cerpen

10
Nama : Ayu Setyaningrum Kelas : XII IPA 1 No. Absen : 7 Kasih Tak Sampai Seperti biasanya, pagi ini terasa sangat dingin. Awan mendung dan kabut yang menutupi jalan raya menambah suasana pagi ini menjadi menyeramkan. Bau tanah menjadi tercium akibat hujan deras semalam. Kulihat ke luar jendela kamarku dan kudapati langit masih gelap. Kupejamkan mataku sambil kutarik selimutku menutupi diriku yang kedinginan ini. Perlahan aku mulai terlelap dalam tidurku lagi. “Dani bangun... Sudah siang ini. Nanti kamu bisa telat ke sekolah!” Suara ibuku yang sangat keras membuatku terbangun dari tidurku. Kutengok ponselku dan kudapati saat ini sudah pukul 06.10. Dengan tergesa – gesa aku bangun tanpa merapikan tempat tidurku. Kuambil baju di lemari dan segera menuju ke kamar mandi. Aku tidak membuang banyak waktu di kamar mandi. Setelah selesai mandi, kupakai seragam sekolahku dan langsung berangkat. “Kamu gak sarapan dulu, Dan?” “Nanti di sekolah aja Bu, udah gak sempet. Aku juga harus mampir rumah Rani dulu. Jemput dia.” “Makanya kalau mau bangun jangan lihat langit. Lihatnya jam, biar gak kayak sekarang ini.” “Hehe, maklum Bu, tadi hawanya dingin sih jadi pengennya merem terus. Ya udah, aku berangkat dulu ya Bu.”

Upload: indrrawijaya

Post on 02-Feb-2016

213 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Indonesia

TRANSCRIPT

Page 1: cerpen

Nama : Ayu Setyaningrum

Kelas : XII IPA 1

No. Absen : 7

Kasih Tak Sampai

Seperti biasanya, pagi ini terasa sangat dingin. Awan mendung dan kabut yang

menutupi jalan raya menambah suasana pagi ini menjadi menyeramkan. Bau tanah menjadi

tercium akibat hujan deras semalam. Kulihat ke luar jendela kamarku dan kudapati langit

masih gelap. Kupejamkan mataku sambil kutarik selimutku menutupi diriku yang kedinginan

ini. Perlahan aku mulai terlelap dalam tidurku lagi.

“Dani bangun... Sudah siang ini. Nanti kamu bisa telat ke sekolah!”

Suara ibuku yang sangat keras membuatku terbangun dari tidurku. Kutengok

ponselku dan kudapati saat ini sudah pukul 06.10. Dengan tergesa – gesa aku bangun tanpa

merapikan tempat tidurku. Kuambil baju di lemari dan segera menuju ke kamar mandi. Aku

tidak membuang banyak waktu di kamar mandi. Setelah selesai mandi, kupakai seragam

sekolahku dan langsung berangkat.

“Kamu gak sarapan dulu, Dan?”

“Nanti di sekolah aja Bu, udah gak sempet. Aku juga harus mampir rumah Rani dulu.

Jemput dia.”

“Makanya kalau mau bangun jangan lihat langit. Lihatnya jam, biar gak kayak

sekarang ini.”

“Hehe, maklum Bu, tadi hawanya dingin sih jadi pengennya merem terus. Ya udah,

aku berangkat dulu ya Bu.”

Kucium tangan ibuku dan kukeluarkan motorku. Kuhidupkan mesin motor dan segera

kutancap gas. Rumah Rani dan rumahku memang tidak terlalu jauh. Selain itu rumah kami

memang sejalan ke sekolah. Kami sudah berteman sejak SMP dan sekarang kami satu SMA

walaupun tidak satu kelas. Dan juga, Rani adalah gadis yang kusukai sejak kelas 2 SMP. 3

tahun berlalu dan aku masih tetap menyukainya dan masih juga belum berani

mengungkapkannya. Bukan karena aku takut, tapi karena ada lelaki lain yang telah mengisi

hatinya. Rani menyukai Reno teman sekelasnya sejak kelas 1 SMA. Rani menyukainya

karena hal sederhana. Saat itu pulang sekolah, hujan sangat deras. Hari itu aku berangkat

bersamanya, tapi aku terpaksa pulang terlebih dahulu karena ada urusan keluarga. Rani yang

saat itu ada kegiatan seusai sekolah tidak bisa pulang bersamaku, terpaksa aku

Page 2: cerpen

meninggalkannya. Saat Rani menunggu jemputan sendirian di tengah hujan, tiba – tiba Reno

datang dan menghampirinya. Reno menawarkan untuk mengantarnya pulang, tapi Rani

menolak karena kakaknya sudah janji untuk menjemputnya. Karena tawarannya ditolak,

akhirnya Reno menemaninya menunggu jemputan datang. Berjam – jam mereka bersama

sambil bercanda tawa dibawah hujan. Hanya hitungan jam itu pula membuat Rani jatuh cinta

kepadanya. Terkadang aku menyesal, seandainya aku tidak pulang lebih awal, maka Rani

tidak akan menyukainya. Namun itu hanyalah penjesalan yang tidak ada gunanya. Karena

memang inilah cinta. Kita tidak tahu berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mencintai

seseorang.

“Ran, ayo cepetan!”

“Kamu ini lama banget sih, Dan. Udah aku tunggu dari tadi.”

“Maaf Ran, tadi kesiangan bangunnya.”

“Kebiasaan deh. Ya udah ayo cepet berangkat. Nanti kita telat kalau gak cepet –

cepet.”

“Siap Bos.”

Waktu seperti ini selalu aku dambakan. Bisa berduaan dengannya, membuatku sangat

bahagia. Meskipun dalam perjalanan kami tidak berbicara, tapi hal ini sudah cukup bagiku.

“Makasih ya, Dan. Aku ke kelas duluan ya.”

“Tunggu, Ran. Ayo ke kelas barengan, lagian kalau mau ke kelasku lebih enak lewat

depan kelasmu, lebih deket.”

“Aaah, bilang aja kamu pengen lebih lama sama aku. Pake alasan lebih deket segala.”

“Ehh, apaan sih. Ngapain juga pengen lebih lama sama kamu, yang ada malah bosen

sama kamu terus.”

“Ohh gitu ?? Ya udah sana jauh – jauh dari aku.”

“Enggak – enggak. Bercanda kali, Ran.”

Perjalanan singkat menuju kelas pun kami jadikan waktu untuk bercanda bersama.

Dari arah berlawanan, kulihat Reno berjalan sendirian dan menghampiri kami.

“Pagi – pagi udah asik aja sih kalian. Bener – bener pasangan yang serasi.”

“Ehh, apaan sih kamu Ren. Kita kan udah temenan dari SMP, wajar aja kan kalau

akrab.”

“Yakin cuma temenan ?? Temen – temen bilang kalian itu pacaran. Habis, berangkat

bareng pulang bareng sih.”

“Mereka aja gak tau apa – apa. Coba kamu tanya Dani. Kita gak pacaran ya, Dan ?”

“Iya, kita gak pacaran kok. Cuma temenan aja.”

Page 3: cerpen

“Syukur deh, kalau kalian gak pacaran.”

“Ya udah Dan, aku sama Reno ke kelas dulu ya.”

“Ya udah aku juga mau ke kelas, keburu gurunya masuk. Nanti pulang aku tunggu di

parkiran ya, Ran.”

Entah apa yang aku pikirkan, pikiranku saat itu menjadi kacau balau. Mendengar

perkataan Reno yang bersyukur bahwa aku dan Rani tidak pacaran membuatku berpikir

bahwa dia mempunyai perasaan yang sama kepada Rani. Mungkin tidak lama lagi, Reno

akan menyatakan perasaannya dan pasti Rani menerimanya. Pikiranku menjadi tidak karuan

memikirkan kemungkinan itu. Namun mau bagaimana lagi, jika mereka berdua memang

saling menyukai. Mungkin perasaanku ini akan selamanya aku pendam dalam hati, agar Rani

tidak mengetahuinya dan membuatnya di posisi yang sulit. Kuputuskan untuk tidak

memikirkannya dan fokus pada pelajaran.

Teetttt....

Akhirnya bel pulang berbunyi. Dengan cepat ku masukkan barang – barangku ke tas

dan segera menuju ke parkiran agar Rani tidak menunggu terlalu lama. Satu pun pelajaran

hari ini tidak ada yang aku mengerti. Aku sibuk dengan pikiranku sendiri memikirkan tentang

Rani dan Reno. Aku sudah berusaha untuk tidak memikirkannya, namun tetap saja hal itu

memenuhi pikiranku. Sesampainya aku di parkiran, kulihat tidak ada sosok Rani yang

menungguku. “Mungkin masih pelajaran, sebentar lagi juga pasti datang”, pikirku. Untuk

mengurangi rasa bosan, kudengarkan musik dengan headset sambil duduk di atas motorku.

Kutunggu dan terus kutunggu, namun Rani tak kunjung datang juga. Kutengok jam tanganku

dan tanpa sadar aku telah menunggunya selama 1 jam. Jika ia pulang terlebih dahulu, kenapa

helmnya masih ada di motorku? Karena ia tak kunjung datang, kuputuskan untuk melihat ke

kelasnya. Baru kuinjakkan kakiku di tanah, sosok Rani terlihat dari kejauhan bersama

seorang temannya. Kulihat dengan seksama, dan ternyata teman yang bersamanya itu adalah

Reno. Hatiku langsung campur aduk tak karuan. Sedih, marah, kecewa, entah yang mana

yang harus ku luapkan kepadanya.

“Loh kok belum pulang, Dan?”

“Bukannya kita janjian pulang bareng ya Ran? Udah aku tunggu daritadi. Kamu lupa

ya?”

“Loh emang iya? Kapan kita janjian pulang bareng?”

“Tadi pagi pas di deket kelasmu. Kan aku bilang aku tunggu di parkiran sepulang

sekolah, Ran.”

“Masa ? Aku gak denger Dan, maaf ya.”

Page 4: cerpen

“Ya udah gak papa. Ayo cepetan pulang. Capek nih aku.”

“Yaah, maaf. Hari ini aku mau pulang bareng Reno. Dia mau nganterin aku, soalnya

tadi aku mau ngajarin dia pelajaran.”

“Oh. Ya udah. Nih helmmu. Aku pulang dulu.”

Tanpa banyak bicara, kutinggalkan Rani dengan Reno. Berat hati ini untuk

meninggalkan mereka berdua, namun apalah daya jika kehadiranku mungkin hanya dianggap

sebagai peganggu oleh mereka. Hati ini sakit bagai tersayat pisau. Bukan karena aku telah

menunggu lama untuknya. Tapi karena kehadiranku yang tak dianggap olehnya. Sudah

berulang kali, aku dilupakan. Sekali dua kali, aku masih bisa menahannya. Namun, lama

kelamaan sakit ini tak tertahan lagi. Bahkan suaraku saja tak didengar olehnya. Mungkin

sekarang adalah saat yang tepat untuk melepaskannya. Namun, aku terlalu sayang untuk

melepaskan tapi aku juga sudah terlalu sakit untuk bertahan.

Selama perjalanan pulang, kurenungkan apa yang akan aku lakukan setelah ini.

Setelah kupikir – pikir, mungkin lebih baik bila aku melepaskannya. Meskipun aku

menyayanginya, namun tidak ada artinya bila diriku ini tak dianggap ada olehnya.

Sesampainya di rumah, aku langsung menuju kamarku. Keletakkan tasku di lantai dan

kulempar badanku ke kasur. Kupejamkan mata ini untuk sesaat. Baru saja kupejamkan

mataku, tiba – tiba ada suara ponsel yang mengagetkanku. Kutengok ponselku dan ternyata

ada pesan dari Rani yang berisi “Udah sampai rumah Dan? Kamu kenapa? Tadi kok langsung

pulang gitu aja? Marah ya sama aku gara – gara kamu nunggu lama? Kalau kamu marah, ya

maaf. Aku gak denger beneran kalau kamu bilang pulang sekolah mau nunggu aku di

parkiran. Jangan marah ya Dan.” Ingin kujawab pesan ini, namun aku sudah memutuskan

untuk melepaskannya. Kupencet tombol merah dan ku pejamkan lagi mataku.

Ptok ptok ... Ptok ptok ...

Suara ayam berkokok mengagetkanku. Kubuka mataku dan kutengok jam dinding

sudah menunjukkan pukul 04.30. Aku segera bangun. Aku tidak mengerti kenapa hari sudah

berganti. Kulihat pakaianku dan aku masih mengenakan seragam kemarin. Tak kusangka aku

langsung tertidur setelah membaca pesan dari Rani kemarin. Bahkan, ponselku tergeletak

disampingku. Kutengok ponselku dan ternyata ada 21 panggilan tak terjawab dan 11 pesan

masuk dari Rani. Kubuka dan semua pesan itu berisi sama “Kamu masih marah sama aku,

Dan? Kok gak bales sih? Di telpon juga gak diangkat. Aku minta maaf beneran deh, kalau

kamu masih marah gara – gara kemarin.” Lagi – lagi kutekan tombol merah dan aku bergegas

mandi.

Page 5: cerpen

Selesai mandi aku langsung mengambil air wudhu dan menunaikan shalat subuh.

Selesai shalat subuh aku langsung bergegas mengenakan seragam sekolah. “Untung hari ini

ganti seragam, kalau enggak bisa gawat deh”, gumamku dalam hati. Setelah selesai

merapikan diri, aku segera menuju ruang makan.

“Kamu tidurnya puas kan, Dan? Kemarin ibu lihat pulang sekolah kamu langsung

tidur.”

“Iya, Bu. Kemarin sih niatnya cuma mau tiduran bentar. Tapi kok tahu – tahu sampai

pagi. Mungkin kemarin aku kecapekan ya Bu, makanya ketiduran lama banget. Hehe. ”

“Ya udah ayo cepet sarapan. Kamu masih harus jemput Rani kan?”

“Enggak kok Bu. Hari ini aku langsung berangkat ke sekolah, jadi bisa agak santai.”

“Loh, tumben banget. Kenapa? Lagi marahan ya??”

“Apaan sih Bu. Enggak lah. Cuma baru capek aja, jadi mau langsung ke sekolah.”

“Ya udah, buruan makan. Nanti kamu bisa telat kalau terlalu santai.”

“Siap, Komandan. Hehe.”

Selesai sarapan, ku ambil tasku dikamar dan langsung berangkat ke sekolah. Aku

tidak semangat seperti biasanya. Apa karena tidak ada Rani? Tapi sudahlah, toh aku sudah

membuat keputusan. Sesampainya di sekolah, kuparkir motorku dan aku langsung menuju

kelas.

“Dani????”

Kudengar seseorang memanggilku. Kulihat sekeliling dan ternyata Rani yang

memanggilku. Dia pun sedang menuju ke arahku. Dan lagi – lagi, kulihat dia bersama Reno.

“Heh Dan, kok pesanku gak kamu bales sih? Di telpon juga gak diangkat? Aku tadi

pagi sms kamu minta kamu buat jemput aku kan? Kenapa kamu berangkat duluan?”

“Oh maaf, tadi pagi aku gak buka HP. HPku sekarang aku tinggal di rumah.”

“Ya udah gakpapa. Untung ada Reno yang mau jemput aku. Kalau enggak, bisa – bisa

aku gak berangkat sekolah. Habis gak ada yang nganter.”

“Ya udah aku ke kelas dulu.”

“Nanti malem aku sms. Dibales ya.”

Teriakan Rani terdengar jelas di telingaku. Namun, aku ingin sedikit mungkin

berhubungan dengan Rani. Bukan karena aku marah kepadanya. Melainkan karena aku ingin

melupakannya. Aku tidak ingin perasaanku justru makin bertambah untuknya.

Malam itu Rani menepati janjinya, ia mengirimku pesan. Pesan yang tak terduga

isinya. Pesan itu berisi “Dani... Hari ini aku seneng banget. Tau gak kenapa aku seneng? Aku

seneng soalnya hari ini aku jadian sama Reno. Tadi pulang sekolah, dia nganterin aku pulang

Page 6: cerpen

lagi. Tapi sebelum pulang, dia ngajak aku ke taman dulu. Dia nyuruh aku duduk di kursi

taman dan nunggu dia, soalnya dia mau beli minum. Pas dateng, tiba – tiba dia berlutut

sambil bawa bunga. Trus dia nembak aku. So sweet banget deh Dan pokoknya. Aku gak

nyangka bisa jadian sama dia. Kamu setuju kan kalau aku pacaran sama Reno?” Membaca

pesan dari Rani, aku langsung terdiam. Perasaan ini bagai bumi dan langit. Di satu sisi aku

bahagia karena Rani bahagia. Tapi di sisi lain, hati ini sakit karena Rani menjadi milik orang

lain. Aku terdiam cukup lama, hingga pesan kedua Rani yang berisi “Dan?” menyadarkanku.

Aku enggan membalas pesannya, namun jika tidak kubalas, ia akan terus mengirimiku pesan.

Kuputuskan untuk membalas pesannya kali ini. “Wah, selamat ya Ran, akhirnya kamu bisa

jadian sama Reno juga. Semoga kalian bahagia ya. Oh iya, mulai sekarang aku gak bisa sms

kamu atau jemput kamu ke sekolah lagi. Aku mau fokus sekolah dulu. Kamu juga udah

punya Reno kan? Jadi kamu gak bakal butuh aku lagi. Sekali lagi selamat ya, semoga bahagia

menyertai kalian. Amin.”

Tak lama ada balasan dari Rani. “Iya makasih Dan. Siapa bilang aku gak butuh kamu

lagi? Aku masih butuh kamu Dan, kamu kan sahabatku yang paling baik. Tapi kalau itu

keputusanmu, aku gak bisa maksa juga. Lagian kita masih bisa ketemu di sekolah. Ya udah,

sukses buat kamu ya, Dan.”

Kurang lebih sudah 3 bulan semenjak hari itu dan kami benar – benar tidak

berhubungan lagi. Awalnya Rani masih sering mengirimiku pesan. Namun, tidak pernah

kubalas karena aku takut aku tidak akan bisa melepaskannya. Jarak diantara kami sudah

sangat jauh. Bahkan, setiap kali kami bertemu di sekolah, kami tidak bertegur sapa seperti

dulu. Kami hanya diam dan segera meninggalkan satu sama lain, bagai orang asing.

Kudengar dari teman – temanku, hubungannya dengan Reno berjalan baik. Bahkan, teman –

temanku iri pada mereka berdua. Memang sudah 3 bulan berlalu, namun hati ini masih

menjadi milik Rani. Aku belum bisa sepenuhnya melepaskan Rani. Terkadang aku berpikir

untuk mendekatinya lagi. Namun bahagia Rani bukanlah diriku, melainkan Reno. Memang

aku masih menyayanginya seperti dulu atau justru semakin bertambah. Namun biarlah, cinta

ini menjadi cinta dalam hati. Kelak, jika ia memang jodohku. Ia akan kembali padaku

meskipun kami sempat terpisahkan.