buku - perjuangan agraria di bukit kijang asahan sumatera utara (petani press)

Upload: serikat-petani-indonesia

Post on 16-Jul-2015

201 views

Category:

Documents


11 download

TRANSCRIPT

INI TANAH KAMI!Perjuangan Reforma Agraria di Bukit Kijang, Asahan, Sumatera Utara

Mohammed IkhwanFSPI

Federasi Serikat Petani Indonesia PETANI PRESS

Tentang Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI)

FSPI adalah organisasi massa tani yang beranggotakan serikat-serikat tani di 12 propinsi di seluruh Indonesia. Sebagai organisasi perjuangan petani yang terdepan melawan kolonialisme dan imperialisme gaya baru, dalam perjuangannya FSPI memilih isu-isu penting yang menjadi fokus utama dari aktivitasnya, yaitu: reforma agraria, kedaulatan pangan, hak asasi petani, gender, dan pertanian berkelanjutan yang berbasis keluarga. Perjuangan FSPI bertujuan untuk mewujudkan struktur agraria yang berkeadilan dengan melaksanakan reforma agraria sejati berdasarkan UU Pokok Agraria Tahun 1960. Karena itulah, kaum tani yang menjadi anggota FSPI adalah petani kecil berbasis keluarga, buruh tani, masyarakat adat dan kaum tak bertanah.

Tentang Penulis

Mohammed Ikhwan adalah Koordinator Pusat Pengkajian dan Penelitian FSPI. Penulis bisa dihubungi via e-mail [email protected]

Editor

Cecep Risnandar [email protected] Design Mohammad Iqbal Foto dan Ilustrasi FSPI dan istimewa Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI) Jl. Mampang Prapatan XIV No. 5 Jakarta Indonesia 12790 Tel. +62 21 7991890 Fax. +62 21 7993426 Email. [email protected] Website. www.fspi.or.id

...Tentu teriak penggarap, tapi inilah tanah kami. Kami mengukurnya dan membukanya. Kami lahir di atasnya, kami terbunuh di atasnya dan mati di atasnya. Walaupun itu tidak ada gunanya, tanah kami tetap milik kami. Itu yang membuatnya milik kami - terlahir di atasnya, berusaha di atasnya dan mati di atasnya. Itulah kepemilikan, bukan secarik kertas dengan angka-angka di atasnya. Amarah, John Steinbeck

Kata PengantarBuku ini merupakan salah satu dari tiga dokumentasi dan analisis kritis mengenai perjuangan mewujudkan pembaruan agraria. Ketiga buku ini sendiri mencerminkan pengalaman kaum tani anggota FSPI dari sudut pandang internal di tiga lokasi: Bukit Kijang (Asahan, Sumatera Utara), Ngadisono-Lebak (Wonosobo, Jawa Tengah) dan Suka Maju (Tanjung Jabung Timur, Jambi). Sepak terjang perjuangan kaum tani yang selama ini tak tercatat akhirnya bisa terukir dengan tinta emas sejarah. Perjuangan panjang kaum tani mewujudkan pembaruan agraria sesungguhnya tidak terbatas hanya di tiga buku ini saja. Beribu-ribu, bahkan berjuta-juta cerita lainnya masih terpendam dan belum bisa dipublikasikan. Hal ini sesungguhnya menegaskan betapa signifikannya peran petani di Indonesia, perjuangannya, jumlahnya, dan kerja-kerja nyatanya membangun bangsa dan negara. Cita-cita kaum tani dan rakyat, yakni pembaruan agraria, bukanlah barang baru. Pembaruan agraria telah tertuang sebagai cita-cita dari kemerdekaan nasional serta konstitusi RI dengan tujuan kesejahteraan, keadilan, kebahagian dan kemakmuran rakyat. Sehingga kemudian pada perkembangannya diwujudkanlah cita-cita ini dalam UUPA 1960, termasuk beberapa program nasionalisasi terhadap kekayaan alam dan sumber agraria lainnya yang

selama masa kolonialis dikuasai oleh penjajah. FSPI memandang bahwa sesuai dengan isi dan kandungan UUD 1945 dan UUPA 1960, hal-hal yang perlu diatur dalam agraria meliputi seluruh bumi, air, dan ruang angkasa serta seluruh kekayaan alam yang terkandung didalamnya. Dalam pengertian bumi, selain permukaan bumi, termasuk pula tubuh bumi di bawah-nya serta yang berada di bawah air. Kesemuanya tersebut merupakan satu kesatuan yang tak dapat dipisah-pisahkan. Hubungan antara bangsa Indonesia dan bumi, air serta ruang angkasa, termasuk kekayaan alam di dalamnya adalah hubungan yang bersifat abadi. Perkembangan ekonomi-politik negeri ini adalah sejarah panjang kolonialisme. Dan jelas pula bahwa sistem ekonomi-politik yang sekarang, neoliberalisme, adalah bentuk penjajahan baru. Hal ini tepat seperti yang dikatakan Bapak Pendiri Bangsa kita sebagai masa neokolonialisme-imperialisme (nekolim). Sistem ekonomi dan politik negeri ini tetap meminggirkan kedaulatan rakyat, sehingga nyata sekali bertentangan dengan cita-cita kaum tani dan rakyat seperti yang dinyatakan sebelumnya. Sebut saja kebijakan dan praktek yang sangat telanjang meminggirkan kedaulatan rakyat: pasar tanah, privatisasi air, pengebirian hak asasi manusia, kebijakan perkebunan, penggusuran, pendidikan mahal dan kesehatan susah. Berbagai UU, mulai

dari UU Penanaman Modal Asing, Perkebunan, Kehutanan, Migas, Sumber Daya Air, hingga yang terakhir Penanaman Modal, memperlihatkan bagaimana kekuasaan saat ini begitu berpihak kepada segelintir pemodal dan penguasa. Tapi tentu saja rakyat tak bisa diam begitu saja. Mengutip kata Soekarno, Kalau cacing saja pun diinjak pasti menggeliat-geliat melawan, kesakitan. Dan bahwa perjuangan rakyat sesungguhnya bergelora, beribu-ribu bahkan berjuta-juta, di daerah-daerah, terorganisasi maupun tidak, terungkap maupun tidak, dan merupakan contoh nyata perlawanan rakyat negeri ini terhadap kebijakan dan praktek neoliberalisme. Dan rakyat terbukti memiliki kekuatan tak tertandingi, tercermin dari kelebihan-kelebihan yang terdokumentasi dari tiga pengalaman pembaruan agraria di daerah. Di Bukit Kijang, terbukti kekompakan adalah kata kunci dari perjuangan kaum tani. Berbagai rintangan, ancaman dan represi mereka lalui demi mempertahankan lahan perjuangan mereka. Secara ekonomi, gerakan yang mereka galang adalah salah satu hal yang paling fenomenal dalam sejarah kaum tani di Indonesia. Di Ngadisono-Lebak, terbukti betapa kaum tani berjuang mendapatkan hak garap saja sudah mengubah kesejahteraan mereka secara drastis. Hal ini tentu membakar semangat kaum tani untuk terus berjuang

mewujudkan pembaruan agraria. Di Suka Maju, walaupun di tanah transmigrasi yang baru tidak ideal seperti yang dijanjikan, namun kaum tani disini tetap ulet bertahan. Walau ditelantarkan pemerintah, kaum tani tetap bisa bersatu dan menemukan solusi untuk dapat mandiri. Dan untuk mempertahankan hak-haknya tersebut, akhirnya kaum tani memahami esensi perjuangan hingga mampu merebut haknya dan memenangi pertempuran vis-a-vis perusahaan perkebunan. Demikian buku-buku yang disajikan dalam dokumentasi perjuangan mewujudkan pembaruan agraria FSPI ini kami persembahkan kepada kawankawan seperjuangan. Dan bahwa perjuangan ini adalah bagian dari perjuangan panjang kita. Kita telah menunjukkan keberhasilan-keberhasilan perjuangan di tingkat lokal. Tentu saja, keberhasilan ini adalah tonggak-tonggak perjuangan sebagai bagian dari kekuatan besar yang akan kita bangun di masa depan. Buku ini juga menyatakan kembali pentingnya mencatat perjuangan-perjuangan kita sehingga kita bisa memperbaiki kelemahan atau meneruskan keberhasilan yang memang telah baik kita laksanakan. Tugas dokumentasi dan pencatatan perjuangan-perjuangan adalah tugas para kaderkader perjuangan, jadi jangan sekali-sekali dilupakan! Kolaborasi pencatatan dan deskripsi-analitis yang

dicontohkan kader kita Saudara Ngabidin dan penulis lainnya merupakan hal membangun dalam organisasi gerakan taniyang hingga saat ini cenderung berkarakteristik tradisional. Sehingga menurut saya, budaya mencatat-menulis seperti yang dilakukan oleh Saudara Ngabidin dari Wonosobo adalah hal yang patut diteladani dan harus diteruskan dalam kerja-kerja organisasi sehari-hari. Semoga buku ini bisa memberikan inspirasi perjuangan hingga rakyat berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi serta berkepribadian dalam budaya. Pengalaman dalam buku ini juga diharapkan bisa menjadi panduan dan sandaran bagi kita semua dalam gerakan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Khusus untuk kaum tani, perjuangan menegakkan keadilan agraria demi kedaulatan petani harus terus digelorakan. Semoga kemenangan selalu menyertai perjuangan kita! Jakarta, Desember 2007 Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI) Badan Pelaksana Federasi (BPF) Henry Saragih Sekretaris Jenderal

Sekapur Sirih

Sejarah petani di Indonesia penuh dengan noda nista penindasan struktural. Di sektor agraria yang melibatkan bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya ini, atas nama ekonomipolitik penindasan berlangsung dengan berbagai macam turunannya. Jika di jaman kolonial dulu banyak terjadi penindasan yang dilakukan oleh tuan tanah, kini kian bergeser menjadi penindasan oleh kaum feodal yang masih saja terjadi baik yang berdasar silsilah kerajaan, birokrasi pemerintahan, pendidikan maupun sistem agama dan kebudayaan. Selanjutnya varian yang paling mutakhir adalah penindasan yang bersamaan oleh perdagangan yang berkarakter kapitalistik-neoliberal. Padahal sebagai rakyat Indonesia, petani jelas berhak atas kedaulatan di atas buminya sendiri. Persoalan besar di atas berimbas pada makin kecilnya ruang sosial, ekonomi dan politik petani. Dalam dasar negara kita secara eksplisit dinyatakan Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, yang jelas mencerminkan amanat, cita-cita luhur yang harus dicapai oleh bangsa ini. Dan petani, adalah salah satu yang terus menggapai keadilan sosial tersebut.

Pembaruan Agraria terdiri dari dua suku kata, pembaruan dan agraria. pembaruan berasal dari Bahasa Spanyol reforma, yang jika dalam Bahasa Indonesia bisa diartikan sebagai proses menata ulang. Dari pengertian tersebut suatu proses penataan ulang ini harus dilakukan sebagai suatu proses yang tegas, khusus dan dilakukan dengan segera supaya apa yang mau ditata ulang bisa terwujud dan terkendali. Sementara itu, istilah agraria berasal dari kata bahasa latin yaitu ager ataupun agger. Kata ager memiliki beberapa arti yaitu lapangan, pedusunan (lawan dari perkotaan), wilayah, tanah negara. Lebih lanjutnya, kata agger bisa diartikan sebagai tanggul penahan/pelindung, pematang, tanggul sungai, jalan tambak, reruntuhan tanah dan bukit. Istilah agraria harus disadari tak hanya merujuk pada tanah atau pertanian saja. Kata-kata pedusunan, bukit, dan wilayah, jelas menunjukan arti yang lebih luas karena didalamnya tercakup segala sesuatu yang terwadahi olehnya. Kata pedusunan jelas menunjukan bahwa itu suatu wilayah yang didalamnya terdapat berbagai macam tumbuhan, air, sungai, juga tambang, perumahan, dan masyarakat pada umumnya. Secara ringkas, agraria bisa pula diartikan sebagai sumber-sumber

ekonomi bagi kehidupan suatu masyarakat. Jadi, pembaruan agraria adalah suatu upaya korektif untuk menata ulang struktur penguasaan, susunan kepemilikan dan penggunaan sumber-sumber agraria yang timpang yang memungkinkan penindasan manusia atas manusia (lexploitation de lhomme par lhomme), menuju tatanan baru yang bersendi kepada keadilan agraria untuk kepentingan rakyat kecil (dalam hal ini petani, buruh tani, tunakisma, dan rakyat tertindas pada umumnya). Keadilan agraria itu adalah suatu keadaan dimana dijamin tidak adanya konsentrasi dalam penguasaan dan pemanfaatan atas sumber-sumber agraria pada segelintir orang belaka. Dan yang paling penting digarisbawahi, bahwa keadilan agraria juga merupakan perwujudan kemerdekaan Bangsa Indonesia atas tanah airnya secara substansial. Sejak melangkah ke jembatan emas kemerdekaan, belum ada sebuah kebijakan dan implementasi yang nyata serta komprehensif di tingkat rakyat yang menyelesaikan masalah pokok petani. Pembaruan agrariaatau reforma agrariatak kunjung terwujud. Padahal solusi fundamental inilah yang dari dulu diperjuangkan petani demi mewujudkan keadilan sosial. Pembaruan agraria ditujukan untuk mencapai:

(1) Terjadinya perombakan, pembaruan, pemulihan, dan penataan model pengelolaan pembangunan ekonomi secara umum dan kebijakan agraria secara khusus; (2) Terjadinya perombakan, pembaruan, pemulihan, dan penataan demokrasi dibidang politik secara umum dan kedaulatan politik petani secara khusus; dan (3) Terjadinya pemulihan dan penataan kembali di bidang adat dan budaya masyarakat secara umum dan adat serta budaya petani secara khusus. Sementara, masalah-masalah riil yang secara struktural bisa dipecahkan dengan perwujudan pembaruan agraria antara lain (1) penataan kembali ketimpangan struktur penguasaan sumber-sumber agraria; (2) masalah kemiskinan; (3) masalah pengangguran; (4) pembangunan daerah pedesaan yang terbengkalai; (5) resolusi konflik; (6) perbaikan dan pelestarian lingkungan hidup; dan (7) penegakan kedaulatan pangan bangsa. Jelaslah dengan demikian, bahwa pembaruan agraria bukan hanya sebuah konsep atawa cuap-cuap kaum terdidik belaka. Namun lebih daripada itu, ia adalah sebuah perwujudan cita-cita rakyat Indonesia yang sesuai dengan latar belakang sejarah, ekonomi, politik, bahkan sosial budaya kita. Pembaruan agraria juga relevan, sangat sesuai dilaksanakan bagi negara agraris seperti Indonesia. Lebih dari itu, pembaruan agraria adalah peraturan legal sebagai turunan dari konstitusi dan dasar negara

kita yaitu Pasal 33 ayat 4 UUD 1945 naskah asli. Cita-cita rakyat ini juga bukan sempit di sekitar masalah tanah saja, seperti yang didengungkan pada umumnya. Salah kaprah ini harus dibenarkan, karena pembaruan agraria sesungguhnya mencakup keseluruhan faktor yang menjadi alat produksi seperti air, benih, permodalan, teknologi dan alat pertanian, dan pasar. Dengan kata lain, semua perjalanan mulai dari produksi, distribusi hingga konsumsi pun diatur untuk kemaslahatan rakyat banyak. Menurut Gunawan Wiradi (2004) ada prasyarat untuk melakukan pembaruan agraria, antara lain, pertama, kemauan politik pemerintah; kedua, adanya data yang lengkap dan teliti; ketiga, organisasi rakyat yang kuat; keempat, elite penguasa yang terpisah dari elite bisnis; kelima, birokrasi dari atas sampai ke bawah harus memahami, minimal pengetahuan elementer tentang agraria; dan keenam, dukungan militer (dan polisi)namun pelaksanaan pembaruan agraria sendiri cenderung tak menunggu semua prasyarat dipenuhi dulu. Melainkan, langsung berproses sambil memenuhi prasyarat yang belum dipenuhi. Lagipula, dalam beberapa sejarah baik secara spasial dan temporal, kemauan politik dan maraknya gerakan rakyat (organisasi tani) cenderung sudah berkembang. Dan dalam faktanya, gerakan petani seringkali langsung menjalankan aksi okupasi atau reklaiming tanah.

Prakarsa-prakarsa dari rakyat inilah, yang perannya riil dijalankan oleh organisasi tani baik di tingkat nasional maupun lokal, dan seringkali dilupakan. Padahal menurut catatan FSPI, sejarah telah membuktikan bahwa gerakan rakyat secara efektif telah membuktikan hal-hal di atas. Walaupun dalam karakteristik yang berbeda-beda, gerakan kaum tani di Indonesia sebenarnya sudah sejak lama mengidamidamkan pembaruan agraria. Pelaksanaannya tentu tidak dalam satu model yang kaku, karena organisasi tani di tingkat nasional pun dalam perjalanannya baru muncul di era 1990-an. Hal ini juga tak terlepas dari sejarah kelam pasca 1965 yang menjadikan pembaruan agraria sebagai konsep tabu di tengah masyarakat. Depolitisasi dan pembungkaman suara rakyat selama 32 tahun Orde Baru dan rejim Soeharto telah menghancurkan negeri ini, dan akhirnya setali tiga uang dengan pelaksanaan pembaruan agraria oleh rakyat. Upaya-upaya langsung dari kaum tani inilah yang coba dirangkum dalam pemaparan yang Saudarisaudara baca saat ini. Untuk mengetahui bagaimana praktek dan perkembangan konsep pembaruan agraria di tataran akar rumput diperlukan sejumlah informasi. Penelusuran informasi tersebut akhirnya berujung pada gambaran umum tentang pelaksanaan pembaruan agraria di daerah-daerah tertentu, beserta situasi yang menyertai dan faktor yang mempengaruhinya.

Berkaitan dengan hal tersebut, ada pertanyaan penting yang ingin dijawab dalam rangka menggambarkan praktek dan proses pembaruan agraria: 1. Bagaimana (proses, mekanisme, teknik, metode, cara) pembaruan agraria dijalankan di dalam kasus tertentubaik dari runutan pra-produksi, produksi, distribusi hingga konsumsi? 2. Siapa saja aktor yang terlibat dalam proses tersebut dan bagaimana hubungan antaraktor tersebut? 3. Faktor atau aspek apa yang mempengaruhi hubungan antaraktor tersebut? 4. Bagaimana proses di atas, secara riil berpengaruh terhadap tatanan sosial, ekonomi, politik dan budaya kaum tani dan masyarakat? 5. Bagaimana keseluruhan proses di atas, yang dianalisis, dihubungkan dengan pembaruan agraria sejati dan gerakan tani, serta gerakan rakyat secara umum? Seluruh gambaran ini coba dirangkum dengan metode historis-kritis. Deskripsi mengenai perjuangan kaum tani merebut tanah, berproduksi, dan membuat sebuah tatanan sosial, ekonomi, politik dan budaya baru yang berkeadilan akhirnya dihubungkan dengan fenomena-fenomena sejarah (peristiwa, kebijakan pemerintah, dan momentum penting) yang berkaitan dengan perjuangan kaum tani. Dan syukurnya, karena ini adalah pergelutan-penelitian internal, data-data primer dan sekunder bisa dengan mudah didapatkan.

Hal ini dikarenakan OTL Tani Jaya di Bukit Kijang, Desa Gunung Melayu, Kecamatan Bandar Pulau, Kabupaten Asahan, Propinsi Sumatera Utara adalah salah satu organisasi tani anggota FSPI. Pemilihan lokasi ini didasarkan pada relevansi antara perjuangan di daerah tersebut dengan konsepsi pembaruan agraria secara menyeluruh. Mengenai hal ini, tentunya kita tahu, bahwa dalam perjuangan kaum tani di Indonesia terdapat beberapa kasus yang menjadi momentum gerakan kaum tani (akan dibahas selanjutnya). Pengorganisasian petani berdasarkan kasus tersebut, dimana dalam banyak kasus menghasilkan kemenangan di pihak kaum tanimenjadi catatan tersendiri dalam tinta emas. Tingkat pengorganisasian massa, aksi massa, pendidikan, kesetaraan gender serta keberhasilan produksi juga diperhatikan. Sehingga dampak positif di tengah kaum tani bisa dengan nyata dipaparkan. Dalam kasus ini, Bukit Kijang - Sumatera Utara dipilih karena berhasil mewujudkan sebuah tatanan baru kemasyarakatandari yang dulunya berkalang derita menjadi kaum tani yang mewujudkan keadilan sosial di atas buminya sendiri.

Daftar Isi

Kata Pengantar Sekapur Sirih Sejarah Kolonial dan Masa Gelap Setelah Merdeka Bukit Kijang dan Asahan Gambar. Bukit Kijang dalam peta Bibit neoliberalisme Menyemai benih perjuangan Konflik: Dekade 1980-an Mengapa harus bertani? Konflik agraria dimulai Gerakan Sosial: Dekade 1990-an Tidak bisa tidak ada organisasi tani Camcin punya sertifikat Negosiasi dan oportunisme Pasukan bantuan datang Ini tanah kami! Foto. Lahan perjuangan OTL Tani Jaya 1 1 2 4 9 11 11 17 21 21 26 29 34 39 40

Gambar. Peta lahan perjuangan OTL Tani 41 Jaya

Tabel. Pembaruan agraria sejati (genuine agrarian reform) versus pembaruan agraria 48 palsu (market-assisted land reform) Gerakan ekonomi kerakyatan Grafik. Cashflow LKP Kijang Mas 2002-2006 51 60

Tabel. Total cashflow LKP Kijang Mas 200260 2006 Grafik. Perbandingan SHU dibagikan dan Total 60 SHU Tabel. Total SHU yang dibagikan oleh LKP 61 Kijang Mas kepada anggota 2002-2006 Tabel. Total jumlah SHU LKP Kijang Mas 200261 2006 Grafik. Total luas lahan kolektif OTL Tani 65 Jaya Bergerak Maju: Dekade 2000-an Menjaga kolektivitas Pemerintah desa yang tak peduli Beberapa proyeksi kelapa sawit Foto. Sawit hasil panen OTL Tani Jaya 68 68 74 77 81

Tabel. Beberapa kepemilikan lahan kelapa 82 sawit di Indonesia Masa depan organisasi tani Daftar Pustaka 83 89

Akronim

AW BTI BSP CRP CPO FAO FSPI G30S GATT HGU IMF JALA KCl LKA LKP Lonsum Mariles MPTP MST NPK OTL PDI PIR PKI

: : : : : :

Agrarische Wet Barisan Tani Indonesia Bakrie Sumatera Plantation Coarse Rice Powder (Tepung Mata Beras) Crude Palm Oil (Minyak Sawit Mentah) Food and Agriculture Organisation (Organisasi Pangan dan Pertanian Internasional) : Federasi Serikat Petani Indonesia : Gerakan 30 September : General Agreement on Trade and Tariff (Persetujuan Perdagangan dan Tarif) : Hak Guna Usaha : International Monetary Fund (Dana Moneter Internasional) : Jaringan Advokasi Nelayan : Kalium Klorida : Lembaga Keuangan Alternatif : Lembaga Keuangan Petani : London Sumatera : Marihat Leles : Majelis Perwakilan Tertinggi Petani : Movimento dos Trabalhadores Rurais Sem Terra (Gerakan Petani Tak Bertanah) : Nitrogen Phospate Kalium : Organisasi Tani Lokal : Partai Demokrasi Indonesia : Perkebunan Inti Rakyat : Partai Komunis Indonesia

PKS PT PLTM PMA RGM SBM SBSU SHU SINTESA SNSU SPJB SPSU STN TBS UU UUD 1945 WTO

: : : : : : : : : : : : : : : : :

Pabrik Kelapa Sawit Perusahaan Terbatas Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro Penanaman Modal Asing Raja Garuda Mas Serikat Becak Merdeka Serikat Buruh Sumatera Utara Sisa Hasil Usaha Sinar Tani Indonesia Serikat Nelayan Sumatera Utara Serikat Petani Jawa Barat Serikat Petani Sumatera Utara Serikat Tani Nasional Tandan Buah Segar Undang-Undang Undang-Undang Dasar 1945 World Trade Organisation (Organisasi Perdagangan Dunia)

Perjuangan Reforma Agraria di Bukit Kijang, Asahan, Sumatera Utara

Ini Tanah Kami!

Sejarah Kolonial dan Masa Gelap Setelah MerdekaBukit Kijang dan Asahan Lambaian daun sawit dan bau karet yang tak habishabis kita temui saat ini di sekitar Asahan sebenarnya tak bisa menyembunyikan sejarah peradabannya yang cukup kuat. Sisa-sisa Kesultanan Melayu Asahan (630-865) masih lekat di daerah yang bisa dicapai hampir lima jam dari ibukota Sumatera Utara, Medan. Di sisi lain warisan kapitalistik ala pemerintahan kolonial Belanda (865-942) mencengkeram kuat kawasan ini, seperti yang terjadi dalam pola struktur kepemilikan dan produksi yang mayoritas bergerak di bidang agribisnisperkebunan kelapa sawit dan karet.

Gambar 1. Bukit Kijang dalam peta

Bukit Kijang sendiri, adalah sebuah kampung terpencil di Desa Gunung Melayu, Kecamatan Bandarpulau, Kabupaten Asahan, dimana mayoritas petani tinggal di daerah bukit dan lembah. Penduduk asli, seperti halnya penduduk asli Asahan, adalah orang Melayu (7 persen dari total penduduk) dan juga Jawa (52 persen). Mayoritas dari penduduk ini sudah tinggal sejak lama di Desa Gunung Melayu, tak seberapa jauh melangkah ke arah selatan dari Ibukota Kabupaten, Kisaran. Sejak dibukanya perkebunan-perkebunan di daerah Sumatera Timur termasuk daerah Asahan seperti H.A.P.M, SIPEF, London Sumatera dan lain-lain menyebabkan terjadinya banyak masalah di tengah rakyat. Sementara tak banyak catatan mengenai peralihan dari masa kolonial Belanda ke jaman kolonial Jepang, hanya keberadaan Jepang yang diyakini sebagai Pemerintahan Fasisme2 yang dalam catatan masih menyandarkan eksploitasi warisan Belanda, bahkan lebih kejam. Daerah ini pun disinyalir oleh beberapa ahli mempraktekkan feodalisme3 yang menindas rakyat.

Perjuangan Reforma Agraria di Bukit Kijang, Asahan, Sumatera Utara

Ini Tanah Kami!

3

Pada fase ini kapitalisme memasuki era modern dan kaum swasta mulai menjatuhkan sistem monopoli yang diprakarsai oleh pemerintahan kolonial, langsung dari instruksi Kerajaan Belanda. Hal ini disebabkan kerana adanya kemajuan di bidang industri di Negeri Belanda, sehingga pihak swata dapat membangun perusahaan-perusahaan besar yang memiliki kemampuan untuk menyewa tanah dan mengupah para buruh. Apalagi dengan adanya Agrarische Wet (produk undang-undang pemerintahan kolonial) yang dapat menjamin pihak swasta untuk menginvestasikan modalnya. Agrarische Wet yang di buat tahun 870 menjamin pihak swasta untuk menanamkan modalnya dengan diperbolehkannya untuk menyewa tanah selama 75 tahun. Dengan semakin banyaknya swasta yang masuk ke Indonesia menyebabkan Indonesia menjadi negara penghasil bahan baku industri di Eropa, tempat pemasaran produksi negaranegara dunia pertama, tempat mencari untung yang besar dengan penanaman modal asing, dan juga tempat sumber tenaga kerja yang murah. Kepemilikan atas tanah telah menggeser masyarakat menjadi miskin sehingga tidak ada lagi lahan yang diolah untuk pertanian. Akhirnya, masyarakat dipekerjakan di lahanlahan perkebunan yang dimiliki oleh kaum swasta. Masalah-masalah penjajahan dan eksploitasi rakyat

yang fundamental ini tidak bisa tidak menjadi sebab utama terjadinya ketidakadilan agraria. Bahkan setelah Indonesia merdeka di tahun 945, tak pernah ada satu pun upaya pemecahan masalah yang menyeluruh di daerah ini. Karena mewarisi struktur agribisnis perkebunan kolonial Belanda, maka cengkeraman asing atas sumber-sumber agraria di negeri ini masih tetap kuat. Hingga awal dekade 950-an, wacana nasionalisasi perkebunan kolonial tak kunjung tercapai. Pada sekitar tahun 960-an awal (atau sekitar kurun 96-962) barulah dimulai proses nasionalisasi perkebunan asing yang dilakukan oleh pemerintahan Presiden Soekarno. Terjadi landreform pada tahun 96 yang mengambil tanah dari Perusahaan Harrison, perusahaan perkebunan Inggris, dengan luas kurang lebih 4.000 hektar. Tanah inilah yang dijadikan sebagai Kebun Dwikora II, yang pada perkembangan selanjutnya ternyata usaha yang dilakukan kebun ini merugi. Proses redistribusi tanah-tanah itu sendiri kepada rakyat tak lain dan tak bukan adalah karena disahkannya UU Pokok Agraria No. 5 Tahun 960 oleh pemerintahan Presiden Soekarno. Namun, masa-masa indah bagi kaum tani itu hanya berlangsung seumur jagung. Setelah terjadi peristiwa G30S di tahun 965, praktis pelaksanaan landreform secara nasional terhenti dan tentu berimbas pada keadaan di Gunung Melayu dan Asahan. Kaum tani kembali tertindas, dan masa gelap ketidakadilan agraria kembali berlanjut. Bibit neoliberalisme Terjadi pergantian kekuasaan di tahun 966-967, muncullah rejim baru pimpinan Soeharto yang dikenal

Perjuangan Reforma Agraria di Bukit Kijang, Asahan, Sumatera Utara

Ini Tanah Kami!

5

dengan nama Orde Baru. Celakanya, kebijakan rejim Soeharto malah semakin menindas rakyat. Pemimpin otoriter ini jelas-jelas tidak menjalankan cita-cita luhur bangsa Indonesia dan mandat konstitusi demi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Rejim Soeharto malah menerapkan sistem pembangunan ekonomi yang berorientasi pertumbuhan, yang ditopang oleh sistem politik otoriter. Hal ini mengakibatkan selama 32 tahun rejim Orde Baru berkuasa terjadi banyak pencaplokan sumber-sumber agraria, baik atas nama pemerintah yang korup maupun kolaborasi dengan perusahaan-perusahaan raksasa-produsen besar-dan konglomerat yang berkarakter kapitalistik-neoliberal. Kemudian, rejim Soeharto adalah penebar bibit neoliberalisme semenjak pertama kali memegang tampuk kepemimpinan negeri ini. Secara historis, undang-undang yang pertama disahkan saat Soeharto berkuasa adalah UU No. Tahun 967 tentang Penanaman Modal Asing. Dengan momen inilah ditandai eksploitasi kekayaan alam Indonesia, terutama di sektor agraria. Perkebunan asing yang hingga kini menguasai 67 persen kepemilikan lahan serta perusahaan transnasional asing pengeruk gas, minyak bumi dan mineral4 mulai masuk pada masa itu. Dalam prakteknya di bumi Bukit Kijang, Asahan, di era ini, para buruh tani yang mendapatkan tanah wedana dan objek landreform pada kurun 96-962 nasibnya makin tak menentu. Mengapa? Karena yang terjadi di lapangan malah terbalik 80 derajat dari apa yang diinginkan rakyat. Dengan harapan mendapatkan bantuan setelah mendapat tanah

landreform, harapan tersebut secara total pupus karena tanah-tanah tersebut malah diambil lagi baik secara jual-beli maupun paksa oleh negaradan berkolaborasi dengan perusahaan-perusahaan besar perkebunan yang kini masuk lagi ke bumi Indonesia. Tercatat PT London Sumatera5, masuk ke bumi Asahan pada tahun 967-968tepat hanya beberapa saat setelah UU PMA disahkan. Karena kekayaan sumber agraria di daerah ini, tak pelak membuat perusahaanperusahaan besar dan para penguasa ngiler. Di daerah Asahan, berkaitan dengan perkebunan, sebenarnya sejarah membuktikan bahwa telah banyak tanah dibentang dan pabrik didirikan atas nama pencarian laba. Group Wilmar, sebuah holding company transnasional juga tercatat menanamkan modalnya di sini sejak lama, dengan membenamkan investasi tak kurang dari 4 milyar rupiah6. Para penangguk profit-konglomerat lokal juga lebih banyak tercatat ambil bagian, seperti Bakrie Sumatera Plantation, dengan total investasi 7 milyar rupiah7dan masih ada usaha lain di industri karet di luar investasi tersebut. Grup Astra juga tak ketinggalan, dengan Astra Agro Lestari-nya, dan raksasa sawit Indonesia, Raja Garuda Mas dengan Asian Agri-nya memiliki tanah yang sangat luas di bumi Asahan. Bibit neoliberalisme ini makin subur beranak-pinak di Indonesia, seiring dengan makin tak seimbangnya struktur kepemilikan sumber-sumber agraria di daerah-daerah. Layaknya daerah lain yang memiliki pengalaman serupa, rakyat Bukit Kijang, Asahan juga merasakan sumber pendapatan masyarakat terus berkurang karena lahan yang bertambah

Perjuangan Reforma Agraria di Bukit Kijang, Asahan, Sumatera Utara

Ini Tanah Kami!

7

sempit. Tanah warisan dari nenek moyang, adat, atau kepemilikan pribadi di desa-desa mereka rasakan makin menipis. Menurut Waris, salah satu tetua masyarakat di Desa Gunung Melayu, Asahan, kepemilikan rakyat secara umum di daerah ini hanya sekitar 0,5 hingga ,5 hektar. Hal ini tergantung pada faktor warisan turunan dari nenek moyang, dan juga hasil landreform yang terhenti di tahun 965dan beberapa hasil okupasi dan reklaiming warga. Secara politik, rejim Soeharto melaksanakan pembangunan berdasarkan dana bantuan asing seperti moneter IMF dan Bank Dunia. Namun dalih pembangunan tersebut sebenarnya adalah untuk melanggengkan kekuasaan penguasa dan pedagang. Bibit neoliberalisme yang menghancurkan bangsa Indonesia ditanam dengan memainkan peran negara yang sangat tinggi, sehingga pada saat ini negara berperan sentralistik dalam segala urusan rakyat. Berkaitan dengan hal ini, sumber-sumber agraria dan pasar domestik (bersama juga dengan pasar internasional) digunakan seluas-luasnya untuk kepentingan penguasa dan pedagang. Pemerintahan otoriter Soeharto jelas memungkinkan untuk pelaksanaan hal ini, dengan berbagai produk hukum yang sangat menjauhi kepentingan rakyat. Dengan jepitan dari level internasional (IMF, Bank Dunia, GATT-WTO) yang merangsek perekonomian negeri ini untuk membuka jalan menuju pasar bebas dan kolaborasi dengan tekanan nasional dari pemerintah otoriter Soeharto, maka tak pelak lagi Indonesia saat ini jauh dari konstitusi dan cita-cita keadilan sosial. Dalam tatanan kebijakan

maupun implementasi riil, era 32 tahun Orde Baru adalah masa gelap yang makin menuntun Indonesia ke episode lanjutan ketidakadilan agraria. Di tengah masyarakat, era Orde Baru adalah jaman depolitisasi rakyat. Rakyat dibiarkan tertidur dan seakan-akan dibuat buta politik. Kemerdekaan berbicara, berserikat, mengeluarkan pendapat secara lisan maupun tulisan dibekap oleh pemerintah. Di masa ini, organisasi rakyat yang dulunya ada di desa yang anggotanya berbasis petani maupun buruh dibubarkan. Dalam konteks Asahan, pada kurun waktu 965 dan setelahnya ribuan petani dan buruh perkebunan dijebloskan ke penjara dengan tuduhan terlibat G30S. Ribuan lainnya hilang atau mati dihajar militer Orde Baru, dan langsung digantikan dengan pencaplokan tanah maupun masuknya perusahaanperusahaan ke tanah-ranah rakyat di desa. Kemiskinan dan represi selama 32 tahun akhirnya diperburuk pula oleh pelaksanaan Konsensus Washington (deregulasi, privatisasi, liberalisasi) di era 980-an dan 990-an. Masalah utang dan pasar bebas mau tak mau mempengaruhi struktur ekonomi-politik hingga ke desa. Struktur pemerintahan yang korup, penuh kolusi, tentunya tak bisa menyejahterakan rakyat. Simpul-simpul ekonomi hanya dikuasai oleh segelintir tangan belaka, dengan kolaborasi rejim dan perusahaan-produsen besar. Militer menekan perlawanan dan suara rakyat, dan bibit neoliberalisme jelas tumbuh subur dalam kondisi seperti ini. Pembangunan pedesaan semasa Orde Baru juga dirancang sebagai pendukung bagi pembangunan

Perjuangan Reforma Agraria di Bukit Kijang, Asahan, Sumatera Utara

Ini Tanah Kami!

9

industri perkotaan dengan politik pangan murah, pembangunan pertanian yang berorientasi ekspor dan penguasaan besar dari perusahaan-produsen besar dan konglomerat, serta tak lupa buruhburuh yang dibayar murah. Secara sosial politik struktur demokrasi pedesaan pun dihilangkan. Menyemai benih perjuangan Penindasan politik, penguasaan aset ekonomi pada segelintir orang, dan represi militer di era Orde Baru dirasakan sepenuhnya oleh kaum tani. Langsung pada kasus Bukit Kijang, perlawanan kata-kata dari petani yang merasa terjajah di negeri sendiri pasti langsung dicap pemberontak atau ekstrim kiri, dan langsung dihubungkan dengan G30S dan PKI. Hal ini pula yang menyebabkan selama 32 tahun praktis UU Pokok Agraria No. 5 Tahun 960 dipetieskantidak dihapuskan, tapi tidak pula dilaksanakan. Namun jika ditelaah, ternyata represi yang kejam ini pula yang menghasilkan bara api perjuangan yang membara di dalam hati petani. Di desa-desa, walaupun parsial dan sangat terbatas, banyak terjadi konflikbaik antara kaum tani dengan penguasa, negara, maupun perusahaan. Adalah jelas, akibat langsung dari tidak dijalankannya pembaruan agraria adalah semakin meningkatnya konflik agraria. Sepanjang tahun 1970-2001, tercatat telah terjadi .753 kasus-kasus agraria8 yang bersifat struktural. Konflik tersebut juga menyebabkan terjadinya penangkapan, penembakan, penculikan, kriminalisasi, pembunuhan dan tindakan represif lainnya terhadap para yang memperjuangkan pelaksanaan pembaruan agraria.

10Konflik-konflik inilah, yang tentunya merupakan akumulasi dan resultan dari proses-proses yang dinyatakan sebelumnya, yang mulai menggerakkan kaum tani di berbagai daerah di Indonesia. Bukit Kijang, salah satu daerah yang sudah lama menderita karena ketidakadilan agraria, pun mulai bergerak, bergemuruh. Petani-petani dalam tekanan yang luar biasa akhirnyawalaupun dalam keadaan terjepitmencoba mengkonsolidasikan kekuatannya. Meski kecil, meski dianggap tak signifikan, namun menegakkan hak-hak di tengah kondisi yang mengerikan seperti era ini, tak pelak menjadi keharusan.

Perjuangan Reforma Agraria di Bukit Kijang, Asahan, Sumatera Utara

Ini Tanah Kami!

Konflik: Dekade 1980-anMengapa harus bertani?Sekitar tahun 973, beberapa buruh tani dari Desa Gunung Melayu, Asahan mulai turun menggarap tanah di daerah Bukit Kijang. Daerah ini dulunya masih merupakan hutan-semak-dan padang ilalang, dan pada masa itu tentunya terbengkalai (tak tergarap). Seperti kaum tani di daerah Asahan pada umumnya, para buruh tani ini adalah kaum tertindas yang hanya memiliki lahan pas-pasan paling luas sekitar 0.5 hektar per keluarga. Lainnya, tak bertanah. Dorongan ekonomi, seperti telah dinyatakan di atas, adalah salah satu pendorong terjadinya penggarapan-penggarapan pada masa ini.

1Menurut Suharto (42), petani Desa Gunung Melayu, Asahan, dari sejak tahun 973 itulah dimulai momentum pergerakan kaum tani di daerah tersebut. Walau sebenarnya pada saat itu para kaum tani belum mengerti untuk apa, bagaimana berorganisasi, dan/atau esensi dari gerakan rakyat. Namun, berkumpulnya beberapa buruh tani dan bersepakat menggarap tanah terbengkalai di daerah Bukit Kijang adalah contoh senyata-nyatanya pengorganisasian rakyat. Proses ini secara intens ternyata berlangsung hingga akhir dekade 980-an, terkait dengan beberapa fenomena serupa di beberapa daerah lain di Kabupaten Asahan9. Negeri ini adalah negeri agraris. Hal ini tercermin dari mayoritas rakyatnya yang mencari nafkah dari berproduksi dan mengkonsumsi hasil bumi yang dihasilkannya. Hampir seluruh etnis di Indonesia masih terikat pada kebudayaan agraris, dan berkecimpung di dalamnya untuk menyambung kehidupan. Di Asahan sendiri, hal ini terbukti dari struktur budaya Melayu maupun Jawa yang mewariskan secara kultural pertanian sebagai jalan hidup. Dengan metode turun-temurun, hal ini jelas menjadi kelembagaan dalam banyak aspek kehidupan rakyat Asahan, terutama Gunung Melayu. Selain itu, tanah yang sangat subur juga menjadi salah satu faktor penentu kebudayaan agraris masyarakat. Dan tentunya, kebudayaan luhur bangsa Indonesia yang tepa-selira, gotong-royong, tolong-menolong, yang dicerminkan dalam pertanianyang cenderung bersifat komunal. Hal di atas bisa dilihat jelas dalam proses produksi

Perjuangan Reforma Agraria di Bukit Kijang, Asahan, Sumatera Utara

Ini Tanah Kami!

3

hingga konsumsi di sektor pertanian. Gotong-royong dalam masa menanam, dan terutama panen, adalah kunci kebersamaan kebudayaan komunal pertanian di daerah ini. Bahkan, konsumsi hasil panen dinikmati bersamabisa dalam pesta-pesta adat dan budaya, atau kejadian penting seperti pernikahan, sunatan, atau pengajian. Pertanyaan yang muncul berikutnya adalah bagaimana kebudayaan tersebut bisa bertahan dan dipertahankan? Dengan fakta bahwa pertanian kita sudah berabad-abad lamanya, dan dengan pembanding di era 970-an yang menandai ideologi pembangunan ala rejim Soeharto. Pembangunan ini memang menyandarkan pada pertanian, namun pada nyatanya dengan pengaruh neoliberalisme, terlalu cepat beralih menjadi bias industri di perkotaan. Akhirnya, sektor pertanian menjadi korban. Kebijakan pemerintah dari era 970-an sampai 980-an adalah menciptakan pangan murah untuk menyokong pembangunan di kota-kota besar macam Jakarta. Hal ini tak lain karena ekonomi-politik yang berkarakter kapitalistik-neoliberal, dengan asumsi pertumbuhan tanpa batas, dan untuk itu harus membangun industri-industri berskala besar. Uangnya didapat dari investasi asing dan konglomerasi, sehingga hanya segelintir orang yang beruntung. Asumsi ini pula yang melandasi proses utang, kapitalisasi, deregulasi dan privatisasi Badan Usaha Milik Negara. Imbasnya tentu saja sampai ke desa. Jika petani kecil seperti di Desa Gunung Melayu sampai merasakan terjepit dari kebijakan tersebut, hal ini tentu tak bisa dibiarkan. Dalam perkembangannya, keberlanjutan

1kebijakan rejim ini mengakibatkan tidak meratanya distribusi pendapatan di kota dan desajuga pembangunan desa yang malah ditinggalkan. Dengan kondisi ini, di desa-desa banyak tertinggal petakpetak tanah yang dimiliki perusahaan besar, birokrat, konglomerat dan pengusaha. Sementara, penduduk desa tetap miskin. Dengan warisan budaya dan keinginan kuat untuk bekerja keras-mengolah tanah-berproduksidan menghasilkan, kaum tani di daerah melihat kesempatan bagus. Jelas, tanah-tanah absentee, terlantar, tak tergarap, milik orang-orang kaya dari amburadulnya struktur ekonomi-politik di masa itulah yang jadi sasaran. Tanah-tanah tersebut terbentang luas, terkadang puluhan hingga ratusan hektar. Di Gunung Melayu sendiri, tanah tersebut terbentang di pelosok hingga pedalaman gunung dan lembah yang kemiringannya bahkan sampai 60 derajat! Tanahtanah tersebut adalah tanah rakyat, hak kaum tani, yang dulunya merupakan aset perkebunan kolonial Belanda maupun tanah adat dan warisan keluarga. Dan tanah-tanah itu menunggu untuk digarap. Karena lapar tanah, Bukit Kijang pun digarap. Sesuai namanya, kontur tanah di daerah ini adalah berbukit, lengkap dengan lembah curam bersudut hampir 35 hingga 60 derajat. Sesuai namanya pula, dahulu daerah perbukitan di lokasi ini terdapat banyak kijang, karena daerahnya rimbun, subur, dan cukup terlindung. Hal ini mengundang banyak pula orang yang datang dari luar desa, luar wilayah sekitar hanya untuk berburu kijang di daerah tersebut. Bukit Kijang sendiri terletak di area dekat

Perjuangan Reforma Agraria di Bukit Kijang, Asahan, Sumatera Utara

Ini Tanah Kami!

5

tempat tinggal beberapa kaum tani yang mengerjakan lahan secara bergotong-royong. Tanah terbengkalai itu sendiri sebenarnya tidak diketahui persis status hukumnya pada awal-awal penggarapan (973 hingga awal 980-an). Namun yang jelas, prinsip tanah untuk penggarap sebenarnya terpatri di benak kaum tani di Gunung Melayu tersebut. Tanah di depan mata, subur, dan cukup luas akhirnya digarap oleh kaum tani Gunung Melayu yang berjumlah total 54 orang. Pertama-tama, orangorang buruh tani, petani kecil, dan tak bertanah ini memulai dari lahan yang kecil dulu. Selanjutnya, pada awal-awal tahun 980-an akhirnya lahan terbagi dengan luas keseluruhan mencapai hampir 00 hektar. Pembagiannya sangat sederhana pada waktu itu, siapa yang sanggup menggarap langsung dipersilakan. Jadilah pembagian tanah tidak sama rata, karena ada yang menganggap sanggup menggarap 2 hektardipatok dan langsung diproduksi 2 hektar. Ada yang menyanggupi hanya sekitar hektar saja, maka sejumlah itulah lahan garapannya. Namun jika dipukul rata, kepemilikan lahan di Bukit Kijang hanyalah sekitar .2 hingga .5 hektar per keluarganya. Pada awal penggarapan, para petani tidak menyepakati untuk menanam tumbuhan jenis tertentu. Sejumlah 54 petani tersebut dalam prakteknya kemudian menanami apa saja tanah seluas hampir 00 hektar tersebut. Mulai dari palawija, tanaman obat hingga tanaman keras yang diambil kayunya (jati, sengon). Namun pada awalnya, sebenarnya yang ditanam adalah tanaman-tanaman yang cepat menghasilkan,

1terutama tanaman pangan. Hal ini dikarenakan kondisi dan situasi pangan lokal yang masih jauh dari cukup, dan kondisi ekonomi kaum tani di daerah tersebut yang tidak bisa tidak harus mandiri. Sebab jika menggantungkan dengan pasar dan harus membeli, tentunya akan semakin mencekik leher keluarga tani. Satu pertimbangan lagi mengapa yang ditanam adalah tanaman-tanaman pangan yang cepat menghasilkan, adalah kekhawatiran kaum tani di Bukit Kijang terhadap status tanah tersebut. Sudah awam terjadi konflik antara kaum tani dengan perusahaan milik negara atau swasta, investor, atau pribadi-pribadi yang mengklaim tanah-tanah di desa sekitar. Pihakpihak yang mengaku pemilik tanah tersebut di masa itu tak segan-segan mengintimidasi petani, merepresi, bahkan mengerahkan kekuatan pemerintah, militer atau polisi untuk mengusir kaum tani dari lahannya. Karena alasan strategis inilah, tanah langsung saja ditanami sehingga tampak secara fisik sebagai lahan pertaniandan sesuai pula dengan prinsip tanah untuk penggarap (land to the tiller). Yang uniknya, sebenarnya pada dasarnya tidak ada teori-teori tertentu yang mendasari aksi 54 orang kaum tani Bukit Kijang ini. Prinsip tanah untuk penggarap dimengerti sederhana, karena warisan budaya agraris dan jepitan ekonomi saat itu. Tanah terbengkalai di depan mata pun langsung disulap jadi garapan. Dengan aksi ini, kaum tani Bukit Kijang mengklaim haknya dengan aksi secara langsung. Dan bagusnya, pranata sosial di masyarakat jelas menyatakan bahwa tanah yang digarap, dirawat dan ditanam otomatis dianggap kepemilikan. Sementara

Perjuangan Reforma Agraria di Bukit Kijang, Asahan, Sumatera Utara

Ini Tanah Kami!

7

tujuan turunannya yang praktis juga ada. Walau nanti digusur atau diusir dari lahan, bisa tetap mendapatkan ganti rugi dari tanaman yang sudah susah payah digarap. Konflik agraria dimulai Seperti yang telah dijelaskan, sejarah kaum tani di Asahan pada khususnya, dan Sumatera Utara pada umumnya adalah sejarah penderitaan buruh tani0. Buruh-buruh tani ini adalah kaum tani yang bekerja di perkebunan, yang di atas telah diceritakan mewarisi struktur agribisnis kolonial Belanda. Di era 1980-an, mulai muncul beberapa konflik yang melibatkan kaum tani dengan perusahaan perkebunan dan investor. Hal ini juga merupakan berkah dari UU Pokok Agraria No. 5 Tahun 960, karena dari banyak perkebunan yang tersebar di Sumatera Utara hampir semuanya terikat dengan UU ini. Terikat dalam hal ini berkaitan dengan Hak Guna Usaha yang merupakan salah satu ketentuan pokok yang diatur dalam UU tersebut. Walau UU ini dipetieskan pasca 966, namun ada sebuah aturan yang sanggup menjadi senjata ampuh bagi para kaum tani di daerah ini. Aturan itu menyangkut pembatasan waktu HGUselama 25 tahun kepada perusahaan perkebunan dan investor2. Di dekade inilah secara signifikan muncul akumulasi konflik-konflik agraria yang selama ini tak digubris rejim Orde Baru. Di dekade ini pula muncul secara manifest (nyata, termateri) konflik-konflik agraria antara perkebunan besar dan buruh-buruhnya, karena tuntutan mereka untuk membagikan tanah

1yang habis HGU-nya tersebut3. Akumulasi dari beberapa hal di atas membuat era 1980-an sebagai ledakan konflik agraria, dengan variannya yang berbeda-beda. Konflik-konflik yang terjadi, yang melibatkan perkebunan saja mencapai ratusan konflik4, belum yang terpecah-pecah dengan kepemilikan pribadi. Dengan tumpang-tindihnya struktur agraria di 32 tahun Orde Baru beserta kelakuan korup dan kolusi pemerintah dengan swasta, keadaan ini tak pelak lagi menuntun menuju puncak konflik agraria. Akhirnya seperti yang kita lihat, puncak derita rakyat yang miskin tak bertanah juga mencapai ledakannya di dekade ini. Sementara pada kasus Bukit Kijang, konflik terjadi dengan esensi yang sama. Walaupun yang berhadaphadapan adalah kaum tani dengan investor (pemilik tanah luas), namun hal ini sesuai dengan situasikondisi agraria yang karut marut hingga saat ini. Latifundia (tuan tanah) lokal di Bukit Kijang, Miskamto alias Camcin, mengklaim memiliki tanah seluas kurang lebih 00 hektar. Sementara, tanah tersebut tidak digarap sendiri olehnya (absentee) dan ditelantarkan pula. Dan tentu saja struktur yang demikian sangat tidak adil karena perseorangan bisa memiliki tanah yang sangat luas (ratusan hektar), sementara rakyat di sekitarnya yang miskin malah tak bertanah sama sekali. Di Sumatera Utara sendiri, dekade 980-an adalah momentum yang cukup mewakili gambaran konflik agraria. Pada dekade ini pulalah konflik agraria yang monumental terjadi di Porsea, yang menghadapkan

Perjuangan Reforma Agraria di Bukit Kijang, Asahan, Sumatera Utara

Ini Tanah Kami!

9

petani, masyarakat adat tani dengan PT Inti Indorayon Utama, yang berubah nama menjadi PT Toba Pulp Lestari. Perlawanan kaum tani dalam konflik ini berlangsung bertahun-tahun, bahkan dua dekade. Tipologi konflik agraria semacam ini juga semakin memetakan petani versus pengusaha. Yang sering terjadi adalah masuknya perusahaan ke teritori dan ruang-ruang sosial petani dengan mode produksi yang kapitalistik. Dengan semua yang dihitung secara ekonomis-matematis dan didukung pula oleh sistem ekonomi-politik saat itu, konflik agraria pun tak terelakkan lagi. Pengusaha ingin tanah untuk pabrik dan perkebunannya, sehingga mencaplok tanah petani dan masyarakat adat. Hal-hal inilah yang terjadi secara umum, dan juga menjadi latar belakang yang relevan bagi konflik agraria di Bukit Kijang yang akan dikupas lebih lanjut nanti. Di masa yang akan datang, konflik agraria yang terjadi di daerah-daerah ini sering melibatkan investasi di bidang pertanian yang berorientasi ekspor. Seperti yang telah dinyatakan sebelumnya, struktur agribisnis yang demikian jelas masih berciri kolonial. Karakteristiknya yang monokultur, berorientasi ekspor dan masif tentunya bertentangan dengan karakteristik pertanian rakyat yang subsisten, berorientasi lokal dan berbasiskan keluarga. Komoditi ekspor macam sawit, karet, dan serat (eukaliptus, pinus) akan semakin memperburuk tatanan agraria terutama di daerah pedesaan. Cengkeraman modal untuk memperluas usaha, memperbesar skala ekonomi, menambah produktivitas, dan akhirnya memperkaya diri akan mengakibatkan semakin jatuhnya tanahtanah di pedesaan ke kaum pemodal.

0Dalam penuturannya yang sangat lugas, Achmad Yakub (2007) menyatakan dengan jelas bahwa tipologi konflik-konflik semacam ini makin meluas. Dari hanya berkisar di sekitar area perkebunan (9701980-an), konflik nyata-nyata berkembang terus menjadi pembangunan sarana umum, perumahan, kehutanan, pabrik, infrastruktrur, turisme dan pariwisata, dan sebagainya5. Dan konflik-konflik agraria ini selalu menjadikan kaum tani sebagai objek penderita, karena dari berbagai pengalaman kriminalisasi petani6. Dengan meledaknya konflik-konflik agraria di era 980-an, maka perjuangan kaum tani Bukit Kijang pun memasuki tahapan selanjutnya. Kolektivitas, persatuan dan kesatuan antara 54 orang kaum tani yang menggarap lahan absentee itu akan terus diuji dengan situasi dan kondisi semakin gawat ini.

Perjuangan Reforma Agraria di Bukit Kijang, Asahan, Sumatera Utara

Ini Tanah Kami!

2

Gerakan Sosial: Dekade 1990-anTidak bisa tidak ada organisasi tani Dalam perjalanannya, perjuangan kaum tani di Bukit Kijang ternyata belum begitu solid di era 980an. Menurut salah seorang petani, Waris (64), saat itu walaupun ada beberapa pengetahuan mendasar mengenai pengorganisasian kaum tani, namun untuk merealisasikan ide tersebut dinyatakannya sangatlah sulit. Persoalan ini tak lain dan tak bukan karena mulai semakin intensnya konflik, yang waktu itu ditandai dengan klaim Miskamto alias Camcin terhadap tanah garapan kaum tani Bukit Kijang. Isuisu merebak, dan provokasi maupun intimidasi baik langsung maupun tidak, kerap didapatkan

petani. Beberapa kegiatan pada akhir era 980-an (sekitar 988) hingga tahun 99 dihabiskan untuk menangkis isu-isu tak sedap maupun kawan-kawan kaum tani yang mendapatkan intimidasi. Namun yang menarik adalah, kolektivitas, persatuan serta kesatuan kaum tani relatif terjaga walaupun mendapatkan represi yang tak mengenakkan tersebut. Belum lagi jika dipikir-pikir, petani seharusnya berkonsentrasi menggarap dan memproduksi di atas tanah pertaniannya dibandingkan mengurus hal-hal yang lain. Walau begitu, di tahun-tahun awal 990an sebenarnya konsolidasi antarkaum tani di Bukit Kijang sudah semakin intensif berjalan. Beberapa tokoh masyarakat sekaligus tetua di Bukit Kijang dan Desa Gunung Melayu menjadi tonggak-tonggak dijalankannya komunikasi awal ini.Waris (64) dan Suwandi (57) adalah beberapa dari tokoh-tokoh perjuangan kaum tani Bukit Kijang. Pak Waris selain merupakan tokoh yang dituakan di kampung asalnya, juga adalah sebagai guru mengaji Al Quran bagi penduduk sekitar. Tercatat hampir seluruh kaum tani Bukit Kijang yang berjuang mempertahankan haknya pernah mengecap pelajaran membaca Al Quran dari beliau. Sementara Suwandi adalah tokoh masyarakat yang cukup disegani karena kepemimpinannya, dan tak lelah-lelah mengajak kaum tani untuk berkumpul sekadar wirid atau musyawarah singkat di rumah-rumah petani. Beliau juga yang mengusulkan pertemuan rutin di lahan, agar bisa menghindar dari represi yang saat itu sedang kencang-kencangnya dilakukan dilakukan rejim Soeharto.

Perjuangan Reforma Agraria di Bukit Kijang, Asahan, Sumatera Utara

Ini Tanah Kami!

23

Demikianlah, akhirnya konsolidasi antarkaum tani Bukit Kijang sering dilakukan secara gerilya. Pertama-tama dilakukan di pertemuan-pertemuan kecil macam wirid17 dan acara keagamaan, di masjid atau di rumah. Namun pertemuan-pertemuan ini dirasakan kurang bernas karena tidak bisa berbicara lugas dan lengkap. Masalahnya lagi, terkadang anggota kaum tani yang menggarap lahan sering tidak lengkap jika mengandalkan metode ini. Jadilah usulan pertemuan langsung di ladang pada awal tahun 990-an dilaksanakan. Teori memang terlihat gampang, namun prakteknya sebenarnya sangatlah sulit. Di lapangan, represi rejim Soeharto pada saat itu memang sedang gencargencarnya8. Pada dekade 990-an, militer dari komando tertinggi hingga desa terus mengintip celahcelah perjuangan rakyat: dimana ada konsolidasi, dimana ada pertemuan. Hampir setiap pertemuan rakyat baik organisasional maupun tidak, atau perkumpulan orang yang berjumlah diatas lima orang, pada era itu selalu dicap subversif oleh pihak rejim. Tak pelak lagi, membangun organisasi rakyat di masa itu amatlah susah payah dimulaiapalagi dijalankan dengan efektif dan efisien. Tapi karena tanah garapan sudah ditanam, ada sesuatu yang harus dipertahankan. Hal inilah yang mendorong kaum tani Bukit Kijang menempuh bahaya dan represi rejim demi menegakkan hak-haknya. Dengan perlindungan dari tanaman, penggarapan, dan naluri untuk mempertahankan tanah maka bisa diadakan pertemuan-pertemuan di tanah garapan secara intensif.

Kendala pertama yang muncul ternyata masih kendala yang dulu-dulu juga. Pengorganisasian masih belum intensif, sehingga intensitas kedatangan dan pertemuan masih belum rutin. Didukung pula oleh buruknya koordinasi di awal-awal pengorganisasian, sehingga terkadang yang datang hanya beberapa orang sementara yang lainnya absenatau sebaliknya. Sehingga awam sekali konsolidasi kaum tani Bukit Kijang tidak bisa mencapai keseluruhan dari 54 petani yang bersama-sama menggarap lahan tersebut. Kendala ini akhirnya dipecahkan dengan cara gotong-royong, karena disadari dengan sulitnya represi, mengatur jadwal dan kesibukan petani yang lain memang mustahil untuk menghadirkan semua personil perjuangan. Kendala kedua jelas masalah komunikasi. Belum ada teknologi yang bisa menjembatani para petani Bukit Kijang. Pada saat itu, terkait keadaan ekonomi yang sangat memprihatinkan tentunya keterbatasan alat komunikasi juga sangat terasa. Jelas mustahil bagi kaum tani untuk membeli atau mewujudkan alat komunikasi yang harganya masih setinggi langit. Semuanya serba terbatas. Pertemuan langsung, mau tak mau merupakan satu-satunya jalan. Untuk itulah dirancang pengorganisasian dengan pertemuan di masjid, acara keagamaan di rumah-rumah, dan akhirnya seperti yang diterangkan di atas: konsolidasi di lahan garapan. Kendala selanjutnya, dan yang sangat mengganggu adalah mulai intensifnya intimidasi berupa ancaman dari Miskamto alias Camcin. Modus operandi pemilik lahan ini adalah dengan menggunakan polisi untuk

Perjuangan Reforma Agraria di Bukit Kijang, Asahan, Sumatera Utara

Ini Tanah Kami!

25

melakukan represi terhadap kaum tani Bukit Kijang. Tercatat polisi beberapa kali datangatau bahkan para petani dipanggil ke Polsek setempat. Dalam tahapan ini, yang mengambil peran bahkan Kapolseknya sendiri. Bisa dibayangkan betapa kekuatan modal bisa berkolaborasi negatif dengan penegak hukum, bahkan untuk merepresi rakyat. Pada masa ini, perihal interogasi dan pertanyaan-pertanyaan polisi merujuk kepada status keabsahan kepemilikian tanah yang digarap kaum tani. Bagaimana status hukum, bukti berupa sertifikat atau lainnya, dan sebagainya. Hal ini karena laporan Miskamto alias Camcin yang seperti sebelumnyamengklaim tanah di area tersebut miliknya dan ia juga mengklaim memiliki bukti hukum yang sah, berupa sertifikat, atas tanah tersebut. Dengan masalah-masalah yang makin serius ini, tidak bisa tidak harus ada ikatan untuk menyatukan ke54 petani Bukit Kijang. Pemikiran dari para tetua dan tokoh masyarakat ini juga diamini oleh para petani lain seiring dengan makin intensifnya konsolidasi sembunyi-sembunyi di lahan. Wadah organisasi ini, selain akan mempersatukan anggotanya diharapkan bisa menjadi alat kaum tani untuk mencapai tujuan awal didirikannya organisasi tersebut: mendapatkan tanah tersebut dan bisa bertani di atasnya. Akhirnya, pada tanggal 27 Januari 992 para petani Bukit Kijang mendirikan Organisasi Tani Lokal (OTL) yang diberi nama Tani Jaya. Organisasi ini memang menyatukan ke-54 petani yang sebelumnya menggarap tanah di Bukit Kijang, dan dengan aturan-aturan yang dibuat mengikat

anggotanya diharapkan bisa lebih mempertajam dan merealisasikan tujuan awal pendiriannya. Aturan-aturan yang dibuat sangat antisipatif. Anggota OTL Tani Jaya sadar untuk mencapai tujuannya, tidak dibutuhkan kompromi atau konsesi-konsesi dalam prosesnya. Perjuangan kaum tani Bukit Kijang sangat tulus dan luhur, ingin meletakkan pondasi bahwa petanilah yang harus menggarap lahannya sendiri. Dalam kasus ini, seringkali pada kasus-kasus konflik agraria di daerah sekitar awam terjadi proses ganti rugi. Kemungkinan proses ganti rugi inilah yang ingin dihindari oleh kaum tani yang tergabung dalam OTL Tani Jaya. Kesadaran bahwa ganti rugi adalah salah satu alat kompromi yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip dasar organisasi secara eksplisit sering disampaikan dalam pertemuan-pertemuan dan konsolidasi. Hal ini mengingat dengan isu-isu dan intimidasi bahwa klaim Miskamto alias Camcin dengan sertifikatnya, isu bisa dibelokkan dan kaum tani dalam OTL Tani Jaya nantinya bisa dipecahbelah-kuasai dengan ganti rugi. Camcin punya sertifikat Dan ternyata isu itu memang benar. Miskamto alias Camcin ternyata memang benar-benar memegang sertifikat tersebut di tangannya. Parahnya lagi, ternyata bukan satu sertifikat belaka, melainkan beberapa sertifikat! Tanah di Bukit Kijang diklaim miliknya, dengan kepemilikan yang dipecah-pecah dalam beberapa bukti legal. Hal itu terungkap dari beberapa pertemuan awal dan interogasi yang mengarah pada intimidasi oleh pihak

Perjuangan Reforma Agraria di Bukit Kijang, Asahan, Sumatera Utara

Ini Tanah Kami!

27

Polsek, dengan isu-isu dan pengungkapan dari Kapolsek sendiri. Namun pada saat itu, Miskamto alias Camcin belum bersedia menunjukkan sertifikatsertifikatnya tersebut. Para petani yang tergabung dalam OTL Tani Jaya pada awalnya memang sedikit goyah dengan isu ini. Namun dengan manfaat pertemuan dan konsolidasi internal yang rutinakhirnya diplot seminggu sekali akhirnya isu-isu ini bisa dihempang. Kaum tani Bukit Kijang memutuskan untuk lebih berkonsentrasi pada proses produksi dan penggarapan lahan pertanian saja, daripada pusing memikirkan isu-isu legal dan intimidasi dari pihak Miskamto alias Camcin. Dalam tahapan ini, OTL Tani Jaya sebagai organisasi tani memutuskan untuk bersikap bertahan dalam rangka menunggu perkembangan selanjutnya. Namun serempak dengan itu, pertahanan yang dilakukan juga tidak hanya pasif, namun terus bergerak, mengkonsolidasikan kekuatan-kekuatan dan informasi yang didapatkan dari proses-proses sebelumnya. Dan yang terpenting muncul kesepakatan final bahwa lahan tersebut akan dipertahankan oleh kaum tani bagaimanapun caranya. Di akhir-akhir nanti, ternyata diketahui bahwa sertifikat yang dimiliki Miskamto alias Camcin memiliki kecacatan yang merupakan berkah bagi kaum tani Bukit Kijang. Sertifikat yang cukup banyak itu (yang bertanggal 25 Maret 979), ternyata kurang tepat menyebutkan lokasi asli dimana tanah garapan tersebut berada. Dari pertemuanpertemuan dan intimidasi yang dilakukan Miskamto alias Camcin beserta oknum aparat Polsek, petani

menemukan fakta yang mengganjal di dalam sertifikatsertifikat Miskamto alias Camcin tersebut. Tentu saja pada saat pertemuan-pertemuan awal dengan Polsek hal ini belum diungkapkan oleh petani. Hal ini cukup menguntungkan, karena setelah pembahasan selanjutnya dengan seluruh anggota OTL Tani Jaya, akhirnya ditemukan strategi baru. Strategi ini bisa berguna jika isu perjuangan kaum tani ini dibelokkan ke arah aspek legal tanah Bukit Kijang tersebut. Sertifikat Miskamto alias Camcin menyatakan bahwa tanah kepemilikannya itu terletak di Desa Bandar Pulau. Sementara secara administratif, petani menyadari bahwa tanah yang digarapnya tersebut berada dalam lingkup Desa Gunung Melayu. Dengan strategi bertahan, sebenarnya kaum tani anggota OTL Tani Jaya ingin menunggu perkembangan selanjutnya terutama yang melibatkan represi dari pihak Miskamto alias Camcin, oknum polisi dan militer. Walau sebenarnya jika merujuk ke hal legal, cacat sertifikat ini bisa menjadi celah yang bisa dimanfaatkan dan bisa menjadi titik balik kemenangan kaum tani. Namun hal tersebut tidak dilakukan, karena beberapa pertimbangan. Pertimbangan pertama, jelas karena tujuan awal didirikannya organisasi perjuangan kaum tani OTL Tani Jayaadalah untuk mendapatkan tanah tersebut, dan untuk menggarapnya. Persoalan legal maupun tidak legal, para petani merasakan bahwa hal tersebut merupakan persoalan nomor kesekian. Yang terpenting

Perjuangan Reforma Agraria di Bukit Kijang, Asahan, Sumatera Utara

Ini Tanah Kami!

29

adalah penegakan hak-hak kaum tani di atas tanah yang digarapnya (prinsip land to the tiller). Pertimbangan kedua, karena keseluruhan 54 anggota OTL Tani Jaya jelas tidak ada yang paham seluk-beluk hukum legal. Apalagi tingkat pendidikan kaum tani anggota OTL Tani Jaya rata-rata adalah setara pendidikan dasar, sehingga tidak bijaksana untuk terjun ke dalam aspek legal yang rumit-njlimet. Jika mengurusi aspek legal jelas akan ada pengorbanan waktu yang tidak sedikitdibandingkan dengan tekanan sosial-ekonomi-politik saat itu yang sangat membutuhkan proses produksi di atas lahan pertanian. Dengan fakta-fakta ini, jelas bahwa aspek legal bukan substansi dari konflik agraria ini. Ini adalah masalah hak: masalah kedaulatan kaum tani di atas sumber-sumber agraria yang harus dimilikinya sendiri! Namun demikian, pada pertemuan dan negosiasi selanjutnya, muncul perkembangan dan intimidasiintimidasi yang jelas tidak bisa dipecahkan seluruhnya oleh kaum tani Bukit Kijang sendiri. Kebutuhan akan bantuan dari pihak luar ini selanjutnya membuat beberapa pengalaman pahit maupun juga kemenangan-kemenangan yang mempengaruhi perjuangan di masa yang akan datang. Negosiasi dan oportunisme Kebutuhan pihak luar, salah satu beban yang diderita oleh OTL Tani Jaya, tak perlu ditunggu lama. Luasnya lahan dan kesempatan kemenangan konflik agraria ternyata juga membuat ngiler beberapa pihak.

30Di sisi lain, oportunisme serta motif-motif politik juga mungkin menjadi latar belakang pihak-pihak yang membantu perjuangan petani saat itu. Sejarah juga membuktikan bahwa pada saat itu gerakan sosial di Indonesia sangat miskin segala sumber daya, termasuk logistik dan orang-orang. Dengan demikian, hanya beberapa pihak yang bisa mendampingi konflik-konflik yang dialami rakyat kala itu. Dalam kasus Bukit Kijang, muncul bantuan tak terduga dari individu yang mengatasnamakan partai politik9. Bantuan itu datang dari seorang aktivis/tokoh Partai Demokrasi Indonesia (PDI) di tahun 990 awal. Adalah Siswo Kasmoyo, nama orang tersebut, yang menawarkan bantuan semacam advokasi terhadap kesulitan-kesulitan yang makin meradang OTL Tani Jaya. Siswo sendiri adalah warga yang berdomisili di sekitar Desa Gunung Melayu. Jadi, latar belakang dan sejarahnya sedikit banyak diketahui oleh kaum tani di sana. Namun, motif Siswo pada saat itu tentunya belum bisa dibaca oleh para petani anggota OTL Tani Jaya. Kekacauan dan hiruk pikuk informasi yang berseliweran membuat situasi-kondisi makin tak jelas, dan hal ini membuat para petani agak tertekan di masa itu. Ditambah dengan represi Polsek, makin lengkaplah ricuhnya suasana. Kemudahan negosiasi legal juga merupakan tawaran menggiurkan yang tidak bisa ditolak, karena kesibukan dan keterbatasan OTL Tani Jaya menghadapi konflik ini. Jarak antara lahan pertanian dan tempat tinggal kaum tani juga menjadi salah satu pertimbangan. Dan tentunya, para kaum tani secara psikologis mengharapkan kemenangan

Perjuangan Reforma Agraria di Bukit Kijang, Asahan, Sumatera Utara

Ini Tanah Kami!

3

karena ada celah-celah yang bisa dimanfaatkan dari kesalahan sertifikat Miskamto alias Camcin. Asistensi pertama dari Siswo dilakukan dengan penandatanganan surat kuasa plus materai, dengan mengalihkan aspek-aspek legal agar bisa diurus olehnya. Namun pada saat itu, tercatat Siswo belum apa-apa sudah mengutip biaya dari kaum tani. Biaya itu sebagai dalih biaya administrasi dan ongkosongkos jalan untuk mengurus negosiasi legal dari konflik agraria yang dialami. Dengan cepat, uang sebesar Rp 2.000, terkadang Rp 6.000 per kepala berpindah tangan. Menurut laporan para petani anggota OTL Tani Jaya, Siswo bisa dua kali seminggu mampir ke lahan dan mengutip biaya administrasi tersebut. Meski ada kecurigaan sedikit, kaum tani yang tergabung di OTL Tani Jaya memilih untuk melihat perkembangan situasi terlebih dahulu. Kurang lebih selama dua bulan proses ini berlangsung. Pada tanggal 27 Januari 992, datang undangan dari Kecamatan untuk bertemu merembukkan masalah konflik agraria yang dialami petani. Pertemuan yang tujuan awalnya adalah rembuk ini, ternyata dikooptasi dengan munculnya pertanyaan-pertanyaan dan fakta yang menyudutkan posisi petani. Camat pada saat itu, dijabat oleh Indra Ginting, mempertanyakan status tanah yang digarap petani. Dengan negosiasi berujung pada aspek-aspek legal, maka para petani menunjuk Siswo untuk mengatasi hal tersebut. Namun, ternyata proses legal yang kurang lebih selama dua bulan ditangani oleh Siswo tidak terbukti tokcer. Dalam pertemuan itu, ia diam seribu bahasadan bahkan tak bisa membantu kaum

3tani sedikitpun. Pertemuan pun berakhir buntu. Setahun lebih sesudahnya, yaitu pada tanggal 2 Agustus 993, OTL Tani Jaya kembali mendapat panggilan dari Kecamatan untuk melanjutkan pembahasan masalah yang sudah dibicarakan sebelumnya. Negosiasi malah berkembang tak terarah, dan Saut Sianipar, Camat yang menjabat saat itu, malah mendorong diskusi ke arah tawaran ganti rugi untuk tanah yang digarap para petani OTL Tani Jaya. Tawaran ini pun jelas ditolak kaum tani. Pertemuan 2 Agustus 993 inilah yang akhirnya menguak tabir misteri sertifikat tanah Miskamto alias Camcin. Desas-desus yang menyatakan kecacatan sertifikat-sertifikat tersebut, akhirnya bisa dibuktikan dengan mata kepala para petani sendiri. Camat dan negosiator dari pihak Miskamto alias Camcin ternyata membawa sertifikat-sertifikat tersebut. Diskusi punya diskusi, akhirnya ditunjukkanlah sertifikat tersebut untuk dibaca jelas oleh petani. Ternyata, yang tertulis di sertifikat tersebut adalah benar Desa Bandar Pulau, bukan Desa Gunung MelayuDesa yang selama ini menjadi daerah administrasi yang sah dari tanah para petani OTL Tani Jaya. Walau di dalam hati para kaum tani bersorak kegirangan dengan fakta ini, namun negosiasi kali ini juga diakhiri dengan kebuntuan. Tak lain dan tak bukan, karena lagi-lagi para petani dengan gamblang menolak ganti rugi yang ditawarkan. Dengan situasi yang menguntungkan ini, petani OTL Tani Jaya pun merasa berada di atas angin. Negosiasi dilanjutkan, yaitu pada tanggal 28 Agustus 993,

Perjuangan Reforma Agraria di Bukit Kijang, Asahan, Sumatera Utara

Ini Tanah Kami!

33

tepat seminggu setelah negosiasi sebelumnya. Namun apa lacur, ternyata Camat berhalangan hadir, dan masalah belum dapat diselesaikan. Namun gelagat buruk mulai tercium pada saat itu, karena munculnya manuver-manuver Siswo yang mulai mengatasnamakan surat kuasa atas nama petani untuk mendapatkan ganti rugi. Mandegnya situasi tak berlangsung lama, dan kebuntuan ini juga ditandai setelah kedok Siswo akhirnya terbuka. Ternyata Siswo selama ini bekerja bukan untuk memperjuangkan petani, melainkan untuk dirinya sendiri. Motif ekonomi diyakini menjadi pendorong mengapa ia dulu mau bersusah-susah selama hampir 3 tahun mendampingi petani OTL Tani Jaya. Siswo juga beroperasi dengan bermacam-macam muka, kepada petani dia berlagak membela, dengan pihak Miskamto alias Camcin dia membeberkan faktafakta yang ada di OTL Tani Jaya, bahkan ia diyakini menjalin konsesi-konsesi dengan pihak Kecamatan yang bekerja sama dengan pihak Miskamto alias Camcin. Oportunisme Siswo ini disinyalir juga sebagai upaya dirinya untuk menaikkan posisi tawar di dalam partainya dan pemerintah daerah setempat. Baru pada tanggal 25 September 993 persoalan ini terbuka secara gamblang. Pada saat itu Siswo datang dengan beberapa pihak dari perwakilan Miskamto alias Camcin dan Kecamatan langsung ke lahan pertanian. Siswo mengatakan pada petani bahwa persoalan sudah beres, dan ada persetujuan mengenai konflik agraria yang sudah berlangsung beberapa tahun ini. Namun ternyata yang dimaksud sudah beres oleh Siswo adalah ganti rugi yang

3sudah didapatkan. Bahkan, para pihak perwakilan Miskamto alias Camcin sudah siap membawa uang pembayaran awal sebesar 50 juta rupiah. Hal ini tentu menyulut kemarahan petani anggota OTL Tani Jaya, dan memutuskan untuk mencabut kewenangan Siswo sebagai perwakilan kaum tani Bukit Kijang. Status legal tanah tersebut juga menjadi salah satu hal yang kembali dibicarakan, namun sertifikat-sertifikat tanah yang ditunjukkan pada hari itu tidak digubris kaum tani. Mereka tetap terus mempertahankan tanah tersebut, sehingga pada akhirnya negosiasi bubar dan peran Siswo berakhir. Pasukan bantuan datang Setelah era Siswo, muncullah bala bantuan baru. Di sekitar tahun 993 masuklah beberapa aktivis mahasiswa yang tergabung dalam Sintesa20, sebuah Organisasi Non Pemerintah yang pergerakannya berkutat di sekitar pengorganisasian kaum tani di pedesaan. Bertolak belakang dengan Siswo, masuknya Sintesa sebagai pasukan bala bantuan langsung berdampak cukup signifikan bagi perjuangan OTL Tani Jaya. Masuknya beberapa orang Sintesa yang sangat aktif mengorganisasi petani seperti Akhmad Sofyan2, Sukardi22, Andi Kurnia, M. Harris Putra23 dan bahkan Henry Saragih24 membuat organisasi semakin dinamis. Kekurangan teknis berupa fasilitator, pengetahuanpengetahuan baru, pertimbangan-pertimbangan secara akademik bahkan hingga perluasan jaringan kaum tani bisa didapatkan dengan bantuan Sintesa. Selanjutnya, borok-borok yang dilakukan sebelumnya

Perjuangan Reforma Agraria di Bukit Kijang, Asahan, Sumatera Utara

Ini Tanah Kami!

35

oleh Siswo juga makin tersingkap sehingga keyakinan OTL Tani Jaya untuk berjuang secara mandiri pun semakin meningkat. Dengan keyakinan ini, fase baru perjuangan kaum tani Bukit Kijang pun memasuki babak baru. Sintesa adalah sebuah Organisasi Non Pemerintah independen di propinsi Sumatera Utara. Organisasi Non Pemerintah ini didirikan pada tahun 986 oleh aktivis mahasiswa anak laki-laki dan perempuan yang berasal dari keluarga petani, guru, sektor informal, dan buruh. Sejauh ini, Sintesa merupakan organisasi gerakan bagi perempuan dan laki-laki yang memiliki idealisme dan visi perjuangan dengan dan untuk rakyat miskin dan tertindas baik lakilaki maupun perempuan. Tujuan pendiriannya sangat mulia, yaitu untuk membangun dan memperkuat rakyat miskin dan tertindas (lakilaki dan perempuan) secara politik, ekonomi dan budaya untuk mencapai demokrasi secara politik, berkeadilan secara ekonomi dan kebebasan secara budaya baik terhadap kebijakan negara dan dalam kehidupan rakyat miskin. Dalam dinamikanya, Sintesa telah medukung kelahiran dan penguatan organisasi akar rumput (grass root) yang berbasis massa menjadi gerakan sosial-politik dan budaya. Dan di masa yang akan datang, Sintesa bertekad akan tetap mendukung rakyat tertindas menjadi mandiri, meningkatkan solidaritas diantara rakyat miskin dan menjaga kepentingan rakyat miskin terhadap kebijakan di tingkat lokal, propinsi dan nasional. Dukungan kepada

3

organisasi akar rumput yang berbasis massa dengan berbagai program seperti komunikasi, peningkatan kemampuan pengorganisasian rakyat, membangun aliansi dan solidaritas antar rakyat miskin, kegiatan budaya, kegiatan ekonomi, penguatan perempuan dan advokasi, selama ini menjadi aktivitas inti organisasi ini. Sintesa secara aktif melakukan aktivitas di 8 kabupaten di Sumatera Utara, Indonesia: Mandailing Natal, Tapanuli Tengah, Tapanuli Selatan, Toba Samosir, Simalungun, Dairi, Karo, Labuhan Batu, Asahan, Deli Serdang dan Langkat. Menurut catatan organisasinya, keberhasilan membangun kontak-kontak rakyat di lebih dari 00 desa adalah salah satu kelebihan pengorganisasian yang sudah berlangsung sejak lama. Dalam kasus ini, Asahan yang merupakan salah satu lingkupnya sudah lama menjadi basis pengorganisasian. Hal ini terbukti dari relatif dekatnya Sintesa dan orang-orang yang ada di dalamnya dengan para petani di Asahan, ditambah kebersamaan waktu-sejarah dari keberadaaan Sintesa dan dinamika gerakan kaum tani di daerah tersebut. Dengan permulaan gerakan sosial di era 990an di Asahan (Silau Jawa, Bukit Kijang, Bandar Pasir Mandoge, Dolok Maraja), tercatat Sintesa pun masuk di era yang sama. Kerja-kerja nyata Sintesa seperti pembangunan energi alternatif Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTM) lalu pengembangan pusdiklat pertanian organik, bahkan pembangunan Lembaga Keuangan Alternatif (LKA) juga

Perjuangan Reforma Agraria di Bukit Kijang, Asahan, Sumatera Utara

Ini Tanah Kami!

37

sangat membantu petani di daerah Asahan ini. Sedangkan peran yang dilakukan organisasi ini selain yang sudah ditekankan di atas adalah sebagai sistem pendukung secara politik, ekonomi dan budaya bagi organisasi perjuangan petani untuk demokrasi dan pembaruan agraria sejati. Jelas tentunya keberpihakan Sintesa terhadap petani dan konflik-konflik agraria di Sumatera Utara maupun di daerah lain dengan menjunjung pembaruan agraria sejatiyang dirindu-rindukan petanisebagai tujuannya. Dan tak lupa, organisasi ini juga berperan sebagai sistem pendukung untuk membangun aliansi strategis antar rakyat (petani, petani miskin, buruh tani, buruh industri, masyarakat adat, masyarakat miskin, dan perempuan). Di masa yang selanjutnya, Sintesa sangat berperan membangun dan membantu gerakan sosial yang nyata seperti gerakan kaum tani di Sumatera Utara (SPSU), buruh (SBSU), nelayan (Jala dan SNSU) bahkan kaum miskin perkotaan (SBM dan Lentera). Sintesa, saat itu sangat aktif mengadakan pengorganisasian kaum tani dan adalah salah satu ornop terdepan dalam perjuangan rakyat. Komunikasi yang aktif dengan kaum tani Bukit Kijang menghasilkan kepercayaan dan pengaturan strategi pengorganisasian bersama. Yang patut diacungi jempol adalah keyakinan kaum tani anggota OTL Tani Jaya untuk berjuang secara mandiri dan tidak bergantung dengan pihak lain. Untuk ini, strategi-strategi juga dibicarakan bersama sehingga

3menghindari ketergantungan lebih lanjut kaum tani terhadap Sintesa. Dalam strategi ini, dibahaslah bagaimana pengorganisasian dan aktivitas-aktivitas dilakukan di tingkat basis, dan juga bagaimana Sintesa bisa berperan dalam advokasi di tingkat atas. Tak jarang aktivis-aktivis Sintesa ikut bersamasama tinggal dan bekerja dengan kaum tani Bukit Kijang. Tak jarang pula kaum tani dan Sintesayang hubungan baiknya berlangsung hingga sekarang inimenghadapi represi Miskamto alias Camcin yang berkolaborasi dengan aparat Polsek maupun Koramil. Kaum tani Bukit Kijang dan aktivis-aktivis Sintesa bahu membahu mengatur strategi pertahanan desa, bersama-sama mengumpulkan anggota dan melakukan pertemuan, bahkan bekerja gotongroyong di atas lahan perjuangan. Dengan berakhirnya masa beroperasi Siswo di Bukit Kijang, semangat kemandirian perjuangan yang berkobar-kobar memastikan langkah OTL Tani Jaya untuk maju atas nama kaum tani untuk mempertahankan tanahnya. Strategi awal yang disusun adalah menyingkirkan Siswo karena ketergantungan serta masalah-masalah yang dihasilkan ketika bekerja sama dengannya malah membuat kaum tani makin terbelakang, bodoh, dan semakin mundur. Akhirnya, Siswo didepak25 dari Bukit Kijang dan perjuangan berlanjut dengan strategi mempertahankan tanah dan teritori desa. Perjuangan ini bukannya gampang, karena terbukti beberapa kali di kurun waktu 993 hingga 996 banyak serangan yang harus dihadapi OTL Tani Jaya. Serangan

Perjuangan Reforma Agraria di Bukit Kijang, Asahan, Sumatera Utara

Ini Tanah Kami!

39

ini membutuhkan pertahanan dan kekompakan yang mendalam di tengah kaum tani Bukit Kijang. Penanaman lahan juga beberapa kali dilakukan oleh Miskamto alias Camcin, namun beberapa kali pula dicabuti oleh petani. Penetrasi-penetrasi ke teritori desa juga dilangsungkan beberapa kali, namun soliditas dan pertahanan desa26 yang digalang membuktikan tanah perjuangan tersebut memang dipertahankan dengan sepenuh jiwa dan raga. Ini tanah kami! Akhirnya dengan perjuangan keras, tanah seluas kurang lebih 00 hektar tersebut bisa dengan tenang digarap oleh para petani di awal dekade 990-an. Sekitar tahun 993-996 represi maupun percobaan penggusuran kaum tani OTL Tani Jaya dari lahan berangsur-angsur berkurang. Hal ini membuktikan perpaduan strategi di lapangan yang dilakukan kaum tani dan bantuan kolaborasi pengorganisasian dari Sintesa dinilai relatif berhasil. Selain makin membuat soliditas organisasi tani terus bertambah dan mendorong persatuan-kesatuan kaum tani Bukit Kijang, kejadian-kejadian ini tentunya berdampak 80 derajat terbalik dengan pihak Miskamto alias Camcin dan kroni-kroninya. Frekwensi represi dan permintaan negosiasi menurun drastis bahkan hilang sama sekali, menunjukkan amunisi latifundia lokal ini makin melemah.

0

Foto. Lahan perjuangan OTL Tani Jaya

Sejalan dengan makin membaiknya situasi dan kondisi di Bukit Kijang ini, maka para kaum tani OTL Tani Jaya bersepakat untuk merapikan organisasinyadan tentunya, kegiatan produksinya. Salah satu yang dilakukan pada saat itu adalah menata sumber-sumber agraria yang ada di Bukit Kijang, dalam pada ini tanah, dengan menggambar pemetaan dan merestrukturisasi peruntukannya. Peta tanah di Bukit Kijangwalaupun digambar dan diukur tidak dengan alat yang memadaidiharapkan bisa menggambarkan struktur kepemilikan yang adil, serta memperjelas batas-batas lahan garapan.

Perjuangan Reforma Agraria di Bukit Kijang, Asahan, Sumatera Utara

Ini Tanah Kami!

4

Gambar. Peta lahan perjuangan OTL Tani Jaya

Akhirnya dilaksanakan pula penentuan batas, patok-patok, dan pembagian lahan. Sayangnya, selain tidak ditentukannya lahan kolektif (bersama) selain pembagian kepemilikan pribadi, pembagian kepemilikan juga didasari kemampuan menggarap. Jadi jika si A bisa menggarap lebih, boleh-boleh saja alias tak ada masalah di masa yang akan datang. Hal ini sebenarnya bisa mengakibatkan konflik di antara anggota OTL Tani Jaya, karena berpotensi melanggengkan struktur agraria yang tidak adil. Kembali lagi, hal ini jelas merupakan reproduksi dari praktek-praktek tuan tanah karena yang punya kemampuan lebih besar, maka dia akan mendapatkan jatah tanah garapan yang lebih besar. Jika ada anggota OTL Tani Jaya yang punya kemampuan ekonomi lebih, modal dan tenaga kerja, maka tak pelak akan muncul ketidakadilan nantinya. Namun untungnya, hal yang ditakutkan itu tidak

terjadi. Penyebabnya jelas, kondisi sosial-ekonomipolitik anggota OTL Tani Jaya relatif tak berbeda satu sama lain, sehingga sewaktu pembagian lahan ketimpangan tersebut tidak terlalu terasa. Tercatat memang, kepemilikan lahan di atas bentangan kurang lebih 00 hektar tersebut bervariasi. Namun dari kepemilikan sekitar 54 anggota pertama kalinya, kepemilikan hanya berbeda sekitar tak lebih dari 0.5 hektar. Kepemilikan terbesar adalah sekitar 2 hektar lebih sedikit (beberapa rantai27), dan kepemilikan terkecil adalah sekitar .5 hektar. Rata-rata kepemilikan lahan di atas tanah perjuangan tersebut menjadi kira-kira 2 hektaran per anggota untuk digunakan tiap keluarganya. Satu lagi yang menjadi perhatian, adalah tentang pemetaan potensi lahan di tanah perjuangan tersebut. Pada prakteknya, memang yang terjadi adalah terjun ke lahan dan langsung menggaraptidak ada perencanaan yang sangat mendetail mengenai untuk apa dan peruntukan produksi lahan tersebut. Selain karena situasi dan kondisi yang tidak memadai saat itu, hal yang mempengaruhi selanjutnya adalah keterbatasan sumber daya. Kurangnya teknisi dan ahli-ahli pertanian tentunya merupakan faktor terbesar tidak dilakukannya pemetaan potensi lahan. Tentu saja situasi dan kondisi berpengaruh, karena pada saat pertama kali masuk ke lahan, penanaman yang dilakukan langsung sajaatau tidak direncanakankarena alasan pangan untuk keluarga, alasan sosial-ekonomi-politik, serta alasan psikologis mempertahankan lahan dengan ada tanaman di atasnya. Selanjutnya lagi, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, tentu untuk menjelaskan

Perjuangan Reforma Agraria di Bukit Kijang, Asahan, Sumatera Utara

Ini Tanah Kami!

43

status tanah untuk penggarap (land to the tiller). Hal ini menyebabkan tanaman di lahan perjuangan Bukit Kijang ini cukup beragam, dan akhirnya tak sama pula tingginya. Pada pertengahan era 990an barulah diyakini potensi lahan tersebut untuk ditanami kelapa sawit berdasarkan pengalaman dan kemiringan lahan serta jenis tanah. Kesimpulan ini diperoleh petani dari praktek-praktek keseharian dan pengalaman-pengalaman dari situasi dan kondisi saat itu. Dan jelas pula, hal ini dipengaruhi oleh kondisi komoditi sawit yang sedang digalakkan pada saat itu di propinsi Sumatera Utara, terutama Kabupaten Asahan. Hampir seluruh lahan di pedesaan yang bentangannya cukup luas dipengaruhi demam kelapa sawit dan karet, dengan iming-iming ekspor oleh rejim Soeharto kala itu. Pasar yang didominasi oleh pencari rente, pemerintah dan pengusaha besar juga menyokong besar kebijakan ini, dan telah diterangkan di atas kondisi pertanian di daerah ini memang sangat diarahkan menuju ke arah perkebunan gaya kolonial Belanda kembali. Fakta ini kembali menunjukkan kurangnya dukungan terhadap kaum tani, terutama kaum tani yang terorganisasi seperti OTL Tani Jaya. Pemerintahyang diharapkan, serta akademisi atau intelektual yang pro petani belum ada yang banyak membantu kaum tani secara langsung (bahkan hingga saat ini). Sehingga masalah-masalah mendasar seperti ini membuat kaum tani mau tak mau terjepit oleh pasar, walaupun akhirnya dengan mode produksi yang kita tahu sangatsangat bertolak belakang dengan perkebunan besar.

Pada saat penataan dan pemetaan inilah, muncul proses legalisasi atau sertifikasi tanah garapan oleh OTL Tani Jaya. Bahkan, OTL Tani Jaya dalam rangka memperkuat organisasi taninya dari ancaman-ancaman dari luar sudah membuat konsep dan usulan untuk pemerintah setempat. Hal ini ditujukan untuk melegalkan status tanah garapan di lahan perjuangan tersebut. Namun, halangan yang tak diduga-duga ternyata muncul dari pemerintah sendiri. Biaya sertifikasi dipatok sangat tinggi kala itu, mencapai nilai Rp 400 ribu per kavling. Nilai sebesar itu sangat memberatkan, terutama bagi kaum tani yang masih baru merangkak naik, yang baru saja mendapatkan alas produksinya. Namun pada perjalanan selanjutnya, ada sekitar 20 orang dari anggota OTL Tani Jaya yang berhasil mendapatkan sertifikat tanah dari total 54 orang. Sementara yang tak kebagian sertifikat diyakini memiliki kekuatan yang sama secara psikologis, karena kaum tani merasakan kejelasan asal usul tanah yang tak berbeda dengan sertifikat yang telah sah tersebut. Walau ada beberapa keadaan yang tidak ideal, namun perjuangan OTL Tani Jaya mewujudkan pembaruan agraria patut diacungi jempol. Dengan jepitan dari atas, yakni struktur kapitalistik-neoliberal global yang dipromosikan oleh Bank Dunia pada era itu terutama dalam pasar tanah dengan sertifikasi tanah berbasis pasar (Market-Led Agrarian Reform), serta sistem pasar bebas oleh WTO, proses pembaruan agraria di Bukit Kijang termasuk dalam catatan yang sangat bagus implementasinya. Terutama jika kita membandingkan prinsip-prinsip secara konseptual dan tentunya praktek nyata di lapangan dengan model

Perjuangan Reforma Agraria di Bukit Kijang, Asahan, Sumatera Utara

Ini Tanah Kami!

45

pembaruan agraria yang menindas oleh pasar dan pemerintah era Soeharto dan bahkan juga setelahnya. Hal yang pertama dapat kita lihat dari keterlibatan, karena praktek yang terjadi di Bukit Kijang jelas dilakukan sepenuhnya oleh kapasitas petani dan kemampuan mereka sendiri. Dengan pelibatan penuh organisasi buruh tani-petani kecil ini, kaum tani sebanyak 54 orang bisa digandeng untuk mendapatkan haknya. Hal ini menunjukkan inklusivitas yang tinggi dalam organisasi tani yang mewujudkan pembaruan agraria sejati. Sementara, pembaruan agraria versi pasar Bank Dunia maupun transmigrasi versi pemerintah tak jelas melibatkan rakyat serta cenderung pula eksklusif. Proses pengambilan keputusan menjadi sangat merakyat pada praktek perjuangan agraria seperti di Bukit Kijang. Dengan pelibatan anggota kaum tani pada khususnya dan rakyat pada umumnya, proses pengambilan keputusan bisa berlangsung dari bawah (bottom-up). Petani bisa mengambil keputusan sendiri karena kaum tanilah yang sebenarnya menjadi subjek dari apa yang dilakukan. Karena dalam hal pertanian, tentu petanilah yang lebih tahu selukbeluk masalahnya, daripada pemerintah atau hanya permintaan pasar belaka. Dan yang lebih penting, dalam kasus Bukit Kijang petani menginginkan alas produksisatu hal yang dalam penelusuran historis tak mereka punya. Hal ini penting, karena membangkitkan semangat kerja keras, ulet dan tekun yang memang merupakan warisan budaya bangsa yang luhur. Dengan berproduksi sendiri, kaum tani Bukit Kijang

merasa tak perlu bergantung pada pihak lainbaik itu investor seperti Miskamto alias Camcin, oportunis seperti Siswo, atau pihak pemerintah setempat yang tak mendukung sekalipun. Dengan kerja kerasnya, kaum tani percaya bisa bangkit dan berkembang. Satu lagi, sasaran praktek pembaruan agraria dengan cara okupasi lahan di Bukit Kijang adalah kemakmuran petani kecil, dan kaum tak bertanah, dan rakyat pada umumnya. Dengan tak mempedulikan aspek legal atau sertifikat dan surat-surat, mereka percaya bahwa perjuangan mendapatkan tanah ini bukan sekadar perjuangan hukum belaka. Lebih jauh lagi, bahkan kaum tani juga sudah banyak sadar bahwa perjuangan mendapatkan tanah bukan hanya sekadar perjuangan ekonomi belaka. Dengan praktekpraktek kekeluargaan dan komunal (kolektif), praktek di Bukit Kijang menjabarkan misi sosial-ekonomipolitik yang tercantum dalam konstitusi Republik Indonesia28. Selanjutnya, mereka juga sadar bahwa tanah bersifat sosial, yang juga termaktub dalam UU Pokok Agraria No. 5 Tahun 96029. Dalam praktek menggarap lahan, kaum tani Bukit Kijang masih mempraktekkan budaya panen bersama, gotong-royong, sehingga apa yang dihasilkan tanah tersebut bisa dinikmati bersama. Hal ini tentu bertentangan dengan mode produksi yang hanya menimbang masalah ekonomi semata. Tanah dinilai sebagai komoditas ekonomi belaka, sehingga usaha yang dilakukan di atasnya harus sesuai dengan skala ekonomi dan menguntungkan. Praktek perkebunan besar yang terjadi selama ini di Bukit Kijang, dan Asahan dalam lingkup yang lebih besar lagi, bahkan

Perjuangan Reforma Agraria di Bukit Kijang, Asahan, Sumatera Utara

Ini Tanah Kami!

47

secara nasional dan global, adalah berpatok pada hal ini. Keuntungan jelas hanya berputar-putar di segelintir pihak belaka: sebutlah pengusaha, investor, atau perusahaan. Hal ini bisa dikontraskan dengan modal-modal besar yang sudah masuk lebih dulu ke Asahan dan membuat ketergantungan, penindasan, ketimpangan dan ketidakadilan: Wilmar, Bakrie Sumatera Plantations, Raja Garuda Mas, Salim atau London Sumatera (Lonsum)30. Hebatnya lagi, menurut penuturan kaum tani anggota OTL Tani Jaya mereka tidak atau sedikit sekali mengetahui tentang konsepsi pembaruan agraria sejati. Namun, dalam pelaksanaannya ternyata prinsip-prinsip seperti yang ada dituturkan di dalam buku, keilmuan maupun praktek-praktek lintas negara dilaksanakan dengan baik. Walau mendapatkan masukan pada awal era 990-an dari Sintesa, terbukti bahwa keinginan kaum tani Bukit Kijang setali tiga uang untuk mewujudkan keadilan sosial via pembaruan agraria. Penjelasan paling logis adalah warisan sejarah era 960-an, nilainilai sosial agama, kekerabatan dan budaya yang dipegang masyarakat ternyata sangat mendukung dilaksanakannya pembaruan agraria. Prinsip terakhir, OTL Tani Jaya bertekad mempertahankan tanah mereka mati-matian. Dengan tanah yang susah payah didapatkan tersebut, mereka rela mati di atasnya, dan akan terus memperjuangkannya sekuat tenaga. Dalam penataan produksi di masa depan akan lebih kelihatan betapa menariknya proses yang terjadi di Bukit Kijang dibandingkan dengan praktek perkebunan yang dilakukan perkebunan yang bercorak

kapitalistik-neoliberal. Dan tentunya, kita bisa memahami prinsip-prinsip dan praktek pembaruan agraria dikaitkan dengan produksi, konsumsi dan distribusi yang dilakukan di Bukit Kijang. Hal ini sangat penting mengingat banyak perjuangan serupa yang terjadi di seantero nusantara, sehingga bisa menjadi catatan dan contoh dari sesama perjuangan kaum tani.PEMBARUAN ISU AGRARIA SEJATI [genuine agrarian reform] PEMBARUAN AGRARIA PALSU [market-assisted land reform] bukan melalui pelibatan penuh organisasi petani kecil dan tak bertanah, cenderung eksklusif berdasarkan kekuatan pasar/ modal dan atau kekuatan asing top-down Bank Dunia dan IMF bagi kepentingan modal keuntungan segelintir orang, perusahaan, dan lembaga-lembaga tertentu saja

Keterlibatan

pelibatan penuh organisasi petani kecil dan tak bertanah dan bangsa sendiri, inklusif

Kapasitas

berdasarkan kekuatan petani dan kemampuan bangsa sendiri

Arah kebijakan Sasaran

bottom-up masyarakat sipil

Perjuangan Reforma Agraria di Bukit Kijang, Asahan, Sumatera Utara

Ini Tanah Kami!

49

Tujuan

tidak peduli terhadap kedaulatan petani dan bangsa sendiri, penciptaan pasar tanah yang transparan dan ekuitabel

Sifat

politis, sosial meniadakan ketergantungan, penindasan, ketimpangan, dan ketidakadilan

Ekonomis cenderung mengabadikan ketergantungan, penindasan, ketimpangan dan ketidakadilan penjualan kekayaan alam bangsa

Fungsi

Asas hukum (di Indonesia)

merupakan penjabaran langsung dan tepat terhadap asas ekonomi kekeluargaan (sosialisme Indonesia) yang diamanatkan oleh pasal 33 UUD 945 dan Pancasila

mengkhianati pasal 33 UUD 945 dan Pancasila

50

Strategi

menghancurkan relasi dan struktur sosial yang menindas (termasuk budaya atau relasi sosial yang feodalistik)

mengukuhkan relasi sosial yang menindas (seperti modifikasi feodalisme yang dimodernisasi) sempit, hanya land reform dan redistribusi tanah

Cakupan makna

luas, mencakup juga kedaulatan dan hak atas sumber daya agraria lainnya (air, udara)

Model kepemilikan

kolektif atau pribadi, tapi tidak untuk diperjualbelikan

harus pribadi, willing-seller-willingbuyer model menjadi penyebab kehancuran ekosistem

Perspektif lingkungan

ditujukan bagi keberlangsungan dan kelestarian serta keserasian ekosistem

Cakupan implementasi

dijalankan secara konsisten, menyeluruh, dan integratif

dijalankan dengan setengah hati dan diskriminatif (kasus Filipina) mengatur secara sektoral dan saling bertentangan

Perjuangan Reforma Agraria di Bukit Kijang, Asahan, Sumatera Utara

I