buletin energi hijau 2015

Upload: victor-parulian

Post on 08-Mar-2016

74 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

buletin energi

TRANSCRIPT

  • Daftar Isi

    Redaksi menerima tulisan yang berhubungan dengan kegiatan- kegiatan di lingkungan Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan KonservasiEnergi maupun tentang energi terbarukan.

    Ditulis dengan spasi rangkap dan ditujukan kepada redaksi melalui e-mail atau dikirim langsung. Harap disertai identitas jelas, alamat, nomor telepon, atau e-mail ([email protected]) yang mudah dihubungi.

    Redaksi berhak melakukan editing jika diperlukan.

    SuratPembaca

    Arti TerlistrikiZURIYATIbagi

    Indonesia EBTKE ConEx danIIGCE 2015 : Time to Act

    CAPAIAN 1 (SATU) TAHUNKABINET KERJA PADA PEMERINTAHANJOKOWI-JK BIDANG EBTKE

    1

    9

    17

    26

    29

    21 HARI NUSANTARA KE-15 TAHUN 2015

    pohoregulas

    33

    DARI REDAKSI

    Tidak terasa sudah satu tahun masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Tepat satu tahun lalu kata pengantar redaksi Buletin Energi Hijau mengangkat tentang sub sektor EBTKE di era kepemimpinan baru dimana ketika itu Presiden Jokowo baru dilantik dan kemudian menunjuk Sudirman Said sebagai Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral.

    Ada banyak perkembangan yang terjadi sejak satu tahun berlalu khususnya di sub sektor EBTKE. Berbagai capaian telah diraih seperti pembangunan infrastruktur listrik dari sumber energi terbarukan untuk wilayah pelosok dan perbatasan, penyederhanaan perizinan dengan melalui BKPM dan capaian lainnya seperti penguatan regulasi dan kerangka kelembagaan.

    Penanggung Jawab: Tunggal | Redaktur: Hendra Iswahyudi | Editor: Endra Dedy Tamtama, Mustaba Ari Suryoko, Hertiyo Sembodo, Robert A John | Desain Grafis & Fotografer: Jafar Soddik, Erick Ta'dung, Rakhma

    Wardani Sambodo, Amanda Stevi Pradipta | Sekretariat: Renita Agnevia, Eni Windarti, Cuncun Hikam, Pelton Sukmana Putra, Ruris Duantito, Asrul Mauladi, Septian Bayu Darmanto, Ferial Thalib, Ledy Anindya, Marissa Heryanti

    Alamat Redaksi :Jalan Pegangsaan Timur No 1, Menteng, Jakarta 10320 | Tel : (021) 39830077 | Fax : (021) 31901087

    Website: www.ebtke.esdm.go.id | Email: [email protected]

    Seperti diketahui bahwa pembangunan infrastruktur merupakan salah satu program utama yang dari awal dicanangkan oleh Presiden Joko Widodo termasuk di dalamnya infrastruktur ketenagalistrikan sehingga tidak salah bila pada tahun 2015, Pemerintah begitu giat membangun infrastruktur ketenagalistrikan. Hal ini dilakukan untuk mengejar target rasio elektrifikasi pada akhir tahun depan sebesar 90,15% dan di dalamnya sub sektor energi terbarukan yang ditargetkan sebagai sumber energi utama di masa depan juga ikut menopang infrastruktur ketenagalistrikan Indonesia.

    Satu tahun pertama kepemimpinan Joko Widodo sudah dilewati dan berbagai capaian yang sudah diraih di sub sektor EBTKE selama satu ini diharapkan akan semakin meningkat ke depannya.

    Satu Tahun Sub Sektor EBTKEPembaca YTH,

    KALEIDOSKOP BULETIN 2015

    III. KERANGKA KELEMBAGAANSinergitas (Academy, Business, Government,

    Community) sangat diperlukan untuk percepatan

    pengembangan EBTKE sekaligus meminimalkan

    sumbata-sumbatan akibar kurangnya koordinasi,

    antara lain:

    a) Harmonisasi dan koordinasi dengan

    Kementerian Lingkungan dan Kehutanan

    terkait 6 WKP yang tumpang tindih dengan

    Kawasan Hutan Konservasi serta turut aktif

    dalam pembahasan draf Permenhut Jasa

    Lingkungan;

    b) Berkontribusi aktif dalam penyusunan

    Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2015

    dan Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2015,

    serta pembentukan Badan Pengelola Dana

    Perkebunan (BPDP) Kelapa Sawit dalam rangka

    lebih menjamin pelaksanaan mandatori B15

    (mulai 17 Ags 2015), B20 @2016, dan

    B25@2025;

    c) Memorandum of Understanding dengan

    Direktorat Jenderal Pemasyarakatan tentang

    Pemanfaatan PTS Fotovoltaik dan EBT di

    Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah

    Tahanan Negara;

    d) Memorandum of Understanding dengan TNI

    tentang Bantuan TNI kepada Kementerian

    ESDM terkait pembangunan infrastruktur EBT;

    e) Pembentukan 80 orang Patriot Energi untuk

    dikirim ke wilayah terdepan seperti Mentawai,

    Anambas, Saumlaki, dan wilayah pedalaman di

    Kalimantan sampai Papua. Program ini

    merupakan bagian dari percepatan rasio

    elektrifikasi dan pembangunan energi baru

    terbarukan;

    f) Berkontribusi aktif dalam penyusunan Standar

    Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI)

    tentang Manajer Energi dan Auditor Energi,

    berkoordinasi dengan Kementerian Tenaga

    Kerja dan Transmigrasi;

    IV. PEMBANGUNAN INFRA- STRUKTUR EBTKEMengacu Nawa-Cita ke-3: Membangun Indonesia

    dari pinggiran dengan memperkuat daerah-

    daerah dan desa dalam kerangka NKRI, sedang

    (on-progress) dibangun infrastruktur EBTKE,

    diantaranya:

    a) Pembangunan 19 unit PLTS Hybrid

    (PLTS-Diesel) di 9 Provinsi/11Kabupaten yang

    merupakan pulau terdepan dan kawasan

    perbatasan, dengan kapasitas 3.225 kWp;

    b) PLTS Terpusat 141 unit, 5.405 kWp melistriki

    21.771 KK dan 1.000 Fasum di 19 Provinsi/53

    Kabupaten

    c) PLTMH 14 unit, 1.193 kW melistriki 2.303 KK dan

    92 Fasum di 12 Provinsi / 16 Kabupaten

    d) PLT Biomassa Terintegrasi di Sumba Barat

    e) Pilot Project Pemanfaatan Sampah Kota untuk

    BBM Sintetis di Tangerang Selatan

    f) Biogas Komunal Pesantren di 9 pesantren

    g) PJU Cerdas untuk Sumba Iconic Island

    V. PENGEMBANGAN PANAS BUMIa) Telah ditetapkan 67 Wilayah Kerja Panas Bumi

    (WKP) dengan total kapasitas pengembangan

    sebesar 6.238,5 MW yang terdiri dari:

    19 WKP Eksisting total kapasitas

    pengembangan sebesar 2.523,5 MW; dan

    48 WKP setelah UU No 27/2003 total

    kapasitas pengembangan sebesar 3.715

    MW.

    b) Kapasitas terpasang PLTP mencapai 1.438,5

    MW yang mendapat tambahan dari:

    PLTP Patuha Unit 1 (55 MW) COD pada

    September 2014 dengan nilai investasi

    sebesar 37,2 Juta USD dan menyerap

    tenaga kerja 1.216 orang;

    PerkembanganFeed-in tariff di Indonesia

  • CAPAIAN 1 (SATU) TAHUNKabinet Kerja Pada Pemerintahan

    JOKOWI-JK BIDANG EBTKE(20 Oktober 2014 - 20 Oktober 2015)

    buletin energi hijau2

    III. KERANGKA KELEMBAGAANSinergitas (Academy, Business, Government,

    Community) sangat diperlukan untuk percepatan

    pengembangan EBTKE sekaligus meminimalkan

    sumbata-sumbatan akibar kurangnya koordinasi,

    antara lain:

    a) Harmonisasi dan koordinasi dengan

    Kementerian Lingkungan dan Kehutanan

    terkait 6 WKP yang tumpang tindih dengan

    Kawasan Hutan Konservasi serta turut aktif

    dalam pembahasan draf Permenhut Jasa

    Lingkungan;

    b) Berkontribusi aktif dalam penyusunan

    Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2015

    dan Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2015,

    serta pembentukan Badan Pengelola Dana

    Perkebunan (BPDP) Kelapa Sawit dalam rangka

    lebih menjamin pelaksanaan mandatori B15

    (mulai 17 Ags 2015), B20 @2016, dan

    B25@2025;

    c) Memorandum of Understanding dengan

    Direktorat Jenderal Pemasyarakatan tentang

    Pemanfaatan PTS Fotovoltaik dan EBT di

    Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah

    Tahanan Negara;

    d) Memorandum of Understanding dengan TNI

    tentang Bantuan TNI kepada Kementerian

    ESDM terkait pembangunan infrastruktur EBT;

    e) Pembentukan 80 orang Patriot Energi untuk

    dikirim ke wilayah terdepan seperti Mentawai,

    Anambas, Saumlaki, dan wilayah pedalaman di

    Kalimantan sampai Papua. Program ini

    merupakan bagian dari percepatan rasio

    elektrifikasi dan pembangunan energi baru

    terbarukan;

    f) Berkontribusi aktif dalam penyusunan Standar

    Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI)

    tentang Manajer Energi dan Auditor Energi,

    berkoordinasi dengan Kementerian Tenaga

    Kerja dan Transmigrasi;

    IV. PEMBANGUNAN INFRA- STRUKTUR EBTKEMengacu Nawa-Cita ke-3: Membangun Indonesia

    dari pinggiran dengan memperkuat daerah-

    daerah dan desa dalam kerangka NKRI, sedang

    (on-progress) dibangun infrastruktur EBTKE,

    diantaranya:

    a) Pembangunan 19 unit PLTS Hybrid

    (PLTS-Diesel) di 9 Provinsi/11Kabupaten yang

    merupakan pulau terdepan dan kawasan

    perbatasan, dengan kapasitas 3.225 kWp;

    b) PLTS Terpusat 141 unit, 5.405 kWp melistriki

    21.771 KK dan 1.000 Fasum di 19 Provinsi/53

    Kabupaten

    c) PLTMH 14 unit, 1.193 kW melistriki 2.303 KK dan

    92 Fasum di 12 Provinsi / 16 Kabupaten

    d) PLT Biomassa Terintegrasi di Sumba Barat

    e) Pilot Project Pemanfaatan Sampah Kota untuk

    BBM Sintetis di Tangerang Selatan

    f) Biogas Komunal Pesantren di 9 pesantren

    g) PJU Cerdas untuk Sumba Iconic Island

    V. PENGEMBANGAN PANAS BUMIa) Telah ditetapkan 67 Wilayah Kerja Panas Bumi

    (WKP) dengan total kapasitas pengembangan

    sebesar 6.238,5 MW yang terdiri dari:

    19 WKP Eksisting total kapasitas

    pengembangan sebesar 2.523,5 MW; dan

    48 WKP setelah UU No 27/2003 total

    kapasitas pengembangan sebesar 3.715

    MW.

    b) Kapasitas terpasang PLTP mencapai 1.438,5

    MW yang mendapat tambahan dari:

    PLTP Patuha Unit 1 (55 MW) COD pada

    September 2014 dengan nilai investasi

    sebesar 37,2 Juta USD dan menyerap

    tenaga kerja 1.216 orang;

    20 Oktober 2015, genap satu tahun duet Joko Jokowi Widodo dan Jusuf Kalla dalam mengemban tampuk kepemimpinan sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI. Ada banyak terobosan kebijakan yang sudah dihasilkan oleh Jokowi JK dan jajaran kabinet kerjanya, termasuk program dan kebijakan di sub sektor Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE). Berikut ini adalah rangkuman capaian 1 (satu tahun) Kabinet Kerja di sub sektor Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi yang dibagi dalam beberapa hal penting, diantaranya:

  • 1. Investasi2. Penguatan Regulasi3. Kerangka Kelembagaan4. Pembangunan Infrastruktur EBTKE5. Pengembangan Panas Bumi, Bioenergi, Hutan Energi dan Biogas6. Konservasi Energi

    buletin energi hijau 3

    I. INVESTASIA. PERIZINAN

    Telah dilakukan upaya percepatan proses dan

    penyederhanaan prosedur perizinan/ non

    perizinan melalui pemangkasan perizinan/non

    perizinan dan pelimpahan kewenangan ke BKPM

    melalui PTSP.

    Perizinan/non-perizinan yang masih ditangani/

    dikelola oleh Direktorat Jenderal EBTKE adalah

    yang hanya bersifat teknis menyangkut

    keselamatan kerja, keselamatan lingkungan dan

    operasi.

    B. HARGA JUAL LISTRIK EBT

    DARI IPP KE PT. PLN (PERSERO)

    Upaya menarik animo pengembang untuk

    berinvestasi di Pembangkit Listrik Tenaga (PLT)

    EBT adalah dengan menerapkan feed-in tarif,

    sehingga terdapat kepastian bagi investor

    karena energi listriknya dibeli dan tanpa adanya

    negosiasi oleh PT. PLN (Persero). Sampai dengan

    20 Oktober 2014, telah diterbitkan feed-in tarif

    untuk:

    a) Panas Bumi, saat ini kebijakan harga jual

    listrik dari panas bumi ditetapkan

    Pemerintah menggunakan mekanisme

    Harga Patokan Tertinggi (HPT) melalui

    Permen ESDM No. 17 Tahun 2014. Sebagai

    upaya terobosan untuk lebih mempercepat

    pengembangan panas bumi, kedepannya

    Pemerintah akan menerapkan mekanisme

    feed-in tari, dimana pelelangan WKP akan

    didasarkan pada program kerja dan

    komitmen eksplorasi sedangkan harga akan

    ditetapkan Pemerintah; Pasca terbitnya

    Undang-undang Nomor 21 Tahun 2014

    tentang Panas Bumi, Menteri ESDM telah

    menerbitkan 13 IPB (Izin Panas Bumi) dan 1

    IPB perpanjangan. IPB adalah pengganti

    IUP/kontrak kerja panas bumi;

    b) PLTMH, melalui Peraturan Menteri ESDM

    Nomor 19 Tahun 2015. Terdapat 92

    penetapan badan usaha sebagai pengelola

    tenaga air untuk pembangkit listrik s.d 10 MW

    (IPP PLTMH) dengan potensi pembangkitan

    422.07 MW dengan perkiraan nilai investasi

    Rp. 8.8 triliun;

    c) PLTS Kuota, 6 (enam) lokasi IPP PLTS semakin

    mendekati COD dengan kapasitas

    pembangkitan berkisar 13 MWp dengan nilai

    investasi diperkirakan Rp. 287.4 Miliar (saat

    ini tengah disusun permen PLTS sbg

    pengganti Permen ESDM Nomor 17 Tahun

    2013 tentang PLTS Kuota melalui pelelangan

    yg telah dibatalkan MA).

    d) PLT Biomassa dan Biogas serta PLT Sampah

    Kota, terdapat 34 (tiga puluh empat)

    pengajuan penetapan badan usaha sebagai

    pengelola tenaga bioenergi untuk

    pembangkit listrik s.d 10 MW dengan potensi

    pembangkitan 227,09 MW dengan perkiraan

    nilai investasi Rp. 5.84 triliun. Saat ini dalam

    tahap finalisasi RPermen ESDM untuk

    merevisi feed-in tari PLT Biomassa dan

    Biogas serta PLT Sampah Kota agar harga

    semakin menarik investor.

    e) PLT Bayu dan PLTS Rooop, telah disusun

    RPermen ESDM Feed-in Tarrif PLT Bayu

    (angin) dan RPermen PLTS Rooop (intern)

    yang jika diterbitkan akan semakin

    meningkatkan investasi di bidang EBT.

    C. PENCIPTAAN PASAR DAN SUBSIDI

    Kebijakan penciptaan pasar dan subsidi,

    khususnya dalam pengembangan bahan bakar

    nabati adalah mengacu pada Peraturan Menteri

    ESDM Nomor 12 Tahun 2015 tentang percepatan

    mandatori biofuel, Kepmen ESDM Nomor 3239

    Tahun 2015 tentang Harga Indeks Pasar (HIP)

    BBN serta diterbitkannya Peraturan Menteri

    ESDM Nomor 29 Tahun 2015 tentang Penyediaan

    dan Pemanfaatan BBN sebagai acuan verifikasi

    dan pembayaran subsidi oleh Badan Pengelola

    Dana Perkebunan (BPDP) Kelapa Sawit;

    Adapun uraian rinci dari kedua kebijakan

    tersebut, adalah:

    Percepatan pemanfaatan BBN melalui

    penerbitan Permen ESDM Nomor 12 Tahun

    2015 (Mandatori B15) yang berlaku sejak

    April 2015.

    Penetapan HIP BBN melalui penerbitan

    Keputusan Menteri ESDM No. 3239

    K/12/MEM/2015 Tentang HIP BBN yang

    dicampurkan ke dalam jenis BBM tertentu

    dan jenis BBM khusus penugasan, tanggal 30

    Juni 2015.

    Telah diterbitkan Peraturan Menteri Energi

    Dan Sumber Daya Mineral Nomor 29 tahun

    2015 tentang Penyediaan Dan Pemanfaatan

    Bahan Bakar Nabati (Biofuel) Jenis Biodiesel

    Dalam Kerangka Pembiayaan Oleh Badan

    Pengelolaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit

    sesuai amanat Perpres 61 Tahun 2015.

    Penghimpunan dana oleh Badan Pengelola

    Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS)

    sebagai pengganti alokasi subsidi BBN untuk

    menutup disparitas harga antara Biodiesel

    dan minyak Solar yang bersumber dari

    pungutan ekspor kelapa sawit dan

    turunannya berlaku sejak tanggal 16 Juli

    2015, walau pemanfaatannya belum

    maksimal.

    Pengaturan mekanisme pengadaan Biodiesel

    dalam Kerangka Pembiayaan oleh Badan

    Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit

    melalui penerbitan Peraturan Menteri ESDM

    Nomor 29 Tahun 2015 tentang Penyediaan

    dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati

    (Biofuel) Jenis Biodiesel Dalam Kerangka

    Pembiayaan oleh Badan Pengelola Dana

    Perkebunan Kelapa Sawit, diperkirakan baru

    efektif bulan Oktober 2015.

    Persiapan Teknis Mandatori B20. Penyusunan

    Spesifikasi B20 saat ini dilakukan oleh Ditjen

    Migas, karena fraksi minyak solar lebih besar.

    Saat ini sedang dilakukan roadshow di Jawa

    dan Sumatera untuk sosialisasi pelaksanaan

    Mandatori B20.

    Telah terbentuknya Aviation Biofuel &

    Renewable Energy Task Force (ABRETF) yang

    bertujuan mendorong pemanfaatan bioavtur

    pada pesawat udara dan pemanfaatan EBT

    pada bandar udara. Spesifikasi bioavtur,

    sudah sesuai dengan spesifikasi avtur

    eksisting, sehingga pemanfaatan bioavtur

    tidak mempengaruhi faktor keselamatan.

    Saat ini sedang disusun RSNI sepesifikasi dan

    baku mutu bioavtur oleh Ditjen Migas.

    Direncanakan voluntary flight, menggunakan

    bioavtur dengan rute Bandara

    Soekarno-Hatta Jakarta menuju Bandara I

    Gusti Ngurah Rai Bali.

    III. KERANGKA KELEMBAGAANSinergitas (Academy, Business, Government,

    Community) sangat diperlukan untuk percepatan

    pengembangan EBTKE sekaligus meminimalkan

    sumbata-sumbatan akibar kurangnya koordinasi,

    antara lain:

    a) Harmonisasi dan koordinasi dengan

    Kementerian Lingkungan dan Kehutanan

    terkait 6 WKP yang tumpang tindih dengan

    Kawasan Hutan Konservasi serta turut aktif

    dalam pembahasan draf Permenhut Jasa

    Lingkungan;

    b) Berkontribusi aktif dalam penyusunan

    Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2015

    dan Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2015,

    serta pembentukan Badan Pengelola Dana

    Perkebunan (BPDP) Kelapa Sawit dalam rangka

    lebih menjamin pelaksanaan mandatori B15

    (mulai 17 Ags 2015), B20 @2016, dan

    B25@2025;

    c) Memorandum of Understanding dengan

    Direktorat Jenderal Pemasyarakatan tentang

    Pemanfaatan PTS Fotovoltaik dan EBT di

    Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah

    Tahanan Negara;

    d) Memorandum of Understanding dengan TNI

    tentang Bantuan TNI kepada Kementerian

    ESDM terkait pembangunan infrastruktur EBT;

    e) Pembentukan 80 orang Patriot Energi untuk

    dikirim ke wilayah terdepan seperti Mentawai,

    Anambas, Saumlaki, dan wilayah pedalaman di

    Kalimantan sampai Papua. Program ini

    merupakan bagian dari percepatan rasio

    elektrifikasi dan pembangunan energi baru

    terbarukan;

    f) Berkontribusi aktif dalam penyusunan Standar

    Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI)

    tentang Manajer Energi dan Auditor Energi,

    berkoordinasi dengan Kementerian Tenaga

    Kerja dan Transmigrasi;

    IV. PEMBANGUNAN INFRA- STRUKTUR EBTKEMengacu Nawa-Cita ke-3: Membangun Indonesia

    dari pinggiran dengan memperkuat daerah-

    daerah dan desa dalam kerangka NKRI, sedang

    (on-progress) dibangun infrastruktur EBTKE,

    diantaranya:

    a) Pembangunan 19 unit PLTS Hybrid

    (PLTS-Diesel) di 9 Provinsi/11Kabupaten yang

    merupakan pulau terdepan dan kawasan

    perbatasan, dengan kapasitas 3.225 kWp;

    b) PLTS Terpusat 141 unit, 5.405 kWp melistriki

    21.771 KK dan 1.000 Fasum di 19 Provinsi/53

    Kabupaten

    c) PLTMH 14 unit, 1.193 kW melistriki 2.303 KK dan

    92 Fasum di 12 Provinsi / 16 Kabupaten

    d) PLT Biomassa Terintegrasi di Sumba Barat

    e) Pilot Project Pemanfaatan Sampah Kota untuk

    BBM Sintetis di Tangerang Selatan

    f) Biogas Komunal Pesantren di 9 pesantren

    g) PJU Cerdas untuk Sumba Iconic Island

    V. PENGEMBANGAN PANAS BUMIa) Telah ditetapkan 67 Wilayah Kerja Panas Bumi

    (WKP) dengan total kapasitas pengembangan

    sebesar 6.238,5 MW yang terdiri dari:

    19 WKP Eksisting total kapasitas

    pengembangan sebesar 2.523,5 MW; dan

    48 WKP setelah UU No 27/2003 total

    kapasitas pengembangan sebesar 3.715

    MW.

    b) Kapasitas terpasang PLTP mencapai 1.438,5

    MW yang mendapat tambahan dari:

    PLTP Patuha Unit 1 (55 MW) COD pada

    September 2014 dengan nilai investasi

    sebesar 37,2 Juta USD dan menyerap

    tenaga kerja 1.216 orang;

  • buletin energi hijau4

    4 sudah dihapuskan9 diusulkan untuk di hapuskan

    dilimpahkan ke BKPM(Pelayanan Terpadu Satu Pintu)

    4 sudah dilimpahkan ke BKPM6 siap untuk dilimpahkan ke BKPM

    27PERIZINAN DANNON PERIZINAN

    48%

    10 PERIZINAN DANNON PERIZINAN

    4

    13

    PERIZINAN DANNON PERIZINAN

    masih ditangani/dikelola ole DJE

    14PERIZINAN DANNON PERIZINAN

    I. INVESTASIA. PERIZINAN

    Telah dilakukan upaya percepatan proses dan

    penyederhanaan prosedur perizinan/ non

    perizinan melalui pemangkasan perizinan/non

    perizinan dan pelimpahan kewenangan ke BKPM

    melalui PTSP.

    Perizinan/non-perizinan yang masih ditangani/

    dikelola oleh Direktorat Jenderal EBTKE adalah

    yang hanya bersifat teknis menyangkut

    keselamatan kerja, keselamatan lingkungan dan

    operasi.

    B. HARGA JUAL LISTRIK EBT

    DARI IPP KE PT. PLN (PERSERO)

    Upaya menarik animo pengembang untuk

    berinvestasi di Pembangkit Listrik Tenaga (PLT)

    EBT adalah dengan menerapkan feed-in tarif,

    sehingga terdapat kepastian bagi investor

    karena energi listriknya dibeli dan tanpa adanya

    negosiasi oleh PT. PLN (Persero). Sampai dengan

    20 Oktober 2014, telah diterbitkan feed-in tarif

    untuk:

    a) Panas Bumi, saat ini kebijakan harga jual

    listrik dari panas bumi ditetapkan

    Pemerintah menggunakan mekanisme

    Harga Patokan Tertinggi (HPT) melalui

    Permen ESDM No. 17 Tahun 2014. Sebagai

    upaya terobosan untuk lebih mempercepat

    pengembangan panas bumi, kedepannya

    Pemerintah akan menerapkan mekanisme

    feed-in tari, dimana pelelangan WKP akan

    didasarkan pada program kerja dan

    komitmen eksplorasi sedangkan harga akan

    ditetapkan Pemerintah; Pasca terbitnya

    Undang-undang Nomor 21 Tahun 2014

    tentang Panas Bumi, Menteri ESDM telah

    menerbitkan 13 IPB (Izin Panas Bumi) dan 1

    IPB perpanjangan. IPB adalah pengganti

    IUP/kontrak kerja panas bumi;

    b) PLTMH, melalui Peraturan Menteri ESDM

    Nomor 19 Tahun 2015. Terdapat 92

    penetapan badan usaha sebagai pengelola

    tenaga air untuk pembangkit listrik s.d 10 MW

    (IPP PLTMH) dengan potensi pembangkitan

    422.07 MW dengan perkiraan nilai investasi

    Rp. 8.8 triliun;

    c) PLTS Kuota, 6 (enam) lokasi IPP PLTS semakin

    mendekati COD dengan kapasitas

    pembangkitan berkisar 13 MWp dengan nilai

    investasi diperkirakan Rp. 287.4 Miliar (saat

    ini tengah disusun permen PLTS sbg

    pengganti Permen ESDM Nomor 17 Tahun

    2013 tentang PLTS Kuota melalui pelelangan

    yg telah dibatalkan MA).

    d) PLT Biomassa dan Biogas serta PLT Sampah

    Kota, terdapat 34 (tiga puluh empat)

    pengajuan penetapan badan usaha sebagai

    pengelola tenaga bioenergi untuk

    pembangkit listrik s.d 10 MW dengan potensi

    pembangkitan 227,09 MW dengan perkiraan

    nilai investasi Rp. 5.84 triliun. Saat ini dalam

    tahap finalisasi RPermen ESDM untuk

    merevisi feed-in tari PLT Biomassa dan

    Biogas serta PLT Sampah Kota agar harga

    semakin menarik investor.

    e) PLT Bayu dan PLTS Rooop, telah disusun

    RPermen ESDM Feed-in Tarrif PLT Bayu

    (angin) dan RPermen PLTS Rooop (intern)

    yang jika diterbitkan akan semakin

    meningkatkan investasi di bidang EBT.

    C. PENCIPTAAN PASAR DAN SUBSIDI

    Kebijakan penciptaan pasar dan subsidi,

    khususnya dalam pengembangan bahan bakar

    nabati adalah mengacu pada Peraturan Menteri

    ESDM Nomor 12 Tahun 2015 tentang percepatan

    mandatori biofuel, Kepmen ESDM Nomor 3239

    Tahun 2015 tentang Harga Indeks Pasar (HIP)

    BBN serta diterbitkannya Peraturan Menteri

    ESDM Nomor 29 Tahun 2015 tentang Penyediaan

    dan Pemanfaatan BBN sebagai acuan verifikasi

    dan pembayaran subsidi oleh Badan Pengelola

    Dana Perkebunan (BPDP) Kelapa Sawit;

    Adapun uraian rinci dari kedua kebijakan

    tersebut, adalah:

    Percepatan pemanfaatan BBN melalui

    penerbitan Permen ESDM Nomor 12 Tahun

    2015 (Mandatori B15) yang berlaku sejak

    April 2015.

    Penetapan HIP BBN melalui penerbitan

    Keputusan Menteri ESDM No. 3239

    K/12/MEM/2015 Tentang HIP BBN yang

    dicampurkan ke dalam jenis BBM tertentu

    dan jenis BBM khusus penugasan, tanggal 30

    Juni 2015.

    Telah diterbitkan Peraturan Menteri Energi

    Dan Sumber Daya Mineral Nomor 29 tahun

    2015 tentang Penyediaan Dan Pemanfaatan

    Bahan Bakar Nabati (Biofuel) Jenis Biodiesel

    Dalam Kerangka Pembiayaan Oleh Badan

    Pengelolaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit

    sesuai amanat Perpres 61 Tahun 2015.

    Penghimpunan dana oleh Badan Pengelola

    Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS)

    sebagai pengganti alokasi subsidi BBN untuk

    menutup disparitas harga antara Biodiesel

    dan minyak Solar yang bersumber dari

    pungutan ekspor kelapa sawit dan

    turunannya berlaku sejak tanggal 16 Juli

    2015, walau pemanfaatannya belum

    maksimal.

    Pengaturan mekanisme pengadaan Biodiesel

    dalam Kerangka Pembiayaan oleh Badan

    Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit

    melalui penerbitan Peraturan Menteri ESDM

    Nomor 29 Tahun 2015 tentang Penyediaan

    dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati

    (Biofuel) Jenis Biodiesel Dalam Kerangka

    Pembiayaan oleh Badan Pengelola Dana

    Perkebunan Kelapa Sawit, diperkirakan baru

    efektif bulan Oktober 2015.

    Persiapan Teknis Mandatori B20. Penyusunan

    Spesifikasi B20 saat ini dilakukan oleh Ditjen

    Migas, karena fraksi minyak solar lebih besar.

    Saat ini sedang dilakukan roadshow di Jawa

    dan Sumatera untuk sosialisasi pelaksanaan

    Mandatori B20.

    Telah terbentuknya Aviation Biofuel &

    Renewable Energy Task Force (ABRETF) yang

    bertujuan mendorong pemanfaatan bioavtur

    pada pesawat udara dan pemanfaatan EBT

    pada bandar udara. Spesifikasi bioavtur,

    sudah sesuai dengan spesifikasi avtur

    eksisting, sehingga pemanfaatan bioavtur

    tidak mempengaruhi faktor keselamatan.

    Saat ini sedang disusun RSNI sepesifikasi dan

    baku mutu bioavtur oleh Ditjen Migas.

    Direncanakan voluntary flight, menggunakan

    bioavtur dengan rute Bandara

    Soekarno-Hatta Jakarta menuju Bandara I

    Gusti Ngurah Rai Bali.

    III. KERANGKA KELEMBAGAANSinergitas (Academy, Business, Government,

    Community) sangat diperlukan untuk percepatan

    pengembangan EBTKE sekaligus meminimalkan

    sumbata-sumbatan akibar kurangnya koordinasi,

    antara lain:

    a) Harmonisasi dan koordinasi dengan

    Kementerian Lingkungan dan Kehutanan

    terkait 6 WKP yang tumpang tindih dengan

    Kawasan Hutan Konservasi serta turut aktif

    dalam pembahasan draf Permenhut Jasa

    Lingkungan;

    b) Berkontribusi aktif dalam penyusunan

    Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2015

    dan Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2015,

    serta pembentukan Badan Pengelola Dana

    Perkebunan (BPDP) Kelapa Sawit dalam rangka

    lebih menjamin pelaksanaan mandatori B15

    (mulai 17 Ags 2015), B20 @2016, dan

    B25@2025;

    c) Memorandum of Understanding dengan

    Direktorat Jenderal Pemasyarakatan tentang

    Pemanfaatan PTS Fotovoltaik dan EBT di

    Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah

    Tahanan Negara;

    d) Memorandum of Understanding dengan TNI

    tentang Bantuan TNI kepada Kementerian

    ESDM terkait pembangunan infrastruktur EBT;

    e) Pembentukan 80 orang Patriot Energi untuk

    dikirim ke wilayah terdepan seperti Mentawai,

    Anambas, Saumlaki, dan wilayah pedalaman di

    Kalimantan sampai Papua. Program ini

    merupakan bagian dari percepatan rasio

    elektrifikasi dan pembangunan energi baru

    terbarukan;

    f) Berkontribusi aktif dalam penyusunan Standar

    Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI)

    tentang Manajer Energi dan Auditor Energi,

    berkoordinasi dengan Kementerian Tenaga

    Kerja dan Transmigrasi;

    IV. PEMBANGUNAN INFRA- STRUKTUR EBTKEMengacu Nawa-Cita ke-3: Membangun Indonesia

    dari pinggiran dengan memperkuat daerah-

    daerah dan desa dalam kerangka NKRI, sedang

    (on-progress) dibangun infrastruktur EBTKE,

    diantaranya:

    a) Pembangunan 19 unit PLTS Hybrid

    (PLTS-Diesel) di 9 Provinsi/11Kabupaten yang

    merupakan pulau terdepan dan kawasan

    perbatasan, dengan kapasitas 3.225 kWp;

    b) PLTS Terpusat 141 unit, 5.405 kWp melistriki

    21.771 KK dan 1.000 Fasum di 19 Provinsi/53

    Kabupaten

    c) PLTMH 14 unit, 1.193 kW melistriki 2.303 KK dan

    92 Fasum di 12 Provinsi / 16 Kabupaten

    d) PLT Biomassa Terintegrasi di Sumba Barat

    e) Pilot Project Pemanfaatan Sampah Kota untuk

    BBM Sintetis di Tangerang Selatan

    f) Biogas Komunal Pesantren di 9 pesantren

    g) PJU Cerdas untuk Sumba Iconic Island

    V. PENGEMBANGAN PANAS BUMIa) Telah ditetapkan 67 Wilayah Kerja Panas Bumi

    (WKP) dengan total kapasitas pengembangan

    sebesar 6.238,5 MW yang terdiri dari:

    19 WKP Eksisting total kapasitas

    pengembangan sebesar 2.523,5 MW; dan

    48 WKP setelah UU No 27/2003 total

    kapasitas pengembangan sebesar 3.715

    MW.

    b) Kapasitas terpasang PLTP mencapai 1.438,5

    MW yang mendapat tambahan dari:

    PLTP Patuha Unit 1 (55 MW) COD pada

    September 2014 dengan nilai investasi

    sebesar 37,2 Juta USD dan menyerap

    tenaga kerja 1.216 orang;

    85%LEBIH EFISIEN

    PERIZINAN DANNON PERIZINAN

  • buletin energi hijau 5

    I. INVESTASIA. PERIZINAN

    Telah dilakukan upaya percepatan proses dan

    penyederhanaan prosedur perizinan/ non

    perizinan melalui pemangkasan perizinan/non

    perizinan dan pelimpahan kewenangan ke BKPM

    melalui PTSP.

    Perizinan/non-perizinan yang masih ditangani/

    dikelola oleh Direktorat Jenderal EBTKE adalah

    yang hanya bersifat teknis menyangkut

    keselamatan kerja, keselamatan lingkungan dan

    operasi.

    B. HARGA JUAL LISTRIK EBT

    DARI IPP KE PT. PLN (PERSERO)

    Upaya menarik animo pengembang untuk

    berinvestasi di Pembangkit Listrik Tenaga (PLT)

    EBT adalah dengan menerapkan feed-in tarif,

    sehingga terdapat kepastian bagi investor

    karena energi listriknya dibeli dan tanpa adanya

    negosiasi oleh PT. PLN (Persero). Sampai dengan

    20 Oktober 2014, telah diterbitkan feed-in tarif

    untuk:

    a) Panas Bumi, saat ini kebijakan harga jual

    listrik dari panas bumi ditetapkan

    Pemerintah menggunakan mekanisme

    Harga Patokan Tertinggi (HPT) melalui

    Permen ESDM No. 17 Tahun 2014. Sebagai

    upaya terobosan untuk lebih mempercepat

    pengembangan panas bumi, kedepannya

    Pemerintah akan menerapkan mekanisme

    feed-in tari, dimana pelelangan WKP akan

    didasarkan pada program kerja dan

    komitmen eksplorasi sedangkan harga akan

    ditetapkan Pemerintah; Pasca terbitnya

    Undang-undang Nomor 21 Tahun 2014

    tentang Panas Bumi, Menteri ESDM telah

    menerbitkan 13 IPB (Izin Panas Bumi) dan 1

    IPB perpanjangan. IPB adalah pengganti

    IUP/kontrak kerja panas bumi;

    b) PLTMH, melalui Peraturan Menteri ESDM

    Nomor 19 Tahun 2015. Terdapat 92

    penetapan badan usaha sebagai pengelola

    tenaga air untuk pembangkit listrik s.d 10 MW

    (IPP PLTMH) dengan potensi pembangkitan

    422.07 MW dengan perkiraan nilai investasi

    Rp. 8.8 triliun;

    c) PLTS Kuota, 6 (enam) lokasi IPP PLTS semakin

    mendekati COD dengan kapasitas

    pembangkitan berkisar 13 MWp dengan nilai

    investasi diperkirakan Rp. 287.4 Miliar (saat

    ini tengah disusun permen PLTS sbg

    pengganti Permen ESDM Nomor 17 Tahun

    2013 tentang PLTS Kuota melalui pelelangan

    yg telah dibatalkan MA).

    d) PLT Biomassa dan Biogas serta PLT Sampah

    Kota, terdapat 34 (tiga puluh empat)

    pengajuan penetapan badan usaha sebagai

    pengelola tenaga bioenergi untuk

    pembangkit listrik s.d 10 MW dengan potensi

    pembangkitan 227,09 MW dengan perkiraan

    nilai investasi Rp. 5.84 triliun. Saat ini dalam

    tahap finalisasi RPermen ESDM untuk

    merevisi feed-in tari PLT Biomassa dan

    Biogas serta PLT Sampah Kota agar harga

    semakin menarik investor.

    e) PLT Bayu dan PLTS Rooop, telah disusun

    RPermen ESDM Feed-in Tarrif PLT Bayu

    (angin) dan RPermen PLTS Rooop (intern)

    yang jika diterbitkan akan semakin

    meningkatkan investasi di bidang EBT.

    C. PENCIPTAAN PASAR DAN SUBSIDI

    Kebijakan penciptaan pasar dan subsidi,

    khususnya dalam pengembangan bahan bakar

    nabati adalah mengacu pada Peraturan Menteri

    ESDM Nomor 12 Tahun 2015 tentang percepatan

    mandatori biofuel, Kepmen ESDM Nomor 3239

    Tahun 2015 tentang Harga Indeks Pasar (HIP)

    BBN serta diterbitkannya Peraturan Menteri

    ESDM Nomor 29 Tahun 2015 tentang Penyediaan

    dan Pemanfaatan BBN sebagai acuan verifikasi

    dan pembayaran subsidi oleh Badan Pengelola

    Dana Perkebunan (BPDP) Kelapa Sawit;

    Adapun uraian rinci dari kedua kebijakan

    tersebut, adalah:

    Percepatan pemanfaatan BBN melalui

    penerbitan Permen ESDM Nomor 12 Tahun

    2015 (Mandatori B15) yang berlaku sejak

    April 2015.

    Penetapan HIP BBN melalui penerbitan

    Keputusan Menteri ESDM No. 3239

    K/12/MEM/2015 Tentang HIP BBN yang

    dicampurkan ke dalam jenis BBM tertentu

    dan jenis BBM khusus penugasan, tanggal 30

    Juni 2015.

    Telah diterbitkan Peraturan Menteri Energi

    Dan Sumber Daya Mineral Nomor 29 tahun

    2015 tentang Penyediaan Dan Pemanfaatan

    Bahan Bakar Nabati (Biofuel) Jenis Biodiesel

    Dalam Kerangka Pembiayaan Oleh Badan

    Pengelolaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit

    sesuai amanat Perpres 61 Tahun 2015.

    Penghimpunan dana oleh Badan Pengelola

    Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS)

    sebagai pengganti alokasi subsidi BBN untuk

    menutup disparitas harga antara Biodiesel

    dan minyak Solar yang bersumber dari

    pungutan ekspor kelapa sawit dan

    turunannya berlaku sejak tanggal 16 Juli

    2015, walau pemanfaatannya belum

    maksimal.

    Pengaturan mekanisme pengadaan Biodiesel

    dalam Kerangka Pembiayaan oleh Badan

    Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit

    melalui penerbitan Peraturan Menteri ESDM

    Nomor 29 Tahun 2015 tentang Penyediaan

    dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati

    (Biofuel) Jenis Biodiesel Dalam Kerangka

    Pembiayaan oleh Badan Pengelola Dana

    Perkebunan Kelapa Sawit, diperkirakan baru

    efektif bulan Oktober 2015.

    Persiapan Teknis Mandatori B20. Penyusunan

    Spesifikasi B20 saat ini dilakukan oleh Ditjen

    Migas, karena fraksi minyak solar lebih besar.

    Saat ini sedang dilakukan roadshow di Jawa

    dan Sumatera untuk sosialisasi pelaksanaan

    Mandatori B20.

    Telah terbentuknya Aviation Biofuel &

    Renewable Energy Task Force (ABRETF) yang

    bertujuan mendorong pemanfaatan bioavtur

    pada pesawat udara dan pemanfaatan EBT

    pada bandar udara. Spesifikasi bioavtur,

    sudah sesuai dengan spesifikasi avtur

    eksisting, sehingga pemanfaatan bioavtur

    tidak mempengaruhi faktor keselamatan.

    Saat ini sedang disusun RSNI sepesifikasi dan

    baku mutu bioavtur oleh Ditjen Migas.

    Direncanakan voluntary flight, menggunakan

    bioavtur dengan rute Bandara

    Soekarno-Hatta Jakarta menuju Bandara I

    Gusti Ngurah Rai Bali.

    II. PENGUATAN REGULASISaat ini tengah di susun regulasi prioitas yang diharapkan akan diselesaikan selambat-lambatnya pada akhir

    tahun 2015, antara lain

    III. KERANGKA KELEMBAGAANSinergitas (Academy, Business, Government,

    Community) sangat diperlukan untuk percepatan

    pengembangan EBTKE sekaligus meminimalkan

    sumbata-sumbatan akibar kurangnya koordinasi,

    antara lain:

    a) Harmonisasi dan koordinasi dengan

    Kementerian Lingkungan dan Kehutanan

    terkait 6 WKP yang tumpang tindih dengan

    Kawasan Hutan Konservasi serta turut aktif

    dalam pembahasan draf Permenhut Jasa

    Lingkungan;

    b) Berkontribusi aktif dalam penyusunan

    Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2015

    dan Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2015,

    serta pembentukan Badan Pengelola Dana

    Perkebunan (BPDP) Kelapa Sawit dalam rangka

    lebih menjamin pelaksanaan mandatori B15

    (mulai 17 Ags 2015), B20 @2016, dan

    B25@2025;

    c) Memorandum of Understanding dengan

    Direktorat Jenderal Pemasyarakatan tentang

    Pemanfaatan PTS Fotovoltaik dan EBT di

    Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah

    Tahanan Negara;

    d) Memorandum of Understanding dengan TNI

    tentang Bantuan TNI kepada Kementerian

    ESDM terkait pembangunan infrastruktur EBT;

    e) Pembentukan 80 orang Patriot Energi untuk

    dikirim ke wilayah terdepan seperti Mentawai,

    Anambas, Saumlaki, dan wilayah pedalaman di

    Kalimantan sampai Papua. Program ini

    merupakan bagian dari percepatan rasio

    elektrifikasi dan pembangunan energi baru

    terbarukan;

    f) Berkontribusi aktif dalam penyusunan Standar

    Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI)

    tentang Manajer Energi dan Auditor Energi,

    berkoordinasi dengan Kementerian Tenaga

    Kerja dan Transmigrasi;

    Mengatur penyediaan dan pemanfaatan energi baru terbarukan, termasuk di dalamnya insentif, mandatori, pendanaan

    Mengatur proses bisnis pemanfaatan tidak langsung listrik termasuk pelaksanaan lelang; luas wilayah kerja; izin panas bumi dan tata cara penetapan harga panas bumi untuk pemanfaatan tidak langsung

    Mengatur mengenai penetapan besaran, tata cara penyetoran, tata cara penghitungan, dan bagi hasil

    Memberikan dasar hukum/pijakan yang lebih kuat untuk melaksanakan pembangunan infrastruktur EBTKE di daerah selaras dengan UU Pemerintah Daerah yang baru

    Pedoman kepada stakeholder, termasuk Pemerintah Daerah tentang penerapan penerangan jalan umum yang hemat energi dan efisien.

    Program strategis nasional dan penetapan target konservasi energi nasional yang dirinci per secktor

    Penetapan lembaga yang bergerak dalam implementasi konservasi energi yang didukung dengan pembiayaan konservasi energi

    Penetapan standard kinerja energi minimal yang harus dipenuhi oleh berbagai peralatan listrik rumah tangga agar penggunaan energinya dapat terkontrol

    6. RPermen ESDM tentang Rencana Induk Konservasi Energi Nasional

    7. RPermen ESDM tentang Usaha Penunjang Konservasi Energi Nasional (ESCO)

    8. RPermen ESDM tentang Minimum Energy Performance Standard dan Pembubuhan Label Hemat Energi untuk Pengkondisi Udara (AC), Kulkas, Penanak Nasi, Kipas Angin, Lampu LED

    1. RPP Energi Baru Terbarukan

    2. RPP tentang Pengusahaan Panas Bumi untuk Pemanfaatan Tidak Langsung

    3. RPP tentang Bonus Produksi Pengusahaan Panas Bumi

    4. RPermen ESDM tentang Perubahan atas Permen ESDM No. 10 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan Kegiatan Fisik Pemanfaatan Energi Baru dan Terbarukan

    5. RPermen ESDM tentang Pedoman Penerangan Jalan Umum yang Efisien

    IV. PEMBANGUNAN INFRA- STRUKTUR EBTKEMengacu Nawa-Cita ke-3: Membangun Indonesia

    dari pinggiran dengan memperkuat daerah-

    daerah dan desa dalam kerangka NKRI, sedang

    (on-progress) dibangun infrastruktur EBTKE,

    diantaranya:

    a) Pembangunan 19 unit PLTS Hybrid

    (PLTS-Diesel) di 9 Provinsi/11Kabupaten yang

    merupakan pulau terdepan dan kawasan

    perbatasan, dengan kapasitas 3.225 kWp;

    b) PLTS Terpusat 141 unit, 5.405 kWp melistriki

    21.771 KK dan 1.000 Fasum di 19 Provinsi/53

    Kabupaten

    c) PLTMH 14 unit, 1.193 kW melistriki 2.303 KK dan

    92 Fasum di 12 Provinsi / 16 Kabupaten

    d) PLT Biomassa Terintegrasi di Sumba Barat

    e) Pilot Project Pemanfaatan Sampah Kota untuk

    BBM Sintetis di Tangerang Selatan

    f) Biogas Komunal Pesantren di 9 pesantren

    g) PJU Cerdas untuk Sumba Iconic Island

    V. PENGEMBANGAN PANAS BUMIa) Telah ditetapkan 67 Wilayah Kerja Panas Bumi

    (WKP) dengan total kapasitas pengembangan

    sebesar 6.238,5 MW yang terdiri dari:

    19 WKP Eksisting total kapasitas

    pengembangan sebesar 2.523,5 MW; dan

    48 WKP setelah UU No 27/2003 total

    kapasitas pengembangan sebesar 3.715

    MW.

    b) Kapasitas terpasang PLTP mencapai 1.438,5

    MW yang mendapat tambahan dari:

    PLTP Patuha Unit 1 (55 MW) COD pada

    September 2014 dengan nilai investasi

    sebesar 37,2 Juta USD dan menyerap

    tenaga kerja 1.216 orang;

    No. JENIS REGULASI SUBSTANSI

  • buletin energi hijau6

    III. KERANGKA KELEMBAGAANSinergitas (Academy, Business, Government,

    Community) sangat diperlukan untuk percepatan

    pengembangan EBTKE sekaligus meminimalkan

    sumbata-sumbatan akibar kurangnya koordinasi,

    antara lain:

    a) Harmonisasi dan koordinasi dengan

    Kementerian Lingkungan dan Kehutanan

    terkait 6 WKP yang tumpang tindih dengan

    Kawasan Hutan Konservasi serta turut aktif

    dalam pembahasan draf Permenhut Jasa

    Lingkungan;

    b) Berkontribusi aktif dalam penyusunan

    Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2015

    dan Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2015,

    serta pembentukan Badan Pengelola Dana

    Perkebunan (BPDP) Kelapa Sawit dalam rangka

    lebih menjamin pelaksanaan mandatori B15

    (mulai 17 Ags 2015), B20 @2016, dan

    B25@2025;

    c) Memorandum of Understanding dengan

    Direktorat Jenderal Pemasyarakatan tentang

    Pemanfaatan PTS Fotovoltaik dan EBT di

    Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah

    Tahanan Negara;

    d) Memorandum of Understanding dengan TNI

    tentang Bantuan TNI kepada Kementerian

    ESDM terkait pembangunan infrastruktur EBT;

    e) Pembentukan 80 orang Patriot Energi untuk

    dikirim ke wilayah terdepan seperti Mentawai,

    Anambas, Saumlaki, dan wilayah pedalaman di

    Kalimantan sampai Papua. Program ini

    merupakan bagian dari percepatan rasio

    elektrifikasi dan pembangunan energi baru

    terbarukan;

    f) Berkontribusi aktif dalam penyusunan Standar

    Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI)

    tentang Manajer Energi dan Auditor Energi,

    berkoordinasi dengan Kementerian Tenaga

    Kerja dan Transmigrasi;

    IV. PEMBANGUNAN INFRA- STRUKTUR EBTKEMengacu Nawa-Cita ke-3: Membangun Indonesia

    dari pinggiran dengan memperkuat daerah-

    daerah dan desa dalam kerangka NKRI, sedang

    (on-progress) dibangun infrastruktur EBTKE,

    diantaranya:

    a) Pembangunan 19 unit PLTS Hybrid

    (PLTS-Diesel) di 9 Provinsi/11Kabupaten yang

    merupakan pulau terdepan dan kawasan

    perbatasan, dengan kapasitas 3.225 kWp;

    b) PLTS Terpusat 141 unit, 5.405 kWp melistriki

    21.771 KK dan 1.000 Fasum di 19 Provinsi/53

    Kabupaten

    c) PLTMH 14 unit, 1.193 kW melistriki 2.303 KK dan

    92 Fasum di 12 Provinsi / 16 Kabupaten

    d) PLT Biomassa Terintegrasi di Sumba Barat

    e) Pilot Project Pemanfaatan Sampah Kota untuk

    BBM Sintetis di Tangerang Selatan

    f) Biogas Komunal Pesantren di 9 pesantren

    g) PJU Cerdas untuk Sumba Iconic Island

    V. PENGEMBANGAN PANAS BUMIa) Telah ditetapkan 67 Wilayah Kerja Panas Bumi

    (WKP) dengan total kapasitas pengembangan

    sebesar 6.238,5 MW yang terdiri dari:

    19 WKP Eksisting total kapasitas

    pengembangan sebesar 2.523,5 MW; dan

    48 WKP setelah UU No 27/2003 total

    kapasitas pengembangan sebesar 3.715

    MW.

    b) Kapasitas terpasang PLTP mencapai 1.438,5

    MW yang mendapat tambahan dari:

    PLTP Patuha Unit 1 (55 MW) COD pada

    September 2014 dengan nilai investasi

    sebesar 37,2 Juta USD dan menyerap

    tenaga kerja 1.216 orang;

  • buletin energi hijau 7

    III. KERANGKA KELEMBAGAANSinergitas (Academy, Business, Government,

    Community) sangat diperlukan untuk percepatan

    pengembangan EBTKE sekaligus meminimalkan

    sumbata-sumbatan akibar kurangnya koordinasi,

    antara lain:

    a) Harmonisasi dan koordinasi dengan

    Kementerian Lingkungan dan Kehutanan

    terkait 6 WKP yang tumpang tindih dengan

    Kawasan Hutan Konservasi serta turut aktif

    dalam pembahasan draf Permenhut Jasa

    Lingkungan;

    b) Berkontribusi aktif dalam penyusunan

    Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2015

    dan Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2015,

    serta pembentukan Badan Pengelola Dana

    Perkebunan (BPDP) Kelapa Sawit dalam rangka

    lebih menjamin pelaksanaan mandatori B15

    (mulai 17 Ags 2015), B20 @2016, dan

    B25@2025;

    c) Memorandum of Understanding dengan

    Direktorat Jenderal Pemasyarakatan tentang

    Pemanfaatan PTS Fotovoltaik dan EBT di

    Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah

    Tahanan Negara;

    d) Memorandum of Understanding dengan TNI

    tentang Bantuan TNI kepada Kementerian

    ESDM terkait pembangunan infrastruktur EBT;

    e) Pembentukan 80 orang Patriot Energi untuk

    dikirim ke wilayah terdepan seperti Mentawai,

    Anambas, Saumlaki, dan wilayah pedalaman di

    Kalimantan sampai Papua. Program ini

    merupakan bagian dari percepatan rasio

    elektrifikasi dan pembangunan energi baru

    terbarukan;

    f) Berkontribusi aktif dalam penyusunan Standar

    Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI)

    tentang Manajer Energi dan Auditor Energi,

    berkoordinasi dengan Kementerian Tenaga

    Kerja dan Transmigrasi;

    IV. PEMBANGUNAN INFRA- STRUKTUR EBTKEMengacu Nawa-Cita ke-3: Membangun Indonesia

    dari pinggiran dengan memperkuat daerah-

    daerah dan desa dalam kerangka NKRI, sedang

    (on-progress) dibangun infrastruktur EBTKE,

    diantaranya:

    a) Pembangunan 19 unit PLTS Hybrid

    (PLTS-Diesel) di 9 Provinsi/11Kabupaten yang

    merupakan pulau terdepan dan kawasan

    perbatasan, dengan kapasitas 3.225 kWp;

    b) PLTS Terpusat 141 unit, 5.405 kWp melistriki

    21.771 KK dan 1.000 Fasum di 19 Provinsi/53

    Kabupaten

    c) PLTMH 14 unit, 1.193 kW melistriki 2.303 KK dan

    92 Fasum di 12 Provinsi / 16 Kabupaten

    d) PLT Biomassa Terintegrasi di Sumba Barat

    e) Pilot Project Pemanfaatan Sampah Kota untuk

    BBM Sintetis di Tangerang Selatan

    f) Biogas Komunal Pesantren di 9 pesantren

    g) PJU Cerdas untuk Sumba Iconic Island

    V. PENGEMBANGAN PANAS BUMIa) Telah ditetapkan 67 Wilayah Kerja Panas Bumi

    (WKP) dengan total kapasitas pengembangan

    sebesar 6.238,5 MW yang terdiri dari:

    19 WKP Eksisting total kapasitas

    pengembangan sebesar 2.523,5 MW; dan

    48 WKP setelah UU No 27/2003 total

    kapasitas pengembangan sebesar 3.715

    MW.

    b) Kapasitas terpasang PLTP mencapai 1.438,5

    MW yang mendapat tambahan dari:

    PLTP Patuha Unit 1 (55 MW) COD pada

    September 2014 dengan nilai investasi

    sebesar 37,2 Juta USD dan menyerap

    tenaga kerja 1.216 orang;

    PLTP Kamojang Unit 5 (35 MW) COD pada

    Juni 2015 dengan nilai investasi sebesar

    19,96 Juta USD dan menyerap tenaga kerja

    340 orang;

    c) Telah ditetapkan 2 WKP baru yaitu WKP

    Gunung Galunggung 130 MW dan WKP Gunung

    Geureudong 160 MW;

    d) Telah ditetapkan Perubahan Kedua tentang

    Penetapan WKP Liki Pinangawan Muaralaboh

    dengan cadangan terduga 400 MWe;

    e) Telah ditetapkan 3 Penugasan Survei

    Pendahuluan Daerah Sekincau Selatan 378

    MW, Daerah Gunung Raung 23 MW dan Daerah

    Krucil Tiris 74 MW;

    f) Telah ditetapkan Wilayah Penugasan Survei

    Pendahuluan (WPSP) Gunung Kembar dengan

    Sumberdaya Hipotesis sebesar 92 MW;

    g) Saat ini 2 WKP proses lelang yaitu WKP Gunung

    Lawu 165 MW dan WKP Danau Ranau 110 MW

    dan 3 WKP dalam persiapan lelang yaitu WKP

    Way Ratai 55 MW, WKP Kepahiang 110 MW dan

    WKP Marana 20 MW;

    h) Telah diterbitkan Perpanjangan Jangka Waktu

    Eksplorasi PT Sorik Marapi Geothermal Power

    pada WKP Sorik Marapi-Roburan-Sampuraga.

    VI. KONSERVASI ENERGI Audit Energi

    a) Hingga saat ini, objek yang telah dilakukan

    audit berjumlah 822 objek terdiri dari 517

    objek Industri dan 305 objek bangunan;

    b) Pada tahun 2015 ini, telah dilakukan

    monitoring terhadap hasil dari

    rekomendasi yang dijalankan oleh

    pengguna energi (obyek audit) dimana

    menghasilkan penghematan energi

    sebesar 69 MWh atau setara dengan Rp. 32

    Miliar;

    Labelisasi Hemat Energi

    a) Saat ini Standar dan label hemat energi peralatan sudah diterapkan pada lampu swabalast dengan terbitnya Peraturan Menteri ESDM Nomor 18 tahun 2014 tentang Pelabelan Hemat Energi untuk Lampu Swabalast. Indonesia mengadopsi label komparatif dengan 4 (empat) tingkat hemat energi dan ditandai dengan jumlah bintang sesuai tingkatan levelnya untuk memberikan informasi kepada konsumen. Semakin banyak bintang suatu produk semakin tinggi tingkat hemat energinya;

    b) Sejak dibelakukan hingga Oktober 2015,

    jumlah perusahaan yang sudah mendapatkan surat ijin untuk mencantumkan Label Tanda Hemat Energi untuk lampu swabalast adalah sebanyak 12 perusahaan, masing-masing 9 perusahaan importer dan 3 perusahan produsen dalam negeri, dan total lampu swabalast, yang sudah mencantumkan Label Tanda Hemat Energi tercatat 42 juta unit, masing-masing lampu produksi dalam negeri sebanyak 31,8 juta unit ( 75%) dan lampu impor sebanyak 10,2 juta unit (25%);

    c) Selanjutnya saat ini juga tengah dipersiapkan R Permen ESDM untuk labelisasi peralatan listrik rumah tangga lainnya yaitu kulkas, penanak nasi, lampu LED dan kipas angin.

    Manajer dan Auditor Energi

    a) Manajer Energi dan/atau Auditor Energi diberikan sertifikasi oleh Lembaga Sertifikasi Personil (LSP) Himpunan Ahli Konservasi Energi (HAKE) dengan Sistem Sertifikasi dari Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) sebagai Lembaga Independen yang bertanggung jawab menyelenggarakan Kompetensi Sertifikasi

    Kerja

  • buletin energi hijau8

    III. KERANGKA KELEMBAGAANSinergitas (Academy, Business, Government,

    Community) sangat diperlukan untuk percepatan

    pengembangan EBTKE sekaligus meminimalkan

    sumbata-sumbatan akibar kurangnya koordinasi,

    antara lain:

    a) Harmonisasi dan koordinasi dengan

    Kementerian Lingkungan dan Kehutanan

    terkait 6 WKP yang tumpang tindih dengan

    Kawasan Hutan Konservasi serta turut aktif

    dalam pembahasan draf Permenhut Jasa

    Lingkungan;

    b) Berkontribusi aktif dalam penyusunan

    Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2015

    dan Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2015,

    serta pembentukan Badan Pengelola Dana

    Perkebunan (BPDP) Kelapa Sawit dalam rangka

    lebih menjamin pelaksanaan mandatori B15

    (mulai 17 Ags 2015), B20 @2016, dan

    B25@2025;

    c) Memorandum of Understanding dengan

    Direktorat Jenderal Pemasyarakatan tentang

    Pemanfaatan PTS Fotovoltaik dan EBT di

    Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah

    Tahanan Negara;

    d) Memorandum of Understanding dengan TNI

    tentang Bantuan TNI kepada Kementerian

    ESDM terkait pembangunan infrastruktur EBT;

    e) Pembentukan 80 orang Patriot Energi untuk

    dikirim ke wilayah terdepan seperti Mentawai,

    Anambas, Saumlaki, dan wilayah pedalaman di

    Kalimantan sampai Papua. Program ini

    merupakan bagian dari percepatan rasio

    elektrifikasi dan pembangunan energi baru

    terbarukan;

    f) Berkontribusi aktif dalam penyusunan Standar

    Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI)

    tentang Manajer Energi dan Auditor Energi,

    berkoordinasi dengan Kementerian Tenaga

    Kerja dan Transmigrasi;

    IV. PEMBANGUNAN INFRA- STRUKTUR EBTKEMengacu Nawa-Cita ke-3: Membangun Indonesia

    dari pinggiran dengan memperkuat daerah-

    daerah dan desa dalam kerangka NKRI, sedang

    (on-progress) dibangun infrastruktur EBTKE,

    diantaranya:

    a) Pembangunan 19 unit PLTS Hybrid

    (PLTS-Diesel) di 9 Provinsi/11Kabupaten yang

    merupakan pulau terdepan dan kawasan

    perbatasan, dengan kapasitas 3.225 kWp;

    b) PLTS Terpusat 141 unit, 5.405 kWp melistriki

    21.771 KK dan 1.000 Fasum di 19 Provinsi/53

    Kabupaten

    c) PLTMH 14 unit, 1.193 kW melistriki 2.303 KK dan

    92 Fasum di 12 Provinsi / 16 Kabupaten

    d) PLT Biomassa Terintegrasi di Sumba Barat

    e) Pilot Project Pemanfaatan Sampah Kota untuk

    BBM Sintetis di Tangerang Selatan

    f) Biogas Komunal Pesantren di 9 pesantren

    g) PJU Cerdas untuk Sumba Iconic Island

    V. PENGEMBANGAN PANAS BUMIa) Telah ditetapkan 67 Wilayah Kerja Panas Bumi

    (WKP) dengan total kapasitas pengembangan

    sebesar 6.238,5 MW yang terdiri dari:

    19 WKP Eksisting total kapasitas

    pengembangan sebesar 2.523,5 MW; dan

    48 WKP setelah UU No 27/2003 total

    kapasitas pengembangan sebesar 3.715

    MW.

    b) Kapasitas terpasang PLTP mencapai 1.438,5

    MW yang mendapat tambahan dari:

    PLTP Patuha Unit 1 (55 MW) COD pada

    September 2014 dengan nilai investasi

    sebesar 37,2 Juta USD dan menyerap

    tenaga kerja 1.216 orang;

    b) Saat ini tercatat jumlah manajer energi yang bersertifikat kompetensi sebanyak 192 orang (182 Industri dan 10 Banguan) dan Jumlah auditor energi sebanyak 115 orang (semua Industri).

    Percontohan Lampu Hemat Energi Energi

    a) Percontohan penggantian lampu PJU dengan LED di Kab. Batang, Semarang, dan Sumba;

    b) Berhasil menghemat energi 50% dan menurunkan pengeluaran APBD;

  • buletin energi hijau | II 9

    III. KERANGKA KELEMBAGAANSinergitas (Academy, Business, Government,

    Community) sangat diperlukan untuk percepatan

    pengembangan EBTKE sekaligus meminimalkan

    sumbata-sumbatan akibar kurangnya koordinasi,

    antara lain:

    a) Harmonisasi dan koordinasi dengan

    Kementerian Lingkungan dan Kehutanan

    terkait 6 WKP yang tumpang tindih dengan

    Kawasan Hutan Konservasi serta turut aktif

    dalam pembahasan draf Permenhut Jasa

    Lingkungan;

    b) Berkontribusi aktif dalam penyusunan

    Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2015

    dan Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2015,

    serta pembentukan Badan Pengelola Dana

    Perkebunan (BPDP) Kelapa Sawit dalam rangka

    lebih menjamin pelaksanaan mandatori B15

    (mulai 17 Ags 2015), B20 @2016, dan

    B25@2025;

    c) Memorandum of Understanding dengan

    Direktorat Jenderal Pemasyarakatan tentang

    Pemanfaatan PTS Fotovoltaik dan EBT di

    Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah

    Tahanan Negara;

    d) Memorandum of Understanding dengan TNI

    tentang Bantuan TNI kepada Kementerian

    ESDM terkait pembangunan infrastruktur EBT;

    e) Pembentukan 80 orang Patriot Energi untuk

    dikirim ke wilayah terdepan seperti Mentawai,

    Anambas, Saumlaki, dan wilayah pedalaman di

    Kalimantan sampai Papua. Program ini

    merupakan bagian dari percepatan rasio

    elektrifikasi dan pembangunan energi baru

    terbarukan;

    f) Berkontribusi aktif dalam penyusunan Standar

    Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI)

    tentang Manajer Energi dan Auditor Energi,

    berkoordinasi dengan Kementerian Tenaga

    Kerja dan Transmigrasi;

    Pengertian Feed-in tariff (FIT)Feed-in tariff adalah kebijakan yang paling banyak digunakan di dunia ini untuk

    mempercepat pengembangan dan penyebaran

    energi baru terbarukan. Terhitung pada tahun

    2011, 73 negara di seluruh dunia yang telah

    menerapkan target kebijakan untuk

    pengembangan listrik berbasis energi baru

    terbarukan baik di tingkat pusat maupun

    daerah. Di awal 50 negara telah menerapkan

    kebijakan feed-in tariff dimana separuhnya adalah negara - negara berkembang.

    Sejak awal, Feed-in tariff telah berkembang secara signiikan; dan sejumlah istilah telah

    digunakan untuk menggambarkanFeed-in tariff. Istilah Jerman pada tahun 1990

    Stromeinspeisungsgesetz (StrEG) diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi

    Undang-Undang Feed-in Listrik, yang menyiratkan bahwa listrik sedang

    dimasukkan ke dalam grid (Jacobson and Lauber 2006). Ini adalah konsep yang digunakan dari awal dan terus digunakan sampai sekarang.

    Feed-in tariff (FIT) adalah kebijakan penyediaan energi yang fokus untuk mendukung

    pengembangan proyek baru energi terbarukan

    dengan menawarkan perjanjian pembelian

    listrik dari energi terbarukan dalam jangka

    IV. PEMBANGUNAN INFRA- STRUKTUR EBTKEMengacu Nawa-Cita ke-3: Membangun Indonesia

    dari pinggiran dengan memperkuat daerah-

    daerah dan desa dalam kerangka NKRI, sedang

    (on-progress) dibangun infrastruktur EBTKE,

    diantaranya:

    a) Pembangunan 19 unit PLTS Hybrid

    (PLTS-Diesel) di 9 Provinsi/11Kabupaten yang

    merupakan pulau terdepan dan kawasan

    perbatasan, dengan kapasitas 3.225 kWp;

    b) PLTS Terpusat 141 unit, 5.405 kWp melistriki

    21.771 KK dan 1.000 Fasum di 19 Provinsi/53

    Kabupaten

    c) PLTMH 14 unit, 1.193 kW melistriki 2.303 KK dan

    92 Fasum di 12 Provinsi / 16 Kabupaten

    d) PLT Biomassa Terintegrasi di Sumba Barat

    e) Pilot Project Pemanfaatan Sampah Kota untuk

    BBM Sintetis di Tangerang Selatan

    f) Biogas Komunal Pesantren di 9 pesantren

    g) PJU Cerdas untuk Sumba Iconic Island

    V. PENGEMBANGAN PANAS BUMIa) Telah ditetapkan 67 Wilayah Kerja Panas Bumi

    (WKP) dengan total kapasitas pengembangan

    sebesar 6.238,5 MW yang terdiri dari:

    19 WKP Eksisting total kapasitas

    pengembangan sebesar 2.523,5 MW; dan

    48 WKP setelah UU No 27/2003 total

    kapasitas pengembangan sebesar 3.715

    MW.

    b) Kapasitas terpasang PLTP mencapai 1.438,5

    MW yang mendapat tambahan dari:

    PLTP Patuha Unit 1 (55 MW) COD pada

    September 2014 dengan nilai investasi

    sebesar 37,2 Juta USD dan menyerap

    tenaga kerja 1.216 orang;

    PerkembanganFeed-in tariff di Indonesia

    panjang (Menanteau et al. 2003, Lipp 2007, Rickerson et al. 2007, Fouquet and Johansson 2008, Mendona 2007, IEA 2008). Secara umum kontrak perjanjian pembelian ini

    berkisar dalam rentang waktu 10-25 tahun

    dan berlaku untuk setiap kilowatt-jam dari

    listrik yang diproduksi (Klein 2008, Lipp 2007). Tingkat pembelian listrik yang ditawarkan

    tiap kilowatt-jam dapat dibedakan atas tipe

    teknologi, ukuran proyek, kualitas sumber

    daya, dan lokasi proyek.

    Kebijakan FIT biasanya mencakup tiga

    ketentuan utama: (1) Jaminan akses ke grid; (2) Stabil, Perjanjian Pembelian jangka

    panjang (biasanya sekitar 15-20 tahun); dan

    (3) Tingkat pembayaran berdasarkan biaya

    energi terbarukan generasi 6 (Mendona 2007). Di negara seperti Jerman, mereka memasukkan prosedur administrasi yang

    eisien yang dapat membantu memperpendek

    waktu yang dibutuhkan, mengurangi

    birokrasi, meminimalkan biaya proyek dan

    mempercepat laju penyebaran energi

    terbarukan (Fell 2009, lihat juga de Jager dan Rathmann 2008). Banyak negara Eropa telah berkomitmen untuk menggunakan kebijakan

    yang pas untuk mencapai target jangka

    panjang energi terbarukan, seperti target

    tahun 2020 dan seterusnya, yang

    menunjukkan komitmen jangka panjang.

    Selain itu, kebijakan Eropa biasanya

    memperpanjang kelayakan kepada siapa pun

    yang memiliki kemampuan untuk

    berinvestasi, termasuk namun tidak terbatas

    pada pemilik rumah; pemilik bisnis; instansi

    pemerintah federal, negara bagian, dan lokal;

    investor swasta; utilitas dan organisasi nirlaba

    (Jerman BMU 2007, Lipp 2007, Mendona et al. 2009b).

    Pembuat kebijakan yang tertarik dalam

    menciptakan kebijakan FIT perlu

    mempertimbangkan sejumlah pilihan. Pilihan

    ini termasuk bagaimana struktur pembayaran

    FIT, serta apakah dan bagaimana untuk

    membedakan mereka (misalnya, secara

    teknologi, ukuran proyek, kualitas sumber

    daya, dan lain - lain). Ada empat pendekatan

    utama yang digunakan untuk mengatur

    pembayaran FIT keseluruhan untuk

    pengembang energi baru terbarukan. Yang

    pertama adalah untuk dasar FIT Levelized Cost Of Electricity (LCOE), ditambah pengembalian target (biasanya ditetapkan oleh pembuat

    kebijakan atau regulator). Yang kedua adalah

    dengan memperkirakan nilai dari generasi

    energi baik untuk masyarakat atau utilitas.

    Nilai kepada masyarakat biasanya ditafsirkan

    dari segi nilai listrik ditambah mitigasi

    perubahan iklim, dampak kesehatan,

    keamanan energi, dan eksternalitas lainnya.

    Ketiga, pendekatan pengaturan biaya feed-in tariff yang sederhana, insentif ixed price incentive yang menawarkan harga beli listrik terbarukan yang tidak berdasarkan biaya

    pembangkitan, atau pada gagasan nilai

    (Couture dan Cory 2009). Terakhir, berdasarkan mekanisme lelang untuk

    menetapkan tingkat pembayaran. India dan

    Tiongkok sedang bereksperimen dengan

    pendekatan ini, dan beberapa yurisdiksi

    Amerika Serikat telah menyatakan minat

    terhadap percobaan mekanisme ini.

    Kebijakan Feed-in tariff di DuniaPenerapan feed-in tariff telah membantu penyebaran energi baru terbarukan secara

    signikan, membantu negara - negara sukses

    berada di garda terdepan industri pengembangan

    energi baru terbarukan. Di Uni Eropa, kebijakan

    feed-in tariff sukses menjadikan penyebaran energi berbasis surya lebih dari 15.000 megawatt

    (MW), selain itu membantu penyebaran energi

    angin hingga mencapai 55.000 MW antara tahun

    2000 dan akhir 2009.

    Total feed-in tariff telah memberikan kontribusi terhadap 75 persen pengembangan energi

    berbasis photovoltaic dan juga 45 persen

    penyebaran energi angin secara keseluruhan.

    Negara - negara seperti Jerman, khususnya telah

    menunjukkan bahwa bahwa penerapan feed-in

    tariff dapat digunakan sebagai alat kebijakan

    yang ampuh untuk menggerakkan penyebaran

    energi baru terbarukan serta memenuhi

    ketahanan energi dan terpenting membantu

    tujuan negar- negara di dunia untuk mengurangi

    emisi.

    Di Uni Eropa, kebijakan feed-in tariff telah diterapkan selama dua dekade terakhir dan

    menjadi contoh baru bagi negara - negara lain

    seperti Kanada dan Amerika Serikat. Berangkat

    dari kenyataan tersebut, kebijakan feed-in tariff

    mendorong pertumbuhan pasar dengan

    memberikan perjanjian jual beli listrik jangka

    panjang dari sumber energi baru terbarukan.

    Kriteria untuk menilai keberhasilan feed-in tariff tergantung pada tujuan kebijakan yurisdiksi.

    Dalam Uni Eropa, kebijakan energi energi

    nasional dievaluasi terhadap seperangkat tujuan

    yang ditetapkan dalam arahan Uni Eropa, dan

    termasuk (antara lain) target jangka panjang

    eneirgi baru terbarukan, peningkatan ekonomi

    dan peluang pasar ekspor, penciptaan lapangan

    kerja berkelanjutan, peningkatan penggunaan

    kehutanan dan limbah pertanian, dan perluasan

    inovatif teknologi energi terbarukan (Lihat

    Komisi Eropa, 2009/28/EC). Tentu saja,

    yurisdiksi yang berbeda mungkin memiliki tujuan

    yang berbeda, atau mungkin atribut strategis

    yang berbeda kepentingan untuk tujuan yang

    sama. Meskipun, itu adalah tujuan umum sesuai

    kebijakan di kedua Uni Eropa dan di seluruh

    dunia untuk mendorong penyebaran energi baru

    terbarukan. feed-in tariff dapat berhasil, oleh karena itu, dipahami sebagai kebijakan yang

    mendorong percepatan, keberkelanjutan, dan

    pembangunan energi baru terbarukan secara

    luas.

    Feed-in tariff di IndonesiaDi Indonesia penerapan feed-in tariff sesungguhnya mulai berjalan mulai tahun 2009

    kendati demikian belum cukup mendorong

    pengembangan dan pemanfaatan energi baru

    terbarukan. Tetapi beberapa tahun belakangan

    ini guna mendorong pengembangan dan

    pemanfaatan energi baru terbarukan Pemerintah

    giat menerbitkan regulasi feed-in tariff

    Setidaknya ada kurang lebih lima peraturan

    menteri (Permen) yang diterbitkan terkait

    kebijakan feed-in tariff yaitu diantaranya Permen ESDM Nomor 17 Tahun 2013 tentang feed-in tariff tenaga surya namun regulasi ini sempat

    bermasalah karena dibatalkan oleh Mahkamah

    Agung (MA) dan saat ini tengan disusun permen

    baru sebagai pengganti.

    Lalu Permen feed-in tariff terkait Biomassa dan Biogas nomor 27 tahun 2014, kemudian Permen

    ESDM nomor 19 tahun 2013 tentang PLT Sampah

    Kota, selain itu Permen ESDM nomor 22 tahun

    2014 tentang pembelian tenaga listrik dari

    pembangkit listrik tenaga air dengan kapasitas

    sampai dengan 10 megawatt (MW) oleh PT

    Perusahaan Listrik Negara (PLN persero) yang

    kemudian disempurnakan dengan diterbitkannya

    Permen ESDM Nomor 19 Tahun 2015.

    Adapun Permen ESDM nomor 17 tahun 2014

    terkait pengaturan jual beli listrik panas bumi

    yang saat ini juga tengah disusun permen baru

    untuk penyempurnaan.

    Insentif keuangan yang diberikan Pemerintah

    melalui FIT memberikan dorongan yang cukup

    berarti dalam pengembangan energi terbarukan

    di Indonesia. Namun demikian perlu

    dipertimbangkan, bahwa apabila harga energi

    terbarukan pada pengguna akhir terus

    meningkat secara signiikan, dikhawatirkan

    sistem FIT menjadi tidak berkelanjutan secara

    ekonomi. Karena itu sesuai dengan amanat PP

    79/2014 tentang Kebijakan Energi Nasional,

    subsidi perlu dialihkan kepada energi

    terbarukan.

  • buletin energi hijau10

    III. KERANGKA KELEMBAGAANSinergitas (Academy, Business, Government,

    Community) sangat diperlukan untuk percepatan

    pengembangan EBTKE sekaligus meminimalkan

    sumbata-sumbatan akibar kurangnya koordinasi,

    antara lain:

    a) Harmonisasi dan koordinasi dengan

    Kementerian Lingkungan dan Kehutanan

    terkait 6 WKP yang tumpang tindih dengan

    Kawasan Hutan Konservasi serta turut aktif

    dalam pembahasan draf Permenhut Jasa

    Lingkungan;

    b) Berkontribusi aktif dalam penyusunan

    Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2015

    dan Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2015,

    serta pembentukan Badan Pengelola Dana

    Perkebunan (BPDP) Kelapa Sawit dalam rangka

    lebih menjamin pelaksanaan mandatori B15

    (mulai 17 Ags 2015), B20 @2016, dan

    B25@2025;

    c) Memorandum of Understanding dengan

    Direktorat Jenderal Pemasyarakatan tentang

    Pemanfaatan PTS Fotovoltaik dan EBT di

    Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah

    Tahanan Negara;

    d) Memorandum of Understanding dengan TNI

    tentang Bantuan TNI kepada Kementerian

    ESDM terkait pembangunan infrastruktur EBT;

    e) Pembentukan 80 orang Patriot Energi untuk

    dikirim ke wilayah terdepan seperti Mentawai,

    Anambas, Saumlaki, dan wilayah pedalaman di

    Kalimantan sampai Papua. Program ini

    merupakan bagian dari percepatan rasio

    elektrifikasi dan pembangunan energi baru

    terbarukan;

    f) Berkontribusi aktif dalam penyusunan Standar

    Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI)

    tentang Manajer Energi dan Auditor Energi,

    berkoordinasi dengan Kementerian Tenaga

    Kerja dan Transmigrasi;

    Pengertian Feed-in tariff (FIT)Feed-in tariff adalah kebijakan yang paling banyak digunakan di dunia ini untuk

    mempercepat pengembangan dan penyebaran

    energi baru terbarukan. Terhitung pada tahun

    2011, 73 negara di seluruh dunia yang telah

    menerapkan target kebijakan untuk

    pengembangan listrik berbasis energi baru

    terbarukan baik di tingkat pusat maupun

    daerah. Di awal 50 negara telah menerapkan

    kebijakan feed-in tariff dimana separuhnya adalah negara - negara berkembang.

    Sejak awal, Feed-in tariff telah berkembang secara signiikan; dan sejumlah istilah telah

    digunakan untuk menggambarkanFeed-in tariff. Istilah Jerman pada tahun 1990

    Stromeinspeisungsgesetz (StrEG) diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi

    Undang-Undang Feed-in Listrik, yang menyiratkan bahwa listrik sedang

    dimasukkan ke dalam grid (Jacobson and Lauber 2006). Ini adalah konsep yang digunakan dari awal dan terus digunakan sampai sekarang.

    Feed-in tariff (FIT) adalah kebijakan penyediaan energi yang fokus untuk mendukung

    pengembangan proyek baru energi terbarukan

    dengan menawarkan perjanjian pembelian

    listrik dari energi terbarukan dalam jangka

    IV. PEMBANGUNAN INFRA- STRUKTUR EBTKEMengacu Nawa-Cita ke-3: Membangun Indonesia

    dari pinggiran dengan memperkuat daerah-

    daerah dan desa dalam kerangka NKRI, sedang

    (on-progress) dibangun infrastruktur EBTKE,

    diantaranya:

    a) Pembangunan 19 unit PLTS Hybrid

    (PLTS-Diesel) di 9 Provinsi/11Kabupaten yang

    merupakan pulau terdepan dan kawasan

    perbatasan, dengan kapasitas 3.225 kWp;

    b) PLTS Terpusat 141 unit, 5.405 kWp melistriki

    21.771 KK dan 1.000 Fasum di 19 Provinsi/53

    Kabupaten

    c) PLTMH 14 unit, 1.193 kW melistriki 2.303 KK dan

    92 Fasum di 12 Provinsi / 16 Kabupaten

    d) PLT Biomassa Terintegrasi di Sumba Barat

    e) Pilot Project Pemanfaatan Sampah Kota untuk

    BBM Sintetis di Tangerang Selatan

    f) Biogas Komunal Pesantren di 9 pesantren

    g) PJU Cerdas untuk Sumba Iconic Island

    V. PENGEMBANGAN PANAS BUMIa) Telah ditetapkan 67 Wilayah Kerja Panas Bumi

    (WKP) dengan total kapasitas pengembangan

    sebesar 6.238,5 MW yang terdiri dari:

    19 WKP Eksisting total kapasitas

    pengembangan sebesar 2.523,5 MW; dan

    48 WKP setelah UU No 27/2003 total

    kapasitas pengembangan sebesar 3.715

    MW.

    b) Kapasitas terpasang PLTP mencapai 1.438,5

    MW yang mendapat tambahan dari:

    PLTP Patuha Unit 1 (55 MW) COD pada

    September 2014 dengan nilai investasi

    sebesar 37,2 Juta USD dan menyerap

    tenaga kerja 1.216 orang;

    panjang (Menanteau et al. 2003, Lipp 2007, Rickerson et al. 2007, Fouquet and Johansson 2008, Mendona 2007, IEA 2008). Secara umum kontrak perjanjian pembelian ini

    berkisar dalam rentang waktu 10-25 tahun

    dan berlaku untuk setiap kilowatt-jam dari

    listrik yang diproduksi (Klein 2008, Lipp 2007). Tingkat pembelian listrik yang ditawarkan

    tiap kilowatt-jam dapat dibedakan atas tipe

    teknologi, ukuran proyek, kualitas sumber

    daya, dan lokasi proyek.

    Kebijakan FIT biasanya mencakup tiga

    ketentuan utama: (1) Jaminan akses ke grid; (2) Stabil, Perjanjian Pembelian jangka

    panjang (biasanya sekitar 15-20 tahun); dan

    (3) Tingkat pembayaran berdasarkan biaya

    energi terbarukan generasi 6 (Mendona 2007). Di negara seperti Jerman, mereka memasukkan prosedur administrasi yang

    eisien yang dapat membantu memperpendek

    waktu yang dibutuhkan, mengurangi

    birokrasi, meminimalkan biaya proyek dan

    mempercepat laju penyebaran energi

    terbarukan (Fell 2009, lihat juga de Jager dan Rathmann 2008). Banyak negara Eropa telah berkomitmen untuk menggunakan kebijakan

    yang pas untuk mencapai target jangka

    panjang energi terbarukan, seperti target

    tahun 2020 dan seterusnya, yang

    menunjukkan komitmen jangka panjang.

    Selain itu, kebijakan Eropa biasanya

    memperpanjang kelayakan kepada siapa pun

    yang memiliki kemampuan untuk

    berinvestasi, termasuk namun tidak terbatas

    pada pemilik rumah; pemilik bisnis; instansi

    pemerintah federal, negara bagian, dan lokal;

    investor swasta; utilitas dan organisasi nirlaba

    (Jerman BMU 2007, Lipp 2007, Mendona et al. 2009b).

    Pembuat kebijakan yang tertarik dalam

    menciptakan kebijakan FIT perlu

    mempertimbangkan sejumlah pilihan. Pilihan

    ini termasuk bagaimana struktur pembayaran

    FIT, serta apakah dan bagaimana untuk

    membedakan mereka (misalnya, secara

    teknologi, ukuran proyek, kualitas sumber

    daya, dan lain - lain). Ada empat pendekatan

    utama yang digunakan untuk mengatur

    pembayaran FIT keseluruhan untuk

    pengembang energi baru terbarukan. Yang

    pertama adalah untuk dasar FIT Levelized Cost Of Electricity (LCOE), ditambah pengembalian target (biasanya ditetapkan oleh pembuat

    kebijakan atau regulator). Yang kedua adalah

    dengan memperkirakan nilai dari generasi

    energi baik untuk masyarakat atau utilitas.

    Nilai kepada masyarakat biasanya ditafsirkan

    dari segi nilai listrik ditambah mitigasi

    perubahan iklim, dampak kesehatan,

    keamanan energi, dan eksternalitas lainnya.

    Ketiga, pendekatan pengaturan biaya feed-in tariff yang sederhana, insentif ixed price incentive yang menawarkan harga beli listrik terbarukan yang tidak berdasarkan biaya

    pembangkitan, atau pada gagasan nilai

    (Couture dan Cory 2009). Terakhir, berdasarkan mekanisme lelang untuk

    menetapkan tingkat pembayaran. India dan

    Tiongkok sedang bereksperimen dengan

    pendekatan ini, dan beberapa yurisdiksi

    Amerika Serikat telah menyatakan minat

    terhadap percobaan mekanisme ini.

    Kebijakan Feed-in tariff di DuniaPenerapan feed-in tariff telah membantu penyebaran energi baru terbarukan secara

    signikan, membantu negara - negara sukses

    berada di garda terdepan industri pengembangan

    energi baru terbarukan. Di Uni Eropa, kebijakan

    feed-in tariff sukses menjadikan penyebaran energi berbasis surya lebih dari 15.000 megawatt

    (MW), selain itu membantu penyebaran energi

    angin hingga mencapai 55.000 MW antara tahun

    2000 dan akhir 2009.

    Total feed-in tariff telah memberikan kontribusi terhadap 75 persen pengembangan energi

    berbasis photovoltaic dan juga 45 persen

    penyebaran energi angin secara keseluruhan.

    Negara - negara seperti Jerman, khususnya telah

    menunjukkan bahwa bahwa penerapan feed-in

    tariff dapat digunakan sebagai alat kebijakan

    yang ampuh untuk menggerakkan penyebaran

    energi baru terbarukan serta memenuhi

    ketahanan energi dan terpenting membantu

    tujuan negar- negara di dunia untuk mengurangi

    emisi.

    Di Uni Eropa, kebijakan feed-in tariff telah diterapkan selama dua dekade terakhir dan

    menjadi contoh baru bagi negara - negara lain

    seperti Kanada dan Amerika Serikat. Berangkat

    dari kenyataan tersebut, kebijakan feed-in tariff

    mendorong pertumbuhan pasar dengan

    memberikan perjanjian jual beli listrik jangka

    panjang dari sumber energi baru terbarukan.

    Kriteria untuk menilai keberhasilan feed-in tariff tergantung pada tujuan kebijakan yurisdiksi.

    Dalam Uni Eropa, kebijakan energi energi

    nasional dievaluasi terhadap seperangkat tujuan

    yang ditetapkan dalam arahan Uni Eropa, dan

    termasuk (antara lain) target jangka panjang

    eneirgi baru terbarukan, peningkatan ekonomi

    dan peluang pasar ekspor, penciptaan lapangan

    kerja berkelanjutan, peningkatan penggunaan

    kehutanan dan limbah pertanian, dan perluasan

    inovatif teknologi energi terbarukan (Lihat

    Komisi Eropa, 2009/28/EC). Tentu saja,

    yurisdiksi yang berbeda mungkin memiliki tujuan

    yang berbeda, atau mungkin atribut strategis

    yang berbeda kepentingan untuk tujuan yang

    sama. Meskipun, itu adalah tujuan umum sesuai

    kebijakan di kedua Uni Eropa dan di seluruh

    dunia untuk mendorong penyebaran energi baru

    terbarukan. feed-in tariff dapat berhasil, oleh karena itu, dipahami sebagai kebijakan yang

    mendorong percepatan, keberkelanjutan, dan

    pembangunan energi baru terbarukan secara

    luas.

    Feed-in tariff di IndonesiaDi Indonesia penerapan feed-in tariff sesungguhnya mulai berjalan mulai tahun 2009

    kendati demikian belum cukup mendorong

    pengembangan dan pemanfaatan energi baru

    terbarukan. Tetapi beberapa tahun belakangan

    ini guna mendorong pengembangan dan

    pemanfaatan energi baru terbarukan Pemerintah

    giat menerbitkan regulasi feed-in tariff

    Setidaknya ada kurang lebih lima peraturan

    menteri (Permen) yang diterbitkan terkait

    kebijakan feed-in tariff yaitu diantaranya Permen ESDM Nomor 17 Tahun 2013 tentang feed-in tariff tenaga surya namun regulasi ini sempat

    bermasalah karena dibatalkan oleh Mahkamah

    Agung (MA) dan saat ini tengan disusun permen

    baru sebagai pengganti.

    Lalu Permen feed-in tariff terkait Biomassa dan Biogas nomor 27 tahun 2014, kemudian Permen

    ESDM nomor 19 tahun 2013 tentang PLT Sampah

    Kota, selain itu Permen ESDM nomor 22 tahun

    2014 tentang pembelian tenaga listrik dari

    pembangkit listrik tenaga air dengan kapasitas

    sampai dengan 10 megawatt (MW) oleh PT

    Perusahaan Listrik Negara (PLN persero) yang

    kemudian disempurnakan dengan diterbitkannya

    Permen ESDM Nomor 19 Tahun 2015.

    Adapun Permen ESDM nomor 17 tahun 2014

    terkait pengaturan jual beli listrik panas bumi

    yang saat ini juga tengah disusun permen baru

    untuk penyempurnaan.

    Insentif keuangan yang diberikan Pemerintah

    melalui FIT memberikan dorongan yang cukup

    berarti dalam pengembangan energi terbarukan

    di Indonesia. Namun demikian perlu

    dipertimbangkan, bahwa apabila harga energi

    terbarukan pada pengguna akhir terus

    meningkat secara signiikan, dikhawatirkan

    sistem FIT menjadi tidak berkelanjutan secara

    ekonomi. Karena itu sesuai dengan amanat PP

    79/2014 tentang Kebijakan Energi Nasional,

    subsidi perlu dialihkan kepada energi

    terbarukan.

  • buletin energi hijau 11

    III. KERANGKA KELEMBAGAANSinergitas (Academy, Business, Government,

    Community) sangat diperlukan untuk percepatan

    pengembangan EBTKE sekaligus meminimalkan

    sumbata-sumbatan akibar kurangnya koordinasi,

    antara lain:

    a) Harmonisasi dan koordinasi dengan

    Kementerian Lingkungan dan Kehutanan

    terkait 6 WKP yang tumpang tindih dengan

    Kawasan Hutan Konservasi serta turut aktif

    dalam pembahasan draf Permenhut Jasa

    Lingkungan;

    b) Berkontribusi aktif dalam penyusunan

    Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2015

    dan Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2015,

    serta pembentukan Badan Pengelola Dana

    Perkebunan (BPDP) Kelapa Sawit dalam rangka

    lebih menjamin pelaksanaan mandatori B15

    (mulai 17 Ags 2015), B20 @2016, dan

    B25@2025;

    c) Memorandum of Understanding dengan

    Direktorat Jenderal Pemasyarakatan tentang

    Pemanfaatan PTS Fotovoltaik dan EBT di

    Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah

    Tahanan Negara;

    d) Memorandum of Understanding dengan TNI

    tentang Bantuan TNI kepada Kementerian

    ESDM terkait pembangunan infrastruktur EBT;

    e) Pembentukan 80 orang Patriot Energi untuk

    dikirim ke wilayah terdepan seperti Mentawai,

    Anambas, Saumlaki, dan wilayah pedalaman di

    Kalimantan sampai Papua. Program ini

    merupakan bagian dari percepatan rasio

    elektrifikasi dan pembangunan energi baru

    terbarukan;

    f) Berkontribusi aktif dalam penyusunan Standar

    Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI)

    tentang Manajer Energi dan Auditor Energi,

    berkoordinasi dengan Kementerian Tenaga

    Kerja dan Transmigrasi;

    Pengertian Feed-in tariff (FIT)Feed-in tariff adalah kebijakan yang paling banyak digunakan di dunia ini untuk

    mempercepat pengembangan dan penyebaran

    energi baru terbarukan. Terhitung pada tahun

    2011, 73 negara di seluruh dunia yang telah

    menerapkan target kebijakan untuk

    pengembangan listrik berbasis energi baru

    terbarukan baik di tingkat pusat maupun

    daerah. Di awal 50 negara telah menerapkan

    kebijakan feed-in tariff dimana separuhnya adalah negara - negara berkembang.

    Sejak awal, Feed-in tariff telah berkembang secara signiikan; dan sejumlah istilah telah

    digunakan untuk menggambarkanFeed-in tariff. Istilah Jerman pada tahun 1990

    Stromeinspeisungsgesetz (StrEG) diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi

    Undang-Undang Feed-in Listrik, yang menyiratkan bahwa listrik sedang

    dimasukkan ke dalam grid (Jacobson and Lauber 2006). Ini adalah konsep yang digunakan dari awal dan terus digunakan sampai sekarang.

    Feed-in tariff (FIT) adalah kebijakan penyediaan energi yang fokus untuk mendukung

    pengembangan proyek baru energi terbarukan

    dengan menawarkan perjanjian pembelian

    listrik dari energi terbarukan dalam jangka

    IV. PEMBANGUNAN INFRA- STRUKTUR EBTKEMengacu Nawa-Cita ke-3: Membangun Indonesia

    dari pinggiran dengan memperkuat daerah-

    daerah dan desa dalam kerangka NKRI, sedang

    (on-progress) dibangun infrastruktur EBTKE,

    diantaranya:

    a) Pembangunan 19 unit PLTS Hybrid

    (PLTS-Diesel) di 9 Provinsi/11Kabupaten yang

    merupakan pulau terdepan dan kawasan

    perbatasan, dengan kapasitas 3.225 kWp;

    b) PLTS Terpusat 141 unit, 5.405 kWp melistriki

    21.771 KK dan 1.000 Fasum di 19 Provinsi/53

    Kabupaten

    c) PLTMH 14 unit, 1.193 kW melistriki 2.303 KK dan

    92 Fasum di 12 Provinsi / 16 Kabupaten

    d) PLT Biomassa Terintegrasi di Sumba Barat

    e) Pilot Project Pemanfaatan Sampah Kota untuk

    BBM Sintetis di Tangerang Selatan

    f) Biogas Komunal Pesantren di 9 pesantren

    g) PJU Cerdas untuk Sumba Iconic Island

    V. PENGEMBANGAN PANAS BUMIa) Telah ditetapkan 67 Wilayah Kerja Panas Bumi

    (WKP) dengan total kapasitas pengembangan

    sebesar 6.238,5 MW yang terdiri dari:

    19 WKP Eksisting total kapasitas

    pengembangan sebesar 2.523,5 MW; dan

    48 WKP setelah UU No 27/2003 total

    kapasitas pengembangan sebesar 3.715

    MW.

    b) Kapasitas terpasang PLTP mencapai 1.438,5

    MW yang mendapat tambahan dari:

    PLTP Patuha Unit 1 (55 MW) COD pada

    September 2014 dengan nilai investasi

    sebesar 37,2 Juta USD dan menyerap

    tenaga kerja 1.216 orang;

    panjang (Menanteau et al. 2003, Lipp 2007, Rickerson et al. 2007, Fouquet and Johansson 2008, Mendona 2007, IEA 2008). Secara umum kontrak perjanjian pembelian ini

    berkisar dalam rentang waktu 10-25 tahun

    dan berlaku untuk setiap kilowatt-jam dari

    listrik yang diproduksi (Klein 2008, Lipp 2007). Tingkat pembelian listrik yang ditawarkan

    tiap kilowatt-jam dapat dibedakan atas tipe

    teknologi, ukuran proyek, kualitas sumber

    daya, dan lokasi proyek.

    Kebijakan FIT biasanya mencakup tiga

    ketentuan utama: (1) Jaminan akses ke grid; (2) Stabil, Perjanjian Pembelian jangka

    panjang (biasanya sekitar 15-20 tahun); dan

    (3) Tingkat pembayaran berdasarkan biaya

    energi terbarukan generasi 6 (Mendona 2007). Di negara seperti Jerman, mereka memasukkan prosedur administrasi yang

    eisien yang dapat membantu memperpendek

    waktu yang dibutuhkan, mengurangi

    birokrasi, meminimalkan biaya proyek dan

    mempercepat laju penyebaran energi

    terbarukan (Fell 2009, lihat juga de Jager dan Rathmann 2008). Banyak negara Eropa telah berkomitmen untuk menggunakan kebijakan

    yang pas untuk mencapai target jangka

    panjang energi terbarukan, seperti target

    tahun 2020 dan seterusnya, yang

    menunjukkan komitmen jangka panjang.

    Selain itu, kebijakan Eropa biasanya

    memperpanjang kelayakan kepada siapa pun

    yang memiliki kemampuan untuk

    berinvestasi, termasuk namun tidak terbatas

    pada pemilik rumah; pemilik bisnis; instansi

    pemerintah federal, negara bagian, dan lokal;

    investor swasta; utilitas dan organisasi nirlaba

    (Jerman BMU 2007, Lipp 2007, Mendona et al. 2009b).

    Pembuat kebijakan yang tertarik dalam

    menciptakan kebijakan FIT perlu

    mempertimbangkan sejumlah pilihan. Pilihan

    ini termasuk bagaimana struktur pembayaran

    FIT, serta apakah dan bagaimana untuk

    membedakan mereka (misalnya, secara

    teknologi, ukuran proyek, kualitas sumber

    daya, dan lain - lain). Ada empat pendekatan

    utama yang digunakan untuk mengatur

    pembayaran FIT keseluruhan untuk

    pengembang energi baru terbarukan. Yang

    pertama adalah untuk dasar FIT Levelized Cost Of Electricity (LCOE), ditambah pengembalian target (biasanya ditetapkan oleh pembuat

    kebijakan atau regulator). Yang kedua adalah

    dengan memperkirakan nilai dari generasi

    energi baik untuk masyarakat atau utilitas.

    Nilai kepada masyarakat biasanya ditafsirkan

    dari segi nilai listrik ditambah mitigasi

    perubahan iklim, dampak kesehatan,

    keamanan energi, dan eksternalitas lainnya.

    Ketiga, pendekatan pengaturan biaya feed-in tariff yang sederhana, insentif ixed price incentive yang menawarkan harga beli listrik terbarukan yang tidak berdasarkan biaya

    pembangkitan, atau pada gagasan nilai

    (Couture dan Cory 2009). Terakhir, berdasarkan mekanisme lelang untuk

    menetapkan tingkat pembayaran. India dan

    Tiongkok sedang bereksperimen dengan

    pendekatan ini, dan beberapa yurisdiksi

    Amerika Serikat telah menyatakan minat

    terhadap percobaan mekanisme ini.

    Kebijakan Feed-in tariff di DuniaPenerapan feed-in tariff telah membantu penyebaran energi baru terbarukan secara

    signikan, membantu negara - negara sukses

    berada di garda terdepan industri pengembangan

    energi baru terbarukan. Di Uni Eropa, kebijakan

    feed-in tariff sukses menjadikan penyebaran energi berbasis surya lebih dari 15.000 megawatt

    (MW), selain itu membantu penyebaran energi

    angin hingga mencapai 55.000 MW antara tahun

    2000 dan akhir 2009.

    Total feed-in tariff telah memberikan kontribusi terhadap 75 persen pengembangan energi

    berbasis photovoltaic dan juga 45 persen

    penyebaran energi angin secara keseluruhan.

    Negara - negara seperti Jerman, khususnya telah

    menunjukkan bahwa bahwa penerapan feed-in

    tariff dapat digunakan sebagai alat kebijakan

    yang ampuh untuk menggerakkan penyebaran

    energi baru terbarukan serta memenuhi

    ketahanan energi dan terpenting membantu

    tujuan negar- negara di dunia untuk mengurangi

    emisi.

    Di Uni Eropa, kebijakan feed-in tariff telah diterapkan selama dua dekade terakhir dan

    menjadi contoh baru bagi negara - negara lain

    seperti Kanada dan Amerika Serikat. Berangkat

    dari kenyataan tersebut, kebijakan feed-in tariff

    mendorong pertumbuhan pasar dengan

    memberikan perjanjian jual beli listrik jangka

    panjang dari sumber energi baru terbarukan.

    Kriteria untuk menilai keberhasilan feed-in tariff tergantung pada tujuan kebijakan yurisdiksi.

    Dalam Uni Eropa, kebijakan energi energi

    nasional dievaluasi terhadap seperangkat tujuan

    yang ditetapkan dalam arahan Uni Eropa, dan

    termasuk (antara lain) target jangka panjang

    eneirgi baru terbarukan, peningkatan ekonomi

    dan peluang pasar ekspor, penciptaan lapangan

    kerja berkelanjutan, peningkatan penggunaan

    kehutanan dan limbah pertanian, dan perluasan

    inovatif teknologi energi terbarukan (Lihat

    Komisi Eropa, 2009/28/EC). Tentu saja,