chapter ll

16
BAB 2 Tinjauan Pustaka 2.1. Gagal Jantung 2.1.1. Definisi Gagal Jantung Gagal jantung adalah keadaan dimana jantung tidak lagi mampu memompa darah dalam jumlah yang memadai ke jaringan untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh walaupun darah balik masih normal (Lily.et al.2003). Sebagai pompa, ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kerja jantung. Faktor-faktor tersebut adalah kontraktilitas miokard, denyut jantung (kekuatan, irama, dan kecepatan pompa jantung), beban awal dan beban akhir. Beban awal (preload) merupakan beban yang diterima ventrikel kiri saat akhir diastol. Hal ini sama dengan volume akhir diastolik ventrikel kiri ( Left ventricular end diastolic volume) dan tekanan pada akhir diastol disebut tenanan akhir pengisian akhir diastol ventrikel kiri (left ventricular filling pressure). Beban awal ditentukan oleh jumlah darah yang kembali dari sistem vena ke atrium kanan dan dipompakan ke paru-paru untuk kembali ke ventrikel kiri. Beban akhir merupakan beban yang dihadapi otot jantung saat berkontraksi memompa darah keluar ventrikel kiri menuju aorta. Gagal jantung merupakan keadaan klinis dan bukan suatu diagnosis, sehingga penyebabnya harus tetap dicari. Hukum Frank-Starling menyatakan, energi kontraksi sebanding dengan panjang awal serat otot jantung. Sehingga dengan diregangnya otot, timbul peningkatan tegangan sampai maksimal dan kemudian menurun dengan semakin bertambahnya regangan. Pada keadaan fisiologis semakin besar volume ventrikel selama diastolik, semakin teregang serat jantung sebelum stimulasi, dan akan semakin besar pula kekuatan kontraksi berikutnya. Hal ini menunjukkan bahwa, peningkatan ventricular output berhubungan dengan preload (peregangan serat-serat miokardium sebelum Universitas Sumatera Utara

Upload: rheza-tuszakka

Post on 22-Dec-2015

217 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

fgjhhgj

TRANSCRIPT

BAB 2

Tinjauan Pustaka

2.1. Gagal Jantung

2.1.1. Definisi Gagal Jantung

Gagal jantung adalah keadaan dimana jantung tidak lagi mampu

memompa darah dalam jumlah yang memadai ke jaringan untuk memenuhi

kebutuhan metabolisme tubuh walaupun darah balik masih normal (Lily.et

al.2003). Sebagai pompa, ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kerja

jantung. Faktor-faktor tersebut adalah kontraktilitas miokard, denyut jantung

(kekuatan, irama, dan kecepatan pompa jantung), beban awal dan beban akhir.

Beban awal (preload) merupakan beban yang diterima ventrikel kiri saat

akhir diastol. Hal ini sama dengan volume akhir diastolik ventrikel kiri ( Left

ventricular end diastolic volume) dan tekanan pada akhir diastol disebut tenanan

akhir pengisian akhir diastol ventrikel kiri (left ventricular filling pressure).

Beban awal ditentukan oleh jumlah darah yang kembali dari sistem vena ke

atrium kanan dan dipompakan ke paru-paru untuk kembali ke ventrikel kiri.

Beban akhir merupakan beban yang dihadapi otot jantung saat berkontraksi

memompa darah keluar ventrikel kiri menuju aorta.

Gagal jantung merupakan keadaan klinis dan bukan suatu diagnosis,

sehingga penyebabnya harus tetap dicari. Hukum Frank-Starling menyatakan,

energi kontraksi sebanding dengan panjang awal serat otot jantung. Sehingga

dengan diregangnya otot, timbul peningkatan tegangan sampai maksimal dan

kemudian menurun dengan semakin bertambahnya regangan. Pada keadaan

fisiologis semakin besar volume ventrikel selama diastolik, semakin teregang

serat jantung sebelum stimulasi, dan akan semakin besar pula kekuatan kontraksi

berikutnya. Hal ini menunjukkan bahwa, peningkatan ventricular output

berhubungan dengan preload (peregangan serat-serat miokardium sebelum

Universitas Sumatera Utara

kontraksi). Cardiac output dipengaruhi oleh stroke volume dan frekuensi jantung.

Ventricular stroke volume dipengaruhi oleh preload, afterload dan kontraktilitas

miokardium. Stroke volume akan meningkat bila terjadi peningkatan preload,

penurunan afterload, atau peningkatan kontraktilitas

2.1.2. Etiologi Gagal Jantung

Gagal jantung paling sering diakibatkan oleh kegagalan kontraktilitas

miokard, seperti yang terjadi pada infark miokardium, hipertensi dan

kardiomiopati. Namun pada kondisi tertentu, bahkan miokardium dengan

kontraktilitas yang baik tidak dapat memenuhi kebutuhan darah sistemik

keseluruh tubuh untuk memenuhi seluruh kebutuhan metabolik tubuh. Kondisi ini

dapat disebabkan oleh masalah-masalah mekanik, misalnya pada regurgitasi katup

berat, fistuloa arteriovena, defisienti tiamin, hipertiroid.

Hipertensi dan jantung koroner merupakan penyebab terbanyak gagal

jantung. Faktor resiko independen gagal jantung serupa dengan faktor resiko pada

penyakit jantung koroner antara lain peningkatan kolesterol, hipertensi dan

diabetes. Selain itu pemberian obat-obatan seperti beta bloker dan antagonis

kalsium dapat menekan kontraktilitas miokard dan obat kemoterapeutik seperti

doksorubicin dapat menyebabkan kerusakan miokard. Kerusakan miokard juga

dapat disebabkan oleh konsumsi alkohol dalam jumlah besar yang bersifat

kardiotoksik.

Aritmia juga dapat mengurangi efesiensi jantung, seperti yang terjadi pada

fibrilasi atrium atau disosiasi dari kontraksi ventrikel (blok jantung). Takikardia

baik itu venrikel maupun atrium dapat menurunkan waktu pengisian ventrikel,

meningkatkan beban kerja miokardium dan kebutuhan oksigen sehingga

menyebabkan iskemia miokard, dan bila hal tersebut terjadi dalam waktu lama

dapat menyebabkan dilatasi ventrikel .

Universitas Sumatera Utara

2.1.3. Karakteristik Gagal Jantung

Tabel 2.1. Symptom dan Gejala Klinis Pasien Gagal Jantung

Gejala klinis

dominan

Symptom Tanda

Edema/ kongesti

perifer

Sesak nafas,

kelelahan, fatigue,

anorexia

Edema perifer, kenaikan tekanan vena

jugularis, hepatomegali, ascites,

kongesti air. Cachexia

Edema paru Gagal nafas saat

beristirahat

Suara cracles dan rales paru, efusi

pleura, takipnea

Syok kardiogenik Confusion,

kelemahan, akral

dingin

Perfusi perifer yang kurang, tekanan

darah sistolik < 90 mmHg, anuria atau

oligouria

Tekanan darah

yang tinggi (gagal

jantung

hipertensif)

Sesak nafas Biasanya disertai dengan kenaikan

tekanan darah, hipertofi ventrikel kiri,

preservasi fraksi ejeksi

Gagal jantung

kanan

Sesak nafas,

fatigue

Terdapat bukti gagal jantung kanan,

peningkatan tekana vena jugularis,

edema perifer, hepatomegali

Universitas Sumatera Utara

2.1.4. Klasifikasi gagal Jantung

Tabel 2.2. Staging gagal jantung menurut ACC/AHA (staging gagal jantung

berdasarkan struktur dan kerusakan otot jantung)

Tabel. 2.3. Staging gagal jantung berdasarkan NYHA (severitas gejala gagal

jantung berdasarkan aktivitas fisik)

Stage A Resiko besar gagal jantung, tidak teridentifikasi abnormalitas

struktural dan fungsional, tidak ada gejala dan tanda gagal jantung.

Stage B Berkembangnya penyakit struktural jantung yang berhubungan erat

dengan timbulnya gagal jantung, tapi tidak terdapat gejala dan tanda-

tanda gagal jantung.

Stage C Gejala gagal jantung berhubungan dengan perubahan strukural

jantung

Stage D Terdapat kelainan struktural yang berat dan terdapat gejala gagal

jantung pada saat beristirahat.

Kelas 1 Tidak ada batasan saat melakukan aktivitas fisik. Kegiatan fisik

normal tidak menimbulkan fatig, palpitasi dan dispnea.

Kelas 2 Sedikit limitasi pada aktivitas fisik. Timbul gejala seperti fatig,

palpitasi dan dispnea ringan saat aktivitas fisik normal. Gejala hilang

saat beristirahat.

Kelas 3 Aktivitas fisik sangat terbatas. Aktivitas fisik yang lebih ringan dari

biasanya sudah menimbulkan gejala, namun gejala hilang saat

beristirahat.

Universitas Sumatera Utara

2.1.5. Patofisiologi Gagal Jantung

Bila terjadi gangguan kontraktilitas miokard primer atau beban

hemodinamik berlebihan diberikan pada ventrikel normal, jantung akan

mengadakan sejumlah mikanisme adaptasi untuk mempertahankan curah jantung

dan tekanan darah.

Beberapa mekanisme adaptif tersebut antara lain sekresi neurohormonal,

aktivasi sistem renin angiotensin, aktivasi sistem saraf simpatik. peptida

natriuretik, ADH dan endothelin, makanisme frank starling, dan hipertropi

miokard. Tiap mekanisme kompensasi jatung berikut memberikan manfaat

hemodinamik segera, namun dengan konsekuensi yang merugikan dalam jangka

panjang, yang akan berperan dalam perkembangan menjadi gagal jantung kronis.

Misalnya, hipertrofi miokard akan meningkatkan massa elemen kontraktil dan

memperbaiki kontraksi sistolik namun akan meningkatkan kekakuan dinding

ventikel dan fungsi diastolik. Tekanan Darah = Curah Jantung x Tahanan Perifer.

(Yogiantoro, 2006).

Aktivasi sistem saraf simpatis pada gagal jantung, melalui stimulasi

baroreseptor, dapat mengingkatkan kecepatan detak jantung, vasokonstriksi

pembuluh darah akibat perangsangan reseptor alfa dan menghasilkan peningkatan

kontraktilitas miokard pada awalnya. Refleks simpatis bekerja maksimal dalam

jangka waktu 30 detik. (Guyton, 2007) Peningkatan kecepatan detak jantung dan

kontraktilitas secara langsung meningkatan curah jantung. Vasokonstriksi

vaskular mangakibatkan peningkatan aliran balik darah ke jantung, sehingga

meningkatkan beban awal dan meningkatkan stroke volume melalui mekanisme

frank starling. Konstriksi arteriol pada gagal jantung meningkatkan tahananan

pembuluh perifer sehingga membantu memelihara tekanan darah. Adanya

Kelas 4 Gejala-gejala sudah ada sewaktu beristirahat, dan aktivitas fisik yang

ringan akan memperberat gejala.

Universitas Sumatera Utara

distribusi regional reseptor-reseptor alfa sedemikian rupa menyebabkan aliran

darah diredistribusikan ke alat-alat vital (jantung dan otak) dan dikurangi ke

organ-organ perifer seperti kulit, organ-organ splanknik dan ginjal. Namun pada

aktivasi sistem RAA dan neurohormonal berikutnya menyebabkan peningkatan

tonus vena (preload jantung) dan arteri (afterload jantung), meningkatkan

norepinefrin plasma, retensi progresif natrium dan air.

Penurunan perfusi dari jantung akan menyebabkan stimulasi sistem renin

angiotensin aldosteron (RAA) yang menyebabkan peningkatan kadar renin,

angiotensin II plasma dan aldosteron. Angiotensin II merupakan vasokonstriktor

kuat pada arteriol eferen ginjal yang menstimulasi pelepasan norepenefrin dari

ujung saraf simpatik, menghambat tonus vagal dan membatu pelepasan aldosteron

dari adrenal, sehingga dapat menyebabkan retensi natrium dan air di dalam tubuh.

Ginjal mengontrol tekanan darah melalui pengaturan volume cairan

ekstraseluler dan sekresi renin. Sistem Renin-Angiotensin merupakan sistem

endokrin yang penting dalam pengontrolan tekanan darah. Renin disekresi oleh

juxtaglomerulus aparatus ginjal sebagai respon glomerulus underperfusion atau

penurunan asupan garam, ataupun respon dari sistem saraf simpatetik (Gray, et al.

2005). ACE (Angiotensin Converting Enzyme) memegang peranan fisiologis

penting dalam mengatur tekanan darah. Darah mengandung angiotensinogen yang

diproduksi hati, yang oleh hormon renin (diproduksi oleh ginjal) akan diubah

menjadi angiotensin I (dekapeptida yang tidak aktif). Oleh ACE yang terdapat di

paru-paru, angiotensin I diubah menjadi angiotensin II (oktapeptida yang sangat

aktif). Angiotensin II berpotensi besar meningkatkan tekanan darah karena

bersifat sebagai vasokonstriktor melalui dua jalur, yaitu:

a. Meningkatkan sekresi hormon antidiuretik (ADH) dan rasa haus. ADH

diproduksi di hipotalamus (kelenjar pituitari) dan bekerja pada ginjal untuk

mengatur osmolalitas dan volume urin. Dengan meningkatnya ADH, sangat

sedikit urin yang diekskresikan ke luar tubuh (antidiuresis) sehingga urin

menjadi pekat dan tinggi osmolalitasnya. Untuk mengencerkan, volume cairan

Universitas Sumatera Utara

ekstraseluler akan ditingkatkan dengan cara menarik cairan dari bagian

instraseluler. Akibatnya volume darah meningkat sehingga meningkatkan

tekanan darah.

b. Menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal. Aldosteron merupakan

hormon steroid yang berperan penting pada ginjal. Untuk mengatur volume

cairan ekstraseluler, aldosteron akan mengurangi ekskresi NaCl (garam)

dengan cara mereabsorpsinya dari tubulus ginjal. Naiknya konsentrasi NaCl

akan diencerkan kembali dengan cara meningkatkan volume cairan

ekstraseluler yang pada gilirannya akan meningkatkan volume dan tekanan

darah (Gray, et al. 2005).

Penurunan curah jantung pada gagal jantung dirasakan oleh baroreseptor

yang berada sinus karotis dan arkus aorta sebagai suatu penurunan perfusi.

Reseptor- reseptor ini lalu menguragi laju pelepasan rangsang sebanding dengan

penurunan tekanan darah. Sinyal tersebut akan dihantarkan melalui saraf kranial

IX dan X ke pusat pengendalian kardiovaskuler di medula oblongata.

Perptida natriuretik memiliki berbagai efek pada jantung, ginjal dan sistem

saraf pusat. Beberapa jenis peptida natriuretik seperti peptida natriuretik atrial

(Atrial Natriuretic Peptide / ANP) dilepaskan jantung sebagai respon peregangan,

menyebabkan natriuresis dan dilatasi. Selain itu juga akan dilepaskan peptida

natriuretik otak (brain natriuretic peptide / BNP) juga dilepaskan dari ventrikel

jantug dengan kerja yang serupa dengan ANP. Peptida natriuretik bekerja sebagai

antagonis fisiologis terhadap efek angiotensin II, sekresi aldosteron dan reabsorbsi

natrium ginjal.

Endothelin merupakan peptida vasokonstriktor poten yang disekresikan oleh

sel endothelial vaskular yang membantu retensi natrium di ginjal. Konstriksi vena

sistemik dan retensi natrium kan meningkatkan tekanan serta volume akhir

diastolik ventrikel, pemanjangan sarkomer dan kontraksi miofibril diperkuat

(makanisme Frank Starling).

Universitas Sumatera Utara

Retensi cairan oleh ginjal dan peningkatan volume darah terjadi selama

beberapa jam atau hari. Normalnya ginjal menerima suplai darah sebanyak

1100ml/ menit atau sekitar 20 – 25% dari curah jantung. Tujuan utama dari

tingginya aliran darah ke ginjal adalah untuk menyediakan cukup plasma untuk

mengimbangi laju filtrasi glomerulus yang tinggi yang dibutuhkan untuk

pengaturan volume cairan tubuh dan konsentrasi suatu zat terlarut secara efektif.

Oleh karena itu penurunan darah ke ginjal akan menurunkan GRF (Glomerular

Filtration Rate). Hal ini akan mengakibatkan terjadinya oligouria, yang berarti

menurunnya keluaran urin dibawah tingkat asupan air dan zat terlarut. Jika aliran

darah ginjal sangat menurun, dapat terjadi penghentian total keluaran urin, yang

disebut anuria.

Ginjal dapat mengkompensasi kekurangan aliran darah ginjal pada keadaan

aliran darah ginjal sekitar 20-25% keadaan normal. Ketika aliran darah ginjal

menurun, maka GFR dan jumlah natrium klorida yang difiltrasi oleh glomerulus

akan ikut menurun termasuk penurunan filtrasi BUN.

Universitas Sumatera Utara

Gbr. 2.1. Skema Patofisiologi Gagal Jantung

↑sekresi aldosteron

Perfusi ginjal ↓

Refleks baroreseptor

Curah jantung↓ (FE < 45%)

Kontraktilitas miokard↓

↑aktivitas simpatis

↑pelepasan renin

↑angiotensin II

↑resistensi perifer

venokonstriksi ↑denyut jantung

vasokonstiksi ↑ Kontraksi otot jantung

↑volume darah

↑tekanan diastolik akhir ventikel kiri

(preload)

↑aliran

balik vena

vasodilator

↑tekanan diastolik

(afterload)

↑curah jantung (kompensasi)

remodelling jantung

Universitas Sumatera Utara

2.1.6 Pemeriksaan Penunjang Gagal Jantung

1. Radiografi toraks seringkali menunjukkan kardiomegali (rasio

kardiotorasik (CTR) > 50%, terutama apabila gagal jantung sudah kronis.

Ukuran jantung yang normal belum tentu menyingkirkan diagnosis dan

bisa didapatkan pada kejadian gagal jantung kiri akut, seperti yang terjadi

pada infark miokard, regurgitasi katup akut dan defek septum pascainfark.

Kardiomegali dapat disebabkan oleh dilatasi venrikel kiri atau kanan atau

terkadang efusi perikardium.

2. Elektrokardiografi memperlihatkan beberapa abnormalitas pada sebagian

pasien (80-90%), termasuk gelombang Q, perubahan ST-T segmen,

hipertrofi LV, gangguan konduksi dan aritmia.

3. Ekokardiografi harus dilakukan pada pasien dengan dugaan klinis gagal

jantung. Dimensi ruang jantung, fungsi ventrikel (sistolik dan diastolik)

dan abnormalitas gerakan dinding dapat dinilai, dan penyakit katup

jantung dapat disingkirkan.

4. Tes darah direkomendasikan untk menyingkirkan anemia dan menilai

fungsi ginjal. Disfungsi tiroid ( hiper- maupun hipotiroid) dapat

menyebabkan gagal jantung. Pengukuran kadar tropinin T, natriuretik

peptida, BUN juga dapat dilakukan untuk mengetahui penyebab serta

progresivitas gagal jantung.

5. Kateterisasi jantung dapat dilakukan pada kasus dugaan jantung koroner.

6. Tes latihan fisik dapat dilakukan untuk menilai adanya iskemia miokard

dan pada beberapa kasus untuk mengukur batas toleransi tubuh dalam

melakukan latihan aerobik yang sering menurun pada kasus gagal jantung.

Universitas Sumatera Utara

2.2. Kajian Fisiologis Kejadian Gagal Jantung dengan Peningkatan BUN

BUN menggambarkan berapa banyak kadar urea yang beredar dalam

darah, yang merupakan hasil metabolisme protein yang disirkulasikan di dalam

darah. Normalnya, urea terbentuk di dalam hati dan di bawa ke ginjal untuk

diekskresikan. Urea akan mengalami filtrasi di glomerulus dan sebagian akan

direabsorbsi di tubulus. Karena BUN akan dieksresikan melalui ginjal, maka

pemeriksaan BUN dapat digunakan sebagai tes fungsi ginjal.

Nilai normal BUN:

a. Dewasa: 6-20 mg/ dl atau 2,1-7,1 mmol/L

b. Orang tua (>60 tahun) : 8-23 mg/ dl atau 2,9-8,2 mmol /L

c. Anak-anak : 5-18 mg/dl atau 1,8-6,4 mmol/L

Nilai BUN dapat meningkat pada keadaan-keaadan tertentu, seperti:

1. Gangguan fungsi ginjal yang disebabkan oleh keadaan-keadaan seperti

berikut:

• Gagal jantung kongestif

• Keadaan syok

• Dehidrasi

• Stres

• Infark miokardium akut

2. Gagal ginjal kronik seperti pada glomerulonefritis dan pyelonefritis

3. Obstuksi saluran kemih

4. Diabetes melitus dengan ketoasidosis

5. Pendarahan saluran cerna

6. Konsumsi protein yang tinggi

7. Katabolisme protein yang tinggi seperti pada pasien kanker

8. Pemakaian steroid jangka panjang

Universitas Sumatera Utara

Nilai BUN juga dapat menurun pada keadaan-keadaan berikut:

1. Gagal liver seperti pada pasien-pasien hepatitis, keracunan obat-obatan

dan zat-zat tertentu

2. Akromegali

3. Malnutrisi dan diet randah protein

4. Syndrome of Inapropriate Antidiuretic Hormone (SIADH)

Ureum direabsorbsi secara pasif di tubulus, tetapi jauh lebih sedikit

daripada ion klorida. Ketika air direabsorbsi dari tubulus (melalui osmosis

bersamaan dengan osmosis natrium), konsentrasi ureum didalam tubulus

meningkat. Hal ini menimbulkan gradien konsentrasi yang menyebabkan

reabsorbsi natrium. Ureum tidak dapat memasuki tubulus semudah air. Pada

beberapa bagian nefron, terutama di duktus koligentes medula internal, reabsorpsi

pasif uerum difasilitasi oleh pengangkut ureum spesifik. Ureum yang tersisa akan

dimasukkan kedalam urin, menyebabkan ginjal mengeksresi sejumlah besar

produk buangan metabolisme ini.

Produk hasil metabolisme lainnya, misalnya kreatinin, adalah molekul

yang lebih besar daripada ureum dan pada dasarnya tidak permeabel terhadap

membran tubulus. Oleh karena itu, kreatinin yang telah difiltrasi hampir tidak ada

yang direabsorbsi, sehingga semua kreatinin yang difiltrasi oleh glomerulus akan

disekresikan kedalam urin.

2.2.1. Tranpor Urea ginjal

Sisa nitrogen hasil metabolisme tubuh pada disekresikan terutama dalam

bentuk urea (90%), suatu molekul yang mudah terlarut di dalam air. Mekanisme

yang terjadi dalam proses reabsorbsi urea ginjal berperan penting dalam mengatur

konsentrasi urine di ginjal. Telah dibuktikan bahwa peningkatan kecepatan

ekskresi urea hampir seluruhnya bergantung pada kecepatan filtrasi glomerulus

dan reabsorbsi tubular. Urea direabsorbsi melalui dua mekanisme: pertama sekali

Universitas Sumatera Utara

hal ini terjadi di tubulus proximal dimana 40% urea yang telah difiltrasi akan

direabsorbsi. Karena reabsorbsi urea pada bagian ini bergantung pada konsentrasi

cairan ( concentration dependent), maka jika ada suatu hal yang menyebabkan

peningkatan reabsorbsi air, maka hal tersebut akan disertai dengan peningktan

reabsorbsi pasif urea pada bagian ini.

Mekanisme kedua berada di bagian distal nefron (inner medullary

collecting duct). Hal ini bergantung pada peningkatan sekresi hormon antidiuretik.

Peningkatan jumlah AVP (Arginine Vasopressin) akan meningkatkan reabsorbsi

urea pada segmen ini, khususnya pada bagian terminal dari inner medullary

collecting duct. Proses peningkatan reabsorbsi ini diperantarai oleh suatu

transporter tertentu yang diatur oleh gen UT-A dan UT-B. Transporter urea juga

terdapat pada organ ekstrarenal, misalnya di jantung, namun peranannya masih

belum diketahui secara pasti.

Pada ginjal jumlah transporter urea ini diatur oleh AVP, glukokortikoid,

dan mineral kortikoid. Pada bagian distal nerfon, penyerapan urea ini bersifat flow

dependent; penurunan kecepatan aliran cairan pada bagian distal ini akan

menyebabkan perlambatan kecepatan aliran cairan tubular di tubulus pengumpul

(collecting duct), yang akan menyebabkan terjadinya peningkatan reabsorbsi urea.

Menarikanya, AVP juga mengatur transpor air pada ginjal, juga berada pada

nerfon distalis, namun melalui kanal dan mekanisme yang berbeda.

2.2.2. Transpor Air

Kanal air aquaphorin memperantarai pergerakan air melewati membran

lipid bilayer. Aquaphorin2 ditemukan pada sel prinsipal tubulus pengumpul

sebagai kanal utama reabsorbsi air melewati membran apikal sel. Melalui reseptor

V2 yang terdapat pada membran basolateral tubulus pengumpul, AVP bekerja

menatur kecepatan vesikel-vesikel yang berisi aquaphorin-2 ke membran apikal

dan menyebabkan peningkatan permeabilitas membran terhadap air.

Universitas Sumatera Utara

Peningkatan jumlah AVP akan meningkatkan jumlah aquaphorin pada

bagian distal nefron yang akan menginduksi reabsorbsi air. Sebaliknya, supresi

AVP akan menurunkan eksositosis kanal aquaphorin-2, dan akan meningkatkan

klirens air dari ginjal.

2.2.3. Argrinine Vasopressor Peptide

AVP merupakan suatu polipeptida yang dihasilkan oleh sel neurosekretori

di bagian paraventrikuler dan supraoptik hipotalamus dan disekresikan melalui

kelenjar pituitary posterior. Hiperosmolaritas plasma yang dikenali oleh

osmoreseptor merupakan stimulus utama sekresi AVP. Ambang batas tekanan

osmotik untuk pelepasan AVP kedalam darah adalah 280-290 msom/kg. Selain

itu, stimulasi nonosmotik juga dapat meningkatkan pelepasan AVP, misalnya

pada penurunan volume sirkulasi darah dan sekresi angiotensin II. Sensor

baroreseptor pada karotid sinus memperantarai pelepasan AVP yang terkait pada

volume sirkulasi darah. Namun bila dibandingkan dengan stimulasi osmoreseptor,

stimulasi baroreseptor tidak terlalu sensitif, dimana hanya pada perubahan volume

darah yang signifikan dan menyebabkan hipotensilah yang memicu stimulasi ini

berlangsung.

Mekanisme kerja AVP ini diatur oleh reseptor vasopressin, misalnya

reseptor V1a, V1b dan V2. Reseptor v2 terutama terdapat pada pemukaan

basolateral duktus koligentes dan mengatur transpor air melalui ekspresi

aquaphorine-2. Bersamaan dengan terjadinya hipoosmolaritas dan penurunan

efektivitas volume sirkulasi tubuh ( misalnya pada keadaan hipotermia terus

menerus dan gagal jantung) akan menyebakan pelepasan AVP secara terus

menerus, walaupun seharusnya penurunan osmolaritas plasma dibawah normal

sehatusnya menginhibisi sekresi AVP. AVP dimetabolisme dengan cepat, dengan

waktu paruh dalam sirkulasi darah kurang dari 20 menit.

Melihat kembali pada mekanisme AVP yang telah diketahui, maka

kegagalan pompa pada ventrikel kiri akan meningkatkan sekresi AVP dari

Universitas Sumatera Utara

kelenjar pituitari posterior. Peningkatan kadar AVP akan menyebabkan

peningkatan regulasi transporter urea pada tubulus pengumpul, oleh karena itu

peningkatan kadar AVP akan diikuti oleh peningkatan BUN.

2.2.3 Sistem Renin Angiotensin Aldosteron

Sistem RAAS merupakan suatu sistem regulasi kompeks di dalam tubuh

yang melibatkan pengaturan kardiovaskular, hemodinamik dan sistem ginjal.

Kortex juxtamedular ginjal merupakan sumber utama pelepasan renin.

Angiotensin II berikatan dengan beberapa kelas angiotensin reseptor, yaitu AT-1

dan AT-2. AT-1A ditemukan pada pembuluh darah, otak dan organ tubuh lainnya.

Sementara AT-1B banyak ditemukan pada hipofisis anterior dan korteks adrenal.

Selain efek tidak langsungnya melalui induksi pelepasan aldosteron, angiotensin

II juga memiliki efek antidiuretik langsung kepada nefron. Aktivasi AT-1

meningkatkan aktivitas pertukaran natrium-hidrogen di membran apikal nefron.

Pertama sekali angiotensin II akan meningkatkan absorbsi sodium dan air

pada tubulus proksimal dan akan menyebabkan meningkatnya konsentrasi urea

yang telah terfiltrasi pada tubulus proksimal. Hal ini akan meningkatkan

reabsorbsi pasif urea melewati gradien konsentrasi tubulus. Kedua, peningkatan

reabsorbsi air pada tubulus proksimal akan menurunkan volume cairan yang

melewati bagian distal, sehingga akan mengakibatkan kecepatan aliran tubulus

akan berkurang pada tubulus pengumpul, yang mengakibatkan peningkatan

reabsorbsi urea yang bersifat flow dependent.

2.2.4. Sistem Saraf Simpatis

Sistem saraf simpatis memiliki peranan penting dalam mengatur

konsentrasi natrium dan air di dalam tubuh. Sistem saraf simpatis ginjal

berhubungan secara langsung dengan membran dasar peritubular (peritubular

basement membrane). Sel juxtaglomerulus juga diinervasi langsung oleh saraf

simpatis. Adanya perubahan pada saraf simpatis ginjal, akan langsung

Universitas Sumatera Utara

menimbulkan efek pada transpor pada tubulus renal. Selain mempengaruhi

tubulus, saraf simpatis juga menginervasi arteri aferen dan eferen ginjal sehingga

akan mempengaruhi hemodinamik ginjal dengan menyebabkan vasokonstriksi

pembuluh darah. Peningkatan aktivitas sistem saraf simpatis akan meningkatkan

reabsorbsi sodium di tubulus ginjal.

2.2. Gambar Skema Hubungan Gagal Jantung dengan Peningkatan BUN

↑aktivitas simpatis

Peningktan jumlah transporter urea di tubulus pengumpul

padal medula internal.

↑Reabsorbsi concentration

dependent urea di tubulus proximal renal

↑Reabsorbsi flow dependent urea di

tubulus distal

↑ Pelepasan AVP

(Agrinine Vasopressin Peptide)

↑ Aktivitas RAAS

Gagal Jantung

↑ BUN

Universitas Sumatera Utara