cerpen, dunia harapan

7
Dunia Harapan (Adhitya Faisal L. Tobing) Lobang itu seperti sebuah labirin. Hampir semua lorong ia masuki. Hampir, karena memang tidak semua ia masuki. Sesuatu telah membuat ia harus mengakhiri perjalanan pada sebuah lorong. Sebuah yang memberi banyak. Lorong itu tidak berbeda secara fisik dari lorong-lorong yang ada di lobang jepang yang ia kunjungi saat pertama kali menginjakkan kaki di kota Bukit Tinggi setelah bosan melihat jam gadang. bosan karena menurut Dinda jam itu tidak seperti yang ia bayangkan dan ia lihat di brosur wisata. Jam Gadang yang tidak gadang. Gumamnya. Lorong ini ujungnya dimana? Tidak seperti lorong yang lain. Di sini ia mencium bau lumpur yang begitu menyengat. Semakin jauh ia berjalan, batas lorong itu seperti ikut menjauh. Ia seperti kapal layar yang mengejar cakrawala. Berupaya menggapai ujung dunia. Perlahan ia melihat sebentuk bayang. Semakin mendekat, semakin dekat. Perasaan takut dan penasaran bercampur aduk tak menentu. Keringat perlahan mengucur dari sela keningnya yang licin. Setengah dirinya ingin lari. tapi ia harus lari kemana. Saat menoleh kebelakang ia sudah tidak melihat ujung lorong tempat ia masuk tadi. Yang ada hanya hitam. Hitam hingga hampir tak ada cahaya. Berkali-kali ia memanggil dan menyebut nama Tuhan. Tapi jelas itu tidak bisa membuat ia tenang. Ketakutannya yang begitu sangat membuat nama Tuhan pun tak berdaya. Sosok itu semakin mendekat. Sepertinya

Upload: karolina-hutagalung

Post on 25-Dec-2015

8 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

ceirta

TRANSCRIPT

Page 1: Cerpen, Dunia Harapan

Dunia Harapan

(Adhitya Faisal L. Tobing)

Lobang itu seperti sebuah labirin. Hampir semua lorong ia masuki. Hampir, karena

memang tidak semua ia masuki. Sesuatu telah membuat ia harus mengakhiri perjalanan

pada sebuah lorong. Sebuah yang memberi banyak. Lorong itu tidak berbeda secara fisik

dari lorong-lorong yang ada di lobang jepang yang ia kunjungi saat pertama kali

menginjakkan kaki di kota Bukit Tinggi setelah bosan melihat jam gadang. bosan karena

menurut Dinda jam itu tidak seperti yang ia bayangkan dan ia lihat di brosur wisata. Jam

Gadang yang tidak gadang. Gumamnya. Lorong ini ujungnya dimana? Tidak seperti

lorong yang lain. Di sini ia mencium bau lumpur yang begitu menyengat. Semakin jauh

ia berjalan, batas lorong itu seperti ikut menjauh. Ia seperti kapal layar yang mengejar

cakrawala. Berupaya menggapai ujung dunia. Perlahan ia melihat sebentuk bayang.

Semakin mendekat, semakin dekat. Perasaan takut dan penasaran bercampur aduk tak

menentu. Keringat perlahan mengucur dari sela keningnya yang licin. Setengah dirinya

ingin lari. tapi ia harus lari kemana. Saat menoleh kebelakang ia sudah tidak melihat

ujung lorong tempat ia masuk tadi. Yang ada hanya hitam. Hitam hingga hampir tak ada

cahaya. Berkali-kali ia memanggil dan menyebut nama Tuhan. Tapi jelas itu tidak bisa

membuat ia tenang. Ketakutannya yang begitu sangat membuat nama Tuhan pun tak

berdaya. Sosok itu semakin mendekat. Sepertinya orang. Tapi siapa, bukankah hanya ia

sendiri yang masuk ke lorong ini. Bahkan kelobang ini. Karena memang ia masuk saat

lobang jepang sudah mau ditutup.

ξ

“maaf mbak, lobang ini mau ditutup. Besok saja datang lagi” kata seorang penjaga. Tapi

ia tak menerima begitu saja. Percuma ia jauh-jauh datang dari Bandung kalau ia tidak

bisa masuk ke lobang bersejarah itu.

“saya mohon mas, sebentar saja. Besok saya sudah harus berangkat lagi ke Bandung!”. Ia

terus berusaha agar diijinkan masuk.

"tapi mbak, ini sudah terlalu sore. Saya tidak berani menemani mbak kedalam sana. Saya

takut peristiwa yang terjadi beberapa tahun yang lalu menimpa saya." Raut wajah penjaga

itu sebenarnya sudah cukup untuk menjelaskan ketakutannya.

"peristiwa apa mas?" Tanya dinda penasaran.

Page 2: Cerpen, Dunia Harapan

"sudahlah, pokoknya mbak ga' boleh masuk."

"ayolah mas, saya mohon. Please…sebentar saja. mas ga' perlu menemani saya. Biar saya

sendiri yang masuk kedalam sana yang penting mas mengijinkan saya." Setengah

memaksa Dinda berusaha meyakinkan sang penjaga Lobang.

“baiklah, tapi saya tidak mau menemani. Dan saya tidak bertanggung jawab kalau terjadi

sesuatu pada mbak di dalam sana!” akhirnya sang penjaga menyerah.

“makasih mas!” ia langsung berlari menuruni sekitar 400 tangga dan masuk ke lobang

itu.

ξ

Percakapan dengan pejaga itu kembali masuk dan terngiang dalam pikirannya. Dan

perlahan sosok itu mulai terlihat jelas, ia semakin yakin bahwa yang datang adalah sosok

manusia. Jantunnya terasa sesak hingga sakit. Dinda menoleh kebelakang tempat ia

masuk tadi. Hanya gelap. Ternyata ia sudah jauh berjalan. dari rautnya terlihat goresan-

goresan yang membentuk diarea kelopak mata dan kening. Jelas orang ini tidak lagi bisa

disebut muda. Namun bahu yang lebar dan langkah kaki yang tegap menunjukkan orang

itu adalah seorang yang masih kuat. Dinda sangat ingin berlari. Berlari sekencangya agar

bisa kembali. Tapi keinginannya tidak seiring sejalan dengan kemampuannya. Kakinya

seperti lengket. Ia tidak bisa bergerak.

“jangan takut.” Suara itu terdengar begitu tenang. Suara dari pria yang datang

menghampirinya.

“kamu adalah orang yang beruntung. Tidak semua orang bisa menembus dan masuk

kelorong ini. Mari, ikutlah denganku!” Dinda masih belum bisa berkata apa-apa. Dan

diluar kendali dirinya kakinya melangkah mengikuti pria itu. Mereka terus berjalan.

Perlahan Dinda mulai melihat cahaya. Ini seperti hutan. Bukan, ini memang hutan.

Pohon-pohon menjulang tinggi. Sungguh indah tempat ini. Ia melihat bunga-bunga indah

tumbuh liar. Mata Dinda beerkejap-kejap memandang semesta bunga yang

melingkupinya.Tapi tidak satupun diantara bunga itu yang ia kenal. Bahkan melihatnya

pun belum pernah. Kecuali sekarang. Sepanjang perjalanan pria itu hanya diam. Seperti

ingin memberikan waktu pada Dinda untuk menikmati keindahan yan ada disitu.

Dikejauhan dinda melihat semacam pintu .seperti gapura yang ada dikerajaan-kerajaan

yang pernah ia lihat di film-film kolosal. tempat ini seperti surga. Tapi bukan benar-benar

Page 3: Cerpen, Dunia Harapan

surga. Dinda yakin itu. Karena ia belum mati. Bukankah untuk masuk surga kita harus

melewati kematian terlebih dahulu? Walau keyakinannya mulai memudar sepanjang

berlalunya waktu. Waktu? Disini tidak ada waktu. Disini waktu berhenti. Itu ia ketahui

setelah memasuki gerbang itu.

“tempat apa ini?” Dinda memberanikan diri dengan segala kemampuan untuk bertanya

pada pria yang memabawanya.

“apakah ini Surga?”. Dinda terus saja bertanya.

“bukan, ini bukan surga. Tidak mungkin. Aku belum mati” Dinda berusaha meyakinkan

pria itu walau sebenarnya ia hanya berusaha meyakinkan dirinya sendiri. Melawan rasa

takut yang begitu sangat.

“bagimu, apa beda kehidupan denga kematian?. Bukankah kematian adalah bagian dari

kehidupan itu sendiri?" akhirnya pria itu bicara. Tapi tetap tidak menoleh pada Dinda.

Mata lurus memandang jauh kedepan.

“tapi aku belum mati!” air mata mulai menetes perlahan dipipi Dinda.

“kamu lihat orang-orang itu?”. Dinda menoleh mengikuti arah telunjuk pria itu. Ia

melihat orang-orang bernyanyi, menari seperti tanpa beban. Pancaran kebahagiaan

terlihat ditiap wajah mereka.

“mereka adalah orang-orang yang masuk kesini dan tidak akan pernah kembali. bukan

tidak bisa, tapi tidak ingin. Mereka yang memili untuk tetap disini” kata pria itu.

“mereka bisa mendapatkan apapun yang mereka mau. Mereka tidak perlu bangun pagi

untuk bekerja hanya untuk bisa bertahan hidup. Disini kamu hanya cukup mengucapkan

yang kamu inginkan. Inilah dunia harapan. Dan kamupun bisa seperti mereka.”

“tidak. aku ingin kembali. Aku ingin pulang”

“apa yang kau harapkan dengan kembali kekehidupanmu itu? Bukankah orang-orang

beribadah, bekerja hanya untuk segala harapan akan kebahagiaan seperti ini.”

“diluar sana kau hanya akan mendapatkan penderitaan. Disana kau harus menyikut,

menjatuhkan dan bahkan membunuh untuk dapat bertahan hidup. Dan kau tidak perlu itu

semua disini. Kau tidak perlu megorbankan apapun disini. Kau akan bahagia.”

“tidak, aku harus kembali. Penderitan adalah bagian terpenting dari kebahagiaan. Orang-

orang disini hanya hidup tapi tidak memiliki kehidupan.” Jawaban itu begitu saja keluar

dari mulutnya. Dinda tak tau dari mana dia dapatkan kalimat itu. Ia hanya ingin keluar

Page 4: Cerpen, Dunia Harapan

dari tempat itu. Dari dunia yang tidak ia kenal sama sekali. Dan jawaban itu ternyata

menjadi kunci buat ia bisa kembali.

“baiklah, kalau memang itu yang kau inginkan. Tapi sebelum kau kembali. Harus ada

yang kau bawa dan tinggalkan” akhirnya pria itu menginjinkannya untuk kembali. Dan

memgulurkan setangkai bunga yang sangat indah dengan begitu banyak warna

mengelilingi kelopaknya.

“apa yang harus kutinggalkan?

“bagian dari tubuhmu!” Dinda tersentak mendengar jawaban pria itu

“kalau aku tidak mau?”

“kau tidak akan bisa kembali.” Jawab pria itu. Tenang. Dinda lalu mengulurkan tangan

kirinya

“ambil jari kelingkingku ini!”

“Dimana aku?” Dinda merasakan kepalanya sangat pusing.

“kamu di rumah sakit. Seseorang menemukanmu tergeletak tak sadarkan diri di dalam

lobang jepang.” Jawab perawat yang berdiri disamping ranjangnya.

“dan waktu ditemukan kamu sedang menggenggam ini” perawat itu mengulurkan bunga

pada dinda. Dinda menatap dalam-dalam bunga itu. Perlahan ia mulai ingat. Dan ia

teringat sesuatu. Sesuatu yang telah ia berikan pada pria itu. Dan ia hanya bisa menangis

menatap jari-jari tangan kirinya yang tidak lagi utuh.