buku strategi berhenti merokok
TRANSCRIPT
STRATEGI PENGHENTIAN PERILAKU MEROKOK
Oleh : Y. Bagus Wismanto
Y Budi Sarwo
Unika Soegijapranata Semarang - 2007
Buku ini Atas Pembiayaan dari
Dana Hibah Bersaing Angkatan XIV/2 Tahap III tahun
Direktorat Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat,
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi
Departemen Pendidikan Nasional
2006 – 2007
DAFTAR ISI
Halaman
Bab I
Bab II
BAB I
PENDAHULUAN
Merokok adalah perilaku manusia yang sudah berusia ratusan tahun
bahkan ribuan tahun. Perilaku merokok adalah perilaku yang merugikan
bukan hanya pada diri si perokok sendiri namun juga merugikan orang lain
yang ada di sekitarnya. Perilaku merokok menunjukan adanya
keberagaman inter-intra individu (Vinck, 1993; Smet, 1994; Gilbert, 1996;
Loeksono dan Wismanto, 1999).
Peraturan Daerah DKI tentang Pengendalian Pencemaran Udara
telah disahkan oleh DPRD pada tanggal 5 Februari 2005 (Kompas, 6
Februari 2005), Peraturan Daerah tersebut ada kemungkinan segera diikuti
oleh Propinsi/Kabupaten/kota di Jawa maupun di daerah yang lain.
Mengingat bahaya merokok dan besarnya risiko yang harus ditanggung
terhadap pelanggaran terhadap Perda tersebut, maka peraturan tersebut
diduga dapat meningkatkan niat bagi para perokok untuk menghentikan
kebiasaan merokok.
Kebanyakan perokok mulai menghisap rokok pada waktu usia
belasan tahun (Smet, 1994; Nainggolan, 1996). Sejumlah penelitian
menegaskan bahwa sebagian orang mulai merokok antara usia 11 – 13
tahun, dan 85 % mulai merokok sebelum usia 18 tahun. Pada usia 15 tahun
terdapat sebanyak 46,5% pelajar laki-laki yang mengatakan pernah
mencoba merokok, padahal pada usia 11 tahun hanya tercatat 20,8% yang
pernah mencobanya (Haryati, 1996). Perilaku merokok pada umumnya
dilakukan remaja agar tampak dewasa, dan dilakukan secara sembunyi-
sembunyi karena takut dimarahi oleh orang tua maupun gurunya. Hal ini
senada dengan pendapat Perry dkk. (Smet, 1994) yang menyatakan bahwa
perilaku merokok dimulai pada usia remaja, dan percobaan merokok
tersebut berkembang menjadi pengguna secara tetap dalam kurun waktu
beberapa tahun kemudian.
Meskipun pada awalnya remaja yang mencoba merokok kurang
dapat menikmati rokok pertamanya karena membuat si perokok merasa
pahit di mulut, mual dan pusing, namun karena dorongan sosial (dorongan
teman-teman), perilaku pertama tersebut menjadi menetap. Perasaan mual
dan pusing disebabkan karena tubuh memerlukan penyesuaian terhadap
zat-zat yang terkandung di dalam rokok yang tidak dapat diterima tubuh,
namun lama kelamaan menjadi terbiasa dan teradaptasi setelah mengalami
beberapa kali percobaan merokok. Unsur-unsur yang terdapat di dalam
rokok seperti nikotin dan karbon monoksida dapat membuat orang menjadi
2
ketagihan dan ingin merokok lebih banyak lagi. Perilaku merokok pada usia
dewasa diyakini merupakan perilaku yang disadari efeknya, namun tetap
dilakukan oleh karena dirasakan kebutuhannya akan asupan nikotin dari
rokok dengan berbagai alasan.
Perilaku merokok menyebabkan beberapa gangguan. Dalam jangka
pendek, merokok dapat menyebabkan warna kuning pada gigi, kuku dan
jari tangan, mulut dan keringat berbau tidak sedap, sehinga secara
psikologis mengurangi rasa percaya diri, mengganggu hubungan dengan
orang lain dan tidak tenang. Akibat jangka panjang adalah timbulnya
beberapa penyakit seperti jantung koroner, kanker paru-paru, bronchitis,
kanker mulut, kanker tenggorokan dan gangguan janin di dalam kandungan.
Ditambahkan bahwa disadari atau tidak oleh para perokok, perilaku
merokok memiliki dampak negatif baik bagi dirinya sendiri maupun bagi
orang-orang yang berada di sekeliling si perokok. Zat yang terkandung
dalam rokok mengandung berbagai faktor risiko bagi kesehatan, membuat
si pemakai berrisiko tinggi untuk menderita beberapa macam penyakit yang
dapat menyebabkan kematian. Berbagai macam penyakit yang erat
kaitannya dengan perilaku merokok antara lain kanker paru, kanker
tenggorokan, bronchitis, penyakit jantung dan penyakit gangguan
pernafasan.
Ada beberapa penyebab mengapa seseorang merokok, yaitu faktor
sosial, faktor psikologis maupun faktor biologis (Sarafino, 1990). Seseorang
mulai merokok karena faktor sosial antara lain karena pengaruh orang tua,
karena teman sekelompok (takut tidak diterima dalam kelompok tertentu)
maupun karena adanya contoh dari saudara, orang tua, guru maupun
media massa. Faktor ini terkait dengan pengalaman dan pengetahuan
manusia. Hal ini sejalan dengan penelitian yang pernah dilakukan
(Trihandini dan Wismanto, 2000) yang menunjukkan bahwa remaja yang
merokok dipengaruhi oleh persepsinya terhadap gaya hidup modern. Gaya
hidup modern ini dipersepsi dari teman-teman sekelompoknya.
Seseorang merokok karena faktor psikologis antara lain karena
merasa kesepian, tidak ada orang yang diajak berbicara, karena putus cinta
atau masalah lain, maupun karena hanya ingin mencoba semata (iseng).
Seseorang merokok karena faktor biologis misalnya karena kedinginan,
meskipun hal ini kecil persentasenya.
Sebagian besar anggota masyarakat telah mengetahui bahaya yang
ditimbulkan karena perilaku merokok. Sudah semestinya mereka yang
mempunyai pengetahuan ini, mereka yang terdidik dengan baik (memiliki
tingkat pendidikan yang tinggi), mereka yang bekerja di bidang kesehatan,
3
akan menghindarkan diri dari perilaku merokok. Namun dalam
kenyataannya mereka yang memiliki pengetahuan tentang bahaya
merokok, mereka yang berpendidikan tinggi bahkan sebagian dari mereka
yang bekerja di bidang kesehatanpun (seperti perawat dan dokter) juga
memiliki kebiasaan merokok. Terlebih lagi sebenarnya peringatan akan
bahaya merokok telah tertulis secara jelas dan besar di setiap bungkus
rokok yang diproduksi, namun kenyataannya perilaku merokok tidak
berkurang.
Dampak penyerta dari perilaku merokok adalah bahwa kebiasaan
merokok dapat menjadi pintu masuk pertama (first step) terhadap perilaku
negatif lainnya, seperti minum alkohol, penyalah gunaan obat-obatan
terlarang atau narkoba, perilaku negatif dan destruktif. Kombinasi perilaku
negatif antara merokok dan minum alkohol adalah sesuai dengan hasil
penelitian Smet (1994) di kota Semarang dan sekitarnya, bahwa perilaku
merokok ternyata memiliki korelasi dengan dengan kebiasaan minum
alkohol di kalangan remaja. Banyak bukti empiris yang menunjukkan bahwa
gerombolan penonton sepakbola seusai menonton pertandingan tim
kesayangan mereka, di jalan maupun diperempatan jalan secara agresif
mereka meminta rokok kepada pengendara sepeda motor maupun mobil
yang berhenti karena lampu merah. Kadang kala mereka juga meminta
uang, dan jikalau tidak mendapat respon mereka menggerutu, mengumpat
atau mencaci maki.
Dalam lingkup pekerjaan, perilaku merokok menjadi salah satu
penyebab inefisiensi. Seorang karyawan yang memiliki kebiasaan merokok
seringkali melayani masyarakat sambil merokok, hal ini berarti pula
menempatkan orang lain/masyarakat yang dilayani di posisikan sebagai
perokok pasif. Dengan adanya Perda tentang pengendalian pencemaran
udara, pemerintah diwajibkan menyediakan suatu ruang untuk merokok.
Dengan demikian karyawan yang memiliki kebiasaan merokok harus
meluangkan waktu untuk merokok di tempak khusus tersebut. Hal ini juga
terjadi pada karyawan sekretariat Daerah Kabupaten / kota yang memiliki
kebiasaan merokok, kadangkala mereka meninggalkan tempat kerja
beberapa waktu untuk memenuhi kebutuhan merokok atau melayani sambil
merokok, sehingga masyarakat yang membutuhkan pelayanannya menjadi
“sedikit” tergangu.
Berdasarkan hal tersebut di atas maka sangat pentinglah bagi
seluruh anggota masyarakat untuk turut serta dalam usaha penyehatan
masyarakat dengan menyebarkan luaskan informasi tentang bahaya dan
ketidak bergunaan perilaku merokok.
4
BAB II
SEJARAH TEMBAKAU DAN ROKOK
A. SEJARAH TEMBAKAU
Tembakau ialah hasil perkebunan atau pertanian yang diproses dari
daun tumbuh-tumbuhan genus Nicotiana yang segar. Ia mempunyai sejarah
penggunaan yang panjang dalam kebudayaan orang asli Amerika dan telah
memainkan peranan yang penting dalam pengaturan perdagangan Amerika
Serikat. Tembakau bisa didapatkan secara komersial dalam bentuk-bentuk
kering sehingga awet dan sering dihisap dalam bentuk cerutu dan rokok,
atau dengan menggunakan pipa. Daun tembakau dapat pula dikunyah atau
dikulum, dan ada pula yang menghisap bubuk tembakau melalui hidung.
Tembakau terkadang oleh para perempuan jaman dulu atau wanita
pedesaan dipergunakan dengan dikunyah, "disumpelkan" (diletakkan antara
bibir dengan gusi). Tembakau mengandung zat alkaloid nikotin, sejenis
neurotoxin yang sangat ampuh jika digunakan pada serangga. Zat ini sering
digunakan sebagai bahan utama insektisida (http://id.wikipedia.
org/wiki/Kretek).
Gambar 1. Orang Eropa berdagang tembakau dengan Indian (http://www.tobacco.org).
6
6
Pada tahun 1492 Christopher Columbus membawa pulang ke Eropa
daun dan biji tembakau dari Caribbean dalam pelayarannya yang pertama
ke “dunia baru”. Tidak seperti masyarakat Indian asli yang mempergunakan
tembakau dalam tata upacara religius, bangsa Eropa mengembangkan
tembakau ke dalam budaya perdagangan dan konsumsi kenikmatan (Borio,
1998).
Pada tahun 1556 sampai dengan 1559 tembakau mulai
diperkenalkan di Perancis, Spanyol dan Portugis. Pada awal abad ke 16,
tembakau Spanyol terutama yang banyak tumbuh adalah tembakau
Carribean mendominasi pasar. Pelaut Portugis dan Spanyol membawa
tembakau dalam pelayaran mereka melewati tujuh samudra. Pertama kali ke
Afrika utara dan kemudian ke Timur Jauh, Phillipina, ke India dan akhirnya
ke Cina dan Jepang (Borio, 1998).
Pada tahun 1560-an Jean Nicot de Villemain, seorang Duta besar
Perancis untuk Portugis, menulis buku tentang tata cara pengobatan dengan
bahan dasar tembakau, dia menggambarkannya sebagai panacea (obat
mujarab untuk segala macam penyakit) dan menghadiahkan peralatan
medis dengan bahan tembakau kepada Catherine dari Medicis, Ratu
Perancis untuk mengobati anaknya yang mengalami sakit kepala migraine.
Tembakau kemudian menjadi populer di kalangan kerajaan dan istilah
nikotin diambil dari nama Nicot /Jean Nicot de Villemain (Borio, 1998;
Glantz, 1992).
Secara etiologis bahasa Indonesia tembakau merupakan serapan
dari bahasa asing. Bahasa Spanyol "tabaco" dianggap sebagai asal kata
dalam bahasa Arawakan, khususnya dalam bahasa Taino di Karibia.
Tabaco disebutkan mengacu pada gulungan daun-daun pada tumbuhan
atau bisa juga dari kata "tabago", sejenis pipa berbentuk “y” untuk
menghirup asap tembakau. Kata tobacco (Inggris) bisa jadi berasal dari
Eropa, dan pada akhirnya diterapkan untuk tumbuhan sejenis yang berasal
dari Amerika (http://id.wikipedia.org/wiki/Kretek).
Semua cara menggunakan tembakau tersebut diatas pada intinya
adalah penyerapan nikotin kedalam tubuh dengan jumlah yang berbeda-
beda dan yang menyebabkan ketergantungan. Jumlah penyerapan,
frekuensi, dan kecepatan adiksi tampaknya mempunyai hubungan yang
langsung dengan kuatnya ketergantungan terhadap nikotin.
7
7
B. SEJARAH ROKOK KRETEK
Dalam beberapa babad legenda yang beredar di Jawa, rokok sudah
dikenal sudah sejak lama. Tercatat dalam Kisah Roro Mendut, yang
menggambarkan seorang putri dari Pati yang dijadikan istri oleh
Tumenggung Wiroguno, salah seorang panglima perang kepercayaan
Sultan Agung menjual rokok "klobot" (rokok kretek dengan bungkus daun
jangung kering) yang disukai pembeli terutama kaum laki-laki karena rokok
itu direkatkan dengan ludahnya (http://id.wikipedia.org/wiki/Kretek).
Riwayat perkembangan rokok kretek di Indonesia dan di dunia
bermula dari kota Kudus, sebuah kota kecil di Jawa Tengah bagian utara.
Sayang tidak begitu jelas asal usul yang akurat tentang rokok kretek.
Menurut kisah yang hidup dikalangan para pekerja pabrik rokok, riwayat
kretek bermula dari penemuan Haji Djamari, pada kurun waktu sekitar
1870-1880-an. Awalnya, penduduk asli kudus ini merasa sakit pada bagian
dada. Ia lalu mengoleskan minyak cengkeh. Sakitnya reda. Djamari lantas
bereksperimen merajang cengkeh dan mencampurnya dengan tembakau
untuk dilinting menjadi rokok (http://id.wikipedia.org/wiki/Kretek).
Rokok pada umumnya berbentuk silinder dari kertas berukuran
panjang antara 70 hingga 120 mm (bervariasi tergantung negara) dengan
diameter sekitar 10 mm yang berisi daun-daun tembakau yang telah
dicacah. Rokok dibakar pada salah satu ujungnya dan dibiarkan membara
agar asapnya dapat dihisap mulut pada ujung lain.
Ada beberapa jenis rokok, rokok putih (rokok tanpa cengkeh) dan
rokok kretek (rokok dengan cengkeh), serta rokok yang berfilter dan tidak
berfilter. Filter pada rokok terbuat dari bahan semacam busa serabut sintetis
yang berfungsi menyaring nikotin, meskipun nikotin tidak tersaring
sepenuhnya.
Rokok biasanya dijual dalam bungkusan berbentuk kotak atau
kemasan kertas yang dapat dimasukkan dengan mudah ke dalam kantong.
Sejak beberapa tahun terakhir, bungkusan-bungkusan tersebut juga
umumnya disertai pesan kesehatan yang memperingatkan perokok akan
bahaya kesehatan yang dapat ditimbulkan dari merokok, misalnya kanker
paru-paru atau serangan jantung.
8
8
Pada masa silam, melinting rokok sudah menjadi kebiasaan kaum
pria. Djamari melakukan modifikasi dengan mencampur cengkeh. Setelah
rutin menghisap rokok buatannya Djamari merasa sakitnya hilang. Ia
memberitahukan penemuan ini kepada kerabat dekatnya. Berita ini
menyebar cepat, dan permintaan "rokok obat" ini pun mengalir deras kepada
Djamari.
Djamari melayani banyak permintaan rokok cengkeh. Lantaran ketika
dihisap, cengkeh yang terbakar mengeluarkan bunyi "kemeretek", maka
rokok temuan Djamari ini dikenal dengan "rokok kretek". Awalnya, rokok
kretek ini dibungkus "klobot" atau daun jagung kering. Dijual per ikat dimana
setiap ikat terdiri dari 10 batang , tanpa selubung kemasan sama sekali.
Rokok kretek kian dikenal. Namun tak begitu dengan penemunya
Djamari diketahui meninggal pada tahun 1890. Siapa dia dan asal-usulnya
hingga kini masih remang-remang. Hanya temuannya itu yang terus
berkembang. Sepuluh tahun kemudian, penemuan Djamari menjadi
dagangan memikat di tangan Nitisemito, perintis industri rokok di Kudus.
Bisnis rokok dimulai oleh Nitisemito pada tahun 1906 dan pada 1908
usahanya resmi terdaftar dengan merek "Tjap Bal Tiga". Bisa dikatakan
langkah Nitisemito itu menjadi tonggak tumbuhnya industri rokok kretek di
Indonesia (http://id.wikipedia.org/wiki/Kretek).
Nama kecil Nitisemito adalah Rusdi. Ayahnya, Haji Sulaiman adalah
kepala desa janggalan. Pada usia 17 tahun ia mengubah namanya menjadi
Nitisemito. Pada usia ini, ia merantau ke Malang (Jawa Timur) untuk bekerja
sebagai buruh jahit pakaian. Usaha ini berkembang sehingga ia mampu
menjadi pengusaha konfeksi. Namun beberapa tahun kemudian usaha ini
kandas karena terlilit hutang. Nitisemito pulang kampung dan memulai
usahanya membuat minyak kelapa, dan juga berdagang kerbau namun
gagal. Ia kemudian bekerja menjadi kusir dokar sambil berdagang
tembakau. Saat itulah dia berkenalan dengan Mbok Nasilah, pedagang
rokok klobot di Kudus.
Ada yang menyatakan bahwa Mbok Nasilah adalah penemu pertama
rokok kretek, menemukan rokok kretek untuk menggantikan kebiasaan
nginang pada sekitar tahun 1870. Dengan demikian ada dua pendapat
tentang penemu rokok kretek, yaitu H Djamari atau mbok Nasilah
(http://id.wikipedia.org/wiki/Kretek).
9
9
Di warungnya, Mbok nasilah menyuguhkan rokok temuannya untuk
para kusir yang sering mengunjungi warungnya. Kebiasaan nginang yang
sering dilakukan para kusir mengakibatkan kotornya warung Mbok Nasilah,
sehingga dengan menyuguhkan rokok, ia berusaha agar warungnya tidak
kotor.
Pada awalnya ia mencoba meracik rokok. Salah satunya dengan
menambahkan cengkeh ke tembakau. Campuran ini kemudian dibungkus
dengan klobot atau daun jagung kering dan diikat dengan benang. Rokok ini
disukai oleh para kusir dokar dan pedagang keliling. Salah satu
penggemarnya adalah Nitisemito yang saat itu menjadi kusir.
Nitisemito lantas menikahi Nasilah dan mengembangkan usaha rokok
kreteknya menjadi mata dagangan utama. Usaha ini maju pesat. Nitisemito
memberi label rokoknya "Rokok Tjap Kodok Mangan Ulo" (Rokok Cap
Kodok makan Ular). Nama ini tidak membawa hoki malah menjadi bahan
tertawaan. Nitisemito lalu mengganti dengan Tjap Bulatan Tiga. Lantaran
gambar bulatan dalam kemasan mirip bola, merek ini kerap disebut Bal
Tiga. Julukan ini akhirnya menjadi merek resmi dengan tambahan Nitisemito
(Tjap Bal Tiga H.M. Nitisemito). Bal Tiga resmi berdiri pada 1914 di Desa
Jati, Kudus (http://id.wikipedia.org/wiki/Kretek).
Setelah 10 tahun beroperasi, Nitisemito mampu membangun pabrik
besar diatas lahan 6 hektar di Desa jati. Ketika itu, di Kudus telah berdiri 12
perusahaan rokok besar, 16 perusahaan menengah, dan tujuh pabrik rokok
kecil (gurem). Diantara pabrik besar itu adalah milik M. Atmowidjojo (merek
Goenoeng Kedoe), H.M Muslich (merek Delima), H. Ali Asikin (merek
Djangkar), Tjoa Khang Hay (merek Trio), dan M. Sirin (merek Garbis &
Manggis).
Hampir semua pabrik itu kini telah tutup. Bal tiga ambruk karena
perselisihan diantara para ahli warisnya. Munculnya perusahaan rokok lain
seperti Nojorono (1940), Djamboe Bol (1937), Djarum (1950), dan Sukun,
semakin mempersempit pasar Bal Tiga ditambah dengan pecahnya Perang
Dunia II pada tahun 1942 di Pasifik, masuknya tentara Jepang, juga ikut
memperburuk usaha Nitisemito. Banyak aset perusahaan yang disita. Pada
tahun 1955, sisa kerajaan kretek Nitisemito akhirnya dibagi rata pada ahli
warisnya (Amen dan Ong Hok Ham, 1987; http://id.wikipedia.
org/wiki/Kretek).
10
10
BAB III
PERILAKU MEROKOK
A. Determinan Perilaku Merokok
Mengapa seseorang merokok dan menjadi perokok, memiliki alasan
yang berbeda-beda. Perilaku merokok adalah perilaku yang kompleks, yang
diawali dan berlanjut yang disebabkan oleh beberapa variabel yang
berbeda. Awal perilaku merokok pada umumnya diawali pada saat usia
yang masih muda (Smet, 1994), dan disebabkan adanya model yang ada di
lingkungannya, atau karena adanya tekanan sosial misalnya dinyatakan
bukan sebagai teman atau anggota kelompok jika tidak merokok; atau di cap
sebagai “banci” / tidak jantan jika tidak merokok (Loeksono dan Wismanto,
1999). Ketagihan terhadap rokok pada umumnya disebabkan oleh
interpretasi terhadap efek yang segera dirasakan ketika individu merokok
(Vinck, 1993).
Pada saat kebiasaan merokok sudah terbentuk, faktor sosial
memegang peran penting untuk menjaga perilaku merokok menjadi
berlanjut. Di samping hal tersebut di atas, adanya biphasic efek dari nikotin
yaitu merokok sebagai pengatur stress : pada situasi stress, nikotin dapat
mengurangi stress dan dalam kedaan kurang gairah, nikotin dapat
meningkatkan kegairahan (Aston and Stephey, 1982; Warburton and
Wesnes, 1986).
Hansen et al (dalam Sarapino, 1990) di dukung oleh para ahli lain
menyatakan bahwa secara umum perilaku merokok dipengaruhi oleh :
1. Lingkungan sosial. Seseorang mempunyai kebiasaan merokok
karena lingkungannya adalah perokok. Evans et al (dalam De Vries,
1989) menyatakan bahwa faktor sosial berpengaruh secara langsung
dan tidak langsung kepada individu. Pengaruh langsung berupa
menawarkan rokok, membujuk untuk merokok, menantang dan
menggoda, pengaruh ini dirasakan kuat pada kelompok remaja.
Pengaruh tidak langsung yaitu adanya model yang kuat di
lingkungannya, misalkan pimpinan kelompok atau guru atau orang
paling cantik/paling cakep dalam kelompok merokok, maka anggota
lain juga ikut merokok. Pengaruh tidak langsung ini sulit untuk
diamati. Seseorang mungkin tidak merasa bahwa perilakunya
dipengaruhi oleh gurunya atau model iklan rokok tertentu.
2. Faktor psikologis. Levy, Dignan and Shirrefs (1993) serta Sitepoe
(1997) menyatakan bahwa individu merokok untuk mendapatkan
kesenangan, nyaman, merasa lepas dari kegelisahan dan juga untuk
11
11
mendapatkan rasa percaya diri. Oleh karena itu individu perokok
yang bergaul dengan perokok lebih sulit untuk berhenti merokok,
daripada perokok yang bergaul atau lingkungan sosialnya menolak
perilaku merokok.
3. Faktor Biologis. Banyak penelitian yang menyatakan bahwa semakin
tinggi kadar nikotin dalam darah semakin besar pula ketergantungan
terhadap rokok (Aston and Stephey, 1982; Warbuton and Wesnes,
1986; Aditama, 1992; Sitepoe, 1997). Perilaku merokok sebenarnya
untuk memenuhi kebutuhan kadar nikotin di dalam darah.
4. Faktor Sosio Kultural. Kebiasaan masyarakat, tingkat ekonomi,
pendidikan, pekerjaan juga berpengaruh terhadap perilaku merokok.
Dari berbagai referensi tersebut di atas, maka tampaklah bahwa
adabeberapa determinan perilaku merokok, baik dari determinan yang kuat
maupun determinan yang kurang atau tidak begitu kuat.
B. Tipe Perokok.
Mereka yang dikatakan perokok sangat berat adalah bila
mengkonsumsi rokok lebih dari 31 batang perhari dan selang merokoknya
lima menit setelah bangun pagi. Perokok berat merokok sekitar 21-30
batang sehari dengan selang waktu sejak bangun pagi berkisar antara 6 - 30
menit. Perokok sedang menghabiskan rokok 11 – 21 batang dengan selang
waktu 31-60 menit setelah bangun pagi. Perokok ringan menghabiskan
rokok sekitar 10 batang dengan selang waktu 60 menit dari bangun pagi.
Menurut Tomkins (www.affecttherapy.co.uk/Tomkins.Affect_htm) ada 4 tipe
perilaku merokok berdasarkan Management of affect theory, ke empat tipe
tersebut adalah :
1. Tipe perokok yang dipengaruhi oleh perasaan positif. Dengan
merokok seseorang merasakan penambahan rasa yang positif.
Green (1978) menambahkan ada 3 sub tipe ini :
a. Pleasure relaxation, perilaku merokok hanya untuk menambah
atau meningkatkan kenikmatan yang sudah didapat, misalnya
merokok setelah minum kopi atau makan.
b. Stimulation to pick them up. Perilaku merokok hanya dilakukan
sekedarnya untuk menyenangkan perasaan.
c. Pleasure of handling the cigarette. Kenikmatan yang diperoleh
dengan memegang rokok. Sangat spesifik pada perokok pipa.
Perokok pipa akan menghabiskan waktu untuk mengisi pipa
dengan tembakau sedangkan untuk menghisapnya hanya
12
12
dibutuhkan waktu beberapa menit saja. Atau perokok lebih
senang berlama-lama untuk memainkan rokoknya dengan jari-
jarinya lama sebelum ia nyalakan dengan api.
2. Perilaku merokok yang dipengaruhi oleh perasaan negatif. Banyak
orang yang menggunakan rokok untuk mengurangi perasaan negatif,
misalnya bila ia marah, cemas, gelisah, rokok dianggap sebagai
penyelamat. Mereka menggunakan rokok bila perasaan tidak enak
terjadi, sehingga terhindar dari perasaan yang lebih tidak enak.
3. Perilaku merokok yang adiktif. Oleh Green disebut sebagai
psychological Addiction. Mereka yang sudah adiksi, akan menambah
dosis rokok yang digunakan setiap saat setelah efek dari rokok yang
dihisapnya berkurang. Mereka umumnya akan pergi keluar rumah
membeli rokok, walau tengah malam sekalipun, karena ia khawatir
kalau rokok tidak tersedia setiap saat ia menginginkannya.
Perilaku merokok yang sudah menjadi kebiasaan. Mereka menggunakan
rokok sama sekali bukan karena untuk mengendalikan perasaan mereka,
tetapi karena benar-benar sudah menjadi kebiasaannya rutin. Dapat
dikatakan pada orang-orang tipe ini merokok sudah merupakan suatu
perilaku yang bersifat otomatis, seringkali tanpa dipikirkan dan tanpa
disadari. Ia menghidupkan api rokoknya bila rokok yang terdahulu telah
benar-benar habis.
C. Penelitian tentang Perilaku Merokok.
1. Hasil Penelitian Umum yang Telah Ada.
Telah disebutkan di dalam bab pertama bahwa orang tua dapat
menjadi model bagi anak dalam perilaku merokok. Hasil penelitian Kristianti
dan Wismanto (2000) menunjukkan bahwa orang tua yang merokok memiliki
kecenderungan untuk permisif terhadap anak remajanya yang merokok,
daripada ayah yang tidak merokok. Hal tersebut dikarenakan orang tua yang
merokok tidak memiliki “power” untuk melarang anaknya agar tidak
merokok, karena dia sendiri juga merokok atau melakukan hal yang sama.
Sedangkan orang tua yang tidak merokok mampu melarang anaknya untuk
tidak merokok, karena dia sendiri juga tidak merokok dan memberi contoh
yang baik.
Perilaku merokok juga dipengaruhi oleh kelompok sosialnya. Hal ini
selaras dengan hasil penelitian yang dilakukan Trihandini dan Wismanto
(2003) yang menunjukkan bahwa remaja yang merokok dipengaruhi oleh
persepsinya terhadap gaya hidup modern. Perilaku merokok dipersepsikan
13
13
sebagai salah satu bentuk atau bagian dari gaya hidup modern. Gaya hidup
modern sendiri dipersepsikan dari teman-teman sekelompoknya.
Perilaku merokok erat kaitannya dengan cara atau strategi mengatasi
masalah seseorang dan kepribadiannya. Seseorang yang menghadapi
masalah dan usaha pemecahan masalahnya menitik beratkan pada
pengaturan respon emosinya (emotion focus coping), akan cenderung
menjadi perokok yang kuat daripada mereka yang berusaha memecahkan
masalah dengan melihat inti masalahnya sendiri (problem oriented focus
coping) (Trihandini dan Wismanto, 2003). Lebih lanjut lagi dikatakan bahwa
orang yang cenderung berkepribadian ekstrovert juga memiliki
kecenderungan perokok yang kuat.
WHO (depkes, 1993) menyebutkan bahwa kematian laki-laki yang
merokok adalah 70% dibandingkan laki-laki yang tidak merokok. Dari Survey
Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) yang dilakukan oleh Depkes pada tahun
1972, 1980, 1986, dan 1992 tampaklah bahwa proporsi kematian yang
diakibatkan oleh penyakit jantung dan kanker akibat merokok semakin
meningkat. Tahun 1972 proporsi yang meninggal karena kardiovaskuler
adalah 5,1% sedangkan tahun 1992 naik menjadi 16,4%. Kematian akibat
kanker naik dari 1,3% menjadi 4%.
Penelitian Utami dan Winarno (1997) yang meneliti remaja awal
(anak-anak SMP) menunjukan bahwa ada hubungan yang searah dan
signifikan antara tingkat pendidikan dengan pengetahuan tentang bahaya
merokok. Semakin tinggi pendidikannya semakin banyak pengetahuan
tentang bahaya merokok. Namun dalam penelitian juga diketemukan bahwa
ada hubungan positif antara usia dan perilaku merokok, semakin banyak
usia yang dimiliki semakin besar jumlah remaja yang merokok. Akhirnya
penelitian ini menunjukan bahwa tidak ada hubungan antara pengetahuan
mengenai bahaya merokok dengan sikap penolakan terhadap perilaku
merokok. Hasil ini menguatkan fenomena yang telah ada di dalam
masyarakat bahwa di setiap bungkus rokok telah dituliskan peringatan
tentang bahaya merokok namun pada kenyataannya masih banyak pula
mereka yang merokok.
Perempuan merokok secara nasional hanya 1,2% dan 54,5% adalah
laki-laki. Hal ini selaras dengan hasil penelitian Utami (1999) yang
menyimpulkan bahwa ada perbedaan yang signifikan antara perempuan dan
laki-laki dalam hal keyakinan akan bahaya perilaku merokok, sikap
penolakan perilaku merokok, dan frekuensi merokok di antara ke dua
kelompok, bahkan tidak ditemukan adanya subyek perempuan yang
merokok. Perilaku awal merokok sendiri menurut penelitian Utami adalah
14
14
masa sekolah SLTP, masa ini adalah masa kritis dimana seorang laki-laki
menjadi seorang perokok atau bukan.
Penelitian penanggulangan perilaku merokok pernah dilakukan oleh
Umar (195) melalui metode diskusi panel dan pemberian liflet pada siswa-
siswa SLTA di Kabupaten Sleman. Hasil penelitian menunjukkan metode
diskusi panel lebih efektif dibanding metode pemberian liflet dalam
menanggulangi perilaku merokok.
Penelitian yang hampir mirip dengan penelitian Umar, dilakukan oleh
Prabandari (1994) yang mencobakan metode kelas besar (seminar) dan
metode kelas kecil (diskusi kelompok), hasil yang diperoleh menyatakan
bahwa kedua metode tersebut tidak efektif untuk menanggulangi perilaku
merokok. Selain itu, Sani (1994) pernah pula melakukan penanggulangan
perilaku merokok dengan jalan konsultasi melalui layanan Klinik Berhenti
Merokok di Yayasan Jantung Indonesia, namun peserta hanya sedikit dan
hasilnya belum memuaskan.
Penelitian tentang efek asap rokok juga dilakukan terhadap binatang,
seperti yang dilakukan Sugiharta (2005) yang menemukan bahwa kebiasaan
merokok berhubungan dengan penurunan pendengaran. Merokok adalah
faktor risiko utama untuk terjadinya disfungsi endotel yang akan
berkembang menjadi aterosklerosis, dan koklea merupakan organ sensitif
terhadap keadaan hipoksida. Dari pemeriksaan hispatologis ternyata dari
eksperimen ditemukan bahwa tikus putih yang diberi pejaman asap dua
batang rokok selama satu jam, dua kali perhari selama enam bulan,
berpengaruh pada kerusakan integritas histologis koklea.
2. Penelitian Khusus pada Karyawan Sekretariat Daerah.
Penelitian Wismanto dan Sarwo (2006) yang mengambil subyek
penelitian pada karyawan enam (6) Kantor Sekretariat daerah
Kabupaten/Kota di Jawa Tengah (Sukoharjo, Banjarnegara, Grobogan,
Jepara, Batang dan Tegal) memiliki dua tahap penelitian yaitu tahap
pertama pada tahun 2005/06 adalah penelitian survey-kuantitatif dan tahap
kedua pada tahun 2006/07 adalah penelitian tindakan, berupa pelatihan
strategi menghentikan perilaku merokok berdasar subyek pada tahap
pertama, yang menyatakan diri memiliki niat untuk menghentikan perilaku
merokok.
Penelitian tersebut diatas melibatkan variabel : Perilaku merokok;
Dukungan Sosial; Sikap terhadap perilaku merokok; Pengetahuan bahaya
rokok; Niat untuk berhenti merokok; serta Kecenderungan Kepribadian, yang
dikenakan pada subyek secara accidental, yang memang memiliki
15
15
kebiasaan perilaku merokok dan menyatakan niatnya untuk berhenti
merokok seperti yang ada pada tabel berikut :
Tabel I. Jumlah Responden setiap Kabupaten
Daerah Kabupaten/Kota Jumlah
Responden
Jumlah yang berniat
berhenti Merokok
Kabupaten
Pedalaman
Kab. Sukoharjo
Kab. Banjarnegara
Kab. Grobogan
48
48
49
36
38
37
Kabupaten
Pesisiran
Kab. Jepara
Kab. Batang
Kab. Tegal
41
51
29
28
36
17
Jumlah 266 192
Karakteristik responden secara detail dapat dilihat pada tabel dibawah ini :
Tabel II. Karakteristik Subyek Penelitian
Karateristik Minimum Maksimum Rata-rata Deviasi
Standard
Usia
Pendidikan akhir
Golongan Kepegawaian
Lama Kebiasaan merokok
Jumlah Mencoba Berhenti
21
1
1
1
0
56
18
4
39
35
41,02
13,70
2,71
19,15
3,04
8,307
2,832
0,584
8,976
3,554
Secara teoritis telah diketahui bahwa perilaku merokok pada
umumnya berasal dari keluarga dengan orang tua yang memiliki kebiasaan
merokok, hal tersebut juga terjadi pada subyek penelitian ini sebagai berikut:
Tabel III. Status Perilaku Merokok pada Orang Tua dan Saudara serumah
Saudara Serumah ada yang merokok
Jumlah Tidak ada ada
Orang Tua
Merokok
Tidak 24 45 69
Ya 36 140 195
Jumlah 60 205 265
Dari data tersebut di atas tampaklah bahwa yang memiliki orang tua
merokok dan memiliki saudara serumah yang juga merokok adalah jumlah
16
16
terbanyak, yaitu 160 orang, sedang responden yang berasal dari orang tua
bukan perokok dan tidak ada saudara yang merokok hanya 24 orang saja,
atau merupakan jumlah terkecil daripada kategori yang lainnya. Hasil ini
sejalan dengan analisis dengan mempergunakan korelasi Spearman Rho
terhadap variabel status orang tua (merokok atau tidak merokok) dengan
variabel perilaku merokok dan dperoleh hasil korelasi positif dan sangat
signifikan. Dengan demikian semakin terbukti bahwa kebanyakan perokok
berasal dari keluarga perokok juga, baik orang tua maupun saudara.
Berdasarkan pengumpulan data mempergunakan enam (6) skala
yang telah diuji validitas dan reliabilitasnya (Wismanto dan Sarwo, 2006),
maka dilakukan analisis data dan hasilnya adalah sebagai berikut :
Variabel lamanya kebiasaan merokok memiliki korelasi positif dan
sangat signifikan (r = 0,251) dengan perilaku merokok. Hasil ini sejalan
dengan teori yang dinyatakan pada bab sebelumnya bahwa semakin lama
kebiasaan merokok dilakukan akan semakin kuat perilaku merokoknya.
Kebiasan yang sudah lama dilakukan tentunya akan semakin sulit untuk
merubah atau bahkan menghentikan perilaku tersebut, kecuali dengan tekad
dan semangat yang amat kuat.
Pengetahuan akan bahaya merokok berkorelasi negatif dan sangat
signifikan (r = −−−− 0,167) dengan perilaku merokok. Hasil tersebut juga sesuai
dengan teori yang mendasari bahwa mereka yang memiliki pengetahuan
dan memahami akan bahaya merokok yang tinggi atau semakin banyak
pengetahuannya, akan memiliki perilaku merokok yang rendah, dalam arti
bahwa tingkat ketergantungan akan rokok adalah rendah. Hasil ini
memperkuat pendapat pendapat sebelumnya yang menyatakan bahwa
untuk merubah perilaku maka strategi yang dapat digunakan adalah
memperbesar informasi kognitif-intelektual pada subyek yang bersangkutan.
Sikap terhadap perilaku merokok berkorelasi positif dan signifikan
terhadap perilaku merokok. Hasil inipun juga selaras dengan teori yang
mendasarinya bahwa semakin positif sikap seseorang (yang berarti pula
semakin permisif atau mendukung/menerima) terhadap perilaku merokok
maka semakin kuat pula perilaku merokoknya.
Hasil korelasi negatif dan signifikan diperoleh antara variabel niat
untuk berhenti merokok dengan perilaku merokok. Semakin kuat niat untuk
menghentikan perilaku merokok maka semakin lemah perilaku merokok,
demikian pula sebaliknya.
Secara teoritis disebutkan bahwa niat untuk berhenti merokok
berhubungan dengan dukungan sosial, yaitu dukungan untuk menghentikan
perilaku merokok. Hasil analisis menunjukkan hal yang sama, dengan
17
17
demikian dukungan sosial merupakan variabel yang cukup kuat untuk
merubah perilaku merokok. Lingkungan sosial baik komponen keluarga
maupun lingkungan tempat kerja berperanan untuk menghentikan perilaku
merokok.
Dari analisis jalur terhadap variabel variabel penelitian diperoleh hasil
sebagai berkut :
-0,289**
0,154** 0,200**
0,360**
Gambar 2. Diagram Hasil Analisis Keterkaitan antar Variabel
Hasil tersebut di atas menunjukkan bahwa kekuatan perilaku
merokok dipengaruhi oleh niat untuk berhenti merokok. Apabila niat untuk
berhenti merokok adalah kuat atau tinggi maka perilaku merokoknya lemah.
Sedangkan niat untuk berhenti merokok sendiri masih dipengaruhi oleh
beberapa faktor, yaitu sikap terhadap rokok, dukungan sosial dan
kemampuan yang dirasakan untuk merealisasikan berhenti merokok.
Apabila Sikapnya negatif terhadap rokok (tidak senang atau menolak
terhadap rokok), dukungan sosial untuk berhenti merokok dari lingkungan
juga tinggi serta individu yang bersangkutan merasa mampu untuk
merealisasikan untuk berhenti merokok adalah tingi maka niat untuk
berhenti merokokpun semakin kuat, demikian pula sebaliknya. Secara
bersama-sama ke tiga variabel tersebut memberikan sumbangan efektif
sebesar 60,9% terhadap niat untuk berhenti merokok, dengan demikian
sisanya sebesar 39,1% merupakan sumbangan di luar ke tiga variabel
tersebut.
Sikap terhadap Rokok
Dukungan Sosial
Kemampuan yang
Dirasakan
Niat untuk
berhenti
Perilaku
Merokok
BAB IV PEROKOK DAN HAK ASASI MANUSIA
Setiap orang telah mengetahui bahwa merokok adalah berbahaya
bagi kesehatan. Merokok juga dapat menjadi pintu gerbang bagi seseorang
untuk mencoba zat adiktif yang lainnya, karena bagi seorang perokok lebih
mudah untuk mencoba zat-zat adiktif yang lain tersebut daripada bukan
seorang perokok.
Perilaku merokok merupakan masalah yang berkaitan dengan
kesehatan masyarakat karena dapat menimbulkan berbagai penyakit
bahkan dapat menyebabkan kematian baik bagi si perokok dan orang yang
ada disekitarnya (sebagai perokok pasif). Data tahun 2001 menunjukkan
adanya kecenderungan perokok semakin lama semakin meningkat, secara
nasional perokok laki-laki mengalami kenaikan dari 51,2 % menjadi 54,5 %,
sedangkan pada perempuan mengalami penurunan dari 2 % menjadi 1,2%
(www.depkes.go.id/index)
A. Asap Rokok dan Perokok Pasif.
Perilaku merokok adalah perilaku yang merugikan baik bagi diri
sendiri maupun bagi orang lain yang berada di sekitarnya.
Merugikan diri sendiri karena secara finansial maupun dari sisi
kesehatan, perilaku merokok adalah merugikan diri. Seseorang yang
menghisap rokok 1 bungkus per hari maka dapat dikalkulasi pengeluaran
sebagai berikut (dengan pengandaian harga rokok Rp 7.000,- perbungkus):
1 Minggu = Rp 7.000,- X 7 hari = Rp 49.000,-
1 Bulan = Rp 7.000,- X 30 hari = Rp 210.000,-
1 Tahun = Rp 7.000,- X 365 hari = Rp 2.555.000,-
Apabila pada saat ini seseorang telah merokok selama 5 tahun saja,
maka jumlah uang yang telah dikeluarkan adalah : 5 X Rp 2.555.000,- = Rp
12.775.000,- . Jumlah uang tersebut setara dengan harga sebuah sepeda
motor atau biaya sekolah seorang anak dan kemungkinan hingga lulus
Sekolah Menengah Umum.
Pada penelitian Wismanto dan Sarwo (2006), pada subyek dengan
rata-rata usia 41 tahun ternyata telah merokok rata rata selama 19 tahun
(lihat Tabel II). Dengan data tersebut maka jumlah uang yang telah
dibelanjakan untuk membeli rokok adalah 19 X Rp 2.555.000,- = Rp
48.545.000,-
Jumlah belanja membeli rokok bangsa Indonesia tahun 2002 adalah
urutan ke empat di dunia (setelah Amerika Serikat, Jepang, dan Rusia),
19
yaitu sebanyak 181.958 miliar batang (Kompas Cyber Media, 04/06/04).
Apabila harga setiap batang rokok dihargai Rp 300,- saja (harga yang
sesungguhnya lebih besar) berarti jumlah belanja rokok bangsa Indonesia
pada tahun 2002 sebesar Rp 54.587.400 milliar rupiah. Jelaslah bahwa
uang yang dibelanjakan bangsa Indonesia adalah sangat besar dan
seharusnya dapat dipergunakan untuk pembiayaan hal-hal penting yang
lain. Besaran uang tersebut tidak sebanding dengan penerimaan cukai
rokok kepada pemerintah, yang pada tahun 2006 saja hanya sebesar 27,9
triliun (Tempointeraktif.com.,28/06/07).
Perilaku merokok disamping merugikan diri sendiri, juga merugikan
orang-orang disekitarnya yang sebenarnya tidak merokok. Orang yang
tidak merokok namun secara terpaksa ikut menghisap asap rokok dari
rokok yang dihisap perokok disebut sebagai perokok pasif. Jumlah
kandungan asap rokok yang dihisap perokok pasif tergantung kepada :
1. Jumlah dan aliran udara di kawasan dimana individu itu berada.
Semakin besar aliran udara maka semakin tipis atau semakin
rendah kandungan asap di kawasan tersebut, demikian pula
sebaliknya.
2. Jumlah perokok yang berada dan sedang merokok di kawasan
tersebut. Semakin banyak orang yang merokok dan semakin sempit
kawasan maka semakin pekat kandungan asap rokok di kawasan
tersebut.
3. Jumlah rokok yang dihisap oleh perokok, dimana semakin banyak
rokok yang dibakar dan dihisap maka semakin pekat udara yang
mengandung asap rokok.
Berdasar ke tiga hal tersebut, maka semakin kecil aliran udara, semakin
banyak orang yang merokok serta semakin banyak jumlah rokok yang
dibakar dan dihisap maka semakin pekat udara mengandung asap rokok.
Perokok pasif dinyatakan dalam berbagai kajian sebagai individu
yang menerima ancaman karena, karena (1) perokok pasif akan menerima
risiko mendapat penyakit paru-paru; (2) perokok pasif yang tinggal serumah
dengan seorang perokok mempunyai 2 (dua) kali lebih kemungkinan untuk
mendapat sakit paru-paru; (3) perokok pasif anak-anak akan menerima
faktor serangan utama asma (www.prnz.usm/my/msiaecomm).
Telah diketahui bersama bahwa dalam setiap hembusan asap rokok
meliputi lebih dari 4000 bahan kimia, setengah dari padanya dihasilkan dari
pembakaran daun tembakau dan setangahnya lagi merupakan reaksi kimia
dari rokok yang dibakar dan sebagian lagi merupakan komponen yang
dimasukkan semasa proses pembuatan rokok atau pencampuran bahan
20
kimia untuk meningkatkan cita rasa dan kualitas rokok. Kandungan zat-zat
utama yang ada dalam asap rokok antara lain adalah :
1. Nikotin yaitu zat yang cepat berreaksi dimana dalam jangka pendek
adalah merangsang, namun jangka panjang dapat menyebabkan
ketagihan.
2. Tar yaitu zat seperti aspal dengan kandungan seperti aspal jalan
raya, zat inilah yang menyebabkan kanker (carcinogenic)
3. Karbon monoksida yaitu asap seperti yang keluar dari knalpot
kendaraan bermotor, yang mengurangi kandungan oksigen yang
sangat dibutuhkan ketika seseorang bernafas
4. Asap rokok di dalamnya mengandung juga 30 bahan karsinogenik
yang telah diketahui secara pasti menyebabkan kanker. Bahan
tersebut antara lain adalah : Polynuclear aromatis hydrocarbons
(PAHs); Aldehydes; Aza-arenes; N-nitrosamines; Aromatics amines
(2-Napthylamine dan 4-aminobiphenyl); Nheterocyclic amines;
Organic compounds; 1,3 butadiene (benzene;vinyl chloride;
acrylamide) Inorganic compounds (arsenic; chromium; polonium-
210) dsb (Hoffman and Hoffman, 1987; gudeg.wordpress.com/
2007/08/21).
Secara visual zat-zat tersebut dapat dilihat dari gambar dibawah ini :
Gambar 3 : Macam-macam zat yang terkandung dalam rokok (www.
prnz.usm/my/msiaecomm).
21
Asap rokok dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu asap rokok utama (main
stream smoke) dan asap rokok sampingan (side stream smoke)
www.sa.psu.edu/uhs/healthinformation/). Apabila diperbandingkan antara
asap rokok utama yaitu asap rokok yang dihisap oleh perokok dan asap
rokok sampingan yaitu asap rokok yang keluar dari rokok yang terbakar
dan/atau asap rokok yang dihembuskan oleh perokok, akan tampak seperti
tabel di bawah ini (http://gudeg,wordpress.com/2007/08/21; www.
prnz.usm/my/msiaecomm) :
Tabel IV. Perbandingan zat yang terkandung antara asap utama dan
sampingan
Asap Utama Asap Sampingan
Zat Nikotin Aseton Tar Hidrogen sianid Karbon monoksida Toluen Benzen Anilin Nitrosamin
2 kali lipat lebih banyak 2 – 5 kali lipat lebih banyak 3 kali lipat lebih banyak 4 – 6 kali lipat lebih banyak 5 kali lipat lebih banyak 6 – 8 kali lipat lebih banyak 10 kali lipat lebih banyak 30 kali lipat lebih banyak 50 kali lipat lebih banyak
Menghisap rokok maupun menghirup asap rokok dapat
mengakibatkan penyakit paru-paru seperti gambar berikut ini (www.
prnz.usm/my/msiaecomm) :
22
Gambar 4. Gambar Paru-paru dan Dampak dari Asap Rokok.
Merokok bukan hanya berbahaya bagi paru-paru seperti pada
penjelasan di atas, namun secara keseluruhan juga berbahaya bagi
kesehatan, seperti peringatan yang selalu tertulis pada setiap bungkus
rokok. Secara visual bahaya tersebut tergambarkan pada gambar di bawah
ini :
Gambar 5. Merokok Mengakibatkan Penyakit Jantung, Stroke, Kanker dan
Keguguran Janin.
Asap rokok melemahkan dinding paru-paru
Asap rokok mengakibatkan emfisema dan keadaan bengkak di saluran udara kecil dalam paru-paru. Sebagian akan mengalami sesak nafas dan rasa lemas
Asap rokok mengakibatkan bronkitis, batuk berkepanjangan yang menyebabkan lendir dan bengkak di saluran udara, menyebabkan lebih sukar bernafas.
Merokok menyebabkan kanker larink, mulut dan esofagus
Merokok dapat menyumbat saluran darah, mengakibatkan serangan jantung dan stroke
Merokok akan mengurangi penyaluran oksigen, menyebabkan jantung perlu bekerja lebih keras
Merokok mengakibatkan kanker kandung kemih, ginjal, pankreas dan perut
Kanker organ peranakan di kalangan wanita yang biasa merokok atau yang mempunyai suami yang biasa merokok
23
B. MEROKOK DAN HAK ASASI MANUSIA
Menurut Manoppo (2006), situasi perokok di Indonesia sangat
memprihatinkan. Di Indonesia produsen mengeksploitasi potensi adiksi
atau ketergantungan pada rokok dan memanipulasi kesadaran publik
dengan berbagai cara seakan-akan merokok itu aman. Di sisi lain, negara
hampir tidak melakukan sesuatu yang berarti untuk menekan laju
pertumbuhan perokok. Menurut Manoppo, negara dengan sengaja dan
membiarkan kondisi itu. Manoppo yang pernah aktif di Komisi Nasional Hak
Asasi Manusia (Komnas HAM) mengutarakan hal itu kepada Pembaruan
seusai berbicara dalam Debat Publik dalam Pengawasan Promosi, Iklan
Rokok dan Sponsorship yang diselenggarakan Badan Pengawas Obat dan
Makanan (BPOM di Jakarta)
Di sisi lain kebiasaan merokok bagi sebagian masyarakat sudah tak
terelakan lagi, dan bahkan ada yang memaknai bahwa tanpa kehadiran
rokok, kadang-kadang dalam suatu acara terasa tidak lengkap (hambar).
Kondisi itu bisa ditemui pada acara seperti sebuah kenduri, selamatan,
yang biasanya selain dihidangkan berbagai macam kue, dinilai akan terasa
pincang, jika tidak ada hidangan rokok.
Dalam pergaulan, rokok bisa pula dijadikan sebagai pemicu untuk
saling mengakrabkan diri satu sama lain, bahkan ada julukan friendly
smooking. Fenomena ini, mengakibatkan di antara anggota masyarakat
merasa enggan untuk menegur jika ada yang merokok di tempat yang
bukan untuk merokok, sekalipun merokok di dekat orang sakit bahkan di
dekat seorang bayi yang baru lahir. Gejala seperti tersebut dimuka
dimaknai beberapa hal misalnya, karena masyarakat belum tahu (belum
sadar) terhadap bahaya merokok. Apalagi bahaya menjadi perokok pasif, di
samping adanya kendala psikologis lain seperti misalnya khawatir/takut
teguran itu menyinggung atau bahkan membuat marah yang ditegur.
Bisa difahami keengganan untuk menegur itu karena tidak sedikit
perokok yang ditegur kemudian menjawab bahwa "merokok adalah
haknya", termasuk uang yang dikeluarkan untuk membeli rokok juga uang
miliknya, sehingga aktivitas merokok tidak perlu diributkan karena hal itu
adalah Hak Asasi Manusia (HAM).
Dalam pembicaraan mengenai merokok dan hak asasi manusia,
maka akan sampai pada perdebatan antara siperokok dan bukan perokok.
Bagi perokok ia akan mengatakan bahwa "merokok adalah haknya",
termasuk uang yang dikeluarkan untuk membeli rokok juga uang miliknya,
24
sehingga aktivitas merokok tidak perlu diributkan karena hal itu adalah hak
asasi manusia (HAM).
Berbicara masalah hak, memang setiap orang yang merokok adalah
haknya untuk merokok. Bahkan, mungkin dapat dikategorikan sebagai
HAM, sehingga ketika pihak lain yang mengusik orang yang merokok,
dapat juga bisa dikategorikan melanggar HAM. Namun harus diingat bahwa
tidaklah merupakan kategori HAM lagi jika apa yang dilakukan kemudian
merugikan orang atau pihak lain, atau mungkin merugikan lingkungan
sekitar. Dengan demikian, tidaklah fair jika dalam rangka melaksanakan
HAM, tetapi justru dibarengi dengan pelanggaran HAM pula pada saat
yang bersamaan.
Adalah hak seseorang untuk merokok, namun di sisi lain orang yang
tidak merokok yang kebetulan berada dalam satu ruangan atau berada
dalam satu kendaraan umum, juga berhak mendapatkan lingkungan, udara
yang sehat dan bersih tanpa kontaminasi asap rokok. Merokok adalah hak
seseorang, namun di sisi lain orang yang tidak merokok yang kebetulan
satu ruangan atau berada dalam satu kendaraan umum, juga berhak
mendapatkan lingkungan udara yang sehat dan bersih.
Dalam sebuah Lokakarya Penegakan Kawasan Tanpa Rokok
Menuju Kota Bogor Sehat tahun 2006 dinyatakan oleh anggota pengurus
harian YLKI (yang juga menjabat Ketua III Komnas (Komisi Nasional)
Penanggulangan Masalah Merokok) bahwa ketika seseorang merokok,
kemudian asap rokoknya mengepul ke mana-mana, maka dapat dikatakan
pula bahwa orang tersebut menebarkan asap racun, dan perilaku itu juga
melanggar hak orang lain, karena udara menjadi tercemar (Abadi, 2006).
Lebih lanjut Abadi mengatakan : "Ingat juga, perokok pasif justru
menghirup dua kali lipat racun yang dikepulkan asap rokok. Itulah
persoalannya, berbicara hak juga harus secara prorofesional dan fair,"
1. Hak Asasi Manusia dan Penerapan Hukumnya
Hak Asasi Manusia pada hakekatnya adalah seperangkat hak yang
melekat pada hakikatnya dan keberadaan manusia sebagai makhkluk
Tuhan YME dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati dijunjung
tinggi oleh Negara Hukum, Pemerintahan dan setiap orang demi
kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia (Pasal 1 butir
1 UU No. 39 tahun 1999). Sedangkan yang dimaksud dengan kewajiban
Dasar manusia adalah seperangkat kewajiban yang apabila tidak
dilaksanakan tidak memungkinkan terlaksana dan tegaknya hak asasi
manusia (Pasal 1 butir 2 UU No. 39 tahun 1999)
25
HAM tidak hanya berkaitan dengan proteksi bagi individu dalam
menghadapi pelaksanaan otoritas negara dalam bidang tertentu, tetapi juga
mengarah kepada penciptaan kondisi masyarakat oleh negara dalam hal
individu dapat mengembangkan potensi mereka.
Secara yuridis saat ini perokok pasif sudah mendapatkan
perlindungan hukum dari ulah si perokok aktif, khusus ketika perokok aktif
tersebut merokok di tempat-tempat umum, seperti kantor, sekolah,
angkutan umum, bahkan tempat ibadah dan rumah sakit. Rujukan dasar
hukumnya pada Pasal 22 Peraturan Pemerintah No: 19 tahun 2003 tentang
pengamanan rokok bagi kesehatan yang berbunyi : "tempat umum, sarana
kesehatan, tempat kerja dan tempat yang secara spesifik tempat proses
belajar mengajar, arena kegiatan anak, tempat ibadah dan angkutan umum
dinyatakan sebagai kawasan tanpa rokok".
2. Tanggung jawab Pemimpin/Penanggung jawab tempat Umum
Dalam perlindungan Hukum dan HAM bagi perokok pasip, para
pemimpin/penanggung jawab tempat umum tidak bisa tinggal diam guna
menegakkan aturan dimaksud, karena dalam Pasal 23 dalam PP 19 tahun
2003 disebutkan: "pemimpin atau penanggung jawab tempat umum dan
tempat kerja yang menyediakan tempat khusus untuk merokok harus
menyediakan alat penghirup udara sehingga tidak mengganggu kesehatan
bagi yang tidak merokok".
Sedangkan mengenai bagaimana bentuk pertanggungjawaban
dalam kaitan Pemerintah daerah (Pemda), yang sangat relevan dengan
semangat Otda (otonomi daerah), kata dia, kalau melihat pasal 23
idealnya, Pemda dalam hal ini Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kota, dan
Pemerintah Kabupaten idealnya segera membuat rancangan peraturan
daerah (Perda). Hal tersebut perlu dilakukan setidak-tidaknya sebagai
langkah permulaan, atau dapat membuat SK, yang dimulai dari SK
Gubernur, SK Bupati atau SK Walikota.
BAB V
STRATEGI PENGHENTIAN PERILAKU MEROKOK
Menghentikan kebiasaan perilaku merokok adalah mudah-susah.
Dapat dinyatakan mudah apabila ada niat yang begitu kuat untuk
merealisasikan keinginan tersebut, dan dinyatakan susah jika orang yang
menyatakan niat tersebut hanyalah setengah-setangah atau suam-suam
kuku saja. Niat yang setengah-setengah akan mudah tergoyahkan oleh
godaan dan tekanan dari luar dan tekad yang kuat akan menjadi daya
pendorong (power) untuk mencapai tujuan. Banyak pedoman, panduan,
petunjuk, cara atau teknik untk menghentikan kebiasaan perilaku merokok,
namun semua itu tidak ada satupun yang mengalahkan NIAT atau TEKAD.
Betapapun baiknya startegi atau cara atau pedoman untuk berhenti
merokok, namun hanya disertai dengan niat yang setengah-setengah,
besar kemungkinan tujuan tidak tercapai.
A. Strategi Berhenti Merokok.
Ada beberapa langkah yang harus dilakukan bagi seseorang yang
bertekad hendak berhenti merokok. Strategi menghentikan perilaku
merokok yang dianjurkan adalah dengan mengandalkan kekuatan otak,
memiliki beberapa tahap, yaitu :
1. Membaca atau mencari informasi segala hal yang berkaitan dengan
rokok, perilaku merokok dan bahayanya, seperti yang ada pada bab
sebelumnya dalam buku ini (Bab IV).
2. Susun daftar alasan yang mendasari kita berhenti merokok dari yang
paling kuat sampai dengan yang paling lemah. Misalkan saja :
a. Demi kehidupan yang lebih panjang, karena anak-anak masih kecil
b. kesehatan (menghindari kanker, dan serangan jantung)
c. Demi kehidupan yang lebih baik, dsb.
2. Penghapusan situasi kondusif, yaitu melakukan pemeriksaan diri dan
situasi terhadap kebiasaan-kebiasaan merokok yang dilakukan selama
ini, dan menghilangkannya. Sebagai misal apabila setiap hari tersedia
rokok dimeja, tersedia asbak, apabila merokok selalu duduk di kursi
teras, maka ketika berhenti merokok tidak tersedia lagi asbak dan rokok
dimeja, serta kursi di teras diubah letaknya.
3. Nyatakan pada diri sendiri bahwa “saya berhenti merokok”, dan “saya
hidup sehat”. Hal inilah yang biasa disebut dengan tekad diri, niat atau
afirmasi diri. Kalimat yang dinyatakan diri sendiri harus memiliki unsur 3
P yaitu personal (menyatakan dengan keyakinan diri “saya” yang
27
berhenti merokok); struktur waktu Present tense (menyatakan waktu
saat ini juga); dan kalimat positive (tanpat kata “tidak” atau “jangan”).
Personal adalah sesuatu yang penting karena kekuatan niat terletak
pada diri sendiri. Bayangkan juga niat tersebut tidak dalam kata-kata
akan tetapi dalam kenyataan bahwa saudara tidak merokok pada
berbagai acara. Bayangkan juga bahwa saudara hidup sehat.
Mewujudkan niat harus dimulai sekarang juga. Mewujudkan niat tidak
perlu mempergunakan waktu “nanti”, “ingin” atau “akan”, karena
dengan niat yang kuat, sekarang juga seseorang dapat memulai.
Afirmasi yang baik adalah dengan kalimat positif, karena otak alam
bawah sadar akan lebih menerima kalimat yang positif, bukan “saya
tidak merokok” apalagi kalimat “saya tidak ingin merokok lagi”.
Proses afirmasi dan membayangkan harus diulangi dan dilakukan
paling tidak lima kali dalam satu hari untuk 3 minggu, dengan kondisi
badan yang nyaman dan tenang, dengan demikian semakin lama
dirasakan niat semakin kuat.
4. Lakukanlah afirmasi sekarang juga. Untuk membantu realisasi niat, ada
baiknya mendeklarasikan niat tersebut kepada orang-orang disekitar,
dengan tujuan agar memperoleh dukungan sosial. Di samping
sosialisasi niat tersebut, ada baiknya menyatakan juga sanksi yang
harus ditangung apabila sampai jatuh ke perilaku lama (misal
memberikan bonus Rp 20.000,- atau lebih besar lagi apabila sampai
ketahuan merokok lagi).
Selain afirmasi diri dan sosialisasi niat, ada permainan yang dapat
membantu penyadaran seseorang bahwa untuk tujuan tertentu selalu ada
hambatan dan dukungan dari orang-orang yang berada di sekitar, salah
satunya adalah permainan “target dan handicap”
B. Permainan Target dan Handicap.
Permainan ini dapat dipergunakan pada kelompok besar maupun
kelopok kecil, dengan jumlah peserta minimal adalah 3 orang.
1. Karakteristik umum.
Format : Permainan Kelompok
Waktu : 5 – 20 menit
Tempat : Di dalam maupun di luar ruangan
Bahan : Kain Penutup mata
Peserta : Minimal 3 orang
28
2. Deskripsi.
Salah seorang peserta meletakkan sebuah benda miliknya di suatu
tempat (jam tangan, buku atau benda yang lain). Dengan ditutup matanya
peserta tersebut (biasa disebut sebagai trainee) berusaha untuk
mengambil benda yang telah diletakkan disuatu tempat dari jarak yang
telah ditentukan.
Apabila peserta hanya 3 orang maka 2 orang peserta yang lain, seorang
bertindak sebagai orang yang mengarahkan jalan sedang yang seorang
lagi bertindak sebagai orang yang justru memberikan arah yang
menyesatkan. Kedua orang tersebut tidak diketahui oleh trainee manakah
yang memberikan arah yang benar dan manakah yang memberikan arah
yang menyesatkan.
3. Tujuan.
Permainan ini bertujuan untuk memberikan kesadaran kepada
peserta pelatihan bahwa untuk mencapai suatu target/tujuan tertentu
pastilah ada factor-faktor yang mendukung dan ada pula factor-faktor yang
menghambat.
4. Cara Permainan :
a. Pilih salah seorang peserta pelatihan secara suka rela atau ditunjuk,
untuk menjadi orang coba (trainee) yang hendak ditutup matanya.
b. Trainee diminta meletakkan sendiri barang hendak diambil di
sebuah tempat yang tampak dari tempatnya berdiri.
c. Dari jarak tertentu (± 5 meter), dengan mata tertutup trainee diminta
untuk mengambil benda tersebut.
d. Peserta lain dengan jumlah yang seimbang sebagian berfungsi
sebagai pengarah dan memberikan petunjukkan verbal dengan
benar, sedangkan sebagian lagi memberikan petunjuk yang salah
(yang menyesatkan).
5. Pertanyaan reflektif.
Setelah permainan usai, baik benda dapat diketemukan maupun tidak,
maka dapat disampaikan beberapa pertanyaan reflektif :
a. Apa yang dirasakan trainee ketika berusaha
mendapatkan/menemukan bendanya ?
b. Apa yang dirasakan trainee ketika mendengar suara yang
menunjukkan arah yang benar dan arah yang salah, namun dia
tidak mengetahui manakah yang benar dan manakah yang salah ?
29
c. Apakah trainee percaya kepada diri sendiri ?
d. Bagaimana perasaan trainee ketika mencapai target (berhasil
menemukan benda) ? atau bagaimana perasaan ketika tidak
berhasil mencapai target ?
e. Apa yang dirasakan dan diamati oleh peserta yang lain?
f. Bagaimana perasaan kelompok yang memberikan arah benar
namun diabaikan oleh trainee ? Bagaimana ketika petunjuknya
didengarkan dan dipercaya trainee ?
g. Bagaimana perasaan kelompok yang menyesatkan ? dsb.
6. Pembahasan.
Suatu usaha untuk mencapai tujuan tertentu pastilah ada halangan
dan dukungannya. Apabila usaha untuk mencapai tujuan dilakukan dengan
kuat, dan mendapat dukungan, petunjuk yang kuat maka akan mudah
untuk mencapai tujuan tersebut, namun apabila usaha untuk mencapai
tujuan tidak begitu kuat dan halangan cukup besar, ada yang menghalangi,
tidak mendapat dukungan dari orang disekitar maka akan semakin berat
untuk mencapai tujuan.
Demikian pula dalam usaha untuk merubah perilaku diri terutama
dalam usaha untuk menghentikan perilaku merokok, maka tentu ada
kelompok yang mendukung namun ada pula kelompok yang berusaha
menghalangi dengan membujuk dan menawari rokok kepadanya.
BAB VI.
PENUTUP
Ada kata-kata bijak yang menyatakan bahwa “kesehatan bukanlah
segala-galanya, namun tanpa kesehatan segala-galanya bukan apa-apa”.
Tampak bahwa kata-kata bijak tersebut memiliki makna yang sangat
mendalam. Seseorang dapat memandang kesehatan adalah sesuatu yang
sepele, namun kesehatan badan akan sangat terasa memiliki nilai yang
amat sangat besar terutama pada saat orang tersebut jatuh sakit. Pada
saat jatuh sakit akan sangat terasa bahwa harta kekayaan yang dimiliki
seseorang tidak memiliki makna yang besar.
Banyak bukti yang menunjukkan bahwa perokok berhenti melakukan
kebiasaan merokoknya pada saat orang tersebut telah divonis sakit yang
berkaitan dengan perilaku merokoknya. Banyak pula bukti bahwa orang
yang meninggal sebagai akibat dari kebiasaan merokoknya. Berkaitan
dengan hal tersebut tampaklah bahwa kesadaran akan pentingnya
kesehatan perlu disebar luaskan. Perilaku merokok adalah perilaku yang
merugikan tidak hanya pada diri sendiri, namun juga merugikan orang lain.
Oleh karena itu, berhenti merokok mulai sekarang juga, yakinlah akan
kemampuan diri.
Mahatma Gandhi mengatakan : “Kebahagiaan adalah ketika apa
yang difikirkan, apa yang dikatakan dan apa yang dikerjakan adalah
harmonis”
Referensi
Aditama, T.Y. 1992. Kanker Paru. Jakarta : Arcan. American Cancer Society. Cigarette Nicotine Disclosure Report 1997.
Available at: www.cancer.org/tobacco/nicotine- report/summary.html (accessed June 2000).
Amen, B. dan Ong Hok Ham, 1987. Rokok Kretek : Lintasan Sejarah dan
Artinya bagi Pembangunan Bangsa dan Negara. Kudus : Djarum Kudus.
Bali Post. Bisakah Remaja Berhenti Merokok ? Media Masa Harian : Minggu
Wage, 14 Desember 2003. Borio, G. Tobacco Timeline, 1998. dalam http://www/tobacco.org
/History/Tobacco_History.html. Centers for Disease Control and Prevention. Filter ventilation levels in
selected US cigarettes, 1997. MMWR 1997; 46:1043–1047. De Vries, H. 1989. Smoking Prevention in Dutch Adolescents. Den Haag : Cip
Data Koninklijks Bibliotheek. Glantz, S.A., Tobacco Biology and Politics : An Expose of Fraud and
Deception, 2 nd edition, 1992. Waco, Tx : Health Ed Co. Haryanti, K.; Wibowo,C.;Winarno,R.D.; De Clerq,L.; Smet, B., 1996. Perilaku
Kesehatan pada Remaja di Kotamdya Semarang. Laporan Penelitian. Unit Psikologi Kesehatan, Fakultas Psikologi-Universitas Katolik Soegijapranata.
Hoffmann D, Hoffmann I. 1997. The changing cigarette, 1950–1995. Journal
of Toxicology and Environmental Health; 50:307–364. Hoffmann D, Brunnemann KD, Prokopczyk B, et al., 1994. Tobacco specific
N-nitrosamines and Areca-derived N-nitrosamines: chemistry, biochemistry, carcinogenicity, and relevance to humans. Journal of Toxicology and Environmental Health ; 41:1–52.
Hoffmann D, Djordjevic MV & Brunnemann KD., 1996. Changes in cigarette
design and composition over time and how they influence the yields of smoke constituents. In Monograph 7. The FTC cigarette test method for determining tar, nicotine, and carbon monoxide yields of US cigarettes, Bethesda, MD: US Department of Health and Human Services, Public Health Service, National Institutes of Health.
http://id.wikipedia.org/wiki/Kretek
http://gudeg,wordpress.com/2007/08/21 Levy,MR.; Dignan,M.; and Shirrefs, J.A.; 1993. Life and Health. New York :
Random House. Loeksono, E. dan Wismanto, Y.B., 1999. Perilaku Merokok Ditinjau dari
Emotion Focus Coping dan type Kepribadian. Laporan Penelitian. Semarang : Fakultas Psikologi-Universitas Katolik Soegijapranata.
Manoppo, PG., 2006. Konsumsi Merokok yang Menggelisahkan. Suara
Pembaharuan, Juni. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok
bagi Kesehatan. Rambbey, A. Udara Bebas Rokok adalah HAM. Kompas, 01 Juni 2001. Sitepoe, M., 1997. Usaha Mencegah Bahaya Merokok. Jakarta : PT
Gramedia. Tomkins, S (www.affecttherapy.co.uk/Tomkins.Affect_htm). Utami, S.S., 1997. Promosi Anti Merokok pada Remaja SLTA. Laporan
Penelitian. Semarang : Fakultas Psikologi-Universitas Katolik Soegijapranata.
Utami, S.S. dan Winarno, R.D. 1999. Promosi Anti Merokok pada Remaja
Awal. Laporan Penelitian. Semarang : Fakultas Psikologi-Universitas Katolik Soegijapranata.
Trihandini, R.A.F.M dan Wismanto, Y.B., 2003. Perilaku Merokok Mahasiswi
Ditinjau dari Persepsi terhadap Gaya Hidup Modern. Skripsi. Semarang : Fakultas Psikologi-Universitas Katolik Soegijapranata.
Undang-Unang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. WHO, 1985. Smoking and Health. New Delhi : WHO. Widianingsih, SMD., dan Wismanto, Y.B., 2000. Hubungan antara Konsep
Diri dan Dukungan Sosial dengan Perilaku Merokok. Skripsi. Semarang : Fakultas Psikologi-Universitas Katolik Soegijapranata.
Wignyosubroto, S. 2003. Toleransi dalam Keragaman : Visi untuk Abad ke 21,
Kumpulan Tulisan tentang Hak Asasi Manusia. Editor :Armiwulan, H, dkk. Surabaya : Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Surabaya.
Wismanto Y.B., 1994. Sikap Perokok terhadap Kesehatan. Makalah Seminar.
Seminar Ilmiah Dosen Kopertis Wilayah VI. Jawa Tengah.
Wismanto, Y.B. dan Sarwo, Y.B. 2006. Perilaku Merokok pada Karyawan Sekretariat Daerah Kabupaten/Kota di Jawa Tengah. Laporan Penelitian Hibah Bersaing Angkatan XIV/2 Tahap III tahun 2006. Semarang : Universitas Katolik Soegijapranata.
www.sa.psu.edu/uhs/healthinformation/
www.depkes.go.id/index
Sarafino, E.P., 1994. Health Psychology, Biopsychosicial Interaction. The
Second edition. New York : John Wiley $ Sons.Inc. Smeth, B. 1994. Psikologi Kesehatan. Jakarta : PT Grasindho. Vinck, J. 1993. Self Management in Smoking Cessation, In Sibilia, L. and
Borgo, S. 1993, Health Psychology in Cardiovascular Health and Desease. Roma : The Center for Research in Psychotherapy.