cerpen, dunia harapan
DESCRIPTION
ceirtaTRANSCRIPT
Dunia Harapan
(Adhitya Faisal L. Tobing)
Lobang itu seperti sebuah labirin. Hampir semua lorong ia masuki. Hampir, karena
memang tidak semua ia masuki. Sesuatu telah membuat ia harus mengakhiri perjalanan
pada sebuah lorong. Sebuah yang memberi banyak. Lorong itu tidak berbeda secara fisik
dari lorong-lorong yang ada di lobang jepang yang ia kunjungi saat pertama kali
menginjakkan kaki di kota Bukit Tinggi setelah bosan melihat jam gadang. bosan karena
menurut Dinda jam itu tidak seperti yang ia bayangkan dan ia lihat di brosur wisata. Jam
Gadang yang tidak gadang. Gumamnya. Lorong ini ujungnya dimana? Tidak seperti
lorong yang lain. Di sini ia mencium bau lumpur yang begitu menyengat. Semakin jauh
ia berjalan, batas lorong itu seperti ikut menjauh. Ia seperti kapal layar yang mengejar
cakrawala. Berupaya menggapai ujung dunia. Perlahan ia melihat sebentuk bayang.
Semakin mendekat, semakin dekat. Perasaan takut dan penasaran bercampur aduk tak
menentu. Keringat perlahan mengucur dari sela keningnya yang licin. Setengah dirinya
ingin lari. tapi ia harus lari kemana. Saat menoleh kebelakang ia sudah tidak melihat
ujung lorong tempat ia masuk tadi. Yang ada hanya hitam. Hitam hingga hampir tak ada
cahaya. Berkali-kali ia memanggil dan menyebut nama Tuhan. Tapi jelas itu tidak bisa
membuat ia tenang. Ketakutannya yang begitu sangat membuat nama Tuhan pun tak
berdaya. Sosok itu semakin mendekat. Sepertinya orang. Tapi siapa, bukankah hanya ia
sendiri yang masuk ke lorong ini. Bahkan kelobang ini. Karena memang ia masuk saat
lobang jepang sudah mau ditutup.
ξ
“maaf mbak, lobang ini mau ditutup. Besok saja datang lagi” kata seorang penjaga. Tapi
ia tak menerima begitu saja. Percuma ia jauh-jauh datang dari Bandung kalau ia tidak
bisa masuk ke lobang bersejarah itu.
“saya mohon mas, sebentar saja. Besok saya sudah harus berangkat lagi ke Bandung!”. Ia
terus berusaha agar diijinkan masuk.
"tapi mbak, ini sudah terlalu sore. Saya tidak berani menemani mbak kedalam sana. Saya
takut peristiwa yang terjadi beberapa tahun yang lalu menimpa saya." Raut wajah penjaga
itu sebenarnya sudah cukup untuk menjelaskan ketakutannya.
"peristiwa apa mas?" Tanya dinda penasaran.
"sudahlah, pokoknya mbak ga' boleh masuk."
"ayolah mas, saya mohon. Please…sebentar saja. mas ga' perlu menemani saya. Biar saya
sendiri yang masuk kedalam sana yang penting mas mengijinkan saya." Setengah
memaksa Dinda berusaha meyakinkan sang penjaga Lobang.
“baiklah, tapi saya tidak mau menemani. Dan saya tidak bertanggung jawab kalau terjadi
sesuatu pada mbak di dalam sana!” akhirnya sang penjaga menyerah.
“makasih mas!” ia langsung berlari menuruni sekitar 400 tangga dan masuk ke lobang
itu.
ξ
Percakapan dengan pejaga itu kembali masuk dan terngiang dalam pikirannya. Dan
perlahan sosok itu mulai terlihat jelas, ia semakin yakin bahwa yang datang adalah sosok
manusia. Jantunnya terasa sesak hingga sakit. Dinda menoleh kebelakang tempat ia
masuk tadi. Hanya gelap. Ternyata ia sudah jauh berjalan. dari rautnya terlihat goresan-
goresan yang membentuk diarea kelopak mata dan kening. Jelas orang ini tidak lagi bisa
disebut muda. Namun bahu yang lebar dan langkah kaki yang tegap menunjukkan orang
itu adalah seorang yang masih kuat. Dinda sangat ingin berlari. Berlari sekencangya agar
bisa kembali. Tapi keinginannya tidak seiring sejalan dengan kemampuannya. Kakinya
seperti lengket. Ia tidak bisa bergerak.
“jangan takut.” Suara itu terdengar begitu tenang. Suara dari pria yang datang
menghampirinya.
“kamu adalah orang yang beruntung. Tidak semua orang bisa menembus dan masuk
kelorong ini. Mari, ikutlah denganku!” Dinda masih belum bisa berkata apa-apa. Dan
diluar kendali dirinya kakinya melangkah mengikuti pria itu. Mereka terus berjalan.
Perlahan Dinda mulai melihat cahaya. Ini seperti hutan. Bukan, ini memang hutan.
Pohon-pohon menjulang tinggi. Sungguh indah tempat ini. Ia melihat bunga-bunga indah
tumbuh liar. Mata Dinda beerkejap-kejap memandang semesta bunga yang
melingkupinya.Tapi tidak satupun diantara bunga itu yang ia kenal. Bahkan melihatnya
pun belum pernah. Kecuali sekarang. Sepanjang perjalanan pria itu hanya diam. Seperti
ingin memberikan waktu pada Dinda untuk menikmati keindahan yan ada disitu.
Dikejauhan dinda melihat semacam pintu .seperti gapura yang ada dikerajaan-kerajaan
yang pernah ia lihat di film-film kolosal. tempat ini seperti surga. Tapi bukan benar-benar
surga. Dinda yakin itu. Karena ia belum mati. Bukankah untuk masuk surga kita harus
melewati kematian terlebih dahulu? Walau keyakinannya mulai memudar sepanjang
berlalunya waktu. Waktu? Disini tidak ada waktu. Disini waktu berhenti. Itu ia ketahui
setelah memasuki gerbang itu.
“tempat apa ini?” Dinda memberanikan diri dengan segala kemampuan untuk bertanya
pada pria yang memabawanya.
“apakah ini Surga?”. Dinda terus saja bertanya.
“bukan, ini bukan surga. Tidak mungkin. Aku belum mati” Dinda berusaha meyakinkan
pria itu walau sebenarnya ia hanya berusaha meyakinkan dirinya sendiri. Melawan rasa
takut yang begitu sangat.
“bagimu, apa beda kehidupan denga kematian?. Bukankah kematian adalah bagian dari
kehidupan itu sendiri?" akhirnya pria itu bicara. Tapi tetap tidak menoleh pada Dinda.
Mata lurus memandang jauh kedepan.
“tapi aku belum mati!” air mata mulai menetes perlahan dipipi Dinda.
“kamu lihat orang-orang itu?”. Dinda menoleh mengikuti arah telunjuk pria itu. Ia
melihat orang-orang bernyanyi, menari seperti tanpa beban. Pancaran kebahagiaan
terlihat ditiap wajah mereka.
“mereka adalah orang-orang yang masuk kesini dan tidak akan pernah kembali. bukan
tidak bisa, tapi tidak ingin. Mereka yang memili untuk tetap disini” kata pria itu.
“mereka bisa mendapatkan apapun yang mereka mau. Mereka tidak perlu bangun pagi
untuk bekerja hanya untuk bisa bertahan hidup. Disini kamu hanya cukup mengucapkan
yang kamu inginkan. Inilah dunia harapan. Dan kamupun bisa seperti mereka.”
“tidak. aku ingin kembali. Aku ingin pulang”
“apa yang kau harapkan dengan kembali kekehidupanmu itu? Bukankah orang-orang
beribadah, bekerja hanya untuk segala harapan akan kebahagiaan seperti ini.”
“diluar sana kau hanya akan mendapatkan penderitaan. Disana kau harus menyikut,
menjatuhkan dan bahkan membunuh untuk dapat bertahan hidup. Dan kau tidak perlu itu
semua disini. Kau tidak perlu megorbankan apapun disini. Kau akan bahagia.”
“tidak, aku harus kembali. Penderitan adalah bagian terpenting dari kebahagiaan. Orang-
orang disini hanya hidup tapi tidak memiliki kehidupan.” Jawaban itu begitu saja keluar
dari mulutnya. Dinda tak tau dari mana dia dapatkan kalimat itu. Ia hanya ingin keluar
dari tempat itu. Dari dunia yang tidak ia kenal sama sekali. Dan jawaban itu ternyata
menjadi kunci buat ia bisa kembali.
“baiklah, kalau memang itu yang kau inginkan. Tapi sebelum kau kembali. Harus ada
yang kau bawa dan tinggalkan” akhirnya pria itu menginjinkannya untuk kembali. Dan
memgulurkan setangkai bunga yang sangat indah dengan begitu banyak warna
mengelilingi kelopaknya.
“apa yang harus kutinggalkan?
“bagian dari tubuhmu!” Dinda tersentak mendengar jawaban pria itu
“kalau aku tidak mau?”
“kau tidak akan bisa kembali.” Jawab pria itu. Tenang. Dinda lalu mengulurkan tangan
kirinya
“ambil jari kelingkingku ini!”
♥
“Dimana aku?” Dinda merasakan kepalanya sangat pusing.
“kamu di rumah sakit. Seseorang menemukanmu tergeletak tak sadarkan diri di dalam
lobang jepang.” Jawab perawat yang berdiri disamping ranjangnya.
“dan waktu ditemukan kamu sedang menggenggam ini” perawat itu mengulurkan bunga
pada dinda. Dinda menatap dalam-dalam bunga itu. Perlahan ia mulai ingat. Dan ia
teringat sesuatu. Sesuatu yang telah ia berikan pada pria itu. Dan ia hanya bisa menangis
menatap jari-jari tangan kirinya yang tidak lagi utuh.