buletin defis 02 djpk
DESCRIPTION
Buletin Desentralisasi Fiskal Edisi 02 Tahun 2012TRANSCRIPT
Media defis 1
Media defis 3
Editorial
Peran strategis Dana Alokasi Khusus (DAK)
sebagai salah satu sumber pendanaan di
daerah saat ini sudah tidak diragukan lagi
dalam dinamika pembangunan. Meskipun
proporsinya kecil dibandingkan total dana
perimbangan yang dikucurkan dari APBN,
banyak daerah yang menggantungkan harapan
dari DAK, di tengah-tengah masih terbatasnya
kemampuan keuangan daerah dalam
mendanai pembangunan. Kondisi ini terutama
banyak ditemui di daerah-daerah dengan
kemampuan fiskal rendah yang sebagian besar
dana pembangunannya terpakai untuk gaji
pegawai dan belanja tidak langsung lainnya.
Pendanaan melalui DAK menjadi salah satu
tumpuan harapan mereka. Kucuran DAK ibarat
setetes embun penyejuk dalam kehausan.
Sejak diimplementasikan tahun 2003, pada
awalnya DAK hanya dialokasikan untuk bidang
pendidikan, kesehatan, prasarana jalan,
prasarana irigasi dan prasarana pemerintah.
Pertanyaannya puaskah kita dengan kinerja
DAK? Berbagai permasalahan dan kendala
muncul terkait dengan pertanyaan apakah
DAK yang dikucurkan telah tepat sasaran,
apakah sudah efisien dan efektif, dan telah
memberikan dampak yang positif terhadap
pembangunan?
Batasan konsep, azas, terminology dan
formulasi DAK sepertinya mengalami
metamorfosa. DAK tidak lagi diberikan kepada
daerah tertentu karena hampir sebagian
daerah saat ini mendapatkan kucuran DAK.
Besaran DAK juga cenderung naik sehingga
batasan “membantu mendanai” menjadi
sedikit kabur. Kegiatan khusus yang yang
didanai juga mengalami penambahan yang
signifikan dan bisa jadi keluar dari daftar
prioritas nasional yang telah ditetapkan dalam
rencana kerja pemerintah.
Azas dan konsep DAK mengalami pemaknaan
yang berbeda dalam era UU Perimbangan
Keuangan 1999 dan 2004 dan antara UU
dengan peraturan pelaksanaannya. Banyaknya
diskursus yang timbul seperti diskursus
“prioritas nasional dan urusan daerah”, “top
down dan bottom up”, “fisik dan non fisik”
menimbulkan kesan adanya inkonsistensi
dalam pelaksanaan DAK. Demikian pula
dengan formulasi DAK yang menggunakan
tiga kriteria sekaligus secara substitutif
telah mengaburkan nilai kekhususan daerah
penerimanya. Penentuan daerah yang
seharusnya terseleksi menjadi semakin banyak
daerah yang akan menerimanya.
Sejumlah kajian yang berdasarkan analisis
kuantitatif juga memperlihatkan bahwa
pengalokasian DAK telah bias dari tujuan
kekhususannya dan lebih memprioritaskan
fungsi ekualisasi (perimbangan). Kajian lain
menunjukkan bahwa belum ada korelasi yang
signifikan bahwa pengucuran DAK memberikan
dampak positif terhadap pertumbuhan
ekonomi dan Indeks Pembangunan Manusia
(IPM).
Apa yang menyebabkan semua itu? Apakah
karena jumlah DAK yang dikucurkan hanya
sedikit sehingga “dosis” nya kurang untuk
mengobati permasalahan tertentu? Ternyata
tidak juga. Efisiensi pengalokasian DAK dan
efektifitas tatakelola implementasi DAK
menjadi kata kuncinya. Dengan kata lain kita
tidak cukup bereksperimen dan melakukan
metamorfosa azas, konsep dan formulasi
tetapi diperlukan adanya redesign DAK yang
lebih sesuai dengan kondisi terkini.
Beberapa design yang mungkin dapat
dikembangkan adalah mengubah DAK menjadi
output base ketimbang input base yang selama
ini dijalankan. Hal ini akan memberi ruang
gerak yang lebih leluasa bagi daerah untuk
berkreasi sesuai kebutuhan. Penggunaan
koridor Standar Pelayanan Minimum (SPM)
sebagai barometer pengukuran keberhasilan
DAK diharapkan dapat memaksimalkan
pencapaian tujuan prioritas nasional dan pada
saat bersamaan daerah penerima DAK dapat
merasakan esensi ‘otonomi’ nya. Wacana
lain yang mungkin perlu dikembangkan
adalah sinergi antara pemerintah pusat dan
daerah untuk lebih cepat mencapai tujuan
pembangunan nasional. Pola perencanaan
DAK yang Top Down selama ini mungkin perlu
dikombinasikan dengan pendekatan bottom
up. Selain itu mengingat bahwa tidak semua
kegiatan yang menggunakan DAK sebagai
sumber dananya berdurasi tahunan maka
sudah saatnya kita mengimplementasikan
DAK yang mengacu kepada konsep Middle
Term Expenditure Framework (MTEF). Diharapkan
nantinya DAK akan dapat mendorong
pencapaian SPM sekaligus mendorong
pencapaian prioritas nasional serta dapat
mengakomodir berbagai kebijakan pemerintah
lainnya.
Untuk itu perlu ada upaya yang terus menerus
dalam menyempurnakan perangkat kebijakan.
Yang paling penting adalah merevisi Undang-
undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah
Pusat dan Pemerintahan Daerah serta PP
No.55 tahun 2005 tentang dana perimbangan
agar lebih sesuai dengan tantangan baru dan
dinamika pendanaan pembangunan yang
terdesentralisasi. Kita menginginkan adanya
DAK yang lebih simple dan sederhana serta
dapat mengeliminir berbagai kelemahan yang
dijumpai saat ini. Redesign tersebut dapat
dilakukan secara parsial yang mendudukkan
ulang formulasi DAK sesuai hukum positif
yang ada atau reformasi integral yang merevisi
keseluruhan konstruksi kebijakan DAK. Kita
tunggu tanggal mainnya.
Ahmad Yani
“RE-DESIGN DAK”
4 Media defis
Daftar Isi
Laporan Utama
Profil
Renungan
Konsultasi
Album Foto
Feature
Sekilas Berita
8
17
5
21
22
24
27
30
33
41
36
39
4243
DANA ALOKASI KHUSUSDulu, Kemarin, Sekarang, dan Ke DepanApakah urgensinya?
DESAIN DAK KE DEPAN: Apa yang perlu diperbaiki?
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN DAK: Tantangan dan Konsep Ke Depan
SuArA STAKEHOLDERterhadap Pelaksanaan DAK
DAK rEIMBurSEMENT PROJECT
“PERANAN” DAnA AlokAsi khusus: Sesuaikah Dengan Prinsip Awal?
PROBLEMATIKA PENGALIHAN KEGIATAN Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan Yang Merupakan urusan Daerah KE DANA ALOKASI KHUSUS
WAWANCARA EKSKLUSIfDirektur Dana Perimbangan
MENOLONg untuk Ditolong
HIBAH
PENATAAN ORgANISASI Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
PELAKSANAAN QUALITY ASSURANCE reformasi Birokrasi Di Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
rESENSI BuKu ECONO MYTH
PELINDUNG Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan PENASEHAT Para Pejabat Eselon II di Lingkungan DJPK PENANGGUNG JAWAB Sekretaris Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan PEmImPIN REDAkSI Ahmad Yani TIm REDAkSI Putut Hari Satyaka, Diah Sarkorini, Ubaidi Socheh Hamidi, Anwar Syahdat, Sugiyarto, M. Nafi TIm EDITOR Erny Murniasih, Fachroedy Junianto, Esthi Budilestari, Masagus Zenaidi, Wahyudi Sulestyanto, M. Sulthon Junaidi, Yadi Hadian, Endang Zainatun, Lily KUntratih, Deny Kurniawan, Ichwan Setyarno, Hesti Budi Utomo, David Rudolf DESIGN GRAfIS Lukman Adi, Agung Setio Budi, Adhi Kurniawan SEkRETARIAT M. Lilik CIB, Kurnia, Shanti Sukmawati, Titik Fatmawati, Ricka Yunita Prasetya, Vanny Koesrini, Alit Ayu Meinarsari, Helmy Rukmana, Bangun Purwono Adi ALAmAT Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan - Kementerian Keuangan|Gedung Radius Prawiro Lantai 10 Jalan Dr. Wahidin No. 1 Jakarta 10710 Telepon: 021-3509442
Redaksi menerima sumbangan tulisan atau artikel yang sesuai dengan misi penerbitan. Redaksi berhak mengubah isi tulisan tanpa mengubah maksud dan substansi. Bagi tulisan atau artikel yang dimuat akan mendapatkan imbalan sepantasnya
Media defis 5
Laporan Utama
DAK merupakan salah satu mekanisme transfer yang bertujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas pembangunan nasional.
Sebagai bagian dari otonomi daerah dan
desentralisasi fiskal, keberadaan DAK telah
memberi dimensi yang lebih jelas bagi Daerah
dalam penyelenggaraan pemerintahan dan
pelayanan, serta pengelolaan keuangan
berdasarkan prinsip transparansi, partisipasi,
dan akuntabilitas. Tujuan utamanya adalah
untuk mengurangi ketimpangan fiskal
antara pemerintah pusat dan daerah serta
mengurangi kesenjangan kemampuan fiskal
antar daerah, termasuk pemberian kewenangan
dalam hal perpajakan daerah. Keberadaan
DAK merupakan salah satu bentuk upaya
pengurangan kesenjangan kemampuan fiskal
antar daerah.
Pasal 39 UU No. 33 Tahun 2004 menyebutkan
bahwa DAK dialokasikan kepada pemerintah
daerah tertentu untuk mendanai kegiatan
khusus yang merupakan urusan daerah.
Sementara itu, Pasal 51 PP No. 55 Tahun 2005
menyatakan bahwa DAK dialokasikan kepada
daerah tertentu untuk mendanai kegiatan
khusus yang merupakan bagian dari program
yang menjadi prioritas nasional dan menjadi
urusan daerah.
Dari pengertian di atas terdapat 6 hal yang
perlu digarisbawahi. Pertama, DAK merupakan
dana yang bersumber dari APBN sehingga
DAK merupakan bagian dari keuangan negara.
kedua, DAK dialokasikan kepada daerah
tertentu yang memiliki makna bahwa tidak
semua daerah mendapatkan alokasi DAK
karena daerah tertentu adalah daerah yang
memenuhi kriteria umum, kriteria khusus, dan
kriteria teknis. ketiga, Alokasi DAK hanya
digunakan untuk membantu mendanai bukan
menggantikan. Karenanya daerah juga memiliki
tanggung jawab yang sama dalam memberikan
pelayanan dasar sesuai kemampuan.
keempat, yang didanai adalah kegiatan khusus
yaitu kegiatan yang telah ditetapkan oleh
Kementerian Teknis. kelima, Yang didanai
merupakan urusan daerah, artinya kegiatan
tersebut masuk dalam domain desentralisasi
dan dan bukan urusan pusat. keenam, prioritas
nasional yang berarti kegiatan DAK merupakan
bagian dan prioritas nasional sebagaimana
tercantum dalam Rencana Kerja Pemerintah.
Sangat disadari sepenuhnya bahwa kebijakan
pengalokasian DAK erat kaitannya dengan
pelayanan publik yang diberikan oleh
pemerintah daerah, mengingat fungsinya
sebagai instrumen bagi pemerintah daerah
untuk menyediakan dan memberikan pelayanan
yang lebih baik kepada masyarakat. Untuk itu,
peranan pemerintah daerah dalam pengelolaan
DAK menjadi semakin penting terutama
dalam hal perencanaan penganggaran dan
pelaksanaan kegiatannya, yang sudah pasti
sesuai dengan yang telah digariskan oleh
pemerintah pusat dalam penggunaannya,
mengingat DAK merupakan specific grant.
Dalam kaitan ini, menjadi hal yang cukup penting
lagi adalah upaya untuk membangun kebijakan
yang lebih mengedepankan kepentingan
publik, khususnya dalam pelaksanaan DAK.
Sehingga penciptaan lingkungan yang kondusif
perlu dibangun, antara lain melalui kepastian
peraturan, transparansi pelaksanaan aturan,
kecepatan pemberian layanan, kemudahan dan
kesederhanaan proses memperoleh layanan
publik tersebut, serta sinergi pembangunan
dan kebijakan antara pusat dan daerah, serta
antar daerah.
Dalam perjalanan panjang implementasinya
telah banyak muncul berbagai permasalahan,
perspektif, dan kendala yang memerlukan
perhatian pemerintah dan perlu direspon
dengan kebijakan yang selaras dan tepat
sasaran. Sejak diimplementasikan, awalnya DAK
hanya dialokasikan untuk bidang pendidikan,
kesehatan, prasarana jalan, prasarana
irigasi dan prasarana pemerintah. Dalam
perkembangannya mengalami perubahan
yang cukup siginifikan dari sisi jumlah, bidang
cakupan dan daerah penerimanya. Demikian
pula dari sisi azas, konsep, dan formulasi,
DAK juga telah mengalami metamorfosa dalam
berbagai bentuk dan pola.
Dalam perkembangannya sampai dengan
saat ini, DAK digunakan untuk mendanai
kegiatan di 19 bidang, yaitu pendidikan;
kesehatan; infrastruktur jalan; infrastruktur
irigasi; infrastruktur air minum; infrastruktur
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN DAK: TANTANGAN DAN KONSEP KE DEPAN
6 Media defis
Laporan Utama
sanitasi; prasarana pemerintahan daerah;
kelautan dan perikanan; pertanian; lingkungan
hidup; keluarga berencana; kehutanan; sarana
perdagangan; sarana dan prasarana daerah
tertinggal; listrik perdesaan; perumahan dan
kawasan permukiman; keselamatan transportasi
darat; transportasi perdesaan; serta sarana dan
prasarana kawasan perbatasan.
Laporan Utama Media Defis edisi kedua ini
mencoba mencermati berbagai persoalan
seputar DAK. Dengan mengambil tema besar
Implementasi Kebijakan Dana Alokasi Khusus:
Tantangan dan Konsep Ke depan, Media Defis
akan mengajak pembaca menyusuri lorong
waktu mencermati Kisah Perjalanan panjang
DAK dalam sistem dan mekanisme transfer di
Indonesia.
Beberapa tulisan yang kami sajikan pada
Media Defis Edisi ini antara lain: Dana Alokasi
Khusus: Dulu, Kemarin, Sekarang, dan Kedepan
Apakah Urgensinya; Desain DAk Ke depan:
Apa yang perlu diperbaiki: DAK reimbursement
Projet: “Peranan: Dana Alokasi Khusus:
Sesuaikah dengan Prinsip Awal; dan Problema
Pengalihan Kegiatan Dekonsentrasi dan Tugas
Pembantuan yang merupakan Urusan Daerah
ke Dana Alokasi Khusus. Selain tulisan tersebut
di atas kami juga menyajikan Suara Stakeholder
terhadap Pelaksanaan DAK, dan wawancara
Ekslusif dengan Direktur Dana Perimbangan.
Pada waktu pertama kali dialokasikan tahun
2003, perhatian publik terhadap keberadaan
dana ini boleh dikatakan masih kecil. Selain
karena jumlahnya yang relatif kecil dibandingkan
Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Bagi Hasil
(DBH). Perjalanan waktu implementasi DAK
dapat disimak dalam tulisan yang berjudul
Dana Alokasi Khusus: Dulu, Kemarin, Sekarang,
dan Ke depan. Tulisan yang diusung oleh Ubaidi
Socheh Hamidi, Kepala Subdirektorat Dana
Alokasi Khusus ini ingin menunjukkan kepada
pembaca adanya dinamika yang tinggi dalam
dimensi waktu. Segmentasi waktunya juga
tidak lazim disampaikan. Bukan hanya dulu,
sekarang dan masa depan tetapi penulisnya
juga menyelipkan kata “kemarin” di antara
dulu dan sekarang. Yang menarik, meskipun
jumlah DAK cenderung meningkat setiap tahun
tetapi jika dilihat dari proporsi DAK terhadap
APBN selain tidak terlalu besar dan cenderung
menurun. Dalam tulisannya Sdr. Ubaidi
menyampaikan paling sedikit 10 dirkursus
yang melibatkan DAK. Banyaknya diskursus
ini menunjukkan bahwa problem DAK begitu
kompleks, pelik dan dinamis di mana dalam
tataran implementasinya telah menimbulkan
banyak interpretasi dan harapan yang
bermacam-macam. Ubaidi juga menawarkan
3 (tiga) alternatif konsep DAK ke depan.
Pertama, mempertahankan konsep DAK
dengan memberi ruang bagi munculnya jenis
transfer lainnya yang baru; kedua, memperluas
dan/atau mengembangkan konsep DAK yang
ada sekarang, dan ketiga re-design DAK.
Pilihannya tergantung kita. “Untuk menentukan
pilihan tersebut, kita harus bisa menjawab
terlebih dahulu kira-kira konsep perimbangan
keuangan ke depan nantinya seperti apa?
Apakah akan meletakkan DAK sebagai satu
kesatuan yang utuh dalam posisinya sebagai
bagian dari jenis Dana Perimbangan, atau
justru ingin menjadikan DAK lebih exclusive lagi
dalam kaitannya dengan kepentingan prioritas
nasional? Atau, DAK akan diarahkan untuk
mendorong pencapaian standar pelayanan
minimum (SPM)?” Demikian yang dipaparkan
Ubaidi dalam tulisannya.
Sementara itu Putut Hari Setyaka, dalam
tulisan yang bertajuk Desain DAK kedepan:
Apa yang perlu diperbaiki mengemukakan
beberapa kelemahan dan kelebihan DAK saat
ini. Menurut Putut, DAK menghadapi kendala
yang berat untuk bisa mewujudkan tujuannya
sebagaimana disebutkan di atas, yaitu tujuan
pencapaian prioritas nasional dan tujuan
pemerataan. Kendala lain yang paling sering
dikeluhkan oleh daerah adalah petunjuk
teknis dari K/L yang seringkali terlambat
disampaikan. Selain itu, sebagian besar Juknis
merujuk kepada “input based conditional transfer”,
menyebabkan Juknis menjadi sangat rigid
yang pada gilirannya menyebabkan alokasi
DAK menjadi tidak dapat dilaksanakan secara
efisien karena tidak sesuai dengan kondisi dan
kebutuhan daerah. Masih ada lagi hal lain yang
merupakan kelemahan menurut Putut, adalah
lemahnya system dan mekanisme monitoring
dan evaluasi pelaksanaan DAK serta adanya
kewajiban penyediaan dana pendamping yang
terkadang cukup memberatkan bagi daerah.
Namun demikian, Putut juga mencatat ada 2
(dua) kelebihan DAK saat ini yaitu mekanisme
pencairan/penyaluran DAK yang relatif sangat
simple dan pada dasarnya DAK telah sangat
membantu kebutuhan pendanaan daerah,
terutama untuk meningkatkan belanja modal
mereka.
Mengacu pada berbagai kelemahan tersebut
di atas, Putut menekankan pentingnya
untuk menyusun desain baru DAK dengan
menempatkannya dalam payung hukum
yang kuat melalui perubahan UU. Ada
dua hal penting yang menjadi landasan
penyusunan desain DAK yang baru dalam
revisi UU 33/2004, yaitu i) DAK harus mampu
menyederhanakan berbagai jenis specific grant
yang ada dalam system transfer di Indonesia
saat ini; dan ii) desain DAK yang baru harus
mampu meminimalisir kelemahan-kelemahan
yang terjadi dalam pelaksanaan DAK saat ini.
Cerminan dari keinginan yang kuat tersebut
kemudian tercermin dalam rancangan revisi UU
33/2004 yaitu membagi DAK dalam 3 jenis DAK,
Ada 2 (dua) kelebihan DAK saat ini yaitu mekanisme
pencairan/penyaluran DAK yang relatif sangat simple
dan pada dasarnya DAK telah sangat membantu kebutuhan pendanaan daerah, terutama untuk meningkatkan belanja
modal mereka.
Media defis 7
Laporan Utama
yaitu i) DAK untuk mendorong pencapaian
SPM di bidang-bidang tertentu; ii) DAK untuk
mendorong pencapaian prioritas nasional; dan
iii) DAK untuk kebijakan tertentu yang diatur
dengan peraturan perundangan.
DI tulisan lain, Anwar Syahdat menulis tentang
“Peranan” Dana Alokasi khusus, Sesuaikah
dengan prinsip awal? Menyatakan bahwa
istilah DAK mulai dikenal secara umum
ketika ditetapkannya UU 25/1999 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah
Pusat dan Daerah. Sebelum berlakunya UU
25/1999 atau periode berlakunya UU 32/1956
tentang Perimbangan Keuangan antara Negara
dan Daerah-Daerah yang Berhak Mengurus
Rumah Tangganya Sendiri, secara de jure
nomenklatur DAK belum dikenal, namun
secara de facto terdapat beberapa karakteristik
pendanaan daerah pada masa itu yang memiliki
ciri kesamaan dengan DAK, seperti, Inpres.
Inpres merupakan suatu sistem pendanaan
daerah yang bersifat top down dan penggunaan
atau peruntukannya sudah ditentukan.
Dengan kata lain, terhadap dana tersebut
tidak ada sama sekali diskresi daerah terkait
pemanfaatannya.
Bagaimana peran DAK diuraikan secara
gamblang oleh Anwar. Dalam UU/251999,
peranan DAK adalah guna menutup
kelemahan formulasasi DAU yang “disadari
atau tidak” belum dapat mengakomodasi
semua keberagaman daerah. Selain itu, DAK
juga sebagai instrumen pendanaan dalam hal
terdapat kebutuhan yang merupakan komitmen
dan prioritas nasional. Anwar menyimpulkan
bahwa peranan DAK yang diharapkan oleh
UU 25/1999 sangat berkaitan dengan kata
“fokus” karena DAK hanya diarahkan untuk
mendanai “kebutuhan khusus”. Sementara
untuk kebutuhan yang bersifat umum didanai
dari sumber lain.
Sementara itu dengan terbitnya UU 33/2004,
muncul pula keinginan untuk menyesuaikan
kebijakan transfer ke daerah dengan
perkembangan keadaan, ketatanegaraan serta
tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah.
UU 33/2004 mendefinisikan DAK sebagai
dana yang bersumber dari pendapatan APBN
yang dialokasikan kepada daerah tertentu
dengan tujuan untuk membantu mendanai
kegiatan khusus yang merupakan urusan
daerah dan sesuai dengan prioritas nasional.
Lebih spesifik atau secara khusus DAK
diarahkan untuk mendanai kebutuhan sarana
dan prasarana pelayanan dasar masyarakat
yang belum mencapai standar tertentu atau
untuk mendorong percepatan pembangunan
daerah. Ketentuan Pasal 38 UU 33/3004 yang
menyatakan bahwa besaran DAK ditetapkan
setiap tahun dalam APBN ditafsirkan oleh
Anwar bahwa DAK akan ada setiap tahun.
Anwar juga menterjemahkan bunyi Pasal 39
UU 33/2004 yang menyatakan bahwa DAK
dialokasikan kepada daerah tertentu untuk
mendanai kegiatan khusus yang merupakan
urusan daerah sesuai dengan fungsi yang telah
ditetapkan dalam APBN. Penjelasan pasal ini
menyatakan bahwa yang dimaksud dengan
daerah tertentu adalah daerah yang memenuhi
kriteria setiap tahun untuk mendapatkan
alokasi DAK. Dengan demikian, menurut Anwar,
tidak semua daerah mendapatkan alokasi DAK.
Anwar juga melihat , sedikit ada kontradiksi
antara batang tubuh dengan penjelasan pasal
39 di atas. Dalam batang tubuh dinyatakan
bahwa DAK diperuntukan untuk mendanai
kegiatan khusus yang merupakan urusan
daerah, namun dalam penjelasannya DAK juga
dimungkinkan untuk mendanai fungsi agama
yang merupakan kewenangan Pemerintah
Pusat. Diakhir tulisannya Anwar mengajak kita
berpikir untuk menilai apakah kebijakan DAK
saat ini masih sejalan dengan tujuan awal yang
mengharapkan DAK “fokus” untuk mendanai
kebutuhan khusus.
Selanjutnya tulisan DAK Reimbursement Project
yang ditulis Denny Kurniawan mencoba
memaparkan adanya terobosan baru dalam
penerapan Output-Based Disbursement (OBD)
yang baru pertama kali dilaksanakan di
Indonesia. Momen penting ini dimulai setelah
ditandatanganinya sebuah program kerjasama
Pemerintah Republik Indonesia dengan
Bank Dunia pada tanggal 23 Juni 2010 yaitu
Perjanjian Pinjaman (Loan Agreement) No.7914-
ID tentang Local Government and Decentralization
Project (LGDP) atau Proyek Pemerintah Daerah
dan Desentralisasi (P2D2). Program ini juga
biasa disebut sebagai DAK Reimbursement Project
dikarenakan konsep dari proyek ini yang akan
mengganti (reimburse) sejumlah Dana Alokasi
Khusus (DAK) yang menghasilkan keluaran
sesuai yang dipersyaratkan (eligible output).
Dengan pendekatan ini, Bank Dunia akan
membayarkan kembali bagian dari DAK untuk
infrastruktur (jalan, irigasi, dan air minum)
berdasarkan laporan dan verifikasi output fisik
daerah partisipan provinsi/kabupaten/kota
yang dilakukan oleh BPKP. Tujuan program
ini adalah untuk meningkatkan akuntabilitas
dan pelaporan DAK pada sektor infrastruktur
(jalan, irigasi, air minum, dan sanitasi) di lokasi
pemerintah daerah percontohan. Hal ini akan
dilakukan melalui peningkatan pelaporan
keuangan dan teknis serta verifikasi output
kegiatan infrastruktur yang dibiayai dengan DAK.
Selain tulisan di atas yang menggelitik pikiran
kita untuk memikirkan konsep DAK ke depan,
Media Defis kali ini juga memaparkan suara-
suara stakeholder terhadap pelaksanaan DAK
yang dikemas dalam bentuk pertanyaan dan
jawaban. Tulisan-tulisan dan pertanyaan-
pertanyaan tersebut di atas selain
menunjukkan adanya atensi daerah terhadap
permasalahan DAK juga sekaligus menunjukkan
masih begitu kompleknya permasalahan yang
diemban DAK. Ada asa dan harapan. Ada
keraguan dan skeptisme. Tetapi juga ada solusi
yang ditawarkan dalam Media Defis kali ini.
Semuanya diramu dalam tulisan yang akan
membawa pembaca ke dalam kilas balik DAK
di masa lalu sekaligus melesatkan pembaca
ke masa depan. Setiap tantangan dan kendala
yang dihadapi dibarengi dengan sejumlah
konsep juga sudah dipersiapkan. Selamat
Membaca.
Ahmad Yani
8 Media defis
Laporan Utama
Biasanya judul dari sebuan tulisan dari sudut pandang segmentasi waktu adalah “dulu, sekarang, dan masa nanti”. Tapi pada tulisan ini saya ingin membagi segmentasi waktu dengan menambah “kemarin” di antara “dulu” dan “sekarang”. Mengapa? Hal ini semata-mata ingin menunjukkan bahwa ada dinamika yang tinggi dalam rentang waktu kemarin dan sekarang.
Ketika pertama kali dialokasikan pada tahun 2003, DAK tidak begitu menjadi perhatian banyak
pihak. Di samping karena alokasi dananya yang hanya Rp2,3 triliun apabila dibandingkan
dengan alokasi DAU yang mencapai Rp60,5 triliun, juga pada saat itu daerah masih cukup
leluasa untuk menentukan pola belanja di luar belanja pegawai mengingat sumber pendanaan
dari dana transfer lainnya terutama dari Dana Bagi Hasil (DBH) dan Dana Alokasi Umum
(DAU) masih relatih besar. Hal ini terutama pada saat terjadi kenaikan DAU dan DBH pada
tahun 2006 dari tahun sebelumnya. Sebagaimana diketahui bahwa DBH dan DAU pada tahun
2006 masing-masing mencapai Rp59,4 triliun dan Rp145,7 triliun, yang berarti mengalami
peningkatan sebesar Rp28,2 triliun dan Rp56,9 triliun dari tahun sebelumnya. Selanjutnya,
pada tahun 2007 (saya menyebut periode “kemarin”) kenaikan DBH dan DAU tidak sesignifikan
seperti tahun-tahun sebelumnya yaitu masing-masing sebesar Rp9,1 triliun dan Rp19,9 triliun.
Bahkan pada tahun 2008 DBH justru mengalami penurunan sebesar Rp2,5 triliun sedangkan
DAU meningkat sebesar Rp14,6 triliun. Pada tahun 2009 DBH dan DAU meningkat masing-
masing sebesar Rp2,1 triliun dan Rp6,9 triliun dari tahun sebelumnya. Sejak saat itulah daerah
mulai menjadikan DAK sebagai ‘harapan’ untuk mempertahankan pola belanja modal di
daerah mengingat kenaikan DBH dan DAU tidak cukup signifikan untuk mengimbangi kenaikan
belanja di APBD yang bersifat rutin, walaupun sejak saat itu pula daerah mulai merasakan
berat untuk menyediakan dana pendamping DAK sekurang-kurangnya 10%.
Pada periode “sekarang” (2009-2012), DAK
terlalu permisif terhadap perkembangan
kebijakan terutama sebagai akibat dari
implementasi amanat Pasal 108 UU Nomor
33 Tahun 2004 dan implementasi atas PP
Nomor 38 Tahun 2007, dimana keduanya
mengamanatkan adanya penyerahan
urusan yang sudah menjadi kewenangan
daerah kepada pendanaan APBD. Dengan
menggunakan prinsip money follows function,
maka fungsi yang diserahkan tersebut harus
ada pendanaannya, dan yang memungkinkan
dari sisi peraturan perundangan adalah
melalui DAK walaupun sepenuhnya itu tidak
benar. Ada yang bersifat pengalihan kegiatan
dan pendanaannya, ada juga yang dialihkan
kegiatannya namun pendanaannya harus
on top. Pada kondisi seperti ini saya ingin
mengatakan bahwa dengan konsep DAK
sebagaimana diatur dalam UU 33 Tahun
2004 dan PP Nomor 55 Tahun 2005, maka
hal tersebut terlalu “membebani” DAK.
Dengan kata lain bahwa banyak harapan
diarahkan pada DAK namun banyak juga yang
tidak melihat bahwa terlalu kecil DAK untuk
memenuhi harapan itu semua. Dampaknya
adalah diskursus mengenai DAK sudah
keluar dari konteksnya. Kegiatan/kejadian
yang dianggap “khusus” maka diusulkan
pendanaannya dari DAK. Dalam beberapa
kejadian, pemahaman mengenai DAK sering
“salah kaprah”. Hal ini juga bisa ditemui
DANA ALOKASI KHUSUS
Dulu, Kemarin, Sekarang, dan Ke Depan
A p A k A h u r g e n s i n y A ?
Media defis 9
Laporan Utama
dalam beberapa penyebutan mengenai
DAK Bencana Alam padahal tidak pernah
ada DAK untuk bencana alam. Pendanaan
bencana alam berasal dari Akun Belanja
Pemerintah Pusat dan bukan masuk dalam
Akun Transfer ke Daerah. Pernah juga salah
satu Gubernur menyampaikan usulan agar
daerahnya diberikan DAK karena kekhususan
yang disandangnya walaupun kemampuan
keuangan daerahnya sangat tinggi. Itulah
DAK sekarang.
PENGERTIAN DAN TUJUAN DAK UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah
Pusat dan Pemerintahan Daerah
menyebutkan bahwa DAK merupakan dana
yang bersumber dari APBN yang dialokasikan
kepada daerah tertentu untuk membantu
mendanai kegiatan khusus yang merupakan
urusan daerah dan sesuai dengan prioritas
nasional. Dari pengertian tersebut, ada 6 hal
yang perlu untuk diperhatikan, yaitu:
1. Bersumber dari APBN, yang berarti
dananya bersumber APBN walaupun
ketika ditransfer ke daerah menjadi
bagian dari APBD. Karena bersumber dari
APBN maka sejalan dengan pemahaman
bahwa keuangan daerah merupakan
bagian dari keuangan negara walaupun
keduanya merupakan dua entitas yang
berbeda.
2. Daerah tertentu, yang berarti tidak
semua daerah mendapatkan alokasi DAK
karena daerah tertentu adalah daerah
yang memenuhi kriteria umum, kriteria
khusus, dan kriteria teknis. Sebagian
dari kita masih ada yang memahami
bahwa daerah tertentu adalah daerah
yang hanya memenuhi kriteria umum
saja, yaitu daerah yang kemampuan
keuangannya relatif rendah. Padahal
untuk menentukan daerah tertentu
tersebut, ketiga kriteria dimaksud harus
dipakai semua, tidak boleh dipakai salah
satu atau hanya dua kriteria saja.
3. membantu mendanai, yang berarti
dana ini bersifat bantuan dan tidak
menggantikan. Makna membantu di sini
sebenarnya ditujukan kepada daerah-
daerah yang kemampuan keuangannya
di bawah rata-rata nasional. Dengan
demikian, karena tidak menggantikan
maka logikanya daerah juga mempunyai
tanggung jawab yang sama terhadap
pelayanan dasar sesuai dengan
kemampuan keuangan daerah yang
dimilikinya.
4. kegiatan khusus, yaitu kegiatannya
sudah ditetapkan oleh kementerian
teknis terkait melalui petunjuk teknis
penggunaan DAK.
5. Urusan daerah, yang berarti
kegiatan yang didanai dari DAK harus
sudah merupakan urusan daerah
karena merupakan bagian dari Dana
Desentralisasi.
6. Prioritas nasional, yang berarti kegiatan
DAK merupakan bagian dari prioritas
nasional sebagaimana tercantum dalam
rencana kerja pemerintah (RKP).
Sementara itu, tujuan dialokasikannya DAK
adalah untuk:
1. membantu daerah tertentu,
2. mendanai sarana dan prasarana
pelayanan dasar masyarakat, dan
3. mendorong percepatan pembangunan
daerah.
Berdasarkan ketiga tujuan tersebut, maka
alokasi DAK dihitung dengan 3 kriteria, yaitu
kriteria umum, kriteria khusus, dan kriteria
teknis.
POSISI DAK DALAM DANA PERIMBANGANPada pasal 10 ayat (1) PP 55 Tahun 2005
disebutkan mengenai kesatuan Dana
Perimbangan dalam konteks perimbangan
keuangan, yaitu Dana Perimbangan alokasinya
dalam APBN tidak dapat dipisahkan satu
sama lain karena masing-masing jenis Dana
Perimbangan tersebut saling mengisi dan
saling melengkapi. Penjelasan atas hal
tersebut dapat dilihat dari keterkaitan tujuan
antar komponen Dana Perimbangan.
DBH dialokasikan dengan tujuan untuk
mengurangi ketimpangan fiskal vertikal
(antara pusat dan daerah). Disadari bahwa
kebijakan alokasi DAK tersebut menimbulkan
ketimpangan yang baru, yaitu ketimpangan
fiskal secara horisontal (antardaerah) karena
hanya daerah-daerah yang mempunyai
potensi penerimaan pajak dan sumer daya
alam yang tinggi yang akan mendapatkan
bagian lebih besar dibandingkan daerah
lainnya. Untuk itu dialokasikan DAU guna
mengurangi ketimpangan fiskal horisontal
tersebut. Dalam prakteknya, kedua jenis
Dana Perimbangan yang bersifat block
grant tersebut dalam pelaksanaan belanja
di daerah kurang menyentuh beberapa
pelayanan dasar masyarakat yang merupakan
prioritas nasional di daerah, sehingga
masih banyak dijumpai ruang kelas SD
yang rusak, puskesmas yang kurang layak,
atau jalan kabupaten/kota yang rusak.
Bagi daerah-daerah dengan kemampuan
keuangan daerahnya yang relatif rendah,
maka akan lebih sulit lagi untuk melakukan
diskresi pembelanjaan yang diarahkan untuk
kepentingan pelayanan dasar tersebut.
Untuk mempertahankan kualitas pelayanan
dasar tersebut, pemerintah sejak tahun 2003
mengambil inisiatif dengan mengalokasikan
DAK yang bersifat specific grant terutama untuk
membantu daerah-daerah yang kemampuan
keuangan daerahnya rendah.
MEKANISME PENGALOKASIAN DAKBerbeda dengan besaran alokasi DAU
nasional yang dipatok sekurang-kurangnya
26% dari PDN Neto, atau Dana Bagi Hasil
yang dipatok berdasarkan persentase
tertentu dari APBN, maka besaran alokasi
DAK ditetapkan setiap tahun dalam APBN.
Artinya, bisa naik, bisa turun dan sangat
10 Media defis
Laporan Utama
tergantung dari besarnya kebutuhan dan
constrain budget di APBN.
Selanjutnya, perhitungan alokasi DAK untuk
masing-masing daerah dilakukan melalui 2
(dua) tahapan, yaitu :
a. Penentuan daerah tertentu yang
menerima DAK, dengan memperhatikan
kriteria umum, kriteria khusus, dan
kriteria teknis.
b. Penentuan besaran alokasi DAK masing-
masing Daerah, yang dilakukan dengan
perhitungan indeks berdasarkan kriteria
umum, kriteria khusus, dan kriteria
teknis.
Penjelasan atas penggunaan kriteria
pengalokasian DAK tahun 2011 tersebut
adalah sebagai berikut :
1. kriteria Umum, yang ditetapkan
dengan mempertimbangkan kemampuan
keuangan daerah yang dicerminkan
dari penerimaan umum APBD setelah
dikurangi belanja pegawai negeri sipil
daerah.
2. kriteria khusus, yang dirumuskan
berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang mengatur
penyelenggaraan otonomi khusus dan
karakteristik daerah, yaitu :
a. Peraturan Perundangan, dimana
daerah-daerah yang menurut
ketentuan peraturan perundangan
diprioritaskan mendapat alokasi
DAK, serta seluruh daerah
tertinggal diberikan kebijakan untuk
mendapatkan alokasi DAK.
b. Karakteristik daerah, yang meliputi
daerah pesisir dan kepulauan,
daerah perbatasan dengan negara
lain, daerah tertinggal/terpencil,
daerah yang termasuk dalam
kategori daerah ketahanan pangan,
daerah rawan bencana, dan daerah
pariwisata.
3. kriteria Teknis, yang disusun
berdasarkan indikator-indikator yang
dapat menggambarkan kondisi sarana
dan prasarana yang akan didanai dari
DAK.
Implementasi atas ketiga kriteria di atas
dapat dijelaskan pada Gambar 1 di bawah ini.
Penjelasan atas Bagan:
1. Jika suatu daerah IFN-nya<1, maka
berdasarkan kriteria umum daerah
tersebut layak untuk mendapatkan DAK,
demikian sebaliknya untuk daerah yang
IFN-nya>1.
2. Bagi daerah yang IFN-nya>1, masih
dimungkinan layak untuk mendapatkan
alokasi DAK, apabila:
a. Berdasarkan peraturan perundang-
an termasuk dalam kategori
daerah-daerah di provinsi Papua.
UU mengenai Otonomi Khusus di
Provinsi Papua mengamanatkan
bahwa seluruh daerah di provinsi
Papua diprioritaskan untuk
mendapatkan alokasi DAK.
b. Seluruh daerah yang termasuk
sebagai daerah tertinggal
diprioritaskan mendapatkan alokasi
DAK.
3. Apabila suatu daerah dengan IFN>1
dan daerah tersebut juga tidak termasuk
dalam kategori daerah berdasarkan
butir 2 di atas, maka dilihat terlebih
dahulu kharakteristik daerahnya yang
ditunjukkan dengan IKW. IKW ini digabung
dengan IFN menjadi IFW, dan untuk
selanjutnya apabila IFW>1, maka daerah
tersebut layak mendapatkan alokasi
DAK dari sisi kriteria umum dan kriteria
khusus. Apabila dengan IFW ini layak
namun pada bidang tertentu daerah
tersebut tidak mempunyai infrastruktur
Gambar 1Mekanisme Perhitungan Alokasi DAK
Media defis 11
Laporan Utama
DAK untuk masing-masing daerah dan
masing-masing bidang.
PERKEMBANGAN ALOKASI DAN BIDANG YANG DIDANAI DARI DAKKetika baru pertama kali dialokasikan pada
tahun 2003, dialokasikan DAK sebesar
Rp2,3 triliun untuk mendanai 4 bidang
DAK, yaitu Pendidikan, Kesehatan, Jalan,
Irigasi, dan Prasarana Pemerintahan. Jumlah
ini meningkat setiap tahunnya menjadi
Rp24,8 triliun pada tahun 2009, yang berarti
mengalami peningkatan 987 persen. Pada
tahun 2010,besaran alokasi DAK di APBN
mengalami penurunan menjadi Rp21,1 triliun.
Selanjutnya, pada tahun 2011 dan 2012
terjadi kenaikan DAK walaupun tidak secara
signifikan. Secara lebih jelas, perkembangan
alokasi DAK tersebut dapat dilihat pada
Tabel 1 dan Gambar 2 di bawah ini.
Selanjutnya, pada tahun 2012 dialokasikan
DAK sebesar Rp25,1 triliun untuk mendanai
kegiatan DAK di 19 bidang, yaitu: 1.
Pendidikan; 2. Kesehatan; 3. Keluarga
Berencana; 4. Infrastruktur Jalan; 5.
Infrastruktur Irigasi; 6. Infrastruktur Air
Minum; 7. Infrastruktur Sanitasi; 8. Prasarana
Pemerintahan Daerah; 9. Kelautan dan
Perikanan; 10. Pertanian; 11. Lingkungan
Hidup; 12. Kehutanan; 13. Sarana dan
Prasarana Daerah Tertinggal; 14. Sarana
Perdagangan; 15. Transportasi Perdesaan; 16.
Sarana dan Prasarana Kawasan Perbatasan;
17. Listrik Perdesaan; 18. Perumahan dan
Permukiman; 19. Keselamatan Transportasi
Darat.
Selanjutnya, jumlah daerah yang menerima
alokasi DAK dari tahun ke tahun juga
mengalami penambahan. Jika pada
tahun 2008 terdapat 25 provinsi dan 451
kabupaten/kota yang menerima DAK, maka
yang rusak untuk bidang tersebut, maka
daerah tersebut tidak akan mendapatkan
DAK pada bidang tersebut.
4. Apabila dengan IFW inipun tidak layak,
maka masih dimungkinkan layak apabila
ketika digabung dengan IT-nya dan
digabung menjadi fungso IFWT yang
menunjukkan nilai >1, maka daerah
tersebut dianggap layak menerima
alokasi DAK.
5. Pada tahap kedua, setelah diketahui
daerah-daerah yang layak mendapatkan
alokasi DAK, maka dilakukan perhitungan
besaran alokasi masing-masing daerah
dengan menyusun Bobot Daerah
yang merupakan pencerminan IFWT
dikalikan dengan IKK (indeks kemahalan
konstruksi).
6. Bobot Dearah tersebut dikalikan dengan
pagu DAK masing-masing bidang
sehingga akan diketahui besaran alokasi
Tabel 1Dana Alokasi Khusus, Tahun 2003 – 2012 (dalam miliar rupiah)
No Bidang 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
1 Pendidikan 625,00 652,60 1.221,00 2.919,53 5.195,29 7.015,42 9.334,88 9.334,88 10.041,30 10.041,30
2 Kesehatan 375,00 456,18 620,00 2.406,80 3.381,27 3.817,37 4.017,37 2.829,76 3.000,80 3.005,93
3 Infrastruktur Jalan 842,50 839,05 945,00 2.575,71 3.113,06 4.044,68 4.500,92 2.810,21 3.900,00 4.012,76
4 Infrastruktur Irigasi 338,50 357,20 384,50 627,68 858,91 1.497,23 1.548,98 968,40 1.311,80 1.348,51
5 Infrastruktur Air Minum 203,50 608,00 1.062,37 1.142,29 1.142,29 357,23 419,60 502,49
6 Infrastruktur Sanitasi 357,23 419,60 463,65
7 Kelautan Perikanan 305,47 322,00 775,68 1.100,36 1.100,36 1.100,36 1.207,84 1.500,00 1.547,12
8 Prasarana Pemerintah 88,00 228,00 148,00 448,68 539,06 362,00 562,00 386,25 400,00 444,50
9 Pertanian 170,00 1.094,88 1.492,17 1.492,17 1.492,17 1.543,63 1.806,10 1.879,59
10 Lingkungan Hidup 112,88 351,61 351,61 351,61 351,61 400,00 479,73
11 KB 279,01 329,01 329,01 368,10 392,26
12 Kehutanan 100,00 100,00 250,00 400,00 489,76
13 Prasarana Daerah Tertinggal 190,00 300,00 315,50 356,94
14 Perdagangan 150,00 107,32 300,00 345,13
15 Keselamatan Transportasi Darat 100,00 131,62
16 Listrik Pedesaan 150,00 190,64
17 Perumahan Dan Permukiman 150,00 191,24
18 Sarpras Kawasan Perbatasan 100,00 121,39
19 Transportasi Perdesaan 150,00 171,39
Jumlah Total Bidang 5 6 8 9 9 11 13 14 19 19
Jumlah Total Pagu 2.269,00 2.838,50 4.014,00 11.569,80 17.094,10 21.202,14 24.819,59 21.133,38 25.232,80 26.115,95
12 Media defis
Laporan Utama
pada tahun 2012 bertambah menjadi 32
provinsi, 488 kabupaten/kota. Bertambahnya
jumlah daerah yang menerima alokasi DAK
tersebut terutama disebabkan antara lain
oleh adanya penambahan daerah otonom
baru akibat pemekaran. Perkembangan
jumlah daerah penerima DAK tersebut dapat
dilihat pada tabel 2 di samping.
Walaupun jumlah daerah yang menerima
DAK mengalami peningkatan, namun rata-
rata alokasi yang diterima oleh masing-
masing daerah kabupaten/kota mengalami
peningkatan, yaitu sebesar 45,32 persen
pada trahun 2008 menjadi 50,79 perrsen
pada tahun 2012.
Sementara itu, proporsi DAK dalam Dana
Perimbangan juga tidak terlalu besar, yaitu
sekitar 6% pada tahun 2011 dan menurun
menjadi sekitar 5% pada tahun 2012. Hal ini
tentu saja tidak akan secara signifikan dapat
mengubah pola belanja di daerah. Dengan
kata kata lain, harapan yang terlalu besar
pada DAK seperti bertolak belakang dengan
ketersediaan anggaran di APBN. Gambar 3
dapat menjelaskan kondisi tersebut.
DISKURSUS MENGENAI DAK
1. Top down vs bottom up
Dalam proses pengalokasian DAK lebih
banyak dilakukan dengan pendekatan top
down. Hal ini sejalan dengan DAK dalam
kaitannya dengan prioritas nasional. Jika
DAK didasarkan atas kebutuhan daerah,
maka mekanisme bottom up akan lebih pas.
Selain itu, perhitungan alokasi DAK yang
menggunakan kriteria umum, khusus, dan
teknis juga tidak dimunginkan DAK bersifat
bottom up. Implementasi atas ketiga kriteria
tersebut membutuhkan indikator-indikator
yang dapat digunakan untuk penyusunan
indeks dari kriteria-kriteria dimaksud. Hal
ini berarti bahwa “data” merupakan elemen
utama dalam perhitungan alokasi DAK.
Dengan demikian, penyediaan data-data
dimaksud dilakukan oleh masing-masing
kementeriam/lembaga terkait untuk data
kriteria khusus dan teknis, sedangkan data
kriteria umum menggunakan data APBD.
Dalam prakteknya, pelaksanaan DAK
menggunakan pendekatan campuran, antara
top down dan bottom up. Hal ini bisa dilihat
pada saat proses perencanaan yang dimulai
dari musrenbangnas. Pada tahapan ini,
daerah mengusulkan beberapa kegiatan yang
merupakan kebutuhan daerah, dan untuk
selanjutnya akan dilakukan penyesuaian
dengan kegiatan-kegiatan yang merupakan
bagian dari prioritas nasional. Selanjutnya,
pada saat dilakukan perhitungan alokasi
DAK lebih banyak bersifat top down dengan
mendasarkan diri pada data-data sesuai
dengan kriteria yang bersifat bottom up karena
data dimaksud bersumber juga dari daerah.
2. Prioritas nasional vs kebutuhan daerah
Beberapa daerah menyampaikan
permasalahan mengenai alokasi DAK yang
dialokasikan tidak sesuai dengan kebutuhan
daerah. Terhadap hal ini, bisa benar bisa juga
tidak. Dikatakan benar apabila input data
yang digunakan dalam perhitungan alokasi
kurang akurat, maka dimungkinkan akan
terjadi hal demikian. Dikatakan tidak benar
apabila menurut pusat masih dimunginkan
untuk dilakukan kegiatan tersebut namun
menurut daerah tidak sesuai dengan
kebutuhan. Dalam hal ini, ada baiknya
Tabel 2Alokasi dan Jumlah Daerah Penerima DAK, 2008-2012
2008 2009 2010 2011 2012
Alokasi Provinsi 762.51 1,360.47 829.05 1.305,46 1.331,39
Alokasi Kab/Kota 20,439.64 23,459.12 19,926.72 23.927,34 24.784,56
Jumlah Alokasi Nasional 21,202.14 24,819.59 20,755.77 25.232,80 26.115,95
Provinsi Penerima DAK 25 29 32 32 32
Kab/Kota Penerima DAK 451 477 472 488 488
Rata-rata alokasi Kab/Kot 45.32 49.18 42.22 49,03 50,79
Rata-rata alokasi Nasional 44.54 49.05 41.18 48,52 50,22
Sumber : PMK Alokasi DAK, data diolah
Gambar 2Dana Alokasi Khusus, Tahun 2003 – 2012
Media defis 13
Laporan Utama
apabila kembali kita merujuk pada konsep
specific fund dimana kegiatan yang merupakan
prioritas nasional tersebut kadang-kadang
memang tidak sesuai dengan kebutuhan
daerah. Hal ini tidak berarti kegiatan yang
sudah dialokasikannya pendanaannya dari
DAK tersebut tidak dapat dilakukan oleh
daerah. Daerah harus melakukan kegiatan
tersebut walaupun tidak sesuai dengan
kebutuhan daerah, namun pemerintah tetap
berkeyakinan bahwa hal tersebut merupakan
prioritas nasional yang harus dilaksanakan di
daerah.
3. Fiscal oriented vs technical oriented
Perbedaan cara pandang terhadap
DAK antara Kementerian Keuangan dan
Kementerian Teknis cukup terasa ketika
orang mulai bicara tentang “pengalihan”
sebagaimana diatur dalam Pasal 108 UU 33
Tahun 2004. Pengalihan anggaran K/L yang
dipergunakan untuk mendanai kegiatan
yang sudah menjadi urusan daerah secara
bertahap ke DAK terkadang di”gondeli”
mengingat ketika masuk dalam DAK, maka
harus mengikuti ketentuan tentang DAK. K/L
tidak bisa menentukan daerah-daerah mana
yang akan diintervensi melalui DAK karena
harus memenuhi kriteria umum, khusus,
dan teknis. Walaupun secara filosofi DAK
terutama ditujukan untuk daerah-daerah
dengan kemampuan keuangan daerah
yang relatif rendah, namun ketentuan
perundangan tidak cukup kuat untuk
mengikat hal tersebut. Sebagai contoh
adalah penentuan daerah yang dapat DAK
di dalam UU disebutkan harus memenuhi
kriteria umum, kriteria khusus, dan kriteria
teknis. Mana yang mempunyai peran besar
adalah tergantung dari kebijakan nasional
pada saat kebijakan itu dirumuskan.
Prakteknya adalah ketiga kriteria harus
dipakai dalam penentuan daerah tertentu
yang layak dapat alokasi DAK.
Sebagai bagian integral dari kebijakan
nasional tentang perimbangan keuangan,
maka DAK harus diletakkan dalam porsinya
untuk membantu daerah dengan kemampuan
keuangan yang relatif rendah (fiscal oriented).
Di sisi yang lain, terdapat pandangan
bahwa sebagai bagian dari instrumen untuk
menjaga kualitas pelayanan dasar di daerah
yang menjadi bagian dari prioritas nasional,
maka DAK mestinya tetap diarahkan untuk
memperbaiki sarana prasarana dasar di
daerah yang menjadi prioritas nasional
sepanjang di daerah tersebut masih banyak
infrastruktur yang rusah (technical oriented).
Menurut penulis, dikotomi atas 2 hal
tersebut adalah kurang pas karena justru
akan mengaburkan makna otonomi dimana
pembagian wewenang dan atau/urusan juga
mengindikasikan pembagian akan tanggung
jawab dalam pendanaannya. Makanya dalam
praktek alokasi DAK selalu digunakan ketiga
kriteria secara bersama-sama karena ketiga
kriteria tersebut sejalan dengan tujuan DAK.
4. Dana pendamping vs non- dana pendamping
Dana pendamping yang dipersyaratkan
sekurang-kurangnya 10% dari total DAK
yang diterima oleh suatu daerah terasa
memberatkan daerah terutama daerah-
daerah yang kemampuan keuangan
daerahnya relatif rendah. Tujuan utama
dari dana pendamping adalah untuk
menunjukkan komitmen daerah terhadap
pelaksanaan kegiatan yang didanai dari DAK.
Isu keberatan dana pendamping ini terdengar
kencang dalam 4 tahun terakhir ketika dana
transfer lainnya dari pusat yang diterima
oleh daerah peningkatannya tidak signifikan
apabila dibandingkan dengan beberapa
tahun sebelumnya. Secara berkelakar sering
dikatakan bahwa kewajiban penyediaan dana
pendamping oleh daerah tersebut seperti
“jeruk makan jeruk”. Hal ini benar adanya
mengingat penyediaan dana pendamping
tersebut biasanya diambilkan dari DAU atau
DBH yang notabene merupakan dana transfer
dari pusat. Agak kontradiktif memang kalau
kita melihat arah kebijakan DAK yang lebih
banyak ditujukan untuk membantu daerah-
daerah dengan kemampuan keuangan relatif
rendah namun tetap mensyaratkan adanya
penyediaan dana pendamping minimal
Gambar 3 Rincian Dana Perimbangan Tahuan 2011 dan 2012
14 Media defis
Laporan Utama
10%. Seiring dengan semakin banyaknya
alokasi DAK yang dialokasikan, maka dana
pendamping ini akan semakin menjadi
persoalan tersendiri. UU memang mengatur
mengenai daerah-daerah yang mempunyai
kemampuan daerah tertentu tidak diwajibkan
menganggarkan dana pendamping. Namun
dalam penjelasannya disebutkan bahwa
daerah dengan kemampuan keuangan daerah
tertentu adalah daerah yang penerimaan
umum APBDnya dikurangi dengan belanja
pegawai sama dengan nol atau negatif. Tentu
saja kondisi yang demikian tidak ditemui di
daerah.
5. Fisik vs non fisik
Pertimbangan utama mengapa DAK
digunakan untuk kegiatan yang bersifar fisik
adalah DAK pada saat pertama dialokasikan
tidak terlalu besar jumlahnya dan agar
mudah diukur pencapaian ouputnya. Namun
seiring dengan semakin besarnya alokasi
DAK tersebut, serta sejalan dengan dinamika
perubahan atas peraturan perundangan
lainnya (misalnya PP 38 Tahun 2007), ada
usulan bahwa DAK seyogyanya tidak hanya
untuk fisik saja, namun bisa juga untuk
kegiatan yang bersifat non-fisik.
PP 55 Tahun 2005 mengatur mengenai
peruntukan DAK untuk sarana dan prasarana
dasar dengan mengutamakan kegiatan
yang bersifat fisik. Menurut penulis, kata
“mengutamakan” bisa diartikan bahwa DAK
suatu saat bisa juga untuk kegiatan yang
bersifat non-fisik. Hanya saja, rumusan
mengutamakan fisik tersebut tidak konsisten
dengan penjelasan mengenai fisik yaitu
kegiatan yang mempunyai umur ekonomi
yang panjang. Biasanya kegiatan yang
mempunyai umur ekonomis yang panjang
identik dengan belanja modal yang juga fisik.
Diskresi untuk menginterpretasikan DAK
bisa untuk non-fisik juga terkendala dengan
UU 34 Tahun 2004 yang menyebutkan
bahwa penggunaan dana pendamping harus
untuk fisik. Secara berseloroh orang akan
mengatakan, lha dana pendampingnya saja
untuk fisik, mosok DAK-nya untuk non-fisik.
6. Open menu vs detil menu
Beberapa kementerian/lembaga menerbitkan
petunjuk teknis yang detil, sebagian
lainnya bersifat open menu. Menu kegiatan
yang detil menyebabkan beberapa daerah
kesulitan dalam melaksanakan program
kegiatan. DAK Pertanian adalah contoh
DAK dengan kegiatan yang bersifat pilihan,
dan memberikan kebebasan daerah untuk
memilih sesuai dengan prioritas dan
kebutuhan daerah. Sementara itu, penetapan
persentase tertentu untuk beberapa
pegiatan yang bersifat fisik dan mutu di DAK
Pendidikan dianggap oleh beberapa daerah
tidak bisa melaksanakan kegiatan tersebut
sesuai dengan kondisi daerah.
7. One year project vs multi years project
DAK selama ini adalah bersifat satu tahun
anggaran, yang berarti harus selesai pada
akhir tahun anggaran berkenaan, dan paling
lambat dapat dimanfaatkan pada awal
tahun anggaran berikutnya. Sejalan dengan
kebijakan kebijakan kerangka pembangunan
jangka menengah (medium term expenditure
framework, MTEF), DAK diharapkan dapat
dirumuskan dalam kerangka MTEF tersebut.
8. Banyak bidang DAK vs sedikit Bidang DAK
Idealnya memang DAK hanya terdiri
dari beberapa bidang yang benar-
benar merupakan prioritas nasional dan
merupakan kebutuhan dasar di masyarakat.
Namun dalam perkembangannya mengalami
penambahan bidang yang signifikan. Jika
pada tahun 2003 baru 5 bidang, maka pada
tahun 2010 sudah mencapai 14 bidang, dan
bahkan pada tahun 2011 sudah mencapai 19
bidang yang didanai dari DAK. Dari sisi norma
perencanaan, menurut penulis semestinya
DAK hanya diperuntukkan bagi beberapa
bidang saja. Namun demikian, banyaknya
bidang yang didanai dari DAK tidak serta
merta salah. UU tidak menyebutkan istilah
“bidang” namun “kegiatan khusus”. Kegiatan
khusus dijelaskan sebagai kegiatan yang
sesuai dengan fungsi di dalam APBN dan
merupakan bagian dari prioritas nasional.
Karena pendekatannya adalah “kegiatan”
yang merupakan bagian dari prioritas
nasional, maka ada kesan bahwa semua
kegiatan itu menjadi bagian dari prioritas
nasional. Padahal kita tahu bahwa kegiatan
yang dijabarkan sesuai dengan fungsi
dalam APBN itu banyak sekali, dan apabila
dikaitkan dengan prioritas nasional akan
menjadi terkait walaupun keterkaitannya
agak jauh.
Banyaknya bidang DAK ini sebenarnya
juga tidak terlepas dari konsekuensi
implementasi PP 38 tahun 2007, juga adanya
amanat UU mengenai pengalihan anggaran
K/L yang dipergunakan untuk mendanai
kegiatan yang sudah menjadi urusan daerah
ke DAK. Dengan segala keterbatasan yang
ada, DAK harus menyediakan dirinya untuk
menampung “pengalihan” tersebut.
9. Sektoral vs kewilayahan
Diskursus mengenai hal ini sebenarnya
lebih tepat apabila diletakkan pada tataran
wacana diskusi dan bukan pada tataran
pengambilan kebijakan. Mengapa? Sejak
tahun 2003 hingga tahun 2010 selalu
digunakan pendekatan sektoral. Bidang
DAK identik dengan nama sektor, dan hal
tersebut sudah teruji sekian tahun. Ketika
DAK sudah melintasi wilayah “kewilayahan”
untuk menyebut suatu bidang, maka hal
tersebut dirasakan agak mengganggu
harmonisasi penyusunan kegiatan di tingkat
nasional maupun regional. Sebagai contoh,
tahun 2011 direncanakan alokasi DAK
Kawasan Perbatasan. Kegiatannya hampir
sama dengan DAK sarana dan Prasarana
Daerah Tertinggal. Sebagian dari Kawasan
Perbatasan adalah daerah tertinggal.
Untuk menghindari adanya overlapping
Media defis 15
Laporan Utama
pendanaan, maka dirumuskan lokasi DAK
Kawasan Perbatasan hanya untuk kawasan
perbatasan di wilayah Kalimantan, dan
untuk kegiatan yang sama dengan DAK
Sarana dan Prasarana Daerah tertinggal
diperuntukkan bagi daerah tertinggal di luar
kawasan perbatasan di provinsi Kalimantan.
Ada kesan terlalu menyederhanakan
persoalan dalam menyusun kebijakan. Hal
ini dikhawatirkan juga akan mendistorsi
peran Kementerian Pembangunan Daerah
Tertinggal dalam melakukan mainstreaming
kegiatan di berbagai sektor untuk
memajukan daerah tertinggal. Ketika DAK
Sarana dan Prasarana Daerah Tertinggal
tidak boleh mengintervensi daerah tertinggal
yang berada dalam kawasan perbatasan
tersebut, maka akan ada pertanyaan ada apa
ini, atau dengan meminjam judul lagu Peter
Pan, maka Ada Apa Denganmu.
Masalahnya adalah penyebutan bidang-
bidang yang akan didanai dari DAK sudah
ditulis dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP)
sehingga tidak ada celah lagi untuk melakukan
penyesuaian bidang tersebut. Sebenarnya
tidak ada keharusan menulis bidang
secara eksplisit di RKP. PP 55 Tahun 2005
menyebutkan bahwa berdasarkan prioritas
nasional sebagaimana tertuang dalam RKP,
Menteri Teknis mengusulkan kegiatan kepada
Menteri Keuangan. Mekanisme kebijakan ini
tidak bisa berjalan dengan baik mengingat
dalam RKP juga sudah disebut jenis kegiatan
yang akan didanai dari DAK. Jika demikian,
kegiatan apa lagi yang harus diusulkan oleh
Menteri Teknis kepada Menteri Keuangan?
10. Membantu vs menggantikan
Isu ini bermula karena siklus penganggaran
di daerah tidak sama dengan siklus
penganggaran DAK di pusat. Bermula pada
saat sekitar Juli (alokasi DAK belum diketahui)
disusun KUA-PPAS di daerah. Beberapa
daerah sudah menganggarkan APBDnya
untuk kegiatan-kegiatan yang merupakan
bagian dari kegiatan yang akan didanai dari
DAK. Secara sederhana dapat diilustrasikan
begini, pada KUA-PPAS dianggarkan dana
Rp20 miliar untuk kegiatan DAK Pendidikan.
Selanjutnya, pada saat selesai pembahasan
dengan DPR (biasanya akhir bulan Oktober)
diketahui DAK Pendidikan untuk daerah
tersebut Rp25M, maka biasanya daerah
tersebut akan menggeser/mengurangi
alokasi anggarannya tersebut ke sektor
lainnya. Karena prinsip DAK adalah
“membantu”, mestinya bantuan dari APBN
tersebut digunakan untuk menambah alokasi
anggaran yang sudah dianggarkan sehingga
mampu mempercepat proses pembangunan
di bidang pendidikan bagi daerah tersebut,
dan bukan malah menggantikan.
DAK KE DEPANKonsep DAK ke depan bisa saja dimulai
dari proses berpikir untuk mengembangkan
permasalahan atau isu-isu di atas. Namun
demikian, ada tiga pernyataan mendasar
yang menurut saya perlu untuk diperhatikan,
yaitu (i) mempertahankan konsep DAK
dengan memberi ruang bagi munculnya jenis
transfer lainnya yang baru; (ii) memperluas
dan/atau mengembangkan konsep DAK yang
ada sekarang, atau (iii) re-design DAK. Mau
memilih yang mana? Ini hanyalah sebuah
pilihan, bisa juga dipilih di luar ketiga
hal tersebut. Untuk menentukan pilihan
tersebut, kita harus bisa menjawab terlebih
dahulu kira-kira konsep perimbangan
keuangan ke depan nantinya seperti apa?
Apakah akan meletakkan DAK sebagai satu
kesatuan yang utuh dalam posisinya sebagai
bagian dari jenis Dana Perimbangan, atau
justru ingin menjadikan DAK lebih exclusive
lagi dalam kaitannya dengan kepentingan
prioritas nasional? Atau, DAK akan diarahkan
untuk mendorong pencapaian standar
pelayanan minimum (SPM)?
1. Mempertahankan konsep DAK
Mempertahankan konsep DAK dalam
pengertian ini adalah “kembali ke khittah”.
Jika ini adalah interpretasinya, maka mari
kita lihat kembali “Asbabun Nuzul” atau
sebab-sebab dialokasikannya DAK dan
dirumuskannya pasal per pasal dalam UU
34 Tahun 2004 dan PP 55 Tahun 2005.
Sebab-sebab dialokasikannya DAK sudah
dibahas pada subbab posisi DAK dalam
Dana Perimbangan di atas, yaitu membantu
daerah-daerah yang kemampuan keuangan
daerahnya rendah untuk menjaga pelayanan
dasar di daerah yang merupakan bagian dari
prioritas nasional.
Implikasi dari hal tersebut adalah:
a. DAK harus tegas membatasi dirinya
untuk bidang-bidang yang benar-benar
menjadi bagian dari prioritas nasional
saja, misalnya infrastruktur pendidikan,
kesehatan, dan ke-PU-an.
b. DAK harus diletakkan dalam konteks
perimbangan keuangan secara utuh, yang
berarti masih ditujukan untuk “daerah
tertentu” saja terutama daerah-daerah
yang kemampuan keuangannya rendah.
Hal ini juga bisa dilakukan dengan
konsistensi pengukuran kemampuan
keuangan daerah tidak melalui kriteria
umum namun menggunakan peta
kapasitas fiskal.
c. Mengurangi peran kriteria teknis dalam
penentuan “daerah tertentu”, atau
hanya menggunakan kriteria teknis
dalam penentuan besaran alokasi DAK
per daerah per bidang. Hal ini berarti
harus merevisi UU 33 Tahun 2004.
d. Redefinisi kriteria khusus dalam
kaitannya dengan penentuan kelayakan
suatu daerah menerima DAK.
e. Perlu dibangun persepsi bersama bahwa
kewajiban atas kegiatan yang menjadi
bagian dari prioritas nasional dan
sudah menjadi urusan daerah adalah
merupakan tanggung jawab bersama
antara pusat dan daerah, dan bukan
merupakan kewajiban pemerintah pusat
saja.
16 Media defis
Laporan Utama
f. Perlu diatur mekanisme hubungan
koordinasi antar Kementerian/Lembaga
maupun antara K/L Teknis dengan daerah
dalam kaitannya dengan sinkronisasi
pencapaian target Kementerian dengan
beberapa kegiatan di daerah yang masih
terkait dengan pencapaian target K/L
tersebut. Misalnya target penuntasan
ruang kelas SD yang rusak secara
fungsi adalah menjadi tanggung jawab
Kemendiknas, namun beberapa alokasi
DAK Pendidikan dalam penentuan
lokasinya merupakan kewenangan
daerah.
g. Lebih memperkuat peran perencanaan
dan monitoring evaluasi atas
pelaksanaan DAK.
h. Lebih menghormati peran kementerian/
lembaga dalam tahapan-tahapan
perencanaan DAK sampai dengan
evaluasi. Pada level perencanaan tentu
saja Bappenas berperan sebagai leading
sector, sementara pada tahapan alokasi
dan penyaluran adalah Kementerian
Keuangan. Berdasarkan alokasi
tersebut Kementerian Teknis akan
menyusun Petunjuk Teknis Penggunaan
DAK dengan dikoordinasikan oleh
Kemendagri. Pada saat monitoring dan
evaluasi, masing-masing Kementerian
mempunyai peran sendiri-sendiri sesuai
dengan kewenangan yang dimiliki. Yang
perlu diperkuat adalah konsistensi atas
pelaksanaan koordinasi dalam rangka
efisiensi dan efektivitas pelaksanaan
monitoring dan evaluasi.
2. Mengembangkan konsep DAK
Dalam benak penulis, mengembangkan
konsep adalah merupakan telaah atas
permasalahan yang terjadi dalam upaya
memperkuat DAK di masa mendatang.
Dalam hal ini, DAK masih tetap diarahkan
untuk prioritas nasional saja namun lebih
mengedepankan aspek teknis, atau saya
ingin mengatakan “DAK yang lebih exclusive”.
DAK diarahkan untuk mempertahankan dan/
atau meningkatkan kualitas pelayanan dasar
yang menjadi prioritas nasional di daerah.
Jadi idenya dibalik dengan rekomendasi
butir 1. Kalau pada rekomendasi butir 1 di
atas dilihat terlebih dahulu peta kapasitas
fiskal per daerah, baru dilihat kebutuhan
teknisnya, maka pada konsep ini dilihat
terlebih dahulu kebutuhan teknisnya baru
kemudian dilihat kemampuan fiskal masing-
masing daerah dalam mendanai kebutuhan
teknis tersebut. Setelah itu, baru dilakukan
perhitungan alokasi per daerah dengan
melihat kebutuhan teknis dan kemampuan
fiskal. Jika ini dilakukan, lebih sederhana dan
proporsional dari sisi alokasi berdasarkan
kebutuhan teknis dan kemampuan fiskal.
Di sini bisa dihilangkan kriteria khusus karena
kriteria khusus tersebut dapat menyebabkan
hasil perhitungan alokasi menjadi bias, dan
juga dapat memberi celah bagi masuknya
DAK yang bersifat kewilayahan.
Selain itu, harus dipikirkan juga untuk:
a. DAK sebagai bagian dari MTEF, agar DAK
lebih predictable.
b. Dana Pendamping, bisa dihapus atau
tetap ada namun memperhatikan
kemampuan keuangan daerah melalui
pengelompokan kemampuan keuangan
daerah dalam kaitannya dengan
penentuan besaran dana pendamping
dari masing-masing kelompok tersebut.
c. Penggunaan untuk non fisik perlu dikaji
terutama sejauhmana kebutuhan non
fisik dari masing-masing K/L dalam
mendukung kegiatan yang didanai dari
DAK.
3. Mendesign kembali konsep DAK
Mengambil pengalaman negara-negara
lain dalam kaitannya dengan transfer
yang bersifat conditional grant, maka
DAK bisa dipergunakan untuk mendorong
tercapainya standar pelayanan minimum,
dan mengkompensasi efek “rembesan”
(benefit/cost spillovers) dari investasi barang
modal yang menjadi prioritas. Terkait dengan
hal ini, perkembangan sekarang sebenarnya
sudah pada track yang benar, yaitu sudah
banyaknya SPM yang telah ditetapkan oleh
masing-masing K/L.
Ke depan ada baiknya juga ada pemikiran
mengenai transfer di Indonesia terutama
diskursus mengenai penekanan jenis
transfer, akan lebih banyak ke conditional
atau unconditional. Sementara itu, sejalan
dengan perkembangan perubahan atas
ketentuan perundangan sebagai konsekuensi
logis dari pelaksanaan otonomi daerah
adalah telah ditetapkannya SPM di masing-
masing K/L. Jika ini yang menjadi dasar bagi
pelaksanaan transfer, maka bentuk utama
dari grant ini adalah closed ended matching
grant. Keberpihakan saya terhadap konsep
ini adalah setelah melihat implementasi atas
transfer di Indonesia yang secara konsep
mengusung tema kesenjangan fiskal, namun
dalam prakteknya tema tersebut seperti never
ending. Menyelesaikan persoalan kesenjangan
fiskal tidak akan pernah selesai. Daerah
dengan kapasitas fiskal merasa masih kurang
juga alokasinya, apalagi dengan daerah
yang kapasitas fiskalnya rendah. Persoalan
utama bisa saja tidak pada ketimpangan
kapasitas fiskal, namun pada ketidaksamaan
tingkat pelayanan masyarakat antardaerah.
Hal ini juga yang menjadi isu utama dari
transfer di negara-negara maju lainnya
seperti di Amerika. Apakah di Indonesia juga
berkembang isu seperti ini?
Ubaidi Socheh Hamidi
Ke depan ada baiknya juga ada
pemikiran mengenai transfer di
Indonesia terutama diskursus
mengenai penekanan jenis
transfer, akan lebih banyak ke
conditional atau unconditional
Media defis 17
Laporan Utama
Secara umum, transfer yang bersifat
khusus (specific purpose transfer) mempunyai
tujuan untuk memberikan insentif bagi
pemerintah pada level sub-nasional untuk
menyelenggarakan kegiatan tertentu
(khusus) yang biasanya merupakan
prioritas pemerintah nasional (Anwar
Shah, 2007 dan Robin Boadway, 2007).
Di sinilah esensi intervensi pemerintah
nasional dalam konteks desentralisasi
penyelenggaraan pemerintahan, yaitu
memaksa pemerintah pada level sub-
nasional untuk melaksanakan kegiatan
tertentu yang merupakan prioritas
nasional.
UU 33/2004 mendefinisikan desain
specific purpose grant dalam DAK, dimana
“kekhususan” tidak hanya dimaknai
“kegiatan tertentu yang merupakan
prioritas nasional”, namun juga dimaknai
sebagai “daerah tertentu” sehingga tidak
seluruh daerah bisa mendapatkan DAK.
Landasan pemikiran pemaknaan “daerah
tertentu” adalah bahwa bagi daerah yang
sudah cukup mampu secara financial
seharusnya daerah tersebut telah dapat
mendanai kegiatan khusus tersebut dari
sumber pendapatan yang lain (DBH,
DAU atau PAD). Dalam konteks ini dapat
dikatakan bahwa DAK juga mengemban
misi ekualisasi (financial) yang ditujukan
untuk memeratakan kualitas layanan
publik. Hal ini kemudian juga tercermin
dalam formulasi DAK yang mengambil
salah satu kriterianya adalah kemampuan
fiskal daerah, dimana daerah yang layak
mendapatkan DAK adalah daerah dengan
kapasitas fiskal yang rendah.
Kelemahan dan kelebihan DAK saat iniDalam implementasinya, DAK menghadapi
kendala yang berat untuk bisa mewujudkan
tujuannya sebagaimana disebutkan di
atas, yaitu tujuan pencapaian prioritas
nasional dan tujuan pemerataan.
Pertama, pencapaian prioritas nasional
menjadi tidak jelas karena dari tahun ke
tahun justru semakin tidak jelas prioritas
yang ingin dicapai. Hal ini ditengarai
antara lain dengan semakin banyaknya
bidang yang didanai oleh DAK (hingga
mencapai 19 bidang di tahun 2012).
Letak prioritas nasional menjadi kabur,
salah satunya adalah karena banyak
kementerian dengan alasannya masing-
masing berkehendak untuk mempunyai
DAK di bidang masing-masing. kedua,
tujuan untuk menjadi penyeimbang pada
akhirnya juga tidak sepenuhnya tercapai,
karena di dalam implementasinya faktor
kapasitas fiskal ternyata tidak mempunyai
peran yang cukup signifikan. Peran
faktor kapasitas fiskal yang rendah ini
diakibatkan oleh dua hal, yaitu i) formulasi
dengan menggunakan filter berjajar,
dimana yang tidak lolos dalam saringan
faktor kapasitas fiskal masih diikutkan lagi
DESAIN DAK KE DEPAN:
Apa yang perlu diperbaiki?
Untuk menjembatani begitu banyaknya kepentingan dan kebutuhan tersebut, maka perubahan desain DAK harus mempunyai payung hukum yang kuat. Untuk itulah, perubahan desain DAK, tidak bisa tidak harus
dilakukan melalui perubahan UU 33/2004. Seiring dengan dimulainya usulan Pemerintah untuk merevisi UU dimaksud, maka perubahan desain DAK juga dimasukkan sebagai salah satu agenda perubahan.
Berdasarkan hasil diskusi dengan stakeholder, maka terdapat dua hal penting yang menjadi landasan penyusunan desain DAK yang baru dalam revisi UU 33/2004, yaitu i) DAK harus mampu menyederhanakan berbagai jenis specific grant yang ada dalam system transfer di Indonesia saat ini; dan ii) desain DAK yang
baru harus mampu meminimalisir kelemahan-kelemahan yang terjadi dalam pelaksanaan DAK saat ini.
18 Media defis
Laporan Utama
dalam saringan kedua dan ketiga; ii) bobot
faktor kapasitas fiskal yang relatif rendah.
Di samping kelemahan tersebut di atas,
masih terdapat beberapa kendala juga
dalam detail pelaksanaan DAK. Kendala
yang paling sering dikeluhkan oleh daerah
adalah petunjuk teknis dari K/L yang
seringkali terlambat disampaikan (terlambat
penyusunan maupun sosialisasinya)
menyebabkan keterlambatan bagi daerah
dalam merealisasikannya. Selain itu,
sebagian besar Juknis merujuk kepada
“input based conditional transfer”, hal ini
menyebabkan Juknis menjadi sangat
rigid. Rigiditas petunjuk teknis seringkali
menyebabkan alokasi DAK menjadi
tidak dapat dilaksanakan secara efisien
karena tidak sesuai dengan kondisi dan
kebutuhan daerah. Hal krusial lain yang
menjadi kelemahan DAK adalah lemahnya
system dan mekanisme monitoring dan
evaluasi pelaksanaan DAK sehingga sulit
untuk mendeteksi apakah DAK telah
berhasil mencapai tujuan nasional atau
tidak. Hal lain yang juga sangat sering
mengemuka adalah masalah penyediaan
dana pendamping yang terkadang cukup
memberatkan bagi sebagian daerah
penerima DAK.
Meskipun terdapat beberapa kelemahan
mendasar dari DAK saat ini, namun
ada beberapa hal yang juga merupakan
kelebihan DAK saat ini, yaitu:
1. Mekanisme pencairan/penyaluran DAK
yang relatif sangat simple sehingga
realisasi transfer DAK dari pusat
cenderung tinggi.
2. Bagi sebagian besar daerah, pada
dasarnya DAK telah sangat membantu
kebutuhan pendanaan daerah,
terutama untuk meningkatkan belanja
modal mereka (dalam konteks ini
secara implicit terdapat kecenderungan
bahwa daerah sebenarnya sangat
tergantung pada DAK, hal ini sekaligus
juga merupakan kelemahan DAK).
Langkah untuk memperbaiki DAK Dengan memperhatikan kelemahan yang
ada, maka menjadi sangat penting untuk
menyusun desain baru DAK. Meskipun
demikian, bukanlah hal yang mudah untuk
menyusun desain specific grant yang baik
dan pas dengan kondisi di Indonesia. Hal
ini terjadi karena desain tersebut harus
mampu menjembatani berbagai kepentingan
dan kebutuhan banyak stakeholder, dan
sekaligus harus menjaga akuntabilitasnya.
Stakehoder yang sangat berkepentingan
dengan DAK, tentu saja selain daerah
sendiri adalah Pemerintah Pusat. Di dalam
Pemerintah Pusat sendiri, banyak pihak
yang sangat berkepentingan dengan DAK,
yaitu Kementerian Keuangan, Bappenas,
Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian
Teknis. Demikian juga di daerah, pelaksanaan
DAK akan melibatkan banyak pihak,
yaitu Dinas yang menangani pengelolaan
keuangan, SKPD teknis, Bappeda. Bahkan
mungkin masih ada lagi stakeholder lain yang
berkepentingan, seperti auditor, rekanan
dan juga legislative di Pusat maupun daerah.
Untuk menjembatani begitu banyaknya
kepentingan dan kebutuhan tersebut,
maka perubahan desain DAK harus
mempunyai payung hukum yang kuat.
Untuk itulah, perubahan desain DAK,
tidak bisa tidak harus dilakukan melalui
perubahan UU 33/2004. Seiring dengan
dimulainya usulan Pemerintah untuk
merevisi UU dimaksud, maka perubahan
desain DAK juga dimasukkan sebagai
salah satu agenda perubahan.
Berdasarkan hasil diskusi dengan
stakeholder, maka terdapat dua hal penting
yang menjadi landasan penyusunan
desain DAK yang baru dalam revisi UU
33/2004, yaitu i) DAK harus mampu
menyederhanakan berbagai jenis specific
grant yang ada dalam system transfer
di Indonesia saat ini; dan ii) desain DAK
yang baru harus mampu meminimalisir
kelemahan-kelemahan yang terjadi dalam
pelaksanaan DAK saat ini.
Untuk masalah penyederhanaan system
transfer yang bersifat specific grant, maka
dalam rancangan revisi UU 33/2004 seluruh
jenis transfer yang bersifat diarahkan
penggunaannya dimasukkan ke dalam
DAK, dan tidak ada lagi jenis transfer lain
di luar DBH, DAU dan DAK. Untuk itulah
dalam rancangan revisi UU 33/2004, DAK
akan terbagi ke dalam 3 jenis DAK, yaitu
i) DAK untuk mendorong pencapaian SPM
di bidang-bidang tertentu; ii) DAK untuk
mendorong pencapaian prioritas nasional;
dan iii) DAK untuk kebijakan tertentu yang
diatur dengan peraturan perundangan.
Pada dasarnya semua jenis transfer yang
selama ini ada dalam kelompok “Dana
Penyesuaian” akan masuk ke dalam DAK
jenis ketiga, termasuk pemberian insentif
kepada daerah. Namun demikian untuk
tidak membuka lebar celah terjadinya
“Dana Penyesuaian” yang bersifat ad hoc,
maka untuk bisa masuk ke dalam DAK
jenis ketiga ini kewajiban transfer tersebut
harus dilandasi oleh UU Sektoral (misalnya
UU SIsdiknas yang mengamanatkan
Bantuan Operasional Sekolah).
Sementara, jenis DAK yang kedua adalah
untuk mendukung pencapaian prioritas
nasional, diluar bidang yang telah
diprioritaskan dalam pencapaian SPM
dalam DAK jenis yang pertama. Pada
dasarnya DAK jenis kedua ini hampir sama
dengan DAK yang ada saat ini, namun
desain pengalokasian dan penggunaan
DAK di daerah sedikit berbeda. DAK jenis
kedua ini akan lebih mengedepankan
konsep outcome based sehingga daerah
tidak terikat pada detail input dan output
yang harus dilakukan namun focus pada
pencapaian outcome yang telah ditargetkan.
Kementerian Teknis mengeluarkan
Pedoman Umum penggunaan, bukan
Media defis 19
Laporan Utama
Petunjuk Teknis Pelaksanaan DAK. Namun
demikian, standar mutu input dan output
tetap harus mengacu kepada standar
teknis yang dikeluarkan oleh Kementerian
Teknis.
DAK untuk Mendorong Pencapaian SPMSelanjutnya, secara lebih detail dalam
tulisan ini akan memfokuskan pada
DAK jenis yang pertama, yaitu untuk
mendorong pencapaian SPM di tiga
bidang. Sebagaimana conditional transfer
pada umumnya, maka yang selayaknya
didanai melalui specific grants adalah suatu
urusan lokal yang mempunyai efek spill
over dimana bukan saja warga lokal yang
menikmati fasilitas yang disediakan oleh
pemerintah local namun juga warga di luar
teritori (Bird, RM, 2001 dan Bahl, 2000).
Jenis urusan yang mempunyai spill over
semacam ini biasanya justru merupakan
urusan mendasar yang harus disediakan
layanannya oleh pemerintah, seperti
pendidikan atau kesehatan. Oleh karena
itulah, dalam banyak kasus, hal tersebut
membuat pemerintah pusat mempunyai
kepentingan untuk menjamin agar seluruh
warga masyarakat mendapatkan layanan
di bidang tersebut dengan selayaknya.
Namun mengingat urusan-urusan tersebut
merupakan otoritas daerah, maka
conditional transfer dimaksudkan sebagai
insentif agar pemerintah daerah mampu
menyelenggarakan urusan tersebut dengan
sebaik-baiknya (Anwar Shah, 2007).
Untuk itulah, dalam rencana pengaturan
yang dituangkan dalam draft revisi
UU 33/2004, maka fokus DAK (jenis
pertama) menggunakan pertimbangan, i)
urusan yang mempunyai spill over tinggi;
ii) merupakan prioritas nasional; dan
iii) merupakan kebutuhan dasar dalam
pelayanan public. Atas pertimbangan
ketiga hal tersebut, maka dalam draft
revisi UU 33/2004, DAK difokuskan
kepada upaya pencapaian SPM di tiga
bidang, yaitu pendidikan, kesehatan dan
infrastruktur jalan, air minum, sanitasi
dan irigasi. Bidang-bidang tersebut
merupakan layanan dasar dan juga
menjadi focus conditional transfer di banyak
Negara, bahkan termasuk Negara maju
seperti Australia. Harus diakui bahwa
prioritas nasional mungkin bukan hanya
ketiga hal tersebut, namun setidaknya
disepakati oleh pihak-pihak bahwa ketiga
hal tersebut dalam jangka 10 tahun ke
depan masih akan terus menjadi prioritas
tertinggi dalam Rencana Kerja Pemerintah.
Beberapa point penting dalam
pembaharuan desain DAK jenis pertama
(mendorong pencapaian SPM tiga bidang)
adalah:
1. Pengalokasian DAK secara
keseluruhan diprioritaskan untuk DAK
jenis pertama, selain mandatory transfer
untuk melaksanakan UU (DAK jenis
ketiga). Dalam konteks ini tersirat
bahwa DAK jenis pertama dan ketiga
lebih prioritas dibandingkan dengan
DAK jenis kedua.
2. Kriteria utama penetapan daerah yang
layak adalah berdasarkan kemampuan
keuangan daerah dan indeks
pencapaian SPM.
3. DAK untuk mencapai SPM ini dapat
bersifat medium term hingga 3 tahun
dan bahkan dimungkinkan untuk
dialokasikan kembali setelah jangka 3
tahun telah terlampaui.
4. Penggunaan DAK dengan pendekatan
outcome based, sehingga Kementerian
teknis cukup mengeluarkan pedoman
umum dan bisa berlaku untuk jangka
menengah.
5. Monitoring dan evaluasi DAK
diperkuat secara sistematis dengan
penguatan pengenaan sanksi kepada
daerah yang tidak menyampaikan
laporan penggunaan DAK.
6. Tidak menggunakan dana pendamping
dari daerah.
Point penting di atas pada dasarnya
berusaha menjawab berbagai kelemahan
yang ada pada DAK saat ini. Point
pertama bahwa DAK jenis pertama
adalah prioritas dimaksudkan agar DAK
tetap focus pada hal-hal yang sangat
mendasar saja dan jumlah prioritas
tersebut tidak berkembang menjadi terlalu
banyak. Point kedua dimaksudkan untuk
mengurangi kompleksitas formula DAK
dengan tidak memasukkan unsur “kriteria
khusus”, karena pencapaian SPM tidak
terkait dengan dimensi kewilayahan dan
kekhususan karakteristik daerah namun
lebih kepada pemenuhan kewajiban
pelayanan kepada masyarakat. Di samping
itu, dua kriteria utama, yaitu kemampuan
keuangan dan indeks pencapaian SPM akan
bersifat setara dan tidak dipergunakan
berulang. Hal ini dimaksudkan agar fungsi
dari masing-masing kriteria dapat bekerja
secara optimal. Point ketiga dilandasi oleh
pemikiran sebagai berikut: i) pencapaian
SPM sendiri pada dasarnya bersifat
multi years, karena SPM akan sangat sulit
untuk bisa dicapai hanya dalam waktu
satu tahun; ii) pendanaan medium term
diperlukan untuk menjaga kontinuitas
kegiatan yang bersifat multi years; iii)
memudahkan perencanaan DAK di daerah
Jenis urusan yang mempunyai spill over semacam ini biasanya
justru merupakan urusan mendasar yang harus disediakan layanannya
oleh pemerintah, seperti pendidikan atau
kesehatan
20 Media defis
Laporan Utama
karena tidak harus menunggu kepastian
DAK di bulan-bulan akhir menjelang
penetapan APBD; dan iv) mengurangi
potensi keterlambatan penetapan APBD
karena menunggu kepastian DAK.
Selanjutnya untuk point keempat
dimaksudkan agar rigiditas control dari
Pusat tidak menghambat pelaksanaan DAK
itu sendiri. Pada dasarnya setelah DAK
dialokasikan maka DAK harus digunakan
oleh daerah sesuai dengan tujuan yang
ingin dicapai oleh pemerintah pusat.
Secara teoritis terdapat dua pendekatan
yang dapat digunakan, yaitu pendekatan
input (input based conditionality) atau
pendekatan outcome (output/outcome based
conditionality). Pendekatan tradisional yang
sering digunakan oleh Negara berkembang
adalah dengan pendekatan input,
termasuk yang dilakukan oleh
Indonesia sampai saat ini. Dengan
pendekatan ini maka DAK hanya
dapat dibelanjakan untuk jenis
input tertentu, seperti fasilitas
ruang kelas, buku, ataupun alat
peraga. Kelemahan mendasar dari
pendekatan ini adalah sempitnya
ruang gerak daerah untuk berkreasi
sesuai kebutuhan mereka sehingga
justru menjadi tidak efisien (Anwar
Shah, 2007). Dalam banyak kasus,
terjadi ketidaksesuaian alokasi
DAK dengan kebutuhan daerah
sehingga tetap dilaksanakan tapi
tidak optimal atau bahkan tidak
dilaksanakan sama sekali. Pendekatan
outcome berorientasi pada pencapaian
hasil sesuai target yang telah ditetapkan.
Dengan pendekatan ini, yang menjadi
focus perhatian adalah target indikator
dalam SPM. Dengan pendekatan ini maka
pemberi grant akan dapat memaksimalkan
pencapaian tujuannya dan pada saat yang
bersamaan penerima grant merasakan
esensi otonominya.
Point kelima menjadi krusial karena
dapat dikatakan bahwa monev tidak
berjalan dengan baik sampai saat ini.
Kementerian teknis sangat mengeluhkan
rendahnya kepatuhan daerah untuk
menyampaikan laporan teknis sehingga
tidak mungkin bisa dilakukan evaluasi
apabila laporanpun tidak dimiliki.
Rendahnya kepatuhan daerah ini karena
laporan tidak menjadi satu dengan system
pengalokasian maupun penyaluran DAK.
Untuk itulah dalam desain DAK yang baru,
penyampaian laporan menjadi bagian tak
terpisahkan dari mekanisme penyaluran,
yaitu berupa pengenaan sanksi
penundaan penyaluran DAK bagi yang
tidak menyampaikan laporan. Meskipun
demikian dalam konsep revisi UU 33/2004
ini pengkaitan antara laporan teknis dan
penyaluran masih bersifat tahunan dan
berlaku sanksinya pada tahun berikutnya.
Namun mengingat bahwa DAK ini bersifat
tahun jamak, diharapkan hal ini bisa cukup
efektif untuk memaksa daerah mengikuti
ketentuan pelaporan.
Point selanjutnya adalah ditiadakannya dana
pendamping. Pada dasarnya penyediaan
dana pendamping adalah praktek yang
jamak dalam mekanisme pemberian grant.
Hal ini terutama dimaksudkan sebagai
wujud kepedulian dan sharing tanggung
jawab dari pemerintahan yang mendapatkan
grant tersebut. Salah satu kelemahan
penyediaan dana pendamping adalah
mendiskriminasikan daerah yang mempunyai
kemampuan keuangan yang rendah secara
relatif apabila dibandingkan dengan daerah
kaya. Untuk itulah disepakati bahwa DAK
tidak menggunakan dana pendamping.
Pertimbangan lain adalah bahwa DAK
seharusnya menjadi insentif bagi daerah
untuk melaksanakan pelayanan dasar yang
mempunyai spill over tinggi yang sekaligus
merupakan prioritas nasional. Apabila
dianggap sebagai insentif, maka DAK adalah
pelengkap, yang berarti bahwa daerah sudah
seharusnya telah menganggarkan dana dari
APBD untuk urusan-urusan tersebut.
PenutupMasih terdapat beberapa hal detail teknis yang sebenarnya melengkapi penjelasan konsep DAK ke depan yang dituangkan dalam rancangan revisi UU 33/2004. Namun demikian, hal-hal krusial yang telah disampaikan di atas setidaknya telah dapat menunjukkan arah perubahan yang diinginkan. Harus diakui bahwa konsep DAK yang tertuang dalam rancangan revisi UU 33/2004 tersebut masih terdapat beberapa kelemahan, belum lagi ditambah dengan kenyataan bahwa hal ini masih belum dibahas dengan DPR sehingga hasil akhirnyapun
belum diketahui. Namun setidaknya dari sisi pemerintah, beberapa kesepakatan telah berhasil diambil diantara berbagai stakeholder utama, yaitu Kementerian Keuangan, Bappenas dan Kementerian Dalam Negeri, serta Kementerian Teknis. Diharapkan dengan kesepakatan yang telah diambil bersama tersebut akan menjadikan soliditas pemerintah dalam mengawal konsep perubahan DAK akan menjadi lebih baik.
Putut Hari Setyaka
Pada dasarnya penyediaan dana pendamping adalah praktek
yang jamak dalam mekanisme pemberian grant. Hal ini terutama
dimaksudkan sebagai wujud kepedulian dan sharing tanggung
jawab dari pemerintahan yang mendapatkan grant tersebut
Media defis 21
Laporan Utama
Apakah pencairan DAK dapat dilakukan sekaligus (100%), hal ini untuk mengantisipasi adanya pekerjaan yang telah selesai dilaksanakan
Yuyun, Dinas Pengairan kota malang
Sesuai PMK No. 126/PMK.07/2010 tanggal
12 Juli 2010, penyaluran DAK dilaksanakan
secara bertahap, dengan rincian sebagai
berikut :
a. Tahap I sebesar 30% (tiga puluh
persen) dari alokasi DAK, paling
cepat dilaksanakan pada bulan
Februari, setelah Peraturan Daerah
mengenai Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah, Laporan Penyerapan
Penggunaan DAK tahun anggaran
sebelumnya, dan surat pernyataan
penyediaan dana pendamping diterima
oleh Direktur Jenderal Perimbangan
Keuangan
b. Tahap II sebesar 45% (empat puluh lima
persen) dari alokasi DAK, dilaksanakan
selambat-lambatnya 15 (lima belas)
hari kerja setelah Laporan Realisasi
Penyerapan DAK tahap I diterima oleh
Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan
c. Tahap III sebesar 25% (dua puluh lima
persen) dari alokasi DAK, dilaksanakan
selambat-lambatnya 15 (lima belas)
hari kerja setelah Laporan Realisasi
Penyerapan DAK Tahap II diterima oleh
Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan
Dalam pasal 26 ayat (2) dinyatakan bahwa
penyaluran secara bertahap sebagaimana
dimaksud di atas tidak dapat dilaksanakan
secara sekaligus dan tidak melampaui tahun
anggaran berjalan.
Mengapa P2D2 hanya diberikan kepada daerah tertentu saja? DAK Bidang Infrastruktur apa saja yang termasuk dalam kriteria eligible output?
Teguh Yuwono, Dinas Cipta karya
kabupaten Pacitan
Proyek Pemerintah Daerah dan Desentralisasi
Daerah (P2D2) merupakan pinjaman
program Pemerintah yang bersumber dari
Bank Dunia dalam rangka memperkuat
transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan
DAK khususnya bidang infrastruktur
dengan melakukan perbaikan (reform) sistem
monitoring dan evaluasi pelaksanaan DAK.
Terdapat hal-hal yang melatarbelakangi
dilaksanakanya Proyek Pemerintah Daerah
dan Desentralisasi Daerah (P2D2) atau
dikenal dengan DAK Reimbursement pada
awal kegiatan ini diinisiasi, yaitu dari sisi
demand dan supply. Pada tahun 2012 ini P2D2
dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah yang
menjadi percontohan, yaitu daerah yang
berada di 5 (lima) provinsi, yaitu :
• Provinsi Jambi (1 provinsi, 9 kabupaten, 2
kota);
• Provinsi Jawa Timur (1 provinsi, 29
kabupaten, 9 kota);
• ProvinsiKalimantanTengah(1provinsi,13
kabupaten, 1 kota);
• Provinsi Sulawesi Barat (1 provinsi, 5
kabupaten);
• Provinsi Maluku Utara (1 provinsi, 7
kabupaten, 2 kota).
Penentuan lokasi sebagai daerah pilot
dilakukan berdasarkan kriteria letak
geografis, pemetaan pendanaan ke daerah,
aspek pelaksanaan pekerjaan umum
(infrastruktur), dan kapasitas penyerapan
dana.
Eligible output adalah paket pekerjaan yang
dilaksanakan oleh pemerintah daerah yang
berpartisipasi dan dibiayai dari proyek DAK.
Eligible output diatur dalam Surat Edaran
Menteri Pekerjaan Umum No. KU.01.01-
Mn/678, yang meliputi:
a. Subsektor Jalan, meliputi: pemeliharaan
secara periodik, perbaikan, dan rehabilitasi
jalan dan jembatan provinsi, kabupaten,
dan kota
b. Subsektor irigasi, meliputi: perbaikan,
rehabilitasi, dan pembangunan jaringan
irigasi, termasuk jaringan reklamasi rawa
dan jaringan irigasi desa
c. Subsektor air minum, meliputi:
pembangunan pengambilan air (water
intake) untuk air permukaan, air sumur,
small water treatment plants (SPAM), jaringan
air pipa, saluran rumah, dan pembangunan
hidran air
d. Subsektor sanitasi, meliputi:
pengembangan fasilitas sanitasi umum,
fasilitas drainase limbah umum, fasilitas
limbah keras, MCK umum, dan instalasi
pengolahan air limbah untuk rumah tangga
Apakah setiap daerah harus menyediakan dana pendamping DAK?
Sampai dengan saat ini daerah diwajibkan
untuk menyediakan dana pendamping DAK
(minimal 10%) dari masing-masing pagu
per bidang. Penyediaan dana pendamping
tersebut selanjutnya dituangkan dalam
Surat Pernyataan Dana Pendamping yang
juga menjadi prasyarat pencairan DAK tahap
I. Penyediaan dana pendamping tersebut
dimaksudkan sebagai wujud komitmen
daerah untuk melaksanakan kegiatan yang
didanai dari DAK. Terkait dengan kewajiban
daerah menyediakan dana pendamping ini,
Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
telah mengakomodir melalui pengajuan
revisi Undang-Undang 33 tahun 2004,
dimana daerah tidak lagi diwajibkan untuk
menyediakan dana pendamping.()
S u a r aSTAKEHOLDERterhadap Pelaksanaan DaK
22 Media defis
Laporan Utama
Medio 2010 tepatnya tanggal 23 Juni
2010 menjadi momen dimulainya sebuah
program kerjasama Pemerintah Republik
Indonesia dengan Bank Dunia, dengan
ditandatanganinya Perjanjian Pinjaman
(Loan Agreement) No.7914-ID tentang
Local Government and Decentralization Project
(LGDP) atau Proyek Pemerintah Daerah
dan Desentralisasi (P2D2). Program
ini juga biasa disebut sebagai DAK
Reimbursement Project dikarenakan konsep
dari proyek ini yang akan mengganti
(reimburse) sejumlah Dana Alokasi Khusus
(DAK) yang menghasilkan keluaran sesuai
yang dipersyaratkan (eligible output).
Output-Based Disbursement (OBD)Terobosan baru dalam skema besar dari
program P2D2 adalah penerapan Output-
Based Disbursement (OBD) yang baru
pertama kali dilaksanakan di Indonesia.
Menurut Bank Dunia, skema OBD telah
diterapkan di beberapa negara di dunia,
antara lain: Brazil, Mexico, dan Vietnam.
Dengan pendekatan ini, Bank Dunia akan
membayarkan kembali bagian dari DAK
untuk infrastruktur (jalan, irigasi, dan air
minum) berdasarkan laporan dan verifikasi
output fisik daerah partisipan provinsi/
kabupaten/kota. Adapun lembaga yang
berfungsi sebagai verifikator output
tersebut adalah Badan Pengawasan
Keuangan dan Pembanguan (BPKP).
Verifikasi dari output yang disetujui adalah
syarat utama untuk pencairan pinjaman
dan merupakan suatu jaminan yang
diberikan oleh Pemerintah Indonesia
bahwa dana pinjaman tersebut telah
digunakan sesuai dengan petunjuk teknis
dan petunjuk pelaksanaan DAK dan
telah mengikuti prinsip akuntabilitas dan
transparansi. Verifikasi akan memastikan
bahwa output untuk setiap alokasi telah
memenuhi target fisik dan mengikuti
prosedur dan kebijakan pengadaan,
manajemen keuangan, dan pengamanan
lingkungan dan sosial.
Lalu pertanyaan yang mungkin muncul
dalam benak kita semua mungkin adalah
‘Untuk apa program ini dilaksanakan?’.
Jawaban dari pertanyaan tersebut adalah
untuk meningkatkan akuntabilitas dan
pelaporan DAK pada sektor infrastruktur
(jalan, irigasi, air minum, dan sanitasi) di
lokasi pemerintah daerah percontohan.
Hal ini akan dilakukan melalui peningkatan
pelaporan keuangan dan teknis serta
verifikasi output kegiatan infrastruktur
yang dibiayai dengan DAK.
Untuk mencapainya, peningkatan
kapasitas pemangku kepentingan di
provinsi/kabupaten/kota mendapatkan
perhatian yang besar dalam proyek ini.
Berbagai pelatihan dilaksanakan untuk
meningkatkan pemahaman pemangku
kepentingan mengenai DAK mulai
dari proses perencanaan di daerah,
pemrograman, pelaksanaan, pengawasan,
dan evaluasi. Proses belajar antarprovinsi/
kabupaten/kota partisipan diharapkan
dapat menjadi sarana umpan balik untuk
meningkatkan upaya reformasinya.
Lebih jauh lagi, provinsi/kabupaten/
kota partisipan P2D2 diharapkan dapat
menjadi model pelaksanaan proyek yang
bersumber dari DAK yang baik, sehingga
provinsi/ kabupaten/kota lainnya dapat
belajar dari sesama pemerintah daerah
untuk penggunaan DAK yang akuntabel
dan meningkatkan sistem pelaporan.
Mengapa DAK Bidang Infrastruktur?DAK bidang infrastruktur dipilih sebagai
sector pilot dalam tolok ukur pencairan
dana pinjaman dari Bank Dunia tersebut
dikarenakan DAK, salah satu jenis transfer
ke daerah yang memiliki karakteristik special
purpose grant, keluarannya sudah ditentukan
dengan ditetapkannya petunjuk teknis
yang telah disusun oleh Kementerian
Negara/ Lembaga teknis terkait. Hal
tersebut diyakini dapat menjadi landasan
DAK REIMBURSEMENT PROJECT
Terobosan baru dalam skema besar dari program P2D2 adalah penerapan Output-Based Disbursement (OBD).
Media defis 23
Laporan Utama
dalam melakukan verifikasi keluaran yang
akan dilakukan oleh BPKP.
Hal lain yang mendasari, secara filosofis,
terkait pemilihan DAK bidang infrastruktur
adalah keinginan Menteri Keuangan pada
saat itu, yaitu Sri Mulyani Indrawati,
yang mengharapkan dengan pelaksanaan
proyek ini pemerintah pusat dapat
memperoleh feed back atas pelaksanaan
DAK di daerah dimana selama ini
pemerintah pusat tidak memiliki alat dan
data yang cukup untuk dapat mengetahui
apa yang sudah dihasilkan dari transfer
ke daerah yang telah diberikan kepada
pemerintah daerah, dengan pilot sector
bidang infrastruktur (jalan, irigasi, air
minum dan sanitasi).
Daerah PercontohanPemerintah daerah yang menjadi daerah
percontohan dalam proyek ini adalah
pemerintah daerah yang berada di 5 (lima)
provinsi, yaitu: (1) Jambi; (2) Jawa Timur
(3) Kalimantan Tengah; (4) Sulawesi Barat;
dan (5) Maluku Utara.
Pemilihan daerah percontohan tersebut
dilakukan atas pertimbangan kriteria
letak geografis, tingkat ketaatan
terhadap pelaporan dan kinerja terhadap
penyerapan DAK serta kesuksesan
penyelesaian output kegiatan yang didanai
oleh DAK.
Di tahun 2011, jumlah pemerintah
daerah yang telah menyampaikan surat
pernyataan kesediaan berpartisipasi dalam
P2D2 (Commitment Letter) sebanyak 72
daerah provinsi/kabupaten/ kota dalam
lingkup 5 (lima) provinsi percontohan
P2D2.
Untuk tahun 2012, per tanggal 14 Maret
2012, Ditjen Perimbangan Keuangan selaku
Unit Implementasi Proyek (UIP) telah
menerima tambahan surat pernyataan
kesediaan berpatisipasi dalam P2D2 dari
3 daerah, yaitu: Kota Jambi; Kabupaten
Blitar; dan Kabupaten Kediri. Sehingga
untuk tahun 2012, daerah percontohan
P2D2 menjadi sebanyak 75 daerah
provinsi/kabupaten/kota dalam lingkup 5
(lima) provinsi P2D2 dengan Keputusan
Dirjen PK Nomor: KEP-35/PK/2012 tanggal
8 Mei 2012 tentang Penetapan Daerah
Percontohan Proyek Pemerintah Daerah
dan Desentralisasi Tahun 2012.
InsentifProvinsi/kabupaten/kota yang dapat
menyerap DAK dengan memenuhi
standar kualitas output yang ditentukan
serta dalam kurun waktu yang tepat,
akan mendapat insentif/reward di tahun
anggaran berikutnya sebesar 10 % (sepuluh
persen) dari total dana DAK Infrakstruktur
yang telah dikeluarkan pemerintah daerah
dan telah dinilai eligible oleh BPKP.
Sebagai penghargaan bagi pemerintah
daerah yang telah berhasil melaksanakan
kegiatan DAK sesuai dengan syarat
kelayakan yang telah ditentukan,
Pemerintah akan memberikan insentif
sebesar 10% (sepuluh persen) dari DAK
infrastruktur yang telah dikeluarkan.
Selain itu, beberapa manfaat yang dapat
dirasakan secara langsung oleh pemerintah
daerah percontohan, diantaranya,
adalah (i) meningkatnya profesionalisme
pengadaan dan meningkatnya efisiensi
proses pengadaan dari sisi waktu dan
biaya, (ii) meningkatnya kapasitas
daerah dalam melakukan berbagai upaya
perlindungan terhadap kondisi lingkungan
dan sosial setempat, terhadap potensi
akibat dari pembangunan infrastruktur,
dan (iii) meningkatnya akses masyarakat
terhadap pemanfaatan dana melalui
sistem pelaporan berbasis internet (Web-
Based Reporting System). (Denny Kurniawan)
Jumlah dana yang bisa dimintakan
penggantian oleh Kementerian Keuangan
kepada Bank Dunia dalam setiap tahunnya
adalah berdasarkan jumlah dana yang
digunakan dalam sub-proyek yang
memenuhi kriteria sebagai berikut:
1. Realisasi pembangunan fisik
yang dibuktikan dengan Sertifikat
Penyelesaian Konstruksi dan
Compliance dengan design teknis dan
spesifikasi teknis (Form P-4 (kolom 3)
dari Petunjuk Teknis.
2. Kepatuhan dengan Peraturan
Presiden No. 54 Tahun 2010 tentang
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
(khusus Pelelangan Umum dan
Pemilihan Langsung hanya dengan
Pasca Kualifikasi) dalam pengadaan
kontraktor.
3. Kepatuhan dengan peraturan
yang berlaku dalam melaksanakan
pembayaran atas beban Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN) dan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD).
4. Kepatuhan dengan Pengamanan
Lingkungan dan Sosial (Environment and
Social Safeguards): Dibuktikan dengan
Form P-2 dan lampiran surat edaran
Petunjuk Teknis yang dikeluarkan oleh
Kementerian Pekerjaan Umum.
5. Nilai subproyek tidak melebihi
$400.000 atau nilai yang setara.
6. Dilaksanakan oleh pemerintah daerah
yang telah menyampaikan Commitment
Letter.
7. Dihitung berdasarkan Reference Unit
Costs (RUCs) yang ditetapkan oleh
Kementerian PU setiap tahunnya
paling lambat pada tanggal 15
Februari.
Diolah dari: dokumen Loan Agreement (LA)
dan Project Appraisal Document (PAD)
Local Governent and Decenralization Project
(LGDP) Loan No.: 7914-ID
Denny kurniawan
24 Media defis
Laporan Utama
“Peranan” Dana Alokasi Khusus
Sesuaikah dengan Prinsip Awal?Pada saat akan mulai menulis, Penulis
sempat bertanya pada diri sendiri, apakah
judul di atas sudah sesuai dengan maksud
dari apa yang akan Penulis tuangkan
dalam tulisan ini? Kekhawatiran tersebut
muncul karena kata “peranan” juga biasa
digunakan untuk menyatakan seberapa
besar konstribusi sesuatu terhadap
sesuatu. Misalnya, guna menyatakan
besarnya kontribusi PAD terhadap ABPD
sebesar 10%, biasa juga dinyatakan
dengan kalimat peranan PAD terhadap
APBD sebesar 10%. Namun, dengan
melihat judul di atas secara utuh, tentunya
Pembaca dapat memahami maksud dari
kata peranan tersebut. Jika “mohon
maaf ” Pembaca masih belum memahami
juga, mungkin dengan membaca tulisan
ini sampai selesai, Pembaca dapat
menemukan makna yang tepat untuk kata
peranan pada judul tulisan ini. Semoga.
Selanjutnya, ketika jari-jemari Penulis
mulai hendak dihentakkan pada keyboard
laptop, timbul pula keraguan, apakah
Penulis cocok menulis masalah ini?
Keraguan itu timbul “mungkin” karena
Penulis tidak punya pengalaman dalam
menggeluti Dana Alokasi Khusus (DAK)
selama 14 tahun bekerja di Kementerian
Keuangan. Dengan demikian, tentunya
pemahaman Penulis tentang DAK
sangatlah dangkal. Namun, mudah-
mudahan dengan keterbatasan itu,
pemikiran yang Penulis tuangkan dalam
tulisan ini menjadi ragam tersendiri
dari berbagai perspektif tulisan yang
telah ada. Kerangka berfikir yang Penulis
gunakan sangatlah sederhana, yaitu
dimulai dengan melihat sekilas awal mula
timbulnya kebijakan DAK dan kebijakan
yang sekarang sedang dijalankan. Tulisan
ini “jujur” tidaklah murni hasil pemikiran
Penulis sendiri tetapi sangat banyak
dipengaruhi oleh perbincangan antara
Penulis dengan beberapa rekan dan teman
sejawat. Tulisan ini Penulis awali dengan
sebuah pertanyaan sederhana, yaitu
“sejak kapan istilah DAK ada?”.
Sejak kapan istilah DAK ada?DAK merupakan salah satu bagian dana
transfer dari Pemerintah Pusat kepada
Daerah dalam rangka pelaksanaan
desentralisasi fungsi/urusan. Dana transfer
atau yang lebih dikenal dengan dana
perimbangan, sesuai UU 33/2004 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah
Pusat dan Pemerintahan Daerah terdiri
atas 3 komponen pokok, yaitu Dana Bagi
Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU),
dan DAK. Dana perimbangan tersebut
merupakan satu kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan satu sama lainnya karena
tujuan dari masing-masing dana tersebut
saling mengisi dan melengkapi. Dari ketiga
komponen tersebut, DAK merupakan dana
yang peruntukannya sudah ditentukan,
sedangkan dua komponen lainnya dapat
digunakan sesuai prioritas dan politik
anggaran daerah. Bagaimana kalau ada
DBH yang ditentukan penggunaannya,
masuk kelompok manakah dia? Ah tak tau
lah awak.
Menilik sedikit kebelakang, sepengetahuan
Penulis, istilah DAK mulai dikenal
secara umum ketika ditetapkannya UU
25/1999 tentang Perimbangan Keuangan
antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Sebelum berlakunya UU 25/1999 atau
periode berlakunya UU 32/1956 tentang
Perimbangan Keuangan antara Negara dan
Daerah-Daerah yang Berhak Mengurus
Rumah Tangganya Sendiri, secara de
jure nomenklatur DAK belum dikenal,
namun secara de facto terdapat beberapa
karakteristik pendanaan daerah pada masa
itu yang memiliki ciri kesamaan dengan
DAK, seperti, Inpres. Inpres merupakan
suatu sistem pendanaan daerah yang
bersifat top down dan penggunaan atau
peruntukannya sudah ditentukan. Dengan
kata lain, terhadap dana tersebut tidak
ada sama sekali diskresi daerah terkait
pemanfaatannya.
Media defis 25
Laporan Utama
Kebijakan DAK sesuai UU 25/1999Mengingat kemunculan DAK pertama
kali dalam UU 25/1999, maka tidak ada
salahnya jika kita kembali melihat seperti
apa kebijakan DAK yang diatur dalam UU
tersebut sehingga kita dapat mengetahui
prinsip awal yang dikehendaki oleh UU,
yang sekaligus mencerminkan keinginan
dari policy makers pada saat itu berkenaan
dengan DAK.
Dalam ketentuan umum UU 25/1999,
dijelaskan bahwa DAK adalah dana
yang berasal dari Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara (APBN), yang
dialokasikan kepada daerah untuk
membantu membiayai kebutuhan
tertentu. Berdasarkan pemahaman
Penulis, dari definisi tersebut, “terkesan”
bahwa DAK dialokasikan setiap tahun dan
dapat disalurkan kepada semua daerah
karena batasannya hanyalah “kebutuhan
tertentu”. Dalam hal kebutuhan tertentu
tersebut ada disemua daerah tentunya
semua daerah berhak memperoleh
DAK. Namun, dalam Pasal 8 UU 25/1999
ditegaskan bahwa DAK dapat dialokasikan
dari APBN kepada daerah tertentu untuk
membantu mendanai kebutuhan khusus,
dengan memperhatikan tersedianya dana
dalam APBN.
Menyimak ketentuan Pasal 8 UU 25/1999
tersebut, tentunya dalam penyaluran
DAK perlu memperhatikan 2 (dua) hal,
yaitu ada tidaknya kebutuhan khusus
yang perlu didanai dan ketersediaan dana
dalam APBN. Sementara itu, mengingat
alokasi DAK hanya kepada “daerah
tertentu” tentunya ini menyiratkan
kepada kita semua bahwa hanya daerah
tertentulah yang akan memperoleh DAK
atau dengan bahasa lain, tidak semua
daerah memperoleh DAK. Sementara
itu, yang dimaksud dengan “kebutuhan
khusus” adalah kebutuhan yang tidak
dapat diperkirakan dengan menggunakan
rumus alokasi umum dan/atau kebutuhan
yang merupakan komitmen dan prioritas
nasional.
Selanjutnya, dalam Penjelasan Pasal
8 UU 25/1999, dijelaskan secara lebih
rinci mengenai kebutuhan yang tidak
dapat diperkirakan dengan menggunakan
rumus alokasi umum, yaitu kebutuhan
yang bersifat khusus yang tidak sama
dengan kebutuhan daerah lain, misalnya
kebutuhan di kawasan transmigrasi, dan
kebutuhan beberapa jenis investasi/
prasarana baru, pembangunan jalan di
kawasan terpencil, saluran irigasi primer,
dan saluran drainase primer. Sementara
itu, kebutuhan yang merupakan komitmen
dan prioritas nasional dicontohkan,
antara lain, proyek yang dibiayai donor
dan proyek-proyek kemanusiaan untuk
memenuhi kebutuhan dasar manusia.
Berpijak pada uraian rumusan kebijakan
di atas, dapat diketahui bahwa peranan
DAK adalah guna menutup kelemahan
formulasasi DAU yang “disadari atau tidak”
belum dapat mengakomodasi semua
keberagaman daerah. Selain itu, DAK
juga sebagai instrumen pendanaan dalam
hal terdapat kebutuhan yang merupakan
komitmen dan prioritas nasional. Kalau
boleh Penulis menyimpulkan, peranan
DAK yang diharapkan oleh UU 25/1999
sangat berkaitan dengan kata “fokus”
karena DAK hanya diarahkan untuk
mendanai “kebutuhan khusus”. Sementara
untuk kebutuhan yang bersifat umum
didanai dari sumber lain. Selama periode
berlakunya UU 25/1999, pendanaan dari
DAK dialokasikan paling banyak untuk
8 bidang, yaitu pendidikan, kesehatan,
jalan, irigasi, air minum, prasarana
pemerintahan, perikanan dan pertanian.
Daerah penerima DAK pada akhir periode
berlakunya UU 25/1999 berjumlah 436
daerah dengan rincian 2 provinsi dan 434
kabupaten/kota.
Kebijakan DAK sesuai UU 33/2004Kemunculan UU 33/2004 didasari adanya
keinginan untuk menyesuaikan kebijakan
transfer ke daerah dengan perkembangan
keadaan, ketatanegaraan serta tuntutan
penyelenggaraan otonomi daerah.
Selain itu, ditetapkannya UU 33/2004
juga dalam rangka memenuhi mandat
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
yang menghendaki agar Pemerintah dan
Dewan Perwkailan Rakyat (DPR) melakukan
perubahan yang bersifat mendasar dan
menyeluruh terhadap UU 25/1999.
Berkenaan dengan kebijakan DAK dalam
UU 33/2004, dalam beberapa hal memang
terjadi dengan apa yang digariskan dalam
UU 25/1999. Sesuai ketentuan umum UU
33/2004, definisi DAK adalah dana yang
bersumber dari pendapatan APBN yang
dialokasikan kepada daerah tertentu
dengan tujuan untuk membantu mendanai
kegiatan khusus yang merupakan urusan
daerah dan sesuai dengan prioritas
nasional. Lebih spesifik atau secara
khusus DAK diarahkan untuk mendanai
kebutuhan sarana dan prasarana
pelayanan dasar masyarakat yang belum
mencapai standar tertentu atau untuk
mendorong percepatan pembangunan
daerah.
Dalam Pasal 38 UU 33/3004 diatur
bahwa besaran DAK ditetapkan setiap
tahun dalam APBN. Menurut penafsiran
Penulis, ketentuan tersebut secara
implisit menyatakan bahwa DAK akan
ada setiap tahun. Mungkin ada yang
menyanggah penafsiran Penulis tersebut
dengan menyatakan bisa saja DAK pada
tahun tertentu besarannya adalah nol
alias tidak ada DAK. Namun, jika itu yang
dimaksud pembuat UU tentunya akan
lebih tepat jika rumusan yang dibuat
adalah DAK dapat ditetapkan setiap tahun
dalam APBN. Dengan rumusan demikian,
tentunya jika kondisi APBN tidak
26 Media defis
Laporan Utama
memungkinkan, Pemerintah dapat saja
tidak menganggarkan DAK dalam APBN.
Selanjutnya, dalam Pasal 39 UU 33/2004
diatur bahwa DAK dialokasikan kepada
daerah tertentu untuk mendanai kegiatan
khusus yang merupakan urusan daerah
sesuai dengan fungsi yang telah ditetapkan
dalam APBN. Dalam penjelasan Pasal
39 UU 33/2004 dijelaskan bahwa yang
dimaksud dengan daerah tertentu adalah
daerah yang memenuhi kriteria setiap
tahun untuk mendapatkan alokasi DAK.
Dengan demikian, tidak semua daerah
mendapatkan alokasi DAK. Sedangkan
yang dimaksud dengan fungsi yang telah
ditetapkan dalam APBN, antara lain,
terdiri atas layanan umum, pertahanan,
ketertiban dan keamanan, ekonomi,
lingkungan hidup, perumahan dan fasilitas
umum, kesehatan, pariwisata, budaya,
agama, pendidikan dan perlindungan
sosial. Melihat rumusan penjelasan Pasal
39 UU 33/2004 tersebut, sedikit ada
kontradiksi antara batang tubuh dengan
penjelasannya. Dalam batang tubuh
dinyatakan bahwa DAK diperuntukan
untuk mendanai kegiatan khusus yang
merupakan urusan daerah, namun dalam
penjelasannya DAK juga dimungkinkan
untuk mendanai fungsi agama yang
merupakan kewenangan Pemerintah
Pusat.
Dalam mengalokasikan DAK, Pemerintah
Pusat menetapkan kriteria DAK, yaitu
kriteria umum, khusus, dan teknis.
Kriteria umum ditetapkan dengan
mempertimbangkan kemampuan
keuangan daerah dalam APBD, kriteria
khusus dengan memperhatikan peraturan
perundang-undangan dan karakteristik
daerah, dan kriteria teknis ditetapkan
oleh kementerian teknis terkait. Dengan
menggunakan kriteria umum, khusus dan
teknis, pada tahun 2012, DAK disalurkan
untuk mendanai 19 bidang dengan 520
daerah penerima DAK, dengan rincian 32
provinsi dan 488 kabupaten/kota. Dengan
demikian, hanya 4 daerah yang tidak
memperoleh alokasi DAK pada tahun
2012, yaitu 1 provinsi dan 3 kabupaten/
kota.
Lalu, sesuaikah peranan DAK dengan
prinsip awal? Berdasarkan fakta tersebut,
tentunya kita dapat menilai sendiri, apakah
kebijakan DAK saat ini masih sejalan
dengan tujuan awal yang mengharapkan
DAK “fokus” untuk mendanai kebutuhan
khusus. Sayangnya, kedua UU tersebut
sama-sama tidak memberikan batasan
yang tegas berkenaan dengan makna dari
“kebutuhan khusus” yang dapat didanai
melalui DAK.
Anwar Syahdat
Media defis 27
Laporan Utama
Salah satu prasyarat untuk menghadirkan desentralisasi atau dalam cakupan yang lebih luas yakni otonomi daerah adalah konsensus bersama untuk menyepakati batas-batas mana yang menjadi urusan pemerintah pusat dan yang menjadi urusan pemerintah daerah yang sesungguhnya terlewat jauh atau lebih tepatnya belum tuntas benar.
Latar Belakang Penuntasan atas mana yang menjadi
urusan pusat dan urusan daerah yang
belum benar-benar selesai menyisakan
kendala dan menjadi persoalan serius
terutama dalam pelaksanaan urusan
baik di pusat maupun di daerah pasca
pelaksanaan desentralisasi/otonomi
daerah. Kemudian pembagian urusan
yang belum tuntas tadi secara otomatis
mempengaruhi dalam pelaksanaan
dekonsentrasi dan tugas pembantuan
yang sejatinya adalah untuk menunaikan
urusan pusat yang ada di daerah menjadi
media dari kementerian/lembaga untuk
ikut melaksanakan dan mendanai
urusan daerah dengan alasan yang bisa
dibenarkan dengan argumentasi serta
intepretasi dari sudut pandang masing-
masing kementerian/lembaga.
Pengalihan program/kegiatan
dekonsentrasi dan tugas pembantuan
yang merupakan urusan daerah ke Dana
Alokasi Khusus (DAK) merupakan amanat
Pasal 108 Undang-undang Nomor
33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan antara Permintah Pusat dan
Pemerintahan Daerah. Disamping itu,
dengan adanya temuan BPK RI bahwa
masih ada dana pemerintah pusat yang
membiayai urusan daerah melalui dana
dekonsentrasi dan tugas pembantuan
sehingga BPK RI merekomendasi untuk
mengalihkan dana dekonsentrasi dan
tugas pembantuan yang membiayai
urusan daerah ke mekanisme DAK.
Tulisan ini mengulas beberapa
problematika yang menggelayuti
pelaksanaan pengalihan kegiatan
dekonsentrasi dan tugas pembantuan
yang melaksanakan urusan daerah
ke DAK. Mulai dari hulu yaitu sisi
perencanaan dan penganggaran
program/kegiatan dekonsentrasi.
Dalam pelaksanaan program/ kegiatan
dekonsentrasi dan tugas pembantuan
terkandung pemisahan wewenang antara
masing-masing layer pemerintahan yang
wajib dipatuhi dan adanya kontrak
kinerja dari masing-masing K/L yang
harus dilaksanakan sebagai bagian dari
target yang harus dicapai. Yang terakhir
adalah dari sisi teknis dua sumbu yang
harus dipadukan tidak sepenuhnya bisa
PROBLEMATIKA PENGALIHAN KEGIATAN DEKONSENTRASI DAN TUGAS PEMBANTUAN YANG MERUPAKAN URUSAN DAERAH KE DANA ALOKASI KHUSUS
28 Media defis
Laporan Utama
dipadukan dimana dekonsentrasi dan
tugas pembantuan berbeda spesifikasi
dengan DAK.
Problematika Perencanaan Program/Kegiatan Dekonsentrasi dan Tugas PembantuanPelaksanaan kegiatan dekonsentrasi
dan tugas pembantuan pasca
implementasi desentralisasi/ otonomi
daerah mengungkapkan data dan
fakta yang cukup mengejutkan semua
pemangku kepentingan. Keterkejutan
bukan hanya dari sisi keuangan negara
semata juga memunculkan kekhawatiran
bahwa otonomi daerah terancam
keberlangsungannya karena urusan-
urusan yang harusnya dilaksanakan oleh
daerah (daerah enggan melaksanakan)
justru dilaksanakan oleh pusat serta
yang lebih ironis adalah adanya
urusan daerah tersebut dikembalikan
ke pusat. Dari sisi keuangan negara
jelas berakibat inefisiensi jika ada
urusan daerah yang dilaksanakan oleh
pusat (dibiayai APBN) dan daerah juga
menganggarkan melalui APBD. Dari hasil
screening Kementerian Keuangan (Ditjen
Perimbangan Keuangan dan Ditjen
Anggaran) atas RKA-KL tertentu juga
terungkap bukan hanya dengan skema
pendanaan melalui dekonsentrasi dan
tugas pembantuan untuk membiayai
urusan daerah tapi juga melalui skema
pembiayaan melalui kantor pusat
kementerian/lembaga.
Proses identifikasi internal Kemenkeu
(Ditjen Perimbangan Keuangan dan
Ditjen Anggaran) dan dilanjutkan
dengan Kemenneg PPN/Bappenas
dan kementerian/lembaga dilakukan
atas 16 RKA-KL TA 2012. Dengan
menggunakan data RAK-KL TA 2012
juga menyimpan kelemahan dan
mungkin moral hazzard dari kementerian/
lembaga. Kemungkinan bisa terjadi
hasil identifikasi atas kegiatan
dekonsentrasi dan tugas pembantuan
yang merupakan urusan daerah pada
TA 2012 tidak direncanakan dan tidak
dianggarkan kembali oleh kementerian/
lembaga. Yang dimaksud dengan
indikasi moral hazzard adalah untuk
menghindari kegiatan dekonsentrasi
dan tugas pembantuan yang merupakan
urusan daerah hasil identifikasi
kementerian/lembaga menghilangkan
kegiatan tersebut pada TA 2013 dengan
mengganti kegiatan lain.
Sejak dari hulu yaitu dalam proses
perencanaan dan penganggaran
program/kegiatan dekonsentrasi
dan tugas pembantuan berpotensi
untuk menjadikan program/kegiatan
dekonsentrasi dan tugas pembantuan
melaksanakan urusan daerah.
Sebagai akibat minimnya edukasi
atas pembagian urusan di legislatif
dan eksekutif (dalam hal ini adalah
kementerian/lembaga) berimplikasi
pada tumbuh suburnya pemikiran yang
sifatnya sektoral tanpa mengindahkan
pembagian urusan yang diatur dalam
PP No. 38/2007. Kembali juga terungkap
bahwa walaupun penanggungjawab
semua urusan pada akhirnya adalah
pemerintah pusat, kementerian/
lembaga terikat dengan kontrak kinerja
dengan presiden untuk melaksanakan
urusan yang merupakan urusan daerah.
Problematika Money Follows Function dan Kontrak Kinerja K/LSesuai prinsip money follows function
(kewenangan mengikuti fungsi)
berimplikasi dengan hilangnya
kewenangan untuk pendanaan atas urusan
yang merupakan urusan daerah dari
kementerian/lembaga. Secara eksplisit
bisa diartikan kementerian/lembaga
akan kehilangan jumlah dana untuk
program/kegiatan yang melaksanakan
urusan daerah. Dengan kondisi seperti
ini yang terjadi adalah sebaliknya
dimana pemerintah berkomitmen untuk
menjaga pelaksanakan desentraslisasi
mengalami situasi yang serba sulit karena
alokasi anggaran untuk pendanaan
desentraslisasi menjadi terbatas karena
walaupun dengan prinsip kewenangan
mengikuti fungsi kementerian/lembaga
memadang pendanaan atas program/
kegiatan yang melaksanakan urusan
daerah dialihkan ke DAK tidak mengurangi
besaran pagu anggaran.
Capaian desentralisasi/ otonomi
daerah, yang sudah menginjak usia 10
tahun, memang masih jauh dari yang
diharapkan. Tesis yang paling mahsyur
tentang adanya pemerintah lokal
(dibentuk dengan prinsip demokrasi)
yang menciptakan kedekatan untuk
Sesuai prinsip money follows function
(kewenangan mengikuti fungsi) berimplikasi dengan hilangnya kewenangan untuk
pendanaan atas urusan yang merupakan urusan
daerah dari kementerian/lembaga.
Media defis 29
Laporan Utama
menyediakan barang publik yang sesuai
preferensi publik lokal (baca rakyat di
daerah) sehingga menciptakan efisiensi
penyediaan barang publik dan pada
akhirnya adalah kesejahteraan menjadi
antitesis untuk beberapa contoh kasus
di Indonesia. Sebagai contoh yang
cukup menguncang adalah adanya kasus
gizi buruk di daerah yang dengan tesis
tersebut di atas bisa langsung diatasi
langsung oleh pemerintah daerah hasil
dari pilkada. Dengan bercermin dari fakta
itu, menjadi kekhawatiran jika terjadi
pengalihan besar-besaran atas kegiatan
dekonsentrasi dan tugas pembantuan
yang melaksanakan urusan daerah ke
DAK. Seperti sudah diulas sebelumnya,
kementerian/ lembaga mempunyai
kontrak kinerja dengan presiden untuk
melaksanakan suatu misi (baca urusan)
yang menjadi urusan daerah dengan
ukuran kinerja tertentu. Jika urusan ini
dikembalikan ke daerah menimbulkan
sejumlah kekhawatiran yaitu:
1. Kemampuan SDM di daerah dalam
melaksanakan urusan tertentu dengan
indikator kinerja yang spesifik.
2. Dengan koordinasi yang masih belum
sungguh benar terintegrasi dan faktor
politis maka kontrol atas urusan
yang menjadi kontrak kinerja akan
sulit dilakukan. Yang pada akhirnya
kontrak kinerja tidak dapat tercapai.
3. Skema pendanaan dengan DAK
atas urusan daerah dinilai oleh
kementerian/lembaga diragukan
efektifitasnya berkaitan dengan
aturan yang ada tidak memungkinkan
pihak kementerian melakukan
intervensi dalam pelaksanaanya.
4. Problematika Teknis Dekonsentrasi
dan Tugas Pembantuan dan DAK
Beranjak ke faktor teknis yang terkandung
dalam kegiatan dekonsentrasi dan tugas
pembantuan dan DAK memunculkan
dikotomi ataupun kontrakdiksi satu
sama lain antara keduanya. Dikotomi
yang pertama adalah dari sifat kegiatan
dekonsentrasi yang bersifat non fisik
yang berupa kegiatan koordinasi,
bimbingan teknis dan sejenisnya yang
ditujukan kepada sesama aparatur
di daerah sedangkan kegiatan DAK
bersifat fisik. Kemudian adalah adanya
ketentuan dana pendamping yang harus
dialokasikan dalam APBD untuk kegiatan
DAK bisa memberatkan daerah. Dengan
terbatasnya bidang dari DAK tidak bisa
menampung kegiatan tugas pembantuan
yang tidak sesuai dengan bidang DAK
yang ada saat ini menambah daftar
dikotomi selanjutnya.
Jangka waktu pengalihkan kegiatan
dekonsentrasi dan tugas pembantuan
yang merupakan urusan daerah ke DAK
yang sesuai aturan PP No. 7/2008 yaitu
dimulai 2 tahun sejak tahun 2008 sudah
dilakukan oleh beberapa kementerian,
sebagai contoh adalah Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan. Kementerian
Pendidikan Nasional dan Kebudayaan
sudah melakukan pengalihan kegiatan
dekonsentrasi dan tugas pembantuan
yang merupakan urusan daerah ke
DAK yaitu kegiatan BOS. Namun dalam
pelaksanaannya ada beberapa daerah
tidak bisa melaksanakan secara optimal
sehingga ada indikasi Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan meminta
kembali pengelolaan Dana BOS.
PenutupKendala dan fakta proses pengalihan
kegiatan dekonsentrasi dan tugas
pembantuan yang merupakan urusan
daerah ke DAK yang sudah diuraikan
dapat dikategorikan kedalam 4 (empat)
kelompok utama kendala dan fakta
pengalihan, yaitu:
1. Kendala dan fakta dari sisi metode
pendekatan dalam mengklasifikasikan
pembagian urusan pemerintahan
(yang menjadi faktor utama).
2. Dengan masih dominannya
peran pemerintah pusat dalam
melaksanakan semua urusan pasca
implementasi desentraslisasi/
otonomi daerah mengaburkan posisi
masing-masing layer pemerintahan.
3. Dengan usia desentraslisasi/
otonomi daerah yang sudah 10
tahun, kemampuan daerah dalam
melaksanakan urusan wajib masih
terbatas sungguh menjadi ironi yang
mematahkan tesis desentralisasi/
otonomi daerah.
4. Kesinkronan aturan teknis
menjadi kendala yang cukup
signifikan menjadi ganjalan untuk
merampungkan pengalihan secara
tuntas.
Beny Trias Oktora
Jangka waktu pengalihkan kegiatan
dekonsentrasi dan tugas pembantuan
yang merupakan urusan daerah ke DAK yang sesuai aturan PP No.
7/2008 yaitu dimulai 2 tahun sejak tahun 2008
30 Media defis
Profil
GOLDEN TImE
DRS. PRAMUDJO, M. SOC. SC Direktur Dana Perimbangan
Saat kami berkunjung ke ruang kerja beliau, kami disambut dengan senyuman hangat oleh bapak dari tiga orang putri yang lahir di Ambarawa 60 tahun yang lalu. Tampak beliau begitu segar setelah berolah raga pagi hari dan dengan familiar menyambut kedatangan tim Majalah Defis. Simak wawancara tim Majalah Defis
dibawah ini tentang keseharian pekerjaan
dan profil Bapak Drs. Pramudjo, m.
Soc. Sc yang akrab dipanggil Pak Pram
selaku Direktur Dana Perimbangan.
Bagaimana perjalanan grand design
desentralisasi fiskal, sejak tahun 2007
sampai dengan sekarang?
Latarbelakang pendidikan saya adalah
keuangan daerah, pada awal masuk
DJPK dilantik pada bulan November
2006 saat alokasi anggaran untuk 2007
sudah ditetapkan. Saya melihat bahwa
pengerjaan alokasi dana perimbangan
masih bersifat normatif, dasarnya
pelaksanaannya adalah UU No 33/2004
dan PP No. 55 Tahun 2005, selama itu
pula Pemda datang meminta Kantor
Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN)
penyalurkan Dana Alokasi Umum (DAU)
dan Dana Alokasi Khusus (DAK) disertai
banyak penyimpangan-penyimpangan
yang terjadi didalamnya. Hal ini tentunya
tidak efisien dan efektif bila kondisi
ini dibiarkan terus menerus. Kemudian
dari sanalah muncul ide mengenai
desentralisasi fiskal dalam wujud transfer.
Melalui Direktorat Dana Perimbangan
mewujudkan pengelola dana transfer
(waktu itu dana perimbangan) yang
berkualitas dan akuntabel. Pada tahun
2008 mulai mengubah nomenklatur Belanja
ke Daerah menjadi Dana Transfer, karena
sifat dari Belanja itu berbeda dengan
Transfer, belanja itu harus ada bukti-bukti
pembayaran yang diserahkan pada waktu
meminta pembayaran sedangkan transfer
tidak perlu melampirkan bukti-bukti.
Pendekatan transfer bersifat Top Down,
oleh karena itu penyaluran transfer selama
ini dikerjakan oleh KPPN sekarang diubah
menjadi sentralisasi. Penyaluran dana
transfer bersifat sentralistik syaratnya
adalah setiap daerah harus memiliki
rekening, pada saat itu yang memiliki
seluruh data rekening seluruh daerah
se Indonesia adalah Direktorat Sistem
Perbendaharaan Ditjen Perbendaharaan,
maka diajukanlah permohonan
permintaan data rekening Pemda tersebut.
Rekening Pemda tersebut haruslah di
verifikasi oleh Bank Indonesia agar data
tersebut valid. Setelah proses verifikasi
maka tahap selanjutnya agar menjamin
penyaluran dana transfer tersebut tidak
terlambat pada saat penyaluran perdana
tanggal 2 Januari 2008. Diundanglah
seluruh perwakilan bank-bank di Jakarta
Media defis 31
Profil
untuk menjamin bahwa dana transfer dari
Pemerintah Pusat tidak akan terlambat
sampai ke rekening Pemda. Pada tanggal
2 Januari 2008 serempak seluruh Pemda
menerima Dana Transfer ke Daerah
melalui rekening Pemda masing-masing
tanpa lagi harus datang menagih ke KPPN.
Sistem ini dilaksanakan sampai sekarang
dan dampak efisiensinya sangatlah
besar, Pemda sudah tidak lagi harus
menyiapkan SPM, SPP, data-data dukung
lainnya yang harus dibawa Pemda ke
KPPN yang lokasinya kerap kali cukup jauh
jaraknya. Secara bertahap ditindaklanjuti
dengan aturan yang mengatur tentang
pengelolaan transfer dengan menerbitkan
Peraturan Menteri Keuangan No. 04/
PMK.07/2008 tentang Pelaksanaan dan
Pertanggungjawaban Transfer yang
sekarang menjadi acuan Subdirektorat
Transfer dalam menyalurakan dana
transfer ke daerah, selanjutnya setiap
tahun diterbitkan peraturan terkait.
Sekarang ini sedang dipersiapkan PMK
tentang pengelolaan transfer menyeluruh
mulai dari perencanaan sampai dengan
pertanggung jawabannya.
Bagaimana mempersiapkan pegawai
Direktorat Dana Perimbangan dalam
mengelola Transfer ke Daerah yang
berkualitas dan akuntabel?
Direktorat Dana Perimbangan
menampung seluruh masukan yang
bersifat membangun, baik dari intern
maupun ekstern. Mendengar apa yang
disampaikan anak buah dan memberikan
feedback berupa arahan dalam bekerja.
Semua yang dikerjakan haruslah memiliki
dasar hukum yang kuat dan aplikatif.
Bekerja haruslah dengan sikap yang
optimis, dilandasi dengan positif thinking,
berkerja dengan hati jangan hanya dengan
logika. Tidak ada tolelir bagi pegawai yang
memanfaatkan daerah untuk kepentingan
pribadi, segala hal-hal diluar kedinasan
itu merupakan tanggungjawab pribadi.
Pegawai diharapkan bekerja sesuai
dengan SOP yang telah ditetapkan dan
menyelesaikan pekerjaannya dengan baik.
Bagaimana memotifasi pegawai untuk
mencapai kinerja yang tinggi?
Setiap 6 (enam) bulan dilakukan grading
dengan tujuan ingin melihat seberapa jauh
pimpinan memperhatikan setiap pekerjaan
anak buahnya, terdapat komunikasi dan
diskusi terkait kinerja setiap staf untuk
diberi penilaian untuk menaikan grade.
Staf diharapkan memiliki sikap disiplin,
mulai dari hal yang kecil misalnya disiplin
waktu dalam pekerjaan. Bila sudah
memiliki sikap disiplin maka pekerjaan
dapat dilaksanakan dengan mudah.
Terkait pelaksanaan manajemen kinerja,
setiap staf Direktorat Dana Perimbangan
Keuangan telah memilik manual Indikator
Kinerja Utama (IKU) masing-masing yang
dikoordinir oleh Mitra Manajer Kinerja
Organisasi. Manual IKU tersebut berisikan
petunjuk operasional pekerjaan termasuk
target-targer kinerja yang harus dicapai
masing-masing individu dan selanjutnya
akan meningkat ke target unit kerja
diatasnya. Dengan adanya penilaian
perilaku dan organisasi harus bisa
dijabarkan kebawah. Kiat untuk dapat
mencapai target-target yang diterapkan
dalam kontrak kinerja dibuatlah matrik
waktu, contohnya antara lain dibuat
list setiap target-target pekerjaan
(penyelesaian penetapan alokasi dana
transfer) beserta disertai dengan kolom
norma waktu. Apabila sudah berjalan
maka pimpinan dapat memonitoring
kinerja masing-masing staf dibawahnya.
Sejak awal Kementerian Keuangan sudah
merintis Anggaran Berbasis Kinerja jauh
sebelum Manajemen Kinerja diterapkan
dan kegiatan didalam DIPA harus memiliki
relasi dengan IKU.
Terkait dengan membangkitkan
semangat diri sendiri dan orang lain,
Bapak rutin mengumpulkan anak
buah dalam rapat formal maupun
informal, apa yang Bapak sampaikan
pada rapat tersebut?
Awalnya pada saat saya menjabat
eselon IV di KPPN 2, pada saat itu saya
memiliki anak buah 30 – 40 orang,
setiap saat ada aturan tentang tata cara
penerbitan Surat Perintah Membayar
(SPM) yang perlu dipahami bersama, maka
pada hari sabtu selepas pulang pukul
12.30 didahului makan siang bersama
dilanjutkan membahas Surat Edaran
terkait berbagai peraturan-peraturan yang
harus ditindaklanjuti. Mulai saat itu tidak
harus menunggu akhir pekan, setiap hari
diadakan kumpul bersama membahas
berbagai peraturan, unit seksi lainpun
mulai tertarik untuk bergabung bersama.
Pada saat bertugas di Bandung, saya tidak
menempatkan 10 Prodip PKL ditempat
bagian umum yang biasa melihat pegawai
datang terlambat dan pulang sebelum
waktunya, namun saya menugaskan
mereka untuk hadir diruang rapat mereka
setiap hari sebelum pukul 07.30. Saya
sudah siapkan pegawai-pegawai yang
mengajari mereka disegala bidang setiap
pagi selama 60 menit. Setelah selesai
belajar, mereka kembali menempati
tempat kerja masing-masing dengan
situasi dimana semua pegawai diruangan
sudah duduk bekerja sehingga mereka
tidak melihat contoh pegawai yang datang
terlambat. Selanjutnya setelah selesai
bekerja, pada sore hari pukul 16.30 mereka
diminta masuk ke ruang rapat, diajari
kembali dengan berbagai materi pekerjaan
sampai dengan lewat pukul 17.00 dan
mereka tidak melihat pegawai yang pulang
sebelum waktunya. Hal tersebut untuk
memberikan persiapan dan landasan
yang baik untuk generasi baru dalam
bekerja dan memberikan kesempatan bagi
pegawai lama untuk mengembangkan
talenta mengajar. Selama bertugas di
32 Media defis
Profil
DJPK, saya juga kerap
mengumpulkan seluruh
pegawai untuk membahas
peraturan-peraturan yang
baru diterapkan, mulai
dari membahas peraturan
tentang kode etik pegawai
sampai dengan peraturan
tentang dana perimbangan.
menurut Bapak apa yang
menjadi tantangan dan
harapan DJPk ke depan?
Diharapkan kedepan DJPK
menjadi Center of Local
Government Finance, mulai
dari perencanaan dana
transfer selanjutnya sampai
kita bisa menjamin laporan
keuangan daerah memiliki
opini penilaian yang bagus
semua (WTP) karena dengan
begitu sudah menjamin
APBD baik, kalau sekarang ini terdapat gap
pekerjaan ketika uang sudah ditransfer ke
daerah maka itu sudah menjadi urusan
daerah. Bila kondisi ini masih terjadi maka
DJPK sulit untuk menjadi Center of Local
Government Finance, karena DJPK tidak
berani untuk menyentuh daerah. Ketika
DJPK mengusulkan fungsi perimbangan
keuangan pada Kanwil Perbendaharaan,
itu merupakan embrio untuk menyentuh
daerah. Rekan-rekan di Kanwil
Perbendaharaan bisa datang ke kas daerah
kemudian melihat perbendaharaan daerah
tidak sesuai dengan perbendaharaan
Negara, maka mereka dapat membenahi
bagian yang tidak sesuai tersebut. APBD
seharusnya sudah bisa di evaluasi sedetail
mungkin, bila ada kendala tidak memiliki
sumber daya manusia maka ditambah
pegawai, bila ada kendala keuangan untuk
datang ke daerah untuk menyamakan
data-data dengan aplikasi maka diusulkan
anggaran untuk menyelesaikan kendala
tersebut.
Bagaimana membagi waktu untuk
pekerjaan dan keluarga?
Sejak mulai bekerja sebagai pelaksana,
saya selalu tiba dikantor tepat waktu atau
lebih awal, sekarangpun pukul 07.20 sudah
duduk diruangan dan langsung bekerja.
Waktu yang ada saya gunakan seefektif
mungkin untuk hal-hal yang produktif. Bila
ada tamu yang hendak bertemu namun
kesulitan mencari jam yang tepat maka
dipersilahkan untuk dapat bertemu jam
07.00 pagi karena pada jam tersebut bagi
saya adalah golden time sebelum memulai
aktifitas pekerjaan sehari-hari. Bila waktu
dapat dimanfaatkan dengan optimal
maka pekerjaanpun dapat terselesaikan
dengan baik dan tepat pada waktunya.
Waktu dengan keluarga tidak tergannggu
oleh aktifitas pekerjaan karena semua
sudah sesuai dengan perencanaan dan
jadwal yang telah ditetapkan. Kualitas
kebersamaan dalam keluarga itulah yang
diutamakan, contohnya setiap akhir pekan
atau hari libur saya selalu mengantar istri
dan anak-anak ketempat mereka hendak
pergi, baik itu pergi belanja ataupun
menemui sanak saudara, saya selalu
hadir untuk mengawal mereka. Pada saat
menemani meraka berbelanja, waktu yang
ada saya manfaatkan untuk menuangkan
segala ide-ide ke dalam tulisan-tulisan
narasi serta membuat power point dengan
menggunakan laptop.
moto bekerja?
Bekerja dengan hati dan selalu Positive
Thinking.
Alit dan David
Menulis1. Penulis Editorial Majalah Anggaran 1997/19982. Penulis Editorial Malajah Anggaran 2005/20063. Artikel di Majalah Anggaran, Media Keuangan,
Koran Daerah Makassar, Kupang, Manado4. Menulis di blog mengenai Transfer ke Daerah (pramudjapk.blogspot.com.transferkedaerah.
wordpress.com)5. Menulis di blog mengenai motivasi
(motivasi2012.wordpress.com)
Melukis & Dekorasi1. Melukis di Blog : swaricucuku.wordpress.com
2. Dekorasi : merangkai bunga, terakhir pada event yang penting untuk kamar pengantin dan tempat upacara siraman pengantin pada pernikahan putri
kedua dan ketiga saya.
Menyanyi1. Menyanyi di mobil diantara kemacetan dari
kantor ke rumah2. Menyanyi bersama istri karaoke di rumah
Memotret1. Koleksi photo pemandangan dari beberapa
kota/daerah2. Koleksi photo berbagai jenis bunga3. Koleksi Photo humaniora & gender
MemasakMemasak berbagai macam masakan Tradisional
Jawa Tengah khusus vegetarian
Olah Raga1. Bekas pemain sepak bola dan tennis meja tim
kantor tingkat Eselon II DJA2. Jogging rutin, saat ini minimal 3 km setiap pagi
HOBI PAK PRAMUDJO
Media defis 33
Features
PENATAAN ORGANISASI DIREKTORAT JENDERAL PERIMBANGAN KEUANGAN
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2003, Presiden telah mendelegasikan kewenangan
di bidang keuangan negara sebagai pengelola
fiskal. Dengan kewenangan tersebut, Menteri
Keuangan diberikan amanat untuk menentukan
kebijakan yang terkait dengan keuangan negara
termasuk dalam mengatur kebijakan penerimaan
dan pengeluaran daerah. Kewenangan Menteri
Keuangan tersebut selanjutnya didelegasikan
kepada Direktorat Jenderal Perimbangan
Keuangan selain tugas-tugas yang berkaitan
dengan pelaksanaan hubungan keuangan antara
pemerintah pusat dan daerah lainnya.
Seiring dengan proses desentralisasi fiskal di Indonesia yang
telah berlangsung secara penuh sejak tahun 2000, masih banyak
permasalahan keuangan negara yang muncul, khususnya di bidang
pengelolaan keuangan daerah. Besarnya dana yang ditransfer ke daerah
ternyata belum mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara
signifikan. Hal ini ditengarai salah satunya karena adanya mata rantai
yang putus dalam siklus manajemen keuangan daerah, yakni pelaksanaan
pembinaan anggaran daerah (APBD) yang juga melibatkan Kementerian
Dalam Negeri, sehingga Menteri Keuangan sebagai pengelola fiskal
tidak dapat berperan secara optimal dalam pengendalian pengelolaan
keuangan daerah.
Berkenaan dengan hal tersebut, DJPK sebagai kepanjangan tangan dari
Menteri Keuangan berupaya untuk melakukan serangkaian pembenahan
dan penataan organisasi terutama dengan memperkuat peran dan
keterlibatannya dalam peningkatan kualitas pengelolaan keuangan
dan belanja daerah. Ruang lingkup pelaksanaan tugas dan fungsi DJPK
mencakup perumusan dan pelaksanaan kebijakan Dana Perimbangan,
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Dana Darurat, Pinjaman Daerah,
Hibah Daerah, serta dana-dana lain dari pusat yang disalurkan ke daerah
dalam rangka desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan, perlu
dikembangkan kepada evaluasi yang mendalam terhadap penggunaan
anggaran belanja dalam APBD.
Penataan Organisasi DJPKSalah satu hal yang menjadi program reformasi birokrasi adalah penataan
dan penguatan organisasi, termasuk di dalamnya adalah penataan tata
laksana yang perlu disesuaikan dengan kondisi perkembangan tugas
dan beban kerja serta tuntutan dari lingkungan organisasi. Sebagaimana
halnya manusia, organisasi juga mempunyai siklus hidup dengan melalui
beberapa tahapan mulai dari tahap introduction (permulaan), tahap
growth (pertumbuhan), maturity (kematangan), dan decline (penurunan).
Dalam setiap tahap kehidupannya organisasi dituntut untuk dapat
menyesuaikan dengan perkembangan dan tuntutan lingkungannya, agar
dapat eksis secara efektif dan efisien untuk mencapai tujuannya. Untuk
itulah, penataan atau penyempurnaan organisasi menjadi sesuatu yang
wajib dilakukan, karena organisasi adalah alat pimpinan untuk mencapai
tujuan sesuai dengan visi dan misi yang diemban/dikembangkan.
Agar selalu sejalan dengan program reformasi birokrasi, Kementerian
Keuangan memberikan acuan secara keseluruhan mengenai penataan
organisasi dengan menerbitkan PMK Nomor: 76/PMK.01/2009 Tentang
Pedoman Penataan Organisasi di Lingkungan Kementerian Keuangan
yang bertujuan: 1. Untuk memberikan arah dan acuan kepada unit
eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan dalam melakukan
penataan organisasi sesuai dengan prinsip-prinsip organisasi, prosedur
dan ketentuan yang berlaku; 2. Untuk memberikan pola pikir yang
sama kepada uirit eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan bahwa
34 Media defis
Features
dalam setiap melakukan penataan organisasi tidak rnengutamakan
kepentingan unit organisasi masing-masing, tetapi mengutamakan
kepentingan organisasi Kementerian Keuangan secara keseluruhan;
3. Untuk mewujudkan organisasi yang lebih efektif, efisien, responsif,
transparan dan akuntabel, check and balances, right sizing, serta sesuai
dengan perkembangan dan tuntutan masyarakat, dan kemajuan teknologi
pada seluruh unit organisasi di lingkungan Kementerian Keuangan dalam
rangka mewujudkan good governance.
Sesuai dengan PMK No. 184/PMK.01/2010 tentang Organisasi dan Tata
Kerja Kementerian Keuangan, DJPK mempunyai tugas merumuskan dan
melaksanakan kebijakan dan standardisasi tehnis di bidang perimbangan
keuangan. Otonomi daerah sangat erat dengan desentralisasi fiskal,
karena esensi otonomi daerah adalah diserahkannya hampir semua
kewenangan pemerintah pusat kepada daerah yang disertai dengan
pendanaannya dan daerah diberikan keleluasaan dalam pengelolaan
keuangannya.
Tahapan proses penataan organisasi DJPK selama kurun waktu 2009
sampai dengan 2012 dapat digambarkan sebagai berikut :
A. Periode 2009 dan 2010Konsep yang mendasari hal tersebut adalah perlu dilakukan pembagian
organisasi yang meliputi kegiatan front office, middle office dan back office.
Penataan pada periode ini didasarkan pada tujuan sebagai berikut: 1)
Dana APBN yang dialokasikan ke Daerah cukup besar (lebih kurang 1/3
Belanja APBN), mengakibatkan beban tanggung jawab yang besar pula,
sehingga perlu adanya distribusi risiko dan tanggung jawab kepada
unit-unit eselon II di DJPK. 2) Struktur organisasi DJPK saat ini dirasa
masih belum memenuhi beberapa asas organisasi yang ditetapkan
dalam PMK Nomor 76/PMK.01/2009 : koordinasi yang belum maksimal,
keseimbangan beban kerja yang belum merata, belum berjalannya
prinsip one stop services serta check and balances dalam pelaksanaan tugas.
Pelaksanaan evaluasi kinerja yang akan dilakukan secara periodik dan
berkelanjutan pada seluruh tingkatan unit bahkan untuk setiap pegawai,
memerlukan penajaman tugas dan output yang jelas pada masing-
masing unit; 3)Pelaksanaan manajemen risiko di lingkungan Departemen
Keuangan menuntut adanya pembagian beban risiko yang lebih merata
pada masing-masing unit kerja, sehingga tidak terjadi perbedaan risiko
yang sangat lebar antar unit. 4) Sejak berdirinya Ditjen PKPD, setiap
tahun selalu dibentuk Tim Asistensi yang khusus menangani isu-isu
desentralisasi fiskal yang bersifat ad hoc, untuk itu perlu pelembagaan
tenaga khusus pengkaji dalam struktur organisasi DJPK, seperti di Setjen,
Bapepam-LK, dan Ditjen Pajak. 5) Tugas-tugas fasilitasi kerjasama dengan
institusi pemerintah/non pemerintah lainnya yang semakin banyak,
kiranya perlu dilembagakan dalam unit yang jelas untuk melaksanakan
tugas-tugas tersebut.
1) Tugas ini lebih banyak akan dilaksanakan pada unit yang diposisikan sebagai middle office yang terdiri dari 2 atau 3 direktorat untuk melaksanakan fungsi penyiapan perumusan dan pelaksanaan kebijakan hubungan keuangan pusat daerah yang mencakup perhitungan alokasi, koordinasi dan fasilitasi, standardisasi, bimbingan teknis, serta monitoring dan evaluasi kebijakan pengalokasian dana transfer ke daerah, hibah daerah, pinjaman daerah, dana-dana pusat ke daerah lainnya.
2) Jumlah sub direktorat setiap direktorat berkisar antara 4 unit sampai dengan 6 unit. Selain Sub Bagian Tata Usaha juga diusulkan adanya unit data bantuan teknis untuk mendukung tugas-tugas teknis bagi direktorat. Unit ini diharapkan dapat menjembatani kebutuhan koordinasi masalah-masalah teknis yang diperlukan lingkup direktorat dan antar direktorat/sekretariat ditjen. Unit seperti ini sudah ada antara lain pada Ditjen Anggaran dan Ditjen Perbendaharaan.
3) Sebagai KPA dana-dana APBN yang di desentralisasikan, diperlukan satu direktorat yang khusus untuk melaksanakan penyaluran dana-dana tersebut ke daerah. Selain itu, unit ini juga bertugas untuk melakukan pelaporan dan akuntansi atas pelaksanaan penyaluran dana transfer ke daerah. Unit ini diposisikan sebagai front office DJPK.
4) Untuk memberikan dukungan data, dukungan aplikasi teknis, dan pemanfaatan teknologi informasi, serta evaluasi pelaksanaan kebijakan desentralisasi fiskal diperlukan satu direktorat. Direktorat ini diharapkan menjadi sumber segala informasi terkait kebijakan desentralisasi fiskal di Indonesia, termasuk di dalamnya data yang diperlukan di dalam rangka perumusan kebijakan hubungan/perimbangan keuangan pusat dan daerah. Disini juga merupakan tempat pengelolaan dan pengolahan data APBD yang diterima dari seluruh daerah sekaligus evaluasi atas penggunaan dana yang telah di desentralisasikan (dana transfer ke daerah) yang telah dialokasikan.
5) Selanjutnya untuk memberikan dukungan keilmuan/kajian akademis kepada semua unit dilakukan oleh tenaga khusus pengkaji hubungan/perimbangan keuangan pusat dan daerah. Hal ini dilakukan untuk menyikapi adanya kebutuhan second opinion dari sisi akademis terkait dalam perumusan kebijakan dan menanggapi isu-isu desentralisasi fiskal, sehingga perlu pelembagaan tenaga khusus pengkaji dalam struktur organisasi DJPK, seperti di Setjen, Bapepam-LK, dan Ditjen Pajak serta yang sekarang dalam proses di DJA dan DJPB.
6) Sementara sebagai unsur pembantu pimpinan untuk melakukan dukungan koordinasi pelaksanaan tugas, pembinaan dan pemberian dukungan pelayanan teknis dan administratif kepada semua unsur di lingkungan Direktorat Jenderal oleh Sekretariat Ditjen. Dengan adanya tambahan tugas pelaksanaan evaluasi kinerja yang akan dilakukan secara periodik dan berkelanjutan pada seluruh tingkatan unit bahkan untuk setiap pegawai, penerapan manajemen risiko, fasilitasi kerjasama dengan institusi pemerintah/non pemerintah lainnya, serta terakhir instruksi Menteri Keuangan untuk membentuk unit kepatuhan internal dan mekanisme whistle blower pada setiap unit eselon I, memerlukan pelembagaan dalam unit yang jelas untuk melaksanakannya.
Diusulkan pada sekretariat ditjen dilakukan pengaturan kembali tugas dan fungsi Bagian Perencanaan dan Organisasi dan penambahan 1 (satu) bagian lagi yang khusus menangani kepatuhan internal sebagaimana yang saat ini sudah dilakukan di Ditjen Anggaran.
7) Direktorat yang menangani dukungan data dan informasi, Tenaga Khusus Pengkaji, dan Sekretariat Ditjen diposisikan sebagai back office DJPK.
Media defis 35
Profil
B. Periode 2011 Wacana pembukaan kantor wilayah DJPKSehubungan dengan konsepsi perubahan
organisasi sebagaimana di awal, penataan
organisasi yang direncanakan dilakukan dalam
kerangka penguatan posisi dan peran Menteri
Keuangan dalam konteks Hubungan Keuangan
Pusat dan Daerah (HKPD) khususnya di bidang
pengelolaan keuangan daerah. Penataan
organisasi ini merupakan langkah awal dan
juga merupakan bagian dari rencana aksi
yang diperlukan dalam mencapai penguatan
peran Kementerian Keuangan dalam rangka
peningkatan kualitas pengelolaan keuangan
daerah. Beberapa tahapan yang akan dilakukan
adalah :
Sampai saat tulisan ini dibuat telah diusulkan
Rancangan Keputusan Menteri Keuangan
mengenai Penetapan Direktorat Jenderal
Perbendaharaan untuk melaksanakan sebagian
tugas Kementerian Keuangan dalam bidang
penganggaran dan perimbangan keuangan
melalui Kantor Wilayah Direktorat Jenderal
Perbendaharaan.
Rencana Sinergi DJPK dan DJPB untuk
memperkuat peran Menteri Keuangan
Dalam Hubungan Keuangan Pusat dan
Daerah. Rencana sinergi DJPK dan DJPB akan
direalisasikan melalui pembentukan satu unit
eselon III di Kanwil Perbendaharaan yang akan
mempunyai tugas dan fungsi dalam rangka
penguatan peran kementerian keuangan
dalam melakukan pembinaan dan pengawasan
pengelolaan keuangan daerah.
Tugas dan Fungsi Bidang Perimbangan
Keuangan yang dilaksanakan oleh Kantor
Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan,
yaitu: 1) Pelaksanaan pemantauan atas
penerimaan dana transfer dan hibah ke daerah
di daerah; 2) Koordinasi pemantauan laporan
realisasi penggunaan dana transfer dari Kepala
Daerah kepada Direktorat Jenderal Perimbangan
Keuangan, 3) Fasilitasi penyampaian informasi
keuangan daerah melalui sistem elektronik,
dan 4) Bimbingan teknis pengelolaan keuangan
daerah.
Dalam melaksanakan tugas dan fungsi tersebut,
Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal
Perbendaharaan harus menyampaikan laporan hasil pelaksanaannya kepada Dirjen Perimbangan
Keuangan sebagai bahan masukan dalam penyusunan kebijakan terkait hubungan keuangan pusat
dan daerah. Hasil “kolaborasi” DJPK dan DJPB tersebut diharapkan memberikan suatu output
yang jelas, terutama dalam meningkatkan dan memperkuat peran Kementerian Keuangan dalam
konteks hubungan keuangan pusat dan daerah. Output tersebut dapat diwujudkan melalui hal-hal
sebagai berikut: 1. Adanya keterwakilan Pemerintah Daerah dalam memperjuangkan kepentingan/
aspirasi daerah yang terkait dengan hubungan keuangan pusat dan daerah di forum nasional baik
dengan Kementerian/Lembaga, DPR, maupun stakeholder lainnya; 2. Adanya perbaikan kebijakan
di dalam pengalokasian dana APBN ke daerah termasuk Dana Transfer ke Daerah, diharapkan
nantinya tidak hanya dilihat dari sisi kapasitas dan kebutuhan fiskal daerah semata, namun
perlu juga dilihat dari sisi dampak penggunaan dana tersebut dalam meningkatkan pelayanan
dan kesejahteraan masyarakat; 3. Adanya instrumen yang mampu mendorong dan memfasilitasi
Pemerintah Daerah dalam mempercepat penyusunan, penetapan dan pelaksanaan APBD; 4.
Adanya peningkatan fungsi serta peran aktif dalam memfasilitasi, mensupervisi, dan mengevaluasi
Pemerintah Daerah di dalam pengelolaan keuangan daerah, agar Pemerintah Daerah dapat
mengelola keuangannya secara efisien, efektif, transparan, dan akuntabel yang pada akhirnya
diharapkan dapat mewujudkan tata kelola pemerintah yang baik (good governance).
Dari hasil sinergitas antara DJPK dan DJPB tersebut diharapkan suatu langkah maju dalam
mewujudkan sistem keuangan negara yang mengintegrasikan pengelolaan keuangan daerah ke
dalam pengelolaan keuangan Negara secara nasional dapat tercapai…semoga.
Esthi dan Agung
Tahap Pertama Tahapan yang sifatnya jangka pendek dengan rentang waktu selama 1 (satu) tahun. Target yang akan dicapai dalam tahap pertama ini adalah: a. Terwujudnya penguatan posisi dan peran Menteri Keuangan dalam konteks HKPD, sehingga dapat mendukung efektifitas tugas dan fungsi Menteri Keuangan dalam pengelolaan fiskal; b. Terwujudnya transformasi kelembaga-an di Kementerian Keuangan yang mampu menjawab tantangan dan permasalahan pengelolaan keuangan yang baik dan prudent, terutama yang terkait dengan pengelolaan HKPD
Tahap Kedua Tahapan yang sifatnya jangka menengah dengan rentang waktu selama 3 (tiga) tahun. Target yang akan dicapai dalam tahap kedua ini adalah : a. Terwujudnya arah dan tujuan HKPD ke depan yang memperhatikan rasa keadilan melalui pengelolaan HKPD yang sehat (dikelola secara efisien, efektif, transparan dan akuntabel), selaras (sesuai dengan peraturan perundang-undangan), dan seimbang (memperhatikan kebutuhan dan kemampuan); b. Terbentuknya peraturan perundang-undangan di bidang HKPD yang telah mengakomodir arah dan tujuan HKPD ke depan; c. Terselenggaranya HKPD yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan HKPD yang baru (revisi UU 33/ 2004), sehingga dapat mewujudkan harmonisasi perencanaan dan pelaksanaan APBN dan APBD, sinergisitas Pusat dan Daerah, percepatan penyusunan, penetapan dan pelaksanaan APBD, kemandirian daerah dalam meningkatkan
Pendapatan Asli Daerah, belanja daerah yang berkualitas dan akuntabel, pengelolaan keuangan daerah yang menerapkan prinsip-prinsip pengelolaan keuangan yang baik dan prudent
Tahap Ketiga Tahapan yang sifatnya jangka panjang dengan rentang waktu selama 5 (lima) tahun. Target yang akan dicapai dalam tahap ketiga ini adalah Pertama, terwujudnya pengelolaan fiskal daerah yang terintegrasi dengan pengelolaan fiskal Nasional, kedua, terwujudnya penyelenggaraan HKPD yang berkeadilan dan dapat mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat, dan ketiga Periode 2012, Rencana Sinergi DJPK dan DJPB.Wacana pembukaan kantor wilayah DJPK pada tahun 2011 menimbulkan pro dan kontra. Sebagian yang mendukung memiliki alasan jumlah jabatan di DJPK sekarang terlalu kecil sehingga sudah saatnya ditambah jenjang karirnya dengan pembentukan kantor wilayah, namun disisi lain sebagaimana hasil penelaahan Sekretariat Jenderal Kementerian Keuangan dirasa kurang efisien apabila DJPK harus membuka kantor perwakilan di daerah. Mempertimbangkan tingginya biaya yang harus dialokasikan terutama untuk pengadaan SDM, kantor dan infrastruktur lainnya, maka rencana pembukaan kantor wilayah dibatalkan dan munculah alternatif untuk melakukan sinergi dengan Ditjen Perbendaharaan pada tahun 2012. Hal ini dapat dianggap sebagai suatu kebijakan “win-win solution” mengingat sumber daya manusia di DJPB saat ini sangat memungkinkan untuk menghandle tugas-tugas DJPK di daerah
36 Media defis
Resensi Buku
Sejak pertama kali ditemukan, revolusi ilmu ekonomi telah didominasi oleh sistem pemikiran mekanistik dan linier yang inspirasinya bersumber dari ilmu mekanika Newton. Fenomena ini akan berubah. Melalui buku ini, David Orrell, seorang ahli matematika, menunjukkan bagaimana revolusi ilmu ekonomi dipengaruhi oleh ide-ide baru yang muncul dari berbagai bidang, seperti teori kompleksitas dan ilmu jaringan.
David Orrell menjelaskan bagaimana
perekonomian sebagai hasil dari proses
yang kompleks dan jaringan yang tidak
linier. Ia juga menunjukkan mengapa
model-model matematika yang digunakan
oleh para bankir dan pembuat kebijakan
telah mengakibatkan dunia menjadi lebih
berisiko. Hubungan paradoks di antara
uang dan kebahagiaan juga dieksplorasi.
Selain itu, David Orrell berpandangan
bahwa sistem keuangan lebih baik
dilihat sebagai suatu proses organik
dibandingkan sebagai suatu mesin. Pada
akhirnya, dapat ditunjukkan bagaimana
ilmu pengetahuan dapat membantu
menemukan kembali ilmu ekonomi di
abad ke-21.
Pada awal tahun, menurut hasil ramalan
dari berbagai pihak (Bloomberg.com),
tahun 2008 akan menjadi tahun sejahtera
bagi pasar keuangan. Tidak seorangpun
menduga akan terjadi suatu kerugian dan
bahkan keuntungan bisnis diprediksikan
mencapai rata-rata 11 persen. Mereka
tidak memperhatikan bahwa salah satu
bencana keuangan terbesar dalam
sejarah sedang berlangsung di bawah kaki
mereka. Pada akhir tahun, Indeks S&P 500
menurun 38 persen, sejumlah $29 triliun
telah hilang di pasar global, dan banyak
pondasi perekonomian dunia telah
runtuh.
Kegagalan pembayaran kredit dalam
skala besar (credit crunch) terjadi dalam
beberapa fase, namun kejadian yang
paling penting adalah kolapsnya
layanan keuangan perusahaan Lehman
Brothers pada September 2008. Dengan
kepemilikan aset lebih dari AS$600 miliar,
kebangkrutan Lehman Brothers adalah
yang terbesar dalam sejarah perusahaan di
Amerika Serikat. Lehman juga merupakan
salah satu titik kunci di dalam jaringan
keuangan, sehingga kebangkrutannya
mengantarkan krisis memasuki fase yang
sangat berbahaya. Banyak pihak yang
khawatir bahwa seantero sistem keuangan
global akan hancur. Kekhawatiran ini
tidak terjadi dan pasar pada akhirnya
dapat pulih dari pengalaman hampir-mati.
Namun, dampak dari kejadian bangkrutnya
Mitos Ekonomi
Media defis 37
Resensi Buku
Lehman Brother masih terasa hingga saat
ini.
Kegagalan para ekonom untuk
memperkirakan credit crunch atau
resesi yang berikutnya bukanlah hal
yang khas. David Orrel menunjukkan
bahwa peramalan keuangan memiliki
catatan pengalaman (track record)
keberhasilan yang sangat buruk, bahkan
tatkala didasarkan pada model-model
matematika yang sempurna. Dewasa
ini, model-model tersebut tidak hanya
gagal untuk memprediksikan kejatuhan
ekonomi, tetapi lebih jauh lagi, membantu
kegagalan.
Pada tahun-tahun sebelum krisis, pelaku
pasar keuangan sangat bergantung pada
model-model kuantitatif/ matematika
dalam membuat keputusan. Bahkan
jika model-model yang digunakan tidak
mampu memperkirakan dengan tepat
situasi di masa depan, mereka masih
menggunakannya untuk menghitung
risiko. Sebagai contoh, untuk menghitung
risiko dari suatu paket pinjaman, para
pelaku pasar keuangan hanya perlu
melakukan suatu perhitungan statistik
dengan menggunakan rumus sederhana
atau model risiko yang didasarkan pada
teori ekonomi standar. Perhitungan
statistik sepertinya berjalan dengan baik,
sehingga para analis kuantitatif mulai
menggunakannya untuk mempertaruhkan
risiko yang lebih besar.
Sebelum krisis menjadi sangat parah,
terdapat tanda-tanda bahwa model-
model yang digunakan gagal menangkap
beragam risiko perekonomian yang
sebenarnya. Pada 11 Agustus 2007,
setahun sebelum jatuhnya Lehman
Brother, turbulensi pasar yang tidak
terduga telah terjadi dan menyebabkan
turunnya harga rumah di Amerika Serikat.
Kejadian yang diperkirakan oleh model
hanya akan terjadi sekali dalam 10.000
tahun, ternyata terjadi setiap hari selama
tiga hari berturut-turut.
Anda tidak perlu menjadi seorang ahli
matematika untuk melihat bahwa ada hal
yang salah dengan model-model yang
digunakan sebagai alat analisis sistem
keuangan. Tetapi, bagaimana mungkin
begitu banyak ahli yang bergaji tinggi
telah salah dalam menduga bekerjanya
perekonomian?
Sebenarnya, tidak seorangpun terkejut
dengan krisis sebagaimana dirasakan
oleh para analis kuantitatif dan model
matematikanya. Pada awal 2003, Warren
Buffet menjelaskan produk-produk
derivatif yang kompleks yang menjadi
kunci dalam credit crunch, sehingga
disebut sebagai senjata keuangan
untuk penghancuran massal (financial
weapons of mass destruction). Di tahun
yang sama, sebelum jatuhnya Lehman
yang menghancurkan sistem perbankan,
seorang ilmuwan jaringan, Albert-Laszlo
Barabasi telah mengingatkan potensi
“cascading failures” di dalam perekonomian.
Bahkan para bankir di bank-bank sentral
telah memikirkan bahwa sistem keuangan
telah menjadi kurang stabil. Pada Januari
2007, Jean-Claude Trichet, Presiden Bank
Sentral Eropa, mengemukakan bahwa
elemen-elemen pasar keuangan global
terlihat tidak stabil, namun letak risikonya
tidak sepenuhnya dapat diketahui.
Nassim Taleb, seorang penulis, dan
Nouriel Roubini, seorang ekonom, telah
memberikan peringatan secara lebih
spesifik, namun suara mereka diabaikan,
karena agresivitas para pelaku di dalam
sistem keuangan yang mengejar profit.
Sama seperti krisis-krisis sebelumnya,
penyebab credit crunch telah banyak
dianalisis dan diperdebatkan. Kritik yang
paling nyata adalah pada perilaku dari
para bankir yang memperoleh gaji sangat
tinggi dan masih ditambah bonus yang
tinggi pula. Kondisi ini sering dipandang
lumrah sebagai konsekuensi tingginya
risiko yang diambil oleh para bankir.
Tetapi, sayangnya, karena keputusan
mereka yang keliru, terjadi kekelaman
pada perekonomian riil. Pihak lain
yang harus bertanggung jawab adalah
regulator yang telah gagal mengawal
pesatnya inovasi pada produk-produk
keuangan. Di samping itu, masih banyak
aktor-aktor lainnya yang ikut terlibat.
Para pemilik rumah di Amerika Serikat
yang mengambil subprime loans, namun
tidak mampu membayar kembali, bank-
bank sentral yang mengabaikan gejala-
gejala persoalan, dan para ekonom yang
merancang model-model matematika
yang cacat.
Fenomena yang terjadi masih
meninggalkan pertanyaan mengenai
bagaimana begitu banyak orang di dalam
industri keuangan telah tersesat dengan
risiko yang dijalankannya dan tidak
memperhatikan bahaya yang ditimbulkan.
Alasannya, menurut Orrell, adalah bahwa
asumsi-sumsi dasar yang membentuk
teori ekonomi penuh dengan kekurangan.
Hal ini bermakna bahwa tidak hanya
model-model matematika, tetapi model-
model aktual mengenai perekonomian
yang dimiliki oleh kebanyakan ekonom
sepenuhnya salah.
Persoalan ini menjadi alasan dibalik
perhitungan risiko keuangan. Persoalan
utama yang dihadapi oleh sistem ekonomi
kita adalah tidak pada kesulitan untuk
memprediksinya, tetapi di samping
produktivitas dan kreativitasnya yang
luar biasa, adalah pada yang disebut
oleh Orrel sebagai “a state of ill health”.
Perekonomian pada dasarnya tidak adil,
tidak stabil, dan tidak berkelanjutan.
Namun, teori ekonomi tidak memiliki cara
untuk mengakomodasi hal ini.
38 Media defis
Resensi Buku
Perekonomian tidak adil. Teori ekonomi
seharusnya membahas mengenai
optimisasi alokasi sumber daya. Dalam
realitanya, orang yang kaya menjadi
semakin kaya. Pada tahun 2009,
seorang manajer hedge fund memperoleh
penghasilan lebih dari AS$2 miliar,
sementara lebih dari satu juat orang
hanya memiliki penghasilan kurang dari
AS$1 per hari. Arus utama ilmu ekonomi
adalah suatu teori yang menyatu dengan
kepentingan orang yang sangat kaya.
Perekonomian tidak stabil. Menurut teori,
invisible hand seharusnya menjaga harga
aset-aset pada tingkat yang stabil. Tetapi
dalam faktanya, harga beragam aset,
seperti minyak bumi, emas, dan mata
uang sangat berfluktuasi. Pada akhir 2007,
harga minyak bumi pernah mencapai lebih
dari AS$140 per barel, namun kemudian
menurun tajam menjadi di bawah AS$40
per barel hanya dalam beberapa bulan.
Minyak bumi sering disebut sebagai darah
kehidupan perekonomian (lifeblood of the
economy), tetapi suplai darah kita sendiri
dapat diatur dengan lebih baik. Sementara
waktu ini, perekonomian sepertinya
sedang mengalami serangan jantung.
Perekonomian tidak berkelanjutan.
Menurut teori, perekonomian dapat
tumbuh selamanya tanpa batas.
Realitasnya, kita dihadapkan pada
kendala-kendala kemacetan yang parah
(over-crowding), perubahan iklim, dan
degradasi lingkungan. Sebagaimana
dikemukakan oleh para pemerhati
lingkungan, pertumbuhan yang tanpa
akhir (never-ending growth) merupakan
filosofi dari suatu sel kanker.
Ketiga persoalan jauh lebih penting
dibandingkan kejadian credit crunch. Hutang
perekonomian global yang menumpuk
dibandingkan persoalan lingkungan, atau
hutang yang dimiliki oleh negara-negara
kaya di negara-negara miskin, perlu lebih
diperhatikan dibandingkan hutang bank-
bank kepada pemerintah atau pemegang
saham. Dalam konteks ini, krisis yang
terjadi dapat dipandang sebagai suatu
berkah yang terselubung (blessing in
disguise), karena menjadi daya pendorong
bagi kita untuk memikirkan kembali
pendekatan kita mengenai uang.
Selain gagal menyelesaikan keterbatasan
perekonomian, teori ekonomi juga gagal
untuk memperhitungkan dengan cermat
dinamika dan produktivitas perekonomian.
Suatu modal yang menekankan stabilitas
tidak cukup baik dalam menangkap
kreativitas pasar. Jadi, mengapa kita tetap
mempertahankan teori ekonomi yang
dalam kenyataannya tidak sesuai dengan
tujuan yang ingin dicapai?
Ilmu ekonomi adalah suatu representasi
matematika dari perilaku manusia,
dan seperti model-model matematika
lainnya, didasarkan pada asumsi-asumsi
tertentu. Orrell berpandangan bahwa
dalam kasus ilmu ekonomi, asumsi-
asumsi yang digunakan sangat jauh dari
realita, dan sesuai dengan kebutuhan
dan perilaku dari kebanyakan orang,
maka hasilnya adalah berupa karikatur
yang sangat menyesatkan. Teori ekonomi
lebih sesuai untuk menjadi suatu ideologi
dibandingkan ilmu pengetahuan. Alasan
mengapa begitu banyak orang meyakini
bahwa asumsi-asumsi tersebut masuk akal
adalah karena didasarkan pada ide-ide
yang bersumber dari ilmu fisika atau teknik
yang merupakan bagian dari warisan ilmu
pengetahuan kita sekitar 2500 tahun yang
lalu (Yunani kuno). Mereka terlihat dangkal
sebagai ilmu pengetahuan riil, namun
merupakan koin tiruan.
Untuk membuat kemajuan, tidak cukup
untuk menyesuaikan dan memperbaiki
asumsi-asumsi tersebut. Banyak karya
telah dilakukan untuk mengeksplorasi
variasi-variasi minor. Misalnya, suatu artikel
di dalam Nature yang berjudul “Economics
Needs a Scientific Revolution” menegaskan
bahwa kita perlu melepaskan diri dari
ilmu ekonomi klasik dan mengembangkan
alat-alat yang sepenuhnya berbeda.
Tatkala ilmu ekonomi membuat model
secara tradisional mengikuti ilmu
fisika dan mekanika, perekonomian
menghadapi suatu organisma hidup
dan bukan mesin. Buku ini menunjukkan
bagaimana suatu generasi baru ekonom,
ahli matematika, ahli lingkungan,
dan pakar ilmu pengetahuan lainnya
menerapkan beragam pelajaran dan teknik
untuk mengembangkan suatu model
perekonomian yang lebih realistis.
Setiap bab diawali dengan salah satu
kesalahan konsepsi dibalik teori ekonomi
ortodoks. Diskusi kemudian diarahkan
pada sejarah untuk melacak sumber ide
tersebut dan menjelaskan bagaimana
pengaruhnya terhadap kehidupan kita
sehari-hari. Selanjutnya, dicoba untuk
menguraikan mengapa kondisi tersebut
terus berlangsung meskipun bukti-bukti
menunjukkan kondisi yang sebaliknya,
serta mengusulkan bagaimana kita dapat
mengubah atau menggantikannya. Secara
lebih spesifik, kesalahan-kesalahan
konsepsi yang dimaksudkan terdiri dari:
perekonomian dapat digambarkan oleh
hukum-hukum ekonomi; perekonomian
terbentuk oleh perilaku individu-individu
yang independen; perekonomian
berjalan dengan stabil; risiko ekonomi
dapat dengan mudah dikelola dengan
menggunakan statistika; perekonomian
berlangsung secara rasional dan efisien;
perekonomian bersifat gender-netral;
perekonomian berjalan dengan adil;
pertumbuhan ekonomi dapat berlangsung
terus-menerus selamanya; pertumbuhan
ekonomi akan membuat kita bahagia; dan
pertumbuhan ekonomi selalu baik.
Roberto Akyuwen
Media defis 39
Renungan
Menolong untuk Ditolong“Ahh….lagi-lagi dia, males…kalau gak
bawa masalah, paling minta tolong ini …
minta itu” sergah seorang kawan ketika
diberitahu ada temannya yang datang.
Perkataan seperti itu sering kali bahkan
mungkin sangat sering terdengar dalam
keseharian kita. Terus kenapa dengan
kalimat itu? Apa salah? Ya..tidak ada
salahnya….wajar... manusiawi…apa lagi?
Tidak salah, karena sebagai manusia
sering kita merasa bosan…merasa
terbeban dengan permintaan yang sering
disampaikan atau bahkan selalu datang
kepada kita. Jadi menjadi wajar juga bagi
kita untuk mendengar kalimat seperti
itu, karena kita biasa menempatkan
sebagai orang yang senang kalau
mendapatkan pertolongan, bukan pada
posisi sebaliknya, dan akhirnya sebagai
permakluman kita bilang sebagai kalimat
yang manusiawi. Permakluman? Loh ber-
arti salah? Kurang pas…kurang tepat.
Bisa dikatakan begitu. Coba kita sedikit
memperhatikan firman Allah dalam
Alquran surat Al-Ma’idah ayat 2 yang
artinya: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam
(mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan
permusuhan (pelanggaran). Dan bertakwalah
kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat
berat siksa-Nya.”
Jadi sebenarnya saling menolong adalah
perintah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala,
Dzat yang menciptakan dan memberikan
kehidupan kepada kita. Hanya saja, yang
diperintahkan adalah dibatasi untuk
tolong menolong dalam berbuat baik dan
dalam rangka ketaqwaan, bukan dalam hal
pelanggaran dan dosa. Menilik firman Allah
ini, maka tidak ada alasan bagi kita untuk
menolak permintaan bantuan kepada kita,
apapun, sepanjang hal itu dalam kerangka
kebaikan yang diridhoi-Nya. Lebih lanjut
saling menolong dalam kebaikan adalah
merupakan salah satu bentuk kewajiban
dari-Nya dan bentuk taqwa kita kepada-
Nya. Perhatikan penutup ayat di atas
yang menegaskan agar kita bertaqwa agar
terhindar dari beratnya siksa Allah.
Kembali ke permasalahan ucapan kawan
di atas, maka sebagai seorang hamba yang
taqwa seharusnya kalimat itu tidak perlu
terucapkan. Terus bagaimana seharusnya
kita menyikapi ketika harus menghadapi
adanya permintaan, baik materi ataupun
non materi, yang diajukan kepada
kita. Ya seharusnya kita memenuhinya
dengan dasar pelayanan sebagai wujud
pengabdian/ibadah kita kepada Sang
Khaliq. Masak sih harus begitu? Kita khan
manusia yang tidak selalu mempunyai
keluasan bahkan hanya keterbatasan
yang ada pada kita. Ya memang, manusia
diciptakan dengan keterbatasan dan
dengan keterbatasan itulah kita diuji oleh-
Nya sampai dimana kesungguhan kita
dalam beribadah. Bahkan, Allah pun tidak
menghendaki kita beribadah melampaui
batas kemampuan kita. Jadi yang kita
lakukan semestinya hanyalah jangan
sampai berprasangka jelek terlebih dahulu
atas siapapun yang datang untuk meminta
tolong kepada kita. Karena siapa tahu, itu
adalah malaikat yang diutus Allah untuk
menguji seberapa tebal keimanan dan
kesyukuran kita kepada-Nya.
Pernah suatu saat saya besuk istri seorang
teman yang sakit agak parah dan sudah
beberapa lama di rumah sakit. Terjadi
dialog dengan teman tersebut :
T : “Ditempatmu, ada orang susah yang perlu ditolong gak?, atau bisa gak kamu carikan orang yang membutuhkan pertolongan”.
S : (sambil bingung) “Memang kenapa?”.
T : “Aku mau menolongnya”.
S : “Loh, bukannya sampeyan sendiri yang butuh pertolongan?”
T : “Justru itu, agar aku mendapatkan pertolongan dari Allah untuk menyembuhkan istri saya, maka aku akan menolong orang yang sangat membutuhkannya. Diriwayatkan dalam sebuah hadits Rasululloh, bahwa pertolongan Allah akan selalu menyertai seorang hamba, selama hamba tersebut menolong kepada saudaranya (sesama hamba)”.
Dan alhamdulillah tidak lama kemudian,
istri teman tersebut mendapatkan obat
yang cocok dan sembuh.
Subhanallah... ternyata menolong sesama
adalah salah satu cara untuk mendapatkan
pertolongan dari Allah. Bukankah kita
juga sudah melihat, orang yang sering
memberikan pertolongan/ membantu
kepada orang lain, kehidupannya akan
lebih baik? Tentunya pertolongan yang
ikhlas semata-mata mengharap ridho dan
balasan dari Allah SWT dalam konteks
beribadah, bukan untuk pamer atau ka-
rena niat yang lain. Bersyukurlah, ketika
kita bisa memberikan pertolongan yang
baik, karena dari situlah pertolongan Allah
Yang Maha Kaya akan diberikan. Semangat
….untuk menolong.
Wahyudi Sulestyanto
40 Media defis
Sekilas Berita
Peluncuran (launching) Aplikasi Web Based Reporting System
(WBRS) DAK diselenggarakan di Hotel Red Top Jakarta
pada tanggal 29 Mei 2012 lalu. Acara yang diresmikan oleh
Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan ini mengundang
seluruh Sekretaris Daerah, Kepala Bappeda, Kepala DPPKAD,
dan Kepala Dinas Pekerjaan Umum lingkup wilayah Provinsi
Jambi, Provinsi Jawa Timur, Provinsi Maluku Utara, Provinsi
Sulawesi Barat, dan Provinsi Kalimantan Tengah. Tujuan
dari acara launching WBRS ini adalah untuk memperkenalkan
Aplikasi WBRS DAK kepada daerah percontohan P2D2
dalam rangka meningkatkan akuntabilitas pengelolaan Dana
Alokasi Khusus sektor Infrastruktur meliputi bidang Jalan,
Irigasi, dan Air Minum dimana keluaran yang dapat disajikan
dari WBRS ini adalah informasi atas output kegiatan
DAK meliputi data teknis, data keuangan, lokasi proyek,
koordinat GPS, kemajuan fisik proyek, gambar visual dari
proyek DAK dimaksud. (Rype & koer)
Launching Aplikasi WBRS DAK
Bimbingan Teknis (Bimtek) Pengadaan Barang/Jasa
dilaksanakan di enam lokasi lingkup daerah percontohan
P2D2 meliputi Jambi, Surabaya, Ternate, Mamuju, Malang,
Palangkaraya dalam kurun waktu April sampai dengan
Mei 2012. Tujuan dan maksud dari Bimtek ini adalah
untuk meningkatkan kapasitas aparat pemerintah daerah
khususnya pejabat pengadaan terkait peraturan dan praktik
pengadaan barang/jasa pemerintah sehingga pada akhirnya
pengelolaan DAK khususnya Bidang Infrastruktur dan tingkat
eligibilitas output DAK akan lebih baik lagi. Narasumber
yang dihadirkan berasal dari Lembaga Kebijakan Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah (LKPP), Badan Pembinaan (BP)
Konstruksi Kementerian Pekerjaan Umum, dan Lembaga
Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) Kementerian Keuangan.
(koer & Rype)
BIMBINGaN TEKNIS PENGADAAN BARANG DAN JASA PEMERINTAH
Hari kedua memfokuskan pada asistensi dan simulasi penggunaan aplikasi WBRS dengan mengundang para operator yang saat ini bertugas
melakukan pelaporan DAK. Kegiatan hari kedua dilakukan dalam bentuk ruangan kelas dengan para instruktur dari DJPK, Kementerian
Keuangan. Diharapkan, dengan bimtek ini, aplikasi WBRS yang sudah diluncurkan dapat diimplementasikan dalam waktu yang tidak terlalu
lama lagi. (Rype & koer)
BIMBINGaN TEKNIS MaNaJEMEN INFRASTRUKTUR DAN WBRS
Media defis 41
Sekilas Berita
Dalam rangka memastikan dilaksanakannya seluruh
Program Reformasi Birokrasi dan Transformasi
Kelembagaan di lingkungan Kementerian Keuangan
serta untuk mengidentifikasi hambatan atau
penyebab belum optimalnya pelaksanaan Reformasi
Birokrasi, Inspektorat Jenderal pada tanggal 10 Mei
sampai dengan 1 Juni 2012 melaksanakan kegiatan
Penjaminan Kualitas (Quality Assurance) pada
Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan dengan
menggunakan parameter yang ditetapkan dalam
Permenpan Nomor 53 tahun 2011 yang terdiri dari 73
parameter pada 8 program/area perubahan.
Kegiatan Quality Assurance oleh Inspektorat
Jenderal tersebut dilaksanakan melalui metode
reviu dokumen, wawancara ke pihak-pihak terkait,
kuesioner, dan observasi lapangan. Dari hasil
pelaksanaan Quality Assurance di Direktorat Jenderal
Perimbangan Keuangan pada 8 (delapan) program
serta 73 parameter tersebut diperoleh simpulan
bahwa pelaksanaan Reformasi Birokrasi di Direktorat
Jenderal Perimbangan Keuangan mendapat nilai
92,23, yang berarti masuk kategori sangat baik.
Atas hasil penilaian Quality Assurance tersebut,
agar pelaksanaan Reformasi Birokrasi di Direktorat
Jenderal Perimbangan Keuangan dapat lebih baik,
Inspektorat Jenderal merekomendasikan agar
Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan segera
menindaklanjuti seluruh rekomendasi yang diberikan
Inspektorat Jenderal, diantaranya adalah perlunya
meningkatkan komunikasi efektif kepada pegawai
di Lingkungan Direktorat Jenderal Perimbangan
Keuangan terutama informasi menyangkut
pelaksanaan program reformasi birokrasi,
perlunya meningkatkan kepatuhan dalam proses
pelaksanaan penyusunan laporan keuangan dan
pengelolaan barang milik/kekayaan Negara, perlunya
meningkatkan tercapainya Indikator Kinerja Utama
(IKU) serta Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi
Pemerintah (LAKIP).
(ichwan)
PELAKSANAAN QUALITY ASSURANCE
REFORMASI BIROKRASI DI DIREKTORAT JENDERAL PERIMBANGAN
42 Media defis
Konsultasi Keuangan Daerah
Hibah daerah yang diatur dalam Peraturan
Pemerintah No. 2 Tahun 2012 Tentang
Hibah Daerah merupakan salah satu
sumber penerimaan untuk mendanai
penyelenggaraan urusan yang menjadi
kewenangan Pemerintah Daerah. Hibah
kepada Pemerintah Daerah dapat
bersumber dari Pemerintah Pusat,
pemerintah daerah lain, badan/lembaga
organisasi swasta dalam negeri, dan atau
kelompok masyarakat/perorangan dalam
negeri. Adapun hibah dari Pemerintah
Pusat dapat bersumber dari pendapatan
APBN, pinjaman luar negeri, dan/atau
hibah luar negeri. Prinsip-Prinsip Hibah
Daerah adalah sebagai berikut:
• Hibah diberikan untuk mendanai
penyelenggaraan urusan yang menjadi
kewenangan Pemerintah Daerah dalam
kerangka hubungan keuangan antara
Pemerintah dan Pemerintah Daerah
• Diprioritaskanuntukpenyelenggaraan
Pelayanan Publik
• Dilaksanakan dengan menggunakan
mekanisme APBN dan APBD
• Dilaksanakanmelaluipenandatangan-
an Perjanjian Hibah antara Menteri
Keuangan cq. Dirjen Perimbangan
Keuangan dengan Kepala Daerah
• HibahkepadaPemerintahDaerahyang
bersumber dari luar negeri dilakukan
melalui Pemerintah
• Penyaluran hibah berdasarkan
permintaan penyaluran dana dari
Pemerintah Daerah.
Hibah daerah yang bersumber dari
Pemerintah Pusat selama beberapa tahun
ini memang tidak terlalu signifikan jika
dibandingkan dengan transfer ke daerah
lainnya, seperti Dana Alokasi Umum,
Dana Alokasi Khusus, dan Dana Bagi
Hasil. Namun demikian, output dari hibah
daerah yang ada sampai dengan saat ini
telah mendukung pencapaian kinerja
dalam bidang tertentu, misalnya Hibah
Local Basic Education Capacity (L-BEC)
dari World Bank yang bertujuan untuk
meningkatkan kapasitas pendidikan di
50 daerah. Contoh hibah berikutnya
adalah Hibah Air Minum dari AusAID
yang menargetkan tersedianya 76.000
sambungan rumah, dan Hibah Water
and Sanitation Project-D (WASAP-D) dari
World Bank yang menargetkan adanya
pembangunan fisik sanitasi antara lain
MCK.
Apabila dilihat dari penggunaannya
maka hibah daerah ini dikategorikan
sebagai dana transfer yang peruntukan/
penggunaannya telah diatur secara
spesifik (conditional grant) sebagaimana
halnya dengan Dana Alokasi Khusus
(DAK). Namun demikian, berbeda dengan
DAK yang penetapannya dan pengaturan
dituangkan dalam Peraturan Menteri
Keuangan (PMK), maka hibah daerah
ini harus ditetapkan dalam naskah
perjanjian. Untuk Hibah yang bersumber
dari penerimaan dalam negeri APBN
dan dari pihak lain di dalam negeri
dituangkan dalam Naskah Perjanjian
Hibah Daerah (NPHD). Sedangkan
Hibah yang bersumber dari luar negeri
(baik dari pinjaman luar negeri maupun
hibah luar negeri yang diterushibahkan)
dilakukan melalui Pemerintah Pusat
melalui penandatanganan Naskah
Perjanjian Penerusan Hibah (NPPH) antara
Pemerintah c.q. Menteri Keuangan atau
kuasanya dengan kepala daerah.
Khusus untuk hibah dari Pemerintah
Pusat yang bersumber dari pinjaman
luar negeri, prioritas diberikan kepada
daerah berkapasitas fiskal rendah
berdasarkan peta kapasitas fiskal yang
ditetapkan dalam Peraturan Menteri
Keuangan dan atau prioritas sebagaimana
ditetapkan dalam Rencana Pembangunan
Jangka Panjang/Menengah (RPJP/RPJM).
Contohnya adalah Hibah Mass Rapid Transit
(MRT) dari JICA untuk DKI Jakarta. Hal lain
yang membedakan dengan DAK adalah
selama ini bisa dikatakan bahwa hibah
daerah ini digunakan untuk membiayai
kegiatan yang bukan merupakan prioritas
nasional dan ada kemungkinan tidak
setiap tahun ada alokasi belanja hibah.
Terkait dengan penyaluran, maka bisa
dikatakan bahwa hibah daerah (dari
Pemerintah) ini memiliki kekhususan
yaitu penyaluran dilakukan berdasarkan
capaian kinerja (performance-based). Bahkan
sebagaimana diatur dalam Peraturan
Pemerintah No. 2 tahun 2012, terdapat
5 (lima) mekanisme penyaluran hibah
ke daerah, yaitu: pemindahbukuan dari
Rekening Kas Umum Negara ke Rekening
Kas Umum Daerah; pembayaran langsung;
rekening khusus; letter of credit (L/C); atau
pembiayaan pendahuluan (pre-financing).
Hibah daerah dengan berbagai kekhususan
dan manfaatnya dapat menjadi alternatif
bagi Pemerintah Pusat membantu daerah
dalam membiayai penyelenggaraan urusan
yang menjadi kewenangan Pemerintah
Daerah dalam kerangka hubungan
keuangan anatara Pemerintah dan
Pemerintah Daerah.
Yadi Hadian
Hibah
Penyerahan Plakat TIm ISO 9001 : 2008 Pelayanan Terpadu Keuangan Daerah sebagai bukti layanan prima DJPK kepada stakeholder
Konsultasi Pemerintah Kabupaten Pegunungan Tengah Provinsi Papua terkait pengelolaan keuangan daerah
Sosialisasi pelaksanaan Unit Kepatuhan Internal di Lingkungan DJPK, diikuti oleh seluruh pejabat dan pegawai DJPK
Kunjungan Pimpinan dan Anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara ke DJPK
Album Foto
44 Media defis
Konsultasi Keuangan Daerah