case report neurologi

9
Case Report Epilepsi post stroke Pembimbing Dr. Tumpal A Siagian, Sp.S Disusun oleh Ketut Bagus Deddy Maharya Wasudewa 0961050014 Kepaniteraan Klinik Neurologi Periode 26 agustus – 21 September 2013

Upload: azalia-bahat

Post on 20-Oct-2015

20 views

Category:

Documents


6 download

DESCRIPTION

Bagus wasudewa

TRANSCRIPT

Page 1: Case Report Neurologi

Case Report

Epilepsi post stroke

Pembimbing

Dr. Tumpal A Siagian, Sp.S

Disusun oleh

Ketut Bagus Deddy Maharya Wasudewa

0961050014

Kepaniteraan Klinik Neurologi

Periode 26 agustus – 21 September 2013

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia

Jakarta 2013

Page 2: Case Report Neurologi

PENDAHULUAN

Kejang atau bangkitan adalah suatu keadaan akibat gangguan fungsi otak secara intermiten yang disebabkan oleh lepas muatan listrik abnormal yang berlebihan di neuron- neuron secara paroksismal dan disebabkan oleh berbagai etiologi. Bangkitasn epilepsi adaah manifestasi klinik dari bangkitan serupa (stereotipik), Berlangsung secara mendadak dan sementara dengan atau tanpa perubahan kesadaran , disebabkan oleh aktivitas listrik sekelompok sel saraf di otak , bukan disebabkan oleh suatu penyakit otak akut. Epilepsi adalah gejala dan tanda klinik dalam bentuk bangkitan berulang (minimum 2 kali ) yang ditunjang oleh gambaran epileptiform pada EEG.

Status epileptikus (SE) merupakan aktivitas bangkitan terus menerus yang berlangsung selama 30 menit atau lebih atau aktivitas bangkitan hilang timbul yang berlangsung selama 30 menit atau lebih dan selama waktu tersebut tidak terdapat pemulihan kesadaran. Status epileptikus merupakan kegawatdaruratan neurologis yang harus secara cepat segera diatasi untuk mencegah kerusakan lebih lanjut.

ETIOLOGI

Pasien dengan status epileptikus biasanya memiliki riwayat epilepsy sebelumnya (22-34%). Etiologi lainnya adalah riwayat lesi otak (stroke,tumor, hematoma subdural) 24%, Stroke baru 22), keadaan anoksia / hipoksia otak 10%, keadaan metabolic 10% dan putus obat etilalkohol sebesar 10%.

1. Lesi primer neurologik

- Neurovaskular (stroke, malformasi arterivena,perdarahan)

- Tumor

- Infeksi SSP

- Penyakit inflamasi

-Trauma Kapitis

- Epilepsi Primer

2. Lesi non-primer neurologis

- Hipoksia

Page 3: Case Report Neurologi

- Toksisitas obat

- Putus obat/zat (barbiturate, benzodiazepine)

- Demam infeksi

- Gangguan metabolic ( hiponatremia, hipoglikemia, kraniotomi)

DIAGNOSIS BANDING

Sebelum menentukan manajemen selanjutnya terlebih dahulu mendiagnosis secara tepat status epileptikus karena terdapat beberapa macam gejala yang menyerupai status epileptiikus dengan mnjemen yang jauh berbeda. Diagnosis banding yang perlu dipikirkan adalah :

1. status epileptikus konvulsi atau status epileptikus non konvulsi(NCSE)

2. Post ictal state (kesadaran menetap 30-60 menit setelah konvulsi perlu dipikirkan terjadinya NCSE

3. Gangguan pergerakan : mioklonus tremor, khorea, tik, dystonia

4. Herniasi (postur deserebrasi dan dekortikasi bedakan dengan SE gambaran tonik)

5. Limb shaking transient ischemic attack

6. Gangguan psikiatri (psikotik akut atau katatonia)

DIAGNOSIS

Anamnesis :

Dapat didiagnosis melalui observasi bangkitan yang ditandai dengan hilangnyya kesadaran tonik klonik otot , mulut berbusa, lidah tergigit , mata menatap kea ta, dan inkontinenia urin. SE non konvulsi lebih sulit didiagnosis .Gambaran klinis berupa kesadaran menurun,agitasi, afasia, dan nistagmus. Diagnosis hanya dapat dikonfirmasi dengan EEG.

Anamnesa mengenai riwayat penyakit dahulu dapat memberikan keterangan mengnai factor penyebab seperti penggantian obat anti konvulsan, putus obat/alcohol, overdosis obat,stroke,atau infeksi susunan saraf pusat. Tanyakan mengenai deskripsi kejang, keadaan preiktal-iktal-postiktal , deviasi gaze ,kelojotan, dan gangguan kesadaran. Selain itu tanyakan mengenai lama kejang , riwayat penyakit epilepsi , faktor risiko (kejang demam , hipoglikemi diabetes, SOL).

Page 4: Case Report Neurologi

Pemeriksaan fisik :

Pemeriksaan neurologis lengkap ( GCS , pupil , rangang meningeal , dan lain-lain ). Biasanya kesadaran pasien dengan SE umum akan pulih bertahap setelah kejang menghilang. Kemudian cari gejala negative (letargi, koma, konfusi, afasia, amnesia) dan gejala positif ( agitasi, mengedip, automatism).

Pemeriksaan Penunjang:

Pemeriksaan EEG kontinyu selama 24 jam . pencitraan dilakukan seusai indikasi bila terdapat proses fokal dalam otak.

KOMPLIKASI

Berdasarkan perubahan neurofisiologi , SE dibagi menjadi 2 fase :

Fase 1

Permintaan metabolic meningkat yang disebabkan oleh pelepasan muatan listriksel serebral yang abnormal, lalu menyebabkan peningkatan tekanan darah arterial dan aktivitas autonomy. Proses ini meningkatkan tekanan darah arterial , peningkatan glukosa darah, berkeringat, hiperpireksia, dan salivasi (berliur).

Fase 2

Terjadi setelah 30 menit dari fase 1. Fase 2 ditandai oleh kegagalan autoregulasi serebral, penurunan laju darah serebra, dan peningkatan tekanan intrakraanialdan hipotensi sistemik. Hal ini berdampak pada penurunan tekanan perfusi serebral. Status Epileptikus yang memanjang dihubungkan dengan perubahan sistemik yang luas, turut menyebabkanmasalah ketersediaan oksigen otak yang inadekuat.

Komplikasi sistemik dari bangkitan umum SE dapat memengaruhi system saraf pusat (hipoksia serebri,edema serebri, perdarahan otak ), sistem kardiovaskular (MCI, henti jantung ), system pernafasan (pneumonia aspirasi, hipertensi pulmonal, emboli paru ), perubahan metabolik (dehidrasi , perubahan elektrolit, nekrosis tubular akut).

Page 5: Case Report Neurologi

MANAJEMEN

Umum

Prinsip utama adalah bantuan hidup dasar yang mencakup penjagaan jalan nafas dan pernapasan dan menjaga sirkulasi yang adekuat. Dalam SE, jalan napas harus dijaga mulai dari tahap awal dan intubasi trakea akan dibutuhkansaat bangkitan sedang diatasi sehingga ventilasi yang adekuat dapat dipastikan dan aspirasi pulmonal dapat dicegah.

Pemantauan dimulai dari EKG, tekanan darah, dan saturasi oksigen pada semua pasien.

Pengukuran gula darah harus dilakukan. Jika terdapat tanda hipoglikemia yang signifikan. Jika ada riwayat alkoholisme , tiamin 100 mg intravena harus diberikan bersamaan dengan glukosa untuk mencegah ensefalopai Wernicke.

Anamnesa yang teliti tentang riwayat penyakit dahulu pasien dari keluarganya mungkin dapat memberikan keterangan tentang faktorpeyebab seperti penggantian obat antikonvulsan baru-baru ini. Overdosis obat , stroke, atau infeksi SSP. CT scan / MRI diperlukan bila tidak ada kontraindikasi.

Khusus

Benzodiazepin

Sebagai antagonis dari reseptor GABA dan secara potensial menghambat aktivitas neuron. Lorazepam 0.1 mg/kg IV menjadi obat pilihan pertama tatalaksana akut. Di Indonesia , diazepam 0.2 mg/kg adalah pilihan utama. Diazepam dapat diberi per rektal dan efek sedasi dapat menurunkan pemulihan kesadaran data SE berhenti

Hidantoin

Jika diazepam tidak berhasil menghentikan aktivitas bangkitan dalam waktu 10 menit , atau bangkitan intermiten berlangsung selama 20 menit atau lebih, perlu diberi obat lain. Fenitoin masih menjadi obat pilihan untuk terapi lini kedua untuk SE yang tidak respons dengan diazepam. Fenitoin sangat larut lemak dan mencapai puncaknya dalam waktu 15 menit setelah pemberian IV. Loading dose fenitoi (20mg/kg) harus diberikan berdasarkan berat badan dan menggunakan vena besar untuk pemberiannya karena tingginya pH larutan . Pemberian harus dengan cairan garam fisiologis dan pemberian dengan obat lain harus dihindarkan karena adanya presipitasi. Pemberian fenitoin merupakan faktor resiko hipotensi, aritmia, pemanjangan gelombang QT. oleh karena itu pemantauan EKG dan tekanan darah sangat diperlukan.

Page 6: Case Report Neurologi

Fenobarbital

Penggunaan fenobarbital intravena 10-20 mg/kg cenderung terbatas pada penanganan status refrakter. Mekanisme kerjanya denganmemperpanjang inhibisi potensial pasca sinaps melalui kerja kanal GABA. Fenobarbital tidak memasuki otak secepat obat-obatan yang lipofilik, akan tettapi kadar terapetik dicapai dalam 3 menit dan mempertahankan untuk jangka waktu yang panjang, efek samping fenobarbital adala sedasi dalam, depresi napas, hipotensi.

Anestesi Umum

Ini merupakan terapi definitive bagi status epileptikus refrakter dan harus dilakukan di ICU . Pengobatan epilepsy jangka panjang, seperti fenitoinn dan fenobarbital, harus dipertahankan selama fase ini, pengawasan kadar obat dan dipertahankan pada batas atas kisaran normal.

Thiopental adalah barbiturate intravena kerja cepat yang digunakan untuk menangani status epileptikus. Thiopental menimbulkan hipotensi. Barbiturate merupakan imunosupresif poten dan penggunaanjangka panjang meningkatkan resiko infeksi nosocomial. Propofol dapat digunakan sebagai alternatif karena memiliki efek seperti barbiurat dan benzodiazepine pada reseptor GABA dan bekerja sebagai antikonvulsan poten pada dosis klinis . Bolus awal sebesar 1mg/kg diberikan dalam waktu 5 menit dan diulang jika aktivitas bangkitan belum dapat dikendalikkan . Infus pemeliharaan harus disesuaikan antara 2 – 10 mg/kg/jam sampaii didapatkan kecepatan pemberian yang paling kecil yang dapat menekan aktivitas epileptiform pada EEG . Penghentian tiba-tiba harus dihindarkan karena beresiko menyebabkan terjadinya presipitasi bangkitan akibat penghentian obat.

Sodium Valproat

Beberapa penelitian membuktikan sodium valproate IV cukup efektif dan memiliki profiil efek samping yang minimal. Penelittian di Eropa melaporkann 80-83 % kasus SE dapat dikendalikan dengan dosis 12-15mg/kg.

KESIMPULAN

Keadaan status epileptikus harus selalu dipiikirkan apabila terjadi kejang menetap lenih dari 5 menit. Diagnosis SE harus ditegakkan sebelum melakukan tatalaksana, mengingat banyak kondisi lain yang dapat menyerupai keadaan status epileptiikus yang memiliki tatalaksana berbeda.

Page 7: Case Report Neurologi