capd

44
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tingkat penderita gagal ginjal di Indonesia cukup tinggi. Pada tanggal 10 Agustus 2004 penderita gagal ginjal mencapai 4.500 orang, dari sejumlah itu banyak penderita gagal ginjal yang meninggal dunia karena tidak mampu berobat atau cuci darah (hemodialisa) karena biaya yang sangat mahal. Di Amerika Serikat jumlah penderita penyakit ginjal meningkat pesat dan mendapat banyak perhatian. Hasil penelitian menunjukkan 3 persen orang dewasa di luar rumah sakit dan panti jompo atau sekitar 5,6 juta orang mengalami peningkatan kadar kreatinin. Ginjal (renal) adalah organ tubuh yang memiliki fungsi utama untuk menyaring dan membuang zat-zat sisa metabolisme tubuh dari darah dan menjaga keseimbangan cairan serta elektrolit (misalnya kalsium, natrium, dan kalium) dalam darah. Ginjal juga memproduksi bentuk aktif dari vitamin D yang mengatur penyerapan kalsium dan fosfor dari makanan sehingga membuat tulang menjadi kuat. Selain itu ginjal memproduksi hormon eritropoietin yang merangsang sumsum tulang untuk memproduksi sel darah merah, serta renin yang berfungsi mengatur volume darah dan tekanan darah. Ginjal menjalankan fungsi yang vital sebagai pengatur volume dan komposisi kimia darah dan lingkungan dalam tubuh dengan mengeksresikan zat terlarut dan air secara selektif. Fungsi vital ginjal dicapai dengan filtrasi plasma darah melalui glomerolus diikuti 1

Upload: amirul-ihsan

Post on 27-Nov-2015

111 views

Category:

Documents


8 download

DESCRIPTION

jkhkjg

TRANSCRIPT

Page 1: CAPD

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tingkat penderita gagal ginjal di Indonesia cukup tinggi. Pada tanggal 10 Agustus

2004 penderita gagal ginjal mencapai 4.500 orang, dari sejumlah itu banyak penderita

gagal ginjal yang meninggal dunia karena tidak mampu berobat atau cuci darah

(hemodialisa) karena biaya yang sangat mahal. Di Amerika Serikat jumlah penderita

penyakit ginjal meningkat pesat dan mendapat banyak perhatian. Hasil penelitian

menunjukkan 3 persen orang dewasa di luar rumah sakit dan panti jompo atau sekitar

5,6 juta orang mengalami peningkatan kadar kreatinin.

Ginjal (renal) adalah organ tubuh yang memiliki fungsi utama untuk menyaring

dan membuang zat-zat sisa metabolisme tubuh dari darah dan menjaga keseimbangan

cairan serta elektrolit (misalnya kalsium, natrium, dan kalium) dalam darah. Ginjal

juga memproduksi bentuk aktif dari vitamin D yang mengatur penyerapan kalsium

dan fosfor dari makanan sehingga membuat tulang menjadi kuat. Selain itu ginjal

memproduksi hormon eritropoietin yang merangsang sumsum tulang untuk

memproduksi sel darah merah, serta renin yang berfungsi mengatur volume darah dan

tekanan darah. Ginjal menjalankan fungsi yang vital sebagai pengatur volume dan

komposisi kimia darah dan lingkungan dalam tubuh dengan mengeksresikan zat

terlarut dan air secara selektif. Fungsi vital ginjal dicapai dengan filtrasi plasma darah

melalui glomerolus diikuti dengan reabsobsi jumlah zat terlarut dan air dalam jumlah

yang sesuai di sepanjang tubulus ginjal. Kelebihan zat terlarut dan air dieksresikan

keluar tubuh dengan urine melalui sistem pengumpul urine. (Price, Wilson. 2006).

Gagal ginjal adalah suatu kondisi di mana ginjal tidak dapat menjalankan

fungsinya secara normal. Gagal ginjal dibagi menjadi dua bagian besar yakni gagal

ginjal akut dan gagal ginjal kronik. Pada gagal ginjal akut terjadi penurunan fungsi

ginjal secara tiba-tiba dalam waktu beberapa hari atau beberapa minggu dan ditandai

dengan hasil pemeriksaan fungsi ginjal (ureum dan kreatinin darah) dan kadar urea

nitrogen dalam darah yang meningkat. Sedangkan pada gagal ginjal kronis, penurunan

fungsi ginjal terjadi secara perlahan-lahan.

Dalam hal ini, ketanggapan perawat akan respon pasien yang patologis sangat

diperlukan dalam memberikan pertolongan dengan segera. Dengan demikian dapat

membantu dalam pencegahan (preventif) untuk mengurangi resiko kematian,

1

Page 2: CAPD

penyembuhan dan mencegah komplikasi yang ada. Dengan demikian pasien atau

masyarakat luas dapat mencegah lebih dini penyakit gagal ginjal.

B. Tujuan Penulisan

1. Apakah definisi dari renal failure (gagal ginjal) ?

2. Apa sajakah etiologi dari renal failure (gagal ginjal) ?

3. Bagaimana patofisiologi dan pathway dari renal failure (gagal ginjal) ?

4. Bagaimana pathway renal failure ?

5. Bagaimana manifestasi klinis dari renal failure (gagal ginjal) ?

6. Apa sajakah pemeriksaan diagnosis untuk renal failure (gagal ginjal) ?

7. Apa sajakah intervensi medis yang dapat dilakukan untuk renal failure (gagal

ginjal ) ?

8. Apa sajakah komplikasi dari renal failure (gagal ginjal) ?

9. Bagaimana penerapan terapi CAPD pada pasien gagal ginjal ?

C. Tujuan Penulisan

1. Mendeskripsikan definisi dari renal failure (gagal ginjal).

2. Mendeskripsikan etiologi dari renal failure (gagal ginjal).

3. Mendeskripsikan patofisiologi dari renal failure (gagal ginjal).

4. Mendeskripsikan pathway renal failure.

5. Mendeskripsikan manifestasi klinis dari renal failure (gagal ginjal).

6. Mendeskripsikan pemeriksaan diagnosis yang dapat dilakukan pada renal failure

(gagal ginjal).

7. Mendeskripsikan intervensi medis yang dapat dilakukan pada renal failure (gagal

ginjal).

8. Mendeskripsikan komplikasi dari renal failure (gagal ginjal).

9. Mendeskripsikan penerapan CAPD pada pasien gagal ginjal

2

Page 3: CAPD

BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi

Gagal ginjal ( renal failure ) adalah ketika fungsi kedua ginjal terganggu sampai

pada titik ketika keduanya tidak mampu menjalankan fungsi regulatorik dan

ekskretorik untuk mempertahankan hemeostasis ( Sherwood 2001: 498 ).

Penyakit gagal ginjal adalah suatu penyakit dimana fungsi organ ginjal mengalami

penurunan hingga akhirnya tidak lagi mampu bekerja sama sekali dalam hal

penyaringan pembuangan elektrolit tubuh, menjaga keseimbangan cairan dan zat

kimia tubuh seperti sodium dan kalium didalam darah atau produksi urin. Penyakit

gagal ginjal berkembang secara perlahan kearah yang semakin buruk dimana ginjal

sama sekali tidak lagi mampu bekerja sebagaimana fungsinya. Dalam dunia

kedokteran dikenal 2 macam jenis gagal ginjal yaitu gagal ginjal akut dan gagal ginjal

kronis (Anonim, 2010).

1. Gagal ginjal akut

Gagal ginjal akut atau ( Acute Renal Failure ) adalah sekumpulan gejala yang

mengakibatkan disfungsi ginjal secara mendadak. Gagal ginjal akut ( GGA )

adalah suatu keadaan fisiologik dan klinik yang ditandai dengan pengurangan

tiba-tiba glomerular filtration rate ( GFR ) dan perubahan kemampuan fungsional

ginjal untuk mempertahankan eksresi air yang cukup untuk keseimbangan dalam

tubuh. Atau sindroma klinis akibat kerusakan metabolik atau patologik pada ginjal

yang ditandai dengan penurunan fungsi yang nyata dan cepat serta terjadinya

azotemia. (Davidson 1984). 

Gagal ginjal akut adalah penurunan laju filtrasi glomerulus secara tiba-tiba,

sering kali dengan oliguri, peningkatan kadar urea dan kreatinin darah, serta

asidosis metabolic dan hiperkalemia (D. Thomson 1992 : 91 ). 

2. Gagal ginjal kronik

Gagal ginjal kronis atau ( Chronic Renal Failure ) adalah kerusakan ginjal

progresif yang berakibat fatal dan ditandai dengan uremia ( urea dan limbah

nitrogen yang beredar dalam darah serta komplikasinya jika tidak dilakukan

dialysis atau transplantasi ginjal. 

Penyakit gagal ginjal kronis bersifat progresif dan irreversible dimana terjadi

uremia karena kegagalan tubuh untuk mempertahankan metabolisme dan

keseimbangan cairan serta elektrolit ( Smeltzer C, Suzanne, 2002 hal 1448 ). 

3

Page 4: CAPD

Gagal ginjal kronis atau penyakit renal tahap akhir ( ESRD ) merupakan

gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversibel dimana kemampuan tubuh

gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan

elektrolit. Gagal ginjal kronis terjadi dengan lambat selama berbulan-bulan atau

bertahun-tahun, dengan penurunan bertahap dengan fungsi ginjal dan peningkatan

bertahap dalam gejala-gejala, menyebabkan penyakit ginjal tahap akhir ( PGTA ).

Gagal ginjal kronis biasanya akibat akhir dari kehilangan fungsi ginjal lanjut

secara bertahap. Gangguan fungsi ginjal adalah penurunan laju filtrasi glomerulus

yang dapat digolongkan ringan, sedang dan berat. Azotemia adalah peningkatan

nitrogen urea darah ( BUN ) dan ditegakkan bila konsentrasi ureum plasma

meningkat.

B. Etiologi

1. Gagal Ginjal Akut

a. Penyebab pre renal atau terjadi hipoperfusi ginjal

Dimana aliran darah akibat hipoperfusi ginjal dan turunnya laju filtrasi

glomerulus. 

Penurunan volume vaskuler 

Kehilangan darah/plasma : perdarahan luka bakar

Kehilangan cairan ekstra selluer : muntah,diare 

Kenaikan kapasitas kapiler/vasodilatasi : Sepsis, Blokade ganglion, Reaksi

anafilaksis 

Penurunan curah jantung/kegagalan pompa jantung : Renjatan

kardiogenik, Payah jantung kongestif, Dysritmia, Emboli paru, Infark

jantung

Obstruksi pembuluh ginjal bilateral : emboli, thrombosis.

b. Penyebab internal kerusakan actual jaringan ginjal akibat trauma jaringan

gromerulus atau tubulus ginjal. 

Akibat dari kerusakan struktur glomerulus atau tubulus distal. 

Kondisi seperti terbakar,udema akibat benturan dan infeksi dan agen

nefrotik dapat menyebabkan nekrosi tubulus akut (ATN) .

Berhentinya fungsi renal.

4

Page 5: CAPD

Reaksi transfusi yang parah juga gagal intra renal.hemoglobin dilepaskan

melalui mekanisme hemolisis melewati membran glomerulus dan

terkonsentrasi ditubulus distal menjadi faktor terbentuknya hemoglobin. 

Faktor penyebab adalah : pemakaian obat-obat anti inflamasi, non steroid

terutama pada pasien lansia. 

c. Penyebab postrenal terjadi akibat sumbatan atau gangguan aliran urine melalui

saluran kemih. 

Obstruksi dibagian distal ginjal. 

Tekanan ditubulus distal menurun, akhirnya laju filtrasi glomerulus

meningkat. 

2. Gagal Ginjal Kronik

Penyebab dari gagal ginjal kronis antara lain :

a. Diabetes mellitus

b. Glomerulo nefritis kronis

c. Piolenefritis

d. Hipertensi yang tidak dapat dikontrol

e. Obstruksi traktus urinarius

f. Lesi herediter, seperti penyakit ginjal polikistik, gangguan vaskular infeksi

medikasi atau agen toksik.

Lingkungan dengan agen berbahaya : timah, merkuri dan kromium.

(Smeltzer, Suzzane, 2001)

C. Patofisiologi

Pada waktu terjadi kegagalan ginjal sebagian nefron (termasuk glomerulus dan

tubulus) diduga utuh sedangkan yang lain rusak (hipotesa nefron utuh). Nefron-nefron

yang utuh hipertrofi dan memproduksi volume filtrasi yang meningkat disertai

reabsorpsi walaupun dalam keadaan penurunan GFR / daya saring. Metode adaptif ini

memungkinkan ginjal untuk berfungsi sampai ¾ dari nefron–nefron rusak. Beban

bahan yang harus dilarut menjadi lebih besar daripada yang bisa direabsorpsi

berakibat diuresis osmotik disertai poliuri dan haus. Selanjutnya karena jumlah nefron

yang rusak bertambah banyak oliguri timbul disertai retensi produk sisa. Titik dimana

timbulnya gejala-gejala pada pasien menjadi lebih jelas dan muncul gejala-gejala khas

kegagalan ginjal bila kira-kira fungsi ginjal telah hilang 80% - 90%. Pada tingkat ini

5

Page 6: CAPD

fungsi renal yang demikian nilai kreatinin clearance turun sampai 15 ml/menit atau

lebih rendah itu. ( Barbara C Long, 1996, 368)

Fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme protein (yang normalnya

diekskresikan ke dalam urin) tertimbun dalam darah. Terjadi uremia dan

mempengaruhi setiap sistem tubuh. Semakin banyak timbunan produk sampah maka

gejala akan semakin berat. Banyak gejala uremia membaik setelah dialisis. (Brunner

& Suddarth, 2001 : 1448).

Perjalanan umum gagal ginjal progresif dapat dibagi menjadi tiga stadium yaitu:

Stadium 1 (penurunan cadangan ginjal)

Ditandai dengan kreatinin serum dan kadar Blood Ureum Nitrogen (BUN) normal

dan penderita asimtomatik.

Stadium 2 (insufisiensi ginjal)

Lebih dari 75% jaringan yang berfungsi telah rusak (Glomerulo filtration Rate

besarnya 25% dari normal). Pada tahap ini Blood Ureum Nitrogen mulai

meningkat diatas normal, kadar kreatinin serum mulai meningklat melabihi kadar

normal, azotemia ringan, timbul nokturia dan poliuri.

Stadium 3 (Gagal ginjal stadium akhir / uremia)

Timbul apabila 90% massa nefron telah hancur, nilai glomerulo filtration rate 10%

dari normal, kreatinin klirens 5-10 ml permenit atau kurang. Pada tahap ini

kreatinin serum dan kadar blood ureum nitrgen meningkat sangat mencolok dan

timbul oliguri. (Price, 1992: 813-814)

1. Patofisiologi Gagal Ginjal Akut

Menurut Price, (1995) ada beberapa kondisi yang menjadi faktor predisposisi

yang dapat menyebabkan pengurangan aliran darah renal dan gangguan fungsi

ginjal, yaitu sebagai berikut:

Obstruksi tubulus

Kebocoran cairan tubulus

Penurunan permeabilitas glomerulus

Disfungsi vasomotor

Glomerulus feedback

Teori obstruksi glomerulus menyatakan bahwa NTA (Necrosis Tubular Acute)

mengakibatkan deskuamasi sel- sel tubulus yang nekrotik dan materi protein

lainnya yang kemudian membentuk silinder- silinder dan menyumbat lumen

tubulus. Pembengkakan seluler akibat iskemia awal, juga ikut menyokong

6

Page 7: CAPD

terjadinya obstruksi dan memperberat iskemia. Tekanan tubulus meningkat

sehingga tekanan filtrasi glomerulus menurun.

Hipotesis kebocoran tubulus menyataka bahwa filtrasi glomerulus terus

berlangsung normal, tetapi cairan tubulus bocor keluar melalui sel-sel tubulus yang

rusak dan masuk dalam sirkulasi peritubular. Kerusakan membran basalis dapat

terlihat pada NTA yang berat.

Pada ginjal normal, 90 % aliran darah didistribusi ke korteks (tempat dimana

terdapat glomerulus) dan 10% pada medulla. Dengan demikian, ginjal dapat

memekatkan urine dan menjalankan fungsinya. Sebaliknya pada GGA,

perbandingan antara distribusi korteks dan medulla menjadi terbalik sehingga

terjadi iskemia relative pada korteks ginjal. Konstriksi dari arteriol aferen

merupakan dasar penurunan laju filtrasi glomerulus (GFR). Iskemia ginjal akan

mengaktivasi sistem renin-angiotensin dan memperberat iskemia korteks luar

ginjal setelah hilangnya rangsangan awal.

Pada disfungsi vasomotor, prostaglandin dianggap bertanggung ajwab atas

terjadinya GGA, dimana dalam keadaan normal, hipoksia merangsang ginjal untuk

melakukan vasodilator sehingga aliran darah ginjal diredistribusi ke korteks yang

mengakibatkan diuresis. Ada kemungkinan iskemia akut yang berat atau

berkepanjangandapat menghambat ginjal untuk mensintesis prostaglandin.

Penghambatan prostaglandin seperti aspirin diketahui dapat menurunkan aliran

darah renal pada orang normal dan menyebabkan NTA.

Teori glomerulus menganggap bahwa kerusakan primer terjadi pada tubulus

proksimal. Tubulus proksimal yang menjadi rusak akibat nefrotoksik atau iskemia

gagal untuk menyerap jumlah normal natrium yang terfiltrasi dan air. Akibatnya

makula densa mendeteksi adanya peningkatan natrium pada cairan tubulus distal

dan merangsang peningkatan produksi renin dari sel jukstaglomerulus. Terjadi

aktivasi angiotensin II yang menyebabkan vasokonstriksi ateriol aferen sehingga

mengakibatkan penurunanaliran darah ginjal dan laju aliran glomerulus.

Menurut Smeltzer (2002) terdapat empat tahapan klinik dari gagal ginjal akut,

yaitu periode awal, periode oliguria, periode dieresis, dan periode perbaikan.

a. Periode awal dengan awitan awal dan diakhiri dengan terjadinya oliguria.

b. Periode oliguria (volume urine kurang dari 400 ml/24 jam) disertai dengan

peningkatan konsentrasi serum dari substansi yang biasanya diekskresikan

oleh ginjal (urea, kreatinin, asam urat, serta kation intraseluler-kalium dan

7

Page 8: CAPD

magnesium). Jumlah urin menimal yang diperlukan untuk membersihkan

produk sampah normal tubuh adalah 400 ml. pada tahap ini gejala uremik

untuk pertama kalinya muncul dan kondisi yang mengancam jiwa seperti

hiperkalemia.

c. Periode diuresis, pasien menunjukkan peningkatn jumlah urin secara bertahap,

disertai tanda perbaikan filtrasi glomerulus. Meskipun urin output mencapai

kadarnormal atau meningkat, fungsi renal masih dianggap normal. Pasien

harus dipantau dengan ketat akan adanya dehidrasi, tanda uremik biasanya

meningkat.

d. Periode penyembuhan merupakan tanda perbaikan fungsi ginjal dan

berlangsung selama 3- 12 bulan. Nilai laboratorium akan kembali normal.

Respons penurunan GRF memberikan berbagai masalah keperawatan pada

pasien yang mengalami gagal ginajal akut.

2. Pathway Gagal Ginjal Akut

Terlampir I

3. Patofisiologi Gagal Ginjal Kronis

Secara ringkas patofisiologi gagal ginjal kronis dimulai pada fase awal

gangguan, keseimbangan cairan, penanganan garam, serta penimbunan zat- zat

sisa masih bervariasi dan begantung pada bagian ginjal yang sakit. Sampai fungsi

ginjal turun kurang dari 25% normal, manifestasi klinis gagal ginjal kronik

mungkin minimal karena nefron- nefron sisa yang sehat mengambil alih fungsi

nefron yang rusak. Nefron yang tersisa meningkatkan kecepatan filtrasi,

reabsorbsi, dan sekresinya, serta mengalami hipertrofi.

Seiring dengan makin banyaknya nefron yang mati, maka nefron yang tersisa

menghadapi tugas yang semakin berat sehingga nefron- nefron tersebut ikut rusak

dan akhirnya mati. Sebagian dari siklus kematian ini tampaknya berkaitan dengan

tuntutan pada nefron- nefron yang ada untuk meningkatkan reabsorbsi protein.

Pada saat penyusutan progresif nefron- nefron, terjadi pembentukan jaringan parut

dan aliran darah ginjal akan berkurang. Pelepasan renin akan meningkat bersama

dengan kelebihan beban cairan sehingga dapat menyebabkan hipertensi.

Hipertensi akan memperburuk kondisi gagal ginjal, dengan tujuan agar terjadi

peningkatan filtrasi protein- protein plasma. Kondisi akan bertambah buruk

dengan semakin banyak terbentuk jaringan parut sebagai respon dari kerusakan

nefron dan secara progresif fungsi ginjal menurun drastis dengan manifestasi

8

Page 9: CAPD

penumpukan metabolit- metabolit yang seharusnya dikeluarkan dari sirkulasi

sehingga akan terjadi sindrom uremia berat yang memberikan banyak manifestasi

pada setiap organ tubuh.

4. Pathway Gagal Ginjal Kronis

Terlampir II

D. Pathway

Terlampir I

E. Manifestasi Klinis

1. Gagal Ginjal Akut

Berkurangnya produksi air kemih (oliguria=volume air kemih berkurang atau

anuria=sama sekali tidak terbentuk air kemih)

Nokturia (berkemih di malam hari)

Pembengkakan tungkai, kaki atau pergelangan kaki

Pembengkakan yang menyeluruh (karena terjadi penimbunan cairan)

Berkurangnya rasa, terutama di tangan atau kaki

Perubahan mental atau suasana hati

Kejang

Tremor tangan

Mual, muntah

Gejala yang timbul tergantung kepada beratnya kegagalan ginjal,

progresivitas penyakit dan penyebabnya. Keadaan yang menimbulkan

terjadinya kerusakan ginjal biasanya menghasilkan gejala-gejala serius yang

tidak berhubungan dengan ginjal. Sebagai contoh, demam tinggi, syok,

kegagalan jantung dan kegagalan hati, bisa terjadi sebelum kegagalan ginjal

dan bisa lebih serius dibandingkan gejala gagal ginjal. Beberapa keadaan

yang menyebabkan gagal ginjal akut juga mempengaruhi bagian tubuh yang

lain. Misalnya granulomatosis Wegener, yang menyebabkan kerusakan

pembuluh darah di ginjal, juga menyebabkan kerusakan pembuluh darah di

paru-paru, sehingga penderita mengalami batuk darah. Ruam kulit merupakan

gejala khas untuk beberapa penyebab gagal ginjal akut, yaitu poliarteritis,

lupus eritematosus sistemik dan beberapa obat yang bersifat racun.

9

Page 10: CAPD

Hidronefrosis bisa menyebabkan gagal ginjal akut karena adanya

penyumbatan aliran kemih. Arus balik dari kemih di dalam ginjal

menyebabkan daerah pengumpul kemih di ginjal (pelvis renalis) teregang,

sehingga timbul nyeri kram (bisa ringan atau sangat hebat) pada sisi yang

terkena. Pada sekitar 10% penderita, kemihnya mengandung darah.

2. Gagal Ginjal Kronik

Kardiovaskuler

- Hipertensi

- Pericarditis

- Pembesaran vena leher

- Edema periorbital

- Pericardial effusion.

Gastrointestinal

- Anoreksia, konstipasi, diare

- Muntah

- Uremic

- Perdarahan gastrointestinal

- Ulkus peptikum

- Stomatitis

- Gastritis.

Neurologi

- Lelah/fatigue

- Sakit kepala

- Susah tidur

- Pusing

- Koma

- Kebingungan/confusion.

Integumen

- Warna kulit abu-abu mengkilat

- Kulit kering, bersisik

- Pruritus

- Ekimosis

- Kuku tipis dan rapuh

- Rambut tipis dan kasar

10

Page 11: CAPD

- Uremik.

Pulmoner

- Paru-paru uremik

- Edema pulmonal

- Dyspneu

- Pneumonia.

Hematologi

- Anemia

- Perdarahan

- Infeksi.

Psychology

- Penolakan

- Kecemasan

- Depresi

- Psychosis.

Muskuloskeletal

- Kram otot

- Kekuatan otot hilang

- Fraktur tulang

- Foot drop.

Reproduktif

- Amenorrhoe

- Atrofi testikuler Disfungsi seksual.

F. Pemeriksaan Diagnostik

Menurut Suyono (2001), untuk menentukan diagnosa dapat dilakukan dengan

cara sebagai berikut:

1. Pemeriksaan laboratorium

11

Page 12: CAPD

a. Laboratorium darah

BUN, kreatinin, elektrolit (Na, K, Ca, Phospat), hematologi (Hb, trombosit,

Leukosit), protein, antibody (kehilangan protein dan immunoglobulin)

b. Pemeriksaan Urin

Warna, PH, kekeruhan, volume, glukosa, protein, sedimen, keton

2. Pemeriksaan USG

Untuk mencari apakah ada batuan, atau massa tumor, juga untuk mengetahui

beberapa pembesaran ginjal.

3. Pemeriksaan EKG

Untuk melihat kemungkinan hipertropi ventrikel kiri, tanda-tanda perikarditis,

aritmia dan gangguan elektrolit.

G. Intervensi Medis

1. Terapi konservatif

Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal ginjal

secara progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin

azotemia, memperbaiki metabolisme secara optimal dan memelihara

keseimbangan cairan dan elektrolit (Sukandar, 2006).

a. Peranan diet

Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk mencegah atau

mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat merugikan

terutama gangguan keseimbangan negatif nitrogen.

b. Kebutuhan jumlah kalori

Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk GGK harus adekuat

dengan tujuan utama, yaitu mempertahankan keseimbangan positif

nitrogen, memelihara status nutrisi dan memelihara status gizi.

c. Kebutuhan cairan

Bila ureum serum > 150 mg% kebutuhan cairan harus adekuat supaya

jumlah diuresis mencapai 2 L per hari.

d. Kebutuhan elektrolit dan mineral

Kebutuhan jumlah mineral dan elektrolit bersifat individual tergantung dari

LFG dan penyakit ginjal dasar (underlying renal disease).

2. Terapi simtomatik

12

Page 13: CAPD

a. Asidosis metabolik

Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum kalium

(hiperkalemia). Untuk mencegah dan mengobati asidosis metabolik dapat

diberikan suplemen alkali. Terapi alkali (sodium bicarbonat) harus segera

diberikan intravena bila pH ≤ 7,35 atau serum bikarbonat ≤ 20 mEq/L.

b. Anemia

Transfusi darah misalnya Paked Red Cell (PRC) merupakan salah satu pilihan

terapi alternatif, murah, dan efektif. Terapi pemberian transfusi darah harus

hati-hati karena dapat menyebabkan kematian mendadak.

c. Keluhan gastrointestinal

Anoreksi, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan yang sering

dijumpai pada GGK. Keluhan gastrointestinal ini merupakan keluhan utama

(chief complaint) dari GGK. Keluhan gastrointestinal yang lain adalah ulserasi

mukosa mulai dari mulut sampai anus. Tindakan yang harus dilakukan yaitu

program terapi dialisis adekuat dan obat-obatan simtomatik.

d. Kelainan kulit

Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis keluhan kulit.

e. Kelainan neuromuskular

Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi hemodialisis reguler

yang adekuat, medikamentosa atau operasi subtotal paratiroidektomi.

f. Hipertensi

Pemberian obat-obatan anti hipertensi.

g. Kelainan sistem kardiovaskular

Tindakan yang diberikan tergantung dari kelainan kardiovaskular yang

diderita.

3. Terapi pengganti ginjal

Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu

pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa hemodialisis,

dialisis peritoneal, dan transplantasi ginjal (Suwitra, 2006).

a. Hemodialisis

Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala

toksik azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh terlalu cepat

pada pasien GGK yang belum tahap akhir akan memperburuk faal ginjal

(LFG).

13

Page 14: CAPD

Indikasi tindakan terapi dialisis, yaitu indikasi absolut dan indikasi elektif.

Beberapa yang termasuk dalam indikasi absolut, yaitu perikarditis,

ensefalopati/neuropati azotemik, bendungan paru dan kelebihan cairan yang

tidak responsif dengan diuretik, hipertensi refrakter, muntah persisten, dan

Blood Uremic Nitrogen (BUN) > 120 mg% dan kreatinin > 10 mg%. Indikasi

elektif, yaitu LFG antara 5 dan 8 mL/menit/1,73m², mual, anoreksia, muntah,

dan astenia berat (Sukandar, 2006).

Hemodialisis di Indonesia dimulai pada tahun 1970 dan sampai sekarang

telah dilaksanakan di banyak rumah sakit rujukan. Umumnya dipergunakan

ginjal buatan yang kompartemen darahnya adalah kapiler-kapiler selaput

semipermiabel (hollow fibre kidney). Kualitas hidup yang diperoleh cukup

baik dan panjang umur yang tertinggi sampai sekarang 14 tahun. Kendala

yang ada adalah biaya yang mahal (Rahardjo, 2006).

b. Dialisis peritoneal (DP)

Akhir-akhir ini sudah populer Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis

(CAPD) di pusat ginjal di luar negeri dan di Indonesia. Indikasi medik CAPD,

yaitu pasien anak-anak dan orang tua (umur lebih dari 65 tahun), pasien-pasien

yang telah menderita penyakit sistem kardiovaskular, pasien-pasien yang

cenderung akan mengalami perdarahan bila dilakukan hemodialisis, kesulitan

pembuatan AV shunting, pasien dengan stroke, pasien GGT (gagal ginjal

terminal) dengan residual urin masih cukup, dan pasien nefropati diabetik

disertai co-morbidity dan co-mortality.

Indikasi non-medik, yaitu keinginan pasien sendiri, tingkat intelektual

tinggi untuk melakukan sendiri (mandiri), dan di daerah yang jauh dari pusat

ginjal (Sukandar, 2006).

c. Transplantasi ginjal

Transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti ginjal (anatomi dan faal).

Pertimbangan program transplantasi ginjal, yaitu :

Cangkok ginjal (kidney transplant) dapat mengambil alih seluruh (100%)

faal ginjal, sedangkan hemodialisis hanya mengambil alih 70-80% faal

ginjal alamiah.

Kualitas hidup normal kembali

Masa hidup (survival rate) lebih lama

14

Page 15: CAPD

Komplikasi (biasanya dapat diantisipasi) terutama berhubungan dengan

obat imunosupresif untuk mencegah reaksi penolakan.

Biaya lebih murah dan dapat

H. Komplikasi

Hiperkalemia

Karena penurunan ekskresi, asidosis metabolik, katabolisme dan masukan diet

berlebih.

Hipertensi

Karena retensi cairan dan natrium malfungsi, sistem renin, angiotensin aldosteron.

Anemia

Karena penurunan eritroprotein, penurunan usia sel darah merah, perdarahan

gastrointestinal, akibat iritasi toksin.

Perikarditis, efusi perikardial dna temponade jantung.

Karena retensi produk sampah uremik dan disjustglomerulus yang tidak adekuat.

BAB III

Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD)

A. Definisi

Continous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) atau dialisis peritoneal

ambulatorik kontinyu merupakan suatu bentuk metode pencucuian darah dengan

15

Page 16: CAPD

menggunakan peritoneum (selaput yang melapisis perut dan pembungkus organ

perut). Selaput ini memiliki area permukaan yang luas dan kaya akan pembuluh

darah. Zat-zat dari perut dapat dengan mudah tersaring melalui peritoneum ke dalam

rongga perut. CAPD bersifat kontinyu dan biasanya dapat dilakukan sendiri. Metode

ini bisa dikerjakan di rumah oleh pasien. Tekhniknya disesuaikan dengan kebutuhan

fisiologis pasien akan terapi dialisis dan kemampuanya untuk mempelajari prosedur

ini. Metode ini harus dapat dipahami oleh pasien dan keluarga, serta diperlukan

petunjuk yang adekuat untuk menjamin agar mereka merasa aman dan yakin dalam

melaksanakannya.

B. Prinsip-Prinsip CAPD

CAPD bekerja berdasarkan prinsip-prinsip yang sama seperti pada bentuk

dialisis lainnya, yaitu difusi dan osmosis. Tetapi karena CAPD merupakan terapi

dialisis yang kontinyu, kadar produk limbah nitrogen dalam serum berada dalam

keadaan yang stabil. Nilainya bergantung pada:

fungsi ginjal yang masih terpisah

volume dialisa setiap hari

Kecepatan produk limbah tersebut diproduksi.

Fluktuasi hasil-hasil laboratorium ini pada CAPD tidak begitu ekstrim

dibandingkan dengan dialisis peritoneal intermiten, karena proses dialisis berlangsung

secara konstan. Kadar elektrolit biasanya tetap berada dalam kisaran normal. Semakin

lama waktu retensi, klirens molekul yang berukuran sedang semakin baik, molekul ini

merupakan toksin uremik yang signifikan. Dengan CAPD kliren molekul ini

meningkat. Substansi dengan berat molekul rendah, seperti ureum, akan berdifusi

lebih cepat dalam proses dialisis dari pada molekul berukuran sedang, meskipun

pengeluaranya selama CAPD lebih lambat daripada selama hemodialisis.

Pengeluaran cairan yang berlebihan pada saat dialisis peritoneal dicapai dengan

menggunakan larutan dialisat hipertonik yang memiliki konsentrasi glukosa yang

tinggi sehingga tercipta gradien osmotik. Larutan glukosa 1,5%, 2,5% dan 4,25%

harus tersedia dengan beberapa ukuran volume, mulai dari 500 ml – 3000 ml,

sehingga memungkinkan pemilihan dialisat yang sesuai dengan toleransi, ukuran

tubuh dan kebutuhan fisiologik pasien. Semakin tinggi konsentrasi glukosa, semakin

besar gradien osmotik dan semakin banyak air yang dikeluarkan. Pasien harus

diajarkan cara memilih larutan glukosa yang tepat berdasarkan asupan makanannya.

16

Page 17: CAPD

Prinsip kerja dari CAPD cukup sederhana. Dialisis Peritoneal diawali dengan

memasukkan cairan dialisat (cairan khusus untuk dialisis) ke dalam rongga perut

melalui selang kateter, lalu dibiarkan selama 4-6 jam. Ketika dialisat berada di dalam

rongga perut, zat-zat racun dari dalam darah akan dibersihkan dan kelebihan cairan

tubuh akan ditarik ke dalam cairan dialisat. Zat-zat racun yang terlarut di dalam darah

akan pindah ke dalam cairan dialisat melalui selaput rongga perut (membran

peritoneum) yang berfungsi sebagai “alat penyaring”, proses perpindahan ini disebut

Difusi. Cairan dialisat mengandung dekstrosa (gula) yang memiliki kemampuan untuk

menarik kelebihan air, proses penarikan air ke dalam cairan dialisat ini disebut

Ultrafiltrasi.

Gb1. Prinsip Kerja CAPD

Proses penggantian cairan dialysis dalam prosesnya tidak menimbulkan rasa sakit dan

hanya membutuhkan waktu singkat (± 30 menit). Proses tersebut terdiri dari 3 langkah:

1. Pengeluaran cairan

Cairan dialisat yang sudah mengandung zat-zat racun dan kelebihan air akan

dikeluarkan dari rongga perut dan diganti dengan cairan dialisis yang baru. Proses

pengeluaran cairan ini berlangsung sekitar 20 menit.

2. Memasukkan cairan

17

Page 18: CAPD

Cairan dialisat dialirkan ke dalam rongga perut melalui kateter. Proses ini hanya

berlangsung selama 10 menit.

3. Waktu tinggal

Sesudah dimasukkan, cairan dialisat dibiarkan ke dalam rongga perut selama 4-6 jam,

tergantung dari anjuran dokter.

Pertukaran biasanya dilakukan tiga kali sehari yang berlangsung kontinyu selama 24

jam/hari dan dilakukan dalam 7 hari dalam seminggu. Pasien melaksanakan pertukaran

dengan interfal yang didistribusikan disepanjang hari ( misalnya pada pukul 06.00 pagi,

16.00 sore dan 24.00 malam ). Setiap pertukaran memerlukan waktu 30 hingga 60 menit

atau lebih tergantung pada lamanya waktu retensi yang ditentukan oleh dokter. Lama

waktu penukaran terdiri atas 5 atau 10 menit periode infus (pemasukan dialisa), 20 menit

periode drainase (pengeluaran cairan dialisa) dan waktu retensi selama 10 menit, 30

menit atau lebih

C. Indikasi CAPD

CAPD merupakan terapi pilihan bagi pasien yang ingin melaksanakan dialisis

sendiri di rumah, indikasi CAPD adalah pasien-pasien yang menjalani HD rumatan

(maintenence) atau HD kronis yang mempunyai masalah dengan cara terapi yang

sekarang, seperti gangguan fungsi atau kegagalan alat untuk akses vaskuler, rasa haus

18

Page 19: CAPD

yang berlebihan, hipertensi berat, sakit kepala pasca dialisis dan anemia berat yang

memerlukan transfusi.

Penyakit ginjal stadium terminal yang terjadi akibat diabetes sering

dipertimbangkan sebagai indikasi untuk dilakukan CAPD karena hipertensi, uremia

dan hiperglikemia lebih mudah diatasi dengan cara ini dari pada HD.

Pasien lansia dapat memanfaatkan teknik CAPD dengan baik jika keluarga atau

masyarakat memberikan dukungan. Pasien yang aktif dalam penanganan

penyakitnya, menginginkan lebih banyak kebebasan dan memiliki motivasi serta

keinginan untuk melaksanakan penanganan  yang diperlukan sangat sesuai dengan

terapi CAPD. Selain kemampuan pasien dukungan dari keluarga untuk melasanakan

CAPD  harus dipertimbangkan ketika memilih terapi ini.

Pasien memilih CAPD agar bebas dari ketergantungannya pada mesin,

mengontrol sendiri aktifitasnya sehari-hari menghindari pembatasan makanan

meningkatkan asupan cairan, menaikkan nilai hematokrit serum, memperbaiki

kontrol tekananan darah, bebas dari keharusan pemasangan jarum

infus(venipuncture) dan merasa sehat secara umum meskipun CAPD memberi kesan

pasien tampak bebas, terapinya berlangsung secara kontinyu sehingga pasien harus

menjalani dialisis selama 24 jam /hari setiap hari. Sebagian pasien menganggap cara

ini membatasi kebebasanya dan memilih HD yang lebih bersifat intermiten.

D. Kontraindikasi CAPD

Kontraindikasi dilakukan CAPD adalah adanya :

1. Perlekatan akibat pembedahan atau penyakit inflamasi sistemik

sebelumnya. Perlekatan akan mengurangi klirens solut.

2. Nyeri punggung kronis yang rekuren di sertai riwayat kelainan pada diskus

intervertebralis dapat diperburuk oleh tekanan cairan dialisat dalam abdomen

yang kontinyu

19

Page 20: CAPD

3. Adanya riwayat kolostomi, ileostomi, nefrostomi atau ilealconduit dapat

meningkatkan resiko peritonitis walaupun tindakan operasi tersebut bukan

kontraindikasi absolut untuk CAPD.

4. Pasien dengan pengobatan imunosupresif akan mengalami komplikasi akibat

kesembuhan luka yang buruk pada lokasi pemasangan kateter.

5. Diverkulitis mengingat CAPD pernah disertai adanya ruptur divertikulum.

6. Pasien dengan artritis atau kekuatan tangan menurun karena akan memerlukan

bantuan dalam melaksanakan pertukaran cairan.

E. Komplikasi CAPD

Kemungkinan komplikasi yang dapat terjadi pada CAPD adalah :

1. Peritonitis

Merupakan komplikasi yang paling sering terjadi dan paling serius, yaitu

antara 60-80 % dari pasien yang menjalani peritoneal dialisis. Hal ini disebabkan

oleh adanya kontaminasi dari Staphylokokus epidermidisyang bersifat aksidental,

dan Staphylococcus aureus  dengan angka morbiditas tinggi, prognosis lebih

serius serta lebih lama. Manifestasi dari peritonitis yaitu cairan dialisat yang

keruh, nyeri abdomen yang difus, hipotensi serta tanda-tanda syok lainnya, hal

ini jika penyebabnya S. Aureus. Pemeriksaan cairan drainage untuk

penghitungan jumlah sel, pewarnaan Gram, dan pemeriksaan kultur untuk tahu

penyebab mikroorganisme dan arahan terapi.

Penatalaksanaan Peritonitis di rumah sakit apabila pasien dalam kodisi parah

dan tak mungkin melakukan terapi pertukaran dirumah, dengan menjalani dialisis

peritoneal intermitten selama 48 jam atau lebih atau sepenuhnya dihentikan

selama dapat terapi suntikan antibiotik. Jika gejalanya ringan ditangani secara

rawat jalan dan terapi antibiotik ditambahkan dalam cairan dialisat serta dapat

AB peroral selama 10 hari. Infeksi akan menghilang dalam waktu 2-4 hari . AB

harus diberikan dengan cermat dan tidak bersifat nefrotoksik agar tidak

memperparah fungsi ginjal yang tersisa. Intervensi bedah mungkin diperlukan

jika peritonitis akibat adanya kebocoran dari usus.

Pada infeksi persisten di tempat keluar kateter pelepasan kateter permanen

diperlukan untuk mencegah peritonitis. Peritonitis dengan hasil kultur cairan

20

Page 21: CAPD

peritoneal positif juga merupakan indikasi pelepasan kateter. Untuk sementara

menggunakan HD selama satu bulan sampai dilakukan pemasangan kateter yang

baru. Pasien dengan peritonitis akan kehilangan protein melalui peritoneum

dalam jumlah besar, malnutrisi akut, serta kelambatan penyembuhan

2. Kebocoran

Kebocoran cairan dialisat yang biasa terjadi melalui luka insisi atau luka

pemasangan  kateter setelah kateter terpasang. Kebocoran akan berhenti spontan

jika terapi dialisis ditunda selama beberapa hari sampai luka insisi dan tempat

keluarnya kateter sembuh. Faktor yang dapat memperlambat kesembuhan adalah

aktifitas abdomen yang tidak semestinya atau mengejan pada saat buang air

besar. Kebocoran dapat dihindari dengan memulai infus cairan dialisat dengan

volume kecil (100-200 ml) dan secara bertahap meningkatkan volume mencapai

2000 ml

3. Perdarahan

Cairan drainage dialisat yang mengandung darah dapat terlihat khususnya

pada wanita yang sedang haid.  Hal ini disebabkan karena cairan hipertonik

menarik darah dari uterus lewat orificium tuba falopii yang bermuara ke dalam

kavum peritoneal. Kejadian ini dapat terjadi selama beberapa kali penggantian

cairan mengingat darah akibat prosedur tersebut tetap berada pada rongga

abdomen.

Penyebab lain adanya perdarahan karena pergeseran kateter dari pelvis serta

pada pasien yang habis menjalani pemeriksaan enema atau mengalami trauma.

Adapun intervensi yang perlu dilakukan adalah dengan melakukan pertukaran

cairan lebih sering untuk mencegah obstruksi kateter oleh bekuan darah

4. Komplikasi lainnya adalah

a. Hernia abdomen karena peningkatan tekanan intra abdomen yang terus

menerus. Tipe hernia yang terjadi adalah insisional, inguinal, diafragmatik,

dan umbilikal. Tekanan intra abdomen yang persisten meningkat juga dapat

memperburuk gejala hernia hiatus dan hemoroid.

b. Hipertrigliseridemia sehingga memberi kesan dapat mempermudah

aterogenesis. Penyakit Kardiovaskuler tetap merupakan penyebab utama

kematian pada populasi pasien ini.

21

Page 22: CAPD

c. Nyeri Punggung bawah dan anoreksia karena cairan dalam rongga peritoneum

selain rasa manis yang selalu tarasa pada indra pengecap juga berkaitan

dengan absorpsi glukose.

d. Pembentukan bekuan dalam kateter peritoneal dan konstipasi.

F. Keuntungan dan Kerugian CAPD

Keuntungan dari CAPD pada klien yang menggunakan antara lain:

1. Fungsi ginjal yang masih tersisa dapat dipertahankan.

2. Dapat dilakukan sendiri di rumah atau di tempat kerja.

3. Tidak tergantung pada bantuan orang lain.

4. Tekanan darah pasien lebih terkendali.

5. Kebutuhan akan suplemen zat besi dan eritropoietin (EPO) jauh lebih sedikit.

6. Lebih bebas mengonsumsi berbagai jenis makanan dan minuman.

7. Kadar kalium darah lebih terkontrol.

Kerugian CAPD

Kerugian CAPD pada klien yang menggunakan antara lain:

1. Risiko terjadinya peritonitis (infeksi peritoneum).

2. Lebih banyak protein yang hilang dari tubuh selama berlangsungnya proses

dialisis peritoneal.

G. Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian

Pengkajian merupakan tahap awal yang dilakukan sebeum perumusan diagnose

keperawatan serta intervensi keperawatan pada klien. Adapun pengkajian yang

dilakukan pada klien dengan tindakan CAPD antara lain:

Sebelum dialisa :

a. Tinjau kembali catatan medis untuk menentukan alasan perawatan di rumah

sakit.

b. Ketidakpatuhan terhadap rencana tindakan.

c. Fistula tersumbat bekuan.

22

Page 23: CAPD

d. Pembuatan fistula

e. Menanyakan tipe diet yang digunakan dirumah,jumlah cairan yang diijinkan,

obat – obatan yang saat ini digunakan, jadwal hemodialisa, jumlah haluaran

urin.

f. Kaji kepatenan fistula bila ada. Bilapaten, getaran ( pulsasi ) akan terasa

desiran akan terdengar dengan stetoskop di atas sisi. Tak adanya pulsasi dan

bunyi desiran menandakan fistulatersumbat.

g. Kaji terhadapmanifestasi klinis dan laboratorium tentang kebutuhan tentang

dialisa : Peningkatan berat badan 3 pon / lebih diatas berat badan pada

tindakan dialisa terakhir.

h. Rales, pernafasan cepat pada saat istirahat,peningkatan sesak nafas dengan

kerja fisik maksimal.

i. Kelelahan dan kelemahan menetap.

j. Hipertensi berat

k. Peningkatan kreatinin, BUN, dan elektrolit khususnya kalium.

Kemungkinan perubahan EKG pada adanya hiperkalemia.

Sesudah dialisa

Kaji terhadap hipotensi dan perdarahan. Volume besar dari pembuangan cairan

selama dialisa dapat mengakibatkan hipotensi ortostatik dengan menggunakan

anti koagulan selama tindakan menempatkan pasien pada resiko perdarahan dari

sisi akses dan terhadap perdarahan internal.

2. Diagnosa Keperawatan

a. Kekurangan volume cairan b.d efek ultrafiltrasi selama CAPD

b. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan keterbatasan pengembangan

diafragma

c. Resiko tinggi untuk cidera b,d akses vascular dan komplikasi sekunder

terhadap penusukan dan pemeliharaan akses vascular, emboli

udara,ketidaktepatan konsentarsi / suhu dialisat

d. Kurang pengetahuan b.d penyakit dan kebutuhan untuk CAPD

23

Page 24: CAPD

3. Rencana Keperawatan

a. Kekurangan volume cairan b.d efek ultrafiltrasi selama dialysis

Kriteria Hasil: kekurangan volume cairan dapat teratasi dengan baik

Intervensi:

Kaji TTV : BB, masukan dan haluaran pradialisis.

Kaji derajat penumbunan cairan dalam jaringan pradialisis.

Tentukan ketepatan derajat dan ketepatan ultrafiltrasi untuk tindakan.

Jelaskan pada klien tentang kondisi klien serta tindakan yang akan

dilakukan

Berikan cairan pengganti sesuai instruksi dan indikasi.

Periksa kadar kalsium, natrium, kalium, CO2 pradialisis.

Kolaborasikan dengan tim medis untuk tindakan kolaboratif

Pantau konmdisi klien secara berkala setelah tindakan.

b. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan keterbatasan pengembangan

diafragma

Kriteria hasil : menunjukan pola pernapasan efektif dengan bunyi nafas

jelas, GDA dalam batas normal.

Intervensi:

Kaji TTV ; RR

Jelaskan pada klien terjadinya pola nafas tidak efektif

Awasi frekuensi / upaya pernapasan.penurunan kecepatan infuse bila ada

dispnea.

Berikan tambahan O2 sesuai indikasi.

Libatan keluarga dalam proses pelaksanaan tindakan pada klien

24

Page 25: CAPD

Berikan analgesic sesuai indikasi.

Kolaborasikan dengan tim medis dalam pemberian analgesic pada klien

Pantau keefektifan tindakan yang telah diberikan pada klien.

c. Resiko tinggi untuk cidera b,d akses vascular dan komplikasi sekunder

terhadap penusukan dan pemeliharaan akses vascular, emboli

udara,ketidaktepatan konsentarsi / suhu dialisat.

Kriteria Hasil: cidera tidak terjadi pada klien selama tindakan dilakukan.

Intervensi:

Kaji kondisi yang memberikan kondisi resiko terhadap cidera

Pastikan semua alat berbahaya ditempatkan secara aman

Mempertahankan lingkungan steril selama pemasukan kateter.

Melakukan radiografi dada setelah pemasukan kateter kevena subklavia.

Amati tanda pneumothorak, ketidakteraturan jantung, perdarahan hebat,

dan periksa bunyi nafas bilateral.

Ganti balutan kateter secara rutin sesuai kebijakan unit.

Pastikan bahwa detektor udara telah terpasang dan berfungsi baik selama

dialisis.

Bantu klien dalam perawatan (baik bantu langsung atau pengawasan)

sehingga terhindar dari cidera.

d. Kurang pengetahuan b.d penyakit dan kebutuhan untuk dialysis

Kriteria hasil: menunjukkan peningkatan pengetahuan tentang konsep

penyakit serta tindakan yang diberikan

Intervensi:

Kaji tingkat pengetahuan pasien dan keluarga tentang fungsi ginjal dan

alasan dialysis.

Kaji kesiapan untuk belajar.

25

Page 26: CAPD

Berikan informasi yang sesuai untuk kesiapan dan kemampuan belajar

termasuk alasan pasien kehilangan fungsi ginjal: tanda dan gejala yang

b.d kehilangan fungsi ginjal.

Berikan dorongan untuk mengungkapkan perasaan takut dan ansietas.

Berikan informasi yang sama pada keluarga sehingga keluarga paham

tentang kondisi klien

Libatkan keluarga dalam memberikan pemahaman pada klien

Anjurkan klien untuk melakukan sharing dengan tenaga kesehatan

terkait proses penyakit serta tindakan yang diberikan

Beri semangat pada klien untuk proses pembelajarannya.

4. Implementasi Keperawatan

Pada tahap ini untuk melaksanakan intervensi dan aktivitas-aktivitas yang telah

dicatat dalam rencana perawatan pasien. Agar implementasi/ pelaksanaan

perencanaan ini dapat tepat waktu dan efektif maka perlu mengidentifikasi

prioritas perawatan, memantau dan mencatat respon pasien terhadap setiap

intervensi yang dilaksanakan serta mendokumentasikan pelaksanaan perawatan

(Doenges E Marilyn, dkk, 2000)

5. Evaluasi

Pada tahap yang perlu dievaluasi pada klien dengan dengan CAPD adalah,

mengacu pada criteria hasil yang hendak dicapai yakni apakah terdapat :

a. Kurang volume cairan

b. Pola nafas tidak efektif apakah telah teratasi

c. Resiko tinggi cidera masih ada atau tidak

d. Peningkatan pengetahuan pada klien dan keluarga telah tercapai atau belum.

26

Page 27: CAPD

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Continous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) atau dialisis peritoneal

ambulatorik kontinyu merupakan suatu bentuk metode pencucuian darah dengan

menggunakan peritoneum (selaput yang melapisis perut dan pembungkus organ

perut). Selaput ini memiliki are permukaan yang luas dan kaya akan pembuluh

darah. Zat-zat dari perut dapat dengan mudah tersaring melalui peritoneum ke

dalam rongga perut. Prinsip kerja dari CAPD cukup sederhana. Dialisis Peritoneal

diawali dengan memasukkan cairan dialisat (cairan khusus untuk dialisis) ke

dalam rongga perut melalui selang kateter, lalu dibiarkan selama 4-6 jam. Ketika

dialisat berada di dalam rongga perut, zat-zat racun dari dalam darah akan

dibersihkan dan kelebihan cairan tubuh akan ditarik ke dalam cairan dialisat. Zat-

zat racun yang terlarut di dalam darah akan pindah ke dalam cairan dialisat

melalui selaput rongga perut (membran peritoneum) yang berfungsi sebagai “alat

27

Page 28: CAPD

penyaring”, proses perpindahan ini disebut Difusi. Cairan dialisat mengandung

dekstrosa (gula) yang memiliki kemampuan untuk menarik kelebihan air, proses

penarikan air ke dalam cairan dialisat ini disebut Ultrafiltrasi.

B. Saran

1. Perdalam pengetahuan serta konsep tentang CAPD dengan buku penunjang

dan studi lapangan.

2. Update informasi kesehatan terutma tentang CAPD dengan sering membuka

jurnal kesehatan terbaru untuk mengupdate ilmu yang telah kita dapat

DAFTAR PUSTAKA

Muttaqin, Arif. 2011. Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Perkemihan. Jakarta:

Salemba Medika

Brunner & Suddarth. 2002. Keperawatan Medikal Bedah, Cetakan I. Jakarta: Penerbit

Buku Kedokteran EGC.

Iqbal et al. Outcome of Peritoneal Dialysis and Hemodialysis in Elderly Patients with

Diabetes: Early Experience from Bangladesh. Advances in Peritoneal

Dialysis 2005;21:85-9.

Lynda Juall, Carpenito & Moyet. 2001. Buku Saku Diagnosa Keperawatan, Cetakan I.

Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran, EGC.

Makalah Pelatihan. 2002. Fresenius Fundamentals in Peritoneal Dialysis. Fresenius

Medical Care. 

28

Page 29: CAPD

Makalah Pelatihan. 2002. Ginjal Peritoneal Dialysis & Bagaimana Kerjanya,

Fresenius Medical Care.

Marilynn E. Dongoes. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3, Cetakan I.

Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran, EGC.

Price & Wilson. 1995. Patofisiologi, Edisi 4, Cetakan I. Jakarta: Penerbit Buku

Kedokteran, EGC.

29

Respons psikologis

Penurunan produksi urine azotemia

Kecemasan pemenuhan informasi

Retensi cairan interstisial ↑

dan pH ↓

Dieresis ginjal

Ekskresi kalium menurun

Peningkatan metabolit pada

jaringan otot

Peningkatan metabolit pada gastrointestinal

Edema paru asidosis metabolit

Pola nafas tidak efektif

Defisit volume cairan

Penurunan pH pada cairan

Ketidakseimbangan elektrolit

hiperkalemia

Perubahan

Peningkatan kelelahan otot,

kram otot ↑

Kelemahan fisik, respons

Bau ammonia pada mulut,

mual, muntah, anoreksia