buku - perjuangan agraria di kawasan hutan ngadisono wonosobo jawa tengah (petani press)

Upload: serikat-petani-indonesia

Post on 16-Jul-2015

144 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

TANAH UNTUK PENGGARAP

Perjuangan Reforma Agraria di Kawasan Hutan Resort Ngadisono, Wonosobo, Jawa Tengah

Ngabidin Susan Lusiana

Federasi Serikat Petani Indonesia PETANI PRESS

FSPI

Tentang Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI)

FSPI adalah organisasi massa tani yang beranggotakan serikat-serikat tani di 12 propinsi di seluruh Indonesia. Sebagai organisasi perjuangan petani yang terdepan melawan kolonialisme dan imperialisme gaya baru, dalam perjuangannya FSPI memilih isu-isu penting yang menjadi fokus utama dari aktivitasnya, yaitu: reforma agraria, kedaulatan pangan, hak asasi petani, gender, dan pertanian berkelanjutan yang berbasis keluarga. Perjuangan FSPI bertujuan untuk mewujudkan struktur agraria yang berkeadilan dengan melaksanakan reforma agraria sejati berdasarkan UU Pokok Agraria Tahun 1960. Karena itulah, kaum tani yang menjadi anggota FSPI adalah petani kecil berbasis keluarga, buruh tani, masyarakat adat dan kaum tak bertanah.

Tentang Penulis

Ngabidin aktif sebagai anggota SP Jateng, anggota FSPI. Perjalanan panjang mengorganisasikan kaum tani di Wonosobo di dalam Sepkuba juga merupakan andil besarnya. Susan Lusiana adalah peneliti pada Lembaga Pengkajian dan Penelitian FSPI. Penulis bisa dihubungi via e-mail [email protected]

Editor

Mohammed Ikhwan [email protected] Design Mohammad Iqbal Foto dan Ilustrasi FSPI dan istimewa Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI) Jl. Mampang Prapatan XIV No. 5 Jakarta Indonesia 12790 Tel. +62 21 7991890 Fax. +62 21 7993426 Email. [email protected] Website. www.fspi.or.id

Uthem

Kitri

Madhem

Sudagri

Kunis

Wicakri

Orang hidup yang paling utama menanam, yang menengah berdagang, dan yang paling rendah menjadi buruh Falsafah Jawa

Kata PengantarBuku ini merupakan salah satu dari tiga dokumentasi dan analisis kritis mengenai perjuangan mewujudkan pembaruan agraria. Ketiga buku ini sendiri mencerminkan pengalaman kaum tani anggota FSPI dari sudut pandang internal di tiga lokasi: Bukit Kijang (Asahan, Sumatera Utara), Ngadisono-Lebak (Wonosobo, Jawa Tengah) dan Suka Maju (Tanjung Jabung Timur, Jambi). Sepak terjang perjuangan kaum tani yang selama ini tak tercatat akhirnya bisa terukir dengan tinta emas sejarah. Perjuangan panjang kaum tani mewujudkan pembaruan agraria sesungguhnya tidak terbatas hanya di tiga buku ini saja. Beribu-ribu, bahkan berjuta-juta cerita lainnya masih terpendam dan belum bisa dipublikasikan. Hal ini sesungguhnya menegaskan betapa signifikannya peran petani di Indonesia, perjuangannya, jumlahnya, dan kerja-kerja nyatanya membangun bangsa dan negara. Cita-cita kaum tani dan rakyat, yakni pembaruan agraria, bukanlah barang baru. Pembaruan agraria telah tertuang sebagai cita-cita dari kemerdekaan nasional serta konstitusi RI dengan tujuan kesejahteraan, keadilan, kebahagian dan kemakmuran rakyat. Sehingga kemudian pada perkembangannya diwujudkanlah cita-cita ini dalam UUPA 1960, termasuk beberapa program nasionalisasi terhadap kekayaan alam dan sumber agraria lainnya yang

selama masa kolonialis dikuasai oleh penjajah. FSPI memandang bahwa sesuai dengan isi dan kandungan UUD 1945 dan UUPA 1960, hal-hal yang perlu diatur dalam agraria meliputi seluruh bumi, air, dan ruang angkasa serta seluruh kekayaan alam yang terkandung didalamnya. Dalam pengertian bumi, selain permukaan bumi, termasuk pula tubuh bumi di bawah-nya serta yang berada di bawah air. Kesemuanya tersebut merupakan satu kesatuan yang tak dapat dipisah-pisahkan. Hubungan antara bangsa Indonesia dan bumi, air serta ruang angkasa, termasuk kekayaan alam di dalamnya adalah hubungan yang bersifat abadi. Perkembangan ekonomi-politik negeri ini adalah sejarah panjang kolonialisme. Dan jelas pula bahwa sistem ekonomi-politik yang sekarang, neoliberalisme, adalah bentuk penjajahan baru. Hal ini tepat seperti yang dikatakan Bapak Pendiri Bangsa kita sebagai masa neokolonialisme-imperialisme (nekolim). Sistem ekonomi dan politik negeri ini tetap meminggirkan kedaulatan rakyat, sehingga nyata sekali bertentangan dengan cita-cita kaum tani dan rakyat seperti yang dinyatakan sebelumnya. Sebut saja kebijakan dan praktek yang sangat telanjang meminggirkan kedaulatan rakyat: pasar tanah, privatisasi air, pengebirian hak asasi manusia, kebijakan perkebunan, penggusuran, pendidikan mahal dan kesehatan susah. Berbagai UU, mulai

dari UU Penanaman Modal Asing, Perkebunan, Kehutanan, Migas, Sumber Daya Air, hingga yang terakhir Penanaman Modal, memperlihatkan bagaimana kekuasaan saat ini begitu berpihak kepada segelintir pemodal dan penguasa. Tapi tentu saja rakyat tak bisa diam begitu saja. Mengutip kata Soekarno, Kalau cacing saja pun diinjak pasti menggeliat-geliat melawan, kesakitan. Dan bahwa perjuangan rakyat sesungguhnya bergelora, beribu-ribu bahkan berjuta-juta, di daerah-daerah, terorganisasi maupun tidak, terungkap maupun tidak, dan merupakan contoh nyata perlawanan rakyat negeri ini terhadap kebijakan dan praktek neoliberalisme. Dan rakyat terbukti memiliki kekuatan tak tertandingi, tercermin dari kelebihan-kelebihan yang terdokumentasi dari tiga pengalaman pembaruan agraria di daerah. Di Bukit Kijang, terbukti kekompakan adalah kata kunci dari perjuangan kaum tani. Berbagai rintangan, ancaman dan represi mereka lalui demi mempertahankan lahan perjuangan mereka. Secara ekonomi, gerakan yang mereka galang adalah salah satu hal yang paling fenomenal dalam sejarah kaum tani di Indonesia. Di Ngadisono-Lebak, terbukti betapa kaum tani berjuang mendapatkan hak garap saja sudah mengubah kesejahteraan mereka secara drastis. Hal ini tentu membakar semangat kaum tani untuk terus berjuang

mewujudkan pembaruan agraria. Di Suka Maju, walaupun di tanah transmigrasi yang baru tidak ideal seperti yang dijanjikan, namun kaum tani disini tetap ulet bertahan. Walau ditelantarkan pemerintah, kaum tani tetap bisa bersatu dan menemukan solusi untuk dapat mandiri. Dan untuk mempertahankan hak-haknya tersebut, akhirnya kaum tani memahami esensi perjuangan hingga mampu merebut haknya dan memenangi pertempuran vis-a-vis perusahaan perkebunan. Demikian buku-buku yang disajikan dalam dokumentasi perjuangan mewujudkan pembaruan agraria FSPI ini kami persembahkan kepada kawankawan seperjuangan. Dan bahwa perjuangan ini adalah bagian dari perjuangan panjang kita. Kita telah menunjukkan keberhasilan-keberhasilan perjuangan di tingkat lokal. Tentu saja, keberhasilan ini adalah tonggak-tonggak perjuangan sebagai bagian dari kekuatan besar yang akan kita bangun di masa depan. Buku ini juga menyatakan kembali pentingnya mencatat perjuangan-perjuangan kita sehingga kita bisa memperbaiki kelemahan atau meneruskan keberhasilan yang memang telah baik kita laksanakan. Tugas dokumentasi dan pencatatan perjuangan-perjuangan adalah tugas para kaderkader perjuangan, jadi jangan sekali-sekali dilupakan! Kolaborasi pencatatan dan deskripsi-analitis yang

dicontohkan kader kita Saudara Ngabidin dan penulis lainnya merupakan hal membangun dalam organisasi gerakan taniyang hingga saat ini cenderung berkarakteristik tradisional. Sehingga menurut saya, budaya mencatat-menulis seperti yang dilakukan oleh Saudara Ngabidin dari Wonosobo adalah hal yang patut diteladani dan harus diteruskan dalam kerja-kerja organisasi sehari-hari. Semoga buku ini bisa memberikan inspirasi perjuangan hingga rakyat berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi serta berkepribadian dalam budaya. Pengalaman dalam buku ini juga diharapkan bisa menjadi panduan dan sandaran bagi kita semua dalam gerakan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Khusus untuk kaum tani, perjuangan menegakkan keadilan agraria demi kedaulatan petani harus terus digelorakan. Semoga kemenangan selalu menyertai perjuangan kita! Jakarta, Desember 2007 Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI) Badan Pelaksana Federasi (BPF) Henry Saragih Sekretaris Jenderal

Daftar IsiKata Pengantar

Pengantar: Perjuangan Petani Atas Sumber-Sumber Agraria

1

Potret Pertanian Hutan Wonosobo 5 Kondisi Geografis 5 Kondisi Sosial Ekonomi 9 Pertanian, Nilai Lokal dan Permasalahannya 11 Monokultur Hutan: Kemiskinan, Ketidakadilan dan Ketertindasan 14 Kaum Tani Derap Langkah Kaum Tani Dalam Penegakan Hak Atas Tanah Pengorganisasian Kaum Tani Ngadisono Jembatan Perjuangan dengan Penguatan Jaringan Negosiasi Politik: Hak Garap dan PSDHBM, PHBM, serta PSDHLT yang membingungkan Buah Perjuangan Indikator kesejahteraan: Parameter awal keberhasilan perjuangan Persepsi Kesejahteraan Menurut Kaum Tani Desa Ngadisono dan Lebak Prestasi dan Pekerjaan Rumah bagi Organisasi Tani19 20 26 29

42 43 48 59

Reforma Agraria Sejati:Perjuangan Mutlak Untuk 63 Keadilan Sosial Rencana Kedepan 63 Epilog 67 Referensi73

AkronimDPRD FSPI JKPM FHW JKPM KPPN KPML KPH KTH NGO OTL PHBM Perhutani PNS PSDHBM PSDHLT MDH SD SEPKUBA SLTP SLTA SP JATENG TKI TKW : Dewan Perwakilan Rakyat Daerah : Federasi Serikat Petani Indonesia : Jaringan Kerja Pendamping Masyarakat : Forum Hutan Wonosobo : Jaringan Kerja Pesantren dan Masyarakat : Komisi Pelestarian Plasma Nutfah : Konsorsium untuk Pembangunan Masyarakat dan Lingkungan : Kawasan Pengelolaan Hutan : Kelompok Tani Hutan : Non Goverment Organization (Organisasi Non Pemerintah) : Organisasi Tani Lokal : Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat : Perusahaan Hutan Indonesia : Pegawai Negeri Sipil : Pengelolaan sumber daya hutan bersama dengan masyarakat : Pengelolaan Sumber Daya Hutan Lestari dan Terpadu : Masyarakat Desa Hutan : Sekolah Dasar : Serikat Petani Kedu Banyumas : Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama : Sekolah Lanjutan Tingkat Atas : Serikat Petani Jawa Tengah : Tenaga Kerja Indonesia : Tenaga Kerja Wanita

Perjuangan Reforma Agraria di Kawasan Hutan Resort Ngadisono, Wonosobo, Jawa Tengah

Tanah Untuk Penggarap

Pengantar: Perjuangan Petani Atas Sumber-Sumber Agraria

P

erjuangan kaum tani untuk mewujudkan reforma agraria sejati pada hakikatnya tidak pernah berhenti dari mulainya petani menyadari segala ketertindasan yang menimpa kehidupan mereka. Sejarah mencatat bahwa seiring perubahan zaman, posisi petani hampir tidak pernah berubah. Satu hal yang bisa ditarik benang merahnya, bahwa petani selalu menjadi pihak yang terpinggirkan dan mengalami penindasan mulai dari zaman feodal, zaman penjajahan dan bahkan zaman kemerdekaan. Kesimpulan yang dapat ditarik dari ketertindasan tersebut tak lain adalah masalah penguasaan atas sumber-sumber agraria. Sumber agraria bermakna sangat luas. Dalam konstitusi, sumber agararia meliputi bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan yang terkandung didalamnya. Dengan ini sumber agraria tidak hanya meliputi tanah saja, namun juga meliputi air dan berbagai kekayaan yang terkandung dalam bumi Indonesia. Oleh karenanya, air, pertambangan, hasil hutan, hasil perkebunan, kekayaan laut dan sungai serta semua kekayaan alam yang ada di bumi pertiwi ini termasuk kedalam kategori sumber agraria.

Konstitusi negara menjamin bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terdapat didalam wilayah Indonesia dikuasai oleh negara sebagai pengemban amanat rakyatdan kesemuanya digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Namun pada kenyataannya, dalam era kemerdekaan sekarang ini, petani nyata-nyata masih terbelenggu oleh tekanan dan ancaman yang telah dan akan merampas hak-hak mereka sebagai warga negara. Ironisnya negara justru tidak melaksanakan tugasnya sebagai pengemban amanat rakyat. Negaradalam beberapa kasus bahkan menjadi musuh nyata dari perjuangan kaum tani yang tengah memperjuangkan hak-haknya dalam mendapatkan keadilan dalam mengakses sumbersumber agraria. Akses terhadap tanah merupakan salah satu bentuk hak terhadap alas produksi yang masih diperjuangkan oleh kaum tani diseluruh nusantara. Selain perjuangan untuk mendapatkan tanah, petani juga tengah berjuang mendapatkan dan mempertahankan haknya atas akses air, benih, teknologi, modal dan pasar. Dalam realitasnya, tanah merupakan salah satu sumber agraria utama yang menjadi kunci kesejahteraan petani. Tanah tidak hanya memiliki nilai ekonomis sebatas faktor produksi saja. Bagi petani, tanah sekaligus memiliki nilai filosofis sebagai bentuk harmonisasi hidup, warisan budaya, ikatan sosial dan hubungan abadi dengan alam. Namun demikian, pada faktanya saat ini hak petani dalam mengakses tanah telah terancam oleh berbagai kebijakan yang justru hanya berpihak pada segelintir orang belaka: penguasa modal. Penguasa modal

Perjuangan Reforma Agraria di Kawasan Hutan Resort Ngadisono, Wonosobo, Jawa Tengah

Tanah Untuk Penggarap

dengan lihainya memasuki berbagai sektor untuk bisa meraup keuntungan yang besar diatas tanah dan bumi Indonesia. Lihat saja sektor pertambangan, kehutanan, perkebunan dan pertanian yang saat ini digerakkan untuk menghasilkan keuntungan yang besar bagi para pemilik modal. Seringkali kepentingan petani dalam mempertahankan hidupnya di atas sebidang tanah tergusur karena pengelolan tanah untuk kepentingan penambangan, perkebunan atau kehutanan atas nama ekonomi-politik. Hingga saat ini perjuangan tanah untuk petani di Indonesia merupakan hal yang awam. Perjuangan ini mayoritas muncul secara sporadisnamun masif seiring dengan perubahan iklim politik pada tahun 998. Dalam perjuangannya petani bisa menghadapi lawan yang berbeda, namun satu hal yang sama yakni lawan tersebut adalah struktur ketidakadilan yang tersistematis dalam penguasaan, pemilikan dan penggunaan tanah. Adalah suatu kondisi yang sangat timpang, ketika lebih dari 0 juta rumah tangga petani hanya memiliki tanah masing-masing dengan luasan 0.5 hektar sajasementara satu persekutuan perusahaan perkebunan sawit diperbolehkan menguasai 00.000 hektar. Salah satu fakta dari pemaparan ini adalah kisah para petani yang berada di sekitar hutan resort Ngadisono, yang telah dan masih akan memperjuangkan apa yang menjadi hak mereka. Telah lama mereka bersama-sama mewujudkan reforma agraria sejati dengan cara mereka sendiri untuk melawan ketidakadilan atas penguasaan, pemilikan dan penggunaan sumber-sumber agraria.

Perasaan senasib dan kesadaran akan keterdesakan untuk bertahan hidup menjadi awal bersatunya kaum tani yang sebagian besar betempat tinggal di dua desa yang berbatasan langsung dengan Hutan Resort Ngadisono. Ngadisono dan Lebak merupakan dua desa yang terletak dideretan pegunungan yang mengelilingi kecamatan Kaliwiro, Kabupaten Wonosobo dan tepatnya berbatasan langsung dengan hutan resort Ngadisono, Wonosobo. Orang Jawa menyebut Wonosobo berasal dari kata Wana dan Saba, yang berarti hutan dan berkumpul atau bermain. Itulah sebabnya, mengapa sebagian besar wilayah Wonosobo terdiri dari gunung dan hutan. Hampir seperlima luas Wonosobo adalah hutan, dan sebagian besar dikelola oleh Perhutani melalui KPH di daerah Kedu Selatan dan Kedu Utara. Kedua KPH ini jelas menjadi kekuatan menguasai kawasan hutan dan menjadikannya basis produksi untuk tanaman damar dan pinus.

Perjuangan Reforma Agraria di Kawasan Hutan Resort Ngadisono, Wonosobo, Jawa Tengah

Tanah Untuk Penggarap

5

Potret Pertanian Hutan WonosoboKondisi geografis Desa Ngadisono dan Lebak adalah dua desa yang berbatasan langsung dengan Hutan Resort Ngadisono. Hutan Resort Ngadisono berada di wilayah kecamatan Kaliwiro, sebuah kecamatan yang berada di bagian selatan Kota Wonosobo. Kecamatan Kaliwiro berbatasan dengan Kecamatan Leksono, Kecamatan Kalibawang, Kecamatan Wadaslintang, dan Kecamatan Sigaluh. Hutan Resort Ngadisono adalah hutan negara yang dikuasai oleh perum Perhutani KPH Kedu Selatan. Luas Hutan Resort Ngadisono yang dikelola oleh Perhutani mencapai 6.9,95 hektar atau mencapai .5 persen dari total keseluruhan KPH Kedu Selatan.

Peta Wonosobo/Hutan Resort Ngadisono

6Hutan Resort Ngadisono berbatasan dengan Desa Ngadisono dan Lebak di sisi sebelah selatan. Luas Desa Ngadisono mencapai 5 hektar, hanya 8 hektar diantaranya yang menjadi lahan persawahan yang masih menggunakan irigasi sederhana. Sementara itu sisanya didominasi oleh lahan tegalan dan kebun yang hampir seluruhnya ditanami oleh tanaman kayukayuan. Desa Ngadisono sendiri berbatasan langsung dengan kawasan resort hutan pinus Ngadisono yang dikelola oleh Perhutani di sebelah bagian barat laut, berbatasan dengan Desa Grugu di utara, Desa Ngalian di bagian selatan, Desa Lebak di bagian Barat, dan Desa Gumelar serta Tracap di sebelah Timur. Sementara itu, Desa Lebak memiliki total luasan lahan seluas 55 hektar. Berbeda dengan Desa Ngadisono, Desa Lebak yang terkenal dengan sebutan daerah lumbung padi untuk kawasan Ngadisono dan sekitarnya memiliki luas lahan sawah yang lebih besar, yaitu 9 hektar . Sebagian besar, yaitu 9 hektar5. Sebagian besar lahan persawahannya merupakan sawah tadah hujan dan sisanya menggunakan irigasi sederhana. Namun demikian, sama halnya dengan Desa Ngadisono, sebagian besar lahannya masih berupa kebun dan tegalan yang ditanami oleh tanaman hutan dan kayu-kayuan. Desa Lebak persis berbatasan dengan Desa Ngadisono dan Hutan Resort Ngadisono di bagian selatan dan timur lautnya. Di sebelah utara, Desa Lebak berbatasan dengan Desa Purwosari. Sementara di timur, Desa Lebak berbatasan dengan Desa Grugu, dan di sebelah barat berbatasan dengan Desa Ngasinan. Kedua wilayah ini bisa diakses dengan menggunakan kendaraan bermotor sekitar 5 menit dari ibu kota kabupaten.

Perjuangan Reforma Agraria di Kawasan Hutan Resort Ngadisono, Wonosobo, Jawa Tengah

Tanah Untuk Penggarap

Peta Desa Ngadisono

Peta Desa Ngadisono

8Kondisi Sosial Ekonomi Hingga tahun 005, jumlah penduduk Desa Ngadisono mencapai 5.058 jiwa yang terdiri dari .6 kepala keluarga. Sementara itu, Desa Lebak memiliki jumlah penduduk yang jauh lebih sedikit yaitu .9 jiwa yang tergabung kedalam 6 kepala keluarga6. Mengingat lahan yang lebih sempit sementara penduduknya lebih banyak, maka kepadatan Desa Ngadisono lebih tinggi apabila dibandingkan dengan Desa Lebak. Demikian juga dengan tingkat mutasi penduduknya, Desa Ngadisono memiliki tingkat mutasi penduduk yang cukup tinggi bila dibandingkan dengan Desa Lebak. Hal ini disebabkan oleh tingginya jumlah masyarakat yang pergi dan keluar masuk desa guna mencari pekerjaan disektor lain, terutama untuk golongan penduduk berumur 5-9 tahunan. Oleh karenanya, kepemilikan lahan di Desa Ngadisono lebih sedikit dibandingkan dengan penduduk Desa Lebakterutama untuk sawah. Dari sisi pendidikan, sebagian besar penduduk di kedua desa telah menyelesaikan pendidikan di tingkat sekolah dasar. Pertanian masih menjadi sektor utama mata pencaharian masyarakat di kedua desa. Bedanya di Desa Ngadisono buruh taninya lebih banyak dibandingkan dengan Desa Lebak. Hal ini diakibatkan oleh perbedaan budaya dan karakter dari kedua desa terhadap sistem pertanian. Ngadisono dinilai memiliki karakter pertanian hutan yang lebih tinggi akibat dari karakter lahan dan tumbuhannya. Hal tersebut menyebabkan penduduk Ngadisono tertarik kedalam banyak sektor daripada berkonsentrasi di dunia pertanian. Komposisi mata pencaharian cukup

Perjuangan Reforma Agraria di Kawasan Hutan Resort Ngadisono, Wonosobo, Jawa Tengah

Tanah Untuk Penggarap

9

bervariasi mulai dari buruh tani, kuli bangunan, petani, pekerja sektor angkutan, pedagang, peternak, pengrajin, penggali batu dan PNS. Selain itu, jumlah TKI yang bekerja diluar negeri lebih banyak berasal dari Desa Ngadisono jika dibandingkan dengan TKI dari Desa Lebak. Hal ini pula yang menyebabkan karakter masyarakat Desa Ngadisono tampak lebih mudah dipenetrasi oleh kebudayaan luar. Penyebabnya tak lain dan tak bukan karena tingginya mobilitas dan interaksi dengan dunia luar jika dibandingkan dengan penduduk Desa Lebak. Sementara itu, masyarakat Desa Lebak dari dulu sudah dikenal sebagai masyarakat pertanian, terutama sawah. Ketika sumber mata air berkurang akibat penanaman pinus oleh Perhutani pada tahun 96, maka pada periode tahun 986 hingga tahun 90an banyak anggota masyarakat Lebak yang berhijrah untuk menjadi buruh perkebunan ke Sumatera dan lahannya dijual kepada penduduk Desa Ngadisono. Pada sekitar tahun 990-an, banyak penduduk Desa Lebak yang berhijrah kembali ke desanya. Pada saat itu, lahan di desanya sudah banyak dikuasai oleh penduduk Desa Ngadisono, namun karena karakter penduduk Desa Ngadisono yang tidak tertarik terhadap pertanian sawahselain itu karena alasan jarak yang cukup jauh, maka penduduk Ngadisono menjual kembali lahan sawah tersebut kepada penduduk Desa Lebak. Hal inilah yang menyebabkan struktur mata pencaharian masyarakat di kedua desa menjadi berbeda.

0Pertanian, Nilai Lokal dan Permasalahannya Kabupaten Wonosobo adalah kabupaten yang memiliki wilayah yang didominasi oleh pegunungan dan kawasan hutan. 5 desa (0 persen) di Wonosobo berada pada perbatasan langsung dengan kawasan hutan negara. Padahal jumlah penduduk Kabupaten Wonosobo 80 persen adalah petani, hal ini menunjukkan betapa dekatnya para petani dengan kehidupan hutan8. Petani memang merupakan profesi yang paling dekat dengan kehidupan hutan. Namun ironisnya banyak di antara mereka sama sekali tidak bisa menikmati hasil dari kekayaan hutan, petani justru mengalami ketakutan akan kekuatan birokrasi yang selama ini telah dilegalkan untuk mengurusi hutan disekitarnya. Begitu pula dengan yang terjadi dengan masyarakat yang berada disekitar Hutan Resort Ngadisono, KPH Kedu Selatan. Pertanian di kedua desa pada dasarnya merupakan tipe pertanian hutan. Hal ini tak lepas dari tipologi tanah dan ketersediaan sumber daya yang ada. Jika dilihat dari struktur penduduk dan penggunaan lahannya, sebagian besar dari penduduk di kedua desa ini jelas memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap sektor pertanian. Dalam konteks ini, lokasi yang cukup jauh dari sumber peradaban juga berpengaruh karena mensyaratkan kemampuan bertahan hidup yang tinggi. Produk pertanian dari kedua desa tidak terlalu jauh berbeda. Untuk tanaman pangan kedua desa

Perjuangan Reforma Agraria di Kawasan Hutan Resort Ngadisono, Wonosobo, Jawa Tengah

Tanah Untuk Penggarap

menghasilkan padibaik itu padi sawah ataupun padi gogodan juga jagung. Selain tanaman pangan pokok, produk lainnya yaitu berupa cabe, pisang, salak, cengkeh, kelapa, kopi, klembak, dan kapulaga. Untuk produk hasil peternakan rata-rata setiap petani memiliki ternak berupa kerbau, sapi, kambing, ayam, itik, entok, kelinci, dan angsa. Hasil pertanian dan peternakan ini menjadi sumber utama penghidupan bagi sebagian besar petani yang hidup di kedua desa. Dalam melakukan pertanian, baik masyarakat Desa Ngadisono dan Desa Lebak masih melakukan pertanian subsisten yang sesekali disisipi oleh pertanian komersial. Artinya, sebagian besar hasil pertaniannya dikonsumsi sendiri, dan apabila berlebih maka hasil pertaniannya akan dijual. Sistem pertanian biasanya dilakukan dengan sistem multicroppingyang artinya dalam satu luasan lahan terdapat berbagai jenis tanaman. Sebagian besar masyarakat masih menggunakan pupuk kandang sebagai asupan pokok dari tanamannya. Di antara kedua desa terdapat perbedaan dalam pola dan cara memandang pertanian. Di Desa Ngadisono, masyarakatnya lebih memilih untuk menjadi buruh tani daripada menjadi petani penggarap, meskipun mereka diberikan kesempatan untuk mengakses tanah. Orientasi pada uang cash (tunai) sangat nampak apabila dibandingkan dengan masyarakat di Desa Lebak. Terdapat falsafah Jawa yang mempengaruhi sistem pertanian di kedua desa ini. Falsafah tersebut

menyebutkan bahwa orang hidup yang paling utama adalah menanam, yang menengah berdagang, dan yang paling rendah menjadi buruh. Ini jelas berarti kemuliaan hidup berada di tangan petani. Namun demikian, semakin hari falsafah ini semakin memudarterutama di kalangan pemudakarena semakin tidak menjanjikannya sektor pertanian yang mereka pertahankan. Satu hal lagi, fenomena ini juga diakibatkan tidak berpihaknya berbagai kebijakan negara terhadap sektor yang menjadi mata pencaharian utama mereka. Hanya beberapa petani yang konsisten saja yang masih mempertahankan hidupnya melalui sektor pertaniandan akhirnya berjuang untuk melawan segala ketidakadilan yang ada. Banyak kendala yang menjadikan sektor pertanian tidak menjanjikan lagi. Beberapa kendala utama yang ada di antaranya: () Ketidakmampuan masyarakat tani dalam mengakses lahan, air, modal dan sumbersumber agraria lainnya seperti benih dan pupuk; () Kurangnya pemahaman dan pengetahuan teknis; () Adanya masalah lingkungan yang disebabkan oleh pengelolaan hutan oleh Perhutani; dan () Harga produk pertanian yang rendah. Masalah lain yang muncul adalah adanya ketidakadilan dalam hal akses terhadap sumber agraria. Ketidak adilan yang sampai saat ini terjadi di depan mata para petani adalah dalam hal penguasaan, pemilikan dan penggunaan tanah. Petani hanya memiliki ratarata luasan lahan kurang dari 0.5 hektar, sementara Perhutani mendominasi pengelolaan ribuan hektar kawasan hutan yang dulunya menjadi sumber

Perjuangan Reforma Agraria di Kawasan Hutan Resort Ngadisono, Wonosobo, Jawa Tengah

Tanah Untuk Penggarap

penghidupan mereka. Ditahun 006, persen penduduk Ngadisono bahkan tidak memiliki lahan sama sekali, dan sekitar 8 persen penduduknya hanya menguasai lahan kurang dari 0.5 hektar9. Setelah kedatangan Perhutani, petani hanya mampu menjadi buruh penyadap getah pinus. Sementara itu, kondisi hutan yang semakin rusak akibat ditanami pinus tidak mampu memberikan sumber penghidupan seperti masa-masa sebelumnya. Ketidakadilan semakin menjadi ketika terjadi penjarahan hutan oleh oknum Perhutani dan diikuti juga oleh sekelompok petani yang ikut-ikutan menjarah. Kehidupan petaniyang tidak memiliki tanah sama sekali dan sangat tergantung menjadi buruh penyadapmau tak mau jadi terancam. Represi dan cap petani sebagai penjarah hutan ini tentunya memperparah kondisi petani yang sebenarnya sudah cukup menderita. Hal inilah yang mendorong mereka untuk sepakat berkumpul, berjuang bersama, menyatukan kekuatan untuk menghapus segala ketidakadilan yang ada di depan mata mereka. Monokultur Hutan: Kemiskinan, Ketidakadilan dan Ketertindasan Kaum Tani Resort Ngadisono resmi dikelola oleh pihak Perhutani sejak tahun 96-an. Berdasarkan data dari Perhutani, ,Hutan Resort Ngadisono merupakan hutan yang dikelompokan kedalam kelompok perusahaan pinus. Areal total yang ditanami pinus adalah seluas 6.9.95 hektar atau sebesar .5 persen dari total keseluruhan Hutan Resort Ngadisono merupakan

hutan yang dikelompokkan ke dalam kelompok perusahaan pinus. Areal total yang ditanami pinus adalah seluas 6.9.95 hektar atau sebesar .5 persen dari total keseluruhan KPH Kedu Selatan0. Pada tahun 985 kawasan tersebut ditanami pinus yang memiliki umur tebang 0 tahun. Penanaman hutan pinus secara massal oleh pihak Perhutani dirasakan membawa banyak dampak negatif bagi lingkungan dan masyarakat desa. Meskipun secara pendapatan kasar, sebagian masyarakat desa ada yang bisa bekerja sebagai buruh sadap Perhutani. Sekitar 5 persen penduduk desa di sekitar hutan terlibat dalam proses penyadapan getah pinus tersebut. Pada awalnya, kedua desa yang berbatasan dengan Hutan Resort Ngadisono memiliki dukungan dan keselarasan dengan alam yang cukup baik. Kondisi hutan yang memiliki keanekaragaman hayati tinggi menyebabkan aliran air desa terjamin. Bahkan pada awal tahun 980-an, Desa Lebak sempat menjadi daerah penghasil pangan yang mampu menyuplai kebutuhan desa-desa disekitarnya. Namun sayang pada sekitar ahun 990-an, debit air berkurang drastis. Hal ini langsung berakibat pada tingginya konversi lahan sawah menjadi lahan tegalan. Kondisi ini membuat para petani segera hijrah untuk mencari sumber penghidupan yang lebih layak. Ada kaum tani yang pergi ke kota, ke daerah perkebunan sawit dan ada juga yang menjadi TKI. Pada tahun 990-an sebenarnya sudah terbukti bahwa pinus memiliki banyak dampak negatif baik itu terhadap

Perjuangan Reforma Agraria di Kawasan Hutan Resort Ngadisono, Wonosobo, Jawa Tengah

Tanah Untuk Penggarap

5

lingkungan, ekonomi, dan kesehatan penduduk. Dampak negatif tersebut diantaranya: Penanaman pinus secara monokultur telah berkontribusi terhadap wabah penyakit malaria dan flu. Selain itu, penanaman pinus ini juga menyebabkan kenaikan suhu dan pengurangan kadar air, sehingga berimbas langsung pada sektor pertanian dan peternakan. Sepuluh tahun setelah penanaman ternyata telah terbukti bahwa produksi pangan menurun akibat menurunnya ketersediaan air. Padahal seperti yang dipaparkan sebelumnya, petani bisa menanam jagung, ketela pohon, dan padi. Para petani di hutan negara hanya diberi kesempatan menanam tumpang sari di awal penanaman. Setelah kayu pohon tumbuh besar seperti pinus atau damar, petani sudah tidak boleh masuk hutan. Jika diperhitungkan, diperkirakan masyarakat hanya bisa mengakses kawasan tersebut terbatas untuk waktu tahun saja, dan selanjutnya setelah kayu tumbuh besar masyarakat malah tidak bisa menikmati hasilnya. Sesuai dengan masa tebangnya, seharusnya pinus yang ditanam oleh Perhutani baru bisa ditebang pada tahun 005. Namun pada kenyataannya, pada tahun 999 sudah banyak pohon pinus yang ditebang oleh para penjarah. Penjarah ini tak lain adalah oknum pegawai Perhutani sendiri dan juga sekelompok masyarakat di sekitar hutan yang latah meniru tingkah para oknum tersebut. Penjarahan ini tentunya menimbulkan letupanletupan kecemburuan dan ketegangan sosial antara

6masyarakat yang ikut menjarah dan masyarakat tani yang hanya bisa berdiam diri saja. Dampak lainnya cukup mengerikan: semakin tandusnya tanah dan kurangnya suplai air membahayakan pertanian dan peternakan di desa sekitar. Dan sementara itu, masyarakat yang tidak memiliki lahan pertanian dan hanya menggantungkan pendapatannya dari hasil menyadap semakin hari semakin kesulitan karena pohon pinus yang disadap semakin berkurang. Bagi para petani penyadap yang tidak memiliki lahan sama sekali, untuk memenuhi kebutuhan makan sehari dua kali saja untuk keseluruhan anggota pada saat itu sudah sangat sulit. Kondisi yang tidak jauh lebih baik dialami juga oleh para petani yang sudah memiliki sedikit lahan pertanian. Sebagai contoh, menurut Ismail, petani penggarap hutan dari Dusun Lebak, seorang petani yang memiliki sekitar 0.5 lahan hektar sawah saja masih kesulitan untuk menyekolahkan anaknya ke tingkat sekolah lanjutan. Hal ini disebabkan lahan tidak bisa berproduksi secara maksimal dikarenakan kurangnya supply air akibat penanaman pinus secara masif yang diakhiri dengan penjarahan dan penggundulan hutan. Pada waktu itu, dari luasan sekitar 0.5 hektar sawah hanya bisa menghasilkan kwintal gabah saja dalam tahun. Menanam padi dilakukan dalam waktu 6 bulan sementara sisanya lahan tersebut dipakai untuk menanam beberapa tanaman seperti kedelai, kacang panjang dan jagung dengan hasil yang sangat rendah. Hal ini dikarenakan oleh luasnya naungan

Perjuangan Reforma Agraria di Kawasan Hutan Resort Ngadisono, Wonosobo, Jawa Tengah

Tanah Untuk Penggarap

pohon pinus yang ditanam sampai batas yang berdekatan dengan lahan penduduk. Dalam hal pendidikan, kondisi pada masa 998-999 digambarkan sebagai masa yang jauh lebih buruk dari masa sekarang. Menurut Irwandi, petani penggarap kawasan hutan yang berasal dari Dusun Ngadiwongso, pada masa sebelum mendapatkan garapan di hutan banyak anakanak di dusun Ngadiwongso tidak mau pergi kesekolah. Hal ini adalah akibat dari masih banyaknya petani yang tidak mampu membelikan sepatu untuk anak-anaknya. Kondisi ini pulalah yang menyebabkan anak-anaknya enggan pergi kesekolah karena selain malu, mereka juga tidak memiliki uang yang cukup untuk membayar biaya sekolah dan uang saku untuk anak-anaknya. Hal lainnya juga diungkapkan oleh Tarno, petani berusia 50 tahun yang berasal dari Dusun Bodoran, Ngadisono. Menurutnya, kondisi kesehatan masyarakat sebelum mendapatkan izin penggarapan kawasan hutan sangat buruk. Selain kekurangan protein, mereka pun kekurangan bahan pangan. Bahan pangan yang ada hanya sekedar nasi leyek (nasi yang terbuat dari ketela, ed). Meskipun nasi leyek ini kaya akan karbohidrat namun sangat kurang akan kadar serat dan protein. Hal ini sedikit banyak berimplikasi pada kesehatan masyarakat secara keseluruhan. Selain itu, menurutnya masalah kesehatan petani sangat menyedihkan dengan hanya menggunakan obat jawa tradisional apabila petani atau keluarganya sakit. Mereka tidak berani membawanya ke puskesmas ataupun ke klinik karena kendala keuangan. Di lain pihak, penjarahan dan penggundulan hutan

8juga telah mengancam keselamatan hidup rakyat. Dengan semakin gundulnya hutan, longsor dan banjir jelas menjadi ancaman bencana bagi masyarakat tani yang tinggal disekitar hutan.

Perjuangan Reforma Agraria di Kawasan Hutan Resort Ngadisono, Wonosobo, Jawa Tengah

Tanah Untuk Penggarap

9

Derap Langkah Kaum Tani Dalam Penegakan Hak Atas TanahDalam perjuangannya, kaum tani bergerak sesuai mandat konstitusi yang telah menyuarakan prinsip Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyatdan satu lagi, prinsip tanah untuk penggarap (land to the tiller). Dalam kasus pertanian hutan di Wonosobo ini, dapat diidentifikasi tiga tingkatan perjuangan yang dilakukan oleh kaum tani dalam menegakkan hak atas tanah. Pertama, perjuangan di tingkat basis yakni berupa pengorganisasian dan penguatan organisasi, kedua berupa konsolidasi jaringan pendukung, dan ketiga ditingkat elit berupa lobi politik dalam masalah hukum dan kebijakan. Ketiga level perjuangan tersebut masing-masing memiliki output yang berbeda. Pada tingkatan basis yang menjadi outputnya adalah kepemilikan lahan yang diperoleh dari pendudukan (okupasi/ reklaiming). Level kedua outputnya berupa solidaritas organisasi lain yang berjaringan dan bekerja sama dengan kaum tani. Sedangkan untuk level ketiga, output perjuangan berupa legal drafting (tuntutan hukum secara tertulis) kepada negara ataupun upaya-upaya menuju ke arah tersebut.

0Pengorganisasian Kaum Tani Ngadisono Telah dipaparkan sebelumnya bahwa pengelolaan hutan yang tidak memperhatikan dampak ekonomi, sosial dan budaya masyarakat setempat telah berakibat pada kesenjangan dan ketegangan sosial. Kondisi ini semakin nyata ketika pada tahun 998 dan 999 terjadi penjarahan hutan besar-besaran di depan mata kepala petani sendiri. Banyak yang menengarai fenomena ini sebagai buntut dari euphoria reformasi yang diterjemahkan rakyat menjadi tindakan anarkis. Kesenjangan dan ketegangan sosial akibat penjarahan tersebut telah membawa kesengsaraan bagi kaum lemah dan terpinggirkan. Sehingga ketika tanaman kayu di hutan dalam kondisi kritis, situasi ini akhirnya mulai dimanfaatkan oleh kaum tani di sekitar hutan dengan menanam beberapa jenis bahan makanan pokok. Inisiasi memperjuangkan penggarapan kawasan hutan oleh masyarakat muncul pertama kali ketika salah satu petani melihat penderitaan rakyat desa yang begitu nyata. Suatu pagi di tahun 999, M. Manzur, seorang petani dan tokoh masyarakat Desa Ngadisono menemukan seorang nenek sedang menangis tepat di kawasan hutan yang baru dijarah pada malam harinya. Nenek tersebut biasa menyadap pinus di kawasan hutan yang baru saja dijarah. Ia merasa kebingungan untuk mencari sumber penghidupanbahkan cuma untuk mencukupi makan! Peristiwa ini mendorong M. Manzur dan segelintir penyadap getah pinus yang tidak memiliki garapan berinisiatif untuk menggarap kawasan hutan yang sudah amblas dijarah.

Perjuangan Reforma Agraria di Kawasan Hutan Resort Ngadisono, Wonosobo, Jawa Tengah

Tanah Untuk Penggarap

Untuk bertahan hidup dan untuk mencegah bencana longsor serta banjir, beberapa orang petani penyadap menanam tanaman pangan di kawasan hutan pinus yang sudah dijarah tersebut. Namun baru sekitar sebulan petani bertani serta menanam beberapa tanaman pangan seperti jagung, petugas Perhutani langsung melakukan penangkapan terhadap petani. Penggarapan kawasan hutan yang sudah gundul tersebut dianggap sebagai penjarahan tanah negara karena belum mendapatkan ijin. Kaum tani kemudian melakukan identifikasi batas wilayah administrasi dan penggunaan lahan permukiman, sawah, hutan negara, hutan rakyat, perkebunan serta penggunaan lahan untuk jalan dan infrastruktur. Selain itu dilakukan pula pengukuran dan identifikasi kondisi lereng, jenis tanaman, upaya konservasi, pengelolaan dan status tanah. Hal ini dilakukan selain sebagai bekal dalam pendudukan, juga dipakai sebagai rekomendasi kepada Pemerintah Daerah untuk penyusunan peraturan daerah tentang pengelolaan hutan berbasiskan masyarakat. Pendudukan terus dilakukan meskipun terjadi penangkapan dan represi dari pihak Perhutani. Terjadinya penangkapan justru membuat kaum tani menjadi lebih bersatu dan berkeinginan kuat untuk merebut hakhaknya. Hal ini dijadikan kesempatan oleh para pemimpin kaum tani waktu itu untuk mengorganisasikan petani yang berasal dari 5 desa yaitu Desa Grugu, Purwosari, Ngadisono, Lebak dan Ngalian. Adapun pengorganisasian ditujukan untuk menyemangati para petani dalam melakukan pendudukan kawasan hutan.

Pengorganisasian juga dilakukan untuk meyakinkan kaum tani bahwa mengelola kawasan hutan adalah salah satu upaya menegakkan hak-hak mereka. Untuk selanjutnya, kaum tani melakukan kesepakatan untuk membuat petisi penuntutan hak penggarapan kawasan hutan millik Perhutani. Petisi yang diajukan akhirnya ditandatangani oleh sekitar 000 petani yang berhasil diorganisasikan. Jumlah pendudukan semakin meluas seiring dengan lobi politik dan konsolidasi jaringan yang dilakukan oleh pimpinan kaum tani. M. Manzur sebagai salah satu tokoh kunci kemudian membentuk dan mengkoordinasikan pengorganisasian kaum tani dengan orang petani yang berasal dari 5 desa tersebut. Selain pertemuan-pertemuan rutin yang dilakukan untuk mengkonsolidasikan massa tani, dilakukan juga pengorganisasian untuk melakukan aksi-aksi massa di depan DPRD Kabupaten Wonosobo. Kaum tani telah mengorganisasikan beberapa protes dan aksi yang dilakukan dalam menuntut pemberian hak pengelolaan kawasan hutan. Kaum tani juga menuntut pelaksanaan Peraturan Daerah yang telah diusulkan sebagai alternatif oleh kaum tani. Aksi massa terbesar yang pernah dilakukan diikuti oleh sekitar 0.000 massa petani dari seluruh Kabupaten Wonosobo. Kerja-kerja pengorganisasian kaum tani akhirnya bermuara pada terbentuknya OTL Desa Ngadisono yang kemudian berubah menjadi OTL Mandiri. OTL ini lahir seiring dengan keberhasilan perjuangan kaum tani dalam mendapatkan hak garap di kawasan hutan.

Perjuangan Reforma Agraria di Kawasan Hutan Resort Ngadisono, Wonosobo, Jawa Tengah

Tanah Untuk Penggarap

OTL Mandiri OTL Mandiri merupakan salah satu OTL anggota yang berada dalam naungan SEPKUBA di tingkat kabupaten. Di tingkat propinsi, OTL ini adalah bagian dari SP Jateng. Di tingkat nasional, payung organisasi perjuangan petaninya adalah FSPI. Dan tentu saja, otomatis merupakan anggota Gerakan Petani Internasional, La Via Campesina. OTL Mandiri merupakan bentuk formal dari perjuangan kaum tani Desa Ngadisono setelah keberhasilan mereka dalam mendapatkan ijin penggarapan kawasan hutan seluas 88 hektar di Hutan Resort Ngadisono pada tanggal 9 Mei 00. Perjuangan kaum tani merupakan perjuangan yang sangat berat yang telah diinisiasi semenjak tahun 998. Dengan diberikannya izin penggarapan kawasan hutan tersebut, masyarakat tani telah berhasil mewujudkan langkah awal bagi perjuangan reforma agraria sejati. Langkah selanjutnya diambil dengan memformalkan perjuangan bersama sebagai suatu usaha kolektif untuk melindungi dan menjaga posisi petani secara politis. Untuk itu pada 5 Juni 00, didirikanlah Kelompok Tani Desa Ngadisono di Dukuh Pasuruan yang dihadiri oleh 0 orang petani. Struktur organisasi yang tercipta waktu itu masih sederhana dan hanya terdiri dari ketua, sekretaris dan bendahara. Setelah mendapatkan izin penggarapan hutan bersama Perhutani seluas 88 hektar tersebut, petani masih belum mendapatkan kejelasan mengenai hak, kewajiban,

teknis pengelolaan dan sistem pembagian hasilnya. Untuk itu, Kelompok Tani Desa Ngadisono mengajukan dan menuntut kejelasan tersebut. Dalam kerangka perjuangan mewujudkan reforma agraria sejati, Kelompok Tani Desa Ngadisono melakukan peleburan dengan para petani anggota KTH hasil bentukan Perhutani. Hal ini dimaksudkan untuk memperkuat barisan perjuangan dan memperbanyak anggota. Pada 9 Agustus 00 lahirlah OTL Mandiri yang kemudian pada perjalanan selanjutnya menjadi anggota SEPKUBA. Perkenalan dengan SEPKUBA yang merupakan salah satu angota SP Jateng sebenarnya sudah dimulai ketika petani melakukan lobi politik untuk mendapatkan izin garapan di kawasan hutan yang dikelola Perhutani sejak tahun 000. Dalam konteks organisasional, tujuan pembentukan OTL adalah untuk mengembangkan dan meningkatkan perekonomian masyarakat petani desa. Peningkatan perekonomian ini dilakukan melalui pembinaan dan pengembangan OTL Mandiri dalam bidang pertanian, peternakan, perkebunan dan industri kecil maupun dalam pengembangan kerajinan rakyat. Dalam menjalankan organisasi, OTL membentuk kepengurusan yang periode masa kepengurusannya selama 0 tahun. Jabatan tersebut dapat diberhentikan sebelum masa akhir jabatan sesuai dengan musyawarah anggota. Dalam masa akhir jabatan, pengurus

Perjuangan Reforma Agraria di Kawasan Hutan Resort Ngadisono, Wonosobo, Jawa Tengah

Tanah Untuk Penggarap

5

OTL wajib mempertanggungjawabkan kerja-kerja organisasi di hadapan musyawarah anggota. Untuk mempermudah koordinasi di tingkat akar rumput (grassroot), maka dibentuklah anak OTL yang dibagi menurut wilayahnya seperti OTL Setia Wana Asri, OTL Sari Manggis, OTL Puncak Sari, OTL Duren Sari, OTL Supitan, dan OTL Aditya Wana Asih. Hingga saat ini terdapat sekitar 600 KK petani yang menjadi anggota OTL Mandiri. Anggota OTL Mandiri ini tersebar di beberapa desa yaitu Desa Ngadisono, Grugu, Purwosari, Lebak dan Ngalian. Hingga saat ini OTL Mandiri memiliki anggota sekitar 600 KK dengan jumlah anggota lebih dari 000 petani.

Pada mulanya, OTL dibentuk sebagai implementasi dari perjuangan ekonomi yang bertujuan untuk memantapkan swadaya kelompok sehingga mampu menjadi pusat pelayanan kegiatan petani (dan akhirnya diharapkan bisa meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan petani). Namun pada perkembangannya, organisasi juga turut menjadi wadah yang memiliki fungsi penyuluhan dan pendidikan di bidang teknis pertanian, perdagangan, pengolahan pascapanen serta pemasaran produk pertanian, khususnya produk pangan. Hal ini selaras dengan perjuangan petani di tingkat nasional ataupun internasional yang dalam pelaksanaannya berawal dari perjuangan ekonomi yang menginginkan adanya perombakan, pemulihan

6dan penataan model pembangunan ekonomi-politik secara umum serta kebijakan agraria dan turunannya: kebijakan pertanian yang lebih sektoral. Berangkat dari perjuangan ekonomi-politik tersebut, perjuangan petani bertranformasi menjadi perjuangan politis yang bertumpu pada realitas ketidakadilan yang selalu dihadapi kaum tani. Selanjutnya, cita-cita dan prinsip perjuangan akan bermuara pada perwujudan budaya rakyat sehari-hari yang berkeadilan sosial. Pengorganisiran Massa Tani : . . . 4. 5. 6. . Pendudukan lahan Pertemuan rutin Pendidikan dan penyadaran petani Pemetaan dan identifikasi wilayah Pengorganisasian petisi Pengorganisasian Aksi Pembentukan OTLJembatan Perjuangan dengan Penguatan Jaringan

Perjuangan kaum tani bukanlah suatu hal yang mudah dan tanpa tantangan. Posisi kaum tani yang lemah menjadi salah satu syarat perlunya berjaringan dalam perjuangan. Dalam perjuangan kaum tani di Hutan Resort Ngadisono, penguatan jaringan difokuskan pada dua lapisan, yaitu lapisan vertikal dan lapisan horizontal. Pada lapisan vertikal, OTL memperkuat posisi politis dan legalnya melalui peneguhan keanggotaannya sebagai bagian dari perjuangan tani regional, nasional dan bahkan internasional. Sementara itu, dalam lapisan horizontal penguatan jaringan dilakukan dengan

Perjuangan Reforma Agraria di Kawasan Hutan Resort Ngadisono, Wonosobo, Jawa Tengah

Tanah Untuk Penggarap

mengkonsolidasikan visi, misi, strategi dan tujuan perjuangan OTL kepada NGO yang memiliki visi dan misi yang serupa. Dalam implementasinya, kerja perjuangan petani lebih dulu dilakukan melalui penguatan jaringan lapisan horizontal. Melalui kerja sama dan aliansi dengan beberapa NGO seperti Arupa, Ko Ling, JKPM maupun SEPKUBA (yang pada akhirnya pola hubungannya berubah menjadi penguatan jaringan lapisan vertikal), kaum tani mendesakkan berbagai tuntutannya kepada para pembuat kebijakan. Jaringan dan lobi dilakukan baik dengan para pengambil kebijakan seperti Pemerintah Daerah dan DPRD dan juga dengan musuh-musuh perjuangan. Hal ini dimaksudkan untuk mempermudah kerjakerja perjuangan dan sekaligus menjalankan kerjakerja taktis maupun strategis. Kuatnya jaringan yang telah dibentuk oleh OTL Mandiri akhirnya membuahkan kerjasama yang kompak di lapisan horizontal antara kaum tani dengan beberapa pihak NGO (Arupa, Bina Desa, JKPM dan KPML) yang mampu memberikan bantuan advokasi dan pendidikan. Selain itu, kontribusi lain yang diberikan oleh para petani bersama dengan pihak pemerintah, NGO, Perhutani dan akademisi antara lain melalui FHW (Forum Hutan Wonosobo) yang dibentuk sebagai suatu lembaga yang mengawasi dan mengatur mekanisme sistem pengelolaan kawasan hutan bersama masyarakat. Unsur lain yang juga perlu digarisbawahi di sini adalah adanya kedekatan kaum tani dengan para pemimpin Perhutani. Hal ini sangat signifikan menyangkut hal

8lobi politik dan meningkatkan posisi tawar petani dalam rangka mewujudkan cita-cita perjuangannya. Pada perkembangannya, seiring dengan terbentuknya organisasi tani, maka sesaat setelah pembentukan OTL pada Agustus 00, kaum tani langsung tak membuang waktu untuk mendeklarasikan dirinya sebagai bagian dari perjuangan petani di tingkat Kabupaten, SEPKUBA, yang sudah berdiri sejak 8 September 000. Secara otomatis, OTL Mandiri menjadi basis dari SP Jateng yang notabene adalah anggota FSPI. Perjuangan dari OTL mandiri juga merupakan bagian perjuangan dari pergerakan petani tingkat internasional yang tergabung dalam La Via Campesina. Implementasi dari penguatan jaraingan lapis vertikal ini juga merupakan salah satu sukses perjuangan kaum tani Ngadisono yang terus bisa dijaga dan terus dikembangkan.

Penguatan Jaringan : . . Penguatan jaringan lapisan horizontal Penguatan jaringan lapisan vertikal: Menjadi anggota SEPKUBA; SP Jateng; FSPI; La Via Campesina

Perjuangan Reforma Agraria di Kawasan Hutan Resort Ngadisono, Wonosobo, Jawa Tengah

Tanah Untuk Penggarap

9

Negosiasi Politik: Hak Garap dan PSDHBM, PHBM, serta PSDHLT yang membingungkan Gerakan pendudukan dan pengorganisasian massa tani ternyata mengakibatkan teror pada segelintir pemimpin tani. Mengingat kondisi yang membahayakan kaum tani, maka dalam perjuangannya petani cenderung memilih jalan diplomatis dibanding jalan yang radikal. Namun demikian, pada kenyataan di lapangan masih terjadi penggarapan kawasan hutan oleh petani yang luasannya makin meningkat. Melalui proses pembentukan Peraturan Daerah yang mengatur pemberian hak garap kawasan hutan oleh masyarakat, kaum tani Ngadisono memperjuangkan hak dalam mengakses tanah di kawasan hutan Perhutani. Untuk mengawal pembentukan embrio Peraturan Daerah yang akan mengijinkan pengelolaan kawasan hutan oleh masyarakat, maka pada tanggal 9 Agustus 000, melalui salah seorang wakilnya yaitu M. Manzur, petani menghadap ke KPPN Kabupaten Kebumen untuk meminta ijin pengolahan kawasan hutan lebih awal. Petani kemudian bersepakat untuk mendesak pihak Perhutani untuk memberikan izin penggarapan kawasan hutan di Hutan Resort Ngadisono. Dalam proses teknisnya kaum tani membentuk satu tim kecil yang terdiri dari orang yang mewakili 5 desa. Dalam perjuangannya, tim kecil ini mengupayakan suatu perjuangan reforma agraria sejati secara bertahap yaitu dengan pembuktian bahwa penggarapan kawasan hutan oleh petani bukan merupakan pilihan yang salah dalam melestarikan

0hutan dan mengurangi tingkat kemiskinan. Klaim utama yang diajukan untuk perolehan akses tanah tersebut adalah mengenai hak warga negara dalam menguasai bumi, air dan kekayaan yang ada didalamnya. Hal tersebut sesuai dengan bunyi pasal ayat UUD 95 dan sila kelima Pancasila. Selanjutnya petani menekankan bahwa dalam pengelolaan hutan secara lestari adalah sepenuhnya menjadi kemampuan mereka sendiri. Hal ini terbukti dari lebih bertahannya hutan rakyat dibandingkan dengan hutan negara. Hal ini karena secara psikologis rakyat merasa memiliki sehingga memunculkan keinginan untuk memelihara dan merawat hutan tersebut. Hal ini kontras dengan praktek yang secara psikologis tidak merasa memiliki hutan tersebut, karena hanya mengeksploitasi hutan untuk diambil hasilnya demi laba semata. Akhirnya proses yang terjadi malah merusak hutan itu sendiri. Perjuangan masyarakat petani pun tidak serta merta mendapatkan berhasil. Setelah melakukan dialog dengan pihak administrator Perhutani, ternyata apa yang diajukan oleh petani sama sekali tidak mendapat tanggapan. Langkah selanjutnya yang diambil petani adalah dengan mendesak DPRD untuk membantu proses negosiasi dengan pihak Perhutani. Atas desakan petani, DPRD memerintahkan Perhutani untuk bersikap kooperatif dengan petani yang pada waktu itu sudah berjaringan dengan SEPKUBA dan JKPM. Pada akhirnya, Perhutani mau bernegosiasi dengan pihak petani atas tekanan DPRD tersebut. Negosiasi ini juga dimaksudkan sebagai sebuah

Perjuangan Reforma Agraria di Kawasan Hutan Resort Ngadisono, Wonosobo, Jawa Tengah

Tanah Untuk Penggarap

upaya yang dilakukan oleh inisiator pembentukan sistem pengelolaan hutan oleh Pemerintah Daerah bukan oleh Perhutanibersama masyarakat atau yang dikenal dengan PSDHBM (Pengelolaan Sumber Daya Hutan Bersama dengan Masyarakat). Sistem PSDHBM ini pada awalnya dimulai oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Wonosobo bersama kalangan akademisi, NGO serta masyarakat desa hutan dan juga pelaku bisnis kehutanan. Lahirnya ide ini dilatarbelakangi oleh ketidakmampuan Perhutani dalam mengelola hutan dengan memperhatikan perspektif lingkungan, ekonomi dan sosial-budaya masyarakat yang berbatasan dengan kawasan hutan. Seluruh bahan dan rencana pengelolaan sumber daya hutan berbasiskan masyarakat ini sudah mulai dikonsolidasikan dari November 999 hingga tahun 000. Hanya pihak Perhutani saja yang masih belum menunjukkan itikad baik sehingga kesannya proses ini selalu tertunda terus. Negosiasi dengan kaum tani Desa Ngadisono akhirnya dilakukan pada 9 Mei 00, ketika petani sudah secara cukup luas menempati kawasan Hutan Resort Ngadisono. Dalam negosiasi tersebut dihasilkan kesepakatan penggarapan kawasan hutan oleh petani seluas 88 hektar. Luasan ini merupakan kawasan Hutan Resort Ngadisono yang berada dibawah pengelolaan Perhutani resort Kedu Selatan. Dalam negosiasi ini disepakati bahwa Perhutani akan menanami kawasan hutan yang tadinya sudah ditanami pinus (selanjutnya sebagian besar diganti jati) dan petani diperbolehkan untuk

melakukan pertanian tumpang sari diatas kawasan tersebut. Hal ini bisa dilakukan dengan syarat petani harus menjaga dan membantu upaya pelestarian hutan. Jati yang selanjutnya ditanam oleh Perhutani sebanyak 60 persen dari luas total kawasan hutan, sementara sisanya masih tetap ditanami pinus. Dalam negosiasi ini tidak ditentukan secara detail hak dan kewajiban petani, dan juga berapa lama ketentuan ini berlaku. Namun demikian, banyak masyarakat di Kabupaten Wonosobo yang melihat kesepakatan ini merupakan suatu keberhasilan dalam perjuangan rakyat tani. Setelah perijinan penggarapan kawasan hutan diterima, kaum tani Desa Ngadisono kemudian melakukan pembagian pengelolaan kawasan hutan dengan sistem undian. Masing-masing anggota mendapatkan rata-rata x 00 meter persegi. Perkembangan berikutnya semakin memberikan angin segar kepada kaum tani. Pada tanggal 0 Oktober 00, Peraturan Daerah No. Tahun 00 tentang PSDHBM disahkan. Peraturan Daerah ini merupakan kerja keras dari petani yang mendesakkan penghentian pengelolaan hutan oleh Perhutani. Namun demikian, terjadi perubahan situasi politik dan pertentangan birokrasi dalam pelaksanaan PSDHBM. Hal ini berakibat pada stagnanasi implementasi PSDHBM di lapangan. Oleh karenanya, petani terus memperjuangkan pelaksanaan Peraturan Daerah No. Tahun 00 tentang PSDHBM baik secara praksisaksi-aksi langsungmaupun cara-cara diplomasi. Secara diplomatis, melalui SEPKUBA muncul solidaritas antarpetani, juga kajian dan

Perjuangan Reforma Agraria di Kawasan Hutan Resort Ngadisono, Wonosobo, Jawa Tengah

Tanah Untuk Penggarap

kampanye mengenai pengguliran rencana PSDHBM dengan dukungan Pemerintah Daerah. Kemudian dengan aksi-aksi langsung, petani bertahan di kawasan hutan dan memperkuat barisan melalui pembentukan OTL Desa Ngadisono pada 5 Juni 00. Hingga Agustus 00 petani masih merasa kebingungan mengenai pola pengelolaan hutan mana yang legal dan mana yang tidak. Masih terdapat ketidakjelasan antara program yang diinisiasi oleh Pemerintah Daerah dengan program yang diinisiasi oleh Perhutani. Akhirnya pada akhir Agustus 00 diadakan pertemuan multipihak guna menentukan langkah ke depannya. Dalam perjalanannya, 0 desa lainnya di Wonosobo akhirnya ikut menuntut adanya pemberian hak akses kawasan hutan untuk petani seperti yang terjadi di Ngadisono. Namun, PSDHBM yang sudah diperkuat dengan Peraturan Daerah tak juga kunjung dilaksanakan. Malah Perhutani mengadakan program tandingan serupa yang pengelolaannya tidak melibatkan Pemerintah Daerah, dan keukeuh menjadikan dirinya sendiri sebagai pengelola utama. Nama program Perhutani ini dikenal dengan istilah PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat). Kaum tani yang berasal dari 0 desa di Wonosobo menolak skema yang ditawarkan oleh Perhutani dan bertekad tetap mendukung diberlakukannya Perda tentang PSDHBM. Setelah pada tanggal 8 Januari 00 dilakukan konsolidasi kaum tani di Ngadisono, maka selanjutnya dalam waktu dekat kaum tani kembali melakukan konsolidasi di Gedung Sanggar

Kegiatan Belajar, Wonosobo. Hadir pada waktu itu NGO Arupa sebagai fasilitator. Hasil dari pertemuan ini menyetujui bahwa apa yang telah dilakukan oleh OTL Mandiri Ngadisono yakni () Pembentukan kelompok; () Penandatanganan kesepakatan dengan Perhutani; sampai pada () Perencanaan tanam dan penataan kawasan hutan tanpa diintervensi oleh Perhutani; harus segera dilakukan dan didesakkan kepada pemerintah dan harus pula disetujui oleh pihak Perhutani. Kaum tani berulang kali membanjiri kantor DPRD Kabupaten Wonosobo untuk menyampaikan dukungannya terhadap rencana implementasi PSDHBM baik dengan cara dialog, demonstrasi, dan dengan melayangkan surat pernyataan sebagai tanda dukungan. Seperti yang telah dipaparkan, protes terbesar diikuti oleh sekitar 0.000 petani dari seluruh Wonosobo. Proses yang berlarut-larut ini, mendorong dari kekuatan yang bersifat dukungan berubah menjadi desakan yang datang silih berganti, seperti halnya beberapa kelompok-kelompok masyarakat dari desadesa dari berbagai kecamatan seperti Desa Gunung Tugel di Kecamatan Leksono, Desa Bogoran di Kecamatan Wonosobo, Desa Jangkrikan di Kecamatan Kepil, Desa Kreo, Tieng dan Tambi di Kecamatan Kejajar, Desa Ngadisono di Kecamatan Kaliwiro, Desa Ngalian di Kecamatan Wadaslintang dan berbagai desa lainnya terutama desa-desa di sekitar kawasan hutan kembali melakukan aksi unjuk rasa. Perjuangan kaum tani tak berhenti di situ. Dalam

Perjuangan Reforma Agraria di Kawasan Hutan Resort Ngadisono, Wonosobo, Jawa Tengah

Tanah Untuk Penggarap

5

perkembangannya datang masalah lain, yaitu ketidakrelaan Perhutani melepaskan perannya dalam penguasaan hutan. Dengan kekuatannya Perhutani disinyalir telah mempengaruhi proses pembekuan Peraturan Daerah tentang PSDHBM ini. Hal ini bisa dimaklumi karena dalam PSDHBM ini peran Perhutani dikebiri dengan adanya konsentrasi penggarapan kawasan hutan oleh Pemerintah Daerah di bawah Dinas Kehutanan. Secara legal Peraturan Daerah ini tidak diakui oleh negara dan selanjutnya dibekukan oleh Kementrian Dalam Negeri, dengan alasan berbenturan dengan UU No. Tahun 999 yang menyebutkan kewenangan Perhutani dalam pengelolaan kawasan hutan di Jawa. Kesepakatan pengelolaan hutan antara Pemerintah Daerah dan Perhutani tidak kunjung tercapai, tidak PSDHBM (yang diprakarsai oleh Pemda dan didukung rakyat) dan tidak pula PHBM (diprakarsai oleh Perhutani sendiri). Sementara itu, untuk memperkuat barisan dan memperkuat kekuatan petani dalam memperjuangkan hak-haknya, Kelompok Petani Desa Ngadisono melakukan peleburan dengan OTL Hutan yang secara sejarah dibentuk oleh Perhutani. 6 OTL Hutan akhirnya bergabung dan melebur dengan OTL Ngadisono membentuk OTL Mandiri yang secara resmi didirikan dengan penandatangan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga pada tanggal 9 Agustus 00.

6

FOTO Pertemuan dengan staff FSPI, SP Jateng dan Sepkuba

Berbagai kegiatan advokasi, pengorganisasian, dan pendidikan dilakukan di tengah ketidakpastian kesepakatan pengelolaan hutan. Namun, kaum tani anggota OTL Mandiri terus berjuang untuk menduduki kawasan hutan yang dikelola Perhutani secara parsial. Perjuangan kaum tani bahkan sempat mengakibatkan teror dan intimidasi terhadap salah satu pimpinan kelompok, M. Manzur. Saat yang dinanti-nanti akhirnya tiba. Perjuangan panjang kaum tani akhirnya berbuah pada tanggal 8 Agustus 00. Pada tanggal tersebut tercapai kesepakatan kembali antara OTL Mandiri dengan Perhutani mengenai penggarapan kawasan hutan bersama dikawasan Blok C yang memberi ruang kepada petani. Dalam perjalanannya, skema yang diberlakukan di Blok C ini selanjutnya menjadi model pengembangan PSDHLT (Pengelolaan Sumber Daya Hutan Lestari dan Terpadu). PSDHLT disepakati pada

Perjuangan Reforma Agraria di Kawasan Hutan Resort Ngadisono, Wonosobo, Jawa Tengah

Tanah Untuk Penggarap

Oktober 006 namun mekanismenya secara teknis masih belum terbentuk secara rinci hingga saat ini. PSDHLT ini dirumuskan oleh FHW, yang menyebutkan bahwa sistem pembagian keuntungan diatur oleh masyarakat, Pemerintah Daerah dan Perhutani melalui Forum Hutan Desa. FHW adalah kelompok kerja lintas sektoral di tingkat kabupaten dengan misi menempatkan sektor kehutanan sebagai core (inti) pembangunan dalam rangka menyelamatkan lingkungan, pengembangan ekonomi, dan kehidupan sosial MDH (Masyarakat Desa Hutan). FHW terdiri dari unsur Pemerintah Daerah, DPRD, tokoh masyarakat, Perhutani dan NGO. Forum ini sendiri terbentuk pada tahun 005. Tujuan didirikannya forum ini adalah untuk menyelesaikan dan merumuskan bagaimana sistem terbaik yang harus dilakukan dalam pengelolaan kawasan hutan di Wonosobo. Secara struktural, kerja dari FHW ini diimplementasikan oleh Forum Hutan Wilayah di tingkat kecamatan dan di bawahnya ada Forum Hutan Desa. Negosiasi Politik: . Pengajuan hasil pemetaan partisipatif . Pengawalan dalam pembuatan Peraturan Daerah . Penyusunan draft tuntutan dan argumen . Negosiasi perolehan hak garap 5. Dialog, aksi demonstrasi, dan deklarasi tuntutan 6. Negosiasi mekanisme hak garap

8Penataan Produksi Pasca Perolehan Hak Garap Blok C merupakan kawasan hutan yang dulunya ditanami pinus, yang kira-kira luasnya 5 hektar. Dalam kesepakatan pengelolaan, sekitar 600 keluarga petani diberikan hak menggarap kawasan hutan selama 50 tahun dengan masing-masing keluarga tani mendapatkan .00 meter persegidan kaum tani diberikan kebebasan untuk memilih jenis komoditas yang ditanam. Setelah melalui pembicaraan bersama, akhirnya petani sepakat untuk menanam kayu albasia dengan umur tebang 6-8 tahun. Jarak tanam yang disepakati adalah 6 X meter, dimana di antara dua pohon albasia milik petani ditanami pohon mahoni milik Perhutani.

Foto Penanaman pertama Albasia di Blok C bertepatan dengan ulang tahun FSPI yang ke-5

Selain menanam albasia, petani berhak untuk menanami sela-sela yang kosong dengan tanaman palawija seperti jagung, ketela, ubi, pisang, nanas, dan salak. Namun seiring berjalannya waktu, sistem

Perjuangan Reforma Agraria di Kawasan Hutan Resort Ngadisono, Wonosobo, Jawa Tengah

Tanah Untuk Penggarap

9

bagi hasil ini ternyata masih belum disepakati secara hitam diatas putih. Terdapat beberapa inisiasi yang masih belum disepakati, yakni yang terkait dengan masih digodoknya kesepakatan-kesepakatan yang akan dikeluarkan pada peluncuran PSDHLT. Lebih jauhnya, dalam implemetasi penggarapan kawasan hutan oleh OTL Mandiri di Blok C hingga saat ini masih belum mendapatkan kejelasan. Kesepakatan di tingkat desa belum tercapai dengan alasan hasil dari pengelolaan hutan masih belum bisa diperhitungkan mengingat tingkat pembagian hasil akan diperhitungkan sesuai dengan tingkat pengeluaran dari masing-masing pihak. Oleh karena itu, perhitungan hanya akan dilakukan ketika kayu sudah mencukupi umur tebang. Tak pelak, hal ini dirasakan cukup merugikan masyarakat setempat. Meskipun belum tercapai kesepakatan, muncul usul pembagian hasil belakangan ini. Perinciannya adalah pembagian 5 : 5 untuk tiap tanaman utama yang ditanam. Misalkan untuk albasia yang ditanam oleh kaum tani, 5 persen pendapatan diberikan kepada petani dan 5 persennya untuk Perhutani. Sementara itu, untuk mahoni yang ditanam pihak Perhutani, 5 persen diberikan kepada Perhutani dan 5 persen untuk petani.

0

Foto Blok C saat ini ditanami tanaman Albasia dan tumpang sari

Dengan melihat kronologis dan hasil yang dicapai oleh OTL Mandiri tersebut maka kita dapat mengetahui bahwa perjuangan panjang petani masih belum berakhir. Adapun keberhasilan diplomatis yang telah dilakukan merupakan langkah awal bagi petani untuk mewujudkan cita-cita reforma agraria sejati, yaitu tanah dan sumber agraria untuk petani. Perjuangan diplomatis saat ini tengah mengalami ancaman terutama dalam penentuan skema teknis PSDHLT yang sistem pembagiannya dilakukan berdasarkan jumlah kepemilikan modal. Perjuangan masih terus dilakukan, salah satunya dibuktikan dengan majunya kaum tani Ngadisono menuntut implementasi reforma agraria sejati dari pemerintah. Hal ini dibuktikan pada aksi yang yang diikuti kaum tani Ngadisono bersama puluhan ribu petani se-Jawa Tengah pada tanggal 8 Juli 00 lalu di Semarang.

Perjuangan Reforma Agraria di Kawasan Hutan Resort Ngadisono, Wonosobo, Jawa Tengah

Tanah Untuk Penggarap

Foto Aksi petani di Semarang, 8 Juli 00

Petani adalah subjek yang sangat dekat dengan alam, sehingga ketika alam dikelola oleh petani, maka kelestarian alam bisa lebih terjamin pada praktek-prakteknya. Apa yang telah dicapai saat ini seharusnya bisa memacu semangat petani untuk terus berjuang untuk mendapatkan haknya. Selagi terus berjuang, petani harus membuktikan bahwa di tangan petani, alam akan lestari, kesejahteraan akan tercapai dan tatanan hidup akan tertata baik secara ekonomi, sosial dan politis melalui mode produksi yang mengutamakan prinsip keadilan dan keberlanjutan.

Buah PerjuanganPerjuangan OTL Mandiri hingga saat ini jelas masih jauh dari kata tuntas. Meskipun demikian, apa yang telah berhasil diperjuangkan dewasa ini menjadi modal besar dan pembuktian kepada dunia bahwa petani ternyata bisa mengolah alam secara berkelanjutan, dan manfaatnya sangat besar bila dilihat dari sisi ekonomi, sosial-budaya dan lingkungan. Upaya kaum tani dalam mengakses kawasan hutan memang telah diperoleh, meskipun keberhasilan yang dicapai masih secara parsial dan dalam luasan lahan yang masih sangat minimal. Namun terbukti pencapaian tersebut telah menampakkan hasil signifikan berupa peningkatan beberapa indikator kesejahteraan. Meskipun demikian, masih banyak ketertinggalan dan keterpinggiran yang dialami oleh rakyat tani yang menunjukkan bahwa perjuangan mereka masih harus diteruskan. Ilustrasi sederhana dari kaum tani mungkin begini: luasan lahan yang sangat terbatas saja sudah meningkatkan pendapatan rakyat tani, apalagi jika rakyat tani bisa mendapatkan hak dan luasan lahan yang lebih layak. Oleh karenanya, rakyat tani masih terus meneriakkan perwujudan dari reforma agraria sejati yang mereka rasakan belum tercapai hingga saat ini.

Perjuangan Reforma Agraria di Kawasan Hutan Resort Ngadisono, Wonosobo, Jawa Tengah

Tanah Untuk Penggarap

Indikator kesejahteraan: Parameter awal keberhasilan perjuangan Pengelolaan kawasan hutan oleh Perhutani sangat mempengaruhi kehidupan ekonomi rakyat sekitar. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, penanaman pinus secara massal di kawasan hutan yang tadinya berupa hutan alam telah menyebabkan penurunan suplai air untuk konsumsi dan kebutuhan pertanian. Hal ini terjadi di kedua desa yang berbatasan langsung dengan Hutan Resort Ngadisono ini. Selain berpengaruh pada suplai air, terjadi pula peningkatan suhu yang cukup drastis. Hal ini berimbas pada pola tanam dan sektor peternakan sebagai sumber pendapatan rakyat di kedua desa. Penampungan getah pinus juga mengakibatkan tertampungnya air hujan dan mengakibatkan beberapa genangan air di banyak titik. Hal ini berakibat pada meningkatnya wabah malaria dan flu di desa sekitar. Dampak lain lagi tentu pada mininmya sumber pendapatan rakyat yang juga membawa dampak pada tingkat pendidikan yang dinikmati oleh anakanaknya. Sempitnya penguasaan tanah, kondisi tanah yang tandus serta berkurangnya suplai air menyebabkan masyarakat kesulitan untuk menghasilkan bahan pangan. Bahkan beberapa media massa telah mencatat beberapa kali peristiwa kelaparan melanda Ngadisono dan Lebak. Sulitnya mendapatkan bahan pangan, terutama beras, menjadikan masyarakat Desa Ngadisono dan Lebak ini sebagai pengkonsumsi nasi leyek, yang mengakibatkan banyak masalah

kesehatan di kedua desa. Kurangnya nutrisi dalam nasi leyek mengakibatkan banyak anak-anak terjangkit penyakit beri-beri. Wabah ini tercatat pernah menghantui desa-desa sekitar Hutan Resort Wonosobo pada dekade 980-an hingga 990an. Keberhasilan kaum tani dalam mendapatkan izin penggarapan kawasan hutan tercatat sebagai sebuah batu loncatan bagi terwujudnya reforma agraria sejati. Dan tak bisa dipungkiri, hal ini telah membawa perubahan pada struktur kepemilikan dan penggunaan lahan. Dalam jangka waktu 998-00, di Desa Ngadisono terjadi peningkatan yang cukup signifikan dalam luasan tegalan, pekarangan, sawah tadah hujan, dan lahan yang digunakan untuk sarana dan fasilitas umum. Hal ini tak terlepas dari peran petani dalam melakukan penggarapan kawasan hutan yang dikelola Perhutani. Sementara itu dalam kurun waktu yang sama, di Desa Lebak terjadi peningkatan jumlah sawah tadah hujan yang sangat tinggi. Selain peningkatan jumlah sawah tadah hujan, terjadi di Desa Lebak terjadi pula penambahan luas lahan pekarangan dan irigasi sederhana yang cukup signifikan.

Perjuangan Reforma Agraria di Kawasan Hutan Resort Ngadisono, Wonosobo, Jawa Tengah

Tanah Untuk Penggarap

5

Peningkatan sawah tadah hujan dan penurunan luas irigasi teknis ditengarai akibat rusaknya sarana irigasi karena beberapa sebab (kurang perawatan, penyusutan) dan belum pulihnya suplai air dari kawasan hutan yang pada akhirnya mempertinggi angka perubahan lahan sawah menjadi tegalan. Meningkatnya luasan tegalan dan sawah tadah hujan secara otomatis meningkatkan hasil produksi tanaman yang ada di atasnya. Berdasarkan perhitungan kasar yang dilakukan oleh petani sendiri, dengan penanaman tanaman palawija diatas tanah seluas 00 meter persegi tersebut, minimal dalam waktu bulan keluarga petani tidak perlu menghawatirkan bahan pangan pokoknya.Tabel 2. Jumlah produksi palawija di Desa Ngadisono dan Desa Lebak Tahun 1998 dan 2004

Produksi Palawija (Ton) Padi Jagung Ubi Kayu

Ngadisono 1998 .5 8. 580 2004 .5 1998 8 .6 0

Lebak 2004 8. 8 98

Sumber : Kaliwiro dalam angka, 998 dan 00

Selain peningkatan dalam produk palawija seperti yang tercantum pada Tabel , petani juga bisa menanam tanaman lainnya seperti pisang, nanas dan salak. Peningkatan kesejahteraan juga bisa dilihat dari jumlah ternak yang dimiliki petani. Petani mengakui dengan ditanaminya kawasan hutan dengan pohon

6albasia maka petani mendapatkan kesempatan yang besar untuk memberi makan kambing karena tidak kesulitan untuk mencarikan makan untuk kambing tersebut (daun albasia bisa langsung digunakan sebagai pakan ternak terutama kambing, ed). Pada Tabel dapat dilihat jumlah ternak di kedua desa pada tahun998 (sebelum mendapatkan hak garap) dan tahun 2004. Terdapat peningkatan signifikan pada jumlah ternak kambing terutama di di Desa Lebak. Idem juga dengan jumlah ayam dan angsa. Sementara itu terjadi penurunan dalam kepemilikan sapi dan kerbau terutama di Desa Ngadisono. Hal ini sebagai akibat jenis makanan yang lebih banyak tersedia hanya terbatas untuk kambing. Selain itu, faktor lain yang menjadi alasan adalah berkurangnya jumlah petani di Desa Ngadisono dengan laju yang sangat cepat. Dari tahun 998 hingga 00 telah terjadi perubahan struktur mata pencaharian di kedua desa. Di Desa Ngadisono terjadi konversi besar-besaran dari penduduk yang awalnya menjadi petani menjadi buruh bangunan, buruh industri, pekerja jasa transportasi atau keluar daerah/keluar negeri untuk menjadi TKI/TKW. Fenomena serupa juga terjadi di Desa Lebak, karena kaum tani banyak yang berpindah menjadi buruh di sektor industri. Namun demikian Desa Lebak masih memiliki jumlah masyarakat yang besar dan masih bertahan di desanya.

Perjuangan Reforma Agraria di Kawasan Hutan Resort Ngadisono, Wonosobo, Jawa Tengah

Tanah Untuk Penggarap

Tabel 3. Jumlah ternak di Desa Ngadisono dan Desa Lebak Tahun 1998 dan 2004

Jumlah Ternak (ekor)Sapi Kerbau Kambing Ayam Itik Angsa

Ngadisono 19989 9 96 90 0

Lebak 19985 55 898 06 6

200496 968 58 89

20046 88 6 5

Sumber : Kaliwiro dalam angka, 998 dan 00

Elemen kesejahteraan lainya yang bisa diperhatikan adalah tingkat pendidikan masyarakat di kedua desa. Dari tabel dapat dilihat terjadinya peningkatan akses terhadap pendidikan, meskipun yang masih mendominasi adalah tamatan SD, namun terjadi peningkatan yang signifikan terutama di tingkat SMP. Dari sisi pendidikan, Desa Ngadisono memiliki peningkatan yang sangat cepat bila dibandingkan dengan Desa Lebak. Hal ini dimungkinkan karena jarak dan tingkat pendapatan dari penduduk Ngadisono yang terlihat lebih tinggi. Seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, penduduk Ngadisono memiliki diversifikasi mata pencaharian yang lebih banyak dan lebih memungkinkan bisa mengakses uang cash yang lebih banyak dibandingkan penduduk Desa Lebak.

8Tabel 4. Tingkat pendidikan di Desa Ngadisono dan Desa Lebak Tahun 1998 dan 2005 Ngadisono Tingkat PendidikanTamat SD Tamat SMP Tamat SMA Tamat PT

Lebak 199850

1998965 9 0

200590 9 9 6

200560 9

Sumber:Kaliwiro dalam angka, 998 dan 005

Persepsi Kesejahteraan Menurut Kaum Tani Desa Ngadisono dan Lebak Seperti yang telah dibahas sebelumnya, pengelolaan hutan bersama masyarakat telah disepakati meliputi luasan kawasan seluas 88 hektar dari Hutan Resort Ngadisono. Namun dalam implementasinya, kesepakatan ini masih belum jelas ujung dan pangkalnya. Sehingga, para petani mengajukan usul penggarapan kawasan hutan seluas 5 hektar yang termasuk ke dalam Blok C. Luasan kawasan C inilah yang diangkap sebagai suatu progres keberhasilan yang diklaim OTL Mandiri. Penggarapan kawasan hutan blok C telah melibatkan sekitar 600 KK yang dari 5 dusun yang berasal dari dua desa. Dusun tersebut dianataranya Dusun Ngadisono desa Ngadisono, Dusun Payadan Desa Ngadisono, Dusun Ngadiwongso Desa Ngadisono, Dusun Bodoran Desa Lebak, dan Dusun Lebak Desa Lebak.

Perjuangan Reforma Agraria di Kawasan Hutan Resort Ngadisono, Wonosobo, Jawa Tengah

Tanah Untuk Penggarap

9

Secara singkat kita telah mengetahui karaketeristik masyarakat di lima dusun di kedua desa tersebut melalui pola ragam data dan observasi sepintas. Selanjutnya, melalui penilaian persepsi masyarakat tentang kesejahteraan maka dapat dilihat pula indikator keberhasilan dari perjuangan kaum tani di atas kawasan hutan seluas 5 hektar tersebut. Hingga tahun 005, sebagian besar petani yang mendapatkan tanah hanya memiliki lahan milik pribadi dengan jumlah luasan kurang dari 0.5 hektar. Di Desa Ngadisono, jumlah keluarga yang memiliki tanah hanya 80 KK dari total .6 KK, atau sekitar 66 persen. Berarti sisanya adalah keluarga tani yang tidak memiliki lahan sama sekali. Sebagian besar rumah tangga memiliki lahan kurang dari 0. hektar (0%), lalu 0.-0. hektar (0%), 0.-0. hektar (%), 0.-0. hektar (0%), 0.-0.5 hektar (%), 0.5-0.6 hektar (5%), lebih dari hektar (5%), 0.60. hektar (%), 0.-0.8 hektar (%), 0.8-0.9 hektar (%), 0.9- hektar (%). Bagi anggota petani penerima garapan kawasan hutan, luasan yang dimiliki bisa bervariasi mulai dari .000 meter persegi hingga ada yang mencapai sekitar hektar. Lahan milik kaum tani yang terpisah dari kawasan hutan sebagian besar berupa tegalan atau kebun. Ada juga sebagian petani yang memiliki sawah, namun dalam kegiatan pertaniannya sawah tersebut hanya berfungsi dalam setengah tahun saja. Sisanya, sawah tersebut berubah fungsi menjadi tegalan mengingat kurangnya suplai air yang mampu menutupi kebutuhan air tanaman. Letak lahan milik kaum tani ini sebagian besar berbatasan langsung

50dengan kawasan hutan yang dikelola Perhutani. Luasan kawasan hutan yang diperoleh ketika OTL mendapatkan hak penggarapan adalah .00 meter persegi per KK. Namun, pada kenyataannya setelah dua tahun penggarapan berjalan, terdapat transaksi ilegal yang memindahtangankan surat izin penggarapan kawasan yang diberikan oleh Perhutani. Surat izin penggarapan ini biasanya diperbaharui setiap dua tahun sekali, dan setiap pergantiannya ini dimanfaatkan bagi sejumlah oknum Perhutani dan kaum tani untuk menambah luasan kawasan. Oleh karenanya, saat ini terjadi perbedaan kepemilikan kawasan yang dikelola bersama antara petani dan Perhutani. Luasannya bervariasi mulai dari .00 meter persegi, .00 meter persegi dan juga .600 meter persegi. Banyak para petani yang sudah mendapatkan surat izin penggarapan tanah malah menjual kembali hak garap tersebut. Dari beberapa kasus yang terjadi, setiap bagian (.00 meter persegi) biasanya dijual dengan harga Rp 50.000. Hal ini tentunya berpotensi menyebabkan polarisasi hak garap kawasan hutan antara masyarakat yang memiliki modal/uang dan yang tidak. Dari sisi pendapatan, umumnya petani yang sudah menggarap kawasan hutan mengalami peningkatan yang cukup. Selain pohon albasia dan mahoni, tanaman tumpang sari diantara kedua pohon utama tadi juga berpengaruh penting bagi peningkatan pendapatan kaum tani. Pada waktu kayu masih berumur - tahunan, kawasan tersebut juga masih bisa ditanami padi gogo. Sehingga pada awalnya,

Perjuangan Reforma Agraria di Kawasan Hutan Resort Ngadisono, Wonosobo, Jawa Tengah

Tanah Untuk Penggarap

5

produksi padi gogo meningkat dan mampu menambah persediaan untuk menutupi kebutuhan makanan keluarga tani. Seiring dengan semakin besarnya pohon albasia, maka padi gogo semakin berkurang dan tanaman tumpang sari berganti menjadi jagung, pisang, ubi kayu, ubi, jahe dan cabenamun dengan jumlah yang terbatas. Hal ini menunjukkan bahwa semakin besar tanaman kayu baik itu milik petani ataupun Perhutani, maka pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat menjadi semakin terancam. Selain itu, pohon mahoni yang ditanam oleh Perhutani secara tidak langsung dirasakan sebagai alat pengusir bagi petani. Mahoni yang memiliki masa tebang 60 tahun lambat laun akan menaungi kawasan hutan dan tidak memberikan kesempatan untuk tanaman lainnya untuk ditanam di tempat yang sama. Hal ini menjadi pemikiran kaum tani untuk bisa menyiasati terutama dalam hal tanaman yang akan ditanam pada periode selanjutnya (masa setelah pohon albasia dipanen atau ditebang). Setelah petani mendapat garapan kawasan hutan, kemampuan petani dalam membeli dan memelihara ternak juga semakin membaik. Hampir setiap keluarga memiliki hewan ternak, terutama kambing. Biasanya masing-masing keluarga memiliki minimal ekor kambing. Ada dua alasan penting mengapa kambing yang selalu dipilih sebagai ternak andalan kaum tani. Pertama, selain kemudahan pakan dari rumput yang bisa ditemukan petani di dalam kawasan hutan, kambing pun bisa mengkonsumsi daun dan dahan albasia yang patah. Kedua, kotoran kambing bisa dijadikan sebagai pupuk kandang yang sangat berguna

5bagi petani untuk mengolah kawasan hutannya. Juga dengan menggunakan pupuk kandang, petani sekaligus bisa menghemat pengeluaran untuk usaha taninya dan terhindar dari pemakaian pupuk kimia yang menguras kocek.

Foto Usaha Peternakan yang dilakukan warga

Irwandi, petani dari Kampung Ngadiwongso, mengaku hasil produksi pertaniannya bisa meningkat dua kali lipat. Sebelumnya ia menggarap lahan seluas sekitar .500 meter persegi. Menurutnya, produksi padi dan kacang di sawah bisa meningkat akibat adanya perbaikan lingkungan di kawasan hutan, meningkatnya suplai air dan meningkatnya akses cahaya matahari yang dulu tertutupi oleh naungan pohon pinus. Sementara itu pada garapannya di kawasan hutan, ia bisa menanam jagung, ubi kayu, pisang dan jahe. Ia menyebutkan bahwa apabila dulu padi hasil sawahnya tidak mencukupi makan, tapi

Perjuangan Reforma Agraria di Kawasan Hutan Resort Ngadisono, Wonosobo, Jawa Tengah

Tanah Untuk Penggarap

5

sekarang padi tersebut mampu mencukupi makan selama musim (sekitar 6 bulan, ed), selain itu ia menambahkan bahwa ia mampu meningkatkan pendapatan sehari-harinya dari hasil penjualan nasi leyek yang dihargai sekitar Rp .500 per kilogram. Bagi Ismail, petani yang memiliki lahan pribadi seluas hektar dan mendapatkan garapan kawasan hutan seluas 00 meter persegi, penambahan luas garapan di kawasan hutan telah mampu meningkatakan ratarata pendapatan sebesar juta untuk tiap tahunnya. Begitu pula menurut Saryono, petani dari Dusun Ngadisono, yang mendapatkan garapan di kawasan hutan seluas .600 meter persegi. Menurutnya, penambahan garapan di kawasan hutan mampu meningkatkan pendapatan keluarga. Jika sebelumnya ia hanya mendapatkan rata-ratanya Rp 5.000 per harinya, kali ini ia mampu menghasilkan uang ratarata sekitar Rp 5.000 hingga Rp 0.000 per hari. Pada tahun 00-00 terjadi peningkatan dalam jumlah konsumsi sehari-hari (terutama konsumsi selain pangan, ed). Pada jangka waktu tersebut, petani juga bisa menanam beras dan hal ini berimbas pada pengurangan beban keluarga untuk pengeluaran konsumsi pangan, terutama beras. Pada tahun-tahun berikutnya petani memang sudah tidak mampu menanam beras kembali, namun pendapatan petani tetap bisa dipertahankan oleh penanaman komoditas selain padi gogo, meskipun sedikit banyak kedaulatan pangan mereka terancam. Selanjutnya berdasarkan informasi sekretariat OTL Mandiri dapat diketahui bahwa ada pergeseran dari

5konsumsi pangan dari sebagian besar keluarga petani. Semula sebagian besar keluarga tani hanya mampu mengkonsumsi nasi leyek dengan lalapan dan sambal, kini mereka mampu makan nasi dengan tempe dan tahu sebagai lauknya. Selain itu, pengeluaran untuk kebutuhan sandang pun meningkat. Rata-rata pengeluaran sandang kaum tani sekarang ini adalah sekitar Rp 50.000 hingga Rp 0.000 per potongnya. Konsumsi sandang bervariasi menurut umur, petani yang berumur lebih dari 0 tahun bisanya membeli sandang sebanyak kali dalam satu tahunnya, sementara yang berusia kurang dari 0 tahun bisa mencapai kali pembelian tiap tahun. Selain itu, berdasarkan informasi dari pengajar Sekolah Dasar setempat, setelah mendapatkan garapan di kawasan hutan umumnya siswa mampu menabung di sekolah. Walaupun belum terhitung dengan rinci, hal ini menunjukkan adanya korelasi positif antara luasan kawasan hutan yang digarap kaum tani dengan tingkat tabungan anak-anaknya. Meningkatnya pendapatan berimbas langsung pada peningkatan tingkat pendidikan terutama bagi anak-anak petani. Tarno, petani yang mendapatkan luas garapan di kawasan hutan seluas 5.000 meter persegi mengatakan bahwa dirinya kemudian mampu menyekolahkan keempat anaknya hingga tingkat SLTP. Saat ini anaknya yang bungsu berencana untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat SLTA. Anggota OTL yang berasal dari Dusun Bododoran Zainuddin, mengatakan bahwa tingkat pendidikan sudah relatif membaik, karena rata-rata anak petani mampu menyelesaikan pendidikannya hingga tingkat

Perjuangan Reforma Agraria di Kawasan Hutan Resort Ngadisono, Wonosobo, Jawa Tengah

Tanah Untuk Penggarap

55

SLTP. Irwandi juga menyebutkan bahwa saat ini banyak anak-anak terutama anak perempuan dari Ngadiwongso yang bersekolah di tingkat SLTP, dan orang tua mereka sudah mampu membelikan sepatu dan memberikan uang saku sejumlah dua kali lipat dari yang sebelumnya. Rata-rata uang saku yang diberikan bisanya mencapai Rp .000 per harinya. Informasi lainnya menujukkan bahwa kemampuan dan kelancaran murid dalam membayar SPP dan iuran wajib pesantren telah semakin meningkat. Pembayaran bisa dilakukan sebelum jatuh tempo dan juga rutin. Selanjutnya, tingkat kesejahteraan dalam bidang kesehatan dapat dilihat dari kemampuan petani dalam hal mengakses sarana kesehatan. Tarno mengatakan sebelum mendapatkan garapan di kawasan hutan, ia hanya mampu menggunakan obat Jawa tradisional untuk menyembuhkan penyakit yang dideritaya. Paling tidak, mereka mampu menyembuhkan penyakitnya dengan pergi ke dukun dan hanya menggunakan obat warung biasa. Sementara itu, saat ini mereka sudah bisa pergi atau membawa sanak keluarganya yang sakit ke Puskesmas, mengingat keluarga tani sudah memiliki tingkat pendapatan yang lumayan. Sementara itu Ismail mengatakan bahwa petani jauh lebih merasa aman saat ini. Dibandingkan dulu pada saat hutan ditanami pinus dan digunduli, petani sering merasa terancam karena intaian bencana longsor dan banjir sewaktu-waktu. Namun saat ini menurutnya kondisinya telah membaik, hutan telah hijau kembali sehingga kondisi alam bisa dikembalikan normal, dan mereka berharap

56bencana longsor dan banjir dapat dihindarkan. Lebih jauhnya, respon masyarakat terhadap keadaan hasil buah perjuangan ini berbeda-beda. Berhubungan dengan motivasi untuk bertani, komentar mereka juga cukup bervariasi setiap desa dan tingkatan umur petani. Irwandi dan Zainuddin petani berumur 0 dan 60 tahunan bertekad untuk terus bertani sepanjang sisa hidupnya. Mereka mengaku motivasi untuk bertani semakin bertambah seiring penambahan garapan di kawasan hutan. Irwandi mengatakan bahwa ia bahkan menyuruh anak-anaknya untuk bertani di pekarangan. Zainuddin menyebutkan ia ingin melanjutkan menanam kakao dan kapulaga bila albasia yang ditanam sudah bisa dipanen/ditebang. Umur kakao bisa mencapai 0-5 tahun dan pada sekitar tahun keempat sudah bisa dipanen. Namun, saat ini masih terdapat juga petani yang merasa insentif pertanian di kampungnya memang sangat tidak memadai apabila dibandingkan dengan menjadi buruh kontrak di perkebunan sawit di Sumatera. Penduduk yang sudah menjadi buruh di sumatera selalu pulang dengan sukses dan berhasil membangun rumah yang permanen dan lebih bagus dibandingkan dengan penduduk lainnya. Sehingga peran dari berbagai pihak diperlukan untuk lebih meningkatkan motivasi petani dalam meneruskan kehidupan taninya secara mandiri. Kondisi ini juga berhubungan dengan persepsi para kaum muda di 5 dusun tersebut. Di Dusun Ngadisono, Payadan dan Bodoran, hampir 50 persen pemudapemudi melakukan migrasi keluar kota untuk mencari

Perjuangan Reforma Agraria di Kawasan Hutan Resort Ngadisono, Wonosobo, Jawa Tengah

Tanah Untuk Penggarap

5

pekerjaan. Sebagian besar menjadi buruh perkebunan, pembantu rumah tangga dan menajdi TKI/TKW. Kalaupun tidak keluar, banyak pemuda-pemudi yang bekerja menjadi buruh industri dan bekerja di sektor transportasi dan jasa di Kabupaten Wonosbo. Berbeda dengan ketiga dusun tadi, di dusun Ngadiwongso dan Lebak, untungnya masih banyak pemuda yang mau mencari mata pencaharian dengan bertani, selain itu nilai plusnya adalah kaum perempuannya yang lebih banyak terlibat dalam sektor pertanian. Secara sosial, adanya peningkatan pendapatan dari peningkatan jumlah panen pertanian telah menciptakan kelas baru yang dikenal dengan istilah bakul. Bakul (dalam Bahasa Jawa berarati pedagang kecil di desa, ed) juga merupakan istilah lain dari tengkulak. Bakul memiliki fungsi sebagai pengumpul dan pembeli produk pertanian di tingkat desa dan biasanya juga menjadi lembaga sosial yang mampu memberikan pinjaman berupa uang cash yang bisa dibayar oleh hasil panen yang akan datang. Selain bakul, di Dusun Lebak terdapat lembaga sosial lainnya yang mampu menutupi keperluan sosial, misalnya jika terjadi bencana atau ada anggota masyarakat yang segera memerlukan uang. Lembaga sosial warisan kebudayaan luhur dan kearifan lokal tersebut tak lain adalah lumbung padi. Lumbung ini tentunya dikelola oleh anggota masyarakat langsung di tingkat dusun-dusun. Saat ini, terdapat sekitar ton gabah kering didalam lumbung padi kaum tani tersebut. Untuk menjalankan lumbung padi ini, setiap musim panen atau 6 bulan sekali, kaum tani wajib menyisihkan sekitar 0 persen dari hasil

58panennya untuk disimpan di lumbung padi. Simpanan inilah yang digunakan sebagai cadangan untuk mendapatkan bantuan uang, ataupun persiapan jika terjadi bencana. Fungsi lain dari lumbung padi ini juga sebagai penyedia benih bagi penanaman padi yang notabene adalah komoditas pertanian yang sangat dibutuhkan di daerah ini. Ismail menyebutkan, dengan lumbung padi ini, kaum tani akhirnya tidak mengalami kesulitan dalam mendapatkan benih padi.

Foto Lumbung Padi: Sumber pangan dan kelembagaan sosial desa

Semua petani mengakui adanya peningkatan status sosial yang mereka dapatkan dalam kehidupan di desanya. Sehingga jurang kesenjangan sosial yang ada semakin berkurang pada saat ini. Meskipun secara ekonomi, jelas pendapatan mereka tetap lebih kecil apabila dibandingkan dengan petani pemilik lahan yang besar. Namun dilihat dari aspek sosial dan politik

Perjuangan Reforma Agraria di Kawasan Hutan Resort Ngadisono, Wonosobo, Jawa Tengah

Tanah Untuk Penggarap

59

serta kehidupan sehari-hari di level desa, mereka mendapatkan posisi yang tinggi di mata masyarakat umum. Keterlibatan mereka dalam organisasi tani menjadikan mereka lebih dihargai di mata masyarakat desa. Mereka sering dilibatkan sebagai pengurus dan aparat desa yang seringkali menentukan kebijakankebijakan desa. Bisa dikatakan, kaum tani berperan cukup penting dalam proses pengambilan keputusan (decision making process). Selain itu, Irwandi malah menyebutkan bahwa secara sosial para petani penggarap di kawasan hutan sudah mampu menyamai petani pemilik lahan yang luas, terutama dalam hal pengeluaran biaya sosial seperti kendurian. Hal ini terlihat jelas dari mulai setaranya jenis makanan yang disuguhkan oleh tuan rumah yang mengadakan kenduri, baik itu diadakan oleh petani penggarap di kawasan hutan maupun petani pemilik lahan yang luas. Prestasi dan Pekerjaan Rumah bagi Organisasi Tani Organisasi tani telah membawa perubahan dalam kehidupan petani. Dengan berorganisasi petani menjadi kuat secara politis. Para petani merasa aman dalam melakukan penggarapan di kawasan hutan. Selain itu dengan berkelompok, petani bisa merencanakan pola penanaman bersama-sama. Meskipun saat ini belum melakukan sistem pertanian yang komunal. OTL Mandiri telah memberikan dampak yang positif terhadap perjuangan masyarakat tani, walaupun masih ada beberapa petani yang mengeluhkan besarnya biaya berorganisasi. Dalam memperjuangkan reforma agraria sejati, OTL

60Mandiri melakukannya secara bertahap. Setelah mendapatkan izin garapan di kawasan seluas 88 hektar, kaum tani melakukan penguatan organisasi dan terus melakukan advokasi serta lobi politik untuk mendapatkan kepastian mengenai waktu dan mekasime penggarapan kawasan hutan di Blok C resort Ngadisono seluas 5 hektar. Dalam perjalanannya, organisasi menghadapi banyak kendala baik itu internal ataupun ekstermal. Permasalahan internal terdapat pada kemampuan anggota dalam mengelola kawasan hutan secara maksimal. Selain itu, tingkat kesadaran petani akan hak dan kewajibannya pun masih kurang. Faktor internal lainnya yang menjadi kendala bagi majunya organiasasi ini adalah kurang kompaknya petani dalam penggarapan kawasan hutan, hingga akhirnya menyebabkan kurang maksimalnya peningkatan kehidupan ekonomi yang diraih dari penggarapan kawasan hutan tersebut. Selain itu, masalah keuangan organisasi masih menjadi kendala karena saat ini organisasi masih belum mempunyai sumber keuangan selain iuran angggota yang seringkali macet. Iuran anggota sebelumnya telah ditetapkan yaitu meliputi simpanan pokok, simpanan wajib dan simpanan sukarela. Simpanan pokok sebesar dua puluh lima ribu rupiah (Rp 5.000) dapat dibayar lima kali dalam satu tahun, sementara untuk simpanan wajib dibayar satu bulan sekali sebesar seribu rupiah (Rp .000), dan simpanan sukarelanya dibayar oleh setiap anggota setiap satu kali hasil panenan. Sementara itu kendala eksternal yang dihadapi

Perjuangan Reforma Agraria di Kawasan Hutan Resort Ngadisono, Wonosobo, Jawa Tengah

Tanah Untuk Penggarap

6

adalah kemungkinan adanya intimidasi dari pihak perhutani untuk menggangu aktivitas pertanian masyarakat tani di hutan dan mengancam perjuangan petani untuk tahapan selanjutnya. Beberapa kasus pengorganisiran petani di KPH Kedu Selatan lainnya disinyalir menjadi upaya Perhutani untuk meng