cerpen latar belakang tragedilatar belakang 65

4
.: Kolektif Info Coup d'etat 65 :. - Cerpen dengan latar belakang tragedi 65 Category : Kultur Published by Geny on 10/Apr/2006 Cerpen dengan latar belakang tragedi 65 Menunggu Telinga Tumbuh INDRA TRANGGONO Depan Gedung Komnas HAM pagi hari. Tubuh laki-laki itu muntah dari bus kota bersama para penumpang lainnya. Kecemasan mengambang di bola matanya. Memasuki kompleks gedung, laki-laki itu berjalan tersaruk-saruk membawa kertas bertumpuk-tumpuk. Tampak dari atas, tubuhnya ditelan pilar-pilar kokoh. Mema-suki lorong gedung, ia berjalan menuju suatu ruang. Bajunya basah. Ada perasa-an setengah gemetar yang mencuat dari bawah sadar. Ia menimbang-nimbang dalam bimbang, sambil menimang dokumen lusuh itu. Setelah hampir 40 tahun, sejak peristiwa berdarah itu berlalu, untuk pertama kali-nya perempuan itu mendatangi tempat itu. Ia datang bersama anak laki-lakinya, dengan gumpalan rindu dan rasa sedih yang menekan. Senja dirasakan-nya gemetar dengan kelelawar yang terbang menyambar-nyambar. Para kelelawar muncul dari lubang lebar, dalam, dan gelap yang lebih akrab disebut luweng. ”Her, aku masih mendengar jeritan bapakmu. Masih terngiang-ngiang. Gemanya sangat panjang. Kamu juga dengar?” bisik perempuan itu seusai menabur bunga di luweng itu. ”Di sinikah Bapak hilang?” ujar Her pelan, gemetar. ”Bukan hilang. Tapi dilenyapkan….” Pada usianya yang hampir 75 tahun, bola mata Ibu masih tetap sama: dalam dan hitam. Organ-organ tubuh Ibu yang lain boleh menua, tapi tidak matanya. Seperti puluhan tahun lalu, tatapan mata Ibu tetap terasa menghunjam dan mencekam. Di sana kutemukan rongga yang menyerupai lorong panjang, dalam, gelap, dan sunyi. Suatu pagi, Ibu meneleponku, ”Her, kalau kamu tidak mengajar, antar Ibu nyekar bapakmu, besok pagi.” Aku pun dengan penuh semangat menyambutnya. Aku bisa minta izin kepada kepala sekolah tempat aku mengajar sebagai guru sejarah. Ketika pagi masih separuh tumbuh dan embun masih terpahat di daun-daun, kami berangkat ke makam Bapak, dengan colt station sewaan. Mobil pun terus melaju, menembus desa demi desa. Ketika mobil itu hendak menikung di sebuah jalan, buru-buru Ibu mencegah. Ia minta mobil berjalan lurus. Aku kaget. Tapi kutahan. Sepanjang perjalanan, kami terdiam. Kulihat puluhan atau ratusan pohon melintas-lintas di kaca jendela. ”Maaf Bu, bukankah makam Bapak di desa yang tadi kita lewati?” ”Bukan. Tapi di sana. Di Karang Bolong. Masih jauh.” Aku sebenarnya ingin terus terang kepada Herjuno dan anak-anakku yang lain: Darsono, Nastiti, dan http://dev.progind.net Sunday, 02/Jan/2011 9:06 / Page 1

Upload: rasyid-gumoong

Post on 03-Jan-2016

44 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

anon

TRANSCRIPT

Page 1: Cerpen Latar Belakang Tragedilatar belakang 65

.: Kolektif Info Coup d'etat 65 :. -

Cerpen dengan latar belakang tragedi 65Category : KulturPublished by Geny on 10/Apr/2006

Cerpen dengan latar belakang tragedi 65

Menunggu Telinga Tumbuh

INDRA TRANGGONO

Depan Gedung Komnas HAM pagi hari. Tubuh laki-laki itu muntah dari bus kota bersama parapenumpang lainnya. Kecemasan mengambang di bola matanya. Memasuki kompleks gedung,laki-laki itu berjalan tersaruk-saruk membawa kertas bertumpuk-tumpuk. Tampak dari atas, tubuhnyaditelan pilar-pilar kokoh. Mema-suki lorong gedung, ia berjalan menuju suatu ruang. Bajunya basah.Ada perasa-an setengah gemetar yang mencuat dari bawah sadar. Ia menimbang-nimbang dalambimbang, sambil menimang dokumen lusuh itu.

Setelah hampir 40 tahun, sejak peristiwa berdarah itu berlalu, untuk pertama kali-nya perempuan itumendatangi tempat itu. Ia datang bersama anak laki-lakinya, dengan gumpalan rindu dan rasa sedihyang menekan. Senja dirasakan-nya gemetar dengan kelelawar yang terbang menyambar-nyambar.Para kelelawar muncul dari lubang lebar, dalam, dan gelap yang lebih akrab disebut luweng.

”Her, aku masih mendengar jeritan bapakmu. Masih terngiang-ngiang. Gemanya sangat panjang.Kamu juga dengar?” bisik perempuan itu seusai menabur bunga di luweng itu.”Di sinikah Bapak hilang?” ujar Her pelan, gemetar.”Bukan hilang. Tapi dilenyapkan….”

Pada usianya yang hampir 75 tahun, bola mata Ibu masih tetap sama: dalam dan hitam.Organ-organ tubuh Ibu yang lain boleh menua, tapi tidak matanya. Seperti puluhan tahun lalu,tatapan mata Ibu tetap terasa menghunjam dan mencekam. Di sana kutemukan rongga yangmenyerupai lorong panjang, dalam, gelap, dan sunyi.

Suatu pagi, Ibu meneleponku, ”Her, kalau kamu tidak mengajar, antar Ibu nyekar bapakmu, besokpagi.” Aku pun dengan penuh semangat menyambutnya. Aku bisa minta izin kepada kepala sekolahtempat aku mengajar sebagai guru sejarah.

Ketika pagi masih separuh tumbuh dan embun masih terpahat di daun-daun, kami berangkat kemakam Bapak, dengan colt station sewaan. Mobil pun terus melaju, menembus desa demi desa.Ketika mobil itu hendak menikung di sebuah jalan, buru-buru Ibu mencegah. Ia minta mobil berjalanlurus. Aku kaget. Tapi kutahan. Sepanjang perjalanan, kami terdiam. Kulihat puluhan atau ratusanpohon melintas-lintas di kaca jendela.

”Maaf Bu, bukankah makam Bapak di desa yang tadi kita lewati?””Bukan. Tapi di sana. Di Karang Bolong. Masih jauh.”Aku sebenarnya ingin terus terang kepada Herjuno dan anak-anakku yang lain: Darsono, Nastiti, dan

http://dev.progind.net Sunday, 02/Jan/2011 9:06 / Page 1

Page 2: Cerpen Latar Belakang Tragedilatar belakang 65

Murti. Tapi aku takut mereka kaget. Sesungguhnya makam yang dulu sering kami ziarahi itu bukanmakam Mas Drajat, ya bapaknya Herjuno itu. Makam itu kosong. Waktu itu, setelah Mas Drajatdikabarkan meninggal di tahanan, aku merasa bingung dan cemas. Cemas karena jasad Mas Drajattidak pernah diserahkan kepadaku. Kata petugas, ”Yang penting Ibu tahu kalau Pak Drajat sudahmeninggal. Soal jasadnya, itu urusan negara.”Urusan negara? Kenapa mengubur jasad suami sendiri harus dilarang? Apa salah Mas Drajatterhadap negara hingga dia tidak mendapatkan hak untuk dikuburkan secara layak? Bagaimana jikasaudara, teman, atau handai tolan menanyakan soal kematiannya? Apakah aku juga akanmenjawab, ”Itu urusan negara”? Apakah negara punya telinga? Bukankah ia hanya punya mulut dantangan untuk membentak dan memerintah?

Maka, diam-diam kubangun makam tipuan agar orang-orang tahu bahwa suamiku meninggal secarawajar dan terhormat. ”Makam” itulah yang kemudian mem-bebaskan aku dari kepungan pertanyaansoal kematian suamiku. Aku terbebas? Tidak juga. Hingga kini, rasa pedih terus merajamku.

Sesungguhnya Mas Drajat meninggal bukan di tahanan. Bukan. Menurut Swang-gani, anggotaGerwani yang lolos dari pembantaian, suamiku meninggal dengan cara yang sangat menyedihkan.”Bersama tahanan lainnya, suamimu dilempar-kan hidup-hidup ke luweng di Karang Bolong. Daritempatku bersembunyi, aku mendengar jeritan mereka…,” ujarnya dengan gemetar.

Benarkah rasa kalap itu telah melampaui batas hingga mereka dengan beringas memperlakukansuamiku seperti batang pisang? Atau nasib suamiku sendiri yang terlalu naas hingga ia harus tewasdengan cara yang begitu mengenaskan? Atau hidup ini telah begitu kikir dan tidak berbelas?Termasuk terhadap aku dan anak-anakku yang puluhan tahun dihukum hanya karena kami dianggappunya noda sejarah. Apakah noda itu benar-benar ada? Siapa yang membuatnya? Atau ia hanyadiciptakan dan dipelihara demi sikap patuh yang diwajibkan?Seperti kota-kota yang lain, ketika ”revolusi dan ideologi” dipuja bagai dewa, langit kota kecil itu punselalu menyala. Seperti siang itu, bendera dan panji-panji partai berkibar-kibar, diiringi sorak-sorai.Bagai tepung terigu ditebah angin, debu mengepul di jalanan. Aroma kemarau bercampur baukeringat diisap ribuan orang. Mereka mengelu-elukan pawai para pemuda yang berderap-derap.Wajah para pemuda itu tampak mengeras, kaku seperti baja. Tangan mereka terkepal. Kata-kata”revolusi”, ”ganyang nekolim”, ”hidup Nasakom”, dan yel-yel lain pun berloncatan penuh tanda seru.Waktu itu, partai-partai saling bersaing. Ada PNI, ada Masyumi, ada NU, ada PKI, dan ada PSI.

Dalam zaman yang gemuruh itu, kami hidup menepi. Tinggal di kampung dalam suasana guyub(dalam pergaulan yang tulus, kami bisa saling minta garam atau ngutang minyak goreng). Kamimenempati rumah besar, warisan mertua. Sebuah rumah bergaya limasan, dengan pendopo seluaslapangan bulu tangkis. Di bagian belakang, ada ruang keluarga yang dikelilingi deretan kamar.Di pendopo itu, Mas Drajat menambahi kesibukannya sebagai guru SD dengan mengajar anak-anakmiskin untuk membaca dan menulis atau berhitung, secara cuma-cuma..Rupanya kegiatan itu menarik perhatian Pak Tular, seorang tokoh PKI di kota kami. Dia selaludatang mengenakan pakaian dari kantong gandum yang dijahit kasar, khas jahitan pasar. Pernahsaya dengan iseng bertanya soal itu. Dia menjawab ringan, ”Dik Rohani ini gimana to? Negara kitaini masih berduka dan melarat. Mosok saya tega pakai baju berkolin atau tetoron dan celana dril….Kan nggak sopan to.”Suatu ketika, Pak Tular meminta izin untuk menggunakan pendopo kami. Katanya untuk rapatpartainya. Mas Drajat terdiam. Ia memandangku. Aku pun terdiam.”Bagaimana? Boleh kan?” Suara Pak Tular terdengar sangat berat. Suara itu seperti punya tenagayang menyihir kepala kami untuk mengangguk.

http://dev.progind.net Sunday, 02/Jan/2011 9:06 / Page 2

Page 3: Cerpen Latar Belakang Tragedilatar belakang 65

”Terima kasih. Terima kasih. Dik Drajat dan Dik Rohani ini sudah memberikan sumbangan yangberarti bagi revolusi….” Tawa Pak Tular berderai.Kami hanya saling memandang.

Ternyata pendopo kami tidak hanya untuk rapat, tapi juga menjadi pusat kegiatan partai. Ada latihanketoprak. Ada latihan menari dan menyanyi. Ada pendidikan bagi kader-kader partai. Pendopo kamiselalu ramai. Bahkan kegiatan belajar anak-anak yang selama ini ditangani Mas Drajat telah diambilalih mereka. Mas Drajat pun tidak keberatan.”Hati-hati dengan Pak Tular,” pesan bapakku ketika aku mengunjunginya ber-sama Mas Drajat.”Kami kan hanya meminjamkan tempat…. Apa salahnya?” kataku. Wajah bapak-ku tampak masam.

Beberapa bulan kemudian, lewat RRI, kami mendengar ada pergolakan di Jakarta. Beberapajenderal diculik. Beberapa tokoh PKI diciduk dan ditahan. Tidak sampai seminggu, suasana yangmencekam pun merembet ke kota kami, ke kampung kami yang menjelma menjadi kampung hantu.Mayat Pak Tular dan kawan-kawannya ditemukan di pinggir Kali Mambu, dengan rajaman senjata diseluruh tubuh mereka. Setiap saat itu, bau mayat tercium di mana-mana.Sehabis isya, mendadak rumah kami digedor-gedor banyak orang.”Ganyang Drajat!!!””Perkosa saja istrinya!!!””Gantung PKI itu!!!””Habisi keluarganya!!! Pokoknya tumpes kelor!!!”Dengan jiwa yang kutegarkan, aku menemui mereka. Kukatakan bahwa Mas Drajat bukan anggotaPKI.”Bohong! Dasar Gerwani, kamu!!””Jangan ngawur kamu!” Amarahku meledak. Aku sendiri tidak paham, kenapa mendadak aku jadibegitu berani? Padahal sesungguhnya, aku gemetaran melihat parang, kelewang, bambu runcing,atau lonjoran besi yang mereka acung-acungkan. Dan ajaib, bentakanku menundukkan wajahmereka. Pak RT mampu menyabarkan mereka. Akhirnya, kerumunan pun bubar.Esoknya, pada dini hari, kudengar suara derap sepatu lars menghajar ubin pendopo. Pintu rumahkami digedor-gedor. Keras. Sangat keras. Dengan gemetar, aku membuka pintu. Beberapa laki-lakiberseragam memandang kami dengan tatapan menghunjam. Tatapan mata mereka sedinginmoncong senapan.Mas Drajat keluar dari kamar. Dia sangat tenang. Aku memeluknya. Dia mencoba memberikanpenjelasan, ”Saya tidak tahu apa-apa…. Sungguh.” Namun orang-orang itu langsungmenggelandangnya. Tubuh Mas Drajat menghilang diringkus kegelapan. Itulah terakhir kali akumencium bau tubuhnya, terakhir kali mendengarkan degup jantungnya. Aku hanya ingat kata-kataterakhir Mas Drajat, ”Jaga kandunganmu.”

Aku pun bergegas membawa Darsono, Nastiti, dan Murti lari keluar. Menembus malam. Menujurumah Bapak. Dua tangan ibuku menjelma sayap induk ayam yang melindungi anaknya dariterkaman elang. Di rumah itu, aku melahirkan Herjuno. Sebulan kemudian, seorang petugasmemberi kabar: suamiku meninggal di tahanan. Aku tak bisa lagi menangis. Dadaku sesak.

”Bangun Her, kita sudah sampai.”Herjuno tergeragap bangun. Kami keluar dari mobil.”Mana makam Bapak?””Di sana.””Itu bukan makam Bu, tapi luweng.”

http://dev.progind.net Sunday, 02/Jan/2011 9:06 / Page 3

Page 4: Cerpen Latar Belakang Tragedilatar belakang 65

Herjuno sangat kaget. Bahkan mungkin terguncang. Namun, ia cukup pintar menyembunyikanperasaannya. Kami pun berdoa, sambil menggigit kuat-kuat kenangan pahit akan Mas Drajat.

Kantor Komnas HAM, pagi hari.Herjuno berjalan menuju ke sebuah ruang, membawa dokumen setebal kecemasan ibunya, sedalamluweng abadi yang menyimpan jeritan bapaknya. Ia berharap negara berani untuk punya telinga,hingga sedikit ramah terhadap nasib orang semacam ibunya dan keluarganya, yang sepanjanghidup harus menanggung ’dosa sejarah’.Sampai di depan pintu sebuah ruangan, langkahnya tertahan. Ia hendak berbalik, namun dokumenitu seperti meronta-ronta dan memaksanya masuk. Dengan tenang, ia menemui seseorang. Ia hanyapunya impian sederhana yang kelak akan dikabarkan kepada ibunya, ”Bu…, kini telinga negara telahtumbuh….”

Yogyakarta, 2005

Sumber: Kompas, Minggu 31 Juli 2005 -

http://dev.progind.net Sunday, 02/Jan/2011 9:06 / Page 4