chapter ll
DESCRIPTION
fgjhhgjTRANSCRIPT
BAB 2
Tinjauan Pustaka
2.1. Gagal Jantung
2.1.1. Definisi Gagal Jantung
Gagal jantung adalah keadaan dimana jantung tidak lagi mampu
memompa darah dalam jumlah yang memadai ke jaringan untuk memenuhi
kebutuhan metabolisme tubuh walaupun darah balik masih normal (Lily.et
al.2003). Sebagai pompa, ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kerja
jantung. Faktor-faktor tersebut adalah kontraktilitas miokard, denyut jantung
(kekuatan, irama, dan kecepatan pompa jantung), beban awal dan beban akhir.
Beban awal (preload) merupakan beban yang diterima ventrikel kiri saat
akhir diastol. Hal ini sama dengan volume akhir diastolik ventrikel kiri ( Left
ventricular end diastolic volume) dan tekanan pada akhir diastol disebut tenanan
akhir pengisian akhir diastol ventrikel kiri (left ventricular filling pressure).
Beban awal ditentukan oleh jumlah darah yang kembali dari sistem vena ke
atrium kanan dan dipompakan ke paru-paru untuk kembali ke ventrikel kiri.
Beban akhir merupakan beban yang dihadapi otot jantung saat berkontraksi
memompa darah keluar ventrikel kiri menuju aorta.
Gagal jantung merupakan keadaan klinis dan bukan suatu diagnosis,
sehingga penyebabnya harus tetap dicari. Hukum Frank-Starling menyatakan,
energi kontraksi sebanding dengan panjang awal serat otot jantung. Sehingga
dengan diregangnya otot, timbul peningkatan tegangan sampai maksimal dan
kemudian menurun dengan semakin bertambahnya regangan. Pada keadaan
fisiologis semakin besar volume ventrikel selama diastolik, semakin teregang
serat jantung sebelum stimulasi, dan akan semakin besar pula kekuatan kontraksi
berikutnya. Hal ini menunjukkan bahwa, peningkatan ventricular output
berhubungan dengan preload (peregangan serat-serat miokardium sebelum
Universitas Sumatera Utara
kontraksi). Cardiac output dipengaruhi oleh stroke volume dan frekuensi jantung.
Ventricular stroke volume dipengaruhi oleh preload, afterload dan kontraktilitas
miokardium. Stroke volume akan meningkat bila terjadi peningkatan preload,
penurunan afterload, atau peningkatan kontraktilitas
2.1.2. Etiologi Gagal Jantung
Gagal jantung paling sering diakibatkan oleh kegagalan kontraktilitas
miokard, seperti yang terjadi pada infark miokardium, hipertensi dan
kardiomiopati. Namun pada kondisi tertentu, bahkan miokardium dengan
kontraktilitas yang baik tidak dapat memenuhi kebutuhan darah sistemik
keseluruh tubuh untuk memenuhi seluruh kebutuhan metabolik tubuh. Kondisi ini
dapat disebabkan oleh masalah-masalah mekanik, misalnya pada regurgitasi katup
berat, fistuloa arteriovena, defisienti tiamin, hipertiroid.
Hipertensi dan jantung koroner merupakan penyebab terbanyak gagal
jantung. Faktor resiko independen gagal jantung serupa dengan faktor resiko pada
penyakit jantung koroner antara lain peningkatan kolesterol, hipertensi dan
diabetes. Selain itu pemberian obat-obatan seperti beta bloker dan antagonis
kalsium dapat menekan kontraktilitas miokard dan obat kemoterapeutik seperti
doksorubicin dapat menyebabkan kerusakan miokard. Kerusakan miokard juga
dapat disebabkan oleh konsumsi alkohol dalam jumlah besar yang bersifat
kardiotoksik.
Aritmia juga dapat mengurangi efesiensi jantung, seperti yang terjadi pada
fibrilasi atrium atau disosiasi dari kontraksi ventrikel (blok jantung). Takikardia
baik itu venrikel maupun atrium dapat menurunkan waktu pengisian ventrikel,
meningkatkan beban kerja miokardium dan kebutuhan oksigen sehingga
menyebabkan iskemia miokard, dan bila hal tersebut terjadi dalam waktu lama
dapat menyebabkan dilatasi ventrikel .
Universitas Sumatera Utara
2.1.3. Karakteristik Gagal Jantung
Tabel 2.1. Symptom dan Gejala Klinis Pasien Gagal Jantung
Gejala klinis
dominan
Symptom Tanda
Edema/ kongesti
perifer
Sesak nafas,
kelelahan, fatigue,
anorexia
Edema perifer, kenaikan tekanan vena
jugularis, hepatomegali, ascites,
kongesti air. Cachexia
Edema paru Gagal nafas saat
beristirahat
Suara cracles dan rales paru, efusi
pleura, takipnea
Syok kardiogenik Confusion,
kelemahan, akral
dingin
Perfusi perifer yang kurang, tekanan
darah sistolik < 90 mmHg, anuria atau
oligouria
Tekanan darah
yang tinggi (gagal
jantung
hipertensif)
Sesak nafas Biasanya disertai dengan kenaikan
tekanan darah, hipertofi ventrikel kiri,
preservasi fraksi ejeksi
Gagal jantung
kanan
Sesak nafas,
fatigue
Terdapat bukti gagal jantung kanan,
peningkatan tekana vena jugularis,
edema perifer, hepatomegali
Universitas Sumatera Utara
2.1.4. Klasifikasi gagal Jantung
Tabel 2.2. Staging gagal jantung menurut ACC/AHA (staging gagal jantung
berdasarkan struktur dan kerusakan otot jantung)
Tabel. 2.3. Staging gagal jantung berdasarkan NYHA (severitas gejala gagal
jantung berdasarkan aktivitas fisik)
Stage A Resiko besar gagal jantung, tidak teridentifikasi abnormalitas
struktural dan fungsional, tidak ada gejala dan tanda gagal jantung.
Stage B Berkembangnya penyakit struktural jantung yang berhubungan erat
dengan timbulnya gagal jantung, tapi tidak terdapat gejala dan tanda-
tanda gagal jantung.
Stage C Gejala gagal jantung berhubungan dengan perubahan strukural
jantung
Stage D Terdapat kelainan struktural yang berat dan terdapat gejala gagal
jantung pada saat beristirahat.
Kelas 1 Tidak ada batasan saat melakukan aktivitas fisik. Kegiatan fisik
normal tidak menimbulkan fatig, palpitasi dan dispnea.
Kelas 2 Sedikit limitasi pada aktivitas fisik. Timbul gejala seperti fatig,
palpitasi dan dispnea ringan saat aktivitas fisik normal. Gejala hilang
saat beristirahat.
Kelas 3 Aktivitas fisik sangat terbatas. Aktivitas fisik yang lebih ringan dari
biasanya sudah menimbulkan gejala, namun gejala hilang saat
beristirahat.
Universitas Sumatera Utara
2.1.5. Patofisiologi Gagal Jantung
Bila terjadi gangguan kontraktilitas miokard primer atau beban
hemodinamik berlebihan diberikan pada ventrikel normal, jantung akan
mengadakan sejumlah mikanisme adaptasi untuk mempertahankan curah jantung
dan tekanan darah.
Beberapa mekanisme adaptif tersebut antara lain sekresi neurohormonal,
aktivasi sistem renin angiotensin, aktivasi sistem saraf simpatik. peptida
natriuretik, ADH dan endothelin, makanisme frank starling, dan hipertropi
miokard. Tiap mekanisme kompensasi jatung berikut memberikan manfaat
hemodinamik segera, namun dengan konsekuensi yang merugikan dalam jangka
panjang, yang akan berperan dalam perkembangan menjadi gagal jantung kronis.
Misalnya, hipertrofi miokard akan meningkatkan massa elemen kontraktil dan
memperbaiki kontraksi sistolik namun akan meningkatkan kekakuan dinding
ventikel dan fungsi diastolik. Tekanan Darah = Curah Jantung x Tahanan Perifer.
(Yogiantoro, 2006).
Aktivasi sistem saraf simpatis pada gagal jantung, melalui stimulasi
baroreseptor, dapat mengingkatkan kecepatan detak jantung, vasokonstriksi
pembuluh darah akibat perangsangan reseptor alfa dan menghasilkan peningkatan
kontraktilitas miokard pada awalnya. Refleks simpatis bekerja maksimal dalam
jangka waktu 30 detik. (Guyton, 2007) Peningkatan kecepatan detak jantung dan
kontraktilitas secara langsung meningkatan curah jantung. Vasokonstriksi
vaskular mangakibatkan peningkatan aliran balik darah ke jantung, sehingga
meningkatkan beban awal dan meningkatkan stroke volume melalui mekanisme
frank starling. Konstriksi arteriol pada gagal jantung meningkatkan tahananan
pembuluh perifer sehingga membantu memelihara tekanan darah. Adanya
Kelas 4 Gejala-gejala sudah ada sewaktu beristirahat, dan aktivitas fisik yang
ringan akan memperberat gejala.
Universitas Sumatera Utara
distribusi regional reseptor-reseptor alfa sedemikian rupa menyebabkan aliran
darah diredistribusikan ke alat-alat vital (jantung dan otak) dan dikurangi ke
organ-organ perifer seperti kulit, organ-organ splanknik dan ginjal. Namun pada
aktivasi sistem RAA dan neurohormonal berikutnya menyebabkan peningkatan
tonus vena (preload jantung) dan arteri (afterload jantung), meningkatkan
norepinefrin plasma, retensi progresif natrium dan air.
Penurunan perfusi dari jantung akan menyebabkan stimulasi sistem renin
angiotensin aldosteron (RAA) yang menyebabkan peningkatan kadar renin,
angiotensin II plasma dan aldosteron. Angiotensin II merupakan vasokonstriktor
kuat pada arteriol eferen ginjal yang menstimulasi pelepasan norepenefrin dari
ujung saraf simpatik, menghambat tonus vagal dan membatu pelepasan aldosteron
dari adrenal, sehingga dapat menyebabkan retensi natrium dan air di dalam tubuh.
Ginjal mengontrol tekanan darah melalui pengaturan volume cairan
ekstraseluler dan sekresi renin. Sistem Renin-Angiotensin merupakan sistem
endokrin yang penting dalam pengontrolan tekanan darah. Renin disekresi oleh
juxtaglomerulus aparatus ginjal sebagai respon glomerulus underperfusion atau
penurunan asupan garam, ataupun respon dari sistem saraf simpatetik (Gray, et al.
2005). ACE (Angiotensin Converting Enzyme) memegang peranan fisiologis
penting dalam mengatur tekanan darah. Darah mengandung angiotensinogen yang
diproduksi hati, yang oleh hormon renin (diproduksi oleh ginjal) akan diubah
menjadi angiotensin I (dekapeptida yang tidak aktif). Oleh ACE yang terdapat di
paru-paru, angiotensin I diubah menjadi angiotensin II (oktapeptida yang sangat
aktif). Angiotensin II berpotensi besar meningkatkan tekanan darah karena
bersifat sebagai vasokonstriktor melalui dua jalur, yaitu:
a. Meningkatkan sekresi hormon antidiuretik (ADH) dan rasa haus. ADH
diproduksi di hipotalamus (kelenjar pituitari) dan bekerja pada ginjal untuk
mengatur osmolalitas dan volume urin. Dengan meningkatnya ADH, sangat
sedikit urin yang diekskresikan ke luar tubuh (antidiuresis) sehingga urin
menjadi pekat dan tinggi osmolalitasnya. Untuk mengencerkan, volume cairan
Universitas Sumatera Utara
ekstraseluler akan ditingkatkan dengan cara menarik cairan dari bagian
instraseluler. Akibatnya volume darah meningkat sehingga meningkatkan
tekanan darah.
b. Menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal. Aldosteron merupakan
hormon steroid yang berperan penting pada ginjal. Untuk mengatur volume
cairan ekstraseluler, aldosteron akan mengurangi ekskresi NaCl (garam)
dengan cara mereabsorpsinya dari tubulus ginjal. Naiknya konsentrasi NaCl
akan diencerkan kembali dengan cara meningkatkan volume cairan
ekstraseluler yang pada gilirannya akan meningkatkan volume dan tekanan
darah (Gray, et al. 2005).
Penurunan curah jantung pada gagal jantung dirasakan oleh baroreseptor
yang berada sinus karotis dan arkus aorta sebagai suatu penurunan perfusi.
Reseptor- reseptor ini lalu menguragi laju pelepasan rangsang sebanding dengan
penurunan tekanan darah. Sinyal tersebut akan dihantarkan melalui saraf kranial
IX dan X ke pusat pengendalian kardiovaskuler di medula oblongata.
Perptida natriuretik memiliki berbagai efek pada jantung, ginjal dan sistem
saraf pusat. Beberapa jenis peptida natriuretik seperti peptida natriuretik atrial
(Atrial Natriuretic Peptide / ANP) dilepaskan jantung sebagai respon peregangan,
menyebabkan natriuresis dan dilatasi. Selain itu juga akan dilepaskan peptida
natriuretik otak (brain natriuretic peptide / BNP) juga dilepaskan dari ventrikel
jantug dengan kerja yang serupa dengan ANP. Peptida natriuretik bekerja sebagai
antagonis fisiologis terhadap efek angiotensin II, sekresi aldosteron dan reabsorbsi
natrium ginjal.
Endothelin merupakan peptida vasokonstriktor poten yang disekresikan oleh
sel endothelial vaskular yang membantu retensi natrium di ginjal. Konstriksi vena
sistemik dan retensi natrium kan meningkatkan tekanan serta volume akhir
diastolik ventrikel, pemanjangan sarkomer dan kontraksi miofibril diperkuat
(makanisme Frank Starling).
Universitas Sumatera Utara
Retensi cairan oleh ginjal dan peningkatan volume darah terjadi selama
beberapa jam atau hari. Normalnya ginjal menerima suplai darah sebanyak
1100ml/ menit atau sekitar 20 – 25% dari curah jantung. Tujuan utama dari
tingginya aliran darah ke ginjal adalah untuk menyediakan cukup plasma untuk
mengimbangi laju filtrasi glomerulus yang tinggi yang dibutuhkan untuk
pengaturan volume cairan tubuh dan konsentrasi suatu zat terlarut secara efektif.
Oleh karena itu penurunan darah ke ginjal akan menurunkan GRF (Glomerular
Filtration Rate). Hal ini akan mengakibatkan terjadinya oligouria, yang berarti
menurunnya keluaran urin dibawah tingkat asupan air dan zat terlarut. Jika aliran
darah ginjal sangat menurun, dapat terjadi penghentian total keluaran urin, yang
disebut anuria.
Ginjal dapat mengkompensasi kekurangan aliran darah ginjal pada keadaan
aliran darah ginjal sekitar 20-25% keadaan normal. Ketika aliran darah ginjal
menurun, maka GFR dan jumlah natrium klorida yang difiltrasi oleh glomerulus
akan ikut menurun termasuk penurunan filtrasi BUN.
Universitas Sumatera Utara
Gbr. 2.1. Skema Patofisiologi Gagal Jantung
↑sekresi aldosteron
Perfusi ginjal ↓
Refleks baroreseptor
Curah jantung↓ (FE < 45%)
Kontraktilitas miokard↓
↑aktivitas simpatis
↑pelepasan renin
↑angiotensin II
↑resistensi perifer
venokonstriksi ↑denyut jantung
vasokonstiksi ↑ Kontraksi otot jantung
↑volume darah
↑tekanan diastolik akhir ventikel kiri
(preload)
↑aliran
balik vena
vasodilator
↑tekanan diastolik
(afterload)
↑curah jantung (kompensasi)
remodelling jantung
Universitas Sumatera Utara
2.1.6 Pemeriksaan Penunjang Gagal Jantung
1. Radiografi toraks seringkali menunjukkan kardiomegali (rasio
kardiotorasik (CTR) > 50%, terutama apabila gagal jantung sudah kronis.
Ukuran jantung yang normal belum tentu menyingkirkan diagnosis dan
bisa didapatkan pada kejadian gagal jantung kiri akut, seperti yang terjadi
pada infark miokard, regurgitasi katup akut dan defek septum pascainfark.
Kardiomegali dapat disebabkan oleh dilatasi venrikel kiri atau kanan atau
terkadang efusi perikardium.
2. Elektrokardiografi memperlihatkan beberapa abnormalitas pada sebagian
pasien (80-90%), termasuk gelombang Q, perubahan ST-T segmen,
hipertrofi LV, gangguan konduksi dan aritmia.
3. Ekokardiografi harus dilakukan pada pasien dengan dugaan klinis gagal
jantung. Dimensi ruang jantung, fungsi ventrikel (sistolik dan diastolik)
dan abnormalitas gerakan dinding dapat dinilai, dan penyakit katup
jantung dapat disingkirkan.
4. Tes darah direkomendasikan untk menyingkirkan anemia dan menilai
fungsi ginjal. Disfungsi tiroid ( hiper- maupun hipotiroid) dapat
menyebabkan gagal jantung. Pengukuran kadar tropinin T, natriuretik
peptida, BUN juga dapat dilakukan untuk mengetahui penyebab serta
progresivitas gagal jantung.
5. Kateterisasi jantung dapat dilakukan pada kasus dugaan jantung koroner.
6. Tes latihan fisik dapat dilakukan untuk menilai adanya iskemia miokard
dan pada beberapa kasus untuk mengukur batas toleransi tubuh dalam
melakukan latihan aerobik yang sering menurun pada kasus gagal jantung.
Universitas Sumatera Utara
2.2. Kajian Fisiologis Kejadian Gagal Jantung dengan Peningkatan BUN
BUN menggambarkan berapa banyak kadar urea yang beredar dalam
darah, yang merupakan hasil metabolisme protein yang disirkulasikan di dalam
darah. Normalnya, urea terbentuk di dalam hati dan di bawa ke ginjal untuk
diekskresikan. Urea akan mengalami filtrasi di glomerulus dan sebagian akan
direabsorbsi di tubulus. Karena BUN akan dieksresikan melalui ginjal, maka
pemeriksaan BUN dapat digunakan sebagai tes fungsi ginjal.
Nilai normal BUN:
a. Dewasa: 6-20 mg/ dl atau 2,1-7,1 mmol/L
b. Orang tua (>60 tahun) : 8-23 mg/ dl atau 2,9-8,2 mmol /L
c. Anak-anak : 5-18 mg/dl atau 1,8-6,4 mmol/L
Nilai BUN dapat meningkat pada keadaan-keaadan tertentu, seperti:
1. Gangguan fungsi ginjal yang disebabkan oleh keadaan-keadaan seperti
berikut:
• Gagal jantung kongestif
• Keadaan syok
• Dehidrasi
• Stres
• Infark miokardium akut
2. Gagal ginjal kronik seperti pada glomerulonefritis dan pyelonefritis
3. Obstuksi saluran kemih
4. Diabetes melitus dengan ketoasidosis
5. Pendarahan saluran cerna
6. Konsumsi protein yang tinggi
7. Katabolisme protein yang tinggi seperti pada pasien kanker
8. Pemakaian steroid jangka panjang
Universitas Sumatera Utara
Nilai BUN juga dapat menurun pada keadaan-keadaan berikut:
1. Gagal liver seperti pada pasien-pasien hepatitis, keracunan obat-obatan
dan zat-zat tertentu
2. Akromegali
3. Malnutrisi dan diet randah protein
4. Syndrome of Inapropriate Antidiuretic Hormone (SIADH)
Ureum direabsorbsi secara pasif di tubulus, tetapi jauh lebih sedikit
daripada ion klorida. Ketika air direabsorbsi dari tubulus (melalui osmosis
bersamaan dengan osmosis natrium), konsentrasi ureum didalam tubulus
meningkat. Hal ini menimbulkan gradien konsentrasi yang menyebabkan
reabsorbsi natrium. Ureum tidak dapat memasuki tubulus semudah air. Pada
beberapa bagian nefron, terutama di duktus koligentes medula internal, reabsorpsi
pasif uerum difasilitasi oleh pengangkut ureum spesifik. Ureum yang tersisa akan
dimasukkan kedalam urin, menyebabkan ginjal mengeksresi sejumlah besar
produk buangan metabolisme ini.
Produk hasil metabolisme lainnya, misalnya kreatinin, adalah molekul
yang lebih besar daripada ureum dan pada dasarnya tidak permeabel terhadap
membran tubulus. Oleh karena itu, kreatinin yang telah difiltrasi hampir tidak ada
yang direabsorbsi, sehingga semua kreatinin yang difiltrasi oleh glomerulus akan
disekresikan kedalam urin.
2.2.1. Tranpor Urea ginjal
Sisa nitrogen hasil metabolisme tubuh pada disekresikan terutama dalam
bentuk urea (90%), suatu molekul yang mudah terlarut di dalam air. Mekanisme
yang terjadi dalam proses reabsorbsi urea ginjal berperan penting dalam mengatur
konsentrasi urine di ginjal. Telah dibuktikan bahwa peningkatan kecepatan
ekskresi urea hampir seluruhnya bergantung pada kecepatan filtrasi glomerulus
dan reabsorbsi tubular. Urea direabsorbsi melalui dua mekanisme: pertama sekali
Universitas Sumatera Utara
hal ini terjadi di tubulus proximal dimana 40% urea yang telah difiltrasi akan
direabsorbsi. Karena reabsorbsi urea pada bagian ini bergantung pada konsentrasi
cairan ( concentration dependent), maka jika ada suatu hal yang menyebabkan
peningkatan reabsorbsi air, maka hal tersebut akan disertai dengan peningktan
reabsorbsi pasif urea pada bagian ini.
Mekanisme kedua berada di bagian distal nefron (inner medullary
collecting duct). Hal ini bergantung pada peningkatan sekresi hormon antidiuretik.
Peningkatan jumlah AVP (Arginine Vasopressin) akan meningkatkan reabsorbsi
urea pada segmen ini, khususnya pada bagian terminal dari inner medullary
collecting duct. Proses peningkatan reabsorbsi ini diperantarai oleh suatu
transporter tertentu yang diatur oleh gen UT-A dan UT-B. Transporter urea juga
terdapat pada organ ekstrarenal, misalnya di jantung, namun peranannya masih
belum diketahui secara pasti.
Pada ginjal jumlah transporter urea ini diatur oleh AVP, glukokortikoid,
dan mineral kortikoid. Pada bagian distal nerfon, penyerapan urea ini bersifat flow
dependent; penurunan kecepatan aliran cairan pada bagian distal ini akan
menyebabkan perlambatan kecepatan aliran cairan tubular di tubulus pengumpul
(collecting duct), yang akan menyebabkan terjadinya peningkatan reabsorbsi urea.
Menarikanya, AVP juga mengatur transpor air pada ginjal, juga berada pada
nerfon distalis, namun melalui kanal dan mekanisme yang berbeda.
2.2.2. Transpor Air
Kanal air aquaphorin memperantarai pergerakan air melewati membran
lipid bilayer. Aquaphorin2 ditemukan pada sel prinsipal tubulus pengumpul
sebagai kanal utama reabsorbsi air melewati membran apikal sel. Melalui reseptor
V2 yang terdapat pada membran basolateral tubulus pengumpul, AVP bekerja
menatur kecepatan vesikel-vesikel yang berisi aquaphorin-2 ke membran apikal
dan menyebabkan peningkatan permeabilitas membran terhadap air.
Universitas Sumatera Utara
Peningkatan jumlah AVP akan meningkatkan jumlah aquaphorin pada
bagian distal nefron yang akan menginduksi reabsorbsi air. Sebaliknya, supresi
AVP akan menurunkan eksositosis kanal aquaphorin-2, dan akan meningkatkan
klirens air dari ginjal.
2.2.3. Argrinine Vasopressor Peptide
AVP merupakan suatu polipeptida yang dihasilkan oleh sel neurosekretori
di bagian paraventrikuler dan supraoptik hipotalamus dan disekresikan melalui
kelenjar pituitary posterior. Hiperosmolaritas plasma yang dikenali oleh
osmoreseptor merupakan stimulus utama sekresi AVP. Ambang batas tekanan
osmotik untuk pelepasan AVP kedalam darah adalah 280-290 msom/kg. Selain
itu, stimulasi nonosmotik juga dapat meningkatkan pelepasan AVP, misalnya
pada penurunan volume sirkulasi darah dan sekresi angiotensin II. Sensor
baroreseptor pada karotid sinus memperantarai pelepasan AVP yang terkait pada
volume sirkulasi darah. Namun bila dibandingkan dengan stimulasi osmoreseptor,
stimulasi baroreseptor tidak terlalu sensitif, dimana hanya pada perubahan volume
darah yang signifikan dan menyebabkan hipotensilah yang memicu stimulasi ini
berlangsung.
Mekanisme kerja AVP ini diatur oleh reseptor vasopressin, misalnya
reseptor V1a, V1b dan V2. Reseptor v2 terutama terdapat pada pemukaan
basolateral duktus koligentes dan mengatur transpor air melalui ekspresi
aquaphorine-2. Bersamaan dengan terjadinya hipoosmolaritas dan penurunan
efektivitas volume sirkulasi tubuh ( misalnya pada keadaan hipotermia terus
menerus dan gagal jantung) akan menyebakan pelepasan AVP secara terus
menerus, walaupun seharusnya penurunan osmolaritas plasma dibawah normal
sehatusnya menginhibisi sekresi AVP. AVP dimetabolisme dengan cepat, dengan
waktu paruh dalam sirkulasi darah kurang dari 20 menit.
Melihat kembali pada mekanisme AVP yang telah diketahui, maka
kegagalan pompa pada ventrikel kiri akan meningkatkan sekresi AVP dari
Universitas Sumatera Utara
kelenjar pituitari posterior. Peningkatan kadar AVP akan menyebabkan
peningkatan regulasi transporter urea pada tubulus pengumpul, oleh karena itu
peningkatan kadar AVP akan diikuti oleh peningkatan BUN.
2.2.3 Sistem Renin Angiotensin Aldosteron
Sistem RAAS merupakan suatu sistem regulasi kompeks di dalam tubuh
yang melibatkan pengaturan kardiovaskular, hemodinamik dan sistem ginjal.
Kortex juxtamedular ginjal merupakan sumber utama pelepasan renin.
Angiotensin II berikatan dengan beberapa kelas angiotensin reseptor, yaitu AT-1
dan AT-2. AT-1A ditemukan pada pembuluh darah, otak dan organ tubuh lainnya.
Sementara AT-1B banyak ditemukan pada hipofisis anterior dan korteks adrenal.
Selain efek tidak langsungnya melalui induksi pelepasan aldosteron, angiotensin
II juga memiliki efek antidiuretik langsung kepada nefron. Aktivasi AT-1
meningkatkan aktivitas pertukaran natrium-hidrogen di membran apikal nefron.
Pertama sekali angiotensin II akan meningkatkan absorbsi sodium dan air
pada tubulus proksimal dan akan menyebabkan meningkatnya konsentrasi urea
yang telah terfiltrasi pada tubulus proksimal. Hal ini akan meningkatkan
reabsorbsi pasif urea melewati gradien konsentrasi tubulus. Kedua, peningkatan
reabsorbsi air pada tubulus proksimal akan menurunkan volume cairan yang
melewati bagian distal, sehingga akan mengakibatkan kecepatan aliran tubulus
akan berkurang pada tubulus pengumpul, yang mengakibatkan peningkatan
reabsorbsi urea yang bersifat flow dependent.
2.2.4. Sistem Saraf Simpatis
Sistem saraf simpatis memiliki peranan penting dalam mengatur
konsentrasi natrium dan air di dalam tubuh. Sistem saraf simpatis ginjal
berhubungan secara langsung dengan membran dasar peritubular (peritubular
basement membrane). Sel juxtaglomerulus juga diinervasi langsung oleh saraf
simpatis. Adanya perubahan pada saraf simpatis ginjal, akan langsung
Universitas Sumatera Utara
menimbulkan efek pada transpor pada tubulus renal. Selain mempengaruhi
tubulus, saraf simpatis juga menginervasi arteri aferen dan eferen ginjal sehingga
akan mempengaruhi hemodinamik ginjal dengan menyebabkan vasokonstriksi
pembuluh darah. Peningkatan aktivitas sistem saraf simpatis akan meningkatkan
reabsorbsi sodium di tubulus ginjal.
2.2. Gambar Skema Hubungan Gagal Jantung dengan Peningkatan BUN
↑aktivitas simpatis
Peningktan jumlah transporter urea di tubulus pengumpul
padal medula internal.
↑Reabsorbsi concentration
dependent urea di tubulus proximal renal
↑Reabsorbsi flow dependent urea di
tubulus distal
↑ Pelepasan AVP
(Agrinine Vasopressin Peptide)
↑ Aktivitas RAAS
Gagal Jantung
↑ BUN
Universitas Sumatera Utara