c11app_bab ii tinjauan pustaka

13
2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Lamun Dugong (Thalassia hemprichii) Lamun dugong (Thalassia hemprichii) merupakan salah satu tumbuhan dari kelas Angiospermae dan termasuk ke dalam kelompok lamun. Lamun (seagrass) adalah tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang sudah sepenuhnya menyesuaikan diri hidup terbenam di dalam laut (Dahuri 2003). Berikut ini klasifikasi taksonomis dari lamun dugong (Thalassia hemprichii) menurut Phillips dan Menez (1988) dalam Soedharma (2007). Divisi : Anthophyta Kelas : Angiospermae Subkelas : Monocotyledoneae Ordo : Helobiae Famili : Hydrocharitaceae Genus : Thalassia Spesies : Thalassia hemprichii Morfologi lamun dugong dapat dilihat pada Gambar 1. Gambar 1 Lamun dugong (Thalassia hemprichii) (Sumber: koleksi pribadi) Lamun dugong memiliki jumlah yang cukup berlimpah dan sering dominan pada padang lamun campuran. Lebar kisaran vertikal intertidalnya mendekati 25 m. Lamun ini tumbuh pada substrat pasir berlumpur yang berbeda atau pasir medium kasar atau pecahan koral kasar (Dahuri 2003). Daun lamun dugong bercabang dua, tidak terpisah, berbentuk pita dan bertepi rata dengan

Upload: duapuluhsatutahun

Post on 30-Jul-2015

99 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

Page 1: C11app_BAB II Tinjauan Pustaka

4

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Lamun Dugong (Thalassia hemprichii)

Lamun dugong (Thalassia hemprichii) merupakan salah satu tumbuhan

dari kelas Angiospermae dan termasuk ke dalam kelompok lamun. Lamun

(seagrass) adalah tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang sudah sepenuhnya

menyesuaikan diri hidup terbenam di dalam laut (Dahuri 2003). Berikut ini

klasifikasi taksonomis dari lamun dugong (Thalassia hemprichii) menurut

Phillips dan Menez (1988) dalam Soedharma (2007).

Divisi : Anthophyta

Kelas : Angiospermae

Subkelas : Monocotyledoneae

Ordo : Helobiae

Famili : Hydrocharitaceae

Genus : Thalassia

Spesies : Thalassia hemprichii

Morfologi lamun dugong dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Lamun dugong (Thalassia hemprichii) (Sumber: koleksi pribadi)

Lamun dugong memiliki jumlah yang cukup berlimpah dan sering

dominan pada padang lamun campuran. Lebar kisaran vertikal intertidalnya

mendekati 25 m. Lamun ini tumbuh pada substrat pasir berlumpur yang berbeda

atau pasir medium kasar atau pecahan koral kasar (Dahuri 2003). Daun lamun

dugong bercabang dua, tidak terpisah, berbentuk pita dan bertepi rata dengan

Page 2: C11app_BAB II Tinjauan Pustaka

5

ujung daun membulat serta memiliki akar yang berbuku-buku yang pendek. Pada

umumnya, lamun dugong ditemukan pada dasar berlumpur dan berpasir, hidup

bersama dengan jenis lamun lain yaitu Enhalus acoroides dan Halophila ovalis

(Setyawan et al. 2009).

Pertumbuhan lamun diduga sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor internal

seperti kondisi fisiologis dan metabolisme, serta faktor eksternal seperti zat-zat

hara dan tingkat kesuburan pertanian. Kecepatan tumbuh daun lamun dugong

adalah 4,51 mm hari-1

untuk daun baru maupun daun lama (Dahuri 2003).

Lamun dugong mampu tumbuh dan berkembang dalam kondisi tak beroksigen

(anoxia) atau berkadar oksigen rendah yang merupakan sifat habitat pasang surut

yang dangkal. Hal ini disebabkan karena lamun ini mempunyai strategi metabolik

(dengan mikrozoma akar aerobik) sehingga mampu berkoloni di habitat laut

dangkal dengan berhasil dan mengusir sebagian kelompok tumbuh-tumbuhan

lainnya (Romimohtarto dan Juwana 2007).

Lamun yang dijumpai di Asia Tenggara berjumlah 20 jenis dan hanya

12 jenis lamun yang dijumpai di perairan Indonesia. Penyebaran padang lamun di

Indonesia mencakup perairan Jawa, Sumatera, Bali, Kalimantan, Sulawesi,

Maluku, Nusa Tenggara, dan Irian Jaya. Lamun dugong (T. hemprichii)

merupakan spesies yang dominan dan dijumpai hampir di seluruh Indonesia

(Dahuri 2003).

Pemanfaatan lamun secara umum hingga saat ini yaitu sebagai bahan

kerajinan, bahan kasur, atap rambai, bahan upholstery dan kemasan, pupuk,

penyaring limbah, stabilisator pantai, bahan untuk pabrik kertas, sumber bahan

kimia penting, dan fooder (makanan hewan/ternak) (KLH 2001). Ekosistem

padang lamun sangat penting artinya bagi kehidupan penyu hijau

(Chelonia mydas) dan dugong (Dugong dugon), karena tumbuhan tersebut

merupakan sumber makanan bagi kedua jenis hewan air itu. Thalassia hemprichii

merupakan salah satu jenis lamun yang dikonsumsi oleh penyu hijau

(Dahuri 2003).

2.2 Ekstraksi Senyawa Aktif

Ekstraksi adalah pemisahan suatu zat dari campurannya dengan

pembagian sebuah zat terlarut antara dua pelarut yang tidak dapat tercampur untuk

Page 3: C11app_BAB II Tinjauan Pustaka

6

mengambil zat terlarut tersebut dari satu pelarut ke pelarut yang lain

(Rahayu 2009). Sudjadi (1986) juga menyatakan bahwa ekstraksi merupakan

teknik yang sering digunakan bila senyawa organik dilarutkan atau didispersikan

dalam air. Pelarut yang tepat ditambahkan pada fase larutan dalam airnya. Larutan

organik dan air akan terpisah dan senyawa organik akan mudah diambil ulang dari

lapisan organik dengan menguapkan pelarutnya. Teknik ekstraksi bermanfaat

untuk memisahkan campuran senyawa dengan berbagai sifat kimia yang berbeda.

Ekstraksi meliputi distribusi zat terlarut diantara dua pelarut yang tidak dapat

tercampur. ekstraksi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu aqueus phase dan

organic phase. Cara aqueus phase dilakukan dengan menggunakan air, sedangkan

cara organic phase dilakukan dengan menggunakan pelarut organik

(Rahayu 2009).

Sifat penting yang harus diperhatikan dalam pemilihan pelarut adalah

kepolaran senyawa yang dilihat dari gugus polarnya (seperti gugus OH, COOH,

dan lain sebagainya). Hal ini yang perlu diperhatikan dalam pemilihan pelarut

adalah selektivitas, kelarutan, kemampuan tidak saling bercampur, kerapatan,

reaktivitas dan titik didih. Ekstrak dan pelarut biasanya harus dipisahkan dengan

cara penguapan, destilasi atau rektifikasi, maka titik didih kedua bahan tidak boleh

terlalu dekat (Rahayu 2009).

Menurut Kurnia (2010), ekstraksi dengan pelarut dapat dilakukan dengan

cara dingin dan cara panas. Cara dingin yaitu metode maserasi dan perkolasi,

sedangkan cara panas antara lain dengan refluks, soxhlet, digesti, destilasi uap dan

infuse. Harborne (1987) mengelompokkan metode ekstraksi menjadi dua, yaitu

ekstraksi sederhana dan ekstraksi khusus. Ekstraksi sederhana terdiri atas:

a) Maserasi, yaitu metode ekstraksi dengan cara meredam sampel dalam

pelarut dengan atau tanpa pengadukan;

b) Perkolasi, yaitu metode ekstraksi secara berkesinambungan;

c) Reperkolasi, yaitu perkolasi dimana hasil perklorasi digunakan untuk

melarutkan sampel di dalam perkulator sampai senyawa kimianya terlarut;

d) Diakolasi, yaitu perkolasi dengan penambahan tekanan udara.

Page 4: C11app_BAB II Tinjauan Pustaka

7

Ekstraksi khusus terdiri atas:

a) Sokletasi, yaitu metode ekstraksi secara berkesinambungan untuk

melarutkan sampel kering dengan menggunakan pelarut bervariasi;

b) Arus balik, yaitu metode ekstraksi secara berkesinambungan dimana

sampel dan pelarut saling bertemu melalui gerakan aliran yang

berlawanan;

c) Ultrasonik, yaitu metode ekstraksi dengan menggunakan alat yang

menghasilkan frekuensi bunyi atau getaran antara 25-100 KHz

2.3 Antioksidan

Antioksidan adalah senyawa-senyawa yang mampu menghilangkan,

membersihkan, menahan pembentukan ataupun memadukan efek spesies oksigen

reaktif (Muchtadi 2001). Senyawa ini memiliki berat molekul kecil, tetapi mampu

menginaktivasi berkembangnya reaksi oksidasi, dengan cara mencegah

terbentuknya radikal bebas. Antioksidan juga merupakan senyawa yang dapat

menghambat reaksi oksidasi, dengan mengikat radikal bebas, dan molekul yang

sangat reaktif sehingga kerusakan sel akan dihambat (Winarsi 2007).

2.3.1 Fungsi antioksidan

Penggunaan senyawa antioksidan juga antiradikal saat ini semakin meluas

seiring dengan semakin besarnya pemahaman masyarakat tentang peranannya

dalam menghambat penyakit degeneratif. Penyakit degeneratif yang ditimbulkan

akibat efek dari radikal bebas seperti tekanan darah tinggi, jantung koroner,

diabetes dan kanker yang didasari oleh proses biokimiawi dalam tubuh. Masalah-

masalah ini berkaitan dengan kemampuan antioksidan untuk bekerja sebagai

inhibitor (penghambat) reaksi oksidasi oleh radikal bebas reaktif

(Kuncahyo dan Sunardi 2007).

Radikal bebas adalah atom atau molekul yang tidak stabil dan sangat

reaktif karena mengandung satu atau lebih elektron tidak berpasangan pada orbital

terluarnya. Untuk mencapai kestabilan atom atau molekul, radikal bebas akan

bereaksi dengan molekul disekitarnya untuk memperoleh pasangan elektron.

Reaksi ini akan berlangsung terus menerus dalam tubuh dan bila tidak dihentikan

akan menimbulkan berbagai penyakit degeneratif (Andayani et al. 2008).

Page 5: C11app_BAB II Tinjauan Pustaka

8

Radikal bebas yang dihasilkan secara terus menerus selama proses

metabolisme normal, dianggap sebagai penyebab terjadinya kerusakan fungsi sel-

sel tubuh yang akhirnya menjadi pemicu timbulnya penyakit degeneratif. Reaksi

radikal bebas secara umum dapat dihambat oleh antioksidan tertentu baik alami

maupun sintetis (Juniarti et al. 2009). Di dalam tubuh kita terdapat senyawa yang

disebut antioksidan yaitu senyawa yang dapat menetralkan radikal bebas seperti

enzim Superoksida Dismutase (SOD), gluthatione peroksidase, dan katalase.

Selain itu, antioksidan dapat diperoleh dari asupan makanan yang banyak

mengandung vitamin C, vitamin E dan betakaroten serta senyawa fenolik

(Andayani et al. 2008).

Menurut Hariyatmi (2004), antioksidan memiliki beberapa fungsi yaitu

sebagai pemutus rantai reaksi pembentuk radikal bebas dengan menyumbangkan

atom H, pereduksi dengan mentransfer atom H atau oksigen, pengikat logam dan

mampu mendekomposisi hidroperoksida menjadi bentuk stabil. Fungsi

antioksidan lainnya yaitu dapat digunakan sebagi upaya untuk memperkecil

terjadinya proses oksidasi dari lemak dan minyak, memperkecil terjadinya proses

kerusakan dalam makanan, memperpanjang masa pemakaian dalam industri

makanan, meningkatkan stabilitas lemak yang terkandung dalam makanan serta

mencegah hilangnya kualitas sensori dan nutrisi (Kuncahyo dan Sunardi 2007).

Selain itu, antioksidan juga berperan penting untuk mempertahankan mutu produk

pangan. Berbagai kerusakan seperti ketengikan, perubahan nilai gizi, perubahan

warna dan aroma, serta kerusakan fisik lain pada produk pangan karena oksidasi

dapat dihambat oleh antioksidan (Trilaksani 2003).

2.3.2 Jenis antioksidan

Antioksidan memiliki jenis yang beragam. Berdasarkan sumbernya

antioksidan dibagi dalam dua kelompok, yaitu antioksidan sintetik (antioksidan

yang diperoleh dari hasil sintesis reaksi kimia) dan antioksidan alami (antioksidan

hasil ekstraksi bahan alami). Diantara beberapa contoh antioksidan sintetik yang

diijinkan untuk makanan, ada lima antioksidan yang penggunaannya meluas dan

menyebar diseluruh dunia, yaitu Butil Hidroksi Anisol (BHA), Butil Hidroksi

Toluen (BHT), propil galat, Tert-Butil Hidoksi Quinon (TBHQ) dan tokoferol.

Antioksidan tersebut merupakan antioksidan alami yang telah diproduksi secara

Page 6: C11app_BAB II Tinjauan Pustaka

9

sintetis untuk tujuan komersial. BHA memiliki kemampuan antioksidan

(carry through, kemampuan antioksidan baik dilihat dari ketahanannya terhadap

tahap-tahap pengolahan maupun stabilitasnya pada produk akhir) yang baik pada

lemak hewan dalam sistem makanan panggang, namun relatif tidak efektif pada

minyak tanaman. BHA bersifat larut lemak dan tidak larut air, berbentuk padat

putih dan dijual dalam bentuk tablet atau serpih serta bersifat volatil. Antioksidan

sintetik BHT memiliki sifat serupa BHA, akan memberi efek sinergis bila

dimanfaatkan bersama BHA, berbentuk kristal padat putih dan digunakan secara

luas karena relatif murah. TBHQ dikenal sebagai antioksidan paling efektif untuk

lemak dan minyak, khususnya minyak tanaman karena memiliki kemampuan

antioksidan yang baik pada penggorengan tetapi rendah pada pembakaran

(Trilaksani 2003).

Antioksidan alami yang terdapat dalam bahan pangan dapat dikategorikan

menjadi dua golongan, yaitu pertama yang tergolong zat gizi, yaitu: vitamin A dan

karatenoid, vitamin E, vitamin C, vitamin B2, seng (Zn), tembaga (Cu), selenium

(Se) dan protein, dan yang kedua tergolong sebagai zat non-gizi, seperti biogenik

amin, fenol, polifenol, tanin dan komponen tetrapirolik (Muchtadi 2001).

Antioksidan alami mampu melindungi tubuh terhadap kerusakan yang disebabkan

spesies oksigen reaktif, mampu menghambat terjadinya penyakit degeneratif serta

mampu menghambat peroksidase lipida pada makanan. Meningkatnya minat

untuk mendapatkan antioksidan alami terjadi beberapa tahun terakhir ini.

Antioksidan alami umumnya mempunyai gugus hidroksi dalam struktur

molekulnya (Kuncahyo dan Sunardi 2007).

Antioksidan alami ditemukan hampir di semua jenis tanaman,

mikroorganisme, jamur, dan jaringan hewan. Bahan pangan yang dapat dijadikan

sebagai sumber antioksidan alami, seperti rempah-rempah, coklat, biji-bijian,

buah-buahan, dan sayur-sayuran. Umumnya, antioksidan alami terdiri dari

komponen fenol dan kelompok antioksidan alami terpenting yaitu tokoferol,

flavonoid, dan asam fenol (Pokorny et al. 2001).

2.3.3 Mekanisme kerja antioksidan

Mekanisme kerja antioksidan seluler, antara lain berinteraksi langsung

dengan oksidan, radikal bebas atau oksigen tunggal, mencegah pembentukan jenis

Page 7: C11app_BAB II Tinjauan Pustaka

10

oksigen reaktif, mengubah jenis oksigen reaktif menjadi kurang toksik, mencegah

kemampuan oksigen reaktif, memperbaiki kerusakan yang timbul. Antioksidan

yang baik akan bereaksi dengan radikal bebas segera setelah senyawa tersebut

terbentuk. Mekanisme antioksidan dalam menghambat oksidasi atau

menghentikan reaksi berantai pada radikal bebas dari lemak yang teroksidasi,

dapat disebabkan oleh empat macam mekanisme reaksi, yaitu pelepasan hidrogen

dari antioksidan, pelepasan elektron dari antioksidan, adisi lemak ke dalam

cincin aromatik pada antioksidan, dan pembentukan senyawa kompleks antara

lemak dan cincin aromatik dari antioksidan (Ketaren 1986).

Sesuai mekanisme kerjanya, antioksidan memiliki dua fungsi. Fungsi

pertama merupakan fungsi utama dari antioksidan yaitu sebagai pemberi atom

hidrogen. Antioksidan yang mempunyai fungsi utama tersebut sering disebut

antioksidan primer. Senyawa ini dapat memberikan atom hidrogen secara tepat ke

radikal lipida atau mengubahnya ke bentuk lebih stabil, sementara turunan radikal

antioksidan tersebut memiliki keadaan lebih stabil dibanding radikal lipida.

Beberapa contoh antioksidan primer adalah superoksida dismutase (SOD),

Butylated Hidroxyanisol (BHA), Butylated Hidroxytoluene (BHT) dan tokoferol.

Penambahan antioksidan primer dengan konsentrasi rendah pada lipida dapat

menghambat atau mencegah reaksi autooksidasi lemak dan minyak. Penambahan

tersebut dapat menghalangi reaksi oksidasi pada tahap inisiasi maupun propagasi.

Fungsi kedua merupakan fungsi sekunder antioksidan, yaitu memperlambat laju

autooksidasi dengan berbagai mekanisme diluar mekanisme pemutusan rantai

autooksidasi dengan pengubahan radikal lipida ke bentuk lebih stabil

(Trilaksani 2003). Antioksidan sekunder disebut juga antioksidan eksogeneus atau

nonenzimatis. Antioksidan dalam kelompok ini disebut pertahanan preventif.

Sistem pertahanan ini, pembentukan senyawa oksigen relatif dihambat dengan

cara pengkelatan metal, atau dirusak pembentukannya. Beberapa contoh

antioksidan sekunder adalah asam askorbat (vitamin C), vitamin E, beta karoten,

asam urat, bilirubin dan albumin, asam erithorbat (D-isomer asam askorbat) dan

garam sodiumnya, dilauril tiopropionat (Winarno 2008).

Page 8: C11app_BAB II Tinjauan Pustaka

11

2.4 Uji Aktivitas Antioksidan

Salah satu uji untuk menentukan aktivitas antioksidan penangkap radikal

adalah metode 1,1 diphenyl-2-picrylhidrazyl (DPPH). Metode ini memberikan

informasi reaktivitas senyawa yang diuji dengan suatu radikal stabil. DPPH

memberikan serapan kuat pada panjang gelombang 517 nm dengan warna violet

gelap. Penangkapan radikal bebas menyebabkan elektron menjadi berpasangan

yang kemudian menyebabkan penghilangan warna yang sebanding dengan jumlah

elektron yang diambil (Kuncahyo dan Sunardi 2007).

Metode serapan radikal DPPH merupakan metode yang sederhana, mudah,

waktu pengujian singkat dan sampel yang digunakan sedikit serta tidak

membutuhkan banyak reagen seperti halnya uji lain (xantin-xantin oksidase,

metode Tiosianat, antioksidan total). Hasil pengukuran menunjukkan kemampuan

antioksidan sampel secara umum tidak berdasarkan jenis radikal yang dihambat.

Pada metode ini, DPPH berperan sebagai radikal bebas yang diredam oleh

antioksidan dari bahan uji, dimana DPPH akan bereaksi dengan antioksidan

tersebut membentuk 1,1-difenil-2-pikril hidrazin (Juniarti et al. 2009). Struktur

DPPH dan DPPH tereduksi hasil reaksi dengan antioksidan dapat dilihat pada

Gambar 2.

Diphenylpicrylhydrazyl (radikal bebas) Diphenylpicrylhydrazine (non radikal)

Gambar 2 Struktur DPPH dan DPPH tereduksi hasil reaksi dengan antioksidan (Sumber: Molyneux 2004)

Aktivitas antioksidan yang terdapat pada sampel dinyatakan dalam

persentase inhibisinya terhadap radikal DPPH. Persentase inihibisi ini didapatkan

dari serapan antara absorban DPPH dengan absorban sampel yang diukur dengan

spektrofotometer UV-Vis. Besarnya aktivitas antioksidan ditandai dengan nilai

IC50, yaitu konsentrasi larutan sampel yang dibutuhkan untuk menghambat

50% radikal bebas DPPH (Andayani et al. 2008). Semakin kecil nilai IC50 berarti

Page 9: C11app_BAB II Tinjauan Pustaka

12

semakin tinggi aktivitas antioksidan. Secara spesifik suatu senyawa dikatakan

sebagai antioksidan sangat kuat jika nilai IC50 kurang dari 0,05 mg/ml, kuat untuk

IC50 antara 0,05-0,10 mg/ml, sedang jika IC50 bernilai 0,10-0,15 mg/ml dan lemah

jika IC50 bernilai 0,15-0,20 mg/ml (Molyneux 2004).

2.5 Fitokimia

Fitokimia merupakan senyawa bioaktif dari tanaman yang dapat

melindungi kesehatan manusia dari penyakit degeneratif. Kelompok utama

fitokimia yang diduga berkontribusi dengan antioksidan tanaman yaitu polifenol,

karotenoid, dan antioksidan vitamin seperti vitamin C dan vitamin E

(Lako et al. 2007). Fitokimia memiliki peran penting dalam penelitian obat yang

dihasilkan dari tumbuh-tumbuhan.

2.5.1 Alkaloid

Alkaloid adalah suatu golongan senyawa organik yang terbanyak

ditemukan di alam. Hampir seluruh senyawa alkaloid berasal dari tumbuh-

tumbuhan dan tersebar luas dalam berbagai jenis tumbuhan. Semua alkaloid

mengandung paling sedikit satu atom nitrogen yang biasanya bersifat basa dan

dalam sebagian besar atom nitrogen ini merupakan bagian dari cincin heterosiklik

(Lenny 2006). Alkaloid mencakup senyawa bersifat basa yang mengandung satu

atau lebih atom nitrogen, biasanya dalam gabungan, sebagai bagian dari sistem

siklik (Harborne 1987).

Hampir semua alkaloid yang ditemukan di alam mempunyai keaktifan

biologis tertentu, ada yang sangat beracun tetapi ada pula yang sangat berguna

dalam pengobatan. Jenis dan konsentrasi alkaloid dapat menjadi sangat beracun,

salah satu jenis alkaloid yang beracun adalah nikotin. Alkaloid memiliki kegunaan

dalam bidang medis, antara lain sebagai analgetika dan narkotika, mengubah kerja

jantung, penurun tekanan darah, obat asma, sebagai antimalari, stimulan uterus,

dan anastesi lokal (Sirait 2007).

2.5.2 Triterpenoid/ Steroid

Triterpenoid adalah senyawa alam yang terbentuk dengan proses

biosintesis dan terdistribusi secara luas dalam dunia tumbuhan dan hewan.

Struktur terpenoid dibangun oleh molekul isoprene dengan kerangka terpenoid

Page 10: C11app_BAB II Tinjauan Pustaka

13

terbentuk dari dua atau lebih banyak satuan isoprene (C5) (Sirait 2007). Secara

umum triterpenoid diekstrak dari jaringan tumbuhan memakai eter minyak bumi,

eter atau kloroform dan dapat dipisahkan secara kromatografi pada silika gel atau

alumina memakai pelarut tersebut. Terpenoid terdiri atas beberapa macam

senyawa yaitu komponen minyak atsiri, diterpenoid, giberelin, triterpenoid,

steroid dan karotenoid (Lenny 2006).

2.5.3 Flavonoid

Senyawa flavonoid adalah suatu kelompok senyawa fenol yang terbesar

yang ditemukan di alam. Senyawa-senyawa ini merupakan zat warna merah, ungu

dan biru serta sebagai zat warna kuning yang ditemukan dalam tumbuh-tumbuhan.

Secara biologis flavonoid memainkan peranan penting dalam kaitan penyerbukan

tanaman oleh serangga. Sejumlah flavonoid mempunyai rasa pahit sehingga dapat

bersifat menolak jenis ulat tertentu (Lenny 2006).

Flavonoid umumnya terdapat pada tumbuhan sebagai glikosida. Gugusan

gula bersenyawa pada satu atau lebih grup hidroksil fenolik. Flavonoid terdapat

pada seluruh bagian tanaman termasuk pada buah, tepung sari, dan akar.

Flavonoid berperan terhadap warna dalam organ tumbuhan seperti bunga, buah,

daun, atau warna pada pigmen. Flavonoid pada tumbuhan berguna untuk menarik

serangga dan binatang lain untuk membantu proses penyerbukan dan penyebaran

biji (Sirait 2007). Flavonoid sebagai antioksidan berfungsi sebagai pengikat

logam, mampu mengikat zat peroksida, seperti Fe dan Cu (Hariyatmi 2004).

2.5.4 Saponin

Saponin adalah glikosida triterpena dan sterol yang telah dideteksi lebih

dari 90 suku tumbuhan. Saponin merupakan senyawa aktif permukaan dan bersifat

seperti sabun dan dapat dideteksi berdasarkan kemampuannya membentuk busa.

Pencarian saponin dalam tumbuhan telah dirangsang oleh kebutuhan akan

sapogenin yang mudah diperoleh dan dapat dirubah di laboratoriun menjadi sterol

hewan yang berkhasiat penting misalnya kortison dan estrogen kontraseptif.

Banyak saponin yang mempunyai satuan gula sampai lima dan komponen yang

umum ialah asam glukuronat. Pembentukan busa yang mantap sewaktu

mengekstraksi tumbuhan atau sewaktu memekatkan ekstrak tumbuhan merupakan

Page 11: C11app_BAB II Tinjauan Pustaka

14

bukti terpercaya akan adanya saponin. Saponin jauh lebih polar dari pada

sapogenin karena ikatan glikosidanya (Harborne 1987).

Saponin menyebabkan stimulasi pada jaringan tertentu misalnya, pada

epitel hidung, bronkus, dan ginjal. Stimulasi pada ginjal diperkirakan

menimbulkan efek diuretika. Sifat menurunkan tegangan muka yang ditimbulkan

oleh saponin dapat dihubungkan dengan daya ekspentoransia, dengan sifat ini

lendir akan dilunakkan atau dicairkan. Saponin dapat juga sebagai prekursor

hormon steroid (Sirait 2007).

2.5.5 Fenolhidrokuinon

Kuinon adalah senyawa berwarna dan memiliki kromofor dasar. Kuinon

dapat dibagi menjadi empat kelompok yaitu, benzokuinon, naftokuinon.

antrakuinon, dan kuinon isoprenoid. Senyawa kuinon yang terdapat sebagai

glikosida sedikit larut dalam air, kuinon lebih mudah larut dalam lemak dan akan

terekstraksi dalam tumbuhan bersama-sama dengan karotenoid dan klorofil.

Reaksi yang khas adalah reduksi bolak-balik yang mengubah kuinon menjadi

senyawa tanpa warna, kemudian warna kembali lagi bila terjadi oksidasi oleh

udara. Reduksi dapat dilakukan dengan menggunakan natrium borohidrida

(Harbone 1987).

2.5.6 Tanin

Tanin adalah senyawa organik yang terdiri dari campuran senyawa

polifenol kompleks, dibangun dari elemen C, H dan O serta sering membentuk

molekul besar dengan berat molekul lebih besar dari 2000. Tanin dapat dijumpai

pada hampir semua jenis tumbuhan hijau di seluruh dunia baik tumbuhan tingkat

tinggi maupun tingkat rendah dengan kadar dan kualitas yang berbeda-beda.

Senyawa ini memiliki sifat antara lain dapat larut dalam air atau alkohol karena

tanin banyak mengandung fenol yang memiliki gugus OH, dapat mengikat

logam berat, serta adanya zat yang bersifat antirayap dan jamur. Tanin

yang terdapat pada kulit kayu dan kayu dapat berfungsi sebagai penghambat

kerusakan akibat serangan serangga dan jamur, karena memilki sifat antiseptik

(Shut 2002).

Page 12: C11app_BAB II Tinjauan Pustaka

15

2.6 Serat Pangan (Dietary Fiber)

Serat pangan merupakan komponen dari jaringan tanaman yang tahan

terhadap proses hidrolisis oleh enzim dalam lambung dan usus kecil. Serat-serat

tersebut banyak berasal dari dinding sel berbagai sayuran dan buah-buahan.

Secara kimia dinding sel tersebut terdiri dari beberapa jenis karbohidrat seperti

selulosa, hemiselulosa, pektin, dan nonkarbohidrat seperti polimer lignin,

beberapa gum, dan mucilage. Karena itu dietary fiber pada umumnya merupakan

karbohidrat atau polisakarida. Berbagai jenis makanan nabati pada umumnya

banyak mengandung dietary fiber (Winarno 2008).

Walaupun demikian serat kasar tidaklah identik dengan dietary fiber.

Menurut Scala (1975) dalam Winarno (2008) kira-kira hanya seperlima sampai

setengah dari seluruh serat kasar yang benar-benar berfungsi sebagai dietary fiber.

Kadang-kadang juga digunakan istilah “residu non-nutritif“ untuk menunjukkan

bagian dari makanan yang tidak dapat dicerna dan diserap oleh tubuh. Akan tetapi

sesungguhnya residu non-nutritif tersebut tidak sama dengan serat pangan,

meskipun ada bagian-bagian pangan yang tercakup pada keduanya. Perbedaan

utama antara keduanya adalah pada residu non-nutritif terkandung dinding sel

bakteri (mikroflora) usus yang juga tidak dapat dicerna oleh enzim-enzim

pencernaan.

Secara umum serat pangan (dietary fiber) didefinisikan sebagai kelompok

polisakarida dan polimer-polimer lain yang tidak dapat dicerna oleh sistem

gastrointestinal bagian atas tubuh manusia. Terdapat beberapa jenis komponennya

yang dapat dicerna (difermentasi) oleh mikroflora dalam usus besar menjadi

produk-produk terfermentasi. Serat pangan total (total dietary fiber, TDF) terdiri

dari komponen serat pangan larut (soluble dietary fiber, SDF) dan serat pangan

tidak larut (insoluble dietary fiber, IDF). SDF diartikan sebagai serat pangan yang

dapat larut dalam air hangat atau panas serta dapat terendapkan oleh air yang telah

dicampur dengan empat bagian etanol. Adapun IDF diartikan sebagai serat pangan

yang tidak larut dalam air panas maupun dingin. IDF merupakan kelompok

terbesar dari TDF dalam makanan, sedangkan SDF hanya menempati jumlah

sepertiganya (Muchtadi 2001).

Page 13: C11app_BAB II Tinjauan Pustaka

16

Serat pangan larut dan tidak larut memiliki manfaat yang berbeda namun

keduanya akan bekerja sama dan saling melengkapi. Serat larut akan membentuk

gel sehingga makanan yang mengandung serat larut dalam lambung akan

menimbulkan rasa kenyang dan makanan akan tinggal lebih lama. Hal ini

dikarenakan penyerapan makanan pada dinding usus berlangsung lambat dan juga

serat akan terikat pada gel yang terbentuk. Berbeda halnya dengan serat tidak

larut, serat ini tidak dapat membentuk gel dalam proses pencernaan namun tetap

akan menimbulkan efek kenyang dalam lambung. Rasa kenyang yang didapat

tidak akan berbeda dengan makanan tanpa serat. Namun demikian, dengan

mengonsumsi serat asupan kalori yang didapatkan lebih rendah (Yuliarti 2008).

Pada masa lalu, serat pangan hanya dianggap sebagai sumber energi yang

tidak tersedia (non-available energy source) dan hanya dikenal mempunyai efek

sebagai pencahar perut. Akan tetapi berdasarkan penelitian Muchtadi (2001) dapat

diketahui bahwa terdapat suatu hubungan erat antara konsumsi serat pangan dan

insiden timbulnya berbagai macam penyakit. Salah satu contohnya yaitu pengaruh

konsumsi dietary fiber pada kadar kolesterol tinggi telah dibuktikan pada pasien

sukarelawan, yang kemudian juga dibuktikan pada hewan percobaan, bahwa

pasien yang memiliki kandungan kolesterol tinggi tetapi rendah konsumsi serat

bahan makanan, dengan meningkatkan konsumsi dietary fiber akan nyata turun

kadar kolesterol dalam darahnya, terutama bila hal tersebut dilakukan secara

kontinyu (Winarno 2008).