buletin planolog edisi ii(1).pdf

Upload: setio-mtp

Post on 02-Mar-2016

194 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

  • DARI REDAKSI

    Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, Buletin Planolog Edisi Kedua Tahun 2011 ini dapat diterbitkan kembali, semuanya ini tentunya bisa dilaksanakan atas dukungan dan kontribusi aktif keluarga besar Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan. Pembaca yang budiman, tema yang diusung pada edisi kali ini adalah Sinergitas Pembangunan Pusat dan Daerah. Hal ini terkait dengan adanya target pencapaian Direktorat Planologi dalam membangun dan mendukung kegiatan di kantor pusat Jakarta maupun kantor-kantor daerah. Untuk itu, kami menyajikan artikel-artikel yang mendukung, seperti Pengukuhan, Mekanisme Pengelolaan Hutan, Penetapan dan Pelepasan Hutan, Gender Planologi Kehutanan, serta Moratorium CPNS. Melengkapi informasi tersebut, kami sajikan reportase khusus yaitu Direktorat Jenderal Planologi Memperoleh Geospatial Excellenge Award. Beberapa artikel umum yang perlu diketahui antara lain mengenai Teknologi Informasi, Pendidikan dan Pelatihan Teknis Kehutanan, serta Pelatihan Kehumasan. Menjelang akhir tahun yang penuh berkah ini pula, Redaksi mengucapkan Selamat Hari Natal dan Tahun Baru 2012.. Semoga Direktorat Planologi Kehutanan mencapai kesuksesan di tahun-tahun berikutnya. Redaksi.

    Menu Buletin Direktorat Jenderal Planologi Memperoleh Geospatial Excellenge Award ........................................................................... 1 Moratorium Hutan VS Pengelolaan Hutan Lestari ......................... 2 Fasilitasi Penggunaan Kawasan Hutan .......................................... 7 Generalisasi Fungsi Kawasan Hutan ............................................. 22 Hutan Kemasyarakatan Sebagai Unit Kelestarian Hutan dan Kesejahteraan Sosial...................................................................... 26 Perencanaan Pengelolaan Hutan Lindung Menuju Kesatuan Pengelolaan Hutan Model Sigedang .............................................. 33

    Beberapa Sistem Pengukuran GPS Yang Dapat Diterapkan Dalam Kegiatan Pengukuhan Kawasan Hutan .............................. 40 Metoda Pengajaran Yang Efektif Dalam Penyelenggaraan Diklat Tenaga Teknis Pengukuran dan Pemetaan Hutan .............. 47 Gender Planologi Kehutanan ......................................................... 50 Penundaan Sementara Penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) (Moratorium CPNS) ................................................... 68 Penemu-penemu Penting dalam Dunia Teknologi ......................... 63 Tujuh Kebiasaan Buruk Berkomputer Yang Harus Anda Rubah ... 67 Penetapan Hutan Lindung Sei Tembesi Dan Pelepasan Kawasan Hutan Balui ..................................................................... 70 Pelatihan Menyiapkan Konferensi Pers dan Penulisan Press Release .......................................................................................... 77

    Pelindung : Direktur Jenderal Planologi Kehutanan

    Penanggung Jawab : Sekretaris Ditjen Planologi Kehutanan

    Dewan Pembina : Direktur Lingkup Ditjen Planologi Kehutanan

    Pemimpin Redaksi : Yana Juhana

    Anggota Redaksi : Gunardo Agung Prasetyo

    Syaiful Ramadhan Triyono Saputra

    Redaksi Pelaksana : Didik Setyawan

    Sudjoko Prajitno Yos Nelson Makalew

    Editor : Watty Karyati

    Deazy Rachmi Tommy M Nainggolan

    Jati Wisnu Murthy Lilit Siswanti

    Sutoto

    Sekretariat : Ira Patanduk

    Yusmaini Suyitno

    Desain Grafis : Emma Yusrina Wulandari

    Niken Pramesti

    Artikel tulisan yang dimuat dalam buletin ini bukan merupakan pendapat dan pandangan yang mewakili Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan namun, merupakan pendapat pemiliknya.

    Redaksi Planolog menerima tulisan/artikel yang berkaitan dengan pembangunan Planalogi Kehutanan.

    Redaksi berhak menolak dan mengedit naskah/artikel.

    Sekretariat:BagianProgramdanEvaluasiDirektoratJenderalPlanologiKehutananKementerianKehutanan

    Gd.ManggalaWanabaktiBlokILantai8Telp.(021)5730289Email:[email protected]

    [email protected]

  • 1

    G

    DIREKTORAT JENDERAL PLANOLOGI MEMPEROLEH

    GEOSPATIAL EXCELLENGE AWARD

    eospatial Media and Communications telah menganugerahkan Direktorat

    Jenderal Planologi Kehutanan, Ir. Bambang Soepijanto, MM. sebuah penghargaan berupa Geospatial Excellence Award pada acara Asia Geospatial Forum 2011 dengan tema Geospatial Convergen- Paradigm For Future di Hotel Mulia dari tanggal 17-19 Oktober 2011. Penghargaan ini dianugerahkan dalam bidang Implementation Teknologi Geospasial untuk Pengelolaan Hutan dimana Ditjen Planologi Kehutanan dinilai sangat aktif dan berhasil sebagai pengguna, penggiat serta penyedia informasi geospasial di bidang kehutanan dan menjadi satu-satunya Kementerian teknis yang menerima penghargaan tersebut.

    Gambar. Ir.Bambang Soepijanto, MM. ketika menerima Geospatial Excellence Award pada acara Asia Geospatial Forum 2011.

    Keberhasilan Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan ini menjadi bukti bahwa kerja kerasnya selama ini yang pada saat ini di bawah pimpinan Ir. Bambang Soepijanto, MM dapat dipandang sebagai keberhasilan Kementerian Kehutanan yang

    secara terus menerus berkecimpung dalam pengembangan sistem informasi geografis nasional dalam rangka pembangunan Indonesia Spatial Data Infracstructure (INA-SDI) diprakasai oleh BAKOSURTANAL yang berubah menjadi Badan Informasi Geospasial (BIG).

    Dalam Keynote speech-ny, Ir. Bambang Soepijanto, MM. mengemukakan bahwa pemanfaatan geospasial di Kementerian Kehutanan telah dilakukan sejak kegiatan National Forest Inventory (NFI) dimulai pada tahun 1990-an. Banyak partisipasi Kementerian Kehutanan dalam sumbangannya pada kemajuan pemanfaatan geospasial nasional; dukungan yang sangat nyata dilakukan untuk pengembangan sumber daya manusia (SDM), pemanfaatan teknologi geospasial terkini baik perangkat keras (hardware) dan perangkat lunak (software) turut menjadikan Kementerian Kehutanan dipandang sebagai pelopor di bidang geospasial nasional.sehingga bukan suatu hal yang mengagetkan dan sudah selayaknya apabila ASIA Geospatial Forum tahun ini menganugerahkan Award tersebut kepada Kementerian Kehutanan.

    Salah satu hasil nyata pemanfaatan data geospasial kehutanan yang terintegrasi dan tertata dengan baik adalah pada saat proses penyusunan Peta Indikatif Penundaan Izin Baru ( INPRES No 10 Tahun 2011), atau lebih dikenal dengan Peta Moratorium. Peta tersebut memerlukan data-data terkini yang ada di setiap walidata baik di dalam Kementerian Kehutanan maupun di luar Kementerian Kehutanan.

    Tantangan ke depan yang akan dihadapi oleh Kementerian Kehutanan yang semakin berat, terutama antisipasi terhadap isu

  • 2

    perubahan iklim, dalam kesempatan wawancara dengan Geospatial Media and Communications, Direktur Jenderal Planologi Kehutanan Ir. Bambang Soepijanto, MM. menggaris -bawahi bahwa penggunaan teknologi geospasial akan terus ditingkatkan, hal ini dalam rangka memperkuat Kementerian Kehutanan mempersiapkan kelengkapan

    informasi tentang data aktivitas (activity data) menggunakan penginderaan jauh, data biomass (emition factor) melalui kegiatan inventarisasi terestris dan pemanfaatan data Citra Satelit Resolusi Tinggi untuk mempercepat penyelesaian tata batas hutan yang ditargetkan selesai pada tahun 2014.

  • 3

    MORATORIUM HUTAN VS PENGELOLAAN HUTAN LESTARI

    Oleh : Moech F. Fahada A. Terbitnya Inpres Moratorium Hutan

    Setelah lama ditunggu-tunggu dan menjadi perdebatan panjang di ruang publik, Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 2011 Tentang Penundaan Pemberian Izin Baru Dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer Dan Lahan Gambut atau yang lebih populer disebut Inpres Moratorium Hutan akhirnya ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudoyono. Inpres tersebut pada intinya adalah menetapkan kawasan hutan dan lahan gambut yang perlu dilindungi dari eksploitasi berlebihan serta perintah Presiden kepada beberapa kementrian terkait dan kepala daerah untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk menyeimbangkan dan menselaraskan pembangunan ekonomi, sosial, budaya dan lingkungan serta upaya penurunan emisi gas rumah kaca.

    Seperti juga saat masih dalam wacana publik, dengan keluarnya Inpres tersebut ternyata masih menimbulkan reaksi pro-kontra dari berbagai pihak. LSM Lingkungan Greenpeace langsung meminta pemerintah segera merevisi Inpres tersebut, dengan alasan adanya perbedaan luas kawasan hutan yang perlu dilindungi, menurut mereka masih terdapat sekitar 40 juta hektar kawasan hutan yang belum termasuk dalam Inpres tersebut1). LSM lingkungan lokal, WALHI bahkan menyebutkan bahwa Inpres tersebut tidak berarti banyak bagi penyelamatan lingkungan di Indonesia, karena hutan alam primer yang disebut dalam Inpres tersebut , sebagian besar terdapat pada kawasan hutan lindung dan konservasi yang memang berdasarkan perundangan yang telah ada harus dilindungi2).

    Sebaliknya, kalangan pengusaha perkebunan sawit yang tergabung dalam Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), menilai bahwa Inpres tersebut diskriminatif karena memberikan pengecualian kepada beberapa aktivitas ekonomi, yaitu geothermal, migas, tenaga listrik, lahan untuk padi dan tebu, padahal industri kelapa sawit

    merupakan salah satu industri yang strategis dan penting dalam perekonomian Indonesia3). Sehingga Inpres tersebut otomatis akan menutup peluang perluasan kebun sawit serta merugikan daerah karena akan kehilangan peluang peningkatan produksi sawit. Hal ini juga diamini oleh beberapa tokoh kepala daerah yang tergabung dalam Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI)4).

    Gubernur Kalimantan Tengah Teras Narang justru menyambut baik Inpres tersebut, karena Inpres tersebut tidak akan mengganggu daerah karena spiritnya adalah untuk pembenahan. Bagi nya, moratorium adalah bagian yang memang diharapkan dan momentum untuk melakukan perubahan pengelolaan hutan secara baik, tinggal bagaimana pelaksanaannya di lapangan5). Hal ini senada dengan yang disampaikan oleh Emmy Hafidz, seorang aktivis lingkungan, yang menilai walaupun Inpres tersebut mengandung banyak kelemahan, tetap pantas didukung untuk memperbaiki tata kelola kehutanan, serta peluang memperbaiki tata ruang dan tata guna lahan yang dapat mengurangi laju kerusakan hutan6).

    B. Pembelajaran Kebijakan Kehutanan

    Selanjutnya, apa arti Inpres Moratorium Hutan tersebut bagi rimbawan yang mengemban amanah untuk mengelola hutan Indonesia? Atau bagi pihak-pihak yang masih percaya dengan pengelolaan hutan lestari?

    Sebenarnya dengan latar belakang yang hampir sama, sebelum isu perubahan iklim mencuat, pada tahun 2003 Departemen Kehutanan pernah menerapkan kebijakan soft landing, yaitu dengan menurunkan jatah tebang tahunan pada hutan alam di luar Jawa maupun hutan tanaman Perhutani di Jawa. Sama dengan kebijakan moratorium hutan, kebijakan tersebut merupakan kebijakan darurat atau khusus yang perlu diambil berdasarkan kondisi-kondisi yang sangat mendesak. Seharusnya kita telah belajar pada saat penerapan kebijakan soft landing

  • 4

    tersebut, dimana kebijakan tersebut diambil juga dalam rangka meningkatkan kelestarian sumberdaya hutan serta isu kerusakan lingkungan akibat peningkatan luas kerusakan hutan dan penurunan potensi tegakan hutan secara ekstrim. Seharusnya kebijakan tersebut segera diikuti dengan melakukan perbaikan tata kelola hutan yang menjamin berlangsungnya praktek-praktek pengelolaan hutan lestari di seluruh kawasan hutan Indonesia. Perbaikan tersebut meliputi seluruh level mulai dari tingkat pusat melalui pengurusan hutan sampai pengelolaan hutan di tingkat tapak, meliputi regulasi, kelembagaan, sampai sumber daya manusia.

    Sayangnya, hal tersebut tidak tuntas dilakukan sampai sekarang, sehingga dengan munculnya isu perubahan iklim lahirlah kebijakan khusus yang lain, berupa Inpres Moratorium Hutan tersebut. Jadi, Inpres tersebut sekali lagi merupakan kegagalan rimbawan atau sektor kehutanan untuk meyakinkan kepada pihak-pihak lain, khususnya pengambil kebijakan tertinggi di negara kita, bahwa hutan Indonesia sudah dikelola dengan baik berdasarkan prinsip-prinsip kelestarian sumberdaya hutan. Faktanya, sejak kebijakan soft landing diterapkan pada tahun 2003, sampai sekarang belum ada satupun unit pengelolaan hutan lestari yang sudah operasional di tingkat tapak, sehingga deforestasi dan degradasi hutan masih menjadi momok bagi kegagalan rimbawan dan pengelolaan hutan di Indonesia.

    C. Komitmen Global Pengelolaan Hutan dan Lingkungan

    Sebenarnya isu kerusakan lingkungan selalu menjadi satu napas dengan isu pengelolaan hutan sejak lama. Konsep Pengelolaan Hutan Lestari (Sustainable Forest Management, SFM), atau disingkat PHL yang merupakan rukun wajib seorang rimbawan, dimulai saat umat manusia mulai berhadapan dengan berbagai keterbatasan dalam memanfaatkan sumberdaya alam guna mencukupi kebutuhannya. Dalam pengelolaan hutan, prinsip ini pada mulanya diwujudkan dalam prinsip (azas) kelestarian hasil (sustained yield principles) yang untuk pertama kalinya diuraikan secara tegas dalam Ordonansi Hutan tahun 1669 di Perancis,

    walaupun prinsip ini sebenarnya telah mulai dirintis sejak dikeluarkannya Ordonance of Melun tahun 1376 (Osmaston, 1968). Pengertian prinsip kelestarian hasil pada periode itu mengandung arti yang sangat sempit yaitu prinsip dalam pengaturan hasil hutan berupa kayu. Pengelolaan hutan dengan prinsip ini lebih dikenal dengan pengelolaan tegakan hutan (timber stand management) yang sasarannya dapat berupa besar hasil pemanenan kayu yang sama setiap tahun (sustained yield principles) atau dengan hasil yang terus meningkat (progresive sustained yiled principle). Metode ini berkembang di daratan Eropa, terutama Jerman, dengan lebih menekankan kepada hutan homogen (satu jenis) dan seumur (even age) yang pada umumnya berupa hutan tanaman. Metode ini masuk ke Indonesia dibawa oleh pemerintah Hindia Belanda dan diterapkan dalam pengusahaan hutan jati di Pulau Jawa mulai tahun 1890 (Simon, 1999). Dalam perkembangan ilmu manajemen hutan, metode-metode tersebut dikategorikan ke dalam kelompok metode pengaturan hutan klasik (clasical forest regulation).

    Sementara itu, aspek lingkungan hidup dalam arti yang luas secara global mulai diperhatikan dalam pengelolaan hutan sejak dikeluarkannya Deklarasi Stockholm pada tahun 1972. Deklarasi yang dicetuskan melalui Konferensi Lingkungan Hidup Manusia yang diselenggarakan di Stockholm (Swedia) ini berisi 26 butir azas-azas (prinsip-prinsip) yang perlu dipegang dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup manusia. Beberapa butir dari deklarasi tersebut terkait langsung dengan kegiatan pengelolaan hutan.

    Selanjutnya, perhatian dan komitmen masyarakat internasional terhadap pengelolaan lingkungan hidup, termasuk di dalamnya hutan, makin lengkap dengan diselenggarakannya Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi (Earth Summit) yang dikenal dengan sebutan UNCED ( United Nations Conference on Environment and Development). Konferensi PBB yang dilaksanakan atas mandat Majelis Umum PBB No. 22/448 ini dilaksanakan di Rio de Jeneiro (Brazil) tanggal 3-14 Juni 1992 dan merupakan konferensi tingkat Kepala Negara,

  • 5

    menghasilkan 5 (lima) dokumen yang disepakati dan disahkan, yaitu : Deklarasi Rio (Rio Declaration on Environment and Development), Konvensi Pembahan lklim (Convention on Climate Change), Konvensi Keanekaragaman Hayati (Convention on Biodiversity), Prinsip-prinsip Kehutanan (Forestry Principles) dan Agenda 21 (21th Century Programme). Satu dokumen hasil KTT Bumi, yaitu Prinsip-prinsip Kehutanan, walaupun disepakati hanya sebagai norma-norma yang bersifat tidak mengikat bagi pengelolaan dan konservasi hutan dalam pembangunan berkelanjutan, disepakati untuk dijadikan bahan pertimbangan dalam kerjasama internasional di bidang kehutanan dan berlaku untuk semua tipe hutan7).

    D. Pengelolaan Hutan Lestari (PHL) dan Mitigasi Perubahan Iklim

    Dalam konsep PHL, kelestarian hasil hutan menuntut tingkat produksi yang konstan untuk intensitas pengelolaan hutan tertentu, dimana antara pertumbuhan dan pemanenan harus seimbang. Ada dua pengertian dari hal tersebut, yang pertama kelestarian hutan untuk jangka panjang, dimana hasil yang diperoleh dari hutan dalam keadaan normal dan memberikan hasil sepanjang masa. Pengertian kedua, hasil yang diperoleh mulai dari awal pengusahaan tidak pernah menurun selama-lamanya. Konsep kelestarian hutan tersebut selanjutnya berkembang dalam 3 (tiga) tahap, yaitu kelestarian hasil hutan, kelestarian potensi hasil hutan dan kelestarian sumberdaya hutan8).

    Tahap pertama, kelestarian hasil hutan adalah konsep kelestarian yang menitikberatkan pada hasil kayu tahunan atau periodik yang sama dengan penerapan sistem silvikultur, penentuan rotasi dan teknik penebangan yang tepat dan sebagainya. Konsep ini melahirkan konsep hutan normal Pada tahap kelestarian berikutnya yaitu kelestarian potensi hasil hutan, didasarkan permintaan masyarakat yang semakin beragam karena potensi supply semakin menurun akibat pertumbuhan jumlah penduduk. Kalau kelestarian hasil berorientasi pada kayu sebagai hasil hutan, maka kelestarian potensi berorientasi kepada hutan sebagai pabrik kayu. Tipe kelestarian yang

    terakhir, kelestarian sumberdaya hutan, menuntut ekosistem hutan yang mendekati bentuk hutan asli dimana hutan bukan hanya berpotensi untuk menghasilkan kayu dan hasil non kayu saja, tetapi juga jasa lingkungan seperti air, udara segar, keindahan dan sebagainya. Orientasi konsep kelestarian ini adalah hutan sebagai ekosistem yang menghasilkan kayu dan non kayu, pelindung tata air dan kesuburan tanah, penjaga kelestarian lingkungan serta berfungsi sebagai gudang berbagai sumber genetik, flora maupun fauna.

    Secara teoritis ada tiga syarat yang harus dipenuhi untuk mewujudkan asas kelestarian seperti tersebut di atas, yaitu: 1. Ada jaminan kepastian batas kawasan

    yang tetap dan diakui oleh semua pihak; 2. Sistem perhitungan etat yang menjamin

    tidak terjadi over-cutting, sehingga dapat disusun rencana tebangan tahunan yang sesuai asas kelestarian;

    3. Sistem permudaan yang menjamin permudaan kembali kawasan bekas tebangan yang berhasil baik.

    Output dari penerapan konsep kelestarian hutan tersebut adalah terbentuknya hutan normal, yaitu hutan yang mempunyai susunan kelas umur merata, mulai kelas umur pertama sampai akhir daur, dalam keadaan penuh dan mempunyai kondisi pertumbuhan maksimal. Setiap kelompok umur tegakan mempunyai luas atau potensi pertumbuhan yang sama sehingga tebangan tahunannya selalu menghasilkan kayu yang maksimal dan sama volumenya.

    Dalam sistem kelestarian hutan ada beberapa metode yang biasa digunakan dalam mengatur hasil penebangan untuk mendapatkan kelestarian hutan atau hutan normal, yaitu metode pengaturan berdasarkan luas, berdasarkan luas dan volume, berdasarkan volume saja dan berdasarkan ukuran dan jumlah pohon. Pada hutan tanaman, metode yang biasa digunakan adalah berdasarkan luas dan gabungan luas dengan volume.

    Metode pengaturan hasil berdasarkan luas masih sangat sederhana dan dipakai untuk pengelolaan hutan tingkat awal. Untuk mengatur tebangan yang berkesinambungan,

  • 6

    kawasan hutan dibagi ke dalam petak-petak sebanyak tahun rotasi yang telah ditetapkan dan penebangan dilakukan tiap tahun. Bila dalam setiap tahun luas petak yang ditebang sama maka hasil tahunan akan sama bila tingkat produktifitas tiap petak juga sama. Fluktuasi hasil tahunan akan dipengaruhi oleh komposisi jenis, kesuburan tanah dan kerapatan tegakan.

    Sedangkan metode pengaturan hasil berdasarkan luas dan volume merupakan perkembangan dari metode sebelumnya, dimana dalam metode ini hasil penjarangan dimasukkan dalam perhitungan hasil kayu tahunan, bersama-sama dengan tebangan akhir. Hal ini disebabkan dengan perkembangan sistem silvikultur untuk memperoleh kualitas tegakan yang lebih baik dengan membuka sedikit tajuk melalui pemangkasan dan penjarangan.

    Jadi sudah semakin jelas, bahwa pengelolaan hutan lestari merupakan kerangka kegiatan yang efektif untuk mengurangi dampak dan penyesuaian terhadap perubahan iklim. Karena hutan memainkan peranan penting dalam menstabilkan gas rumah kaca karena kapasitasnya yang besar dalam menyimpan dan menyerap karbon, dan juga dalam melepas karbon akibat kegiatan deforestasi maupun degradasi hutan. Oleh karena itu, dinamika karbon pada suatu ekosistem hutan dapat digunakan sebagai salah satu cermin kualitas tata kelola ekosistem hutan. Pada hutan yang dikelola secara lestari secara otomatis stok karbonnya juga dapat dianggap konstan dari waktu ke waktu9). Tetapi sebaliknya, pada hutan yang tidak dikelola dengan baik akan menyebabkan stok karbon yang akan terus menurun dari waktu ke waktu, hal inilah yang saat ini berlangsung pada sebagian besar kawasan hutan di Indonesia.

    E. Apa Setelah Inpres Moratorium Hutan?

    Kembali lagi pada Inpres Moratorium Hutan, ada lima langkah harus ditindaklanjuti oleh Menteri Kehutanan berdasarkan perintah Presiden tersebut, yaitu : 1. Melakukan penundaan terhadap penerbitan

    izin baru hutan alam primer dan lahan gambut yang berada di hutan konservasi,

    hutan lindung, hutan produksi (hutan produksi terbatas, hutan produksi biasa/tetap, hutan produksi yang dapat dikonversi) berdasarkan Peta Indikatif Penundaan Izin Baru.

    2. Menyempurnakan kebijakan tata kelola bagi izin pinjam pakai dan izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan alam.

    3. Meningkatkan efektivitas pengelolaan lahan kritis dengan memperhatikan kebijakan tata kelola hutan dan lahan gambut yang baik, antara lain melalui restorasi ekosistem.

    4. Melakukan revisi terhadap Peta Indikatif Penundaan Izin Baru pada kawasan hutan setiap 6 (enam) bulan sekali.

    5. Menetapkan Peta Indikatif Penundaan Izin Baru hutan alam primer dan lahan gambut pada kawasan hutan yang telah direvisi.

    Dari kelima perintah tersebut, sebenarnya dapat dikelompokkan menjadi tiga permasalahan penting yang tersirat dan semuanya merupakan permasalahan laten sektor kehutanan, yaitu permasalahan tata kelola kehutanan (perintah ke-1 sampai ke-3), permasalahan pemantauan sumberdaya hutan (perintah ke-4) dan kepastian batas/tenurial kawasan hutan (perintah ke-5).

    Berdasarkan uraian sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa solusi atau jawaban terhadap ketiga permasalahan penting tersebut adalah dengan mewujudkan pengelolaan hutan secara lestari melalui unit pengelolaan hutan di lapangan/tingkat tapak berupa Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH).

    Dengan adanya KPH yang beroperasional di tingkat tapak, permasalahan pertama yaitu tata kelola hutan akan terselesaikan, karena KPH akan secara otomatis menselaraskan antara aktivitas pengelolaan dan pengurusan hutan di lapangan. Setiap jengkal kawasan hutan (satuan terkecil unit perencanaan) dalam suatu KPH akan mempunyai atribut rencana kelola yang terdokumentasi dan terpantau secara periodik. Sehingga seluruh perizinan dan kebijakan lain yang akan diterapkan akan selalu mempertimbangkan aspek kelestarian hutan dan berlaku untuk jangka panjang, dan setiap waktu akan

  • 7

    dievaluasi dan dimonitor oleh manajemen KPH di lapangan. Hal ini secara otomatis juga akan menjawab permasalahan kedua, yaitu pemantauan sumberdaya hutan.

    Permasalahan ketiga, yaitu kepastian batas kawasan hutan juga akan terjawab dengan adanya KPH, karena sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, pada suatu unit pengelolaan hutan lestari mensyaratkan adanya batas wilayah kelola yang tetap dan diakui oleh seluruh pihak. Batas wilayah KPH adalah batas kawasan hutan yang sudah ditatabatas dan ditetapkan oleh Menteri Kehutanan melalui proses pengukuhan kawasan hutan. Bahkan untuk kepentingan perncanaan dan pengelolaan, setiap unit lahan hutan pada suatu KPH, akan ditata dan diregister sesuai dengan karakter lahannya (dalam bentuk blok dan petak), sehingga seluruh kebijakan pengelolaan dan perijinan yang ada akan selalu mempertimbangkan karakter unit lahan tersebut.

    E. Penutup

    Sekali lagi, Inpres Moratorium Hutan harus dipandang sebagai satu kebijakan khusus yang harus diambil berdasarkan kondisi-kondisi darurat, yaitu kerusakan lingkungan dan dampak perubahan iklim yang ekstrim. Oleh karena itu harus diikuti dengan kebijakan reguler untuk mengembalikan kondisi kawasan dan sumberdaya hutan kita menjadi lebih baik,

    yaitu dengan menerapkan pengelolaan hutan lestari melalui pembentukan dan berjalannya KPH di tingkat tapak. Inpres Moratorium Hutan bisa dijadikan momentum yang tepat bagi rimbawan dan seluruh pelaku sektor kehutanan untuk berbenah dan kembali ke khitahnya.

    Referensi :

    1) http://www.kbr68h.com/berita/nasional/6574-greenpeace--inpres-moratorium-hutan-harus-direvisi

    2) http://jurnaltoddoppuli.wordpress.com/2011/05/20/presiden-sby-telah-menetapkan-inpres-moratorium-bahasan-cepat/

    3) http://www.tempointeraktif.com/hg/bisnis/2011/05/20/brk,20110520-335761,id.html

    4) http://tempointeraktif.com/hg/bisnis/2011/05/23/brk,20110523-336134,id.html

    5) http://beritaiklim.com/2011/05/26/inpres-moratorium-hutan-dinilai-rugikan-daerah/

    6) http://cetak.kompas.com/read/2011/05/24/03472853/Inpres.Moratorium..Layakkah.Didukung

    7) Suhendang, E. 1999. Pembentukan Hutan Normal Tidak Seumur Sebagai Strategi Pembenahan Hutan Alam Produksi Menuju Pengelolaan Hutan Lestari Di Indonesia . Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap dalam Ilmu Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor tanggal 29 Mei 1999 di Bogor.

    8) Simon, H. 1994. Pengaturan Hasil Hutan. Program Diploma 3 Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

    9) Bahruni. 2010. Neraca atau Siklus Karbon di dalam Hutan. Prosiding Seminar Dampak Perubahan Peruntukan Dan Fungsi Kawasan Hutan Dalam Revisi RTRWP Terhadap Neraca Karbon Dalam Kawasan Hutan. Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan, Kementerian Kehutanan. Jakarta.

  • 8

    FASILITASI PENGGUNAAN KAWASAN hutan

    Oleh: Sudjoko Prajitno

    A. Latar Belakang. Hutan adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa sebagai sumber kekayaan alam yang memberikan manfaat serbaguna yang mutlak dibutuhkan oleh umat manusia sepanjang masa. Hutan di Indonesia sebagai sumber kekayaan alam dan salah satu unsur basis pertahanan nasional harus dilindungi dan dimanfaatkan guna kesejahteraan rakyat secara lestari.

    Hutan, sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang dianugerhakan kepada Bangsa Indonesia, merupakan kekayaan yang dikuasai oleh Negara, memberikan manfaat serbaguna bagi umat manusia, karenanya wajib disyukuri, diurus, dan dimanfaatkan secara optimal, serta dijaga kelestariannya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, bagi generasi sekarang maupun generasi mendatang. Hutan, sebagai salah satu penentu system penyangga kehidupan dan sumber kemakmuran rakyat, cenderung menurun kondisinya, oleh karena itu keberadaannya harus dipertahankan secara optimal, dijaga daya dukungnya secara lestari, dan diurus dengan akhlak mulia, adil, arif, bijaksana, terbuka, professional, serta bertanggung gugat. Pengurusan hutan yang berkelanjutan dan berwawasan mendunia, harus menampung dinamika aspirasi dan peran serta masyarakat , adat dan budaya, serta tata nilai masyarakat yang berdasarkan pada norma hukum nasional.

    Pemahaman telah menunjukkan perkembangan yang ada dalam kehutanan yaitu semakin kompleknya permasalahan, ancaman, tantangan, hambatan, gangguan, dan tuntutan serta keanekaragaman penggunaan dan pemanfaatan hutan.

    Penguasaan dan pengurusan hutan menurut Undang Undang nomor 5 tahun 1967 masih bersifat otoritas penuh Pemerintah. Pasal 5 menjelaskan bahwa semua hutan dalam wilayah Republik Indonesia termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya, dikuasai oleh Negara, yang memberikan wewenang

    kepada Negara untuk menetapkan dan mengatur perencanaan, peruntukan, penyediaan dan penggunaan hutan sesuai fungsinya dalam memberikan manfaat kepada rakyat dan Negara; mengatur pengurusan hutan dalam arti yang luas; menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang atau badan hukum dengan hutan dan mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai hutan.

    Penguasaan dan pengurusan hutan menurut Undang Undang nomor 41 tahun 1999 sebagaimana dalam pasal 4 pada prinsipnya serupa dengan Undang Undang nomor 5 tahun 1967, namun ditambahkan satu ayat yang menegaskan bahwa penguasaan hutan oleh Negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional.

    Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indonesia yang bersatu sebagai Bangsa Indonesia; Seluruh bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional. Bumi, selain permukaan bumi, termasuk pula tubuh bumi di bawahnya serta yang berada di bawah air.

    Bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Penguasaan memberikan wewenang untuk mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa; menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa; menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. Wewenang tersebut digunakan untuk

  • 9

    mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraandan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur, yang dapat dikuasakan kepada pemerintah daerah dan masyarakat- masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional.

    Penguasaan Negara atas bumi, air dan ruang angkasa (termasuk kawasan hutan) oleh Negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, semata-mata untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat. Namun sejauh mana penerapannya dalam kebijakan kehutanan dapat kita telusuri adakah kemungkinan masih ada yang belum selaras.

    B. Maksud dan Tujuan. Kajian ini dimaksudkan sebagai bahan dalam Seminar Pengembangan Jabatan Fungsiomnal lingkup Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dimaksudkan untuk memberikan peluang/ aktivitas kepada pejabat fungsional sebagaimana tema seminar yaitu

    Terwujudnya Peran Aktif Pejabat Fungsional untuk Percepatan Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan Tujuan yang diharapkan dapat dicapai adalah

    Terbangunnya Dinamika Pembangunan Kehutanan yang Serasi, Seimbang dan Progresif untuk Mewujudkan Prinsip Sustainable Forest Management (SFM).

    C. Identifikasi Permasalahan Perkembangan penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan non kehutanan sampai dengan September 2011 sebagai berikut :

    No. Provinsi Penggunaan Lokasi Luas (Ha) Tambang Non

    Tambang

    1. N.A. Darussalam a. Jalan 1 1,5000

    b. Radio-TV-Telp

    2 16,5630

    2. Sumatera Utara a. Jalan 4 3.141,9300 b. BMG 1 0,1500 c. Radio-TV-

    Telp 6 16,6335

    d. Listrik 8 626,6200 e. Pendidikan 1 50,0000 a. Migas 1 2,3200

    3. Sumatera Barat a. Listrik 2 197,4220 b. Air bersih 1 0,0575

    No. Provinsi Penggunaan Lokasi Luas (Ha)Tambang Non Tambang a. Batu

    bara 2 866,64

    4. Riau a. Jalan 1 1 200,0000b. TNI AU

    (AWR) 1 10 868,7500

    Pipa Gas 1 0,0000a. Batubara 4 2 883,3900

    5. Jambi a. Batubara 6 667,1140b.Migas 23 865,8621c.Galian C 1 2,0934

    6. Sumatera Selatan a. Jalan 1 14,1100

    a. Batubara 3 4 456,0100b. Ps.Kuarsa 1 196,5000

    Migas 2 148,83007. Bengkulu

    a. Listrik 2 144,3500b. BMG 1 0,0970c. Radio-TV-

    Telp 1 0,0580

    a. Batubara 1 128,58008. Lampung

    a. Pabrik Tapioka 1 50,0000a. Emas 1 40,0500b.Andesif 1 17,2000

    9. Bangka Belitunga. Jalan 1 61,1600b. Radio-TV-

    Telp 1 0,0430

    c. Kanal 1 10,0100a. Timah 4 2 938,2310b. Kaolin 3 63,1960c.P.Kuarsa 2 371,4000d.Bt Granit 1 18,9680

    10. Jawa Barata. Listrik 2 23,2328b. Radio-TV-

    Telp 4 3,8436

    a. Mineral 3 20,5160b.Marmer 3 107,7500c.Andesif 3 55,1000d.Galian C 12 866,9740e. Panas

    bumi 1 21,5400

    11. Jawa Tengah a. Jalan 7 36,5768b. Air Bersih 2 0,1197c. Radio-TV-

    Telp 2 0,1340

    d. Listrik 6 151,4725+e. Stasiun

    pengamat 1 0,0010

    12. Jawa Timur a. Jalan 1 10,9500b. Listrik 1 1,8309

    a. Belerang 1 4,9000b.Marmer 1 6,0000c.Gamping 1 532,3000d. Phosphat 1 4,0000e. Andesif 1 9,3500f. Feldspar 2 7,5250

    13. Bali a. Jalan 3 36,0300b. BMG 2 0,1187c. Radio-TV-

    Telp 1 0,0300

    d. Listrik 3 20,0700e. Bangun. POS 1 0,2500f. Temp

    Limbah 1 14,4000

    g. Pipa BB Avtur

    1 0,0400

    a. Galian C 1 0,000014. N.T.Barat

    1. Listrik 1 8,17002. DAM Air 1 478,79003. Radio-TV-

    Telp 3 0,3210

  • 10

    No. Provinsi Penggunaan Lokasi Luas (Ha) Tambang Non Tambang a. Emas 1 6 417,2950

    15. N.T Timur a. Telepon 2 2,4643

    a. Marmer 1 34,420016. Kalimantan Barat

    a. Radio-TV-Telp

    2 2,3400

    b. TNI AU (AWR)

    1 11,7000

    c. Air bersih 1 0,9600 a. Bauksit 2 2 403,1300 b. Biji

    Besi 1 205,7200

    17. Kalimantan Tengah a. Batubara 14 32 976,2560 b. Emas 2 9 348,6800 c.Andesif 1 34,2800 d. Biji Besi 1 390,8800

    18. Kalimantan Selatan a. Radio-TV-

    Telp 1 3,8310

    b. Pelabuhan 1 23,4900 a. Batu

    bara 47 44 573,2690

    b. Biji besi

    3 3 064,7300

    c. Andesif

    1 66,5900

    d. Ps.Kuarsa

    1 183,1500

    e. Galian C

    1 19,9800

    19. Kalimantan Timur a. Jalan 1 36,8000 b. Rumah sakit 1 6,1000 c. Radio-TV-

    Telp 4 1,4860

    d. Listrik 1 51,9000 a. Batubara 54 134 896,6510 b. Emas 1 0,0000 c. Galian C 6 111,7090 d. Gamping 1 54,4500

    20. Sulawesi Utara a. Radio-TV-

    Telp 1 443,4000

    b. TPI 1 0,4190 a. Emas 1 0,0995

    21. Sulawesi Tengah a. Jalan 3 381,3500 b. Listrik 2 107,5300

    22. Sulawesi Selatan a. Listrik 3 218,8220 a. Marmer 3 106,9820

    23. Sulawesi Tenggara a. Jalan 2 26,7900 b. Radio-TV-

    Telp 2 0,2666

    c. Listrik 2 119,6000 a. Nikel 5 6 893,5270

    24 Gorontalo a. Listrik 1 41,0000

    25. Maluku a. Migas 1 562,4200

    26. Maluku Utara a. Emas 2 899,1000 b. Nikel 7 4 937,2900

    27. Papua Barat a. Migas 78,7250

    28. Papua a. Jalan 1 28,1000 b. Pabrik kayu 1 548,4000 c. Listrik 2 887,7070 Jumlah Sumber : Direktorat Penggunaan Kawasan Hutan

    1. Penggunaan sebagaimana pengertiannya dalam Undang Undang nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan adalah untuk

    kepentingan non kehutanan antara lain seperti data diatas. Pengertian non kehutanan lebih cenderung pada spesialisasi subyek dalam kegiatan tersebut. Namun untuk penggunaan yang sama, misalnya untuk bangunan jasa air bersih pengertiannya menjadi pemanfaatan kawasan hutan walaupun oleh pihak ketiga atau non kehutanan.

    2. Pengelolaan hutan dalam satu Kesatuan Pengelolaan Hutan adalah bentuk satu unit manajemen hutan yang meliputi pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan dalam penyelenggaraannya. Spesifikasi administrasi kiranya perlu diperjelas lagi, sehingga tidak menimbulkan kebijakan yang rancu dalam kegiatan riel yang sama.

    3. Fasilitasi penggunaan kawasan hutan untuk penyelenggaraan Kesatuan Pengelolaan Hutan belum dirancang dalam kebijakan pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan sebagai manajemen tingkat tapak.

    4. Pembangunan sarana prasarana Kesatuan Pengelolaan Hutan yang tidak dapat menggunakan sebagian dari kawasan hutan adalah tidak efisien dan efektif dalam aktivitas kegiatan pengelolaan hutan.

    5. Norma Standar Prosedur dan Kriteria Pemanfaatan dan Penggunaan Kawasan Hutan lebih mengutamakan segi perizinan, spesifikasi penggunaan dan pemanfaatan perlu dirumuskan sehingga jelas dan transparan dalam kebijakan pemanfaatan atau penggunaan kawasan hutan, terutama untuk pembangunan dan pelaksanaan Kesatuan Pengelolaan Hutan.

    D. Kajian dan Analisis.

    Bidang Pertanahan Hak-Hak atas Tanah.

    Sebagaimana dalam Undang Undang nomor 5 tahun 1960 bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, maka ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi yang disebut tanah, yang diberikan kepada perseorangan, kelompok, serta badan-badan hukum. Pemegang hak berwenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan termasuk pula tubuh bumi dan air serta ruang angkasa diatasnya sekedar diperlukan

  • 11

    untuk kepentingan langsung dalam penggunaan tanah tersebut.

    Hak-hak atas tanah meliputi Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Sewa, Hak Membuka Tanah, Hak Memungut Hasil Hutan, dan hak-hak lain yang ditentukan dengan Undang Undang, serta hak-hak yang sifatnya sementara dan berakhir pada batas waktu yang ditentukan (hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang dan hak sewa tanah pertanian). Untuk menjamin kepastian hukum dari hak-hak tersebut dilaksanakan pendaftaran tanah oleh Pemerintah meliputi pengukuran, pemetaan dan pembukuan tanah; pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut; serta pemberian surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat (sertifikat).

    Hak milik tanah adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dimiliki orang warga Negara Indonesia dan badan hukum yang didirikan menurut ketentuan hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Terjadinya Hak Milik karena hukum adat yang diatur dengan Peraturan Pemerintah; penetapan Pemerintah menurut cara dan syarat yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah serta ketentuan Undang Undang dengan diberikan sertifikat Hak Milik Tanah. Hak Milik Tanah dapat dipindahkan sesuai Peraturan Pemerintah. Hak Milik Tanah dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani hak tanggungan. a. Hak Guna Usaha.

    Hak Guna Usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara dalam jangka waktu paling lama 25 tahun atau 35 tahun untuk perusahaan yang memerlukan waktu lebih lama dan dapat diperpanjang paling lama 25 tahun. Hak Guna Usaha dapat dimiliki oleh warga Negara Indonesia dan badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia melalui penetapan Pemerintah dengan diberikan serifikat Hak Guna Usaha. Hak Guna Usaha dapat beralih dan dialihkan kepada

    pihak lain, serta dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani hak tanggungan.

    Sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah nomor 40 Tahun 1996 tanah yang dapat diberikan dengan Hak Guna Usaha adalah tanah Negara. Pelaksanaan Hak Guna Usaha pada tanah yang dibebani hak tertentu dan/ atau terdapat tanaman dan/ atau bangunan yang sah (tanaman dan bangunan milik bekas pemegang Hak Guna usaha) dapat dilakukan setelah pelepasan hak terselesaikan menurut tata cara yang diatur dalam peraturan perundangan dan/ atau telah terselesaikan pembayaran ganti rugi tanaman dan bangunan. Tanah Negara yang dapat diberikan dengan Hak Guna Usaha minimal lima hektar dan maksimal dua puluh lima hektar untuk perorangan dan untuk badan usaha yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia dapat diberikan lebih sesuai ketentuan Menteri setelah memperhatikan pertimbangan dari pejabat yang berwenang dibidang usaha yang bersangkutan. Hak Guna Usaha diberikan untuk jangka waktu tuga puluh lima tahun dan dapat diperpanjang satu kali selama dua puluh lima tahun. Apabila tanahnya masih diusahakan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat dan tujuan pemberian hak dan pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang hak, maka Hak Guna Usaha dapat diperbaharui dengan permohonan disertai syarat- syarat permohonan hak. Kewajiban dan hak Pemegang Hak Guna Usaha adalah : - membayar uang pemasukan kepada

    Negara; - melaksanakan usaha pertanian,

    perkebunan, perikanan dan/atau peternakan sesuai peruntukan dan persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam keputusan pemberian haknya;

    - mengusahakan sendiri tanah Hak Guna Usaha dengan baik sesuai dengan kelayakan usaha berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh instansi teknis;

    - membangun dan memelihara prasarana lingkungan dan fasilitas tanah yang ada

  • 12

    dalam lingkungan areal Hak Guna Usaha;

    - memelihara kesuburan tanah, mencegah kerusakan sumber daya alam dan menjaga kelestarian kemampuan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

    - menyampaikan laporan tertulis setiap akhir tahun mengenai penggunaan Hak Guna Usaha;

    - karena keadaan geografis atau lingkungan atau sebab-sebab lain letaknya sedemikian rupa sehingga mengurung atau menutup pekarangan atau bidang tanah lain dari lalu lintas umum atau jalan air, maka wajib memberikan jalan keluar atau jalan air atau kemudahan lain bagi pekarangan atau bidang tanah yang terkurung;

    - pemegang Hak Guna Usaha berhak menguasai dan mempergunakan tanah yang diberikan dengan Hak Guna Usaha untuk melaksanakan usaha di bidang pertanian, perkebunan, perikanan dan/ atau peternakan;

    - penguasaan dan penggunaan sumber air dan sumber daya alam lainnya di atas tanah yang diberikan dengan Hak Guna Usaha hanya dapat dilakukan untuk mendukung usahanya dengan mengingat ketentuan peraturan perundangan yang berlaku dan kepentingan masyarakat sekitarnya;

    - menyerahkan kembali tanah yang diberikan dengan Hak Guna Usaha kepada Negara sesudah Hak Guna Usaha tersebut hapus;

    - menyerahkan serifikat Hak Guna Usaha yang telah hapus kepada Kepala Kantor Pertanahan.

    Apabila tanah Negara yang akan diberikan dengan Hak Guna Usaha merupakan kawasan hutan, maka pemberian Hak Guna Usaha dapat dilakukan setelah tanah yang bersangkutan dikeluarkan dari statusnya sebagai kawasan hutan. Perkembangan perubahan status kawasan hutan untuk pembangunan pertanian, perkebunan, perikanan dan peternakan sampai dengan Agustus 2011 berikut:

    No. Provinsi Lokas

    i Persetujuan Prinsip

    (Ha)

    Progres

    Keterangan

    1 N.A.Darussalam 16 48.552,00 Dicabut Paduserasi APL2 Sumatera Utara 11

    9 69.569,00 60.676,00

    Proses cabut

    3 Sumatera Barat 5 8

    16.611,00 57.260,00

    Proses cabut

    4 Riau 33 7

    149.542,00 39.430,00

    Tata bys APL

    Proses cabut

    5 Jambi 10 38.681,00 Dicabut Paduserasi APL6 Sumatera Selatan 12

    7 133.724,50 58.854,00

    Peoses cabut

    7 Bengkulu 3 10.600,00 Dicabut Paduserasi APL8 Lampung 2 3.638,00 Dicabut Paduserasi APL9 NTB 1 5,00 Tata bts10 NTT 1 850,00 Proses11 Kalimantan Barat 43 531.978,00 Tata bts Paduserasi APL

    Proses cabut 12 Kalimantan Tengah 13

    14 168.215,00 1.675.460,0

    0

    Tata bts APL

    Proses cabut

    13 Kalimantan Selatan 5 521.190,00 Tata bts 3 14.190,00 APL Proses cabut

    14 Kalimantan Timur 1 36

    16.350,00 448.564,00

    APL

    Proses cabut

    15 Sulawesi Utara 16 Sulawesi Tengah 3

    3 42.620,00 9.225,00

    Tata bts APL

    Proses cabut

    17 Sulawesi Selatan 2 1.150,00 APL Proses cabut18 Sulawesi Tenggara 1 12.000,00 HPK Proses cabut19 Gorontalo 4 36.312,50 Tatabts20 Sulawesi Barat 2 1.170,00 Tata bts21 Maluku 4

    3 6.180,00 4.049,00

    Tata bts APL

    Proses cabut

    22 Maluku Utara 1 4

    1.485,00 3.468,00

    Tata bts APL

    Proses cabut

    23 Papua 14 5

    416.670,00 168.200,00

    Tata bts APL

    Dicabut

    24 Papua Barat 9 250.012,00 Jumlah 295 4 .560.

    412,66

    b. Hak Guna Bangunan. Hak Guna Bangunan merupakan hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu paling lama 30 tahun dan dapat diperpanjang paling lama 20 tahun atau diperbaharui. Tanah yang dapat diberikan dengan Hak Guna Bangunan meliputi tanah Negara, tanah hak pengelolaan dan tanah hak milik, yang diberikan kepada warga Negara Indonesia atau badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.

    Hak Guna Bangunan harus didaftarkan sesuai ketentuan Pemerintah untuk diterbitkan Sertifikat Hak Guna Bangunan. Hak Guna Bangunan dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain, serta dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani hak tanggungan. Pemegang Hak Guna Bangunan berkewajiban untuk :

  • 13

    - membayar uang pemasukan kepada Negara;

    - menggunakan tanah sesuai peruntukan dan persyaratan yang ditetapkan dalam keputusan atau perjanjian pemberian hak;

    - memelihara dengan baik tanah dan bangunan yang ada diatasnya serta menjaga kelestarian lingkungan hidup;

    - menyerahkan kembali tanah yang diberikan dengan Hak Guna Bangunan kepada Negara, Pemegang Hak Pengelolaan atau Pemegang Hak Milik setelah Hak Guna Bangunan hapus;

    - menyerahkan setifikat Hak Guna Bangunan kepada Kepala Kantor Pertanahan.

    - karena keadaan geografis atau lingkungan atau sebab-sebab lain letaknya sedemikian rupa sehingga mengurung atau menutup pekarangan atau bidang tanah lain dari lalu lintas umum atau jalan air, maka wajib memberikan jalan keluar atau jalan air atau kemudahan lain bagi pekarangan atau bidang tanah yang terkurung;

    - pemegang Hak Guna Bangunan berhak menguasai dan mempergunakan tanah yang diberikan dengan Hak Guna Bangunan selama waktu tertentu untuk mendirikan dan mempunyai bangunan untuk keperluan pribadi atau usahanya serta untuk mengalihkan hak tersebut kepada pihak lain dan membebaninya;

    c. Hak Pakai. Hak Pakai merupakan hak untuk menggunakan dan/ atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam pemberian haknya, yang bukan perjanjian sewa menyewa atau perjanjian pengolahan tanah dengan jangka waktu tertentu. Hak Pakai Tanah dapat dimiliki oleh warga Negara Indonesia, orang asing yang berkedudukan di Indonesia, badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia, badan hukum asing yang memiliki perwakilan di Indonesia, selama jangka waktu yang tertentu atau selama tanahnya

    dipergunakan untuk keperluan yang tertentu, dengan cuma-cuma, dengan pembayaran atau pemberian jasa berupa apapun. Pengalihan Hak Pakai kepada pihak lain atas tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atas izin Pejabat yang berwenang. Pemegang Hak Pakai berkewajiban : - membayar uang pemasukan kepada

    Negara; - menggunakan tanah sesuai peruntukan

    dan persyaratan yang ditetapkan dalam keputusan atau perjanjian pemberian hak;

    - memelihara dengan baik tanah dan bangunan yang ada diatasnya serta menjaga kelestarian lingkungan hidup;

    - menyerahkan kembali tanah yang diberikan dengan Hak Pakai kepada Negara, Pemegang Hak Pengelolaan atau Pemegang Hak Milik setelah Hak Pakai hapus;

    - menyerahkan setifikat Hak Pakai kepada Kepala Kantor Pertanahan.

    - karena keadaan geografis atau lingkungan atau sebab-sebab lain letaknya sedemikian rupa sehingga mengurung atau menutup pekarangan atau bidang tanah lain dari lalu lintas umum atau jalan air, maka wajib memberikan jalan keluar atau jalan air atau kemudahan lain bagi pekarangan atau bidang tanah yang terkurung;

    - pemegang Hak Pakai berhak menguasai dan mempergunakan tanah yang diberikan dengan Hak Pakai selama waktu tertentu untuk keperluan pribadi atau usahanya serta untuk mengalihkan hak tersebut kepada pihak lain dan membebaninya, atau selama digunakan untuk keperluan tertentu.

    d. Hak Sewa Hak Sewa adalah hak untuk menggunakan tanah milik orang lain untuk keperluan bangunan,dengan membayar kepada pemiliknya sejumlah uang sebagai sewa, baik secara langsung sekali,atau pada waktu tertentu, sebelum atau sesudah tanah dipergunakan. Hak sewa dimiliki oleh warga Negara Indonesia, orang asing yang berkedudukan di Indonesia, badan hukum

  • 14

    yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia, badan hukum asing yang memiliki perwakilan di Indonesia. Hak membuka tanah dan memungut hasil hutan hanya dimiliki warga Negara Indonesia dan diatur dengan Peraturan Pemerintah, tidak sendirinya diperoleh hak milik atas tanahnya.

    e. Hak Pengelolaan. Hak Pengelolaan sebagai hak menguasai dari Negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegang hak. Seperti Hak Pengelolaan Hutan, Hak Pengelolaan Hutan Tanaman Industri.

    Bidang Kehutanan 1. Kawasan Hutan

    Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.

    Sejarah Republik Indonesia memberikan era yang tegas dalam keberadaan kawasan hutan. Pada zaman Belanda telah banyak kawasan hutan telah diukur, dipetakan dan ditetapkan sebagai kawasan hutan sesuai fungsi pokoknya serta diberikan nomor pendaftaran (register). Penetapan atas kebijakan pemerintah Belanda, namun keberadaan kawasan hutan tersebut masih diterima dan diakui ketika Indonesia merdeka sebagaimana dalam Undang Undang nomor 5 tahun 1967 bahwa wilayah tersebut ditetapkan sebagai kawasan hutan register. Kawasan hutan register ditetapkan berdasarkan letak (sesuai Peta), luas dan fungsi pokok hutannya. Kawasan hutan register sebagian besar berada di pulau Jawa (yang sekarang menjadi wilayah kerja Perum Perhutani), di pulau Bali, si provinsi Lampung, provinsi Sumatera Utara, pulau Muna. Keberadaan kawasan secara de facto dapat dipertahankan sampai sekarang, walaupun sebagian mengalami perambahan karena tingginya desakan pertumbuhan penduduk dan kebutuhannya.

    Penunjukan hutan secara parsial dilaksanakan berdasarkan Undang Undang nomor 5 tahun 1967 ditindak lanjuti proses pengukuhan kawasan hutan. Pengukuhan

    hutan tidak dapat dilaksanakan secara cepat, sedang pertumbuhan penduduk dan kebutuhannya maupun kegiatan pembukaan hutan dalam pengelolaannya (kegiatan HPH diluar pulau Jawa sangat besar) sangat cepat, maka untuk menyelamatkan perlu adanya kebijakan percepatan pengukuhan dan penatagunaan hutan agar keberadaan dan keutuhan kawasan hutan dapat sebagai penggerak perekonomian lokal, regional dan nasional serta sebagai penyangga kehidupan lokal, regional dan nasional maupun global. Rencana Pengukuhan dan Penatagunaan Hutan (RPPH) mulai disusun awal tahun 1980 untuk masing-masing wilayah provinsi. Kegiatan melibatkan seluruh stakeholder daerah tingkat I provinsi dan daerah tingkat II kabupaten/ kota. Kesepakatan lintas sektoral di provinsi menghasilkan peta dan diskripsi rencana pengukuhan dan penatagunaan hutan yang dikenal dengan Tata Guna Hutan Kesepakatan Provinsi (TGHK Provinsi). Pengukuhan kawasan hutan dilaksanakan oleh Panitia Tata Batas Hutan Kabupaten/ Kota yang dibentuk oleh Gubernur dibantu tenaga teknis dari Balai Planologi Kehutanan Wilayah I-VI dan Sub Balai Tata Hutan Provinsi. Kawasan hutan yang telah selesai ditata batas oleh Panitia Tata Batas Hutan Kabupaten/ Kota dengan pemasangan pal batas dilapangan dan pembuatan Berita Acara Tata Batas Hutan dilampiri petanya diketahui oleh Gubernur diusulkan kepada Menteri Kehutanan untuk penetapannya. Penetapan kawasan hutan berdasarkan letak, luas, dan fungsi kawasan hutannya.

    Pada tahun 1992 diberlakukan Undang Undang tentang Penataan Ruang yang mengatursistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Ruang dimaksudkan sebagai wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang didalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya. Tata Guna Hutan Kesepakatan ditinjau kembali dan dipaduserasikan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi. Paduserasi ditetapkan sebagai penunjukan kawasan

  • 15

    hutan dan perairan mulai tahun 1999 di 12 wilayah provinsi seluas 68 291 377,31 hektar hutan tetap, 5 provinsi seluas 13 858 602,97 hektar hutan tetap tahun 2000 hutan tetap, tahun 2001 di 2 provinsi seluas 18 410 880 hektar hutan tetap, tahun 2003 di 1 provinsi seluas 816 602,70 hektar hutan tetap, tahun 2004 sebanyak 2 provinsi seluas 1 414 760 hektar hutan tetap, tahun 2005 1 provinsi seluas 3 742 120 dan tahun 2009 sebanyak 3 provinsi seluas 5 339 452 hektar hutan tetap, sedang untuk provinsi Kalimanatan Tengah dan Riau menurut Tata Guna Hutan Kesepakatan yang ditetapkan tahun 1982 dan 1986 seluas 24 756 160 hektar serta provinsi Banten yang sedang proses penetapan seluas 253 254 hektar.

    Pada tahun 1999 telah diterbitkan Undang Undang nomor 41 tentang Kehutanan, kawasan hutan meliputi kawasan hutan register(telah ditetapkan), kawasan hutan paduserasi RTRWP dan T.G.H.K (sebagian telah ditetapkan melalui prosedur pengukuhan batas hutan dan sebagian masih penunjukan kawasan hutan) dan penunjukan parsial yang baru.

    2. Peruntukan Kawasan Hutan.

    Peruntukan kawasan hutan merupakan penentuan (mencadangkan, menyediakan, menggunakan) suatu wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan sesuai fungsi pokok hutannya (hutan konservasi, hutan lindung, hutan produksi).

    Perubahan peruntukan kawasan hutan adalah perubahan kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan. Perubahan peruntukan dan fungsi hutan dilakukan untuk memenuhi tuntutan dinamika pembangunan nasional serta aspirasi masyarakat dengan tetap berlandaskan pada optimalisasi distribusi fungsi, manfaat kawasan hutan secara lestari dan berkelanjutan, serta keberadaan kawasan hutan dengan luasan yang cukup dan sebaran yang proporsional. Perubahan peruntukan kawasan hutan secara parsial dilaksanakan melalui tukar menukar kawasan hutan atau pelepasan kawasan hutan. Tukar menukar dapat

    dilakukan pada kawsan hutan produksi dan/ atau hutan produksi terbatas untuk pembangunan diluar kegiatan kehutanan yang bersifat permanen, menghilangkan enclave, atau perbaikan batas hutan. Pelepasam kawasan hutan dapat dilakukan pada hutan produksi yang dapat dikonversi dari wilayah provinsi yang luas hutannya lebih dari 30% luas daratan, kecuali dengan cara tukar menukar.

    Perubahan peruntukan kawasan hutan wilayah provinsi atas dasar usulan dari gubernur dan hasil penilaian Tim Terpadu yang ditetapkan Menteri.

    3. Pemanfaatan dan Penggunaan Kawasan Hutan.

    a. Pemanfaatan.

    Pemanfaatan hutan bertujuan untuk memperoleh manfaat, hasil, dan jasa hutan yang optimal bagi kesejahteraan seluruh masyarakat secara berkeadilan dengan tetap menjaga kelestariannya.

    Pemanfaatan hutan merupakan kegiatan untuk memanfaatkan kawasan hutan, memanfaatkan jasa lingkungan, memanfaatkan hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta memungut hasil hutan kayu dan bukan kayu secara optimal dan adil untuk kesejahteraan masyarakat dengan tetap menjaga kelestariannya.

    Pemanfaatan kawasan hutan dapat dilakukan pada semua kawasan hutan kecuali pada hutan cagar alam serta zona inti dan zona rimba pada Taman Nasional. Pemanfaatan kawasan hutan merupakan kegiatan untuk memanfaatkan ruang tumbuh sehingga diperoleh manfaat lingkungan, manfaat sosial dan manfaat ekonomi secara optimal dengan tidak mengurangi fungsi utamanya.

    Pemanfaatan jasa lingkungan merupakan kegiatan untuk memanfaatkan potensi jasa lingkungan dengan tidak merusak lingkungan dan mengurangi fungsi utamanya.

    Pemanfaatan hasil hutan kayu merupakan kegiatan untuk memanfaatkan dan mengusahakan hasil hutan berupa kayu dengan tidak merusak lingkungan dan

  • 16

    mengurangi fungsi pokoknya. Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu merupakan kegiatan untuk memanfaatkan dan mengusahakan hasil hutan berupa bukan kayu dengan tidak merusak lingkungan dan mengurangi fungsi pokoknya.

    Pemungutan hasil hutan kayu dan atau bukan kayu merupakan kegiatan untuk mengambil hasil hutan berupa kayu dan/ atau bukan kayu dengan batasan waktu, luas dan/ atau volume tertentu

    Pemanfaatan maupun pemungutan dibatasi dengan waktu, luas, letak dan volume tertentu melalui ketentuan dalam pemberian izin pemanfaatan dan pemungutan hasil hutan.

    Kawasan Suaka Alam : pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar dengan memperhatikan kelangsungan potensi, daya dukung, dan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa liar; kecuali kawasan cagar alam.

    Kawasan Pelestarian Alam : pemanfaatan kondisi lingkungan kawasan pelestarian alam dengan tetap menjaga kelestarian fungsi kawasan; pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar dengan memperhatikan kelangsungan potensi, daya dukung, dan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa liar; kecuali zona inti dan zona rimba pada taman nasional.

    Hutan Lindung : pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemungutan hasil hutan bukan kayuHutan Produksi : pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu.

    b. Penggunaan.

    Penggunaan kawasan hutan sebagaimana Peraturan Pemerintah nomor 24 Tahun 2010 merupakan penggunaan atas sebagian kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan diluar kegiatan Kehutanan tanpa mengubah fungsi dan peruntukan kawasan hutan. Penggunaan kawasan hutan untuk

    kepentingan pembangunan diluar kegiatan Kehutanan meliputi untuk kepentingan religi; pertambangan; instalasi pembangkit, transmisi, distribusi listrik, serta teknologi energi baru dan terbarukan; pembangunan jaringan telekomunikasi, stasiun pemancar radio, dan stasiun relay televisi; jalan umum, jalan tol, dan kereta api; sarana transportasi lain untuk angkutan hasil produksi; sarana prasarana sumber daya air, jaringan instalasi air, saluran air bersih/ limbah; fasilitas umum; industri terkait kehutanan; pertahanan dan keamanan; prasarana penunjang keselamatan umum; atau penampungan sementara korban bencana alam.

    4. Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung dan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi.

    a. Tugas dan Fungsi. 1) Menyelenggarakan pengelolaan hutan

    yang meliputi : - Tata hutan dan penyusunan rencana

    pengelolaan hutan. - Pemanfaatan hutan. - Penggunaan kawasan hutan. - Rehabilitasi hutan dan reklamasi. - Perlindungan hutan dan konservasi.

    2) Menjabarkan kebijakan kehutanan nasional , provinsi, kabupaten/ kotabidang kehutanan;

    3) Melaksanakan kegiatan pengelolaan hutan di wilayahnya mulai dari perencanaan, pengorga nisasian, pelaksanaan dan pengawasan pengendalian;

    4) Melaksanakan pemantauan dan penilaian atas pelaksanaan kegiatan pengelolaan hutan di wilayahnya;

    5) Membuka peluang investasi guna mendukung tercapainya tujuan prngrlolaan hutan.

    b. Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan

    Kegiatan tata hutan meliputi inventarisasi hutan, pembagian kedalam blok, pembagian blok kedalam petak, tata batas

  • 17

    dalam wilayah Unit Pengelolaan Hutan dan pemetaan.

    Inventarisasi hutan dimaksudkan untuk memperoleh informasi potensi, karakteristik, bentang alam, kondisi sosial ekonomi, dan informasi lain pada wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan meliputi status, penggunaan, dan pentupan lahan; jenis tanah dan kelerengan/ topografi; iklim; hidrologi/tata air, bentang alam dan gejala-gejala alam; sumberdaya manusia dan demografi; jenis, potensi dan sebaran flora; jenis populasi dan habitat fauna; serta kondisi sosial ekonomi budaya masyarakat. Inventarisasi dilakukan dengan survei melalui penginderaan jauh dan/ atau terestris paling sedikit sekali dalam 5 (lima) tahun yang disajikan dalam bentuk deskriptif, numerik, peta dan lain lain.

    Berdasarkan hasil inventarisasi dilakukan pembagian blok dengan memperhatikan karakteristik biofisik lapangan; kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar; potensi sumber daya alam; keberadaan hak-hak atau izin usaha pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan. Masing-masing blok dibagi kedalam petak dengan memperhatikan produktifitas dan potensi lahan; keberadaan kawasan lindung yang meliputi kawasan bergambut, kawasan resapan air, sempadan pantai dan sungai, kawasan sekitar waduk/danau/ mata air, kawasan cagar budaya, kawasan rawan bencana alam, kawasan perlindungan plasma nutfah, kawasan pengungsian satwa dan kawasan pantai berhutan bakau.

    Berdasarkan hasil tata hutan disusun rencana pengelolaan hutan pada wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan, dan rencana pembangunan.

    Rencana pengelolaan hutan meliputi arahan-arahan pengelolaan hutan pada wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan; rencana pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan yang memuat perencanaan organisasi termasuk pengembangan sumber daya manusia, pengadaan sarana prasarana, pembiayaan kegiatan dan kegiatan lainnya. Rencana Pengelolaan Hutan disusun untuk jangka

    panjang selama 10 tahun dan rencana jangka pendek 1 tahun dengan mengacu pada Rencana Kehutanan Nasional, Provinsi, Kabupaten/ Kota serta memperhatikan aspirasi, nilai budaya masyarakat setempat dan kondisi lingkungan. Rencana pengelolaan hutan jangka panjang disusun Kesatuan Pengelolaan Hutan dinilai oleh Gubernur untuk disyahkan Menteri.

    c. Pemanfaatan Hutan.

    Pemanfaatan hutan meliputi pemanfaatan kawasan, pemanfaataan jasa lingkungan, dan pemungutan hasil hutan bukan kayu pada Hutan Lindung sedang pada Hutan Produksi selain pemanfaatan diatas dapat pula dilakukan pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, dan/ atau pemungutan hasil hutan kayu.

    Kegiatan pemanfaatan hutan dilakukan melalui pemberian izin sesuai peraturan perundangan yang berlaku. Kesatuan Pengelolaan Hutan wajib melaksanakan pembinaan, pemantauan dan evaluasi atas pelaksanaan izin pemanfaatan hutan di wilayahnya. Dalam hal izin pemanfaatan telah berakhir, maka Kesatuan Pengelolaan Hutan bertanggung jawab atas pengamanan dan perlindungan hutannya. Permohonan izin dan perpanjangan izin pemanfaatan hutan harus direkomendasi oleh dinas yang menangani kehutanan provinsi, kabupaten/ kota sesuai rencana pengelolaan hutan yang telah disusun Kesatuan Pengelolaan Hutan.

    Pemanfaatan wilayah tertentu (antara lain wilayah hutan yang situasi dan kondisinya belum menarik bagi pihak ketiga untuk mengembangkan usaha pemanfaatannya sehingga perlu menugaskan Kesatuan Pengelolaan Hutan untuk memanfaatkannya) dapat dilaksanakan atas penugasan dari Menteri.

    d. Penggunaan Kawasan Hutan.

    Penggunaan kawasan hutan yang menjadi wewenang nya meliputi pembinaan, pemantauan dan evaluasi pelaksanaan izin penggunaan kawasan hutan.

  • 18

    Permohonan izin dan perpanjangan izin penggunaan kawasan hutan harus direkomendasi oleh dinas yang menangani kehutanan provinsi, kabupaten/ kota sesuai rencana pengelolaan hutan yang telah disusun Kesatuan Pengelolaan Hutan.

    Dalam hal izin penggunaan telah berakhir, maka Kesatuan Pengelolaan Hutan bertanggung jawab atas pengamanan dan perlindungan hutannya.

    e. Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan.

    Kesatuan Pengelolaan Hutan malaksanakan rehabilitasi hutan pada areal yang tidak dibebani izin pemanfaatan meliputi kegiatan reboisasi, pemeliharaan tanaman, pengayaan tanaman, penerapan teknik konservasi tanah serta melaksanakan pembinaan pemantauan dan evaluasi pelaksanaan rehabilitasi oleh pemegang izin pemanfaatan.

    Reklamasi hutan dilaksanakan pada areal yang mengalami perubahan permukaan tanah dan perubahan penutupan tanah, dalam hal kawasan hutan di wilayahnya dibebani izin penggunaan kawasan hutan maka bertanggung jawab dalam pengamanan dan perlindungan hasil reklamasi serta melaksanakan pembinaan, pemantauan dan evaluasi pelaksanaan reklamasi oleh pemegang izin.

    f. Perlindungan Hutan.

    Perlindungan hutan bertujuan untuk menjaga hutan, hasil hutan, kawasan hutan dan lingkungannya, agar fungsi lindung, fungsi konservasi, dan fungsi produksi tercapai secara optimal dan lestari.

    Perlindungan hutan berdasarkan prinsip-prinsip mencegah dan membatasi kerusakan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan serta menjaga hak-hak negara, masyarakat, perorangan atas kawasan hutan, hutan dan hasil hutan, investasi maupun perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan hutan. Perlindungan hutan pada wilayahnya yang dibebani izin menjadi tangung jawab pemegang izin.

    g. Pembinaan Pengendalian dan Pengawasan.

    Pembinaan, pengendalian dan pengawasan teknis atas penyelenggaraan tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, pemanfaatan hutan, penggunaan kawasan hutan, rehabilitasi dan reklamasi hutan dilaksanakan Menteri dan dapat menugaskan Gubernur setempat.

    Kamus Besar Bahasa Indonesia

    Berdasarkan kamus besar Bahasa Indonesia kata penggunaan, pemanfaatan dan peruntukan yang dipergunakan dalam peraturan perundangan tentang kehutanan mempunyai kemiripan/ kesamaan arti tergantung pada penjelasannya. 1) Peruntukan

    Peruntukan berarti hal memperuntukkan atau hal (bagian) yang disediakan untuk penyediaan : rencana untuk daerah bagi industri; rencana peruntukan kawasan hutan.

    2) Penggunaan Penggunaan sebagaimana penjelasan dalam kamus sebagai proses; cara; perbuatan menggunakan sesuatu; pemakaian : kita harus mengatur penggunaan kawasan hutan secara efisien dan efektive rasional. Penggunaan kawasan hutan dapat dilaksanakan oleh manajemen Kesatuan Pengelolaan Hutan atau pihak ketiga untuk kepentingan bukan hutan, baik sebagai sarana prasarana manajemen ataupun penggunaan lainnya.

    3) Pemanfaatan. Pemanfaatan dimaksudkan sebagai proses, cara, perbuatan memanfaatkan. Pemanfaatan hutan tersirat pengertian tidak terjadi perubahan bentang permukaan tanah dan pentupan tanah kawasan hutan.

    E. Kesimpulan. 1. Pembangunan Kesatuan Pengelolaan

    Hutan untuk membentuk satu sistem manajemen kawasan hutan yang lestari, bukan melestarikan perizinan. Oleh karena itu dalam pembagian blok dan petak seharusnya tidak tergantung pada keberadaan perizinan pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan, melainkan

  • 19

    semata-mata untuk membagi kawasan kedalam peruntukan, pemanfaatan, penggunaan riel dalam manajemen Kesatuan Pengelolaan Hutan dengan memperhatikan potensi tegakan dan pengembangannya, biofisik, sistem penyelenggaraan unit-unit kelestarian hutan, aspirasi masyarakat. Blok dan petak yang telah dibuat oleh pemegang izin tetap dipertahankan sampai berakhirnya perizinan yang dalam perpanjangannya harus mengikuti ketentuan blok dan petak Kesatuan Pengelolaan Hutan.

    2. Penggunaan kawasan hutan menurut pengertian bahasa dan kegiatannya mempunyai ciri beda dengan pemanfaatan yaitu dimungkinkannya pengolahan dan perubahan permukaan tanah dan penutupan tanah kawasan hutan sesuai kebutuhan dalam rencana penggunaannya. Misalkan untuk bendungan, pertambangan, kelistrikan, jalan, Pemanfaatan lebih diarahkan pada pengambilan hasil atau kegunaan/ manfaat dari hutan dan kawasan hutan dengan tanpa merubah/ mengolah kawasan hutan dan dijaga kelestariannya melalui minimalisasi perubahan bentang alam.

    3. Pembangunan sarana prasarana pengelolaan hutan untuk Kesatuan Pengelolaan Hutan seperti jalan angkutan, pos-pos jaga, kantor dan pemukiman pegawai/ karyawan, tempat penampungan dan penimbunan hasil hutan perlu merubah bentang alam kawasan hutan sesuai kebutuhan rencana penggunaannya sebagai satu kesatuan dengan hutannya (tingkat tapak)

    4. Perizinan dalam pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan merupakan sistem pengelolaan hutan yang diatur sesuai tata waktu perizinan, tidak berdasarkan daur tegakan yang merupakan unsur utama dalam pembentukan unit kelestarian hutan.

    5. Kesatuan Pengelolaan Hutan merupakan sistem manajemen hutan yang lestari sebagai standar letak dan luas semua kegiatan dalam pengelolaan hutan.

    6. Norma Standar Prosedur dan Kriteria Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung dan Produksi belum memberikan kewenangan secara langsung untuk melaksanakan kegiatan pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan sesuai rencana pengelolaan hutan yang telah disusun dan disyahkan oleh Menteri. Kesatuan Pengelolaan Hutan cenderung menjadi jagawana.

    7. Hak Guna Usaha pada tanah negara yang peruntukannya sebagai kawasan hutan dapat diberikan setelah ada ketetapan pelepasan hutan dari Menteri Kehutanan. Pelepasan hutan untuk Hak Guna Usaha dapat dilaksanakan pada kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi.

    F. Rekomendasi.

    1. Norma standar prosedur dan kriteria penggunaan kawasan hutan; pemanfaatan hutan perlu disusun secara baku, agar pengertian bahasa penggunaan kawasan hutan tidak sama dengan pemanfaatan kawasan hutan. Penggunaan kawasan hutan tentu berbeda dengan izin penggunaan kawasan hutan.

    2. Hukum pertanahan dalam kawasan hutan wewenang Menteri Kehutanan dalam peruntukan kawasan hutan, penggunaan kawasan hutan dan pemanfaatan hutan. Oleh karena itu perlu dipertimbangkan kebijakan semacam Hak Pakai atau Hak Guna Kawasan Hutan untuk penyelenggaraan pengelolaan hutan, sehingga dimungkinkan dapat diterbitkan Hak Guna Bangunan untuk kantor, perumahan karyawan Kesatuan Pengelolaan Hutan maupun untuk industri pengolahan hasil hutan. Dengan Hak Guna Bangunan dapat memberikan penghasilan asli daerah (P.A.D) dari bangunan dan industri yang ada dapat diasuransikan. Kesatuan Pengelolaan Hutan tingkat tapak secara riel ada yaitu fasilitas pengelolaan hutan dan industri berada dalam satu tapak (situasi fasilitasi kantor sekarang dimungkinkan kantornya di Samarinda dan areal Kesatuan Pengelolaan Hutannya di Pangkalan Bun

  • 20

    serupa jaman Hak Pengusahaan Hutan dahulu)

    3. Blok dan petak yang dibuat oleh pemegang izin pemanfaatan hutan dan penggunaan kawsan hutan tidak ditetapkan sebagai blok dan petak Kesatuan Pengelolaan Hutan, namun diberi kesempatan sampai berakhirnya izin. Blok dan petak Kesatuan Pengelolaan

    Hutan tetap dibuat sesuai Pedoman Tata Hutan yang ditetapkan Menteri.

    4. Perlu dipertimbangkan kewenangan Kesatuan Pengelolaan Hutan dalam pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan secara langsung sesuai rencana pengelolaan hutan yang telah disyahkan Menteri.

  • 21

    GENERALISASI FUNGSI KAWASAN HUTAN Oleh Edi Suharno 1

    Kawasan hutan menurut UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan merupakan wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Selanjutnya kawasan hutan ini dibagimenjadi hutan konservasi, hutan lindung dan hutan produksi. Hutan konservasi terdiri dari cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional, taman hutan raya, taman wisata alam dan taman buru. Kemudian, hutan produksi dibagi ke dalam hutan produksi terbatas, hutan produksi biasa dan hutan produksi yang dapat dikonversi.

    Kawasan hutan berstatus penunjukan merupakan perubahan status dari bukan kawasan hutan menjadi kawasan hutan. Kriteria areal yang ditunjuk sebagai kawasan hutan tidak ditentukan tersendiri melainkan melekat dalam kriteria fungsi kawasan yang bersangkutan. Dalam UU Nomor 41 Tahun 1999 terdapat istilah pengukuhan dan penatagunaan kawasan hutan dan ke duanya merupakan kegiatan yang prosesnya merupakan sekuen, sehingga kawasan hutan akan dapat ditetapkan fungsinya setelah ditetapkan sebagai kawasan hutan. Kenyataannya tidak demikian, penunjukan kawasan hutan sekaligus dilakukan secara bersama-sama dengan penetapan fungsinya.

    Penunjukan kawasan hutan dan penetapan fungsinya secara bersama-sama dan terjadi sejak era tata guna hutan kesepakatan (TGHK). Kemudian tradisi ini diteruskan dalam penetapan kawasan hutan dan perairan wilayah provinsi. Batas fungsi kawasan hutan yang ada tidak dikriteriakan secara fisik lapang sehingga mungkin delieasi batasnya berimpit dengan sungai, tapi juga mungkin memotong. Kemungkinan lain adalah sejajar/berimpit dengan kontur tetapi mungkin juga memotong.

    Demikian pula dengan status fungsi pokok seperti hutan lindung dan hutan produksi. Ke dua fungsi pokok tersebut menggunakan kriteria ketinggian, kelerengan, jenis tanah dan curah hujan. Penentuan areal/kawasan hutan tertentu sebagai hutan lindung atau hutan produksi lebih didasarkan pada kriteria fungsi

    kawasan hutan yang dominan. Hutan lindung tidak seluruh arealnya sesuai dengan kriteria hutan lindung, mungkin terdapat areal yang memenuhi kriteria hutan produksi atau sebaliknya. . Untuk menentukan delineasi batas fungsi ini biasanya dilakukan dengan menggabungkan fungsi lainnya yang tidak dominan dalam suatu areal tertentu. Namun demikian pertimbangan ini belum diformulasikan ke dalam regulasi yang memungkinkan semua pihak memahami.

    Kriteria Hutan konservasi terdiri hutan suaka

    alam dan hutan pelestarian alam serta taman buru. Hutan suaka alam menurut UU Nomor 41 Tahun 1999 diartikan sebagai hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok sebagai pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya yang juga sebagai wilayah penyanggan kehidupan. Hutan pelestarian alam diartikan sebagai hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Taman buru termasuk hutan konservasi dengan fungsi pokok sebagai sumber daya alam hayati tempat wisata buru.

    Hutan lindung merupakan kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai sistem penyangga kehidupan dalam bentuk pengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi dan intrusi air laut serta menjaga kesuburan tanah. Menurut PP Nomor 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan, hutan lindung mempunyai kriteria: (1) kelerengan 40% atau lebih; (2) ketinggian 2.000 meter atau lebih dan (3) total skor jenis tanah, kelerengan dan curah hujan 175 atau lebih (4) daerah resapan air, (5) daerah perlindungan pantai dan (6) kelerengan 15 % atau lebih apabila tanahnya sangat peka erosi.

    Kriteria hutan produksi menurut PP Nomor 44 Tahun 2004 adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan dengan kriteria total skor di bawah 175. Kemudian hutan produksi dibagi lagi

  • 22

    kedalam hutan produksi terbatas dengan total skor 125 sampai 174 dan hutan produksi biasa dan hutan produksi yang dapat dikonversi dengan criteria total skor 124 ke bawah. Khusus hutan produksi yang dapat dikonversi dibedakan dengan hutan produksi biasa karena pada hutan produksi yang dapat dikonversi dibebani komitmen antara pemerintah dan pemerintah daerah sebagai hutan produksi yang dicadangkan peruntukannya bagi kegiatan di luar kehutanan misalnya budidaya pertanian dan transmigrasi. Kriteria fungsi kawasan hutan tersebut di atas, hanya memungkinkan suatu kawasan hutan dengan fungsi tertentu sesuai dengan kriteria yang telah dibangun. Artinya, suatu hutan lindung tidak memungkinkan seluruhnya atau sebagian arealnya memenuhi kriteria hutan produksi, atau sebaliknya. Suatu kawasan dengan fungsi hutan tertentu dapat dianggap kekeliruan dalam penetapannya apabila di dalamnya terdapat kriteria yang tidak sesuai. Perubahan hutan lindung menjadi hutan produksi pada sebagian hutan lindung menjadi dibenarkan karena kriteria fungsinya cocok sebagai hutan produksi. Padahal pada saat penetapan fungsi kawasan hutan, disadari terdapat kriteria yang memenuhi hutan produksi dalam hutan lindung atau sebaliknya.

    Delineasi Pada bagian sebelumnya dijelaskan

    bahwa status kawasan hutan dan fungsi kawasan hutan tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Seperti kita ketahui di dalam penunjukan kawasan hutan wilayah provinsi baik berdasarkan tata guna hutan kesepakatan (TGHK) yang terbit pada Tahun 80 an maupun hasil pemaduserasian antara TGHK dengan rencana tata ruang wilayah provinsi (RTRWP) menghasilkan penunjukan kawasan hutan dan perairan provinsi pada sekitar Tahun 1999, Pada penunjukan kawasan hutan tersebut diakomodasika secara bersama-sama dengan fungsi kawasan hutannya. Hal ini dapat dipahami bahwa pengelolaan hutan menurut fungsi pokoknya (hutan konservasi, hutan lindung atau hutan produksi) dilakukan secara berbeda sehingga dengan penunjukan kawasan hutan saja (tidak dengan fungsi pokoknya), pengelolaan hutan tidak dapat dilakukan.

    Penentuan hutan konservasi didasarkan berbagai pertimbangan antara lain sebaran

    tumbuhan, tempat mencari makan, tempat berkembangbiak, tempat bermain dan beristirahat dari suatu jenis satwa tertentu yang perlu dikonservasi serta keberadaan ekosistem yang masih asli dan sebagainya. Dengan memperhatikan karakteristiknya masing-masing, maka penetapan hutan konservasi dilakukan degan luas dan bentuk berbeda-beda. Luas hutan konservasi ada yang mencapai di atas 1 juta hektar misalnya taman nasional (konservasi ekosistem) tetapi ada yang hanya beberapa hektar, misalnya cagar alam (konservasi jenis). Luas dan bentuk kawasan konservasi tersebut meskipun berbeda-beda namun konservasi tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya tetap diupayakan secara optimal.

    Hutan lindung mempunyai kriteria tertentu dan apabila mengandalkan hanya kesesuaian kriteria maka delineasi batasnya meghasilkan hutan lindung yang terpecar-pencar dan luas relative kecil. Demikian pula terhadap kriteria hutan produksi apabila diberlakukan hanya degan criteria secara murni juga menghasilkan sebaran yang sama. Untuk menentukan fungsi kawasan hutan, penggabubungan antara hutan lindung dan hutan produksi dilakukan. Apabila penggabungan tersebut didominasi kriteria hutan lindung maka selanjutnya menjadi hutan lindung dan apabila penggabungan criteria tersebut didominasi criteria hutan produksi maka menjadi hutan produksi. Persoalannya adalah bagaimana dan seberapa besar arealnya bisa digabungkan.

    Efektivitas Keberadaan hutan konservasi dengan

    berbagai kriterianya tidaklah seluruhnya dapat dipenuhi. Penentuan hutan konservasi di satu pihak dan hutan lindung serta hutan produksi di pihak lain bukannya sepenuhya bebas dari masalah. Penentuan kriteria fungsi kawasan hutan yang berbeda kriterianya berpotensi tumpang tindih fungsinya satu dengan lainnya. Dataran rendah dengan konfigurasi lapang yang ringan sangat cocok bagi hutan produksi tetapi di sisi lain mungkin juga cocok sebagai hutan konservasi karena biasanya pada wilayah tersebut mempunyai keanekaragaman genetik dan jenis tumbuhan dan atau satwa yang tinggi. Pilihannya adalah apakah menjadi hutan konservasi atau menjadi hutan produksi sangatlah kondisional. Meskipun pada akhirnya

  • 23

    diputuskan sebagai hutan produksi tidaklah masalah karena dalam pengelolaan hutan produksi mengatur juga kegiatan konservasi alam.

    Konservasi terhadap hutan negara didasarkan pada karakteristik tumbuhan dan atau satwa dan atau ekosistemnya. Konservasi dapat dilakukan terhadap tumbuhan tertentu misalnya terhadap jenis tertentu yang dilindungi agar tidak menjadi punah. Demikian pula terhadap jenis satwa tertentu, dilakukan terhadap seluruh habitanya tetapi pada kenyataannya ada yang hanya dapat dilakukan terhadap sebagian habitatnya. Kesulitan mengkonservasi seluruh habitat disebabkan adanya pertimbangan kepentingan, misalnya untuk memproduksi hasil hutan sehingga menjadi hutan produksi. Meskipun demikian tidaklah semata untuk tujuan produksi hasil hutan tetapi juga perlu berperan agar rantai kehidupan terutama satwa yang bersangkutan tidak terputus.

    Keberadaan hutan lindung suatu wilayah disamping pertimbangan dominasi kriteria fungsi perlu pula mempertimbangan faktor tujuan pegelolaannya. Pertimbangan tujuan, bahwa hutan lindung mempunyai fungsi pokok hidrologi sehingga perlu dilihat dalam konteks daerah aliran sungai. Terhadap kebutuhan air dalam jumlah lebih besar perlu penambahan luas hutan lindung atau keberadaan hutan produksi yang berperan juga sebagai fungsi hidrologi. Kondisi ini memungkinkan masyarakat hilir akan lebih banyak dapat menikmati air untuk berbagai kebutuhan dengan cukup. Apabila masyarakat hilir telah cukup atau surplus air bukan berarti kawasan hutan yang ada dihulu dapat dikonversi dengan bebas atau dilakukan pemanfaatan dan penggunaan secara ekstraktif. Oleh karena itu perubahan kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan untuk tujuan tertentu, perlu dipertimbangkan sejauhmana dampak perubahan sistem hidrologi terhadap masyarakat di bawahnya.

    Alokasi hutan produksi disamping mempertimbangkan aspek konservasi, lindung juga berhubungan erat antara luas dan produksi hasil hutannya terutama kayu. Dari angka luas dapat dihitung berapa produksi kayu yang dapat dihasilkan sehingga hasil tersebut merupakan

    bagian penting dalam penetapan supply-demand kayu bulat di suatu wilayah tertentu. Apabila luas tidak cukup tentunya tidak ada alasan untuk mengkonversi hutan produksi menjadi areal penggunaan lain (APL). Keberadaan hutan produksi yang terpencar dengan ukuran luas berbeda-beda perlu ditetapkan system manajemen dan penggunaan teknologi yang sesuai sehingga produktivitasnya tetap optimal.

    Berdasarkan UU Nomor 41 Tahun 1999 kawasan hutan bersifat dinamis, mudah berubah baik fungsi maupun peruntukannya. Perubahan kawasan hutan dapat dilakukan secara parsial dan tidaklah begitu menghawatirkan karena perubahan menjadi bukan kawasan hutan hanya dapat dilakukan di hutan produksi yang dapat dikonversi yang memang dicadangkan untuk kegiatan non kehutanan .Kemudian terhadap hutan produksi biasa dan hutan produksi terbatas harus dilakukan tukar menukar kawasan hutan. Lain halnya perubahan peruntukan yang dilakukan dalam rangka peninjauan kembali rencana tata ruang wilayah provinsi (RTRWP) semua fungsi kawasan hutan memungkinkan dapat diubah menjadi bukan kawasan hutan dan memungkinkan tidak ada penggantian atau areal yang masuk menjadi kawasan hutan.

    Implikasi pemahaman penetapan fungsi kawasan hutan berdasarkan prinsip dominasi kriteria dan generalisasi fungsi menjadi sangat penting. Secara yuridis pemahaman seperti ini tidaklah nampak di berbagai peraturan perundang-undangan yang ada. Pihak lain dapat mempersoalkan adanya sebagian kawasan hutan dengan fungsi tertentu tidak sesuai dengan kriteria yang ditetapkan sebagai suatu hal yang salah. Kenyataannya tidaklah mungkin hutan lindung pada seluruh arealnya memenuhi kriteria hutan lindung atau tidak mungkin pada hutan produksi seluruh arealnya memenuhi kriteria hutan produksi. Dengan demikian pembangunan regulasi yang mengatur dominasi dan generalisasi kawasan hutan dengan fungsi tertentu sangat diperlukan.

  • 24

    HUTAN KEMASYARAKATAN SEBAGAI UNIT KELESTARIAN HUTAN DAN KESEJAHTERAAN SOSIAL

    Oleh Sudjoko Prajitno

    A. Latar Belakang. Hutan Kemasyarakatan adalah hutan negara yang pemanfaatan utamanya ditujukan untuk memberdayakan masyarakat setempat (Permenhut no. P.37/Menhut-II/2007). Pemberdayaan masyarakat merupakan upaya untuk meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat setempat untuk mendapatkan manfaat sumber daya hutan secara optimal dan adil melalui pengembangan kapasitas dan pemberian akses dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat. Pengertian tersebut memberikan gambaran bahwa Hutan Kemasyarakatan diselenggarakan untuk mencapai dua tujuan yaitu Kesejahteraan Sosial dan Pemanfaatan secara Optimal dan Lestari.

    Kesejahteraan sosial adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga Negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya.(UU Kesos Nomor 11 Tahun 2009). Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial bertujuan untuk :

    1. Meningkatkan taraf kesejahteraan, kualitas, dan kelangsungan hidup;

    2. Memulihkan fungsi sosial dalam rangka mencapai kemandirian;

    3. Meningkatkan ketahanan sosial masyarakat dalam mencegah dan menangani masalah kesejahteraan sosial.

    4. Meningkatkan kemampuan, kepedulian dan tanggung jawab sosial dunia usaha dalam penyelenggaraan kesejhateraan sosial secara melembaga dan berkelanjutan;

    5. Meningkatkan kemampuan dan kepedulian masyarakat dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial secara melembaga dan kerkelanjutan.

    Penyelenggaraan kesejahteraan sosial merupakan perwujudan pelaksanaan kewajiban Negara dalam menjamin hak terpenuhinya kebutuhan dasar warga Negara miskin dan tidak mampu.

    Kehutanan merupakan sistem pengurusan yang bersangkut paut dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan yang diselenggarakan secara terpadu. Penyelenggaraan kehutanan berazaskan manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan keterbukaan, dan keterpaduan bertujuan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan dengan :

    1. Menjamin keberadaan hutan dengan luasan yang cukup dan sebaran yang proporsional;

    2. Mengoptimalkan aneka fungsi hutan yang meliputi fungsi konservasi, fungsi lindung, dan fungsi produksi untuk mencapai manfaat lingkungan, sosial, budaya dan ekonomi, yang seimbang dan lestari;

    3. Meningkatkan daya dukung daerah aliran sungai;

    4. Meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan kapasitas dan keberdayaan masyarakat secara partisipatif, berkeadilan, dan berwawasan lingkungansehingga mampu menciptakan ketahanan sosial dan ekonomi serta ketahanan terhadap akibat perubahan eksternal; dan

    5. Menjamin distribusi manfaat yang berkeadilan dan berkelanjutan.

    Tujuan penyelenggaraan kesejahteraan sosial dan penyelenggaraan kehutanan dapat direalisasikan dalam satu kegiatan nyata. Hutan kemasyarakatan merupakan satu bentuk pemberdayaan sosial, diselenggarakan dengan maksud untuk mengembangkan kapasitas dan memberikan akses terhadap masyarakat setempat dalam

  • 25

    mengelola hutan secara lestari guna menjamin ketersediaan lapangan kerja bagi masyarakat setempat untuk memecahkan persoalan ekonomi dan sosial yang terjadi di masyarakat. Tujuan penyelenggaraan hutan kemasyarakatan Meningkatnya kesejahteraan masyarakat setempat melalui optimalisasi pemanfaatan hutan secara adil berkelanjutan dengan tetap terjaganya kelestarian fungsi hutan dan lingkungan hidup.

    Penyelenggaraan hutan kemasyarakatan untuk memenuhi kedua tujuan tersebut harus diselenggarakan dalam Unit Kelestarian Hutan sekaligus Unit Kesejahteraan Sosial.

    B. Maksud dan Tujuan. Maksud tulisan adalah untuk membangun kesepahaman pemberdayaan masyarakat di dalam dan di sekitar hutan, sehingga Terwujudnya Kesatuan Kebijakan dalam Pembangunan Hutan Kemasyarakatan . Tujuan : Terbentuknya Unit-Unit Kelestarian Hutan Kemasyarakatan (HKm) dalam Kesatuan Pengelolaan Hutan yang Otonom Mandiri.

    C. Sasaran. Sasaran ditujukan pada wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan yang mengalami desakan sosial masyarakat dan terancamnya kelestarian hutan, seperti di Sumatera Selatan, Lampung, Nusa Tenggara, dan Sulawesi.

    KESEJAHTERAAN MASYARAKAT HUTAN Pembangunan kesejahteraan masyarakat hutan sebagai bagian dari penyelenggaraan kesejahteraan sosial merupakan upaya yang terarah, terpadu, dan berkelanjutan yang dilakukan pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat dalam bentuk pelayanan sosial guna memenuhi kebutuhan dasar setiap warga negara, yang meliputi rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, dan perlindungan sosial. Rehabilitasi sosial dimaksudkan untuk memulihkan dan mengembangkan kemampuan seseorang yang mengalami disfungsi sosial agar dapat melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar. Jaminan sosial dimaksudkan menjamin fakir miskin, anak yatim piatu terlantar, lanjut usia terlantar, penyandang cacat fisik, cacat mental, cacat fisik dan mental, eks penderita

    penyakit kronis yang mengalami masalah ketidakmampuan sosial ekonomi sehingga terpenuhi kebutuhan dasarnya serta menghargai pejuang, perintis kemerdekaan dan keluarga pahlawan atas jasa-jasanya. Pemberdayaan sosial adalah memberdayakan seseorang, keluarga, kelompok dan masyarakat yang mengalami masalah kesejahteraan sosial agar mampu memenuhi kebutuhannya secara mandiri; dan meningkatkan peran serta lembaga dan atau perseorangan sebagai potensi dan sumber daya dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial. Perlindungan sosial dimaksudkan untuk mencegah dan menangani resiko dari guncangan dan kerentanan sosial seseorang, keluarga, kelompok, dan atau masyarakat agar kelangsungan hidupnya dapat terpenuhi sesuai dengan kebutuhan dasar minimal. Pembangunan kesejahteraan masyarakat hutan lebih mengedepankan pada dua kegiatan terakhir yaitu pemberdayaan sosial dan perlindunga