catatan untuk seorang kawan

9
Catatan untuk seorang kawan: Mengapa saya memilih Jokowi? July 6, 2014 at 3:57pm PadaSenin (30/06), seorang kawan bertanya via whatsapp dengan sedikit resah. “Ras sharing dooong. Yg bikin km yakin samacapres no 2 apa ras?” Diskusi lanjutannya tiba-tiba mengarah pada, “Ras isu tentang Jokowi yg selalu menjadi boneka asing gmn ras menurut kamu?Seperti memaklumi, aku pun hanya menatap layar ponselku nanar. Beberapa hari yang lalu, di sebuah grup whatsapp, seorang kawan lain juga menanyakan hal sama “aku mau nanya deh ladies... ada ga sih bukti kalo prabowo itu terlibat dikasus hilangnya aktivis 98 itu? Aku penasaran aja.. bingung capresnyaj elek2, haha aku ogah banget deh PDI menang, amerika makin jaya aja, kekayaan indo semakin dikeruk.Dua pertanyaan dari dua sahabatku yang tinggal di Jakarta itu seperti menamparku. Tiba-tiba saja aku merasa tidak aman dan gelisah. Pertama,aku tidak akan membela habis-habisan Jokowi-JK dengan menganggapnya ratu adil yang bisa menyelesaikan masalah dalam waktu lima tahun. Mengapa? Sebab, mendudukkan Jokowi-JK harus dipilin ke dalam persoalan struktural yang lebih kompleks tentang sistem ekonomi politik Indonesia sebagai negara neoliberal. Itu perlu dicatat! Apaitu neoliberal? Pertama, sistem berpikir neoliberal membawa keyakinan pada mekanisme pasar yang adil dan individu yang bebas. Kedua, sistem berpikir neoliberal membawa mandat untuk membuka seluas-luasnya peluang komodifikasi alam dan manusia ke dalam relasi produksi kapitalistik. Alam menjadi sumber daya alam dengan nilai jual dan manusia menjadi buruh-pekerja yang digaji. Ketiga, disematkannya neoliberal di belakang ‘negara’ membawa rasionalisasi bahwa peran negara tak lebih dari penyambung lidah kapital dari manapun (karena sebenar- benarnya negara itu tidak ada dalam sistem ini). Bentuknya beragam, bisa melalui perjanjian bilateral antar negara atau serangkaian adjustment dari lembaga internasional. Kedua, pada pemilu kali ini aku bersikap politis lewat kemantabanku memilih nomer 2. Dengan alasan sederhana, karena aku tidak ingin Prabowo menjadi presiden. Mengapa? Akan aku jelaskan nanti dengan membaca secara historis dua calon dan membaca secara kritis retorika mereka lewat visi misi. Biar tidak blunder logikanya. Sebab black campaignhanya akan mempengaruhi orang-orang yang blunder. Akus udah muak dengan segala informasi yang stigmatif dan sentimentil hanya karena mereka tidak mau meluangkan waktu membaca segala sesuatu secara lebih historis dan kritis. Pokoknya, “asal kata A Jokowi adalah agen asing”, “asal kata B Jokowi adalah Cina”, “asal kata C Jokowi adalah komunis”, atau apapun itu. Lantas mengamini berbagai informasi secara vulgar. Aku juga merasa jengah dengan argumentasi penengah yang mengatakan, “ya harus melihat informasi dua-duanya seperti apa, baru memilih.” Hmmmh, oke. Pada pesan itu tersimpan paradoks. Pertama, informasi dibayangkan netral karena sebenar-benarnya benda bernama informasi itu tidak netral. Harus diulik lebih dalam, dari mana asal informasi itu? Bagaimana cara penyampaiannya? Siapa yang menyampaikan? Mengapa ada informasi demikian? Kedua, informasi yang tidak netral itu akan diterima oleh otak kita yang juga tidak netral. Harus disadari, bahwa sebagai manusia kita dibentuk oleh struktur tertentu di tingkat keluarga, masyarakat, pendidikan, lalu berbangsa dan bernegara. Lewat struktur yang saling tali menali itulah, keberpihakan kita sebagai warga negara dibentuk. Pertanyaannya kemudian, bagaimana kita membentuk keberpihakan itu? Seminimal-minimalnya dengan menyadari struktur apa yang membentuk kita? Apakah kita bisa berpikir kritisa tau sekedar menjaga status quo? Keberpihakan

Upload: ahmad-sholikin

Post on 15-Jan-2016

13 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

kawan

TRANSCRIPT

Page 1: Catatan Untuk Seorang Kawan

Catatan untuk seorang kawan: Mengapa saya memilih Jokowi?July 6, 2014 at 3:57pm

PadaSenin (30/06), seorang kawan bertanya via whatsapp dengan sedikit resah. “Ras sharing dooong. Yg bikin km yakin samacapres no 2 apa ras?” Diskusi lanjutannya tiba-tiba mengarah pada, “Ras isu tentang Jokowi yg selalu menjadi boneka asing gmn ras menurut kamu?” Seperti memaklumi, aku pun hanya menatap layar ponselku nanar. Beberapa hari yang lalu, di sebuah grup whatsapp, seorang kawan lain juga menanyakan hal sama “aku mau nanya deh ladies... ada ga sih bukti kalo prabowo itu terlibat dikasus hilangnya aktivis 98 itu? Aku penasaran aja.. bingung capresnyaj elek2, haha aku ogah banget deh PDI menang, amerika makin jaya aja, kekayaan indo semakin dikeruk.”

Dua pertanyaan dari dua sahabatku yang tinggal di Jakarta itu seperti menamparku. Tiba-tiba saja aku merasa tidak aman dan gelisah.

Pertama,aku tidak akan membela habis-habisan Jokowi-JK dengan menganggapnya ratu adil yang bisa menyelesaikan masalah dalam waktu lima tahun. Mengapa? Sebab, mendudukkan Jokowi-JK harus dipilin ke dalam persoalan struktural yang lebih kompleks tentang sistem ekonomi politik Indonesia sebagai negara neoliberal. Itu perlu dicatat! Apaitu neoliberal? Pertama, sistem berpikir neoliberal membawa keyakinan pada mekanisme pasar yang adil dan individu yang bebas. Kedua, sistem berpikir neoliberal membawa mandat untuk membuka seluas-luasnya peluang komodifikasi alam dan manusia ke dalam relasi produksi kapitalistik. Alam menjadi sumber daya alam dengan nilai jual dan manusia menjadi buruh-pekerja yang digaji. Ketiga, disematkannya neoliberal di belakang ‘negara’ membawa rasionalisasi bahwa peran negara tak lebih dari penyambung lidah kapital dari manapun (karena sebenar-benarnya negara itu tidak ada dalam sistem ini). Bentuknya beragam, bisa melalui perjanjian bilateral antar negara atau serangkaian adjustment dari lembaga internasional.

Kedua, pada pemilu kali ini aku bersikap politis lewat kemantabanku memilih nomer 2. Dengan alasan sederhana, karena aku tidak ingin Prabowo menjadi presiden. Mengapa? Akan aku jelaskan nanti dengan membaca secara historis dua calon dan membaca secara kritis retorika mereka lewat visi misi. Biar tidak blunder logikanya. Sebab black campaignhanya akan mempengaruhi orang-orang yang blunder. Akus udah muak dengan segala informasi yang stigmatif dan sentimentil hanya karena mereka tidak mau meluangkan waktu membaca segala sesuatu secara lebih historis dan kritis. Pokoknya, “asal kata A Jokowi adalah agen asing”, “asal kata B Jokowi adalah Cina”, “asal kata C Jokowi adalah komunis”, atau apapun itu. Lantas mengamini berbagai informasi secara vulgar.

Aku juga merasa jengah dengan argumentasi penengah yang mengatakan, “ya harus melihat informasi dua-duanya seperti apa, baru memilih.” Hmmmh, oke. Pada pesan itu tersimpan paradoks. Pertama, informasi dibayangkan netral karena sebenar-benarnya benda bernama informasi itu tidak netral. Harus diulik lebih dalam, dari mana asal informasi itu? Bagaimana cara penyampaiannya? Siapa yang menyampaikan? Mengapa ada informasi demikian? Kedua, informasi yang tidak netral itu akan diterima oleh otak kita yang juga tidak netral. Harus disadari, bahwa sebagai manusia kita dibentuk oleh struktur tertentu di tingkat keluarga, masyarakat, pendidikan, lalu berbangsa dan bernegara. Lewat struktur yang saling tali menali itulah, keberpihakan kita sebagai warga negara dibentuk. Pertanyaannya kemudian, bagaimana kita membentuk keberpihakan itu? Seminimal-minimalnya dengan menyadari struktur apa yang membentuk kita? Apakah kita bisa berpikir kritisa tau sekedar menjaga status quo? Keberpihakan itu penting untuk menjaga kewarasan dalam Pilpres 2014. Terutama untuk menyeleksi berbagai informasi dan balck campaign yang semakin liar. 

***Apa yang dipertaruhkan dalam Pilpres 2014 ini? Kebebasan berpikir, bertindak, berpendapat, berkumpul, berorganisasi dan bekerja dengan tenang tanpa represi maupun opresi. Itu ketakutan sederhanaku sebagai anak biologis keluarga yang anti-orde-baru. Aku tidak ingin melihat kawan-kawanku, keluargaku atau aku sendiri dikejar-kejar dan dipojokkan oleh porok senjata. Tidak pernah terbesit sedikit pun di pikiranku bahwa kesan militeristik Prabowo akan menjadi jalan keluar bagi persoalan struktural bangsa ini. Saya tidak butuh ketegasan sebuah komando, tetapi dialog dengan kepala dingin untuk menuntaskan persoalan.

Page 2: Catatan Untuk Seorang Kawan

Aku tidak ingin memaksa kalian tidak memilih Prabowo hanya karena ketakutan-ketakutanku semata. Aku akan menuliskannya lebih persuasif dengan meramu ketakutan yang sangat subyektif ini ke dalam pilihan rasional tentang “mengapa memilih jokowi?” Caranya adalah membedah logika dari dua kandidat capres melalui visi misi. Kemudian, menunjukkan rasionalisasinya dalam realitas ekonomi politik bangsa ini.

Bagaimana membedah logika kandidat capres yang terejawantah melalui visi misi?

Pertama, seyogyanya visi misi presiden diperlakukan layaknya karya ilmiah yang tersusun secara sistematis. Paling tidak terdiri dari identifikasi masalah dalam latar belakang, basis ideologis sebagai kerangka berpikir, tujuan sebagai visi-misi dan metode lewat rencana aksi atau agenda kerja.

Kedua, melihat kerangka berpikir kandidat dengan merujuk pada basis ideologis yang digunakan. Proses ini dilakukan dengan memverifikasi basis ideologis lewat agenda kerja yang ditawarkan. Langkahnya adalah mengidentifikasi konsep-konsep kunci apa yang digunakan untuk menyejahterakan bangsa ini. Dari sana akan terlihat, pada posisi seperti apa sang kandidat menyandarkan pundaknya.

***

Visi-misiPrabowo-Hatta yang berjumlah 9 halaman itu tersusun dari “latarbelakang, visi-misi, lalu agenda dan program nyata untuk menyelamatkan Indonesia.” Di dalam tajuk “latar belakang”, Prabowo-Hatta menuliskan jargon politik alih-alih mengidentifikasipersoalan bangsa.

“Rakyat Indonesia saat ini masih mengidamkan tercapainya cita-cita kemerdekaan yangtermaktub dalam Pembukaan UUD 1945, ... Pencapaian reformasi dandemokrasi di berbagai bidang dan pertumbuhan perlu ditingkatkan lagikualitasnya, ... Transformasi bangsa ini merupakan kelanjutan untukmenyelesaikan agenda reformasi yang belum tuntas danpercepatan pembangunan yang belum optimal.”

Pertanyaannya kemudian, apa yang dimaksud Prabowo-Hatta sebagai agendar eformasi? Mengapa pengusutan pelanggaran HAM tidak dimasukkan sebagai agenda reformasi. Mengapa di dalam visi misi Prabowo-Hatta, tidak ada satu kata pun yang menuliskan HAM sebagai bagian dari agenda nasional? Bagaimana mau mencapai reformasi dan demokrasi bila HAM tidak disinggung sama sekali?

Sementara Indonesia telah menetapkan agenda reformasi secara jelas dengan mencanangkan Rencana Aksi Nasional (RAN) HAM lewat Keputusan Presiden No. 129/1998 hingga RAN HAM tahun 2004-2009. Pada 28 September 1998, Indonesia juga ikut meratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan danPerlakuan dan Pengkumuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Manusia lewat UU No. 5/1998. Selain itu melaluiUndang-Undang Nomor 29 Tahun 1999, Indonesia juga telah meratifikasiKonvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk DiskriminasiRasial. Pada tanggal 13 November 1998, MPR juga dengan mengesahkanTap MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia. Pertanyaan tidak berlebihan, bagaimana mungkin seperangkat regulasi yang didorong oleh agenda reformasi dibuat nihil dalam visi misi capres Prabowo-Hattayang ‘katanya’ bersemangatkan reformasi? Pengingkaran apa yang ingin ditunjukkan dalam “latar belakang” visi-misi Prabowo-Hatta.

Kesan berbeda ada saat Prabowo-Hatta menuliskan jargon percepatan pembangunan, yang ternyata bisa dilacak orientasi taktisnya pada Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Seketika gembar-gembor nasionalisasi kekayaan alaPrabowo-Hatta runtuh menjadi gosip panas semata. Apa itu MP3EI? Apa yang salah dengan MP3EI? Apa konsekuensi MP3EI? Maka menyematkan MP3EI bisa menjadi petaka bagi capres yang menyebut dirinya nasionalis. Nanti akan aku jelaskan kemudian.

Selanjutnya, apa basis ideologis yang dituliskan Prabowo-Hatta? Seperti didengungkan dalam kampanyenya, Prabowo memberi kesan bahwa ia adalah pemimpin yang nasionalis. Tetapi, kampanye ini justru menemui paradoksnya dalam visi-misi Prabowo-Hatta. Kandidat nomer satu itu absen melakukan elaborasi ideologis sebagai kerangka berpikir yang harus ditanamkan dalam visi misi dan dilaksanakan lewat agenda kerja. Sebab ideologi bukan lah omong kosong, ia harus tertulis sehingga memiliki kekuatan hukum bagi rakyat Indonesia dan pengemban amanat itu sendiri.

Page 3: Catatan Untuk Seorang Kawan

Lagaknya ketidakhadiran ideologi dalam visi-misi Prabowo-Hatta masih menyisakan kecenderungan yang disebut Martin Suryajaya (2014) sebagai teknokrasi politik. Politik adalah urusan teknis bagi para politikus partai semata. Buah dari sistem monolitik Soeharto dengan Golkar dan pembangunanisme-nya. Dalam bahasa Sasaki Siraishi (2009), masa Orde Baru menyimpan benang merah tentang penundukkan politik melalui gaya famili-isme. Penundukkan itu dilakukan dengan menganalogikan hubungan“rakyat dan negara” sebagai hubungan “bapak dan anak”. Kata politik disimplifikasi menjadi “Keluarga-Bapak (Presiden) tahu-segala” untuk menyukseskan agenda pembangunan. Seorang anak tidak lagi dibebaskan melihat realitas di lingkungannya. Seorang anak diminta untuk mengetahui “kebenaran-kekuasaan” di bangku-bangku sekolah melalui struktur yang dianggap “seharusnya”. Lalu saya berpikir, apakah cara-cara teknokrasi politik seperti itu yang diharapkan rakyat Indonesia pada pemilu 2014-2019?

Setelah menuliskan “latar belakang” yang hanya dua paragraf itu, kedua kandidat langsung menyasar tujuan berupa “visi-misi”. Penulisan visi-misi ini seperti pepesan kosong karena Prabowo-Hatta tidak menyajikan detil pada konsep-konsep penting. Apa yang dimaksud dengan “Membangun Indonesia yang Bersatu, Berdaulat, Adil, Makmur, serta Bermartabat” terkesan berdiri sendiri dengan angkuh tapi rapuhkarena tidak didasari referensi konseptual yang jelas. Apa itumembangun? Apa itu bersatu? Apa itu berdaulat? Apa itu adil dan makmur? Apa itu bermartabat? Apakah segala konsep-konsep gemilang itu mampu diejawantahkan dalam agenda kerja?

Prabowo-Hatta mengklaim tawaran agenda kerja-nya sebagai “agenda dan program nyata menyelamatkan Indonesia.” Kalimat bombastis yang kering penjelasan kembali muncul dalam tajuk itu. Pertanyaan sepele, “memang Indonesia ingin diselamatkan dari siapa? Dari apa?” Lagaknya kalimat itu telah bergulir seperti bola panas dengan penafsiran yang beraneka-rupa di setiap kepala pendukung Prabowo-Hatta. Ada yang bilang, Indonesia harus diselamatkan dari demokrasi kebablasan. Ada yang bilang, Indonesia harus diselamatkan dari moral yang rusak. Ada yang bilang, Indonesia harus diselamatkan dari Amerika. Ada yang bilang, Indonesia harus diselamatkan dari kristenisasi. Setidaknya itu yang aku dengar. Semua tafsiran itu syah dan tak lebih seperti gosip, namun efektif dalam kampanye.

Agenda kerja penyelamatan Indonesia itu terdiri dari delapan pokok. Di sini aku hanya ingin membahas beberapa pokok sejauh yang kupahami dan kuanggap janggal.

Pokok pertama adalah “Membangun Perekonomian yang Kuat, Berdaulat, Adildan Makmur” dengan menawarkan pertumbuhan ekonomi Indonesia lebihdari 10%. Capaian itu diperoleh lewat pertumbuhan industri pengolahanpadat karya (pokok I.1) serta pengolahan sumber daya (pokok I.4) dimana BUMN menjadi lokomotif (I.3). Harapannya, industri bisa menyerap2 juta tenaga kerja per tahun.

Pokokkedua “Melaksanakan Ekonomi Kerakyatan”, salah dua diantaranya,dengan menjanjikan 1 M dana UU Desa (I.6) dan mempercepat reforma agraria (I.8). Sementara pokok ketiga “Membangun kembali Kedaulatan Pangan, Energi dan Sumber Daya Alam” dijanjikan Prabowo-Hatta dengan mencetak 2 juta hektar lahan baru yang dapat mempekerjakan 12 juta buruh sesuai koridor MP3EI (II.1). Mereka juga menjanjikan 2juta hektar untuk energi bioetanol yang dapat mempekerjakan 12 juta buruh (II.4). Kemudian, membangun pabrik pupuk urea dan NPK dengan kapasitas 4 juta ton (II.5). 

Pokok keenam “Mempercepat Pembangunan Infrastruktur” lewat percepatan pembangunan infrastruktur sesuai koridor MP3EIPokok-pokokdi atas disalin dari visi-misi Prabowo-Hatta yang kuanggap janggal. Mengapa janggal?

Sepertidisebutkan secara gamblang dalam www.selamatkanindonesia.combahwa visi-misi yang diusung Prabowo-Hatta sangat nasionalis. Hanya saja, aku tidak percaya retorika itu.

Membaca visi-misi Prabowo-Hatta seperti kilas balik Orde Baru di mana pembangunan menjadi lokomotif pertumbuhan ekonomi yang mensyaratkan mesin industri, buruh dan ekstraksi sumber daya alam. Tidak ada kebaruan di sini, lebih seperti pengulangan dari struktur kolonial yang mengeksploitasi pribumi sebagai buruh untuk melipatgandakan keuntungan dari mesin-mesin industri olahan tebu dan teh.

Page 4: Catatan Untuk Seorang Kawan

Aku tidak tahu dari mana asal muasal nominal “2 juta” buruh pertahun. Sekalipun sekedar janji, Prabowo-Hatta yang nasionalis itu justru menginginkan manusia Indonesia sebagai buruh. Bukankah ini paradoks. Apa jadinya bila negara hanya menginginkan rakyatnya menjadi buruh? 2 juta buruh pertahun untuk industri olahan dan 12 juta buruh di dalam koridor ekstraksi sumber daya MP3EI. Bukankah cara-cara itu tak lebih dari pengulangan struktur negara kolonial. Aku ingin memberi ilustrasi tersebut dari buku Jan Breman (1986) “Penguasaan Tanahdan Tenaga Kerja Jawa di Masa Kolonial”.

JanBreman (1986) menjelaskan kondisi Cirebon abad 18 bahwa politik tamanpaksa telah berhasil mencetak tenaga kerja. Untuk mencetak buruh,pemerintah kolonial menyiapkan pabrik dan perkebunan tebu di daerah yang padat penduduknya lewat proses industrialisasi. Mereka mengikat buruh untuk tergantung pada sistem upah dengan menerapkan sewa tanah di atas tanah pribumi yang ditanami padi. Lewat sistem itulah, pribumi Cirebon mengenal uang, yang diputarkannya kembali untuk membayar sewa tanah. Sekalipun jumlah upah tidak lebih dari biaya sewa tanah yang dibebankan pemerintah di atas sawah-sawah pribumi. Maka ketergantungan buruh yang mengisi kantong industri kolonial kembali diikat lewat sistem hutang untuk menyewa tanah.

Situasi Jan Breman (1986) ini terancam berulang bila MP3EI dengan 12 juta tenaga kerja ini diimplementasikan masif. Negara dengan dorongan komoditas tertentu syah mengambilpaksa tanah dan mengubah orang-orang yang tereksklusi dari tanahnya menjadi buruh. Inikah yang dimaksud 12juta tenaga kerja dalam koridor MP3EI?

***

MP3EI merupakan masterplan perekonomian yang berpedoman pada dua kata kunci yakni percepatan dan perluasan. Seperti disebut SBY, maksud percepatan adalah percepatan ekonomi dengan skema not bussiness asusual. Demikian pula dengan perluasan, di mana perekonomian dan iklim investasi disebar hingga seluruh nusantara yang dikategorikan dalam 6 koridor ekonomi. Tujuan utamanya, Indonesia mampu menjadi negara maju yang dimaknai:

“Semakin maju perekonomian suatu negara, maka semakin kecil pula porsi anggaran pemerintah dalam pembangunan ekonomi. Dinamika ekonomi akantergantung pada dunia usaha BUMN, swasta domestik dan asing.”

Selanjutnya, not bussiness as usual dalam dokumen MP3EI menyakinkan adanya perubahan pola pikir bahwa tak semua infrastruktur bagi rakyat Indonesia harus dipenuhi negara lewat APBN. MP3EI membuka peluang bagi pembangunan infrastruktur yang sepenuhnya dari dunia usaha lewat skema public-private partnership. Sementara peran pemerintah adalah memastikan seperangkat regulasi bagi dunia usaha untuk membangun infrastruktur dan seperangkat produksi di Indonesia.

Dengan demikian, MP3EI menjadi representasi dari negara neoliberal. Mengapa? Sebab pemerintah hanya diposisikan diri layaknya calo regulasi bagi investasi yang datang untuk mempercepat dan memperluas perekonomian Indonesia. MP3EI tak lebih seperti jalan tol bagi apa yang disebut oleh Prabowo-Hatta sebagai “asing”, persis seperti dokumen investasi yang dimotori Soeharto dalam undang-undang modal asing.

Lewat MP3EI ini pula lah, lokomotif perekonomian Indonesia digiring pada ekstraksi dan pemanfaatan sebesar-besarnya sumber daya alam Indonesia. Termasuk rakyat Indonesia, yang dalam skema MP3EI, dilibatkan dalam relasi produksi kapitalistik untuk menjadi buruh di kantong-kantong industri.David Harvey (2005) menggarisbawahi, negara neolib memang hanya berperan untuk memastikan regulasi yang menjamin privatisasi dan pelembagaan bagi perdagangan bebas. Kemudian, negara dengan monopoli senjata dan tentara berhak menggunakan kekerasan untuk menjamin kebebasan bisnis dan koorporasi itu. Dibawah trickle down effect, negara neoliberal mengasumsikan, akumulasi kekayaan dunia usaha bisa menetes pada rakyat yang diposisikan seperti buruh sehingga kemiskinan bisa teratasi (Harvey, 2005). Sindiran kecil dari Maria Sumardjono (2014), bagaimana mungkin MP3EI memiliki semangat konstitusi dan alokasi yang adil atas sumber daya alam bagi rakyatnya bila privatisasi di mana-mana?

Paparan kritis tentang inisiasi MP3EI datang dari alih guna 1,2 juta hektar hutan di Merauke dalam skema Merauke Integrated Food and EnergyEstate (MIFEE). Penggunaan kataestate sudah pasti

Page 5: Catatan Untuk Seorang Kawan

mengindikasikan privatisasi lahan berskala luas. Di dalam estate tidak ada manusia, hutan pun dianggap kosong tak berpenghuni. Tidak ada kasuari, tidak ada kanguru, tidak ada sagu, bahkan tidak ada Orang Marind Anim –suku asli Merauke-. MIFEE masuk ke Merauke difasilitasi oleh bupati yang menjadi calo dengan gagasan besar tentang “memberi makan Indonesia dan memberi makan dunia”.

Didalam cerita yang disusun Takeshi Ito, Noer Fauzi Rahman dan LaksmiSavitri (2014), Arifin Panigoro datang ke Merauke dan diterima bupati Marind Anim bermarga Gebze. Bupati pun mengadopsi pemilik Medco itu menjadi marga Gebze untuk bisa membujuk marga Gebze lain yang tinggal di ratusan ribu hektar hutan agar melepaskan tanah. Cara itupun jitu, sebab di tahun 2007, Medco mendapat 301.600 ha untuk monokultur hutan tanaman industri (HTI) bagi penyedia bubur kertas. Jauh dari angan utnuk memberi makan dunia bukan?

Paige West (2006) menilai bahwa seiring proses komodifikasi berjalan maka keterlibatan manusia pun menjadi sekedar relasi produksi buruh dan kapital. Seperti yang disebutkan secara gamblang oleh Bupati Gebze bahwa, “Bukan hanya alam yang diolah, melainkan manusia juga akan“diolah”” (Laksmi Savitri, 2013: 68). Artinya, manusia pun diolah menjadi sekedar buruh harian lepas dalam relasi produksi alaMIFEE.

Apa kaitannya MP3EI dengan Prabowo-Hatta? Bagaimana mungkin logika diatas bisa menyakinkanku bahwa janji reforma agraria bisa terwujud? Alih-alih redistribusi tanah untuk  kemakmuran rakyat, pada kasus Marind Anim, MP3EI justru membuka peluang bagi perampasan tanah sebesar-besarnya. Kemungkinan itu terjadi karena MP3EI didasari oleh dua asumsi yang bermasalah. Mengutip Martin Suryajaya (2014), problem pertama adalah pengandaian negara bahwa kepentingan individual bisa diterjemahkan lewat rasionalitas ekonomi. Artinya, pelaku usaha dibiarkan bekerja mengikuti kepentingan masing-masing untuk mengoptimalkan ekstraksi sumber daya alam demi pertumbuhan ekonomi. Pada titik itulah pertumbuhan ekonomi bisa tercapai semaksimal mungkin. Problem kedua adalah, koridorisasi ekonomi berdasarkan sumber daya unggulan per daerah, merupakan kelanjutan dari potret pemerintah kolonial yang aku urai singkat lewat tulisan Jan Breman (1986).

***

Nada pesimistikku pada visi-misi Prabowo-Hatta muncul karena tiga persoalan. Pertama, Prabowo-Hatta tidak mendasari laku ideologis yang jelas. Mereka berbicara nasionalisme tetapi memberi kesempatan luas pada MP3EI. Secara tidak langsung Prabowo-Hatta mengamini penyusutan peran negara dalam politik neoliberal. Kedua, visi-misi Prabowo-Hatta secara gamblang membuka jalan bagi investasi untuk pengoptimalan sumber daya alam belandaskan trickle down effect. Agenda kerja ini mewarisi nalar kolonial, Orde Baru hingga pemerintahan SBY yang mendasari pertumbuhan ekonomi dari pengerukkan kekayaan alam. Ketiga, pemerataan ekonomi ala Prabowo-Hatta juga dielaborasi dari ide usang para ekonom liberal untuk mencetak rakyat sebagai buruh. Terbukti dari janji 2 juta tenaga kerja per tahun dan 12 juta tenaga kerja yang diserap MP3EI.

Pada konteks inilah maka ide besar Jokowi-JK tentang revolusi mental muncul sebagai pilihan logis. Mungkin istilah itu terdengar aneh, apa yang salah dengan mental rakyat Indonesia? Istilah ini muncul dari keresahan Jokowi yang dituliskan dalam Harian Kompas, selama ini reformasi berhenti pada reformasi kelembagaan negara semata. “Perombakan belum menyentuh paradigma, mindset atau budaya politik dalam rangka pembangunan bangsa,” (Jokowi, 2014). Terjadi desentralisasi dan pembentukan komisi independen seperti KPK, di sisi lain korupsi; intoleransi beragama, bersuku dan berbangsa; kerakusan dan kekerasan; pelecehan hukum dan oportunisme.

Elaborasi itulah yang mendorong Jokowi dan para relawan mengunggulkan revolusi mental sebagai pintu masuk bagi pembangunan berbangsa dan bernegara menuju manusia yang bermartabat. Istilah revolusi mental menjadi wacana tandingan bagi revolusi fisik yang mensyaratkan pertumbahan darah. 

Lokomotif penggerak revolusi mental diikat dalam konsep Trisakti Bung Karno tahun 1963 yakni: (1) Indonesia yang berdaulat secara politik (2)Indonesia yang mandiri secara ekonomi (3) Indonesia yang berkepribadian secara sosial-budaya. Politik menyasar pada perubahan paradigma bahwa politik bukan hanya milik teknokrat, mekanisme politik harus akuntabel dan bersih, demikian pula dengan sistem birokrasi harus kompeten dan kapabel. Setidaknya hal ini sudah dimulai Jokowi-JK dengan rekening relawan untuk dana kampanye. Alih-

Page 6: Catatan Untuk Seorang Kawan

alih bancakan dari para pengusaha oligarki nasional,J okowi-JK memilih menerima uang receh dari relawan politiknya. "Kita perlu memperbaiki rekruitmen politik dengna mengandalkan keterampilan dan rekam jejak ketimbang kekayaan dan kedekatan dengna pengambil keputusan,”  tulis Jokowi. Lewat prinsip itulah, Jokowi mampu membongar oligarki kekuasaan di internal PDIP. Sistem politik yang bersih mampu mewujudkan perekonomian yang berdaulat bagi kedaulatan dan ketahanan pangan, ketahanan energi dan investasi pada lapangan kerja bukan investasi modal. Disinilah Jokowi mengatakan secara tegas untuk melepaskan diri dari ketergantungan investasi, modal, bantuan dan teknologi luar negeri. Pangkal dari itusemua adalah liberalisasi ekonomi yang membuat sumber daya alam diIndonesia dikuras oleh perusahaan multinasional. Bedanya denganjargon Prabowo-Hatta, visi ini dielaborasi dalam konsep ideologi sehingga tidak menimbulkan paradoks bahwa ekonomi kerakyatan kokMP3EI.

Perombakan sistem politik dan sistem ekonomi inilah yang menyublim menjadi perubahan paradigma dan nilai serta pendidikan karakter. Di sini Jokowi-JK menyadari bahwa Indonesia adalah milik generasi penerusnya sehingga negara harus menjamin sistem pendidikan yang membangun identitas berbangsa, serta layanan kesehatan.

Revolusi mental itulah yang dikawal dalam elaborasi ideologis yakni Pancasila1 Juni 1945 dan Trisakti. Revolusi mental adalah jawaban bagi tiga masalah pokok bangsa. Pertama, “ancaman terhadap wibawa bangsa”yang tak bisa memberi jaminan keamanan pada warga negara, membiarkanpelanggaran HAM, lemah dalam penegakkan hukum dan tidak berdayamengelola konflik sosial serta diciderai oleh perjanjianinternasional dan perusahaan multinasional. Kedua, “kelemahan sendiekonomi bangsa” karena kemiskinan, kesenjangan ekonomi, kerusakanlingkungan hidup dan negara tidak kuasa memberi jaminan hidup bagiwarga negaranya. Ketiga, “intoleransi dan krisis kepribadianbangsa” yang dilandasi oleh politik penyeragaman sehinggamemudarkan solidaritas berbangsa dan gotongroyong.

Solusinya, Jokowi-JK membangun visi untuk “Terwujudnya Indonesia yangBerdaulat, Mandiri dan Berkepribadian Berlandaskan Gotongroyong”.Tidak seperti visi-misi Prabowo-Hatta, konsep-konsep penting inidijelaskan secara runut. “Berdaulat”sebagai konsep pemenuhan hak setiap bangsa untuk menentukan nasibnyasendiri melalui kemandirian. “Mandiri” tercermin dariketersediaan sumber daya manusia yang berkualitas sebab bangsa yangmaju adalah bangsa yang mampu memberi keadilan bagi seluruhrakyatnya, menjamin hak, keamanan dan ketentraman warga.“Berkepribadian” kemandirian dan kemajuan suatu bangsa tidakhanya diukur dari pertumbuhan ekonomi semata tetapi tercermin dalamkelembagaan, pranata sosial, dan nilai yang mendasari kehidupanekonomi, politik dan sosial. Untuk mewujudkan Indonesia Hebat dalamtiga prinsip itu, Jokowi-JK menekankan satu predikat yang menjadidasar bangsa yakni gotong royong. 

Gotongroyong dilakukan untuk melakukan sembilan agena prioritas dariIndonesia Hebat.

1. Kamiakan menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa danmemberikan rasa aman pada seluruh warga negara.

2. Kamiakan membuat pemerintah tidak absen dengan membangun tata kelolapemerintah yang bersih, efektif, demokratis dan terpercaya.

3. Kamiakan membangun Indoensia dari pinggiran dengan memperkuatdaerah-daerah dan desa-desa dalam NKRI

4. Kamiakan menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem danpenegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat dan terpecaya

5. Kamiakan meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia6. Kamiakan meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing pasar7. Kamiakan mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektorstrategis ekonomi domestik8. Kamiakan melakukan revolusi karakter bangsa9. Kamiakan memperteguh kebhinekaan dan memperkuat restorasi sosial. 

Kesembilan agenda itu memiliki tujuan besar yang bertentangan dengan prinsip negara neoliberal, yakni menghadirkan kembali negara dan membuat negara tidak absen dalam segala pemenuhan kebutuhan dan

Page 7: Catatan Untuk Seorang Kawan

jaminan warga negaranya. Jokowi-JK tidak menghamba pada ekstraksi sumber daya alam dengan menjadikan manusia sebagai buruh. Mereka mencoba membangun sistem dari sumber daya manusia yang bermartabat.

Agenda strategis Jokowi-JK merupakan elaborasi bersama-sama dengan relawan yang terdiri dari gerakan sipil. Partai tidak urun banyak di sini. Salah satu contoh dari keterlibatan gerakan sipil adalah agendaprioritas bagi jaminan kedaulatan politik kepada hak-hak masyrakatadat. Agenda strategis lain berkaitan dengan perwujudan sistem danpenagakan hukum yang adil dengan menuliskan HAM sebagai bagian dari 42 prioritas.

Dibidang kedaulatan ekonomi, Jokowi-JK memprioritaskan pada kualitas sumber daya manusia dengan wajib belajar 12 tahun dan pembebasan biaya pendidikan. Mereka juga memiliki prioritas pada pembangunankedaulatan pangan berbasis agribisnis kerakyatan. Caranya adalahredistribusi hak dan tanah petani dengan menyerahkan lahan 9 jutahektar serta peningkatan akses kepemilikan lahan 0,3 ha untuk petanigurem. Untuk mencapai kedaulatan, Jokowi-JK tidak berjanji mencetak12 juta buruh seperti Prabowo-Hatta. Keduanya memilih meningkatkanakses petani terutama petani gurem terhadap pemenuhan alat produksiseperti tanah hingga pembangunan bank khusus petani berbentukkooperasi.Lalu,mengapa saya memilih Jokowi?

Pertama,sebagai sebuah visi-misi yang akan masuk ke dalam perencanaannasional, Jokowi-JK menyusunnya secara lebih sistematis dibandingPrabowo-Hatta. Mereka juga menyusun agenda secara ketat dan detildalam tiga agenda utama yakni kedaulatan di bidang, politik, ekonomidan budaya diperoleh Jokowi-JK dari elaborasi Trisakti Bung Karno.Detil itulah yang memperkecil kemungkinan manipulasi pada prosesperencanaan saat amanah sebagai presiden diberikan pada Jokowi-JK.Selain itu, program-program disusun tanpa menghadirkan kontradiksiyang muncul di dalam visi-misi Prabowo-Hatta.

Kedua,rumusan agenda strategis dari visi-misi Jokowi-JK tersusun lebihsistematis, progresif dan tidak melahirkan kontradiksi sepertiPrabowo-Hatta. Pemilu ini memang bukan urusan sepele. Dua kububerhadapan dengan retorika nyaris sama dan pembawaan yang berbeda.Mencermati detil pada retorika setiap pasangan lewat visi-misi tentumutlak diperlukan agar tidak termakan oleh kampanye hitam. Jangansampai kita menghancurkan martabat sendiri dengan memilih presidenkarena “sentimen” dari pada rasionalisasi visi-misi.Ketiga,“Two I stand on the left side”. Sebagai warga negara, aku memilihuntuk mengawal program dari orang-orang yang berani, bersih danterbukti selalu mengeksekusi janji seperti periode mereka dipemerintahan sebelumnya. Tidak muluk-muluk aku ingin sekali melihatterobosan yang diringkas oleh Martin Suryajaya (2014).

1. Dukungan ataslandreform (pembebasan 9 juta hektar lahan yang dibagi-bagikansecara gratis untuk rakyat),

2. Penghapusan UjianNasional,3. Pembatasan impor,4. Perlindunganperempuan dari kekerasan seksual,5. Perlindungan kaumminoritas dari diksriminasi SARA,6. Jaminan pendidikangratis (Kartu Indonesia Pintar),7. Jaminan kesehatangratis (Kartu Indonesia Sehat),8. Penolakan atasparadigma debottlenecking MP3EI dan pengutamaan kekuatanekonomi nasional yang

mandiri.

Dengan demikian pada pemilu kali ini aku tidak akan menjadi oportunis dengan mengatakan, “Ah Jokowi kan boneka Megawati, jad aku tidak maumemilih dia karena PDIP.” Oke aku punya komentar menarik untukkeluhan ini.

“Tolong dibedakanya, aku memilih Jokowi bukan Megawati. Dia berhasil membongkar oligarki kekuasaan di PDIP, kenapa kita tidak dukung capaian itu.Lagi pula, kampanye Jokowi-JK digerakkan oleh relawan bukan mesin partai. Para relawan yang membiayai kampanye Jokowi-JK bukan para cukong pengusaha yang berurat di partai. Jadi jangan pelintir kegembiraan politik ini dengan oportunisme.”