buku ki bagus hadikusumo booklet

36
1 JEJAK LANGKAH KEPAHLAWANAN DAN KENEGARAWANAN KI BAGUS HADIKUSUMA 72 Prof. Munir Mulkan Saya hanya memberi catatan, walaupun yang penting hanya 15 menit terakhir, tapi menurut catatan, Ki Bagus itu sudah 3 kali mengusulkan dihapusnya 7 kata. Bahkan 4 kali. Ki Bagus sebenarnya setuju kalau negara ini diangkat atas dasar-dasar ajaran Islam. Tapi karena tidak memperoleh catatan, dia tidak setuju kompromi, jadi harus netral. Itu yang perlu dicatat. Kalau saya mengangkat netralitas negara memang sumbernya BPUPKI. Saya baca, terang-terangan saja, untuk keadilan dan kewajiban tidak ada kompromi, terang- terangan saja kalau memang ada keberatan akan menerima ideologi umat Islam. Menjadi wilayah satu negara Islam. Kalau tidak, harus netral. Di sinilah sumbangan Ki Bagus. Prof. Jimly Ashiddiqi Saya singkat saja berhubung sudah mau azan maghrib. Saya rasa forum ini baik sekali, dan tentu tidak harus kita tuntaskan sekarang. Nantinya perlu diadakan lagi. Tidak usah terlalu ilmiah juga tak apa-apa. Soal Piagam Jakarta, Pancasila, itu harus kita bahas. Kita juga harus mengkaji Ki Bagus dari berbagai sisi bersejarah. Jangan hanya terpaku pada momen 15 menit itu. Tentang perdebatan Pancasila, saya rasa seperti yang digambarkan tadi, itu menjadi pokok pembahasan kita. Itu sebenarnya sudah selesai pada 22 Juli ’59’. Itulah yang dipakai sampai sekarang menjadi pegangan. Naskah yang sebenarnya adalah 5 naskah yang distaples jadi 1 UUD 45/5 juli plus penjelasannya, lalu lampiran 1 2 3 4. Itulah yang resmi sebagai dokumen kenegaraan. Saya kira salah satu jawaban untuk membumikan ingatan sejarah memang dengan pendidikan. Kalau mau dikasih maka yang tepat saya kira masuk PPKn. Tapi catatan pentingnya saya kira jangan sampai pelajaran sejarah ini hanya menjadi pengajaran yang bersifat kognitif. Tapi bagaimana menanamkan ruh atau jiwa sejarah itu. saya kira begitu. Terima kasih. Assalamu ‘alaikum warrrahmatullahi wabarakatuh

Upload: wijanarko-dblanco

Post on 06-Aug-2015

358 views

Category:

Documents


13 download

TRANSCRIPT

Page 1: Buku Ki Bagus Hadikusumo Booklet

1

JEJAK LANGKAH

KEPAHLAWANAN DAN KENEGARAWANAN

KI BAGUS HADIKUSUMA

72

Prof. Munir Mulkan

Saya hanya memberi catatan, walaupun yang penting hanya 15

menit terakhir, tapi menurut catatan, Ki Bagus itu sudah 3 kali

mengusulkan dihapusnya 7 kata. Bahkan 4 kali. Ki Bagus sebenarnya

setuju kalau negara ini diangkat atas dasar-dasar ajaran Islam. Tapi

karena tidak memperoleh catatan, dia tidak setuju kompromi, jadi

harus netral. Itu yang perlu dicatat. Kalau saya mengangkat netralitas

negara memang sumbernya BPUPKI. Saya baca, terang-terangan

saja, untuk keadilan dan kewajiban tidak ada kompromi, terang-

terangan saja kalau memang ada keberatan akan menerima ideologi

umat Islam. Menjadi wilayah satu negara Islam. Kalau tidak, harus

netral. Di sinilah sumbangan Ki Bagus.

Prof. Jimly Ashiddiqi

Saya singkat saja berhubung sudah mau azan maghrib. Saya rasa

forum ini baik sekali, dan tentu tidak harus kita tuntaskan sekarang.

Nantinya perlu diadakan lagi. Tidak usah terlalu ilmiah juga tak

apa-apa. Soal Piagam Jakarta, Pancasila, itu harus kita bahas. Kita

juga harus mengkaji Ki Bagus dari berbagai sisi bersejarah. Jangan

hanya terpaku pada momen 15 menit itu. Tentang perdebatan

Pancasila, saya rasa seperti yang digambarkan tadi, itu menjadi pokok

pembahasan kita. Itu sebenarnya sudah selesai pada 22 Juli ’59’.

Itulah yang dipakai sampai sekarang menjadi pegangan. Naskah

yang sebenarnya adalah 5 naskah yang distaples jadi 1 UUD 45/5

juli plus penjelasannya, lalu lampiran 1 2 3 4. Itulah yang resmi

sebagai dokumen kenegaraan.

Saya kira salah satu jawaban untuk membumikan ingatan sejarah

memang dengan pendidikan. Kalau mau dikasih maka yang tepat

saya kira masuk PPKn. Tapi catatan pentingnya saya kira jangan

sampai pelajaran sejarah ini hanya menjadi pengajaran yang bersifat

kognitif. Tapi bagaimana menanamkan ruh atau jiwa sejarah itu.

saya kira begitu. Terima kasih.

Assalamu ‘alaikum warrrahmatullahi wabarakatuh

Page 2: Buku Ki Bagus Hadikusumo Booklet

2 71

Pahlawan-pahlawan kita itu seperti album foto. Kalau kita lihat

album yang dicari kan diri kita. Kalau tak ada pasti kecewa. Pahlawan

juga begitu, ia harus mewakili daerah masing-masing supaya

semuanya merasa terwakili dalam album itu. ini sangat bermanfaat

bagi integrasi bangsa. Jadi pahlawan-pahlawan ini adalah alat

pemersatu. Menandakan kita satu bangsa. Apalagi kita masih dalam

proses nation building.

Pahlawan itu adalah bagaimana kita merumuskan suatu

personifikasi dari identitas diri kita sebagai bangsa. Jadi tidak usah

debat-debat terlalu rumit. Soal Angkatan Laut, Hatta itu sebagai

sumber sejarah yang sangat kredibel. Dia bercerita tentang opsir

Angkatan Laut, dan Angkatan Laut adalah salah satu kekuatan di

Indonesia Timur. Bayangkan kalau Angkatan Laut melakukan

boikot? Walupun Jepang sudah kalah, tetapi tentaranya masih punya

bedil, jangan pernah lupa itu. lantas kita belum punya senjata. Jadi

konteksnya itu harus dilihat.

Prof. Bahtiar Effendi

Saya kira begini, kenyataannya sekarang Indonesia ini bukan

negara agama atau negara sekular, tidak netral agama, dan bukan

negara Islam. Jadi tidak bisa itu dipakai konsideran untuk

mengusulkan Ki Bagus. Yang relevan adalah momen perubahan

Piagam Jakarta yang 15 menit itu. Pada momen itu juga sekaligus

memasukkan Kasman Singodimejo, karena dialah yang berhasil

meluluhkan hati Ki Bagus.

Saya setuju dengan saudara Lukman. Memang sumber yang kita

pakai ini harus lengkap, jangan hanya yang di risalah UU. Itu tadi

yang saya bilang untuk gampangannya; negara Islam dengan Islam

sebagai dasarnya, atau Islam sebagai agama negara itu juga memang

dua hal yang berbeda. Saya setuju. Soal Piagam Jakarta, kalo dihitung

ada 900 sekian kata. Itu hanya 7 kata yang dihilangkan, kok kita

yang jadi ribut. Sebenarnya bukan 7 kata, bahkan 8 kata. Coba hitung

lagi.

Page 3: Buku Ki Bagus Hadikusumo Booklet

3

JEJAK LANGKAH

KEPAHLAWANAN DAN KENEGARAWANAN

KI BAGUS HADIKUSUMA

UHAMKA PRESS

70

TANGGAPAN-TANGGAPAN

Prof. Taufik Abdullah

Ini bukan masalah UUD, tapi masalah Ki Bagus, pantas sebagai

pahlawan atau tidak? Sebenarya dalam sejarah itu tidak ada

pahlawan. Yang ada hanya aktor-aktor orang yang memegang

perananya. Semuanya adalah aktor. Tapi kemudian orang

menganalisa dan menyimpulkan bahwa ada beberapa hal yang

membuatnya layak dinobatkan menjadi pahlawan. Itu adalah

idealisme tertinggi, perilaku tertinggi, itu semua seakan-akan

personifikasi idealisme kita.

Orang pertama yang secara khas menyebut pahlawan adalah

Bung Hatta. Dalam pidato pembelaannya tahun 1928, Bung Hatta

mengatakan; kalian orang Belanda, bangga dengan pahlawan kalian

si A, B, dan C. Kami juga punya pahlawan Diponegoro dan Imam

Bonjol. Jadi kalau merunut perkataan ini, pahlawan tertua

Indonesia adalah Diponegoro dan Imam Bonjol.

Yang dilupakan dari orang-orang ini adalah proses memasukkan

orang-orang ke dalam Indonesia yang kita ciptakan. Bangsa kita ini

bukan bangsa nenek moyang. Hanya Hatta, Soekarno dan Soeharto

yang mengatakan bangsa nenek moyang. Tidak. Ini adalah bangsa

yang kita ciptakan. Karena itu memerlukan proses inclusion. Ada

unsur-unsur yang dimasukkan ke dalamnya supaya ini menjadi milik

bersama. Karena itulah juga saya barangkali orang pertama di tahun

76-75 yang mengkritik soal pahlawan ini. Pada awalnya gelar

pahlawan ini tidak jelas. Ada perintis kemerdekaan, pahlawan

kemerdekaan, ada pahlawan, ada segala macam. Akhirnya ada

undang-undang yang mengaturnya.

Kemudian saya sadar, tentang pahlawan ini mula-mula saya tahu

ketika Abdul Mu’is, tokoh Serikat Islam, pengarang Salah Asuhan,

meninggal dunia. Saat itu kurang lebih Soekarno berpikir, bagaimana

negara bisa membantu/menyantuni dia. Akhirnya Bung Karno

punya akal agar diangkat saja menjadi pahlawan. Kemudian Ki Hajar

Dewantara, Syahrir, dan seterusnya.

Page 4: Buku Ki Bagus Hadikusumo Booklet

4

DAFTAR ISI

Pengantar Rektor

Sambutan Ketua Umum PP Muhammadiyah

Sambutan Ketua Tim Pengajuan Gelar Kepahlawanan Nasional

(AM Fatwa)

Narasumber

1. Jimly Asshiddiqie

2. Taufik Abdullah

3. Abdul Munir Mulkhan

4. Bachtiar Effendy

Lampiran

69

yang berani menentang Jepang tentang perintah menghormati

matahari yang bertentangan dengan akidah Islam. Jadi beliau adalah

juga ulama kharismatik yang pemberani.

Page 5: Buku Ki Bagus Hadikusumo Booklet

5

DEKLARASI DAN REKOMENDASI

SEMINAR NASIONAL “KENEGARAWANAN

KI BAGUS HADIKUSUMO”

Mengingat : a. Bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang

menghargai jasa-jasa para pahlawan yang telah

mewakafkan jiwa raganya untuk kepentingan

bangsa

b. Bahwa Ki Bagus Hadikusumo sebagai anak

bangsa yang berjasa besar dalam membangun

fondasi bagi perumusan asas Indonesia merdeka

yang majemuk, tetapi berdaulat, dan bersatu

dalam wadah NKRI dan aktif ber juang

mencerdaskan kehidupan bangsa, telah

memberikan segenap upaya dan perjuangan demi

tegaknya kemerdekaan, kedaulatan, persatuan

dan kemajuan bangsa

Menimbang : Bahwa Ki Bagus Hadikusumo diakui sebagai

perintis kemerdekaan Republik Indonesia, namun

sampai saat ini belum diberikan anugerah dan

pengakuan sebagai PAHLAWAN NASIONAL

Maka melalui momentum Seminar Nasional “Kenegarawanan

Ki Bagus Hadikusumo”, dengan ini keluarga besar Universitas

Muhammadiyah Prof. DR. HAMKA (UHAMKA) mendeklarasikan

dan merekomendasikan:

1. Perlunya penelusuran dan pelurusan kembali sejarah dan peri

kehidupan Ki Bagus Hadikusumo serta sejumlah tokoh sejarah

lainnya dengan perspektif yang lebih jernih, adil dan tidak bias

pada kepentingan politik tertentu.

68

dibacakan saat proklamasi. Tapi katanya itu hilang, lalu ditulis oleh

Bung Karno. Maka terjadilah teks coret-coretan yang menjadi teks

proklamasi itu. Padahal seharusnya Piagam Jakarta itu.

Lalu yang keempat, saya kira bapak-bapak perlu kembalikan

proporsinya yang benar. Kita perlu ingat bahwa Piagam

Jakarta itu bukan hanya tujuh kata itu. Tapi masih banyak kata di

situ.

Kemudian catatan saya, dalam amandemen kemarin, waktu itu

saya berbeda dengan Pak Fatwa. Saya tetap konsisten dengan yang

tujuah kata ini. Tapi Pak Fatwa justru memasukkan juga menjalankan

syariatnya bagi agama Kristen. Tapi waktu itu terjadi perdebatan,

terjadi tawar-menawar. Ada usulan pasal 31 ditambah, menciptakan

manusia yang beriman dan bertaqwa. Nah, karena itu lalu kita

mundur, berarti yang terakhir disebutkan oleh Pak Amien Rais ada

4 alternatif di situ. Ketika Pak Amien Rais mau mengetuk palu,

saya interupsi, karena teman IMM jadi enak aja mengintrupsi PaK

Amien. MPR berketetapan bahwa dalam sidang ini belum merubah

pasal 29. Jadi itu yang berlaku. Karena waktu itu argumen kami,

kita sudah sepakat, UUD 45 sudah tidak dirubah, tinggal pasal 29

yang mau dirubah.

Pertanyaan [5]

Saya memberi apresiasi yang untuk seminar nasional ini yang

intinya nanti akan muncul rekomendasi atau usulan untuk

menjadikan Ki Bagus Hadikusumo sebagai Pahlawan Nasional.

Kebetulan saya pernah menulis tentang pahlawan dari

Muhammadiyah yaitu KH. Ahmad Dahlan, Nyai Dahlan, KH.

Fachruddin, KH. Mas Mansyur, Jendral Sudirman dan Hamka. Jadi

nanti out put acara ini adalah bagaimana kita menemukan argu-

ment untuk mengusulkan Ki Bagus.

Hal yang harus dirumuskan dengan bahasa yang bagus dan

mencerminkan betul kepahlawanan Ki Bagus. Peran beliau bukan

hanya sebagai negarawan/tokoh bangsa, tokoh negara. Beliau juga

termasuk tokoh yang sangat berani. Pada waktu itu hanya beliaulah

Page 6: Buku Ki Bagus Hadikusumo Booklet

6

2. Perlunya segenap elemen bangsa untuk meneladani jiwa

kenegarawanan dan semangat perjuangan Ki Bagus

Hadikusumo sebagai negarawan, politisi, pendidik, pemikir,

pendakwah yang lebih mengutamakan kepentingan bangsa dan

negara jauh di atas kepentingan pribadi, kelompok atau

golongan.

3. Perlunya pemerintah untuk mengevaluasi kembali peran dan

posisi Ki Bagus Hadikusumo dalam sejarah perjuangan bangsa

Indonesia untuk kemudian melalui penilaian dan pertimbangan

yang lebih jernih dan adil dapat memberikan penghargaan atas

jasa dari Ki Bagus Hadikusumo bagi negara dan bangsa

Indonesia dengan memberikan gelar PAHLAWAN

NASIONAL.

Demikian deklarasi dan rekomendasi ini disampaikan. Semoga

Allah SWT senantiasa memberkahi kita semua.

Jakarta, 3 Agustus 2012

Panitia Pengusulan

Pemberian

Gelar Pahlawan Nasional

Ki Bagus Hadikusumo,

Kasman Singodimejo dan

Abdul Kahar Mudzakkir

Ketua,

Dr. (HC) A.M. Fatwa

Universitas

Muhammadiyah

Prof. DR. HAMKA

Rektor,

Prof. Dr. H. Suyatno, M.Pd.

67

banyak mahasiswa, tidak mengenal siapa Daan Mogot? Ada yang

ibilang nama pohon, nama buah, padahal itu nama orang yang

asalnya dari Manado. Banyak dari kita dari yang 156 pahlawan

tersebut itu tidak mengenalinya.

Saya kira perjuangan kita orang muslim memang menginginkan

tujuah kata yang dipolemikkan itu. Saya kira ini jelas beda konteks

antara dulu dengan sekarang. Saya kira sejarah biarlah tetap menjadi

sejarah. Sekarang mari kita berpikir sesuai dengan konteks saat ini.

Yang harus digarisbawahi adalah bagaimana kita tetap bersatu dalam

perbedaan.

Saya sepakat sengan kawan saya tadi, Sulaeman. Sekarang ini

aneh. Mengapa pelajaran sejarah malah di sekolah menjadi tidak

ada. Saya kira ini memang menjadi keperihatinan tersendiri. Kita

dapat berkaca pada negara lain. Di Amerika misalnya, kalau mau

menjadi Gubernur, Senator, harus tahu sejarah. Saya kira banyak

juga anggota DPR yang tak tahu sejarah. Ini harus menjadi catatan

penting.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Pertanyaan [4]

Kita hadir di sini tentu semua menyetujui bahwa poin utamanya

adalah bagaimana menemukan titik penting yang mendukung Ki

Bagus menjadi pahlawan nasional. Pembicaraan utamanya tadi

adalah masalah negara Islam atau negara netral yang menjadi ide

utama Ki Bagus. Lalu yang kedua Bang Taufiq, dalam pembacaan

kami, Maramis ini kan panitia 9, yang merumuskan Piagam Jakarta

ini, lalu ketika selesai karena ada 7 kata itu maka dia diadili di

perapatan sana bagi oleh orang Manado. Justru itu dia memakai

baju seperti laksmana Angkatan Laut. Itu ternyata ada manipulasi

juga di situ. Jadi bukan Angkatan Laut, tapi hanya pakai baju

Angkatan Laut. Lalu pergi ke Pak Hatta, lalu Pak Hatta

memperhatikan itu untuk merubah. Itu perlu diluruskan.

Berikutnya, ketika Bung Karno mau membacakan proklamasi

mestinya ada kesepakatan, dan Piagam Jakarta itu yang semestinya

Page 7: Buku Ki Bagus Hadikusumo Booklet

7

SAMBUTAN

PANITIA PENGUSULAN PEMBERIAN GELAR PAHLAWAN

NASIONAL KI BAGUS HADIKUSUMO, KASMAN

SINGODIMEDJO, DAN ABDUL KAHAR MUDZAKKIR

PADA PEMBUKAAN SEMINAR NASIONAL

“KENEGARAWANAN KI BAGUS HADIKUSUMO”

UNIVERSITAS PROF. DR. HAMKA

JAKARTA, 3 AGUSTUS 2012

Bismillahirrahmanirrahim.

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Yang terhormat Pimpinan Pusat Muhammadiyah,

Yang terhormat Rektor dan Civitas Academica Universitas Prof. Dr. HAMKA.

Yang terhormat para narasumber yang pada seminar ini akan memberi

pencerahan kepada kita.

Yang terhormat wakil Keluarga Besar Ki Bagus Hadikusumo,

Para peserta seminar dan hadirin yang berbahagia.

Pertama dan terutama, marilah kita menyampaikan rasa sykur

kita yang tidak terhingga ke hadirat Ilahi Rabbi, Allah subhanahu

wa ta’ala, yn berkat rahmat dan karunianya telah memperkenankan

kita hadir dan berpartisipasi dalam seminar tentang “Kenegarawanan

Ki Bagus Hadikusumo” yang sangat penting ini.

Shalawat dan salam, semoga senantiasa dicurahkan kepada Nabi

Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, kepada keluarganya,

kepada para sahabatnya, dan kepada para pengikutnya yang setia

menegakkan panji-panji tauhid hingga akhir zaman kelak.

Hadirin yang berbahagia,

Sejarah, kata seorang pakar, hanyalah bagian dari masa lampau

manusia yang dapat disusun kembali secara berarti berdasarkan

rekaman-rekaman yang ada, dan berdasarkan kesimpulan-

kesimpulan lingkungannya. Di sinilah terletak kesulitan menulis

66

menurut saya adalah tiang, dan tiang itu mudah goyah, mudah jatuh.

Kalau pondasi yang dimiliki bangsa Indonesia kokoh maka ke

depannya insya Allah akan menjadi lebih baik. Terima kasih.

Wassalamu ‘alaikum wrahmatullahi wabarakatuh

Pertanyaan [3]

Seperti yang sudah disampaikan bahwa pahlawan itu banyak.

Saya kira memang benar, setidaknya tahun 2010 kita punya 147

pahlawan dan 2012 bertambah menjadi 156 pahlawan, 135 orang

diantara keseluruhan jumlah pahlawan itu adalah laki-laki. Yang

lucunya ketika saya mengajar di SD, saya bertanya kepada siswa-

siswa kelas 1 tentang Pahlawan Nasional, akan tetapi tidak satupun

diantara mereka satu pun yang tahu pahlawan nasional,

bahkan pahlawan saja mereka masih bingung. Saya mau

memperkenalkannya waktu itu bingung, kemudian saya keluarkan

uang dari yang 1000 sampai 100.000, tidak ada yang kenal satu pun,

lantas ada siswa yang protes, mengapa pahlawan ini hanya ada di

uang Rp. 1000 tidak di Rp.100.000. Kemudian saya menanyakan

hal tersebut kepada teman yang bekerja di Bank Indonesia.

Jawaban yang disampaikan teman tersebut, harusnya anda

bersyukur karena uang Rp. 1000 itu semua orang pegang di Indo-

nesia, tapi uang Rp. 100.000 belum tentu semua orang Indonesia

pegang. Dan saya kira belajar pahlawan itu penting Kalau tadi kiranya

kita bersih kukuh ingin Ki Bagus Hadikusumo menjadi pahlawan,

kiranya memang bukan kita yang menentukan, karena itu sudah

kodrat, dan harus jadi pahlawan. Karena seseorang yang sudah

berjasa untuk bangsa, itu sejatinya memang sudah harus jadi

pahlawan.

Ada pertanyaan-pertanyaan ringan dari temen saya di komunitas,

apa sih yang menyebabkan seseorang itu harus menjadi pahlawan?

Dan apakah hal ini tercantumdi UU No. 20 tahun 2009? Karena

dari daftar nama pahlawan yang saya lihat itu kalau tidak militer,

mereka yang mengalami perang langsung dengan Belanda. Lucunya

lagi ini mengenai pahlawan, ini dari anak-anak juga orang dewasa

Page 8: Buku Ki Bagus Hadikusumo Booklet

8

sejarah. Jarang sekali, untuk tidak mengatakan tidak ada, sejarawan

yang mampu mengisahkan masa lampau -sebagian sekalipun-

“sebagaimana yang sungguh-sungguh terjadi.” Kesulitan tersebut

bukan saja karena tidak lengkapnya rekaman masa lampau, tetapi

juga karena terbatasnya imajinasi dan bahasa manusia untuk

mengungkapkan kembali apa yang sesungguhnya terjadi di masa

lampau.

Dalam konteks seperti inilah kita memahami Ki Bagus

Hadikusumo. Seiring bertambahnya jarak waktu kita dengan

masa ketika Ki Bagus memberikan sumbangsihnya untuk umat,

bangsa, dan negara, makin sedikit pula gambaran kita mengenai Ki

Bagus.

Ingatan kita terhadap Ki Bagus, makin terbatasi pada posisinya

sebagai Ketua PP Muhammadiyah, anggota Badan Penyelidik Usaha

Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), dan Panitia Persiapan

Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Paling jauh yang kita ingat ialah

beban yang mendadak dia haru terima di sekitar pengesahan

Undang-Undang Dasar 1945 pada 18 Agustus 1945 dan sesudah

itu, seperti dikemukakan dalam pidato K.H. Abdul Kahar Mudzakir

di Konstituante padan 11 Mei 1959, pesan getir (Pak Abdul Kahar

menyebutnya: “jeritan”) Ki Bagus di muka Majelis Tanwir dari

Konsul-konsul Muhammadiyah seluruh Indonesia pada bulan

Agustus 1945 di Yogyakarta mengenai “pasal-pasal yang mengenai

Islam dan umat Islam telah dihapuskan dan dilenyapkan dari

Undang-Undang Dasar 1945.”

Hadirin yang berbahagia,

Ki Bagus Hadikusumo adalah seorang yang sangat yakin

terhadap kesempurnaan ajaran Islam dan relevansi ajaran Islam bagi

kehidupan umat, bangsa, dan negara.

Dalam pidato di BPUPKI pada 31 Mei 1945, Ki Bagus antara

lain mengemukakan keyakinannya bahwa Islam sedikitnya sudah

enam aba menjadi agama kebangsaan Indonesia dan sedikitnya

sudah tiga abad sebelum Belanda menjajah, hukum Islam sudah

65

Dan pidato Pak Kasman waktu di Konstituante, janjinya itu tidak

mudah, akhirnya Ki Bagus tidak menunggu 6 bulan, tapi sampai

akhir hayatnya tidak pernah terlaksana. Saya kira yang perlu adalah

kita harus memahami bahwa pancasila itu buka barang yang sudah

jadi. Itu kata-perkata disusun bersama-sama. Semua merumuskan.

Dan saya mengatakan kalau melihat pasal-pasalnya, Pancasila itu

baru berakhir menjadi dasar negara yang disepakati bersama itu

tanggal 22 Juli 1959, ketika DPR secara aklamasi menerima Dekrit.

Jadi bukan 18 Agustus, 22 Juni atau 22 juli ‘49’. Cuma karena kita

ini kurang referensi, masih banyak yang mengatakan Masyumi

menolak. Tidak. Masyumi itu masuk aklamasi mereka. Makanya

saya usulkan bukunya Pak Prawoto yang sangat bagus itu diakses.

Di situ banyak dokumen-dokumen yang otentik. Penting untuk

dibaca, supaya tidak ada salah paham. Saya kira seperti itu.

Wassalamu ‘alaikum wrahmatullahi wabarakatuh

Pertanyaan [2]

Sebelumnya saya ingin mengutip kata sejarawan Inggris “kita

mempelajari sejarah supaya bijaksana terlebih dahulu”. Pertanyaan saya 2

saja tentang referensi sejarah. Pertama kepada Bapak Jimly Ashidiqi,

tadi saya garis bawahi bahwa gelar kepahlawanan yang diajukan

dari instansi itu tidak hanya untuk kepentingan sesaat, tetapi

memang untuk kepentingan bangsa, lalu tindak lanjut dari itu apa?

Kalau memang misalnya, Ki Bagus Hadikusumo telah menjadi

pahlawan nasional, tetapi tidak ditampilkan dalam dunia pendidikan.

Saya teringat seminar di Kementrian Kebudayaan yang diadakan

oleh Prof. Arif Rahman. Dalam seminar tersebut disampaikan saat

ini dirancang 4 mata pelajaran perekat bangsa yaitu, agama, bahasa,

matematika dan PKn. Dari keempat mata pelajaran tersebut sejarah

tidak termasuk salah satu bidang pelajaran perekat bangsa?

Pertanyaan kedua untuk Prof. Taufik dan Prof. Bahtiar.

Kontekstual bangsa kita saat ini mengenai 4 pilar kebangsaan,

kenapa Pancasila itu dijadikan pilar? Karena memang sudah sejatinya

sejak lahir Pancasila sebagai dasar atau pondasi negara kita. Pilar

Page 9: Buku Ki Bagus Hadikusumo Booklet

9

berlaku di Indonesia dengan sebaik-baiknya. Menurut Ki Bagus,

banyak sekali hukum Islam yang sudah menjadi adat istiadat bangsa

Indonesia, sehingga tidak akan salah lagi bila dikatakan bahwa

hukum Islam sudah menjadi adat istiadat Bangsa Indonesia.

Apa yang disampaikan dengan penuh keyakinan oleh Ki Bagus,

sesungguhnya merupakan fakta dalam sejarah perkembangan

hubungan agama (dalam hal ini Islam) dengan negara. Berbagai

fakta menunjukkan bahwa relijiusitas telah menyatu dan menjadi

jati diri bangsa ini.

Di Kesultanan Bima, Nusa Tenggara Barat, misalnya yang

mengalami proses Islamisasi sekitar pertengahan abad ke-16, sistem

pemerintahannya memberi kedudukan terhormat kepada ajaran dan

hukum Islam. Setiap keputusan pemerintahan Kesultanan Bima

tidak boleh dilaksanakan sebelum mendapat pertimbangan hukum

Syara’, apakah isinya sesuai atau bertentangan dengan hukum Is-

lam. Ini tercermin dalam ungkapan: “syara’ na katenggo kuma

hukum -syara’ harus dikuatkan oleh hukum Islam.”

Para penguasa di Nusantara, dengan kesadaran penuh

mempergunakan idom-idom Islam pada dirinya. Sultan, Sayyidin,

dan Khalifatullah melekat menjadi sebutan para penguasa di

Nusantara.

Bahkan, meskipun kemudian berbagai bangsa Barat datang

untuk menaklukkan dan menjajah berbagai kerajaan di Nusantara,

akan tetapi mereka tidak mampu menghilangkan Islam dari jiwa

penduduk di kepulauan Nusantara. Islam tetap menjiwai,

dilaksanakan, dan menjadi jati diri penduduk di kepulauan ini.

Sepanjang catatan yang ada, sampai sebelum 1882, pemerintah

kolonial Belanda tetap mengakui eksistensi Peradilan Agama Islam

di masyarakat kepulauan Nusantara.

Pada September 1801 pemerintah Hindia-Belanda

memerintahkan kepada seluruh Bupati agar terhadap urusan-urusan

agama orang Jawa tidak dilakukan gangguan, sedangkan kepada

para pemuka agama Islam diberikan keleluasaan untuk memutuskan

perkara-perkara tertentu dalam bidang perkawinan dan kewarisan.

64

SESI TANYA-JAWAB

Pertanyaan [1]

Saya kira pertama harus clear dulu soal istilah. Kalau kita baca

buku hitam itu tidak ada satupun yang berbicara tentang negara

Islam. Dan itu selalu disebut sebagai dasar negara. Negar Islam itu

baru muncul pada masa Kartosuwiryo, tahun 47. Jadi berbeda sekali

itu. Itu stigma yang harus kita hentikan. Yang kedua, yang diusulkan

Ki Bagus untuk dicoret itu bukan 7 kata, tapi 2 kata. Ki Bagus

menghendaki “ketuhanan dan kewajiban melaksanakan syari’at Is-

lam”. Jadi tidak perlu ‘bagi pemeluk-pemeluknya itu’. Karena kata

Ki Bagus negara tidak bisa mengatur itu. Jadi wajib melaksanakn

kewajibannya.

Ini nanti hubungannya kalau kita lihat, kompromi yang

ditawarkan H. Masykur, kalau memang susah rumusan ketuhanan

dan kewajiban melaksanakn syari’at Islam itu, ganti saja; Islam

sebagai agama negara. Itu yang di usulkan oleh H. Masykur. Dan

kompromi H. Masykur juga ditolak. Lantas Pak Kahar menggebrak.

Kalau mau diterima, terima, kalau mau ditolak, tolak! Begitu 18

Agustus beliau di lobi oleh Pak Kasman. Ki Bagus langsung

mengirim telegram ke Jogjakarta. Saat itu Muhammadiyah sedang

sidang Tanwir. Sidang yang sudah akan ditutup akhirnya ditunda

sampai beliau datang. Itu yang oleh Pak Kahar Mudzakir dalam

pidato konstituante bulan Mei tahun dikatakan, “Ki Bagus itu

menjerit di depan majelis”. Kalau menurut Pak Kahar, ujung dari

ucapan Ki Bagus itu, “umat Islam di Indonesia dengan itu masih

terjajah”. Itu keras sekali. Jadi saya kira memang beban psikologis

yang terbesar itu ada di tangan ki bagus.

Dalam soal ini saya setuju pada riwayat Prawoto Mangunsaswito.

Pada waktu itu memang hanya ada Ki Bagus. Ki Wahid Hasyim

belum datang. Jadi sudah di lobi oleh Bung Hatta tidak menyerah,

terakhir Kasman. Jadi kata Pak Kasman, “Ki Bagus, ini kata Bung

Karno kita 6 bulan lagi akan dibikin UUD. Ki Bagus mengalah.

Page 10: Buku Ki Bagus Hadikusumo Booklet

10

Pada tahun 1820, melalui Stanblad No. 22 pasal 13, ditentukan

bahwa para Bupati wajib memperhatikan soal-soal agama Islam

dan menjaga supaya para pemuka dapat melakukan tugas mereka

sesuai dengan adat kebiasaan orang Jawa seperti dalam perkawinan,

pembagian pusaka, dan yang sejenis dengan itu Berturut-turut

sesudah itu, keluar Stanblad No. 58 tahun 1835 dan Stanblad No. 2

tahun 1855 yang mendukung pelaksanaan hukum Islam oleh

orang-orang Islam sendiri, melalui cara-cara yang sesuai dengan

ajaran Islam.

Pada tahun 1882, Pengadilan Agama di Jawa-Madura,

diresmikan. Peresmian itu berlangsung sesudah berkembang

pendapat di kalangan orang-orang Belanda sendiri bahwa hukum

yang berlaku bagi orang-orang bumiputera di Hindia-Belanda adalah

undang-undang agama mereka sendiri, yakni hukum Islam. Inilah

teori hukum yang terkenal dengan nama Receptio in Complexu yang

sejak tahun 1885 telah memperoleh landasan perundang-undangan

Hindia-Belanda melalui Stanblad No. 2 Tahun 1855.

Dalam hubungan ini, menarik untuk menyimak nota Ketua

Komisi Penyesuain Undang-undang Belanda dengan Keadaan

Istimewa di Hindia-Belanda, Mr. Scholten van oud Harlem, kepada

pemerintah Belanda pada tahun 1838 sebagai berikut : “Untuk

mencegah timbulnya keadaan yang tidak menyenangkan, mungkin

juga perlawanan, jika diadakan pelanggaran terhadap agama orang

bumiputera, maka harus diikhtiarkan sedapat-dapatnya agar

mereka itu dapat tinggal tetap dalam lingkungan (hukum) agama

serta adat istiadat mereka.” Pendapat Harlem didukung oleh

Lodewijk Willem Christian van den Berg yang mengatakan bahwa

orang-orang bumiputera yang beragama Islam telah melakukan

resepsi terhadap hukum Islam dalam keseluruhannya dan sebagai

kesatuan.

Perubahan mulai terjadi ketika seorang ahli hukum adat, Cornelis

van Vollenhoven mengeritik dan menyerang teori Receptio in

Complexu. Kritik dan serangan van Vollehnoven didukung oleh

Penasihat Pemerintah Hindia-Belanda tentang Soal-soal Islam dan

63

Ki Bagus masih bersikap seperti itu, saya kira pengesahan

Pancasila dan UUD 1945 pada 18 agustus 1945 tidak terjadi. Saya

kira itu terima kasih.

Wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Page 11: Buku Ki Bagus Hadikusumo Booklet

11

Anak Negeri, Christian Snouck Hurgronje. Menurut keduanya, yang

sesungguhnya berlaku di Hindia-Belanda bukanlah hukum Islam,

melainkan hukum adat. Ke dalam hukum adat itu memang masuk

hukum Islam, tetap hukum Islam baru mempunyai kekuatan kalau

sudah diterima sebagai hukum adat. Pendapat kedua orang ini

dikenal sebagai teori Receptie.

Sejak muncul teori inilah, di kalangan masyarakat lahir dua kubu

mengenai hubungan agama (dalam hal ini Islam) dengan negara.

Golongan-golongan dalam masyarakat yang diciptakan oleh

pemerintah kolonial itu secara otomatis akan saling berhadapan

jika dimunculkan isu menyangkut kepentingan mereka.

Hadirin yang berbahagia,

Dalam hubungan dengan semangat kebangsaan, Ki Bagus

mengingatkan, bukankah tokoh-tokoh yang berani menentang

imperalisme Belanda adalah tokoh-tkoh seperti Pengeran

Diponegoro, Teuku Umar, Imam Bonjol, dan kiai-kiai lain yang

merupakan penghanjur dan pendekar rakyat yang bepegang teguh

kepada Islam serta mendasarkan perjuangannya di atas dasar agama

Islam.

Menurut Ki Bagus, jika dilihat perkembangannya pergerakan

rakyat Indonesia pada kurun terakhir di awal abad ke-20, mulai

Indizche Partij, Boedi Oetomo, Sarekat Islam, dan lain-lain, maka

yang mendapat sambutan serta pengaruh yang terbesar dari seluruh

rakyat Indonesia adalah Sarekat Islam.

Sarekat Islam yang mendasarkan pergerakannya kepada ajaran

Islam mampu menggabungkan segenap rakyat dari segala pelosok

kepulauan Indonesia. Tidak hanya di Jawa, pengaruh Sarekat Islam

menyebar ke Sumatera, Kalimantan Sulawesi, Maluku, dan lain-

lain.

Melihat kenyataan tersebut, Ki Bagus menyimpulkan bahwa

di dalam diri umat Islam tersembunyi jiwa yang hidup

dan bersemangat. Dengan pengaruh agama Islam kepada rakyat

Indonesia sangat kuat dan mendalam, maka Ki Bagus yang

62

Termasuk usulan Kiai Maskur mengenai presiden harus beragama

Islam. Karena dalam dasarnya adalah menjalankan kewajiban sesuai

syari’at Islam bagi pemeluknya, maka bagaimana kalau presidennya

Kristen?

Jadi Kiai Masykur menginginkan Islam dimasukkan ke situ. Nah,

itu yang ditolak. Kalau saya tidak salah ingat, pemimpin Islam itu

tidak menginginkan hari libur itu hari Minggu, tapi Jum’at. Kalau

tak salah yang mengusulkan itu Pak Wahid Hasyim. Sebab di

pesantren tradisi liburnya hari jum’at. Kedua hal itu ditolak. Makanya

dia mendukung pandangan Kiai Sanusi yang mengatakan dengan

kewajiban menjalankan syari’at Islam. Kiai Sanusi didukung oleh

Ki Bagus Hadikusumo. Makanya dia mengatakan,”Yang tegas saja,

kalau kita menginginkan negara Islam, ya negara Islam. Kalau bukan,

ya bukan.”

Soekarno lantas menolak usul Mudzakir. Mudzakir kembali

meminta agar sidang memperhatikan usulnya. Saat itulah Ki Bagus

Hadikusumo membela dan tampil mendukung Mudzakir, “... tuan-

tuan sudah kerap kali dituangkan di sini bahwa Islam itu menganut

ideologi negara. Maka tidak bisa negara dipisahkan dari Islam.

Jadi saya menyetujui usul tuan Abul Kahar Mudzakir. Karena

ideologi Islam tidak diterima, maka jangan berkompromi. Jadi

nyata negara ini tidak berdiri di atas agama Islam. Jangan

diambil sedikit kompromis seperti tuan-tuan katakan.” Jadi

memang begitu Ki Bagus. Menurutnya tidak perlu kita berhalus

atau kita berkasar sekalian. Karakter yang ditampilkan Ki Bagus

dia konsisten terhadap apa yang dia yakini sebagai sesuatu

yang benar.

Seperti saya katakan di awal, peran terbesar Ki Bagus yaitu

pada pertemuan dengan Hatta yang berlangsung 15 menit itu,

dengan segala beban psikologis yang ada di pundak beliau. Dia

bersedia menerima rumusan Ketuhanan Yang Maha Esa. Saya

tidak bisa bayangkan bagaimana kalau Ki Bagus pada 15 menit

terakhir itu bersikap sama seperti sidang-sidang BPUPKI dari

bulan Mei dan awal bulan JSI uni kemudian bulan Juli. Kalau

Page 12: Buku Ki Bagus Hadikusumo Booklet

12

menyebut dirinya sebagai “seorang bangsa Indonesia tulen” dan

“sebagai Muslim yang mempunyai cita-cita Indonesia Raya dan

merdeka mengharapkan agar Indonesia merdeka mendasarkan

dirinya kepada agama Islam, sesuai dengan jiwa rakyat yang

terbanyak.

Bagi Ki Bagus, Islam yang diusulkannya mendadi dasar negara

itu, paling sedikit mengandung : (1). Mengajarkan persatuan atas

dasar persaudaraan yang kukuh, (2). Mementingkan perekonomian

dan mengatur pertahanan negara, (3). Membagun pemerintahan

yang adil dan menegakkan keadilan, (4). Tidak bertentangan, bahkan

sangat sesuai dengan kebangsaan kita, dan (5). Membentuk potensi

kebangsaan lahir dan batin serta menabur semangat kemerdekaan

yang menyala-nyala.

Ki Bagus juga mengingatkan bahwa umat Islam sekarang sudah

insaf, sudah luas pandangannya dan sudah lebar dadanya, suka

bekerja bersama-sama dengan siapa dan di mana saja, asal tidak

tersinggung agamanya.

Hadirin yang berbahagia,

Patut diduga, lantaran keteguhannya menyuarakan aspirasi Is-

lam, maka ketika mula-mula dibentuk Panitia Kecil BPUPKI yang

terdiri atas 8 anggota, karena itu boleh juga disebut Panitia Delapan,

Ki Bagus Hadikusumo dipilih mnjadi salah seorang anggotanya.

Tujuh anggota yang lain ialah : Ir. Sukarno, Drs. Mohammad Hatta,

Mr. Mohammad Yamin, Mr. A.A. Maramis, R. Otto Iskandardinata,

Mas Setardjo Kartohadikoesoemo, dan K.H.A. Wahid Hasyim.

Tugas Panitia Kecil ini adalah mengumpulkan usul-usul para anggota

yang akan dibahas pada masa sidang yang akan diselenggarakan

pada bulan Juli 1945.

Mengenai dasar negara, Panitia Kecil mencatat 7 usul, yaitu : 1.

Kebangsaan dan Ketuhanan (11 pengusul), 2. Kebangsaan dan

Kerakyatan (2 pengusul), 3. Kebangsaan, Kerakyatan, dan

Kekeluargaan (4 pengusul), 5. Kemakmuran hidup bersama,

kemajuan kerohanian, kecerdasan pikiran bangsa Indonesia

61

paling menyedihkan adalah kesadaran kita untuk memanipulasi

sejarah malah tinggi.

Dalam buku yang saya baca. Buku yang kalau tak salah

diterbitkan oleh sekretariat negara. Di sana emang tidak ada pidato

Ki Bagus Hadikusumo. Jadi yang dimuat itu, yang pertama adalah

pidato Yamin, yang kedua pidato Supomo, yang ketiga adalah

Soekarno. Itu adalah sidang pertama pada tanggal 1 Juni 1945. Baru

revisi yang terbaru ini, yang diberi pengantar Pak Taufiq dan ada

sambutan dari Akbar Tanjung, sebagai sekneg, itu lebih tebal lagi

bukunya.

Kita tidak bisa mengetahui secara konkrit fikiran-fikiran

Ki Bagus kecuali Islam sebagai dasar negara dan akhlak

karimah. Kalau kita baca, dari ungkapan-ungkapan Ki Bagus,

selama sekian itu memang tidak banyak, karena memang

yang dikutip sepintas-sepintas. Yang bisa kita baca adalah

bahwa Ki bagus Hadikusumo itu memang orang yang sangat

teguh di dalam berprinsip.

Dia memang melihat ada dua polarisasi, Islam sebagai dasar

negara, dan Pancasila sebagai dasar negara. Itu memang 2 tubuh

yang sulit untuk dikompromikan. Bagi Ki Bagus Hadikusumo,

kompromi dalam dasar negara itu tidak bisa. Saya agak berbeda

dengan Pak Munir dan sependapat dengan Pak Taufiq. Sikap Ki

Bagus adalah tidak mungkin kita berkompromi di dalam hal yang

sangat prinsip. Saya kira sikap seperti itulah, mungkin, kalau kita

berargumen, saya rasa satu alasan mengapa Ki Bagus tidak masuk

di dalam panitia kecil. Panitia kecil, pemimpin-pemimpin Islam yang

bergabung di situ adalah orang-orang yang relatif bersedia untuk

berkompromi. Makanya, reaksi pertama Ki Bagus Hadikusumo

terhadap hasil kompromi itu ditujukan pada kalimat; ketuhanan

dengan kewajiban yang menjalankan syari’at islam bagi pemeluknya.

Ki Bagus ingin membantahnya. Menurutnya tidak bisa

berkompromi seperti itu. Apalagi kemudian Ki Bagus juga merasa

banyak sekali aspirasi dari pemimpin-pemimpin Islam yang ada

dalam BPUPKI yang oleh Soekarno ditolak atau ditentang.

Page 13: Buku Ki Bagus Hadikusumo Booklet

13

bertakwa, berpegangan teguh pada tuntunan Tuhan Yang Maha

Esa, Agama Negara ialah agama Islam (1 pengusul), 6. Kebangsaan,

Kerakyatan, dan Islam, dengan catatan agama Islam harus diakui

sebagai agama negara dengan kemerdekaan seluas-luasnya bagi

penduduk untuk memeluk agama yang bukan Islam (3 pengusul),

dan 7. Jiwa Asia Raya (4 pengusul).

Melihat kenyataan ususl-usul di atas, tidak mengherankan jika

dalam rumusan Panitia Sembilan (pengganti Panitia Delapan dan

dibentuk atas prakarsa Bung Karno) yang terdiri atas Ir. Sukarno,

Drs. Mohammad Hatta, Mr. Mohammad Yamin, Mr. A.A. Maramis,

K.H. A. Wahid Hasyim, Mr. Achmad Soebardjo, K.H. A. Kahar

Mudzakir, Abikoesno Tjokroseojoso, dan H. Agus Salim; Ketuhanan

dengan kewajiban syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya menjadi dasar

yang pertama dari susunan negara Republik Indonesia yang

berkedaulatan rakyat.

Ketika pada 10 Juli 1945 hasil ini dibawa ke rapat besar BPUPKI,

dan mendapat kritik dan sanggahan dari beberapa anggota,

Ir. Sukarno selaku Ketua Panitia Sembilan gigih mempertahankan

rumusan Pembukaan hukum dasar itu. Sesudah melalui

perdebatan panjang, dalam rapat BPUPKI pada tanggal 16 Juli 1945,

rancangan Preambule dan batang tubuh Undang-undang Dasar

diterima dalam kata-kata Ketua BPUPKI Dr. K.R.T. Radjiman

Wedoningrat “dengan suara sebulat-bulatnya.” Preambule rumusan

22 Juni 1945 itulah yang kemudian dikenal dengan nama Piagam

Jakarta.

Sampai di sini, mau tidak mau, kita harus mencatat peranan

seorang lagi kader Muhammadiyah K.H.A Kahar Mudzakkir di

dalam merumuskan konstitusi negara dalam kedudukannya sebagai

anggota Panitia Sembilan. Sayangnya sampai sekarang dokumen

perdebatan di Panitia Sembilan belum ditemukan sehingga belum

terpublikasikan.

Sesudah bersidang pada 16 Juli 1945, BPUPKI “hilang”. Posisi

BPUPKI digantikan oleh PPKI. Berbeda dengan BPUPKI yang

beranggotakan 60 orang ditambah 6 anggota tambahan dan 7 wakil

60

Prof. Bahtiar Effendi

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Pertama, saya ingin berterima kasih pada Pak Fatwa yang sudah

mengajak saya untuk hadir dalam diskusi ini.

Baiklah bapak dan ibu sekalian,

Pertama saya ingin mengusulkan, jadi nanti di dalam menulis

prosedur usulan pahlawan dan macam-macamnya itu harus

dicantumkan bahwa untuk Ki Bagus tidak hanya kenegarawanannya

saja. Saya mencatat 2 hal, seperti yang tadi sudah disinggung Pak

Munir. Pertama adalah aspek kenegaraaan. Kedua, aspek

kepemimpinana Ki Bagus di Muhammadiyah. Saya kira selama

hampir 10 tahun memimpin Muhammadiyah, di zaman yang sangat

sulit ketika itu, saya kira itu menjadi suatu pertimbangan.

Kemudian berkenaan dengan konstitusi negeri ini, saya kira

peran utama Ki Bagus dalam menyiapakan dasar negara dan juga

UUD 1945 itu terletak pada 15 menit terakhir itu. Kalau Bung Hatta

memeang referensi ideologisnya sudah jelas ketika itu. Kemudian

kalau kita lihat misalnya Muhammad Hasan, alhamdulillah saya dulu

awal 80-an, saya pernah ketemu dengan Tenku Muhammad Hasan

di rumahnya konon tidak sekeras pemimpin Islam yang lain dalam

memperjuangkan Islam sebagai dasar negara. Bung Hatta sudah

jelas referensinya, kemudian Tenku Muhammad Hasan dan Pak

Kasman jauh lebih lembut dan lebih halus daripada Ki Bagus

Hadikusumo. Jadi sebetulnya yang paling berperan dan berfungsi

desesive moment yang 15 menit itu ya Ki Bagus. Anda bisa

bayangkan kalau Ki Bagus menolak perubahan pada 15 menit

terakhir itu, atau Ki Bagus memperdebatkan. Urusannya bisa

panjang dan barangkali tidak akan ada kreatifasi UUD 1945 dan

Pancasial sebagai dasar negara pada 18 agustus 1945.

Ada satu hal yang membuat kita perihatin. Kesadaran sejarah

kita juga kadang-kadang lemah, kemudian kesadaran kita untuk

mengumpulkan dokumen-dokumen sejarah juga lemah. Yang

Page 14: Buku Ki Bagus Hadikusumo Booklet

14

Jepang sebagai anggota istimewa, PPKI hanya beranggotakan 27

orang. PPKI yang dibentuk pada 7 Agustus 1945, entah mengapa,

baru bersidang pada 18 Agustus 1945.

Di PPKI, yang anggotanya hanya 21 orang plus 6 anggota

tambahan jumlah anggota yang berasal dari kalangan Islam makin

merosot, yaitu hanya 4 orang. Keempatnya ialah Ki Bagus

Hadikoesoemo, K.H. A. Wahid Hasyim, Mr. Kasman

Songodemodjo (aktivis Jong Islamieten Bond dan Muhammadiyah yang

saat itu lebih dikenal sebagai Daidantjo Jakarta), dan Mr. T.M. Hasan

(Ikhwanus Shafa Indonesia yang keanggtaannya dalam PPKI lebih

karena faktor ke-Sumatera-annya).

Di tangan PPKI dengan format seperti itulah, karya besar 60 +

6 anggota BPUPKI berupa Undang-Undang Dasar Negara Indo-

nesia yang dengan susah payah dan dengan penuh kesabaran

dirancang, diperdebatkan, dan pada 16 Juli 1945 dengan suara bulat

disahkan dalam rapat besar BPUPKI, hanya dalam hitungan jam,

serta merta dianulir oleh 20 + 6 anggota PPKI.

Hadirin yang berbahagia,

Situasi pada pagi 18 Agustus 1945 itu, sungguh-sungguh sangat

krusial. Lagi-lagi, beban berat t diletakkan di pundak kader

Muhammadiyah, Ki Bagus Hadikusumo dan Kasman

Singodemedjo.

Menurut Ketua Umum Partai Masyumi, Prawoto

Mangkusasmito, ketika seluruh eksponen non-Islam menghendaki

tidak ada klausul tujuh kata yang menjadi inti dari Piagam Jakarta.

Pada rapat 18 Agustus 1945 itu, anggota PPKI K.H. A. Wahid

Hasyim tidak ada, karena masih dalam perjalanan di Jawa Timur.

Mr. Kasman Singodimedjo sebagai anggota tambahan, yang baru

mendapat undangan rapat pada pahi hari itu, belum mengetahui

sama sekali persoalannya.Seuruh tekanan psikologis tentang berhasil

atau tidaknya penetapan Undang-Undang Dasar diletakkan di atas

pundak Ki Bagus Hadikusumo sebagai satu-satunya eksponen

perjuangan Islam di PPKI pada saat itu.

59

ada penutup di sekitarnya. Akhirnya ditutuplah dengan tangannya

hinggap pagi. Kalau tidak ada yang menutup itu, air laut akan

memusnahkan Belanda. Demikian juga usaha yang dilakukan oleh

4 orang ini, Hatta, Tenku Hasan, Kasman dan Ki Bagus.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Page 15: Buku Ki Bagus Hadikusumo Booklet

15

Tidak mudah meyakinkan Ki Bagus untuk menghapus tujuh

kata dari rancangan Preambule Undang-Undang Dasar. Sesudah Bung

Hatta yang konon pada sore 17 Agustus 1945 menerima opsir

Angkatan Laut Jepang untuk menyampaikan keberatan rakyat di

Indonesia Timur atas masuknya tujuh kata dalam Preambule Undang-

Undang Dasar gagal meyakinkan Ki Bagus, dia meminta T. M.

Hasan untuk melobbi Ki Bagus ternyata juga tidak mampu

melunakkan hati Ki Bagus.

Dalam situasi kritis itulah, Hatta meminta Kasman untuk

membujuk Ki Bagus. Dengan menggunakan bahasa Jawa halus,

Kasman meyakinkan Ki Bagus untuk mau menerima usul

perubahan.

Entah karena dilobbi oleh sesama kader Muhammadiyah, atau

karena kepiawaian Kasman melobbi dengan bahasa Jawa halus, Ki

Bagus dapat menerima argumen Kasman. Ki Bagus setuju tujuh

kata dalam rancangan Preambule Undang-Undang Dasar, Ketuhanan

dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya

dihapus dan diganti dengan kalimat Ketuhanan Yang Maha Esa.

Bersamaan dengan itu Ki Bagus meminta supaya anak kalimat

“menurut dasar” di dalam Preambule Undang-Undang Dasar dihapus,

sehingga penulisannya dalam Preambule Undang-Undang Dasar

menjadi: “... Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan

beradab, persatuan Indonesia, dan seterusnya.” Usul Ki Bagus disetujui.

Hadirin yang berbahagia,

Panitia berharap, seminar ini dapat memberikan pencerahan,

melengkapi pengetahuan kita terhadap masa lalu bangsa ini dan

menimbang secara adil peran Ki Bagus Hadikusumo, K.H.A. Kahar

Mudzakkir, Mr. Kasman Singodimedjo, dan banyak tokoh lain

seperti dr. Soekiman Wirjosandjojo, K.H.A. Sanusi, dan Abdul

Rahman Baswedan dalam proses pembentukan negara Republik

Indonesia dengan konstitusinya yang kita kenal sebagai Undang-

Undang Dasar 1945.

58

kalau memang tak jelas jangan pakai pernyataan Islam kalau yang

dipakai ujung-ujungnya saja.

Sementara itu haripun sudah larut. Kiai Sanusi mengusulkan

untuk mendinginkan masalah ini. Pada hari itu, jam 21.55, maka

sidang pun ditutup. Jadi sudah jam 10 malam, kemudian ada satu

masalah kalau kita melihat dalam sejarah, ada perilaku-perilaku.

Setiap perilaku orang itu, itu adalah pilihan. Seperti kita datang ke

sini, kalau tidak di sini kan bisa ke tempat lain, jadikan satu pilihan.

Kadang-kadang kita berfikir, mengapa kita yang dipilih? Mengapa

tidak yang lain? Sebab ketika kita melakukan sesuatu ada banyak

pilihan, tetapi mengapa harus dilakukan? Kadang-kadang apa yang

dilakukan itu kurang rasional, adalagi yang rasional. Terkadang kalau

saya baca perilaku-perilaku, status supersemar misalnya, mengapa

Bung Karno mau aja dengan Supersemar. Sebab dari 4 perintah

Supersemar, ada 3 yang dari dia. Terkadang saya berpikir, kok bisa

lupa Soekarno, padahal sudah bertahun-tahun jadi pemimpin.

Padahal Soeharto sudah beberapakali mengusulkan bubarkan PKI.

Tapi kok dia mau aja.

Kemudian, ketika mau merdeka, Jepang mendatangkan 3 or-

ang dari Sumatera, 2 dari Kalimantan, ada 7 atau 9 orang yang

didatangkan dari luar Jawa. Tapi belum sempat rapat mereka. Rapat

dilaksanakan ketika Bung Hatta diculik oleh pemuda-pemuda, dan

setelah itu langsung diadakan proklamasi. Itulah saat akhir, waktu

17 Agustus, dan tanggal 18 Agustus pagi-pagi yang tadi dijelaskan

oleh Pak Fatwa.

Rupanya Bung Hatta didatangi oleh angkatan laut. Nah, yang

tadi saya bilang, yang berkuasa di Indonesia Timur adalah Angkatan

Laut. Yang datang dengan Hatta itu opsir Angkatan Laut. Setelah

itu Bung Hatta memanggil orang yang mewakili Islam, yaitu Ki

Bagus, Kasman, dan satu orang dari Sumatera. Selanjutnya, dalam

15 menit mereka setuju tentang perubahan tujuh kata itu.

Kepahlawanan terkadang didapat hanya karena peristiwa sesaat.

Konon, salah satu pahlawan Belanda adalah seorang anak yang

katanya waktu dia lewat bendungan ada yang bocor. Padahal tidak

Page 16: Buku Ki Bagus Hadikusumo Booklet

16

Dalam proses penyusunan konstitusi, terutama pada saat-saat

kritis dalam proses penetapan Undang-Undang Dasar, terbukti tiga

tokoh Muhammadiyah telah menorehkan peranan yang cukup

signifikan. Anehnya, meskipun Ki Bagus Hadikusumo, K.H. A.

Kahar Mudzakkir, dan Mr. Kasman Singodimedjo memiliki peran

cukup signifikan dalam pembentukan Undang-Undang Dasar,

sampai hari ini pemerintah belum mengakui ketiga tokoh ini sebagai

Pahlawan Nasional.

Wabillahittaufiq wal hidayah.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Jakarta, 3 Agustus 2012

DR. (HC) A.M. Fatwa

57

dan Rajiman yang pergi ke Barat. Saat mereka pulang Jepang sudah

kalah. Tapi itu cerita lain.

Jadi setelah diangkat BPUPKI itu memang terjadi perdebatan.

Ada beberapa hal yang menjadi pangkal perdebatan. Ada beberapa

hal yang diperdebatkan memang, ada yang menduga tentang

republik atau tidak, yang menjadi wakil negara raja atau presiden,

ya presiden. Manakah yang menjadi wilayah indonesia ini? Kalau

Bung Karno dan Yamin, kedua orang ini adalah nasionalis yang

romantis, romantic nasionalis.

Mereka membayangkan Indonesia Raya, yang mereka

maksud seluruh kepulauan Indonesia ini, termasuk Timor Timur,

termasuk Kalimantan, Serawak, Serapah, dan Brunei itu.

Dan termasuk juga tanah Melayu. Itulah yang mereka maksud

Indonesia Raya. Kalau Bung Hatta mengatakan Hindia Belanda

saja. Kalau sekiranya Papua tidak mau, Papua tidak. Sebab

Papua itu dianggap keseluruhan, tidak Papua Barat saja, tapi

Papua sebagai keseluruhan.

Tapi yang menang Soekarno dan Yamin, Indonesia Raya. Dan

yang paling lama perdebatannya ialah apa dasar negara kita. Memang

dasar dari pengertian bukan filosofis. Filosofis itu akan diterima

pancasila, tapi apakah ini negara berdasarkan Islam atau netral. Nah,

itu memang yang belum terjawab. Landasan filosofis dasar negara

itu dirumuskan oleh panitia 9, yaitu Soekarno, Hatta, Mr. Subagyo,

Yamin, Kahar Mudzakkir, Cokro Adikusno, H. Agus Salim,

Ki Bagus.

Kemudian terumuskanlah Piagam Jakarta. Yang jadi perdebatan

adalah tujuh kata itu. Dan yang paling sering tampil dan

memperdebatkannya itu ya Ki Bagus Hadikusumo. Ia ingin itu

dicabut saja, tapi pada pidato terakhirnya ia sempat putus asa, ada

sinisme. Ini saya bacakan sinisme yang terakhir. Pidato terakhir dia,

inikan debat beda dengan pidato, kalau pidato kan langsung, tapi

sekarang dia mulai seperti ini, “Akhirnya saya berlindung kepada

Allah terhadap setan yang merusak, “ begitulah pidatonya itu. Yang

lain sebelum itu belum pernah pakai seperti itu. Menurut Ki Bagus,

Page 17: Buku Ki Bagus Hadikusumo Booklet

17

KETIKA PILIHAN PATRIOTIK TELAH DATANG :

Ki Bagoes Hadji Hadikoesoemo

Hadikoesoemo, Ki Bagoes Hadji, Ket.peng.besar

Moehammadijah Jodjakarta, Giin Tjuo Sangi In–Lah.:2550,

Jogjakarta, --Sek.: pesantren, ke Mekkah,-- Pek.: dagang, 2582,

2582 diangkat oleh G.G. menjadi angg. Komisi oentoek

menjoesoen Mahkamah Tinggi; 2583 diangkat oleh Pepatih

dalem Jogjakarta -Koo mendjadi komisie pemeriksa kijai

goeroe agama Jogjakarta; 2603 Giin Tyuuoo Sangi In -

Karangan : Kitab poestaka Iman, Poestaka Islam, Poestaka

Ihsan, Kitab Poestaka Hadi, Risalah Katresnan Djati, Roehoel

Bajan (Tafsir Qoer’an; (2584-2599). (22-3-2604)

(Orang Indonesia Terkemoeka di Djawa – Diterbitkan oleh

Gunseikanbu-2604, Tjetakan Pertama) Kurangi 620 dari tahun

Jepang untuk mendapatkan padanan tahun Masehi.

Setiap periode, bahkan juga setiap peristiwa, sesungguhnya unik

pada dirinya. Seru periode, apalagi satu peristiwa, tidak sama dengan

yang lain. Hanya saja berbagai unsur dalam periode atau peristiwa

itu bisa juga diperbandingkan dan bahkan dipersamakan dengan

yang lin, sehingga pemahaman konseptual yang sama pun tentang

periode dan peristiwa sering bisa juga dipakai... Maka kitapun bisa

mengatakan terjadinya “revolusi” di sana, dan “revolusi” di situ

atau “pemberontakan” terjadi seratus tahun yang lalu dan

“pemberontakan” berkecamuk sekian tahun yang lalu. Semua

berbeda tetapi ada ciri-ciri pada diri masing-masing yang memberi

kemungkinan untuk menyebutnya dengan nama yang sama. Karena

menyadari hal-hal yang bisa dipersamakan inilah peristiwa sejarah

itu lebih mungkin direkonstruksi dan dipahami. Asal usul dari teori

sosial, yang ingin menerangkan struktur dan perilaku masyarakat

56

Zaman Jepang itu juga bahasa indonesia menjadi bahasa

pengetahuan. Karena bahasa Belanda tidak dipakai, maka pelajar

Indonesia itu terpaksa belajar bahasa Indonesia. Kecuali kalau

mereka sama mereka saja. Kalau Bung Hatta, Bung Karno dengan

kawan-kawan mereka ya pakai bahasa Belanda. Tapi kalau Bung

Hatta, Bung Karno dengan kawan yang lain maka pakai bahasa

Indonesia.

Saya baca di koran terkemuka di Jawa, Ki Bagus Hadikusumo

Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah, Jogjakarta, 2050

Jogjakarta, dari pesantren dan juga ke Mekkah, pekerjaan dagang.

Jadi Ki Bagus sama dengan ulama di Sumatera Barat yang

kerjanya dagang. Ia pernah diangkat oleh Gubernur Jendral

menjadi anggota komisi untuk menyusun Mahkamah Tinggi.

Tahun 2053 diangkat menjadi komisi pemeriksa guru agama

Indonesia di Jogjakarta. Tahun 2063 menjadi anggota DPR.

Karyanya antara lain; Kitab Pustaka Iman, Pustaka Islam, Pustaka

Ihsan, Kitab Pustaka Hadits, Risalah Katresnan Jati, dan Tafsir

al-Qur’an.

Gara-gara Kiai Mas Mansyur sakit-sakitan, maka Ki Bagus

Hadikusumo diangkat sebagai pengganti empat sekawan, yaitu:

Soekarno, Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan Mas Mansyur yang

kemudian diganti oleh Ki Bagus Hadikusumo. Pada zaman Jepang

ada 3 pemerintahan. Indonesia bagian timur saat itu dikuasai oleh

Angkatan Laut, dan dari situ yang paling progresif pemerintahan

itu ya di Jawa.

Pada waktu itu empat sekawan sempat marah-marah lantaran

kemerdekaan Indonesia tak kunjung diberikan. Kemudian empat

sekawan itu diundang ke Jepang. Di sana keempat sekawan itu

mendapat bintang kehormatan dari Kaisar Jepang. Tulisan-tulisa

Bung Hatta sebelum datang ke Jepang sangat anti dengan Jepang.

Kata Bung Hatta dalam tulisannya, kalau kita harus memilih maka

waktu itu juga kita harus memilih demokrasi, demokrasi ya Barat,

bukan kekuatan Jepang. Sekaligus mereka dapat bintang. Kemudian

memang waktu makin dekat, akhirnya Bung Hatta, Bung Karno

Page 18: Buku Ki Bagus Hadikusumo Booklet

18

serta prospek hari depannya sesungguhnya berasal dari pemahaman

tentang peristiwa-peristiwa yang bisa dibandingkan ini. Bahkan

periode-periode sejarah pun bisa juga memantulkan kesan-kesan

yang hampir sama. Maka orang pun berkata tentang zaman gemilang

di abad sekian dan terulang lagi sekian abad kemudian. Beberapa

ciri yang didapatkan dari zaman itu memberi kesan-kesan yang

memungkinkan sejarawan atau ahli apapun untuk membuat

kategorisasi dari periode atau zaman tertentu,

Meskipun begitu harus diakui juga bahwa “zaman pendudukan

Jepang” (1942-1945) memacarkan kesan-kesan historis yang boleh

dikatakan jauh lebih unik dari pada periode lain dalam sejarah In-

donesia modern. Kesan historis yang paling segera melintas dalam

kenangan ialah kesulitan hidup sosial-ekonomis yang dipancarkan

regime militeristik di zaman perang, kekejaman tentara Nippon

apalagi Kempetai pengerahan tenaga rakyat (romusha) secara paksa

untuk mempersiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan

perang “Asia Timur Raya”, pergundikan paksa, dan sekian banyak

lagi corak pengalaman bangsa yang memilukan. Tetapi sebaliknya

masa penderitaan zaman perang Pasifik ini pula jalan ke arah

kemerdekaan bangsa sengaja ataupun bukan semakin terbentang.

Meskipun untuk keperluan perang Asia Timur Raya berbagai corak

latihan bahkan pengalaman kemiliteran diperkenalkan oleh regim

militeristik Jepang ini. Baik dalam bentuk latihan kepemudaan yang

bercorak militeristik, seperti seinendan, keibodan dan apalagi yang

murni bercorak ketentaraan seperti PETA, Giyu Gun dan Heiho

ternyata kemudian menjadi modal pertahanan militer bangsa yang

utama ketika Proklamasi Kemerdekaan telah dikumandangkan.

Salah satu hal yang terlupakan ialah proses pendewasaan bahasa

Indonesia. Karena pemerintah Pendudukan Jepang melarang

pemakaian bahasa Belanda, maka para kaum terpelajar harus

memakai bahasa Indonesia, yang selama ini hanya mereka kenal

sebagai bahasa pasar saja. Ketika inilah dari sekolah rendah sampai

juga sekolah menengah dan tinggi harus memakai bahasa Indone-

sia, disamping tentu saja mempelajari bahasa Jepang. Di masa

55

Prof. Taufiq Abdullah

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Begini, saya akan bercerita dulu bahwa sejarah itu tidak pernah

lepas dari konteksnya. Kapan itu datang? Dalam suasana apa itu

dilakukan? Menurut saya setiap setiap peristiwa sejara itu berbeda

akan tetapi ada bagian unsur dari peristiwa yang bisa disamakan.

Karena itu kita bisa bicara, perang di sana, perang di sini. Setiap

perang itu berbeda-beda tetapi pasti ada unsur-unsur kesamaan.

Kita bisa menamakan revolusi Prancis, revolusi Indonesia. Beda,

tapi ada unsur yang sama. Karena itu bisa dikatakan praktis semua

teori-teori sosial bisa dimulai dari perbandingan-perbandingan

berbagai peristiwa itu. Saya bisa mengatakan pemberontakan.

Mengapa pemberontakan terjadi? Yang satu karena tidak adil, yang

satu kesenjangan. Tapi dalam sejarah kita, zaman Jepang memang

paling unik. Dalam waktu 3,5 tahun itu aneh-aneh. Setiap kita

berbicara tentang zaman Jepang yang teringat adalah penderitaan,

kelaparan, romusa, paksaan, dan segala macam penderitaan.

Tapi di zaman Jepang itulah pergerakan ke arah kemerdekaan

itu semakin jelas. Di bawah Jepang juga kependidikan kemiliteran

berkembang. Sebaliknya, sebelum Jepang tidak ada. Hanya beberapa

orang kelihatan seperti itu.

Waktu zaman Belanda militier hanya di Ambon dan Manado.

Tapi zaman Jepang, itu praktis dari Ambon sampai ke Aceh sudah

terlatih. Kemudian di zaman Jepan itulah ada kegiatan fajar

kemerdekaan. Di zaman Jepang itu pertama kali dalam sejarah kita

beberapa orang terkemuka sebanyak 60 orang dikumpulkan di

Jakarta. Saya kutip di buku yang ada orang terkemuka Indonesia di

Jawa. Di kumpulkan tidak berdasarkan alphabet, tapi brdasarkan

teori. Dari kategori pemerintahan, peranan sosial, kategori lain-lain.

Dalam agama ini termasuk Prof. Dr. Riyadi Jayadiningrat, dipilih

pemuka agama karena studi-studi yang dilihat banyak dari naskah

agama. Dan diantaranya juga ada Ki Bagus Hadikusumo.

Page 19: Buku Ki Bagus Hadikusumo Booklet

19

Pendudukan Jepang inilah istilah ilmiah bahasa asing mulai

mendapakan padanan dalam bahasa Indonesia. Komisi Istilah

didirikan di masa pendudukan Jepang ini. RT dan RW sebagai

organisasi lokal kemasyarakatan, sebagai struktur perantara dengan

administrasi pemerintahan di daerah perkotaan kini telah dianggap

biasa saja dan terlupakanlah bahwa keduanya berasal dari zaman

Pendudukan Jepang. Mungkin dalam usaha pengaturan masyarakat

ini pula pemerintah Jepang, Gunseikanbu, di Jawa menerbitkan

sebuah buku yang penting, yaitu “Orang Indonesia jang terkemoeka di

Djawa” (2604/944). Buku yang disusun berdasarkan lapangan

aktivitas para tokoh ini (1). Oeresan Negara (pangreh pradja,

pengadilan dsb,(2). perekonimian (pertanian, kehoetanan,

perdagangan dsb), dan(3).”golongan-golongan lain (penerangan,

kebodajaan, agama dsb) tampaknya dipakai pemerintah pendudukan

Jepang untuk membentuk peninggalannya yang paling fundamen-

tal yaitu Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia

(BPUPKI), yang mulai bersidang akhir Mei (28 Mei) 1945.

Dalam BPPKI inilah untuk pertama kalinya sekitar 60-an “or-

ang Indonesia terkemoeka di Djawa”, yang kebetulan berasal dari

berbagai daerah (bukankah Jawa adalah pusat pemerintahan sejak

zaman Hindia Belanda?) membicarakan secara terbuka segala hal

yang berkaitan dengan keharusan kenegaraan mulai dari landasan

filosofis, dasar dan bentuk negara, sistem pemerintahan, sampai

batas-batas wilayah negara. Dalam badan resmi yang didirikan

pemerintah pendudukan Jepang inilah untuk pertama kali berbagai

corak dan aliran ideologi kenegaraan serta impian masa depan

bangsa dibicarakan, diperdebatkan dan diputuskan serta

dirumuskan. BPUPKI barulah dibubarkan, setelah berhasil

membuat rancangan UUD yang disertai Mukaddimah, yang

kemudian dikenal sebagai “Jakarta Charter” pada akhir Juli, 1945.

Ketika itu suasana Perang Pasifik, yang disebut pemerintah militer

Jepang “Perang Asia Timur Raya”, telah semakin memperlihatkan

tanda-tanda “zama gelap” bagi Jepang. Tetapi janji kemerdekaan

tetap dipegang dan PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indo-

54

mengedepankan netralitas agama, bahkan di Muhammadiyah Ki

Baguslah yang berperan besar dalam penyusunan Muqaddimah

Anggaran Dasar. Ada 7 pokok Pikiran, yang pertama tauhid, kedua

hidup bermasyarakat, saya bacakan pernyataan Muqaddimah

Anggaran Dasar pokok pikiran yang kedua, “tujuan hidup

bermasyarakat tercapai jika keamanan dan kesejahteraan sosial di wujudkan

diatas keadilan, kejujuran, persaudaraan, dan gotong royong, serta tolong

menolong dengan bersendikan atas hukum Allah”.

Pada masa Orde Baru, terjadi perdebatan yang sangat serius di

kalangan Muhammadiyah, Kebetulan dulu saya sekretaris Biro

Organisasi dan Kader. Pada suatu sidang pagi hari subuh, yang

dibuka oleh Pak Jamahari Hadikusumo dan pembahasan tidak dapat

dicapai karena terjadi perbedaan pendapat yang tajam diantara

peserta sidang. Di kemudian hari ditemukan solusi yang bersumber

dari Muqadimah.

Mungkin penjelasan yang perlu dikaji lebih lanjut adalah monarki

dan republik dan sistem negara, negara Islam atau netral. Dengan

merujuk pada negara netral itulah Ki Bagus mengusulkan untuk

dicabutnya 7 kata dalam Piagam Jakarta. Mungkin nanti Pak Taufiq

bisa menjelaskan lebih lanjut. Terima kasih.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Page 20: Buku Ki Bagus Hadikusumo Booklet

20

nesia) pun dibentuk, yang tidak lagi hanya terdiri dari “orang Indo-

nesia terkemoeka di Djawa”. Satu sampai tiga “orang terkemuka”

dari Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Kepulauan Sunda Kecil dan

Maluku juga dibawa pemerintah militer Jepang. Jumlah anggota

PPKI 27 orang, di antaranya (sebanyak 9 orang) didatangkan dari

luar Jawa.

Tetapi belum sempat mengadakan rapat, PPKI sudah harus

menjadi saksi dan bahkan peserta dari klimaks peristiwa yang telah

bermula sejak Perhimpunan Inonesia dengan tegas menyebut “In-

donesia vry nu” sebagai semboyan mereka (1925) dan mencapai

klimasnya ketika pemerintah militer Jepang di tahun 1944

mengumumkan “janji kemerdekaan”. Menjelang pertengahan

Agustus 1945 bom atom jatuh dan tak lama kemudian para anggota

PPKI telah terlibat dalam klimaks perjuangan kemerdekaan bangsa

Proklamasi Kemerdekaan. Keesokan harinya, tanggal 18 Agustus

1945 setelah memilih Sukarno dan Hatta sebagai Presiden dan Wakil

Presiden mereka menjadikan draft yang dibuat BPUPKI, setelah

dubah sekadarnya, sebagai UUD. Ketika ini pula “preambule”

atau Mukaddimah mengalami perubahan “sedikit” kalau dihitung

jumlah kata-katanya, tetapi sangat fundamental dari sudut landasan

filosofis kenegaraan. Sejak itu namanya disebut saja “Pembukaan”.

Secara teoreis ”Pembukaan” ini menjadi landasan filosofis

dari UUD.

Karena itu bisalah dipahami juga kalau sejak itu pula

“Pembukaan” UUD ini sewaktu-waktu diperdebatkan lagi, terutama

di saat-saat goncangan dalam konstelasi politik sedang terjadi. Ketika

itulah kemungkinan kembalinya “pembukan” ke bentuknya yang

asli (Jakata Charter) diperdebatkan. Begitu halnya ketika Presiden

Sukarno mengeluarkan “dekrit Juli 1959” untuk kembali ke UUD

1945, demikian pula halnya ketika Orde Baru berdiri dan tidak

berbeda halnya ketika era Reformasi bermula.

Jika diliha dari para pemimpin yang terlibat dalam proses

perumusan landasan filosofis kenegaran ini maka tidaklah berlebih-

lebihan kalau dikatakan bahwa salah seorang yang memainkan

53

Prof. Munir Mulkan

Asslamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Banyak perdebatan mengenai siapa yang mulai melakukan

penghapusan 7 kata pada Piagam Jakarta tersebut. Diantaranya

refleksi yang disampaikan oleh A.M. Fatwa pada berbagai jurnal,

menyebutkan Ki Bagus pada tahap akhir menyebutkan 7 kata, tapi

pada sebuah artikel yang dimuat di jurnal Masyarakat dan Budaya

yang ditulis oleh Muhammad Hisyam. Menurut jurnal tersebut Ki

Baguslah pelopor penghapusan tujuh kata tersebut, lalu apa latar

belakang penghapusannya? Menurut saya Pak Taufiklah yang dapat

memaparkannya. Awal kemerdekaan Indonesia, ada perdebatan di

berbagai kelompok masyarakat mengenai bentuk negara, republik

atau monarki, negara Islam atau sekular. Di tengah perdebatan

tersebut, Ki Bagus memunculkan negara netral. Pada awalnya Ki

Bagus menyetujui negara Islam, tetapi pada rapat berikutnya beliau

tidak menyetujui negara Islam, melainkan mengusulkan negara

netral terhadap penganut agama. Sekali lagi menurut saya hal ini

perlu dicatat bahwa Ki Baguslah yang mempolopori bentuk negara

netral .

Menurut perdebatan berbagai kelompok agama netral yang

diusulkan oleh Ki Bagus dianggap sebagai sekular. Menurut Ki

Bagus, menggunakan negara netral, negara harus bebas dari

intervensi keagamaan, termasuk intervensi agama Islam terhadap

penganutnya. Walaupun ada kekhawatiran dari berbagai pihak kalau

7 kata itu dihapus, orang Islam akan pindah agama. Ki Bagus

meyakinkan bahwa hal tersebut tidak mungkin karena ada situasi

yang membuat seseorang tidak mudah untuk pindah agama.

Menurut saya perdebatan yang perlu digali lebih lanjut tentang

negara Islam atau sekular adalah pendapat anggota BPUPKI

atau kelompok lain menyatakan negara ini bukan negara Islam,

sedang Ki Bagus bersikeras mengusulkan agar 7 kata itu dihapus.

Oleh karena itu Ki Bagus bisa disebut sebagai tokoh yang

Page 21: Buku Ki Bagus Hadikusumo Booklet

21

peranan penting ialah Ki Bagoes Hadikoesoemo (1980-1945).

Dengan keterlibatan yang mendalam ini ia telah ikut memainkan

peranan sentral dalam menentukan dasar negara bangsa. Dengan

begini ia pun harus diakui juga sebagai salah seorang peletak dasar

dari cita-cita politik yang murni kehidupan kenegaraan, betapapun

berbagai penyimpangan fundamental sempat juga terjadi di saat-

saat negaqra telah terbawa oleh arus otoritarianisme, meskipun

dengan argumen “kepribadian nasional” atau “jati diri bangsa”.

Ki Bagoes menjalankan peran ini di dalam dan di luar sidang resmi

BPUPKI dan PPKI.

Ki Bagoes Hadikoesoemo adalah salah seorang dari “orang In-

donesia terkemoeka di Djawa” yang masuk kategori Golongan-golongan

lain (Agama dalam buku terbitan Guneikanbu) yang diangkat

menjadi anggota BPUPKI dan kemudian juga PPKI. Ia memankan

peranan dalam konteks nasional sebagai pengganti K.H. Mansyur,

ketua Muhammadyah,yang diangkat pemerintah militer Jepang

sebagai anggota “Empar Serangkat” pemimpin utama bangsa In-

donesia, yang diakui Jepang (disamping Sukarno, Hatta, K.H.

Dewantara), Karena K.. Mansyur sakit-sakitan maka Ki Bagoes

Hadikoesoemo, diangkat untuk menggantikan. Karena itulah ia yang

semula “tokoh daerah” dan tokoh organisasi ini harus pindah dari

yogya ke Jakarta. Dalam kedudukannya sebagai seorang anggota

“Empat Serangkai”, yang praktis merupakan “pemimpin informal

bangsa”, ia bersama Bung Karno dan Bung Hatta diundang ke

Jepang untuk membicarakan segala sesuaqtu mengenai “janji

kemerdekaan”. Dalam kunjungan ini ia juga mendapat bintang

kehormatan (Bintang Ratna Suci) dari Tenno Haika, Kaisar Jepang.

Dalam Memoir nya Bunga Hatta1 mengatakan bahwa karena

mendapat bintang inilah ia (dan mungkin juga Bung Karno dan Ki

Bagoes) terbebas dari ancaman Kempetai. Bung Hatta mengatakan

bahwa bintang kehormatan diusahakan seorang pembesar Jepang,

yang kebetulan mengetahui rencana Kempetai yang ingin menjerat

Bung Hatta, yang tampaknya tidak terlalu canggih menutupi

keinginan dan kecenderungan politiknya yang sesungguhnya.

52

memimpin usaha untuk perubahan itu, yang tentu dia menyadari

resikonya.

Dalam hal ini, ada Ki Bagus Hadikusumo yang sangat

menentukan, sehingga disepakatilah kalimat “Ketuhanan Yang

Maha Esa”. Ini soal sejarah. Ini adalah hadiah terbesar umat Islam.

Ada saja memang yang tersinggung jika dibilang begitu. Tapi ini

kenyataan dan tidak bisa dipungkiri. Tentu kita tidak perlu lagi

mempersoalkan masalah ini. Soal sejarah ini sudah selesai. Pancasila

kita rohnya tetap Pancasila 1 Juli yang disebut sebagai: “Intelectual

History” , 22 Juni saya sebut sebagai “Political History”, dan 18 Agustus

adalah “Constitution History”. Inilah perjalanan Pancasila kita.

Namun, catatan sejarah mengenai tokoh-tokoh seperti Ki Bagus

Hadikusumo ini tidak boleh kita lupakan. Kalau yang lain sudah

menerima penghargaan yang sepantasnya, Ki Bagus juga semestinya

mendapatkannya. Walaupun saya, sebagai anggota Dewan Gelar

tidak boleh ikut campur dulu. Jadi, dalam pandangan kita, tokoh

sekelas Almarhum ini pantas, disamping juga tokoh-tokoh yang

lain. Kasman Singodimejo, Kahar Mudzakkir, dan saya rasa masih

banyak juga yang lain yang perlu kita beri perhatian. Bahkan saya

pernah bicara dengan Pak Fatwa bahwa harus ada yayasan tetap

yang mengurus kajian tokoh-tokoh seperti ini. Koordinator yang

paling tepat ya Pak Fatwa.

Saya rasa demikian. Mari kita berbagi tugas. Mudah-mudahan

tradisi menghargai jasa, prestasi, dan pengabdian ini menjadi bagian

dari kultur politik bangsa kita. Terima kasih

Wabillahittaufiq walhidayah

Wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Page 22: Buku Ki Bagus Hadikusumo Booklet

22

Setelah Proklamasi Kemerdekaan Ki Bagoes Hadikoesoemo

diangkat menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat, yang

berfungsi sebagai parlemen sementara dan, kemudian setelah

“pengakuan kedaulatan” ia menjadi anggota DPR-RIS, tentu saja

mewakili Republik Indonesia.

Tetapi siapakah Ki Bagoes sesunguhnya? Sepintas lalu

riwayatnya terasa seperti rutin saja. Tetapi makin lama ia, seorang

ulama, semakin diakui sebagai pemimpin ummat dan bahkan

bangsa. Ia mulai sebagai anggota Muhammadyah yang naik terus

dalam hirarki organisasi sehingga sampai menjadi ketua dan bahkan

kemudian di masa Pendudukan Jepang mewakili “unsur Islam”

dalam kepemimpinan informal bangsa. Sebagaimana halnya dengan

kebanyakan pemimpin lokal yang sampai meningkat menjadi

pemimpin nasional Ki Bagoes Hadikoesoemo adalah juga seorang

penulis. Beberapa buku keagamaan telah ditulisnya sebelum akhirnya

ia terlibat dalam politik nasional. Tentu perlu juga bahwa adalah

rezim Penddukan militer Jepang yang “membawa” ulama terlibat

secara aktiif dalam arena politik nasional. Dan sejak itu keterlibatan

ulama dalam wilayah politik nasional telah menjadi hal basa saja.

Sejak zaman pendudukan Jepang baas yang tegas yang didirikan

pemerintah Hindia Belanda antara politik dan aktivitas murni

keagamaan telah hancur berantakan.

Jadi sepintas lalu biografi Ki Bagoes biasa saja, Ia adalah seorang

terpelajar dalam bidang agama yang memainkan peranan keulamaan,

baik dalam dunia keilmuan maupun birokrasi keagamaan lokal.

Tetapi sejarah kadang-kadang bisa juga menunjukkan adanya detik-

detik yang menentukan ketika sesuatu yang memberi batas dari

esensi jiwa zaman sedang terjadi. Ada kalanya peristiwa yang

diungkapkan sejarah itu memancing pertanyaan “bagaimana kalau

bukan itu yang terjadi, tetapi ini ?”. Tentu saja sudah jelas bahwa

tidak ada jawaban yang pasti yang bisa diberikan terhadap pertanyaan

seperti itu. Bukankah peristiwanya telah berlalu dan tak mungkin

bisa diulang lagi? Tetapi kemungkinan logis dan rasional bisa juga

diajukan, terhadap pertanyaan yang bersifat spekulatif ini. Secara

51

jadi permasalahan juga, tokoh nasional tapi mesti diajukan dari

daerah.

Mari kita manfaatkan pengaturan mengenai kepahlawanan ini

dengan sebaik-baiknya. Di dalam UU, gelar ini bukan hanya

kepahlawanan yang diatur. Tapi juga gelar, tanda jasa, dan tanda-

tanda kehormatan lainnya, yang banyak sekali. Terkadang kita

kurang perhatian tentang penganugerahan penghormatan ini.

Misalnya ada instansi yang rajin memberikan usulan. Tapi ada juga

yang tidak pernah. Jadi, kesadaran mengenai pentingnya

penghargaan ini belum merata. Saya rasa ini perlu jadi bahan

renungan bagi kita, jangan sampai tokoh-tokoh penting dalam

sejarah luput dari perhatian kita.

Kita penting memberi penghargaan pada pengabdian, jasa-jasa

tokoh kita, bukan untuk kepentingan Almarhum, tapi untuk

kepentingan kita, supaya kita belajar dari keteladanannya. Jadi

penting dikembangkan semangat menghargai ini. kalau tidak nanti

yang tumbuh malah semangat mencaci. Di saat-saat seperti

sekarang, saya rasa penting untuk menghargai jasa-jasa para

pahlawan. Juga penting membangun jejak-jejak supaya kita selama

hidup ini dapat meneladani para pendahulu kita.

Khusus mengenai tokoh-tokoh yang ingin kita diskusikan adalah

tokoh yang sangat penting. Bagi mahasiswa Islam yang aktif di

organisasi Islam, saya yakin tak ada yang tak familiar dengan Piagam

Jakarta, dan di situ ada Ki Bagus Hadikusumo. Saya rasa beliau ini

adalah tokoh yang sangat menentukan perjalanan sejarah. Bukan

hanya Bung Hatta yang dengan segala resiko memimpin dalam

waktu hanya 15 menit. Akhirnya rumusan Piagam Jakarta yang

disepakati dan sudah diputuskan yang diakui sama Soepomo

sebagai Gentlement Agreement disebut sebagai perjanjian luhur

itu dalam waktu 15 menit, tanggal 18 Agustus 1945 sebelum

diketok palu diubah. Ada informasi dari anak buahnya Laksamana

Maeda yang sampai sekarang belum ketahuan siapa,

yang membisikkan informasi bahwa Maramis mengancam

keluar dari Republik kalau tidak dilakukan perubahan. Bung Hatta

Page 23: Buku Ki Bagus Hadikusumo Booklet

23

teoretis setiap peristiwa bisa diperkirakan melahirkan berbagai

kemungkinan, meskipun realitas empirik yang membuktikan bahwa

hanya satu dari sekian banyak kemungkinan yang rasional itu yang

betul-betul terjadi. Dengan ancang-ancang pemikiran hipotetis ini

maka terasalah betapa crucial nya peranan Ki Bagoes ketika saat-

saat yang menentukan dalam sejarah bangsa telah datang. Ia ternyata

memilih melakukan “itu”, dalam realitas empiris dan historis,

bukannya “ini”, dalam pengandaian spekulatif. Ia lakukan

“itu” meskipun secara rasional kemungkinan ia memilih “ini” lebih

tinggi.

Meskipun masih berasa di bawah kekuasaan Jepang tetapi ketika

“janji kemerdekaan” telah dianggap sebagai realitas yang pasti

datang, para anggota BPUPKI dengan penuh perhatian dan

kesungguhan membicarakan corak masa depan negara bangsa yang

dicitakan. Maka begitukah bisa dipahami mengapa perdebatan dalam

BPUPKI sangat intens. Di samping membahas masalah bentuk dan

corak undang-undang dasar, batas-batas negara, sistem kekuasaan,

tugas pemerintah, hak rakyat dan sebagainya, BPUPKI membahas

“Mukaddimah”, yang secara teoretis merupakan landasan idiil dan

filosofis dari UUD. Naskah ini disusun oleh Panitia Sembilan, yang

terjadi atas para tokoh pergerakan nasional dan organisasi

keagamaan. 2 Jika dibaca dokumen BPUPKI maka tampaklah bahwa

Ki Bagoes lebih banyak memusatkan perhatiannya pada

“Mukaddimah” yang telah disebut Moh. Yamin (salah seorang

anggota Panitia Sembilan) “Jakarta Charter” (Pagam Jakarta).

Ketika Ketua sidang memberi kesempatan kepadanya untuk

memberi komentar dan tanggapan Ki Bagoes mempersoalkan

ungkapan “bagi pemeluk-pemeluknya” (dari uangkapan

“berdasarkan ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at

Islam bagi pemeluk-pemeluknya”). Ki Bagoes mengusulkan agar

kata-kata itu dihilangkan saja”. “Saya masih ragu-ragu”, katanya,”

bahwa di Indonesia banyak perpecahan-perpecahan dan pada

prakteknya maksudnya sama saja. Itulah pendapat saya yang

menguatkan permintaan Kyai Sanusi”. Menanggapi hal ini ketua

50

Prof. Jimly Ashidiqi

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Saya mohon izin tidak 10 menit, tapi 5 menit saja, supaya Pak

Taufiq lebih panjang. Jadi, sebagaimana tadi disampaikan, saya diberi

tugas menjadi anggota Dewan Gelar. Undang-undang yang

bereknaan dengan hal ini sebelumnya banyak sekali. Kemudian

dibuat unifikasi. Demikian juga istilah-istilah gelar yang dipakai juga

sangat beragam. Ada pahlawan nasional, pahlawan perang, pahlawan

kemerdekaan, pahlawan revolusi, dan sebagainya, termasuk

pahlawan proklamator. Kemudian di UU tahun 2009 dikonsolidasi,

diunifikasi pengaturannya termasuk juga kelembagaan, prosedur

pengajuannya. Dulu ada cerita misalnya temannya Bung Karno

karena pangkatnya Sersan, lalu ditunjuk langsung menjadi pahlawan.

Pada suatu hari temannya yang lain, karena dianggap pangkatnya

lebih rendah akhirnya dikasih juga sama Bung Karno. Memang

pahlawan ini banyak sekali. Prosedurnya pengangkatannya juga

beraneka ragam. Makanya pahlawan kita banyak sekali. Dibanding

Amerika Serikat, kita 3 kali lipatnya. Apalagi jika dibandingkan

dengan malaysia yang cuma punya 5 pahlawan. Pantas, wong di

sana tak pernah perang kemerdekaan.

Jumlah pahlawan kita memang banyak sekali. Tetapi ada juga

alasan pembenarnya. Karena kebhinekaan bangsa kita dan begitu

rupa sehingga pahlawan nasional itu apa yang kita sebut sebagai

pahlawan bangsa itu tidak selalu tokoh nasional yang dikenal luas.

Terkadang dia hanya tokoh lokal. Jasa dan pengabdiannya

berdampak besar. Kalau pahlawannya hanya dari Jawa misalnya,

maka suku yang lain nantinya merasa tidak terakomodir.

Atas pertimbangan itu jugalah maka dimungkinkan ada

pahlawan dari daerah-daerah. Bahkan penting untuk dicari, supaya

ada rasa kebangsaan dari daerah-daerah yang bersangkutan. Secara

prosedural, untuk mengajukannya diadakan seminar-seminar seperti

ini, lalu nanti akhirnya diajukan oleh pemerintah daerah. Sering

Page 24: Buku Ki Bagus Hadikusumo Booklet

24

sidang meminta Sukarno, ketua Panitia Sembilan, untuk memberi

jawaban. Sukarno mengatakan pada rumusan ini telah dibahas oleh

dua pemimpin organisasi Islam Wahid Hasyim dan Haji Agus Salim

inilah pula yang disebut Sukiman sebagai suatu gentlemen agreement,

“supaya ini dipegang teguh di antara pihak Islam dan pihak

kebangsaan”3 Ki Bagoes ternyata tidak puas dengan jawaban ketua

Panitia Sembilan ini. Ia mempersoalkan lagi apakah pantas ada satu

golongan dibolehkan, sedangkan untuk golongan lain tidak

dibolehkan. Ia mengambil contoh “minuman keras”. Bukankah

hanya orang Islam saja yang dilarang? Dalam tanggapan berkali-

kali yang diajukannya kemudian Ki Bagoes tetap konsisten,

meskipun ia, katanya, menghargai suara terbanyak. Akhirnya,

dengan lebih dulu mengucapkan “Saya belindung kepada Allah

terhadap syetan yang merusak”. Ki Bagoes menegaskan janganlah

sampai UUD bermuka dua. “Kalau sudah nyata netral jangan

mengambil-ambil perkatan Islam yang rupanya hanya dipakai ujung-

ujung saja. Supaya beres saja, betulkah usul sekarang tentang

negara itu berdasar agamakah atau tidak. Ini perlu saya

terangkan.Wassalamualaikum w.w.”4 Sementara itu hari pun sudah

larut juga Kyai Sanoesi pun mengusulkan agar rapat “mendinginkan

masalah ini”. Jam 21.55 (menurut WIB sekarang) sidangpun

ditutup.

Tetapi betapa cepat waktu berlalu. Tiba-tiba Ki Bagoes yang

cenderung keras menjadi “orang lain”, ketika di pagi tanggal 18

Agustus, sebelum sidang PPKI dimulai untuk melanjutkan langkah

sesudah Proklamasi Kemerdekaan diumumkan, ia diajak Bung Hatta

untuk berembuk secaqra kilat dengan Mr. Kasman Singodimedjo,

Wahid Hasyim dan Mr. Teuku Mohamad Hasan, wakil Sumatra

dari Aceh. Keempatnya dianggap Bung Hatta mewakili golongan

nasionalis Islam. Pertemuan hanya berlangsung “lima belas menit

ini” (menurut kesaksian Bung Hatta). Tetapi dalam waktu sesingkat

itu segala argumen Ki Bagoes (dan kedua tokoh Islam itu) mencair

begitu saja. Jakarta Charter diubah menjadi “Ketuhanan yang

Maha Esa”. Perubahan ini, kata Bung Hatta,” adalah suatu tanda

49

berjasa. Dalam situasi yang sulit, antara melepas tujuh kata atau

mempertahankan keutuhan NKRI, beliau berbesarhati untuk

menjaga NKRI. Saya kira ini jasa yang luar biasa dan saya kira bisa

disejajarkan dengan proklamator. Proklamator peristiwa besar, dan

proklamator selanjutnya mempertahankan keutuhan NKRI,

betapapun harus memberikan pengorbanan yang luar biasa.

Memang, dalam konteks Indonesia, kader-kader Islam telah

memberikan kontribusi yang riil. Almarhum Pak Nasir misalnya,

memberikan kontribusi yang riil dalam usulan mosi integrasi.

Saya ingat, desertasi Pak Nasirudin Samsudin, sebetulnya

integrasi Indonesia menurutnya baru teoritis. Tapi Pak Nasir

kemudian lebih mengaplikasikan yang teoritis itu menjadi

kedaulatan NKRI.

Kemudian tahun yang lalu, anak-anak muda NU menulis

biografi KH. Wahid Hasyim, dia tulis, dan saya baca di harian

Republika, yang mencoret 7 kata itu katanya bukan Ki Bagus, tapi

KH. Wahid Hasyim. Saya kira mudah-mudahan pada seminar sore

hari dapat penjelasan. Tapi sebagai warga Muhammadiyah saya

percaya bahwa itu karya Ki Bagus. Yang terakhir saya mencatat

“Ketuhanan Yang Maha Esa” adalah sumbangan yang sangat besar

dari Ki Bagus Hadikusumo. Bukan bagi umat Islam saja, tapi juga

bagi bangsa Indonesia.

Saya tidak mau panjang-panjang. Marilah kita buka seminar

ini, karena waktunya tidak panjang. Dengan membaca

bismillahirrahmanirrahim, Seminar Kenegarawanan Ki Bagus

Hadikusumo resmi dibuka. Kurang dan lebihnya saya mohon maaf.

Wabillahittaufiq walhidayah

Wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Page 25: Buku Ki Bagus Hadikusumo Booklet

25

bahwa pemimpin-pemimpin tersebut di waktu ini benar-benar

mementingkah nasib dan persatuan bangsa”. Perubahan yang

mereka buat segera disetujui PPKI sebelum rapat resmi dimulai.5

Dalam rapat PPKI yang segera diadakan mereka yang berkonsultasi

ini hanya melibatkan diri dalam perumusan bahasa saja.

Hal ini terjadi karena sebagaimana dikisahkan Bung Hatta ia

didatangi seorang opsir Angkatan Laut Jepang (kesatuan militer

yang menguasai Indonesia bagian Timur) yang mengatakan bahwa

tokoh-tokoh Indonesia bagian Timur yang non Islam leih suka beraa

di luar negara Indonesia daripada hidup dalam negara yang

berdasarkan pada Jakarta Charter, yang mencantum “tujuh kata”

kontoversial dan bersifat segregatif. Maka begitulah ketika pilihan

fundamental telah datang “kesatuan bangsa dan negara” pun

menjadi pegangan yang tak tergoyahkan. Hal-hal lain akan bisa

diselesaikan ketika kemerdekaan bangsa dan kedaulatan negara telah

didapatkan.

Ketika krisis dan peralihan kekuasaan terjadi “Pembukaan”

UUD yang disyahkan PPKI ini adalah yang pertama yang

diperabadikan. Begitu keputusan MPRS di saat peralihan Demokrasi

Terpimpin ke Orde Baru dan demuikian pula halnya dengan

keputusan MPR, hasil Pemilu 1999, di saat Era reformasi telah

dimasuki.

Maka sebuah pertanyaan hipotets tertanyakan juga.

Bagaimanakah kalau sekiranya khayal sejarah dilakukan? Apakah

jadinya dengan perjuangan kemerdekaan bangsa kalau saja para

tokoh Islam “menolak” atau “memperdebatkan” bkannya

“menerima dalam lima belas menit saja” usul yang disampaikan

Bung Hatta? Rupanya jalan sejarah bsa juga ditentukan oleh

keputusan kepahlawanan yang dibuat hanya dalam beberapa menit

saja.

Ternyatalah pula betapa satu menit tindakan yang didukung oleh

kecintaan dan rasa hayat pengabdian bisa lebih berarti daripada

tahunan kerja tanpa idealisme dan rasa patriotisme. Nilai

kepahlawanan ditentukan oleh corak pilihan ketika berbagai

48

SAMBUTAN PP MUHAMMADIYAH

Dr. Abdul Fatah Wibisono

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Yang saya hormati, wakil keluarga besar Ki Bagus Hadikusumo,

Rektor UHAMKA beserta civitas akademika UHAMKA yang

saya hormati,

Para narasumber yang sore hari ini hadir,

Bapak dan ibu peserta seminar yang dirahmati Allah,

Ketika panitia selesai rapat dan sepakat untuk mengusulkan

pemberian gelar pahlawan kepada Ki Bagus Hadikusumo, saya

telepon salah seorang putra Ki Bagus. Kata beliau malah katanya

harus dipikir-pikir lagi. Karena kalau Ki Bagus masih hidup pasti

tak mau diusulkan menjadi pahlawan. Saya bilang, kalau masih hidup

justru tak bisa diusulkan.

Hemat saya, Ki Bagus tercatat di Muhammadiyah sebagai

pelestari “kultur ikhlas” yang tumbuh sejak zaman Kiai Dahlan,

dengan ungkapan Ki Bagus yang sangat terkenal; “Kerja di

Muhammadiyah itu kalau gak ikhlas tidak dapat apa-apa.” Honor

tidak seberapa, tapi insya Allah kalau ikhlas, bahkan dapat dua kali

lipat; ajrun dan ujrotun (dapat pahala dan dapat honor), itu kata Ki

Bagus. Beliau adalah figur yang mencerminkan keikhlasan.

Catatan yang kedua dalam konteks Muhammadiyah Ki Bagus

adalah perumus Ideologi Muhammadiyah. Pemikiran-pemikiran

K.H. Ahmad Dahlan oleh Ki Bagus dirumuskan dan ditulis dalam

Muqadimah Anggaran Dasar Muhammadiyah. Kemudian putra

beliau, Pak Jarnawi Hadikusumo meneruskan dan memberikan

kenang-kenangan yang kita nyanyikan bersama; Mars

Muhammadiyah.

Catatan yang akan menjadi diskusi kita pada sore hari ini adalah

kenegarawanan beliau. Kita tahu dalam catatan sejarah beliau sangat

Page 26: Buku Ki Bagus Hadikusumo Booklet

26

kemungkinan terhampar lebar. Bagi Ki Bagoes dan kawan-kawannya

ternyata pilihan itu hanyalah klimaks dari serentetan pengabdian

bagi nusa dan bangsa yang telah dimulai sajak masa remaja.

Taufik Abdullah

3 Agustus 2012

47

Hadirin yang Berbahagia,

Kami panitia berharap, seminar ini dapat memberikan

pencerahan, melengkapi pengetahuan kita tentang masa lalu bangsa

ini, dan menyimpan secara adil peran Ki Bagus Hadikusumo, Kahar

Mudzakkir, Kasman Singodimejo, dan para tokoh lain seperti Dr.

Sukiman, Kiai Ahmad sanusi, dan Abdurrahman Baswedan, dengan

proses pembentukan negara Indonesia, dalam penyusunan

konstitusi, terutama pada saat-saat kritis proses penetapan UUD,

terbukti punya peranan yang cukup signifikan. Ki Bagus

Hadikusumo, Kahar Mudzakkir, serta Kasman Singodimejo

memiliki peran cukup signifikan dalam pembentukkan UUD.

Namun sampai hari ini, pemerintah belum mengakui ketiga tokoh

ini sebagai pahlawan nasional.

Wabillahittaufiq walhidayah

Wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Page 27: Buku Ki Bagus Hadikusumo Booklet

27

JEJAK KI BAGOES HADIKUSUMA DALAM

PENTUBUHAN PANCASILA

Abdul Munir Mulkhan

7 kata sakti & Pancasila

Penolakan Ki Bagoes Hadikusuma ttg 7 kata menjadi dasar bagi

usaha pentubuhan Pancasila dalam batang tubuh UUD 1945

Ki Bagoes Hadikusumo sebagai ketua PP 1942 - 1953, atas

peran Ki Bagoes saat itu disusun MAD, selain disusun prinsip tauhid

(1), pokok pikiran ke2 bahwa hidup manusia bermasyarakat

kemudian menjadi referensi saat gerakan ini menerima asas Pancasila

tahun 1985 (muktamar Solo)

Menurut Muhammadiyah (Ki Bagoes) “tujuan hidup

bermasyarakat tercapai jika keamanan dan kesejahteraan sosial

diwujudkan di atas keadilan, kejujuran, persaudaraan dan gotong

royong serta tolong menolong dengan bersendikan atas hukum

Allah” (MAD) (Fraid Ma’ruf saat menjelaskan pp ke 2 MAD dalam

Muktamar th 53 di Purwokerto (Sukri & Munir 1985)

Gagasan Negara Ki Bagoes Hadikoesoemo dalam Sidang

BPUPKI

“Nyata dari keterangan saya tadi, bahwa tuan-tuan yang sekarang duduk

di sini sebagai anggota Badan Penyelidik Persiapan Kemerdekaan, yaitu

persiapan untuk membangun satu negara menyusun satu masyarakat, memang

sesungguhnya tuan-tuan menjadi waris Nabi, yaitu mewarisi pekerjaannya

untuk membentuk satu negara atau menyusun satu masyarakat....

Bagaimanakah dan dengan pedoman apakah para Nabi itu mengajar dan

1) Disampaikan dalam Seminar Nasional tentang “Kenegarawanan Ki Bagoes Hadikoesoema: Perspektif Keumatan

dan Kebangsaan” yang diselenggarakan pada tanggal 3 Agustus 2012 di Aula Lantai IV UHAMKA Jakarta.

46

Hadirin yang berbahagia,

Situasi pada pagi 18 Agustus 1945 sunguh-sungguh sangat

krusial. Lagi-lagi beban berat itu diletakkan di pundak kader

Muhammadiyah, Ki Bagus Hadikusumo dan Kasman Singodimejo.

Menurut ketua umum Partai Masyumi, ketika seluruh anggota non

Islam menghendaki menghilangkan tujuh kata yang menjadi inti

dari piagam Jakarta, pada rapat 18 Agustus 1945, anggota PPKI,

K.H. Hasyim tidak ada karena beliau lagi di perjalanan dari Jawa

Timur. MR. Kasman Singodimejo yang baru mendapat undangan

pagi hari itu belum mengetahui sama sekali persoalannya. Seluruh

tekanan psikologis tentang berhasil atau tidaknya penetapan

Undang-Undang Dasar diletakkan di atas pundak Ki Bagus

Hadikusumo. Sebagai satu-satunya exponen Islam yang ada di PPKI

saat itu.

Tidak mudah untuk meyakinkan Ki Bagus untuk menghapus 7

kata dari batang tubuh UUD, setelah Bung Hatta yang konon, 17

agustus 1945 menerima opsir angkatan laut jepang. Untuk

menyampaikan keberatan rakyat Indonesia Timur atas masuknya 7

kata gagal meyakinkan Ki Bagus. Kemudian meminta Tenku Hasan

untuk melobi Ki Bagus. Tenku Hasan juga tidak mampu meluluhkan

hati Ki Bagus. Dalam situasi kritis itulah Bung Hatta meminta

Kasman untuk membujuk Ki Bagus. Dengan menggunakan bahasa

Jawa halus, Kasman meyakinkan Ki Bagus untuk mau menerima

usul perubahan. Entah karena dilobi oleh sesama kader

Muhammadiyah atau karena kepiawaian Kasman melobi dengan

bahasa Jawa halus, Ki Bagus dapat menerima argumen Kasman.

Ki Bagus setuju tujuh kata dalam rancangan UUD; ketuhanan

dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam dan pemeluk-

pemeluknya dihapus dan diganti dengan “Ketuhanan Yang Maha

Esa”.

Bersamaan dengan itu Ki Bagus meminta supaya anak kalimat

rancangan UUD dihapus sehingga penulisannya dalam batang tubuh

UUD menjadi; Ketuhanan Yang Maha Esa, Keadilan yang Beradab,

Persatuan Indonesia, dann seterusnya. Usul Ki Bagus disetujui.

Page 28: Buku Ki Bagus Hadikusumo Booklet

28

memimpin umatnya menyusun negara dan masyarakat yang baik? Baiklah

saya terangkan dengan tegas dan jelas, ialah dengan bersendi ajaran agama

.... Tuan-tuan yang terhormat, tent saja tuan-tuan menghendaki negara kita

ini mempunyai rakyat yang kuat bersatupadu, erat persaudaraannya lahir

dan batin. Kalau memang demikian maka marilah kita bangunkan negara

kita ini berdiri di atas dasar-dasar ajaran agama Islam....” (Risalah Sidang

BPUPKI, 1998, hlm 34, 37).

Netrakutas Negara Nasional

Jika bukan Negara Islam, maka negara harus netral karena itu

Ki Bagoes mengusulkan agar 7 kata dari rumusan UUD 1945.

Dalam sidang BPUPKI tanggal 14 Juli 1945 Soekarno sebagai

Ketua Panitia Undang-Undang Dasar membacakan hasil kerja

panitia yang dipimpinnya. Tntang Pembukaan UUD ia

menyampaikan : “.... dengan berdasar kepada ke-Tuhanan,

dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-

pemeluknya,...” Anggota Hadikoesoemo angkat bicara: “.... Saya

harap supaya “bagi pemeluk-pemeluknya” itu dihilangkan saja....

Itulah pendapat saya yang menguatkan permintaan Kyai Sanoesi....”

(Dalam catata Saafroedin Bahar, “Pidato Ki Bagoes Hadikoesoemo

ini amat penting, terutama dihubngkan dengan usulnya pada

tanggal 31 Mei 1945 agar negara yang akan dibentuk itu didasarkan

pada agama Islam. Penolakaanya ini diulangi lagi dalam rapa

BPUPKI tanggal 15 Juli 1945) (Risalah Sidang PUPKI, 1998, hlm

261, 264)}

Netralisasi Negara Nasional 2

Memperhatikan usulan tersebut Soekarno menjelaskan : “Hanya

bagi pemeluk-pemeluknya” dibuang, maka mungkin itu diartikan

bahwa tidak ada orang Islam dan kewajibannya menjalankan syariat

Islam” Ketua sidang bertanya kepada Ki Bagoes apa masih kukuh

pada usulannya, dijawab “masih”. Saat ketua sidang meminta

45

syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya menjadi dasar yang

pertama, kemudian kesatuan Indonesia yang berkedaulatan

rakyat.

Ketika pada 10 Juli 1945 hasil ini dibawa ke rapat besar ke

BPUPK dan mendapat kritik dan sanggahan dari beberapa anggota,

Ir. Soekarno sebagai ketua panitia 9, gigih mempertahankan

rumusan dasar negara itu. Sesudah melalui perdebatan panjang,

pada rapat BPUPKI pada 16 Juli 1945, rancangan kerangka tubuh

dan batang tubuh UUD diterima. Itulah yang kemudian dikenal

dengan Piagam Jakarta. Sampai di sini, mau tidak mau kita harus

mencatat pahlawan kader Muhammadiyah K.H. Abdul Kahar

Mudzakkir, di dalam merumuskan dasar negara, dalam

kedudukannya sebagai anggota panitia 9.

Sayangnya, sampai sekarang dokumen perdebatan panitia 9

belum diketemukan, belum terpublikasikan. Sesudah sidang pada

16 Juli 1945 BPUPK hilang, maksudnya tidak ada lagi, tanpa

pembubaran. Posisi BPUPK digantikan oleh PPKI. Berbeda dengan

BPUPKI yang beranggotakan 60 orang tambah 6 anggota tambahan

dan 7 warga Jepang sebagai anggota istimewa, PPKI hanya

beranggotakan 27 orang. PPKI yang dibentuk pada 7 Agustus 1945

entah kenapa baru bersidang pada 18 Agustus 1945.

Di PPKI yang anggotanya hanya 21 orang plus 6 anggota

tambahan, jumlah anggota yang berasal dari kalangan Islam makin

merosot, yaitu hanya 4 orang. Keempatnya ialah Ki Bagus

Hadikusumo, Kiai Wahid Hasyim, Mr. Kasman Singodimejo,

dan Mr. Tenku Muhammad Hasan dari Ikhwanu Shafa

Indonesia yang keanggotaannya di PPKI lebih karena faktor

kesumateraannya.

Di tangan PPKI dengan format seperti itulah karya besar 60

plus 6 orang berupa Undang-Undang Dasar Indonesia yang sudah

berupaya dan dengan penuh kesabaran di perdebatkan 16 juli 1945,

dengan suara bulat disahkan dalam rapat besar BPUPKI. Hanya

dalam hitungan jam, serta-merta dianulir oleh 20 plus 6 anggota

PPKI.

Page 29: Buku Ki Bagus Hadikusumo Booklet

29

pendapat anggota sidang, Ki Bagoes berkata : “Yang dikemukakan

oleh Syusa (Ketua?) Panitia itu tidak bisa kejadian. Sebab bagi

Pemerintah, sungguhpun menjalankan kewajiban semata-mata,

Pemerintah tidak bisa menjalankan syariat Islam. Pemerintah

tidak boleh memaksa agama. Jadi, kalau saya, tidak.” {(dalam

catatan kaki Saafroedin Bahar (penyunting) dinyatakan “Jadi

dalam hal ini Ki Bagoes Hadikoesoemo juga menganut faham

pembedaan antara negara dengan agama. Dengan demikian

sesungguhnya tidak berbeda dengan pandangan Prof. Mr. Soepomo

dan Drs. Mohammad Hatta.” (Risalah Sidang BPUPKI, 1998,

hlm 270)}

Netralitas Negara atas Agama

Ketua sidang menyela berkata : “Dengan begitu pembicaraan

kemarin sore mau dibicarakan lagi. Preambule itu sudah ditetapkan

sebulat-bulatnya.” Ki Bagoes berkata :

“Saya katakan dengan terus terang, bahwa kemarin juga saya

terpaksa. Sesungguhnya dengan terus terang, karena perintah yang

mulia Tuan Soekarno dan Tuan Hatta: ‘Sudah, sudah, sudah!’ Saya

sendiri belum mengatakan ‘sudah’. Terus terang, umpamanya saya

sudah kalah stem (pemungutan suara/pen), tidak jadi apa. Saya

katakan dengan terus terang saja, bahwa saya sesungguhnya tidak

mengerti, karena ada dua buah soal. Sekarang saya mau berbicara,

bukan tentang preambule, sesungguhnya perkara preambule itu

kemarin sudah diputuskan. Umpamanya kita bicarakan sekarang

antara anggota bersama, apakah tidak bia diubah? Sebab apa

anggaran ini dalam sifatnya sekarang, umamanya, tida boleh diubah?

Biasanya, putusan rapat bestuur boleh diubah di dalam rapat.

Putusan rapat beberapa anggota boleh diubah oleh putusan kongres.

Itulah umpanya, kalau kita mau mengubah. Tetapi yang saya minta

bukan soal mau mengubah. Sekarang ini dibicarakan bukan

preambule, tetapi bab 10 pasal 28, ini yang mau saya bicarakan;

saya mau berbicara tentang hal itu.”

44

lahir dan batin serta menaruh semangat kemerdekaan yang menyala.

Ki Bagus juga mengingatkan bahwa umat Islam sekarang sudah

insyaf, sudah luas pikirannya dan sudah lebar dadanya, suka bekerja

bersama-sama dengan siapa dan dimana saja, asal tidak tersinggung

agamanya.

Hadirin yang berbahagia,

Patut diduga lantaran keteguhannya menyuarakan aspirasi Is-

lam, maka ketika mula-mula dibentuk panitia kecil BPUPKI yang

terdiri atas 8 anggota yang biasa juga disebut panitia 8, Ki Bagus

menjadi salah seorang anggotanya. Tujuh anggota yang lain ialah,

Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, Mr. Ahmad Yani, Iskandar Dinata,

Lukman Sutarjo, Ki Bagus Hadikusumo, dan Kiai Wahid Hasyim.

Tugas panitia kecil ini adalah mengumpulkan unsur-unsur yang akan

dibahas pada masa sidang yang diselenggarakan pada bulan Juli

1945.

Panitia kecil mencatat tujuh unsur sebagai dasar negara yang

diusulkan oleh anggota tim yaitu; kebangsaan dan ketuhanan, 11

pengusul, kebangsaan dan kerakyatan, 2 pengusul, kebangsaan,

kerakyatan, dan kekeluargaan 4 pengusut, kemakmuran hidup

bersama, pengacuan kerohanian, serta dasar Indonesia bertaqwa

berpegang teguh pada tuntunan-tuntunan Tuhan Yang Maha Esa.

Jaminan negara atas agama Islam 1 pengusul, kebangsaan dan

kerakyatan Islam dengan catatan agama Islam diakui sebagai agama

negara dengan kemerdekaan yang seluas-luasnya bagi penduduk

yang bukan pemeluk agama Islam, 3 pengusut. Dan jiwa rakyat

Indonesia raya 4 Pengusul.

Melihat kenyataan unsur-unsur di atas tidak mengherankan, jika

dalam rumusan panitia 9, pengganti panitia 8 atas usul Bung Karno,

dan ini sebenarnya Bung Karno di luar rapat membentuk kelompok

sendiri. Tetapi lalu diakui, diterima, yang terdiri atas Ir. Soekarno,

Drs. Moh. Hatta, Muh. Yamin, K.H. Wahid Hasyim, Ahmad

Subarjo, K.H. Muh. Kahar Mudzakkir, Cos Cokroaminoto,

dan Agus Salim. Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan

Page 30: Buku Ki Bagus Hadikusumo Booklet

30

Agama dan Negara

Mendengar penjelasan Ki Bagoes tersebut Ketua Sidang tetap

pada pendapatnya bahwa apa yang disampaikan Ki Bagoes termasuk

dalam preambule. Ki Bagoes berkata selanjutnya:

“Kalau dipaksakan saya harap jangan sampai ada yang menyesal. Tetapi

saya menyatakanm, bahwa saya tidak mupakat dengan adanya artikel 28

bab 10 tentang hal agama. Dan saya tidak mupakat dengan preambule yang

berbunyi “berdasar ke-Tuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat

Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”Kalau sidang mupakat, saya terima. Saya

mengatakan itu dengan terus terang. Tetapi saya mengatakan bahwa saya

tidak mupakat, kalau saya tidak boleh berbicara.” {(Dalam catatan kaki

dijelaskan bahwa “Ini adalah penolakan ketiga kalinya Ki Bagoes

Hadikoesoemo terhadap “tujuh kata” yang terdapat dalam rancangan

Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945”) (Risalah Sidang BPUPKI,

1998, hlm 360-363)}

Debat Soal 7 Kata Sakti

Atas pernyataan dan kekhawatiran Abdul Fatah Hasan tentang

peluang seorang Muslim meninggalkan agama yang dipeluknya dan

berpindah ke agama lain tersebut kemudian sempat memancing

debat panjang tentang pasal 28 bab 10. Anggota Dahler misalnya

kemudian mengusulkan agar ayat 2 pasal 28 itu berbunyi: “Negara

menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk

agamanya dan akan beribadat menurut agamanya dan

kepercayaannya masing-masing.” Usul Dahler ini kemudian diterima

oleh anggota sidang.

Selanjutnya pembicaraan dalam sidang beralih ke topik

tentang presiden. Salah satu anggota, yaitu Pratalykrama,

mengusulkan bahwa Kepala Negara atau Presiden hendaknya

orang Indonesia asli berumur sedikitnya 40 tahun dan beragama

Islam. Usul ini ditolak dengan mempertimbangkan kompromi

dalam Piagam Jakarta, karena jika usul itu diterima akan ada

43

golongan dalam masyarakat yang ditetapkan oleh pemerintah

kolonial itu secara otomatis akan saling berhadapan jika

dimunculkan isu yang menyangkut kepentingan mereka.

Hadirin yang berbahagia,

Bicara tentang semangat kebangsaan, maka dalam ingatan kita

biasanya langsung terlintas sederatan tokoh-tokoh yang telah

berjuang menentang imperialisme Belanda. Tokoh-tokoh tersebut

diantaranya Pangeran Diponegoro, Teuku Umar, Imam Bonjol, dan

lain-lain yang merupakan penganjur dan pemuka rakyat yang

berpegang teguh pada Islam serta mendasari perjuangannya di atas

agam Islam.

Menurut Ki Bagus, jika dilihat perkembangan rakyat indonesia

pada kurun-kurun terakhir di abad ke-20, mulai Indische Partij,

Budi Oetomo, Syariat Islam, dan lain-lain, maka dapat sambutan

dan pengaruh yang lebih besar dari rakyat Indonesia adalah syari’at

Islam. Serikat Islam yang mendasarkan pergerakannya pada ajaran

Islam mampu menundukkan segenap rakyat. Simpatisannya tidak

hanya di Jawa, tapi juga menyebar sampai ke Sumatera, Kalimantan,

Sulawesi, Maluku, dan sebagainya. Melihat kenyataan tersebut, kita

dapat menyimpulkan bahwa di dalam diri umat Islam tersembunyi

jiwa yang hidup dan bersemangat, dengan pengaruh agama Islam

pada rakyat yang sangat kuat dan mendalam. Ki Bagus yang

menganggap dirinya Indonesia tulen, dan sebagai muslim yang

punya cita-cita Indonesia Raya merdeka, mengharapkan agar In-

donesia merdeka mendasarkan dirinya pada agama Islam sesuai

dengan jiwa rakyat yang terbaik.

Bagi Ki Bagus, Islam yang diusulkan menjadi dasar negara itu

paling sedikit mengandung; pertama, mengajarkan persatuan atas

dasar persaudaraan yang kokoh. Kedua, mementingkan

perekonomian dan mengatur pertahanan negara. Ketiga, membantu

membangun pemerintahan yang adil dan menegakkan keadilan.

Keempat, tidak bertentangan bahkan sangat sesuai dengan

kebangsaan kita, dan yang kelima, membentuk potensi kebangsaan

Page 31: Buku Ki Bagus Hadikusumo Booklet

31

syarat Islam bagi menteri dan pejabat lainnya. Anggota Kiai

Masjkoer kembali mempermasalahkan tentang 7 kata dalam

Pembukaan dan agama Presiden dalam kaitan dengan pasal 28

yang sebelumnya menjadi perdebatan antara Ketua Sidang dan

Ki Bagoes.

Kembali muncul perdebatan panjang antaraKiai Masjkoer,

Soekarno, dan Ketua Sidang hingga membuat Kiai Kahar Moezakir

angkat bicara: “Saya mengusulkan kompromi, ... kami sekalian yang

dinamakan wakil-wakil umat Islam mohon dengan hormat, supaya

dari permulaan pernyataan Indonesia Merdeka sampai kepada pasal

di dalam Undang-Undang Dasar itu yang menyebut-nyebut Allah

atau agama Islam atau apa saja, dicoret sama sekali, jangan ada hal-

hal itu.” (menurut catatan notulis Kahar Moezakir menutup

pembicaraannya sambil memukul meja; braak!!!)

Negara Islam atau Negara Netral

Perbincangan berlajut ke masalah sekitar posisi Islam dalam

bangunan negara yang memancing perbedaan antara pihak dengan

pihak Islam ahkan di antara di dalam kelompok Islam sendiri. Ki

Bagoes Hadikoesoemo berkata :

“....Jadi, saya menyetujui usul Tuan Abdul Kahar Moezakir tadi; kalau

ideologi Islam tidak diterima, tidak diterima! Jadi, nyata negara ini tidak

berdiri di atas agama Islam dan negara akan netral. Itu terang-terangan saja,

jangan diambil sedikit kompromis seperti Tuan Soekarno katakan. Untuk

keadilan dan kewajiban tidak ada kompromis, tidak ada. Terang-terangan

saja, sebab kalau memang ada keberatan akan menerima ideologi umat Is-

lam, siapa yang mufakat yang berdasar Islam, minta supaya menjadi satu

negara Islam. Kalau tidak, harus netral terhadap agama.” (Risalah Sidang

BPUPKI, 1998, hlm364-367)2)

2). Catatan kaki penyunting (Syafroedin Bahar) dinyatakan

bahwa: “Ini adalah penolakan keempat dari “tujuh kata” itu yang

diiringi dengan penjelasan bahwa masalahnya adalah memilih antara

dua alternatif, yaitu negara yang didasarkan pada negara Islam dan

42

dan menjaga supaya para pemuka dapat melakukan tugas mereka

sesuai dengan adat kebiasaan orang Jawa, seperti dalam perkawinan,

pembagian pusaka, dan yang sejenis dengan itu. Berturut-turut

dengan itu keluar aturan No. 58 tahun 1885 yang mendukung

pelaksanaan hukum Islam. Pada tahun 1882, Pengadilan Agama di

Jawa dan Madura diresmikan. Peresmian itu berlangsung seusai

berkembang pendapat di kalangan Belanda bahwa hukum yang

berlaku bagi orang-orang Bumiputra pada Hindia Belanda adalah

undang-undang dibuat oleh agama mereka sendiri yakni hukum

Islam, yang sejak tahun 1885 telah memperoleh dasar-dasar

perundang-undangan Hindia Belanda melalui stanplad no. 2 tahun

1885.

Dalam hubungan ini menarik untuk menyimak nota Ketua

Komisi Penyesuaian Undang-Undang Belanda dengan keadan

istimewa pada Hindia Belanda kepada pemerintah Belanda pada

tahun 1888 sebagai berikut: “Untuk mencegah timbulnya keadaan

yang tidak menyenangkan, mungkin juga perlawanan jika dilakukan

pelanggaran terhadap agama orang Bumiputra, maka harus

ditiadakan sedapat-dapatnya agar mereka itu dapat tinggal tetap

dalam lingkungan beragama serta adat istiadat mereka. Pendapat

ini didukung oleh Robert William Christian yang mengatakan bahwa

orang-orang Bumiputera yang beragama Islam telah melakukan

receptio terhadap hukum Islam sebagai kesatuan. Perubahan mulai

terjadi ketika seorang ahli hukum adat, Cornelis van Gholen

mengkritik dan menyerang teori receptio reinspection. Kritik dan

serangan Van Ghoulen didukung oleh penasihat Hindi Belanda

tentang sosok Islam dan anak negeri. Menurut keduanya yang

berlaku di Hindia Belanda bukanlah hukum Islam, melainkan

hukum adat.

Dalam hukum adat itu memang masuk hukum Islam, tetapi

hukum Islam baru mempunyai kekuatan kalau sudah diterima

menjadi hukum adat. Pendapat kedua orang ini dikenal dengan teori

receptio. Sejak muncul teori inilah di kalangan masyarakat lahir dua

kubu mengenai hubungan agama Islam dengan negara. Golongan-

Page 32: Buku Ki Bagus Hadikusumo Booklet

32

negara yang netral terhadap agama. Ki Bagoes Hadikoesoemo tidak

memperjuangkan suatu negara berdasarkan agama Islam. Ia sekedar

menawarkannya”

41

3 abad sebelum Belanda menjajah, hukum Islam sudah berlaku di

Indonesia dengan sebaik-baiknya. Menurut Ki Bagus, banyak sekali

hukum Islam yang sudah menjadi adat istiadat bangsa Indonesia.

Sehingga tidak salah lagi bila dikatakan bahwa hukum Islam sudah

menjadi adat istiadat bangsa indonesia.

Apa yang disampaikan dengan detail oleh Ki Bagus

sesungguhnya merupakan fakta dalam pengembangan agama Is-

lam dengan negara, berbagai fakta menunjukkan bahwa religiusitas

telah menyatu pada diri bangsa ini. Di Kesultanan Bima, Nusa

Tenggara Barat misalnya, saya pernah mukim di daerah itu, yang

mengalami proses islamisasi, di sekitar abad pertengahan abad ke

16, sistem pemerintahannya memberi kedudukan terhormat pada

ajaran dan hukum Islam. Setiap keputusan pemerintah Kesultanan

Bima tidak boleh dilaksanakan sebelum mendapat pertimbangan

apakah isinya sesuai atau bertentangan dengan hukum Islam. Ini

tercermin dalam ungkapan bahasa mojo, bahasa Bima yang artinya;

syara’ harus dikuatkan oleh hukum Islam.

Para penguasa Nusantara dengan kesadaran penuh,

menggunakan idiom-idiom Islam dalam dirinya. Misalnya tercermin

pada gelar; Sultan Sayyidi Khalifatullah. Bahkan, meskipun

kemudian bangsa Barat untuk menaklukkan dan menjajah kerajaan

Nusantara, tetapi mereka tidak mampu menghilangkan Islam dari

jiwa penduduk di kepulauan Nusantara. Islam telah terjiwai,

dilaksanakan dan menjadi jati diri penduduk di kepulauan ini.

Sepanjang catatan yang ada, sebelum 1882 pemerinta Hindia

Belanda tetap mengakui eksistensi Peradilan Agama Islam di

masyarakat kepulauan Nusantara Indonesia. Pada September 1881,

pemerintah Hindia Belanda memerintahkan kepada seluruh Bupati

agar terhadap urusan-urusan agama orang Jawa tidak direcoki.

Sedangkan untuk pemuka agama Islam diberi keleluasaan untuk

memutuskan perkara-perkara tertentu, yaitu dalam bidang

perkawinan dan pewarisan.

Pada tahun 1880, melalui aturan No.22 pasal 13 ditentukan

bahwa para bupati wajib memperhatikan suara-suara tokoh Islam

Page 33: Buku Ki Bagus Hadikusumo Booklet

33

SEMINAR NASIONAL KENEGARAWANAN

KI BAGUS HADIKUSUMO

Sambutan Rektor Universitas Muhammadiyah

Prof. Dr. HAMKA Jakarta

Prof. Dr. H. Suyatno. M. Pd.

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Alhamdulillah, alhamdulillah wa syukrulillah, laa haula walaa quwwata

illaa billaah, Asyhadu anlaa ilaaha illallah, wa asyhadu anna muhammadan

‘abduhu warasuuluh la nabiyya ba’da.

Pertama, mari kita senantiasa bersyukur ke hadirat Allah SWT,

karena atas izin dan perkenannya, pada sore hari ini kita bersama-

sama diberi berbagai hikmat hingga dapat melakukan silaturahim

di Aula Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. HAMKA. Dalam

rangka Seminar Nasional Kenegrawanan Ki Bagus Hadikusumo

dalam rangka kita berupaya untuk menganugerahkan gelar pahlawan

nasional, bagi tokoh negarawan kita Ki Bagus Hadikusumo, semoga

pertemuan pada sore hari ini, mendapatkan rahmat dan hidayat

Allah SWT. Dan Allah memberikan izin dan memberikan

kemudahan bagi upaya-upaya yang akan kita lakukan dalam rangka

pengabdian pada bangsa dan negara. Amien ya rabbal ‘alamien.

Yang saya hormati, Pimpinan Pusat Muhammadiyah dalam

kesempatan ini diwakili oleh Dr. Abdul Fatah Wibisono dan

sekaligus Ketua Badan Pembina Harian Universitas Muhammadiyah

Prof. Dr. HAMKA.

Yang saya hormati, Bpk. Dr. A. M. Fatwa, selaku Ketua Panitia

Penganugerahan Gelar Kepahlawanan Nasional kepada Ki Bagus

Hadikusumo, Kasman Singodimejo dan Kahar Mudzakir, beserta

panitia penganugerahan.

Kami mengucapkan terimakasih kepada bapak-bapak yang telah

memberikan amanah melalui PP. Muhammadiyah kepada

40

tersebut bukan saja karena tidak lengkapnya rekaman masa lampau,

tetapi juga karena terbatasnya imajinasi dan bahasa manusia untuk

mengungkapkan kembali apa yang sesungguhnya terjadi di masa

lampau.

Dalam konteks seperti inilah kita memahami Ki Bagus

Hadikusumo. Seiring bertambahnya jarak waktu dengan masa ketika

Ki Bagus memberikan sumbangannya untuk umat bangsa dan

negara, makin sedikit pula gambaran kita mengenai Ki Bagus.

Ingatan kita terhadap Ki Bagus makin terbatasi pada posisinya

sebagai Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, anggota Badan

Penyidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia dan

panitia persiapan kemerdekaan Indonesia. Paling jauh yang kita ingat

ialah beban mendadak dan harus diterima di sekitar pengesahan

Undang-Undang Dasar 1945, pada 18 Agustus 1945 dan setelah

itu, seperti dikemukakan dalam pidato Abdul Kahar Muzakkir pada

11 Mei ’59’ pesan getir, yang menurut Pak Kahar menyebutnya,

“Jeritan Ki Bagus di muka majelis taklim” dari Muhammadiyah di

seluruh Indonesia pada Agustus 1945 di Jogjakarta mengenai pasal-

pasal yang mengandung Islam telah dihapuskan dan dilenyapkan

dari UUD 1945.

Hadirin yang berbahagia,

Ki Bagus adalah orang yang sangat yakin terhadap

kesempurnaan ajaran-ajaran agama Islam, dan relevansi ajaran Is-

lam dalam kehidupan umat beragama, bangsa dan bernegara. Maka

saya tadi membacakan “jeritan” yang disebutkan Pak Kahar

Mudzakir, ketika membaca di mobil tadi, saya sungguh-sungguh

menitikkan air mata, dan saya memang untuk kenangan itu beberapa

tahun yang lalu bersama mantan Menteri Agama Tarmidzi Taher

membangun Pendidikan Yayasan Ki Bagus Hadkusumo, ada

aktivitasnya di antaranya di Sukabumi dan Bogor.

Dalam pidato di BPUPKI pada 1 Mei 1945, Ki Bagus antara

lain mengemukakan keinginananya, bahwa Islam sedikitnya sudah

6 abad menjadi agama kebangsaan Indonesia, dan sedikitnya sudah

Page 34: Buku Ki Bagus Hadikusumo Booklet

34

UHAMKA untuk meneyelenggarakan seminar nasional dalam

rangka gelar kepahlawanan Ki Bagus Hadikusumo.

Yang saya hormati Prof. Dr. Taufiq Abdullah selaku

narasumber,

Yang saya hormati Prof. Dr. Bahtiar Effendi,

Yang saya hormati Prof. Jimly Ashidiqi,

Yang saya hormati Prof. Munir Mulkan,

Yang saya hormati Dr. Sudarnoto, selaku moderator,

Yang saya hormati, Pimpinan Wilayah Muhammadiyah DKI

Jakarta Prof. Agus Suradika, beserta jajarannya,

Yang saya hormati para tokoh negarawan, tokoh bangsa, dan

tokoh nasional yang hadir pada kesempatan ini. Dan yang saya

hormati para rektor, Rektor Universitas Muhammadiya Jogjakarta,

Rektor Universitas Islam Indonesia, dan masih banyak rektor yang

hadir dan seluruh pimpinan pergururan tinggi Muhammadiyah di

DKI Jakarta. Para tokoh dari LIPI dan para masyarakat sejarawan

dan yang kami hormati, hadirin dan hadirat undangan yang

dimuliakan Allah SWT.

Yang kami banggakan dan berbahagia Keluarga Besar Ki Bagus

Hadikusumo. Hadir di tengah-tengah kita, putra beliau H. Latief

Hadikusumo, S.E, M.A., Bpk Ahmad Purnomo, juga hadir cucu Ki

Bagus Hadikusumo, Dr. Gunawan Budiarto.

Syukur Alhamdulillah dari keluarga besar bisa hadir bersama–

sama kita semuanya, ini nantinya dapat memperkaya informasi

berkenaan dengan Ki Bagus Hadi Kusumo. Kemudian

kami berharap, karena waktunya sangat singkat, jadi saya

ucapkan terimakasih, nanti secara mendetail, Bpk. Dr. AM. Fatwa

yang akan menjelaskan terkait dengan seminar pada sore hari

ini. Kami sangat berbahagia karena Ki Bagus Hadikusumo

adalah tokoh bangsa dan tokoh negarawan yang mempunyai

keteguhan keimanan, keislaman, kebangsaan dan ke-indonesian

yang kita sudah membaca di berbagai reverensi, beliau yang

bukunya juga sangat banyak, sehinga kita juga belajar dari

39

Sambutan

Dr. AM. Fatwa

Bismilahirrahmanirrahim

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Hamdan wa syukron lillah, wa sholatu wassalamu ‘ala rasulillah, wa ‘alaalihi

wa sohbihi waman walah.

Yang terhormat Pimpinan Pusat sekaligus Pimpinan Wilayah

Muhammadiyah,

Yang terhomat Rektor serta civitas akademika UHAMKA,

Yang terhormat para narasumber pada seminar yang akan

memberikan pencerahan pada kita, para profesor yang sudah

disebutkan namanya tadi,

Yang terhormat wakil keluarga besar Ki Bagus Hadikusumo.

Alhamdulillah, tiga orang keluarga Ki Bagus, yang semua tokoh

terkemuka dimasyarakat telah hadir di sini. Dan para peserta semi-

nar, hadirin, yang berbahagia.

Pertama, dan terutama sekali kita menyampaikan rasa syukur

yang tak terhingga ke hadirat Ilahi Rabbi, berkat rahmat dan hidayah-

Nya kita hadir dan berpartisipasi dalam seminar tentang

kenegarawanan Ki Bagus Hadikusumo yang sangat penting ini.

Shalawat dan salam semoga senantiasa kita curahkan kepada

Nabi Muhammad SAW, kepada keluarganya, kepada para

sahabatnya, dan para pengikutnya yang setia menegakkan panji-

panji tauhid hingga akhir zaman kelak.

Hadirin yang berbahagia,

Sejarah, kata kalangan pakar, hanyalah bagian dari masa lampau

manusia yang dapat disusun kembali secara berarti, berdasarkan

rekaman-rekaman yang ada, dan berdasarkan kesimpulan-

kesimpulan lingkungan yang ada. Di sinilah terlihat kesulitan menulis

sejarah. Jarang sekali sejarawan yang mampu mengisahkan tentang

masa lampau, sebagaimana sungguh sungguh terjadi. Kesulitan

Page 35: Buku Ki Bagus Hadikusumo Booklet

35

beliau sebagai tokoh-tokoh muda penerus perjuangan bangsa

kita ini.

Sekali lagi atas nama pimpinan UHAMKA menyampaikan

ucapan terimakasih dan kami berharap para hadirin dan peserta

undangan dapat mengikuti acara ini sampai nanti berbuka puasa di

sini. Sekian, kurang lebihnya mohon maaf, terimakasih, semoga

Allah SWT selalu memberikan ridho dan bimbingan pada kita

semua. Amien.

Billahittaufiq walhidayah

Wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh

38

Jadi, banyak hal-hal yang bisa saya petik di situ, terutama sifat

istiqamah beliau. Terakhir, yang saya ingat ketika baca buku, Ki

Bagus tidak mau masuk ke ruangan seperti ini, karena jaman

dulu kalau ada pertemuan itu dipisahkan antara laki-laki dan

perempuan. Itu juga salah satunya juga karena hal itu kata beliau

sudah jadi keputusan rapat. Kalau mau dirubah katanya ya harus

rapat lagi.

Jadi itu yang bisa saya sampaikan. Saya mewakili keluarga,

mengucapkan terimakasih pada panitia, dalam usaha untuk

mengajukan Ki Bagus sebagai pahlawan nasional. Mohon maaf,

kalau saya pribadi, padahal gelar pahlawan itu harusnya dari

pemerintah, bukan diminta. Artinya, Kementerian Sosial harus aktif,

sehingga seseorang itu layak disebut pahlawan. Namun apapun,

atas usaha ini kami berterima kasih. Mudah-mudahan nantinya

misteri pencoretan tujuh kata dalam Piagam Jakarta dapat terkuak.

Billahittaufiq walhidayah

Wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Page 36: Buku Ki Bagus Hadikusumo Booklet

36

H. Latief Hadikusumo, S.E, M.A (Putra Ki Bagus Hadikusumo)

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Ibu dan bapak-bapak yang dirahmati Allah. Saya tadi malam

ditelpon Pak Fatwa, meminta saya untuk memberikan sepatah dua

patah kata tentang almarhum Ki Bagus. Saya sendiri sebetulnya

tidak banyak tahu mengenai ayah saya sendiri, sebab pada waktu

ayah meninggal tanggal 31 Mei 1954, umur saya baru satu setengah

tahun. Tapi setidaknya saya dapat melihat beliau melalui foto yang

ada, namun itu pun tak banyak, karena Bapak termasuk orang yang

tidak senang difoto. Bapak juga kurang suka dipuja dan disanjung

orang. Makanya kuburnya pun sekarang sudah tak ada, sudah dipakai

orang lain. Itu juga stas wasiat Bapak. Jadi saya tahu soal Bapak

lebih banyak dari cerita-cerita tetangga yang dulu tinggal di

lingkungan Kauman. Kemudian saya juga baca dari bukunya Mas

Jarnawi yang berjudul, “Derita Seorang Pemimpin”. Kemudian saya

juga baca dari risalah BPUPKI tentang Sekneg dan juga yang terakhir

dari bukunya Pak Siswanto, selebihnya dari artikel-artikel di Harian

Republika.

Saya tidak mengalami bagaimana kerasnya pendidikan almarhum

kepada anak-anaknya. Menurut cerita tetangga, kalau habis maghrib

semua anak-anaknya harus pulang ke rumah untuk membaca

Alquran. Nah, kalau anak-anaknya kebetulan tidak ada di rumah,

pasti akan dicari katanya. Itu yang tidak saya alami. Dalam

kesempatan ini saya hanya ingin bercerita. Beberapa cerita yang

lucu, dari para tetangga. Saya sendiri adalah putra bungsu dari ibu

ketiga. Ki Bagus tidak berpoligami. Kebetulan istri pertama setelah

melahirkan 6 anak, termasuk Pak Jamaludin Kusumo, meninggal.

Kemudian menikah lagi, memililki 3 anak, meninggal lagi. Baru

menikah dengan ibu saya. Jadi, bukan poligami, loh, walupun

poligami itu kan juga tidak dilarang agama.

37

Dari ibu kedua itu ada anak yang lahir namanya Muhammad

Zuhri, anaknya ini nakal, tapi juga pemberani. Urat takutnya itu

mungkin sudah putus, sehingga pada waktu masih SMP, Pak Zuhri

ini meninggal ditembak Belanda di Sonosewu, sebelah barat kota

Jogja, pada waktu kelas 2. Kemudian, menurut cerita, Ki Bagus itu

orangnya sangat konsisten. Ketika ada masalah misalnya dan sudah

ada keputusan rapat, maka beliau pegang teguh keputusan itu. Beliau

tak mau mengubahnya kecuali melalui rapat lagi.

Makanya, kenapa pada waktu tujuh kata dalam Piagam Madinah

diusulkan kepadanya untuk dicoret, beliau keberatan. Ini sudah

diputuskan dalam rapat, katanya. Padahal sebelumnya, kalau saya

baca di risalah, Ki Bagus juga sebenarnya mempertanyakan tujuh

kata itu. Apa maksudnya? Ki Bagus maunya berdasarkan Islam.

Bahkan mengamini kata-katanya Pak Muzakir. Maka kalau tidak

mau Islam semua hal-hal yang berbau Islam dicoret saja. Tapi tetap

dikatakan ini sudah konsensus.

Saya baca di buku, sampai empat kali Ki Bagus menanyakan

tentang 7 kata itu yang akhirnya dipegang jadi keputusan. Kemudian

pada tanggal 18, ketika mau sidang BPUPKI, ada berita yang katanya

ada pihak yang tak setuju dengan tujuh kata itu dan menyatakan

ingin memisahkan diri dari NKRI. Akhirnya Ki Bagus berhasil

diyakinkan oleh Pak Kasman.

Nah, kemudian cerita yang saya baca dari sumber, pada waktu

di Tokyo, bertiga dengan Bung Hatta, waktu itu disuguhi minuman

shake, yang mengandung alkohol. Nah, di situlah kelihatan sikap

Ki Bagus bagaimana ia menghargai orang lain. Ki Bagus tidak

menolak, tapi pura-pura gelasnya kesenggol dan tumpah.

Kemudian, Ki Bagus juga orangnya sangat sederhana. Di buku

Pak Siswanto Pak Sudirman mengagumi Ki Bagus karena

kesederhanaannya. Ki Bagus itu ke mana-mana pakai sarung. Setelah

proklamasi, Bung Hatta menegur, “Ki Bagus, sekarang sudah

merdeka, kok masih pakai sarung?” Ki Bagus menjawab,”La iya to,

Mas. Dulu, sebelum kemerdekaan yang pake pakaian yang aneh-

aneh kan penjajah. Lha saya ini ya tetep konsisten pakai sarung.”