catatan koass sistemic lupus eritematous
DESCRIPTION
Tinjauan Pustaka SLETRANSCRIPT
-
BAB I
PENDAHULUAN
Sistemik lupus eritematosus (SLE) merupakan penyakit autoimun non-organ
spesifik. Semua komponen utama sistem imun terlibat dalam mekanisme yang
mendasari terjadinya penyakit ini. SLE bersifat multisistem. Kerusakan sel dan
organ terjadi akibat adanya autoantibodi dan endapan kompleks imun. Etiologi
dan patogenesis SLE sangat kompleks, dengan gambaran patologik utama berupa
inflamasi, vaskulitis, deposit kompleks imun, dan vaskulopati1,2
.
Di Amerika Serikat insidennya sejumlah 5.1 per 100,000 jumlah populasi
dengan prevalensi 52 kasus per 100.000 populasi. Berdasarkan laporan tahun
2008 dari National Arthritis Data Working Group, diperkirakan 250,000
penduduk Amerika Serikat terkena SLE. Frekuensi SLE bervariasi sesuai ras dan
ethnis, dengan angka lebih tinggi dilaporkan pada ras Negroid dan Hispanik. SLE
juga dinyatakan lebih sering terjadi pada wanita Asia disbanding wanita kulit
putih. Kelainan biasanya mulai muncul pada usia dekade kedua dan ketiga1,2
.
SLE diakibatkan oleh terjadinya peristiwa autoimun. Sinyal pertama
timbul saat reseptor sel T (T cell receptor/TCR) berikatan dengan fragmen antigen
pada permukaan antigen presenting cell (APC).1,2
Gambar 1. Faktor faktor terkait dengan SLE1,2
Sinyal ini tidak cukup kuat untuk mengaktifkan sel T. Untuk memicu
terjadinya respons imun, sel T harus menerima sinyal kedua dari pasangan
-
reseptor-ligan lain, yang disebut kostimulasi. Sinyal kedua tersebut menentukan
apakah sel T akan diaktifkan untuk menimbulkan respons imun, atau sebaliknya,
menjadi tidak mampu berespons (anergi)3,4
.
Hingga saat ini masih dibutuhkan terapi yang lebih efektif dengan efek
samping lebih ringan dibandingkan dengan yang ditimbulkan oleh sitotoksik dan
glukokortikoid. Beberapa penelitian terus dilakukan untuk mencari strategi terapi
baru dengan efektivitas lebih tinggi dan komorbiditas lebih rendah. Strategi ini
didasarkan atas teori mengenai kehadiran dua jenis sinyal yang diperlukan untuk
aktivasi sel T, dan pemutusan salah satu sinyal ini akan menyebabkan dari sel T
tidak berespons.5,6
Prognosis dan harapan hidup penderita SLE terus membaik dalam dua
dekade terakhir. Diagnosis dini, kewaspadaan yang lebih baik, spesifisitas
autoantibodi baru, dan perbaikan teknik serologik telah memperbaiki prognosis
SLE. Faktor lain yang juga berpengaruh adalah peningkatan pengetahuan tentang
SLE, perbaikan pelayanan kesehatan secara umum, serta pemakaian obat-obatan
anti-inflamasi, imunosupresor, dan imunomodulator (steroid, sitostatika, &
gammaglobulin)1,2,3,6
-
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
SLE ditandai oleh gangguan sistem imun yang melibatkan sel B, sel T, dan sel
kelompok monosit, yang menyebabkan aktivasi sel B poliklonal, peningkatan
jumlah sel yang menghasilkan antibodi, hipergammaglobulinemia, produksi
autoantibodi, dan pembentukan kompleks imun. Sel T yang berlebihan dan tidak
terkontrol akan mengakibatkan diferensiasi sel B dan aktivasinya untuk
menghasilkan autoantibodi. Aktivasi sel B dan sel T membutuhkan stimulasi oleh
antigen spesifik. Bahan kimia iritan, seperti pristin, DNA dan fosfolipid dinding
sel bakteri, dan antigen virus dapat menginduksi antibodi anti-DNA pada tikus.2,3
Self-antigen (antigen diri), seperti protein DNA dan kompleks protein-
RNA dapat menginduksi produksi autoantibodi. Antigen lingkungan dan antigen
diri akan ditangkap oleh APC atau diikat oleh antibodi pada permukaan sel B.
Antigen presenting cell (APC) dan sel B memroses antigen menjadi peptide
kemudian menyajikannya kepada sel T melalui molekul human leucocyte antigen
(HLA) permukaan sel. Sel T aktif ini akan merangsang sel B untuk memroduksi
autoantibodi yang patogenik. Selain stimulasi kontak, interaksi APC, sel T, dan
sel B difasilitasi oleh berbagai sitokin, dan membutuhkan molekul tambahan
seperti sistem CD40/CD40L dan B7/CD28/ CTLA4 untuk menginisiasi sinyal
kedua.2,3
Pada penderita SLE aktif terjadi peningkatan jumlah sel B pada semua
tingkat aktivasi dalam darah perifer. Sel B penderita lupus mempunyai respons
kalsium intrasitoplasmik yang lebih tinggi dibandingkan dengan individu normal4.
Akibatnya, didapatkan bukti bahwa sel B penderita SLE lebih sensitif terhadap
pengaruh stimulasi sitokin, seperti IL-6, dibandingkan dengan sel B pada individu
normal. Sel B penderita SLE lebih mudah mengalami aktivasi poliklonal oleh
antigen, sitokin, dan perangsang lain. Penderita SLE juga mengalami kelainan
pada fungsi sel T berupa pergeseran respons imun Th1 ke Th2 yang menyebabkan
hiperaktivitas sel B dan produksi autoantibodi yang patogenik. Mekanisme yang
mendasari gangguan respons Th1 pada SLE diduga adalah akibat sitokin yang
diproduksi oleh Th2 secara berlebihan, gangguan interaksi antara APC dan sel T,
-
efek supresi oleh sel T CD8+ dan NK, inhibitor IL-2, dan penurunan jumlah
reseptor IL-2.3,4
Bersihan kompleks imun oleh sel fagosit juga mengalami gangguan pada
penderita SLE. Hal ini terjadi akibat berkurangnya jumlah reseptor CR1 untuk
komplemen dan gangguan fungsi reseptor pada permukaan sel. Gangguan
bersihan ini juga timbul sebagai akibat dari tidak adekuatnya fagositosis IgG2 dan
IgG3 yang mengandung kompleks imun. Gangguan bersihan kompleks imun oleh
fagositosis merupakan suatu mekanisme patogenesis penting pada LES.3,4
Limfosit T berperanan yang sangat penting dalam patogenesis lupus.
Setiap sel T membawa molekul reseptor permukaan yang memiliki kemampuan
berinteraksi dengan antigen tertentu jika disajikan ke reseptor sel T dalam bentuk
kompleks dengan molekul MHC pada permukaan APC seperti telah dikemukakan
di atas, dibutuhkan interaksi molekuler kedua dengan limfosit T melalui
kostimulasi, antara lain dengan pasangan molekul CD40-CD40 ligan dan CD28-
B7, sehingga aktivasi sel T dapat terjadi. Jika kostimulasi dapat dihambat, begitu
pula respons imun yang diperantai oleh sel T.2,4,6
Sel B dan sel T berinteraksi dan saling memberikan stimulasi. Sitokin
yang dilepaskan sel T mempengaruhi sel B untuk berproliferasi, untuk
mengalihkan produksi antibody dari IgM menjadi IgG, dan untuk meningkatkan
perubahan molekuler antibodi yang disekresikan sehingga berikatan lebih kuat
dengan antigen. Akibatnya Sel T membantu produksi autoantibodi IgG yang
punya afinitas tinggi dan sangat berkaitan dengan kerusakan jaringan pada
lupus.2,4,6
Sel T regulator menekan aktivasi sel T helper dan sel B. Beberapa peneliti
melaporkan bahwa terjadi pengurangan jumlah dan/atau fungsi sel T regulator
pada penderita lupus. Pada penderita lupus aktif, kemampuan sel T regulator
untuk menekan proliferasi sel T helper lebih rendah jika dibandingkan dengan sel
T regulator dari penderita lupus inaktif atau kontrol sehat. Diduga bahwa sel T
helper yang terstimulasi akan membantu sel B yang juga berespons dengan epitop
antigen yang berasal dari nukleosom. Jadi, interaksi limfosit B dan limfosit T akan
menyebabkan produksi autoantibodi patogenik berafinitas tinggi. Nukleosom
-
membawa kedua epitop sel T dan sel B, dan nyatanya didapatkan antibodi
antinukleosom yang patogenik pada penderita lupus.4,6
CD28 dan CTLA4 (disebut juga CD152) termasuk kelompok koreseptor
yang memiliki domain IgV ekstraseluler tunggal, domain transmembran, dan
domain sitoplasma. CD28 adalah reseptor kostimulator yang diekspresikan pada
(terdapat pada) permukaan sel T. CD28 melakukan transduksi sinyal, bersamaan
dengan sinyal yang dihantarkan oleh kompleks reseptor sel T, untuk mengaktifkan
sel T naive. Sifat umum limfosit B dan sel T naive adalah keduanya
membutuhkan dua sinyal ekstraseluler yang berbeda untuk memulai proliferasi
dan diferensiasi menjadi sel efektor. Sinyal pertama berasal dari pengikatan
antigen dengan reseptor dan berperanan menentukan spesifisitas dan respons imun
selanjutnya.3,4,6
Sinyal kedua untuk aktivasi sel T berasal dari molekul yang disebut
kostimulator. Kostimulator yang paling dikenal untuk limfosit T adalah sepasang
protein, yaitu B7-1 (CD80) dan B7-2 (CD86), yang diekspresikan APC.
Kostimulator B7 pada APC akan dikenali oleh reseptor spesifik pada sel T, yaitu
CD28 yang diekspresikan pada lebih dari 90% sel T CD4+ dan pada 50% sel T
CD8+ manusia. Sinyal kostimulasi melalui CD28, bersama sinyal TCR,
dibutuhkan untuk aktivasi sel T naive. Pengikatan molekul B7 pada APC dengan
CD28 akan menghantarkan sinyal untuk mengatur produksi IL-2, menginduksi
ekspresi protein antiapoptosis, merangsang produksi faktor pertumbuhan (growth
factor) dan sitokin lain, serta meningkatkan proliferasi dan diferensiasi sel T.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa CD28 merupakan reseptor utama yang
menghantarkan sinyal kedua untuk aktivasi sel T.2,3,4
Reseptor kedua untuk molekul B7 dikenal sebagai CTLA4 (CD152).
Secara struktur, reseptor ini homolog dengan CD28, tetapi CTLA4 diekspresikan
pada sel T CD4+ dan CD8+ yang baru diaktifkan, dan fungsinya adalah
menghambat aktivasi sel T dengan menghalangi sinyal yang dihantarkan oleh
CD28. CTLA4 hanya sedikit diekspresikan pada sel T naive, dan meningkat
segera setelah aktivasi sel T, sehingga CTLA4 berperanan mengakhiri respons sel
T. Tikus yang tidak memiliki CTLA4 akan menunjukkan aktivasi dan proliferasi
sel T yang berlebihan, dan autoimunitas. Karena sinyal CTLA4 menghambat
-
aktivasi sel T, diduga bahwa mutasi genetik yang menyebabkan berkurang atau
hilangnya fungsi atau ekspresi CTLA4 sehingga tidak mampu menimbulkan
mekanisme supresi, akan menyebabkan terjadinya autoimunitas.2,3,4
Bagaimana kedua reseptor tersebut mengatur respons dengan cara yang
berlawanan meski keduanya mengenali molekul B7 yang sama pada APC belum
diketahui dengan pasti. CD28 dan CTLA4 menimbulkan pengaruhnya melalui
pengikatan ligan dari kelompok B7, yaitu B7-1 dan B7-2. Kedua reseptor ini
dapat berinteraksi dengan B7-1 dan B7- 2, akan tetapi reseptor CTLA4 dapat
mengikat ligan B7 dengan afinitas 20 kali lipat lebih besar dibandingkan reseptor
CD28.4,6
Beberapa protein lain yang secara struktur berhubungan dengan B7-1 dan
B7-2 atau dengan CD28 dan CTLA4 telah diidentifikasi dengan cara kloning dan
diteliti fungsinya. Protein ini dianggap sebagai bagian dari kelompok B7 dan
CD28. Di antara kelompok CD28 adalah ICOS (inducible costimulator), PD-1
(programmed death- 1), dan BTLA (sama seperti CTLA4). CD28 penting untuk
mengaktifkan sel T naive, sedangkan ICOS lebih berperan pada respons efektor,
terutama produksi IL-10 dan IL-44. Sementara itu, CTLA4, PD-1, dan BTLA
merupakan reseptor inhibitori. Di antara protein yang termasuk dalam kelompok
B7 adalah B7-1, B7-2, ICOS-ligan, B7-H1 (PD-L1), B7-DC (PDL2), B7-H3, dan
B7-H4. Seluruh protein tersebut merupakan protein transmembran atau protein
yang berikatan dengan glikosilfosfatidilinositol.4,6
Fungsi utama molekul ini adalah mengikat reseptor kelompok CD28 pada
sel T, sehingga merangsang jalur transduksi sinyal pada sel T. B7-1 dan B7-2
terutama diekspresikan pada APC, termasuk di antaranya adalah sel dendritik,
makrofag, dan sel B. B7-1 dan B7-2 mempunyai peranan yang tidak sama dalam
modulasi sistem imun, karena perbedaan interaksi dengan CD28 dan CTLA4.
Interaksi B7-1-CTLA4 lebih kuat dibandingkan dengan interaksi B7-2-CTLA4,
sedangkan afinitas B7-2 terhadap CD28 diduga lebih tinggi efektif dibandingkan
dengan afinitas B7-1.3,4
Ligan B7, B7-1 dan B7-2 dan reseptornya, CD28 dan CTLA4, merupakan
regulator sistem kostimulasi-koinhibisi yang berperanan dalam mengatur respons
imun. Interaksi B7- 1 dan B7-2 dengan reseptor CD28 akan menimbulkan sinyal
-
kostimulasi yang menyebabkan aktivasi produksi, ekspansi, diferensiasi dan
survival sel T, sehingga terjadi respons imun seluler dan respons imun melalui
antibodi. Respons imun produktif ini akan dijaga keseimbangannya oleh sinyal
yang dihantarkan melalui interaksi ligan B7 dengan reseptor CTLA4. Interaksi
B7-CTLA4 akan berlawanan dengan interaksi B7- CD28, yang menghasilkan
pengaturan sinyal reseptor sel T dan CD28, produksi interleukin-2, dan
berlangsungnya siklus sel.3,4,6
2.1 MANIFESTASI KLINIS
a. Gejala sistemik meliputi demam subfebris, kelemahan, lesu, anoreksia,
nausea, dan kehilangan berat badan. Tampilan awal biasanya juga mengikut
sertakan satu atau lebih dari sistem organ.
b. Atralgia (53-95%) adalah keluhan utama dari banyak pasien. Seringnya,
keluhan nyeri lebih berat dibandingkan temuan pada fisiknya.
c. Juga dilaporkan butterfly rash pada pipi dan hidung dengan fotosensitif
terhadap sinar matahari (sering pada kulit putih). Juga sering meliputi dagu
dan telinga.
d. Sering dikeluhkan ulkus dengan atau tanpa nyeri di hidung dan mulut.
e. Gejala pada CNS bisa dari yang ringan (disfungsi kognitif) sampai riwayat
kejang (12-59%). Bagian apa saja dari otak, mening, spinal cord, serta saraf
kranial dan saraf tepi bisa terkena. Sakit kepala yang sulit sembuh serta sulit
untuk mengingat dan mengambil keputusan adalah tampilan tersering dari
gangguan saraf pada pasien SLE.
f. Nyeri pleura (31-57%), dyspnoe, batuk, demam, dan nyeri dada adalah
keluhan jantung dan paru yang penting.
g. Gejala psikiatrik (steroid dosis tinggi juga bisa menimbulkan psikosis5-
37%). Bila psikosis memburuk setelah steroid dihentikan, paling sering adalah
akibat dari proses penyakit ini.
h. Pasien bisa datang dengan nyeri perut, diare, dan muntah. Pengecualian untuk
perforasi usus dan vaskulitis.1,2,3
-
Pasien dengan SLE dan manifestasi di paru harus selalu diawasi adanya
infeksi, khususnya infeksi bakteri dan virus. Termasuk juga tuberkulosis, karena
banyak dari penderita yang immunocompromise. Hampir 90% pasien dengan SLE
mengalami nyeri dada saat bernafas. Ini bisa disebabkan dari muskuloskeletal atau
radang pleura.1,2,3
Sebagian besar dari nyeri dada pada SLE berasal dari otot, jaringan ikat,
atau sendi costochondral. Nyeri dada ditandai dengan rasa sakit saat bernafas
dalam, yang diperburuk oleh gerakan dan perubahan posisi (khususnya saat tidur),
dan bisa dipicu dengan meraba daerah yang nyeri1,2,3
.
2.2 DIAGNOSIS
Pasien didiagnosis sebagai SLE jika: (1) pasien harus memiliki empat dari
delapan gejala dibawah, (2) gejalanya bisa bersamaan atau berturut-turut, (3)
gejala timbul selama masa observasi.1,2,3
a. Malar rash (rash pada pipi)
b. Diskoid lupus
c. Fotosensitif (paparan matahari menyebabkan rash)
d. Ulkus di mulut, termasuk ulkus nasofaring
e. Arthritis: nonerosif arthritis pada dua atau lebih sendi perifer, dengan
perlunakan, pembengkakan atau effuse
f. Kelainan ginjal: proteinuria lebih dari 0,5 gr perhari
g. Kelainan saraf: kejang atau psikosis
h. Serositis: pleuritis atau perikarditis
i. Kelainan hematologik: anemia hemolitik atau leukopeni, lympopenia, atau
trombositopenia
j. Tes anti nuclear antibody positif
k. Kelainan immunolgik: anti-Sm positif, anti-ds DNA, anti-fosfolipid antibody
dan atau false positif dari tes serologis untuk syphilis.
Tes anti-nuclear antibody dan antiextractable nuclear antigen (anti-ENA)
adalah bentuk dari tes serologis untuk lupus. Antiphospolipid timbul lebih sering
pada SLE dan bisa menjadi predisposisi untuk trombosis. 1,2,3
-
Ekokardiogram bisa dilakukan untuk mengevaluasi efusi yang
menyebabkan nyeri pericardial atau adanya patologi lainnya pada pembuluh darah
dan untuk memastikan adanya tanda hipertensi pulmonal. MRI sangat berguna
dalam menilai patologi dari otak.1,2,3
2.3 MANAGEMEN
Tidak ada pengobatan yang permanen untuk SLE. Tujuan dari terapi adalah
mengurangi gejala dan melindungi organ dengan mengurangi peradangan dan atau
tingkat aktifitas autoimun di tubuh. Banyak pasien dengan gejala yang ringan
tidak membutuhkan pengobatan atau hanya obat-obatan anti inflamasi yang
intermitten. Pasien dengan sakit yang lebih serius yang meliputi kerusakan organ
dalam membutuhkan kortikosteroid dosis tinggi yang dikombinasikan dengan
obat-obatan lain yang menekan sistem imunitas.2,3,5,6
Pasien dengan SLE lebih membutuhkan istirahat selama penyakitnya aktif.
Penelitian melaporkan bahwa kualitas tidur yang buruk adalah faktor yang
signifikan dalam menyebabkan kelelahan pada pasien dengan SLE. Hal ini
memperkuat pentingnya bagi pasien dan dokter untuk meningkatkan kualitas
tidur. Selama periode ini, latihan tetap penting untuk menjaga tekanan otot dan
luas gerakan dari persendian.2,3,5,6
2.3.1 Terapi Obat-obatan
Penyakit yang ringan atau remitten bisa dibiarkan tanpa pengobatan. Bila
diperlukan, NSAID dan anti malaria bisa digunakan. NSAID membantu
mengurangi peradangan dan nyeri pada otot, sendi, dan jaringan lainnya. Contoh
NSAID adalah aspirin, ibuprofen, naproxen, dan sulindac. Pada beberapa keadaan
tidak disarankan pemberian agen selektif COX-2 karena dapat meningkatkan
resiko kardiovaskular. Karena respon individual tiap pasien bervariasi, penting
untuk mencoba NSAID yang berbeda untuk menemukan yang paling efektif
dengan efek samping paling kecil. Efek samping yang paling sering adalah tidak
enak perut, nyeri abdomen, ulkus, dan bisa perdarahan ulkus. NSAID biasanya
diberikan bersamaan dengan makanan untuk mengurangi efek samping. Kadang-
-
kadang, obat yang mencegah ulser bisa diberikan bersamaan, seperti
misoprostol.2,3,5,6
Kortikosteroid lebih baik dari NSAID dalam mengatasi peradangan dan
mengembalikan fungsi ketika penyakitnya aktif. Kortikosteroid lebih berguna
terutama bila organ dalam juga terkena. Kortikosteroid bisa diberikan peroral,
injeksi langsung ke persendian atau jaringan lainnya, atau diberikan intra vena.
Sayangnya, kortokosteroid memiliki efek samping yang serius bila diberikan
dalam dosis tinggi selama periode yang lama, dan harus dimonitor aktifitas dari
penyakitnya untuk menurunkan dosisnya bila memungkinkan. Efek samping dari
kortikosteroid adalah penipisan tulang dan kulit, infeksi, diabetes, wajah
membengkak, katarak, dan kematian (nekrosis) dari persendian yang besar.2,3,5,6
Hydroxychloroquine adalah obat anti malaria yang ditemukan efektif
untuk pasien SLE dengan kelemahan, penyakit kulit dan sendi. Efek samping
termasuk diare, tidak enak perut, dan perubahan pigmen mata. Perubahan pigmen
mata jarang, tetapi diperlukan, monitor oleh ahli mata selama pemberian obat ini.
Ditemukan bahwa obat ini mengurangi frekwensi bekuan darah yang abnormal
pada pasien dengan SLE. Jadi, obat ini tidak hanya mengurangi kemungkinan
serangan dari SLE, tetapi juga berguna untuk mencegah pembekuan darah
abnormal yang luas.2,3,5,6
Untuk penyakit kulit yang resisten, obat anti malaria lainnya, seperti
chloroquine atau quinacrine bisa diberikan, dan bisa dikombinasikan dengan
hydroxychloroquine.2,3
Pengobatan alternatif untuk penyakit di kulit adalah dapsone dan asam
retinoat (Retin-A).2,3,5,6
Pengobatan immunosupresan digunakan pada pasien dengan manifestasi
SLE berat dan kerusakan organ dalam. Contohnya adalah methotrexate,
azathioprine, cyclophosphamide, chlorambucil dan cyclosporine. Semua
immunosupresan menyebabkan jumlah sel darah menurun dan meningkatkan
resiko terjadinya infeksi dan perdarahan. Efek samping lainnya berbeda pada tiap
obat. Methotrexate menyebabkan keracunan hati, cyclosporine bisa mengganggu
fungsi ginjal.2,3,5,6
-
Tahun-tahun belakangan, mycophenolate mofetil digunakan sebagai obat
yang efektif terhadap SLE, khusunya bila dikaitkan dengan penyakit ginjal. Obat
ini menolong dalam mengembalikan dari keadaan lupus renal disease dan untuk
mempertahankan remisi setelah stabil. Efek samping yang lebih sedikit
membuatnya lebih bermanfaat dibandingkan pengobatan imunosupresan yang
tradisional.2,3,5,6
Pada pasien SLE dengan penyakit otak dan ginjal yang serius,
plasmapharesis (mengeluarkan plasma dan menggantikannya dengan plasma beku
yang spesifik) kadang-kadang dibutuhkan untuk menghilangkan antibodi dan
bahan-bahan imunitas lainnya dari darah untuk menekan imunitas. Pada beberapa
pasien SLE, hal ini bisa menyebabkan tingkat platelet yang sangat rendah yang
meningkatkan resiko perdarahan spontan dan luas. Karena spleen dipercaya
sebagai tempat penghancuran platelet yang utama, operasi pengangkatan spleen
kadang kala dilakukan untuk meningkatkan jumlah platelet.2,3,5,6
Mekanisme Berbagai Macam Imunoterapi Yang Ada Saat Ini.5
Kerusakan ginjal stadium akhir akibat SLE membutuhkan dialisis atau
transplantasi ginjal. Sebagian besar penelitian menunjukkan keuntungan rituximab
dalam mengobati lupus. Rituximab intra vena, yaitu memasukkan antibodi yang
-
menekan sejumlah sel darah putih, sel B, dan menurunkan jumlahnya dalam
sirkulasi. Sel B ditemukan memainkan peranan penting dalam aktifitas lupus, dan
bila ditekan, penyakitnya memasuki masa remisi.5,6
2.3.2 Perubahan Pola Hidup
Menghindari sinar matahari atau menutupinya dengan pakaian yang melindungi
dari sinar matahari bisa efektif mencegah masalah yang disebabkan fotosensitif.
Penurunan berat badan juga disarankan pada pasien yang obesitas dan kelebihan
berat badan untuk mengurangi beberapa efek dari penyakit ini, khususnya ketika
ada masalah dengan persendian.2,3,5,6
2.4 Prognosis
Perkembangan dalam diagnosis dan pengobatan meningkatkan angka harapan
hidup lebih dari 90% pasien bertahan hidup lebih dari sepuluh tahun dan banyak
yang relatif tanpa gejala. Penyebab kematian yang paling sering adalah infeksi
akibat imunosupresan sebagai hasil dari pengobatan dari penyakit ini. Prognosis
normalnya lebih buruk pada pria dan anak-anak dibandingkan pada wanita.2,3,4
-
DAFTAR PUSTAKA
1. American College of Rheumatology. Systemic lupus erythematosus
research. Education. Atlanta:Rheumatology; 2012
2. DCruz DP. Systemic lupus erythematosus. Br Med J. 2006;332:890-4.
3. Anisur Rahman, Ph.D., David A. Isenberg, M.D. Mechanisms of Disease
Systemic Lupus Erythematosus. N Engl J Med 2008;358:929-39
4. K. Tenbrock1, Y.-T. Juang2, V. C. Kyttaris2 and G. C. TsokosM. Y.
Karim. Altered signal transduction in SLE T cells. Oxford University
Press. Rheumatology 2007;46:15251530.
5. C. N. Pisoni, M. A. Khamashta. Update on immunotherapy for systemic
lupus erythematosuswhats hot and whats not!. Oxford University
Rheumatology 2009;48:332341.
6. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, editors.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. 4th
ed. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2006.