap-siap dengan kecepatan tinggi yang akan

Page 49: CINTA DALAM TELEPON KALENG - Memikirkan Katagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/CINTA... · 2020. 4. 1. · “Silakan duduk, saya panggil suami saya dulu.” Aku sudah

49

membawaku ke dalam keadaan yang berantakan. Dan yang paling membuat khawatir adalah

kondisi rambutku nanti ketika sampai di sekolah, pasti akan mencuat ke mana-mana. Bukan

sebuah hal yang bagus untuk seorang gadis tentunya.

Pemuda ini mengendarai sepeda motor dengan lincah, walaupun kecepatan lajunya

membuatku berkali-kali harus memejamkan mata karena takut. Rayhan memang memiliki

tingkat disiplin yang cukup tinggi jika dibandingkan denganku, membuatnya paling anti

dengan yang namanya terlambat.

Pintu gerbang sudah hampir didorong sepenuhnya oleh Pak Saleh ketika kami tiba di

depan halaman sekolah. Dengan wajah yang memelas akhirnya kami diizinkan masuk

asalkan mesin motor tidak dinyalakan. Tanpa pikir panjang aku dan Rayhan menyanggupi

syarat tersebut. Jadilah sekarang kami mendorong motor sport Rayhan yang besarnya hampir

seperti kerbau ini.

Napasku mulai tidak beraturan, ditambah dengan keringat yang menetes dari dahi dan

beberapa bagian tubuhku yang lain. Badanku terasa lengket, benar-benar membuatku tidak

nyaman.

“Bagus, sekarang dandananku berantakan semuanya.” Aku meneliti penampilanku

sendiri ketika motor itu sudah terparkir di tempatnya.

“Sudah, nggak usah mengeluh, ini juga gara-gara kamu. Ayo, cepat ke kelas daripada

semakin terlambat.” Rayhan menarik tanganku yang sedang merapikan seragam sekolah.

Dengan wajah yang bersungut-sungut aku terus membuntutinya menuju kelas.

Langkah kaki kami berubah melambat ketika melihat Pak Rianto sudah lebih dulu

berada di dalam kelas dan tampak memulai pelajaran. Dengan ragu-ragu Rayhan mengetuk

pintu, aku bersembunyi di balik punggungnya.

“Masuk!”

Suara berat Pak Rianto semakin meciutkan nyaliku. Rayhan mendorong pintu, seluruh

mata di dalam kelas memandang ke arah kami sekarang. Namun, tatapan tajam guru Bahasa

Indonesia inilah yang seakan paling menghakimi.

“Maaf, Pak, kami terlambat.” Rayhan sekaligus mewakiliku berbicara dengan guru

yang sudah termasuk senior di sekolah ini.

Pak Rianto meneliti keadaan kami yang berantakan dan berkeringat, “Kenapa bisa

sampai terlambat?”

“Tadi motor saya mogok, Pak, kehabisan bensin. Sampai-sampai kami harus

mendorong motor untuk mencari penjual bensin.” Rayhan berbohong tentang alasan yang

menyebabkan kami berdua terlambat.

Page 50: CINTA DALAM TELEPON KALENG - Memikirkan Katagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/CINTA... · 2020. 4. 1. · “Silakan duduk, saya panggil suami saya dulu.” Aku sudah

50

“Ada-ada saja. Ya sudah, sana duduk!” Perintah beliau akhirnya.

Aku bisa bernapas lega sekarang, kulihat wajah Rayhan juga tidak sepanik tadi. Kami

melangkah menuju bangku dan duduk. Pak Rianto kembali memberikan materi pelajaran di

depan kelas.

Aku menyeka keringat di kening dengan punggung tangan. Dengan kondisi seperti ini

tentu membuatku tidak dapat berkonsentrasi mendengarkan pelajaran. Berkali-kali

kugunakan buku catatan untuk mengipasi wajahku. Ditambah, ini adalah hari pertamaku

menikmati kodrat sebagai seorang wanita di bulan ini.

Dengan rasa risih yang semakin tidak bisa kuatasi, aku memberanikan diri maju ke

depan untuk menemui Pak Rianto, “Permisi, Pak. Saya minta izin ke belakang.”

“Kamu kan baru masuk, kenapa sudah minta izin untuk keluar lagi?”

Aku bisa mengetahui kalau siswa yang lain memandangku dengan berbagai ekspresi,

termasuk Rayhan di dalamnya.

“Maaf, Pak. Saya ingin ke kamar kecil.” Kubuat wajah memelas agar Pak Rianto

mengizinkanku ke toilet.

“Ya sudah sana! Jangan lama-lama!”

Aku langsung berlari kecil keluar dari dalam kelas dan bergegas menuju toilet

sekolah. Tanpa pikir panjang kumasuki salah satu bilik yang kosong, lalu membasuh wajah

dengan air, seketika aku merasakan kesegaran menjalar di seluruh tubuh.

Kulangkahkan kaki untuk kembali ke dalam kelas setelah semua urusanku di toilet

selesai, melewati kantin sekolah yang masih tampak sepi dengan sedikit tergesa-gesa.

Namun, langkahku terhenti saat kulihat seorang siswa sedang mengendap-endap keluar dari

gudang kosong di sudut paling belakang sekolah. Rasa penasaran membuatku terus

mengamatinya.

Entah bagaimana bisa terjadi, tetapi sekarang cowok itu balas menatapku. Membuatku

langsung membuang pandangan ke arah lain. Dan jantungku berdegup cepat ketika dia

berjalan menghampiriku.

“Sedang apa kamu di sini?”

Aku melihat tiga strip berwarna biru menempel di lengan sebelah kanan pada seragam

sekolahnya, sebagai identitas angkatan. Kelas tiga rupanya, kakak kelasku.

“Habis dari toilet, Kak.”

“Kelas dua apa?”

“Dua IPS dua, Kak.”

Page 51: CINTA DALAM TELEPON KALENG - Memikirkan Katagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/CINTA... · 2020. 4. 1. · “Silakan duduk, saya panggil suami saya dulu.” Aku sudah

51

Aku dapat melihat bibirnya yang pucat dan sedikit bergetar hendak mengeluarkan

kata-kata kembali. Namun, kuputuskan untuk sesegera mungkin memohon diri dan masuk ke

dalam kelas karena Pak Rianto pasti akan marah kalau aku terlalu lama di luar.

“Tunggu!”

Aku kembali menghentikan langkah saat kudengar cowok itu memanggil,

kupalingkan wajahku kepadanya.

“Aku belum menanyakan namamu.”

Kuputuskan untuk tidak menjawabnya, hanya mengganti dengan sebuah senyuman

yang tersungging di bibir. Sempat kulihat cowok itu menggaruk tengkuknya sebelum aku

kembali balik badan dan melangkah menuju kelasku.

“Gara-gara kamu hari ini kita terlambat!” Rayhan masih saja mengeluarkan protes di

hadapanku.

Kami sedang berada di kantin, menikmati makan saat istirahat pertama. Aku tengah

menyantap bakso, sedangkan Rayhan hanya memesan es jeruk untuk melepas dahaganya.

Selain aku dan Rayhan, ada dua orang teman kami yang juga duduk satu meja. Rahma dan

Fitri.

“Aku sudah minta maaf berkali-kali, masih aja disalahin.” Nada bicaraku terdengar

ketus kali ini.

“Makannya, lain kali jangan lambat!”

Aku mendengus sebal, “Biasanya juga nggak pernah telat kok. Salah sedikit aja terus-

terusan dipojokin, nyebelin kamu!”

“Dih, malah balik sewot. Yang ada kan harusnya aku yang marah!”

Dua orang di sebelah kami tampak bingung dan salah tingkah melihat pertengkaran

kecil antara aku dan Rayhan.

“Ya udah kalau mau marah, marah aja! Yang lama juga nggak apa-apa! Kamu nggak

tahu repotnya jadi wanita!”

Rayhan tersenyum kecut, “Sensitif banget, sampai bawa-bawa gender segala.”

“Rayhan, Disya itu sedang menghadapi siklus wanita. Kalau kamu mau galak-galakan

jelas kalah lah!” Tiba-tiba Rahma menyela perdebatan kami sambil tersenyum.

Page 52: CINTA DALAM TELEPON KALENG - Memikirkan Katagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/CINTA... · 2020. 4. 1. · “Silakan duduk, saya panggil suami saya dulu.” Aku sudah

52

“Maksudnya?”

“Sahabatmu ini sedang datang bulan, mens-tru-a-si!” Fitri sengaja mengeja

kalimatnya yang terakhir dengan senyum tersungging di bibirnya.

Rayhan menatapku dengan hening, kemudian tawa keras keluar begitu saja dari

mulutnya. Aku membuang napas dengan kesal, dia mudah sekali tertawa keras. Sangat

berbeda dengan dirinya saat masih kecil dulu.

“Bilang dong kalau lagi ada tamu,” kata Rayhan di sela tawanya.

“Bodo!” Aku menggigit bibir bagian bawah karena menahan sebal.

“Hai!”

Tiba-tiba sebuah suara mengejutkan kami, aku menoleh. Kudapati kakak kelas yang

tadi bertemu denganku sedang tersenyum. Dan aku hanya melongo ketika tiba-tiba dia

menjulurkan tangan kanannya.

“Kenalin, aku Tristan.” Selanjutnya dia menyebutkan nama, membuatku semakin

terpaku.

Sampai beberapa detik aku membiarkan tangan itu tetap menggantung.

“Emm, aku boleh tahu namamu?”

Aku tersadar karena ucapannya, kubalas tangan Tristan.

“Namaku Disya.”

“Akhirnya bisa tahu namamu juga, Disya. Nama yang cantik, seperti orangnya.”

“Makasih, Kak.”

Tristan mengangguk, “Oke. Kapan-kapan kita ngobrol lagi ya, tadi pagi belum puas.”

Aku mengangguk dengan kikuk. Tatapan Rayhan, Rahma, dan Fitri membuatku

semakin salah tingkah.

“Tadi pagi emang kamu ngapain sama dia?” Rayhan menaikan satu alisnya saat

bertanya.

“Hah? Oh, tadi waktu aku habis dari toilet ketemu sama dia. Kami ngobrol sebentar.”

Aku menjawab seadanya.

Tristan, cowok itu memiliki mata yang tajam, tapi terlihat sayu. Dan lingkaran hitam

yang berada di sekitar matanya itu, seakan menjadi nilai kurang untuk wajahnya yang

tampan.

Page 53: CINTA DALAM TELEPON KALENG - Memikirkan Katagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/CINTA... · 2020. 4. 1. · “Silakan duduk, saya panggil suami saya dulu.” Aku sudah

53

TRISTAN

Pemuda dengan Tatapan Tajam

“Oke sahabat muda barusan udah kita dengerin “Here We Go Again” dari Paramore,

spesial buat Ajeng di Purwokerto Utara yang tadi request. Pasti dia lagi senang karena

request-nya kita puterin. Dan, buat sahabat muda yang mau request juga, atau curhat tentang

masalah hidup seperti asmara, keluarga, sahabat, atau yang lainnya langsung saja gabung di

sini, di saluran 110.5 Bintang FM, radionya anak muda.”

Aku mendengarkan suara Rayhan yang sedang siaran melalui radio di kamar. Sembari

mengerjakan tugas matematika milikku, dan juga milik Rayhan. Kebiasaan Rayhan kalau

sedang ada jadwal siaran, pasti akan menyuruhku untuk mengerjakan tugas sekolahnya. Dan

besok aku tinggal menagih upah yang selalu dia janjikan, seporsi siomay, atau bakso di

kantin sekolah.

“Malam sahabat muda, dengan siapa ini?” Rayhan terdengar berbicara dengan

seorang penelpon.

“Malam, Rayhan. Aku Dewi di Pabuaran.”

“Oke Dewi, mau curhat tentang masalah apa malam ini?”

“Gimana mulainya, ya. Sebenernya ini bukan masalah yang terlalu penting juga, tapi

cukup menguras pikiran juga. Aku punya mantan yang sampai sekarang masih ngejar-ngejar

aku, kan bikin risih tuh.”

Gadis bernama Dewi ini memulai curhatnya, tetapi bukan itu yang penting. Aku

hanya menunggu tanggapan Rayhan yang tidak mempunyai pengalaman dengan wanita,

bagaimana bisa dia memberikan solusi kepada Dewi.

Page 54: CINTA DALAM TELEPON KALENG - Memikirkan Katagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/CINTA... · 2020. 4. 1. · “Silakan duduk, saya panggil suami saya dulu.” Aku sudah

54

“Apalagi, mantanku itu sering ngaku-ngaku kalau aku masih pacaran dengannya.

Sampai setiap cowok yang PDKT sama aku menjauh, coba bayangin gimana aku nggak

sebel?”

“Hahaha, gawat juga ya mantanmu itu. Udah udah pernah ngomong sama dia?”

“Udah sering banget, tapi dia tetap ngotot dan ngejar-ngejar aku terus. Sampai risih

sendiri sama kelakuannya. Dia tetep aja gangguin, padahal kita udah nggak ada hubungan

apa-apa lagi. Gimana dong, Rayhan? Kasih solusi biar mantanku itu menjauh dari

kehidupanku.”

“Oke Dewi, terima kasih ya sudah mau gabung dan menceritakan permasalahan yang

sedang kamu alami.”

“Sama-sama, Rayhan. Aku tunggu solusi darimu.” Selanjutnya terdengar nada putus

dari telepon.

“Emang bikin pusing ya sahabat muda kalau punya mantan yang tetap ngerasa kalau

kita itu masih miliknya. Padahal sudah jelas-jelas hubungannya berakhir, tetapi mantan kita

itu nggak mau menerimanya begitu saja. Kadang yang seperti itu perlu dipertanyakan, apakah

itu karena mantan kita sangat sayang, atau hanya karena sekadar obsesi saja?”

Aku tersenyum geli, Rayhan membahas masalah mantan seakan dia sudah

mempunyai segudang pengalaman.

“Seperti masalah yang sedang dialami sama temen kita Dewi tadi. Gara-gara

mantannya yang masih ngaku pacar, Dewi jadi ditinggalin sama gebetan. Mungkin sebaiknya

Dewi jangan ngeladenin si mantan, cuekin aja apa pun yang dia lakukan sama kamu. Sampai

mantanmu itu ngerasa bosen, dan menjauh dengan sendirinya. Atau, kamu comblangin dulu

mantanmu itu sama cewek lain. Setelah itu pasti kamu bisa terbebas darinya.”

Aku tertawa keras sambil berguling-guling di tempat tidur mendengar saran asal yang

diucapkan Rayhan, sampai mataku mengeluarkan air mata. Dasar Rayhan.

Sebuah ide melintas di otakku, menyuruh untuk mengetik sebuah SMS dan

kukirimkan kepada Rayhan. Sambil tersenyum, kuhempaskan kembali badanku ke atas

tempat tidur.

“Memang seperti itulah ribetnya kalau punya mantan. Sampai ada yang bilang kalau

mantan itu seperti malaikat kecil yang sudah bermetamorfosa menjadi setan. Dan buat Dewi,

atas saran dari seseorang, sebuah lagu dari Sheila On 7 yang berjudul ‘Mantan Kekasih’ kita

puterin khusus buatmu. Selamat menikmati, Dewi.”

Page 55: CINTA DALAM TELEPON KALENG - Memikirkan Katagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/CINTA... · 2020. 4. 1. · “Silakan duduk, saya panggil suami saya dulu.” Aku sudah

55

Senyum di bibirku kembali merekah ketika Rayhan menuruti permintaanku untuk

memutar lagu itu. Sekali lagi aku mengetik sebuah sms, terima kasih, dan kukirimkan ke

nomor Rayhan.

Mantan kekasih yang hilang datang, ungkapkan besarnya penyesalan

Bagaimana dia menghancurkan aku, percayalah kau tak aku sesali

Awan hitam menghantui langkahmu

Bagaimana mungkin jika itu pilihanmu

Di sini tak lagi jadi rumahmu

Mulutku ikut bernyanyi, sampai terhenti oleh dering ponsel yang menggema. Sebuah

nomor yang tidak ku kenal terpampang di layar, membuat keningku berkerut.

“Halo!”

“Halo, ini bener Disya?”

“Iya, ini siapa, ya?”

“Aku Tristan.”

Tristan? Darimana dia tahu nomor handphone-ku?

“Ganggu nggak?” Cowok itu bertanya dengan suara lembut.

“Emm, nggak kok. Cuma lagi ngerjain tugas sama dengerin radio. Ada apa, ya?”

“Tugas apa?”

“Matematika.”

“Oh, aku minta waktunya sebentar, ya.”

Aku mengangguk seakan Tristan dapat melihatnya.

“Aku mau ngajak kamu nonton, besok. Setelah pulang sekolah, itu juga kalau kamu

nggak ada acara. Kalau ada ya, dibatalin dulu aja acaramu. Hehehe…”

Renyah sekali tawa cowok ini, membuatku tersenyum mendengarnya.

“Nggak ada kok, tapi lihat besok, ya. Kalau aku bisa nanti aku kabarin ke nomor ini,

kan?”

“Iya, disave ya nomorku. Eh, cowok yang sering sama kamu itu pacarmu, ya?”

Aku berpikir sejenak, sebelum menemukan ingatan tentang seorang cowok yang

dimaksud Tristan. Pasti Rayhan.

“Bukan, dia temenku.”

“Oh. Yes. Ya udah, lanjutin dulu ngerjain matematikanya. Selamat malam Disya, aku

tunggu besok.”

Mantan Kekasih

Sheila On 7

Page 56: CINTA DALAM TELEPON KALENG - Memikirkan Katagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/CINTA... · 2020. 4. 1. · “Silakan duduk, saya panggil suami saya dulu.” Aku sudah

56

Aku meletakkan ponsel ketika Tristan menutup teleponnya. Obrolan yang singkat,

entah kenapa aku sedikit kecewa karena kami tidak ngobrol lebih lama lagi.

Suara Rayhan masih terdengar memandu siaran di dalam radio.

“Bagaimana?”

“Kan aku bilang nanti aku kabarin.”

Tristan tampak tersenyum simpul, “Aku nggak sabar.”

Aku ikut tersenyum juga akhirnya, “Kayaknya bisa, sih.”

Senyum Tristan semakin lebar setelah mendengar jawabanku, wajahnya menunjukkan

kepuasan.

Kami sedang berbincang di depan kelas, cowok ini menghampiriku saat istirahat

kedua. Padahal aku juga sudah berniat akan memberitahu lewat SMS, tetapi sepertinya

sekarang sudah tidak perlu.

“Asyik. Makasih, Disya. Kamu emang cewek yang baik hati,” ujar Tristan masih

dengan senyum yang membuat lesung di kedua pipinya terlihat.

Laki-laki ini pintar sekali membuat wajahku memerah, atau memang aku yang terlalu

suka mendapat pujian? Ah, mungkin karena aku jarang dipuji oleh cowok sehingga ketika

Tristan menyebutkan hal baik tentangku sedikit saja, aku langsung merasa malu.

“Iya, sama-sama, Kak Tristan. Emangnya mau nonton film apa?”

Dia menggelengkan kepala, “Aku nggak tahu jadwalnya. Hehehe. Nanti aja milihnya

kalau udah di sana, nggak apa-apa kan?”

“Dasar, ngajak nonton, tapi belum tahu mau nonton film apa.” Tawa kecilku

mengiringi kalimat yang terucap. Keakraban begitu cepat tercipta di antara aku dan Tristan.

“Kan malah kebetulan? Jadi nanti kamu bisa milih sendiri mau nonton film apa. Aku

mana tahu film genre kaya apa yang kamu suka.”

“Alesan aja kamu.”

“Ya udah kalo gitu, aku masuk kelas dulu, ya. Nanti pulang sekolah aku tunggu di

parkiran.”

Page 57: CINTA DALAM TELEPON KALENG - Memikirkan Katagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/CINTA... · 2020. 4. 1. · “Silakan duduk, saya panggil suami saya dulu.” Aku sudah

57

Tristan melangkah pergi setelah aku menganggukan kepala. Dadaku berdesir ketika

mataku menangkap punggungnya yang terlihat ringkih. Tristan, meskipun tampak selalu ceria

tetapi cowok itu terlihat sedang menahan rasa sakit.

Bersamaan dengan sosok Tristan yang menghilang, satu lagi keturunan kaum Adam

datang. Rayhan melangkah ke arahku dengan membawa sebungkus siomay di tangannya.

Tadi aku sempat menitip ketika pemuda itu hendak mengembalikan buku ke perpustakaan.

“Tadi aku ketemu Tristan di tangga.” Kata pertama yang keluar dari mulut Rayhan

ketika dia sudah berdiri di sebelahku. Aku menyambut siomay yang disodorkan oleh Rayhan.

“Iya, dia dari sini.”

Kening Rayhan tampak berkerut, “Ngapain?”

Mulutku masih sibuk mengunyah potongan siomay, membuat wajah Rayhan tampak

tidak sabar menunggu jawabanku.

“Nanti kamu pulang sendirian dulu nggak apa-apa, kan? Aku diajak Kak Tristan

nonton.”

“Oh, ya udah nggak apa-apa. Kebetulan aku juga mau mampir ke radio.”

“Emang jadwalmu siaran? Perasaan hari ini kamu free deh seharusnya.”

“Tadi di SMS sama Raka suruh nggantiin dia, kakaknya menikah jadi dia nggak bisa

siaran.”

“Jangan lupa Sheila On 7 ya, Om,” pesanku sambil tersenyum.

Tiba-tiba aku merasakan tenggorokanku terganjal oleh sesuatu, membuatku terbatuk.

Kutelan air ludah untuk membantu potongan siomay yang masih tersangkut di tenggorokan

untuk meluncur masuk ke dalam perut, tapi ternyata bukan hal yang mudah. Aku sedikit

belingsatan.

“Kamu kenapa?”

“Seret.” Aku menjawab pertanyaan Rayhan dengan susah.

Laki-laki itu justru tertawa, “Makanya kalau makan bagi-bagi.”

“Air, mana air? Beliin air minum!”

“Bodo! Beli sendiri sana di kantin!”

Rayhan benar-benar cowok yang nggak punya perasaan. Dia justru tertawa melihat

keadaanku. Aku menjitak kepalanya pelan dan langsung berlari menuju kantin untuk

membeli air minum.

Page 58: CINTA DALAM TELEPON KALENG - Memikirkan Katagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/CINTA... · 2020. 4. 1. · “Silakan duduk, saya panggil suami saya dulu.” Aku sudah

58

DILEMA

Jangan Memaksaku untuk Mengatakannya

Sebenarnya hanya sebuah alasan ketika aku berkata kepada Disya bahwa hari ini ada

siaran mendadak di radio. Kenyataannya, sudah setengah jam yang lalu, setelah pulang

sekolah, aku hanya mengendarai sepeda motor tanpa tujuan. Entah sudah berapa sudut

Purwokerto yang aku lewati tanpa berhenti. Semua karena aku merasa cemburu ketika Disya

dekat dengan cowok lain.

Iya, aku sedang merasakan cemburu. Jika itu memang definisi yang tepat untuk

mengartikan rasa tidak sukaku melihat Disya dapat tersenyum dan tertawa oleh laki-laki lain.

Namun, aku tidak menyalahkan siapa pun untuk perasaan yang sedang aku rasa saat ini. Hak

Disya untuk dekat dengan lelaki mana pun, juga hak Tristan jika dia mempunyai perasaan

kepada Disya. Aku hanya sekadar sahabat, tidak lebih dari itu. Kalaupun ada yang harus

disalahkan, itu adalah diriku sendiri yang tidak bisa berkata jujur kalau sebenarnya aku

menyayangi Disya, lebih dari sekadar rasa sayang untuk sahabat.

Huft! Kenapa aku harus mempunyai perasaan yang lebih kepada Disya ketika

hubungan kami sudah terlalu nyaman sebagai dua orang sahabat? Bagaimana caranya agar

aku bisa mengatakan kepadanya, tanpa menghadirkan rasa canggung nanti.

Membayangkannya saja sudah ribet.

Disya, sedang apa dia bersama Tristan sekarang? Apa mereka menikmati

kebersamaan mereka seperti aku menikmati setiap waktuku saat bersamanya? Apa Tristan

bisa membuat Disya merasa nyaman seperti yang aku berikan? Apa Disya akan kembali

merasakan jatuh cinta, seperti saat dia bersama Yoga? Jika benar, semoga kali ini aku tidak

mendapati gadis itu menangis lagi seperti dulu.

Page 59: CINTA DALAM TELEPON KALENG - Memikirkan Katagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/CINTA... · 2020. 4. 1. · “Silakan duduk, saya panggil suami saya dulu.” Aku sudah

59

Semoga kamu sudah bertemu dengan orang yang tepat, Disya. Aku tidak tahan jika

harus melihatmu kembali terluka oleh perasaan yang salah kamu berikan kepada orang lain.

Hatiku akan ikut tersayat jika aku melihatmu menangis.

Dengan telinga yang terpasang earphone dan mengalunkan musik dari ponsel, masih

kutelusuri jalanan kota yang sudah sangat aku hapal ini. Tidak tahu mesti ke mana, pulang ke

rumah pun rasanya enggan jika teringat kalau Disya sedang tidak ada di kamarnya.

Sampai akhirnya aku memutuskan untuk berhenti di sebuah warung di pinggir jalan.

Kulepaskan earphone yang sejak tadi menempel di telingaku.

“Bu, kopi satu, ya!”

Aku mengambil satu batang rokok dari kotak di hadapanku dan membakarnya.

Kunikmati setiap hembusan nikotin yang ikut keluar bersama asap putih dari mulut. Cukup

menyengat udara sore ini.

“Ini kopinya, Mas.”

“Iya, Bu. Terima kasih”

Ponselku berdering ketika aku baru saja meletakkan gelas kopi ke atas penampan

berwarna biru. Kak Sakti, ada apa tiba-tiba dia meneleponku?

“Halo, Assalamu’alaikum.”

“Lagi ngopi di warung, ada apa, Kak?”

“Oh, gitu? Ya udah nanti kalau sudah sampai terminal kabarin lagi.”

“Wa’alaikumsalam.”

Malam ini, Kak Sakti akan pulang ke rumah menggunakan bus dari Semarang.

Terakhir kali melihat Kak Sakti pulang saat liburan semester lalu. Dan itu pun hanya

beberapa minggu di rumah, lalu berangkat lagi ke Semarang karena dia juga membuka

sebuah kafe kecil di sekitar kampusnya. Entah sekecil apa, aku belum pernah

mengunjunginya. Mungkin kapan-kapan.

Masih sangat lama untuk menuju malam hari, sekarang jam tanganku baru

menunjukkan pukul 3 sore. Apa yang akan kulakukan? Aku masih enggan untuk pulang ke

rumah. Otakku berpikir, sementara lidahku masih menyesap kopi dengan kombinasi rasa

pahit dan manis yang pas.

Kalau saja ada Disya, pasti aku tidak perlu bingung seperti ini untuk menentukkan

tujuan. Gadis itu punya banyak rekomendasi tempat-tempat yang menarik di kota ini.

Aku memukulkan tanganku ke kening dengan pelan, kenapa lagi-lagi pikiranku

tertuju pada gadis itu? Apa sebegitu tergantungnya aku kepada Disya sampai untuk sekadar

mencari tempat pun tidak bisa jika tanpa saran darinya? Atau karena selama ini hanya Disya,

Page 60: CINTA DALAM TELEPON KALENG - Memikirkan Katagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/CINTA... · 2020. 4. 1. · “Silakan duduk, saya panggil suami saya dulu.” Aku sudah

60

satu-satunya teman wanita yang selalu menemani hari-hariku. Apakah sudah waktunya aku

memikirkan untuk membuka hati untuk cewek lain selain Disya. Tapi, apa aku bisa?

Saat ini, itulah dilema yang aku rasakan di hatiku. Banyak sekali pikiran-pikiran baru

yang bermunculan. Sesuatu yang selama ini tidak pernah ada di dalam niatku, tidak pernah

terbersit di dalam otakku tiba-tiba semua terbayang begitu saja. Seakan gembok yang selama

ini terpasang telah terbuka, dan memuntahkan semua isinya.

Baiklah, apa salahnya mencoba. Kumantapkan hati untuk belajar mengenal lebih

dekat sosok wanita lain selain Disya. Aku membuka phone book di ponsel, mencari-cari siapa

teman wanita yang paling mungkin untuk, apa istilah yang tepat? Pelarian? Ah, jahat sekali

aku. Tidak, tidak, mungkin aku bisa belajar mencintainya nanti. Sama seperti yang Disya

lakukan.

Aku menghabiskan tenggakan terakhir kopi yang sudah terlanjur dingin itu, lalu

beranjak keluar dari warung setelah membayarnya. Jadi, hidupku akan lebih berwarna setelah

ini. Meskipun itu warna gelap sekalipun, setidaknya ada warna lain selain Disya.

Di atas motor yang sekarang kembali melaju di jalanan, bibirku menciptakan

senyumnya.

“Rayhan!”

Suara yang sudah sangat aku hafal itu memanggil ketika aku sedang bingung mencari

sosoknya. Kak Sakti melambaikan tangan sembari tersenyum dari sebelah bus yang mungkin

saja baru dia tumpangi dari Semarang. Dia berjalan menghampiriku.

“Udah lama nunggunya?” Tanya Kak Sakti ketika kami sedang berjalan menuju

parkiran motor.

Aku mengusapkan minyak kayu putih pada kedua telapak tanganku, lalu

mendekatkan ke hidung, menikmati aromanya.

“Nggak juga, mungkin sekitar 10 menitan. Kakak sehat?”

“Alhamdulillah, Ibu sama Bapak gimana kabarnya?”

“Alhamdulillah sehat juga. Udah pada nggak sabar nungguin tuh, kangen katanya. Eh,

berarti kafe Kakak ditinggal dong?”

Page 61: CINTA DALAM TELEPON KALENG - Memikirkan Katagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/CINTA... · 2020. 4. 1. · “Silakan duduk, saya panggil suami saya dulu.” Aku sudah

61

“Iya, sementara tutup dulu 3 hari. Aku pulang juga paling sekitar 3 harian, cuma

karena kangen aja sama kalian.”

“Kamu kapan main ke Semarang?”

Jalanan malam ini tidak seramai biasanya, aku melajukan kecepatan motorku dengan

sedang. Tidak terburu-buru untuk segera sampai ke rumah. Rasanya kangen juga berbincang

dengan kakakku ini.

“Enaknya kapan, Kak? Masih sekolah soalnya. Mungkin liburan akhir semester ini.”

“Siplah, nanti aku ajak kamu muter-muter Semarang. Biar sekali-kali kamu bisa

melihat kota selain Purwokerto.” Di belakangku, Kak Sakti tertawa dengan nada mengejek.

Membuatku tersenyum kecut.

“Disya apa kabar?”

Pertanyaan yang membuatku kembali memikirkan gadis itu. Sejak pulang sekolah aku

belum melihatnya sampai detik ini. Tadi aku tertidur setelah seharian mengelilingi kota, dan

terbangun waktu hendak menjemput Kak Sakti. Mungkin sekarang Disya juga sudah terlelap

di kamarnya. Bagaimana acara nontonnya dengan Tristan?

“Woi, malah diem.”

“Disya. Emm... baik, Kak.” Aku sedikit merasa bleng ketika menjawab pertanyaan

kakakku, entah kenapa.

“Kamu kenapa?”

“Hah? Kenapa gimana? Nggak apa-apa kok.” Dan gawatnya Kak Sakti menyadari

perubahanku.

“Eh, Kak. Udah punya pacar belum di sana?” Aku harus buru-buru membelokkan

pembicaraan sebelum dia bertanya lebih jauh lagi.

Kudengar Kak Sakti tertawa setelah mendengar pertanyaanku, membuatku merasa

heran.

“Kenapa ketawa, Kak?”

“Aku baru putus tadi malam, padahal baru pacaran satu minggu,” jawab Kak Sakti di

sela tawanya.

Sekarang aku mengerti alasannya tertawa, dan aku tertular. Kami tertawa dengan

keras dari atas motor. Bagaimana mungkin bisa seperti itu, pacaran satu minggu dan akhirnya

memilih untuk putus. Aku benar-benar belum bisa menggunakan nalarku untuk masalah

cinta.

“Pantas saja kamu pulang. Pasti mau lari dari patah hati, dan mencari hiburan di sini.

Awas aja kalau nanti mengajakku untuk bergalau ria.”

Page 62: CINTA DALAM TELEPON KALENG - Memikirkan Katagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/CINTA... · 2020. 4. 1. · “Silakan duduk, saya panggil suami saya dulu.” Aku sudah

62

“Nggak, Rayhan. Aku pulang itu murni karena aku kangen sama kalian. Aku sama

sekali nggak merasakan sakit hati, mana mungkin baru satu minggu pacaran sudah bikin

sakit. Belum ada kenangan yang pantas untuk ditangisi.”

Dengan enteng kakakku bisa mengucapkannya. Apa memang seperti itu orang

pacaran. Ah, aku benar-benar bodoh tentang masalah asmara. Pantas saja Disya tidak bisa

membaca perasaanku, mungkin karena aku tidak cerdas menunjukkannya.

Motorku membawa kami berdua sampai di dalam halaman rumah. Ibu terlihat

langsung menyambut kami dari depan pintu begitu aku mematikan mesin motor. Beliau

memeluk kakak, mencium kedua pipi dan keningnya, membuatku tersenyum. Kangen sekali

sepertinya ibu kepada anak pertamanya itu.

Sekilas aku melirik kamar Disya, sedikit terkejut ketika kulihat lampu kamarnya

masih menyala. Biasanya kalau di atas jam sembilan, pasti dia sudah tidur. Dan Disya adalah

tipe orang yang tidak bisa tidur dalam keadaan terang. Sedang apa gadis itu, tumben jam

segini belum tidur.

Aku berhenti menatap kamar Disya ketika ibu memanggil dan menyuruhku untuk

masuk.

Kutapaki langkah demi langkah anak tangga menuju kamar, dan langsung mendekati

jendela begitu aku sampai. Melongok ke arah kamar Disya untuk mencari tahu apa yang

sedang dilakukan gadis itu.

Samar-samar kudengar tawa renyah dari dalam kamar, suara tawa Disya, aku

mengenalnya.

Sedang menertawakan apa dia? Aku mempertajam pendengaranku untuk dapat

mendengar dengan lebih jelas, dia sedang mengobrol, dan menyebutkan nama Tristan.

Seketika itu aku menebak kalau Disya sedang mengobrol dengan laki-laki itu melalui

telepon.

Aku menghela napas sejenak, lalu menutup jendela kamarku dengan lemas.

Page 63: CINTA DALAM TELEPON KALENG - Memikirkan Katagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/CINTA... · 2020. 4. 1. · “Silakan duduk, saya panggil suami saya dulu.” Aku sudah

63

KENANGAN

Di Tempat Ini, Masa Lalu Itu Pernah Ada

Pulang ke Purwokerto setelah berbulan-bulan merantau itu rasanya kangen dengan

semua hal di kota tempat kelahiranku ini. Meskipun ini bukan kali pertama aku lama tidak

pulang ke rumah.

Karena itulah kuputuskan mengambil waktu satu hari dalam liburan singkatku untuk

jalan-jalan berkeliling kota, sambil menghilangkan kerinduan akan tempat ini. Walaupun

harus seorang diri, tidak menyurutkan untuk melaksanakan niatku. Sudah aku rencanakan

bahkan sebelum aku pulang.

Purwokerto sangat panas, tapi tetap memberikan kesejukan di dalam hati. Kota yang

dengan semua suasananya akan membuatku merasa nyaman. Di sinilah aku tumbuh, di

sinilah aku menciptakan banyak memori sejak kecil. Purwokerto adalah kota yang penuh oleh

kenangan-kenangan dalam hidupku, baik suka maupun duka.

Tempat pertama yang aku datangi tentu saja SMA asalku dulu, tempat di mana

tercipta banyak kenangan yang sampai sekarang masih membekas di hati. Ketika Tuhan

mempertemukan antara aku dan gadis itu. Cinta pertama yang sempat menciptakan kisah

indah sebelum akhirnya harus berakhir dengan keterpurukanku.

Mungkin hari ini aku akan mengingatnya lagi, seiring langkah kaki yang berjalan

menapaki lorong yang dulu ramai oleh gelak tawa teman-teman sekolahku. Ketika

perjalananku dibalut warna putih abu-abu.

Namanya Renata, gadis manis dengan lesung pipit yang seakan menyempurnakan

senyum miliknya yang manis. Gadis yang menjadi pujaan banyak siswa di sekolah, tapi di

Page 64: CINTA DALAM TELEPON KALENG - Memikirkan Katagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/CINTA... · 2020. 4. 1. · “Silakan duduk, saya panggil suami saya dulu.” Aku sudah

64

antara mereka akulah yang berhasil merebut hatinya. Renata memilihku untuk menjadi

kekasih.

Perjalanan cinta kami begitu indah pada awalnya, menjalani masa-masa bahagia dari

kelas satu sampai menjelang kelulusan kami, tidak sekalipun ada masalah serius yang sampai

merampas kebahagiaanku dengan Renata.

Keceriaan, canda tawa, dan gurauan akan tercipta ketika kami bersama. Aku selalu

berusaha membuatnya nyaman di sampingku. Perhatian tidak pernah kurang aku berikan,

tindakan dan kata-kata romantis untuknya sudah seperti hal wajib untuk aku berikan.

Aku memang sangat mencintai Renata. Pada akhirnya aku yang harus terpuruk,

meratapi kepergiannya yang tidak pernah aku duga. Renata meninggal lima hari sebelum

pengumuman kelulusan kami. Dia mengalami kecelakan saat hendak kembali dari

liburannya.

Kuhembuskan napas dengan berat sambil meletakkan pantat pada bangku semen di

salah satu sudut sekolah, dengan berpayung pohon mangga di atasnya. Suasana sudah sepi

karena sekolah memang sudah berakhir sejak dua jam yang lalu. Aku sengaja mencari waktu

sore hari ketika suasana sudah sepi dan tidak banyak kegiatan yang terjadi di tempat ini.

Yang kuinginkan adalah ketenangan untuk menikmati kenanganku, dan kenangan tentang

Renata tentu saja.

Kutatap salah satu ruang kelas di lantai dua, kelas tempat dulu aku pernah duduk di

dalamnya dan mendengarkan guru memberi pelajaran atau bercanda bersama teman-temanku.

Tidur di dalam kelas adalah hal yang lumrah untuk dilakukan, meskipun pada akhirnya tetap

mendapat teguran dari guru. Warna putih abu-abu yang sangat menyenangkan, dan tidak akan

terulang sampai kapan pun.

Tatapanku berpindah ke ruang kelas yang lain, seketika bayangan Renata langsung

terbentuk di kedua pupilku. Di depan kelas itulah aku selalu menjemputnya saat istirahat,

maupun ketika hendak pulang bersama. Hatiku mencelos, kembali merasakan perih yang

tidak pernah hilang selama bertahun-tahun, meskipun aku sudah berusaha untuk tidak

merasakannya.

Aku berdiri, melangkah pelan untuk menyusuri setiap sudut sekolah yang dulu pernah

terisi oleh senyumku dan senyum Renata. Ruang perpustakaan, tempat kami berdua sering

menghabiskan waktu, tidak luput dari pandanganku. Atau gudang yang sekarang sudah

beralih fungsi menjadi sebuah kelas. Di sinilah dulu ciuman pertama itu terjadi, antara aku

dan Renata. Yang tentu saja kami melakukannya dengan sembunyi-sembunyi.

Page 65: CINTA DALAM TELEPON KALENG - Memikirkan Katagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/CINTA... · 2020. 4. 1. · “Silakan duduk, saya panggil suami saya dulu.” Aku sudah

65

Rindu ini sangat menyiksaku, Renata. Bagaimana bisa aku mengobati kerinduan ini

jika kamu tidak pernah datang untuk menemuiku?

Sudah berkali-kali pertanyaan itu melintas dalam benakku setiap kali aku teringat

sosok Renata, gadis yang membuatku tergila-gila. Seseorang yang telah menumbuhkan cinta

di dalam hatiku, tapi telah lebih dulu pergi sebelum kami berhasil mewujudkan semua impian

yang sering aku angan-angankan bersamanya.

Aku kembali duduk di pinggir lapangan basket. Dengan lantai semen yang sudah

mengelupas di sebagian tempatnya. Kenapa ada Renata pada setiap sudut sekolah ini?

Kenapa seakan bayangan gadis itu muncul setiap kali aku melangkahkan kaki, kenapa aku

tidak bisa menghilangkannya?

Tidak adakah cara supaya aku bisa melupakan kerinduan ini? Tidak adakah cara agar

aku bisa menghilangkan luka ini tanpa harus melupakan Renata?

Kuhembuskan sekali lagi helaan napasku dengan berat. Aku berdiri dari dudukku,

menatap ruang kelas itu sekali lagi lalu melangkahkan kaki meninggalkan area sekolah yang

penuh dengan bayangan Renata ini.

“Dari mana, Kak?”

Rayhan menyambut ketika aku baru saja sampai di teras rumah. Adikku sedang

bermain gitar yang aku hadiahkan kepadanya saat ulang tahun ketiga belas. Dia duduk di

kursi rotan, di teras rumah kami.

Aku duduk di hadapannya, “Biasa, muter-muter Purwokerto. Mumpung lagi pulang.”

“Kok nggak ngajak aku? Kan lebih enak dari pada sendirian.”

“Kamu kan sekolah tadi, lagian aku memang sengaja pergi sendirian biar bebas ke

mana-mana,” jawabku sambil tersenyum.

“Gimana, udah mahir main gitarnya?”

“Hahaha, kalau sekadar genjrang-genjreng aja bisa, Kak.”

“Yang giat kalau latihan, biar bisa jadi musisi hebat.”

Rayhan tersenyum kecut, “Bisa aja kamu, Kak. Bisa lancar main gitar aja udah seneng

kok. Nggak harus jadi musisi andal.”

Page 66: CINTA DALAM TELEPON KALENG - Memikirkan Katagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/CINTA... · 2020. 4. 1. · “Silakan duduk, saya panggil suami saya dulu.” Aku sudah

66

Aku tertawa mendengar jawaban Rayhan, “Kan nggak ada yang tahu masa depan kita

itu kayak gimana.”

Rayhan menyandarkan gitarnya pada kursi kosong di sebelah kami. Lalu mengangkat

secangkir kopi yang masih mengeluarkan asap dari atas meja dan meminumnya dengan

perlahan.

“Ya tapi realistis lah, Kak. Aku kenal gitar aja baru, mana bisa jadi musisi hebat. Jelas

butuh bertahun-tahun latihan untuk menjadi maestro gitar. Ada-ada aja kakak ini.”

“Iya, sih. Eh, ngomong-ngomong, kamu udah punya pacar belum?” Kucoba mencari

topik baru untuk mengobrol dengan adikku. Dia justru tertawa kecil sekarang

“Belum pengen, Kak. Aku masih ingin sendiri kayak gini. Bebas, santai. Belum ingin

direpotkan sama yang namanya asmara.”

“Dari mana kamu tahu kalau asmara itu merepotkan? Padahal pacaran aja belum

pernah, sok tahu banget kamu.”

Rayhan menggaruk-garuk sisi keningnya, tampak berpikir untuk menjawab

argumenku. Aku jelas menang, karena dibandingkan dengannya aku jauh lebih

berpengalaman untuk masalah yang satu ini. Senyumku merekah ketika Rayhan tidak

kunjung mengeluarkan kata-kata.

“Makanya, kalau belum pernah ngerasain itu jangan sok tahu. Selama kamu berpikir

seperti itu tentang cewek, terus kapan kamu akan punya pacar? Wanita itu nggak pernah

merepotkan, Rayhan. Itu karena cowoknya yang ngerasa nggak ingin diganggu saat pacarnya

minta ini itu, padahal sebenarnya permintaannya sepele.”

Rayhan mendengarkan penuturanku tanpa menyela, dia terlihat sedang menyimpulkan

sendiri apa yang baru saja aku jelaskan kepadanya. Rayhan, seharusnya dengan paras yang

dia miliki bukan hal yang sulit untuk mendapatkan hati gadis manapun. Tapi kenyataanya dia

masih terlalu lugu untuk masalah ini.

“Bagaimana dengan Disya?” Aku tidak dapat menyembunyikan senyumku saat

bertanya.

“Maksudnya?”

“Selama bertahun-tahun mengenal Disya, apa kamu tidak punya perasaan apa-apa

kepadanya?”

“Apalagi sama dia, gadis itu benar-benar sering merepotkan. Aku dan Disya nyaman

seperti ini saja, nggak lebih dari sekadar sahabat. Dan lagi, Disya sedang dekat sama orang

lain sekarang.”

Aku sedikit terkejut mendengarnya, “Oh, ya?! Siapa?”

Page 67: CINTA DALAM TELEPON KALENG - Memikirkan Katagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/CINTA... · 2020. 4. 1. · “Silakan duduk, saya panggil suami saya dulu.” Aku sudah

67

“Kakak kelasku. Tristan namanya.”

“Oh. Kamu sih, nggak gerak cepat, kalah sama orang lain kan jadinya.”

“Kalau dia udah punya pacar, seenggaknya Disya tidak akan membuatku repot lagi

setiap hari nantinya.”

Aku tersenyum, kalimat itu entah kenapa terdengar dipaksakan. Seperti bukan sesuatu

yang sebenarnya diinginkan oleh Rayhan, atau mungkin itu sekadar perasaanku saja.

Entahlah.

“Asal kamu tidak menyesalinya saja nanti.” Pesanku sembari menepuk pundaknya

dan melangkah masuk. Aku tahu mata Rayhan mengekor langkah kakiku, mungkin dia

kurang paham dengan ucapan terakhirku tadi.

Benar Rayhan, semoga kelak kamu tidak menyesalinya.

SENYUM MILIK POPI

Aku Menemukan Senyuman yang Sama dari Dua Orang yang Berbeda

“Rayhan, tungguin dong!”

Aku membalikkan badan ketika teriakan Disya terdengar cukup keras, padahal kami

hanya berjarak sekitar lima meter saja. Langsung kujitak kepalanya dengan pelan saat gadis

itu sudah menyejajarkan langkah.

“Nggak usah teriak-teriak kenapa, sih! Ini sekolahan bukan hutan!”

“Habis kamu jalannya cepet banget kayak dukun beranak. Kan aku udah bilang,

tungguin. Eh kamu malah ngeloyor aja.”

“Kamu beresin buku aja lama banget, aku udah kelaperan.” Sanggahku sambil terus

melangkah menuju kantin. Perutku sudah keroncongan karena tadi pagi tidak sempat sarapan.

“Laperan banget sih kamu, dasar cowok gembul!” Disya menepuk perutku pelan,

matanya melirik dengan raut mencela. Dan mulutnya tertawa renyah. Gadis ini memang

paling senang kalau menghinaku.

“Bagaimana hubunganmu sama Tristan? Tampaknya kalian semakin sering pergi

berdua.” Kulirik wajah Disya yang kini sedang tersenyum, langkahnya berubah riang setelah

mendengar pertanyaanku.

“So far so good.”

“Tapi tenang aja, aku tidak akan buru-buru seperti dulu. Sebelum aku tahu lebih

banyak tentang Kak Tristan,” ucapnya dengan penuh kemantapan.

Page 68: CINTA DALAM TELEPON KALENG - Memikirkan Katagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/CINTA... · 2020. 4. 1. · “Silakan duduk, saya panggil suami saya dulu.” Aku sudah

68

“Iya, jangan sampai aku menjemputmu di alun-alun dengan kondisi menangis lagi

seperti dulu! Dasar cengeng!”

“Aah, Rayhan. Jangan diungkit-ungkit lagi dong, malu tahu!”

Kami berdua sampai di dalam kantin yang sudah ramai oleh murid-murid lain, Disya

menarik tanganku menuju salah satu meja yang kosong dan duduk di tempat itu.

“Aku mau pesen dulu, kamu makan apa?”

“Emm, batagor aja. Pake ketupat, ya. Terus es teh tawar juga.”

Aku mengacungkan jempol, lalu beranjak memesan makanan untuk kami berdua.

Suasana istirahat membuat kantin ramai oleh siswa yang juga sedang membeli makanan

untuk mengisi perut mereka. Aku menunggu cukup lama sebelum akhirnya mendapatkan

pesananku dan berjalan kembali ke meja.

Langkahku sempat terhenti saat melihat Disya sedang tertawa, Tristan berada di kursi

yang semula aku duduki. Aku menghela napas, kulanjutkan langkah menuju tempat mereka.

“Hei, Kak Tristan!” Aku menyapa laki-laki itu sembari meletakkan nampan di meja.

Senyum kaku tercipta di bibirku. Disya tampak langsung mengambil batagor miliknya.

“Eh, sori-sori. Silakan duduk.” Tristan berdiri dan menyuruhku untuk menempati

kursi itu kembali. “Aku balik kelas dulu, ya,” pamitnya kemudian.

Aku dan Disya mengangguk bersamaan. Tatapan Disya masih mengikuti langkah

laki-laki itu sampai beberapa detik. Aku menjatuhkan pantat di kursi, mencoba untuk tidak

memikirkan apa yang baru saja kulihat. Lebih tepatnya, mencoba untuk tidak merasakan

cemburu yang sedang muncul dalam hatiku.

“Aku akan pergi lagi sama dia nanti. Kak Tristan memintaku untuk menemaninya

menjenguk teman yang sakit.”

Tiba-tiba Disya mengatakan itu kepadaku. Aku tetap menikmati makanan di

hadapanku yang entah kenapa rasanya menjadi hambar. Ke mana hilangnya rasa lapar yang

sejak tadi pagi mengganggu konsentrasi?

“Ya, tidak masalah.”

“Dan setelah itu mungkin kami akan jalan-jalan sebentar. Sekadar untuk makan es

krim,” lanjutnya.

“Sepertinya, sebentar lagi bakalan ada yang jadian, nih.” Tawa kecil terdengar dari

mulut Disya setelah aku mengatakannya.

“Belum tentu juga, Rayhan. Sampai sekarang aku masih menganggapnya hanya

sebatas teman kok. Bisa saja kan bakalan seperti ini terus.”

“Dan nggak menutup kemungkinan juga kalian saling jatuh cinta?” Sambarku.

Page 69: CINTA DALAM TELEPON KALENG - Memikirkan Katagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/CINTA... · 2020. 4. 1. · “Silakan duduk, saya panggil suami saya dulu.” Aku sudah

69

Gadis di hadapanku ini mengangguk, “Biarkan berjalan sewajarnya saja. Aku nggak

mau menyimpulkan apa-apa dulu sekarang.”

Meskipun pelan, aku menghela napas dengan cukup berat. Gadis ini pasti akan sibuk

dengan teman barunya itu, biarlah saja. Toh aku masih bisa menemuinya setiap aku mau

karena rumah kami bersebelahan. Atau setidaknya, karena kami satu kelas.

Makanan yang seharusnya mengganti sarapanku masih tersisa beberapa suap ketika

bel masuk terdengar di setiap sudut sekolah. Menyuruh kami untuk kembali masuk ke dalam

kelas dan kembali menerima pelajaran yang diberikan oleh guru. Aku dan Disya berjalan

dengan suasana hati yang mungkin kontras. Disya berbunga-bunga, dan aku masih dengan

rasa cemburuku.

Mataku menatap kaleng yang biasanya aku jadikan alat untuk bercanda dengan Disya melalui

kamar kami masing-masing. Kaleng ini sudah begitu jarang digunakan, penampilannya sudah

sedikit berkarat. Kalau sudah seperti ini, biasanya Disya akan merengek minta untuk diganti

dengan kaleng baru yang lebih bersih. Tetapi kali ini mungkin Disya belum sempat untuk

melakukannya.

Ah, kenapa harus menunggunya untuk meminta, mungkin aku bisa menggantinya

sekarang juga.

Kusambar kunci motor yang tergeletak di meja belajar dan meraih jaket kulit dari

belakang pintu kamar. Aku melangkah menuruni anak tangga, berniat membeli kaleng bekas

yang masih bersih dari pasar, tempat biasa aku membelinya.

“Mau ke mana, Rayhan?” Suara ibu sempat menghentikan langkahku.

“Keluar sebentar, Bu. Nyari kaleng.”

“Jangan lama-lama, sebentar lagi kan Maghrib. Ibu ingin makan malam bersama,

mumpung Kakakmu masih di rumah. Besok kan dia berangkat ke Semarang lagi.”

“Iya, Bu.” Kucium kedua pipi ibu, lalu bergegas menuju motor.

Hari sudah sedikit sore, semoga toko-toko di pasar belum tutup semua. Kupacu laju

sepeda motor cepat agar bisa sampai pasar dengan segera.

“Mau beli kaleng lagi, Mas?” Sambut pemilik warung ketika aku sudah berada di

dalam.

Page 70: CINTA DALAM TELEPON KALENG - Memikirkan Katagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/CINTA... · 2020. 4. 1. · “Silakan duduk, saya panggil suami saya dulu.” Aku sudah

70

“Iya, Bu. Yang kemarin sudah karatan,”

Aku menyambut plastik hitam yang berisi dua kaleng bekas dari pemilik warung,

memberikan beberapa lembar uang dan melangkah keluar warung. Namun, tanpa sengaja aku

menabrak seseorang yang berjalan dari arah lain, membuatku terkejut ketika melihat

sosoknya. Aku mengenalnya, kami satu sekolah walaupun tidak satu kelas. Seorang gadis

yang aku tahu bernama Popi.

“Popi, ngapain kamu di sini?”

“Ini warung Ibuku. Aku hendak membantunya menutup warung.”

Tawa kecil tercipta dari mulutku, “Begitu, ya? Padahal aku sering membeli kaleng di

sini, tapi tidak pernah melihatmu. Baru tahu aku.”

“Kaleng buat apa?”

Sejenak kugaruk kulit kepalaku, mencari jawaban tepat untuk pertanyaan yang

diajukan Popi.

“Buat iseng-iseng aja, sih.” Entah kenapa jawaban itu keluar dari mulutku.

Kulihat Popi menganggukan kepala, walaupun aku yakin gadis ini belum benar-benar

mengerti alasanku membeli kaleng. Kami terdiam beberapa saat, aku mencoba berpikir untuk

mencari topik pembicaraan yang lain.

“Ngobrol di sana dulu, yuk!” Ajakku kemudian.

Popi mengangguk, meminta izin kepada ibunya sebelum membuntutiku menuju

pedagang es di depan toko.

“Jadi, kamu sering beli kaleng di toko Ibuku cuma untuk iseng-iseng?”

Aku tertawa renyah, “Nggak juga. Sebenarnya gini, kamu tahu Disya, kan?”

“Jelaslah, cewek yang selalu bareng kamu itu.”

Aku mengangguk, “Nah, aku mengenalnya sejak kecil karena rumah kami

bersebelahan. Dan, sejak kecil kami sering berbicara melalui telepon kaleng. Itu bertahan

sampai sekarang.” Tawaku kembali terdengar setelah selesai menjelaskan, begitu juga dengan

Popi yang saat ini ikut tertawa.

“Dasar, aneh-aneh saja kalian. Ada gitu orang yang punya kebiasaan seperti itu, sejak

kecil pula.”

Menyenangkan juga tawa yang kudengar dari bibir Popi ini. Berbeda dengan yang

sering aku dengar dari Disya. Namun, harus kuakui, keduanya sama-sama memiliki tawa

yang enak untuk didengar.

“Begitulah kenyataannya,”

Tawa Popi sedikit demi sedikit mereda, “Kamu sama Disya pacaran, ya?”

Page 71: CINTA DALAM TELEPON KALENG - Memikirkan Katagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/CINTA... · 2020. 4. 1. · “Silakan duduk, saya panggil suami saya dulu.” Aku sudah

71

Aku tersedak jus jambu yang sedang kuminum, “Nggak, kami hanya bersahabat sejak

kecil.”

“Habis, banyak teman sekolah kita yang ngira kayak gitu. Kalian emang deket banget

sih, jadi kelihatan seperti orang yang lagi pacaran. Sampai-sampai banyak murid-murid

cewek yang cemburu sama Disya.”

Bibirku menciptakan senyum kembali, “Kayak yang aku bilang tadi, aku sama Disya

udah sahabatan sejak kecil. Jadinya ya emang deket, udah kayak kakak adik malah. Jangan

heran kalau melihat kami di sekolah kayak gitu. Aku mah belum punya pacar.”

“Oh, ya ya ya. Jadi yang semua orang kira selama ini itu salah, kamu sama Disya

nggak pacaran.”

“Yap.”

“Bakalan pada seneng nih cewek-cewek di sekolah kita kalau tahu kamu nggak punya

pacar.”

“Termasuk kamu?”

Wajah Popi memerah sekarang, dia menunduk, membuatku tersenyum simpul.

“Udah sore nih, aku pulang dulu, ya. Ini biar aku aja yang bayar, sebagai terima

kasihku karena sudah ditemenin ngobrol.”

Popi seakan hendak mencegah. Namun, saat melihatku menyodorkan uang kepada

penjual, dia urung untuk melakukannya. Kami saling berpamitan dan melempar senyum,

sebelum akhirnya aku meninggalkan tempat itu.

Senyum di bibirku ini belum hilang walaupun laju motor sudah membawaku

melintasi jalanan, jauh dari warung milik Keluarga Popi.

Page 72: CINTA DALAM TELEPON KALENG - Memikirkan Katagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/CINTA... · 2020. 4. 1. · “Silakan duduk, saya panggil suami saya dulu.” Aku sudah

72

BETTER THAN LOVE

Selamanya Hanya akan Menjadi Sahabat

Aku masih menikmati es krim pemberian Kak Tristan sambil duduk di atas kap mobil,

memandang hamparan sawah berwarna hijau yang tergelar tepat di hadapan mataku.

Semburat senja berwarna jingga tampak menghiasi langit, begitu kontras dengan warna

tanaman padi yang mungkin belum lama ditanam oleh para petani. Seiring dengan redupnya

sang matahari yang sudah hampir sepenuhnya tenggelam. Terasa begitu indah lukisan Sang

Pencipta sore ini.

Sejak pulang sekolah aku dan Kak Tristan menghabiskan waktu berdua. Pergi ke

tempat wisata Baturraden, melihat keindahan alamnya yang benar-benar memukau. Udara

yang sangat sejuk karena berada tepat di bawah kaki Gunung Slamet, ditambah aliran sungai

yang memiliki air sedingin es. Segar, sangat segar, membuatku betah berlama-lama

mencelupkan kaki di sana. Juga mata air panas pancuran tujuh yang mengandung belerang,

benar-benar alami.

Kujilat lelehan krim coklat yang mengalir di pergelangan tangan. Sudah beberapa

menit aku menunggu Kak Tristan yang berada di toilet pom bensin di seberang jalan. Seorang

diri menunggunya sampai es krim milikku sudah hampir habis, tapi dia tidak kunjung

kembali dan sedikit membuatku jengah.

Tadi, Kak Tristan sempat mengeluhkan rasa sakit, dan dia tidak langsung menjawab

ketika aku menanyakan bagian mana yang sakit. Kak Tristan justru pamit menuju toilet,

mungkin hanya mengalami sakit perut biasa.

Page 73: CINTA DALAM TELEPON KALENG - Memikirkan Katagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/CINTA... · 2020. 4. 1. · “Silakan duduk, saya panggil suami saya dulu.” Aku sudah

73

“Maaf ya, kamu jadi nungguin lama. Sedikit diare, nih.” Tiba-tiba suara laki-laki itu

sudah terdengar di sebelahku, membuatku sedikit melonjak karena kaget.

“Bikin kaget aja, Kak. Ayo, cari obat buat diare kalau gitu!”

“Eh, nggak usah. Di rumah juga ada kok, ngapain beli lagi.”

Aku mengangguk dan tersenyum, “Pulang, yuk! Sudah hampir malam, nanti

dimarahin Ibu kalau pulang terlalu malam.” Sedikit kutarik ujung lengan Kak Tristan menuju

pintu mobil. Cowok itu terlihat tersenyum.

“Iya, iya. Ayo, kita pulang!”

Kami menyusuri jalanan yang cukup sepi. Pergantian waktu menuju malam hari

membuat aktivitas orang-orang mulai jarang terlihat, hanya beberapa orang saja yang tampak

masih berada di jalan. Aku mengamati damainya suasana Purwokerto kala senja seperti ini.

Kami berdua masih terdiam di dalam mobil. Kak Tristan memfokuskan perhatiannya

ke arah jalanan, membuatku merasa sungkan untuk memulai percakapan. Kulemparkan

pandanganku kembali ke luar jendela, sambil sesekali menghela napas.

Kenapa wajah Kak Tristan selalu pucat? Dan aku juga sering mendapati kedua

tangannya gemetar. Bukan hanya tangan, bibirnya pun juga demikian. Aku tahu ada yang

tidak beres, tetapi siapa aku jika menanyakan itu kepadanya. Aku putuskan untuk menyimpan

rasa penasaranku dalam hati saja.

“Apa yang sedang kamu pikirkan, Disya?”

Aku terkesiap, sepertinya desahan napasku terlalu keras sampai dia mendengarnya.

Otakku berpikir untuk mencari alasan yang mungkin bisa kuberikan kepada laki-laki yang

terlihat masih menunggu jawabanku itu. Matanya beberapa kali melirik, membuat semakin

gugup.

“Eh, emm, nggak kok. Cuma sepertinya aku sedang kecapekan, udah ingin mandi

terus tiduran di kamar.” Alasan seadanya yang terlintas begitu saja dalam benakku. Tidak

peduli Kak Tristan akan memercayainya atau tidak.

Kak Tristan tampak terdiam beberapa saat, kebiasaannya jika sedang memikirkan

sesuatu. Kedekatan kami yang sudah terjalin membuatku sedikit demi sedikit mulai bisa

mengenal karakter Kak Tristan. Cowok yang sedikit pendiam dan mempunyai alis tebal ini

tidak terlalu suka keramaian. Dia lebih sering mengajakku ke tempat-tempat yang tidak

terlalu banyak didatangi orang atau setidaknya tidak terlalu bising oleh percakapan orang-

orang di sekitarnya.

“Oh, iya.” Refleks tanganku menyalakan radio tape yang ada di mobil Kak Tristan.

Aku ingat kalau hari ini jadwal Rayhan siaran.

Page 74: CINTA DALAM TELEPON KALENG - Memikirkan Katagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/CINTA... · 2020. 4. 1. · “Silakan duduk, saya panggil suami saya dulu.” Aku sudah

74

“Ada apa emangnya?” Kak Tristan tentu saja heran melihatku langsung menyalakan

radio, bahkan tidak meminta izin terlebih dulu kepadanya. Takut ketinggalan siaran Rayhan

membuatku lupa meminta izin, aku merasa tidak enak sekarang.

“Emm, hari ini jadwalnya Rayhan siaran.”

“Oh, pantas saja kamu buru-buru seperti itu.”

“Maaf, seharusnya aku meminta izin kepadamu.” Kutunjukkan wajah menyesal agar

Kak Tristan tahu aku tidak sengaja tadi.

Dia tersenyum, “Nggak apa-apa kok, santai aja lah.”

Suara Rayhan masih terdengar memandu acara di radio, membuatku bernapas lega

karena masih sempat mendengarkan dirinya siaran. Ah, apa kabar anak itu? Rasanya sudah

beberapa hari aku tidak menghabiskan waktu bersamanya. Pikiranku memikirkan Rayhan

sekarang.

“Kamu menyukai Rayhan?”

Pertanyaan Kak Tristan mengembalikan isi otakku ke dalam mobil. Aku sempat lupa

kalau sedang bersamanya sekarang. Bagaimana menjawab pertanyaan itu? Aku menyukai

Rayhan? Entahlah, aku tidak tahu perasaan ini juga dirasakan oleh Rayhan atau tidak. Iya,

aku menyukainya, itu jawaban untuk pertanyaanmu, Kak Tristan.

“Seharusnya ada yang memulai. Perasaan itu harus diungkapkan, Disya. Tidak baik

kalau memendam cinta.”

Padahal belum juga jawaban itu terlontar dari mulutku, tetapi kenapa Kak Tristan bisa

berkata seperti itu? Apa dia bisa membaca wajahku, atau memang tergambar jelas di kedua

mataku? Sampai-sampai laki-laki di sebelahku ini bisa mengetahuinya.

“Mungkin Rayhan juga menyukaimu.”

Kupalingkan wajahku untuk menatap mata Kak Tristan dengan lebih dalam, aku

menciptakan senyum di bibirku. Kemudian menggeleng.

“Aku dan Rayhan selamanya akan tetap sebatas sahabat,” ucapku penuh keyakinan.

Kak Tristan hanya membalasnya dengan senyuman. Suara sahabatku itu masih terus

terdengar sepanjang perjalanan kami, aku menyandarkan kepala di jok mobil. Memejamkan

mata dan menghela napas.

Selamanya akan tetap menjadi sahabat, itu pasti yang terbaik.

Page 75: CINTA DALAM TELEPON KALENG - Memikirkan Katagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/CINTA... · 2020. 4. 1. · “Silakan duduk, saya panggil suami saya dulu.” Aku sudah

75

Kulihat kaleng kepunyaanku sudah diganti dengan yang baru. Bibirku tersenyum, pasti

Rayhan yang menggantinya. Aku menyangga tangan di daun jendela, mengintip kamar

sahabat kecilku yang sudah gelap. Mungkin pemuda itu sudah terlelap di tempat tidur.

Biarlah, pasti dia lelah hari ini karena habis siaran, aku menyimpulkan sendiri.

Kualihkan tatapanku untuk memandang langit yang malam ini sedang sepi tanpa

bintang, hanya beberapa saja yang muncul untuk menemani rembulan yang tampak bersinar

malu-malu. Tidak terlalu terang seperti malam-malam sebelumnya. Apa mungkin bulan juga

bisa merasa lelah bersinar sehingga dia memutuskan untuk menyimpan sinarnya malam ini?

Atau mungkin karena mereka tahu aku sedang menikmati malam ini sendirian, tanpa

Rayhan? Tidak ada Rayhan yang biasanya berbicara tanpa henti ketika kami sedang sama-

sama menghabiskan malam, aku berada di daun jendela, dan Rayhan duduk di tepi balkon.

Ah, sepi sekali malam ini. Tanpa bintang dan, Rayhan.

Aku menghembuskan napas pelan.

Kenangan itu melintas begitu saja. Entah kenapa aku teringat saat pertama kali datang

ke kota ini beberapa tahun yang lalu, mengenal Keluarga Rayhan. Bagaimana dinginnya

sikap anak itu waktu menyambutku, sampai akhirnya dia mau menerimaku sebagai teman.

Dulu, aku dan Rayhan sering bermain bersama di halaman belakang rumah. Ah, sudah lama

sekali pemuda itu tidak mengajakku. Rasa rindu sekarang muncul menembus dinding hatiku.

Rindu akan keceriaan bersamanya.

Apa yang terjadi terhadap kami sebenarnya, sampai-sampai aku merasa tidak lagi

sedekat dulu dengan Rayhan? Apa kedewasaan membuat jalan pikiran kami berubah? Kalau

seperti itu, aku lebih memilih untuk tidak dewasa, biarkan kami tetap menjadi anak-anak saja.

Asalkan aku tetap bisa berlama-lama menghabiskan waktu dengannya.

Pertanyaan Kak Tristan tadi sore benar, seharusnya ada yang memulai terlebih

dahulu. Apa harus aku yang memulai? Bagaimana caranya? Rayhan memang bukan cowok

yang peka. Lagipula, bagaimana bisa dia menyadari perasaanku kalau aku pun berusaha

mencegah agar dia tidak mengetahuinya.

Namun, bagaimana jika ternyata Rayhan tidak memiliki perasaan yang sama seperti

yang kurasakan? Bisa-bisa itu akan membuat persahabatanku dengannya menjadi berubah.

Ah, semua benar-benar membuatku sakit kepala.

Rayhan, maaf. Aku mengkhianati persahabatan kita. Aku, menyayangimu.

Sejenak kulemparkan pandanganku kembali menatap langit yang semakin pekat,

bulan telah hilang tertutup awan. Kuputuskan untuk menyudahi saja malam ini. Menutup

Page 76: CINTA DALAM TELEPON KALENG - Memikirkan Katagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/CINTA... · 2020. 4. 1. · “Silakan duduk, saya panggil suami saya dulu.” Aku sudah

76

jendela, melangkah ke atas ranjang dan berpetualang di alam mimpi adalah keputusan

terbaik.

HATI YANG LAIN

Tidak Ada Salahnya, Mencoba Membuka Hati untuk Orang Lain

Aku berada di perpustakaan sekolah bersama, Popi. Yap, akhir-akhir ini aku lebih

sering bersamanya jika di sekolah. Tidak seperti biasanya ada Disya di sampingku. Biarkan

saja, toh dia pasti sedang bersama Tristan sekarang. Tentu saja tidak salah kalau aku juga

memilih untuk bersama Popi, kan?

“Hei, lihat. Sekarang gadis-gadis di sekolah ini ganti menatapku dengan galak karena

kedekatan kita,” Popi mengatakannya, lebih seperti berbisik tentu saja. Karena kami sedang

berada di perpustakaan.

“Ah, cuekin aja! Anggep aja kamu putri kecantikan yang membuat mereka iri.”

“Tapi tetap nggak nyaman, Rayhan!”

“Terus gimana? Apa kita nggak usah dekat-dekat?”

Kulihat wajah Popi menunjukkan mimik menolak setelah mendengar usulku. Dia

menggeleng cepat-cepat, wajahnya seakan berharap aku tidak melakukan apa yang baru saja

kukatakan.

“Ya udah, toh kamu nggak melakukan kesalahan apa-apa, kenapa harus merasa nggak

nyaman? Disya aja bisa kok bersikap biasa aja.”

Entah kenapa aku merasa bicaraku sedikit keterlaluan. Popi tertunduk di depanku

sekarang. Membuatku merasa tidak enak. Aku meletakkan telapak tangan di atas kepala Popi,

lalu mengacak-acak rambutnya. Popi mengangkat wajah, langsung kuberikan senyuman saat

itu juga kepadanya.

“Nanti pulang sekolah kita main, yuk! Kamu pengen ke mana?”

Page 77: CINTA DALAM TELEPON KALENG - Memikirkan Katagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/CINTA... · 2020. 4. 1. · “Silakan duduk, saya panggil suami saya dulu.” Aku sudah

77

Wajah Popi antusias menanggapi ajakanku, masam yang tadi dia tunjukkan telah

berganti menjadi sebuah senyuman. Membuatku dapat bernapas lega. Sifat ini tidak jauh

berbeda dengan Disya, sama-sama mudah untuk kembali ceria.

“Bagaimana kalau main Timezone?”

Tanpa pikir panjang aku langsung menyetujui usulan gadis berkacamata ini. “Siip.

Habis itu sekalian makan, ya?”

Mata Popi semakin berbinar, dia menganggukan kepala dengan mantap. Aku

tersenyum, dan kembali mengacak-acak rambutnya yang lembut. Membuat Popi harus

kembali menata rambut yang sekarang berantakan akibat ulahku. Namun, hal itu tidak

menghilangkan senyum di bibirnya.

Aku kembali teringat dengan rencanaku dulu, mencoba untuk membuka hati kepada

gadis selain Disya. Ah, mungkin saja Popi adalah gadis yang tepat. Dia tidak kalah

menyenangkan seperti Disya.

“Eh, tapi bagaimana dengan Disya? Dia pulang sama siapa nanti?”

Pertanyaan Popi mengingatkan aku tentang gadis itu. Kami masih berangkat bersama

tadi. Benar juga, dengan siapa Disya akan pulang nanti? Namun, pertanyaan itu hanya

terbersit beberapa detik, karena aku teringat sosok Tristan yang pasti bersedia mengantarkan

Disya.

“Tenang, Disya bisa pulang sendiri kok.”

“Yakin?”

“Iya.” Kupaksakan senyum di bibirku untuk meyakinkan Popi agar dia tidak usah

memikirkan Disya. Berhasil memang, gadis itu kembali asyik dengan buku bacaan yang sejak

tadi terabaikan karena percakapan kami.

Diam-diam aku memejamkan mata, benarkah yang sedang aku lakukan sekarang?

Bagaimana cara untuk memulai cinta terhadap gadis ini? Lantas, apa yang harus aku lakukan

kalau aku bisa mencintai Popi? Pikiranku benar-benar serba salah, bingung terhadap diriku

sendiri.

Popi menatapku lagi sembari tersenyum, wajahnya benar-benar menunjukkan

keceriaan. Senyuman yang ditunjukkan oleh orang yang berbeda, tapi memiliki rasa yang

sama. Senyuman Popi dan senyuman Disya sama-sama menghadirkan ketenangan bagi orang

yang melihatnya, terutama bagiku.

Bel sekolah berbunyi, membuat kami harus mengakhiri aktivitas membaca buku, atau

lebih tepatnya aku hanya sekadar menemani Popi membaca buku karena sejak tadi hanya

membolak-balik halaman tanpa membaca satu huruf pun dari buku yang kupegang.

Page 78: CINTA DALAM TELEPON KALENG - Memikirkan Katagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/CINTA... · 2020. 4. 1. · “Silakan duduk, saya panggil suami saya dulu.” Aku sudah

78

“Dari mana?” Pertanyaan itu sama-sama terucap dari bibirku dan Disya ketika kami bertemu

di bangku kelas. Membuat kami tersenyum canggung.

“Emm, kamu duluan!” Aku mempersilakan Disya menjawab terlebih dahulu.

“Biasa, dari kantin. Aku nggak lihat kamu di sana tadi, ke mana?”

“Perpustakaan.”

Aku melihat satu alis Disya terangkat, “Tumben? Lagi ada angin apa sampai kesasar

di perpustakaan?”

Aku tertawa kaku, entah kenapa sejak tadi hanya ada rasa canggung yang tercipta di

antara aku dan Disya. Tidak pernah seperti ini sebelumnya.

“Emm... Popi yang mengajakku ke sana tadi.”

Lagi-lagi kulihat raut terkejut dari wajah Disya. “Popi?”

Percakapan kami sempat terhenti beberapa saat karena Bu Mariana, guru IPS kami

memasuki kelas. Membuat suasana yang semula gaduh tersihir oleh kedatangan beliau.

Semua siswa duduk di tempatnya masing-masing dengan keadaan tenang dan siap menerima

materi pelajaran yang akan diberikan.

“Iya, Popi anak kelas dua IPA dua. Kenal, kan?” Lanjutku setengah berbisik, sambil

melirik penuh waspada kepada guru yang saat ini terlihat sedang menyiapkan buku-buku

pelajaran.

Disya mengangguk, “Iya.”

“Sekarang aku lagi deket sama dia,” tuturku dengan jujur.

Senyum itu, walaupun masih tetap menenangkan tetapi kali ini terasa berbeda sekali,

bukan senyum yang biasa menghiasi bibir Disya. Apa yang terjadi dengan Disya?

Mungkinkah lagi-lagi dia patah hati?

“Akhirnya kamu bisa dekat juga sama cewek, Rayhan. Good job.” Disya

mengacungkan dua jempolnya ke araku.

Aku tertawa kecil, “Iya dong, ntar malah rencananya aku mau main dulu sama dia

pulang sekolah. Kamu pulang sama Tristan lagi, kan?”

Page 79: CINTA DALAM TELEPON KALENG - Memikirkan Katagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/CINTA... · 2020. 4. 1. · “Silakan duduk, saya panggil suami saya dulu.” Aku sudah

79

Disya mengangguk setelah terlihat berpikir beberapa saat, “Iya, aku akan pulang

bareng Kak Tristan lagi nanti. Kamu tenang aja, sudah lama aku ingin melihatmu dekat sama

cewek lain. Akhirnya sekarang terwujud juga.”

“Hahaha, ada-ada saja kamu. Aku kan baru masa penjajakan, sama seperti kamu

dengan Tristan, semua masih belum pasti. Iya, kan?”

“Iya, memang. Tapi ini tetap saja sebuah peningkatan di dalam hidupmu. Udah ah,

aku mau dengerin penjelasan Bu Mariana dulu.”

“Ini, ini. Aku mau main yang ini.”

Popi menunjuk ke sebuah mesin di Timezone yang berupa permainan untuk memukul

lampu-lampu berbentuk semut yang akan menyala secara acak menggunakan palu karet. Aku

menggesek kartu Timezone di mesin untuk mulai bermain. Beberapa kali Popi memukulkan

palu karet itu pada semut yang menyala, sedangkan aku menggunakan telapak tangan untuk

memukulnya. Terkadang, tanpa sengaja Popi justru memukul tanganku karena target kami

ternyata sama. Membuat kami tertawa riang bersamaan.

Aku menarik beberapa lembar kupon yang keluar dari mesin Timezone setelah waktu

bermain kami habis. Kini Popi memintaku untuk berpindah pada mesin yang lain, dari satu

permainan ke permainan yang lain. Sampai tidak terasa saldo dalam kartuku telah habis.

Kulihat Popi menampakkan wajah kecewa.

“Aku isi saldo lagi aja, ya?” Tidak tega juga memandang wajah kecewa gadis ini.

“Eh, nggak usah, boros itu namanya. Aku sudah puas banget kok.”

“Beneran?”

Popi mengangguk mantap.

“Ya udah, kita tukerin kuponnya, yuk. Kamu aja yang milih mau dituker sama apa.”

Aku menarik tangannya dengan lembut.

Popi tampak memilih-milih sesuatu yang akan ditukarkan dengan kupon yang kami

dapatkan dari bermain Timezone tadi. Sampai akhirnya dia menjatuhkan pilihan kepada satu

boneka beruang berukuran agak besar, menurutku. Seperti boneka yang ada di kamar Disya,

batinku menebak.

Popi terus memeluk boneka itu dengan wajahnya yang ceria sampai kami tiba di

sebuah restoran fast food yang terletak beberapa meter di sebelah tempat kami bermain

Timezone tadi.

Page 80: CINTA DALAM TELEPON KALENG - Memikirkan Katagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/CINTA... · 2020. 4. 1. · “Silakan duduk, saya panggil suami saya dulu.” Aku sudah

80

Langkah kami disambut oleh sebuah lagu yang sudah sangat familiar bagi telingaku

ketika kami berdua masuk ke dalam restoran tersebut. Seseorang sering bernyanyi lagu yang

sama, yang saat ini sedang diputar di dalam tempat ini. Membuatku tanpa sadar tersenyum

sendiri.

“Suka Sheila On 7?” Pertanyaan Popi tidak lantas membuat senyum di bibirku

menghilang.

“Bukan aku, tapi Disya,” jawabku sambil berdiri mengantre untuk memesan. Popi

berdiri di sampingku.

“Oh.”

“Disya sangat suka Sheila On 7. Dia punya album lengkap dari yang pertama sampai

yang paling baru. Terus lagunya juga hafal semua, sampai-sampai tiap hari nyanyinya lagu

Sheila. Emang fanatik tuh anak.” Aku menjelaskan dengan penuh antusias, meskipun kulihat

Popi hanya tersenyum menanggapinya.

“Belum lagi poster-poster yang hampir nutupin dinding kamarnya. Yang paling

banyak posternya si Duta. Pokoknya pernak pernik tentang Sheila udah lengkap dia.” Tanpa

sadar aku terus bercerita mengenai Disya kepada Popi. Sampai akhirnya tiba giliran kami

untuk memesan.

“Kok diem?” Kami berjalan menuju salah satu meja yang terdapat di sudut dalam

restoran itu. Aku melihat Popi murung.

“Hah, eh, nggak kok. Aku lagi dengerin ceritamu tentang Disya, kayaknya kamu

semangat banget. Makanya aku nggak berani nyela.”

“Memang begitu, Disya tuh gadis yang konyol dan sedikit menyebalkan.”

“Sayangnya Disya nggak ikut kita sekarang.”

Aku langsung menyadari kebodohanku setelah mendengar penuturan Popi. Kalimat

tadi seperti sebuah sindiran bagiku yang terus-menerus membicarakan tentang Disya, terang

saja Popi jadi murung seperti itu. Bodoh, bodoh, bodoh. Aku mengutuk diriku sendiri yang

tidak bisa peka dengan keadaan.

“Kalau kamu, sukanya sama band apa?” Aku segera mengusir kecanggungan yang

aku buat sendiri.

“Kalau aku orangnya easy, musik apa aja bisa aku nikmati. Asalkan enak di dengar.

Kamu kan orang radio pasti paham lah.”

“Iya, aku ngerti. Kamu termasuk orang yang bisa menerima aliran musik apa aja, dari

yang teriak-teriak seperti metal, underground, punk. Sampai yang berirama pelan seperti

keroncong atau campur sari sekalipun, kan?”

Page 81: CINTA DALAM TELEPON KALENG - Memikirkan Katagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/CINTA... · 2020. 4. 1. · “Silakan duduk, saya panggil suami saya dulu.” Aku sudah

81

Popi mengangguk dan tersenyum, “Tepat. Seratus buat kamu!” Dia mengacungkan

jempol tangannya.

Cepat sekali anak ini berubah ceria kembali. Sifatnya benar-benar sama persis dengan

Disya yang tidak suka berlama-lama dalam kesedihan. Sama-sama tipe orang yang bisa

mengatur emosi jiwanya agar cepat kembali stabil. Popi sering mengingatkan aku kepada

Disya. Itu adalah salah satu alasan aku nyaman berada di dekatnya. Alasan yang sampai

kapan pun tidak akan aku katakan kepada Popi.

Kami terdiam sejenak, aku menikmati santapan yang kini hanya tinggal tersisa

setengahnya. Sedangkan milik Popi kulihat masih banyak yang belum dimakan. Gadis ini

rupanya cukup lama ketika menikmati makan.

“Kamu masih sering main telepon kaleng sama Disya?” Pertanyaan yang tiba-tiba

keluar dari mulut Popi membuatku terkejut. Aku tidak pernah menduga Popi akan

menanyakan apa pun yang berhubungan dengan Disya.

“Nggak, sudah lama kami tidak melakukannya. Bahkan sejak kita bertemu waktu aku

membeli kaleng baru di toko Ibumu dulu, kami belum menyentuhnya sampai sekarang,”

jawabku sambil tersenyum kecut.

“Kenapa?”

“Yang jelas karena kesibukan kami yang sekarang sudah berbeda. Disya sering pergi

sama kakak kelas kita, Tristan. Aku juga sering siaran. Kadang Disya di rumah, aku ada

jadwal siaran, saat aku libur, gantian Disya yang nggak di rumah.”

“Ada yang kurang?”

“Maksudmu?”

Popi menyeruput minuman bersoda dari gelasnya, “Kamu ngerasa ada yang kurang

sejak kalian lama tidak melakukan itu?”

“Ya, nggak juga, sih.” Aku bingung untuk menjawabnya. “Toh aku dan Disya bukan

anak kecil lagi yang menganggap telepon kaleng adalah sesuatu yang benar-benar istimewa.

Jalan pikiranku sudah beda sekarang, mungkin begitu juga dengan Disya.”

“Lantas, kenapa kamu masih beli kaleng baru waktu itu?”

Skakmat, pertanyaan Popi tepat sekali untuk membuatku bungkam sekarang. Tidak

ada jawaban tepat, meskipun aku sudah memikirkannya bermenit-menit, aku tidak dapat

menemukan alasan. Hanya diam yang kuberikan kepada Popi, yang saat ini sedang tersenyum

di hadapanku.

Page 82: CINTA DALAM TELEPON KALENG - Memikirkan Katagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/CINTA... · 2020. 4. 1. · “Silakan duduk, saya panggil suami saya dulu.” Aku sudah

82

“Tenang saja, Rayhan. Kamu tidak perlu panik seperti itu. Aku hanya sekadar

bertanya kok, nggak harus dijawab.” Gadis itu tersenyum penuh pengertian yang justru

membuatku merasa tidak nyaman.

CINCIN DALAM BUKU

Sekali Lagi Cinta Menunjukkan Jalannya

Bu Ratna sedang menerangkan pelajaran Matematika di depan kelas. Sejak 45 menit

yang lalu guru wanita itu terus berbicara tanpa henti, suasana kelas sukses dibuat tenang

olehnya. Sedikit saja berbuat gaduh maka keluar dari kelas adalah hukuman yang akan

diberikan. Karena rasa takut atas ancaman, kami semua hening di bangku masing-masing.

Aku mendengarkan penjelasan beliau tanpa minat. Matematika bukanlah pelajaran

yang aku sukai, tidak sama sekali. Sejak tadi mulutku sudah berkali-kali menguap karena aku

memang terserang rasa kantuk. Bagaimana tidak, hanya mendengarkan orang berbicara tanpa

ada timbal balik, jelas itu adalah pengantar tidur yang paling baik. Terlebih ini adalah jam

terakhir, saat di mana semua tenaga dan pikiran sudah terkuras habis setelah mendapatkan

begitu banyak materi sejak pukul 7 pagi.

Kulirik Rayhan yang juga sedang memasang wajah suntuk di bangkunya, aku

menendang kakinya pelan. Pemuda itu langsung menoleh dengan wajah yang membuatku

hampir tertawa keras. Matanya terlihat memerah, dan kelopaknya sudah tertutup setengah.

Beruntung aku masih bisa menahannya.

“Ada apa?”

Aku sedikit melirik ke arah Bu Ratna, tampak beliau masih berbicara dan melihat ke

arah lain.

“Minta minyak kayu putihmu,”

Page 83: CINTA DALAM TELEPON KALENG - Memikirkan Katagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/CINTA... · 2020. 4. 1. · “Silakan duduk, saya panggil suami saya dulu.” Aku sudah

83

Dengan malas Rayhan membuka ritsleting tas dan menggeledah isinya, mencari

barang yang baru saja aku sebutkan tadi. Rayhan mengeluarkan botol itu dan menyerahkan

kepadaku.

“Buat apa?” Tanya Rayhan pelan, seakan jika aku tidak menjawabnya pun bukan

sebuah masalah.

“Terapi ngantuk,” jawabku asal.

Rayhan masih mengamati ketika aku meneteskan beberapa kali cairan minyak kayu

putih ke telapak tangan, lalu menciumnya dalam-dalam. Kesegarannya berhasil mengurangi

rasa kantuk yang sejak tadi menyerang. Aroma ini, sama dengan aroma yang menempel pada

tubuh Rayhan. Cowok itu tidak pernah bau parfum, lebih sering aroma minyak kayu putih

yang menempel pada dirinya.

“Bagaimana?” Rayhan terlihat penasaran.

Aku tersenyum dan mengacungkan jempol tanganku, “Berhasil, aku udah nggak

begitu ngantuk.”

“Sini aku juga mau nyoba!” Rayhan merebut botol minyak kayu putih dari

genggamanku, kemudian melakukan hal yang serupa. Seketika wajahnya yang sejak tadi

terlihat ngantuk berubah cerah kembali. Aku tersenyum melihat tingkahnya.

“Selama ini, kenapa aku nggak pernah kepikiran kalau minyak kayu putih bisa

menjadi obat yang ampuh saat pelajaran seperti ini, ya?”

“Wuu, payah. Padahal kamu setiap hari membawanya,”

“Ehem…” Sontak aku menoleh ke arah Bu Ratna yang sedang menatap kami berdua

dengan tajam. Wajahnya seakan mengeluarkan aura hitam yang menakutkan. Menyihirku

untuk langsung menunduk.

“Disya, kamu mendengarkan apa yang baru saja Ibu jelaskan?” Pertanyaan itu lebih

terdengar seperti ujian akhir semester buatku. Aku tahu sekarang setiap pasang mata di dalam

kelas ini sedang menatapku dengan berbagai ekspresi.”

“I, iya, Bu,” jawabku lemah.

“Kalau begitu coba jelaskan apa itu reaksi perkalian matriks?”

Aku mematung di tempatku, sementara Bu Ratna masih menunggu jawaban dengan

tatapan mata seperti harimau yang siap menerkam mangsanya. Aku menyerah, sama sekali

tidak tahu jawaban untuk pertanyaan yang baru saja diajukan kepadaku.

“Maaf, Bu. Saya tidak mendengarkan pada bagian itu.”

Page 84: CINTA DALAM TELEPON KALENG - Memikirkan Katagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/CINTA... · 2020. 4. 1. · “Silakan duduk, saya panggil suami saya dulu.” Aku sudah

84

Sontak semua kelas, kecuali Rayhan tentu saja, menyorakiku dengan penuh semangat.

Mungkin mereka berpikir ini adalah kesempatan yang baik untuk menghilangkan rasa bosan

mereka karena harus mendengarkan materi ketika jam terakhir. Aku merutuk dalam hati.

“Rayhan, coba kamu yang jawab! Kalau tidak bisa, kalian akan Ibu hukum!”

Bu Ratna beralih kepada sahabatku itu. Aku berani bertaruh kalau dia pun tidak bisa

menjawab. Meskipun aku tetap berharap dia bisa menjawabnya agar kami terhindar dari

hukuman.

Rayhan menjawab dengan begitu lancar, membuatku takjub. Dari mana dia tahu

tentang materi itu? Pandanganku beralih kepada Bu Ratna yang tampak puas dengan jawaban

Rayhan, beliau menopangkan dagu kepada tangannya sendiri.

“Lumayan, kalian bebas dari hukuman. Tapi lain kali, jangan diulangi!”

Serempak aku dan Rayhan mengangguk, “Iya, Bu.”

Aku menceritakan kejadian saat jam pelajaran terakhir tadi kepada Kak Tristan yang

sekarang justru sedang menertawai kekonyolan yang aku lakukan. Kami sedang berada di

dalam mobil setelah pulang sekolah. Aku mengajak Kak Tristan untuk mampir ke toko buku

terlebih dahulu sebelum menuju rumah.

“Kamu itu, ada-ada aja kelakuannya.” Kak Tristan masih dengan tawanya.

“Asli tadi aku sempet takut banget. Wajahnya Bu Ratna tuh seremnya minta ampun,

beneran.”

Kak Tristan tertawa semakin keras mendengar kalimatku, aku melihat beberapa kali

dia menyusut air mata menggunakan punggung tangannya. Meskipun begitu, dia tetap

dengan lincah mengemudikan laju mobil untuk menembus keramaian jalan yang dipenuhi

oleh kendaraan-kendaraan lain.

“Barang kali sedang PMS mungkin, jadinya wajah Bu Ratna seperti itu.” Aku masih

belum puas untuk membicarakan guruku itu, ada sedikit rasa jengkel yang belum hilang

setelah aku dibuat malu di dalam kelas tadi.

“Huusst, udah ah! Kok malah ngomongin dia terus, nggak baik!” Kak Tristan

mencoba untuk mengingatkanku.

“Kamu mau beli apa, sih? Kok tumben minta ke toko buku segala.”

“Beli buku, dong. Masa iya mau beli obat nyamuk.”

Page 85: CINTA DALAM TELEPON KALENG - Memikirkan Katagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/CINTA... · 2020. 4. 1. · “Silakan duduk, saya panggil suami saya dulu.” Aku sudah

85

“Maksudku mau beli buku apa, Disya cantik.”

“Ada buku baru yang mau aku beli, udah lama sebenarnya mau beli. Tapi baru ada

uang hari ini.”

Kak Tristan berhasil memarkirkan mobilnya dengan sempurna. Dia mengajakku turun

dan menapaki eskalator untuk menuju toko buku yang berada di lantai dua. Suasana di dalam

toko buku tidak terlalu ramai, hanya beberapa pengunjung yang tampak sedang asyik

membaca.

Aku bergegas menuju rak tempat buku yang akan kubeli diletakkan, mataku awas

mencari. Pandanganku naik turun, bergeser ke kiri dan ke kanan, tapi tidak berhasil aku

temukan.

“Ada?” Tanya Kak Tristan yang sejak tadi berdiri di sampingku.

Aku menggeleng, “Perasaan, waktu itu aku lihat di sini.”

“Udah dipindah tempat mungkin. Sebentar aku tanyain dulu.”

Aku mengangguk, membiarkan Kak Tristan berjalan menghampiri seorang pegawai

toko buku, dengan seragam hitamnya. Keduanya terlihat bercakap-cakap sebelum berjalan

menuju bagian informasi. Sampai di situ aku cukup bingung, kenapa pula harus ke bagian

informasi? Namun buru-buru kualihkan pandangan, kembali sibuk mencari buku yang sudah

lama ingin aku beli itu. Namun, tetap tidak kutemukan meskipun sudah berkali-kali

mencarinya.

“Nih.” Tiba-tiba tangan Kak Tristan menyodorkan sebuah buku yang sejak tadi aku

cari-cari. Dengan wajah berseri-seri aku menerima buku tersebut dari tangan Kak Tristan.

“Tinggal satu, itu juga udah dibuka plastiknya,” lanjutnya.

“Nggak apa-apa deh, yang penting masih kebagian. Makasih, Kak.”

Kak Tristan mengangguk. Aku menggenggam erat seakan buku itu adalah barang

yang sangat berharga, sampai tanganku merasakan ada bagian yang aneh di dalam buku, pada

tengah-tengahnya tampak terganjal oleh sesuatu. Aku membuka pada bagian itu, wajahku

terbelalak ketika aku mendapati sebuah cincin berada di dalamnya.

Sementara itu dari speaker, sebuah lagu dari Sheila on 7 dengan tiba-tiba mengalun,

menggema di setiap sudut toko buku.

Sadarkah kau kusayangi, sadar kau untukmu kubernyanyi

Terbacakah niat tulus ini, degup jantung kian terbisik

Kadang kata tak berarti, kalau hanya kan sakiti

Diam bukanlah tak ingin, degup jantung kian terbisik

Page 86: CINTA DALAM TELEPON KALENG - Memikirkan Katagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/CINTA... · 2020. 4. 1. · “Silakan duduk, saya panggil suami saya dulu.” Aku sudah

86

Tanda cinta yang bersemi

“Kok ada cincinnya, ya?” Aku bertanya heran kepada Kak Tristan yang juga terlihat

heran.

“Iya, ya, dari mana cincin itu?” Kak Tristan justru balik bertanya.

“Mungkin punya salah satu karyawan di sini, Kak. Biar aku kembalikan.” Aku

hendak melangkah, tapi tangan Kak Tristan langsung menggenggam pergelanganku,

menghentikan langkahku.

“Cincin itu buat kamu, Disya,” ujar Kak Tristan dengan bersungguh-sungguh.

“Maksudnya?”

“Aku sayang sama kamu, aku ingin kamu jadi pacarku. Kalau kamu bersedia,

pakailah cincin itu,”

Aku yang kan mencintaimu, aku yang kan s’lalu mendampingimu

Bila bahagia yang akan kau tuju

Bila butuh cahaya tuk menemanimu

Pilihlah aku

Suara merdu Duta masih terdengar dari speaker di toko buku, menjadi latar dari

mulutku yang terdiam, bungkam. Aku melihat ketulusan dari mata Kak Tristan sewaktu

mengucapkannya, aku bisa merasakan keseriusan. Wajahku mungkin telah memerah

sekarang, benar-benar tidak menduganya.

“Bagaimana, Disya?”

Aku mengembalikan cincin itu kepada Kak Tristan, membuatnya tampak terkejut.

Wajahnya terlihat kecewa sekarang.

“Pakaikan cincin itu di jari manisku, Kak. Aku mau jadi pacarmu.”

Senyum mengembang pada bibirnya sekarang, tanpa ragu dia memasang cincin itu di

jari manisku. Cincin pemberian Kak Tristan begitu indah, aku menyukainya. Serta

kebahagiaan yang kurasakan sekarang, senyum yang kulihat dari bibir Kak Tristan. Saat ini,

kami bergandengan menuju pintu keluar toko setelah sebelumnya membayar buku.

Jangan sempatkan berlalu, kalau karyaku yang kau tunggu

Jangan hanya aku yang tahu, aku cinta padamu

Mohon warnai jiwaku Pilihlah Aku

Sheila On 7

Page 87: CINTA DALAM TELEPON KALENG - Memikirkan Katagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/CINTA... · 2020. 4. 1. · “Silakan duduk, saya panggil suami saya dulu.” Aku sudah

87

Maukah hidup bersamaku

MEMILIHMU

Percayakan Perasaanmu Padaku, akan Kujaga Semampuku

“Aku jadian sama Kak Tristan.”

Pengakuan Disya yang disertai dengan wajah berseri-seri itu cukup untuk

menghilangkan semangatku mengikuti pelajaran hari ini. Aku harus tetap tersenyum

meskipun ada pilu yang tiba-tiba terasa.

“Selamat, ya.”

“Iya, Rayhan, terima kasih. Kamu ikut bahagia, kan?”

“Tentu saja aku bahagia karena aku tidak perlu khawatir akan terus-terusan dibuat

repot olehmu. Sudah ada Tristan sekarang.”

Jam pelajaran sudah dimulai sejak 10 menit yang lalu, tetapi belum ada tanda-tanda

kedatangan Pak Daryono, guru Sejarah yang akan mengajar pada jam pertama di kelas kami.

Dasar, coba saja murid yang terlambat seperti itu, pasti sudah mendapat ceramah dan

wejangan yang dapat membuat telinga memerah.

“Kak Tristan menyatakan cintanya dengan cara yang romantis, menurutku,” Disya

masih terus mengucapkan kalimat yang semakin membuyarkan semangatku.

Aku berdiri, mengeluarkan kedua kaki keluar dari sela-sela antara bangku dan meja.

“Mau ke mana? Ceritaku belum selesai, Rayhan.”

Page 88: CINTA DALAM TELEPON KALENG - Memikirkan Katagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/CINTA... · 2020. 4. 1. · “Silakan duduk, saya panggil suami saya dulu.” Aku sudah

88

“Keluar sebentar, Pak Daryono juga nggak datang-datang.”

Kulangkahkan kaki keluar kelas, berjalan di lorong sekolah yang sepi, lalu menuruni

anak tangga yang juga tidak ada orang selain aku. Suara-suara guru terdengar dari dalam

kelas sedang menerangkan materi pelajaran kepada siswa. Aku masih melangkahkan kaki

menuju UKS, tiduran di ruangan itu pasti bukan ide yang buruk sekarang.

Namun, langkahku berhenti sebelum aku sampai, kedua mataku menangkap sosok

Popi yang tampak asyik menikmati siomay di kantin. Pakaian olahraga menggantikan

seragam pramuka yang wajib dipakai pada hari Jumat dan Sabtu. Aku mengurungkan niat

menuju UKS, lebih memilih untuk mendekati Popi yang langsung sadar dengan kehadiranku.

“Kok di sini?” Popi langsung menyambutku dengan mengajukan pertanyaan itu, aku

duduk di seberang meja. Berhadapan dengannya.

“Pelajaran kosong, tadinya mau ke UKS buat tiduran. Eh, malah ketemu kamu,”

jawabku seraya merebut sendok dari tangan Popi, lalu menyuapkan satu potong siomay ke

mulutku.

“Kamu sendiri, kenapa ada di sini?”

Popi menenggak air mineral dari botol, dia mengelap sudut bibirnya yang sedikit

basah dengan punggung tangan, “Olahraganya renang. Aku nggak bisa ikut karena ini hari

pertamaku.”

Aku sempat berpikir sejenak sebelum akhirnya mengerti dengan apa yang dimaksud

hari pertama oleh Popi. Membuatku tersenyum, Popi mengucapkan itu seakan tanpa beban.

Padahal dia berbicara dengan seorang cowok.

“Kamu udah lama di sini sendirian?”

“Lumayan, cukup untuk menghabiskan satu porsi siomay. Itu seharusnya porsi

keduaku,” jawab Popi sambil menunjuk piring siomay yang kini beralih di bawah

kekuasaanku.

Aku sedikit tersedak, beruntung Popi buru-buru menyodorkan botol air mineral yang

sejak tadi berada dalam genggaman tangannya. Aku langsung menenggak air mineral itu

sampai habis.

“Gila kamu, makan siomay sampai 2 porsi?” Aku berdecak heran.

“Satu setengah, karena yang setengah lagi sedang kamu makan.” Ralat Popi sambil

tersenyum simpul. Dia masih menatapku yang kembali asyik melahap siomay sisa miliknya.

“Kenapa?”

“Wajahmu tidak tampan, tetapi juga tidak membosankan,”

Page 89: CINTA DALAM TELEPON KALENG - Memikirkan Katagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/CINTA... · 2020. 4. 1. · “Silakan duduk, saya panggil suami saya dulu.” Aku sudah

89

Tawa meledak begitu saja ketika aku mendengar penilaian jujur tentangku dari Popi.

Gadis ini benar-benar jujur, atau polos sebenarnya? Dia selalu mengatakan begitu saja apa

yang ada dalam pikirannya, tanpa berpikir bagaimana reaksi dari orang yang diajak bicara.

Beruntung aku sudah cukup hafal sifatnya itu.

“Wajahmu menyebalkan,” aku membalas omongan Popi dengan bercanda.

Gadis itu langsung menjulurkan lidah dilanjut dengan memasang wajah cemberut.

Membuat tawa dari bibirku semakin renyah terdengar. Ah, lupakan saja tentang hubungan

Disya dengan Tristan. Bersama Popi aku juga bisa merasa nyaman.

“Eh, nanti aku antar pulang, ya. Mau?”

Popi mengangguk cepat, senyumnya semakin lebar terlihat.

“Kamu mau jadi pacar aku?” Pertanyaan itu terlontar begitu saja dari mulutku.

Sementara di hadapanku, Popi terlihat sedang mencoba percaya dengan apa yang baru

saja dia dengar. Wajahnya menunjukkan itu. Sudah telanjur, aku tidak akan menarik kata-

kataku lagi.

Kami baru saja sampai di depan gerbang rumahnya.

“Kamu serius?”

Aku mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan Popi, “Aku nyaman saat di

dekatmu, aku bisa tertawa, aku bisa tersenyum, dan aku yakin aku bisa bahagia bersamamu.”

Gadis itu menggigit bibir bawahnya, tampak sedang menimbang. Aku tersenyum,

menunggu dengan sabar. Kami sedang berada di depan pintu gerbang rumah gadis ini, aku

baru saja mengantarnya pulang.

“Iya, aku mau,” jawab Popi akhirnya.

Kulihat wajahnya yang berseri-seri, aku tahu dia bahagia sekarang. Kedua matanya

berbinar, semakin menambah keindahan yang memang sudah ada. Popi cantik, aku

mengakuinya, hanya saja perasaan ini belum sepenuhnya bisa aku berikan kepada Popi.

Masih ada tempat dalam hatiku untuk, Disya.

“Makasih ya, udah ngasih aku kesempatan.” Aku meraih kedua tangan mungil Popi

ke dalam genggamanku, kuberikan senyum untuk meyakinkannya.

Popi meraih wajahku, mengusapnya dengan lembut beberapa kali. Membuatku

sempat merasakan kenyamanan yang belum pernah kurasakan, aku menikmatinya.

“Aku sayang sama kamu,” ujarnya dengan lirih, membuat rasa bersalah langsung

memenuhi hatiku dengan seketika.

Page 90: CINTA DALAM TELEPON KALENG - Memikirkan Katagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/CINTA... · 2020. 4. 1. · “Silakan duduk, saya panggil suami saya dulu.” Aku sudah

90

“Begitu juga denganku, Popi. Aku menyayangimu.” Meskipun tidak sepenuh hati,

tapi aku berharap ucapanku barusan akan menjadi kenyataan suatu saat nanti. Semoga.

“Ya udah, aku pulang dulu. Udah sore.”

Popi mengangguk, dia memberikan senyumnya yang selalu membuat aku betah untuk

menatapnya lama-lama. Kulajukan sepeda motor untuk meninggalkan Popi di depan pintu

gerbang rumahnya. Ada perasaan menyesal yang tiba-tiba menghampiri, apakah benar yang

aku lakukan? Atau, ini hanya pelarianku saja karena Disya lebih dulu berpacaran dengan

Tristan?

Aku menyatakan sesuatu yang sebenarnya tidak ingin kukatakan, sesuatu yang belum

benar-benar aku rasakan kehadirannya. Belum ada cinta untuk Popi, hanya sekadar perasaan

nyaman. Itu saja, tidak lebih. Dan sekarang semua sudah telanjur. Aku tidak akan sampai hati

untuk menyakiti hati gadis yang baru saja aku antar pulang itu. Aku tidak sejahat itu.

Hati dan pikiranku berkecamuk memikirkannya. Sekarang aku sudah berpacaran

dengan Popi. Roda-roda sepeda motorku terus berputar, mengantarku menyusuri jalanan

aspal menuju rumah dengan membawa berbagai pertanyaan yang tidak bisa kutemukan

jawabannya. Aku mendesah pelan, membuang semua beban yang sekarang memenuhi hati.

Popi, aku harap aku tidak akan pernah menyakitimu.

Page 91: CINTA DALAM TELEPON KALENG - Memikirkan Katagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/CINTA... · 2020. 4. 1. · “Silakan duduk, saya panggil suami saya dulu.” Aku sudah

91

RAHASIA TRISTAN

Sesuatu yang Mengecewakan Terjadi Sekali Lagi dalam Hidupku

Hari Minggu siang, tidak seperti biasanya aku habiskan untuk tidur seharian,

kenyataannya sekarang aku sedang sibuk memilih baju yang akan kupakai untuk menghadiri

acara ulang tahun mama Kak Tristan nanti sore. Kemarin Kak Tristan berpesan kepadaku

agar tampil secantik mungkin karena akan menjadikan aku pasangan pestanya nanti. Sudah

banyak gaun yang keluar dari lemari pakaian dan kini tergeletak begitu saja di atas tempat

tidur.

“Masya Allah, Disya. Kenapa sampai berantakan seperti itu?” Mama yang tiba-tiba

muncul dari balik pintu menatapku dengan wajah galaknya, aku hanya tersenyum simpul.

“Mama, bantuin memilih gaun yang cocok untuk dipakai Disya, dong!” Setengah

merajuk kutarik tangan mama untuk ikut memilih baju bersamaku.

“Memangnya kamu mau ke mana? Ini kenapa sampai dikeluarin semua? Pokoknya

Mama nggak mau tahu, nanti kamu harus beresin lagi!”

“Iya, Ma. Nanti Disya beresin lagi. Tapi bantuin Disya dulu sekarang.”

Aku mengambil satu gaun terusan berwana hitam, menempelkan di badanku dan

menunggu mama untuk memberikan penilaian. Wajahku berubah masam ketika mama

menggelengkan kepala. Lalu tanganku kembali meraih satu gaun, kali ini berwarna krem

Page 92: CINTA DALAM TELEPON KALENG - Memikirkan Katagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/CINTA... · 2020. 4. 1. · “Silakan duduk, saya panggil suami saya dulu.” Aku sudah

92

dengan model bordiran melingkari leher. Mama kembali menggeleng, membuatku

menggaruk sisi kening.

“Terserah mama aja, deh.” Aku merasa jengah karena sudah hampir setengah jam

memilih gaun dan belum menemukan yang akan membuatku tampil cantik nanti. Kujatuhkan

pantat di tepi ranjang dengan wajah yang masam.

“Sayang, yang bikin kamu cantik itu bukan gaun yang akan kamu pakai. Itu hanya

sekadar untuk mendukung penampilanmu saja. Yang lebih utama justru kecantikan hati,

bagaimana perilakumu, dan bagaimana caramu memperlakukan orang lain. Itu akan

membuatmu tidak hanya dipandang cantik oleh orang lain, tetapi akan lebih dari itu.”

Aku mendengarkan penuturan mama yang saat ini sedang duduk di sebelahku,

tangannya yang halus membelai rambutku dengan lembut.

“Pakai ini saja, pasti kamu akan terlihat cantik dan anggun.” Mama menyodorkan

sebuah gaun tanpa lengan berwarna putih kepadaku, gaun yang sebelumnya bahkan tidak aku

coba.

Aku menerimanya, lalu menempelkan di badan. Menatap bayanganku pada cermin,

berputar ke kanan dan kiri, sampai akhirnya aku tersenyum puas. Pilihan mama benar-benar

tepat untukku.

“Makasih, Mama.” Aku memeluk wanita yang selalu memberikan kasih sayangnya

kepadaku itu. Kukecup kedua pipi dan keningnya.

“Ya udah, ayo diberesin lagi! Masukin ke lemari!” Perintah mama seraya memungut

beberapa baju-baju yang berserakan di atas tempat tidur. Aku melakukan hal serupa seperti

beliau.

“Mama jarang lihat kamu pulang sekolah bareng Rayhan sekarang?”

Aku memasukkan baju yang sudah kurapikan ke dalam lemari. “Iya, Ma. Beberapa

minggu ini memang Disya lebih sering pulang bareng temen Disya yang kemarin Disya

kenalkan ke mama itu. Rayhan juga sering ada acara sendiri.”

“Kalian lagi nggak berantem, kan?”

Aku tersenyum mendengar pertanyaan Mama, “Nggak, Mama, aku sama Rayhan lagi

nggak berantem kok.”

Aku melihat Mama seakan tersenyum lega, “Syukurlah kalau begitu.”

“Emang kenapa sih, Ma?”

Mama mengulurkan baju yang sudah dilipat rapi kepadaku, aku menyambutnya dan

memasukkan ke dalam lemari yang tingginya sedikit di atasku itu.

Page 93: CINTA DALAM TELEPON KALENG - Memikirkan Katagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/CINTA... · 2020. 4. 1. · “Silakan duduk, saya panggil suami saya dulu.” Aku sudah

93

“Nggak apa-apa. Kalian kan sudah berteman sejak kecil, ke mana-mana selalu bareng.

Jadinya ya Mama sempat heran waktu Mama lihat kalian jarang menghabiskan waktu

bersama lagi.”

Mama memang benar, dulu aku dan Rayhan hampir setiap detik menghabiskan waktu

bersama-sama. Mengerjakan pekerjaan rumah, bermain di belakang rumahnya, bersepeda

keliling kompleks, atau hanya untuk sekadar mengobrol melalui telepon kaleng. Aku melirik

kaleng yang sudah beberapa hari ini tidak kusentuh, sudah cukup lama sepertinya aku dan

Rayhan tidak melakukan kegiatan yang sudah kami lakukan sejak kecil itu.

Pyuh, aku mendesah pelan saat kurasakan ada jarak yang tercipta antara aku dan

sahabatku itu. Seakan tercipta tembok tinggi di antara kami berdua sekarang. Tembok tinggi

yang tidak terlihat, tapi menjauhkan aku dengan Rayhan.

Tepat pukul 4 sore, Kak Tristan menjemputku menggunakan Toyota Rush putih

miliknya. Aku yang sudah siap sejak lima belas menit yang lalu berpamitan kepada papa dan

mama yang saat itu sedang menonton televisi berdua. Kak Tristan membuka pintu mobil

untukku, aku mengembangkan senyum untuk mengucapkan terima kasih kepadanya.

“Kamu terlihat anggun sekali dengan gaun itu, Disya. Aku yakin nanti kamu akan

menjadi pusat perhatian di pesta.”

Pujian yang diberikan Kak Tristan sontak membuat wajahku berubah merah. Bibirku

menampakkan senyum malu-malu.

“Belum apa-apa udah mulai gombal.” Balasku, mencoba untuk menutupi perasaan

hatiku yang saat ini sudah bersayap, bersiap untuk terbang ke awang-awang.

Kak Tristan tertawa pelan, “Aku serius, kamu memang terlihat lebih cantik hari ini.

Bikin betah yang memandang.”

Cowok ini memang pintar sekali membuatku merasa tersanjung. Aku memukul

lengannya pelan. Kami tertawa di dalam mobil yang membawaku dan Kak Tristan menuju

rumahnya.

“Kak Tristan juga keren kok.” Aku memberikan pujian jujur kepadanya yang saat itu

mengenakan kemeja berwarna abu-abu. Rambutnya yang selalu ditata rapi juga tidak

ketinggalan menunjang penampilan cowok itu. Dan bulu-bulu tipis yang tumbuh di atas bibir

dan di bawah dagu, semakin membuat aura laki-lakinya semakin terpancar.

Page 94: CINTA DALAM TELEPON KALENG - Memikirkan Katagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/CINTA... · 2020. 4. 1. · “Silakan duduk, saya panggil suami saya dulu.” Aku sudah

94

“Kalau begitu, kita serasi dong?” Mungkin Kak Tristan hanya bermaksud bercanda

saat mengucapkan kalimat itu, buktinya dia tertawa renyah saat ini. Membuatku juga ikut

tertawa.

Kami berdua sampai di halaman rumah Kak Tristan yang sudah ramai oleh orang-

orang yang pasti diundang oleh mamanya untuk datang ke pesta. Beberapa dari wajah-wajah

itu pernah kulihat di sekolah. Mereka menatapku dengan berbagai ekspresi, membuatku

sedikit tidak nyaman. Aku hanya mengenal Kak Tristan di tempat ini, yang sekarang sibuk

berbincang dengan tamu-tamu pestanya.

Kak Tristan menarik tanganku untuk masuk ke dalam rumah.

“Kenalin, ini Mama dan Papaku.”

Aku memberikan senyum kepada orangtua Kak Tristan yang saat ini mengenakan

pakaian yang menurutku pasti sangat mewah dan mahal. Mereka menyambutku dengan

hangat, mencium kedua pipiku dengan lembut.

“Selamat ulang tahun, Tante,” ucapku seraya mencium kedua pipi wanita itu sekali

lagi.

“Terima kasih. Cantik sekali kamu, Disya.” Lagi-lagi aku mendengar pujian untukku.

Kali ini keluar dari bibir Tante Selly, Mama Kak Tristan. Om Herman tampak mengangguk

setuju dengan pendapat istrinya.

“Terima kasih, Tante. Tante juga cantik.”

“Ya sudah, ayo langsung dimulai saja acaranya. Sepertinya tamu undangan sudah

datang semua,” Komando Om Herman beberapa detik kemudian. Membuat kami

menurutinya dan melangkah menuju kerumunan tamu.

Om Herman masih memberikan sambutan ketika kulihat wajah Kak Tristan yang

kembali memucat. Bibirnya gemetar, cowok itu terlihat sedang menahan sakit yang luar biasa

sekarang. Berkali-kali mataku menangkap Kak Tristan meremas dengan kuat jemari-jemari

tangannya sendiri. Ada apa dengannya? Aku mulai khawatir dengan kondisinya.

Perlahan, Kak Tristan mulai keluar dari kerumunan tamu untuk meninggalkan pesta

yang belum dimulai. Mataku terus mengikuti arah langkah kaki Kak Tristan yang terlihat

sangat buru-buru. Setelah beberapa detik meragu, aku memutuskan untuk mengikutinya

secara diam-diam. Sampai dia berhenti di sudut rumahnya yang sepi. Mata itu terlihat

memandang sekitar dengan gelisah. Aku masih mengamati dari balik dinding,

menyembunyikan kehadiranku darinya.

Sekarang kulihat Kak Tristan sedang mengikatkan seutas tali ke tangan kirinya, lalu

dia menusukkan jarum suntik. Aku sangat terkejut melihat apa yang sedang dilakukan oleh

Page 95: CINTA DALAM TELEPON KALENG - Memikirkan Katagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/CINTA... · 2020. 4. 1. · “Silakan duduk, saya panggil suami saya dulu.” Aku sudah

95

Kak Tristan di depan mataku. Tanpa terasa air mataku mengalir begitu saja. Aku

membungkam mulutku sendiri, dan berlari meninggalkan tempat itu. Meninggalkan laki-laki

yang saat ini mungkin sedang menikmati pengaruh yang dia rasakan setelah menyuntikkan

cairan haram itu ke tubuhnya sendiri. Rasa kecewa yang begitu besar membuatku tidak ingin

melihatnya dalam kondisi seperti itu.

Aku kembali membaur dengan tamu undangan yang lain, serta merta kuhapus air

mata di pipiku. Bersikap seolah-olah tidak pernah melihat apa-apa. Tante Selly berjalan

menghampiriku. Kupaksakan senyum untuk menyambutnya.

“Tristan ke mana, ya? Kok malah ngilang.”

Aku berpura-pura mengedarkan mataku untuk mencari Kak Tristan di antara tamu,

sedetik kemudian kepalaku menggeleng. “Disya nggak tahu, Tante. Mungkin lagi ke kamar

kecil.” Aku terpaksa berbohong.

“Gimana sih, acara baru dimulai kok malah ngilang? Dasar Tristan.”

Aku hanya membisu, sekuat tenaga menahan perasaan kecewa yang benar-benar

menghancurkan. Kenyataan yang baru saja terlihat memberikan jawaban untuk pertanyaanku

selama ini. Alasan kenapa wajah Tristan terlihat pucat, tangannya selalu gemetar dan sorot

matanya yang sayu.

“Nah, itu dia!” Tante Selly menunjuk ke satu arah, Kak Tristan berjalan mendekati

kami dengan sedikit sempoyongan.

“Dari mana sih, Sayang? Mama cari dari tadi.”

Senyum tipis tercipta dari bibir pucat Kak Tristan. Dia mengulurkan sebuah kotak

kecil dalam genggaman tangannya yang sejak tadi tersembunyi di balik punggung, “Selamat

ulang tahun, Ma,” tuturnya seraya membuka kotak itu.

Sebuah kalung berlian yang terlihat berkilau indah, dan Kak Tristan

mengalungkannya di leher Tante Selly. Kedua mata wanita tua itu berbinar-binar sekarang.

Aku masih menyaksikan kejadian itu dalam diam. Menatap Kak Tristan dengan rasa tidak

percaya akan apa yang sudah aku lihat beberapa menit lalu.

“Terima kasih, Tristan,” Tante Selly tampak sangat bahagia. Kemudian dia mencium

kening dan pipi anaknya berkali-kali.

“Ya sudah, Mama nemenin tamu yang lain dulu, ya.” Tante Selly meninggalkan aku

hanya berdua dengan Kak Tristan.

“Something wrong?”

Page 96: CINTA DALAM TELEPON KALENG - Memikirkan Katagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/CINTA... · 2020. 4. 1. · “Silakan duduk, saya panggil suami saya dulu.” Aku sudah

96

Aku tidak menunjukkan ekspresi apa pun saat mendengar pertanyaan itu, mataku

masih memandang tajam laki-laki yang kini sedang menatapku dengan keningnya yang

berkerut. Rasa kecewa masih begitu besar bersarang di dalam hatiku.

“Aku mau pulang!”

Kak Tristan terlihat tercengang mendengar permintaanku, dia menatap dengan

pandangan tidak percaya.

“Kenapa, Disya? Apa yang terjadi?”

“Aku bilang aku mau pulang! Sekarang!” Mataku yang mulai memanas menatap

tajam ke arah Kak Tristan. Aku melepas cincin dari jari manisku dan melemparkan ke

arahnya.

Di tempatnya, Kak Tristan mematung dengan wajah yang menunjukkan kebingungan.

Aku mendesah, lalu membawa langkahku menuju pintu rumah.

“Tunggu, Disya. Oke kamu pulang, tapi aku anterin, ya.”

“Nggak! Aku nggak mau di anterin sama orang yang abis make!” Suaraku tertahan,

emosi benar-benar telah menguasaiku.

Wajahnya menunjukkan raut panik sekarang, “Kamu?”

“Iya, aku melihat apa yang kamu lakukan di belakang tadi. Aku kecewa sama kamu!

Bener-bener nggak nyangka!” Kulangkahkan kaki secepat mungkin, aku ingin segera

meninggalkan tempat ini. Sebelum air mataku mengalir tanpa bisa kubendung.

“Disya, aku minta maaf. Aku mohon dengerin penjelasanku dulu,” Kak Tristan

menarik tanganku menuju sisi lain rumah. Menghindarkan kami dari pandangan tamu-tamu

pesta.

“Apalagi, Tristan?” Pasti mataku sudah mulai basah sekarang.

“Aku mohon jangan marah sama aku.”

Senyum sinis kuberikan kepadanya. “Marah? Siapa yang marah kepadamu, mana

berhak aku marah. Itu hidupmu, sama sekali bukan urusanku, kan?”

“Lantas kenapa kamu bersikap seperti ini?”

Aku diam, tidak berminat menjawab pertanyaan itu. Kak Tristan duduk pada kursi

kayu bercat putih, wajahnya tertunduk lesu. Dia seperti menunjukkan rasa penyesalan yang

luar biasa dalam. Berkali-kali kudengar desahan napasnya yang berat.

“Orang yang kamu kenal di dalam itu, bukan Papa kandungku. Dia menikahi mama 3

tahun yang lalu setelah mama resmi bercerai dengan Papa kandungku. Aku menjadi pecandu

sejak Papa dan Mama bertengkar setiap hari, membuatku jenuh. Sampai akhirnya aku lari ke

barang itu.”

Page 97: CINTA DALAM TELEPON KALENG - Memikirkan Katagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/CINTA... · 2020. 4. 1. · “Silakan duduk, saya panggil suami saya dulu.” Aku sudah

97

Kulihat matanya berkaca-kaca. Refleks kulemparkan pandanganku ke arah lain,

emosiku sedang tidak ingin mengasihinya.

“Aku terjebak dalam dunia hitam sejak keluargaku berantakan.”

“Itu bukan sebuah alasan. Dan memang nggak pernah ada alasan untuk membenarkan

perbuatanmu,” aku berbicara tanpa menatap lawan bicaraku. Rasa enggan untuk menatapnya

masih menyelimuti hati.

Kudengar Kak Tristan mendesah dengan cukup berat, “Aku tahu, Disya. Aku tahu

banget kalau apa yang aku lakukan itu salah. Hanya saja aku merasakan sakit yang luar biasa

setiap kali mencoba untuk berhenti, aku tersiksa, Disya…” Cowok itu meninju papan

sandaran kursi dengan cukup keras.

“Kalau bisa berhenti, aku ingin sekali berhenti. Tetapi mana bisa kalau aku berusaha

sendiri?”

Hatiku luluh mendengar pengakuannya, aku meletakkan pantatku di sebelahnya.

Mungkin cowok ini justru merasa sangat menderita, aku jahat kalau meninggalkannya

seorang diri sekarang.

“Kalau kamu memang benar-benar ingin berhenti, segera lakukan. Jangan cuma

punya niat tanpa berusaha melakukan apa pun. Dan kalau kamu merasa sendiri, kamu salah

besar, Tristan. Apa kamu tidak menganggap Mama kamu ada? Papa kandung kamu, Papa tiri

kamu, teman-teman kamu. Aku yakin mereka tidak akan meninggalkan kamu selama niat

kamu memang ingin berhenti mengonsumsi barang haram itu.”

Pelan-pelan aku menggenggam jemari Kak Tristan. “Mumpung belum terlambat,

jangan menunggu sampai sesuatu yang buruk terjadi denganmu.” Senyum tulus ini kuberikan

kepadanya. Dengan harapan bisa menyalurkan kekuatan untuk mendorongnya meninggalkan

barang haram yang mungkin sudah lama dia konsumsi.

“Makasih, Disya. Aku janji sama kamu, akan berhenti jadi pecandu.”

Aku menggeleng, “Jangan sama aku, tapi berjanjilah untuk dirimu sendiri. Juga untuk

Mama kamu.” Aku menunjuk dengan mataku ke arah seorang wanita yang sejak tadi

mendengarkan pembicaraanku dan Kak Tristan. Wanita yang saat ini sedang menangis dalam

diamnya.

Kak Tristan tampak terkejut melihat Tante Selly sudah berada di dekatnya. Wajahnya

menunjukkan penyesalan, membuatku juga ikut merasakan kesedihan ketika Kak Tristan

berlari untuk bersimpuh di kaki Tante Selly. Air mataku kubiarkan tetap mengalir, tidak ingin

aku mencegahnya membasahi pipiku.

Page 98: CINTA DALAM TELEPON KALENG - Memikirkan Katagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/CINTA... · 2020. 4. 1. · “Silakan duduk, saya panggil suami saya dulu.” Aku sudah

98

Tante Selly mengangkat tubuh Kak Tristan yang masih bersimpuh, menyuruhnya

berdiri, lalu memeluknya dengan sangat erat. Aku bisa merasakan kasih sayang yang besar

dari Tante Selly untuk putranya itu. Perasaan lega menyentuh dinding hatiku sekarang.

Berusahalah, Tristan.

MENCINTA

Aku Sudah Memberikan Sepenuhnya kepada Popi

Sejak itu, aku tidak pernah lagi melihat wajah Kak Tristan di sekolah, banyak yang

mengatakan kalau dia dan keluarganya pindah ke luar kota. Namun, aku tahu persis di mana

Kak Tristan berada sekarang. Aku adalah satu-satunya orang luar yang ikut mendengarkan

rencana keluarga mereka setelah mengetahui Kak Tristan pecandu narkoba. Tante Selly dan

Om Herman langsung berinisiatif untuk memasukkan Kak Tristan ke tempat rehabilitasi.

Aku adalah orang yang cukup menyayangkan kepergiannya, sebab sebentar lagi Kak

Tristan harus menghadapi Ujian Nasional. Seharusnya sekarang dia sedang mempersiapkan

diri untuk itu. Namun, yang dilakukan oleh Tante Selly juga tepat, ini semua demi kebaikan

Kak Tristan sendiri.

Pyuh, aku menghela napas dalam-dalam dan mengeluarkannya dengan perlahan.

Rayhan juga berkata kalau dia sudah jadian dengan Popi, tidak ada perasaan lain

selain aku ikut bahagia mengetahuinya. Akhirnya, sahabatku itu bisa juga pacaran. Aku

penasaran bagaimana Rayhan menjalani kisah cintanya. Mungkin akan sangat konyol. Dalam

bayanganku pasti dia akan terus-terusan mengeluh karena merasa direpotkan oleh Popi,

seperti yang selalu dia lakukan kepadaku.

Aku kangen Rayhan, entah kenapa sekarang perasaan itu menyeruak begitu saja

mengiringi setiap detak jantungku. Aku merindukan laki-laki itu, laki-laki yang sekarang

telah bahagia bersama orang lain.

Page 99: CINTA DALAM TELEPON KALENG - Memikirkan Katagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/CINTA... · 2020. 4. 1. · “Silakan duduk, saya panggil suami saya dulu.” Aku sudah

99

Aku telah memutuskan untuk tidak pernah mengungkapkan perasaan ini kepadanya,

walaupun sebenarnya aku begitu merindukannya. Aku takut Rayhan akan menjauhiku jika

aku mengatakan yang sebenarnya.

“Hei, ngelamun aja? Mikirin apa sih?” Rayhan mengejutkanku.

Laki-laki ini ada di sebelahku sejak tadi, tetapi entah kenapa tetap tidak dapat

menghilangkan rasa rinduku. Justru membuatku semakin resah.

“Enggak apa-apa, aku hanya masih penasaran bagaimana caramu pacaran

dengan Popi,” kupilih topik itu untuk menyembunyikan yang sebenarnya.

Ku dengar Rayhan mendesis, “Issh, apa menurutmu aku sangat payah dalam

hal asmara?”

“Memang, dan aku tahu kamu itu kaku kalau ada di depan cewek.” Jawabkau

sambil tersenyum usil.

“Kamu cuma belum pernah lihat aku deket sama cewek aja, makannya

pikiranmu seperti itu. Oke lah, ini emang pengalaman pertamaku pacaran tapi jangan

lantas meremehkanku.” Rayhan mengangkat satu alisnya.

Aku tertawa sembari mengacak-acak rambut cowok beralis tebal itu.

“Disya,” Rayhan membuatku mengehentikan tawa. Tatapannya seperti akan

berkata tentang sesuatu yang penting.

“Ya?”

“Eum, tentang kak Tristan, kenapa tiba-tiba dia pindah keluar kota?”

Aku tersenyum untuk menutupi rasa canggungku, “Orang tuanya harus pindah

kantor. Makannya dia juga ikutan pindah.”

“Mendadak sekali, padahal sebentar lagi dia kan ujian. Kenapa dia tidak tinggal

disini sebentar lagi, setidaknya sampai ujian selesei.”

“Mana kutahu, Rayhan. Itu keputusan keluarganya, aku tidak bisa ikut

mengatur.”

“Hubungan kalian?”

Aku menghela napas cukup dalam sebelum menjawab pertanyaan Rayhan, “Ini

pertanyaan terakhir. Aku harap setelah ini tidak ada pertanyaan lagi tentang dia,

oke?”

“Baiklah, aku setuju.” Rayhan mengangguk.

“Kami memutuskan untuk tidak melanjutkan hubungan, yah, bagaimanapun ini

sulit namun tidak ada pilihan lain.”

“Tapi,”

Page 100: CINTA DALAM TELEPON KALENG - Memikirkan Katagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/CINTA... · 2020. 4. 1. · “Silakan duduk, saya panggil suami saya dulu.” Aku sudah

100

“Sudah tidak ada pertanyaan, begitu perjanjiannya.” Aku memotong kalimat

Rayhan sebelum dia bertanya lebih jauh lagi.

Rayhan menggaruk lehernya, tersenyum kecut.

Maaf, Rayhan aku terpaksa membohongimu. Kataku dalam hati.

“Kamu nggak sama Popi?” Aku berusaha mengusir kekakuan yang ada.

“Dia lagi disuruh ngumpulin tugas kelasnya di meja guru.”

Aku mengangguk lemah, pandanganku masih menatap siswa-siswa yang masih asyik

bermain basket di lapangan. Mereka terlihat tetap bersemangat, meskipun saat ini matahari

bersinar cukup terik.

“Oh, iya, Rayhan…”

“Ya?”

“Sekarang kan kamu udah pacaran sama Popi. Emm... kalau misalnya kamu mau

antar jemput dia waktu sekolah, nggak apa-apa kok. Aku bisa berangkat sendiri.” Aku

sungguh-sungguh saat mengatakannya.

“Nggak harus gitu, kok. Aku masih bisa berangkat dan pulang bareng sama kamu,

Popi juga biasa pulang sendirian.”

“Rayhan, kamu harus bisa menjaga perasaan pacarmu. Aku nggak enak kalau

misalnya nanti Popi cemburu karena aku masih berangkat dan pulang bareng kamu.

Seharusnya itu menjadi hak dia sebagai pacar seorang Rayhan.” Kupaksakan senyum

melengkung di bibirku.

Rayhan terlihat tidak suka dengan usulku, tetapi memang seperti itu kenyataannya.

Aku dan Popi sama-sama wanita, yang ingin setiap waktunya dihabiskan dengan orang yang

dikasihi.

“Toh kemarin-kemarin juga seperti itu, kan?”

“Iya. Tetapi kemarin masih ada Tristan yang bisa nganterin kamu pulang.”

“Ada atau nggak ada dia, aku masih bisa pulang, Rayhan. Sekarang sudah beda

keadaannya, kamu sudah ada Popi. Nggak enak rasanya kalau masih seperti biasanya.”

“Terserah kamu aja lah.”

Aku tahu Rayhan pasti kecewa dengan permintaanku, sama halnya dengan yang

kurasakan sekarang. Jauh di dalam hatiku sama sekali tidak menginginkan apa yang baru saja

aku katakan benar-benar terjadi. Aku masih ingin Rayhan menungguku saat berangkat dan

pulang sekolah. Jika aku adalah orang yang egois, hal itu akan kulakukan tanpa memikirkan

perasaan Popi.

“Kamu marah?”

Page 101: CINTA DALAM TELEPON KALENG - Memikirkan Katagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/CINTA... · 2020. 4. 1. · “Silakan duduk, saya panggil suami saya dulu.” Aku sudah

101

“Nggak, siapa juga yang marah?”

“Nah itu, wajahnya manyun gitu. Kalau nggak marah, senyum dong.”

Rayhan memaksakan senyumnya, “Nih senyum,” itu membuatku tertawa gemas. Aku

menjitak kepala Rayhan pelan.

Permintaan Disya yang menyuruhku untuk tidak menunggunya saat berangkat dan

pulang sekolah terpaksa aku turuti. Sebagian dari diriku membenarkan apa yang Disya

katakan tadi. Tetapi, sebagian lagi merasa kalau itu akan berat untuk kulakukan, aku tidak

biasa berangkat dan pulang tanpa Disya di belakang boncengan motorku. Meskipun itu sudah

terjadi beberapa kali waktu Tristan masih bersekolah di sini.

Meskipun secara resmi aku memang sudah berpacaran dengan Popi, hati ini

sepenuhnya masih milik Disya. Tidak tergantikan sampai sekarang, oleh Popi sekalipun yang

saat ini adalah kekasihku. Sampai detik ini aku belum benar-benar bisa sepenuhnya mencintai

gadis berkacamata itu.

“Sayang, kok diam aja?” Popi membuyarkan lamunanku. Aku dan dia sedang

berhenti di sebuah kafe di daerah Unsoed.

“Eh, nggak apa-apa. Enak nggak minumannya?” Buru-buru kuajukan pertanyaan agar

Popi tidak curiga kepadaku.

“Enak kok, butter-nya kerasa banget. Manisnya juga pas.”

Aku tersenyum mendengar jawaban Popi, “Dulu aku dan Disya sering mampir ke sini

habis pulang sekolah,” ucapku tanpa beban.

Popi sempat melirik sebal ke arahku, lagi-lagi aku mengutuk kebodohanku yang tidak

bisa menahan untuk membicarakan Disya di depan Popi. Meskipun jarang ditunjukkan, tetapi

aku tahu kalau gadis ini pasti merasa cemburu jika aku mulai membicarakan tentang Disya.

Aku tidak sengaja, semua keluar begitu saja dari mulutku.

“Eh, sebentar lagi Ulangan Akhir Semester, bagaimana kalau kita sering-sering

belajar bareng? Biar belajarnya makin semangat.”

“Yang ada kita lebih banyak pacarannya dari pada belajar. Tapi, ayo aja!” Lagi-lagi

Popi sudah bisa merubah mood-nya.

“Oke, mulai kapan?”

“Lebih cepat lebih baik,” jawabnya sambil tersenyum manis. Membuatku harus

mengakui kalau senyum itu adalah salah satu yang membuatku memutuskan untuk

menjadikan Popi sebagai kekasih.

Page 102: CINTA DALAM TELEPON KALENG - Memikirkan Katagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/CINTA... · 2020. 4. 1. · “Silakan duduk, saya panggil suami saya dulu.” Aku sudah

102

“Baiklah, bagaimana kalau besok?”

Popi menempelkan ujung jari-jarinya ke pelipis kanannya, “Siap komandan!” Serunya

menirukan gaya hormat.

Aku membelai rambut Popi yang hitam dan sepanjang bahu, kulihat dia begitu

menikmati apa yang sedang kulakukan kepadanya.

Popi... maaf, aku masih berusaha untuk bisa mencintaimu. Berikan aku waktu

sebentar lagi untuk menumbuhkan cinta untukmu.

Page 103: CINTA DALAM TELEPON KALENG - Memikirkan Katagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/CINTA... · 2020. 4. 1. · “Silakan duduk, saya panggil suami saya dulu.” Aku sudah

103

BAB TIGA

Tuhan Selalu Menyiapkan Takdir Cinta yang Indah untuk Semua Manusia

Page 104: CINTA DALAM TELEPON KALENG - Memikirkan Katagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/CINTA... · 2020. 4. 1. · “Silakan duduk, saya panggil suami saya dulu.” Aku sudah

104

KISAH SEMALAM

Semua Perubahan yang Terjadi dalam Hidup Kami

Sudah hampir 5 tahun sejak aku di wisuda oleh universitas tempatku menuntut ilmu.

Kafe milikku di Semarang sudah aku jual untuk modal membuka kafe di Purwokerto. Aku

masih ingin berbisnis di bidang itu, meskipun sempat tidak diizinkan oleh ayah dan ibu.

Mereka ingin aku bekerja di perusahaan ayah. Namun, aku bersikeras, biarlah itu menjadi

bagian Rayhan nanti.

Dan aku harus bersyukur karena usaha itu maju dengan pesat, sudah banyak

pelanggan yang tidak ada habisnya datang setiap hari. Setidaknya aku dapat membuktikan

kepada mereka, bahwa semua usaha ini tidak akan sia-sia. Aku bangga dengan hasil yang aku

dapatkan dari keringatku sendiri.

Banyak yang telah berubah di sekitarku sejak 5 tahun ini. Rayhan, adikku satu-

satunya sudah menjadi seorang mahasiswa semester akhir jurusan Managemen di salah satu

perguruan tinggi di kotaku. Dia sudah tumbuh menjadi laki-laki dewasa dengan setumpuk

kesibukannya sebagai mahasiswa. Terkadang dia juga membantuku bekerja di kafe ketika

mempunyai waktu senggang. Rayhan juga sudah tidak lagi menjadi penyiar radio.

Disya, gadis itu juga sudah menjadi seorang mahasiswi Ekonomi di perguruan tinggi

yang sama seperti Rayhan. Mereka berdua masih tetap menjadi sahabat, meskipun kulihat

sudah tidak sedekat dulu lagi. Aku tidak tahu, ada sesuatu yang membuat Disya menjadi

sedikit menjauh dari Rayhan. Aku sudah sering bertanya kepada keduanya, tetapi mereka

selalu menjawab tidak ada apa-apa di antara mereka.

Mungkin karena sekarang mereka sibuk dengan tugas kuliah mereka masing-masing.

Dan di antara yang tidak berubah, adalah ingatanku tentang Renata. Masih saja aku

terjebak dengan masa laluku. Tidak bisa aku lupakan, meskipun sudah berkali-kali

berpacaran dengan beberapa wanita, tidak ada yang bisa menghilangkan rasa sakit karena

kehilangan sosok Renata.

Page 105: CINTA DALAM TELEPON KALENG - Memikirkan Katagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/CINTA... · 2020. 4. 1. · “Silakan duduk, saya panggil suami saya dulu.” Aku sudah

105

Tidak ada yang bisa membuat rinduku terobati. Tidak ada.

“Ini dipasang di mana, Mas?”

Ridwan, salah seorang karyawan yang aku pekerjakan untuk membantu melayani

pelanggan membuyarkan lamunanku. Dia menunjukkan sebuah poster bergambar pemain-

pemain As Roma, klub bola kesukaanku yang baru aku beli tadi siang.

Aku mengamati dinding-dinding kafe beberapa saat, mencari sudut yang paling bagus

untuk ditempeli poster berukuran besar itu. Kakiku berjalan menuju pintu masuk kafe untuk

semakin memudahkan mengatur sudut pandang, kutopangkan satu tangan di dagu.

“Pasang di situ aja, kayaknya bagus. Jadi setiap tamu yang datang bisa langsung

melihatnya.”

Laki-laki berumur dua puluh lima tahun itu mengangguk dan berjalan menuju tempat

yang aku tunjukkan. Ridwan mulai memakukan gambar itu pada dinding tepat menghadap

pintu masuk, kedua tanganku memegang salah satu sisi poster agar dia tidak mengalami

kesulitan ketika memasangnya. Aku mundur beberapa langkah ketika Ridwan selesai,

senyum puas mengembang di bibirku.

“Apa saya bilang, perfect!” Aku mengacungkan dua jempol ke arah Ridwan yang

juga sedang tersenyum puas.

“Buka kafe sekarang, Mas?”

Aku melihat jam berwarna hitam yang melingkar di pergelangan tangan, pukul 3 lebih

15 menit. Sudah terlambat 15 menit rupanya, biasanya aku membuka kafe tepat pukul 3 sore.

Kembali pandanganku menatap Ridwan yang masih menunggu.

“Iya, memang sudah waktunya. Tolong kamu urus ya, saya mau menyelesaikan

catatan kemarin terlebih dahulu.”

Aku berjalan menuju meja tempatku biasa mencatat semua tentang kafe. Mulai dari

pemasukan dan pengeluaran, merekap setiap pesanan, sampai dengan menghitung jumlah gaji

untuk tiga orang karyawan yang bekerja untukku. Ridwan adalah salah satu karyawan, selain

Mona dan Widya. Dua gadis itu belum datang, aku maklum karena mereka adalah mahasiswi

yang bekerja untuk menambah uang saku mereka.

“Selamat sore, Mbak Disya.”

Suara sapaan Ridwan terdengar sampai ke telingaku, membuatku berhenti menulis

dan mengalihkan pandangan. Aku melihat Disya sedang mengobrol dengannya.

“Hai!” Kuputuskan untuk berhenti mencatat dan mendekati mereka.

Disya menoleh dan tersenyum, “Sore, Kak. Kebetulan tadi aku pulang dari rumah

temenku, jadi mampir sekalian aja.”

Page 106: CINTA DALAM TELEPON KALENG - Memikirkan Katagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/CINTA... · 2020. 4. 1. · “Silakan duduk, saya panggil suami saya dulu.” Aku sudah

106

“Kirain sama Rayhan juga.”

“Rayhan masih ada kuliah, mungkin nanti dia juga ke sini. Emmm, ada yang bisa aku

kerjakan nggak, Kak?”

“Eh, nggak usah. Udah beres semuanya kok, tinggal nunggu pelanggan aja.”

“Nggak apa-apa kok, Kak. Dari pada nggak ada kerjaan.” Disya tampak ngotot.

“Emm... ya udah, gimana kalau kamu menggantikan Ridwan menyapu? Dia mau aku

suruh untuk beli gas elpiji.”

“Oke!” Disya membentuk bulatan menggunakan jempol dan telunjuknya. Gadis itu

melangkah riang menuju Ridwan yang masih menyapu lantai. Aku tersenyum memandang

Disya.

Hari ini pelanggan yang datang ke kafe lebih banyak dari biasanya, membuat tiga orang

karyawanku terlihat kerepotan untuk melayani mereka. Sehingga aku berinisiatif untuk

meminta bantuan kepada Rayhan dan Disya yang sekarang juga masih sibuk melayani

pesanan dari pengunjung kafe.

Kedatangan mereka berdua benar-benar membantu kami.

“Capek? Istirahat dulu nggak apa-apa kok,” aku berkata kepada Rayhan yang tampak

kelelahan. Dia menyandarkan punggungnya pada tembok.

“Lumayan, Kak. Malam ini bener-bener ramai banget, Alhamdulillah.”

“Iya, untung kamu bisa bantuin di sini. Makasih, ya.”

“Santai. Tapi bentar lagi aku harus pergi, ada janji soalnya.” Rayhan tampak melihat

jam tangannya.

“Iya, nggak apa-apa. Sudah ada Disya kok.”

“Nanti Disya pulang bareng kakak aja, ya. Aku mau langsung soalnya.”

“Beres. Ya udah, sana berangkat!” Perintahku.

Rayhan menyeka wajahnya yang berkeringat di depan wastafel. Da menghampiri

Disya terlebih dahulu sebelum melangkahkan kaki keluar kafe. Aku kembali melanjutkan

pekerjaanku yang sempat tertunda.

Beberapa kali pengunjung datang dan pergi silih berganti sampai akhirnya semua

orderan telah habis untuk hari ini. Waktu telah menunjukkan pukul 12 malam ketika 3 orang

Page 107: CINTA DALAM TELEPON KALENG - Memikirkan Katagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/CINTA... · 2020. 4. 1. · “Silakan duduk, saya panggil suami saya dulu.” Aku sudah

107

karyawanku membereskan sisa-sisa yang berserakan di meja dan di lantai. Aku masih sibuk

merekap, sementara Disya tampak duduk di salah satu kursi. Rautnya menunjukkan

kelelahan.

Aku tersenyum, lalu bangkit dan berjalan menuju kulkas untuk mencari sesuatu yang

mungkin tersisa untuk membuat minuman. Hanya bubuk mochacino yang kutemukan, tetapi

setidaknya cukup untuk dua cangkir.

“Nih.”

“Makasih.” Sedikit rasa sungkan tertangkap di telingaku, aku mengangguk. Disya

menyeruput pelan minuman yang aku buat.

“Maaf ya udah merepotkan.”

“Santai lagi, Kak.” jawabnya sambil tersenyum.

“Gimana skripsinya?”

“Tinggal menunggu jadwal sidangku keluar, udah nggak sabar rasanya.”

“Wuih, cepat juga ya kamu ngerjain skripsi. Rayhan aja kayaknya baru sampai bab 3

deh.”

“Kebetulan aja dosen pembimbingku mudah, dan lagian tema skripsi yang kuambil

juga termasuk gampang. Jadinya bisa cepat selesai.”

Aku melirik sejenak ke arah tiga orang karyawanku yang sekarang juga terlihat

sedang mengobrol sambil menikmati air mineral.

“Udah malem, pulang yuk!”

Disya mengangguk untuk menerima ajakanku. Aku mengambil alih cangkir dari

tangannya, lalu meletakan begitu saja di meja dapur.

“Udah beres semua?”

“Sudah, Mas,” Ridwan yang menjawab pertanyaanku.

“Kalau gitu yuk kita pulang! Ridwan, bantu aku menutup gerbang nanti. Kalian

berdua pulang duluan aja, itu jemputannya udah pada datang.”

Mona dan Widya tersenyum. Jemputan yang aku maksud adalah pacar mereka

masing-masing yang selalu datang untuk menjemput ketika kafe sudah akan tutup. Terkadang

hal itu membuatku takjub, setia sekali pacar mereka sampai mau menjemput dan menunggu

mereka.

“Sudah semua, Mas. Saya pulang dulu.” Ridwan menyusul Mona dan Widya yang

telah terlebih dahulu pulang bersama pacar mereka masing-masing.

“Iya, makasih, ya.”

Page 108: CINTA DALAM TELEPON KALENG - Memikirkan Katagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/CINTA... · 2020. 4. 1. · “Silakan duduk, saya panggil suami saya dulu.” Aku sudah

108

Aku dan Disya keluar paling terakhir dari dalam kafe, kami berjalan menuju mobil

setelah aku mengunci gembok gerbang. Kulajukan mobil menembus malam yang masih

cukup ramai oleh muda-mudi yang sedang menghabiskan malam dengan berkumpul bersama

teman-temannya.

Aku melirik Disya yang tampak sedang memejamkan mata, mungkin dia merasa

begitu lelah setelah membantuku melayani pelanggan yang memang cukup banyak hari ini.

Disya mengembuskan napasnya dengan cukup keras sampai aku bisa mendengarnya.

“Capek juga ternyata ya, Kak. Bagaimana sama Ridwan, Mona, dan Widya yang

setiap malam melayani tamu.”

“Nyari duit emang capek kok, tapi semua capek yang dirasakan itu bakalan hilang

setelah kita mendapatkan hasilnya. Pas udah bisa mendapatkan sesuatu dengan usaha kita

sendiri, itu rasanya puas banget. Lupa sama capeknya.”

“Iya, Kak. Semoga nanti aku bisa langsung dapet kerja setelah wisuda,”

“Lho, nggak mau ngelanjutin lagi? Rayhan aja mau lanjutin S2 katanya.”

Disya menyandarkan kepalanya di sandaran jok mobil, “Kalaupun mau sekolah lagi

aku ingin pakai uangku sendiri, Kak. Biar nggak ngerepotin orangtua terus.”

“Mulia sekali niatmu, semoga bisa keturutan.”

Disya tertawa kecil, “Itu sekadar impian aja kok, tergantung nanti bagaimana.

Biasanya kalau orang yang sudah bisa mendapat penghasilan dari usahanya sendiri jadi

ngerasa keenakan, terus akhirnya nggak ingat lagi niatnya mau ngelanjutin pendidikan. Kak

Sakti juga gitu, kan?”

Aku tersenyum, “Iya sih memang. Aku jadi merasa sudah cukup nyaman dengan

usahaku sekarang.”

“Nah, makannya itu.”

“Kalau gitu, nikah dulu aja.”

“Belum ada calonnya, Kak,” Disya mengambil jeda tawa untuk menanggapi

candaanku.

“Bagaimana kalau sama Kakak?” Aku masih ingin bercanda untuk menghilangkan

rasa lelah yang mendera kami berdua. Tawa kami semakin keras.

“Bercanda aja nih, Kak Sakti.”

“Kalau serius bagaimana?” Mataku lekat-lekat memandang gadis di sebelahku itu.

Disya terdiam mendengar pertanyaanku, tawanya berhenti begitu saja. Pandangannya

menatap tajam, membuatku tidak tahan lagi menahan tawa yang kini meledak di dalam

mobil.

Page 109: CINTA DALAM TELEPON KALENG - Memikirkan Katagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/CINTA... · 2020. 4. 1. · “Silakan duduk, saya panggil suami saya dulu.” Aku sudah

109

“Bercanda kok, Disya.”

Gadis itu tersenyum kecut, “Padahal aku berharap tadi itu serius.”

Sekarang tawaku yang menghilang begitu saja, aku terkejut mendengar pernyataan

bernada kecewa yang diucapkan oleh Disya. Salah tingkah, itulah yang kualami saat ini.

“Satu… Satu....” Disya tertawa riang di tempatnya. Tawanya terdengar begitu puas

karena berhasil membalas candaanku.

OBROLAN TENTANG CINTA

Semua Memang Tidak Bisa Ditebak

Selesai bimbingan aku mampir ke kafe Kak Sakti untuk sekadar duduk beristirahat,

sambil menikmati kopi. Atau jika ada pekerjaan yang mungkin bisa kubantu, aku akan

membantu. Tetapi hari ini rasanya cukup membuatku lelah juga.

Menjadi mahasiswa semester akhir memang butuh perjuangan. Ketika harus seharian

menunggu dosen yang sebenarnya telah membuat janji untuk melaksanakan bimbingan pada

pagi hari. Nyatanya baru bisa terlaksana sore harinya, itu juga setelah aku mengejarnya di

lorong kampus. Jika tidak, sudah dipastikan tidak ada bimbingan lagi hari ini.

“Suntuk banget wajahmu, nggak ketemu dosen lagi? Sabar, Kakak juga dulu seperti

itu waktu skripsi.”

Kak Sakti duduk di hadapanku sambil membawa dua cangkir kopi yang masih

mengepulkan asap.

“Ketemu kok, Kak. Tadi udah sempet bimbingan juga,” jawabku sambil menyesap

sedikit kopi pada tepian cangkir.

“Nah, kok masih cemberut gitu. Banyak revisiannya?”

“Nggak juga, cuma agak capek nunggu dosen dari pagi baru ketemu sore tadi.”

“Terus skripsinya?”

Aku tersenyum sekarang. Sambil meraih rokok dari dalam tas, dan menyalakannya.

Sejenak aku mengambil jeda untuk menjawab pertanyaan Kak Sakti yang tampak sedang

menunggu.

“Alhamdulillah, udah ditandatangani, Kak. Minggu depan mungkin aku sidang.”

Sekarang, kulihat Kak Sakti yang tersenyum, menggelengkan kepala, kemudian

tertawa dengan cukup keras. Beruntung belum ada pelanggan yang datang ke kafe ini.

Page 110: CINTA DALAM TELEPON KALENG - Memikirkan Katagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/CINTA... · 2020. 4. 1. · “Silakan duduk, saya panggil suami saya dulu.” Aku sudah

110

“Sudah di-acc kok masih ditekuk gitu wajahnya? Harusnya senang, dong.”

“Ya senang lah, Kak. Tapi ya masih tetep ngerasa capek juga hari ini.”

Kak Sakti mengambil satu batang rokok dan menyalakannya.

“Selamat ya, Rayhan. Semoga kamu sukses menghadapi dosen-dosenmu itu di sidang

nanti. Nggak perlu grogi, anggap saja ujian semester biasa.”

Saran yang asal, seperti biasa yang diucapkan oleh kakakku ini ketika memberikan

saran, atau kepada siapa pun. Dia seperti tidak pernah terlihat serius saat mengucapkannya.

Tapi tak urung aku menganggukan kepala.

Lalu beberapa jenak kami terdiam, memilih untuk menikmati aroma kopi yang sudah

habis separuh cangkir ini. Juga menghisap nikotin dari batang rokok kesekian yang aku bakar

sejak tadi sebagai teman obrolan kami berdua.

“Ray…”

Kulihat Kak Sakti dengan wajahnya yang ragu, membuat aku mengerti bahwa setelah

ini adalah obrolan yang mungkin akan lebih serius. Aku sudah paham dengan karakter laki-

laki di hadapanku ini.

“Ya?”

“Emmm, bagaimana mengatakannya ya sama kamu.”

Aku tertawa tentu saja, mendengar Kak Sakti sampai bingung seperti ini jelas menjadi

hal lucu buatku.

“Ngomong aja, Kak. Seperti sama orang lain saja. Memangnya seserius apa yang mau

Kak Sakti omongin ke aku, sampai bingung gitu?”

“Masalah Disya, bagaimana hubunganmu dengan dia sekarang?”

“Baik-baik saja, kami berteman seperti sebelumnya kalau itu yang Kakak maksud.

Kenapa memangnya, Kak?”

“Sepertinya kalian semakin jarang bersama sejak pertama masuk kuliah sampai

sekarang. Apa ada masalah di antara kalian?”

Aku mematikan bara rokok pada asbak di depanku, kemudian menyesap kembali kopi

yang sudah dingin ini. Sejenak berpikir, bahwa pertanyaan Kak Sakti kali ini memiliki tujuan

yang belum bisa aku artikan.

“Tidak ada masalah apa-apa antara aku dan Disya, sebenarnya persahabatan kami

baik-baik saja seperti sebelum kami kuliah. Kami hanya lebih sibuk dengan urusan kami

masing-masing. Terlebih sekarang kita sedang fokus ke skripsi.”

Mungkin jika orang-orang menilai apa yang baru saja aku katakan hanyalah sebuah

alasan, aku tidak akan menyangkalnya. Karena sebenarnya aku sendiri juga merasa bahwa

Page 111: CINTA DALAM TELEPON KALENG - Memikirkan Katagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/CINTA... · 2020. 4. 1. · “Silakan duduk, saya panggil suami saya dulu.” Aku sudah

111

hubungan persahabatanku dengan Disya tidak sedekat dulu, saat kami masih bisa berangkat

ke sekolah bersama.

Entahlah, mungkin hanya perasaanku saja yang merasa ini semua terjadi setelah aku

memutuskan untuk mencintai Popi beberapa tahun yang lalu. Disya seakan menjauhiku

setelah itu. Dan tanpa terasa kini semua sudah berlalu tanpa kusadari.

Dan ternyata Kak Sakti pun menyadari perubahan ini, mungkin karena dia satu-

satunya orang yang menyaksikan bagaimana kami tumbuh dan berkembang bersama sejak

kanak-kanak dulu. Dan ketika ada yang tidak beres di antara kami, dia adalah orang pertama

yang akan menyadarinya.

“Syukurlah kalau tidak ada masalah di antara kalian. Aku hanya merasa sedikit ada

perbedaan di antara kalian.”

Ucapan Kak Sakti menyadarkanku dari lamunan, lalu seulas senyum tersirat di

bibirku.

“Kamu tahu kan, sudah sejak lama aku tidak bisa melupakan seorang gadis yang

sebenarnya sangat ingin aku lupakan. Namun, setiap kali aku mencoba menjalani dengan

wanita lain, selalu bayangan Renata yang muncul dan kembali merobohkan tembok yang

sudah susah payah aku bangun. Pada akhirnya, aku memutuskan untuk meninggalkan wanita-

wanita itu tanpa alasan apa pun.”

Kak Sakti tampak menghisap rokoknya lebih dalam dari sebelumnya, lalu

mengembuskan asap dari mulutnya ke udara dengan sekali hembusan yang terdengar cukup

berat di telingaku.

“Tetapi, sekarang aku ingin benar-benar menjalani sebuah hubungan yang serius

dengan seorang wanita. Seseorang yang aku harapkan bisa membantuku melupakan sosok

Renata.”

Aku mendengarkan penuturan Kak Sakti dengan saksama, tanpa berniat untuk

menyela. Biarkan saja, sepertinya dia memang hanya ingin didengarkan sekarang.

“Dan kamu tahu, entah kenapa aku menemukan apa yang aku butuhkan pada sosok

Disya.”

Meskipun terdengar ragu saat mengatakannya, aku tetap mampu mendengar apa yang

baru saja Kak Sakti katakan. Dan meskipun ada rasa terkejut yang menjalar, tapi aku

memutuskan untuk tidak menunjukkannya di hadapan Kak Sakti.

Cukup sebuah senyuman.

“Dulu, Kakak pernah bertanya kepadamu tentang perasaanmu kepada Disya, dan

kamu jawab tidak ada perasaan lebih dari sekadar sahabat. Bagaimana dengan sekarang?”

Page 112: CINTA DALAM TELEPON KALENG - Memikirkan Katagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/CINTA... · 2020. 4. 1. · “Silakan duduk, saya panggil suami saya dulu.” Aku sudah

112

“Sampai sekarang pun masih seperti itu, Kak. Aku tetap menganggap Disya hanya

seorang sahabat saja, tidak lebih dari itu.”

Satu batang rokok aku nyalakan lagi, sebelum melanjutkan jawaban atas pertanyaan

Kak Sakti tadi.

“Terlebih kakak tahu sendiri kalau aku sudah memiliki pacar, kan?”

Kak Sakti mengangguk.

“Jadi kalau memang Kak Sakti merasa Disya adalah orang yang tepat yang bisa

membuatmu jatuh cinta, Kakak harus mengatakan itu kepadanya. Aku pasti mendukung.”

“Apa menurutmu Disya akan menerimaku?”

Aku tertawa kecil.

“Tidak ada salahnya dicoba, Kak. Toh setauku gadis itu tidak memiliki pacar sampai

sekarang, sejak terakhir saat SMA dulu.”

“Atau perlu aku yang ngomong dulu ke dia?” Lanjutku.

Kak Sakti tampak berpikir di tempatnya. Aku menunggu dengan seulas senyum yang

masih mengembang di bibirku.

“Sepertinya tidak perlu, biar aku saja yang akan mulai mendekatinya. Nanti kalau aku

butuh bantuanmu, baru aku akan mengatakannya.”

Aku mengangguk, “Selamat berjuang, Kak.”

Page 113: CINTA DALAM TELEPON KALENG - Memikirkan Katagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/CINTA... · 2020. 4. 1. · “Silakan duduk, saya panggil suami saya dulu.” Aku sudah

113

PERNYATAAN CINTA

Aku Hanya Bisa Berharap Ini adalah yang Terakhir

Hari ini adalah hari yang paling membahagiakan untukku. Hari yang akan

mengantarkan pada kesuksesan selanjutnya. Toga yang sebelumnya terpasang di kepala telah

melayang di udara setelah aku melemparnya dengan begitu kuat. Semua kelegaan itu

membuncah di dalam dada seiring dengan lemparan toga yang aku lakukan.

Tangis haru mama, pelukan bangga papa, dan senyum bahagia dari semua sahabatku

adalah hadiah paling indah yang Tuhan berikan untuk semua usahaku selama ini. Untuk

semua susah payahku menyelesaikan skripsi, jatuh bangun yang aku rasakan. Hari ini, itu

semua terbayar lunas.

“Selamat, Disya…” Rayhan menyalamiku, memberikan satu tangkai bunga mawar

merah yang sudah banyak aku dapatkan dari teman-temanku yang lain.

“Terima kasih. Selamat juga untukmu. Akhirnya kita diwisuda juga.”

Rayhan mengangguk, “Ayo, kita foto-foto,” ajaknya seraya menarik tanganku menuju

arah Kak Sakti yang tampak sudah siap dengan kameranya.

“Selamat Disya,” sambut Kak Sakti setelah aku berdiri di hadapannya.

“Terima kasih, Kak.”

“Ya udah, kalian berdua aku foto dulu!”

Aku dan Rayhan melakukan beberapa gaya untuk diabadikan oleh kamera Kak Sakti.

Beberapa jepretan berhasil dilakukan tanpa mengalami kesulitan, dia tampak sangat lihai

menggunakan kamera.

“Ayah, Ibu, Om sama Tante ikutan juga dong!”

Kak Sakti memasang kamera pada tripod yang telah didirikannya, mengatur angle

yang bisa menangkap gambar kami semua, kemudian berlari kecil untuk bergabung setelah

sebelumnya mengatur timer di kamera.

Klik…

Page 114: CINTA DALAM TELEPON KALENG - Memikirkan Katagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/CINTA... · 2020. 4. 1. · “Silakan duduk, saya panggil suami saya dulu.” Aku sudah

114

Semua senyum bahagia itu telah diabadikan di dalam sebuah gambar. Suatu saat,

gambar itu akan mengingatkanku tentang masa-masa indah yang pernah kulalui di tempat ini.

Saat-saat di mana aku belajar menjadi manusia yang lebih dewasa, bersama semua sahabat

yang telah berjuang bersama. Aku akan merindukan tempat ini.

“Rayhan ke mana?” Tanya Kak Sakti, setelah beberapa menit foto-foto tadi selesai.

“Emm, tadi sih pamit mau nyari Popi.”

Ia mengangguk, “Terus pacarmu mana?”

“Aku nggak punya, Kak. Masih jomblo,” jawabku santai sambil tertawa.

“Masa gadis cantik sepertimu masih jomblo?”

“Begitulah kenyataannya.”

“Kalau gitu kita sama-sama jomblo.” Kak Sakti mengajaku melakukan toast.

Ini sudah 4 minggu sejak wisuda, aku masih belum mendapat panggilan pekerjaan.

Beruntung Kak Sakti menawarkanku untuk membantunya di kafe sampai aku mendapatkan

pekerjaan, setidaknya itu bisa menjadi kegiatanku sambil menunggu panggilan kerja.

Dan kedekatan yang terjadi semakin membawaku terperangkap kepada rasa yang

tidak pernah aku duga, aku jadi merasa membutuhkan sosok Kak Sakti. Aku menyadari, ada

sesuatu yang tumbuh sebagai dampak dari kedekatan yang mulai intens di antara kami.

Malam ini, aku baru saja pulang dari sebuah acara yang diadakan oleh kantor papa,

semacam syukuran karena proyek yang mereka kerjakan berhasil dan memberikan banyak

keuntungan. Acara yang baru berakhir pukul 10 malam itu, membuatku tidak bisa membantu

Kak Sakti di kafe malam ini.

Seperti biasa, aku menopang kepala dengan tanganku di daun jendela, menikmati

bintang, bulan, serta apa pun yang mungkin bisa aku nikmati saat malam hari. Kebiasaan

yang begitu aku sukai.

“Hei!” Suara Rayhan tiba-tiba terdengar dari jendela kamarnya. Dia menunjukkan

kaleng miliknya, membuatku tersenyum. Aku langsung meraih kaleng milikku sendiri.

“Baru pulang?”

Aku mengangguk, “Lihat, bahkan aku belum sempat mengganti gaunku. Takut

bintang-bintangnya keburu hilang,”

“Ada-ada saja. Bagaimana acaranya tadi?”

Page 115: CINTA DALAM TELEPON KALENG - Memikirkan Katagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/CINTA... · 2020. 4. 1. · “Silakan duduk, saya panggil suami saya dulu.” Aku sudah

115

“Membosankan, Rayhan. Hanya orang-orang tua yang ada di sana, teman kerja papa.”

Rayhan tampak tertawa di tempatnya. Lalu sedetik kemudian dia mengambil sebotol

minyak kayu putih, mengoleskan di telapak tangan dan bagian lehernya. Tidak pernah

berubah kebiasaannya itu.

“Apa kabar dengan Popi?”

“Baik, kami sama-sama sedang mengajukan beasiswa S2. Mudah-mudahan bisa

diterima.”

“Syukurlah.”

“Bagaimana denganmu?”

Aku terdiam sejenak, “Mungkin aku akan mencari kerja terlebih dahulu sebelum

memutuskan akan melanjutkan atau tidak.”

“Kita semua mempunyai pilihan,” ujar Rayhan dengan penuh keyakinan.

“Dan kita hanya bisa memilih satu di antara pilihan itu,” aku melanjutkan kalimat

Rayhan.

“Lantas, Kak Sakti?”

Aku tersentak mendapat pertanyaan itu dari Rayhan. Kenapa tiba-tiba dia bertanya

tentang kakaknya sendiri kepadaku.

“Apa maksudmu?”

“Sudahlah, Disya. Aku sudah terlalu mengerti kamu untuk sekadar melihat ada

sesuatu yang lain ketika kamu menatap Kak Sakti. Aku tahu kamu menyukainya.”

Rayhan membuat wajahku memerah, ucapannya memang tepat. Mungkin

persahabatan yang terjalin dengan cukup lama telah membuatnya benar-benar memahami

semua tingkah laku dan gerak gerikku. Aku tahu akan percuma jika membantahnya, Rayhan

sudah sangat mengetahui sifatku.

“Kamu keberatan jika aku menyukai kakakmu?” Tanyaku dengan sedikit malu-malu.

Kudengar Rayhan tertawa dari kamarnya, “Mana mungkin, justru aku akan sangat

mendukung jika itu benar-benar terjadi.”

Aku tersenyum lega.

“Oh iya, Disya. Mungkin Kak Sakti akan berbicara denganmu.”

Lagi-lagi Rayhan membuat keningku berkerut, apa maksud perkataannya barusan?

Kenapa aku merasa dia sedang merencanakan sesuatu sekarang. Ah, membuatku penasaran

saja.

“Disya,”

Page 116: CINTA DALAM TELEPON KALENG - Memikirkan Katagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/CINTA... · 2020. 4. 1. · “Silakan duduk, saya panggil suami saya dulu.” Aku sudah

116

Suara ini, bukan suara Rayhan, meskipun aku mendengarnya melalui telepon kaleng.

Tetapi selama bertahun-tahun berbicara dengan Rayhan membuatku sangat hafal dengan

suaranya. Suara yang baru saja aku dengar itu, milik Kak Sakti.

“I… iya?” Tentu saja aku merasa gugup sekarang. Baru saja aku dan Rayhan

membicarakannya dan tiba-tiba dia sudah menyapaku.

“Aku ingin kamu menjadi istriku.”

Terus terang Kak Sakti membuatku hanya terpaku. Aku berusaha mencerna apa yang

baru saja dia katakan, aku berusaha mengartikannya meskipun semua itu percuma karena aku

tetap mematung walaupun sudah mencoba mencerna satu persatu kalimat tadi.

“Apa kamu bersedia?”

Dan sekarang laki-laki itu menanyakan kesediaanku, jawaban apa yang harus aku

berikan kepadanya? Semua terjadi begitu saja, tanpa menungguku untuk mempersiapkannya.

Aku benar-benar tidak siap menerima pertanyaan itu, meskipun sebenarnya hatiku berbunga-

bunga mendengarnya.

“Kak…”

“Aku tunggu kamu di luar. Aku ingin mendengar jawabanmu langsung, bukan

melalui sebuah kaleng,” Kak Sakti memotong kalimatku.

Aku menuruti perintahnya untuk melangkahkan kaki keluar rumah setelah

sebelumnya meneliti penampilanku di depan cermin. Degup jantung benar-benar tidak

beraturan sekarang, aku benar-benar gugup. Laki-laki itu sudah berdiri di depan gerbang

rumah ketika aku keluar, menanti dengan sebuah senyuman yang membuatku, jatuh cinta.

“Aku serius Disya.” Kak Sakti berlutut, dan dia menunjukkan sebuah cincin di

hadapanku. Aku hanya mampu terdiam, dengan air mata yang tanpa sadar mulai mengalir

dari kedua mataku.

“Will you merry me?”

Aku melirik Rayhan yang tampak mengamati kami berdua dari depan gerbang

rumahnya. Senyum yang mengembang di bibirnya seakan memberikan keyakinan kepadaku.

Benar, aku harus yakin sekarang. Tidak perlu menunggu waktu lama lagi untuk

menjawabnya, aku percaya ini adalah takdir yang telah Tuhan rencanakan untukku.

“Yes, I will.”

Aku tidak akan menyesali atas jawaban yang telah aku berikan kepada Kak Sakti.

Aku percaya aku akan bahagia bersamanya, aku percaya aku memang sudah dipersiapkan

oleh Tuhan untuk menemani hidup Kak Sakti. Tuhan tidak pernah salah.

Page 117: CINTA DALAM TELEPON KALENG - Memikirkan Katagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/CINTA... · 2020. 4. 1. · “Silakan duduk, saya panggil suami saya dulu.” Aku sudah

117

Aku membiarkan ketika Kak Sakti memasangkan cincin pada jari manisku, lalu

membawa ke dalam dekapannya. Nyaman sekali rupanya di dalam sini, sampai tanpa sadar

aku menyandarkan kepalaku kepada dada bidangnya.

Ternyata, orang yang selama ini aku cari justru berada sedekat ini.

KEJUJURAN HATI

Tidak Ada yang Aku Sesali, Tidak Ada yang Terlambat. Ini adalah Takdir Cinta dari

Tuhan

Aku berhasil mencintai Popi dengan sepenuh hati, walaupun itu membutuhkan waktu

yang cukup lama. Pada akhirnya, aku benar-benar bisa memberikan segenap perasaan kepada

gadis yang sudah 5 tahun ini menemani setiap hari-hariku. Memberikan warna warni dalam

hidupku dan menjadi pelengkap untuk semua kekuranganku. Perasaanku sudah tidak lagi

terbagi antara Popi dan Disya. Aku sudah menghilangkan semua perasaanku kepadanya.

Popi adalah orang yang menyadarkanku betapa sebuah perasaan bukan untuk

dijadikan sebagai coba-coba, bukan sesuatu untuk dijadikan sebuah mainan yang dengan

mudah dilupakan jika sudah merasa bosan. Popi, yang dengan kesabaran dan ketulusannya

telah membuatku mengerti bahwa sekuat apa pun cinta kita kepada seseorang, akan percuma

jika kita tidak berani memperjuangkannya. Popi membuktikan itu kepadaku, bagaimana dia

berjuang, bagaimana dia terus berusaha untuk membuktikan rasa sayangnya kepadaku.

Sekarang tidak ada yang bisa membuatku ragu. Aku sudah memilih Popi, dan aku

akan menjaga agar senyum manisnya tidak menghilang. Aku akan selalu berusaha

membahagiakannya, aku janji.

Dan Disya, sahabatku itu telah menjadi calon istri dari kakak kandungku. Aku adalah

orang yang paling mendukung hubungan mereka. Tidak perlu lagi ada rasa cemburu yang aku

rasakan, tidak perlu lagi ada rasa sakit hati. Yang ada hanyalah rasa bahagia untuk rencana

pernikahan mereka dua hari lagi.

Malam ini, setelah membantu Ibu menyiapkan beberapa keperluan yang akan

digunakan untuk pernikahan Kak Sakti dan Disya, aku menaiki tangga untuk masuk ke dalam

kamar. Rasa lelah menderaku, otot serta saraf tubuhku butuh untuk diistirahatkan.

Page 118: CINTA DALAM TELEPON KALENG - Memikirkan Katagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/CINTA... · 2020. 4. 1. · “Silakan duduk, saya panggil suami saya dulu.” Aku sudah

118

Kuhempaskan badan di atas ranjang begitu aku telah masuk kamar, lalu menarik

napas dalam-dalam dan mengeluarkannya dengan perlahan. Mataku terpejam beberapa detik

sebelum kembali terbuka. Aku merasa begitu lelah, tetapi mata ini enggan untuk membawaku

menuju alam mimpi.

Dengan jengah kuayunkan kaki menuju jendela, mendorongnya lebar-lebar sampai

hembusan angin malam langsung menerpa wajah. Begitu segar kurasakan. Kulirik ke satu

sudut jendela, kaleng itu masih tergeletak pada tempatnya, membuatku tersenyum tanpa arti.

Banyak kenangan yang kulihat pada kaleng bekas itu.

Di langit bintang bertaburan begitu banyaknya, memenuhi malam yang sudah hampir

berjalan separuh. Udara dingin, tapi segar melengkapi sepinya suasana, membuatku benar-

benar menikmati waktu dengan penuh rasa ketentraman dan damai yang kurasakan saat ini.

Aku meraih sebungkus rokok dan lighter dari atas meja, lalu kembali berjalan

mendekati jendela. Kulompati jendela kamar untuk meniti balkon. Aku meletakan pantat

pada lantai semen, lalu menyalakan rokok.

Malam ini, aku ingin menikmati malam ini.

Beberapa hisapan telah menghabiskan satu batang rokok yang tadi kunyalakan. Aku

merenung, menatap kerlipan bintang-bintang yang masih setia untuk menemani rembulan

menghabiskan malam. Mereka tidak pernah berhenti memberikan keindahan dari atas sana,

membuat malam hari tidak pernah membosankan untuk dinikmati.

“Sedang apa kamu?” Pertanyaan itu membuatku menoleh ke asal suara, Disya tampak

bersandar pada daun jendela dengan senyumnya yang masih sama.

“Menikmati malam,” jawabku singkat sebelum kembali mengalihkan pandanganku

menikmati bintang-bintang.

“Kamu belum tidur?” Aku balik bertanya kepada Disya yang sekarang ikut

memandang ke arah langit.

“Nggak bisa tidur.”

“Memikirkan pernikahanmu?”

“Mungkin itu salah satunya. Hei, hati-hati di tempat itu!”

“Santai saja. Sebaiknya kamu coba sendiri ke sini.” Sudah pasti aku hanya bercanda

saat mengatakannya.

Rasa panik menyergap ketika kulihat Disya naik ke atas daun jendela.

“Hei, apa yang kamu lakukan?” Tanyaku sambil membantunya berjalan meniti

balkon.

Page 119: CINTA DALAM TELEPON KALENG - Memikirkan Katagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/CINTA... · 2020. 4. 1. · “Silakan duduk, saya panggil suami saya dulu.” Aku sudah

119

“Mencoba membuktikan perkataanmu, bahwa menikmati langit dari sini akan lebih

terlihat keindahannya.” Seakan tanpa rasa takut Disya duduk di tepian balkon. Aku menghela

napas melihat tingkah lakunya.

“Nekat kamu.”

“Kamu kan yang nyuruh aku.”

“Aku hanya bercanda.”

“Lalu bagaimana?”

Aku lebih memilih untuk mendesah pelan, daripada harus berdebat dengannya, “Ya

sudahlah.”

Kami berdua terdiam cukup lama, sama-sama menikmati kesunyian yang ditawarkan

oleh malam. Menatap keindahan bintang yang masih setia menjadi penghias langit,

pelengkap sang rembulan. Bintang yang selalu kami berdua kagumi keindahannya sejak dulu.

Sejak kami memulai semua kisah yang tidak pernah bisa kami akhiri berdua.

“Kamu jadi melanjutkan S2 di Bandung?” Disya yang pertama memecah keheningan

di antara kami.

Aku mengangguk, “Seperti yang kubilang dulu, aku akan melihat kota Bandung

dengan mataku sendiri.”

“Aku masih ingat itu, kamu mengucapkannya saat kita berada di TK.”

Kami berdua tertawa bersama-sama mengingat tentang masa kecil yang pernah kami

lewati berdua. Tawa yang cukup singkat, karena selanjutnya keheningan menyergap kembali

di antara aku dan Disya.

Aku kembali mengeluarkan satu batang rokok, membakar ujungnya dengan lighter,

dan menghisapnya pelan. Aku tahu Disya mengamatiku dengan kedua matanya, seakan

menungguku selesai membakar ujung rokok.

“Aku akan menikah.”

Aku tersenyum mendengarnya, “Tentu saja aku tahu itu, selamat untukmu. Aku akan

menjadi orang yang duduk di barisan paling depan saat resepsimu nanti.”

Disya hanya tersenyum. Lagi-lagi diam menjadi musuh utama yang datang secara

tiba-tiba di antara aku dan Disya. Sesuatu yang sebelumnya tidak pernah terjadi ketika aku

dan dia bersama. Selalu ada hal menarik yang menjadi bahan obrolan kami. Sekarang sudah

berbeda rupanya.

“Dulu.” Disya menggantung kalimatnya, dia menatap kedua mataku sebelum

mengalihkan pandangannya ke arah lain. Aku masih menunggu Disya menyelesaikan apa

yang hendak dia katakan.

Page 120: CINTA DALAM TELEPON KALENG - Memikirkan Katagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/CINTA... · 2020. 4. 1. · “Silakan duduk, saya panggil suami saya dulu.” Aku sudah

120

“Dulu aku berharap kamu yang akan mendampingiku di pelaminan. Dan dulu aku

selalu menunggumu.”

Mungkin ini adalah sebuah kejujuran yang telah terungkap setelah sangat lama

dibiarkan terpendam dengan sangat dalam, dan aku tidak terkejut mendengar pengakuan

Disya.

Aku menghisap filter pada batang rokok, lalu mengembuskan asapnya ke udara.

“Maaf, seandainya aku bisa lebih berani mengungkapkan perasaanku mungkin akan

berbeda kisahnya.”

“Maksudmu?” Disya mengerutkan kening.

“Dulu aku pernah mempunyai perasaan lebih dari sekadar sahabat kepadamu.

Mungkin perasaan yang sama sepertimu. Aku sayang kamu, Disya.”

Di tempatnya, Disya masih terpaku mendengarkan pengakuanku. Aku melihat

wajahnya, aku menatap matanya. Tersirat kekecewaan yang begitu dalam dari sorot matanya,

membuat hatiku seakan tertusuk duri. Buru-buru aku menepisnya.

“Tapi sayangnya aku tidak pernah berani berkata jujur kepadamu, aku takut itu hanya

akan merusak persahabatan kita. Mungkin itu keputusan bodoh.”

Disya tertawa kecil, lebih terdengar seperti tawa penyesalan di telingaku, “Ternyata

yang kita pikirkan sama, Rayhan. Aku juga berpikir tidak seharusnya ada perasaan lebih di

antara sahabat.”

“Tapi sekarang aku sadar, kalau seharusnya sebuah perasaan itu harus diungkapkan.

Entah membawa kebaikan atau keburukan, itu lebih baik daripada memendamnya dengan

sangat lama. Karena hanya rasa sakit yang akan kita dapatkan.”

“Aku setuju,” Disya memeluk kedua lututnya sendiri, “Aku setuju dengan

pendapatmu. Karena sekarang aku merasa sangat lega telah mengatakan yang sebenarnya

tentang perasaanku padamu dulu,” lanjutnya.

Aku mengangguk, “Bukankah cinta tidak harus memiliki?”

“Itu salah, Rayhan. Tidak ada cinta yang tidak harus memiliki, semua cinta harus

memiliki seseorang yang dia cintai. Bagaimana mungkin kita hidup dengan terus menyimpan

cinta buat seseorang yang tidak bisa kita miliki?”

Disya tampak serius dengan ucapannya. Aku hanya diam mendengarkan penuturan

yang dikeluarkan oleh gadis itu.

“Ketika tidak bisa memiliki, seharusnya cinta itu juga harus dihilangkan, kan?

Bagaimana dengan Popi jika kamu masih menyimpan cintamu buatku? Bagaimana dengan

Kak Sakti jika aku masih menyimpan cinta untukmu?”

Page 121: CINTA DALAM TELEPON KALENG - Memikirkan Katagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/CINTA... · 2020. 4. 1. · “Silakan duduk, saya panggil suami saya dulu.” Aku sudah

121

“Kamu benar, Disya. Dulu aku mencintaimu, tetapi aku tidak bisa memilikimu, tidak

mungkin aku terus menyimpan cinta untukmu sementara aku bersama Popi.”

“Berikan cintamu kepada orang yang bisa kamu miliki, dan orang itu adalah Popi.”

Senyum sama-sama mengembang di bibir kami. Sebuah perasaan yang akhirnya

menemukan waktu yang tepat untuk diungkapkan. Tidak ada kata terlambat untuk sebuah

perasaan, tidak harus memiliki, tidak perlu. Karena rasa sayang yang tulus memiliki

keikhlasan untuk membiarkan orang yang kita sayang bahagia bersama orang lain.

Cinta selalu hanya untuk orang yang pantas memilikinya.

“Kamu menyesal?” Disya melontarkan pertanyaan yang menghadirkan senyum di

bibirku.

“Tidak, tidak sama sekali. Kamu sudah bersama orang yang tepat sekarang. Aku

yakin Kak Sakti bisa membuatmu bahagia, dia bisa diandalkan untuk menjagamu.”

“Syukurlah, karena aku akan sangat marah kalau sampai kamu merasa menyesal. Aku

ngantuk. Aku harus kembali ke kamar sekarang,” tutur Disya seraya bangkit dari duduknya.

“Duluan aja, aku masih ingin di sini.”

Disya mengangguk dan mulai melangkah. Dia melarangku ketika aku hendak

membantunya, membuat kedua mataku hanya mengikuti langkah kakinya yang berjalan

dengan begitu hati-hati menuju jendela kamarnya.

“Terima kasih untuk semua kisah yang kamu hadirkan dalam hidupku, Rayhan.

Selamat malam.”

“Selamat malam juga,” jawabku sebelum Disya menutup rapat jendela kamar.

Senyum lega mengembang di bibirku setelah itu,

Aku tidak menyesal, Disya. Karena sekarang aku juga sudah bersama orang yang

tepat untukku.

Bisikku dalam hati.

-The End-

Page 122: CINTA DALAM TELEPON KALENG - Memikirkan Katagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/CINTA... · 2020. 4. 1. · “Silakan duduk, saya panggil suami saya dulu.” Aku sudah

122

Biodata Penulis

Tegar Setiadi Dwi Amrulloh, lahir di Banyumas pada 17 Juli 1989. Tegar adalah

lulusan S1 Fakultas Ilmu Keolahragaan di Universitas Negeri Semarang yang mempunyai

hobi berolahraga dan tentu saja menulis.

Sekarang, Tegar merupakan guru olahraga di salah satu sekolah kejuruan negeri di

Purwokerto dan bertempat tinggal di desa Tambasogra, Rt 03/05, Kab. Banyumas, Jawa

Tengah. Tegar bisa dihubungi melalui email di [email protected] atau add akun

Facebook-nya di Tegar Setiadi dan instagram di tegarrsetiadi.