buletin lugas 2

2
enomena koalisi politik mamang F syarat akan kepentingan, baik kepentingan individu, kelompok hingga memperjuangkan kepentingan rakyat. Dari berbagai kepentingan ini, seyogyanya kita sebagai warga negara Indonesia yang cinta dengan tanah air tentu dapat memahami bahwa kepentingan mana yang harus diu- tamakan di dalam koalisi. Jelas sekali koalisi yang mempunyai visi-misi memperjuangkan kepentingan rakyat yang harus diutamakan, bukan koalisi untuk kepentingan partai politik dengan jatah-jatah menteri yang ujungnya hanya bagi-bagi kekuasaan. Oleh sebab itu, kita dituntut cerdas dan berpikir kritis dalam menganalisa adanya koalisi politik mana yang mengutamakan kepentingan rakyat mana yang tidak. Wacana koalisi sebenarnya mendapat tempat dalam era demokrasi pasca Orde Baru. Sebelumnya, demo- krasi yang terjadi hanya demokrasi semu yang pemenangnya sudah diketahui sebelum pemilu berlangsung. Hari ini dengan banyaknya partai politik yang ikut pemilu, membuat suara mayoritas sulit untuk dicapai. Ditambah lagi adanya syarat menjadi presiden diatur dalam undang-undang dimana dapat dilakukan oleh partai atau gabungan partai dengan perolehan suara pemilu legislatif di atas 20% kursi DPR atau 25% suara sah. Kebutuhan akan koalisi juga berdasarkan pertimbangan pe- ngamanan penguatan kekuatan politik di parlemen. masing-masing partai akan berkoalisi dengan partai lain dan calon yang punya perolehan kursi signifikan di legislatif. Hal ini penting karena menurut UUD 45 Pasal 20 A UUD 1945 hasil amandemen menya-takan DPR memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi penga-wasan. Dalam ayat 2 disebutkan pula DPR mempunyai hak interpelasi, hak angket dan hak menyatakan pendapat. Oleh sebab itu, untuk mengamankan jalannya pemerintahan selama 5 tahun, kontestan politik yang hendak maju ke pemilihan presiden harus berkoalisi. Namun, yang menjadi persoalan adalah apakah koalisi dengan berlandaskan kesamaan ideologi, visi misi, program kerja masih mungkin terjadi?. Atau jangan-jangan hal itu hanya menjadi etika politik ideal yang berbeda dengan realitas politik yang memang berlandaskan kekuasaan. Politik dalam tataran realitas hanya dimaknai sebagai alat pencapaian karir politik. Etika politik hanyalah sebagai bentuk penghalusan dari realitas kejamnya dunia politik dan bukan sebagai norma-norma dalam perilaku politik. Pandangan seperti ini sebenarnya mereduksi makna politik itu sendiri. Demokrasi sejatinya memang tidak bisa dilepaskan dari proses-proses transaksi. Artinya ada pertukaran dari satu pihak kepada pihak lainnya. Namun proses transaksi dalam demokrasi yang sehat mengambil wujud pertukaran visi misi, ideologi, program maupun platform kontestan politik dengan dukungan pemilih. Proses transaksional yang tidak sehat tersebut sebenarnya secara tidak langsung menelanjangi sebuah fakta bahwa pasca reformasi perwujudan Edisi 3/6/2014[1] : Jajan Suharja : Damarjati : Khorul hadi, Muhtarom : Eka widayanti : Kamil Suara Rakyat @suararakyatt45 [email protected] Penanggung Jawab Pimpinan Redaksi Staf Redaksi Layouter: Distributor KOALISI UNTUK KESEJAHTERAAN RAKYAT Jokowi menyatakan tak akan membangun koalisi gemuk dalam Pemilu Presiden 9 Juli 2014. Sikap itu diambil agar saat menang nan tak ada hal-hal yang menyandera roda pemerintahan. Koalisi ramping atau yang oleh Jokowi disebut sebagai "kerja sama ramping" akan digalang bersama partai polik yang memiliki kesamaan visi membangun Indonesia tanpa prakk transaksional. Koalisi murni untuk kesejahteraan rakyat.

Upload: suararakyat

Post on 31-Mar-2016

227 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

selugas calon presidennya

TRANSCRIPT

Page 1: Buletin lugas 2

enomena koalisi politik mamang

Fsyarat akan kepentingan, baik kepentingan individu, kelompok

hingga memperjuangkan kepentingan rakyat. Dari berbagai kepentingan ini, seyogyanya kita sebagai warga negara Indonesia yang cinta dengan tanah air t e n t u d a p a t m e m a h a m i b a h w a kepentingan mana yang harus diu-tamakan di dalam koalisi. Jelas sekali

koalisi yang mempunyai visi-misi memperjuangkan kepentingan rakyat yang harus diutamakan, bukan koalisi untuk kepentingan partai politik dengan jatah-jatah menteri yang ujungnya hanya bagi-bagi kekuasaan. Oleh sebab itu, kita dituntut cerdas dan berpikir kritis dalam menganalisa adanya koalisi politik mana yang mengutamakan kepentingan rakyat mana yang tidak.

Wacana koa l i s i sebena rnya mendapat tempat dalam era demokrasi pasca Orde Baru. Sebelumnya, demo-krasi yang terjadi hanya demokrasi semu yang pemenangnya sudah diketahui sebelum pemilu berlangsung. Hari ini dengan banyaknya partai politik yang ikut pemilu, membuat suara mayoritas sulit untuk dicapai. Ditambah lagi adanya syarat menjadi presiden diatur dalam undang-undang dimana dapat dilakukan oleh partai atau gabungan partai dengan perolehan suara pemilu legislatif di atas 20% kursi DPR atau 25% suara sah.

Kebutuhan akan koal is i juga be rdasarkan pe r t imbangan pe -ngamanan penguatan kekuatan politik di parlemen. masing-masing partai akan berkoalisi dengan partai lain dan calon yang punya perolehan kursi signifikan di legislatif. Hal ini penting karena menurut UUD 45 Pasal 20 A UUD 1945 hasil amandemen menya- takan D P R memil ik i fungsi legis lasi , fungsi anggaran, dan fungsi penga-wasan. Dalam ayat 2 disebutkan pula DPR mempunyai hak interpelasi, hak angket dan hak menyatakan pendapat. Oleh sebab i tu , untuk mengamankan jalannya pemerintahan selama 5 tahun, kontestan politik yang hendak maju ke pemilihan presiden harus berkoalisi.

Namun, yang menjadi persoalan a d a l a h a p a k a h k o a l i s i d e n g a n berlandaskan kesamaan ideologi, visi misi, program kerja masih mungkin terjadi?. Atau jangan-jangan hal itu hanya menjadi etika politik ideal yang berbeda dengan realitas politik yang memang berlandaskan kekuasaan. Politik dalam tataran realitas hanya dimaknai sebagai alat pencapaian karir politik. Etika politik hanyalah sebagai

bentuk penghalusan dari realitas kejamnya dunia politik dan bukan sebagai norma-norma dalam perilaku p o l i t i k . P a n d a n g a n s e p e r t i i n i sebenarnya mereduksi makna politik itu sendiri.

Demokrasi sejatinya memang tidak bisa dilepaskan dari proses-proses transaksi. Artinya ada pertukaran dari satu pihak kepada pihak lainnya. Namun proses transaksi dalam demokrasi yang sehat mengambil wujud pertukaran visi misi, ideologi, program maupun platform kontestan politik dengan dukungan pemilih. Proses transaksional yang tidak sehat tersebut sebenarnya secara tidak langsung menelanjangi sebuah fakta bahwa pasca reformasi perwujudan

Edisi 3/6/2014[1]

: Jajan Suharja

: Damarjati

: Khorul hadi,

Muhtarom

: Eka widayanti

: Kamil

Suara Rakyat

@suararakyatt45

[email protected]

Penanggung Jawab

Pimpinan Redaksi

Staf Redaksi

Layouter:

Distributor

KOALISI UNTUK KESEJAHTERAAN RAKYAT

Jokowi menyatakan tak akan membangun koalisi gemuk dalam Pemilu Presiden 9 Juli 2014. Sikap itu diambil agar saat menang nan� tak ada hal-hal yang menyandera roda pemerintahan. Koalisi ramping atau yang oleh Jokowi disebut sebagai "kerja sama ramping" akan digalang bersama partai poli�k yang memiliki kesamaan visi membangun Indonesia tanpa prak�k transaksional. Koalisi murni untuk kesejahteraan rakyat.

Page 2: Buletin lugas 2

demokrasi tidak dimaknai sebagai penghormatan kepada kedaulatan rakyat. Melainkan menjadi ajang dan ruang segelintir orang yang memiliki kuasa dan uang untuk mereduksi demokrasi substansial menjadi sekedar demokrasi transaksional. Dalam arti demokras i t r ansaks iona l d i s in i menyiratkan model demokrasi yang mengandung hubungan timbal balik dengan menganggap pemilih berada dalam bingkai hubungan dagang atau ekonomi.

Kita bisa melihat bahwa koalisi parpol untuk menghadapi pemilu pilpres 2014 syarat akan koalisi yang tran-saksional. Logika koalisi pragmatis ini sebenarnya dimulai dari munculnya fenomena “matinya ideologi” dalam tubuh partai. Partai semakin pragmatis dalam memaknai sebuah kekuasaan. Kaderisasi dalam tubuh partai absen di isi dengan penerapan nilai-nilai ide-logis. Ditambah lagi masih rendahnya partisipasi konstituen untuk mengawal suaranya pada partai pilihan membuat elit begitu mudah memperjualbelikan suara rakyat. Akibatnya adalah lagi-lagi korbannya adalah rakyat. Koalisi

pragmatis yang berlandaskan bagi-bagi kekuasaan semata sebenarnya tidak memberikan pendidikan politik pada publik, dan sangat berbahaya bagi kehidupan bangsa.

Koalisi Tanpa SyaratKoa l i s i ada lah perseku tuan ,

gabungan atau aliansi beberapa unsur, di mana dalam kerjasamanya, masing-masing memiliki kepentingan sendiri-sendiri. Aliansi seperti ini mungkin bersifat sementara atau berasas manfaat. Dalam pemerintahan dengan sistem parlementer, sebuah pemerin-tahan koalisi adalah pemerintahan yang tersusun dari koalisi beberapa partai sedangkan oposisi koalisi adalah sebuah oposisi yang tersusun dari koalisi beberapa partai. Bisakah koalisi untuk menguatkan sistem presidensial dibangun tanpa membagi-bagi kursi menteri?

Dalam sistem presidensial hak menyusun kabinet sepenuhnya ada di tangan presiden terpilih. Bisa saja menteri yang diangkat bukan dari kader partai anggota koalisi. Kalau Presiden merasa yakin bisa meyakinkan rakyat

dan DPR dalam melaksanakan rencana program-programnya, amat mungkin kerjasama yang dibangun tak bertumpu pada bagi-bagi kursi menteri.

Koal is i tanpa syarat yang di kumandangkan Jokowi merupakan ide dan g-agasan bahasa yang membuka wawasan kepada khalayak, bahwa tidak seharusnya koalisi itu diartikan secara vulgar sebagai “bagi-bagi kursi menteri” atau bagi-bagi kekuasaan. Tetapi meyakinkan masyarakat bahwa tanpa bagi-bagi kursi menteri pun suatu partai dapat berkerjasama dengan alasan satu tujuan kekuatan politik membangun pemerintahan yang kuat dan bertang-gungjawab.

Langkah-langkah bahasa Jokowi atas “koalisi tanpa syarat” patut mendapatkan apresiasi. Langkah ini merupakan langkah awal “menepis bahkan menghilangkan” kebiasaan pol i t ikus bangsa in i memainkan kewenangan, kekuasaan untuk meraup keuntungan dengan membagi-bagikan kekuasaan tersebut kepada kolega, kerabat atau persekutuan dalam pemerintahan. Bahkan membagi-bagi

kekuasaan akan menimbulkan keka-cauan dalam pemerintahan bila salah satu dari anggota koalisi tersebut masih merasa kurang dihargai atau merasa dicurangi.

Bila dimaknai secara lebih men-da lam, da r i bahasa Jokow i i t u mendorong partai agar menjadi sebuah alat perjuangan, yaitu mendorong partai agar dapat mendorong kepentingan perjuangan rakyat, bukan memper-juangkan kepentingan partai atau kelompok. Hal ini ia buktikan dengan menegaskan bahwa dirinya dan bakal cawapres Jusuf Kalla (JK) bukan merupakan sosok ketua partai. Ini harus mendapatkan apresiasi, bahwa (Ketua Umum) PDI Perjuangan tidak men-calonkan diri sebagai Presiden. Surya P a l o h d a r i N a s d e m j u g a t i d a k mencalonkan dir i jadi cawapres, Muhaimin dari PKB tidak mencalonkan sebagai cawapres, begitu juga Pak Wiranto. Langkah-langkah ini adalah awal dalam membentuk koalisi tanpa syarat yang sebenarnya, yaitu koalisi yang benar-benar memperjuangkan nasib rakyat dan kesejahteraan rakyat.[]

Edisi 3/6/2014[2]

Jokowi sedang memperlihatakan Kartu Indonesia Sehat dan Kartu Indonesia Pintar. Menurut Calon Presiden nomor urut 2 itu, kesehatan dan pendidikan adalah dua hal yang sangat pen�ng bagi kesejahteraan masyarakat. Jokowi benar-benar memberi buk� bukan janji.

Jokowi, calon presiden nomor urut 2, bersama masyarakat sedang melakukan koalisi rakyat. yaitu koalisi untuk kesejahteraan rakyat bukan koalisi untuk kesejahteraan parpol koalisi.