buletin defis 02 djpk

44
MEDIA defis 1

Upload: herry-prananto

Post on 21-Dec-2014

999 views

Category:

Economy & Finance


12 download

DESCRIPTION

Buletin Desentralisasi Fiskal Edisi 02 Tahun 2012

TRANSCRIPT

Page 1: Buletin defis 02   djpk

Media defis 1

Page 2: Buletin defis 02   djpk
Page 3: Buletin defis 02   djpk

Media defis 3

Editorial

Peran strategis Dana Alokasi Khusus (DAK)

sebagai salah satu sumber pendanaan di

daerah saat ini sudah tidak diragukan lagi

dalam dinamika pembangunan. Meskipun

proporsinya kecil dibandingkan total dana

perimbangan yang dikucurkan dari APBN,

banyak daerah yang menggantungkan harapan

dari DAK, di tengah-tengah masih terbatasnya

kemampuan keuangan daerah dalam

mendanai pembangunan. Kondisi ini terutama

banyak ditemui di daerah-daerah dengan

kemampuan fiskal rendah yang sebagian besar

dana pembangunannya terpakai untuk gaji

pegawai dan belanja tidak langsung lainnya.

Pendanaan melalui DAK menjadi salah satu

tumpuan harapan mereka. Kucuran DAK ibarat

setetes embun penyejuk dalam kehausan.

Sejak diimplementasikan tahun 2003, pada

awalnya DAK hanya dialokasikan untuk bidang

pendidikan, kesehatan, prasarana jalan,

prasarana irigasi dan prasarana pemerintah.

Pertanyaannya puaskah kita dengan kinerja

DAK? Berbagai permasalahan dan kendala

muncul terkait dengan pertanyaan apakah

DAK yang dikucurkan telah tepat sasaran,

apakah sudah efisien dan efektif, dan telah

memberikan dampak yang positif terhadap

pembangunan?

Batasan konsep, azas, terminology dan

formulasi DAK sepertinya mengalami

metamorfosa. DAK tidak lagi diberikan kepada

daerah tertentu karena hampir sebagian

daerah saat ini mendapatkan kucuran DAK.

Besaran DAK juga cenderung naik sehingga

batasan “membantu mendanai” menjadi

sedikit kabur. Kegiatan khusus yang yang

didanai juga mengalami penambahan yang

signifikan dan bisa jadi keluar dari daftar

prioritas nasional yang telah ditetapkan dalam

rencana kerja pemerintah.

Azas dan konsep DAK mengalami pemaknaan

yang berbeda dalam era UU Perimbangan

Keuangan 1999 dan 2004 dan antara UU

dengan peraturan pelaksanaannya. Banyaknya

diskursus yang timbul seperti diskursus

“prioritas nasional dan urusan daerah”, “top

down dan bottom up”, “fisik dan non fisik”

menimbulkan kesan adanya inkonsistensi

dalam pelaksanaan DAK. Demikian pula

dengan formulasi DAK yang menggunakan

tiga kriteria sekaligus secara substitutif

telah mengaburkan nilai kekhususan daerah

penerimanya. Penentuan daerah yang

seharusnya terseleksi menjadi semakin banyak

daerah yang akan menerimanya.

Sejumlah kajian yang berdasarkan analisis

kuantitatif juga memperlihatkan bahwa

pengalokasian DAK telah bias dari tujuan

kekhususannya dan lebih memprioritaskan

fungsi ekualisasi (perimbangan). Kajian lain

menunjukkan bahwa belum ada korelasi yang

signifikan bahwa pengucuran DAK memberikan

dampak positif terhadap pertumbuhan

ekonomi dan Indeks Pembangunan Manusia

(IPM).

Apa yang menyebabkan semua itu? Apakah

karena jumlah DAK yang dikucurkan hanya

sedikit sehingga “dosis” nya kurang untuk

mengobati permasalahan tertentu? Ternyata

tidak juga. Efisiensi pengalokasian DAK dan

efektifitas tatakelola implementasi DAK

menjadi kata kuncinya. Dengan kata lain kita

tidak cukup bereksperimen dan melakukan

metamorfosa azas, konsep dan formulasi

tetapi diperlukan adanya redesign DAK yang

lebih sesuai dengan kondisi terkini.

Beberapa design yang mungkin dapat

dikembangkan adalah mengubah DAK menjadi

output base ketimbang input base yang selama

ini dijalankan. Hal ini akan memberi ruang

gerak yang lebih leluasa bagi daerah untuk

berkreasi sesuai kebutuhan. Penggunaan

koridor Standar Pelayanan Minimum (SPM)

sebagai barometer pengukuran keberhasilan

DAK diharapkan dapat memaksimalkan

pencapaian tujuan prioritas nasional dan pada

saat bersamaan daerah penerima DAK dapat

merasakan esensi ‘otonomi’ nya. Wacana

lain yang mungkin perlu dikembangkan

adalah sinergi antara pemerintah pusat dan

daerah untuk lebih cepat mencapai tujuan

pembangunan nasional. Pola perencanaan

DAK yang Top Down selama ini mungkin perlu

dikombinasikan dengan pendekatan bottom

up. Selain itu mengingat bahwa tidak semua

kegiatan yang menggunakan DAK sebagai

sumber dananya berdurasi tahunan maka

sudah saatnya kita mengimplementasikan

DAK yang mengacu kepada konsep Middle

Term Expenditure Framework (MTEF). Diharapkan

nantinya DAK akan dapat mendorong

pencapaian SPM sekaligus mendorong

pencapaian prioritas nasional serta dapat

mengakomodir berbagai kebijakan pemerintah

lainnya.

Untuk itu perlu ada upaya yang terus menerus

dalam menyempurnakan perangkat kebijakan.

Yang paling penting adalah merevisi Undang-

undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang

Perimbangan Keuangan antara Pemerintah

Pusat dan Pemerintahan Daerah serta PP

No.55 tahun 2005 tentang dana perimbangan

agar lebih sesuai dengan tantangan baru dan

dinamika pendanaan pembangunan yang

terdesentralisasi. Kita menginginkan adanya

DAK yang lebih simple dan sederhana serta

dapat mengeliminir berbagai kelemahan yang

dijumpai saat ini. Redesign tersebut dapat

dilakukan secara parsial yang mendudukkan

ulang formulasi DAK sesuai hukum positif

yang ada atau reformasi integral yang merevisi

keseluruhan konstruksi kebijakan DAK. Kita

tunggu tanggal mainnya.

Ahmad Yani

“RE-DESIGN DAK”

Page 4: Buletin defis 02   djpk

4 Media defis

Daftar Isi

Laporan Utama

Profil

Renungan

Konsultasi

Album Foto

Feature

Sekilas Berita

8

17

5

21

22

24

27

30

33

41

36

39

4243

DANA ALOKASI KHUSUSDulu, Kemarin, Sekarang, dan Ke DepanApakah urgensinya?

DESAIN DAK KE DEPAN: Apa yang perlu diperbaiki?

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN DAK: Tantangan dan Konsep Ke Depan

SuArA STAKEHOLDERterhadap Pelaksanaan DAK

DAK rEIMBurSEMENT PROJECT

“PERANAN” DAnA AlokAsi khusus: Sesuaikah Dengan Prinsip Awal?

PROBLEMATIKA PENGALIHAN KEGIATAN Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan Yang Merupakan urusan Daerah KE DANA ALOKASI KHUSUS

WAWANCARA EKSKLUSIfDirektur Dana Perimbangan

MENOLONg untuk Ditolong

HIBAH

PENATAAN ORgANISASI Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan

PELAKSANAAN QUALITY ASSURANCE reformasi Birokrasi Di Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan

rESENSI BuKu ECONO MYTH

PELINDUNG Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan PENASEHAT Para Pejabat Eselon II di Lingkungan DJPK PENANGGUNG JAWAB Sekretaris Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan PEmImPIN REDAkSI Ahmad Yani TIm REDAkSI Putut Hari Satyaka, Diah Sarkorini, Ubaidi Socheh Hamidi, Anwar Syahdat, Sugiyarto, M. Nafi TIm EDITOR Erny Murniasih, Fachroedy Junianto, Esthi Budilestari, Masagus Zenaidi, Wahyudi Sulestyanto, M. Sulthon Junaidi, Yadi Hadian, Endang Zainatun, Lily KUntratih, Deny Kurniawan, Ichwan Setyarno, Hesti Budi Utomo, David Rudolf DESIGN GRAfIS Lukman Adi, Agung Setio Budi, Adhi Kurniawan SEkRETARIAT M. Lilik CIB, Kurnia, Shanti Sukmawati, Titik Fatmawati, Ricka Yunita Prasetya, Vanny Koesrini, Alit Ayu Meinarsari, Helmy Rukmana, Bangun Purwono Adi ALAmAT Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan - Kementerian Keuangan|Gedung Radius Prawiro Lantai 10 Jalan Dr. Wahidin No. 1 Jakarta 10710 Telepon: 021-3509442

Redaksi menerima sumbangan tulisan atau artikel yang sesuai dengan misi penerbitan. Redaksi berhak mengubah isi tulisan tanpa mengubah maksud dan substansi. Bagi tulisan atau artikel yang dimuat akan mendapatkan imbalan sepantasnya

Page 5: Buletin defis 02   djpk

Media defis 5

Laporan Utama

DAK merupakan salah satu mekanisme transfer yang bertujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas pembangunan nasional.

Sebagai bagian dari otonomi daerah dan

desentralisasi fiskal, keberadaan DAK telah

memberi dimensi yang lebih jelas bagi Daerah

dalam penyelenggaraan pemerintahan dan

pelayanan, serta pengelolaan keuangan

berdasarkan prinsip transparansi, partisipasi,

dan akuntabilitas. Tujuan utamanya adalah

untuk mengurangi ketimpangan fiskal

antara pemerintah pusat dan daerah serta

mengurangi kesenjangan kemampuan fiskal

antar daerah, termasuk pemberian kewenangan

dalam hal perpajakan daerah. Keberadaan

DAK merupakan salah satu bentuk upaya

pengurangan kesenjangan kemampuan fiskal

antar daerah.

Pasal 39 UU No. 33 Tahun 2004 menyebutkan

bahwa DAK dialokasikan kepada pemerintah

daerah tertentu untuk mendanai kegiatan

khusus yang merupakan urusan daerah.

Sementara itu, Pasal 51 PP No. 55 Tahun 2005

menyatakan bahwa DAK dialokasikan kepada

daerah tertentu untuk mendanai kegiatan

khusus yang merupakan bagian dari program

yang menjadi prioritas nasional dan menjadi

urusan daerah.

Dari pengertian di atas terdapat 6 hal yang

perlu digarisbawahi. Pertama, DAK merupakan

dana yang bersumber dari APBN sehingga

DAK merupakan bagian dari keuangan negara.

kedua, DAK dialokasikan kepada daerah

tertentu yang memiliki makna bahwa tidak

semua daerah mendapatkan alokasi DAK

karena daerah tertentu adalah daerah yang

memenuhi kriteria umum, kriteria khusus, dan

kriteria teknis. ketiga, Alokasi DAK hanya

digunakan untuk membantu mendanai bukan

menggantikan. Karenanya daerah juga memiliki

tanggung jawab yang sama dalam memberikan

pelayanan dasar sesuai kemampuan.

keempat, yang didanai adalah kegiatan khusus

yaitu kegiatan yang telah ditetapkan oleh

Kementerian Teknis. kelima, Yang didanai

merupakan urusan daerah, artinya kegiatan

tersebut masuk dalam domain desentralisasi

dan dan bukan urusan pusat. keenam, prioritas

nasional yang berarti kegiatan DAK merupakan

bagian dan prioritas nasional sebagaimana

tercantum dalam Rencana Kerja Pemerintah.

Sangat disadari sepenuhnya bahwa kebijakan

pengalokasian DAK erat kaitannya dengan

pelayanan publik yang diberikan oleh

pemerintah daerah, mengingat fungsinya

sebagai instrumen bagi pemerintah daerah

untuk menyediakan dan memberikan pelayanan

yang lebih baik kepada masyarakat. Untuk itu,

peranan pemerintah daerah dalam pengelolaan

DAK menjadi semakin penting terutama

dalam hal perencanaan penganggaran dan

pelaksanaan kegiatannya, yang sudah pasti

sesuai dengan yang telah digariskan oleh

pemerintah pusat dalam penggunaannya,

mengingat DAK merupakan specific grant.

Dalam kaitan ini, menjadi hal yang cukup penting

lagi adalah upaya untuk membangun kebijakan

yang lebih mengedepankan kepentingan

publik, khususnya dalam pelaksanaan DAK.

Sehingga penciptaan lingkungan yang kondusif

perlu dibangun, antara lain melalui kepastian

peraturan, transparansi pelaksanaan aturan,

kecepatan pemberian layanan, kemudahan dan

kesederhanaan proses memperoleh layanan

publik tersebut, serta sinergi pembangunan

dan kebijakan antara pusat dan daerah, serta

antar daerah.

Dalam perjalanan panjang implementasinya

telah banyak muncul berbagai permasalahan,

perspektif, dan kendala yang memerlukan

perhatian pemerintah dan perlu direspon

dengan kebijakan yang selaras dan tepat

sasaran. Sejak diimplementasikan, awalnya DAK

hanya dialokasikan untuk bidang pendidikan,

kesehatan, prasarana jalan, prasarana

irigasi dan prasarana pemerintah. Dalam

perkembangannya mengalami perubahan

yang cukup siginifikan dari sisi jumlah, bidang

cakupan dan daerah penerimanya. Demikian

pula dari sisi azas, konsep, dan formulasi,

DAK juga telah mengalami metamorfosa dalam

berbagai bentuk dan pola.

Dalam perkembangannya sampai dengan

saat ini, DAK digunakan untuk mendanai

kegiatan di 19 bidang, yaitu pendidikan;

kesehatan; infrastruktur jalan; infrastruktur

irigasi; infrastruktur air minum; infrastruktur

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN DAK: TANTANGAN DAN KONSEP KE DEPAN

Page 6: Buletin defis 02   djpk

6 Media defis

Laporan Utama

sanitasi; prasarana pemerintahan daerah;

kelautan dan perikanan; pertanian; lingkungan

hidup; keluarga berencana; kehutanan; sarana

perdagangan; sarana dan prasarana daerah

tertinggal; listrik perdesaan; perumahan dan

kawasan permukiman; keselamatan transportasi

darat; transportasi perdesaan; serta sarana dan

prasarana kawasan perbatasan.

Laporan Utama Media Defis edisi kedua ini

mencoba mencermati berbagai persoalan

seputar DAK. Dengan mengambil tema besar

Implementasi Kebijakan Dana Alokasi Khusus:

Tantangan dan Konsep Ke depan, Media Defis

akan mengajak pembaca menyusuri lorong

waktu mencermati Kisah Perjalanan panjang

DAK dalam sistem dan mekanisme transfer di

Indonesia.

Beberapa tulisan yang kami sajikan pada

Media Defis Edisi ini antara lain: Dana Alokasi

Khusus: Dulu, Kemarin, Sekarang, dan Kedepan

Apakah Urgensinya; Desain DAk Ke depan:

Apa yang perlu diperbaiki: DAK reimbursement

Projet: “Peranan: Dana Alokasi Khusus:

Sesuaikah dengan Prinsip Awal; dan Problema

Pengalihan Kegiatan Dekonsentrasi dan Tugas

Pembantuan yang merupakan Urusan Daerah

ke Dana Alokasi Khusus. Selain tulisan tersebut

di atas kami juga menyajikan Suara Stakeholder

terhadap Pelaksanaan DAK, dan wawancara

Ekslusif dengan Direktur Dana Perimbangan.

Pada waktu pertama kali dialokasikan tahun

2003, perhatian publik terhadap keberadaan

dana ini boleh dikatakan masih kecil. Selain

karena jumlahnya yang relatif kecil dibandingkan

Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Bagi Hasil

(DBH). Perjalanan waktu implementasi DAK

dapat disimak dalam tulisan yang berjudul

Dana Alokasi Khusus: Dulu, Kemarin, Sekarang,

dan Ke depan. Tulisan yang diusung oleh Ubaidi

Socheh Hamidi, Kepala Subdirektorat Dana

Alokasi Khusus ini ingin menunjukkan kepada

pembaca adanya dinamika yang tinggi dalam

dimensi waktu. Segmentasi waktunya juga

tidak lazim disampaikan. Bukan hanya dulu,

sekarang dan masa depan tetapi penulisnya

juga menyelipkan kata “kemarin” di antara

dulu dan sekarang. Yang menarik, meskipun

jumlah DAK cenderung meningkat setiap tahun

tetapi jika dilihat dari proporsi DAK terhadap

APBN selain tidak terlalu besar dan cenderung

menurun. Dalam tulisannya Sdr. Ubaidi

menyampaikan paling sedikit 10 dirkursus

yang melibatkan DAK. Banyaknya diskursus

ini menunjukkan bahwa problem DAK begitu

kompleks, pelik dan dinamis di mana dalam

tataran implementasinya telah menimbulkan

banyak interpretasi dan harapan yang

bermacam-macam. Ubaidi juga menawarkan

3 (tiga) alternatif konsep DAK ke depan.

Pertama, mempertahankan konsep DAK

dengan memberi ruang bagi munculnya jenis

transfer lainnya yang baru; kedua, memperluas

dan/atau mengembangkan konsep DAK yang

ada sekarang, dan ketiga re-design DAK.

Pilihannya tergantung kita. “Untuk menentukan

pilihan tersebut, kita harus bisa menjawab

terlebih dahulu kira-kira konsep perimbangan

keuangan ke depan nantinya seperti apa?

Apakah akan meletakkan DAK sebagai satu

kesatuan yang utuh dalam posisinya sebagai

bagian dari jenis Dana Perimbangan, atau

justru ingin menjadikan DAK lebih exclusive lagi

dalam kaitannya dengan kepentingan prioritas

nasional? Atau, DAK akan diarahkan untuk

mendorong pencapaian standar pelayanan

minimum (SPM)?” Demikian yang dipaparkan

Ubaidi dalam tulisannya.

Sementara itu Putut Hari Setyaka, dalam

tulisan yang bertajuk Desain DAK kedepan:

Apa yang perlu diperbaiki mengemukakan

beberapa kelemahan dan kelebihan DAK saat

ini. Menurut Putut, DAK menghadapi kendala

yang berat untuk bisa mewujudkan tujuannya

sebagaimana disebutkan di atas, yaitu tujuan

pencapaian prioritas nasional dan tujuan

pemerataan. Kendala lain yang paling sering

dikeluhkan oleh daerah adalah petunjuk

teknis dari K/L yang seringkali terlambat

disampaikan. Selain itu, sebagian besar Juknis

merujuk kepada “input based conditional transfer”,

menyebabkan Juknis menjadi sangat rigid

yang pada gilirannya menyebabkan alokasi

DAK menjadi tidak dapat dilaksanakan secara

efisien karena tidak sesuai dengan kondisi dan

kebutuhan daerah. Masih ada lagi hal lain yang

merupakan kelemahan menurut Putut, adalah

lemahnya system dan mekanisme monitoring

dan evaluasi pelaksanaan DAK serta adanya

kewajiban penyediaan dana pendamping yang

terkadang cukup memberatkan bagi daerah.

Namun demikian, Putut juga mencatat ada 2

(dua) kelebihan DAK saat ini yaitu mekanisme

pencairan/penyaluran DAK yang relatif sangat

simple dan pada dasarnya DAK telah sangat

membantu kebutuhan pendanaan daerah,

terutama untuk meningkatkan belanja modal

mereka.

Mengacu pada berbagai kelemahan tersebut

di atas, Putut menekankan pentingnya

untuk menyusun desain baru DAK dengan

menempatkannya dalam payung hukum

yang kuat melalui perubahan UU. Ada

dua hal penting yang menjadi landasan

penyusunan desain DAK yang baru dalam

revisi UU 33/2004, yaitu i) DAK harus mampu

menyederhanakan berbagai jenis specific grant

yang ada dalam system transfer di Indonesia

saat ini; dan ii) desain DAK yang baru harus

mampu meminimalisir kelemahan-kelemahan

yang terjadi dalam pelaksanaan DAK saat ini.

Cerminan dari keinginan yang kuat tersebut

kemudian tercermin dalam rancangan revisi UU

33/2004 yaitu membagi DAK dalam 3 jenis DAK,

Ada 2 (dua) kelebihan DAK saat ini yaitu mekanisme

pencairan/penyaluran DAK yang relatif sangat simple

dan pada dasarnya DAK telah sangat membantu kebutuhan pendanaan daerah, terutama untuk meningkatkan belanja

modal mereka.

Page 7: Buletin defis 02   djpk

Media defis 7

Laporan Utama

yaitu i) DAK untuk mendorong pencapaian

SPM di bidang-bidang tertentu; ii) DAK untuk

mendorong pencapaian prioritas nasional; dan

iii) DAK untuk kebijakan tertentu yang diatur

dengan peraturan perundangan.

DI tulisan lain, Anwar Syahdat menulis tentang

“Peranan” Dana Alokasi khusus, Sesuaikah

dengan prinsip awal? Menyatakan bahwa

istilah DAK mulai dikenal secara umum

ketika ditetapkannya UU 25/1999 tentang

Perimbangan Keuangan antara Pemerintah

Pusat dan Daerah. Sebelum berlakunya UU

25/1999 atau periode berlakunya UU 32/1956

tentang Perimbangan Keuangan antara Negara

dan Daerah-Daerah yang Berhak Mengurus

Rumah Tangganya Sendiri, secara de jure

nomenklatur DAK belum dikenal, namun

secara de facto terdapat beberapa karakteristik

pendanaan daerah pada masa itu yang memiliki

ciri kesamaan dengan DAK, seperti, Inpres.

Inpres merupakan suatu sistem pendanaan

daerah yang bersifat top down dan penggunaan

atau peruntukannya sudah ditentukan.

Dengan kata lain, terhadap dana tersebut

tidak ada sama sekali diskresi daerah terkait

pemanfaatannya.

Bagaimana peran DAK diuraikan secara

gamblang oleh Anwar. Dalam UU/251999,

peranan DAK adalah guna menutup

kelemahan formulasasi DAU yang “disadari

atau tidak” belum dapat mengakomodasi

semua keberagaman daerah. Selain itu, DAK

juga sebagai instrumen pendanaan dalam hal

terdapat kebutuhan yang merupakan komitmen

dan prioritas nasional. Anwar menyimpulkan

bahwa peranan DAK yang diharapkan oleh

UU 25/1999 sangat berkaitan dengan kata

“fokus” karena DAK hanya diarahkan untuk

mendanai “kebutuhan khusus”. Sementara

untuk kebutuhan yang bersifat umum didanai

dari sumber lain.

Sementara itu dengan terbitnya UU 33/2004,

muncul pula keinginan untuk menyesuaikan

kebijakan transfer ke daerah dengan

perkembangan keadaan, ketatanegaraan serta

tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah.

UU 33/2004 mendefinisikan DAK sebagai

dana yang bersumber dari pendapatan APBN

yang dialokasikan kepada daerah tertentu

dengan tujuan untuk membantu mendanai

kegiatan khusus yang merupakan urusan

daerah dan sesuai dengan prioritas nasional.

Lebih spesifik atau secara khusus DAK

diarahkan untuk mendanai kebutuhan sarana

dan prasarana pelayanan dasar masyarakat

yang belum mencapai standar tertentu atau

untuk mendorong percepatan pembangunan

daerah. Ketentuan Pasal 38 UU 33/3004 yang

menyatakan bahwa besaran DAK ditetapkan

setiap tahun dalam APBN ditafsirkan oleh

Anwar bahwa DAK akan ada setiap tahun.

Anwar juga menterjemahkan bunyi Pasal 39

UU 33/2004 yang menyatakan bahwa DAK

dialokasikan kepada daerah tertentu untuk

mendanai kegiatan khusus yang merupakan

urusan daerah sesuai dengan fungsi yang telah

ditetapkan dalam APBN. Penjelasan pasal ini

menyatakan bahwa yang dimaksud dengan

daerah tertentu adalah daerah yang memenuhi

kriteria setiap tahun untuk mendapatkan

alokasi DAK. Dengan demikian, menurut Anwar,

tidak semua daerah mendapatkan alokasi DAK.

Anwar juga melihat , sedikit ada kontradiksi

antara batang tubuh dengan penjelasan pasal

39 di atas. Dalam batang tubuh dinyatakan

bahwa DAK diperuntukan untuk mendanai

kegiatan khusus yang merupakan urusan

daerah, namun dalam penjelasannya DAK juga

dimungkinkan untuk mendanai fungsi agama

yang merupakan kewenangan Pemerintah

Pusat. Diakhir tulisannya Anwar mengajak kita

berpikir untuk menilai apakah kebijakan DAK

saat ini masih sejalan dengan tujuan awal yang

mengharapkan DAK “fokus” untuk mendanai

kebutuhan khusus.

Selanjutnya tulisan DAK Reimbursement Project

yang ditulis Denny Kurniawan mencoba

memaparkan adanya terobosan baru dalam

penerapan Output-Based Disbursement (OBD)

yang baru pertama kali dilaksanakan di

Indonesia. Momen penting ini dimulai setelah

ditandatanganinya sebuah program kerjasama

Pemerintah Republik Indonesia dengan

Bank Dunia pada tanggal 23 Juni 2010 yaitu

Perjanjian Pinjaman (Loan Agreement) No.7914-

ID tentang Local Government and Decentralization

Project (LGDP) atau Proyek Pemerintah Daerah

dan Desentralisasi (P2D2). Program ini juga

biasa disebut sebagai DAK Reimbursement Project

dikarenakan konsep dari proyek ini yang akan

mengganti (reimburse) sejumlah Dana Alokasi

Khusus (DAK) yang menghasilkan keluaran

sesuai yang dipersyaratkan (eligible output).

Dengan pendekatan ini, Bank Dunia akan

membayarkan kembali bagian dari DAK untuk

infrastruktur (jalan, irigasi, dan air minum)

berdasarkan laporan dan verifikasi output fisik

daerah partisipan provinsi/kabupaten/kota

yang dilakukan oleh BPKP. Tujuan program

ini adalah untuk meningkatkan akuntabilitas

dan pelaporan DAK pada sektor infrastruktur

(jalan, irigasi, air minum, dan sanitasi) di lokasi

pemerintah daerah percontohan. Hal ini akan

dilakukan melalui peningkatan pelaporan

keuangan dan teknis serta verifikasi output

kegiatan infrastruktur yang dibiayai dengan DAK.

Selain tulisan di atas yang menggelitik pikiran

kita untuk memikirkan konsep DAK ke depan,

Media Defis kali ini juga memaparkan suara-

suara stakeholder terhadap pelaksanaan DAK

yang dikemas dalam bentuk pertanyaan dan

jawaban. Tulisan-tulisan dan pertanyaan-

pertanyaan tersebut di atas selain

menunjukkan adanya atensi daerah terhadap

permasalahan DAK juga sekaligus menunjukkan

masih begitu kompleknya permasalahan yang

diemban DAK. Ada asa dan harapan. Ada

keraguan dan skeptisme. Tetapi juga ada solusi

yang ditawarkan dalam Media Defis kali ini.

Semuanya diramu dalam tulisan yang akan

membawa pembaca ke dalam kilas balik DAK

di masa lalu sekaligus melesatkan pembaca

ke masa depan. Setiap tantangan dan kendala

yang dihadapi dibarengi dengan sejumlah

konsep juga sudah dipersiapkan. Selamat

Membaca.

Ahmad Yani

Page 8: Buletin defis 02   djpk

8 Media defis

Laporan Utama

Biasanya judul dari sebuan tulisan dari sudut pandang segmentasi waktu adalah “dulu, sekarang, dan masa nanti”. Tapi pada tulisan ini saya ingin membagi segmentasi waktu dengan menambah “kemarin” di antara “dulu” dan “sekarang”. Mengapa? Hal ini semata-mata ingin menunjukkan bahwa ada dinamika yang tinggi dalam rentang waktu kemarin dan sekarang.

Ketika pertama kali dialokasikan pada tahun 2003, DAK tidak begitu menjadi perhatian banyak

pihak. Di samping karena alokasi dananya yang hanya Rp2,3 triliun apabila dibandingkan

dengan alokasi DAU yang mencapai Rp60,5 triliun, juga pada saat itu daerah masih cukup

leluasa untuk menentukan pola belanja di luar belanja pegawai mengingat sumber pendanaan

dari dana transfer lainnya terutama dari Dana Bagi Hasil (DBH) dan Dana Alokasi Umum

(DAU) masih relatih besar. Hal ini terutama pada saat terjadi kenaikan DAU dan DBH pada

tahun 2006 dari tahun sebelumnya. Sebagaimana diketahui bahwa DBH dan DAU pada tahun

2006 masing-masing mencapai Rp59,4 triliun dan Rp145,7 triliun, yang berarti mengalami

peningkatan sebesar Rp28,2 triliun dan Rp56,9 triliun dari tahun sebelumnya. Selanjutnya,

pada tahun 2007 (saya menyebut periode “kemarin”) kenaikan DBH dan DAU tidak sesignifikan

seperti tahun-tahun sebelumnya yaitu masing-masing sebesar Rp9,1 triliun dan Rp19,9 triliun.

Bahkan pada tahun 2008 DBH justru mengalami penurunan sebesar Rp2,5 triliun sedangkan

DAU meningkat sebesar Rp14,6 triliun. Pada tahun 2009 DBH dan DAU meningkat masing-

masing sebesar Rp2,1 triliun dan Rp6,9 triliun dari tahun sebelumnya. Sejak saat itulah daerah

mulai menjadikan DAK sebagai ‘harapan’ untuk mempertahankan pola belanja modal di

daerah mengingat kenaikan DBH dan DAU tidak cukup signifikan untuk mengimbangi kenaikan

belanja di APBD yang bersifat rutin, walaupun sejak saat itu pula daerah mulai merasakan

berat untuk menyediakan dana pendamping DAK sekurang-kurangnya 10%.

Pada periode “sekarang” (2009-2012), DAK

terlalu permisif terhadap perkembangan

kebijakan terutama sebagai akibat dari

implementasi amanat Pasal 108 UU Nomor

33 Tahun 2004 dan implementasi atas PP

Nomor 38 Tahun 2007, dimana keduanya

mengamanatkan adanya penyerahan

urusan yang sudah menjadi kewenangan

daerah kepada pendanaan APBD. Dengan

menggunakan prinsip money follows function,

maka fungsi yang diserahkan tersebut harus

ada pendanaannya, dan yang memungkinkan

dari sisi peraturan perundangan adalah

melalui DAK walaupun sepenuhnya itu tidak

benar. Ada yang bersifat pengalihan kegiatan

dan pendanaannya, ada juga yang dialihkan

kegiatannya namun pendanaannya harus

on top. Pada kondisi seperti ini saya ingin

mengatakan bahwa dengan konsep DAK

sebagaimana diatur dalam UU 33 Tahun

2004 dan PP Nomor 55 Tahun 2005, maka

hal tersebut terlalu “membebani” DAK.

Dengan kata lain bahwa banyak harapan

diarahkan pada DAK namun banyak juga yang

tidak melihat bahwa terlalu kecil DAK untuk

memenuhi harapan itu semua. Dampaknya

adalah diskursus mengenai DAK sudah

keluar dari konteksnya. Kegiatan/kejadian

yang dianggap “khusus” maka diusulkan

pendanaannya dari DAK. Dalam beberapa

kejadian, pemahaman mengenai DAK sering

“salah kaprah”. Hal ini juga bisa ditemui

DANA ALOKASI KHUSUS

Dulu, Kemarin, Sekarang, dan Ke Depan

A p A k A h u r g e n s i n y A ?

Page 9: Buletin defis 02   djpk

Media defis 9

Laporan Utama

dalam beberapa penyebutan mengenai

DAK Bencana Alam padahal tidak pernah

ada DAK untuk bencana alam. Pendanaan

bencana alam berasal dari Akun Belanja

Pemerintah Pusat dan bukan masuk dalam

Akun Transfer ke Daerah. Pernah juga salah

satu Gubernur menyampaikan usulan agar

daerahnya diberikan DAK karena kekhususan

yang disandangnya walaupun kemampuan

keuangan daerahnya sangat tinggi. Itulah

DAK sekarang.

PENGERTIAN DAN TUJUAN DAK UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang

Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah

Pusat dan Pemerintahan Daerah

menyebutkan bahwa DAK merupakan dana

yang bersumber dari APBN yang dialokasikan

kepada daerah tertentu untuk membantu

mendanai kegiatan khusus yang merupakan

urusan daerah dan sesuai dengan prioritas

nasional. Dari pengertian tersebut, ada 6 hal

yang perlu untuk diperhatikan, yaitu:

1. Bersumber dari APBN, yang berarti

dananya bersumber APBN walaupun

ketika ditransfer ke daerah menjadi

bagian dari APBD. Karena bersumber dari

APBN maka sejalan dengan pemahaman

bahwa keuangan daerah merupakan

bagian dari keuangan negara walaupun

keduanya merupakan dua entitas yang

berbeda.

2. Daerah tertentu, yang berarti tidak

semua daerah mendapatkan alokasi DAK

karena daerah tertentu adalah daerah

yang memenuhi kriteria umum, kriteria

khusus, dan kriteria teknis. Sebagian

dari kita masih ada yang memahami

bahwa daerah tertentu adalah daerah

yang hanya memenuhi kriteria umum

saja, yaitu daerah yang kemampuan

keuangannya relatif rendah. Padahal

untuk menentukan daerah tertentu

tersebut, ketiga kriteria dimaksud harus

dipakai semua, tidak boleh dipakai salah

satu atau hanya dua kriteria saja.

3. membantu mendanai, yang berarti

dana ini bersifat bantuan dan tidak

menggantikan. Makna membantu di sini

sebenarnya ditujukan kepada daerah-

daerah yang kemampuan keuangannya

di bawah rata-rata nasional. Dengan

demikian, karena tidak menggantikan

maka logikanya daerah juga mempunyai

tanggung jawab yang sama terhadap

pelayanan dasar sesuai dengan

kemampuan keuangan daerah yang

dimilikinya.

4. kegiatan khusus, yaitu kegiatannya

sudah ditetapkan oleh kementerian

teknis terkait melalui petunjuk teknis

penggunaan DAK.

5. Urusan daerah, yang berarti

kegiatan yang didanai dari DAK harus

sudah merupakan urusan daerah

karena merupakan bagian dari Dana

Desentralisasi.

6. Prioritas nasional, yang berarti kegiatan

DAK merupakan bagian dari prioritas

nasional sebagaimana tercantum dalam

rencana kerja pemerintah (RKP).

Sementara itu, tujuan dialokasikannya DAK

adalah untuk:

1. membantu daerah tertentu,

2. mendanai sarana dan prasarana

pelayanan dasar masyarakat, dan

3. mendorong percepatan pembangunan

daerah.

Berdasarkan ketiga tujuan tersebut, maka

alokasi DAK dihitung dengan 3 kriteria, yaitu

kriteria umum, kriteria khusus, dan kriteria

teknis.

POSISI DAK DALAM DANA PERIMBANGANPada pasal 10 ayat (1) PP 55 Tahun 2005

disebutkan mengenai kesatuan Dana

Perimbangan dalam konteks perimbangan

keuangan, yaitu Dana Perimbangan alokasinya

dalam APBN tidak dapat dipisahkan satu

sama lain karena masing-masing jenis Dana

Perimbangan tersebut saling mengisi dan

saling melengkapi. Penjelasan atas hal

tersebut dapat dilihat dari keterkaitan tujuan

antar komponen Dana Perimbangan.

DBH dialokasikan dengan tujuan untuk

mengurangi ketimpangan fiskal vertikal

(antara pusat dan daerah). Disadari bahwa

kebijakan alokasi DAK tersebut menimbulkan

ketimpangan yang baru, yaitu ketimpangan

fiskal secara horisontal (antardaerah) karena

hanya daerah-daerah yang mempunyai

potensi penerimaan pajak dan sumer daya

alam yang tinggi yang akan mendapatkan

bagian lebih besar dibandingkan daerah

lainnya. Untuk itu dialokasikan DAU guna

mengurangi ketimpangan fiskal horisontal

tersebut. Dalam prakteknya, kedua jenis

Dana Perimbangan yang bersifat block

grant tersebut dalam pelaksanaan belanja

di daerah kurang menyentuh beberapa

pelayanan dasar masyarakat yang merupakan

prioritas nasional di daerah, sehingga

masih banyak dijumpai ruang kelas SD

yang rusak, puskesmas yang kurang layak,

atau jalan kabupaten/kota yang rusak.

Bagi daerah-daerah dengan kemampuan

keuangan daerahnya yang relatif rendah,

maka akan lebih sulit lagi untuk melakukan

diskresi pembelanjaan yang diarahkan untuk

kepentingan pelayanan dasar tersebut.

Untuk mempertahankan kualitas pelayanan

dasar tersebut, pemerintah sejak tahun 2003

mengambil inisiatif dengan mengalokasikan

DAK yang bersifat specific grant terutama untuk

membantu daerah-daerah yang kemampuan

keuangan daerahnya rendah.

MEKANISME PENGALOKASIAN DAKBerbeda dengan besaran alokasi DAU

nasional yang dipatok sekurang-kurangnya

26% dari PDN Neto, atau Dana Bagi Hasil

yang dipatok berdasarkan persentase

tertentu dari APBN, maka besaran alokasi

DAK ditetapkan setiap tahun dalam APBN.

Artinya, bisa naik, bisa turun dan sangat

Page 10: Buletin defis 02   djpk

10 Media defis

Laporan Utama

tergantung dari besarnya kebutuhan dan

constrain budget di APBN.

Selanjutnya, perhitungan alokasi DAK untuk

masing-masing daerah dilakukan melalui 2

(dua) tahapan, yaitu :

a. Penentuan daerah tertentu yang

menerima DAK, dengan memperhatikan

kriteria umum, kriteria khusus, dan

kriteria teknis.

b. Penentuan besaran alokasi DAK masing-

masing Daerah, yang dilakukan dengan

perhitungan indeks berdasarkan kriteria

umum, kriteria khusus, dan kriteria

teknis.

Penjelasan atas penggunaan kriteria

pengalokasian DAK tahun 2011 tersebut

adalah sebagai berikut :

1. kriteria Umum, yang ditetapkan

dengan mempertimbangkan kemampuan

keuangan daerah yang dicerminkan

dari penerimaan umum APBD setelah

dikurangi belanja pegawai negeri sipil

daerah.

2. kriteria khusus, yang dirumuskan

berdasarkan peraturan perundang-

undangan yang mengatur

penyelenggaraan otonomi khusus dan

karakteristik daerah, yaitu :

a. Peraturan Perundangan, dimana

daerah-daerah yang menurut

ketentuan peraturan perundangan

diprioritaskan mendapat alokasi

DAK, serta seluruh daerah

tertinggal diberikan kebijakan untuk

mendapatkan alokasi DAK.

b. Karakteristik daerah, yang meliputi

daerah pesisir dan kepulauan,

daerah perbatasan dengan negara

lain, daerah tertinggal/terpencil,

daerah yang termasuk dalam

kategori daerah ketahanan pangan,

daerah rawan bencana, dan daerah

pariwisata.

3. kriteria Teknis, yang disusun

berdasarkan indikator-indikator yang

dapat menggambarkan kondisi sarana

dan prasarana yang akan didanai dari

DAK.

Implementasi atas ketiga kriteria di atas

dapat dijelaskan pada Gambar 1 di bawah ini.

Penjelasan atas Bagan:

1. Jika suatu daerah IFN-nya<1, maka

berdasarkan kriteria umum daerah

tersebut layak untuk mendapatkan DAK,

demikian sebaliknya untuk daerah yang

IFN-nya>1.

2. Bagi daerah yang IFN-nya>1, masih

dimungkinan layak untuk mendapatkan

alokasi DAK, apabila:

a. Berdasarkan peraturan perundang-

an termasuk dalam kategori

daerah-daerah di provinsi Papua.

UU mengenai Otonomi Khusus di

Provinsi Papua mengamanatkan

bahwa seluruh daerah di provinsi

Papua diprioritaskan untuk

mendapatkan alokasi DAK.

b. Seluruh daerah yang termasuk

sebagai daerah tertinggal

diprioritaskan mendapatkan alokasi

DAK.

3. Apabila suatu daerah dengan IFN>1

dan daerah tersebut juga tidak termasuk

dalam kategori daerah berdasarkan

butir 2 di atas, maka dilihat terlebih

dahulu kharakteristik daerahnya yang

ditunjukkan dengan IKW. IKW ini digabung

dengan IFN menjadi IFW, dan untuk

selanjutnya apabila IFW>1, maka daerah

tersebut layak mendapatkan alokasi

DAK dari sisi kriteria umum dan kriteria

khusus. Apabila dengan IFW ini layak

namun pada bidang tertentu daerah

tersebut tidak mempunyai infrastruktur

Gambar 1Mekanisme Perhitungan Alokasi DAK

Page 11: Buletin defis 02   djpk

Media defis 11

Laporan Utama

DAK untuk masing-masing daerah dan

masing-masing bidang.

PERKEMBANGAN ALOKASI DAN BIDANG YANG DIDANAI DARI DAKKetika baru pertama kali dialokasikan pada

tahun 2003, dialokasikan DAK sebesar

Rp2,3 triliun untuk mendanai 4 bidang

DAK, yaitu Pendidikan, Kesehatan, Jalan,

Irigasi, dan Prasarana Pemerintahan. Jumlah

ini meningkat setiap tahunnya menjadi

Rp24,8 triliun pada tahun 2009, yang berarti

mengalami peningkatan 987 persen. Pada

tahun 2010,besaran alokasi DAK di APBN

mengalami penurunan menjadi Rp21,1 triliun.

Selanjutnya, pada tahun 2011 dan 2012

terjadi kenaikan DAK walaupun tidak secara

signifikan. Secara lebih jelas, perkembangan

alokasi DAK tersebut dapat dilihat pada

Tabel 1 dan Gambar 2 di bawah ini.

Selanjutnya, pada tahun 2012 dialokasikan

DAK sebesar Rp25,1 triliun untuk mendanai

kegiatan DAK di 19 bidang, yaitu: 1.

Pendidikan; 2. Kesehatan; 3. Keluarga

Berencana; 4. Infrastruktur Jalan; 5.

Infrastruktur Irigasi; 6. Infrastruktur Air

Minum; 7. Infrastruktur Sanitasi; 8. Prasarana

Pemerintahan Daerah; 9. Kelautan dan

Perikanan; 10. Pertanian; 11. Lingkungan

Hidup; 12. Kehutanan; 13. Sarana dan

Prasarana Daerah Tertinggal; 14. Sarana

Perdagangan; 15. Transportasi Perdesaan; 16.

Sarana dan Prasarana Kawasan Perbatasan;

17. Listrik Perdesaan; 18. Perumahan dan

Permukiman; 19. Keselamatan Transportasi

Darat.

Selanjutnya, jumlah daerah yang menerima

alokasi DAK dari tahun ke tahun juga

mengalami penambahan. Jika pada

tahun 2008 terdapat 25 provinsi dan 451

kabupaten/kota yang menerima DAK, maka

yang rusak untuk bidang tersebut, maka

daerah tersebut tidak akan mendapatkan

DAK pada bidang tersebut.

4. Apabila dengan IFW inipun tidak layak,

maka masih dimungkinkan layak apabila

ketika digabung dengan IT-nya dan

digabung menjadi fungso IFWT yang

menunjukkan nilai >1, maka daerah

tersebut dianggap layak menerima

alokasi DAK.

5. Pada tahap kedua, setelah diketahui

daerah-daerah yang layak mendapatkan

alokasi DAK, maka dilakukan perhitungan

besaran alokasi masing-masing daerah

dengan menyusun Bobot Daerah

yang merupakan pencerminan IFWT

dikalikan dengan IKK (indeks kemahalan

konstruksi).

6. Bobot Dearah tersebut dikalikan dengan

pagu DAK masing-masing bidang

sehingga akan diketahui besaran alokasi

Tabel 1Dana Alokasi Khusus, Tahun 2003 – 2012 (dalam miliar rupiah)

No Bidang 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012

1 Pendidikan 625,00 652,60 1.221,00 2.919,53 5.195,29 7.015,42 9.334,88 9.334,88 10.041,30 10.041,30

2 Kesehatan 375,00 456,18 620,00 2.406,80 3.381,27 3.817,37 4.017,37 2.829,76 3.000,80 3.005,93

3 Infrastruktur Jalan 842,50 839,05 945,00 2.575,71 3.113,06 4.044,68 4.500,92 2.810,21 3.900,00 4.012,76

4 Infrastruktur Irigasi 338,50 357,20 384,50 627,68 858,91 1.497,23 1.548,98 968,40 1.311,80 1.348,51

5 Infrastruktur Air Minum 203,50 608,00 1.062,37 1.142,29 1.142,29 357,23 419,60 502,49

6 Infrastruktur Sanitasi 357,23 419,60 463,65

7 Kelautan Perikanan 305,47 322,00 775,68 1.100,36 1.100,36 1.100,36 1.207,84 1.500,00 1.547,12

8 Prasarana Pemerintah 88,00 228,00 148,00 448,68 539,06 362,00 562,00 386,25 400,00 444,50

9 Pertanian 170,00 1.094,88 1.492,17 1.492,17 1.492,17 1.543,63 1.806,10 1.879,59

10 Lingkungan Hidup 112,88 351,61 351,61 351,61 351,61 400,00 479,73

11 KB 279,01 329,01 329,01 368,10 392,26

12 Kehutanan 100,00 100,00 250,00 400,00 489,76

13 Prasarana Daerah Tertinggal 190,00 300,00 315,50 356,94

14 Perdagangan 150,00 107,32 300,00 345,13

15 Keselamatan Transportasi Darat 100,00 131,62

16 Listrik Pedesaan 150,00 190,64

17 Perumahan Dan Permukiman 150,00 191,24

18 Sarpras Kawasan Perbatasan 100,00 121,39

19 Transportasi Perdesaan 150,00 171,39

Jumlah Total Bidang 5 6 8 9 9 11 13 14 19 19

Jumlah Total Pagu 2.269,00 2.838,50 4.014,00 11.569,80 17.094,10 21.202,14 24.819,59 21.133,38 25.232,80 26.115,95

Page 12: Buletin defis 02   djpk

12 Media defis

Laporan Utama

pada tahun 2012 bertambah menjadi 32

provinsi, 488 kabupaten/kota. Bertambahnya

jumlah daerah yang menerima alokasi DAK

tersebut terutama disebabkan antara lain

oleh adanya penambahan daerah otonom

baru akibat pemekaran. Perkembangan

jumlah daerah penerima DAK tersebut dapat

dilihat pada tabel 2 di samping.

Walaupun jumlah daerah yang menerima

DAK mengalami peningkatan, namun rata-

rata alokasi yang diterima oleh masing-

masing daerah kabupaten/kota mengalami

peningkatan, yaitu sebesar 45,32 persen

pada trahun 2008 menjadi 50,79 perrsen

pada tahun 2012.

Sementara itu, proporsi DAK dalam Dana

Perimbangan juga tidak terlalu besar, yaitu

sekitar 6% pada tahun 2011 dan menurun

menjadi sekitar 5% pada tahun 2012. Hal ini

tentu saja tidak akan secara signifikan dapat

mengubah pola belanja di daerah. Dengan

kata kata lain, harapan yang terlalu besar

pada DAK seperti bertolak belakang dengan

ketersediaan anggaran di APBN. Gambar 3

dapat menjelaskan kondisi tersebut.

DISKURSUS MENGENAI DAK

1. Top down vs bottom up

Dalam proses pengalokasian DAK lebih

banyak dilakukan dengan pendekatan top

down. Hal ini sejalan dengan DAK dalam

kaitannya dengan prioritas nasional. Jika

DAK didasarkan atas kebutuhan daerah,

maka mekanisme bottom up akan lebih pas.

Selain itu, perhitungan alokasi DAK yang

menggunakan kriteria umum, khusus, dan

teknis juga tidak dimunginkan DAK bersifat

bottom up. Implementasi atas ketiga kriteria

tersebut membutuhkan indikator-indikator

yang dapat digunakan untuk penyusunan

indeks dari kriteria-kriteria dimaksud. Hal

ini berarti bahwa “data” merupakan elemen

utama dalam perhitungan alokasi DAK.

Dengan demikian, penyediaan data-data

dimaksud dilakukan oleh masing-masing

kementeriam/lembaga terkait untuk data

kriteria khusus dan teknis, sedangkan data

kriteria umum menggunakan data APBD.

Dalam prakteknya, pelaksanaan DAK

menggunakan pendekatan campuran, antara

top down dan bottom up. Hal ini bisa dilihat

pada saat proses perencanaan yang dimulai

dari musrenbangnas. Pada tahapan ini,

daerah mengusulkan beberapa kegiatan yang

merupakan kebutuhan daerah, dan untuk

selanjutnya akan dilakukan penyesuaian

dengan kegiatan-kegiatan yang merupakan

bagian dari prioritas nasional. Selanjutnya,

pada saat dilakukan perhitungan alokasi

DAK lebih banyak bersifat top down dengan

mendasarkan diri pada data-data sesuai

dengan kriteria yang bersifat bottom up karena

data dimaksud bersumber juga dari daerah.

2. Prioritas nasional vs kebutuhan daerah

Beberapa daerah menyampaikan

permasalahan mengenai alokasi DAK yang

dialokasikan tidak sesuai dengan kebutuhan

daerah. Terhadap hal ini, bisa benar bisa juga

tidak. Dikatakan benar apabila input data

yang digunakan dalam perhitungan alokasi

kurang akurat, maka dimungkinkan akan

terjadi hal demikian. Dikatakan tidak benar

apabila menurut pusat masih dimunginkan

untuk dilakukan kegiatan tersebut namun

menurut daerah tidak sesuai dengan

kebutuhan. Dalam hal ini, ada baiknya

Tabel 2Alokasi dan Jumlah Daerah Penerima DAK, 2008-2012

2008 2009 2010 2011 2012

Alokasi Provinsi 762.51 1,360.47 829.05 1.305,46 1.331,39

Alokasi Kab/Kota 20,439.64 23,459.12 19,926.72 23.927,34 24.784,56

Jumlah Alokasi Nasional 21,202.14 24,819.59 20,755.77 25.232,80 26.115,95

Provinsi Penerima DAK 25 29 32 32 32

Kab/Kota Penerima DAK 451 477 472 488 488

Rata-rata alokasi Kab/Kot 45.32 49.18 42.22 49,03 50,79

Rata-rata alokasi Nasional 44.54 49.05 41.18 48,52 50,22

Sumber : PMK Alokasi DAK, data diolah

Gambar 2Dana Alokasi Khusus, Tahun 2003 – 2012

Page 13: Buletin defis 02   djpk

Media defis 13

Laporan Utama

apabila kembali kita merujuk pada konsep

specific fund dimana kegiatan yang merupakan

prioritas nasional tersebut kadang-kadang

memang tidak sesuai dengan kebutuhan

daerah. Hal ini tidak berarti kegiatan yang

sudah dialokasikannya pendanaannya dari

DAK tersebut tidak dapat dilakukan oleh

daerah. Daerah harus melakukan kegiatan

tersebut walaupun tidak sesuai dengan

kebutuhan daerah, namun pemerintah tetap

berkeyakinan bahwa hal tersebut merupakan

prioritas nasional yang harus dilaksanakan di

daerah.

3. Fiscal oriented vs technical oriented

Perbedaan cara pandang terhadap

DAK antara Kementerian Keuangan dan

Kementerian Teknis cukup terasa ketika

orang mulai bicara tentang “pengalihan”

sebagaimana diatur dalam Pasal 108 UU 33

Tahun 2004. Pengalihan anggaran K/L yang

dipergunakan untuk mendanai kegiatan

yang sudah menjadi urusan daerah secara

bertahap ke DAK terkadang di”gondeli”

mengingat ketika masuk dalam DAK, maka

harus mengikuti ketentuan tentang DAK. K/L

tidak bisa menentukan daerah-daerah mana

yang akan diintervensi melalui DAK karena

harus memenuhi kriteria umum, khusus,

dan teknis. Walaupun secara filosofi DAK

terutama ditujukan untuk daerah-daerah

dengan kemampuan keuangan daerah

yang relatif rendah, namun ketentuan

perundangan tidak cukup kuat untuk

mengikat hal tersebut. Sebagai contoh

adalah penentuan daerah yang dapat DAK

di dalam UU disebutkan harus memenuhi

kriteria umum, kriteria khusus, dan kriteria

teknis. Mana yang mempunyai peran besar

adalah tergantung dari kebijakan nasional

pada saat kebijakan itu dirumuskan.

Prakteknya adalah ketiga kriteria harus

dipakai dalam penentuan daerah tertentu

yang layak dapat alokasi DAK.

Sebagai bagian integral dari kebijakan

nasional tentang perimbangan keuangan,

maka DAK harus diletakkan dalam porsinya

untuk membantu daerah dengan kemampuan

keuangan yang relatif rendah (fiscal oriented).

Di sisi yang lain, terdapat pandangan

bahwa sebagai bagian dari instrumen untuk

menjaga kualitas pelayanan dasar di daerah

yang menjadi bagian dari prioritas nasional,

maka DAK mestinya tetap diarahkan untuk

memperbaiki sarana prasarana dasar di

daerah yang menjadi prioritas nasional

sepanjang di daerah tersebut masih banyak

infrastruktur yang rusah (technical oriented).

Menurut penulis, dikotomi atas 2 hal

tersebut adalah kurang pas karena justru

akan mengaburkan makna otonomi dimana

pembagian wewenang dan atau/urusan juga

mengindikasikan pembagian akan tanggung

jawab dalam pendanaannya. Makanya dalam

praktek alokasi DAK selalu digunakan ketiga

kriteria secara bersama-sama karena ketiga

kriteria tersebut sejalan dengan tujuan DAK.

4. Dana pendamping vs non- dana pendamping

Dana pendamping yang dipersyaratkan

sekurang-kurangnya 10% dari total DAK

yang diterima oleh suatu daerah terasa

memberatkan daerah terutama daerah-

daerah yang kemampuan keuangan

daerahnya relatif rendah. Tujuan utama

dari dana pendamping adalah untuk

menunjukkan komitmen daerah terhadap

pelaksanaan kegiatan yang didanai dari DAK.

Isu keberatan dana pendamping ini terdengar

kencang dalam 4 tahun terakhir ketika dana

transfer lainnya dari pusat yang diterima

oleh daerah peningkatannya tidak signifikan

apabila dibandingkan dengan beberapa

tahun sebelumnya. Secara berkelakar sering

dikatakan bahwa kewajiban penyediaan dana

pendamping oleh daerah tersebut seperti

“jeruk makan jeruk”. Hal ini benar adanya

mengingat penyediaan dana pendamping

tersebut biasanya diambilkan dari DAU atau

DBH yang notabene merupakan dana transfer

dari pusat. Agak kontradiktif memang kalau

kita melihat arah kebijakan DAK yang lebih

banyak ditujukan untuk membantu daerah-

daerah dengan kemampuan keuangan relatif

rendah namun tetap mensyaratkan adanya

penyediaan dana pendamping minimal

Gambar 3 Rincian Dana Perimbangan Tahuan 2011 dan 2012

Page 14: Buletin defis 02   djpk

14 Media defis

Laporan Utama

10%. Seiring dengan semakin banyaknya

alokasi DAK yang dialokasikan, maka dana

pendamping ini akan semakin menjadi

persoalan tersendiri. UU memang mengatur

mengenai daerah-daerah yang mempunyai

kemampuan daerah tertentu tidak diwajibkan

menganggarkan dana pendamping. Namun

dalam penjelasannya disebutkan bahwa

daerah dengan kemampuan keuangan daerah

tertentu adalah daerah yang penerimaan

umum APBDnya dikurangi dengan belanja

pegawai sama dengan nol atau negatif. Tentu

saja kondisi yang demikian tidak ditemui di

daerah.

5. Fisik vs non fisik

Pertimbangan utama mengapa DAK

digunakan untuk kegiatan yang bersifar fisik

adalah DAK pada saat pertama dialokasikan

tidak terlalu besar jumlahnya dan agar

mudah diukur pencapaian ouputnya. Namun

seiring dengan semakin besarnya alokasi

DAK tersebut, serta sejalan dengan dinamika

perubahan atas peraturan perundangan

lainnya (misalnya PP 38 Tahun 2007), ada

usulan bahwa DAK seyogyanya tidak hanya

untuk fisik saja, namun bisa juga untuk

kegiatan yang bersifat non-fisik.

PP 55 Tahun 2005 mengatur mengenai

peruntukan DAK untuk sarana dan prasarana

dasar dengan mengutamakan kegiatan

yang bersifat fisik. Menurut penulis, kata

“mengutamakan” bisa diartikan bahwa DAK

suatu saat bisa juga untuk kegiatan yang

bersifat non-fisik. Hanya saja, rumusan

mengutamakan fisik tersebut tidak konsisten

dengan penjelasan mengenai fisik yaitu

kegiatan yang mempunyai umur ekonomi

yang panjang. Biasanya kegiatan yang

mempunyai umur ekonomis yang panjang

identik dengan belanja modal yang juga fisik.

Diskresi untuk menginterpretasikan DAK

bisa untuk non-fisik juga terkendala dengan

UU 34 Tahun 2004 yang menyebutkan

bahwa penggunaan dana pendamping harus

untuk fisik. Secara berseloroh orang akan

mengatakan, lha dana pendampingnya saja

untuk fisik, mosok DAK-nya untuk non-fisik.

6. Open menu vs detil menu

Beberapa kementerian/lembaga menerbitkan

petunjuk teknis yang detil, sebagian

lainnya bersifat open menu. Menu kegiatan

yang detil menyebabkan beberapa daerah

kesulitan dalam melaksanakan program

kegiatan. DAK Pertanian adalah contoh

DAK dengan kegiatan yang bersifat pilihan,

dan memberikan kebebasan daerah untuk

memilih sesuai dengan prioritas dan

kebutuhan daerah. Sementara itu, penetapan

persentase tertentu untuk beberapa

pegiatan yang bersifat fisik dan mutu di DAK

Pendidikan dianggap oleh beberapa daerah

tidak bisa melaksanakan kegiatan tersebut

sesuai dengan kondisi daerah.

7. One year project vs multi years project

DAK selama ini adalah bersifat satu tahun

anggaran, yang berarti harus selesai pada

akhir tahun anggaran berkenaan, dan paling

lambat dapat dimanfaatkan pada awal

tahun anggaran berikutnya. Sejalan dengan

kebijakan kebijakan kerangka pembangunan

jangka menengah (medium term expenditure

framework, MTEF), DAK diharapkan dapat

dirumuskan dalam kerangka MTEF tersebut.

8. Banyak bidang DAK vs sedikit Bidang DAK

Idealnya memang DAK hanya terdiri

dari beberapa bidang yang benar-

benar merupakan prioritas nasional dan

merupakan kebutuhan dasar di masyarakat.

Namun dalam perkembangannya mengalami

penambahan bidang yang signifikan. Jika

pada tahun 2003 baru 5 bidang, maka pada

tahun 2010 sudah mencapai 14 bidang, dan

bahkan pada tahun 2011 sudah mencapai 19

bidang yang didanai dari DAK. Dari sisi norma

perencanaan, menurut penulis semestinya

DAK hanya diperuntukkan bagi beberapa

bidang saja. Namun demikian, banyaknya

bidang yang didanai dari DAK tidak serta

merta salah. UU tidak menyebutkan istilah

“bidang” namun “kegiatan khusus”. Kegiatan

khusus dijelaskan sebagai kegiatan yang

sesuai dengan fungsi di dalam APBN dan

merupakan bagian dari prioritas nasional.

Karena pendekatannya adalah “kegiatan”

yang merupakan bagian dari prioritas

nasional, maka ada kesan bahwa semua

kegiatan itu menjadi bagian dari prioritas

nasional. Padahal kita tahu bahwa kegiatan

yang dijabarkan sesuai dengan fungsi

dalam APBN itu banyak sekali, dan apabila

dikaitkan dengan prioritas nasional akan

menjadi terkait walaupun keterkaitannya

agak jauh.

Banyaknya bidang DAK ini sebenarnya

juga tidak terlepas dari konsekuensi

implementasi PP 38 tahun 2007, juga adanya

amanat UU mengenai pengalihan anggaran

K/L yang dipergunakan untuk mendanai

kegiatan yang sudah menjadi urusan daerah

ke DAK. Dengan segala keterbatasan yang

ada, DAK harus menyediakan dirinya untuk

menampung “pengalihan” tersebut.

9. Sektoral vs kewilayahan

Diskursus mengenai hal ini sebenarnya

lebih tepat apabila diletakkan pada tataran

wacana diskusi dan bukan pada tataran

pengambilan kebijakan. Mengapa? Sejak

tahun 2003 hingga tahun 2010 selalu

digunakan pendekatan sektoral. Bidang

DAK identik dengan nama sektor, dan hal

tersebut sudah teruji sekian tahun. Ketika

DAK sudah melintasi wilayah “kewilayahan”

untuk menyebut suatu bidang, maka hal

tersebut dirasakan agak mengganggu

harmonisasi penyusunan kegiatan di tingkat

nasional maupun regional. Sebagai contoh,

tahun 2011 direncanakan alokasi DAK

Kawasan Perbatasan. Kegiatannya hampir

sama dengan DAK sarana dan Prasarana

Daerah Tertinggal. Sebagian dari Kawasan

Perbatasan adalah daerah tertinggal.

Untuk menghindari adanya overlapping

Page 15: Buletin defis 02   djpk

Media defis 15

Laporan Utama

pendanaan, maka dirumuskan lokasi DAK

Kawasan Perbatasan hanya untuk kawasan

perbatasan di wilayah Kalimantan, dan

untuk kegiatan yang sama dengan DAK

Sarana dan Prasarana Daerah tertinggal

diperuntukkan bagi daerah tertinggal di luar

kawasan perbatasan di provinsi Kalimantan.

Ada kesan terlalu menyederhanakan

persoalan dalam menyusun kebijakan. Hal

ini dikhawatirkan juga akan mendistorsi

peran Kementerian Pembangunan Daerah

Tertinggal dalam melakukan mainstreaming

kegiatan di berbagai sektor untuk

memajukan daerah tertinggal. Ketika DAK

Sarana dan Prasarana Daerah Tertinggal

tidak boleh mengintervensi daerah tertinggal

yang berada dalam kawasan perbatasan

tersebut, maka akan ada pertanyaan ada apa

ini, atau dengan meminjam judul lagu Peter

Pan, maka Ada Apa Denganmu.

Masalahnya adalah penyebutan bidang-

bidang yang akan didanai dari DAK sudah

ditulis dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP)

sehingga tidak ada celah lagi untuk melakukan

penyesuaian bidang tersebut. Sebenarnya

tidak ada keharusan menulis bidang

secara eksplisit di RKP. PP 55 Tahun 2005

menyebutkan bahwa berdasarkan prioritas

nasional sebagaimana tertuang dalam RKP,

Menteri Teknis mengusulkan kegiatan kepada

Menteri Keuangan. Mekanisme kebijakan ini

tidak bisa berjalan dengan baik mengingat

dalam RKP juga sudah disebut jenis kegiatan

yang akan didanai dari DAK. Jika demikian,

kegiatan apa lagi yang harus diusulkan oleh

Menteri Teknis kepada Menteri Keuangan?

10. Membantu vs menggantikan

Isu ini bermula karena siklus penganggaran

di daerah tidak sama dengan siklus

penganggaran DAK di pusat. Bermula pada

saat sekitar Juli (alokasi DAK belum diketahui)

disusun KUA-PPAS di daerah. Beberapa

daerah sudah menganggarkan APBDnya

untuk kegiatan-kegiatan yang merupakan

bagian dari kegiatan yang akan didanai dari

DAK. Secara sederhana dapat diilustrasikan

begini, pada KUA-PPAS dianggarkan dana

Rp20 miliar untuk kegiatan DAK Pendidikan.

Selanjutnya, pada saat selesai pembahasan

dengan DPR (biasanya akhir bulan Oktober)

diketahui DAK Pendidikan untuk daerah

tersebut Rp25M, maka biasanya daerah

tersebut akan menggeser/mengurangi

alokasi anggarannya tersebut ke sektor

lainnya. Karena prinsip DAK adalah

“membantu”, mestinya bantuan dari APBN

tersebut digunakan untuk menambah alokasi

anggaran yang sudah dianggarkan sehingga

mampu mempercepat proses pembangunan

di bidang pendidikan bagi daerah tersebut,

dan bukan malah menggantikan.

DAK KE DEPANKonsep DAK ke depan bisa saja dimulai

dari proses berpikir untuk mengembangkan

permasalahan atau isu-isu di atas. Namun

demikian, ada tiga pernyataan mendasar

yang menurut saya perlu untuk diperhatikan,

yaitu (i) mempertahankan konsep DAK

dengan memberi ruang bagi munculnya jenis

transfer lainnya yang baru; (ii) memperluas

dan/atau mengembangkan konsep DAK yang

ada sekarang, atau (iii) re-design DAK. Mau

memilih yang mana? Ini hanyalah sebuah

pilihan, bisa juga dipilih di luar ketiga

hal tersebut. Untuk menentukan pilihan

tersebut, kita harus bisa menjawab terlebih

dahulu kira-kira konsep perimbangan

keuangan ke depan nantinya seperti apa?

Apakah akan meletakkan DAK sebagai satu

kesatuan yang utuh dalam posisinya sebagai

bagian dari jenis Dana Perimbangan, atau

justru ingin menjadikan DAK lebih exclusive

lagi dalam kaitannya dengan kepentingan

prioritas nasional? Atau, DAK akan diarahkan

untuk mendorong pencapaian standar

pelayanan minimum (SPM)?

1. Mempertahankan konsep DAK

Mempertahankan konsep DAK dalam

pengertian ini adalah “kembali ke khittah”.

Jika ini adalah interpretasinya, maka mari

kita lihat kembali “Asbabun Nuzul” atau

sebab-sebab dialokasikannya DAK dan

dirumuskannya pasal per pasal dalam UU

34 Tahun 2004 dan PP 55 Tahun 2005.

Sebab-sebab dialokasikannya DAK sudah

dibahas pada subbab posisi DAK dalam

Dana Perimbangan di atas, yaitu membantu

daerah-daerah yang kemampuan keuangan

daerahnya rendah untuk menjaga pelayanan

dasar di daerah yang merupakan bagian dari

prioritas nasional.

Implikasi dari hal tersebut adalah:

a. DAK harus tegas membatasi dirinya

untuk bidang-bidang yang benar-benar

menjadi bagian dari prioritas nasional

saja, misalnya infrastruktur pendidikan,

kesehatan, dan ke-PU-an.

b. DAK harus diletakkan dalam konteks

perimbangan keuangan secara utuh, yang

berarti masih ditujukan untuk “daerah

tertentu” saja terutama daerah-daerah

yang kemampuan keuangannya rendah.

Hal ini juga bisa dilakukan dengan

konsistensi pengukuran kemampuan

keuangan daerah tidak melalui kriteria

umum namun menggunakan peta

kapasitas fiskal.

c. Mengurangi peran kriteria teknis dalam

penentuan “daerah tertentu”, atau

hanya menggunakan kriteria teknis

dalam penentuan besaran alokasi DAK

per daerah per bidang. Hal ini berarti

harus merevisi UU 33 Tahun 2004.

d. Redefinisi kriteria khusus dalam

kaitannya dengan penentuan kelayakan

suatu daerah menerima DAK.

e. Perlu dibangun persepsi bersama bahwa

kewajiban atas kegiatan yang menjadi

bagian dari prioritas nasional dan

sudah menjadi urusan daerah adalah

merupakan tanggung jawab bersama

antara pusat dan daerah, dan bukan

merupakan kewajiban pemerintah pusat

saja.

Page 16: Buletin defis 02   djpk

16 Media defis

Laporan Utama

f. Perlu diatur mekanisme hubungan

koordinasi antar Kementerian/Lembaga

maupun antara K/L Teknis dengan daerah

dalam kaitannya dengan sinkronisasi

pencapaian target Kementerian dengan

beberapa kegiatan di daerah yang masih

terkait dengan pencapaian target K/L

tersebut. Misalnya target penuntasan

ruang kelas SD yang rusak secara

fungsi adalah menjadi tanggung jawab

Kemendiknas, namun beberapa alokasi

DAK Pendidikan dalam penentuan

lokasinya merupakan kewenangan

daerah.

g. Lebih memperkuat peran perencanaan

dan monitoring evaluasi atas

pelaksanaan DAK.

h. Lebih menghormati peran kementerian/

lembaga dalam tahapan-tahapan

perencanaan DAK sampai dengan

evaluasi. Pada level perencanaan tentu

saja Bappenas berperan sebagai leading

sector, sementara pada tahapan alokasi

dan penyaluran adalah Kementerian

Keuangan. Berdasarkan alokasi

tersebut Kementerian Teknis akan

menyusun Petunjuk Teknis Penggunaan

DAK dengan dikoordinasikan oleh

Kemendagri. Pada saat monitoring dan

evaluasi, masing-masing Kementerian

mempunyai peran sendiri-sendiri sesuai

dengan kewenangan yang dimiliki. Yang

perlu diperkuat adalah konsistensi atas

pelaksanaan koordinasi dalam rangka

efisiensi dan efektivitas pelaksanaan

monitoring dan evaluasi.

2. Mengembangkan konsep DAK

Dalam benak penulis, mengembangkan

konsep adalah merupakan telaah atas

permasalahan yang terjadi dalam upaya

memperkuat DAK di masa mendatang.

Dalam hal ini, DAK masih tetap diarahkan

untuk prioritas nasional saja namun lebih

mengedepankan aspek teknis, atau saya

ingin mengatakan “DAK yang lebih exclusive”.

DAK diarahkan untuk mempertahankan dan/

atau meningkatkan kualitas pelayanan dasar

yang menjadi prioritas nasional di daerah.

Jadi idenya dibalik dengan rekomendasi

butir 1. Kalau pada rekomendasi butir 1 di

atas dilihat terlebih dahulu peta kapasitas

fiskal per daerah, baru dilihat kebutuhan

teknisnya, maka pada konsep ini dilihat

terlebih dahulu kebutuhan teknisnya baru

kemudian dilihat kemampuan fiskal masing-

masing daerah dalam mendanai kebutuhan

teknis tersebut. Setelah itu, baru dilakukan

perhitungan alokasi per daerah dengan

melihat kebutuhan teknis dan kemampuan

fiskal. Jika ini dilakukan, lebih sederhana dan

proporsional dari sisi alokasi berdasarkan

kebutuhan teknis dan kemampuan fiskal.

Di sini bisa dihilangkan kriteria khusus karena

kriteria khusus tersebut dapat menyebabkan

hasil perhitungan alokasi menjadi bias, dan

juga dapat memberi celah bagi masuknya

DAK yang bersifat kewilayahan.

Selain itu, harus dipikirkan juga untuk:

a. DAK sebagai bagian dari MTEF, agar DAK

lebih predictable.

b. Dana Pendamping, bisa dihapus atau

tetap ada namun memperhatikan

kemampuan keuangan daerah melalui

pengelompokan kemampuan keuangan

daerah dalam kaitannya dengan

penentuan besaran dana pendamping

dari masing-masing kelompok tersebut.

c. Penggunaan untuk non fisik perlu dikaji

terutama sejauhmana kebutuhan non

fisik dari masing-masing K/L dalam

mendukung kegiatan yang didanai dari

DAK.

3. Mendesign kembali konsep DAK

Mengambil pengalaman negara-negara

lain dalam kaitannya dengan transfer

yang bersifat conditional grant, maka

DAK bisa dipergunakan untuk mendorong

tercapainya standar pelayanan minimum,

dan mengkompensasi efek “rembesan”

(benefit/cost spillovers) dari investasi barang

modal yang menjadi prioritas. Terkait dengan

hal ini, perkembangan sekarang sebenarnya

sudah pada track yang benar, yaitu sudah

banyaknya SPM yang telah ditetapkan oleh

masing-masing K/L.

Ke depan ada baiknya juga ada pemikiran

mengenai transfer di Indonesia terutama

diskursus mengenai penekanan jenis

transfer, akan lebih banyak ke conditional

atau unconditional. Sementara itu, sejalan

dengan perkembangan perubahan atas

ketentuan perundangan sebagai konsekuensi

logis dari pelaksanaan otonomi daerah

adalah telah ditetapkannya SPM di masing-

masing K/L. Jika ini yang menjadi dasar bagi

pelaksanaan transfer, maka bentuk utama

dari grant ini adalah closed ended matching

grant. Keberpihakan saya terhadap konsep

ini adalah setelah melihat implementasi atas

transfer di Indonesia yang secara konsep

mengusung tema kesenjangan fiskal, namun

dalam prakteknya tema tersebut seperti never

ending. Menyelesaikan persoalan kesenjangan

fiskal tidak akan pernah selesai. Daerah

dengan kapasitas fiskal merasa masih kurang

juga alokasinya, apalagi dengan daerah

yang kapasitas fiskalnya rendah. Persoalan

utama bisa saja tidak pada ketimpangan

kapasitas fiskal, namun pada ketidaksamaan

tingkat pelayanan masyarakat antardaerah.

Hal ini juga yang menjadi isu utama dari

transfer di negara-negara maju lainnya

seperti di Amerika. Apakah di Indonesia juga

berkembang isu seperti ini?

Ubaidi Socheh Hamidi

Ke depan ada baiknya juga ada

pemikiran mengenai transfer di

Indonesia terutama diskursus

mengenai penekanan jenis

transfer, akan lebih banyak ke

conditional atau unconditional

Page 17: Buletin defis 02   djpk

Media defis 17

Laporan Utama

Secara umum, transfer yang bersifat

khusus (specific purpose transfer) mempunyai

tujuan untuk memberikan insentif bagi

pemerintah pada level sub-nasional untuk

menyelenggarakan kegiatan tertentu

(khusus) yang biasanya merupakan

prioritas pemerintah nasional (Anwar

Shah, 2007 dan Robin Boadway, 2007).

Di sinilah esensi intervensi pemerintah

nasional dalam konteks desentralisasi

penyelenggaraan pemerintahan, yaitu

memaksa pemerintah pada level sub-

nasional untuk melaksanakan kegiatan

tertentu yang merupakan prioritas

nasional.

UU 33/2004 mendefinisikan desain

specific purpose grant dalam DAK, dimana

“kekhususan” tidak hanya dimaknai

“kegiatan tertentu yang merupakan

prioritas nasional”, namun juga dimaknai

sebagai “daerah tertentu” sehingga tidak

seluruh daerah bisa mendapatkan DAK.

Landasan pemikiran pemaknaan “daerah

tertentu” adalah bahwa bagi daerah yang

sudah cukup mampu secara financial

seharusnya daerah tersebut telah dapat

mendanai kegiatan khusus tersebut dari

sumber pendapatan yang lain (DBH,

DAU atau PAD). Dalam konteks ini dapat

dikatakan bahwa DAK juga mengemban

misi ekualisasi (financial) yang ditujukan

untuk memeratakan kualitas layanan

publik. Hal ini kemudian juga tercermin

dalam formulasi DAK yang mengambil

salah satu kriterianya adalah kemampuan

fiskal daerah, dimana daerah yang layak

mendapatkan DAK adalah daerah dengan

kapasitas fiskal yang rendah.

Kelemahan dan kelebihan DAK saat iniDalam implementasinya, DAK menghadapi

kendala yang berat untuk bisa mewujudkan

tujuannya sebagaimana disebutkan di

atas, yaitu tujuan pencapaian prioritas

nasional dan tujuan pemerataan.

Pertama, pencapaian prioritas nasional

menjadi tidak jelas karena dari tahun ke

tahun justru semakin tidak jelas prioritas

yang ingin dicapai. Hal ini ditengarai

antara lain dengan semakin banyaknya

bidang yang didanai oleh DAK (hingga

mencapai 19 bidang di tahun 2012).

Letak prioritas nasional menjadi kabur,

salah satunya adalah karena banyak

kementerian dengan alasannya masing-

masing berkehendak untuk mempunyai

DAK di bidang masing-masing. kedua,

tujuan untuk menjadi penyeimbang pada

akhirnya juga tidak sepenuhnya tercapai,

karena di dalam implementasinya faktor

kapasitas fiskal ternyata tidak mempunyai

peran yang cukup signifikan. Peran

faktor kapasitas fiskal yang rendah ini

diakibatkan oleh dua hal, yaitu i) formulasi

dengan menggunakan filter berjajar,

dimana yang tidak lolos dalam saringan

faktor kapasitas fiskal masih diikutkan lagi

DESAIN DAK KE DEPAN:

Apa yang perlu diperbaiki?

Untuk menjembatani begitu banyaknya kepentingan dan kebutuhan tersebut, maka perubahan desain DAK harus mempunyai payung hukum yang kuat. Untuk itulah, perubahan desain DAK, tidak bisa tidak harus

dilakukan melalui perubahan UU 33/2004. Seiring dengan dimulainya usulan Pemerintah untuk merevisi UU dimaksud, maka perubahan desain DAK juga dimasukkan sebagai salah satu agenda perubahan.

Berdasarkan hasil diskusi dengan stakeholder, maka terdapat dua hal penting yang menjadi landasan penyusunan desain DAK yang baru dalam revisi UU 33/2004, yaitu i) DAK harus mampu menyederhanakan berbagai jenis specific grant yang ada dalam system transfer di Indonesia saat ini; dan ii) desain DAK yang

baru harus mampu meminimalisir kelemahan-kelemahan yang terjadi dalam pelaksanaan DAK saat ini.

Page 18: Buletin defis 02   djpk

18 Media defis

Laporan Utama

dalam saringan kedua dan ketiga; ii) bobot

faktor kapasitas fiskal yang relatif rendah.

Di samping kelemahan tersebut di atas,

masih terdapat beberapa kendala juga

dalam detail pelaksanaan DAK. Kendala

yang paling sering dikeluhkan oleh daerah

adalah petunjuk teknis dari K/L yang

seringkali terlambat disampaikan (terlambat

penyusunan maupun sosialisasinya)

menyebabkan keterlambatan bagi daerah

dalam merealisasikannya. Selain itu,

sebagian besar Juknis merujuk kepada

“input based conditional transfer”, hal ini

menyebabkan Juknis menjadi sangat

rigid. Rigiditas petunjuk teknis seringkali

menyebabkan alokasi DAK menjadi

tidak dapat dilaksanakan secara efisien

karena tidak sesuai dengan kondisi dan

kebutuhan daerah. Hal krusial lain yang

menjadi kelemahan DAK adalah lemahnya

system dan mekanisme monitoring dan

evaluasi pelaksanaan DAK sehingga sulit

untuk mendeteksi apakah DAK telah

berhasil mencapai tujuan nasional atau

tidak. Hal lain yang juga sangat sering

mengemuka adalah masalah penyediaan

dana pendamping yang terkadang cukup

memberatkan bagi sebagian daerah

penerima DAK.

Meskipun terdapat beberapa kelemahan

mendasar dari DAK saat ini, namun

ada beberapa hal yang juga merupakan

kelebihan DAK saat ini, yaitu:

1. Mekanisme pencairan/penyaluran DAK

yang relatif sangat simple sehingga

realisasi transfer DAK dari pusat

cenderung tinggi.

2. Bagi sebagian besar daerah, pada

dasarnya DAK telah sangat membantu

kebutuhan pendanaan daerah,

terutama untuk meningkatkan belanja

modal mereka (dalam konteks ini

secara implicit terdapat kecenderungan

bahwa daerah sebenarnya sangat

tergantung pada DAK, hal ini sekaligus

juga merupakan kelemahan DAK).

Langkah untuk memperbaiki DAK Dengan memperhatikan kelemahan yang

ada, maka menjadi sangat penting untuk

menyusun desain baru DAK. Meskipun

demikian, bukanlah hal yang mudah untuk

menyusun desain specific grant yang baik

dan pas dengan kondisi di Indonesia. Hal

ini terjadi karena desain tersebut harus

mampu menjembatani berbagai kepentingan

dan kebutuhan banyak stakeholder, dan

sekaligus harus menjaga akuntabilitasnya.

Stakehoder yang sangat berkepentingan

dengan DAK, tentu saja selain daerah

sendiri adalah Pemerintah Pusat. Di dalam

Pemerintah Pusat sendiri, banyak pihak

yang sangat berkepentingan dengan DAK,

yaitu Kementerian Keuangan, Bappenas,

Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian

Teknis. Demikian juga di daerah, pelaksanaan

DAK akan melibatkan banyak pihak,

yaitu Dinas yang menangani pengelolaan

keuangan, SKPD teknis, Bappeda. Bahkan

mungkin masih ada lagi stakeholder lain yang

berkepentingan, seperti auditor, rekanan

dan juga legislative di Pusat maupun daerah.

Untuk menjembatani begitu banyaknya

kepentingan dan kebutuhan tersebut,

maka perubahan desain DAK harus

mempunyai payung hukum yang kuat.

Untuk itulah, perubahan desain DAK,

tidak bisa tidak harus dilakukan melalui

perubahan UU 33/2004. Seiring dengan

dimulainya usulan Pemerintah untuk

merevisi UU dimaksud, maka perubahan

desain DAK juga dimasukkan sebagai

salah satu agenda perubahan.

Berdasarkan hasil diskusi dengan

stakeholder, maka terdapat dua hal penting

yang menjadi landasan penyusunan

desain DAK yang baru dalam revisi UU

33/2004, yaitu i) DAK harus mampu

menyederhanakan berbagai jenis specific

grant yang ada dalam system transfer

di Indonesia saat ini; dan ii) desain DAK

yang baru harus mampu meminimalisir

kelemahan-kelemahan yang terjadi dalam

pelaksanaan DAK saat ini.

Untuk masalah penyederhanaan system

transfer yang bersifat specific grant, maka

dalam rancangan revisi UU 33/2004 seluruh

jenis transfer yang bersifat diarahkan

penggunaannya dimasukkan ke dalam

DAK, dan tidak ada lagi jenis transfer lain

di luar DBH, DAU dan DAK. Untuk itulah

dalam rancangan revisi UU 33/2004, DAK

akan terbagi ke dalam 3 jenis DAK, yaitu

i) DAK untuk mendorong pencapaian SPM

di bidang-bidang tertentu; ii) DAK untuk

mendorong pencapaian prioritas nasional;

dan iii) DAK untuk kebijakan tertentu yang

diatur dengan peraturan perundangan.

Pada dasarnya semua jenis transfer yang

selama ini ada dalam kelompok “Dana

Penyesuaian” akan masuk ke dalam DAK

jenis ketiga, termasuk pemberian insentif

kepada daerah. Namun demikian untuk

tidak membuka lebar celah terjadinya

“Dana Penyesuaian” yang bersifat ad hoc,

maka untuk bisa masuk ke dalam DAK

jenis ketiga ini kewajiban transfer tersebut

harus dilandasi oleh UU Sektoral (misalnya

UU SIsdiknas yang mengamanatkan

Bantuan Operasional Sekolah).

Sementara, jenis DAK yang kedua adalah

untuk mendukung pencapaian prioritas

nasional, diluar bidang yang telah

diprioritaskan dalam pencapaian SPM

dalam DAK jenis yang pertama. Pada

dasarnya DAK jenis kedua ini hampir sama

dengan DAK yang ada saat ini, namun

desain pengalokasian dan penggunaan

DAK di daerah sedikit berbeda. DAK jenis

kedua ini akan lebih mengedepankan

konsep outcome based sehingga daerah

tidak terikat pada detail input dan output

yang harus dilakukan namun focus pada

pencapaian outcome yang telah ditargetkan.

Kementerian Teknis mengeluarkan

Pedoman Umum penggunaan, bukan

Page 19: Buletin defis 02   djpk

Media defis 19

Laporan Utama

Petunjuk Teknis Pelaksanaan DAK. Namun

demikian, standar mutu input dan output

tetap harus mengacu kepada standar

teknis yang dikeluarkan oleh Kementerian

Teknis.

DAK untuk Mendorong Pencapaian SPMSelanjutnya, secara lebih detail dalam

tulisan ini akan memfokuskan pada

DAK jenis yang pertama, yaitu untuk

mendorong pencapaian SPM di tiga

bidang. Sebagaimana conditional transfer

pada umumnya, maka yang selayaknya

didanai melalui specific grants adalah suatu

urusan lokal yang mempunyai efek spill

over dimana bukan saja warga lokal yang

menikmati fasilitas yang disediakan oleh

pemerintah local namun juga warga di luar

teritori (Bird, RM, 2001 dan Bahl, 2000).

Jenis urusan yang mempunyai spill over

semacam ini biasanya justru merupakan

urusan mendasar yang harus disediakan

layanannya oleh pemerintah, seperti

pendidikan atau kesehatan. Oleh karena

itulah, dalam banyak kasus, hal tersebut

membuat pemerintah pusat mempunyai

kepentingan untuk menjamin agar seluruh

warga masyarakat mendapatkan layanan

di bidang tersebut dengan selayaknya.

Namun mengingat urusan-urusan tersebut

merupakan otoritas daerah, maka

conditional transfer dimaksudkan sebagai

insentif agar pemerintah daerah mampu

menyelenggarakan urusan tersebut dengan

sebaik-baiknya (Anwar Shah, 2007).

Untuk itulah, dalam rencana pengaturan

yang dituangkan dalam draft revisi

UU 33/2004, maka fokus DAK (jenis

pertama) menggunakan pertimbangan, i)

urusan yang mempunyai spill over tinggi;

ii) merupakan prioritas nasional; dan

iii) merupakan kebutuhan dasar dalam

pelayanan public. Atas pertimbangan

ketiga hal tersebut, maka dalam draft

revisi UU 33/2004, DAK difokuskan

kepada upaya pencapaian SPM di tiga

bidang, yaitu pendidikan, kesehatan dan

infrastruktur jalan, air minum, sanitasi

dan irigasi. Bidang-bidang tersebut

merupakan layanan dasar dan juga

menjadi focus conditional transfer di banyak

Negara, bahkan termasuk Negara maju

seperti Australia. Harus diakui bahwa

prioritas nasional mungkin bukan hanya

ketiga hal tersebut, namun setidaknya

disepakati oleh pihak-pihak bahwa ketiga

hal tersebut dalam jangka 10 tahun ke

depan masih akan terus menjadi prioritas

tertinggi dalam Rencana Kerja Pemerintah.

Beberapa point penting dalam

pembaharuan desain DAK jenis pertama

(mendorong pencapaian SPM tiga bidang)

adalah:

1. Pengalokasian DAK secara

keseluruhan diprioritaskan untuk DAK

jenis pertama, selain mandatory transfer

untuk melaksanakan UU (DAK jenis

ketiga). Dalam konteks ini tersirat

bahwa DAK jenis pertama dan ketiga

lebih prioritas dibandingkan dengan

DAK jenis kedua.

2. Kriteria utama penetapan daerah yang

layak adalah berdasarkan kemampuan

keuangan daerah dan indeks

pencapaian SPM.

3. DAK untuk mencapai SPM ini dapat

bersifat medium term hingga 3 tahun

dan bahkan dimungkinkan untuk

dialokasikan kembali setelah jangka 3

tahun telah terlampaui.

4. Penggunaan DAK dengan pendekatan

outcome based, sehingga Kementerian

teknis cukup mengeluarkan pedoman

umum dan bisa berlaku untuk jangka

menengah.

5. Monitoring dan evaluasi DAK

diperkuat secara sistematis dengan

penguatan pengenaan sanksi kepada

daerah yang tidak menyampaikan

laporan penggunaan DAK.

6. Tidak menggunakan dana pendamping

dari daerah.

Point penting di atas pada dasarnya

berusaha menjawab berbagai kelemahan

yang ada pada DAK saat ini. Point

pertama bahwa DAK jenis pertama

adalah prioritas dimaksudkan agar DAK

tetap focus pada hal-hal yang sangat

mendasar saja dan jumlah prioritas

tersebut tidak berkembang menjadi terlalu

banyak. Point kedua dimaksudkan untuk

mengurangi kompleksitas formula DAK

dengan tidak memasukkan unsur “kriteria

khusus”, karena pencapaian SPM tidak

terkait dengan dimensi kewilayahan dan

kekhususan karakteristik daerah namun

lebih kepada pemenuhan kewajiban

pelayanan kepada masyarakat. Di samping

itu, dua kriteria utama, yaitu kemampuan

keuangan dan indeks pencapaian SPM akan

bersifat setara dan tidak dipergunakan

berulang. Hal ini dimaksudkan agar fungsi

dari masing-masing kriteria dapat bekerja

secara optimal. Point ketiga dilandasi oleh

pemikiran sebagai berikut: i) pencapaian

SPM sendiri pada dasarnya bersifat

multi years, karena SPM akan sangat sulit

untuk bisa dicapai hanya dalam waktu

satu tahun; ii) pendanaan medium term

diperlukan untuk menjaga kontinuitas

kegiatan yang bersifat multi years; iii)

memudahkan perencanaan DAK di daerah

Jenis urusan yang mempunyai spill over semacam ini biasanya

justru merupakan urusan mendasar yang harus disediakan layanannya

oleh pemerintah, seperti pendidikan atau

kesehatan

Page 20: Buletin defis 02   djpk

20 Media defis

Laporan Utama

karena tidak harus menunggu kepastian

DAK di bulan-bulan akhir menjelang

penetapan APBD; dan iv) mengurangi

potensi keterlambatan penetapan APBD

karena menunggu kepastian DAK.

Selanjutnya untuk point keempat

dimaksudkan agar rigiditas control dari

Pusat tidak menghambat pelaksanaan DAK

itu sendiri. Pada dasarnya setelah DAK

dialokasikan maka DAK harus digunakan

oleh daerah sesuai dengan tujuan yang

ingin dicapai oleh pemerintah pusat.

Secara teoritis terdapat dua pendekatan

yang dapat digunakan, yaitu pendekatan

input (input based conditionality) atau

pendekatan outcome (output/outcome based

conditionality). Pendekatan tradisional yang

sering digunakan oleh Negara berkembang

adalah dengan pendekatan input,

termasuk yang dilakukan oleh

Indonesia sampai saat ini. Dengan

pendekatan ini maka DAK hanya

dapat dibelanjakan untuk jenis

input tertentu, seperti fasilitas

ruang kelas, buku, ataupun alat

peraga. Kelemahan mendasar dari

pendekatan ini adalah sempitnya

ruang gerak daerah untuk berkreasi

sesuai kebutuhan mereka sehingga

justru menjadi tidak efisien (Anwar

Shah, 2007). Dalam banyak kasus,

terjadi ketidaksesuaian alokasi

DAK dengan kebutuhan daerah

sehingga tetap dilaksanakan tapi

tidak optimal atau bahkan tidak

dilaksanakan sama sekali. Pendekatan

outcome berorientasi pada pencapaian

hasil sesuai target yang telah ditetapkan.

Dengan pendekatan ini, yang menjadi

focus perhatian adalah target indikator

dalam SPM. Dengan pendekatan ini maka

pemberi grant akan dapat memaksimalkan

pencapaian tujuannya dan pada saat yang

bersamaan penerima grant merasakan

esensi otonominya.

Point kelima menjadi krusial karena

dapat dikatakan bahwa monev tidak

berjalan dengan baik sampai saat ini.

Kementerian teknis sangat mengeluhkan

rendahnya kepatuhan daerah untuk

menyampaikan laporan teknis sehingga

tidak mungkin bisa dilakukan evaluasi

apabila laporanpun tidak dimiliki.

Rendahnya kepatuhan daerah ini karena

laporan tidak menjadi satu dengan system

pengalokasian maupun penyaluran DAK.

Untuk itulah dalam desain DAK yang baru,

penyampaian laporan menjadi bagian tak

terpisahkan dari mekanisme penyaluran,

yaitu berupa pengenaan sanksi

penundaan penyaluran DAK bagi yang

tidak menyampaikan laporan. Meskipun

demikian dalam konsep revisi UU 33/2004

ini pengkaitan antara laporan teknis dan

penyaluran masih bersifat tahunan dan

berlaku sanksinya pada tahun berikutnya.

Namun mengingat bahwa DAK ini bersifat

tahun jamak, diharapkan hal ini bisa cukup

efektif untuk memaksa daerah mengikuti

ketentuan pelaporan.

Point selanjutnya adalah ditiadakannya dana

pendamping. Pada dasarnya penyediaan

dana pendamping adalah praktek yang

jamak dalam mekanisme pemberian grant.

Hal ini terutama dimaksudkan sebagai

wujud kepedulian dan sharing tanggung

jawab dari pemerintahan yang mendapatkan

grant tersebut. Salah satu kelemahan

penyediaan dana pendamping adalah

mendiskriminasikan daerah yang mempunyai

kemampuan keuangan yang rendah secara

relatif apabila dibandingkan dengan daerah

kaya. Untuk itulah disepakati bahwa DAK

tidak menggunakan dana pendamping.

Pertimbangan lain adalah bahwa DAK

seharusnya menjadi insentif bagi daerah

untuk melaksanakan pelayanan dasar yang

mempunyai spill over tinggi yang sekaligus

merupakan prioritas nasional. Apabila

dianggap sebagai insentif, maka DAK adalah

pelengkap, yang berarti bahwa daerah sudah

seharusnya telah menganggarkan dana dari

APBD untuk urusan-urusan tersebut.

PenutupMasih terdapat beberapa hal detail teknis yang sebenarnya melengkapi penjelasan konsep DAK ke depan yang dituangkan dalam rancangan revisi UU 33/2004. Namun demikian, hal-hal krusial yang telah disampaikan di atas setidaknya telah dapat menunjukkan arah perubahan yang diinginkan. Harus diakui bahwa konsep DAK yang tertuang dalam rancangan revisi UU 33/2004 tersebut masih terdapat beberapa kelemahan, belum lagi ditambah dengan kenyataan bahwa hal ini masih belum dibahas dengan DPR sehingga hasil akhirnyapun

belum diketahui. Namun setidaknya dari sisi pemerintah, beberapa kesepakatan telah berhasil diambil diantara berbagai stakeholder utama, yaitu Kementerian Keuangan, Bappenas dan Kementerian Dalam Negeri, serta Kementerian Teknis. Diharapkan dengan kesepakatan yang telah diambil bersama tersebut akan menjadikan soliditas pemerintah dalam mengawal konsep perubahan DAK akan menjadi lebih baik.

Putut Hari Setyaka

Pada dasarnya penyediaan dana pendamping adalah praktek

yang jamak dalam mekanisme pemberian grant. Hal ini terutama

dimaksudkan sebagai wujud kepedulian dan sharing tanggung

jawab dari pemerintahan yang mendapatkan grant tersebut

Page 21: Buletin defis 02   djpk

Media defis 21

Laporan Utama

Apakah pencairan DAK dapat dilakukan sekaligus (100%), hal ini untuk mengantisipasi adanya pekerjaan yang telah selesai dilaksanakan

Yuyun, Dinas Pengairan kota malang

Sesuai PMK No. 126/PMK.07/2010 tanggal

12 Juli 2010, penyaluran DAK dilaksanakan

secara bertahap, dengan rincian sebagai

berikut :

a. Tahap I sebesar 30% (tiga puluh

persen) dari alokasi DAK, paling

cepat dilaksanakan pada bulan

Februari, setelah Peraturan Daerah

mengenai Anggaran Pendapatan dan

Belanja Daerah, Laporan Penyerapan

Penggunaan DAK tahun anggaran

sebelumnya, dan surat pernyataan

penyediaan dana pendamping diterima

oleh Direktur Jenderal Perimbangan

Keuangan

b. Tahap II sebesar 45% (empat puluh lima

persen) dari alokasi DAK, dilaksanakan

selambat-lambatnya 15 (lima belas)

hari kerja setelah Laporan Realisasi

Penyerapan DAK tahap I diterima oleh

Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan

c. Tahap III sebesar 25% (dua puluh lima

persen) dari alokasi DAK, dilaksanakan

selambat-lambatnya 15 (lima belas)

hari kerja setelah Laporan Realisasi

Penyerapan DAK Tahap II diterima oleh

Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan

Dalam pasal 26 ayat (2) dinyatakan bahwa

penyaluran secara bertahap sebagaimana

dimaksud di atas tidak dapat dilaksanakan

secara sekaligus dan tidak melampaui tahun

anggaran berjalan.

Mengapa P2D2 hanya diberikan kepada daerah tertentu saja? DAK Bidang Infrastruktur apa saja yang termasuk dalam kriteria eligible output?

Teguh Yuwono, Dinas Cipta karya

kabupaten Pacitan

Proyek Pemerintah Daerah dan Desentralisasi

Daerah (P2D2) merupakan pinjaman

program Pemerintah yang bersumber dari

Bank Dunia dalam rangka memperkuat

transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan

DAK khususnya bidang infrastruktur

dengan melakukan perbaikan (reform) sistem

monitoring dan evaluasi pelaksanaan DAK.

Terdapat hal-hal yang melatarbelakangi

dilaksanakanya Proyek Pemerintah Daerah

dan Desentralisasi Daerah (P2D2) atau

dikenal dengan DAK Reimbursement pada

awal kegiatan ini diinisiasi, yaitu dari sisi

demand dan supply. Pada tahun 2012 ini P2D2

dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah yang

menjadi percontohan, yaitu daerah yang

berada di 5 (lima) provinsi, yaitu :

• Provinsi Jambi (1 provinsi, 9 kabupaten, 2

kota);

• Provinsi Jawa Timur (1 provinsi, 29

kabupaten, 9 kota);

• ProvinsiKalimantanTengah(1provinsi,13

kabupaten, 1 kota);

• Provinsi Sulawesi Barat (1 provinsi, 5

kabupaten);

• Provinsi Maluku Utara (1 provinsi, 7

kabupaten, 2 kota).

Penentuan lokasi sebagai daerah pilot

dilakukan berdasarkan kriteria letak

geografis, pemetaan pendanaan ke daerah,

aspek pelaksanaan pekerjaan umum

(infrastruktur), dan kapasitas penyerapan

dana.

Eligible output adalah paket pekerjaan yang

dilaksanakan oleh pemerintah daerah yang

berpartisipasi dan dibiayai dari proyek DAK.

Eligible output diatur dalam Surat Edaran

Menteri Pekerjaan Umum No. KU.01.01-

Mn/678, yang meliputi:

a. Subsektor Jalan, meliputi: pemeliharaan

secara periodik, perbaikan, dan rehabilitasi

jalan dan jembatan provinsi, kabupaten,

dan kota

b. Subsektor irigasi, meliputi: perbaikan,

rehabilitasi, dan pembangunan jaringan

irigasi, termasuk jaringan reklamasi rawa

dan jaringan irigasi desa

c. Subsektor air minum, meliputi:

pembangunan pengambilan air (water

intake) untuk air permukaan, air sumur,

small water treatment plants (SPAM), jaringan

air pipa, saluran rumah, dan pembangunan

hidran air

d. Subsektor sanitasi, meliputi:

pengembangan fasilitas sanitasi umum,

fasilitas drainase limbah umum, fasilitas

limbah keras, MCK umum, dan instalasi

pengolahan air limbah untuk rumah tangga

Apakah setiap daerah harus menyediakan dana pendamping DAK?

Sampai dengan saat ini daerah diwajibkan

untuk menyediakan dana pendamping DAK

(minimal 10%) dari masing-masing pagu

per bidang. Penyediaan dana pendamping

tersebut selanjutnya dituangkan dalam

Surat Pernyataan Dana Pendamping yang

juga menjadi prasyarat pencairan DAK tahap

I. Penyediaan dana pendamping tersebut

dimaksudkan sebagai wujud komitmen

daerah untuk melaksanakan kegiatan yang

didanai dari DAK. Terkait dengan kewajiban

daerah menyediakan dana pendamping ini,

Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan

telah mengakomodir melalui pengajuan

revisi Undang-Undang 33 tahun 2004,

dimana daerah tidak lagi diwajibkan untuk

menyediakan dana pendamping.()

S u a r aSTAKEHOLDERterhadap Pelaksanaan DaK

Page 22: Buletin defis 02   djpk

22 Media defis

Laporan Utama

Medio 2010 tepatnya tanggal 23 Juni

2010 menjadi momen dimulainya sebuah

program kerjasama Pemerintah Republik

Indonesia dengan Bank Dunia, dengan

ditandatanganinya Perjanjian Pinjaman

(Loan Agreement) No.7914-ID tentang

Local Government and Decentralization Project

(LGDP) atau Proyek Pemerintah Daerah

dan Desentralisasi (P2D2). Program

ini juga biasa disebut sebagai DAK

Reimbursement Project dikarenakan konsep

dari proyek ini yang akan mengganti

(reimburse) sejumlah Dana Alokasi Khusus

(DAK) yang menghasilkan keluaran sesuai

yang dipersyaratkan (eligible output).

Output-Based Disbursement (OBD)Terobosan baru dalam skema besar dari

program P2D2 adalah penerapan Output-

Based Disbursement (OBD) yang baru

pertama kali dilaksanakan di Indonesia.

Menurut Bank Dunia, skema OBD telah

diterapkan di beberapa negara di dunia,

antara lain: Brazil, Mexico, dan Vietnam.

Dengan pendekatan ini, Bank Dunia akan

membayarkan kembali bagian dari DAK

untuk infrastruktur (jalan, irigasi, dan air

minum) berdasarkan laporan dan verifikasi

output fisik daerah partisipan provinsi/

kabupaten/kota. Adapun lembaga yang

berfungsi sebagai verifikator output

tersebut adalah Badan Pengawasan

Keuangan dan Pembanguan (BPKP).

Verifikasi dari output yang disetujui adalah

syarat utama untuk pencairan pinjaman

dan merupakan suatu jaminan yang

diberikan oleh Pemerintah Indonesia

bahwa dana pinjaman tersebut telah

digunakan sesuai dengan petunjuk teknis

dan petunjuk pelaksanaan DAK dan

telah mengikuti prinsip akuntabilitas dan

transparansi. Verifikasi akan memastikan

bahwa output untuk setiap alokasi telah

memenuhi target fisik dan mengikuti

prosedur dan kebijakan pengadaan,

manajemen keuangan, dan pengamanan

lingkungan dan sosial.

Lalu pertanyaan yang mungkin muncul

dalam benak kita semua mungkin adalah

‘Untuk apa program ini dilaksanakan?’.

Jawaban dari pertanyaan tersebut adalah

untuk meningkatkan akuntabilitas dan

pelaporan DAK pada sektor infrastruktur

(jalan, irigasi, air minum, dan sanitasi) di

lokasi pemerintah daerah percontohan.

Hal ini akan dilakukan melalui peningkatan

pelaporan keuangan dan teknis serta

verifikasi output kegiatan infrastruktur

yang dibiayai dengan DAK.

Untuk mencapainya, peningkatan

kapasitas pemangku kepentingan di

provinsi/kabupaten/kota mendapatkan

perhatian yang besar dalam proyek ini.

Berbagai pelatihan dilaksanakan untuk

meningkatkan pemahaman pemangku

kepentingan mengenai DAK mulai

dari proses perencanaan di daerah,

pemrograman, pelaksanaan, pengawasan,

dan evaluasi. Proses belajar antarprovinsi/

kabupaten/kota partisipan diharapkan

dapat menjadi sarana umpan balik untuk

meningkatkan upaya reformasinya.

Lebih jauh lagi, provinsi/kabupaten/

kota partisipan P2D2 diharapkan dapat

menjadi model pelaksanaan proyek yang

bersumber dari DAK yang baik, sehingga

provinsi/ kabupaten/kota lainnya dapat

belajar dari sesama pemerintah daerah

untuk penggunaan DAK yang akuntabel

dan meningkatkan sistem pelaporan.

Mengapa DAK Bidang Infrastruktur?DAK bidang infrastruktur dipilih sebagai

sector pilot dalam tolok ukur pencairan

dana pinjaman dari Bank Dunia tersebut

dikarenakan DAK, salah satu jenis transfer

ke daerah yang memiliki karakteristik special

purpose grant, keluarannya sudah ditentukan

dengan ditetapkannya petunjuk teknis

yang telah disusun oleh Kementerian

Negara/ Lembaga teknis terkait. Hal

tersebut diyakini dapat menjadi landasan

DAK REIMBURSEMENT PROJECT

Terobosan baru dalam skema besar dari program P2D2 adalah penerapan Output-Based Disbursement (OBD).

Page 23: Buletin defis 02   djpk

Media defis 23

Laporan Utama

dalam melakukan verifikasi keluaran yang

akan dilakukan oleh BPKP.

Hal lain yang mendasari, secara filosofis,

terkait pemilihan DAK bidang infrastruktur

adalah keinginan Menteri Keuangan pada

saat itu, yaitu Sri Mulyani Indrawati,

yang mengharapkan dengan pelaksanaan

proyek ini pemerintah pusat dapat

memperoleh feed back atas pelaksanaan

DAK di daerah dimana selama ini

pemerintah pusat tidak memiliki alat dan

data yang cukup untuk dapat mengetahui

apa yang sudah dihasilkan dari transfer

ke daerah yang telah diberikan kepada

pemerintah daerah, dengan pilot sector

bidang infrastruktur (jalan, irigasi, air

minum dan sanitasi).

Daerah PercontohanPemerintah daerah yang menjadi daerah

percontohan dalam proyek ini adalah

pemerintah daerah yang berada di 5 (lima)

provinsi, yaitu: (1) Jambi; (2) Jawa Timur

(3) Kalimantan Tengah; (4) Sulawesi Barat;

dan (5) Maluku Utara.

Pemilihan daerah percontohan tersebut

dilakukan atas pertimbangan kriteria

letak geografis, tingkat ketaatan

terhadap pelaporan dan kinerja terhadap

penyerapan DAK serta kesuksesan

penyelesaian output kegiatan yang didanai

oleh DAK.

Di tahun 2011, jumlah pemerintah

daerah yang telah menyampaikan surat

pernyataan kesediaan berpartisipasi dalam

P2D2 (Commitment Letter) sebanyak 72

daerah provinsi/kabupaten/ kota dalam

lingkup 5 (lima) provinsi percontohan

P2D2.

Untuk tahun 2012, per tanggal 14 Maret

2012, Ditjen Perimbangan Keuangan selaku

Unit Implementasi Proyek (UIP) telah

menerima tambahan surat pernyataan

kesediaan berpatisipasi dalam P2D2 dari

3 daerah, yaitu: Kota Jambi; Kabupaten

Blitar; dan Kabupaten Kediri. Sehingga

untuk tahun 2012, daerah percontohan

P2D2 menjadi sebanyak 75 daerah

provinsi/kabupaten/kota dalam lingkup 5

(lima) provinsi P2D2 dengan Keputusan

Dirjen PK Nomor: KEP-35/PK/2012 tanggal

8 Mei 2012 tentang Penetapan Daerah

Percontohan Proyek Pemerintah Daerah

dan Desentralisasi Tahun 2012.

InsentifProvinsi/kabupaten/kota yang dapat

menyerap DAK dengan memenuhi

standar kualitas output yang ditentukan

serta dalam kurun waktu yang tepat,

akan mendapat insentif/reward di tahun

anggaran berikutnya sebesar 10 % (sepuluh

persen) dari total dana DAK Infrakstruktur

yang telah dikeluarkan pemerintah daerah

dan telah dinilai eligible oleh BPKP.

Sebagai penghargaan bagi pemerintah

daerah yang telah berhasil melaksanakan

kegiatan DAK sesuai dengan syarat

kelayakan yang telah ditentukan,

Pemerintah akan memberikan insentif

sebesar 10% (sepuluh persen) dari DAK

infrastruktur yang telah dikeluarkan.

Selain itu, beberapa manfaat yang dapat

dirasakan secara langsung oleh pemerintah

daerah percontohan, diantaranya,

adalah (i) meningkatnya profesionalisme

pengadaan dan meningkatnya efisiensi

proses pengadaan dari sisi waktu dan

biaya, (ii) meningkatnya kapasitas

daerah dalam melakukan berbagai upaya

perlindungan terhadap kondisi lingkungan

dan sosial setempat, terhadap potensi

akibat dari pembangunan infrastruktur,

dan (iii) meningkatnya akses masyarakat

terhadap pemanfaatan dana melalui

sistem pelaporan berbasis internet (Web-

Based Reporting System). (Denny Kurniawan)

Jumlah dana yang bisa dimintakan

penggantian oleh Kementerian Keuangan

kepada Bank Dunia dalam setiap tahunnya

adalah berdasarkan jumlah dana yang

digunakan dalam sub-proyek yang

memenuhi kriteria sebagai berikut:

1. Realisasi pembangunan fisik

yang dibuktikan dengan Sertifikat

Penyelesaian Konstruksi dan

Compliance dengan design teknis dan

spesifikasi teknis (Form P-4 (kolom 3)

dari Petunjuk Teknis.

2. Kepatuhan dengan Peraturan

Presiden No. 54 Tahun 2010 tentang

Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah

(khusus Pelelangan Umum dan

Pemilihan Langsung hanya dengan

Pasca Kualifikasi) dalam pengadaan

kontraktor.

3. Kepatuhan dengan peraturan

yang berlaku dalam melaksanakan

pembayaran atas beban Anggaran

Pendapatan dan Belanja Negara

(APBN) dan Anggaran Pendapatan dan

Belanja Daerah (APBD).

4. Kepatuhan dengan Pengamanan

Lingkungan dan Sosial (Environment and

Social Safeguards): Dibuktikan dengan

Form P-2 dan lampiran surat edaran

Petunjuk Teknis yang dikeluarkan oleh

Kementerian Pekerjaan Umum.

5. Nilai subproyek tidak melebihi

$400.000 atau nilai yang setara.

6. Dilaksanakan oleh pemerintah daerah

yang telah menyampaikan Commitment

Letter.

7. Dihitung berdasarkan Reference Unit

Costs (RUCs) yang ditetapkan oleh

Kementerian PU setiap tahunnya

paling lambat pada tanggal 15

Februari.

Diolah dari: dokumen Loan Agreement (LA)

dan Project Appraisal Document (PAD)

Local Governent and Decenralization Project

(LGDP) Loan No.: 7914-ID

Denny kurniawan

Page 24: Buletin defis 02   djpk

24 Media defis

Laporan Utama

“Peranan” Dana Alokasi Khusus

Sesuaikah dengan Prinsip Awal?Pada saat akan mulai menulis, Penulis

sempat bertanya pada diri sendiri, apakah

judul di atas sudah sesuai dengan maksud

dari apa yang akan Penulis tuangkan

dalam tulisan ini? Kekhawatiran tersebut

muncul karena kata “peranan” juga biasa

digunakan untuk menyatakan seberapa

besar konstribusi sesuatu terhadap

sesuatu. Misalnya, guna menyatakan

besarnya kontribusi PAD terhadap ABPD

sebesar 10%, biasa juga dinyatakan

dengan kalimat peranan PAD terhadap

APBD sebesar 10%. Namun, dengan

melihat judul di atas secara utuh, tentunya

Pembaca dapat memahami maksud dari

kata peranan tersebut. Jika “mohon

maaf ” Pembaca masih belum memahami

juga, mungkin dengan membaca tulisan

ini sampai selesai, Pembaca dapat

menemukan makna yang tepat untuk kata

peranan pada judul tulisan ini. Semoga.

Selanjutnya, ketika jari-jemari Penulis

mulai hendak dihentakkan pada keyboard

laptop, timbul pula keraguan, apakah

Penulis cocok menulis masalah ini?

Keraguan itu timbul “mungkin” karena

Penulis tidak punya pengalaman dalam

menggeluti Dana Alokasi Khusus (DAK)

selama 14 tahun bekerja di Kementerian

Keuangan. Dengan demikian, tentunya

pemahaman Penulis tentang DAK

sangatlah dangkal. Namun, mudah-

mudahan dengan keterbatasan itu,

pemikiran yang Penulis tuangkan dalam

tulisan ini menjadi ragam tersendiri

dari berbagai perspektif tulisan yang

telah ada. Kerangka berfikir yang Penulis

gunakan sangatlah sederhana, yaitu

dimulai dengan melihat sekilas awal mula

timbulnya kebijakan DAK dan kebijakan

yang sekarang sedang dijalankan. Tulisan

ini “jujur” tidaklah murni hasil pemikiran

Penulis sendiri tetapi sangat banyak

dipengaruhi oleh perbincangan antara

Penulis dengan beberapa rekan dan teman

sejawat. Tulisan ini Penulis awali dengan

sebuah pertanyaan sederhana, yaitu

“sejak kapan istilah DAK ada?”.

Sejak kapan istilah DAK ada?DAK merupakan salah satu bagian dana

transfer dari Pemerintah Pusat kepada

Daerah dalam rangka pelaksanaan

desentralisasi fungsi/urusan. Dana transfer

atau yang lebih dikenal dengan dana

perimbangan, sesuai UU 33/2004 tentang

Perimbangan Keuangan antara Pemerintah

Pusat dan Pemerintahan Daerah terdiri

atas 3 komponen pokok, yaitu Dana Bagi

Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU),

dan DAK. Dana perimbangan tersebut

merupakan satu kesatuan yang tidak dapat

dipisahkan satu sama lainnya karena

tujuan dari masing-masing dana tersebut

saling mengisi dan melengkapi. Dari ketiga

komponen tersebut, DAK merupakan dana

yang peruntukannya sudah ditentukan,

sedangkan dua komponen lainnya dapat

digunakan sesuai prioritas dan politik

anggaran daerah. Bagaimana kalau ada

DBH yang ditentukan penggunaannya,

masuk kelompok manakah dia? Ah tak tau

lah awak.

Menilik sedikit kebelakang, sepengetahuan

Penulis, istilah DAK mulai dikenal

secara umum ketika ditetapkannya UU

25/1999 tentang Perimbangan Keuangan

antara Pemerintah Pusat dan Daerah.

Sebelum berlakunya UU 25/1999 atau

periode berlakunya UU 32/1956 tentang

Perimbangan Keuangan antara Negara dan

Daerah-Daerah yang Berhak Mengurus

Rumah Tangganya Sendiri, secara de

jure nomenklatur DAK belum dikenal,

namun secara de facto terdapat beberapa

karakteristik pendanaan daerah pada masa

itu yang memiliki ciri kesamaan dengan

DAK, seperti, Inpres. Inpres merupakan

suatu sistem pendanaan daerah yang

bersifat top down dan penggunaan atau

peruntukannya sudah ditentukan. Dengan

kata lain, terhadap dana tersebut tidak

ada sama sekali diskresi daerah terkait

pemanfaatannya.

Page 25: Buletin defis 02   djpk

Media defis 25

Laporan Utama

Kebijakan DAK sesuai UU 25/1999Mengingat kemunculan DAK pertama

kali dalam UU 25/1999, maka tidak ada

salahnya jika kita kembali melihat seperti

apa kebijakan DAK yang diatur dalam UU

tersebut sehingga kita dapat mengetahui

prinsip awal yang dikehendaki oleh UU,

yang sekaligus mencerminkan keinginan

dari policy makers pada saat itu berkenaan

dengan DAK.

Dalam ketentuan umum UU 25/1999,

dijelaskan bahwa DAK adalah dana

yang berasal dari Anggaran Pendapatan

dan Belanja Negara (APBN), yang

dialokasikan kepada daerah untuk

membantu membiayai kebutuhan

tertentu. Berdasarkan pemahaman

Penulis, dari definisi tersebut, “terkesan”

bahwa DAK dialokasikan setiap tahun dan

dapat disalurkan kepada semua daerah

karena batasannya hanyalah “kebutuhan

tertentu”. Dalam hal kebutuhan tertentu

tersebut ada disemua daerah tentunya

semua daerah berhak memperoleh

DAK. Namun, dalam Pasal 8 UU 25/1999

ditegaskan bahwa DAK dapat dialokasikan

dari APBN kepada daerah tertentu untuk

membantu mendanai kebutuhan khusus,

dengan memperhatikan tersedianya dana

dalam APBN.

Menyimak ketentuan Pasal 8 UU 25/1999

tersebut, tentunya dalam penyaluran

DAK perlu memperhatikan 2 (dua) hal,

yaitu ada tidaknya kebutuhan khusus

yang perlu didanai dan ketersediaan dana

dalam APBN. Sementara itu, mengingat

alokasi DAK hanya kepada “daerah

tertentu” tentunya ini menyiratkan

kepada kita semua bahwa hanya daerah

tertentulah yang akan memperoleh DAK

atau dengan bahasa lain, tidak semua

daerah memperoleh DAK. Sementara

itu, yang dimaksud dengan “kebutuhan

khusus” adalah kebutuhan yang tidak

dapat diperkirakan dengan menggunakan

rumus alokasi umum dan/atau kebutuhan

yang merupakan komitmen dan prioritas

nasional.

Selanjutnya, dalam Penjelasan Pasal

8 UU 25/1999, dijelaskan secara lebih

rinci mengenai kebutuhan yang tidak

dapat diperkirakan dengan menggunakan

rumus alokasi umum, yaitu kebutuhan

yang bersifat khusus yang tidak sama

dengan kebutuhan daerah lain, misalnya

kebutuhan di kawasan transmigrasi, dan

kebutuhan beberapa jenis investasi/

prasarana baru, pembangunan jalan di

kawasan terpencil, saluran irigasi primer,

dan saluran drainase primer. Sementara

itu, kebutuhan yang merupakan komitmen

dan prioritas nasional dicontohkan,

antara lain, proyek yang dibiayai donor

dan proyek-proyek kemanusiaan untuk

memenuhi kebutuhan dasar manusia.

Berpijak pada uraian rumusan kebijakan

di atas, dapat diketahui bahwa peranan

DAK adalah guna menutup kelemahan

formulasasi DAU yang “disadari atau tidak”

belum dapat mengakomodasi semua

keberagaman daerah. Selain itu, DAK

juga sebagai instrumen pendanaan dalam

hal terdapat kebutuhan yang merupakan

komitmen dan prioritas nasional. Kalau

boleh Penulis menyimpulkan, peranan

DAK yang diharapkan oleh UU 25/1999

sangat berkaitan dengan kata “fokus”

karena DAK hanya diarahkan untuk

mendanai “kebutuhan khusus”. Sementara

untuk kebutuhan yang bersifat umum

didanai dari sumber lain. Selama periode

berlakunya UU 25/1999, pendanaan dari

DAK dialokasikan paling banyak untuk

8 bidang, yaitu pendidikan, kesehatan,

jalan, irigasi, air minum, prasarana

pemerintahan, perikanan dan pertanian.

Daerah penerima DAK pada akhir periode

berlakunya UU 25/1999 berjumlah 436

daerah dengan rincian 2 provinsi dan 434

kabupaten/kota.

Kebijakan DAK sesuai UU 33/2004Kemunculan UU 33/2004 didasari adanya

keinginan untuk menyesuaikan kebijakan

transfer ke daerah dengan perkembangan

keadaan, ketatanegaraan serta tuntutan

penyelenggaraan otonomi daerah.

Selain itu, ditetapkannya UU 33/2004

juga dalam rangka memenuhi mandat

Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)

yang menghendaki agar Pemerintah dan

Dewan Perwkailan Rakyat (DPR) melakukan

perubahan yang bersifat mendasar dan

menyeluruh terhadap UU 25/1999.

Berkenaan dengan kebijakan DAK dalam

UU 33/2004, dalam beberapa hal memang

terjadi dengan apa yang digariskan dalam

UU 25/1999. Sesuai ketentuan umum UU

33/2004, definisi DAK adalah dana yang

bersumber dari pendapatan APBN yang

dialokasikan kepada daerah tertentu

dengan tujuan untuk membantu mendanai

kegiatan khusus yang merupakan urusan

daerah dan sesuai dengan prioritas

nasional. Lebih spesifik atau secara

khusus DAK diarahkan untuk mendanai

kebutuhan sarana dan prasarana

pelayanan dasar masyarakat yang belum

mencapai standar tertentu atau untuk

mendorong percepatan pembangunan

daerah.

Dalam Pasal 38 UU 33/3004 diatur

bahwa besaran DAK ditetapkan setiap

tahun dalam APBN. Menurut penafsiran

Penulis, ketentuan tersebut secara

implisit menyatakan bahwa DAK akan

ada setiap tahun. Mungkin ada yang

menyanggah penafsiran Penulis tersebut

dengan menyatakan bisa saja DAK pada

tahun tertentu besarannya adalah nol

alias tidak ada DAK. Namun, jika itu yang

dimaksud pembuat UU tentunya akan

lebih tepat jika rumusan yang dibuat

adalah DAK dapat ditetapkan setiap tahun

dalam APBN. Dengan rumusan demikian,

tentunya jika kondisi APBN tidak

Page 26: Buletin defis 02   djpk

26 Media defis

Laporan Utama

memungkinkan, Pemerintah dapat saja

tidak menganggarkan DAK dalam APBN.

Selanjutnya, dalam Pasal 39 UU 33/2004

diatur bahwa DAK dialokasikan kepada

daerah tertentu untuk mendanai kegiatan

khusus yang merupakan urusan daerah

sesuai dengan fungsi yang telah ditetapkan

dalam APBN. Dalam penjelasan Pasal

39 UU 33/2004 dijelaskan bahwa yang

dimaksud dengan daerah tertentu adalah

daerah yang memenuhi kriteria setiap

tahun untuk mendapatkan alokasi DAK.

Dengan demikian, tidak semua daerah

mendapatkan alokasi DAK. Sedangkan

yang dimaksud dengan fungsi yang telah

ditetapkan dalam APBN, antara lain,

terdiri atas layanan umum, pertahanan,

ketertiban dan keamanan, ekonomi,

lingkungan hidup, perumahan dan fasilitas

umum, kesehatan, pariwisata, budaya,

agama, pendidikan dan perlindungan

sosial. Melihat rumusan penjelasan Pasal

39 UU 33/2004 tersebut, sedikit ada

kontradiksi antara batang tubuh dengan

penjelasannya. Dalam batang tubuh

dinyatakan bahwa DAK diperuntukan

untuk mendanai kegiatan khusus yang

merupakan urusan daerah, namun dalam

penjelasannya DAK juga dimungkinkan

untuk mendanai fungsi agama yang

merupakan kewenangan Pemerintah

Pusat.

Dalam mengalokasikan DAK, Pemerintah

Pusat menetapkan kriteria DAK, yaitu

kriteria umum, khusus, dan teknis.

Kriteria umum ditetapkan dengan

mempertimbangkan kemampuan

keuangan daerah dalam APBD, kriteria

khusus dengan memperhatikan peraturan

perundang-undangan dan karakteristik

daerah, dan kriteria teknis ditetapkan

oleh kementerian teknis terkait. Dengan

menggunakan kriteria umum, khusus dan

teknis, pada tahun 2012, DAK disalurkan

untuk mendanai 19 bidang dengan 520

daerah penerima DAK, dengan rincian 32

provinsi dan 488 kabupaten/kota. Dengan

demikian, hanya 4 daerah yang tidak

memperoleh alokasi DAK pada tahun

2012, yaitu 1 provinsi dan 3 kabupaten/

kota.

Lalu, sesuaikah peranan DAK dengan

prinsip awal? Berdasarkan fakta tersebut,

tentunya kita dapat menilai sendiri, apakah

kebijakan DAK saat ini masih sejalan

dengan tujuan awal yang mengharapkan

DAK “fokus” untuk mendanai kebutuhan

khusus. Sayangnya, kedua UU tersebut

sama-sama tidak memberikan batasan

yang tegas berkenaan dengan makna dari

“kebutuhan khusus” yang dapat didanai

melalui DAK.

Anwar Syahdat

Page 27: Buletin defis 02   djpk

Media defis 27

Laporan Utama

Salah satu prasyarat untuk menghadirkan desentralisasi atau dalam cakupan yang lebih luas yakni otonomi daerah adalah konsensus bersama untuk menyepakati batas-batas mana yang menjadi urusan pemerintah pusat dan yang menjadi urusan pemerintah daerah yang sesungguhnya terlewat jauh atau lebih tepatnya belum tuntas benar.

Latar Belakang Penuntasan atas mana yang menjadi

urusan pusat dan urusan daerah yang

belum benar-benar selesai menyisakan

kendala dan menjadi persoalan serius

terutama dalam pelaksanaan urusan

baik di pusat maupun di daerah pasca

pelaksanaan desentralisasi/otonomi

daerah. Kemudian pembagian urusan

yang belum tuntas tadi secara otomatis

mempengaruhi dalam pelaksanaan

dekonsentrasi dan tugas pembantuan

yang sejatinya adalah untuk menunaikan

urusan pusat yang ada di daerah menjadi

media dari kementerian/lembaga untuk

ikut melaksanakan dan mendanai

urusan daerah dengan alasan yang bisa

dibenarkan dengan argumentasi serta

intepretasi dari sudut pandang masing-

masing kementerian/lembaga.

Pengalihan program/kegiatan

dekonsentrasi dan tugas pembantuan

yang merupakan urusan daerah ke Dana

Alokasi Khusus (DAK) merupakan amanat

Pasal 108 Undang-undang Nomor

33 Tahun 2004 tentang Perimbangan

Keuangan antara Permintah Pusat dan

Pemerintahan Daerah. Disamping itu,

dengan adanya temuan BPK RI bahwa

masih ada dana pemerintah pusat yang

membiayai urusan daerah melalui dana

dekonsentrasi dan tugas pembantuan

sehingga BPK RI merekomendasi untuk

mengalihkan dana dekonsentrasi dan

tugas pembantuan yang membiayai

urusan daerah ke mekanisme DAK.

Tulisan ini mengulas beberapa

problematika yang menggelayuti

pelaksanaan pengalihan kegiatan

dekonsentrasi dan tugas pembantuan

yang melaksanakan urusan daerah

ke DAK. Mulai dari hulu yaitu sisi

perencanaan dan penganggaran

program/kegiatan dekonsentrasi.

Dalam pelaksanaan program/ kegiatan

dekonsentrasi dan tugas pembantuan

terkandung pemisahan wewenang antara

masing-masing layer pemerintahan yang

wajib dipatuhi dan adanya kontrak

kinerja dari masing-masing K/L yang

harus dilaksanakan sebagai bagian dari

target yang harus dicapai. Yang terakhir

adalah dari sisi teknis dua sumbu yang

harus dipadukan tidak sepenuhnya bisa

PROBLEMATIKA PENGALIHAN KEGIATAN DEKONSENTRASI DAN TUGAS PEMBANTUAN YANG MERUPAKAN URUSAN DAERAH KE DANA ALOKASI KHUSUS

Page 28: Buletin defis 02   djpk

28 Media defis

Laporan Utama

dipadukan dimana dekonsentrasi dan

tugas pembantuan berbeda spesifikasi

dengan DAK.

Problematika Perencanaan Program/Kegiatan Dekonsentrasi dan Tugas PembantuanPelaksanaan kegiatan dekonsentrasi

dan tugas pembantuan pasca

implementasi desentralisasi/ otonomi

daerah mengungkapkan data dan

fakta yang cukup mengejutkan semua

pemangku kepentingan. Keterkejutan

bukan hanya dari sisi keuangan negara

semata juga memunculkan kekhawatiran

bahwa otonomi daerah terancam

keberlangsungannya karena urusan-

urusan yang harusnya dilaksanakan oleh

daerah (daerah enggan melaksanakan)

justru dilaksanakan oleh pusat serta

yang lebih ironis adalah adanya

urusan daerah tersebut dikembalikan

ke pusat. Dari sisi keuangan negara

jelas berakibat inefisiensi jika ada

urusan daerah yang dilaksanakan oleh

pusat (dibiayai APBN) dan daerah juga

menganggarkan melalui APBD. Dari hasil

screening Kementerian Keuangan (Ditjen

Perimbangan Keuangan dan Ditjen

Anggaran) atas RKA-KL tertentu juga

terungkap bukan hanya dengan skema

pendanaan melalui dekonsentrasi dan

tugas pembantuan untuk membiayai

urusan daerah tapi juga melalui skema

pembiayaan melalui kantor pusat

kementerian/lembaga.

Proses identifikasi internal Kemenkeu

(Ditjen Perimbangan Keuangan dan

Ditjen Anggaran) dan dilanjutkan

dengan Kemenneg PPN/Bappenas

dan kementerian/lembaga dilakukan

atas 16 RKA-KL TA 2012. Dengan

menggunakan data RAK-KL TA 2012

juga menyimpan kelemahan dan

mungkin moral hazzard dari kementerian/

lembaga. Kemungkinan bisa terjadi

hasil identifikasi atas kegiatan

dekonsentrasi dan tugas pembantuan

yang merupakan urusan daerah pada

TA 2012 tidak direncanakan dan tidak

dianggarkan kembali oleh kementerian/

lembaga. Yang dimaksud dengan

indikasi moral hazzard adalah untuk

menghindari kegiatan dekonsentrasi

dan tugas pembantuan yang merupakan

urusan daerah hasil identifikasi

kementerian/lembaga menghilangkan

kegiatan tersebut pada TA 2013 dengan

mengganti kegiatan lain.

Sejak dari hulu yaitu dalam proses

perencanaan dan penganggaran

program/kegiatan dekonsentrasi

dan tugas pembantuan berpotensi

untuk menjadikan program/kegiatan

dekonsentrasi dan tugas pembantuan

melaksanakan urusan daerah.

Sebagai akibat minimnya edukasi

atas pembagian urusan di legislatif

dan eksekutif (dalam hal ini adalah

kementerian/lembaga) berimplikasi

pada tumbuh suburnya pemikiran yang

sifatnya sektoral tanpa mengindahkan

pembagian urusan yang diatur dalam

PP No. 38/2007. Kembali juga terungkap

bahwa walaupun penanggungjawab

semua urusan pada akhirnya adalah

pemerintah pusat, kementerian/

lembaga terikat dengan kontrak kinerja

dengan presiden untuk melaksanakan

urusan yang merupakan urusan daerah.

Problematika Money Follows Function dan Kontrak Kinerja K/LSesuai prinsip money follows function

(kewenangan mengikuti fungsi)

berimplikasi dengan hilangnya

kewenangan untuk pendanaan atas urusan

yang merupakan urusan daerah dari

kementerian/lembaga. Secara eksplisit

bisa diartikan kementerian/lembaga

akan kehilangan jumlah dana untuk

program/kegiatan yang melaksanakan

urusan daerah. Dengan kondisi seperti

ini yang terjadi adalah sebaliknya

dimana pemerintah berkomitmen untuk

menjaga pelaksanakan desentraslisasi

mengalami situasi yang serba sulit karena

alokasi anggaran untuk pendanaan

desentraslisasi menjadi terbatas karena

walaupun dengan prinsip kewenangan

mengikuti fungsi kementerian/lembaga

memadang pendanaan atas program/

kegiatan yang melaksanakan urusan

daerah dialihkan ke DAK tidak mengurangi

besaran pagu anggaran.

Capaian desentralisasi/ otonomi

daerah, yang sudah menginjak usia 10

tahun, memang masih jauh dari yang

diharapkan. Tesis yang paling mahsyur

tentang adanya pemerintah lokal

(dibentuk dengan prinsip demokrasi)

yang menciptakan kedekatan untuk

Sesuai prinsip money follows function

(kewenangan mengikuti fungsi) berimplikasi dengan hilangnya kewenangan untuk

pendanaan atas urusan yang merupakan urusan

daerah dari kementerian/lembaga.

Page 29: Buletin defis 02   djpk

Media defis 29

Laporan Utama

menyediakan barang publik yang sesuai

preferensi publik lokal (baca rakyat di

daerah) sehingga menciptakan efisiensi

penyediaan barang publik dan pada

akhirnya adalah kesejahteraan menjadi

antitesis untuk beberapa contoh kasus

di Indonesia. Sebagai contoh yang

cukup menguncang adalah adanya kasus

gizi buruk di daerah yang dengan tesis

tersebut di atas bisa langsung diatasi

langsung oleh pemerintah daerah hasil

dari pilkada. Dengan bercermin dari fakta

itu, menjadi kekhawatiran jika terjadi

pengalihan besar-besaran atas kegiatan

dekonsentrasi dan tugas pembantuan

yang melaksanakan urusan daerah ke

DAK. Seperti sudah diulas sebelumnya,

kementerian/ lembaga mempunyai

kontrak kinerja dengan presiden untuk

melaksanakan suatu misi (baca urusan)

yang menjadi urusan daerah dengan

ukuran kinerja tertentu. Jika urusan ini

dikembalikan ke daerah menimbulkan

sejumlah kekhawatiran yaitu:

1. Kemampuan SDM di daerah dalam

melaksanakan urusan tertentu dengan

indikator kinerja yang spesifik.

2. Dengan koordinasi yang masih belum

sungguh benar terintegrasi dan faktor

politis maka kontrol atas urusan

yang menjadi kontrak kinerja akan

sulit dilakukan. Yang pada akhirnya

kontrak kinerja tidak dapat tercapai.

3. Skema pendanaan dengan DAK

atas urusan daerah dinilai oleh

kementerian/lembaga diragukan

efektifitasnya berkaitan dengan

aturan yang ada tidak memungkinkan

pihak kementerian melakukan

intervensi dalam pelaksanaanya.

4. Problematika Teknis Dekonsentrasi

dan Tugas Pembantuan dan DAK

Beranjak ke faktor teknis yang terkandung

dalam kegiatan dekonsentrasi dan tugas

pembantuan dan DAK memunculkan

dikotomi ataupun kontrakdiksi satu

sama lain antara keduanya. Dikotomi

yang pertama adalah dari sifat kegiatan

dekonsentrasi yang bersifat non fisik

yang berupa kegiatan koordinasi,

bimbingan teknis dan sejenisnya yang

ditujukan kepada sesama aparatur

di daerah sedangkan kegiatan DAK

bersifat fisik. Kemudian adalah adanya

ketentuan dana pendamping yang harus

dialokasikan dalam APBD untuk kegiatan

DAK bisa memberatkan daerah. Dengan

terbatasnya bidang dari DAK tidak bisa

menampung kegiatan tugas pembantuan

yang tidak sesuai dengan bidang DAK

yang ada saat ini menambah daftar

dikotomi selanjutnya.

Jangka waktu pengalihkan kegiatan

dekonsentrasi dan tugas pembantuan

yang merupakan urusan daerah ke DAK

yang sesuai aturan PP No. 7/2008 yaitu

dimulai 2 tahun sejak tahun 2008 sudah

dilakukan oleh beberapa kementerian,

sebagai contoh adalah Kementerian

Pendidikan dan Kebudayaan. Kementerian

Pendidikan Nasional dan Kebudayaan

sudah melakukan pengalihan kegiatan

dekonsentrasi dan tugas pembantuan

yang merupakan urusan daerah ke

DAK yaitu kegiatan BOS. Namun dalam

pelaksanaannya ada beberapa daerah

tidak bisa melaksanakan secara optimal

sehingga ada indikasi Kementerian

Pendidikan dan Kebudayaan meminta

kembali pengelolaan Dana BOS.

PenutupKendala dan fakta proses pengalihan

kegiatan dekonsentrasi dan tugas

pembantuan yang merupakan urusan

daerah ke DAK yang sudah diuraikan

dapat dikategorikan kedalam 4 (empat)

kelompok utama kendala dan fakta

pengalihan, yaitu:

1. Kendala dan fakta dari sisi metode

pendekatan dalam mengklasifikasikan

pembagian urusan pemerintahan

(yang menjadi faktor utama).

2. Dengan masih dominannya

peran pemerintah pusat dalam

melaksanakan semua urusan pasca

implementasi desentraslisasi/

otonomi daerah mengaburkan posisi

masing-masing layer pemerintahan.

3. Dengan usia desentraslisasi/

otonomi daerah yang sudah 10

tahun, kemampuan daerah dalam

melaksanakan urusan wajib masih

terbatas sungguh menjadi ironi yang

mematahkan tesis desentralisasi/

otonomi daerah.

4. Kesinkronan aturan teknis

menjadi kendala yang cukup

signifikan menjadi ganjalan untuk

merampungkan pengalihan secara

tuntas.

Beny Trias Oktora

Jangka waktu pengalihkan kegiatan

dekonsentrasi dan tugas pembantuan

yang merupakan urusan daerah ke DAK yang sesuai aturan PP No.

7/2008 yaitu dimulai 2 tahun sejak tahun 2008

Page 30: Buletin defis 02   djpk

30 Media defis

Profil

GOLDEN TImE

DRS. PRAMUDJO, M. SOC. SC Direktur Dana Perimbangan

Saat kami berkunjung ke ruang kerja beliau, kami disambut dengan senyuman hangat oleh bapak dari tiga orang putri yang lahir di Ambarawa 60 tahun yang lalu. Tampak beliau begitu segar setelah berolah raga pagi hari dan dengan familiar menyambut kedatangan tim Majalah Defis. Simak wawancara tim Majalah Defis

dibawah ini tentang keseharian pekerjaan

dan profil Bapak Drs. Pramudjo, m.

Soc. Sc yang akrab dipanggil Pak Pram

selaku Direktur Dana Perimbangan.

Bagaimana perjalanan grand design

desentralisasi fiskal, sejak tahun 2007

sampai dengan sekarang?

Latarbelakang pendidikan saya adalah

keuangan daerah, pada awal masuk

DJPK dilantik pada bulan November

2006 saat alokasi anggaran untuk 2007

sudah ditetapkan. Saya melihat bahwa

pengerjaan alokasi dana perimbangan

masih bersifat normatif, dasarnya

pelaksanaannya adalah UU No 33/2004

dan PP No. 55 Tahun 2005, selama itu

pula Pemda datang meminta Kantor

Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN)

penyalurkan Dana Alokasi Umum (DAU)

dan Dana Alokasi Khusus (DAK) disertai

banyak penyimpangan-penyimpangan

yang terjadi didalamnya. Hal ini tentunya

tidak efisien dan efektif bila kondisi

ini dibiarkan terus menerus. Kemudian

dari sanalah muncul ide mengenai

desentralisasi fiskal dalam wujud transfer.

Melalui Direktorat Dana Perimbangan

mewujudkan pengelola dana transfer

(waktu itu dana perimbangan) yang

berkualitas dan akuntabel. Pada tahun

2008 mulai mengubah nomenklatur Belanja

ke Daerah menjadi Dana Transfer, karena

sifat dari Belanja itu berbeda dengan

Transfer, belanja itu harus ada bukti-bukti

pembayaran yang diserahkan pada waktu

meminta pembayaran sedangkan transfer

tidak perlu melampirkan bukti-bukti.

Pendekatan transfer bersifat Top Down,

oleh karena itu penyaluran transfer selama

ini dikerjakan oleh KPPN sekarang diubah

menjadi sentralisasi. Penyaluran dana

transfer bersifat sentralistik syaratnya

adalah setiap daerah harus memiliki

rekening, pada saat itu yang memiliki

seluruh data rekening seluruh daerah

se Indonesia adalah Direktorat Sistem

Perbendaharaan Ditjen Perbendaharaan,

maka diajukanlah permohonan

permintaan data rekening Pemda tersebut.

Rekening Pemda tersebut haruslah di

verifikasi oleh Bank Indonesia agar data

tersebut valid. Setelah proses verifikasi

maka tahap selanjutnya agar menjamin

penyaluran dana transfer tersebut tidak

terlambat pada saat penyaluran perdana

tanggal 2 Januari 2008. Diundanglah

seluruh perwakilan bank-bank di Jakarta

Page 31: Buletin defis 02   djpk

Media defis 31

Profil

untuk menjamin bahwa dana transfer dari

Pemerintah Pusat tidak akan terlambat

sampai ke rekening Pemda. Pada tanggal

2 Januari 2008 serempak seluruh Pemda

menerima Dana Transfer ke Daerah

melalui rekening Pemda masing-masing

tanpa lagi harus datang menagih ke KPPN.

Sistem ini dilaksanakan sampai sekarang

dan dampak efisiensinya sangatlah

besar, Pemda sudah tidak lagi harus

menyiapkan SPM, SPP, data-data dukung

lainnya yang harus dibawa Pemda ke

KPPN yang lokasinya kerap kali cukup jauh

jaraknya. Secara bertahap ditindaklanjuti

dengan aturan yang mengatur tentang

pengelolaan transfer dengan menerbitkan

Peraturan Menteri Keuangan No. 04/

PMK.07/2008 tentang Pelaksanaan dan

Pertanggungjawaban Transfer yang

sekarang menjadi acuan Subdirektorat

Transfer dalam menyalurakan dana

transfer ke daerah, selanjutnya setiap

tahun diterbitkan peraturan terkait.

Sekarang ini sedang dipersiapkan PMK

tentang pengelolaan transfer menyeluruh

mulai dari perencanaan sampai dengan

pertanggung jawabannya.

Bagaimana mempersiapkan pegawai

Direktorat Dana Perimbangan dalam

mengelola Transfer ke Daerah yang

berkualitas dan akuntabel?

Direktorat Dana Perimbangan

menampung seluruh masukan yang

bersifat membangun, baik dari intern

maupun ekstern. Mendengar apa yang

disampaikan anak buah dan memberikan

feedback berupa arahan dalam bekerja.

Semua yang dikerjakan haruslah memiliki

dasar hukum yang kuat dan aplikatif.

Bekerja haruslah dengan sikap yang

optimis, dilandasi dengan positif thinking,

berkerja dengan hati jangan hanya dengan

logika. Tidak ada tolelir bagi pegawai yang

memanfaatkan daerah untuk kepentingan

pribadi, segala hal-hal diluar kedinasan

itu merupakan tanggungjawab pribadi.

Pegawai diharapkan bekerja sesuai

dengan SOP yang telah ditetapkan dan

menyelesaikan pekerjaannya dengan baik.

Bagaimana memotifasi pegawai untuk

mencapai kinerja yang tinggi?

Setiap 6 (enam) bulan dilakukan grading

dengan tujuan ingin melihat seberapa jauh

pimpinan memperhatikan setiap pekerjaan

anak buahnya, terdapat komunikasi dan

diskusi terkait kinerja setiap staf untuk

diberi penilaian untuk menaikan grade.

Staf diharapkan memiliki sikap disiplin,

mulai dari hal yang kecil misalnya disiplin

waktu dalam pekerjaan. Bila sudah

memiliki sikap disiplin maka pekerjaan

dapat dilaksanakan dengan mudah.

Terkait pelaksanaan manajemen kinerja,

setiap staf Direktorat Dana Perimbangan

Keuangan telah memilik manual Indikator

Kinerja Utama (IKU) masing-masing yang

dikoordinir oleh Mitra Manajer Kinerja

Organisasi. Manual IKU tersebut berisikan

petunjuk operasional pekerjaan termasuk

target-targer kinerja yang harus dicapai

masing-masing individu dan selanjutnya

akan meningkat ke target unit kerja

diatasnya. Dengan adanya penilaian

perilaku dan organisasi harus bisa

dijabarkan kebawah. Kiat untuk dapat

mencapai target-target yang diterapkan

dalam kontrak kinerja dibuatlah matrik

waktu, contohnya antara lain dibuat

list setiap target-target pekerjaan

(penyelesaian penetapan alokasi dana

transfer) beserta disertai dengan kolom

norma waktu. Apabila sudah berjalan

maka pimpinan dapat memonitoring

kinerja masing-masing staf dibawahnya.

Sejak awal Kementerian Keuangan sudah

merintis Anggaran Berbasis Kinerja jauh

sebelum Manajemen Kinerja diterapkan

dan kegiatan didalam DIPA harus memiliki

relasi dengan IKU.

Terkait dengan membangkitkan

semangat diri sendiri dan orang lain,

Bapak rutin mengumpulkan anak

buah dalam rapat formal maupun

informal, apa yang Bapak sampaikan

pada rapat tersebut?

Awalnya pada saat saya menjabat

eselon IV di KPPN 2, pada saat itu saya

memiliki anak buah 30 – 40 orang,

setiap saat ada aturan tentang tata cara

penerbitan Surat Perintah Membayar

(SPM) yang perlu dipahami bersama, maka

pada hari sabtu selepas pulang pukul

12.30 didahului makan siang bersama

dilanjutkan membahas Surat Edaran

terkait berbagai peraturan-peraturan yang

harus ditindaklanjuti. Mulai saat itu tidak

harus menunggu akhir pekan, setiap hari

diadakan kumpul bersama membahas

berbagai peraturan, unit seksi lainpun

mulai tertarik untuk bergabung bersama.

Pada saat bertugas di Bandung, saya tidak

menempatkan 10 Prodip PKL ditempat

bagian umum yang biasa melihat pegawai

datang terlambat dan pulang sebelum

waktunya, namun saya menugaskan

mereka untuk hadir diruang rapat mereka

setiap hari sebelum pukul 07.30. Saya

sudah siapkan pegawai-pegawai yang

mengajari mereka disegala bidang setiap

pagi selama 60 menit. Setelah selesai

belajar, mereka kembali menempati

tempat kerja masing-masing dengan

situasi dimana semua pegawai diruangan

sudah duduk bekerja sehingga mereka

tidak melihat contoh pegawai yang datang

terlambat. Selanjutnya setelah selesai

bekerja, pada sore hari pukul 16.30 mereka

diminta masuk ke ruang rapat, diajari

kembali dengan berbagai materi pekerjaan

sampai dengan lewat pukul 17.00 dan

mereka tidak melihat pegawai yang pulang

sebelum waktunya. Hal tersebut untuk

memberikan persiapan dan landasan

yang baik untuk generasi baru dalam

bekerja dan memberikan kesempatan bagi

pegawai lama untuk mengembangkan

talenta mengajar. Selama bertugas di

Page 32: Buletin defis 02   djpk

32 Media defis

Profil

DJPK, saya juga kerap

mengumpulkan seluruh

pegawai untuk membahas

peraturan-peraturan yang

baru diterapkan, mulai

dari membahas peraturan

tentang kode etik pegawai

sampai dengan peraturan

tentang dana perimbangan.

menurut Bapak apa yang

menjadi tantangan dan

harapan DJPk ke depan?

Diharapkan kedepan DJPK

menjadi Center of Local

Government Finance, mulai

dari perencanaan dana

transfer selanjutnya sampai

kita bisa menjamin laporan

keuangan daerah memiliki

opini penilaian yang bagus

semua (WTP) karena dengan

begitu sudah menjamin

APBD baik, kalau sekarang ini terdapat gap

pekerjaan ketika uang sudah ditransfer ke

daerah maka itu sudah menjadi urusan

daerah. Bila kondisi ini masih terjadi maka

DJPK sulit untuk menjadi Center of Local

Government Finance, karena DJPK tidak

berani untuk menyentuh daerah. Ketika

DJPK mengusulkan fungsi perimbangan

keuangan pada Kanwil Perbendaharaan,

itu merupakan embrio untuk menyentuh

daerah. Rekan-rekan di Kanwil

Perbendaharaan bisa datang ke kas daerah

kemudian melihat perbendaharaan daerah

tidak sesuai dengan perbendaharaan

Negara, maka mereka dapat membenahi

bagian yang tidak sesuai tersebut. APBD

seharusnya sudah bisa di evaluasi sedetail

mungkin, bila ada kendala tidak memiliki

sumber daya manusia maka ditambah

pegawai, bila ada kendala keuangan untuk

datang ke daerah untuk menyamakan

data-data dengan aplikasi maka diusulkan

anggaran untuk menyelesaikan kendala

tersebut.

Bagaimana membagi waktu untuk

pekerjaan dan keluarga?

Sejak mulai bekerja sebagai pelaksana,

saya selalu tiba dikantor tepat waktu atau

lebih awal, sekarangpun pukul 07.20 sudah

duduk diruangan dan langsung bekerja.

Waktu yang ada saya gunakan seefektif

mungkin untuk hal-hal yang produktif. Bila

ada tamu yang hendak bertemu namun

kesulitan mencari jam yang tepat maka

dipersilahkan untuk dapat bertemu jam

07.00 pagi karena pada jam tersebut bagi

saya adalah golden time sebelum memulai

aktifitas pekerjaan sehari-hari. Bila waktu

dapat dimanfaatkan dengan optimal

maka pekerjaanpun dapat terselesaikan

dengan baik dan tepat pada waktunya.

Waktu dengan keluarga tidak tergannggu

oleh aktifitas pekerjaan karena semua

sudah sesuai dengan perencanaan dan

jadwal yang telah ditetapkan. Kualitas

kebersamaan dalam keluarga itulah yang

diutamakan, contohnya setiap akhir pekan

atau hari libur saya selalu mengantar istri

dan anak-anak ketempat mereka hendak

pergi, baik itu pergi belanja ataupun

menemui sanak saudara, saya selalu

hadir untuk mengawal mereka. Pada saat

menemani meraka berbelanja, waktu yang

ada saya manfaatkan untuk menuangkan

segala ide-ide ke dalam tulisan-tulisan

narasi serta membuat power point dengan

menggunakan laptop.

moto bekerja?

Bekerja dengan hati dan selalu Positive

Thinking.

Alit dan David

Menulis1. Penulis Editorial Majalah Anggaran 1997/19982. Penulis Editorial Malajah Anggaran 2005/20063. Artikel di Majalah Anggaran, Media Keuangan,

Koran Daerah Makassar, Kupang, Manado4. Menulis di blog mengenai Transfer ke Daerah (pramudjapk.blogspot.com.transferkedaerah.

wordpress.com)5. Menulis di blog mengenai motivasi

(motivasi2012.wordpress.com)

Melukis & Dekorasi1. Melukis di Blog : swaricucuku.wordpress.com

2. Dekorasi : merangkai bunga, terakhir pada event yang penting untuk kamar pengantin dan tempat upacara siraman pengantin pada pernikahan putri

kedua dan ketiga saya.

Menyanyi1. Menyanyi di mobil diantara kemacetan dari

kantor ke rumah2. Menyanyi bersama istri karaoke di rumah

Memotret1. Koleksi photo pemandangan dari beberapa

kota/daerah2. Koleksi photo berbagai jenis bunga3. Koleksi Photo humaniora & gender

MemasakMemasak berbagai macam masakan Tradisional

Jawa Tengah khusus vegetarian

Olah Raga1. Bekas pemain sepak bola dan tennis meja tim

kantor tingkat Eselon II DJA2. Jogging rutin, saat ini minimal 3 km setiap pagi

HOBI PAK PRAMUDJO

Page 33: Buletin defis 02   djpk

Media defis 33

Features

PENATAAN ORGANISASI DIREKTORAT JENDERAL PERIMBANGAN KEUANGAN

Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun

2003, Presiden telah mendelegasikan kewenangan

di bidang keuangan negara sebagai pengelola

fiskal. Dengan kewenangan tersebut, Menteri

Keuangan diberikan amanat untuk menentukan

kebijakan yang terkait dengan keuangan negara

termasuk dalam mengatur kebijakan penerimaan

dan pengeluaran daerah. Kewenangan Menteri

Keuangan tersebut selanjutnya didelegasikan

kepada Direktorat Jenderal Perimbangan

Keuangan selain tugas-tugas yang berkaitan

dengan pelaksanaan hubungan keuangan antara

pemerintah pusat dan daerah lainnya.

Seiring dengan proses desentralisasi fiskal di Indonesia yang

telah berlangsung secara penuh sejak tahun 2000, masih banyak

permasalahan keuangan negara yang muncul, khususnya di bidang

pengelolaan keuangan daerah. Besarnya dana yang ditransfer ke daerah

ternyata belum mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara

signifikan. Hal ini ditengarai salah satunya karena adanya mata rantai

yang putus dalam siklus manajemen keuangan daerah, yakni pelaksanaan

pembinaan anggaran daerah (APBD) yang juga melibatkan Kementerian

Dalam Negeri, sehingga Menteri Keuangan sebagai pengelola fiskal

tidak dapat berperan secara optimal dalam pengendalian pengelolaan

keuangan daerah.

Berkenaan dengan hal tersebut, DJPK sebagai kepanjangan tangan dari

Menteri Keuangan berupaya untuk melakukan serangkaian pembenahan

dan penataan organisasi terutama dengan memperkuat peran dan

keterlibatannya dalam peningkatan kualitas pengelolaan keuangan

dan belanja daerah. Ruang lingkup pelaksanaan tugas dan fungsi DJPK

mencakup perumusan dan pelaksanaan kebijakan Dana Perimbangan,

Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Dana Darurat, Pinjaman Daerah,

Hibah Daerah, serta dana-dana lain dari pusat yang disalurkan ke daerah

dalam rangka desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan, perlu

dikembangkan kepada evaluasi yang mendalam terhadap penggunaan

anggaran belanja dalam APBD.

Penataan Organisasi DJPKSalah satu hal yang menjadi program reformasi birokrasi adalah penataan

dan penguatan organisasi, termasuk di dalamnya adalah penataan tata

laksana yang perlu disesuaikan dengan kondisi perkembangan tugas

dan beban kerja serta tuntutan dari lingkungan organisasi. Sebagaimana

halnya manusia, organisasi juga mempunyai siklus hidup dengan melalui

beberapa tahapan mulai dari tahap introduction (permulaan), tahap

growth (pertumbuhan), maturity (kematangan), dan decline (penurunan).

Dalam setiap tahap kehidupannya organisasi dituntut untuk dapat

menyesuaikan dengan perkembangan dan tuntutan lingkungannya, agar

dapat eksis secara efektif dan efisien untuk mencapai tujuannya. Untuk

itulah, penataan atau penyempurnaan organisasi menjadi sesuatu yang

wajib dilakukan, karena organisasi adalah alat pimpinan untuk mencapai

tujuan sesuai dengan visi dan misi yang diemban/dikembangkan.

Agar selalu sejalan dengan program reformasi birokrasi, Kementerian

Keuangan memberikan acuan secara keseluruhan mengenai penataan

organisasi dengan menerbitkan PMK Nomor: 76/PMK.01/2009 Tentang

Pedoman Penataan Organisasi di Lingkungan Kementerian Keuangan

yang bertujuan: 1. Untuk memberikan arah dan acuan kepada unit

eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan dalam melakukan

penataan organisasi sesuai dengan prinsip-prinsip organisasi, prosedur

dan ketentuan yang berlaku; 2. Untuk memberikan pola pikir yang

sama kepada uirit eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan bahwa

Page 34: Buletin defis 02   djpk

34 Media defis

Features

dalam setiap melakukan penataan organisasi tidak rnengutamakan

kepentingan unit organisasi masing-masing, tetapi mengutamakan

kepentingan organisasi Kementerian Keuangan secara keseluruhan;

3. Untuk mewujudkan organisasi yang lebih efektif, efisien, responsif,

transparan dan akuntabel, check and balances, right sizing, serta sesuai

dengan perkembangan dan tuntutan masyarakat, dan kemajuan teknologi

pada seluruh unit organisasi di lingkungan Kementerian Keuangan dalam

rangka mewujudkan good governance.

Sesuai dengan PMK No. 184/PMK.01/2010 tentang Organisasi dan Tata

Kerja Kementerian Keuangan, DJPK mempunyai tugas merumuskan dan

melaksanakan kebijakan dan standardisasi tehnis di bidang perimbangan

keuangan. Otonomi daerah sangat erat dengan desentralisasi fiskal,

karena esensi otonomi daerah adalah diserahkannya hampir semua

kewenangan pemerintah pusat kepada daerah yang disertai dengan

pendanaannya dan daerah diberikan keleluasaan dalam pengelolaan

keuangannya.

Tahapan proses penataan organisasi DJPK selama kurun waktu 2009

sampai dengan 2012 dapat digambarkan sebagai berikut :

A. Periode 2009 dan 2010Konsep yang mendasari hal tersebut adalah perlu dilakukan pembagian

organisasi yang meliputi kegiatan front office, middle office dan back office.

Penataan pada periode ini didasarkan pada tujuan sebagai berikut: 1)

Dana APBN yang dialokasikan ke Daerah cukup besar (lebih kurang 1/3

Belanja APBN), mengakibatkan beban tanggung jawab yang besar pula,

sehingga perlu adanya distribusi risiko dan tanggung jawab kepada

unit-unit eselon II di DJPK. 2) Struktur organisasi DJPK saat ini dirasa

masih belum memenuhi beberapa asas organisasi yang ditetapkan

dalam PMK Nomor 76/PMK.01/2009 : koordinasi yang belum maksimal,

keseimbangan beban kerja yang belum merata, belum berjalannya

prinsip one stop services serta check and balances dalam pelaksanaan tugas.

Pelaksanaan evaluasi kinerja yang akan dilakukan secara periodik dan

berkelanjutan pada seluruh tingkatan unit bahkan untuk setiap pegawai,

memerlukan penajaman tugas dan output yang jelas pada masing-

masing unit; 3)Pelaksanaan manajemen risiko di lingkungan Departemen

Keuangan menuntut adanya pembagian beban risiko yang lebih merata

pada masing-masing unit kerja, sehingga tidak terjadi perbedaan risiko

yang sangat lebar antar unit. 4) Sejak berdirinya Ditjen PKPD, setiap

tahun selalu dibentuk Tim Asistensi yang khusus menangani isu-isu

desentralisasi fiskal yang bersifat ad hoc, untuk itu perlu pelembagaan

tenaga khusus pengkaji dalam struktur organisasi DJPK, seperti di Setjen,

Bapepam-LK, dan Ditjen Pajak. 5) Tugas-tugas fasilitasi kerjasama dengan

institusi pemerintah/non pemerintah lainnya yang semakin banyak,

kiranya perlu dilembagakan dalam unit yang jelas untuk melaksanakan

tugas-tugas tersebut.

1) Tugas ini lebih banyak akan dilaksanakan pada unit yang diposisikan sebagai middle office yang terdiri dari 2 atau 3 direktorat untuk melaksanakan fungsi penyiapan perumusan dan pelaksanaan kebijakan hubungan keuangan pusat daerah yang mencakup perhitungan alokasi, koordinasi dan fasilitasi, standardisasi, bimbingan teknis, serta monitoring dan evaluasi kebijakan pengalokasian dana transfer ke daerah, hibah daerah, pinjaman daerah, dana-dana pusat ke daerah lainnya.

2) Jumlah sub direktorat setiap direktorat berkisar antara 4 unit sampai dengan 6 unit. Selain Sub Bagian Tata Usaha juga diusulkan adanya unit data bantuan teknis untuk mendukung tugas-tugas teknis bagi direktorat. Unit ini diharapkan dapat menjembatani kebutuhan koordinasi masalah-masalah teknis yang diperlukan lingkup direktorat dan antar direktorat/sekretariat ditjen. Unit seperti ini sudah ada antara lain pada Ditjen Anggaran dan Ditjen Perbendaharaan.

3) Sebagai KPA dana-dana APBN yang di desentralisasikan, diperlukan satu direktorat yang khusus untuk melaksanakan penyaluran dana-dana tersebut ke daerah. Selain itu, unit ini juga bertugas untuk melakukan pelaporan dan akuntansi atas pelaksanaan penyaluran dana transfer ke daerah. Unit ini diposisikan sebagai front office DJPK.

4) Untuk memberikan dukungan data, dukungan aplikasi teknis, dan pemanfaatan teknologi informasi, serta evaluasi pelaksanaan kebijakan desentralisasi fiskal diperlukan satu direktorat. Direktorat ini diharapkan menjadi sumber segala informasi terkait kebijakan desentralisasi fiskal di Indonesia, termasuk di dalamnya data yang diperlukan di dalam rangka perumusan kebijakan hubungan/perimbangan keuangan pusat dan daerah. Disini juga merupakan tempat pengelolaan dan pengolahan data APBD yang diterima dari seluruh daerah sekaligus evaluasi atas penggunaan dana yang telah di desentralisasikan (dana transfer ke daerah) yang telah dialokasikan.

5) Selanjutnya untuk memberikan dukungan keilmuan/kajian akademis kepada semua unit dilakukan oleh tenaga khusus pengkaji hubungan/perimbangan keuangan pusat dan daerah. Hal ini dilakukan untuk menyikapi adanya kebutuhan second opinion dari sisi akademis terkait dalam perumusan kebijakan dan menanggapi isu-isu desentralisasi fiskal, sehingga perlu pelembagaan tenaga khusus pengkaji dalam struktur organisasi DJPK, seperti di Setjen, Bapepam-LK, dan Ditjen Pajak serta yang sekarang dalam proses di DJA dan DJPB.

6) Sementara sebagai unsur pembantu pimpinan untuk melakukan dukungan koordinasi pelaksanaan tugas, pembinaan dan pemberian dukungan pelayanan teknis dan administratif kepada semua unsur di lingkungan Direktorat Jenderal oleh Sekretariat Ditjen. Dengan adanya tambahan tugas pelaksanaan evaluasi kinerja yang akan dilakukan secara periodik dan berkelanjutan pada seluruh tingkatan unit bahkan untuk setiap pegawai, penerapan manajemen risiko, fasilitasi kerjasama dengan institusi pemerintah/non pemerintah lainnya, serta terakhir instruksi Menteri Keuangan untuk membentuk unit kepatuhan internal dan mekanisme whistle blower pada setiap unit eselon I, memerlukan pelembagaan dalam unit yang jelas untuk melaksanakannya.

Diusulkan pada sekretariat ditjen dilakukan pengaturan kembali tugas dan fungsi Bagian Perencanaan dan Organisasi dan penambahan 1 (satu) bagian lagi yang khusus menangani kepatuhan internal sebagaimana yang saat ini sudah dilakukan di Ditjen Anggaran.

7) Direktorat yang menangani dukungan data dan informasi, Tenaga Khusus Pengkaji, dan Sekretariat Ditjen diposisikan sebagai back office DJPK.

Page 35: Buletin defis 02   djpk

Media defis 35

Profil

B. Periode 2011 Wacana pembukaan kantor wilayah DJPKSehubungan dengan konsepsi perubahan

organisasi sebagaimana di awal, penataan

organisasi yang direncanakan dilakukan dalam

kerangka penguatan posisi dan peran Menteri

Keuangan dalam konteks Hubungan Keuangan

Pusat dan Daerah (HKPD) khususnya di bidang

pengelolaan keuangan daerah. Penataan

organisasi ini merupakan langkah awal dan

juga merupakan bagian dari rencana aksi

yang diperlukan dalam mencapai penguatan

peran Kementerian Keuangan dalam rangka

peningkatan kualitas pengelolaan keuangan

daerah. Beberapa tahapan yang akan dilakukan

adalah :

Sampai saat tulisan ini dibuat telah diusulkan

Rancangan Keputusan Menteri Keuangan

mengenai Penetapan Direktorat Jenderal

Perbendaharaan untuk melaksanakan sebagian

tugas Kementerian Keuangan dalam bidang

penganggaran dan perimbangan keuangan

melalui Kantor Wilayah Direktorat Jenderal

Perbendaharaan.

Rencana Sinergi DJPK dan DJPB untuk

memperkuat peran Menteri Keuangan

Dalam Hubungan Keuangan Pusat dan

Daerah. Rencana sinergi DJPK dan DJPB akan

direalisasikan melalui pembentukan satu unit

eselon III di Kanwil Perbendaharaan yang akan

mempunyai tugas dan fungsi dalam rangka

penguatan peran kementerian keuangan

dalam melakukan pembinaan dan pengawasan

pengelolaan keuangan daerah.

Tugas dan Fungsi Bidang Perimbangan

Keuangan yang dilaksanakan oleh Kantor

Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan,

yaitu: 1) Pelaksanaan pemantauan atas

penerimaan dana transfer dan hibah ke daerah

di daerah; 2) Koordinasi pemantauan laporan

realisasi penggunaan dana transfer dari Kepala

Daerah kepada Direktorat Jenderal Perimbangan

Keuangan, 3) Fasilitasi penyampaian informasi

keuangan daerah melalui sistem elektronik,

dan 4) Bimbingan teknis pengelolaan keuangan

daerah.

Dalam melaksanakan tugas dan fungsi tersebut,

Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal

Perbendaharaan harus menyampaikan laporan hasil pelaksanaannya kepada Dirjen Perimbangan

Keuangan sebagai bahan masukan dalam penyusunan kebijakan terkait hubungan keuangan pusat

dan daerah. Hasil “kolaborasi” DJPK dan DJPB tersebut diharapkan memberikan suatu output

yang jelas, terutama dalam meningkatkan dan memperkuat peran Kementerian Keuangan dalam

konteks hubungan keuangan pusat dan daerah. Output tersebut dapat diwujudkan melalui hal-hal

sebagai berikut: 1. Adanya keterwakilan Pemerintah Daerah dalam memperjuangkan kepentingan/

aspirasi daerah yang terkait dengan hubungan keuangan pusat dan daerah di forum nasional baik

dengan Kementerian/Lembaga, DPR, maupun stakeholder lainnya; 2. Adanya perbaikan kebijakan

di dalam pengalokasian dana APBN ke daerah termasuk Dana Transfer ke Daerah, diharapkan

nantinya tidak hanya dilihat dari sisi kapasitas dan kebutuhan fiskal daerah semata, namun

perlu juga dilihat dari sisi dampak penggunaan dana tersebut dalam meningkatkan pelayanan

dan kesejahteraan masyarakat; 3. Adanya instrumen yang mampu mendorong dan memfasilitasi

Pemerintah Daerah dalam mempercepat penyusunan, penetapan dan pelaksanaan APBD; 4.

Adanya peningkatan fungsi serta peran aktif dalam memfasilitasi, mensupervisi, dan mengevaluasi

Pemerintah Daerah di dalam pengelolaan keuangan daerah, agar Pemerintah Daerah dapat

mengelola keuangannya secara efisien, efektif, transparan, dan akuntabel yang pada akhirnya

diharapkan dapat mewujudkan tata kelola pemerintah yang baik (good governance).

Dari hasil sinergitas antara DJPK dan DJPB tersebut diharapkan suatu langkah maju dalam

mewujudkan sistem keuangan negara yang mengintegrasikan pengelolaan keuangan daerah ke

dalam pengelolaan keuangan Negara secara nasional dapat tercapai…semoga.

Esthi dan Agung

Tahap Pertama Tahapan yang sifatnya jangka pendek dengan rentang waktu selama 1 (satu) tahun. Target yang akan dicapai dalam tahap pertama ini adalah: a. Terwujudnya penguatan posisi dan peran Menteri Keuangan dalam konteks HKPD, sehingga dapat mendukung efektifitas tugas dan fungsi Menteri Keuangan dalam pengelolaan fiskal; b. Terwujudnya transformasi kelembaga-an di Kementerian Keuangan yang mampu menjawab tantangan dan permasalahan pengelolaan keuangan yang baik dan prudent, terutama yang terkait dengan pengelolaan HKPD

Tahap Kedua Tahapan yang sifatnya jangka menengah dengan rentang waktu selama 3 (tiga) tahun. Target yang akan dicapai dalam tahap kedua ini adalah : a. Terwujudnya arah dan tujuan HKPD ke depan yang memperhatikan rasa keadilan melalui pengelolaan HKPD yang sehat (dikelola secara efisien, efektif, transparan dan akuntabel), selaras (sesuai dengan peraturan perundang-undangan), dan seimbang (memperhatikan kebutuhan dan kemampuan); b. Terbentuknya peraturan perundang-undangan di bidang HKPD yang telah mengakomodir arah dan tujuan HKPD ke depan; c. Terselenggaranya HKPD yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan HKPD yang baru (revisi UU 33/ 2004), sehingga dapat mewujudkan harmonisasi perencanaan dan pelaksanaan APBN dan APBD, sinergisitas Pusat dan Daerah, percepatan penyusunan, penetapan dan pelaksanaan APBD, kemandirian daerah dalam meningkatkan

Pendapatan Asli Daerah, belanja daerah yang berkualitas dan akuntabel, pengelolaan keuangan daerah yang menerapkan prinsip-prinsip pengelolaan keuangan yang baik dan prudent

Tahap Ketiga Tahapan yang sifatnya jangka panjang dengan rentang waktu selama 5 (lima) tahun. Target yang akan dicapai dalam tahap ketiga ini adalah Pertama, terwujudnya pengelolaan fiskal daerah yang terintegrasi dengan pengelolaan fiskal Nasional, kedua, terwujudnya penyelenggaraan HKPD yang berkeadilan dan dapat mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat, dan ketiga Periode 2012, Rencana Sinergi DJPK dan DJPB.Wacana pembukaan kantor wilayah DJPK pada tahun 2011 menimbulkan pro dan kontra. Sebagian yang mendukung memiliki alasan jumlah jabatan di DJPK sekarang terlalu kecil sehingga sudah saatnya ditambah jenjang karirnya dengan pembentukan kantor wilayah, namun disisi lain sebagaimana hasil penelaahan Sekretariat Jenderal Kementerian Keuangan dirasa kurang efisien apabila DJPK harus membuka kantor perwakilan di daerah. Mempertimbangkan tingginya biaya yang harus dialokasikan terutama untuk pengadaan SDM, kantor dan infrastruktur lainnya, maka rencana pembukaan kantor wilayah dibatalkan dan munculah alternatif untuk melakukan sinergi dengan Ditjen Perbendaharaan pada tahun 2012. Hal ini dapat dianggap sebagai suatu kebijakan “win-win solution” mengingat sumber daya manusia di DJPB saat ini sangat memungkinkan untuk menghandle tugas-tugas DJPK di daerah

Page 36: Buletin defis 02   djpk

36 Media defis

Resensi Buku

Sejak pertama kali ditemukan, revolusi ilmu ekonomi telah didominasi oleh sistem pemikiran mekanistik dan linier yang inspirasinya bersumber dari ilmu mekanika Newton. Fenomena ini akan berubah. Melalui buku ini, David Orrell, seorang ahli matematika, menunjukkan bagaimana revolusi ilmu ekonomi dipengaruhi oleh ide-ide baru yang muncul dari berbagai bidang, seperti teori kompleksitas dan ilmu jaringan.

David Orrell menjelaskan bagaimana

perekonomian sebagai hasil dari proses

yang kompleks dan jaringan yang tidak

linier. Ia juga menunjukkan mengapa

model-model matematika yang digunakan

oleh para bankir dan pembuat kebijakan

telah mengakibatkan dunia menjadi lebih

berisiko. Hubungan paradoks di antara

uang dan kebahagiaan juga dieksplorasi.

Selain itu, David Orrell berpandangan

bahwa sistem keuangan lebih baik

dilihat sebagai suatu proses organik

dibandingkan sebagai suatu mesin. Pada

akhirnya, dapat ditunjukkan bagaimana

ilmu pengetahuan dapat membantu

menemukan kembali ilmu ekonomi di

abad ke-21.

Pada awal tahun, menurut hasil ramalan

dari berbagai pihak (Bloomberg.com),

tahun 2008 akan menjadi tahun sejahtera

bagi pasar keuangan. Tidak seorangpun

menduga akan terjadi suatu kerugian dan

bahkan keuntungan bisnis diprediksikan

mencapai rata-rata 11 persen. Mereka

tidak memperhatikan bahwa salah satu

bencana keuangan terbesar dalam

sejarah sedang berlangsung di bawah kaki

mereka. Pada akhir tahun, Indeks S&P 500

menurun 38 persen, sejumlah $29 triliun

telah hilang di pasar global, dan banyak

pondasi perekonomian dunia telah

runtuh.

Kegagalan pembayaran kredit dalam

skala besar (credit crunch) terjadi dalam

beberapa fase, namun kejadian yang

paling penting adalah kolapsnya

layanan keuangan perusahaan Lehman

Brothers pada September 2008. Dengan

kepemilikan aset lebih dari AS$600 miliar,

kebangkrutan Lehman Brothers adalah

yang terbesar dalam sejarah perusahaan di

Amerika Serikat. Lehman juga merupakan

salah satu titik kunci di dalam jaringan

keuangan, sehingga kebangkrutannya

mengantarkan krisis memasuki fase yang

sangat berbahaya. Banyak pihak yang

khawatir bahwa seantero sistem keuangan

global akan hancur. Kekhawatiran ini

tidak terjadi dan pasar pada akhirnya

dapat pulih dari pengalaman hampir-mati.

Namun, dampak dari kejadian bangkrutnya

Mitos Ekonomi

Page 37: Buletin defis 02   djpk

Media defis 37

Resensi Buku

Lehman Brother masih terasa hingga saat

ini.

Kegagalan para ekonom untuk

memperkirakan credit crunch atau

resesi yang berikutnya bukanlah hal

yang khas. David Orrel menunjukkan

bahwa peramalan keuangan memiliki

catatan pengalaman (track record)

keberhasilan yang sangat buruk, bahkan

tatkala didasarkan pada model-model

matematika yang sempurna. Dewasa

ini, model-model tersebut tidak hanya

gagal untuk memprediksikan kejatuhan

ekonomi, tetapi lebih jauh lagi, membantu

kegagalan.

Pada tahun-tahun sebelum krisis, pelaku

pasar keuangan sangat bergantung pada

model-model kuantitatif/ matematika

dalam membuat keputusan. Bahkan

jika model-model yang digunakan tidak

mampu memperkirakan dengan tepat

situasi di masa depan, mereka masih

menggunakannya untuk menghitung

risiko. Sebagai contoh, untuk menghitung

risiko dari suatu paket pinjaman, para

pelaku pasar keuangan hanya perlu

melakukan suatu perhitungan statistik

dengan menggunakan rumus sederhana

atau model risiko yang didasarkan pada

teori ekonomi standar. Perhitungan

statistik sepertinya berjalan dengan baik,

sehingga para analis kuantitatif mulai

menggunakannya untuk mempertaruhkan

risiko yang lebih besar.

Sebelum krisis menjadi sangat parah,

terdapat tanda-tanda bahwa model-

model yang digunakan gagal menangkap

beragam risiko perekonomian yang

sebenarnya. Pada 11 Agustus 2007,

setahun sebelum jatuhnya Lehman

Brother, turbulensi pasar yang tidak

terduga telah terjadi dan menyebabkan

turunnya harga rumah di Amerika Serikat.

Kejadian yang diperkirakan oleh model

hanya akan terjadi sekali dalam 10.000

tahun, ternyata terjadi setiap hari selama

tiga hari berturut-turut.

Anda tidak perlu menjadi seorang ahli

matematika untuk melihat bahwa ada hal

yang salah dengan model-model yang

digunakan sebagai alat analisis sistem

keuangan. Tetapi, bagaimana mungkin

begitu banyak ahli yang bergaji tinggi

telah salah dalam menduga bekerjanya

perekonomian?

Sebenarnya, tidak seorangpun terkejut

dengan krisis sebagaimana dirasakan

oleh para analis kuantitatif dan model

matematikanya. Pada awal 2003, Warren

Buffet menjelaskan produk-produk

derivatif yang kompleks yang menjadi

kunci dalam credit crunch, sehingga

disebut sebagai senjata keuangan

untuk penghancuran massal (financial

weapons of mass destruction). Di tahun

yang sama, sebelum jatuhnya Lehman

yang menghancurkan sistem perbankan,

seorang ilmuwan jaringan, Albert-Laszlo

Barabasi telah mengingatkan potensi

“cascading failures” di dalam perekonomian.

Bahkan para bankir di bank-bank sentral

telah memikirkan bahwa sistem keuangan

telah menjadi kurang stabil. Pada Januari

2007, Jean-Claude Trichet, Presiden Bank

Sentral Eropa, mengemukakan bahwa

elemen-elemen pasar keuangan global

terlihat tidak stabil, namun letak risikonya

tidak sepenuhnya dapat diketahui.

Nassim Taleb, seorang penulis, dan

Nouriel Roubini, seorang ekonom, telah

memberikan peringatan secara lebih

spesifik, namun suara mereka diabaikan,

karena agresivitas para pelaku di dalam

sistem keuangan yang mengejar profit.

Sama seperti krisis-krisis sebelumnya,

penyebab credit crunch telah banyak

dianalisis dan diperdebatkan. Kritik yang

paling nyata adalah pada perilaku dari

para bankir yang memperoleh gaji sangat

tinggi dan masih ditambah bonus yang

tinggi pula. Kondisi ini sering dipandang

lumrah sebagai konsekuensi tingginya

risiko yang diambil oleh para bankir.

Tetapi, sayangnya, karena keputusan

mereka yang keliru, terjadi kekelaman

pada perekonomian riil. Pihak lain

yang harus bertanggung jawab adalah

regulator yang telah gagal mengawal

pesatnya inovasi pada produk-produk

keuangan. Di samping itu, masih banyak

aktor-aktor lainnya yang ikut terlibat.

Para pemilik rumah di Amerika Serikat

yang mengambil subprime loans, namun

tidak mampu membayar kembali, bank-

bank sentral yang mengabaikan gejala-

gejala persoalan, dan para ekonom yang

merancang model-model matematika

yang cacat.

Fenomena yang terjadi masih

meninggalkan pertanyaan mengenai

bagaimana begitu banyak orang di dalam

industri keuangan telah tersesat dengan

risiko yang dijalankannya dan tidak

memperhatikan bahaya yang ditimbulkan.

Alasannya, menurut Orrell, adalah bahwa

asumsi-sumsi dasar yang membentuk

teori ekonomi penuh dengan kekurangan.

Hal ini bermakna bahwa tidak hanya

model-model matematika, tetapi model-

model aktual mengenai perekonomian

yang dimiliki oleh kebanyakan ekonom

sepenuhnya salah.

Persoalan ini menjadi alasan dibalik

perhitungan risiko keuangan. Persoalan

utama yang dihadapi oleh sistem ekonomi

kita adalah tidak pada kesulitan untuk

memprediksinya, tetapi di samping

produktivitas dan kreativitasnya yang

luar biasa, adalah pada yang disebut

oleh Orrel sebagai “a state of ill health”.

Perekonomian pada dasarnya tidak adil,

tidak stabil, dan tidak berkelanjutan.

Namun, teori ekonomi tidak memiliki cara

untuk mengakomodasi hal ini.

Page 38: Buletin defis 02   djpk

38 Media defis

Resensi Buku

Perekonomian tidak adil. Teori ekonomi

seharusnya membahas mengenai

optimisasi alokasi sumber daya. Dalam

realitanya, orang yang kaya menjadi

semakin kaya. Pada tahun 2009,

seorang manajer hedge fund memperoleh

penghasilan lebih dari AS$2 miliar,

sementara lebih dari satu juat orang

hanya memiliki penghasilan kurang dari

AS$1 per hari. Arus utama ilmu ekonomi

adalah suatu teori yang menyatu dengan

kepentingan orang yang sangat kaya.

Perekonomian tidak stabil. Menurut teori,

invisible hand seharusnya menjaga harga

aset-aset pada tingkat yang stabil. Tetapi

dalam faktanya, harga beragam aset,

seperti minyak bumi, emas, dan mata

uang sangat berfluktuasi. Pada akhir 2007,

harga minyak bumi pernah mencapai lebih

dari AS$140 per barel, namun kemudian

menurun tajam menjadi di bawah AS$40

per barel hanya dalam beberapa bulan.

Minyak bumi sering disebut sebagai darah

kehidupan perekonomian (lifeblood of the

economy), tetapi suplai darah kita sendiri

dapat diatur dengan lebih baik. Sementara

waktu ini, perekonomian sepertinya

sedang mengalami serangan jantung.

Perekonomian tidak berkelanjutan.

Menurut teori, perekonomian dapat

tumbuh selamanya tanpa batas.

Realitasnya, kita dihadapkan pada

kendala-kendala kemacetan yang parah

(over-crowding), perubahan iklim, dan

degradasi lingkungan. Sebagaimana

dikemukakan oleh para pemerhati

lingkungan, pertumbuhan yang tanpa

akhir (never-ending growth) merupakan

filosofi dari suatu sel kanker.

Ketiga persoalan jauh lebih penting

dibandingkan kejadian credit crunch. Hutang

perekonomian global yang menumpuk

dibandingkan persoalan lingkungan, atau

hutang yang dimiliki oleh negara-negara

kaya di negara-negara miskin, perlu lebih

diperhatikan dibandingkan hutang bank-

bank kepada pemerintah atau pemegang

saham. Dalam konteks ini, krisis yang

terjadi dapat dipandang sebagai suatu

berkah yang terselubung (blessing in

disguise), karena menjadi daya pendorong

bagi kita untuk memikirkan kembali

pendekatan kita mengenai uang.

Selain gagal menyelesaikan keterbatasan

perekonomian, teori ekonomi juga gagal

untuk memperhitungkan dengan cermat

dinamika dan produktivitas perekonomian.

Suatu modal yang menekankan stabilitas

tidak cukup baik dalam menangkap

kreativitas pasar. Jadi, mengapa kita tetap

mempertahankan teori ekonomi yang

dalam kenyataannya tidak sesuai dengan

tujuan yang ingin dicapai?

Ilmu ekonomi adalah suatu representasi

matematika dari perilaku manusia,

dan seperti model-model matematika

lainnya, didasarkan pada asumsi-asumsi

tertentu. Orrell berpandangan bahwa

dalam kasus ilmu ekonomi, asumsi-

asumsi yang digunakan sangat jauh dari

realita, dan sesuai dengan kebutuhan

dan perilaku dari kebanyakan orang,

maka hasilnya adalah berupa karikatur

yang sangat menyesatkan. Teori ekonomi

lebih sesuai untuk menjadi suatu ideologi

dibandingkan ilmu pengetahuan. Alasan

mengapa begitu banyak orang meyakini

bahwa asumsi-asumsi tersebut masuk akal

adalah karena didasarkan pada ide-ide

yang bersumber dari ilmu fisika atau teknik

yang merupakan bagian dari warisan ilmu

pengetahuan kita sekitar 2500 tahun yang

lalu (Yunani kuno). Mereka terlihat dangkal

sebagai ilmu pengetahuan riil, namun

merupakan koin tiruan.

Untuk membuat kemajuan, tidak cukup

untuk menyesuaikan dan memperbaiki

asumsi-asumsi tersebut. Banyak karya

telah dilakukan untuk mengeksplorasi

variasi-variasi minor. Misalnya, suatu artikel

di dalam Nature yang berjudul “Economics

Needs a Scientific Revolution” menegaskan

bahwa kita perlu melepaskan diri dari

ilmu ekonomi klasik dan mengembangkan

alat-alat yang sepenuhnya berbeda.

Tatkala ilmu ekonomi membuat model

secara tradisional mengikuti ilmu

fisika dan mekanika, perekonomian

menghadapi suatu organisma hidup

dan bukan mesin. Buku ini menunjukkan

bagaimana suatu generasi baru ekonom,

ahli matematika, ahli lingkungan,

dan pakar ilmu pengetahuan lainnya

menerapkan beragam pelajaran dan teknik

untuk mengembangkan suatu model

perekonomian yang lebih realistis.

Setiap bab diawali dengan salah satu

kesalahan konsepsi dibalik teori ekonomi

ortodoks. Diskusi kemudian diarahkan

pada sejarah untuk melacak sumber ide

tersebut dan menjelaskan bagaimana

pengaruhnya terhadap kehidupan kita

sehari-hari. Selanjutnya, dicoba untuk

menguraikan mengapa kondisi tersebut

terus berlangsung meskipun bukti-bukti

menunjukkan kondisi yang sebaliknya,

serta mengusulkan bagaimana kita dapat

mengubah atau menggantikannya. Secara

lebih spesifik, kesalahan-kesalahan

konsepsi yang dimaksudkan terdiri dari:

perekonomian dapat digambarkan oleh

hukum-hukum ekonomi; perekonomian

terbentuk oleh perilaku individu-individu

yang independen; perekonomian

berjalan dengan stabil; risiko ekonomi

dapat dengan mudah dikelola dengan

menggunakan statistika; perekonomian

berlangsung secara rasional dan efisien;

perekonomian bersifat gender-netral;

perekonomian berjalan dengan adil;

pertumbuhan ekonomi dapat berlangsung

terus-menerus selamanya; pertumbuhan

ekonomi akan membuat kita bahagia; dan

pertumbuhan ekonomi selalu baik.

Roberto Akyuwen

Page 39: Buletin defis 02   djpk

Media defis 39

Renungan

Menolong untuk Ditolong“Ahh….lagi-lagi dia, males…kalau gak

bawa masalah, paling minta tolong ini …

minta itu” sergah seorang kawan ketika

diberitahu ada temannya yang datang.

Perkataan seperti itu sering kali bahkan

mungkin sangat sering terdengar dalam

keseharian kita. Terus kenapa dengan

kalimat itu? Apa salah? Ya..tidak ada

salahnya….wajar... manusiawi…apa lagi?

Tidak salah, karena sebagai manusia

sering kita merasa bosan…merasa

terbeban dengan permintaan yang sering

disampaikan atau bahkan selalu datang

kepada kita. Jadi menjadi wajar juga bagi

kita untuk mendengar kalimat seperti

itu, karena kita biasa menempatkan

sebagai orang yang senang kalau

mendapatkan pertolongan, bukan pada

posisi sebaliknya, dan akhirnya sebagai

permakluman kita bilang sebagai kalimat

yang manusiawi. Permakluman? Loh ber-

arti salah? Kurang pas…kurang tepat.

Bisa dikatakan begitu. Coba kita sedikit

memperhatikan firman Allah dalam

Alquran surat Al-Ma’idah ayat 2 yang

artinya: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam

(mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan

tolong-menolong dalam berbuat dosa dan

permusuhan (pelanggaran). Dan bertakwalah

kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat

berat siksa-Nya.”

Jadi sebenarnya saling menolong adalah

perintah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala,

Dzat yang menciptakan dan memberikan

kehidupan kepada kita. Hanya saja, yang

diperintahkan adalah dibatasi untuk

tolong menolong dalam berbuat baik dan

dalam rangka ketaqwaan, bukan dalam hal

pelanggaran dan dosa. Menilik firman Allah

ini, maka tidak ada alasan bagi kita untuk

menolak permintaan bantuan kepada kita,

apapun, sepanjang hal itu dalam kerangka

kebaikan yang diridhoi-Nya. Lebih lanjut

saling menolong dalam kebaikan adalah

merupakan salah satu bentuk kewajiban

dari-Nya dan bentuk taqwa kita kepada-

Nya. Perhatikan penutup ayat di atas

yang menegaskan agar kita bertaqwa agar

terhindar dari beratnya siksa Allah.

Kembali ke permasalahan ucapan kawan

di atas, maka sebagai seorang hamba yang

taqwa seharusnya kalimat itu tidak perlu

terucapkan. Terus bagaimana seharusnya

kita menyikapi ketika harus menghadapi

adanya permintaan, baik materi ataupun

non materi, yang diajukan kepada

kita. Ya seharusnya kita memenuhinya

dengan dasar pelayanan sebagai wujud

pengabdian/ibadah kita kepada Sang

Khaliq. Masak sih harus begitu? Kita khan

manusia yang tidak selalu mempunyai

keluasan bahkan hanya keterbatasan

yang ada pada kita. Ya memang, manusia

diciptakan dengan keterbatasan dan

dengan keterbatasan itulah kita diuji oleh-

Nya sampai dimana kesungguhan kita

dalam beribadah. Bahkan, Allah pun tidak

menghendaki kita beribadah melampaui

batas kemampuan kita. Jadi yang kita

lakukan semestinya hanyalah jangan

sampai berprasangka jelek terlebih dahulu

atas siapapun yang datang untuk meminta

tolong kepada kita. Karena siapa tahu, itu

adalah malaikat yang diutus Allah untuk

menguji seberapa tebal keimanan dan

kesyukuran kita kepada-Nya.

Pernah suatu saat saya besuk istri seorang

teman yang sakit agak parah dan sudah

beberapa lama di rumah sakit. Terjadi

dialog dengan teman tersebut :

T : “Ditempatmu, ada orang susah yang perlu ditolong gak?, atau bisa gak kamu carikan orang yang membutuhkan pertolongan”.

S : (sambil bingung) “Memang kenapa?”.

T : “Aku mau menolongnya”.

S : “Loh, bukannya sampeyan sendiri yang butuh pertolongan?”

T : “Justru itu, agar aku mendapatkan pertolongan dari Allah untuk menyembuhkan istri saya, maka aku akan menolong orang yang sangat membutuhkannya. Diriwayatkan dalam sebuah hadits Rasululloh, bahwa pertolongan Allah akan selalu menyertai seorang hamba, selama hamba tersebut menolong kepada saudaranya (sesama hamba)”.

Dan alhamdulillah tidak lama kemudian,

istri teman tersebut mendapatkan obat

yang cocok dan sembuh.

Subhanallah... ternyata menolong sesama

adalah salah satu cara untuk mendapatkan

pertolongan dari Allah. Bukankah kita

juga sudah melihat, orang yang sering

memberikan pertolongan/ membantu

kepada orang lain, kehidupannya akan

lebih baik? Tentunya pertolongan yang

ikhlas semata-mata mengharap ridho dan

balasan dari Allah SWT dalam konteks

beribadah, bukan untuk pamer atau ka-

rena niat yang lain. Bersyukurlah, ketika

kita bisa memberikan pertolongan yang

baik, karena dari situlah pertolongan Allah

Yang Maha Kaya akan diberikan. Semangat

….untuk menolong.

Wahyudi Sulestyanto

Page 40: Buletin defis 02   djpk

40 Media defis

Sekilas Berita

Peluncuran (launching) Aplikasi Web Based Reporting System

(WBRS) DAK diselenggarakan di Hotel Red Top Jakarta

pada tanggal 29 Mei 2012 lalu. Acara yang diresmikan oleh

Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan ini mengundang

seluruh Sekretaris Daerah, Kepala Bappeda, Kepala DPPKAD,

dan Kepala Dinas Pekerjaan Umum lingkup wilayah Provinsi

Jambi, Provinsi Jawa Timur, Provinsi Maluku Utara, Provinsi

Sulawesi Barat, dan Provinsi Kalimantan Tengah. Tujuan

dari acara launching WBRS ini adalah untuk memperkenalkan

Aplikasi WBRS DAK kepada daerah percontohan P2D2

dalam rangka meningkatkan akuntabilitas pengelolaan Dana

Alokasi Khusus sektor Infrastruktur meliputi bidang Jalan,

Irigasi, dan Air Minum dimana keluaran yang dapat disajikan

dari WBRS ini adalah informasi atas output kegiatan

DAK meliputi data teknis, data keuangan, lokasi proyek,

koordinat GPS, kemajuan fisik proyek, gambar visual dari

proyek DAK dimaksud. (Rype & koer)

Launching Aplikasi WBRS DAK

Bimbingan Teknis (Bimtek) Pengadaan Barang/Jasa

dilaksanakan di enam lokasi lingkup daerah percontohan

P2D2 meliputi Jambi, Surabaya, Ternate, Mamuju, Malang,

Palangkaraya dalam kurun waktu April sampai dengan

Mei 2012. Tujuan dan maksud dari Bimtek ini adalah

untuk meningkatkan kapasitas aparat pemerintah daerah

khususnya pejabat pengadaan terkait peraturan dan praktik

pengadaan barang/jasa pemerintah sehingga pada akhirnya

pengelolaan DAK khususnya Bidang Infrastruktur dan tingkat

eligibilitas output DAK akan lebih baik lagi. Narasumber

yang dihadirkan berasal dari Lembaga Kebijakan Pengadaan

Barang/Jasa Pemerintah (LKPP), Badan Pembinaan (BP)

Konstruksi Kementerian Pekerjaan Umum, dan Lembaga

Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) Kementerian Keuangan.

(koer & Rype)

BIMBINGaN TEKNIS PENGADAAN BARANG DAN JASA PEMERINTAH

Hari kedua memfokuskan pada asistensi dan simulasi penggunaan aplikasi WBRS dengan mengundang para operator yang saat ini bertugas

melakukan pelaporan DAK. Kegiatan hari kedua dilakukan dalam bentuk ruangan kelas dengan para instruktur dari DJPK, Kementerian

Keuangan. Diharapkan, dengan bimtek ini, aplikasi WBRS yang sudah diluncurkan dapat diimplementasikan dalam waktu yang tidak terlalu

lama lagi. (Rype & koer)

BIMBINGaN TEKNIS MaNaJEMEN INFRASTRUKTUR DAN WBRS

Page 41: Buletin defis 02   djpk

Media defis 41

Sekilas Berita

Dalam rangka memastikan dilaksanakannya seluruh

Program Reformasi Birokrasi dan Transformasi

Kelembagaan di lingkungan Kementerian Keuangan

serta untuk mengidentifikasi hambatan atau

penyebab belum optimalnya pelaksanaan Reformasi

Birokrasi, Inspektorat Jenderal pada tanggal 10 Mei

sampai dengan 1 Juni 2012 melaksanakan kegiatan

Penjaminan Kualitas (Quality Assurance) pada

Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan dengan

menggunakan parameter yang ditetapkan dalam

Permenpan Nomor 53 tahun 2011 yang terdiri dari 73

parameter pada 8 program/area perubahan.

Kegiatan Quality Assurance oleh Inspektorat

Jenderal tersebut dilaksanakan melalui metode

reviu dokumen, wawancara ke pihak-pihak terkait,

kuesioner, dan observasi lapangan. Dari hasil

pelaksanaan Quality Assurance di Direktorat Jenderal

Perimbangan Keuangan pada 8 (delapan) program

serta 73 parameter tersebut diperoleh simpulan

bahwa pelaksanaan Reformasi Birokrasi di Direktorat

Jenderal Perimbangan Keuangan mendapat nilai

92,23, yang berarti masuk kategori sangat baik.

Atas hasil penilaian Quality Assurance tersebut,

agar pelaksanaan Reformasi Birokrasi di Direktorat

Jenderal Perimbangan Keuangan dapat lebih baik,

Inspektorat Jenderal merekomendasikan agar

Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan segera

menindaklanjuti seluruh rekomendasi yang diberikan

Inspektorat Jenderal, diantaranya adalah perlunya

meningkatkan komunikasi efektif kepada pegawai

di Lingkungan Direktorat Jenderal Perimbangan

Keuangan terutama informasi menyangkut

pelaksanaan program reformasi birokrasi,

perlunya meningkatkan kepatuhan dalam proses

pelaksanaan penyusunan laporan keuangan dan

pengelolaan barang milik/kekayaan Negara, perlunya

meningkatkan tercapainya Indikator Kinerja Utama

(IKU) serta Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi

Pemerintah (LAKIP).

(ichwan)

PELAKSANAAN QUALITY ASSURANCE

REFORMASI BIROKRASI DI DIREKTORAT JENDERAL PERIMBANGAN

Page 42: Buletin defis 02   djpk

42 Media defis

Konsultasi Keuangan Daerah

Hibah daerah yang diatur dalam Peraturan

Pemerintah No. 2 Tahun 2012 Tentang

Hibah Daerah merupakan salah satu

sumber penerimaan untuk mendanai

penyelenggaraan urusan yang menjadi

kewenangan Pemerintah Daerah. Hibah

kepada Pemerintah Daerah dapat

bersumber dari Pemerintah Pusat,

pemerintah daerah lain, badan/lembaga

organisasi swasta dalam negeri, dan atau

kelompok masyarakat/perorangan dalam

negeri. Adapun hibah dari Pemerintah

Pusat dapat bersumber dari pendapatan

APBN, pinjaman luar negeri, dan/atau

hibah luar negeri. Prinsip-Prinsip Hibah

Daerah adalah sebagai berikut:

• Hibah diberikan untuk mendanai

penyelenggaraan urusan yang menjadi

kewenangan Pemerintah Daerah dalam

kerangka hubungan keuangan antara

Pemerintah dan Pemerintah Daerah

• Diprioritaskanuntukpenyelenggaraan

Pelayanan Publik

• Dilaksanakan dengan menggunakan

mekanisme APBN dan APBD

• Dilaksanakanmelaluipenandatangan-

an Perjanjian Hibah antara Menteri

Keuangan cq. Dirjen Perimbangan

Keuangan dengan Kepala Daerah

• HibahkepadaPemerintahDaerahyang

bersumber dari luar negeri dilakukan

melalui Pemerintah

• Penyaluran hibah berdasarkan

permintaan penyaluran dana dari

Pemerintah Daerah.

Hibah daerah yang bersumber dari

Pemerintah Pusat selama beberapa tahun

ini memang tidak terlalu signifikan jika

dibandingkan dengan transfer ke daerah

lainnya, seperti Dana Alokasi Umum,

Dana Alokasi Khusus, dan Dana Bagi

Hasil. Namun demikian, output dari hibah

daerah yang ada sampai dengan saat ini

telah mendukung pencapaian kinerja

dalam bidang tertentu, misalnya Hibah

Local Basic Education Capacity (L-BEC)

dari World Bank yang bertujuan untuk

meningkatkan kapasitas pendidikan di

50 daerah. Contoh hibah berikutnya

adalah Hibah Air Minum dari AusAID

yang menargetkan tersedianya 76.000

sambungan rumah, dan Hibah Water

and Sanitation Project-D (WASAP-D) dari

World Bank yang menargetkan adanya

pembangunan fisik sanitasi antara lain

MCK.

Apabila dilihat dari penggunaannya

maka hibah daerah ini dikategorikan

sebagai dana transfer yang peruntukan/

penggunaannya telah diatur secara

spesifik (conditional grant) sebagaimana

halnya dengan Dana Alokasi Khusus

(DAK). Namun demikian, berbeda dengan

DAK yang penetapannya dan pengaturan

dituangkan dalam Peraturan Menteri

Keuangan (PMK), maka hibah daerah

ini harus ditetapkan dalam naskah

perjanjian. Untuk Hibah yang bersumber

dari penerimaan dalam negeri APBN

dan dari pihak lain di dalam negeri

dituangkan dalam Naskah Perjanjian

Hibah Daerah (NPHD). Sedangkan

Hibah yang bersumber dari luar negeri

(baik dari pinjaman luar negeri maupun

hibah luar negeri yang diterushibahkan)

dilakukan melalui Pemerintah Pusat

melalui penandatanganan Naskah

Perjanjian Penerusan Hibah (NPPH) antara

Pemerintah c.q. Menteri Keuangan atau

kuasanya dengan kepala daerah.

Khusus untuk hibah dari Pemerintah

Pusat yang bersumber dari pinjaman

luar negeri, prioritas diberikan kepada

daerah berkapasitas fiskal rendah

berdasarkan peta kapasitas fiskal yang

ditetapkan dalam Peraturan Menteri

Keuangan dan atau prioritas sebagaimana

ditetapkan dalam Rencana Pembangunan

Jangka Panjang/Menengah (RPJP/RPJM).

Contohnya adalah Hibah Mass Rapid Transit

(MRT) dari JICA untuk DKI Jakarta. Hal lain

yang membedakan dengan DAK adalah

selama ini bisa dikatakan bahwa hibah

daerah ini digunakan untuk membiayai

kegiatan yang bukan merupakan prioritas

nasional dan ada kemungkinan tidak

setiap tahun ada alokasi belanja hibah.

Terkait dengan penyaluran, maka bisa

dikatakan bahwa hibah daerah (dari

Pemerintah) ini memiliki kekhususan

yaitu penyaluran dilakukan berdasarkan

capaian kinerja (performance-based). Bahkan

sebagaimana diatur dalam Peraturan

Pemerintah No. 2 tahun 2012, terdapat

5 (lima) mekanisme penyaluran hibah

ke daerah, yaitu: pemindahbukuan dari

Rekening Kas Umum Negara ke Rekening

Kas Umum Daerah; pembayaran langsung;

rekening khusus; letter of credit (L/C); atau

pembiayaan pendahuluan (pre-financing).

Hibah daerah dengan berbagai kekhususan

dan manfaatnya dapat menjadi alternatif

bagi Pemerintah Pusat membantu daerah

dalam membiayai penyelenggaraan urusan

yang menjadi kewenangan Pemerintah

Daerah dalam kerangka hubungan

keuangan anatara Pemerintah dan

Pemerintah Daerah.

Yadi Hadian

Hibah

Page 43: Buletin defis 02   djpk

Penyerahan Plakat TIm ISO 9001 : 2008 Pelayanan Terpadu Keuangan Daerah sebagai bukti layanan prima DJPK kepada stakeholder

Konsultasi Pemerintah Kabupaten Pegunungan Tengah Provinsi Papua terkait pengelolaan keuangan daerah

Sosialisasi pelaksanaan Unit Kepatuhan Internal di Lingkungan DJPK, diikuti oleh seluruh pejabat dan pegawai DJPK

Kunjungan Pimpinan dan Anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara ke DJPK

Album Foto

Page 44: Buletin defis 02   djpk

44 Media defis

Konsultasi Keuangan Daerah