busana paku buwono xiii pada upacara …...perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id (sebuah kajian...
TRANSCRIPT
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
BUSANA PAKU BUWONO XIII PADA UPACARA TINGALAN
JUMENENGANDALEM PERIODE 2005-2011
(Sebuah Kajian Makna Simbolis Busana Raja)
Diajukan Guna Memenuhi Sebagian Persyaratan
Guna Melengkapi Gelar Sarjana Seni Jurusan Kriya Seni/Tekstil
Fakultas Sastra dan Seni Rupa
Oleh:
TAUFIQURRAHMAN HIDAYAT
C0905025
KRIYA SENI/TEKSTIL
FAKULTAS SASTRA DAN SENI RUPA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2012
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
PERSETUJUAN
BUSANA PAKU BUWONO XIII PADA UPACARA TINGALAN
JUMENENGANDALEM PERIODE 2005-2011
(Sebuah Kajian Makna Simbolis Busana Raja)
Disusun Oleh:
TAUFIQURRAHMAN HIDAYAT
C0905025
Telah disetujuai untuk dihadapkan pada sidang Skripsi oleh:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iii
PENGESAHAN
BUSANA PAKU BUWONO XIII PADA UPACARA TINGALAN
JUMENENGANDALEM PERIODE 2005-2011
(Sebuah Kajian Makna Simbolis Busana Raja)
Disusun Oleh:
TAUFIQURRAHMAN HIDAYAT
C0905025
Telah disetujuai oleh Tim Penguji Skripsi
Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret
Pada Tanggal 29 Mei 2012
Jabatan Nama Tanda Tangan
Ketua
Sekretaris
Penguji I
Penguji II
Dra. Sarah Rum Handayani, M.Hum
NIP. 195212081981032001
Ratna Endah Santoso, S.Sn.,M.Sn
NIP. 197610112003122001
Ir. Aji Isworo Josef, M.Sn
NIP. 195709261988111001
Drs. Sarwono, M.Sn
NIP. 195909091986031002
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iv
PERNYATAAN
Nama : Taufiqurrahman Hidayat
NIM : C0905025
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa Skripsi berjudul “Busana Paku
Buwono XIII Pada Upacara Tingalan Jumênêngandalêm Periode 2005-2011
(Sebuah Kajian Makna Simbolis Busana Raja)” adalah benar-benar karya sendiri,
bukan plagiat, dan tidak dibuatkan oleh orang lain. Hal-hal yang bukan karya saya
dalam Skripsi ini diberi tanda citasi (kutipan) dan ditunjukkan dalam daftar
pustaka.
Apabila di kemudian hari terbukti pernyatan ini tidak benar, maka saya
bersedia menerima sanksi berupa pencabutan Skripsi dan gelar yang diperoleh
dari Skripsi tersebut.
Surakarta, 1 Mei 2012
Yang membuat pernyataan,
Taufiqurrahman Hidayat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
v
MOTTO
“Bangkit dan bangkit lagi sampai domba menjadi singa”
(Taufiqurrahman Hidayat)
“Manusia kadang tersandung kebenaran. Tetapi, kebanyakan dari mereka
berdiri dan bergegas seolah-olah tidak terjadi apa-apa”
(Sir Winston Churchill)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vi
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkah, rahmat,
serta hidayah yang telah diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi
ini dengan baik. Laporan Skripsi ini dibuat untuk memenuhi sebaian persyaratan
guna melengkapi gelar Sarjana Seni Jurusan Kriya Tekstil.
Selama penyusunan Skripsi ini penulis mengalami rintangan dan
hambatan, namun berkat bantuan, bimbingan dan pengarahan dari berbagai pihak,
maka penulis dapat melalui hambatan tersebut. Pada kesempatan ini penulis
menyampaikan terima kasih kepada:
1. Drs. Riyadi Santosa, M.Ed, Ph. D sebagai Dekan Fakultas Sastra dan Seni
Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2. Dra. Tiwi Bina Affanti, M.Sn, selaku Ketua Jurusan Kriya Tekstil.
3. Ir. Aji Isworo Josef, M.Sn, selaku koordinator Skripsi Jurusan Kriya Tekstil,
sekaligus pembimbing I.
4. Drs. Sarwono, M.Sn, selaku pembimbing II.
5. KP. Winarno Kusumo, selaku narasumber dan informan, yang telah
memberikan informasi serta data selama proses penelitian.
6. Joko Purnomo (Mas Kincling), yang telah bersedia memberikan data yang
diperlukan selama proses penelitian berupa foto-foto sehingga dengan data
tersebut proses analisa mampu tercapai.
7. Hartoyo, yang telah memberikan informasi mengenai busana Sinuwun dan
atas keterbukaan menerima penulis dalam mencari data dan informasi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vii
8. KGPH. Puger, yang telah mengizinkan penulis melakukan penelitian
mengenai busana PB XIII di keraton Surakarta.
9. GRAy. Kus Murtiah Wirabumi, yang telah bersedia meluangkan waktu dan
memberikan data serta informasi kepada penulis.
10. Drs. Soegeng Toekiyo, yang telah bersedia memberikan arahan dan masukan
yang sangat berarti bagi penulis, sehingga memudahkan penulis dalam proses
penyelesaian Skripsi ini.
11. Prof. Dharsono, yang telah bersedia meluangkan waktu dan memberikan data
serta informasi penjelasan dan penerangan kepada penulis.
12. Kedua orang tua yang telah berbesar hati dan mengerti watak dan kondisi
anaknya, sehingga proses penyelesaian Skripsi ini menjadi lebih ringan tanpa
paksaan.
13. Yang tersayang Andika Sivi Tyashapsari, terima kasih telah memberikan
dukungan dan hiburan serta segala sesuatu yang mensinergiskan mental dan
kondisi penulis.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN ...................................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................ iii
PERNYATAAN ……. .................................................................................... iv
KATA PENGANTAR .................................................................................... v
MOTTO …………….. ................................................................................... vii
DAFTAR ISI ……........ ................................................................................ viii
DAFTAR GAMBAR .................................................................................... xiii
ABSTRAK………………………………...………………………………... xvi
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1
A. Latar Belakang .................................................................. 1
B. Batasan Masalah ................................................................ 6
C. Rumusan Masalah ............................................................. 6
D. Tujuan Penelitian ............................................................... 7
E. Manfaat Penelitian ............................................................. 7
F. Sistematika Penulisan ........................................................ 8
BAB II KAJIAN PUSTAKA ............................................................... 10
A. Busana ............................................................................... 10
B. Sejarah Busana Gaya Surakarta ........................................ 20
C. Busana Keraton Surakarta ................................................. 23
D. Pandangan Hidup Orang Jawa .......................................... 51
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ix
E. Upacara Tradisi Keraton Surakarta ................................... 55
F. Tingalan Jumenengandalem .............................................. 58
G. Simbol ............................................................................... 61
H. Kerangka Fikir ................................................................... 64
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ........................................... 66
A. Lokasi Penelitian ............................................................... 66
B. Jenis Penelitian .................................................................. 67
C. Bentuk Penelitian .............................................................. 67
D. Sumber Data ...................................................................... 69
E. Teknik Pengumpulan Data ............................................... 70
F. Validitas Data ................................................................... 72
G. Analisis Data .................................................................... 72
BAB IV BUSANA PAKU BUWONO XIII PADA
UPACARA TINGALAN JUMENENGANDALEM
PERIODE 2005-2011 ............................................................ 78
A. Busana Paku Buwono XIII pada Upacara
Tingalan Jumênêngandalêm tahun 2005 ........................... 86
1. Bentuk Busana Paku Buwono XIII pada Upacara
Tingalan Jumênêngandalêm tahun 2005 .................... 86
2. Konsep Busana Paku Buwono XIII pada
Upacara Tingalan Jumênêngandalêm tahun 2005 ...... 98
3. Makna Simbolis Busana Paku Buwono XIII pada
Upacara Tingalan Jumênêngandalêm tahun 2005 ..... 110
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
x
B. Busana Paku Buwono XIII pada Upacara
Tingalan Jumênêngandalêm tahun 2006 .......................... 116
1. Bentuk Busana Paku Buwono XIII pada Upacara
Tingalan Jumênêngandalêm tahun 2006 ................... 116
2. Konsep Busana Paku Buwono XIII pada
Upacara Tingalan Jumênêngandalêm tahun 2006 ..... 120
3. Makna Simbolis Paku Buwono XIII pada
Upacara Tingalan Jumênêngandalêm tahun 2006 .... 125
C. Busana Paku Buwono XIII pada Upacara
Tingalan Jumênêngandalêm tahun 2007 .......................... 128
1. Bentuk Busana Paku Buwono XIII pada Upacara
Tingalan Jumênêngandalêm tahun 2007 ................... 128
2. Konsep Busana Paku Buwono XIII pada
Upacara Tingalan Jumênêngandalêm tahun 2007 .... 130
3. Makna Simbolis Busana Paku Buwono XIII pada
Upacara Tingalan Jumênêngandalêm tahun 2007 .... 131
D. Busana Paku Buwono XIII pada Upacara
Tingalan Jumênêngandalêm tahun 2008 .......................... 133
1. Bentuk Busana Paku Buwono XIII pada Upacara
Tingalan Jumênêngandalêm tahun 2008 ................... 133
2. Konsep Busana Paku Buwono XIII pada
Upacara Tingalan Jumênêngandalêm tahun 2008 .... 135
3. Makna Simbolis Busana Paku Buwono XIII pada
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xi
Upacara Tingalan Jumênêngandalêm tahun 2008 .... 136
E. Busana Paku Buwono XIII pada Upacara
Tingalan Jumênêngandalêm tahun 2009 .......................... 138
1. Bentuk Busana Paku Buwono XIII pada Upacara
Tingalan Jumênêngandalêm tahun 2009 ................... 138
2. Konsep Busana Paku Buwono XIII pada
Upacara Tingalan Jumênêngandalêm tahun 2009 .... 140
3. Makna Simbolis Busana Paku Buwono XIII pada
Upacara Tingalan Jumênêngandalêm tahun 2009 .... 141
F. Busana Paku Buwono XIII pada Upacara
Tingalan Jumênêngandalêm tahun 2010 .......................... 142
1. Bentuk Busana Paku Buwono XIII pada Upacara
Tingalan Jumênêngandalêm tahun 2010 ................... 142
2. Konsep Busana Paku Buwono XIII pada
Upacara Tingalan Jumênêngandalêm
tahun 2010 ................................................................. 145
3. Makna Simbolis Busana Paku Buwono XIII pada
Upacara Tingalan Jumênêngandalêm
tahun 2010 ................................................................. 147
G. Busana Paku Buwono XIII pada Upacara
Tingalan Jumênêngandalêm tahun 2011 .......................... 149
1. Bentuk Busana Paku Buwono XIII pada Upacara
Tingalan Jumênêngandalêm tahun 2011…. ............... 149
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xii
2. Konsep Busana Paku Buwono XIII pada
Upacara Tingalan Jumênêngandalêm
tahun 2011 ................................................................. 151
3. Makna Simbolis Busana Paku Buwono XIII pada
Upacara Tingalan Jumênêngandalêm
tahun 2011 ................................................................. 152
H. Bagan Verifikasi Data ...................................................... 153
BAB V PENUTUP .............................................................................. 158
A. Simpulan ........................................................................... 158
B. Saran-Saran ...................................................................... 164
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 165
DAFTAR NARASUMBER .......................................................................... 178
LAMPIRAN ……………….. ......................................................................... 169
GLOSARI……………...………………………………………...…………... 172
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiii
DAFTAR GAMBAR
Gambar: 1 Udhêng cêkokmondolan dan udhêng jèbèhan ................................ 26
Gambar: 2 Bagian-bagian udhêng .................................................................... 26
Gambar: 3 Bentuk dan bagian kulük ................................................................ 27
Gambar: 4 Bentuk baju atèlah ......................................................................... 28
Gambar: 5 Bentuk baju .................................................................................... 29
Gambar: 6 Contoh baju bêskap ....................................................................... 29
Gambar: 7 Bentuk baju sikêpan) ..................................................................... 30
Gambar: 8 Bentuk baju sikêpan cêkak ............................................................ 33
Gambar: 9 Contoh baju sikêpan agêng ........................................................... 33
Gambar: 10 Baju takwä ................................................................................... 34
Gambar: 11 Bentuk baju takwä ...................................................................... 34
Gambar: 12 Contoh sinjang/jarit .................................................................... 38
Gambar: 13 Contoh kampühan ........................................................................ 39
Gambar: 14 Kampüh alas-alasan .................................................................... 41
Gambar: 15 Kampüh blumbangan .................................................................. 41
Gambar: 16 Celana cindhè berbahan sutera asli ............................................. 42
Gambar: 17 Berbagai macam motif sabuk ....................................................... 43
Gambar: 18 Timang dan lêrêp.......................................................................... 45
Gambar: 19 Bentuk èpèk ................................................................................. 45
Gambar: 20 Bentuk keris ladrang dan gayaman ............................................. 47
Gambar: 21 Bentuk wilahan keris, lêrês dan lük ............................................. 47
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiv
Gambar: 22 Bagian-bagian keris ...................................................................... 48
Gambar: 23 Berbagai macam posisi penyelipan keris ..................................... 49
Gambar: 24 Bentuk sêlop ................................................................................. 49
Gambar: 25 Para abdi dalêm memakai busana Jawi padintênan sowan keraton 50
Gambar: 26 Letak bagian busana Paku Buwono XIII tahun 2005................... 86
Gambar: 27 Warna kain ................................................................................... 88
Gambar: 28 Bentuk detail ornamen lung ......................................................... 88
Gambar: 29 Detail motif .................................................................................. 89
Gambar: 30 Motif sabuk yang mendekati bentuk bunga (puspita) ................. 93
Gambar: 31 Motif tirtä tèja pada sabuk Paku Buwono XIII ........................... 93
Gambar: 32 Ilustrasi motif sabuk tirta tèja ...................................................... 93
Gambar: 33 Èpèk Paku Buwono XIII .............................................................. 94
Gambar: 34 Keris gayaman .............................................................................. 95
Gambar: 35 Bentuk sêlop ................................................................................. 96
Gambar: 36 Bros berbentuk bunga mawar ...................................................... 97
Gambar: 37 Kalüng ulür .................................................................................. 98
Gambar: 38 Letak bagian busana tahun 2006 .................................................. 116
Gambar: 39 Warna kain pada baju takwä ........................................................ 118
Gambar: 40 Unsur motif parang barong ......................................................... 119
Gambar: 41 Bentuk bros makutho bertulis PB X ............................................. 120
Gambar: 42 Batik parang barong PB XII pada upacara Tingalan
Jumênêngandalêm. ........................................................................................... 124
Gambar: 43 Letak bagian busana tahun 2007 .................................................. 128
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xv
Gambar: 44 Warna kain pada baju takwä ........................................................ 129
Gambar: 45 Letak bagian busana tahun 2008 .................................................. 133
Gambar: 46 Warna kain pada baju takwä tahun 2008 ..................................... 134
Gambar: 47 Bentuk dan letak busana............................................................... 138
Gambar: 48 Warna kain pada baju takwä ........................................................ 139
Gambar: 49 Bentuk dan letak busana.............................................................. 142
Gambar: 50 Warna kain pada baju takwä tahun 2010 ..................................... 143
Gambar: 51 Perbandingan ukuran dan bentuk motif parang barong .............. 144
Gambar: 52 Bentuk keris ladrang dan cara pemakaiannya ............................. 145
Gambar: 53 Bentuk dan letak rincian busana ................................................. 149
Gambar: 54 Warna kain ................................................................................... 151
Gambar: 55 Bentuk dhampar ........................................................................... 169
Gambar: 56 Paku Buwono XII dengan busana kebesarannya ......................... 169
Gambar: 57 Paku Buwono X dengan busana kebesarannya ............................ 170
Gambar: 58 Paku Buwono XI dengan busana kebesarannya........................... 170
Gambar: 59 Paku Buwono IX dengan busana takwä-nya ................................ 171
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xvi
ABSTRAK
Pasca wafatnya Paku Buwono XII (2004) tahta kerajaan diwarisi oleh
putra tertuanya KGPH. Hangabei, ia dinobatkan sebagai Paku Buwono XIII
pada Jumat Kliwon 10 September 2004. Dalam proses realisasi eksistensinya
sebagai penerus tahta kerajaan, Paku Buwono XIII memiliki sikap tertentu
yang nampak pada atribut kebesarannya yang digunakan setiap upacara
terpentingnya, yaitu upacara Tingalan Jumênêngandalêm. Penelitian ini
diarahkan pada makna simbolis busana yang digunakan Paku Buwono XIII
pada upacara tersebut selama 7 periode (2005-2011).
Teori pedekatan yang digunakan adalah hermeneutik, dengan bentuk
penelitian deskriptif kualitatif. Teori hermeneutik digunakan untuk membedah
makna simbolis busana Paku Buwono XIII pada upacara Tingalan
Jumênêngandalêm 2005-2011. Untuk kegiatan analisis diperlukan data yang
bersangkutan dengan lingkup busana tradisi keraton Surakarta, sejarah, dan
latar belakang kebudayaannya.
Hasil penelitian ini diperoleh bahwa Busana Paku Buwono XIII pada
upacara Tingalan Jumênêngandalêm tahun 2005-2011 merupakan bentuk
simbolis yang mengungkapkan kemuliaan dan pemuliaan seorang raja.Dalam
penelitian ini juga ditemukan penggunaan atribut yang selalu berbeda setiap
tahunnya, sehingga nampak adanya pergerakan makna simbolis dari tahun-
ketahun. Pergerakan makna simbolis tersebut menunjukkan adanya esensi
busana Paku Buwono XIII dari tahun 2005-2011 yang sarat dengan
eksistensinya sebagai raja keraton Surakarta
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Busana merupakan salah satu aspek terpenting yang mencakup
kebutuhan dalam realitas kehidupan manusia. Dalam merealisasikan dirinya,
manusia merepresentasikan busana sebagai wujud simbol yang mempunyai
fungsi sosial, sehingga memberi identitas dan citra berbeda antara individu
satu dengan individu yang lainnya, atau kelompok satu dengan kelompok
yang lainnya. Maka busana berpredikat sebagai jembatan penghubung antara
latar belakang individu dengan lingkup sosialnya. Misalkan, ketika Paku
Buwono XII yang berbusana ala musisi rock saat upacara jumenêngandalêm
maka hal tersebut sangat tidak mencerminkan seorang raja di keraton
Surakarta. Berbusana dengan gaya musisi rock saat jumenêngandalêm
merupakan bentuk pernyataan lain sebagai cara berbusana yang tidak
termasuk dalam lingkup kebudayaan keraton Surakarta. F.W. Dilliston
mengatakan dalam bukunya The Power Of Symbols, bahwa, busana telah
terkait erat dengan jati diri (identitas, kepribadian) nasional, dengan struktur
kelas dan kualifikasi profesional, dengan konvensi masa tertentu dan dengan
pertunjukan dan perayaan kesenian. Pakaian merupakan simbol berkehidupan
manusia yang mempunyai kaitan luas dengan latar belakang kehidupan
manusia.(Dillistone, 2002:60).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
Gaya busana dalam kehidupan sosial keraton Surakarta, merupakan
salah satu aspek terpenting yang terkait dengan setatus sosial. Hal tersebut
sebagai petunjuk tata cara lain seperti kesopanan, kehormatan, unggah
unggüh, dan lain sebagainya, sehingga dapat dengan mudah diterapkan dan
disesuaikan. Busana yang terkait dengan aspek hirarki sosial tersebut
dinyatakan dengan simbol-simbol tertentu yang menunjukkan tinggi
rendahnya derajat sosial di keraton Surakarta. Simbol-simbol dalam busana
tradisi keraton Surakarta tidak hanya berhenti pada penandaan aspek hirarki
sosial, namun simbol-simbol tersebut memiliki latar belakang budaya Jawa,
sehingga makna-makna simbol yang dinyatakan dalam gaya busana
Surakarta relevan dengan kebudayaannya. Relevansi antara gaya busana dan
simbol-simbolnya merupakan kesatuan yang mencerminkan identitas lokal
busana Jawa gaya Surakarta.
Gaya busana yang digunakan keraton Surakarta sekitar pertengahan
abad ke 18, mengalami revolusi besar. Proses revolusi tersebut terjadi pada
sekitar masa kepemimpinan Paku Buwono III dan IV. Gaya busana sebelum
masa itu adalah gaya busana yang digunakan sejak keraton Mataram pertama
(abad 16) sampai keraton Kartasura. Pasca perpindahan keraton (1745) dari
Kartasura ke Surakarta, terjadi pemberontakan oleh KP Mangkubumi.
Sehingga pada 1755 keraton dibagi menjadi dua yaitu wilayah Surakarta
yang diperintah oleh Paku Buwono III dan wilayah Ngayogyakarta yang
diberikan kepada KP Mangkubumi (Hamengku Buwono I). Semenjak
terbaginya wilayah Mataram, segala isèn-isèn kêprabön berupa pusaka,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
gamêlan, titihan kereta, tandhu, dan busana corak Mataram dikehendaki KP
Mangkubumi dibawa ke Yogyakarta. Sebelum Paku Buwono II wafat (20
November 1749), beliau berwasiat kepada putranya (Paku Buwono III),
bahwa “Mbèsok mênowo pamanmu Mangkubumi hangêrsaakè agêman,
paringänä” Artinya, kelak apabila pamanmu Mangkubumi menginginkan
busana, berikan saja. Semenjak busana Mataram dibawa ke Yogyakarta, Paku
Buwono III membuat busana sendiri dengan gaya Surakarta (Honggopuro,
2002:08).
Gaya busana yang tercipta tersebut adalah baju kröwök, (atèlah,
bêskap, sikêpan alit, sikêpan agêng, takwä), udhêng, dan motif-motif batik
tertentu, yang hingga kini digunakan dalam setiap upacara tradisi keraton
Surakarta. Busana tersebut tidak dikenakan secara sembarangan, namun
penggunaannya disesuaikan dengan tatanan budaya dan tradisi yang ada.
Aspek hirarki merupakan salah satu dasar tatanan yang berlaku di keraton
Surakarta, maka dari itu kedudukan raja merupakan penghormatan tertinggi
dalam etika dan berperilaku. Seperti yang dikatakan Darsiti Soeratman,
bahwa Bagi raja atau penguasa lainnya, upacara adat, etiket (termasuk
didalamnya adalah busana) merupakan alat yang dipakai untuk membuat
jarak dengan orang yang lebih rendah derajatnya (Soeratman, 2000:124).
Busana raja merupakan salah satu bentuk produk budaya yang
diagungkan di keraton Surakarta. Larangan pemakaian busana tertentu, (saat
keraton Surakarta masih berfungsi sebagai pusat pemerintahan)
menempatkan busana raja sebagai atribut bernilai eksklusif. Hal tersebut
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
menunjukkan bahwa, busana raja merupakan atribut khusus yang tidak dapat
dijangkau orang lain dalam tingakatan sosial dibawahnya. Busana raja
merupakan penggambaran dari citra, nilai, dan predikat seorang raja dalam
tingkatan sosialnya, maka dari itu busana raja dianggap sebagai bagian dari
pengagungannya. Sesuatu yang menjadi milik raja dan dekat dengan raja saja
maka akan sangat diagungkan, karena merupakan suatu bagian dari prinsip
pengkultusan raja sebagai manusia yang memiliki kelebihan (Dharsono,
2007:75).
Raja di keraton Surakarta memiliki peranan sebagai kepala
pemerintahan sekaligus sebagai wakil Tuhan (khälifatulläh, panätägämä),
oleh sebab itu raja adalah individu yang dianggap masyarakat Jawa sebagai
sosok yang paling diagungkan. Bahkan, pada masa-masa kejayaan keraton
Surakarta, raja merupakan motivator kultural, sebagaimana yang dikatakan
Dharsono (2007:75) bahwa perekayasaan kultural terhadap batik oleh raja
(birokrat kerajaan), mengangkat batik istana sedikit banyak memberikan
aspirasi masyarakat dalam memandang dan berwawasan terhadap batik.
Tahun 1945 keraton Surakarta telah menjadi bagian dari Negara
Kesatuan Republik Indonesia, sejak saat itu pula keraton Surakarta tidak
berfungsi sebagai pusat pemerintahan. Keraton Surakarta yang masih dapat
disaksikan saat ini, fungsinya telah bertransformasi sebagai institusi budaya,
oleh karena itu segala bentuk kebudayaan tradisi yang ada harus tetap dijaga
dan dilestarikan dengan baik, termasuk busana sebagai produk budayanya.
Paku Buwono XIII adalah raja yang bertahta di keraton Surakarta pada era ini
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
yang masih dapat diketahui keberadaannya dan peranan-peranannya, ia
dinobatkan pada 10 September 2004 sebagai penerus tahta mendiang Paku
Buwono XII. Dalam proses realisasi eksistensinya sebagai penerus tahta
kerajaan, sangat dimungkinkan bahwa Paku Buwono XIII memiliki sikap
tertentu dalam tahtanya. Hal tersebut akan sangat nampak pada atribut
kebesarannya yang digunakan dalam upacara terpenting menyangkut
kedudukannya sebagai raja, yaitu upacara Tingalan Jumênêngandalêm.
Setiap upacara Tingalan Jumênêngandalêm Paku Buwono XIII yang selama
ini (2005-2011) dilaksanakan masih menjadi perhatian bagi masyarakat luar
Surakarta, seperti tamu-tamu yang hadir meliputi para petinggi politik,
selebriti, dan wakil negara-negara sahabat. Oleh karena itu, upacara Tingalan
Jumênêngandalêm Paku Buwono XIII sejak tahun 2005 hingga 2011
merupakan tanda bahwa dirinya masih eksis bertahta sebagai raja. Busana
Paku Buwono XIII pada upacara terpenting tersebut merupakan objek
material yang dapat menunjukkan peranan individunya sebagai pewaris dan
penerus tahta, yang semestinya memuat predikat sebagai, pemangku adat,
pelestari budaya, motivator budaya, dan sebagainya. Konsep busana Paku
Buwono XIII pada upacara Tingalan Jumênêngandalêm merupakan modal
simbolisnya. Sehingga makna yang muncul merupakan muatan dari esensi
Busana Paku Buwono XIII pada upacara Tingalan Jumênêngandalêm periode
2005-2011.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
B. Batasan Masalah
Paku Buwono XIII merupakan gelar raja keraton Surakarta pasca
mangkatnya Paku Buwono XII. Dalam pandangan masyarakat dan media
informasi, gelar Paku Buwono XIII diakui oleh dua orang Pangeran Harya,
yaitu KGPH. Hangabei dan KGPH. Tejowulan. Pada penelitian busana Paku
Buwono XIII ini terfokus pada Hangabei. Pertimbangan ini dipilih
berdasarkan situs keraton Kasunanan Surakarta yang menjadi lokasi Paku
Buwono XIII (Hangabei) dalam melaksanakan seluruh kegiatan adatnya.
Berbeda dengan Tejowulan yang memiliki keraton sendiri di Jl. Slamet
Riyadi, yaitu keraton Wuryaningratan. Pertimbangan tersebut didasari dari
eksistensi keraton sendiri yang telah disepakati masyarakat sebagai cagar
budaya peninggalan kerajaan Mataram Islam beserta upacara-upacara
tradisinya. Karaton Surakarta dalam kondisi terkini menjadi rujukan para
wisatawan domestik maupun manca negara.
C. Rumusan Masalah
1. Bagaimana bentuk busana Paku Buwono XIII pada upacara Tingalan
Jumênêngandalêm periode 2005 sampai 2011 ?
2. Apakah konsep busana Paku Buwono XIII pada upacara Tingalan
Jumênêngandalêm periode 2005 sampai 2011 ?
3. Apakah makna simbolis yang terdapat pada busana Paku Buwono XIII
pada upacara Tingalan Jumênêngandalêm periode 2005 sampai 2011 ?
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
D. Tujuan Penelitian
1. Memaparkan bentuk busana Paku Buwono XIII pada upacara Tingalan
Jumênêngandalêm periode 2005 sampai 2011.
2. Menggali konsep busana Paku Buwono XIII pada upacara Tingalan
Jumênêngandalêm periode 2005 sampai 2011.
3. Mengungkap makna simbolis yang terdapat pada busana Paku Buwono
XIII pada Tingalan Jumênêngandalêm periode 2005 sampai 2011.
E. Manfaat Penelitian
Bila penelitian ini terlaksana dengan baik sesuai dengan tujuan yang
direncanakan, maka penulis berharap hasil penelitian nantinya berguna dan
bermanfaat. Beberapa hal yang diharapkan diantaranya:
1. Pandangan ilmiah dengan lingkup historis mengenai gagasan busana
klasik Jawa gaya Surakarta akan memberi tambahan pengetahuan kepada
kalangan mahasiswa Tekstil baik praktis maupun teoritis yang inovatif dan
optimal bagi praktek cita, cipta, kerja karya atau penelitian kualitatif dunia
tekstil.
2. Sebagai pandangan pada Jurusan Kriya Tekstil mengenai pentingnya riset
busana warisan leluhur sebagai peran setrategis
3. Memberi sumbangan pemikiran kepada pihak keraton Surakarta yang
berperan sebagai institusi budaya, sehingga berguna bagi pengembangan
kebudayaan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
4. Merangsang terhadap adanya pengembangan penelitian ilmiah lainnya
pada masa yang akan datang, sehingga lebih banyak lagi konsep-konsep
gagasan dalam dunia tekstil dan berguna bagi masyarakat.
5. Meningkatkan kepekaan penulis pada bidang busana dalam kaitannya
dengan kekayaan budaya tradisi Indonesia.
F. Sistematika Penulisan
Bab I merupakan pendahuluan berisi latar belakang, rumusan
masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab II berisi kajian teori yang meliputi pengertian busana, busana dan
lingkup sosial budaya, busana dalam kebudayaan keraton Surakarta, sejarah
busana Jawa gaya Surakarta, dan busana keraton Surakarta. Adapun kajian
teori diluar lingkup busana mencakup, pandangan hidup orang Jawa, upacara
tradisi keraton Surakarta, Tingalan Jumênêngandalêm, landasan teori dan
bagan kerangka fikir.
Bab III berisi metodologi penelitian, meliputi lokasi penelitian busana
Paku Buwono XIII pada upacara Tingalan Jumênêngandalêm periode 2005-
2011. Sesuai permasalahan yang muncul maka bentuk penelitiannya adalah
Hermeneutik (penafsiran). Sumber data berasal dari dokumen, arsip, dan
informan. Teknik pengumpulan data melalui content analysis, wawancara,
perekaman, dan dimantapkan memalui teknik trianggulasi data sebagai
validitas datanya. Analisis data dilakukan melalui reduksi data, sajian data,
dan verfikasi data yang mencakup model analisis interaktif.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
Bab IV berisi hasil pengumpulan data dan analisis data tentang kajian
bentuk busana, alasan berbusana, dan makna simbolik busana Paku Buwono
XIII pada upacara Tingalan Jumênêngandalêm periode 2005-2011.
Bab V berisi kesimpulan dan saran sebagai upaya menjawab tujuan
penelitian busana Paku Buwono XIII pada upacara Tingalan
Jumênêngandalêm periode 2005-2011.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
KAJIAN PUSTAKA
A. Busana
Arti busana yang biasa disamakan dengan pakaian, sebetulnya
mempunyai makna yang berbeda. Pengertian yang kurang tepat ini telah
populer dikalangan masyarakat sehingga menjadi pemahaman yang ideal.
Pemahaman mengenai pengertian busana ini dapat lebih jelas dengan
merubah dahulu kata busana tersebut menjadi kata kerja berbusana, dari kata
kerja yang terbentuk dari kata busana tersebut dapat diartikan sebagai
menggunakan pakaian untuk diri sendiri, dengan perhatian pada efek yang
ditimbulkan, dalam hubungannya dengan dandanan dan perhiasan (Barnard,
2006:14) atau dapat pula dikatakan bahwa dalam kata berbusana, nuansa
berdandan atau berhias dari proses penggunaan pakaian menjadi muncul.
Penjelasan Barnard merupakan rekonstruksi pemahaman masyarakat yang
berjalan rancu, sehingga pemahaman yang berkembang justru mengaburkan
pengertian pakaian dan busana. Hal tersebut akan lebih jelas ketika fungsi
dari kedua pemahaman tersebut dipaparkan. Fungsi pakaian dan busana
mempunyai perbedaan mendasar, jika pakaian mempunyai fungsi biologis,
yakni sebagai pelindung tubuh sedangkan busana mempunyai fungsi sosial,
yakni sebagai bagian dari tata cara berinteraksi atau bergaul dalam lingkup
sosial. (Hoed, 2008:161)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
Beni Hood Dalam buku Semiotik Dalam Dinamika Sosial Budaya
(Hoed, 2008: 162) menjelaskan pendapat Peirce bahwa busana adalah
representamen dari beberapa kemungkinan obyek yang mewakili pengertian
kesantaian, keresmian, religiusitas, sensualitas, komersialisasi, dan banyak
lagi, sehingga memperoleh kemungkinan interpretan (penafsiran secara
individual, terutama sosial, yang dilatari oleh kebudayaan penafsir). Pendapat
Peirce mengenai busana, sebenarnya memberi penjelasan tentang nilai,
makna dan citra yang terbangun oleh busana.
Ratih Poeradisastra (2002:08) menjelaskan bahwa busana dapat
mengenalkan tentang pribadi seseorang tanpa orang lain mengenalnya, itu
karena busana dapat mencerminkan keribadian, pekerjaan, dan status
seseorang. Citra seseorang antara lain memang dipengaruhi oleh busananya.
Menurut ratih 76% orang menilai seseorang dari penampilan, dan 59% orang
berpendapat bahwa busana mencerminkan status sosial. Penelitian penelitian
di Amerika membuktikan 55% kesan pertama dipengaruhi oleh penampilan
visual. Visual bias berupa, rambut, busan ekspresi dan gerak tubuh. Selain itu
38% dipengaruhi faktor verbal, seperti nada bicara dan suara, dan 7%
dipengaruhi isi pembicaraan.
Pakaian merupakan sebuah benda yang digunakan manusia untuk
menutup tubuhnya, yang hanya terbatas pada sifat kebendaannya. Jika
menelusuri pendapat Beny H. Hoed pada bagian akhir paragraf pertama,
halaman 10, maka pakaian lebih mendalamkan artiannya pada sifat bendanya
karena unsur kebutuhan biologis. Pakaian hanyalah sebuah benda yang dapat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
disebut pula sebagai alat. Misalnya seperti celana jeans, kemeja, kaos, dress,
tang top, rok, dll.
Cukup jelaslah perbedaan antara busana dan pakaian, kejelasan ini
tampak dari melekatnya pakaian pada tubuh seseorang yang memberi citra
tertentu. Sedangkan pakaian adalah benda yang dibutuhkan manusia sebagai
penutup tubuh.
1. Busana dalam Lingkup Sosial Budaya
Budaya merupakan wujud dari perilaku manusia. Perilaku
manusia meliputi olah fikir, cara pandang, kreatifitas,
komunikasi/interaksi dll, yang didasari dari sifat budi manusia dan
daya sebagai sumber aktifitas manusia oleh ilmu pengetahuan.
Perilaku manusia menghasilkan hasil-hasil karya budaya, yang secara
aksiologi memberikan nila-nilai tertentu pada hakekat budaya dan
pelaku budaya. Budaya mempunyai sistem koherensi sehingga
budaya dapat membentuk perilaku, nilai dan pola fikir manusia,
begitupula dengan manusia sebagai pelaku budaya dengan segala
aktifitasnya menghasilkan sebuah budaya. Hal tersebut diperjelas oleh
Budiono Kusumohamidjodjo dalam bukunya Filsafat Kebudayaan,
bahwa budaya merupakan hasil kreasi dan perjuangan manusia dalam
rangka merealisasikan dirinya. Dalam rangka realisasi diri itu dia
berjuang untuk melepaskan diri dari keterbatasan biologis yang
dikenakan alam atas dirinya, sembari mencari puncak pembebasan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
dirinya dalam suatu proses idealisasi dialektis yang seringkali tanpa
sadar hendak dia kendalikan juga. (Kusumohamidjojo, 2009: 46)
Budaya juga merupakan cara manusia menyesuaikan diri
dengan lingkungannya. Interaksi kepada lingkungan tampaknya
menjadi kunci penyesuaian diri manusia dengan lingkungannya,
sehingga terbentuklah kerjasama antara manusia dan lingkungan,
dengan serta merta manusia akan memahami lingkungannya karena
manusia mempunyai kebutuhan-kebutuhan yang harus dipenuhi, baik
kebutuhan primer, sekunder maupun tertier, dan tentunya didasari
oleh ilmu pengetahuan manusianya.
Busana adalah salah satu kebutuhan hidup manusia, yang
digunakan sebagai penutup dan pelindung tubuh. Diluar jangkauan
kerangka dasar fungsi biologis tersebut busana merupakan sebuah
persimbolan atau pertanda yang dapat membedakan dirinya dengan
hewan. Pada lingkup sosial ini busana dapat menunjukkan sebuah
identitas suatu bangsa maupun individu. Setiap busana yang
dikenakan dipandang sebagai tanda. Dalam semiotik struktural
(Bartes) busana adalah penanda yang mempunyai pertanda, yakni
makna tertentu. Makna ini kemudian berkembang menjadi konotasi
berdasarkan latar budaya pemberi konotasi. Jika konotasi berlanjut
selama beberapa waktu akan terbentuk mitos yang akan dapat
berlanjut menjadi ideologi. Busana merupakan salah satu bagian dari
rambu dalam berinteraksi atau bergaul dilingkungan sosial, hal ini
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
lebih berkaitan dengan kepantasan dan kesopanan. Pada umumnya
disetiap masyaraka terdapat tradisi berbusana, karenanya muncul
penggunaan jenis busana tertentu yang tetapkan untuk kesempatan
acara tertentu. Hal tersebut lebih berkaitan dengan hal interaksi yang
sebenarnya sangat bergantung pada jenis busana tertentu.
Ketergantungan tersebut merupakan akibat dari sistem tanda yang ada
pada busana, sedangkan pertanda atau simbol yang ada pada busana
memiliki berbagai macam ideologi yang didasari oleh ruh setiap
budaya bangsa manusia, karena setiap kebudayaan suatu bangsa
mempunyai perbedaan dalam merealisasikan dirinya.
(Hoed,2008:161-162)
Busana dalam kerangka sosial budaya merupakan bentuk
komunikasi. Busana dalam lingkup ini telah sama sekali keluar dari
sifatnya yang biologis, namun sifat sosialnya-lah yang lebih
terungkap. Di Amerika Serikat pakaian dapat digunakan untuk
menampilkan status ekonomi, pendidikan, status sosial, standar moral,
kemampuan atletik, ketertarikan, sistem kepercayaan (politik, filosofi,
agama), dan tingkat kepuasan. Busana juga menjadi tanda identifikasi
kelompok karena cara berbusana menyatakan kepada orang lain suatu
hal mengenai identitas mereka. Dapat diamati dalam sebuah
kebudayaan di Irak yang bersinggungan dengan busana, laki-laki Irak
yang menggunakan kopiah berwarna putih menandakan bahwa orang
yang mengenakan kopiah tersebut belum melaksanakan ibadah haji ke
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
Mekah. Hal ini menjelaskan bahwa busana memberi tanda mengenai
pandangan suatu budaya, hubungan antara nilai budaya dan pakaian
seperti contoh diatas juga dapat diamati diberbagai kebudayaan
bangsa-bangsa dunia. (Samovar, Porter, McDaniel, 2010 : 302-303)
Busana yang merupakan bentuk penghubung antara individu
dengan latar belakang sosial budayanya adalah olah fikir serta budi
daya manusia. Kebudayaan juga merupakan kaitan erat yang yang tak
terpisah dengan busana. Manusia dengan busananya membangun
nilai-nilai tertentu yang melibatkan konsekuensi sosial dalam pranata
kebudayaan. Terbangunnya nilai-nilai tertentu pada busan sangat
dipengaruhi sifat subjektifitasnya yang merupakan aspek kuat
pengilhaman gaya busana tertentu. Sehingga konsepsi-konsepsi
kebudayaan suatu bangsa termuat pada gaya busana yang telah
dimiliki suatu bangsa tersebut. Salah satu yang dapat dijadikan
penanda untuk bisa berkomunikasi dengan baik adalah atribut atau
busana. Dari busana yang dikenakan akan dapat diketahui derajat,
pangkat, kedudukan seseorang dalal hierarki. Karenanya, seseorang
akan bisa bersikap tepat dan melakukan komunikasi yang efektif dan
pantas sesuai etika serta norma yang telah ditetapkan. Seseorang akan
tidak ragu-ragu berinteraksi aktif, karena ia dapat memilih tingkat
tutur bahasa yang sesuai dengan hierarki lawan bicaranya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
2. Busana Dalam Kebudayaan Keraton Surakarta
Ajining dhiri säkä lati, ajining rägä säkä busänä, mengajarkan
bahwa penghargaan atas diri seseorang berdasarkan aspek lahiriah
dan batiniah secara seimbang. Budaya Jawa mengajarkan pedoman-
pedoman cara berbusana yang benar sesuai situasi dan kondisi.
(Purwadi,2007:01)
Menurut bait yang dikutip mengenai peristiwa Têdhak Loji
Pakubuwana VI, ketika melakukan seremonial ini dia berpakaian cara
Belanda. Walau pilihan pakaian Raja kemungkinan besar dilakukan
meniru sikap Pakubuwana III, tetapi ini, barangkali, menggambarkan
adanya suatu kepatutan dengan maksud perjalanan ini suatu
pertemuan dengan pejabat-pejabat Belanda. Namun dalam
kesempatan-kesempatn lain, Paku Buwono VI memilih gaya busana
Jawa.
Tahun-tahun sejak kesediaan Paku Buwono III (dan penolakan
Paku Buwono IV) memakai pakaian Belanda, telah diketemukan
suatu pilihan lain dalam gaya berpakaian. Tidak lagi alternatif
konseptual dalam pakaian Belanda diekspresikan hanya dalam
kerangka terbatas jenis-jenis batik sebagaimana dalam 1870-an ketika
Mangkunegara I sesuai dengan karakternya berdiri teguh pada
perkawinan putra mahkota dan mengenakan kampüh. Tetapi dalam
oposisi konstratif terhadap cara Belanda (cärä Walandi) muncul suatu
tokoh kultural umum yang sangat berarti yaitu cärä Jawi: mode Jawa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
atau lebih tepat, Gaya Jawa. Pembedaan Jawa/Belanda ini ditonjolkan
oleh pilihan pakaian raja, tergantung pada cara, suatu istilah yang
dalam penggunaan sehari-hari (baik sekarang maupun dulu, menurut
yang mengetahui) hanya mengacu kepada suatu cara atau sikap
melakukan sesuatu. Satu orang, misalnya, menyiangi kebunnya,
mendengkur di malam hari, atau menyapa tetangganya dengan
caranya sendiri, orang lain dengan caranya sendiri pula. Sebagaimana
bisa dibayangkan, meskipun mengandung arti yang lugas itu, cara
dengan mudah bisa diartikan sebagai gaya dan bahkan sebagai adat.
Kecenderungan cara untuk pembekuan arti ini tentu saja, terikat pada
suatu sejarah pergeseran epistemologis yang lebih luas dan
munculnya suatu bentuk refleksivitas khusus, yang memberikan suatu
perasaan adanya budaya. Namun dalam konteks babad-babad
Surakarta abad kesembilan belas, istilah cara secara konvensional
dalam kombinasi dengan Belanda atau Jawa berarti pakaian. Seakan-
akan untuk maksud maksud seremonial, seluruh dunia perbedaan
antara cara-cara Belanda dan Jawa diringkas menjadi pilihan pakaian,
seakan-akan, apa yang ada dibalik pandangan-pandangan dunia
adalah lemari pakaian. Melalui logika dari hal yang konkret, maka
akar dari adat Jawa, katakana demikian, adalah pakaian.
(Pemberton,1994:82-86)
Kerajaan Surakarta memiliki tradisi pemerintahan yang rumit
dan canggih sesuai dengan tingkat peradaban yang telah dicapai.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
Ketika urusan Negara berkembang semakin kompleks, terjadilah
spesialisasi yang lebih professional. Teritorial yang meluas pun
membuat masalah yang diurus semakin lebar. Pranata pun mencakup
bidang ekonomi, sipil, pertahanan hubungan antar wilayah dan lain
lain. Dalam sistem hierarki birokrasi yang rumit diperlukan suatu
pranata sosial untuk mengatur dan menghindari benturan-benturan
kepentingan. Benturan kepentingan ini memungkinkan adanya konflik
antara individu maupun golongan yang mempunyai kedudukan,
kewajiban, serta hak dan wewenang yang berbeda serta bertingkat.
Kebijakan politik dan budaya serta pranata sosial merupakan
peraturan dan norma diaplikasikan dalam etika. Hal ini dapat ditemui
dalam pengaturan berbusana, bersikap dan berbahasa dengan pilihan
kata yang sesuai dengan tingkat tutur yang tepat, ketika berinteraksi
dan bersosialisasi dilingkungan keraton. Bentuk aplikasi yang lain
adalah atribut-atribut dan corak busana yang dibakukan. (Soedibyo,
2002:110-112) Dari busana yang dikenakan, akan bisa diketahui
dengan tepat derajat, pangkat, kedudukan seseorang, dalam hierarki,
karenanya seseorang akan bisa bersikap tepat dan melakukan
komunikasi yang efektif dan pantas sesuai etika serta norma yang
telah ditetapkan. (Soedibyo, 2002:24)
Kebudayaan keraton Surakarta memiliki peraturan etiket
berbusana yang disandarkan pada tingkat hierarki politiknya yang
berarti menegaskan bahwa kebudayaan Surakarta memiliki sistem
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
menempatkan perihal berbusana pada salah satu aspek pokok
terpenting. Tatacara berbusan keraton Surakarta juga merupakan
aspek pengaturan yang berkaitan dengan adab atau etika berperilaku.
Sehingga jelas bahwa keraton Surakarta sangat menyadari adanya
tatacara berbusana, ini merupakan bentuk kesadaran yang mutlak
terjadi.
Kalinggo Honggopuro menegaskan bahwa dalam pengetrapan
berbusana Jawa hendaknya diselaraskan dengan rasa jiwa budaya,
karena dalam berbusana Jawa tidak hanya sekedan memakai pakaian,
namun terdapat nilai-nilai tatasusila dan kepribadianyang meliputi
lahir dan batin manusia. Seperti dalam sabda SISKS Paku Buwono X,
“nyandang nganggo iku dadyä saränä amêmangün manungsä njäbä
njêro, marmanè pantêsên panganggoniro, trêpan pangêtraping
panganggon, cundükna kêlawan kahananing badanirä, kalungguhan
miwah kapangkatanirä”. Artinya, berbusana itu menjadi syarat
membangun manusia luar dan dalam (lahir batin), maka sesuaikanlah
pakaianmu yang cocok dengan penggunanya, yang serasi dengan
tubuhmu, kedudukan dan pangkatmu. Sabda ini menuntut keserasian
dalam berbusana Jawa dan ketepatan memilih busana yang sesuai
dengan ukuran tubuh maupun kepangkatan yang disandang.
(Honggopuro, 2002:62)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
B. Sejarah Busana Jawa Gaya Surakarta
Sejarah busana keraton Surakarta berdasarkan tulisan Wirastodipuro
(2003), diawali dari adanya gaya busana yang telah sejak dahulu ada. Seperti
yang tertulis berikut :
“Busana kêjawèn punikä asêsumbar saking karaton tanah Jawi
wiwit kinä-makinä, pramila lajêng sampun kalêbêt dados
kabudayaan Jawi. Miturut sujarah keterangan ingkang
mratèlakakên bab agêman nêmbè kawartosakên naliko jaman
karaton Kediri. Kitab saking mäncänagari ingkang misuwun dipun
sêbut “Ling Wa Taita”, kariptä dining Chou Ku Fei ing tahun
1178M, ing mriku nyariosakên kanti jangkêp kamanjênganing
karaton Kediri. Warganè masyarakat Kediri sami manganggè
sinjang ngantos dumugi ngandap jêngku (dhênkul), rambutipun
dipun orè. Dènè räjä ngagêm busana saking suträ, sêpatu wacucal,
sartä mêngagêm rêrênggan sajing jènè (emas). Rikmanipun
kagêlung kaprènahakên saknginggiling mêstaka lan sak
piturutipun. Miturut sujarah, tumprapipun karaton Surakarta
Hadiningrat, busana Jawi ingkang kalêbêt ingkang tilaran jaman
Mäjäpahit, Dêmak, Pajang, Mataram ngantos Kartosuro taksih
dipun lêstantunakên pêngagêmanipun ngatos tahun 1755 M.
Wasono naliko ingkang Jumênêng nata ing karaton Surakarta PB
III, gandeng kalian madêgipun kasultanan ngayogyakarta
(Perjanjian Gianti), hawit saking pinyuwunipun Sri Sultan
Hamêngkubuwono I, SISKS PB III hamaringakên supados busänä
tilaranipun jaman Mojopahit kalawau dipun anggè hangrênggani
karaton kasunanan Ngayogyakarta ingkang sakpunikä dipun
wêstani Sogo Upil. Gandhèng kalian PB III lajêng keparing yäsä
(nganggit) busana Jawi ènggal ingkang karaton Surakarta
Hadiningrat. Busana Jawi anggitan ènggal kalawau awujud atèlah
punapadènè bêskap, ingkang ulêsipun cêmêng, ngèmpèri busana
saking kilènan (Barat).” (Wirastodipuro,2003:03).
Artinya: menurut sejarahnya busana Jawa bersumber dari keraton
tanah Jawa sejak jaman kuno, sehingga dengan demikian sudah masuk dalam
katagori kebudayaan Jawa. Menurut sejarah, keterangan yang menyebutkan
mengenai bab busana baru diketahui ketika jaman keraton Kediri. Buku dari
luar negeri yang terkenal yang disebut Ling Wa Taita, dikarang oleh Chou Ku
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
Fei pada tahun 1178 M, disitu diceritakan dengan jelas kemajuan keraton
Kediri. Penduduk Kediri semuanya memakai Sinjang (Jarit) sampai ke lutut,
rambutnya dibiarkan terurai. Sedangkan rajanya menggunakan busana
berbahan sutera, sepatu kulit, serta memakai perhiasan dari emas. Rambutnya
digulung diatas kepala/mahkota dan sejenisnya. Namun demikian
kebudayaan itu selalu berjalan selaras dengan kemajuan jaman, maka dari itu
kebudayaan busana Jawa juga mengalami perubahan selaras dengan keadaan.
Menurut sejarah keraton Surakarta Hadiningrat, busana Jawa yang termasuk
peninggalan jaman Majapahit, Demak, Pajang, Mataram, sampai Kartasura
masih masih dilestarikan pemakaiannya sampai tahun 1755 M. Ketika
kekuasaan telah dipegang oleh SISKS Paku Buwono III, dan dengan
berdirinya kasultanan Jogjakarta (perjanjian Giyanti) dari permintaan Sri
Sultan Hamengku Buwono I, SISKS Paku Buwono III mempersilahkan
supaya busana tinggalan jaman majapahit tadi dipakai untuk keraton
Kasunanan Yogyakarta yang sampai saat itu disebut Sogo Upil. Bersama
dengan itu, Paku Buwono III berinisiatif membuat pakaian Jawa baru untuk
keraton Surakarta Hadiningrat. Busana Jawa gaya baru tersebut berbentuk
atelah, seperti beskap yang berwarna hitam mirip busana dari barat1.
Kalinggo Honggopuro (2002:05-06) juga menjelaskan sejarah busana
tersebut dengan konflik-konflik yang menyembabkan perubahan/terciptanya
busana gaya Surakarta. Berawal dari pemberontakan Sunan Kuning di
Kartasura (Gègèr Pêcinan) yang berhasil dicegah dengan bantuan pihak
1 Diterjemahkan oleh Andar Putu Wijoyo, 15 Desember 2011.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
Belanda. Pihak Belanda yang merasa ikut berjasa, menginginkan
pembaharuan perjanjian dengan Mataram pada 11 November 1743.
Perjanjian tersebut merugikan pihak Mataram, sehingga sejak itu adik Paku
Buwono II, yaitu Kanjêng Pangeran Mangkubumi semakin tidak senang
terhadap Kompeni. Terlebih lagi ketika campur tangan Belanda semakin
menyolok sejak keraton pindah ke Surakarta, termasuk benteng Vestenberg
yang berada persis didepan keraton. Benteng tersebut salah satunya berfungsi
untuk memata-matai keraton Surakarta.
KP. Mangkubumi kemudian meninggalkan keraton Surakarta dan
bermukim di desa Sukowati, Sragen. Ia membentuk bala tentara untuk
memerangi Surakarta dan tanah-tanah pesisir yang dikuasai Belanda. Tak
hanya itu, KP Mangkubumi juga bergabung dengan Pangeran Sambernyawa
atau pangeran Mangkunegaran (Honggopuro, 2002 : 07).
20 November 1749 M Sri Susuhunan Paku Buwono II wafat dan
digantikan oleh puternya, yang memegang tahta pada 15 Desember 1749 M
dengan gelar Sampèandalêm Ingkang Sinuhün Kanjêng Susuhunan Sènopati
Ing Ngalägä Abdurrähman Sayidin Panätägämä Pakoe Boewono Kaping III.
Setelah sekian lama Kompeni Belanda tidak berhasil mematahkan
perlawanan KP Mangkubumi. Kemudian pihak Belanda mengadakan
perundingan dengan KP Mangkubumi yang berlokasi di desa Giyanti yang
dikenal dengan Perjanjian Giyanti. Perundingan tersebut menghasilkan
kesepakatan bahwa wilayah Mataram dibagi menjadi dua, sebagian dibawah
kekuasaan SISKS Paku Buwono II yang membawahi wilayah Surakarta.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
sedangka KP Mangkubumi membawahi wilayah ngayogyakarta, perundingan
ini terjadi pada tahun 1755 M. Setelah bertahta di Ngayogyakarta
Hadiningrat, KP Mangkubumi bergelar Ngarsadalem Ingkang Sinuhun
Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing Ngalaga Kalifatullah
Abdurrahman Sayidin Panatagama. (Honggopuro, 2002 : 07-08).
Semenjak terbaginya wilayah Mataram tersebut segala isen-isen
keprabon berupa pusaka, gamelan, titihan kereta,tandu/joli/krêmun, juga
dibagi menjadi dua, juga busana corak Mataram dikehendaki KP
Mangkubumi dibawa ke Yogyakarta. Mengenai masalah busana tersebut
sebelumnya telah diwasiatkan oleh Paku Buwono II kepada putranya Paku
Buwono III, sebelum diangkat menjadi raja “mbèsok menäwä pamanmu
Mangkubumi hangêrsakakè agêman, paringänä”. Artinya, apabila pamanmu
Mangkubumi menghendaki busana, berikan saja. Sejak itu busana Mataram
diboyong (dibawa) ke Yogyakarta. Selanjutnya SISKS Paku Buwono III
membuat busana sendiri, yang biasa disebut Gagrak Surakarta (gaya
Surakarta). Termasuk dalam kain batik untuk nyampingan coraknya
mengalami perubahan sesuai busana yang baru. Sejak adanya penyesuaian
dengan busana yang baru, batik Surakarta juga mengalami perkembangan
terhadap corak-corak dan motif-motifnya. (Honggopuro, 2002 : 08-09).
C. Busana Keraton Surakarta
Busana tradisi keraton Surakarta adalah hasil budi daya dan olah cipta
kreatif para nenek moyang. Dengan kedalaman pemahaman akan seni dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
budaya, mereka pun selalu sangat menaruh perhatian terhadap seni berbusana
dalam kaitannya dengan masalah estetika dan etika. (Soedibyo, 2002:24)
Beberapa jenis busana keraton adalah sebagai berikut:
1. Busana Jawi Jangkep
Berbusana dalam pasowanan di keraton Surakarta ada tatanan yang
harus diperhatikan. Tatanan tersebut berdasar pada dhawuhdalêm atau
perintah raja, yaitu berbusana di dalam keraton harus disesuaikan dengan
pangkat yang disandang pemakainya. Untuk busana yang dikenakan oleh
kaum laki-laki di dalam keraton ada dua macam, yaitu busana Jawi
Jangkêp dan busana Kampuhan atau Dodotan. Yang dimaksud dengan
busana Jawi Jangkep adalah busana Jawa yang secara lengkap, yaitu
terdiri dari udhêng, baju krowok, sabük, èpèk, kain bathik, sêtagèn, kêris,
dan sêlop atau cênèla.
a. Udhêng
Udhêng, di dalam masyarakat umum juga disebut dhèstar atau
blangkon. Udhêng ini dikenakan sebagai penutup kepala. Bahan yang
digunakan untuk membuat udhêng adalah jenis kain batik atau kain
cêlupan (Honggopuro, 2002:64). Menurut bentuknya, udhêng dibagi
menjadi dua:
1) Udhêng jèbèhan
Udheng jèbèhan memiliki ciri pada bagian depan tidak ada
kuncung-nya (bentuk sudut meruncing). Bagian belakangnya
trepes atau terlihat tidak menonjol. Dibagian belakang tersebut
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
terdapat bidang berbentuk menyerupai sayap burung yang
mengarah kekanan dan kekiri.
Udhêng ini khusus dipakai untuk para putra dan
sêntänädalêm, mulai yang berpangkat Pangeran Putra yang
bergelar KGPH sampai dengan kerabat yang belum
mempunyai kepangkatan atau yang masih Raden Mas (RM).
2) Udhêng cêkok mondholan
Bagian depannya memiliki kuncüng (bentuk sudut
meruncing). Bagian belakangnya terdapat benjolan elips, dan
diatasnya terdapat bentuk dasi kupu-kupu kecil.
Udhêng ini nama lengkapnya disebut “cêkok mondhol
mawi kuncüng”, diperuntukkan para abdi dalêm dari yang
berpangkat Bupati Riyä Nginggil yang bergelar KRHT ke
bawah. (Wirastodipuro, 2003:23)
Tatanan penggunaan udhêng ini mulai diberlakukan pada saat
Surakarta dalam pemerintahan PakuBuwono IV pada tahun Je 1734
atau 1807 Masehi. Aturan pemakaian udeng ini disesuaikan dengan
kedudukan dan pangkat pemakainya (Honggopuro, 2002:64-67).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
Gambar: 1 Udhêng cêkokmondholan dan
udêng jèbèhan (Wirastodipuro, 2003:23-24)
Gambar: 2 Bagian-bagian udhêng
(Wirastodipuro, 2003:23-25)
Udhêng Cêkokmondholan
Udhêng Jèbèhan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
Selain udhêng masih ada jenis penutup kepala lainnya. Hal ini
diperjelas dalam buku busana keraton Surakarta oleh Mooryati soedibyo
sebagai berikut:
1) Kulük
Kulük berbentuk Tugêl Sêmängkä, terbuat dari beludru hitam
dipakai oleh abdi dalêm käthib. Kulük Mür dipakai oleh bupati, bupati
anom, juga bias dipakai oleh pênèwu mantra ketika menghadap ke
keraton atau tugas harian masuk ke keraton. Diluar keraton dipakai
kulük hitam.
2) Mathak
Mathak adalah tutup kepala, berbentuk seperti kulük makuthä.
Berwarna biru atau putih yang sekaligus membedakan status sosial
pemakainya.
Gambar: 3 Bentuk dan bagian kulük (Wirastodipuro, 2003:29)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
b. Baju Krowok
Baju krowok adalah baju yang bagian belakang sebelah bawah
dibuat krowokan melengkung ke atas. Krowokan tersebut
dipergunakan untuk penempatan keris supaya tampak rapi, tidak
terlipat. Baju krowok di Surakarta ada lima macam jenis, yaitu: Baju
Atèlah, Baju Bêskap, Baju Sikêpan, Baju Takwä, dan Baju
Langênharjan.
1) Baju Atelah
Baju atèlah adalah baju yang kancingnya dari atas ke
bawah persis di tengah-tengah. Di bagian lehernya memakai kênop
atau canthèl. Baju atelah ini terdiri dari dua jenis warna, hitam dan
putih. Warna hitam dipakai pada saat pasowanan resmi, sedangkan
atelah putih dipakai pada saat-saat yang setengah resmi. Aturan
tersebut menyesuaikan dengan dhawuhdalêm. Baju atelah ini
diperuntukkan para abdi dalèm yang berpangkat bupati dengan
gelar Kangjeng Raden Tumenggung (KRT) ke bawah.
(Honggopuro,2002:68)
Gambar: 4 Bentuk baju atèlah
(Wirastodipuro, 2003:37)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
2) Baju Bêskap
Baju Bêskap adalah baju yang kancingnya berada di depan
dan berbentuk tangkepan dari kanan ke kiri. Kancing baju tersebut
tersusun miring dengan kancing paling atas di bagian dada kiri
atas, dan kancing paling bawah di depan perut tengah.
Baju beskap terdiri dari beberapa warna, beskap warna
hitam dipakai oleh para putra dan sêntänä dalêm saja. Sedangkan
bagi abdi dalêm hanya yang berpangkat Bupati Riyä Nginggil yang
bergelar KRHT (Honggopuro,2002:67).
Gambar: 5 Bentuk baju bêskap(Wirastodipuro, 2003:37)
Gambar: 6 Contoh baju bêskap (Soedibyo, 2003:59)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
3) Baju Sikêpan
Bentuk baju sikêpan seperti baju atèlah tetapi kancingnya
hanya merupakan fantasi. Karena pembuatannya sengaja tidak
mengukur kancing yang ditelangkupkan. Jadi baju ini kancingnya
terbuka atau “mblêdhèh”. Baju Sikêpan dipakai dengan
menggunakan “Rangkèpan” (baju dalam) berupa baju berwarna
putih dengan kerah tegak dan kancing atasnya hingga leher. Baju
sikêpan yang dipergunakan di dalam keraton warna dasarnya hanya
hitam. Sedangkan untuk baju krowok sikêpan yang berwarna selain
hitam tidak diperkenankan untuk pasowanan (Honggopuro,
2002:68).
Golongan pangkat yang sudah berhak memakai baju
sikepan ini adalah para putra dan sentanadalem yang sudah
berpangkat Bupati Riyä Nginggil dengan gelar Kangjêng Radèn
Mas Haryo (KRMH) ke atas sampai Pangeran Putra , atau untuk
golongan abdidalêm yang sudah menjadi Bupati Riyä Nginggil
dengan gelar Kangjeng Radèn Haryo Tumenggüng (KRHT) saja.
Gambar: 7 Bentuk baju sikepan
(Wirastodipuro, 2003:38)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
Bagi para abdidalêm yang masih berpangkat bupati ke bawah tidak
diperkenankan memakainya. (Honggopuro,2002:68)
Baju sikêpan ini apabila dipakai dengan busana Jawi
Jangkep disebut sikêpan cêkak. (Honggopuro,2002:68)
Pemakaiannya seperti memakai kain ber-wiron biasa, hanya
bedanya pada busana ini beskapnya tidak tertutup dan
memperlihatkan kutang putih lengkap dangan dasi putih kecil.
Sikêpan cêkak tidak memakai border benang emas.
(Soedibyo,2003:76)
Baju sikêpan kalau dipakai dengan kampuh atau dodotan
disebut sikêpan agêng. Di dalam Kraton Surakarta baju sikepan
dikenakan jika ada dhawuh atau perintah untuk pasowanan-
pasowanan, seperti:
a) Pada saat Pasowanan Agêng Tingalandalêm Jumênêngan yaitu
pasowanan untuk memperingati ulang tahun kenaikan tahta
Ingkang Sinuwun.
b) Pasowanan Grêbêg dalam setahun tiga kali yaitu, grêbêg
Maulud, Grêbêg Päsä, dan grêbêg Besar.
c) Gerebeg Maulüd jatuh pada tanggal 12 Maulüd
(Räbingulawal), dalam rangka memperingati kelahiran Nabi
Muhammad SAW, keraton Surakarta mengeluarkan hajat
dalam gunungan ke Masjid Agung.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
d) Grêbêg Päsä jatuh pada tanggal 1 Syawal, pada hai Raya Idul
Fitri, juga mengeluarkan hajatan dalêm gunungan ke Masjid
Agung.
e) Gerebeg Besar jatuh pada tanggal 10 Besar (Dzulhijah) dalam
memperingati Hari Raya Idul Adha, pada saat hajatdalêm
gunungan ke Masjid Agung. Diluar dari ketentuan yang sudah
ada, baju sikêpan ini tidak dipakai dalam pasowanan di Kraton
pada pasowanan yang lain digunakan adalah baju bêskap.
(Honggopuro,2002:69)
Gambar: 8 Contoh baju Sikêpan
Agêng (Soedibyo, 2003:59)
Gambar: 9 Bentuk baju sikêpan
cêkak (Soedibyo, 2003:96)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
4) Baju Takwa
Baju takwä ini hanya dipergunakan oleh Ingkang Sinuwun
saja. Sebutan takwä dimaksudkan dengan beriman kepada Tuhan.
Baju ini berbentuk seperti bêskap, hanya ujung baju depan bagian
kanan lebih panjang dibanding dengan ujung yang kiri dan
berbentuk lancip atau runcing. Baju takwä memakai bahan dari
jenis beludru halus polos atau berkembang. Di luar kraton baju
takwä sering dipakai untuk busana pengantin pria.
(Honggopuro,2002:69)
Gambar: 11 Bentuk baju takwä
(Wirastodipuro, 2003:39)
Gambar: 10 Baju takwä
(Soedibyo, 2003:113)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
c. Kain Batik
Para penulis buku terdahulu banyak yang menuliskan kata
bathik dengan batik atau huruf yang seharusnya tha ditulis dengan ta.
Di mana batik menurut penulis penulis batik terdahulu diartikan
menurut jarwädösok yaitu ngembat titik atau rambataning titik-titik.
Jarwädhösok tersebut dimaksudkan bahwa batik merupakan
rangkaian dari titik-titik. Dalam budaya Jawa batik tidak dapat
diartikan hanya dengan satu dua kata ataupun padanan kata tanpa
penjelasan lebih lanjut. Karena batik merupakan suatu hasil dari
proses yang panjang mulai dari melukis motif hingga pada akhir
proses babaran. Ciri utama dari batik dipergunakan bahan utama
berupa mori, malam dan pewarna (Honggopuro, 2002 : 1-2). Menurut
Soekamto (1986: 10-12), membatik juga disebut sebagai kegiatan
mengukir bahan pakaian. Batik pada asalnya suatu ungkapan dari rasa
haru dan rasa keindahan maka ia disebut seni batik. Batik dalam
lingkup kebudayaan Mataram Islam Jawa, mengalami perkembangan
sebanyak tiga kali. Awalnya batik berkembang apda masa
Panembahan Senopati, abad 16. Akhir abad 18, batik berkembang lagi
pada era Paku Buwono III dan IV yang sering disebut dengan gagrag
Surakarta. Masa pemerintahan Paku Buwono X kekayaan motif batik
semakin meningkat, karena kelompok-kelompok prajurit kêparak
dikembangkan sehingga motif pakaian yang digunakan juga
berkembang, sehingga setiap kesatuan keprajuritan mempunyai motif
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
batik sendiri-sendiri. Motif batik tersebut harus dipergunakan dengan
tepat pada saat pasowanan-pasowanan di dalam keraton. Tatanan
pemakai motif batik dalam pasowanan di keraton Surakarta adalah
sebagai berikut:
a) Batik Parangrusak
Batik ini dipakai oleh Kangjêng Gusti Pangèran Aryo
Adipati (KGPAA), Pangèran Putra, Pangeran Sêntänä, dan
sêntanadalêm yang berpangkat Bupati Riyä Nginggil yang
bergelar KRMH.
b) Batik Udan Riris
Motif batik ini dipakai oleh pêpatihdalêm. Dari
keterangan Ingkang Sinuhun Paku Buwono XII apabila pêpatih
tersebut masih mênantu dalêm.
c) Batik Rèjèng
Jenis motif batik rèjèng ini dikenakan oleh para
komandan prajurit seperti para kronèl kumendhan, litnan
kronel (letnan kolonel), mayor, serta abdidalêm gandhêk yang
menjadi utusan Ingkang Sinuhun.
d) Batik Tambal Kanoman
Batik kampuh/dodotan para bupati, bupati anom, dan juru
tulis kantor.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
e) Batik Sêmèn Latar Putih
Motif ini dipakai oleh para abdidalem yang berpangkat
bupati, bupati anom dalam dan bupati anom luar.
f) Batik Padhas Gêmpal
Motif batik ini dipakai para abdidalem yang berpngkat
Panewu/Mantri dari golongan Sorogêni (prajurit sorogêni,
yang berseragam merah) ke bawah.
g) Batik Mêdhangan
Motif batik mêdhangan dipakai oleh para Panèwu/Mantri
ke bawah dari golongan Sangkragnyana.
h) Batik Kumithir
Motif batik ini adalah yang digunakan oleh para
Panèwu/Mantri ke bawah dari golongan Kanoman.
i) Batik Tambal Miring
Batik ini dipakai oleh para abdidalêm yang berpangkat
Panèwu/Mantri dari golongan juru tulis.
j) Batik Jamblang
Motif batik jamblang merupakan motif yang dipakai
Panèwu/Mantri ke bawah dari golongan Kadipatèn Anom.
k) Batik Ayam Pusêr
Batik ini dipakai oleh para abdidalem yang berpangkat
Panèwu/Mantri ke bawah dari golongan Yogêswärä atau
Suränätä atau abdidalêm ulama.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
l) Batik Slobog
Batik ini dipakai oleh para abdidalêm yang berpangkat
Panèwu/Mantri ke bawah dari golongan niyägä (penabuh
gamelan).
m) Batik Wora-wari Rumpuk
Batik ini dipakai oleh para abdidalêm yang berpangkat
Panèwu/Mantri ke bawah dari golongan pangrehpraja atau
yang membawahi wilayah.
n) Batik Krambil Secukil
Batik ini dipakai oleh para abdidalem yang berpangkat
Panèwu/Mantri ke bawah yang dibawah perintah Kêpatihan.
o) Kain Lurik Pêrkutut
Kain lurik pêrkutut merupakan kain yang dipergunakan
abdidalêm berpangkat Jajar Priyantäkä.
p) Kain Sindur
Kain yang dipakai oleh para abdidalêm Krisdastäwä atau
Canthangbalung. (Honggopuro, 2002:88-90)
Kain batik berdasarkan gaya pemakaiannya, diterapkan pada
dua cara berbusana, yaitu sinjang/jarit dan kampuh/dodot.
1) Sinjang /jarit
Sinjang adalah bahasa krämä dari jarit, yaitu kain batik yang
ukuran panjangnya 2,25 m hingga 2,50 m degan lebar 1,10 m, yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
terbuat dari bahan mori katun. Pada kedua pinggiran lebar kain
tersebut terdapat sèrèt atau untu walang sebagai pembatas motif
kain. Apabila dipakai, salah satau untu walang tersebut dilipat
kecil yang disebut wiron (Soedibyo, 2003:).
2) Kampüh /dodot
Kampüh atau dodot adalah sehelai kain yang lebar, terdiri
dari dua bagian kain yang disambung memanjang.
(Soedibyo,2003:61) Ditegaskan pula oleh Honggopuro (2002:84),
kampuh atau dodotan adalah busana penutup tubuh bagian bawah
yang lebarnya dua kali ukuran sinjang/jarit dengan panjang 3,75 m
sampai dengan 4 m.
Gambar: 12 Contoh sinjang/jarit
(Soeratman,2003: 97)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
Kampuh yang digunakan di keraton Surakarta mempunyai
dua jenis yaitu kampüh blênggên dan kampüh lugas. Kampüh
blênggên adalah yang pinggirnya memakai gombyok yang terbuat
dari benang lusi dari kain tersebut. Dalam tatanan berbusana di
dalam keraton Surakarta kedua kampüh atau dodot ini dikenakan
dalam pisowanan. Karena motif batik dalam kampüh atau dodot
tersebut menunjukkan tinggi rendahnya golongan. Tatanan dalam
berbusana yang menggunakan motif kain batik sebagai tanda
kepangkatan seperti itu sebenarnya telah ada sejak kerajaan
Mataram masa Sultan Agung Hanyakrakusuma. Pada saat itu motif
batik digunakan sebagai tanda golongan keprajuritan. Tatanan itu
kemudian dikembangkan lagi oleh Paku Buwono IV di Surakarta,
dan disempurnakan oleh Paku Buwono X dengan menambah motif
lain untuk golongan kepangkatan yang dibuthkan kerajaan.
(Honggopuro, 2002:63)
Gambar: 13 Contoh Kampuhan
(Soeratman, 2003:94)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
1) Kampüh Blênggên
Kampüh blênggên mempunyai ciri di sepanjang pinggir
panjangnya dibuat gombyokan (rumbai) dari benang kain yang
dilepas tenunannya (pakan)-nya. Panjang gombyokan ini kurang
lebih 10 cm. motif batik untuk kampuh ini adalah jenis parang-
parangan. Seperti parang rusak, yang dipergunakan oleh raja atau
putra dan kerabatnya. Selain itu juga dipergunakan motif batik
semen latar putih, kain dodot jenis ini dapat dipergunakan oleh
para abdidalêm yang berpangkat Bupati Anom yang bergelar
Raden Tumênggung ke atas.
Kampuh blênggên ini dibagi dua jenis, yaitu kampüh
blênggên memakai blumbangan dan kampüh blênggên lugas. Yang
dimaksud dengan memakai blumbangan adalah pada bagian tengah
kain kampuh terdapat bagian yang tidak di batik (polos) berbentuk
belah ketupat. Bagian polos tersebut bisa berwarna putih, namun
dapat pula berwarna lain sesuai dengan keinginan. Kampüh
blumbangan ini hanya untuk agêmandalem raja dan para putra
kerabat. Sedangkan kampüh blênggên lugas adalah kampüh yang
tidak memakai blumbangan.
2) Kampüh Lugas
Kampüh lugas adalah kampüh yang dipakai untuk golongan
abdidalêm berpangkat pênèwu/mantri ke bawah. Ujung kain
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
kampüh lugas berupa plipitan tanpa gombyokan dan bermotif
sêmèn latar hitam.
Kampüh atau dodotan dalam penggunaannya terdapat 5 cara
pengetrapan. Tata cara pengetrapan kampuh tersebut berdasar pada
tingkat kedudukan dari ornag yang memakainya. Kelima cara
pengetrapan tersebut adalah: grêbongkandhêm, ngumbar kunca,
sampir kuncä, kêpuh sampir, dan kêpuh ukêl (Honggopuro,
2002:48)
d. Celana Cindhè
Celana cindhè adalah celana yang digunakan dalam berbusana
kampuhan. Panjangnya sebatas mata kaki, berbahan sutera, dringin
atau cindhè sekar. (Soedibyo, 2003:79) Celana ini dipakai oleh raja
jika mengenakan busana kebesaran Jawa. Celana tersebut juga dipakai
oleh pangeran putra sêntana, pepatih dalêm, para bupati dan bupati
anom yang memakai sebutan ariyä. Celana untuk bupati anom tanpa
Gambar: 15 kampuh alas-alasan
(Soedibyo,2003:62)
Gambar: 14 kampuh
blumbangan (Soedibyo,2003:62)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
sebutan ariyä harus memakai sorot, kecuali abdi dalêm bupatianom
gandhèk. (Soeratman,2000:473) ada beberapa macam celana cindhè,
yaitu:
1) Celana cindhè gubêg adalah celana cindhè yang motifnya semua
sama, tidak memakai tumpal. Jenis ini dipakai oleh raja, pangeran
dan sentanaadalem yang berpangkat Riyä Nginggil, termasuk para
menantu Raja.
2) Celana cindhè sorot adalah celana dengan motif cindhè tetapi pada
bagian bawah memakai motif tumpal. Ini hanya dipakai untuk para
abdidalêm yang berpangkat Bupati (KRT) dan Bupati Anom (RT)
dan yang sederajat.
3) Celana selain cindhè, celana ini dapat dibuat dari bahan selain
cindhè, ada yang terbuat dari kain bathik halus, dringin, suträ,
kasting, bêludru, limar ataupun sêmbagi. Jenis kain dipakai oleh
para abdidalêm yang berpangkat Bupati Anom (RT) keatas, untuk
busana harian. Sedangkan celana yang terbuat dari bahan laken
dipakai untuk para abdidalêm yang berpangkat Panewu/Mantri dan
Lurah apabila ada pasowanan Agêng. (Honggopuro, 2002:88)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
e. Setagèn
Setagèn disebut juga paningsêt, yang fungsinya untuk
mengencangkan pemakaian kain jarik. Setagèn terbuat dari bahan
tenunan dari benang besar, ukuran setagèn lebar 10 hingga 12 cm
dengan panjang 5 hingga 6 m. (Honggopuro, 2002:73)
f. Sabuk
Sabuk dalam busana Jawa, dipergunakan di pinggang dengan
fungsi sebagai penutup dan pengikat setagèn. Keberadaan sabuk
dipinggang tersebut juga dipergunakan untuk nyêngkêlit atau
menyelipkan keris. Sabuk tersebut terbuat dari bahan kain tenun yang
disebut dringin dan kembangan atau sembagi.selain itu juga bermotif
cindhè dari bahan sutera yang asli dari India.
Gambar: 16 celana cindhè berbahan sutera asli
(Soedibyo, 2003:78)
Gambar: 17 Berbagai macam motif Sabuk (Wirastodipuro,2003:65)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
Ukuran sabuk adalah lebar 15cm dengan panjang 5 sampai
dengan 6 m atau cukup untuk dilingkarkan ke tubuh sampai lima sap.
Cara pemakaian sabuk, dilingkarkan di perut dan pinggang dari kanan
ke kiri mulai dari atas dibuat bersap-sap turun ke bawah sehingga
rapi. (Honggopuro, 2002:71)
g. Èpèk, Timang, dan Lêrêp
Èpèk terbuat dari kain beludru, dahulu ada yang terbuat dari
bahan rambut kuda yang dianyam. Ukuran èpèk berlebar 5,5 cm
dengan panjang 125 cm. Èpèk dipergunakan untuk mengencangkan
sabuk, sehingga èpèk dipakai setelah mengenakan sabuk. Posisi
penggunaan èpèk kurang lebih 3 cm dari pinggir sabuk yang paling
bawah.
Timang, terbuat dari logam, seperti emas, perunggu, perak,
ataupun besi dengan bentuk tipis. Timang berfungsi sebagai pengunci
èpèk supaya tidak kendor atau mêlorot.
Lêrêp, adalah setelan dari timang yang dipergunakan untuk
menutup sisa panjang èpèk saat dipakai. Lêrêp ini terbuat dari logam
yang sejenis dengan timang. Bagi orang yang mampu, baik timang
maupun lêrêp diberi hiasan batu permata, seperti intan atau berlian.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
Ada dua jenis èpèk yang dipergunakan dlam pakaian Jawa,
yaitu:
1) Èpèk Bordir, yaitu èpèk yang dibordir dengan benang emas
berbentuk sêkaran, untu walang, atau modangan. Apabila
dikenakan untuk pasowanan hanya dipakai oleh para putra
dan sentanadalêm.
2) Èpèk Polos, yaitu èpèk tanpa kembangan atau bordiran.
Èpèk ini dipakai oleh para abdidalêm dari Bupati Riyä
Nginggil sampai golongan pangkat yang terendah.
Gambar: 18 timang dan lêrêp (Wirastodipuro,2003:68)
Gambar: 19 Bentuk èpèk
(Purodisastro,2003:68)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
Cara penggunaan sabuk dan èpèk terdapat perpaduan warna
yang dinilai serasi untuk berbusana Jawa. Selain mencerminkan
keserasian perpaduan warna tersebut juga mencerminkan sebuah
watak, untuk itu setiap perpaduan memiliki nama sebutan sendiri-
sendiri.
Perlu diperhatikan bahwa dalam pasowanan keraton abdidalêm yang
berpangkat KRHT (Kangjêng Radèn Haryo Tumênggung) ke bawah
tidak boleh mengenakan èpèk yang memakai kembangan yang
dibordir untu walang atau hiasan-hiasan lainnya. (Honggopuro,
2002:71-73)
h. Keris
Keris dalam bahasa Jawa krama disebut dhuwüng atau
wangkingan, wujudnya senjata tajam yang dimasukkan kedalam
warängkä. Sebagai pelengkap dalam berbusana Jawa sehingga
dikatakan Jawi-Jangkêp. Diselipkan (nyêngkêlit ) dibelakang
punggung dimasukkan ke dalam sabuk pada sap kedua atau ketiga.
Dilihat dari bentuk warängkä, kêris ada dua macam:
1) Ladrangan.
2) Gayaman.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
Terdiri dari beberapa bagian:
a) Ukiran
Ukiran adalah pegangan pada bilahan besi, yang terbuat
dari kayu, biasanya dari: kayu trênggänä, kêmuning, sawo dll.
b) Mèndhak
Mèndhak berfungsi sebagai ganjêl tegaknya ukiran yang
masuk pada besi bilahan. Dapur (tipe) nya bermacam-macam,
seperti: angkup, pandhu, parijotho, bajan, atau widhêngan.
Supaya ukiran tidak lepas diberi karah dari besi (logam) yang
disebut sêlut. Sêlut atau karah dibuat disamping sebagai ganjêl
juga diberi sebagai hiasan. Pada sêlut ini sering diberi hiasan
Gambar: 20 Bentuk keris
Ladrang dan Gayaman
(Wirastodipuro, 2003:74)
Gambar: 21 Bentuk wilahan
keris, Lêrês dan Lük
(Wirastodipuro, 2003:74)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
dengan batu mulia, bertipe seperti jêruk kêprok, tipe oval nama
“jêruk pêcêl” sedang kalau agak pipih dinamakan jêruk sambêl.
(Honggopuro, 2002:75)
c) Warängkä
Warängkä dalam gaya Surakarta ada dua macam:
Ladrangan dan Gayaman, terbuat dari bahan kayu cendana,
trêmbalo, atau timoho. Biasanya dipelitur atau disungging alas-
alasan ada juga yang bermotif modangan.
d) Pèndhok
Pèndhok berwarna kêthêl disungging dipakai para prajurit-
panyuträ, sedang pèndhok-polèng untuk abdidalêm Canthang-
Balung atau Kridhastama.
e) Wilahan
Wilahan yaitu bilahan keris yang tajam terbuat dari besi
khusus, dengan bentuk jêjêg atau lük. (Honggopuro, 2002:76).
Gambar: 22 Bagian-bagian Keris
(Soeranto & Mulyani, 2004:33)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
Adapun macam-macam posisi penyengkelitan keris:
i. Sêlop
Sêlop dalam bahasa halusnya disebut cenèla merupakan
kelengkapan busana yang berfungsi sebagai alas kaki. Namun
demikian dalam tatakrama, jika berada di dalam keraton sêlop dilepas,
sedangkan berada diluar keraton dapat dikenakan. (Honggopuro,
2002:76)
Gambar: 23 Berbagai macam posisi penyelipan keris
(Soeranto & Mulyani, 2004:37)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
j. Busana Jawi Jangkêp Padintênan
Busana Jawi selain Jawi Jangkêp yang dikenakan saat
pasowanan agêng, juga terdapat busana Jawi Jangkêp Padintênan.
Busana Jawi Jangkêp Padintênan adalah busana Jawi Jangkêp untuk
Pasowanan keraton yang bukan pasowanan agêng. Dalam
pasowanan seperti itu untuk kerabat Kraton dan abdi dalêm memakai
busana Jawi Jangkêp Padintênan yaitu dengan bêskap yang bukan
berwarna hitam (Honggopuro,2002:84).
Busana Layadan: busana yang dipergunakan untuk berkabung.
Kelengkapan busana ini adalah bêskap atau atèlah berwarna hitam,
sabuk dan èpèk hitam, serta keris gayaman. Kain batik yang dipakai
antara lain slobog, krambil sacuwil, dan jenis batik latar hitam.
(Honggopuro,2002:84)
Gambar: 24 Bentuk Sêlop (Dok. Pribadi)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
D. Pandangan Hidup Orang Jawa
Pandangan hidup masyarakat Jawa tak dapat dipisahkan terhadap
perkembangandan sistem budayanya. Menurut Dharsono (2007: 29) dalam
bukunya Budaya Nusantara bahwa pendapat Neils Mulder yang berkaitan
dengan perkembangan dan sistem budaya masyarakat bersifat ajeg atau
berkelanjutan. Dharsono menambahkan bahwa hal tersebut selaras dengan
kalimat bahasa Jawa yaitu alon-alon waton kêlakon, sitem kebudayaan orang
Jawa yang menekankan ketenteraman batin. Pandangan lain Dharsono yaitu,
pandangan yang menekankan pada ketenteraman batin, keselarasan dan
keseimbangan, dibarengi dengan sikap nerima terhadap segala peristiwa,
sambil menenempatkan individu dibawah masyarakat dan masyarakat
dibawah alam semesta (hubungan kosmos). Pandangan tersebut memberi
gambaran tentang pandangan masyarakat yang mengacu pada keselarasan
hubungan yang tak terpisahkan antara dirinya, lingkungan (masyarakat),
lingkungan alam semesta, dan hubungannya dengan tuhan. Masyarakat Jawa
mempunyai paugêran (aturan adat), yang mengacu pada ajaran budaya yang
tertulis maupun tak tertulis.
Falsafah Jawa menggambarkan hubungan sistem kehidupan dengan
dua macam jagad, yitu jagad besan (makrokosmos) dan jagad kecil
(mikrokosmos). Makro kosmos adalah jagad besar yang mencakup semua
lingkungan tempat seseorang hidup, sedangkan mikrokosmos adalah diri dan
Gambar: 25 Para abdi dalêm memakai busana Jawi padintênan sowan
keraton
(Honggopuro, 2002:81)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52
batin manusia itu sendiri. Secara vertikal mengatur hubungan antara batin
(mikrokosmos) individu dengan Tuhannya dan secara horizontal mengatur
hubungan atara batin individu (mikrokosmos) dan lingkungan alam semesta
(makrokosmos). Pandangan mikro-meta-makrokosmos pandangan tersebut
tersirat pada ajaran : alam niskala (alam yang tak tampak dan tak terindera),
alam sakala niskala (Terindera tetapi tak terindera) alam sakala (alam wadag
dunia). (Dharsono,2007:29-32)
Masyarakat Jawa mengenal bilangan-bilangan sakral yang merupakan
sebuah penjagaan keseimbangan secara horizontal dan vertikal. Bilangan
tersebut adalah 4(5+1), yang dikenal dengan kèblat papat kêlima pancêr ,
yang juga disebut dengan dunia waktu. Dikenal dengan penggolongan
keempat dimensi ruang, berpola empat mata angin dengan satu pusat.
Bersama-sama berarti keseluruhan, kesatuan dasar dari pertentangan menuju
pengendalian. Bersama berarti keseluruhan adalah kesatuan dasar dari
pertentangan menuju pengendalian, artinya bahwa satu-kesatuan yang terjadi
karena adanya perbedaan, dan perbedaan merupakan dasar dari kekuatan yang
harui diupayakan sebagai satu keseimbangan, keselarasan hidup dengan cara
pengendalian diri. Sikap menggabungkan dua menjadi satu seperti itu, di
lingkungan masyarakat Jawa disebut dengan sinkretisme. Sikap
menggabungkan tersebut dikenal dengan istilah dualisme dwitunggal atau
dualisme monoistis (H.Schoerer) dan Loro-Ironing atunggal, rwa
binneka,kiwo têngên, Bhinnèka Tunggal Ika (Dharsono, 2007:32-33).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53
Pandangan lain yang berkaitan dengan bilangan sakral adalah 9(8+1),
namun dalam pandangan ini memiliki dua ajaran yaitu ajaran Astäginä dan
ajaran Astabrätä. Ajaran Astäginä meyakini sifat baru sebagai paduan dua
sifat pokok. Hal tersebut disimbolkan dalam warna-warna tertentu yang
bersumber dari babad ila-ila, yang menceritakan Begawan abiyasa melihat
keraton dan hatinya terpana ketika akan masuk ke dalam keraton, bersamaan
dengan munculnya warna putih yang mempunyai bermacam-macam warna.
Macam-macam warna yaitu : cêmêng (hitam), abrit (merah), jènè (kuning),
pêthak (putih), biru (biru), ijêm (hijau), wungu (violet), dhadu (merah muda).
Warna-warna tersebut dalam perspektrum merupakan pancaran dari warna
putih atau terang. Alasan inilah maka pada bagian tengah (pancêr)
dilambangkan tanpa warna (kosong), dalam ajaran Jawa kosong sebagai
sahyang tunggal, dalam theologi Hindu disebut sahyang agung. Dewa-dewa
yang menjadi simbol dari empet kiblat/arah, adalah dewa ciptaan sahyang
tunggal/agung yang diberi kuasa sebagai hukum tertinggi dari setiap
arah/bagian tugasnya, adalah simbol dari pancaran cahaya Tuhan (Nurasa)
seperti Dewa agni yang menguasai api, Dewa bayu menguasai angin dan
sebagainya. Sehingga titik centrum mengapa kosong (dilambangkan tidak ada
warna), karena kosong (nol=0) melambangkan kemutlakan Tuhan. Pemujaan-
Nya selalu didahului dengan menempuh tiap-tiap arah dimulai dengan Timur
ke Selatan baru menuju pusat (tengah). Tradisi Jawa dikaitkan dengan hari
pasaran, dimulai dari Lêgi (Timur), Paing (Selatan), Pon (Barat), Wagè
(Utara), dan Kliwon (tengah). (Dharsono, 2007:35-36)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
54
Ajaran Astabrätä memiliki dasar dari kisah Wibisänä ketika hendak
dijadikan raja Alèngka. Ketika Wibisana hendak dijadikan raja Alèngka ia
sangat sedih memikirkan nasib malang kakaknya maka Rama mengatakan
pada dirinya, bahwa Rahwana tidak perlu ditangisi lagi, kere ia meninggal
sebagai pahlawan. Rama menyebutkan bagaimana seorang pemimpin
seharusnya bersikap dan bertindak. Dalam kaitan itulah disebutkan Astäbrätä
yang dijelaskan sebagai delapan perbuatan baik yang tentu didasari
pengalalaman bahwa istilah brätä sebagai bagian kedua, kata majemuk pada
umumnya berartin perbuatan. Misalnya täpäbrätä = perbuatan tapa, akan
tetapi dalam kaitannya dengan ungkapan Astabrata dalam Ramayana kakawin
ini dapat diartikan sebagai sifat baik. Demikian sifat-sifat baik delapan dewa
bersangkutan dinyatakan dengan istilah täpäbrätä. Delapan sifat-sifat baik
tersebut :
1. Dewa Indra, watak angkasa. Keluasaan batin dan kemampuan
mengendalikan diri
2. Dewa Surya, Watak matahari. Seorang pemimpin mampu mendorong dan
menumbuhkan daya hidup rakyatnya.
3. Dewa Anila/Bayu, watak angin. Seorang pemimpin hendaklah selalu dekat
dengan rakyatnya,tanpa membeda-bedakan.
4. Dewa Kuwera, watak bintang. Seorang pemimpin hendaknya menjadi
teladan bagi rakyatnya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
55
5. Dewa Baruna, watak samudera (laut/air). Seorang pemimpin hendaknya
menempatkan semua rakyatnya pada derajat dan martabat yang sama
dihatinya.
6. Dewa Agni/Brama, watak api. Seorang pemimpin hendaknya berwibawa
dan berani menegakkan hukum dan kebenaran secara tuntas tanpa pandang
bulu.
7. Dewa Yama, watak bumi/tanah. Seorang pemimpin hendaknya berwatak
murah hati, suka beramal dan memberi, selalu berusaha untuk tidak
mengecewakan kepercayaan rakyatnya.
8. Dewa Candra, watak bulan. Seorang pemimpin hendaknya memberi
dorongan dan membangkitkan semangat rakyatnya ketika rakyat sedang
kesulitan.
(Dharsono, 2007:36-38)
E. Upacara Tradisi keraton Surakarta
Kebudayaan keraton Surakarta mempunyai berbagai macam upacara
tradisi yang telah dilakukan sejak dahulu kala. Upacara adat ini sebagai sarana
komunikasi non-verbal antara raja keraton Surakarta dan rakyatnya.
(Soeratman, 2000: 123). Segala sesuatu yang berhubungan dengan upacara, di
antara pakaian, dan tempat duduk, tingkah laku dan bahasa yang digunakan
untuk memberi petunjuk terhadap kedudukan, derajat, serta kehormatan setiap
anggota pesertanya. Dengan demikian, maka etiket, yaitu pembentukan atau
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
56
pemolaan yang mengatur tingkah laku orang dalam interaksi, baik secara
individual maupun kolektif, erat hubungannya dengan upacara. Bagi raja atau
penguasa lainnya, upacara adat, etiket merupakan alat yang tidak hanya
dipakai untuk membuat jarak dengan orang yang lebih rendah derajatnya,
melainkan juga untuk memperkuat kekuasaannya. (Soeratman, 2000: 124).
Berbagai macam upacara merupakan upacar interaksi, suatu upacara
yang merupakan bagian dari bentuk kehidupan sosial yang disebut kode
interaksi. Kode ini bersifat ekspresif yang dapat dinyatakan seseorang secara
lisan, tertullis, dengan gerakan tangan atau anggota badan lainnya. Upacara
interaksi ini selain mengenal formalitas yang tinggi, juga mengenal ketelitian
dan berisikan unsur-unsur estetika.
Kelompok upacara intern meliputi upacara makan siang dan malam
bagi raja dan keluarganya, menghadap raja pada hari senin dan kamis, ulang
tahun raja, ulang tahun pakuwon raja, ulang tahun permaisuri raja, selamatan
maèslawung, ngabêktèn, dan pemujaan terhadap kekuatan alam. Diantara
upacara yang termasuk kelompok ekstern adalah gêrêbêg, penobata raja
(Jumênêngandalêm), ulang tahun penobatan raja (Tingalan
Jumênêngandalêm), menanggapi peristiwa-peristiwa yang penting selama
daur hidup yang menyangkut diri raja serta keluarganya, dan rampogan
harimau. Selain itu terdapat juga upacara yang berlangsung diluar kêdhaton,
misalnya tadhak loji, dan jèndralan.
Lebih jauh lagi upacara yang masih tetap lestari (hingga sekarang).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
57
1. Upacara Jumênêngan, yang ditandai dengan dipergelarkannya tarian sakral
bêdhaya kêtawang.
2. Upacara Gêrêbêg
3. Upacara Gunungan
4. Upacara Mahèsä Lawung, sesaji kepala kerbau.
5. Hari Raya Idul Fitri, acara sungkeman/ngabekten (Silaturahmi, saling
memaafkan), dan peparing (membagi sedekah untuk kesejahteraan
kawula/masyarakat) (Hadisiwaya, 2011:30).
Kebudayaan keraton Surakarta mengenal pasamuwan agêng (besar),
pasamuan têngahan (tengah), pasamuan alit (kecil). Istilah ini memudahkan
peserta upacara untuk menentukan macam kostum yang harus mereka pakai,
jika mereka mengikuti upacara itu. Termasuk pasamuwan agêng adalah
upacara penobatan raja (Jumênêngandalêm), ulang tahun penobatan raja
(Tingalan Jumênêngandalêm), Gêrêbêg (Maulud, Pasa, Bêsar), Têdhak loji,
jendralan, kelahiran calon putra mahkota, perkawinan raja dan keluarganya
dan pemakaman jenazah raja. Pasamuwan alit antaranya mencakup upacara
rutin tiap hari senin dan kamis, sedang ulang tahun pakuwon raja termasuk
pasamuwan têngahan. (Soeratman, 2000: 123-126).
Upacara penting yang terkait dengan adat istiadat keraton adalah:
Jamasan, Pisowanan Ngabêktèn, Nyadran, Labuhan dan Tingalan
Jumênêngandalêm.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
58
1. Upacara Jamasan dilakukan pada bulan Surä/ Muharram setiap tahun,
berupa pemeliharaan warisan dalam bentuk pembersihan pusaka
peninggalan leluhur.
2. Pisowanan Ngabêktèn adalah pemberian tanda bukti dan mohon berkah
kepada raja. Biasanya dilangsungkan pada saat Idul Fitri (lebaran) pada
tanggal 1 syawal seetiap tahunnya.
3. Nyadran adalah tradisi ziarah kubur (bersifat terbatas). Dilaksanakan
setiap tanggal 15 Ruwah/Sya’ban, menjelang bulan puasa dimakam
pajimatan: Sesela, Tegal-Arum, Kota Gedhe, dan Imogiri.
4. Labuhan merupakan upacara membuang sajian atau barang yang dianggap
keramat. Labuhan itu dilaksanakan di gunung Lawu (timur), parangtritis
(selatan), hutan Krendawahana (utara), dan Gunung Merapi (barat).
Barang yang dilarung (ind.disajikan,dibuang) adalah pakaian lengkap,
potongan rambut, potongan kuku, minyak wangi dan sutera.
5. Tingalan Jumênêngandalêm, yaitu melakukan udik-udik, yaitu adat para
Raja Jawa untuk menyebar uang kepada rakyat/kawula. (Hadisiswaya,
2011:33-34)
Penjelasan berikutnya mengenai upacara penting keraton:
1. Penobatan Raja (Jumênêngandalêm) dan ulang tahun penobatan raja
(Tingalan Jumênêngandalêm).
2. Selamatan Mahèsä Lawung, berintikan labuhan kepada Bathari Durga
yang dilakukan setiap tahun.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
59
3. Tingalan alit untuk raja dan keluarganya, biasanya hanya diperuntukkan
bagi almarhum ayah dan ibu sunan. (Hadisiswaya, 2011:35).
F. Tingalan Jumênêngandalêm
Tingalan Jumênêngandalêm merupakan upacara peringatan kenaikan
tahta raja di keraton Surakarta. Upacara ini diperingati setiap setahun sekali
pada tanggal dan bulan saat penobatan raja, menurut perhitungan kalender
Jawa. Tingalan Jumênêngandalêm dikeraton Surakarta biasanya didahului
dengan pemberian kenaikan pangkat dan gelar keningratan kepada para putra
sentana, para kerabat keraton dan abdi dalêm. Disamping itu juga pemberian
pangkat dan gelar baru kepada orang-orang yang dianggap berjasa terhadap
keraton, serta penganugerahan bintang Sri Kabadyä kepada abdi dalêm atau
orang yang berjasa kepada keraton. (Rustopo, 2008 : 185-186)
Upacara Tingalan Jumênêngandalêm merupakan upacara yang paling
penting diantara ragam upacara di keraton Surakarta. Berdasarkan wawancara
dengan Bp. Winarnokusumo bahwa upacara tersebut merupakan puncaknya
upacara. Tanpa upacara tersebut upacara yang lain tak akan bisa dilaksanakan.
Karena upacara tersebut merupakan pertanda bahwa masih adanya seorang
raja. Sedangkan seorang raja berperan sebagai pemangku adat, sehingga
apabila upacara tersebut tidak ada, dapat dikatakan bahwa tidak ada seorang
raja di keraton Surakarta. tidak adanya seorang raja berarti sudah tidak
dilaksanakan lagi upacara-upacara tradisi keraton Surakarta. Winarnokusumo
juga menjelaskan bahwa Tingalan Jumênêngandalêm berasal dari bahasa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
60
Kedhaton. Tingalan berarti Peringatan, Jumênêngan berarti bertahta,
Jumênênganberasal dari kata Jumênêngan yang artinya tahta maksudnya tahta
kekuasaan, sehingga jika ditambah akhiran an setelah kata Jumênêngan maka
artinya adalah bertahta, sedangkan Dalêm berati raja. Dalam bahasa Indonesia
diartikan sebagai, ulang tahun kenaikan tahta raja, karena upacara ini
dilaksanakan setiap tanggal sewaktu penobatan menjadi raja. Tanggal
Jumênêngandalêm (penobatan) ataupun tanggal Tingalan Jumênêngandalêm
menggunakan penanggalan Jawa2.
Tingalan Jumênêngandalêm biasanya selalu mempergelarkan tari
Bêdhäyä Kêtawang yang sifatnya agak tertutup dan pribadi. Dahulu hanya
diperuntukkan bagi raja dan keluarganya, serta kemudian ditambah dengan
melibatkan para abdi dalêm. Tempat penyelenggaraannya berada di sasäna
sêwäkä keraton Surakarta (Hadisiwaya, 2011:35). Hal ini sesuai dengan
pernyataan Rustopo dalam bukunya. Bahwa puncak ritual Tingalan
Jumênêngandalêm adalah pasèwakan (penghadapan) bertempat di bangunan
utama sasana sewaka, dengan acara tunggal menyaksikan persembahan tari
bêdhaya kêtawang. Sinuwun duduk di dhampar kêprabon menghadap ke
timur, diapit oleh para putêri dalêm yang duduk bersimpuh dikanan/kiri raja
sambil membawa perangkat upacara kerajaan. Didepan raja adalah tempat
untuk menyajikan tari bêdhaya kêtawang. Para tamu, putera, sêntana, kerabat
keraton, dan abdi dalêm duduk bersila di lantai menghadap kea rah raja,
kearah tari bêdhaya kêtawang disajikan. Semua berbusana jawi jangkêp sesuai
2 Winarnokusumo, 02 Desember 2011.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
61
dengan derajat kepangkatannya. Para tamu agung (menteri, gubernur, residen,
walikota, bupati) dan para pangeran duduk di kursi yang telah disediakan.
Seluruh upacara, termasuk penyajian tari bêdaya kêtawang, berjalan dalam
waktu sekitar dua setengah jam tanpa minum, makan, dan rokok. (Rustopo,
2008 : 185-186)
G. Simbol
Diawali dari kritikan Harris terhadap pemikiran Marx yang kemudian
Harris sendiri dikritik oleh Syaiful Arif. Harris mengkritik pemikiran Marx
mengenai pendekatan materialisme dialektis pada determinisme akhir sejarah
kelas yang mengabaikan dialektika empiris pada level struktur reproduksi
ekonomi yang menentukan gerak kebudayaan. Sedangkan Syaiful arif
berpendapat bahwa pendekatan Harris mengenai materialisme kebudayaan
terjebak dalam determinisme empiris sehingga mengabaikan kontribusi supra
struktur ideologi yang juga menentukan gerak kebudayaan. Satu hal yang lucu
ketika Harris memaknai pantangan memakan hewan sapi dikalangan
masyarakat Hindu, ternyata hanya bermotifkan ekonomi. Bagi warga India,
sapi hanya memberikan sedikit susu, tetapi kontribusi utamanya terletak pada
pemberian bahan bakar dan pupuk yang datang dari kotoran sapi tersebut.
Oleh Syiful Arif penjelasan ini sangat ekonomis tak mampu membedah aspek
kognitif dan nilai dalam tradisi tersebut. Menurut Syaiful arif, dari berbagai
kelemahan inilah, lahir pendekatan ideasional yang menempatkan kebudayaan
bukan sebagai sistem adaptif, melainkan sistem simbolik (Arif, 2010:108-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
62
109). Ditegas juga dalam buku The Power Of Symbols karya F.W. Diliston
bahwa, kesatuan sebuah kelompok, seperti semua nilai budayanya pasti
diungkap dengan makna simbol. Simbol sekaligus merupakan pusat perhatian
tertentu sebuah sarana komunikasi dan landasan pemahaman bersama. Setiap
komunikasi dengan bahasa atau sarana yang lain, menggunakan simbo-simbol.
Masyarakat hampir tidak mungkin ada tanpa simbol-simbol (Dilistone,
1986:15).
Hakikat simbol sendiri terletak dalam pengakuan bahwa hal yang satu
mengacu (mewakili) hal yang lain (Dilistone, 1986:103). Simbol
mempersatukan atau menggabungkan suatu segi pengalaman manusia yang
sudah dikenal baik dengan apa yang mengatasi pengalaman itu maupun
mengungkapkannya (Dilistone, 1986:28). Menurut Benny H. Hoed (2008: 20)
simbol termasuk salah satu jenis tanda dalam ilmu semiotika yang memiliki
hubungan erat antara objek dan manusia sebagai intepretannya. Dalam ilmu
semiotika, tanda memiliki tiga jenis yakni, ikon, indeks, dan simbol. Ikon
adalah tanda yang memiliki hubungan antara representamen dan objeknya
berdasarkan atas keserupaan identitas. Indeks adalah tanda yang memiliki
hubungan atara representamen dan objeknya berdasarkan kontiguitas (sebab-
akibat). Sedangkan simbol adalah tanda yang memiliki hubungan antara
representamen dan objeknya didasari oleh konvensi (kesepakatan) sosial.
Olehy karena itu bisa dikatakan bahwa simbol sudah pasti sebuah tanda,
namun jika sebuah tanda belum tentu ia sebuah simbol. Dalam definisi
komunikasi tersirat fakta bahwa manusia merupakan mkhluk pembuat simbol.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
63
Karena simbol merupakan ekspresi yang mewakili atau menandaskan suatu
hal yang lain. Salah satu krakteristik simbol yang harus diingat adalah bahwa
simbol itu tidak mempunyai hubungan langsung dengan apa yang diwakilinya,
sehingga dapat berubah-ubah. Simbol dapat berupa bentuk suara, tanda pada
kertas, pakaian, gerak, bendera dan lain sebagainya, yang digunakan dalam
berbagai fakta dengan orang lain (Samovar, Porter, Daniel, 2010:18-19).
Hubungan antara budaya dan simbol menjadi jelas ketika sebuah
pernyataan, bahwa simbol mengikat orang yang mungkin saja bukanlah
bagian dari suatu kelompok yang bersatu. Probabilitas (sifat mudah dibawa)
simbol memungkinkan orang untuk membungkus, menyimpan, dan
menyebarakannya. Pikiran, buku, film, gambar, tulisan tentang agama, video,
asessories, dan sebagainya, memungkinkan suatu budaya melestarikan apa
yang dianggap penting dan berharga untuk diturunkan. (Samovar, Porter,
Daniel, 2010:45). Individu yang berada dalam masyarakat yang sekaligus
memungkinkan dan membuatnya berbudaya justru kerena kemampuannya
untuk membuat simbol dan bahasa, kemudian menggunakannya dalam
komunikasi dan dialog, yang pada ahirnya merupakan bagian integral dan tak
terhindarkan dari keseluruhan proses pembelajaran dan internalisasi yang
mencakup internalisasi masyarakat kepada individu dan sosialisasi individu
kedalam masyarakat (Kusumohamidjodjo, 2009:104).
Simbol dapat didefinisikan dengan setiap objek, tindakan, peristiwa,
sifat atau hubungan yang dapat berperan sebagai wahana suatu konsepsi, dan
konsepsi merupakan makna simbol (Dilistone, 1986:116). Menurut pendapat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
64
Greertz, yang dikutip oleh Arif dalam bukunya Refilosofi Kebudayaan, bahwa
kebudayaan didefinisikan sebagai, sistem keteraturan makna dan simbol yang
dengan makna dan simbol tersebut, individu mendefinisikan dunia,
mengekspresikan perasaan, dan membuat penilaian. Suatu pola makna yang
ditransmisikan secara historis yang terkandung dalam bentuk-bentuk simbolis,
yang melalui bentuk tersebut manusia berkomunikasi, memantapkan, dan
mengembangkan pengetahuan mereka mengenai dan bersikap terhadap
kehidupan. Suatu peralatan simbolik untuk mengontrol perilaku, sumber-
sumber ekstrasomatik dari informasi, dan karena kebudayaan adalah suatu
sistem simbol maka proses kebudayaan harus dipahami, diterjemahkan, serta
diintepretasi (Arif, 2010:111). Signifikasi makna bagi identitas manusia dan
bagi bekerjanya sistem sosial adalah membuat intepretativisme lebih
mengedekatan emik, dimana posisi simbol, baik dalam karya seni maupun
ritus, menjadi pintu masuk untuk menemukan dimensi batin manusia. Hal ini
berpijak pada postulat bahwa dalam menghadapi hidup manusia selalu
memiliki penyaring simbolis sehingga, baik cara menanggapi ataupun
tanggapan tersebut tidak keluar dari simbol. Maka, posisi makna dalam
intepretativisme tidak bersifat individualis, tetapi publik (Arif, 2010:112).
H. Kerangka Pikir
Busana Paku Buwono XIII (Tingalan Jumênêngandalêm 2005-2011)
secara tradisi merupakan busana kebesaran raja keraton kasunanan Surakarta,
yang diwarisi dari raja-raja sebelumnya. Busana yang dikenakan muncul
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
65
sekitar akhir abad 18, pasca perjanjian Giyanti. Hierarki sosial merupakan
salah satu esensi penting yang termuat dalam nilai busana. Diluar itu,
merupakan gaya atau mode yang mencirikan budaya tradisi keraton Surakarta.
Paku Buwono XIII memiliki hak prerogratif dalam berbusana, pada
upacara Tingalan Jumênêngandalêm 2005-2011. Hal tersebut menunjukkan
nilai subjektivitas individualnya (pribadi) sebagai raja yang sedang
memperingati hari penobatannya. Simbol-simbol pada busana Paku Buwono
XIII merupakan bentuk esensi/roh identitas busananya yang bersandar pada
nilai budaya tradisi keraton Surakarta. Simbol tersebut terkait dengan
pandangan masyarakat yang menginterpretasi berdasarkan budaya masyarakat
itu sendiri. Selanjutnya, simbol-simbol pada busana yang telah memiliki
maknanya sendiri akan dimaknai oleh masyarakat pendukungnya. Karena
pemaknaan simbol didasari atas kesepakatan kelompok masyarakatnya. Hal
ini disebut juga sebagai interaksi simbolik, yaitu suatu objek, situasi, orang,
dan peristiwa tidak memiliki maknanya sendiri.
Dasar pandangan atas interaksi simbolik adalah asumsi bahwa
pengalaman manusia diperoleh lewat interpretasi. Objek, situasi, orang, dan
peristiwa, tidak memiliki maknanya sendiri. Adanya dan terjadinya makna
dari berbagai hal tersebut karena diberi berdasarkan interpretasi dari orang
yang terlibat. Interpretasi bukanlah kerja otonom dan juga tidak ditentukan
oleh suatu kekuatan khusus manusia ataupun yang lain (Sutopo, 2002:28).
Menurut Moeleong (2010:20), interaksi simbolik menjadi paradigma
konseptual melebihi dorongan dari dalam, sifat-sifat pribadi, motivasi yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
66
tidak disadari, kebetulan, setatus sosial ekonomi, kewajiban-peranan, resep
budaya, mekanisme pengawasan masyarakat, atau lingkungan fisik lainnya.
Kerangka pikir diatas akan lebih dijelaskan dalam bentuk bagan,
berikut:
Bagan diatas menunjukkan bahwa busana Paku Buwono XIII pada upacara
Tingalan Jumênêngandalêm 2005-2011 yang sekaligus merupakan bentuk
simbolis, dipengaruhi dan memiliki maknanya dari kebudayaan keraton
Surakarta, raja-raja terdahulu, dan pribadi (Paku Buwono XIII). Dalam
lingkup simbolis makna tidak terjalin tanpa adanya konvensi sosialnya, maka
masyarakat dan kebudayaannya memiliki andil sebagai intepretant yang
nantinya memunculkan makna simbolis busana Paku Buwono XIII pada
upacara Tingalan Jumênêngandalêm 2005-2011.
Makna
Pribadi Budaya keraton
Surakarta
Busana PB XIII Tingalan
Jumênêngandalêm 2005-2011
Masyarakat Budaya
Masyarakat
Raja-raja terdahulu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
67
BAB III
METODE PENELITIAN
Sebuah metode hakikatnya adalah sebuah cara untuk memperoleh sesuatu.
Penelitian ini akan dikaji secara ilmiah, atau dengan kata lain adalah cara yang
sistematis/teratur dan terfikir baik-baik untuk mencapai maksud ilmu pengetahuan
atau cara kerja bersistem untuk mempermudahkan pelaksanaan suatu kegiatan
guna mencapai tujuan yang ditentukan. Metode penelitian merupakan gambaran
cara atau alat untuk menghasilkan tujuan ilmiah dari penelitian. Sedangkan
metode sendiri mempunyai pengertian: suata cara yang sistematis untuk
mencapai dan mengetahui maksud tujuan yang telah ditentukan secara efektif,
efisien dan optimal. (Adib, 2010:132-133). Ketelitian pandangan secara
epistemologi dalam kajian ini sangat diprioritaskan sebagai pencapaian ilmiah.
Tingakat validitas, ketepatan, kesahihan sangat bergantung pada cara atau metode
yang digunakan, maka perlunya metode yang tepat sesuai dengan permasalahan
yang muncul akan menentukan hasil atau capaian penelitian, untuk itu dipilihlah
langkah-langkah sebagai berikut:
A. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian dilaksanakan sesuai dengan objek kajian yang
dilaksanakan yaitu di Surakarta. Objek kajian yang diteliti adalah busana Paku
Buwono XIII pada upacara Tingalan Jumênêngandalêm periode 2005-2011,
sehingga hal ini menentukan lingkup lokasi penelitian.
67
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
68
B. Jenis Penelitian
Kajian ini akan menggunakan jenis penelitian deskriptif kualitatif.
Berdasarkan permasalahan yang muncul, maka penelitian ini masuk dalam
kategori penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif. Deskriptif berarti
memaparkan atau menjelaskan atau mendeskripsikan masalah yang ada
dibalik lingkup objek penelitian. Deskriptif kualitatif berarti riset yang
cenderung menggunakan analisa dengan pendekatan induktif yaitu mengambil
kesimpulan dari pendapat umum kemudian difokuskan hasilnya.
C. Bentuk Penelitian
Bentuk penelitian disesuaikan dengan permasalahan yang ada yaitu
mengenai bentuk, konsep, dan makna busana Paku Buwono XIII pada saat
upacara Tingalan Jumênêngandalêm periode 2005-2011, maka bentuk
penelitiannya adalah deskriptif kualitatif dengan pendekatan hermeneutik.
Hermeneutika merupakan sebuah pendekatan yang mengarah pada penafsiran
ekspresi yang penuh makna dan dilakukan dengan sengaja oleh manusia. Hal
ini sejalan dengan pola pandang fenomenologi yang melihat makna dari
pandangan subjek yang dikaji setiap peristiwa atau karya memiliki makna dari
intepretasi atas sesuatu tersebut selanjutnya menghadapi pembaca atau
pengamatnya dan ditangkap dengan interpretasi pula. (Sutopo, 2002:26)
Penentuan pendekatan ini sebagai pisau bedah data yang akan dianalisis.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
69
D. Sumber Data
Sumber data studi penelitian akan diperoleh dari dua poin sebagai
berikut :
1. Dokumen dan arsip yang berkaitan dengan Busana Paku Buwono XIII
pada Tingalan Jumênêngandalêm tahun 2005 sampai 2011 sebagai data
pengamatan langsung. Data tersebut dapat diakses melalui pihak keraton
Surakarta berupa foto-foto atau video yang berkaitan. Diluar dokumen foto
atau video adalah data berupa arsip informasi dari media cetak maupun
elektronik.
2. Informan sebagai narasumber yang ahli dan berkaitan dengan lingkup dan
tema kajian. Dalam pelaksanaannya dipilih informan yang terlibat
langsung pada upacara Tingalan Jumênêngandalêm 2005-2011, maupun
informan yang dekat dengan Paku Buwono XIII. Perlu dipahami bahwa
informan terdiri dari beragam individu sehingga tanggapan informan atas
pertanyaan dari peneliti berdasarkan selera dan arah pikir informan dalam
menyampaikan informasi yang dimilikinya. Menurut Sutopo (2002:50-51).
Adanya posisi yang beragam mengakibatkan adanya perbedaan macam
akses dan kelengkapan mengenai berbagai informasi yang bisa diperoleh
dan dimilikinya. Para narasumber yang berkaitan terdiri dari pelaku,
pengamat, orang yang secara langsung mengelola atau merencanakan
sesuatu. Oleh karena itu didalam memilih seorang informan, peneliti wajib
memahami posisi dengan beragam peran dan keterlibatannya dengan
kemungkinan aksesnya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
70
Informan yang berkaitan adalah:
a. KGPH. Puger, BA (adik kandung Paku Buwono XII)
b. KP. Winarnokusumo (Humas keraton)
c. GRAy. Koes Murtiyah Wirabumi (kakak Paku Buwono XIII)
d. GKR. Galuh Kencono (adik Paku Buwono XIII)
e. Joko Purnomo (fotografer keraton)
f. Hartoyo (penata busana Paku Buwono XIII pada Tingalan
Jumênêngandalêm)
E. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data digunakan untuk mengumpulkan data-data
yang mendukung, sebagai berikut:
1. Content analysis (mengkaji dokumen dan arsip)
Sumber data berupa dokumen dan arsip dicatat dengan teliti sesuai
permasalahan yang ada. Dokumen berupa foto diamati dan dicatat guna
pengidentifikasian deskripsi bentuk busana yang akan dianalisa. Perlunya
pencatatan dokumen foto untuk memferifikasi seluruh atribut yang
dikenakan paku buwono XIII pada upacara Tingalan Jumênêngandalêm
tahun 2005-2011. Sedangkan sumber data berupa arsip dicatat poin-
poinnya sesuai permasalahan juga, guna pengidentifikasian hal-hal penting
yang harus diungkapkan sebagai data. Menurut Sutopo (2002:70) Peneliti
harus bersikap kritis dan teliti dalam menghadapi beragam arsip dan
dokumen tertulis sebagai sumber data, tidak hanya sekedar mencatat isi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
71
penting yang tersurat dalam dokumen atau arsip, namun juga mencatat
makna yang tersirat. Dokumen yang ditemukan wajib dikaji kebenarannya,
baik secara eksternal yang berkaitan dengan keaslian dokumen dan secara
internal yang berkaitan dengan kebenaran isi dokumen.
2. Wawancara
Data yang bersumber dari informan digali melalui proses
wawancara yang didukung dengan perekaman. Perekaman wawancara
berguna untuk memudahkan akses pencatatan poin-poin penting yang
disampaikan informan. Hal tersebut (perekaman) merupakan cara evisien
yang menyangkut penyampaian informasi dari informan sesuai pola pikir
dan alur pembicaraan informan. Pertanyaan untuk pelaksanaan wawancara
disusun berdasarkan hal-hal yang bersifat pokok yang terkait
permasalahan dalam kajian simbol busana Paku Buwono XIII pada
upacara Tingalan Jumênêngandalêm 2005-2011, selebihnya pertanyaan
disampaikan dalam menanggapi jawaban informan. Teknik wawancara ini
tak terstruktur karena narasumber menjelaskan sesuai alur pikirnya.
Wawancara ini dilakukan untuk memperkuat data yang telah diperoleh
sebelumnya yaitu dari dokumen dan arsip. Menurut Sutopo (2002:59)
wawancara tidak terstrutur juga disebut sebagai teknik wawancara
mendalam karena peneliti merasa tidak tahu apa yang belum diketahuinya.
Dengan demikian wawancara dilakukan dengan pertanyaan bersifat open
ended, dan mengarah pada kedalaman informasi, serta dilakuakan tidak
secara formal terstruktur.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
72
F. Validitas Data
Data yang telah berhasil digali, dikumpulkan dan dicatat harus
diusahakan kemantapan dan kebenaran. Oleh karena itu peneliti harus memilih
dan menentukan cara-cara yang tepat untuk mengembangkan validitas data
yang diperoleh, maka peneliti menentukan teknik validitas berupa trianggulasi
data. Trianggulasi data merupakan cara yang paling umum digunakan dalam
penelitian kualitatif. Cara ini mengarahkan peneliti agar dalam mengumpulkan
data, wajib menggunakan beragam sumber yang tersedia. Artinya, data yang
sama atau sejenis akan mantap kebenarannya bila digali dari berbagai macam
sumber data yang berbeda. (Sutopo, 2002:70)
Guna menjadikan data-data secara valid maka dibutuhkan berbagai
macam sumber data agar mampu diperoleh kemantapan datanya. Data
sementara berupa foto Paku Buwono XIII pada upacara Tingalan
Jumênêngandalêm 2005-2011 dijadikan bahan yang mampu memunculkan
pertanyaan. Pertanyaan yang telah muncul kemudian digali jawabannya
melalui berbagai macam sumberdata (selain foto), baik melalui para informan
yang berbeda maupun arsip-arsip yang berkaitan. Data dari berbagai macam
sumber data yang diperoleh maka data yang terkait dengan kajian simbolis
busana Paku Buwono XIII pada upacara Tingalan Jumênêngandalêm dicatat
dan dirangkum, sehingga esensi data yang muncul merupakan data valid.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
73
G. Analisis Data
Proses analisis dalam penelitian ini terdapat tiga komponen utama
yang harus benar-benar dilakukan, yaitu reduksi data, sajian data, dan
penarikan kesimpulan atau verivikasi. Tiga komponen tersebut terlibat dalam
proses yang saling berkaitan serta menentukan hasil akhir (Sutopo,2002:91).
1. Reduksi Data
Reduksi data merupakan proses seleksi, pemfokusan,
penyederhanaan dan abstraksi data. Proses ini berlangsung terus menerus
sepanjang penelitian, bahkan prosesnya diawali sebelum pelaksanaan
pengumpulan data. Artinya reduksi data berlangsung sejak peneliti
mengambil keputusan tentang kerangka kerja konseptual, melakukan
pemilihan kasus, menyusun pertanyaan penelitian dan juga waktu cara
mengumpulkan data yang dipergunakan (Sutopo, 2002: 91). Pada saat
pengumpulan data berlangsung reduksi data dilakukan dengan cara
membuat ringkasan dari catatan data yang diperoleh dilapangan. Karena
perolehan data melalui wawancara dengan perekaman maka peringkasan
bisa langsung dilakukan setelah proses wawancara, tanpa pencatatan saat
pelaksanaan wawancara. Dalam menyusun ringkasan, dipilih berdasarkan
permasalahan yang telah ada, sehingga data yang disampaikan para
informan dapat tergambar dengan jelas batasan-batasannya. Batasan data-
data yang perlu diringkas sesuai lingkup kajian busana Paku Buwono XIII
pada upacara Tingalan Jumênêngandalêm tahun 2005-2011, sehingga data
yang tidak sesuai dengan batasan tersebut dihilangkan. Proses reduksi data
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
74
berlangsung terus-menerus hingga laporan penelitian selesai disusun.
Reduksi data dalam penelitian bertujuan mempertegas, memilih,
memfokuskan, membuang hal-hal yang tidak penting, dan mengatur data
sehingga simpulan penelitian dapat dilakukan.
2. Sajian Data
Sajian data merupakan suatu sajian rakitan organisasi yang
memungkinkan kesimpulan penelitian dapat dilakukan. Sajian ini
merupakan rakitan kalimat yang disusun secara logis dan sistematis
sehingga bila dibaca akan bias dipahami sebagai hal yang terjadi dan
memungkinkan peneliti untuk membuat suatu pada analisis ataupun
tindakan lain berdasarkan pemahamannya (Sutopo, 2002: 92).
Sajian data disusun secara naratif intepretatif, yaitu penyajian data
yang dilalukan dengan terstruktur sesuai gaya pengungkapan bahasa
peneliti dan sesuai kemampuan peneliti dalam menjelaskan. Sajian
didukung gambar-gambar yang berkaitan sebagai sarana pendukung yang
memperjelas rangkaian penjelasan peneliti. Rangkaian penjelasan dan
gambar merupakan integritas penuh yang tak bisa dipisahkan demi
kejelasan penelitian. Maka dengan melihat sajian data mengenai kajian
simbolik busana Paku Buwono XIII pada upacara Tingalan
Jumênêngandalêm tahun 2005-2011, peneliti akan dapat lebih memahami
berbagai hal yang berhubungan dengan penelitian. Oleh karena itu
memungkinkan untuk mengerjakan sesuatu pada analisis atau tindakan
lainnya berdasarkan pemahaman atas masalah dalam penelitian. Menurut
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
75
Sutopo, (2002: 93) Sajian data yang meliputi berbagai hal seperti gambar,
skema, ataupun tabel semuanya untuk merakit informasi yang teratur
supaya dapat dilihat dan dimengerti dalam bentuk yang kompak. Sajian
data ini merupakan bagian analisis yang penting sehingga merupakan
bagian terpenting dalam penelitian kualitatif.
3. Penarikan Kesimpulan danVerifikasi
Awal pengumpulan data berlangsung, peneliti harus sudah
memahami apa arti dari berbagai hal yang ia temui dengan melakukan
pencatatan, pola-pola, pernyataan-pernyataan, konfigurasi yang mungkin,
arahan sebab akibat, dan berbagai proporsi. Kesimpulan akhir tidak akan
terjadi sampai proses pengumpulan data berakhir. Simpulan perlu
diverifikasi agar cukup mantab dan benar-benar bisa
dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu perlu dilakukan aktivitas
pengulangan untuk tujuan pemantapan, penelusuran data kembali dengan
cepat, verifikasi juga dapat mengembangkan ketelitian (Sutopo, 2002: 93).
Verifikasi data ditempuh dengan tabel yang memuat seluruh poin
penelitian sesuai permasalahan. Tabel ini dirancang untuk mengungkapkan
dan mengulang kembali data analisis penelitian yang disusun teratur
berdasarkan urutan tahun, komponen busana, dan urutan permasalahan
(bentuk busana, konsep busana, makna simbolik busana). Sehingga
dengan penggunaan tabel tersebut akan memantabkan proses
penyimpulan. Selain penggunaan tabel dilalakukan pula analisis interaktif,
yang melibatkan orang-orang yang ahli dibidangnya sebagai responden.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
76
Responden merupakan subjek ahli yang menanggapi, baik mengkritik
maupun member masukan. Hal ini berguna sangat penting untuk menarik
simpulan berdasarkan pendapat para ahli. Adapun sekema gambar analisis
interaktif sebagai berikut:
Gambar diatas memperlihatkan proses pada waktu pengumpulan
data, yang mana peneliti selalu membuat reduksi data dan sajian data.
Dalam proses mereduksi data peneliti mencatat pokok-pokok rumusan
seusuai permasalahan yang ada, yaitu bentuk busana, konsep busana, dan
makna busana. Dalam proses sajian data hasil pencatatan yang telah
terfokus sesuai permasalahan, kemudian disusun secara naratif kualitatif.
Penyusunan ini diikuti kemampuan memaparkan secara logis dan
sistematis, supaya mampu memunculkan maknanya secara jelas dan
(Sutopo, 2002: 96)
Pengumpulan data
Sajian Data Reduksi Data
Penarikan
kesimpulan/Verifikasi Data
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
77
terfahami. Untuk mendukung proses ini maka diperlukan gambar-gambar
untuk memperjelas rumusan-rumusan data. Gambar-gambar yang
disajikan adalah bentuk-bentuk uraian busana yang digunakan Paku
Buwono XIII pada upacara Tingalan Jumênêngandalêm. Setelah melalui
proses-proses tersebut maka dilakukan penarikan kesimpulan. Penarikan
kesimpulan ini didukung dengan tabel verifikasi data, yang didalamnya
termuat pokok-pokok data yang telah diurutkan berdasarkan tahun, busana
pokok, busana lengkapan, dan asessoris. Dengan tabel tersebut maka
proses penarikan kesimpulan akan mudah ditarik. Setelah proses
penyimpulan terlampaui maka hasil analisis data dan simpulannya diteliti
kembali, apabila dirasa kurang mantap maka dilakukan proses pemantapan
dengan cara respondensi kepada para ahli, sehingga informasi yang
sebelumnya dianggap kurang akan termantapkan dengan proses ini. Proses
ini juga merupakan pengulangan kembali proses pengumpulan data,
reduksi data dan sajian data. Sehingga hasil simpulan akan diperoleh
dengan lebih matap. Hal ini sesuai dengan pendapat Sutopo, (2002: 96)
bahwa pada waktu pengumpulan data berahir peneliti peneliti mulai
melakukan usaha menarik simpulan dan verifikasinya. Bila simpulan
dirasa kurang mantap maka peneliti wajib kembali melakukan
pengumpulan data yang sudah terfokus untuk mencari pendukung
simpulan dan juga sebagai pendalaman data. Dalam keadaan ini tampak
bahwa penelitian kualitatif prosesnya berlangsung dalam bentuk siklus.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
78
BAB IV
BUSANA PAKU BUWONO XIII PADA UPACARA TINGALAN
JUMENENGANDALEM PERIODE 2005-2011
Jumat Kliwon, 10 September 2004, keraton Kasunanan Surakarta
mengadakan upacara Jumênêngandalêm, yaitu upacara pengangkatan
/penobatan raja. Dilaksanakannya upacara tersebut untuk menobatkan KGPH.
Hangabei (Paku Buwono XIII) sebagai penerus tahta Paku Buwono XII.
KGPH. Hangabei adalah putera tertua dari 35 anak yang lahir dari selir
(garwä ampil) almarhum Paku Buwono XII. Menurut adat tradisi keraton,
seseorang yang berhak menjadi pewaris tahta kerajaan adalah putra tertua dari
permaisuri raja atau putra yang telah ditunjuk langsung oleh raja
(Hadisiswaya, 2011: 108). Paku Buwono XII dalam perjalanannya menjadi
raja tidak memiliki seorang permaisuri dan juga tidak menunjuk salah satu
putranya sebagai pewaris tahta. Oleh karena itu yang berhak mewarisi tahta
kerajaan adalah putra tertua dari selir Paku Buwono XII1. Sehingga
menempatkan KGPH Hangabei sebagai Paku Buwono XIII yang mewarisi
serta meneruskan tahta kerajaan, dengan segala bentuk kebudayaan tradisi
keraton Surakarta yang harus tetap dijaga dan dilestarikan.
Pasca penobatan KGPH Hangabei (Paku Buwono XIII), diadakan
upacara Tingalan Jumênêngandalêm setiap tanggal 25 bulan Rêjêb. Upacara
1 Wawancara dengan GRAy. Kus Murtiyah Wirabumi pada 20 Januari 2012 di keraton
Kasunanan Surakarta dan Hartoyo pada 08 Januari 2012 dikediaman beliau.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
79
tersebut telah dilaksanakan sebanyak tujuh kali pada setiap tahunnya, sejak
2005 hingga 2011. Penanggalan upacara ditentukan menurut tanggal saat
KGPH. Hangabei dinobatkan sebagai raja (menurut penanggalan Jawa)2. Para
tamu undangan yang hadir meliputi wakil pemerintahan RI, para tokoh politik,
raja-raja seluruh Nusantara, raja kerajaan Malaysia, raja kerajaan Tailand,
wakil dari Negara-negara sahabat, hingga selebritis dan seniman Nasional.
Secara historis raja-raja yang hadir merupakan raja dari kerajaan-kerajaan
kecil dibawah kekuasaan keraton kasunanan Surakarta3. Hal tersebut dalam
konteks kekinian telah mengarah pada kegiatan bernilai tradisi. Karena
kekuasaan secara teritorial maupun kepemerintahan telah tidak berfungsi sejak
1945, namun secara tradisi hal tersebut masih berlangsung. Upacara Tingalan
Jumênêngandalêm merupakan bentuk kontinuitas dari upacara
Jumênêngandalêm (penobatan raja). Sebagai bentuk kontinuitas, Tingalan
Jumênêngandalêm berpredikat sebagai puncak dari seluruh kegiatan tradisi
keraton Surakarta sehingga dianggap upacara terpenting dan sakral. Menurut
Dharsono4 upacara Tingalan Jumênêngandalêm merupakan salah satu bentuk
dari konsep pengkultusan raja sebagai manusia titisan Tuhan. Sedangkan KP.
Winarnokusumo5 menjelaskan bahwa upacara Tingalan Jumênêngandalêm
2 Wawancara dengan KP. Winarnokusumo 22 Desember 2011, di sasana wilapa keraton Surakarta.
3 Wawancara dengan Dharsono (guru besar Seni Rupa Timur, ISI Surakarta) pada 15 Maret 2012,
di wisma seni, Taman Budaya Jawa Tengah.
4 Wawancara pada 15 Maret 2012, di wisma seni, Taman Budaya Jawa Tengah.
5 Wawancara pada 22 Desember 2011, di sasana wilapa keraton Surakarta.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
80
merupakan tanda masih bertahtanya seorang raja di keraton Surakarta. Oleh
karena itulah Tingalan Jumênêngandalêm disebut upacara penting dan sakral
yang terkait dengan eksistensi seseorang yang dinubuatkan sebagai penguasa
jagad (spiritual dan keduaniaan).
Saat upacara Tingalan Jumênêngandalêm berlangsung, kedudukan raja
dalam tingkat hirarki tertinggi sangat jelas tergambarkan. Hal ini ditunjukkan
melalui tata cara bertingkah laku yang ada didalamnya. Saat upacara
terpenting dan sakral tersebut raja duduk diatas dhampar6. Sedangkan para
abdi dalêm maupun keluarga raja duduk dilantai. Saat raja duduk diatas
dhampar menggambarkan satu-satunya individu yang berhak menyandang
predikat penguasa jagad dan spiritual (Ngabdurrakhman Sayidin Panätägämä
Khälifatulläh). Gambaran tersebut merupakan bagian dari konsep pemahaman
bahwa raja adalah penghubung antara dunia atas dan dunia bawah, yaitu
pemimpin kerajaan (penguasa jagad/dunia bawah) utusan Tuhan (pemimpin
spiritual/dunia atas)7. Hal ini mengingatkan pada konsep pemimpin pada masa
kerjaan Hindu, yang telah ada sebelum masa dinasti Mataram. Pada masa
pengaruh Hindu, raja sebagai poros kekuasaan juga dianggap sebagai
perwujudan dewa, misalnya Airlangga dan Ken Arok yang dianggap sebagai
perwujudan Wisnu. Namun, pada masa penyebaran Islam raja dianggap
sebagai wakil Tuhan. Oleh karena itu, seseorang yang hendak menjadi raja
harus mendapat wahyu keraton berupa cahaya cemerlang yang masuk dalam 6 Dhampar adalah tempat duduk kusus untuk raja pada upacara Tingalan Jumênêngandalêm yang
berbentuk kubus persegi panjang tanpa sandaran punggung. Lihat lampiran hal 169 gambar 55.
7 Wawancara dengan Prof. Dharsono, 15 Maret 2012, di wisma seni, Taman Budaya Jawa Tengah.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
81
tubuhnya. Tentunya kepercayaan seperti ini bukan murni bersumber dari
ajaran Islam, namun lebih dipengaruhi oleh kepercayaan lokal (agama Hindu)
yang masih melekat (Kresna, 2011: 15). Hal tersebut terefleksikan pada gelar
raja-raja dinasti Mataram Islam Jawa. Sebagai contoh, Sènopati ing Alogo
Ngaburrakhman Sayidin Panätägämä Khälifätulläh yang berarti raja adalah
panglima tertinggi, pengatur agama, dan ditunjuk oleh Tuhan (Kresna, 2011:
16). Pemakaian gelar tersebut dicetuskan oleh Sutawijaya8 (Kresna, 2011: 30),
kemudian digunakan sebagai gelar setiap raja-raja dinasti Mataram hingga
kini.
Atribut raja pada upacara Tingalan Jumênêngandalêm merupakan
refleksi dari konsep gelar yang disandangnya9. Oleh karena itu, Busana raja
pada upacara tersebut secara tradisi merupakan larangan bagi orang lain yang
berada dibawah tingkat kedudukannya. Melalui busana sebagai salah satu cara
bertingkah laku dalam upacara Tingalan Jumênêngandalêm, menunjukkan
bahwa raja memiliki wilayah tersendiri yang secara khusus tak dapat dilalui
orang lain, baik abdi dalêm maupun keluarganya. Dalam statusnya yang
tertinggi, menurut Kresna (2011: 136-137) raja adalah simbol keindahan dan
keglamouran. Sehingga segala susuatu yang berkenaan dengan tatacara
berbusana di keraton dibuat untuk memuliakan nama Sampeandalêm (raja).
8 Sutawijaya adalah nama lahir dari Panembahan Senopati ing Alogo, pendiri dinasti Mataram
Islam Jawa pada abad 16. Sutawijaya juga sering disebut Pangèran Ngabèhi Lor ing Pasar.
9 Ngaburrakhman Sayidin Panätägämä Khälifätulläh. Raja sebagai panglima tertinggi sekaligus
wakil Tuhan. Dalam pemahaman masyarakat Jawa wakil Tuhan biasa disebut Pangèjowantah ing
Gusti Allah (Allah yang Nampak).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
82
Busana memiliki kaitan yang luas dengan latar belakang kehidupan manusia
(Dilistone, 1986, 60) sehingga segala sesuatu yang terkait dengan latar
belakangnya akan termuat pada gaya berbusana yang digunakan. Oleh karena
itu, busana Paku Buwono XIII pada upacara Tingalan Jumênêngandalêm
merupakan simbol atribut tertinggi, karena raja yang menggunakannyan
bergelar ing Alogo Ngaburrakhman Sayidin Panätägämä Khälifätulläh
Busana Paku Buwono XIII pada upacara Tingalan Jumênêngandalêm
secara umum tidak berbeda dengan busana alamarhum Paku Buwono XII pada
upacara yang sama. Sebagai contoh, baju takwä yang dikenakan Paku Buwono
XIII pada upacara Tingalan Jumênêngandalêm 2005 sampai 2011 merupakan
gaya busana yang juga digunakan Paku Buwono XII pada setiap upacara
Tingalan Jumênêngandalêm-nya10
. Berdasarkan wawancara dengan GRAy.
Kus Murtiyah Wirabumi11
, bentuk busana Paku Buwono XIII pada upacara
Tingalan Jumênêngandalêm tahun 2005 – 2011 berkiblat pada busana Paku
Buwono XII. Beliau juga menuturkan bahwa penggunaan baju takwä di
keraton Kasunanan Surakarta hanya diperkenankan untuk raja pada upacara
Tingalan Jumênêngandalêm. Hal ini seolah menunjukkan adanya tatanan baku
pada cara berbusana raja menurut budaya tradisi keraton Surakarta. Namun
baju takwa bukan semata-mata sebuah tatanan baku jika diamati lebih lanjut
pada cara berbusana raja-raja keraton Surakarta terdahulu. Contoh yang dapat
10
Lihat lampiran halaman 169 gambar 56.
11
Wawancara pada 20 Januari 2012 di keraton Kasunanan Surakarta.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
83
diamati adalah busana sikêpan Paku Buwono X pada upacara yang sama
(Tingalan Jumênêngandalêm)12
. Pernyataan GRAy. Kus Murtiyah Wirabumi
mengenai baju takwa sebagai busana raja di keraton Surakarta dan kenyataan
bahwa Paku Buwono X menggunakan baju sikêpan menunjukkan bahwa raja
memiliki hak prerogratif dalam menentukan cara berbusananya13
.
Hak prerogratif raja dalam lingkup berbusana merupakan hak absolut
yang sepenuhnya termuat dalam subjektifitas individual pribadinya. Hak
prerogratif merupakan sebuah jalan yang mampu menunjukkan individu
seorang raja yang ditinggikan dalam lingkup sosial keraton Surakarta. Hak
tersebut sering kali mendasari gaya busana raja-raja Surakarta terdahulu.
Sebagai contoh busana Paku Buwono XI yang berjenis sikepan dengan dasi
kupu-kupunya14
terlihat berbeda jika dibandingkan dengan busana Paku
Buwono X yang terkesan lebih megah15
. Hal tersebut akan semakin jelas
dengan mengamati bentuk busana Paku Buwono XII pada upacara Tingalan
Jumênêngandalêm16
. Paku Buwono XII selalu menggunakan baju takwa, yang
tidak ditemui pada gaya busana raja-raja terdahulu pada upacara yang sama.
Gaya busana Paku Buwono XII terlihat lebih sederhana dibandingkan dengan
12
Lihat lampiran halaman 170 gambar 57
13
wawancara pada 3 Januari 2012 di Sasana Wilapa keraton Surakarta.
14
Lihat lampiran halaman 170 gambar 58.
15
Lihat lampiran halaman 170 gambar 57.
16
Lihat lampiran halaman 169 gambar 56.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
84
busana Paku Buwono X atau Paku Buwono IX. Menurut Sugiyatno17
, sejak
Paku Buwono XII telah terjadi penyederhanaan bentuk busana raja. Busana
jenis kampüh telah tidak digunakan lagi pada upacara Tingalan
Jumênêngandalêm. Hal tersebut didasari oleh asumsi bahwa sejak tahun 1945
raja telah menjadi bagian dari masyarakat atau tidak lagi berperan sebagai
pengayom masyarakat karena sejak tahun itu keraton Surakarta menjadi
bagian dari Negara Republik Indonesia. Sehingga, menurut Ratna Endah
Santoso18
membawa dampak bagi tatanan sosial, politik, ekonomi dan budaya
di keraton. Dampak tersebut mendorong pemikiran Paku Buwono XII pada
konsep berbusana yang sederhana.
Bentuk busana yang dikenakan Paku Buwono XIII pada upacara
Tingalan Jumênêngandalêm tahun 2005-2011 secara umum menyerupai
bentuk busana Paku Buwono XII dalam upacara yang sama. Bentuk busana
Paku Buwono XIII pada upacara Tingalan Jumênêngandalêm tahun 2005-
2011 berupa baju takwä, sinjang, serta kelengkapannya seperti kulük
kanigaran, sêlop, sabuk, èpèk, timang, lêrêp, keris, dan asessori berupa kalüng
ulür, bros mawar, bros makutho, bintang sri kabadyä.
Paku Buwono XIII selalu menggunakan baju takwä dengan warna
yang berbeda-beda setiap tahunnya. Setiap baju takwä Paku Buwono XIII
17
Salah satu orang terdekat Sinuwun Paku Buwono XII. wawancara pada 21 Maret 2012 di jl.
Teuku Umar 14 Solo.
18
Ratna Endah Santoso, Busana Paku Buwono XII (Tesis: Program Pasca Sarjana Institut Seni
Indonesia, Surakarta), hlm 220.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
85
dengan karakter warna tertentu dibuat sebanyak tiga buah, tiga buah baju
takwä tersebut dibedakan dengan variasi warna secara analogus. Misalnya,
baju takwä yang dikenakan pada tahun 2006 berwarna hijau dibuat sebanyak
tiga buah yang dibedakan secara analogus menjadi tiga model warna yaitu
hijau tua, hijau sedang, dan hijau terang19
.
Busana Paku Buwono XIII pada upacara Tingalan Jumênêngandalêm
tahun 2005 hingga 2011 akan dijelaskan secara mendetail mengenai rincian
bentuk busana, konsep busana, serta makna-makna simbolisnya. Penjelasan
tersebut disusun berdasarkan urutan tahun, dan diurutkan mulai dari busana
pokok/utama, kelengkapan busana, dan asessoris busana.
Setiap bagian busana ditunjukkan pada gambar menurut letaknya,
yaitu sebagai berikut:
19
Berdasarkan wawancara dengan Hartoyo pada 08 Januari 2012.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
86
A. Busana Paku Buwono XIII pada Upacara Tingalan Jumênêngandalêm
Tahun 2005
1. Bentuk Busana Busana Paku Buwono XIII pada Upacara
Tingalan Jumênêngandalêm Tahun 2005
Tahun 2005 merupakan tahun pertama dilaksanakan upacara
Tingalan Jumênêngandalêm untuk Paku Buwono XIII. Dalam upacara
tersebut, selain menyaksikan tari bêdhäyä kêtawang selama dua jam,
Paku Buwono XIII juga menerima sungkem dari adik-adiknya dan
Gambar: 1 Letak bagian busana Paku Buwono XIII
tahun 2005 (Sumber: Dokumentasi Joko Purnomo,
repro foto Taufiqurrahman H 2012)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
87
mewisuda almarhum KGPH Haryomataram20
dengan gelar
Panêmbahan (Setiadi, 2006: 24). Usai upacara, dilaksanakan kirab
menggunakan kereta kuda kiai garudhä kêncänä. Busana yang dipakai
Paku Buwono XIII adalah baju takwä berwarna magenta (ungu
kemerahan) tua yang dihiasi ornamen lung-lungan diseluruh ujung
pinggir kainnya. Jenis kain yang digunakan adalah thaisilk, yang
berkarakter mengkilat21
.
Baju takwä merupakan salah satu jenis baju krowok yang
memiliki ciri utama potongan setengah lingkaran dibagian belakang
baju. Selain berfungsi sebagai mode (gaya Surakarta), bagian tersebut
juga berfungsi untuk memperlihatkan keris secara sempurna (tidak
terhalang lembaran kain baju). Bentuk baju takwä nyaris menyerupai
baju bêskap, namun ujung baju depan bagian kanan lebih panjang
dibanding dengan ujung kiri, ujung sisi depan tersebut berbentuk
lancip atau meruncing. Jika digunakan dengan sempurna, bagian yang
meruncing berada di posisi kiri. Baju takwä memiliki satu pengait
(kancing baju) pada bagian dada kiri.
Warna magenta tua pada baju takwä berwarna dasar violet,
dalam sebutan Jawa adalah wungu. Warna tersebut merupakan warna
turunan dari warna merah dan biru, namun cenderung kearah warna
merah atau juga bisa disebut pure magenta.
20
Almarhum KGPH Haryomataram adalah rektor pertama Universitas Sebelas Maret Surakarta.
21 Menurut contoh kain yang ditunjukkan oleh Hartoyo, pada 08 Januari 2012.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
88
Ornamen lung yang menghiasi pinggir baju takwä memiliki ciri
berupa tangkai tumbuhan menjalar lengkap dengan cabang tangkai,
daun, dan bunga. Alur tangkainya berbentuk gelombang searah, dan
cabangnya berpola ukêl. Ornamen tersebut digarap dengan teknik
bordir benang emas berlatar hitam dengan lebar 3 sampai 4 cm.
Sebagai penutup tubuh bagian bawah, digunakan jarit yang
juga disebut sinjang. Sinjang yang digunakan Paku Buwono XIII pada
upacara Tingalan Jumênêngandalêm tahun 2005 bermotif parang
garudhä dengan plisiran diujung kainnya. Batik tersebut merupakan
perpaduan dua unsur motif utama dari motif parang dan motif garudhä
yang memiliki latar klungsêt (coklat terang). Motif parang-nya
tersusun sejajar dengan motif garudhä. Motif garudhä tersebut
berbentuk satu sayap terbuka, sedangkan motif parang terbentuk
didalam bidang menyerupai awan yang seolah berbatasan dengan
wilayah motif garudhä. Sehingga kain batik garudhä nampak seperti
dilubangi dengan bentuk tersebut, namun dalam lubang itu muncul
Gambar: 3 Bentuk detail ornamen lung (Sumber: Dokumentasi
Joko Purnomo, repro foto Taufiqurrahman H 2012)
Gambar: 2 Warna kain (Sumber: Dokumentasi
Joko Purnomo, repro foto Taufiqurrahman H 2012)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
89
motif batik parang. Selain dua motif utama tersebut terdapat motif
isian lain yaitu lung-lungan22
, puspitä, dan gunung. Ujung bawah kain
batik parang garudhä terdapat plisiran yang juga diisi dengan motif
lung. Lebar plisiran kurang lebih 8 hingga 10 cm. Unsur warnanya
batik tersebut terdiri dari coklat terang (klungsêt), coklat tua, dan
hitam.
22
Motif lung pada kain batik parang garudhä berbeda dengan ornamen lung yang menghiasi baju
takwä sinuwun tahun 2005. Motif isian lung tersebut memiliki daun daun kecil seperti kuncup, dan
juga memiliki bunga.
Gambar: 4 Detail motif
(Sumber: Setiadi, 2006:24)
Motif garudhä
Motif puspitä/bunga
Motif parang
Motif gunung
Plisir
Motif lung-lungan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
90
Penutup kepala yang digunakan disebut kulük. Kulük berfungsi
sebagai mahkota raja dengan ciri-ciri tertentu sebagai wujud
simbolisnya. Oleh karena itu, penutup kepala raja disebut juga sebagai
kulük kanigaran. Ciri-ciri kulük yaitu berwarna hitam, terbuat dari
bahan beludru dengan garis-garis dari emas yang menghiasi
sekelilingnya. Kulük berbentuk seperti tabung, namun pada bagian
atasnya tertutup, yang memiliki luas jari-jari lebih sempit dari pada
bagian bawahnya. Bagian bawah kulük berfungsi sebagai tempat
kepala, sehingga luas bagian bawah kulük disesuaikan dengan luas
keliling kepala. Garis-garis yang terbuat dari emas disebut lungsèn23
.
Lungsèn berjumlah 10, tersusun menyebar menyerupai cahaya dengan
sisi atas bagian tengah sebagai pusatnya. Panjang lungsèn menyebar
dari pusat (atas) hingga setengah dari panjang sisi kulük namun salah
satu lungsènnya memanjang hingga ujung bawah kuluk, yang disebut
Punjêr24
. Sedangkan garis horizontal yang melingkar di bagian ujung
bawah dan tengah disebut karah. Dalam menggunakan kulük haruslah
trêp/rapi, tidak boleh miring (njêplak).
Sebagai pengikat sinjang digunakan setagèn atau peningsêt,
yang merupakan kain tenun polos dengan panjang 5 sampai 6 m dan
23
Garis-garis pada kulük yang disebut lungsèn berdasrakan wawancara dengan Hartoyo, pada 27
Februari 2012
24
Berdasarkan keterangan. Sugiyatno pada wawancara tanggal 21 Maret 2012.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
91
lebar 10 sampai 12 cm. Dalam penggunaannya, sêtagèn dililit memutar
pada pinggang hingga panjang kain tidak tersisa25
.
Setelah pêningsêt atau setagèn dipasang, maka dikenakan
sabuk. Sabuk yang digunakan terbuat dari kain tenun berbenang sutra
dan bermotif (sêmbagi) geometris, yang disebut sabuk cindhè. Sabuk
ini berfungsi sebagai penutup sêtagèn/peningsêt, dan juga untuk
menyengkelitkan keris. Panjang sabuk adalah 6m dengan lebar 15 cm.
Cara penggunaannya dililitkan pada perut bagian atas sampai perut
bagian bawah, namun pada bagian ujungnya (rumbai emas) dibiarkan
terurai sampai setengah dari panjang paha kanan26
.
Motif sabuk Paku Buwono XIII pada upacara Tingalan
Jumênêngandalêm tahun 2005 berkarakter geometris dengan alur
gelombang sehingga membentuk pola zig-zag. Motif tersebut tidak
tertata melebar namun memanjang. Wilayah sekitar motif utama
terdapat motif menyerupai bidang belah ketupat dengan satu titik
ditengahnya. Disekitar motif tersebut terdapat motif selingan berupa
belah ketupat namun berukuran lebih kecil yang secara variatif
menghiasi ruang kosong diantara motif utama. Motif-motif tersebut
berwarna kuning dengan outline warna merah, sedangkan latarnya
berwarna merah tua (soga).
25
Berdasarkan wawancara dengan Hartoyo, pada 08 Januari 2012.
26
Berdasarkan wawancara dengan Hartoyo, pada 08 Januari 2012.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
92
Berdasarkan keterangan GRAy. Kus Murtiyah Wirabumi27
,
sabuk Paku Buwono XIII yang digunakan pada upacara Tingalan
Jumênêngandalêm tahun 2005 bermotif puspitä berlatar merah tua.
Namun berbeda dengan keterangan Bapak Hartoyo28
, sabuk sinuwun
bermotif Tirtä Tèjä dengan latar merah tua. Dua pendapat yang
berbeda tersebut memiliki kekaburan dalam kebenaran bentuk
motifnya, sehingga yang tergambar dalam motif sabuk tersebut tak
dapat diketahui secara jelas. Motif puspitä secara bahasa berarti motif
bunga, sehingga visualisasinya tidak akan jauh dari bentuk menyerupai
bunga. Begitu pula dengan motif tirtä tèjä secara bahasa tirtä berarti
air , sedangkan tèjä berarti cahaya, visualisasinya juga tidak akan jauh
dari bentuk air dan cahaya. Bentuk zig-zag yang terdapat pada sabuk
tersebut lebih mengarah pada bentuk air (tirtä)29
, sedangkan motif
puspitä (bunga) visualisasinya tidak menyerupai/mendekati rupa
puspitä (bunga). Motif puspitä lebih jelas tergambarkan pada motif
sabuk pada gambar 29 hal 105. Oleh karena itu motif sabuk Paku
Buwono XIII pada upacara Tingalan Jumênêngandalêm tahun 2005
lebih tepat disebut sebagai motif tirtä tèjä.
27
wawancara dengan GRAy. Koes Murtiyah Wirabumi, pada 20 Januari 2012.
28
wawancara dengan Hartoyo, pada 27 februari 2012.
29
Berdasarkan pengamatan pada bentuk-bentuk motif tenun tradisi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
93
Gambar: 5 Motif sabuk yang mendekati bentuk
bunga/puspitä (Sumber: dokumentasi pribadi)
Gambar: 6 Motif tirtä tèjä pada sabuk Paku Buwono
XIII(Sumber: Dokumentasi Joko Purnomo, repro foto
Taufiqurrahman H 2012)
Gambar: 7 Ilustrasi motif sabuk motif tirtä tèjä (Sumber:
Dokumentasi pribadi berdasarkan penuturan Hartoyo)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
94
Sebagai pengikat atau pengencang sabuk, digunakan èpèk yang
terbuat dari kain beludru hitam, dengan panjang 125 cm dan lebar 5,5
cm. Èpèk tersebut bercorak untu walang (pada bagian pinggir) yang
berbentuk menyerupai gerigi, dengan isian tengahnya berupa ornamen
lung. Ornamen tersebut digarap dengan tekhnik bordir benang emas.
Selain sebagai pengencang sabuk, èpèk juga berfungsi sebagai
pengencang keris. Posisi pemakaian èpèk melingkar diatas sabuk,
sejajar dengan perut bagian bawah.
Pengunci èpèk disebut timang berbentuk seperti gesper. Timang
Paku Buwono XIII pada Tingalan Jumênêngandalêm tahun 2005
terbuat dari emas yang dihiasi berlian-berlian diatasnya. Setelah
dikunci dengan timang, èpèk memiliki sisa beberapa cm, sisa èpèk
tersebut lalu dikaitkan dengan lêrêp pada bagian èpèk yang telah
melingkar di pinggang. Lêrêp juga terbuat dari bahan yang sama
dengan timang, namun memiliki ukuran yang lebih kecil karena hanya
berfungsi sebagai pengait sisa èpèk. Posisi timang yang dikenakan
Gambar: 8 Èpèk Paku Buwono XIII (Sumber: Dokumentasi
Joko Purnomo, repro foto Taufiqurrahman H 2012)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
95
Paku Buwono XIII tersebut berada di tengah perut bagian bawah.
Karena baju krowok yang digunakan adalah takwä, maka timang
tertutup oleh bagian bawah baju takwä, sehingga yang tampak hanya
lêrêp-nya saja.
Keris yang digunakan Paku Buwono XIII pada Tingalan
Jumênêngandalêm tahun 2005 adalah keris Gayaman. Keris tersebut
memiliki wärängkä yang lebih sederhana dibanding wärängkä keris
Ladrang. Wärängkä keris Gayaman membentuk bidang yang hampir
menyerupai bidang oval. Posisi keris berada dibagian pinggang
belakang, yang disengkelitkan pada sabuk cindhè. Posisi
penyengkelitan kerisnya condong kekanan, hingga bagian mèndhok30
terlihat lebih banyak turun kebawah, cara penyengkelitan keris ini
disebut nêtêp. Bentuk pamor keris ini tidak diketahui, namun menurut
keterangan KGPH Puger31
keris tersebut bernama Kyai Agêng Sêpuh.
30
Mèndhok merupakan salah satu bagian keris yang berfungsi sebagai sarung wilahan.
31
Wawancara pada 8 Desember 2011, di sasana pustaka keraton Surakarta.
Gambar: 9 Keris Gayaman (Sumber: Dokumentasi Joko
Purnomo, repro foto Taufiqurrahman H 2012)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
96
Alas kaki Paku Buwono XIII disebut sêlop atau cênèla,
berwarna hitam berbahan beludru, diatasnya dihiasi ornamen lung-
lungan. Ornamen lung-lungan tersebut dikomposisikan sesuai bidang
selop. Sêlop berbentuk seperti sepatu, namun hanya bagian ujung
depan saja yang tertutup. Apabila ditarik sebuah garis dibagian tengah
sisi atas sêlop, maka akan muncul dua bidang kanan dan kiri, pada
bagian itulah posisi ornamen lung-lungan berada. Susunan ornamen
pada sêlop berbentuk pencerminan, yaitu susunan ornamen bidang
kanan dan susunan ornamen bidang kiri yang sama namun berhadapan.
Bagian tengahnya terdapat tulisan PB XIII, dan diantara tulisan PB dan
XIII terdapat simbol panunggül (mahkota).
Asessoris yang dikenakan Paku Buwono XIII pada saat
Tingalan Jumênêngandalêm berupa kalung ulür yang terbuat dari emas
murni. Asessoris tersebut berbentuk menyerupai rantai, namun setiap
mata rantainya berbentuk pipih, sehingga visualisasinya menyerupai
Gambar: 10 Bentuk sêlop (Sumber:
Dokumentasi Joko Purnomo, repro
foto Taufiqurrahman H 2012)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
97
kulit ular. Kalüng ulür memiliki pengancing yang menyatukan bagian
kanan dan bagian kiri kalung. Pengancing tersebut membentuk simbol
mahkota dan bertuliskan PB X. Panjang Kalüng ulür menjuntai hingga
kebagian perut. Pada bagian perut itulah ujung kalung ulur terkait.
Asessoris lain yang digunakan berupa bros berbentuk bunga
mawar, terbuat dari tembaga berhiaskan berlian diatasnya. Bentuk
mawar pada bros tersusun dari lima kelopak bunga mawar yang telah
digayakan/stilasi. Lima kelopak bunga tersebut disusun secara radiasi,
dengan pusatnya berupa lingkaran kecil ditengahnya. Letak
penggunaan bros menempel pada baju takwa bagian dada kiri.
Paku Buwono XIII saat Tingalan Jumênêngandalêm tahun
2005 menggunakan lencana penghargaan yaitu bintang Sri Kabadyä.
Lencana tersebut terbuat dari emas32
dipadu dengan sehelai kain
berwarna kuning, dan warna merah yang membentuk garis kecil pada
sisi kanan dan kirinya. Bintang Sri Kabadyä diletakkan pada dada
kanan bagian atas, dibawah bros bunga mawar. Selain asessoris bros
32
Wawancara dengan Hartoyo pada 27 Februari 2012.
Gambar: 11 Bros berbentuk bunga
mawar (Sumber: Dokumentasi Joko
Purnomo, repro foto Taufiqurrahman H,
2012)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
98
dan kalung, Paku Buwono XIII juga menggunakan asessoris berupa
cincin batu akik pada kedua jari manisnya.
2. Konsep Busana Paku Buwono XIII pada Upacara Tingalan
Jumênêngandalêm Tahun 2005
Baju takwä yang digunakan Paku Buwono XIII pada upacara
Tingalan Jumênêngandalêm 2005 merupakan salah satu jenis baju
krowok yang secara khusus hanya dipakai raja. Baju dengan gaya
krowok pada bagian belakang tersebut merupakan ciri busana gaya
Surakarta. Mode baju krowok telah berkembang sejak masa
pemerintahan Paku Buwono III dan IV. Baju takwä juga sering
disebut-sebut sebagai busana yang dahulu dikenakan Sunan Kalijaga,
yang semenjak 1945 dikenakan Paku Buwono XII sebagai busana
kebesaran raja. Menurut Honggopuro (2002, 69), baju takwä memiliki
maksud beriman kepada Tuhan. Hal ini sesuai dengan tesis Ratna
Endah Santoso (2010: 217), bahwa dalam mengenakan baju takwä
haruslah dekat dengan Tuhan, menerima keadaan, kenyataan,
sederhana dan rendah hati (berserah diri). Sehingga keseluruhan
Gambar: 12 Kalüng ülür
(Sumber: dokumentasi
Joko Purnomo, repro foto
Taufiqurrahman H, 2012)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
99
tersebut merupakan ketakwaan kepada Tuhan YME. Menurut
Winarnokusumo, bagian baju takwä yang menutup kearah kiri dan
lancip pada ujung bawahnya, terkait dengan sikap pengendalian diri.
Sedangkan bentuk lancipnya, merupakan penggambaran hati yang
tajam. Sehingga, ketajaman hati merupakan dasar sikap pengendalian
diri tersebut.
Desain baju takwä yang digunakan Paku Buwono XIII pada
Tingalan Jumênêngandalêm tahun 2005 merupakan representasi gaya
busana Paku Buwono IX, yakni baju takwä yang diberi ragam hias
lung33
. Warna magenta/ungu kemerahan pada baju takwä ditentukan
berdasarkan warna favorit mendiang Paku Buwono XII. Selain
berdasarkan warna vavorit, warna tersebut merupakan simbolisme
harapan bangkitnya kembali keraton Kasunanan Surakarta sebagai
pusat kebudayaan. Barangkali hal-hal diatas merupakan bentuk,
penghormatan atau rasa bangga atas sosok raja sebelumnya.
Motif bordiran benang emas yang ada pada setiap ujung baju
takwa diadopsi dari motif tiang (pilar) sasana sêwäkä. Lung-lungan
yang merupakan bentuk ornamen bordir penghias baju takwä adalah
jenis ragam hias yang terilhami bentuk tumbuhan ubi jalar. Dalam
lingkup masyarakat Jawa, kata lung merupakan sebutan untuk jenis
tumbuhan tersebut, hingga kini sebutan lung masih digunakan oleh
33
Lihat lampiran hal 171 gambar 59.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
100
penduduk dipelosok-pelosok desa34
. Lung merupakan ragam hias yang
banyak dijumpai dalam kebudayaan tradisi Jawa, hal tersebut didasari
dari keberadaan tumbuhan ubi jalar yang banyak tumbuh di
lingkungan tanah Jawa. Ubi jalar merupakan salah satu jenis tumbuhan
yang mudah tumbuh dan dapat digunakan sebagai makanan pokok35
.
Seluruh dasar rupa baju takwä diatas, mengacu pada usaha variatifisasi
yang didasari asumsi bahwa baju takwä yang digunakan Paku Buwono
XII selalu polos36
. Sehingga konsep baju takwä Paku Buwono XIII
merupakan arahan pada citra eksistensi idividu raja sebagai pewaris
tahta kerajaan.
Batik parang garudhä yang dikenakan Paku Buwono XIII pada
tahun 2005 merupakan sebuah variasi dari batik parang barong37
. Hal
tersebut terasa kurang tepat apabila dipandang berdasarkan tatanan
tradisi keraton kasunanan Surakarta. Menurut budaya tradisinya, batik
yang digunakan raja pada upacara Tingalan Jumênêngandalêm adalah
batik parang barong. Motif batik tersebut merupakan ciri agêman
luhür yang menandakan garis keturunan raja-raja Mataram.
34
Menurut wawancara dengan Prof. Dharsono pada 15 Maret 2012, di Wisma Seni TBJT
35 Wawancara dengan bapak Sugeng Tukiyo pada 18 Maret 2012 di rumah beliau.
36 Berdasarkan wawancara dengan GRAy. Kus Murtiyah Wirabumi pada 20 Januari 2012, dan
KP. Winarnokusumo pada 3 januari 2012 di keraton Kasunanan Surakarta.
37
Berdasarkan wawancara dengan KP. Winarnokusumo pada 03 Januari 2012 dan Gray. Kus
Murtiyah Wirabumi pada 20 Januari 2012.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
101
(Honggopuro, 2002 : 48). Hartoyo38
yang diberi wewenang sebagai
pêngagêm (penata busana) Paku Buwono XIII pada setiap upacara
Tingalan Jumênêngandalêm, menyatakan bahwa pada tahun tersebut
terjadi suatu kesalahan penggunaan motif batik. Pada Tingalan
Jumênêngandalêm tahun 2005 yang bertugas sebagai pêngagêm adalah
orang lain. Menurut Hartoyo, penggunaan motif batik parang garudhä
pada upacara Tingalan Jumênêngandalêm tahun 2005 merupakan
suatu hal yang tidak sesuai dengan tatanan tradisi (paugêran) keraton
Surakarta. Namun berbeda dengan pendapat Dharsono, bahwa raja
merupakan seorang individu yang secara tradisi ditunjuk sebagai wakil
Tuhan. Oleh karena itu penggunaan batik parang garudhä merupakan
suatu hal yang sah. Aturan penggunaan jenis motif tertentu hanya
berlaku bagi selain raja, karena raja merupakan aturan untuk hirarki
dibawahnya. Lain halnya dengan pendapat Sugeng Tukiyo,
penggunaan batik parang barong oleh raja merupakan suatu dogma
kerajaan mataram sejak dahulu. Penggunaan batik parang barong
merupakan suatu aturan yang disepakati secara turun-temurun sejak
Panembahan Senopati (abad 16). Seluruh pendapat diatas didasari
intepretasi dan pengetahuan masing-masing responden, sehingga dapat
disimpulkan bahwa penggunaan batik parang garudhä, dimaksudkan
sebagai upaya legimitasi raja atas sesuatu yang dikuasainya (budaya
38
Berdasarkan wawancara dengan Hartoyo, pada 08 Januari 2012.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
102
tradisi). Sehingga hal tersebut akan mengarahkan pada pembangunan
citra Paku Buwono XIII sebagai pemangku adat.
Motif parang garudhä yang terdiri dari dua motif utama
merupakan penyatuan konsep motif parang dan motif garudhä. Motif
parang adalah representasi lereng tebing pantai selatan, yang dianggap
kokoh dan kuat. Sedangkan motif garudhä merupakan perwujudan
burung yang disimbolkan sebagai penguasa angkasa. Motif burung ini
menurut Dharsono (2007: 108) merupakan penggambaran angin yang
bersifat supiyah (baik budi). Motif tambahan yang berupa lung-lungan,
gunung, cêplok bunga, adalah lambang kehidupan dunia.
Kulük kanigaran yang dikenakan Paku Buwono XIII
merupakan salah satu atribut yang dikhususkan hanya untuk raja. Oleh
karena itu kulük merupakan tanda seseorang sebagai penguasa
kerajaan. Menurut sejarah yang diungkapkan Wirastodipuro (2003: 29)
para raja Mataram sebelum masa pemerintahan Paku Buwono I masih
menggunakan tutup kepala berupa makutho. Bersamaan dengan
dihukumnya Kanjeng Susuhunan Prabu Hamangkurat III39
yang
dibuang ke Ceylon, Srilanka (permulaan abad 18), makutho yang
digunakannya hilang, tidak ditemukan kembali. Oleh sebab itu Paku
Buwono I membuat gantinya yang berupa kulük.
39
Amangkurat Emas
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
103
Konsep kulük terdapat pada sepuluh garis lungsèn emas, yang
merupakan gambaran dari bilangan sakral kiblat papat limä pacêr,
yang dibagi menjadi dua sehingga menghasilkan jumlah empat garis
pada sisi kanan kuluk (kiblat papat) dengan satu buah garis di depan
(limä pancêr), dan empat buah garis pada sisi kiri kulük (kiblat papat)
dengan satu garis dibelakang (limä pancêr)40
. Dengan pembagian
tersebut bilangan sakral kiblat papat lima pancêr terdapat di sisi kanan
dan sisi kiri kulük. Kiblat papat limä pancêr dikenal dengan
penggolongan keempat dimensi ruang, berpola empat mata angin
dengan satu pusat (Dharsono, 2007: 35). Empat mata angin pada kulük
kanigaran diwujudkan dengan garis pada sisi kanan/kiri kulük,
sedangkan satu pusat diwujudkan dengan satu garis pada sisi tengah
bagian depan/belakang kulük. Kiblat papat limä pancêr juga
merupakan gambaran dari elemen sifat manusia, yaitu serakah,
dendam, nafsu birahi, sabar, dan tenteram41
.
Bentuk kulük yang memanjang secara vertikal, dengan bagian
atas menyempit seolah menunjukkan bagian tersebut sebagai
puncaknya. Bentuk tersebut memiliki keterkaitan dengan konsep tri
loka/tri buänä, yaitu penggambaran hubungan antara manusia dan
40
Berdasarkan wawancara dengan Hartoyo, 27 Februari 2012.
41
Ratna Endah Santoso, Busana Paku Buwono XII (Tesis: Program Pasca Sarjana Institut Seni
Indonesia, Surakarta 2010), hlm 220.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
104
Tuhannya42
. Bentuk hubungan ini tergambarkan melalui tiga macam
jagad yaitu, jagad bawah (alam sakala), jagad tengah (alam sakala-
niskala), dan jagad atas (alam niskala). Secara vertikal mengatur
hubungan batin individu (mikrokosmos) dengan Tuhannya dan secara
horizontal mengatur hubungan antara batin individu dengan
lingkungan alam semesta (makrokosmos) (Dharsono, 2007: 29).
Setagèn yang dikenakan Paku Buwono XIII pada busananya
berfungsi sebagai pengikat kain batiknya, yang memiliki teknik
pengikatan secara tradisional. Oleh karena itu, penggunaan setagèn
didasarkan pada aspek fungsinya. Sehingga, setagen tidak memiliki
ragam hias tertentu atau polos.
Sabuk dengan motif tèjä tirtä Paku Buwono XIII pada upacara
Tingalan Jumênêngandalêm tahun 2005 digunakan sebagai penutup
sêtagèn, yang secara khusus dipesan dari Tailand43
, sehingga
berorientasi pada citra eksklusif. Menurut paugêran/tatanan tradisi
keraton Surakarta, sabuk bermotif hanya dikenakan oleh raja pada
upacara-upacara tradisi (Wirastodipuro, 2003;64). Oleh karena itu,
konsep digunakannya sabuk dengan motif tirtä tèja merupakan bentuk
pencitraan raja sebagai pemangku adat. Tèjo berarti cahaya, sedangkan
tirtä berarti air, sehingga bila disatukan berarti cahaya air.
42
Berdasarkan wawancara dengan Hartoyo, 27 Februari 2012.
43
Berdasarkan wawancara dengan GRAy. Kus Murtiyah Wirabumi pada 20 Januari 2012 di
keraton Surakarta.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
105
Epek dengan corak untu walang dengan isian lung-lungan
hanya dipakai oleh Paku Buwono XIII, yang berdasar pada
paugeran/tatanan penggunaan epek menurut tradisi keraton Surakarta.
Dènè mênawi sowan datêng kraton, tumprap sêntänä dalêm punäpä
abdi dalêm ingkang sêsêbatan Bupati mangandap, mbotên kêparêng
mêngagêm èpèk ingkang blodiran untu walang punapadènè ombak
banyu prayoginipun ingkang polos, punäpä, abrit, ijêm, wungu
sumänggä (Wirastodipuro, 2003: 69).
Artinya: jika menghadap ke keraton bagi putra sêntana dalêm (putra
raja), ataupun abdi dalêm yang disebut bupati dan tingkat dibawahnya
tidak boleh menggunakan èpèk yang dibordir untu walang atau ombak
banyu, dan sebaiknya menggunakan yang polos atau merah, hijau dan
ungu.
Corak untu walang, menurut Winarnokusumo44
dikaitkan dengan
bentuk lancip bergerigi, yang berfungsi sebagai senjata untuk
menghalangi. Fungsi ini diterapakan pada bentuk simbolisme corak
untu walang tersebut. Sedangkan ornamen lung ditengah-tengahnya,
merupakan gambaran pohon ubi jalar, yang diyakini sebagai semangat
hidup berkelanjutan dan berkesinambungan.
Penggunaan timang dan lêrêp adalah menurut fungsinya, yaitu
sebagai pengunci èpèk. Selain berdasarkan fungsi teknisnya, timang
dan lêrêp juga berperan sebagai asessoris. Oleh karena itu, bentuk
44
Wawancara 3 Januari 2012.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
106
corak timang dan lêrêp didasari selera siniwun sendiri45
. Bentuk dasar
timang diadaptasi dari bentuk timang raja-raja terdahulu, namun
menurut keterangan Hartoyo, timang dan lêrêp yang di pakai PB XIII
berhiaskan berlian. Konsep inilah yang menyatakan pencitraannnya.
Penggunaan keris gayaman didasarkan pada pertimbangan
kenyamanan ketika dipakai. Karena bentuk warängkä keris tersebut
memiliki bentuk lebih sederhana dibandingkan keris Ladrang46
.
Kepraktisan dalam penggunaan keris gayaman tampaknya menjadi hal
mendasar digunakannya keris tersebut. Menurut Sugiyatno47
,
berdasarkan adat tradisi keraton, keris gayaman hanya digunakan
untuk upacara-upacara kecil (pisowanan alit) atau padintenan. Pada
upacara besar (pisowanan agêng) keris yang digunakan adalah
ladrang.
Dilihat dari paugêran /tatanan tradisi keraton Surakarta, sêlop
merupakan salah satu kelengkapan berbusana yang hak
penggunaannya dalam lingkup keraton Surakarta hanya dimiliki oleh
raja. Sêlop hitam dengan corak bordir lung-lungan merupakan gaya
yang diadopsi dari sêlop Paku Buwono XII, namun memiliki
45
Berdasarkan wawancara dengan Hartoyo, pada 27 Februari 2011.
46
Berdasarkan wawancara dengan KGPH. Puger, BA, pada 08 Desember 2011.
47
Wawancara 21 Maret 2012
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
107
perbedaan pada tulisan nama ditengah selop yaitu PB XIII48
. Bentuk
motif lung-lungan pada sêlop tersebut memiliki kesamaan dengan
motif bordir baju takwä, yang merupakan representasi kekuasaan PB
XIII dalam perlambangannya.
Pada tahun 2005 Paku Buwono XIII menggunakan lencana
Bintang Sri Kabadyä. Lencana tersebut merupakan penghargaan dari
Paku Buwono XII karena jasanya kepada keraton ketika masih
bergelar Kanjêng Gusti Pangèran Haryä49
. Sangat jelas bahwa,
penggunaan bintang Sri Kabadya pada Tingalan Jumênêngandalêm
tahun 2005, dimaksudkan sebagai citra kewibawaan sinuwun.
Perhiasan berupa bros yang dikenakan Paku Buwono XIII pada
Tingalan Jumênêngandalêm tahun 2005 berbentuk bunga mawar.
Penggunaan perhiasan tersebut didasarkan pada selera dan kepantasan
dengan baju takwä-nya menurut Paku Buwono XIII, permaisurinya
,dan Bapak Hartoyo sebagai penata busananya50
. Bros ini dibuat oleh
GRAy Kus murtiya Wirabumi, yang memuat gagasan keindahan dan
kemuliaan. Penggunaan bros ini sebagai nilai citra Paku Buwono XIII.
48
Berdasarkan wawancara dengan GRAy. Kus Murtiyah Wirabumi pada 20 Januari 2012 di
keraton Surakarta.
49
Berdasarkan wawancara dengan GKR. Galuh Kencana, pada 30 Januari 2012.
50
Berdasarkan wawancara dengan Hartoyo, pada 08 Januari 2012.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
108
Asesssoris berupa kalung ulür digunakan sebagai daya
kewibawaan diri sebagai raja51
. Selain itu, kalung ulür bertuliskan PB
X merupakan tanda keturunan dari anak Kanjeng Ratu Kidul yang
didasari kisah Paku Buwono X masih beumur balita sedang menyusul
ayahandanya (PB IX) yang sedang bertemu Kanjeng Ratu Kidul
didalam ruang songgo buwono. Ketika Paku Buwono X berjalan
menaiki tangga, ia hampir terjatuh namun ditolong oleh Kanjeng Ratu
Kidul. Saat itu pula, dengan spontan Kanjeng Ratu Kidul berkata
“èh..anakku nggèr”, yang berarti “oh.. anakku” 52
. Semenjak peristiwa
tersebut, PB X tidak lagi dianggap sebagai suami Kanjeng Ratu Kidul
namun dianggap sebagai anaknya.
Kalung ulür merupakan perhiasan yang juga dikenakan Paku
Buwono XII. Menurut Sugeng Tukiyo kalung ulür diadopsi dari
kalung tasbih yang digunakan para wali (wali songo). Hal ini
merupakan bentuk diversivikasi atribut para wali oleh raja mataram
yang berpredikat sebagai wakil Tuhan (kalifatullah). Sugeng
menambahkan, kalung ulür Paku Buwono XIII memiliki konsep kulit
ular. Hal tersebut nampak pada rangkaian mata rantai yang berbentuk
pipih. Konsep ular ini berkaitan dengan hubungan raja dengan Kanjeng
Ratu Kidul tersebut. Berbeda dengan pendapat sugiyatno, bahwa
51
Berdasarkan wawancara dengan KP. Winarnokusumo pada 03 Januari
52
Berdasarkan wawancara dengan KP. Winarnokusumo pada 03 Januari 2012
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
109
kalung ulür tersebut merupakan kalung imogirèn, maksudnya kalung
yang dibuat secara sembarangan. Sebagai seorang yang dekat dengan
Paku Buwono XII sugiyatno cenderung tidak menginginkan adanya
suatu bentuk berbeda dari sebelumnya. Mengingat kalung ulür Paku
Buwono XII berbentuk menyerupai pilinan tali, sedangkan kalung
Paku Buwono XIII berbentuk rantai. Kesamaan kalung tersebut yakni
pada simbol makutho bertuliskan PB X. Jika dirunut kembali pada
konsep raja sebagai wakil tuhan yang memiliki hak prerogratif yang
penuh maka hal tersebut merupakan suatu yang sah. Sebagai individu,
raja berhak mengungkapkan gagasan-gagasannya dalam berbusana.
Cincin yang digunakan dikedua jari manis Paku Buwono XIII
merupakan asessoris tambahan menurut selernya. Pada dasarnya cincin
yang digunakan para raja Surakarta terdahulu berfungsi sebagai
setempel raja, namun hal tersebut kini telah tidak berfungsi karena raja
pada era kini berpredikat sebagai pemangku adat53
. Sehingga, cincin
tersebut merupakan material yang berfungsi sebagai salah satu nilai
kemuliaan dan kewibawaan beliau.
Setiap unsur busana Paku Buwono XIII pada upacara Tingalan
Jumênêngandalêm tahun 2005 dapat dipaparkan konsepnya secara
menyeluruh. Secara umum konsep busana tahun 2005 tersebut adalah
pencitraan individu raja yang diungkapkan melalui peletakan nilai-
53
Berdasarkan wawancara dengan KP. Winarnokusumo pada 03 Januari 2012
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
110
nilai atribut raja terdahulu. Dari keseluruhan bentuk dan konsep
busana, motif batik-nyalah yang terlihat mencolok. Motif batik yang
tergolong modifikasi tersebut mengungkapkan usaha legitimasi
kekuasaan oleh Paku Buwono XIII.
3. Makna Simbolis Busana Paku Buwono XIII pada Upacara
Tingalan Jumênêngandalêm Tahun 2005
Baju takwä Paku Buwono XIII Pada Tingalan
Jumênêngandalêm tahun 2005 dimaknai sebagai ketajaman hati
manusia dalam menghadapi dan mengendalikan liku kehidupannya54
.
Hal tersebut seolah tidak terkait dengan nama takwä pada baju. Jika
dilihat dari nama takwä sendiri, busana tersebut mencerminkan
kedekatan dengan Tuhan55
. Menurut Honggopuro (2002: 69) sebutan
baju takwä dimaksudkan beriman kepada Tuhan, sehingga dapat
disimpulkan bahwa maknanya adalah ketakwaan manusia yang
tercermin dengan ketajaman hati dalam menghadapi dan
mengendalikan liku kehidupan (ujian dari Tuhan). Warna magenta /
ungu kemerahan baju takwä dimaknai sebagai kebangkitan56
.
54
Berdasarkan wawancara dengan KP. Winarnokusumo pada 03 Januari
55
Ratna Endah Santoso, Busana Paku Buwono XII (Tesis: Program Pasca Sarjana Institut Seni
Indonesia, Surakarta), hlm 217.
56
Berdasarkan wawancara dengan KP. Winarnokusumo pada 03 Januari 2012 dan Gray. Kus
Murtiyah Wirabumi pada 20 Januari 2012.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
111
Sehingga, baju takwä dengan warna magenta/ungu kemerahan,
bermakana ketajaman hati manusia dalam menghadapi dan
mengendalikan liku kehidupannya merupakan cermin ketakwaan.
Ornamen lung-lungan bordir benang emas pada baju takwä
menurut Sugeng Tukiyo merupakan gambaran kehidupan atau sesuatu
yang berkelanjutan dan berkesinambungan. Disimbolan melalui
bentuk-bentuk kuncup, daun, bunga, dan tangkai yang seolah-olah
terus tumbuh yang bermakna, sepirit kehidupan57
. Berbeda dengan
pemaknaan menurut KP. Winarnokusumo, bahwa lung-lungan
dimaknai sebagai liku-liku dalam kehidupan. Kedua pemaknaan
tersebut memiliki esensi utama yaitu kehidupan, sehingga motif lung-
lungan dapat dimaknai sebagai proses menjalani kehidupan dengan
baik niscaya akan mendapatkan keberuntungan dan kebaikan di dunia
dan akhirat.
Batik yang dikenakan tahun 2005 adalah batik parang yang
dipadu dengan motif garudhä dan motif isian lung, gunung, dan
puspitä. Batik tersebut dimaknai sebagai kekuatan menghadapi
rintangan yang disimbolkan dengan motif parang-nya, dan bisa
menang tanpa perang yang disimbolkan dengan motif garudhä-nya.
Ornamen isiannya seperti lung, rumah, dan puspitä (bunga)
57
Berdasarkan wawancara dengan GRAy. Kus Murtiyah Wirabumi pada 20 Januari 2012 di
keraton Surakarta
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
112
menggambarkan kehidupan dunia58
. Pemaknaan diatas dapat
disimpulkan bahwa dalam menghadapi rintangan dalam kehidupan
(cobaan) seorang pemimpin hendaknya berperilaku cerdas dan
bijaksana sehingga bisa menyelesaikan permasalahan dunia tanpa
perseteruan fisik.
Kuluk kanigaran bermakna kemuliaan abadi, yang tergambar
melalui warna emas pada lungsènnya yang berarti kemuliaan, dan
warna hitam yang berarti keabadian (langgêng)59
. Pemaknaan tersebut
merupakan wujud dari kedudukan raja sebagai manusia dalam dunia
tengah (sakala-niskala), yang harus mampu mengendalikan lima sifat
dasar manusia (kiblat papat limä pancêr).
Setagen yang dikenakan sebagai pengikat batiknya dimaknai
sebagai tekat/pendirian manusia yang harus kuat. Makna tersebut
digambarkan dengan ikatan setagen pada kain batik, ikatan tersebut
harus kuat karena batik memiliki falsafah yang baik60
.
Sabuk yang dikenakan Paku Buwono XIII menurut
Winarnokusumo bermakna sinuwun punikä samukawis kawicaksanan,
tindak tandhuk sarwi ngrêmênakên61
. Maksud dari pemaknaan tersebut
bahwa seorang raja hendaknya berperilaku bijaksana dan seluruh 58
Berdasarkan wawancara dengan KP. Winarnokusumo pada 03 Januari
59
Berdasarkan wawancara dengan KP. Winarnokusumo pada 03 Januari 2012
60
Berdasarkan wawancara dengan KP. Winarnokusumo pada 03 Januari
61 Berdasarkan wawancara dengan KP. Winarnokusumo pada 03 Januari
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
113
tingkah lakunya serba menyenangkan. Motif tèjä tirtä pemaknaannya
terkait dengan simbol cahaya (tèjä) dan air (tirtä) yang bersifat seperti
air yaitu jujur (mutmainnah). Sehingga makna sabuk tèjä tirtä adalah
kejujuran dan kebijaksanaan.
Lengkapan lainnya adalah èpèk yang berfungsi sebagai
pengencang sabuk, dimaknai sebagai kekuatan yang mampu
mengendalikan sesuatu yang tidak baik. Sedangkan corak pada èpèk,
yaitu untu walang dimaknai sebagai kemampuan memangkas sesuatu
yang tidak baik. Ornamen lung-lungan yang menjadi isian corak untu
walang dimaknai sebagai liku-liku kehidupan62
. Secara keseluruhan
èpèk yang digunakan Paku Buwono XIII pada Tingalan
Jumênêngandalêm tahun 2005 dapat dimakanai sebagai kemampuan
seorang pemimpin/raja dalam meencegah serta mengendalikan sesuatu
yang tidak baik dalam kehidupan yang penuh liku.
Timang yang berfungsi sebagai pengunci èpèk bermakna
kebijaksanaan dalam bertidak dan berperilaku. Sedangkan lêrêp yang
berfungsi sebagai pengait sisa èpèk dimaknai sebgai ketenangan dalam
mempertimbangkan sesuatu63
. Pemaknaan ini terasa tidak relevan
dengan konsep timang dan lêrêp PB XIII, yang mengarahkan pada
pencitraan raja. Hal ini menunjuk kemungkinan bahwa timang dan
62
wawancara 03 Januari 2012.
63 wawancara pada 03 Januari 2012
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
114
lêrêp dalam penggunaannya telah bergeser pada kelengkapan saja,
sehingga dapat dimaknai sebagai kewibawaan.
Keris dengan jenis gayaman dimaknai sebagai kesederhanaan
pribadi yaitu tidak menonjolkan keunggulan-keunggulan yang dimiliki
sehingga akan berakibat pada sifat penyombongan diri. Pemaknaan
tersebut disimbolkan oleh bentuk keris yang sederhana, dan
kepraktisan dalam pemakaiannya.
Sêlop dengan ornamen lung-lungan, bordir mahkota, dan
bertuliskan PB XIII dimaknai dengan kemuliaan yang abadi. Makna
tersebut disimbolkan dengan warna hitam (abadi), dan bordir emas
ornamen lung (kemuliaan). Sedangkan bordir mahkota menyimbolkan
kekuasaan milik raja, dan bordir tulisan PB XIII menyimbolkan raja
yang sedang bertahta. Sehingga secara keseluruhan selop yang
digunakan Paku Buwono XIII pada Tingalan Jumênêngandalêm tahun
2005 bermakna kemuliaan abadi bagi kekuasaan raja Paku Buwono
XIII64
.
Lencana penghargaan yang dikenakan Paku Buwono XII
dimaknai sebagai cahaya kemuliaan, disimbolkan dengan bentuk
pancaran bintang emas. Hal ini mengacu pada perilaku baik yang
mampu memberi penerangan, dan contoh pada masyarakat. Sedangkan
warna merah dan kuning pada sehelai kainnnya juga mengandung
64
Berdasarkan wawancara dengan KP. Winarnokusumo pada 03 Januari 2012
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
115
makna tersendiri. Simbolisme tersebut terkait dengan konsep
pemaknaan simbol sri radyä laksanä yaitu jiwa kesepuhan secara lahir
dan batin yang didasari sifat sabar, tidak terburu nafsu dan
sebagainya65
. Selain bintang Sri Kabadya Paku Buwono XIII juga
menggunakan bros berbentuk puspitä/bunga mawar yang bermakna
kebaikan dan kemuliaan dalam kehidupan66
.
Asessoris berupa kalüng ulür bermakna kemuliaan,
kewibawaan, dan kebijaksanaan seperti Paku Buwono X. Hal tersebut
sesuai dengan konsep kalüng ulür yang mengacu pada kisah
terputusnya hubungan suami-istri antara raja keraton Surakarta dan
Kanjeng Ratu Kidül. Cincin Paku Buwono XIII yang merupakan
perhiasan sebagai bentuk pengganti cincin stempel pada kekuasaan
terdahulu bermakana keindahan, dan kewibawaan. Pemaknaan tersebut
didasarkan pada konsep pemakaian cincin sebagai pembentukan nilai
pencitraan raja.
Busana Paku Buwono XIII pada Upacara Tingalan
Jumênêngandalêm tahun 2005 secara keseluruhan bermakna
kebangkitan kekuasaan, kewibawaan, dan kemuliaan raja penerus
tahta. Pemaknaan tersebut merupakan esensi pencitraan dan
65
Berdasarkan wawancara dengan GKR Galuh Kencono pada 30 Januari 2012
66
GRAy. Kus Murtiyah Wirabumi, pada 20 Januari 2012
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
116
pembentukan nilai individu raja penerus tahta melalui atribut upacara
ulang tahun penobatannya yang pertama.
B. Busana Paku Buwono XIII pada Upacara Tingalan Jumênêngandalêm
Tahun 2006
1. Bentuk Busana Paku Buwono XIII pada Upacara Tingalan
Jumênêngandalêm Tahun 2006
Tahun 2006 merupakan tahun kedua Tingalan
Jumênêngandalêm Paku Buwono XIII. Tradisi kirab setelah upacara
Gambar: 13 Letak bagian
busana tahun 2006 (Sumber:
dokumentasi Joko Purnomo,
repro foto Taufiqurrahman
H 2012)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
117
juga masih dilaksanakan seperti tahun sebelumnya. Busana yang
dipakai Paku Buwono XIII secara umum masih sama dengan bentuk
busana yang dipakai tahun 2005, namun terdapat beberapan perbedaan.
Perbedaan tersebut terletak pada warna hijau terang baju takwä, motif
batik (sinjang) parang barong, penggunaan bros makuthä bertulis
PBX yang tahun sebelumnya tidak digunakan. Secara menyeluruh
busana paku buwono XIII pada upacara Tingalan Jumênêngandalêm
tahun 2006 meliputi baju takwä bludru berwarna hijau, sinjang
bermotif parang barong, lengkapan berupa kulük kanigaran, sêlop,
setagen, sabuk tirtä tèjä latar merah tua (soga), keris, èpèk
untuwalang, timang, lêrêp dan asessoris berupa, gayaman, kalung
ulür, bros mawar, bintang sri kabadyä, bros makuthä bertulis PB X,
cincin dikedua jari manis. Seluruh atribut tahun 2005 yang digunakan
lagi pada tahun 2006 tidak perlu dijelaskan kembali, sehingga tidak
akan terjadi pemaparan berulang. Berikut adalah atribut-atribut Paku
Buwono XIII pada Upacara Tingalan Jumênêngandalêm tahun 2006
yang perlu dijelaskan.
Baju takwä yang dipakai Paku Buwono XIII merupakan jenis
baju krowok seperti yang digunakan pada tahun 2005. Perbedaan yang
nampak pada baju tersebut polos, berwarna hijau terang berbahan kain
bludru. Warna hijau terang adalah salah satu dari tiga kombinasi warna
yang direkayasa secara analogus. Warna hijau yang dipadu dengan
bahan beludru menghasilkan warna hijau terang kehitam-hitaman,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
118
sehingga memiliki wilayah gelap dan wilayah terang. Kain beludru
memiliki ciri tekstur yang khas, yakni berbulu sangat pendek namun
halus. Daerah diantara bulu-bulu halusnya menghasilkan kesan
kehitam-hitaman (daerah gelap). Sedangkan daerah terang dihasilkan
dari ujung bulu yang didukung adanya puncak lekuk-lekuk kain.
Sinjang yang dipakai bermotif parang barong dengan latar
putih (pêthak). Parang barong merupakan salah satu motif batik
berpola lèrèng yang memiliki ciri pokok pilin berganda67
. Unsurnya
terdiri dari motif utama berupa parang berukuran besar/gemuk, dan
motif isian berupa mlinjon atau moto garèng yang berada diantara dua
pola lèrèng68
atau sigêg. Motif isian lainnya yaitu ucêng yang berada
67
Pilin berganda adalah bentuk bidang motif utama pada motif parang barong, menyerupai
pilinan tali.
68
Berbentuk garis memutar mengikuti bidang belah ketupat
Gambar: 14 Warna kain pada baju takwä
(Sumber: Dokumentasi Joko Purnomo, repro
foto Taufiqurrahman H 2012)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
119
diantara bidang motif parang69
. Unsur warnanya terdiri dari warna
putih, coklat tua, dan hitam (wêdêlan).
Selain baju takwä dan sinjang, pada tahun 2006 Paku Buwono
XIII juga menggunakan bros berbentuk panunggül bertuliskan PB X
yang terletak pada dada kiri bagian atas. Bros tersebut terbuat dari
logam berwarna crome. Susunan dekorasinya terdiri dari relief
makuthä yang berada dibagian paling atas, dibawahnya terdapat garis
lengkungan bergerigi. Ditengahnya tertulis huruf PBX dengan
susunan, angka romawi X berada diantara huruf P dan B namun agak
turun kebawah. Bagian bawahnya terdapat corak lung-lungan. Sisi
69
Wawancara dengan H. Sugiyatno pada 21 Maret 2012.
Gambar: 15 Unsur motif parang
barong (Sumber: Joko Purnomo
repro foto Taufiqurrahman H)
Motif parang barong
Mlinjon
Ucêng
Pilin berganda
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
120
paling bawah terdapat bentuk menyerupai rantai berjumlah 5, pada
ujungnya berbentuk lancip menyerupai mata tombak.
2. Konsep Busana Paku Buwono XIII pada Upacara Tingalan
Jumênêngandalêm Tahun 2006
Baju takwä pertama kali dipakai sebagai busana kebesaran raja
pada upacara Tingalan Jumênêngandalêm sejak masa pemerintahan
Paku Buwono XII70
. PB XII dalam berbusana takwä, selalu polos
tanpa ragam hias/oranamen apapun dan biasanya berwarna (tidak
hanya hitam), berbahan beludru. Hal seperti itulah yang juga
diterapkan pada baju takwä Paku Buwono XIII pada upacara Tingalan
Jumênêngandalêm tahun 2006.
70
Raja-raja Surakarta terdahulu tidak menggunakan baju takwa pada upacara Tingalan
Jumenengandalem.
Gambar: 16 Bentuk bros Makutho bertulis PB X (Sumber:
Joko Purnomo, repro foto Taufiqurrahman H, 2012)
Simbol makuthä
Garis lengkung bergerigi
Tertulis
PB X
Dekorasi
lung-lungan
Bentuk rantai
berujung lancip
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
121
Penggunaan baju takwä berwarna hijau terang ditentukan oleh
Bapak Hartoyo sebagai penata busananya. Menurut keterangan
beliau71
dalam menentukan pilihan busana Sinuwun berdasarkan
angsar yaitu penetapan sesuatu dengan mata batin yang didahului
dengan niat lilahdalêm. Setelah ketentuan itu tercapai kemudian
dipertimbangkan oleh selera Paku Buwono XIII dan permaisurinya.
Pada dasarnya ketentuan warna baju takwä berdasarkan gagasan
pribadi Paku Buwono XIII. Aplikasi warna pada jenis busana ini tidak
ada ketentuan/paugêran dalam adat tradisi keraton72
. Menurut konsep
kiblat papat limä pancêr, warna hijau merupakan simbol bumi yaitu
pusat (pancêr) dari empat arah. Selain itu merupakan penggambaran
subjek nafsu batin manusia yang hendaknya dikendalikan
(Dharsono,2007: 33). Ketentuan penggunaan bahan kain bludru
didasari dari paugêran yang berlaku menurut tradisi keraton. Menurut
adat tradisi keraton Surakarta baju krowok dengan bahan bludru hanya
boleh digunakan oleh raja saja73
. Hal ini menunjukkan bahwa jenis
kain ini, pada masanya memiliki nilai eksklusifitas yang tinggi.
71
Wawancaara pada 8 Januari 2012.
72 Ratna Endah Santoso, Busana Paku Buwono XII (Tesis:Institut Seni Indonesia Surakarta, 2010),
Hlm 226.
73 Winarnokusumo 3 Januari 2012
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
122
Batik parang barong yang dikenakan Paku Buwono XIII pada
tahun 2006 merupakan batik yang hanya boleh digunakan oleh raja74
.
Hal tersebut berdasarkan tatanan tradisi keraton kasunanan Surakarta
sejak dahulu. Motif batik parang barong berfungsi sebagai ciri
agêman keturunan raja-raja Mataram. Oleh karena itu batik parang
barong dianggap sebagai salah satu agêman luhür. Motif batik parang
barong biasa digunakan raja pada pasamuan ageng, dan kegiatan
kenegaraan lainnya75
seperti upacara Tingalan Jumênêngandalêm.
Penggunaan batik parang barong juga dipatuhi oleh raja-raja
terdahulu, seperti Paku Buwono XII. Disebut parang karena motif
utamanya menyerupai bentuk senjata tajam yaitu parang. Hal tersebut
dipahami oleh sebagian orang saja yang menurut Honggopuro (2002,
48), merupakan pengartian dengan cara wantah, yaitu pengartian suatu
objek berdasarkan keserupaan dengan objek lainnya. Berdasarkan tesis
kajian motif parang oleh Sarwono (2004)76
dan Honggopuro
(2002:48), parang berasal dari kata pereng yaitu pinggiran tebing yang
berbentuk lèrèng (diagonal 45°). Hal tersebut menunjukkan bahwa
motif parang terilhami bentuk diagonal tebing/lèrèng. Tebing yang
74
Berdasarkan wawancara dengan KP. Winarnokusumo pada 03 Januari 2012 dan Gray. Kus
Murtiyah Wirabumi pada 20 Januari 2012.
75
Sarwono, simbolisme motif parang dalam busana wayuang kuli purwa gaya Surakarta, (tesis:
Program Pasca sarjana, Institut Seni Surakarta, 2004), hlm 60.
76
Sarwono, Simbolisme Motif Parang Dalam Busana Wayang Kulit Purwa Gaya Surakarta (tesis:
Institut Seni Indonesia, Surakarta, 2004) hlm 57
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
123
mengilhami bentuk pola lèrèng adalah tebing-tebing di pesisir pantai
selatan yang diberi nama parang gupitä, parang kusumä, parang tritis
dan sebagainya. Tempat-tempat tersebut merupakan tempat teteki77
raja Mataram pertama yaitu Panembahan Senopati ing Alogo
(Honggopuro,2002:49-50). Laku têtêki Panembahan Senopati
tercermin dalam legenda Wahyu si Gagak Êmprit, yang merupakan
kisah usahanya mendapatkan wahyu kerajaan dan menjalin
persekutuan dengan Kanjêng Ratu Kidul (Kresna, 2011:35).
Sebutan Barong seringkali diidentikkan dengan binatang buas
singa, yang menurut mitologi Jawa memiliki kekuatan ampuh
(Sarwono, 2004: 60). Ukuran gemuk pada motif parang menurut
Dharsono78
didasarkan pada sebutan barong tersebut. Karena barong
(singa) merupakan gambaran dari seekor binatang buas dan kuat
Sebutan barong menurut Sarwono memiliki keterkaitan dengan konsep
totemisme. Konsep ini memandang bahwa pemberian nama pada
sesuatu memberi gambaran akan adanya kekuatan yang dapat
dimanfaatkan.
Sarwono (2004:60) menjelaskan, batik parang barong
merupakan induk dari pengembangan batik-batik parang. Hal tersebut
menurut Honggopuro (2002:50) terkait dengan Panembahan Senopati
77
Laku spiritual.
78
Wawancara pada 15 Maret 2012.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
124
yang mumpuni dibidang seni membuat yasan79
batik bermotif parang.
Ia menempatkan motif tersebut sebagai salah satu agêman luhür, yaitu
busana yang hanya boleh digunakan keturunan raja-raja Mataram.
Dalam kaitannya dengan hal tersebut Dharsono mengakatakan bahwa
yasan merupakan bentuk rekayasa kultural atau legitimasi kerajaan
atas motif batik tertentu. Beliau menambahkan, batik parang barong
merupakan hasil karya milik rakyat yang kemudian dicap kerajaan
sebagai agêman luhür, oleh karena itu dalam nama batik-batik tertentu
biasanya ditambahkan kalimat yasan dalêm. Contohnya batik parang
barong, yasan dalêm Panembahan Sènopati ing Alogo Khalifätulläh
Ngabdurrahman Sayidi Panätägämä.
79
Yasan adalah usaha pengakuan hak milik pihak kerajaan atas sesuatu, contohnya hak pemakaian
motif batik parang hanya untuk keluarga raja.
Gambar: 17 Batik parang barong PB XII pada upacara Tingalan
Jumênêngandalêm.(Sumber:kerajaannusantara.com.repro foto
Taufiqurrahman H 2012)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
125
Konsep bros makuthä memiliki kasatuan konsep dengan simbol
pengait pada kalung ulür. Hanya saja memiliki relief lung-lungan ,
beberapa potong rantai pendek berujung lancip, dan warnanya crome
atau silver. Bros ini merupakan buatan baru80
, bukan peninggalan raja-
raja sebelumnya, maka asumsinya adalah pengembangan simbol
mahkota bertulis PB X seperti pada pengait kalung ulür.
Konsep keseluruhan busana Paku Buwono XIII tahun 2006
adalah penerapan nilai serta citra Paku Buwono XII. Hal ini sangat
jelas terlihat pada keserupaan atribut yang dipakai, sehingga
menjelaskan adanya pernyataan tak langsung Paku Buwono XIII atas
kedudukannya sebagai raja pewaris pemerintahan keraton Surakarta.
3. Makna Simbolis Busana Paku Buwono XIII pada Upacara
Tingalan Jumênêngandalêm Tahun 2006
Baju takwä Paku Buwono XIII Pada Tingalan
Jumênêngandalêm tahun 2006 bermakna, seorang raja yang harus
mampu mengendalikan segala bentuk liku kehidupan sebagai cermin
ketakwaannya kepada Tuhan, sehingga mampu membawa
kesejahteraan hidup bagi masayarakat. Pemaknaan tersebut didasari
dari penyimbolan warna hijau sebagai kesuburan81
dan penyimbolan
80
Berdasar keterangan GRAy. Kus Murtiyah Wirabumi , 20 Januari 2012.
81 Berdasarkan wawancara dengan Hartoyo 8 Januari 2012 dan KP. Winarnokusumo 3 Januari
2012.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
126
baju takwä sebagai ageman raja yang berorientasi pada ketakwaan
pada yang Maha Kuasa. Namun berbeda dengan pemaknaan
berdasarkan kiblat papat limä pancêr, yakni warna hijau
melambangkan baik budi seseorang. Sehingga dapat ditarik
kesimpulan bahwa baju takwä dengan warna hijau bermakna,
keseimbangan atau pengendalian diri (baik budi) dalam segala bentuk
liku kehidupan sebagai cermin ketakwaan kepada Tuhan, yang mampu
membawa kesejahteraan hidup bagi masayarakat.
Menurut wawancara dengan KP. Winarnokusumo82
batik
parang barong bermakna kemampuan menghadapi dan mengendalikan
segala bentuk rintangan yang disimbolkan dengan motif parang yang
tertata miring. Hal tersebut juga difahami oleh Hartoyo83
. Berbeda
dengan pemaknaan menurut Sarwono (2004: 61), yakni harapan akan
kekuatan, keagungan, kebesaran serta kewibawaan dapat tercermin dan
terpancar.
Pemaknaan tersebut terkait dengan konsep motif parang
barong. Dalam hal ini, KP. Winarnokusumo dan Hartoyo menggap
simbolisme parang berasal dari bentuk senjata tajam,jenis parang.
Namun berbeda dengan pendapat menurut Sarwono (2004),
Honggopuro (2002), dan Prof. Dharsono84
bahwa parang merupakan
82
Sasana Wilapa, 3 Januari 2012 Keraton Surakarta.
83 Wawancara 8 Januari 2012.
84 Wawancara 15 Maret 2012.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
127
motif yang terilhami dari bentuk diagonal tebing/lereng. Menyikapi hal
ini, seolah telah ada pergeseran dalam hal pemaknaan untuk sebagian
masyarakat. Oleh karena itu, sebagai langkah objektif maka batik
parang barong bermakna, pancaran kekuatan dan keagungan sebagai
bentuk pengendalian.
Bros yang dikenakan berupa relief mahkota bertulis PBX
merupakan simbol raja dari keturunan Paku Buwono X85
, sehingga
dapat dimaknai sebagai kemuliaan, kebesaran, dan kecerdasan raja
keraton Surakarta seperti pendahulunya, Paku Buwono X. Pemaknaan
bros ini didasari atas konsep bros yang menyimbolkan kekuasaan Paku
Buwono X. Sehingga hal ini mengarah pada bentuk penghormatan dan
kebanggaan pada Paku Buwono X.
Secara menyeluruh busana Paku Buwono XIII pada upacara
Tingalan Jumênêngandalêm periode 2006 bermakna kewibawaan,
kebesaran, serta nilai kemuliaan yang setara dengan para raja
pendahulunya. Pemaknaan busana pada tahun 2006 ini berdasarkan
simbol-simbol yang secara umum dipakai Paku Buwono XIII pada
ulang tahun penobatannya yang kedua. Simbol-simbol tersebut
mengacu bentuk pengagungannya sebagai pewaris tahta kerajaan.
85
Berdasarkan wawancara dengan KP. Winarnokusumo pada 03 Januari 2012
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
128
C. Busana Paku Buwono XIII pada Upacara Tingalan Jumênêngandalêm
Tahun 2007
1. Bentuk Busana Paku Buwono XIII pada Upacara Tingalan
Jumênêngandalêm Tahun 2007
Tahun 2007 merupakan tahun ketiga Tingalan
Jumênêngandalêm Buwono XIII. Tradisi kirab pada tahun ini juga
masih dilaksanakan. Busana yang digunakan seluruhnya sama dengan
Gambar: 18 Letak bagian busana tahun 2007 (Sumber:
Dokumentasi Joko Purnomo, repro foto Taufiqurrahman H, 2012)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
129
tahun 2006, namun berbeda pada warna baju takwä. Busana Paku
Buwono XIII pada upacara Tingalan Jumênêngandalêm tahun 2007
meliputi baju takwä bludru berwarna merah tua, sinjang bermotif
parang barong, lengkapan berupa kulük kanigaran, sêlop, sêtagèn,
sabuk tirtä tèjä latar merah tua (soga), keris gayaman, èpèk untu
walang, timang, lêrêp dan asessoris berupa kalung ulür, bros mawar,
bintang sri kabadyä, bros relief mahkota bertulis PBX, cincin batu akik
dikedua jari manisnya.
Warna merah tua yang diterapkan pada kain jenis beludru
menghasilkan warna merah kehitaman. Pada gambar 42 tampak
warna-warna merah tua, warna merah kehitaman, dan warna
gelap/hitam. Intensitas cahaya yang menyinari cukup banyak, namun
warna daerah gelap tetap nampak. Warna yang dihasilkan seolah-olah
menyerupai warna hati, yaitu merah kehitaman.
Gambar: 19 Warna kain pada baju
takwä (Sumber: Dokumentasi Joko
Purnomo, repro foto Taufiqurrahman
H, 2012)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
130
2. Konsep Busana Paku Buwono XIII pada Upacara Tingalan
Jumênêngandalêm Tahun 2007
Warna merah dalam pandangan kiblat papat limä pancêr
merupakan simbol api yang mewakili arah selatan. Bentuk
penyimbolan tersebut sama halnya dengan penyimbolan menurut
ajaran astabrata. Api dalam ajaran astabrata disebut agni yang
merupakan salah satu dari sembilan sifat pemimpin (Dharsono, 2007:
37). Dalam konsep kiblat papat limä pancêr, api memiliki arti buruk
yaitu sifat angkara murka, iri, garang dan sebagainya. Namun ajaran
astabrata merah/api memiliki kemampuan membakar habis semua
yang ada didekatnya (Dharsono, 2007:37). Menurut Winarnokusumo86
merah memiliki sifat yang baik. Pendapat Winarnokusumo tampak
berseberangan dengan pandangan kiblat papat limä pancêr dan ajaran
astabrata. Oleh karena itu dapat dijelaskan asumsi yang mampu
meratakan ketiga pandangan diatas. Pandangan kiblat papat limä
pancêr menjelaskan bahwa lima sifat (hijau, kuning, merah, putih,
hitam) merupakan sifat pada diri manusia, yang sangat tergantung pada
pengendalian diri manusia tersebut. Sedangkan menurut ajaran
astabrata sifat api yang buruk dimanfaatkan sebagai bentuk penjiwaan
pemimpin dalam mengatur negaranya. Dua penjelasan diatas pada
86
Wawancara pada 3 Januari 2012.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
131
dasarnya mengarah pada bentuk pengendalian diri yang tersasar pada
sifat baik manusia.
Secara umum konsep busana tahun 2007 adalah pencitraan
individu raja yang diungkapkan melalui peletakan nilai-nilai atribut
raja sebelumnya. Hal tersebut sangat jelas tergambarkan pada baju
takwä beludru polos dan berwarna. Maka simbol-simbol yang termuat,
juga tidak jauh berbeda.
3. Makna Simbolis Busana Paku Buwono XIII pada Upacara
Tingalan Jumênêngandalêm tahun 2007
Baju takwä berwarna merah tua bermakna ketajaman hati
seorang pemimpin/raja dalam mengendalikan amarah atau angkara
murka sebagai cermin ketakwaannya kepada Tuhan, sehingga menjadi
pemberani dan penerang. Pemaknaan tersebut berlandaskan simbol
warna merah yang menurut ajaran astabrata bermakna kewibawaan
dan keberanian seorang pemimpin dalam menegakkan hukum secara
tegas dan tuntas tanpa pandang bulu (Dharsono, 2007: 37). Sedangkan
menurut pandangan kiblat papat limä poncêr warna merah merupakan
simbol sifat buruk yaitu amarah yang harus dikendalikan oleh manusia
itu sendiri. Pengendalian tersebut tersirat pada makna ajaran astabrata
diatas.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
132
Winarnokusumo87
menjelaskan bahwa warna merah memiliki
makna berani dan menerangi. Menurutnya warna merah merupakan
warna yang mencolok namun tidak menyilaukan. Hal tersebut
tergambarkan melalui warna merah kehitaman, yang menurut
Dharsono88
mengarah pada warna hati, sehingga memiliki arti
spiritual.
Busana Paku Buwono XIII pada upacara Tingalan
Jumênêngandalêm tahun 2007 secara menyeluruh bermakna
keberanian, kekuatan, ketegasan, yang memancarkan kewibawaan
agung seperti para raja pendahulunya. Makna kewibawaan yang
terpancar seperti raja sebelumnya didasari dari konsep atribut yang
senilai dengan raja sebelumnya. Maka, orientasinya adalah pencitraan
kedudukan Paku Buwono XIII sebagai raja penerus tahta.
87
Wawancara pada 3 Januari 2012.
88 Wawancara pada 18 Maret 2012.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
133
D. Busana Paku Buwono XIII pada Upacara Tingalan Jumênêngandalêm
Tahun 2008
1. Bentuk Busana Paku Buwono XIII pada Upacara Tingalan
Jumênêngandalêm Tahun 2008
Tahun 2008 merupakan tahun keempat Tingalan
Jumênêngandalêm Paku Buwono XIII. Tradisi kirap pada tahun ini
tidak dilaksanakan kembali. Busana yang dikenakan meliputi baju
takwa berwarna ungu tua, sinjang dengan motif parang barong,
lengkapan berupa kulük kanigaran, sêlop, sabuk bermotif tirtä tèjo
Gambar: 20 Letak bagian
busana tahun 2008
(Sumber: Dokumentasi
Joko Purnomo, repro foto
Taufiqurrahman H, 2012)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
134
latar merah tua (soga), keris gayaman, èpèk, timang, lêrêp, dan
asessoris berupa kalung ulür, bros makuthä bertulis PB X. Secara
umum busana-busana tersebut memiliki kesamaan dengan busana pada
tahun-tahun sebelumnya. Perbedaan yang nampak adalah warna ungu
tua pada baju takwä dan asessoris yang digunakan hanya bros makuthä
bertulis PB X, kalung ulür dan cincin, sedangkan bros bunga mawar
tidak digunakan.
Baju takwä berwarna ungu/violet tua atau dark violet 89
berbahan kain beludru. Warna tersebut memiliki kecenderungan pada
warna biru. Busana ini adalah salah satu dari tiga macam baju takwä
yang dibedakan melalui rekayasa warna secara analogus.
89
Sebutan dark violet diambil dari katalog warna Adobe Photoshop CS3
Gambar: 21 Warna kain pada
baju takwä tahun 2008 (Sumber:
Dokumentasi Joko Purnomo,
repro foto Taufiqurrahman H,
2012)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
135
2. Konsep Busana Paku Buwono XIII pada Upacara Tingalan
Jumênêngandalêm Tahun 2008
Warna violet merupakan warna paling berharga dan sangat
dihargai bangsa kuno. Hal ini disebabkan oleh sumber bahan warna
yang hanya bisa diperoleh dari kerang laut, murek (Santos, 2010: 175).
Warna tersebut sangat jarang ditemui di alam, oleh karena itu hanya
kerang murek-lah yang mampu menjadi sumber warna ungu. Dengan
alasan itulah orang-orang kuno sangat menghargai warna tersebut.
Maka, warna ungu merupakan warna yang dimuliakan dalam kerangka
budaya tradisi. Dalam kerangka budaya tradisi warna ungu merupakan
warna yang seringkali dipakai oleh para bangsawan atau raja.
Warna violet/ungu dalam bahasa Jawa diucapkan wungu. Hal
ini mengingatkan pada seruan para orang tua di Jawa ketika pagi
menjelang, atau sebagai ucapan ketika membangunkan seseorang
dipagi hari. Ungu/wungu merupakan warna langit sebelah timur saat
subuh, atau matahari hampir menampakkan ujung sinarnya. Warna
langit itulah yang kemudian direpresentasikan masyarakat Jawa
sebagai bentuk penandaan dimulainya kehidupan.
Warna ungu tua dipilih bapak Hartoyo dengan niat lilahdalêm.
Lilahdalêm merupakan bentuk permintaan izin kepada yang mbahu lan
ngrêksoni yaitu semacam penunggu. Selain itu, pemilihan warna
merah juga dipertimbangkan oleh Paku Buwono XIII sendiri dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
136
permaisurinya90
. Hal tersebut juga berlaku dalam menentukan
pemakaian asessoris berupa bros makuthä bertulis PB X, dan bros
mawar yang tidak digunakan kembali pada tahun ini berorientasi pada
selera Paku Buwono XIII91
.
Konsep busana tahun 2007 adalah usaha pencitraan individu
raja yang diungkapkan melalui bentuk busana yang bernilai sama
dengan raja sebelumnya. Hal tersebut sangat jelas tergambarkan pada
baju takwä beludru polos dan berwarna. Maka simbol-simbol yang
termuat, juga tidak jauh berbeda. Pencitraan ini merupakan usaha
untuk memperkuat legitimasi Paku Buwono XIII dalam tahtanya
sebagai raja.
3. Makna Simbolis Busana Paku Buwono XIII pada Upacara
Tingalan Jumênêngandalêm Tahun 2008
Konsep warna ungu/violet bermakna sebagai kebangkitan atau
bangkit92
. Makna tersebut relevan dengan konsep warna ungu/wungu
yang menandakan dimulainya hari. Sehingga dengan warna wungu
tersebut diharapkan, seorang raja harus selalu bangkit dari segala liku
kehidupan. Makna bangkit, memiliki kesamaan dengan makna
90
Wawancara dengan Hartoyo, 8 Januari 2012.
91 Wawancara dengan GRAy Kus Murtiyah Wirabumi pada 20 Januari 2012 dan GKR Galuh
Kencono pada 30 Januari 2012.
92 Winarnokusumo, 3 januari 2012.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
137
simbolis warna magenta/ungu kemerahan pada busana tahun 2005. Hal
tersebut didasari dari kesamaan warna bakunya yakni ungu atau violet,
yang di variasikan dengan cara memperbanyak unsure warna merah
atau warna birunya. Warna ungu merupakan warna turunan dari warna
biru dan merah. Dalam hubungannya dengan nilai warna ungu yang
sangat dihargai adalah warna yang digunakan dalam lingkup terhormat
atau mulia. Warna ungu tua yang dipadu dengan baju takwä bermakna
seorang pemimpin/raja harus mampu bangkit dengan ketajaman hati
sebagai bentuk ketakwaan kepada Tuhan.
Busana Paku Buwono XIII pada upacara Tingalan
Jumênêngandalêm periode 2008 secara menyeluruh bermakna
kebangkitan, kekuatan, kekuasaan, kemuliaan, dan kewibawaan raja.
Pemaknaan tersebut merupakan esensi-esensi yang muncul dari makna
setiap bagian busana. Sebagai contoh makna kebangkitan yang
merupakan pokok makna baju takwä berwarna ungu/violet, sedangkan
kekuatan adalah pokok makna motif parang barong.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
138
E. Busana Paku Buwono XIII pada Upacara Tingalan Jumênêngandalêm
Tahun 2009
1. Bentuk Busana Paku Buwono XIII pada Upacara Tingalan
Jumênêngandalêm Tahun 2009
Tahun 2009 merupakan tahun kelima Tingalan
Jumênêngandalêm Paku Buwono XIII. Busana yang digunakan secara
keseluruhan sama dengan busana tahun 2008, meliputi baju takwä
Gambar: 22 Bentuk dan letak busana(Sumber: Dokumentasi
Joko Purnomo, repro foto Taufiqurraman H, 2012)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
139
berwarna ungu terang, sinjang dengan motif parang barong,
lengkapan berupa, kulük kanigaran, sêlop, sabuk motif tirto tèjo latar
merah tua (soga), keris ladrang, èpèk untu walang, timang, lêrêp, dan
asessoris berupa kalung ulür, bros mawar, bros makuthä bertulis PB X.
Perbedaan yang muncul hanya intensitas warna violet baju takwä lebih
terang dari tahun sebelumnya.
Warna ungu/violet terang pada baju takwä merupakan salah
satu dari tiga model warna ungu baju takwä. Sepintas warna tersebut
sama dengan tahun sebelumnya, karena memiliki karakter warna yang
sama dengan perbedaan intensitas yang tipis. Kain yang digunakan
adalah bludru, sehingga menghasilkan warna ungu terang kehitam-
hitaman.
Gambar: 23 Warna kain baju takwä
tahun 2009 (Sumber: Dokumentasi Joko
Purnomo, repro foto Taufiqurrahman H, 2012)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
140
2. Konsep Busana Paku Buwono XIII pada Upacara Tingalan
Jumênêngandalêm Tahun 2009
Konsep warna violet/ungu memiliki kesamaan dengan tahun
sebelumnya. Hanya saja warna ungu pada tahun ini berbeda, yaitu
agak muda. Perbedaan warna ini bukanlah bentuk penyimbolan lain
dari warna ungu tahun 2008, namun semata-mata merupakan variasi
warna yang penggunaannya didasarkan selera.
Dasar ketentuan penggunaan warna ungu didasarkan pada
angsar berupa pertanda seperti angin kecil dan sebagainya. Selain
berupa pertanda, angsar juga dapat dilakukan dengan mata batin93
.
Penentuan berdasarkan angsar ini dilakukan oleh Hartoyo, dengan
pertimbangan Paku Buwono XIII.
Konsep busana pada tahun ini secara umum sama dengan tahun
2008, yaitu usaha pencitraan individu raja yang diungkapkan melalui
bentuk busana yang bernilai sama dengan raja sebelumnya. Hal
tersebut sangat jelas tergambarkan pada baju takwä beludru polos dan
berwarna. Maka simbol-simbol yang termuat, juga tidak jauh berbeda.
Pencitraan ini merupakan usaha untuk memperkuat legitimasi Paku
Buwono XIII dalam tahtanya sebagai raja.
93
Wawancara dengan Hartoyo 8 Januari 2012
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
141
3. Makna Simbolik Busana Paku Buwono XIII pada Upacara
Tingalan Jumênêngandalêm Tahun 2009
Pemaknaan warna ungu menjadi langkah pemaknaan yang
sama dengan pemaknaan warna ungu pada tahun sebelumnya. Hal
tersebut didasari dari kesamaan material simbolisnya secara baku.
Warna baku tersebut ungu atau violet, yang kemudian di variasikan
dengan cara memperbanyak warna merah atau warna biru. Warna ungu
merupakan warna turunan dari warna biru dan merah. Warna
violet/ungu dimakanai sebagai kebangkitan atau bangkit. Baju takwä
dengan warna ungu tua bermakna seorang pemimpin/raja harus
mampu bangkit dengan ketajaman hati sebagai cermin ketakwaan
kepada Tuhan. Pemaknaan ini merupakan esensi makna baju takwa
dan warna baju takwä-nya.
Busana Paku Buwono XIII pada upacara Tingalan
Jumênêngandalêm periode 2009 secara menyeluruh bermakna
kebangkitan, kekuatan, kekuasaan, kemuliaan, dan kewibawaan raja.
Pemaknaan tersebut merupakan esensi-esensi yang muncul dari makna
setiap bagian busana. Sebagai contoh makna kebangkitan yang
merupakan pokok makna baju takwä berwarna ungu/violet, sedangkan
kekuatan adalah pokok makna motif parang barong.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
142
F. Busana Paku Buwono XIII pada Upacara Tingalan Jumênêngandalêm
Tahun 2010
1. Bentuk Busana Paku Buwono XIII pada Upacara Tingalan
Jumênêngandalêm tahun 2010
Tahun 2010 merupakan tahun keenam Tingalan
Jumênêngandalêm Paku Buwono XIII. Busana yang digunakan secara
keseluruhan sama dengan busana tahun-tahun sebelumnya, meliputi
baju takwä berwarna hijau tua, sinjang dengan motif parang barong,
lengkapan berupa, kuluk kanigaran, sêlop, sabuk motif tirtä tèjä latar
Gambar: 24 Bentuk dan
letak busana (Sumber:
Dokumentasi Joko
Purnomo, repro foto
Taufiqurrahman H, 2012)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
143
merah tua (soga), keris gayaman, èpèk untu walang, timang, lêrêp, dan
asessoris berupa kalung ulür, bros makuthä bertulis PB X, cincin
dikedua jari manis. Perbedaan yang muncul adalah warna baju
takwanya hijau tua. Selain itu motif batik parang barong yang
dikenakan berukuran sedikit besar, lebih besar dari tahun-tahun
sebelumnya. Keris yang digunakan tidak lagi gayamanan namun
ladrang. Asessoris yang dikenakan hanya kalung ulur, bros makuthä,
dan cincin, sedangkan bros mawar tidak dikenakan.
Warna hijau tua pada baju takwä tahun 2010 merupakan salah
satu dari tiga model warna hijau baju takwä. Bahan yang digunakan
yaitu beludru, sehingga warna hijau mengarah pada warna kehitam-
hitaman. Pada gambar 49 tampak warna hijau tua, dan warna hitam
(gelap). Warna hijau tua tersebut mengarah ke warna biru. Hal tersebut
nampak pada intensitas warna biru yang sedikit muncul. Warna hijau
merupakan warna turunan dari warna kuning dan biru, warna biru
itulah yang sedikit muncul.
Gambar: 25 Warna kain pada baju takwä
tahun 2010 (Sumber: Dokumentasi Joko
Purnomo, repro foto Taufiqurrahman H,
2012).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
144
Batik parang barong yang digunakan pada tahun ini memiliki
perbedaan dengan tahun-tahun sebelumnya. Perbedaan tersebut
nampak pada ukuran bidang motif lebih besar. Karakter motif
parangnya pun memiliki perbedaan yakni liuk bidang motif parang
hampir simetris. Motif moto garèng yang pada tahun-tahun
sebelumnya bulat sempurna, pada tahun ini oval menyudut.
Keris ladrang memiliki wärängkä menyerupai badan perahu
bercadik. Wärängkä-nya berbentuk lancip dan panjang namun
ujungnya pipih horizontal. Sudut lainnya lebih pendek dan ujungnya
membentuk setengah lingkaran. Cara penggunaannya disengkelitkan
miring kekanan dengan wilahan menghadap ke kiri.
Penyengkelitannya disebut märäsêbä yaitu bagian pangkal pendhok
terlihat sedikit, kurang lebih 3 cm.
Gambar: 26 Perbandingan ukuran dan bentuk
motif parang barong (sumber: Joko Purnomo
repro foto Taufiqurrahman H 2012)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
145
2. Konsep Busana Paku Buwono XIII pada Upacara Tingalan
Jumênêngandalêm Tahun 2010
Baju takwä berwarna hijau gelap merupakan salah satu dari
tiga pasang baju takwä dengan variasi warna hijaunya. Konsep
penggunaan warna hijau tua pada tahun ini masih tetap sama dengan
tahun 2006, yakni kiblat papat limä pancêr. Warna hijau merupakan
simbol bumi yaitu pusat (pancêr) dari empat arah. Selain itu
merupakan penggambaran subjek nafsu batin manusia yang hendaknya
dikendalikan (Dharsono,2007: 33). Simbol bumi menurut ajaran
astabrata bersifat murah hati, suka beramal, dan selalu berusaha untuk
tidak mengecewakan kepercayaan rakyat.
Bahan kain bludru digunakan ats dasar paugêran yang berlaku
menurut tradisi keraton. Menurut adat tradisi keraton Surakarta baju
Gambar: 27 Bentuk keris ladrang dan cara pemakaiannya
(Sumber: www.Kampungrajang.blogspot.com repro foto
Taufiqurrahman H, 2012)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
146
krowok dengan bahan bludru hanya boleh digunakan oleh raja saja94
.
Hal ini menunjukkan bahwa jenis kain ini, pada masanya memiliki
nilai eksklusifitas yang tinggi.
Motif parang barong yang sedikit berbeda dengan tahun
sebelumnya adalah ketentuan yang berdasarkan selera. Tidak ada
aturan tertentu yang mengikat dalam penggunaan motif parang yang
sedikit berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Dasar penggunaan tetap
berorientasi pada aturan adat tradisi keraton Surakarta. Oleh karena itu,
sedikit perbedaan pada motif parang barong bukan suatu hal
mempengaruhi tatanan tradisi keraton.
Pemakaian keris ladrang ditentukan oleh Sinuwun sendiri.
Tidak seperti dalam menentukan warna busana, penentuan keris ini
dilakukan oleh Sinuwun sendiri di sasana pusäkä. Menurut penjelasan
Hartoyo, ketika Paku Buwono XIII memilih keris yang akan
digunakan, berdasarkan pada proses merasakan atau penentuan dengan
mata batin. Menurutnya proses tersebut ora tinêmu nalar (tak dapat
dinalar). Sedang, penggunaan asessoris tanpa menyertakan bros
mawar, didasari oleh selera Paku Buwono XIII.
Konsep busana tahun 2010 ini mengacu pada konsep busana
tahun 2006. Hal ini berdasarkan bentuk keseluruhan busana, termasuk
baju takwä berwarna hijau. Konsep keseluruhan busana Paku Buwono
94
Winarnokusumo 3 Januari 2012
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
147
XIII tersebut adalah penerapan nilai serta citra Paku Buwono XII. Hal
ini sangat jelas terlihat pada keserupaan atribut yang dipakai, sehingga
menjelaskan adanya pernyataan tak langsung Paku Buwono XIII atas
eksistensinya selama 6 tahun sebagai raja keraton Surakarta.
3. Makna Simbolis Busana Paku Buwono XIII pada Upacara
Tingalan Jumênêngandalêm Tahun 2010
Baju takwä Paku Buwono XIII Pada Tingalan
Jumênêngandalêm tahun 2010 bermakna, seorang raja yang harus
mampu mengendalikan segala bentuk liku kehidupan sebagai cermin
ketakwaannya kepada Tuhan, sehingga mampu membawa
kesejahteraan hidup bagi masayarakat. Pemaknaan tersebut berdasar
makna baju takwä, yaitu taqwa yang berarti berserah diri sepenuhnya
kepada Allah, pemaknaan ini serupa dengan makna baju takwä pada
tahun-tahun sebelumnya. Selain makna yang diperoleh dari baju
takwa, maknanya juga muncul dari simbol warna hijau. Warna hijau
menurut Winarnokusumo bermana kesuburan95
. Sedangkan menurut
pandangan kiblat papat limä pancêr warna hijau berarti baik budi.
Menurut wawancara dengan KP. Winarnokusumo96
batik
parang barong bermakna kemampuan menghadapi dan mengendalikan
95
Berdasarkan wawancara dengan Hartoyo 8 Januari 2012 dan KP. Winarnokusumo 3 Januari
2012.
96 Sasana Wilapa, 3 Januari 2012 Keraton Surakarta.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
148
segala bentuk rintangan yang disimbolkan dengan motif parang yang
tertata miring. Hal tersebut juga difahami oleh Hartoyo97
. Berbeda
dengan pemaknaan menurut Sarwono (2004: 61), yakni harapan akan
kekuatan, keagungan, kebesaran serta kewibawaan dapat tercermin dan
terpancar.
Menurut KP. Winarnokusumo98
keris ladrang bermakna
berani. Hal tersebut didasari karakter ladrang yang terlihat lebih
maskulin dibanding gayaman. Keris ladrang juga bermakna
keseriusan, dan ketegasan. Hal ini, terbentuk melalui fungsi sosial
keris yang penggunaannya secara kusus pada upacara-upacara besar
(pisowanan ageng). Sehingga, keris ladrang yang berbentuk maskulin
dan berfungsi sosial pada pisowanan ageng bermakna keberanian dan
ketegasan.
Busana Paku Buwono XIII pada upacara Tingalan
Jumênêngandalêm periode 2010 secara menyeluruh bermakna, baik
budi, kesejahteraan, kekuatan dan kewibawaan yang terpancar dari
seorang raja. Dasar pemaknaan ini muncul dari esensi makna dalam
setiap unsur busana, seperti baju takwä yang bermakna baik budi dan
kesejahteraan.
97
Wawancara 8 Januari 2012.
98 Wawancara pada 3 Januari 2012
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
149
G. Busana Paku Buwono XIII pada Upacara Tingalan Jumênêngandalêm
Tahun 2011
1. Bentuk Busana Busana Paku Buwono XIII pada Upacara
Tingalan Jumênêngandalêm Tahun 2011
Tahun 2011 merupakan tahun ketujuh Tingalan
Jumênêngandalêm Paku Buwono XIII. Busana yang yang dikenakan
pada tahun ini meliputi, baju takwä berwarna magenta (ungu
Gambar: 28 Bentuk dan letak rincian busana (Sumber: Dokumentasi
Joko Purnomo, repro foto Taufiqurrahman H, 2012)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
150
kemerahan) terang dengan ornamen lung-lungan, sinjang dengan motif
parang barong (serupa dengan motif tahun 2010), lengkapan berupa,
kulük kanigaran, sêlop, sabuk motif tirtä tèjä latar merah tua (soga),
keris gayaman, èpèk untu walang, timang, lêrêp, dan asessoris berupa,
kalung ulür, bros mawar, bros makuthä bertulis PB X. Busana tersebut
sepintas sama dengan busana yang digunakan pada tahun 2005, namun
memiliki perbedaan pada bagian-bagian tertentu. Perbedaan tersebut
meliputi intensitas warna ungu yang lebih terang dibanding dengan
warna ungu baju takwä pada tahun 2005. Motif lung-lungan
sepenuhnya masih sama dengan ornamen pada baju takwä yang
dikenakan pada tahun 2005. Asessoris berupa bros mawar yang tidak
digunakan pada tahuan sebelumnya, tahun ini digunakan kembali.
Selain itu, pada tahun 2005 batik yang dikenakan bermotif parang
garudhä namun pada tahun ini bermotif parang barong. Motif batik
yang dikenakan pada tahun ini merupakan motif yang serupa dengan
penggunaan motif pada tahun 2010.
Baju takwä dengan warna magenta terang berhiaskan bordir
lung-lungan, merupakan salah satu dari tiga model baju takwä dengan
berwarna magenta. Bahan yang yang digunakan adalah thaisilk,
sehingga memiliki karakter mengkilat. Kain jenis thaisilk
memunculkan kesan mewah jika digunakan. Warna magenta
merupakan warna violet, namun lebih mengarah pada sedikit warna
merah atau dapat disebut pure magenta.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
151
2. Konsep Busana Paku Buwono XIII pada Upacara Tingalan
Jumênêngandalêm Tahun 2011
Baju takwä berwarna magenta (ungu kemerahan) terang
dengan ragam hias lung-lungan disetiap pinggir kainnya berorientasi
pada konsep busana tahun 2005. Yakni, pengadaptasian gaya busana
Paku Buwono IX, warnanya didasarkan pada warna favorit mendiang
Paku Buwono XII. Ornamen lung-nya diadobsi dari oernamen tiang
sasänä sêwäkä. Diluar hal tersebut merupakan pilihan bapak Hartoyo
sebagai penata busananya. Alasan bentuk baju takwä, memiliki
kesamaan dengan dasar bentuk baju takwä tahun yang dikenakan pada
tahun 2005.
Penggunaan kembali bros mawar sepenuhnya berorientasi pada
selera Paku Buwono XIII. Sebelumnya, bros mawar ini digunakan
pada tahun 2005, 2006, 2007, dan 2009.
Gambar: 29 Warna kain (Sumber:
Dokumentasi Joko Purnomo, repro
foto Taufiqurrahman H, 2012)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
152
Konsep keseluruhan busana Paku Buwono XIII tahun 2011
adalah penerapan nilai serta citra raja-raja sebelumnya. Hal ini sangat
jelas terlihat pada keserupaan atribut yang dipakai, sehingga
menjelaskan adanya pernyataan tak langsung Paku Buwono XIII atas
kedudukannya sebagai raja pewaris pemerintahan keraton Surakarta.
3. Makna Simbolik Busana Paku Buwono XIII pada Upacara
Tingalan Jumênêngandalêm Tahun 2011
Warna baju takwä tahun 2011 merupakan warna violet namun
lebih mengarah pada warna merah atau dapat disebut warna magenta.
Pemaknaan warna ungu menjadi langkah pemaknaan yang sama
dengan pemaknaan warna ungu pada tahun 2005, 2008, dan 2009. Hal
tersebut didasari dari kesamaan material simbolisnya secara baku.
Warna baku tersebut adalah ungu/violet, yang kemudian di variasikan
dengan cara memperbanyak warna merah atau warna biru. Warna ungu
merupakan warna turunan dari warna biru dan merah. Warna
violet/ungu dimakanai sebagai kebangkitan atau bangkit. Baju takwä
dengan warna magenta (ungu kemerahan) muda bermakna seorang
pemimpin/raja harus mampu bangkit dengan ketajaman hati sebagai
cermin ketakwaan kepada Tuhan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
153
Secara menyeluruh busana Paku Buwono XIII pada upacara
Tingalan Jumênêngandalêm periode 2011 bermakna kekuatan,
kebangkitan, dan kemuliaan raja. Makna tersebut tergambarkan
melalui bentuk penyimbolan busana yang digunakan. Busana Paku
Buwono XIII tahun 2011 memuat konsep pengagungan dan pemuliaan
pada seorang raja.
H. Bagan Verifikasi Data
Seluruh data beserta analisisnya diatas telah tersusun secara naratif
berdasarkan urutan periodenya. Data-data yang terkumpul merupakan
representasi kronologis penggunaan busana pada upacara Tingalan
Jumênêngandalêm Paku Buwono XIII dari tahun 2005 hingga 2011.
Representasi kronologi tersebut disederhanakan pada bagan dibawah ini:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
154
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
155
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
156
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
157
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user 158
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Setelah wafatnya Paku Buwono XII, tahta kerajaan diwarisi oleh putra
tertuanya, yakni KGPH. Hangabei sebagai Paku Buwono XIII. Dalam masa
tahtanya, Paku Buwono XII melakukan penyederhanaan bentuk busana
kebesaran, yang selalu dipakai saat prosesi upacara Tingalan
Jumênêngandalêm. Penyederhanaan tersebut sangat terlihat pada baju takwä,
dan penggunaan sinjang-nya. Bentuk penyederhanaan busana yang pernah
ditetapkan Paku Buwono XII merupakan bentuk simbolis yang membawa
dampak pada busana Paku Buwono XIII pada upacara Tingalan
Jumênêngandalêm 2005-2011.
Berdasarkan pengumpulan data dan analisis data maka diperoleh bahwa
Busana Paku Buwono XIII pada upacara Tingalan Jumênêngandalêm tahun
2005 sampai 2011 merupakan bentuk sikap pribadi beliau sebagai pewaris
tahta Paku Buwono XII. Hal tersebut adalah hak prerogratif Paku Buwono XIII
dalam lingkup berbusana. Busana Paku Buwono XIII pada upacara Tingalan
Jumênêngandalêm tahun 2005 sampai 2011 menggunakan baju takwä dan
sinjang serta lengkapannya seperti kulük, selop atau cênèla, keris, sabuk, èpèk,
timang , lêrêp, dan asessorisnya yang berupa kalung ulür, bintang sri kabadyä,
bros bunga mawar, bros dengan relief makuthä bertulis PB X dan cincin.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
159
Seluruh atribut diatas merupakan busana secara lengkap (jangkêp) yang
digunakan raja. Busana Paku Buwono XIII pada upacara Tingalan
Jumênêngandalêm mengalami perubahan setiap tahunnya. Antara tahun 2005
dengan tahun berikutnya busana yang digunakan berbeda, begitu pula tahun
2006, 2007, 2008, 2009, 2010, 2011. Busana Paku Buwono XIII merupakan
atribut yang didalamnya terdapat simbol-simbol, sehingga maknanya
merupakan esensi gagasan sang raja dalam menduduki tahta keraton Surakarta.
Temuan-temuan yang diperoleh dalam penelitian mengungkapkan
adanya pergerakan dari tahun-ketahun. Pergerakan tersebut nampak pada
bentuk-bentuk simbolisnya yang cenderung berganti setiap tahunnya, hal
tersebut sangat nampak pada warna baju takwä-nya dan motif batiknya. Tahun
2005 ditemukan bahwa Paku Buwono XIII menggunakan baju takwä berbahan
thaisilk berwarna magenta (ungu kemerahan) tua, dihiasi ornamen lung-lungan
emas, sedangkan sinjang-nya bermotif parang garudhä. Bermakna
kebangkitan, kekuasaan, kecerdasan, kewibawaan, dan kemuliaan raja penerus
tahta. Pemaknaan ini menunjukkan kebangkitan kekuasaan raja baru yang
direpresentasikan dalam simbolisme warna magenta atau ungu kemerahan yang
bermakna bangkit. Didalam kebangkitannya tersebut terdapat pencitraan diri
seorang raja yang ditunjukkan melalui pemakaian batik parang garudha.
Mengingat parang garudhä merupakan motif batik yang posisinya berada
diluar tatanan tradisi busana raja pada Tingalan Jumênêngandalêm. Parang
garudha sendiri bermakna cerdas, yang artinya seorang raja harus mampu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
160
berfikir bijak dalam menyelesaikan permasalahan, sehingga tidak terjadi
perseteruan fisik.
Tahun 2006 ditemukan penggunaan baju takwä beludru berwarna hijau
terang. Penggunaan sinjang-nya berbeda dari tahun 2005 yakni kain batik
bermotif parang barong. Maknanya adalah kewibawaan, kebesaran, serta nilai
kemuliaan yang setara dengan para raja pendahulunya. Sehingga tahun 2006
menunjukkan adanya ekspresi simbolis yang mengacu pada ranah eksistensi
Paku Buwono XIII sesuai dengan eksistensi raja-raja terdahulu. Dalam ekspresi
simbolisnya terungkap pula pencitraan raja yang selaras dengan nilai raja
sebelumnya, sehingga dengan penggunaan simbolnya sebagai usaha
melekatkan eksistensinya sebagai benar-benar seorang raja penerus. Dalam
pemaknaan batik parang barongnya mengisyaratkan adanya kekuatan dan
kewibawaan, yang berarti seorang raja harus tahan cobaan dan tetap terpancar
kewibawaannya. Hal inilah yang kemudian mengungkap gagasan eksistensi
raja.
Tahun 2007 ditemukan penggunaan baju takwä beludru berwarna
merah tua. Sedangkan sinjang-nya berupa kain batik bermotif parang barong.
Maknanya adalah keberanian, kekuatan, ketegasan, yang memancarkan
kewibawaan agung seperti para raja pendahulunya. Makna simbolis tersebut
menunjukkan adanya sikap berani Paku Buwono XIII dalam menunjukkan
eksistensinya sebagai raja. Dalam makna yang muncul mengisyaratkan bahwa
raja merupakan pribadi yang kuat, berwibawa, dan penuh keberanian.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
161
Tahun 2008 ditemukan penggunaan baju takwä berwarna violet tua,
Sedangkan sinjang-nya, masih seperti tahun 2007 dan 2006, yaitu parang
barong. Maknanya adalah kebangkitan, kekuasaan, kemuliaan, dan
kewibawaan raja. Hal ini menyiratkan esensi gagasan bahwa kebangkitan sang
raja pewaris masih tetap eksis. Makna simbolis busana Paku Buwono XIII
(2008) juga menunjukkan adanya perumusan kembali atau pengingatan
kembali bangkitnya raja pewaris tahta. Mengingat, raja adalah pribadi yang
berkuasa dan harus teguh.
Tahun 2009 ditemukan penggunaan baju takwä beludru berwarna violet
terang, Sedangkan sinjang-nya bermotif parang barong seperti tahun 2006,
2007, dan 2008. Maknanya adalah kebangkitan, kekuasaan, kemuliaan, dan
kewibawaan raja. Makna simbolis busana tersebut masih memiliki keserupaan
dengan tahun 2008, sehingga esensi yang terungkap juga memiliki
kecenderungan yang sama. Sehingga tahun 2008 dan 2009 merupakan tahun
yang digunakan Paku Buwono XIII sebagai tahun kebangkitan kembali
eksistensi raja keraton Surakarta.
Tahun 2010 ditemukan penggunaan baju takwä beludru berwarna hijau
tua. Kain batik yang digunakan sebagai sinjang bermotif parang barong,
namun polanya berukuran lebih besar dari motif parang barong tahun
sebelumnya. Maknanya adalah baik budi, kesejahteraan, kekuatan, dan
kewibawaan raja. Makna simbolisme pada atribut Paku Buwono XIII tersebut
menyiratkan bahwa raja dalam menjalani kepemerintahannya haruslah bijak
dan tegar, supaya kesejahteraan dapat tercapai.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
162
Tahun 2011, ditemukan penggunaan baju takwä berbahan thaisilk
berwarna magenta (ungu kemerahan) terang. Sinjang yang digunakan adalah
kain batik bermotif parang barong dengan ukuran pola seperti yang digunakan
pada tahun 2010. Maknanya adalah kebangkitan, kekuatan, dan kemuliaan raja.
Pada tahun ini raja kembali menggunakan warna baju takwa yang serupa
dengan warna baju takwä tahun 2005, oleh karena itu kebangkitan raja sebagai
pewaris tahta, kembali dipaparkan. Hal ini mengisyaratkan bahwa raja selalu
tegak berdiri dalam menjalani liku-liku hidup, dan itulah cerminan kewibawaan
raja yang berimbas pada eksistensi dirinya yang agung.
Ketentuan busana Paku Buwono XIII yang berjalan pada tahun 2005-
2011 saat upacara Tingalan Jumênêngandalêm menunjukkan adanya beberapa
esensi pokok, yaitu:
1. Paku Buwono XIII menggunakan ketetapan Paku Buwono XII dalam
lingkup gaya berbusana. Sehingga simbol-simbol yang ada didalamnya
mengisyaratkan adanya eksistensi individu raja yang meliputi citra
kewibawaan, kekuasaan, kecerdasan, kekuatan, kemuliaan, dan keagungan
seorang raja sebagai pemimpin tertinggi keraton Surakarta.
2. Pembentukan nilai terhadap Paku Buwono XIII sesuai simbol-simbol pada
atributnya merupakan usaha penerapan eksistensi raja yang benar-benar
memiliki pengakuan secara penuh. Artinya, bahwa simbol-simbol pada
atribut beliau mengacu pada pemuliaan seseorang yang berposisi sebagai
pewaris tunggal tahta kerajaan. Hal ini juga sebagai usaha memperkuat
pengakuannya sebagai penguasa keraton Kasunanan Surakarta.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
163
3. Dalam bentukan simbolis pada busana Paku Buwono XIII terdapat
kepercayaan pada benda mati yang dianggap memiliki kekuatan. Hal
semacam ini merupakan pemahaman masyarakat Jawa yang telah ada sejak
jaman animisme dan dinamisme. Seperti parang barong yang dikaitkan
dengan kekuatan seperti singa, sehingga yang mengenakannya pun
memiliki pancaran kewibawaan dan pribadi yang kuat. Pancaran tersebut
diharapkan dapat menjadi rumusan pribadi raja dalam menjalani
kehidupannya.
4. Terdapat ajaran-ajaran baik yang berdasarkan pandangan masyarakat Jawa,
pandangan tersebut adalah kiblat papat limä pancêr dan bilangan sakral 9
(8+1) atau yang dikenal astabrata. Kiblat papat mengajarkan pengendalian
diri atas lima unsur dasar yang ada pada diri manusia. Sedangkan bilangan
sakral 9 (8+1) mengajarkan sembilan pokok sikap pemimpin yang ideal
bagi kesejahteraan rakyatnya. Selain itu simbol-simbol pada busana Paku
Buwono XIII pada upacara Tingalan Jumênêngandalêm 2005-2011
mengajarkan kekuatan serta pengendalian diri dalam menjalani liku
kehidupan, yang mengacu pada ketakwaan kepada yang maha Esa.
5. Konsep dwitunggal yang disepakati ada dalam diri raja, memberikan
implementasi pada busana Paku Buwono XIII. Konsep dwi tunggal adalah
gagasan dasar dari penyatuan antara dua, yaitu kepercayaan terhadap raja
sebagai Tuhan yang nampak. Melekatnya konsep ini pada simbolisme
dalam busana Paku Buwono XIII merupakan pertanda bahwa raja memiliki
seluruh keagungan, keindahan, dan pengajaran yang patut dicontoh.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
164
B. Saran-Saran
Busana kebesaran Paku Buwono XIII merupakan busana yang sarat
dengan makna simbolisme dan sarat akan konsepsi tradisional dan historis.
Dalam kaitannya dengan hal tersebut hendaknya ditempatkan dengan baik
sesuai manifestasi tradisi keraton Surakarta yang dalam era terkini menjadi aset
wisata budaya dan sejarah. Penulis berharap pada kerangka aset, keraton
Surakarta hendaknya mampu menjaga kelangsungan aset tersebut sehingga
bersifat langgeng.
Perlunya pemikiran kembali mengenai relevansi aset dan makna
simbolisme yang sebagian besar memuat penekanan-penekanan pada sifat dan
perilaku yang baik. Sehingga dengan memperhatikan relevasi tersebut, penulis
berharap busana kebesaran Paku Buwono XIII mampu mengungkapkan idealis
tradisi Jawa yang konon integral dengan masyarakatnya. Oleh karena itu,
masyarakat Jawa dewasa ini yang semakin terbuka dengan identitas budaya
global diharapkan mampu merespon busana Paku Buwono XIII pada upacara
Tingalan Jumênêngandalêm sebagai contoh referensial identitas asli bangsa
Jawa.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
165
DAFTAR PUSTAKA
Muhammad Adib. 2010. Filsafat Ilmu. Ontologi, Epistemologi, Aksiologi dan
Logika Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Syaiful Arif. 2010. Refilosofi Kebudayaan. Pergeseran Pasca Struktural.
Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Barnard, Malcolm. 1996. Fashion Sebagai Komunikasi (edisi terjemahan oleh Idy
Subandi Ibrahim dan Yosal Iriantara). Yogyakarta: Jalasutra.
Dharsono (Sony Kartika). 2007. Kebudayaan Nusantara. Kajian Konsep Mandala
dan Konsep Tri-Loka Terhadap Pohon Hayat pada Batik Klasik. Bandung:
Rekayasa Sains.
Dilistone, F.W. 1986. The Power of Symbols. London: SCM Press Ltd.
Hadisiswaya, AM. 2011. Pergolakan Raja Mataram. Konflik dan Tradisi
Pewarisan Tahta Studi Kasus Keraton Solo. Yogyakarta: Interprebook.
Benny H Hoed. 2008. Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Jakarta: Fakultas
Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) UI Depok.
Kalinggo Honggopuro. 2002. Bathik Sebagai Busana dalam Tatanan dan
Tuntunan. Surakarta: Yayasan Peduli Karaton Surakarta Hadiningrat.
Budiono Kusumohamidjodjo. 2009. Filsafat Kebudayaan. Proses Realisasi
Manusia. Yogyakarta: Jalasutra.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
166
Ardian Kresna. 2011. Sejarah Panjang Mataram.Menengok Berdirinya
Kesultanan Yogyakarta. Yogyakarta: Diva Press
Muzir, Inyak Ridwan. 2010. Hermeneutika Filosofis. Hans-Georg Gadamer.
Yogyakarta: Ar-Ruz Media.
Purwadi, dkk. 2009. Sri Susuhunan Paku Buwono X. Perjuangan, Jasa dan
Pengabdiannya untuk Nusa Bangsa. Jakarta: PT.Bangun Bangsa.
Purwadi. 2007. Busana Jawa. Jenis-jenis Pakaian adat, sejarah, Nilai Filosofis
dan Penerapannya. Yogyakarta: Pura Pustaka.
Pemberton, John. 1994. Java. On The Subject of Java. Ithaca: Cornell University
Press.
Ratih Poeradisastra. 2002. Busana Pria masa kini. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama.
Rustopo. 2008. Jawa Sejati: Otobiografi Go Tik Swan Harjonagoro. Yogyakarta:
Penerbit Ombak.
Ratna Endah Santoso, 2010. Busana Paku Buwono XII, “Tesis”: Program Pasca
Sarjana Institut Seni Indonesia, Surakarta.
Santos, Arysio, 2010. Atlantis, The Lost Continent Finaly Found. Cetakan III.
Jakarta: PT: Ufuk Publising House.
Samovar, Larry A. Porter, Richard E. McDaniel, Edwin R. 2010. Komunikasi
Lintas Budaya. Edisi 7. Jakarta : Penerbit Salemba Humanika.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
167
Sarwono, 2004. Simbolisme Motif Parang Dalam Busana Wayang Kulit Purwa
Gaya Surakarta, “Tesis”: Program Pasca Sarjana, Institut Seni Indonesia
Surakarta.
Bram Setiadi. 2006. Hanaluri Tradisi Demi Kejayaan Negeri. Catatan Tahun
Kedua di Atas Tahta. Surakarta: Yayasan Pawiyatan Kabudayan Karaton
Surakarta.
Mooryat Soedibyo. 2003. Busana Keraton Surakarta Hadiningrat. Jakarta: PT.
Gramedia Widiasarana Indonesia.
JB Soeranto. Sri Mulyani. YE. 2004. Budaya Jawi. Surakarta: CV. Cendrawasih.
Soeratman, Darsiti. 2000. Kehidupan Dunia Keraton Surakarta 1830-1939.
Yogyakarta: Yayasan Untuk Indonesia.
E Sumaryono. 1999. Hermeneutik. Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta: Penerbit
Kanisius.
Sutopo, H.B. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Dasar Teori dan
Penerapannya Dalam Penelitian. Surakarta: Sebelas Maret University
Press.
Wirastodipuro, BcAP, KRMT H. 2003. Busana Adat Jawi. Surakarta: Paguyuban
Mekar Budaya Surakarta.
Moeloeng, M.A. Prof. Dr. Lexy J. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif, Edisi
Revisi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
168
DAFTAR NARASUMBER
KP. Winarnokusumo (58 th), Humas Keraton Kasunanan Surakarta, Budayawan
Surakarta, Wawancara 26 September 2011, 10 Oktober 2011, 22
Desember 2011, 3 Januari 2012.
Hartoyo (59 th), Dosen ISI Surakarta, Penata Busana Paku Buwono XII dan XIII,
Wawancara, 08 Januari 2012.
GRAy. Kus Murtiyah Wirabumi (52 th), Adik Kandung Paku Buwono XIII,
Mendesain Busana Paku Buwono XIII tahun 2005. Wawancara 20 Januari
2012.
KGPH. Puger, BA (57 th), Adik Kandung Paku Buwono XIII, Pangeran Dalem
Keraton Surakarta, Wawancara 8 Desember 2011.
GKR Galuh Kencono (60 th) Wawancara 30 Januari 2012.
Dharsono (Sony Kartika) 58 th), Guru Besar Senirupa Timur Institut Seni
Surakarta, Ulas kritik 15 Maret 2012.
Sugeng Tukiyo (67 th), Dosen Universitas Sahid Surakarta, Ulas kritik 18 Maret
2012.
Sugiyatno (80 th), Budayawan Surakarta, Ulas kritik 21 Maret 2012.
Joko Purnomo, (38 th), Abdi Dalem, Fotografer kraton Surakarta, Sumber foto
Paku Buwono XIII pada Tingalan Jumenengandalem 2005-2011.
Andar Putu Wijaya, (24 th), penerjemah teks-teks bahasa Jawa. Mahasiswa
Program Pasca Sarjana ISI Surakarta.