budidaya laut

47
WBL/85/WP - 18 BUDIDAYA LAUT DAN KEMUNGKINAN PENGEMBANGANNYA DI PROPINSI SUMATERA SELATAN Oleh Umar Husin Zuna 1 ) 1. PENDAHULUAN Kegiatan usaha perikanan di Sumatera Selatan terdiri dari 3 jenis usaha yaitu penang-kapan ikan di laut, penangkapan ikan di perairan umum dan budidaya air tawar baik di kolam maupun di sawah. Budidaya tambak dan budidaya laut baru dimulai kegiatannya dalam dua tahun terakhir ini. Produksi ikan di Sumatera Selatan pada tahun 1984 sebesar 110.907,0 ton dan 73.114,3 ton adalah hasil penangkapan di laut. Wilayah Sumatera Selatan yang memiliki perairan laut adalah Kabupaten Bangka, Belitung, Musi Banyuasin, Ogan Komering Ilir dan Kotamadya Pangkalpinang. Perairan laut di Kabupaten Musi Banyuasin dan Ogan Komering Ilir terletak di pantai timur pulau Sumatera dan banyak mengandung lumpur sehingga airnya keruh. Perairan laut di sekitar Pulau Bangka dan Pulau Belitung sebagian besar merupakan daerah karang dengan pantai yang landai dan di kelilingi oleh pulau-pulau kecil. Airnya cukup jernih dan banyak terdapat daerah yang terlindung dari pengaruh ombak baik karena letaknya di teluk- teluk Pulau Bangka dan Pulau Belitung mapupun terlindung oleh pulau-pulau kecil. Biota yang terdapat di perairan laut Sumatera Selatan disamping ikan dan udang adalah kerang-kerangan, kepiting, penyu, teripang dan rumput laut. Kerang-kerangan dan rumput laut belum banyak dimanfaatkan sebagai sumber penghasilan masyarakat. Budidaya laut khususnya budidaya ikan kerapu telah mulai diperkenalkan kepada masyarakat di Kabupaten Bangka dan Belitung pada tahun 1984. Kegiatan ini dilakukan oleh Dinas Perikanan sebagai percobaan dan oleh swasta sebagai kegiatan sampingan dari usaha penangkapan ikan kerapu, dimana ikan-ikan kecil yang belum

Upload: marshall-moehammad

Post on 25-Oct-2015

26 views

Category:

Documents


6 download

DESCRIPTION

cdfddddsfsf

TRANSCRIPT

WBL/85/WP - 18BUDIDAYA LAUT DAN KEMUNGKINAN

PENGEMBANGANNYADI PROPINSI SUMATERA SELATAN

Oleh

Umar Husin Zuna1)

1. PENDAHULUAN

Kegiatan usaha perikanan di Sumatera Selatan terdiri dari 3 jenis usaha yaitu penang-kapan ikan di laut, penangkapan ikan di perairan umum dan budidaya air tawar baik di kolam maupun di sawah. Budidaya tambak dan budidaya laut baru dimulai kegiatannya dalam dua tahun terakhir ini. Produksi ikan di Sumatera Selatan pada tahun 1984 sebesar 110.907,0 ton dan 73.114,3 ton adalah hasil penangkapan di laut.

Wilayah Sumatera Selatan yang memiliki perairan laut adalah Kabupaten Bangka, Belitung, Musi Banyuasin, Ogan Komering Ilir dan Kotamadya Pangkalpinang. Perairan laut di Kabupaten Musi Banyuasin dan Ogan Komering Ilir terletak di pantai timur pulau Sumatera dan banyak mengandung lumpur sehingga airnya keruh. Perairan laut di sekitar Pulau Bangka dan Pulau Belitung sebagian besar merupakan daerah karang dengan pantai yang landai dan di kelilingi oleh pulau-pulau kecil. Airnya cukup jernih dan banyak terdapat daerah yang terlindung dari pengaruh ombak baik karena letaknya di teluk-teluk Pulau Bangka dan Pulau Belitung mapupun terlindung oleh pulau-pulau kecil.

Biota yang terdapat di perairan laut Sumatera Selatan disamping ikan dan udang adalah kerang-kerangan, kepiting, penyu, teripang dan rumput laut. Kerang-kerangan dan rumput laut belum banyak dimanfaatkan sebagai sumber penghasilan masyarakat.

Budidaya laut khususnya budidaya ikan kerapu telah mulai diperkenalkan kepada masyarakat di Kabupaten Bangka dan Belitung pada tahun 1984. Kegiatan ini dilakukan oleh Dinas Perikanan sebagai percobaan dan oleh swasta sebagai kegiatan sampingan dari usaha penangkapan ikan kerapu, dimana ikan-ikan kecil yang belum mencapai ukuran ekspor untuk sementara ditampung dalam sangkar sampai menjadi ukuran untuk siap diekspor.

2. BUDIDAYA LAUT SAAT INI

2.1 Luas daerah

Budidaya laut di Sumatera Selatan telah dilakukan di Pulau Bangka dan Pulau Belitung. Kegiatan ini baru bersifat percobaan baik yang dilakukan oleh Dinas Perikanan maupun oleh swasta.

Di Pulau Bangka kegitan ini dilakukan di Pulau Ketawai yaitu sebuah pulau kecil yang terletak di pantai timur Pulau Bangka ± 20 mil dari muara Sungai Kurau. Kegiatan usaha ini dilakukan oleh swasta. Di Pulau Belitung kegiatan ini dilakukan oleh Dinas Perikanan setempat dengan APBD Tk. II Belitung dan oleh swasta. Kegiatan percontohan dari Dinas Perikanan dilakukan di Pulau Sebongkok dan usaha swasta dilakukan di Pulau Ru, sebelah barat Pulau Belitung.

1) Dinas Perikanan Propinsi Sumatera Selatan.

Budidaya ikan kerapu ini dilakukan dalam kurungan terapung, luas usaha untuk masing-masing lokasi sebagai berikut:

- Pulau Ketawai,Kabupaten Bangka terdiri dari 10 buah kurungan, masing-masing berukuran 2 × 2 × 1,5 m3

- Pulau Sebongkok,Kabupaten Belitung terdiri dari 4 buah kurungan, masing-masing berukuran 3 × 3 × 3 M3

- Pulau Ru,Kabupaten Belitung terdiri dari 20 buah kurungan, masing-masing berukurang 3 × 3 × 4 m3.

2.2 Jenis komoditi

Jenis ikan yang dipelihara adalah ikan kerapu (Epinepheius spp). Benih ikan yang dipakai untuk budidaya ini adalah ikan-ikan kecil berukuran berat kurang dari 500 gram/ekor berasal dari hasil penangkapan di laut. Penangkapan benih secara khusus untuk keperluan budidaya ini belum dilakukan.

Penangkapan ikan kerapu dilakukan dengan menggunakan bubu, pancing tunggal dan pancing rawai. Bubu untuk penangkapan ikan ini dibuat dari kawat galvanis yang tahan karat. Bubu dipasang di dasar laut diantara batu karang dan terhindar dari arus laut. Pancing tunggal dan pancing rawai menggunakan mata pancing nomor 7 – 8. Pancing tunggal di pasang pada daerah kerang yang dangkal, sedang pancing rawai dipasang pada daerah karang dalam.

2.3 Teknik budidaya

Benih ikan kerapu yang berukuran berat kurang dari 500 gram dan belum mencapai ukuran untuk dipasarkan/ekspor. Selama menunggu agar mencapai ukuran siap untuk dipasarkan, ditampung dulu dalam kurungan ( cages ), sampai mencapai ukuran 500 – 2.000 gram/ ekor.

Kurungan ( cages ) untuk penampungan/pemeliharaan ikan kerapu dibuat dari bahan-bahan sebagai berikut:

rangka dibuat dari besi siku jaring dibuat dari polyethylen atau nylon polyfilament.

pelampung dibuat dari drum

jembatan dibuat dari kayu

sebagai pemberat agar kurungan tidak berpindah di pasang jangkar

Denah dapat dilihat pada gambar 1.

Gambar 1. Denah lokasi budidaya ikan kerapu di P. Ru

Sebagai pedoman untuk kurungan berukuran 3 × 3 × 4 m3 diisi 300 – 400 ekor ikan ukuran kurang dari 500 gram/ekor. Makin besar benih ikan yang dipelihara makin sedikit jumlah ikan yang ditebarkan. Jumlah benih untuk tiap kurungan bergan tung pada jumlah persediaan benih, dapat lebih sedikit dan sebaliknya dapat pula lebih banyak.

Selama masa pemeliharaan/penampungan ikan diberi makanan berupa ikan-ikan kecil terdiri dari ikan hidup atau ikan segar. Jumlah makanan yang diberikan untuk tiap hari adalah 5 % dari perkiraan jumlah berat ikan yang dipelihara. Pemberian makanan dilakukan dua kali sehari yaitu pada pagi hari dan sore hari.

2.4 Masa pemeliharaan

Masa pemeliharaan/penampungan dalam kurungan bergantung kepada ukuran benih pada waktu penebaran dan permintaan pasar. Benih yang berukuran 300 – 500 gram/ekor setelah 4 – 5 bulan sudah dapat dipanen dan mencapai ukuran 750 – 1.000 gram/ekor, ukuran yang cocok untuk diekspor.

2.5 Hasil dan produktivitas

Produksi ikan untuk tiap kurungan dan tiap unit usaha selama jangka waktu tertentu belum ada catatan secara terperinci, antara lain karena usaha ini baru bersifat uji-coba. Jumlah padat penebaran tidak selalu sama dan masa pemeliharaannya juga sangat relatif bergantung kepada persediaan.

Lama pemeliharaan sangat bergantung kepada permintaan pasar dan jumlah hasil tangkapan. Apabila hasil tangkapan sangat kurang sedang permintaan cukup banyak maka ikan-ikan dalam kurungan yang telah mencapai ukuran 500 gram/ekor atau lebih ditangkap secara memenuhi permintaan tersebut.

2.6 Pemasaran hasil

Pemasaran ikan kerapu hidup terutama ke Singapura. Waktu pengiriman ikan bergantung kepada permintaan. Volume untuk tiap kali pengiriman minimal 2 ton. Ikan-ikan yang akan dikirim ke Singapura tersebut diangkut dengan menggunakan perahu motor. Ikan disimpan dalam bak palkah atau dalam bak fibre glass. Selama dalam perjalanan diadakan sirkulasi air laut dengan menggunakan pompa air. Bak palkah pada perahu motor yang digunakan oleh pengusaha di Pulau Ketawai Bangka dirancang sedemikian rupa sehingga sirkulasi air dapat berjalan lancar. (Gambar 2)

Gambar 2. Kapal pengangkut ikan hidup

Keterangan :

1. Bak-bak fiberglass2. Sistem pengudaran ( airation )

3. Pompa air laut

Ikan yang akan dipasarkan ke Singapura biasanya tidak dikirim langsung tetapi ditampung dulu di Kepulauan Riau. Hal ini terutama karena pengusaha budidaya ikan kerapu di Bangka dan Belitung berasal dari Kepulauan Riau.

Sebagai gambaran tentang harga pemasaran ikan kerapu untuk pasaran lokal harganya berkisar Rp. 400,- – Rp. 500,- tiap kilogram, sedang untuk pemasaran di Singapura harganya dilikasi Rp. 2.000,- – Rp. 2.500,- per kilogram. Terdapat perbedaan harga cukup tinggi dan merupakan daya tarik tersendiri bagi masyarakat nelayan setempat dalam kegiatan usaha penangkapan dan budidaya ikan kerapu tersebut.

3. POTENSI PENGEMBANGAN

3.1 Jenis komoditi yang potensial

Di perairan sekitar pula Bangka dan Pulau Belitung banyak terdapat ikan karang (antara lain kerapu, kakap merah, gerot-gerot), kerang-kerangan, kepiting, penyu, teripang dan rumput laut. Di perairan pantai timur Pulau Sumatera bagian selatan banyak terdapat jenis kerang-kerangan.

Biota laut tersebut merupakan potensi daerah yang dapat dikembangkan baik dalam usaha budidaya secara murni maupun usaha campuran antara penangkapan dengan penam-pungan/budidaya sambil menunggu waktu untuk dipasarkan. Sampai saat ini kecuali ikan kerapu, komoditi lainnya belum menarik perhatian para pengusaha, baik dalam daerah maupun dari luar daerah.

3.2 Luas dan penyebaran daerah pengembangan

Daerah pengembangan meliputi perairan sekitar Pulau Bangka dan Pulau Belitung untuk budidaya ikan karang, kerang-kerangan, rumput laut, kepiting dan teripang. Kerang-kerangan dapat pula dikembangkan di perairan pantai timur di wilayah Propinsi Sumatera Selatan. Luas daerah pengembangan secara kuantitatif belum diketahui untuk memperoleh data tersebut perlu dilakukan survei tersendiri.

3.3 Potensi produksi

Faktor alam yang mendukung kegiatan usaha budidaya laut di Sumatera Selatan antara lain :

Di perairan sekitar Pulau Bangka dan Pulau Belitung banyak terdapat terumbu karang yang merupakan lingkungan hidup yang cocok untuk ikan-ikan karang.

Pantai perairan tersebut landai dan airnya jernih.

Dasar perairan pantai terdiri dari pasir bercampur lumpur yang cocok untuk habitat kerang-kerangan.

Terdapat sungai-sungai yang bermuara ke daerah tersebut sebagai pendukung suplai makanan alami.

Terdapat kerang-kerangan, baik dalam ukuran benih/spat maupun besar yang belum dimanfaatkan secara maksimal.

Data tentang besarnya potensi untuk masing-masing belum ada.

3.4 Pemasaran hasil

Harga komoditi laut yang dikemukakan di atas untuk pasaran lokal belum mendukung untuk kegiatan budidaya laut. Ikan-ikan karang pada umumnya dipasarkan dalam keadaan segar bukan dalam keadaan hidup dan harganya sangat rendah. Penangkapan dan penampungan ikan karang agar tetap hidup memerlukan peralatan tersendiri dan keterampilan yang memadai.

Di perairan pantai wilayah Propinsi Sumatera Selatan, Pulau Bangka dan Pulau Belitung terdapat potensi kerang-kerangan dan rumput laut, tetapi sampai saat ini belum dimanfaatkan secara maksimal karena harganya di pasaran lokal sangat rendah.

3.5 Faktor produksi lainnya

Di Sumatera Selatan tenaga kerja yang memiliki keahlian budidaya laut masih sangat langka. Kegiatan usaha budidaya laut yang telah ada dilakukan oleh pengusaha dari luar daerah dan menggunakan tenaga kerja sebagian dari luar daerah pula.

Usaha budidaya laut di Sumatera Selatan belum banyak menarik minat para pengusaha swasta maupun perbankan untuk memanfaatkan potensi yang ada kerena belum terdapat contoh-contoh yang mudah untuk di tiru.

Dalam pengembangan usaha budidaya laut tindakan pasca panen seperti tehnik pengolahan hasil, pengangkutan ikan hidup, memegang peranan penting. Penguasaan tehnik pengolahan dan pengangkutan ikan hidup yang murah dan aman serta sederhana akan dapat menarik minat para pengusaha mengembangkan budidaya laut.

4. MASALAH DAN HAMBATAN

Untuk mengembangkan usaha budidaya laut di Sumatera Selatan terdapat beberapa masalah dan hambatan yang perlu mendapatkan perhatian yaitu :

1. Tenaga terampil dalam bidang budidaya laut masih sangat langka.2. Lokasi dan besarnya potensi benih belum diketahui secara terperinci.

3. Pemasaran lokal di Sumatera Selatan belum mendukung pengembangan budidaya laut.

4. Gangguan penyakit terutama terhadap penyakit yang menyerang ikan kerapu belum dapat diatasi secara tuntas.

5. Para pengusaha swasta dan perbankan belum tertarik minatnya untuk pengembangan usaha budidaya laut

5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

a. Budidaya laut yang telah dilakukan di Sumatera Selatan adalah budidaya ikan kerapu.

b. Budidaya ikan kerapu ini merupakan usaha penampungan/memelihara ikan hasil tangkapan yang belum mencapai ukuran untuk ekspor dan masih bersifat uji coba.

c. Budidaya biota laut lainnya belum dilakukan walaupun potensinya cukup tersedia.

d. Tenaga kerja terampil untuk budidaya laut di Sumatera Selatan masih sangat langka.

e. Untuk pengembangan budidaya ikan kerapu secara besar-besaran belum ada jaminan penyediaan benih secara teratur.

5.2 Saran-saran

Untuk mengembangkan usaha budidaya laut di Sumatera Selatan disampaikan saran-saran sebagai berikut :

a. Agar di Sumatera Selatan dapat dilakukan uji lapangan hasil-hasil percobaan Balai Budidaya Laut Lampung atau Balai Penelitian lainnya sesuai dengan potensi daerah yang ada.

b. Agar Direktorat Jenderal Perikanan dapat melakukan survai tentang potensi benih, khususnya benih ikan kerapu antara lain diperairan Pulau Bangka dan Pulau Belitung.

c. Agar dilakukan latihan-latihan budidaya laut, baik di dalam maupun di luar negeri untuk mempersiapkan tenaga kerja terampil.

WBL/85/WP - 17BUDIDAYA LAUT DAN KEMUNGKINAN

PENGEMBANGANNYADI PROPINSI RIAU

Oleh

Buchari Zakaria1)

1. PENDAHULUAN

Propinsi Daerah Tingkat I Riau yang terdiri dari Riau daratan dan Riau kepualauan, mempunyai luas perairan sekitar 235.306 km2 belum termasuk ZEE dan disepanjang perairan tersebut tersebar kurang lebih 3.214 pulau, secara geografis bersebelahan dengan negara tetangga Singapura dan Malaysia. Beberapa pulau yang besar dan penting sebagai pusat kegiatan dan pemukiman penduduk diantaranya adalah pulau Bintan, Batam, Lingga dan Singkep.

Sebagaimana diketahui daerah Riau secara historis terkenal akan produksi ikannya : perairannya kaya/subur akan zat hara yang dibawa oleh sungai besar dari daratan Sumatera, sehingga mengakibatkan perairannya kaya akan ikan, kerang-kerangan, udang dan biota laut lainnya.

Dengan telah dilarangnya alat trawl sebagai alat tangkap di laut, dimana daerah Riau khususnya di Selat Malaka merupakan salah satu konsentrasi kegiatan penangkapan dengan alat tersebut, maka kegiatan budidaya laut dapat merupakan usaha substitusi, disamping dapat memulihkan kelestarian sumber.

Hal yang sama dapat berlaku pula untuk perairan laut China Selatan di daerah Riau Kepulauan. Disini sebagai akibat dari sifat lautannya yang lebih terbuka dan cukup ganas pada musim-musim tertentu, maka usaha penangkapan di laut memerlukan modal dan kapal yang lebih besar dan tangguh. Nelayan yang kebanyakan bermodal lemah dapat memanfaatkan kesempatan berusaha dibidang budidaya laut sepenjang tahun di perairan diantara pulau-pulau. Mereka dapat berusaha sebagai nelayan pemelihara ataupun sebagai pengumpul benih ikan dari perairan sekitarnya.

Budidaya laut adalah suatu usaha untuk memanfaatkan perairan pantai semaksimal mungkin melalui kegiatan pemeliharaan ikan, kerang-kerangan, rumput laut dan biota laut

lainnya yang mempunyai nilai ekonomis penting. Usaha ini adalah merupakan kegiatan manusia yang terus-menerus didalam upaya untuk memanfaatkan dan meningkatkan bahkan melestarikan sumber kekayaan lautan, yang selama ini bagian terbesar hanya dimanfaatkan melalui usaha penangkapan.

2. PERKEMBANGAN BUDIDAYA LAUT

Di propinsi Riau, usaha budidaya ikan di laut merupakan masalah baru dibandingkan dengan daerah Indonesia lainnya seperti di Pulau Jawa. Pada saat ini yang berkembang adalah baru di daerah Kepulauan Riau, semenjak adanya proyek-proyek percobaan oleh Pemerintah pada jenis ikan seperti Kerapu (Epinephelus tauvina), Kerapu tutul/sunuk/ merah (Plectrophomus leopardus), Kakap (Lates calcarifer) dalam keadaan hidup, merupakan faktor pendukung berkembangnya usaha budidaya ikan di laut di Kepulauan Riau.

1) Dinas Perikanan Propinsi Riau.

Adapun kegiatan-kegiatan penelitian tentang budidaya laut yang telah dilakukan oleh Sub Balai Penelitian Perikanan Laut Tanjung Pinang semenjak berdirinya tanggal 1 Januari 1959 berdasarkan SK Menteri Muda Pertanian No. 9306/SK/MM tanggal 26 Oktober 1959 dengan nama “Pos Penyelidikan Hasil-hasil Laut” di bawah Jawatan Perikanan Laut Pusat, sampai saat ini masih terus dilakukan.

Sebagai gambaran, pada tahun-tahun yang lalu di Kepulauan Riau pernah dilakukan penelitian oleh Sub BPPL, antara lain :

1. penelitian/percobaan budidaya tiram di perairan P. Batam, sekitar tahun enam puluhan.

2. percobaan tiram di P. Senayang, sekitar tahun enam puluhan.

3. percobaan budidaya rumput laut di P. Telang pada akhir tahun tujuh puluhan.

4. pernah juga dicoba pengumpulan spat tiram di Selat Dompak, dan juga penelitian biologi ikan beronang sekitar tahun 1980.

Kemudian pada tahun anggaran 1983/1984 melalui anggaran Proyek APBD telah pula dilaksanakan kerja sama dengan Balai Penelitian Perikanan Laut Pusat bersama-sama Dinas Perikanan' Propinsi Daerah Tingkat I Riau, yaitu survey lokasi Budidaya Laut di Propinsi Riau yang pelaksanaannya dimulai tanggal 22 Nopember 1984 sampai dengan tanggal 27 Desember 1984. (Untuk Kabupaten Kepulauan Riau yaitu di Kecamatan Senayang, Kec, Bintan Timur, Kec. Bintan Selatan/Utara, Kec. Batam. Untuk Kab. Bangkalis yaitu di Kec. Tebing Tinggi, Kec. Bangko dan Kubu. Di Kab. Indragiri Hilir yaitu di Kec. Kuala Indra/Kuala Enok dan Rateh dan Kec. Tanah Merah).

Survey tersebut diatas dilanjutkan lagi untuk daerah-daerah Kec. Siantan/Tarampa yang dilaksanakan dari tanggal 21 Januari 1984 sampai dengan tanggal 11 Februari 1984. Di daerah ini dilaksanakan kemudian karena harus menunggu cuaca yang lebih baik.

3. BUDIDAYA IKAN KERAPU (Epinephelus tauvina)

Budidaya ikan laut seperti kerapu hitam (Epinephelus tauvina), kerapu merah/sunuk/tutul (Plectropenus leopardus) dan kakap (Lates calcarifer) merupakan pemeliharaan ikan dalam keramba apung yang bertujuan :

1. untuk penelitian yang dilakukan oleh Sub BPPL Tanjung Pinang.2. untuk percobaan dan percontohan yang dilakukan oleh Dinas Perikanan.

Keramba apung yang menggunakan pelampung dari drum-drum bekas yang saat ini terdapat di perairan P. Dompak Kabupaten Kepulauan Riau adalah usaha percobaan Dinas Perikanan, berjumlah 9 unit. Ikan yang dipelihara adalah kerapu dan kakap.

Karena harga pasaran yang baik di Singapura maka budidaya ikan kerapu di Kepulauan Riau pada saat ini telah memasyarakat. Hal ini terlihat dengan adanya bermunculan usaha masyarakat yang memiliki keramba yang tersebar di Bintan Selatan, Bintan Timur, Lingga, Senayang dan Batam, Baik yang sifatnya menjual benih maupun pemeliharaan ikan kerapu. Dari data-data yang ada berdasarkan laporan dari petugas di daerah, jumlah keramba yang ada sebanyak 51 buah. (lihat daftar).

3.1 Benih

Ukuran benih berkisar beratnya 100 – 150 – 200 gram. Benih berasal dari hasil penangkapan nelayan setempat dengan harga rata-rata Rp. 500/ekor. Pengadaan benih masih merupakan masalah yang belum teratasi secara baik karena belum diketahui lokasi populasi benih yang dapat dikumpulkan serempak.

3.2 Makanan

Kerapu dan kakap merupakan ikan pemakan daging, makanannya terdiri dari ikan-ikan rucah yang dibeli dari para nelayan. Ikan kerapu hidup yang dipasarkan mempunyai nilai harga yang berbeda tergantung pada ukurannya, yang disukai konsumen pada umumnya adalah yang berukuran berat antara 600 – 900 gram /ekor. Untuk waktu pemeliharaan yang mencapai ukuran tersebut memerlukan waktu selama kurang lebih 5 – 6 bulan. Sedangkan makanan yang diperlukan setiap kenaikan berat 100 gram adalah lebih kurang 800 gram.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pemeliharaan selama 6 bulan untuk mencapai berat ikan 700 gram seekornya, dibutuhkan makanan (700 – 150) × 800 gram = 4.400 gram.

3.3 P a n e n

Panen dilakukan 6 bulan sekali. Berat ikan dipanen rata-rata mencapai 650 – 700 gram. Menghasilkan rata-rata Rp. 4.500/ekor ( ± Rp. 6.500 per kg).

Keuntungan yang diperoleh : selama penelitian terdapat kematian (mortalitas) ikan rata-rata 3 % yang disebabkan antara lain oleh sifat canibalisme dan mati karena sakit dan dapat pula disebabkan karena hilangnya ikan dari kerusakan jaring. Dari percobaan yang dilakukan diperoleh gambaran sebagai berikut :

- Jumlah ikan yang dipelihara = 360 ekor @ Rp. 500,- = Rp. 153.000,-- Jumlah makanan 268 kg/bulan @ Rp. 53.600 = Rp. 321.600,-

    Rp. 474.600,-Panen 297 ekor @ Rp. 4.500,-   Rp. 1.336.500,-- Keuntungan yang diperoleh adalah Rp. 1.336.500,-      Rp.    474.600,-    

    Rp. 861.900,-Keuntungan dalam satu bulan : Rp. 861.900 : 6 = Rp. 143.650,-

Analisa di atas masih merupakan gambaran umum karena belum diperhitungkan biaya alat maupun tenaga, sebab diharapkan kegiatan ini merupakan kegiatan pemeliharaan skala kecil yang dilakukan oleh rumah tangga perikanan dimana komponen tenaga dipakai tenaga rumah tangga perikanan.

3.4 Dampak

Dari percobaan dan percontohan yang dilakukan oleh Dinas Perikanan terlhat dampak positipnya. Terlihat dengan munculnya ± 41 buah keramba untuk budidaya kerapu tersebar di Bintan Selatan, Bintan Timur, Lingga, Senayang dan Batam. (Tabel 1). Nelayan-nelayan yang bermodal kecil melihat situasi perkembangan budidaya kerapu ini, lalu ikut-ikutan membuat keramba untuk menampung bibit-bibit kerapu maupun kakap yang diperolehnya.

Tabel 1.

Daftar desa di Kabupaten Kepulauan Riau yang telah ada usaha budidaya ikan di laut.

No. Kecamatan Desa Jumlah dalam unit Keterangan

1. Kec. Bintan Sel.- Kampung Lama 11  

- Kampung Bugis 1  

2. Kec. Bintan Timur

- Kelong 2  

- Mantang 1  

- Pulau Semai 2  

- M a p u r 2  

- N u m b i n g 5  

3. Kec. Senayang

- Selat Panjang 2  

- Pasir Panjang 1  

- Pulau Buyu 1  

- Pulau Kala 1  

- R e j a i 1  

- Senayang 3  

- Tanjung Lipat 1  

- Batu Belobang 1  

4. Kec. Lingga - Pancur 2  

- Limbung/Centing 1  

- Sungai Nona 1  

- Penuba 1  

5. Kec. Batam - 1  

6. Proyek Pemerintah

- Dompak 2  

- Sei Jang 1  

- Kelong 1  

- Senayang 1  

    Jumlah 46  

Catatan :Jumlah keramba di Kep. Riau = 46 unit ;Milik Pemerintah/Proyek Dinas Perikanan = 5 unitMilik masyarakat = 41 unit.

Selain itu juga telah berkembang kritik baru dalam penangkapan dan pengangkutan ikan hidup, untuk pemasaran ekspor ke Singapura telah dikonstruksi kapal dengan peralatan khusus pengangkut ikan hidup.

3.5 Prospek

Melihat daya tampung pasar ekspor dan harga yang baik maka bila masalah-masalah pengembangan terpecahkan budidaya laut ikan akan berkembang pesat di Kepulauan Riau khususnya dan Perikanan Riau pada umumnya. Masalah tersebut terutama adalah supplai benih, tehnik perawatan jaring (pengaruh fouling organism) dan beberapa aspek pengumpulan dan pemasaran hasil serta supplai yang merata bahan makanan ikan ke tempat pemeliharaan.

Prospek budidaya rumput laut sangat tergantung pada pasar internasional yang daya serapnya kadang-kadang terbatas kecuali ditemukan teknik kultur rumput laut yang dapat dikonsumsi di dalam negeri dengan teknik pengolahan yang sederhana.

Disamping itu prospek budidaya kerang-kerangan terutama tiram cukup cerah bila ditemukan pasar yang baik karena tempat pemeliharaan maupun benihnya (spat) dapat ditemukan di Riau.

Crassostrea cuculata tersebar luas di daerah-daerah kecamatan Senayang/Lingga, Bintan Selatan, Bintan Timur, Bintan Utara dan Batam di Kabupaten Kepulauan Riau dan Kecamatan Kuala di Kabupaten Indragiri Hilir. Di Tembilahan, Kec. Indragiri Hilir dan Kec. Retah terdapat penyebaran Anadara granosa.

Adanya berita bahwa Pemerintah Singapura sudah mulai merencanakan membatasi kegiatan agraria di negara itu, pengembangan usaha ini mungkin akan lebih merangsang.

4. MASALAH DAN SARAN

1. Untuk pengembangan budidaya ikan kerapu dimasa mendatang dan untuk menjaga kelangsungan usaha, masalah benih merupakan salah satu kunci keberhasilan. Untuk itu perlu dilaksanakan survey benih secara lengkap, mulai dari cara-cara penangkapan dan transportasinya. Perlu pula dirintis kemungkinan-kemungkinan pembangunan balai benih ikan kerapu (hatchery) yang dalam pelaksanaannya dapat bekerja sama dengan Sub Balai Penelitian Perikanan Laut Tg. Pinang.

2. Sebaiknya dapat diciptakan keadaan pasar yang lebih baik dan kuat didalam negeri sendiri, terutama untuk hasil budidaya ikan dan kerang-kerangan, sehingga tidak tergantung pada Singapura saja.

3. Sebagai tahap awal dari budidaya tiram, perlu kegiatan pendahuluan berupa pemasangan spat collector di lokasi-lokasi yang telah ditentukan. Hal ini sangat penting untuk mengetahui kehidupan sebenarnya dari spat/benih tiram dan musim memijah. Kegiatan ini dapat ditangani oleh petugas Perikanan di daerah ( di lokasi ) bekerjasama dengan Sub Balai Penelitian Perikanan Laut.

4. Perlu diadakan pengaturan waktu pengambilan kerang-kerangan dan jumlah yang diperbolehkan setiap tahunnya untuk daerah-daerah yang banyak terdapat kerang-kerangan seperti di Kabupaten Bengkalis dan Indragiri Hilir. Hal ini sangat penting untuk kontinuitas stok alami, sehingga produksi penangkapan/pengumpulan setiap tahunnya terjamin. Pengertian ini dapat disebabkan kepada nelayan melalui penyuluhan intensip.

5. Diperlukan cara/tahnik pengolahan pengawetan kerang yang lebih baik lagi sehingga lebih menarik dan tahan lama.

6. Di daerah Riau alat tangkap sewa, kolong, bubu tancap dan jermal sangat populer dan banyak dikerjakan oleh nelayan setempat. Alat ini potensial sebagai sumber ikan murah untuk makanan ikan kerapu atau ikan carnivorus lainnya yang dipelihara, dan dapat pula sebagai alat tangkap benih jenis-jenis ikan lainnya yang akan dibudidayakan. Untuk itu selain ikan kerapu, perlu dirintis usaha pemeliharaan jenis lainnya, misalnya jenis-jenis ikan kakap merah (Lutjanus spp), ikan beronang (Siganus canaliculatus, S. javus S. guttatus) dan jenis-jenis ikan lainnya yang digemari dan berharga cukup tinggi.

7. Perlu diadakannya pengamanan dalam segi pengaturan dari lokasi budidaya laut, terutama yang mempunyai prospek pengembangan yang baik di masa depan. Hal ini dapat dikaitkan dengan Keppres No. 23/1982 mengenai pengembangan budidaya laut.

WBL/85/WP - 13KUALITAS AIR DALAM BUDIDAYA LAUT

Oleh

Kasijan Romimohtarto1)

1. PENDAHULUAN

Budidaya laut merupakan salah satu usaha perikanan dengan cara pengembangan sumber-dayanya dalam area terbatas baik di alam terbuka maupun tertutup. Tempat untuk budidaya laut, demikian pula untuk air tawar, harus mempunyai fasilitas alami tertentu, terutama persediaan air yang sangat cukup, dengan suhu, salinitas dan kesuburan yang sesuai (BARDACH et al. 1972 ). Dalam hal ini penting diperhatikan pula bahwa pengusaha budidaya menjalankan pengawasan melalui pemilikan, hak sewa menyewa atau cara lain untuk menjalankan pengawasan. Di Laut sistem demikian menimbulkan masalah, karena orang masih mempunyai pandangan bahwa laut adalah milik kita bersama.

Sementara itu masalah penyediaan air bagi budidaya laut tidak sulit dan bahkan tidak ada. Hal ini tentunya berbeda dengan budidaya air tawar dan air payau yang dalam banyak hal harus memperhatikan tersedianya sumber air seperti sungai, danau, atau pasang surut yang mengatur secara alami keluar-masuknya air dari laut. Namun pertama-tama sangat diperlukan adalah kualitas air yang cocok bagi kehidupan normal yang dibudidaya. HICKLING ( 1962 ) menyebutkan misalnya bahwa dalam kolam ikan, air yang bersifat netral atau basa nampak lebih produktif daripada air bersifat asam. Air laut normal selalu bersifat basa dan kondisi demikian diperlukan bagi kehidupan biota laut. Faktor-faktor lain yang mensifati kualitas air laut antaranya adalah salinitas, suhu dan kandungan oksigen.

Dalam era pembangunan Indonesia sekarang ini, idustri berkembang dengan pesat sementara penduduk pun bertambah dengan pesat pula. Perkembangan industri telah membawa kita ke kehidupan yang lebih baik daripada di masa-masa silam. Sementara itu pertambahan penduduk memberikan persediaan tenaga kerja yang melimpah. Namun dibalik itu dampak negatif sudah mulai terasa di beberapa sektor kegiatan, diantaranya adalah budidaya laut. Industri di darat maupun di pantai telah menghasilkan limbah yang tak terkendalikan sehingga menghasilkan pencemaran air yang sebagian terbawa ke laut. Demikian pula pertambahan penduduk telah pula menimbulkan pemukiman-pemukiman yang tak sehat, baik di kota maupun di pantai. Dari kegiatan penduduk yang demikian dihasilkan pula limbah rumah tangga yang ikut mencemari laut melalui sungai-sungai atau langsung.

Dari keadaan di atas maka persyaratan kualitas air untuk budidaya laut ataupun budidaya air tawar yang dimasa silam tidak melibatkan banyak parameter, sekarang harus dimasukkan pula berbagai jenis bahan pencemar sebagai pertimbangan.

Makalah ini disajikan untuk memberikan gambaran tentang kualitas air laut yang diperlukan untuk suatu usaha budidaya laut, agar nantinya tidak timbul masalah yang menghambat usaha budidaya laut dan mempengaruhi mutu hasil yang dikehendaki.

1) Lembaga Oseanologi Nasional - LIPI.

BEBERAPA SIFAT OSEANOGRAFI PERAIRAN SELAT SUNDA

Untuk memberi gambaran singkat tentang kondisi perairan terdekat dimana workshop ini diselenggarakan, berikut disajikan catatan tentang beberapa sifat perairan Selat Sunda sebagai hasil dari beberapa penelitian selama periode 1927 sampai 1982 ( BIROWO, 1983).

Sifat Angin

Sifat cuaca di Selat Sunda, seperti halnya di perairan Indonesia umumnya dipengaruhi oleh angin musim. Pada musim tenggara (April - September) angin berhembus ke arah barat laut dan pada musim barat laut ( November - Maret ) angin berhembus ke arah tenggara mengakibatkan terjadi perubahan-perubahan cuaca yang agak teratur di Selat Sunda.

Arah dan kecepatan angin bulanan singkatnya sebagai berikut :

April dan Mei - angin berhembus kebanyakan dari selatan dengan kecepatan 4 sampai 10 knot.

Juni, Juli dan Agustus - angin umumnya berhembus dari timur dan tenggara dengan kecepatan 4 sampai 10 knot. Pengamatan cuaca di Bakauheni pada Juni dan Juli menunjukkan arah angin dari timur, selatan dan tenggara dengan kecepatan 7 knot.

September, Oktober dan Nopember - angin sering berhembus dari utara dan timur dengan kecepatan 4 sampai 16 knot. Catatan dari Anyer pada 1979 menunjukkan angin bertiup

kebanyakan dari timur dan tenggara pada Oktober dan Nopember dengan kecepatan 3 – 10 knot.

Desember, Januari dan Pebruari - Berturut-turut angin lebih banyak berhembus dari barat-baratdaya, barat dan berat - barat laut dengan kecepatan 10 sampai 20 knot.

Keadaan Ombak.

Keadaan laut di Selat Sunda pada umumnya agak tenang atau sedang. Selama musim barat, antara bulan Oktober dan Maret keadaan laut lebih berombak daripada bulan-bulan yang lain. Dalam periode ini tinggi ombak dapat mencapai 1,5 sampai 2 m. Pada musim timur, antara April dan September ombak biasanya lebih kecil, antara 0,5 – 1 m. Keadaan laut yang paling tenang biasanya terjadi bulan-bulan April, Mei dan Juni dengan tinggi gelombang kurang daripada 0,5 m.

Pasang surut dan arus.

Sifat pasang -surut Selat Sunda adalah campuran, condong ke harian ganda. Dua kali pasang dan dua kali surut terjadi dalam satu hari bulan secara tak teratur. Perbedaan pasang surut biasanya lebih daripada 1 m.

Arus di Selat Sunda kadang-kadang kuat, akan tetapi pertukaran air antara Samudera Hindia dan laut Jawa lemah, ini disebabkan oleh keadaan mulut selat bagian utara yang sempit dan dangkal. Arah aliran massa air di selat merupakan percampuran antara arus pasang - surut dan arus musim. Arahnya pada sebagian besar waktu setahun adalah barat daya, yakni menuju ke Samudera Hindia, tetapi dalam bulan Nopember terjadi arah yang berlawanan yakni barat laut. WYRTKI ( 1961 ) menjelaskan terjadinya arus yang hampir selalu ke barat daya disebabkan oleh adanya gradien permukaan laut ke arah Selat. Hal ini ditunjukkan oleh adanya hubungan yang erat antara aliran mendatar dan perbedaan permukaan laut antara Tanjung Priok di pantai utara Jawa dan Pelabuhan Ratu di pantai selatan Jawa. Kecepatan arus yang pernah diukur di selat bagian utara dalam bulan-bulan Nopember dan Desember, di permukaan dan di dekat dasar menunjukkan kekuatan yang hampir sama. Dilapisan permukaan 0.95 m/detik dan di dekat dasar, 0,83 m/detik. Pengukuran di lokasi lain dari bagian selat ini menunjukkan kecepatan maksimum pada permukaan laut 1,89 m/detik dan pada lapisan dekat dasar 1.78 m/ detik dengan arah yang hampir sama yankni timur laut. Pengaruh arus pasang - surut di selat ini lebih kuat daripada arus angin dan arus musim.

Suhu dan salinitas

Suhu dan lapisan di permukaan laut di Selat Sunda, seperti di perairan Indonesia lainnya tidak banyak bervariasi dari bulan ke bulan. Ia berkisar antara 28,0°C dan 29,5°C.Tinggi rendahnya suhu lapisan permukaan ini berkaitan dengan interaksi antara udara dan air laut. Pada musim barat dan timur, angin kencang menyebabkan penguapan yang melebihi kemampuan penyinaran, berakibat turunnya suhu. Udara basah yang terjadi pada musim barat memperkuat pendinginan. Pada musim peralihan penyinaran melebihi penguapan, berakibat pemanasan air permukaan laut. Sampai kedalaman 100 m, suhu homogen.

Salinitas permukaan di selat bagian utara biasanya lebih rendah daripada di bagian selatan. Salinitas Selat Sunda bervariasi dari 31,5 sampai 33,5 ‰. Rendahnya salinitas permukaan di selat bagian utara disebabkan oleh masuknya massa air dari laut Jawa ke selat hampir sepanjang tahun.

Salinitas dekat dasar di selat bagian selatan juga lebih tinggi daripada di bagian utara. Biasanya di bagian selatan lebih tinggi dari 34 ‰ dan di bagian utara lebih rendah dari 33,0 ‰.

PENGARUH FAKTOR FAKTOR LINGKUNGAN TERHADAP BUDIDAYA LAUT

Budidaya laut adalah budidaya biota laut yang hidup dalam air laut. Ini berarti bahwa air laut merupakan medium dimana biota laut tersebut hidup, tumbuh dan berbiak lebih baik daripada rekan-rekannya yang tidak dibudidayakan.

Cara mengusahakan budidaya laut secara mudahnya dapat dibagi menjadi budidaya ekstensif, yakni pemeliharaan biota laut di suatu perairan yang cukup laus dengan padat peneberan yang rendah. Biota yang dibudidayakan dapat disediakan dari suatu sumber (pembenihan, pengumpulan dari alam) atau dari populasi alami yang masuk ke sistem dalam bentuk burayak atau juwana. Mereka biasanya hidup dari makanan alami. Contohnya adalah budidaya kerang, tiram dan rumput laut. Budidaya intensif dilakukan dengan padat penebaran tinggi dalam suatu lingkungan sempit seperti kurungan atau, kolam pembenihan dengan sistem air mengalir untuk memperoleh volume air sebesar-besarnya guna persediaan zat asam dan pengangkutan kotoran. Binatang yang dibudidaya dapat diberi makanan buatan dalam bentuk pelet. Seluruh sistem harus secara teliti diawasi dan dipantau. Contoh yang sudah mencapai teknologi canggih adalah pembenihan ikan trout dan salmon di Amerika Serikat dan di Eropa. Di Taiwan terdapat juga kategori ini, yakni budidaya bandeng.

Dalam kedua jenis budidaya tersebut air laut merupakan kebutuhan pokok, baik kuantitas maupun kualitas. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kualitas air akan mempengaruhi pula keberhasilan budidaya.

Beberapa faktor penting yang dapat mempengaruhi kualitas air dan kehidupan biota laut yang dibudidaya adalah seperti di bawah ini.

S u h u

Suhu merupakan faktor fisika yang penting dimana-mana di dunia. Kenaikan suhu mempercepat reaksi-reaksi kimiawi; menurut hukum van't Hoff kenaikan suhu 10°C melipat duakan kecepatan reaksi, walaupun hukum ini tidak selalu berlaku. Misalnya saja proses metabolisme akan menaik sampai puncaknya dengan kenaikan suhu tetapi kemudian menurun lagi. Setiap perubahan suhu cenderung untuk mempengaruhi banyak proses kimiawi yang terjadi secara bersamaan pada jaringan tanaman dan binatang, karenanya juga mempengaruhi biota secara keseluruhan.

Hubungan antara suhu dengan waktu inkubasi telur bandeng telah ditunjukkan CHING-MING ( 1984 ) dalam pembenihan bandeng di Taiwan. Gambar 1 menunjukkan bahwa

makin tinggi suhu air penetasan, makin cepat waktu inkubasi. Pada suhu 29°C waktu inkubasi 27 – 32 jam dan pada suhu 31,50 C waktu inkubasi 20,5 – 22 jam.

Di perairan tropis perbedaan/variasi suhu air laut sepanjang tahun tidak besar; suhu permukaan laut Nusantara berkisar antara 27° dan 32°C. Kisaran suhu ini adalah normal untuk kehidupan biota laut di perairan Indonesia. Suhu alami tertinggi di perairan tropis berada dekat ambang atas penyebab kematian biota laut. Oleh karena itu peningkatan suhu yang kecil saja dari alami dapat menimbulkan kematian atau paling tidak gangguan fisiologis biota laut. GESAMP (1984) menyatakan bahwa kisaran suhu di daerah tropis sedemikian rupa sehingga banyak organisme hidup dekat dengan batas suhu tertinggi.

Gambar 1. Hubungan antara suhu air dan waktu inkubasi (LIN) 1984 menurut CHING-MING (1984).

Telaah tentang pengaruh suhu pada biota tropis menunjukkan bahwa suhu sekitar 35° adalah kritis atau mematikan. Tabel 1 menunjukkan berbagai pengaruh kenaikan suhu pada beberapa biota laut tropis. Suhu kritis tertinggi adalah 40,5°C yang menyebabkan kematian mendadak bintang mengular (Ophiuroid) di Florida. Ikan-ikan laut di Teluk Thailand baru mati pada suhu 34–37,5°C.

Tabel 1. Pengaruh suhu terhadap beberapa biota laut tropis

Jenis biota LokasiΔ t °C

DampakSuhu Kritis

Bakau Florida Selatan 5° Fotosintesa bersih bertahan -

Rhizopora mangle

Teluk GuayanilaPuerto Roco

8 – 10°

Gagal memulihkan kembali -

Bakau - - - 37 – 38°

Thalassia Lamun

FloridaTeluk Tampa

-4 – 5°

-Kerusakan ladang

33 – 34°-

Florida

Thalassia Florida 4 – 5° Kerusakan parah sampai penggundulan ladang  

AlgaeTurkey po-nt, florida

- Kematian 34°

Algae California7 – 10°

Pergeseran komposisi komunitas sampai eliminasi

 

Caulerpa racemosa

Guam 2° Respirasi lipat dua 34°

AlgaeLa parguera, Puerto Rico

6° Kematian 35°

AlgaeTeluk Tampa, Florida

3°Berlawanan dengan tingkat suksesi permulaan dengan gang-gang hijau-biru dominan

 

Acartia tonsaTeluk BiscayneSelatan Florida

- - 34 – 37°

Copepoda Florida - Kematian massal 30°

Binatang mengular

Teluk Biscayne, Florida

- Kematian segera37,5 – 40,5°

Echinometra mathaei

Guam - Perkembangan dan fertilisasi terhambat 34–36°

Linkya Guam - Metabolisme terganggu 36°

Acanthaster planci

  - Kematian permulaan 33°

Makrobentos Puerto Rico5 – 10°

Penghapusan -

Komunitas akar bakau

Teluk GuayanillaPuerto Rico

- Jumlah spesies berkurang  

Karang Hindia Barat - - 36°

KarangKahe Point, Hawaii

3 – 4°Kehilangan pigmen zoo zanthella dan mortalitas tinggi

-

Ocyrus chrysurus

  - Kematian 33,5 – 34°

Ikan laut Teluk Thailand - Kematian permulaan 34 – 37,5°

(Sumber dari GESAMP 1984. Referans dihilangkan)

Salinitas

Keanekaragaman salinitas dalam air laut akan mempengaruhi jasad-jasad hidup akuatik melalui pengendalian berat jenis dan keragaman tekanan osmotik.

Jenis-jenis biota perenang ditakdirkan untuk mempunyai hampir semua jaringan-jaringan lunak yang berat jenisnya mendekati berat jenis air laut biasa, sedangkan jenis-jenis, yang hidup di dasar laut (bentos) mempunyai berat jenis yang lebih tinggi daripada air laut di atasnya.

Salinitas menimbulkan tekanan-tekanan osmotik. Pada umumnya kandungan garam dalam sel-sel biota laut cenderung mendekati kandungan garam dalam kebanyakan air laut. Kalau sel-sel itu berada di lingkungan dengan salinitas lain maka suatu mekanisme osmoregulasi diperlukan untuk menjaga keseimbangan kepekatan antara sel dan lingkungannya. Pada kebanyakan binatang estuarin penurunan salinitas permulaan biasanya dibarengi dengan penurunan salinitas dalam sel, suatu mekanisme osmoregulasi baru terjadi setelah ada penurunan salinitas yang nyata.

Cara-cara osmoregulasi meliputi perlindungan luar dari perairan sekitarnya, perlindungan membran sel, mekanisme ekskresi untuk membuang kelebihan air tawar dan sel dari badan. Kemampuan untuk menghadapi fluktuasi yang berasal dari salinitas terdapat pada kelompok-kelompok bintang beraneka ragam dari protozoa sampai ikan.

Biota estuarina biasanya mempunyai toleransi terhadap variasi salinitas yang besar (eury-halin). Contohnya Chanos chanos (bandeng), Mugil(belanak) dan Tilapia (mujair). Salinitas yang tak sesuai dapat menggagalkan pembiakan dan menghambat pertumbuhan. Kerang hijau, kerang darah dan tiram adalah jenis-jenis kerang yang hidup di daerah estuaria. Variasi salinitas alami estuaria di Indonesia berkisar antara 15–32‰. Hasil penelitian kerang hijau memberikan petunjuk bahwa salinitas yang 15‰ dapat menyebabkan kematian kerang tersebut. Keberhasilan benih kerang darah untuk menempel pada kolektor tergantung pada salinitas. Pada salinitas 18‰, keberhasilan menempel lebih tinggi. Tiram dapat hidup dalam perairan dengan salinitas yang lebih rendah daripada salinitas untuk kerang hijau dan kerang darah. Kerapu dan beronang dapat hidup di daerah estuaria maupun daerah terumbu karang. Ikan kakap hidup diperairan pantai dan muara sungai. Rumput laut hidup di daerah terumbu karang. Pada umumnya salinitas alami perairan terumbu karang di Indonesia 31‰.

Kekeruhan (siltasi)

Siltasi tidak hanya membahayakan ikan tetapi juga menyebabkan air tidak produktif karena menghalangi masuknya sinar matahari untuk fotosintesa.

Kadar oksigen terlarut

O2 terlarut diperlukan oleh hampir semua bentuk kehidupan akuatik untuk proses pembakaran dalam tubuh. Beberapa bakteria maupun beberapa binatang dapat hidup tanpa O2 (anaerobik) sama sekali; lainnya dapat hidup dalam keadaan anaerobik hanya sebentar tetapi memerlukan penyediaan O2 yang berlimpah setiap kali. Kebanyakan dapat hidup dalam keadaan kandungan O2 yang rendah sekali tapi tak dapat hidup tanpa O2 sama sekali. Sumber O2 terlarut dari perairan adalah udara di atasnya, proses fotosintese dan glycogen dari binatang itu sendiri. Air yang tak ber - O2 selalu jarang terdapat disamudera. O2 dihasilkan oleh proses fotosintesa dari binatang dan tumbuh-tumbuhan dan diperlukan bagi pernafasan.

Menurunnya kadar O2 terlarut dapat mengurangi efisiensi pengambilan O2 oleh biota laut, sehingga dapat menurunkan kemampuan biota tersebut untuk hidup normal dalam ling-kungannya. Kadar O2 terlarut di perairan Indonesia berkisar antara 4,5 dan 7.0 ppm.

pH (derajat keasaman)

Air laut mempunyai kemampuan menyangga yang sangat besar untuk mencegah perubahan pH. Perubahan pH sedikit saja dari pH alami akan memberikan petunjuk terganggunya sistem penyangga. Hal ini dapat menimbulkan perubahan dan ketidak seimbangan kadar CO2 yang dapat membahayakan kehidupan biota laut. pH air laut permukaan di Indonesia umumnya bervariasi dari lokasi ke lokasi antara 6.0 – 8,5. Perubahan pH dapat mempunyai akibat buruk terhadap kehidupan biota laut, baik secara langsung maupun tidak langsung. Akibat langsung adalah kematian ikan, burayak, telur, dan lain-lainnya, serta mengurangi produktivitas primer. Akibat tidak langsung adalah perubahan toksisitas zat-zat yang ada dalam air, misalnya penurunan pH sebesar 1,5 dari nilai alami dapat memperbesar toksisitas NiCN sampai 1000 kali.

Unsur hara

Sebagian besar unsur-unsur kimiawi yang diperlukan oleh tumbuh-tumbuhan dan binatang terdapat dalam air laut dalam jumlah lebih dari cukup, sehingga kekurangannya tak perlu dipertimbangkan sebagai faktor ekologi. Dalam beberapa hal kepekatan unsur “trace” menjadi penting, tapi ini terjadi sangat jarang sekali dibanding dengan di darat.

Fosfat dan nitrat dalam kepekatan bagaimanapun selalu dalam rasio yang tetap. 15 at. N : 1 at P. Rasio ini cenderung tetap dalam fito dan zooplankton. Hanya dalam keadaan tertentu rasio dalam air berubah.

PO4 : P bisa oerada dalam bentuk senyawa organik maupun anorganik. Keduanya dalam bentuk butiran dan larutan. Dalam jaringan hidup terutama dalam bentuk senyawa organik dan dilepaskan kembali ke air sebagai kotoran maupun bangkai dalam bentuk butiran atau larutan. Umumnya kekurangan fosfat dalam laut mempengaruhi fotosintesa dan pertumbuhan sama besarnya.

NO3 : Samudera mendapatkan dari udara bukan saja N tetapi juga NO3. Seperti halnya PO4, pertumbuhan dan fotosintesa dari tumbuh-tumbuhan laut (fitoplankton dan alga bentik) dibatasi oleh kepekatan NO3 dalam air.

Selain unsur-unsur hara tersebut, diatom mengambil sejumlah besar Si dari laut dan kekurangan kandungan Si dapat menjadi faktor pembatas di perairan tertentu.

Faktor-faktor lingkungan lain yang penting diperhatikan adalah penyinaran matahari, gelombang dan arus.

Penyinaran

Sinar mempunyai arti penting dalam hubungannya dengan beraneka gejala, termasuk penglihatan, fotosintesa, pemanasan dan perusakan aktinik. Mata adalah sensitip terhadap kekuatan sinar yang berbeda-beda. Binatang-binatang mangsa mudah mengetahui pemangsanya pada terang bulan daripada gelap bulan.

Dalam hubungannya dengan fotosintesis, intensitas dan panjang gelombang sinar sangat penting. Alga hijau Enteromorpha kecepatan fotosintesanya tinggi pada sinar merah, sangat kurang pada sinar biru, dan sangat rendah pada sinar hijau. Bentuk-bentuk yang hidup di laut dalam cenderung untuk menggunakan sinar-sinar dengan spaktrum hijau dan biru. Karena sifat sinar yang masuk air, spektrum merah lebih banyak diserap air dalamperjalanan ke bawah air.

Pada kebanyakan tanaman, sinar matahari penuh terlalu kuat dan bahkan mungkin letal. Untuk fotosintesa optimum sinar adalah kurang dari sinar matahari penuh.

Pengaruh panas sinar matahari terhadap lingkungannya hanya penting di mintakat litoral (pasang-surut). Kerena air dalam bagian merah dari spektrum cepat diserap. Tapi masih belum diketahui apakah pengaruh sinar di tempat dangkal ini akibat kenaikan suhu atau pengeringan.

Sinar punya pengaruh buruk juga yakni violet dan ultra ungu di spektrum. Diantara reaksi fotokimia yang menyangkut pengaruh ini adalah pemecahan dengan cepat vitamin-vitamin-tertentu dengan adanya sinar. Sinar ultra violet cepat sekali diserap oleh air sehingga menjadi tidak penting.

Gelombang

Secara ekologis gelombang paling penting di mintakat pasang surut. Di bagian yang agak dalam pengaruhnya mengurang sampai ke dasar, dan di perairan oseanik ia mempengaruhi pertukaran udara dan agak dalam.

Gelombang ditimbulkan oleh angin, pasang-surut dan kadang-kadang oleh gempa bumi dan gunung meletus (dinamakan tsunami). Gelombang mempunyai sifat penghancur. Biota yang hidup di mintakat pasang surut harus mempunyai daya tahan terhadap pukulan gelombang. Gelombang dengan mudah menjebol alga-alga dari substratanya. Ia diduga juga mengubah bentuk karang-karang pembentuk terumbu. Gelombang mencampur gas atmosfir ke dalam permukaan air sehingga memulai proses pertukaran gas.

A r u s

Arus mempunyai pengaruh positip maupun negatip terhadap kehidupan biota perairan. Arus dapat mengakibatkan ausnya jaringan-jaringan jasad hidup yang tumbuh di daerah itu dan partikel-partikel dalam suspensi dapat menghasilkan pengikisan. Di perairan dengan dasar lumpur, arus dapat mengaduk endapan lumpur-lumpuran sehingga mengakibatkan kekeruhan air dan mematikan binatang. Juga kekeruhan yang diakibatkan bisa mengurangi penetrasi sinar matahari, dan karenanya mengurangi aktivitas fotosintesa. Manfaat dari arus bagi banyak biota adalah menyangkut penambahan makanan bagi biota-biota tersebut dan pembuangan kotoran-kotorannya. Untuk algae kekurangan zat-zat kimia dan CO2 dapat dipenuhi. Sedangkan bagi binatang CO2 dan produk-produk sisa dapat disingkirkan dan O2 tetap tersedia. Arus juga memainkan peranan penting bagi penyebaran plankton, baik holoplankton maupun meroplankton. Terutama bagi golongan terakhir yang terdiri dari telur-telur dan burayak-burayak avertebrata dasar dan ikan-ikan. Mereka mempunyai kesempatan menghindari persaingan makanan dengan induk-induknya

terutama yang hidup menempel seperti teritip (Belanus spp) dan kerang hijau (My tilus viridis).Pada kira-kira 1½ dekade yang lalu faktor-faktor lingkungan yang diuraikan di atas cukup untuk diperhatikan dalam menilai kualitas air untuk budidaya laut. Akan tetapi dengan cepatnya pertambahan penduduk dan digalakkannya industrialisasi di negara kita, maka dalam sepuluh tahun terakhir ini telah timbul pencemaran air dan pencemaran laut, karena masuknya limbah industri dan limbah rumah tangga yang tak terkendalikan ke dalam lingkungan akuatik.

Sekarang dalam menilai kualitas air untuk budidaya tidak cukup hanya memperhatikan faktor-faktor yang telah diuraikan. Bahan-bahan pencemar yang dapat menurunkan kualitas air harus diperhatikan. Bahan-bahan pencemar tersebut yang dapat menurunkan kualitas air dan membahayakan kehidupan biota laut diterangkan di bawah ini yang dihimpun dari KLH (1984).

Bakteri

Kehadiran bakteri Escherichia coli ada kaitannya dengan kehadiran bakteri dan virus patogen. Bakteri dan virus patogen dapat terakumulasi dalam jaringan tubuh biota, terutama pada saluran pencernaannya. Berbeda dengan jenis-jenis ikan, jenis-jenis kerang yang dimanfaatkan sebagai bahan makanan adalah seluruh bagian tubuhnya yang lunak, termasuk saluran pencernaannya. Oleh karena itu kemungkinan penularan bakteri dan virus patogen melalui jenis-jenis kerang lebih besar dibandingkan melalui ikan. Dengan demikian jumlah E. coli dalam air untuk budidaya kerang lebih diperhatikan dari pada dalam air untuk budidaya ikan dan rumput laut yang tidak dimakan mentah. Escherichia coli ( E. coli ) yang kadarnya 1000/100 ml dapat memberi petunjuk adanya bakteri patogen.

Senyawa - Senyawa fenol

Limbah senyawa fenol dalam perairan dapat merugikan karena :

1. Menimbulkan keracunan pada ikan dan biota yang menjadi makanannya.2. Menguras oksigen dalam air. Hal ini disebabkan penguraian senyawa-senyawa fenol

oleh mikro - organisme membutuhkan jumlah oksigen yang banyak.

3. Menimbulkan rasa tak sedap pada daging ikan.

Senyawa-senyawa fenol yang terdapat dalam air laut berasal dari limbah rumah tangga, industri dan pertanian. Senyawa-senyawa fenol pada kadar yang tinggi dapat bersifat toksik, tetapi masalah utama yang dapat ditimbulkan adalah rasa dan bau. Air yang mengandung fenol = 0,001 ppm tidak mempunyai rasa dan bau, tetapi fenol pada kadar tersebut sangat sukar untuk dideteksi.

Pestisida

Semua pestisida bersifat racun bagi manusia maupun organisme hidup lainnya. Sebagian pestisida bersifat persisten, misalnya organofosfat dan karbamat. Pestisida yang bersifat

persisten umumnya lebih berbahaya, karena sukar untuk dikeluarkan setelah berada didalam jaringan tubuh. Gejala keracunan organoklorin umumnya sama, hanya berbeda dalam tingkat keparahan. Dalam kasus-kasus ringan, dapat menimbulkan sakit kepala, pusing-pusing, iritasi yang berlebihan (hyperirritability) dan rasa cemas. Dalam kasus-kasus berat, dapat menimbulkan fasikulasi otot yang merambat dari kepala, tangan dan kaki, diikuti dengan kejang-kejang yang akhirnya dapat menimbulkan kematian.

Polychlorinated Biphenyls (PCB)

Polychlorinated Biphenyls terdiri dari senyawa-senyawa bifenil yang mengandung l sampai 10 atom klor, sukar larut dalam air, mudah larut dalam lemak, minyak dan pelarut-pelarut non solar lainnya. PCB sukar mengalami penguraian, baik karena pengaruh panas maupun secara biologis. Ia mempunyai sifat dan struktur kimia yang hampir sama dengan pestisida. PCB dapat menyebabkan kulit terluka dan menaikkan aktivitas enzim-enzim hati yang mempunyai efek sekunder pada proses reproduksi (reproductive processes). Senyawa-senyawa PCB dapat bersifat “lethal” bagi organisme perairan. Organisme laut lebih sensitif terhadap senyawa-senyawa PCB dibanding organisme air tawar. Mereka dapat menaikkan aktivitas enzim-enzim hati yang mengurangi steroid, termasuk hormon kelamin.

Logam berat

Secara alamiah unsur-unsur logam berat terdapat di alam, namun dalam jumlah yang sangat rendah. Dalam air laut kandungan logam berat berkisar antara 10-5 - 10-2 ppm. Pada umumnya logam berat dibutuhkan oleh organisme hidup untuk pertumbuhan dan perkembangan hidupnya, tetapi pada kadar tertentu bersifat racun bagi organisme perairan. Dalam jumlah yang besar, akan bersifat racun. Toksisitas logam berat ini tergantung pada kadar dan bentuk senyawa. Contonya Cr dapat meninggikan kepekaan pada kulit. Tetapi air dengan kadar Cr = 0,05 ppm sangat kecil kemungkinannya untuk dapat menimbulkan penyakit. Disamping itu toksisitas juga dipengaruhi oleh kondisi lingkungan perairan tersebut, seperti pH, salinitas, suhu, DO dan adanya faktor sinergis dan antagonis dari beberapa unsur dan lain-lainnya.

Radio - nuklida

Radionuklida adalah unsur-unsur yang dapat memancarkan sinar-sinar radioaktif. Radionuklida yang memancarkan sinar α dan β sangat berbahaya bagi jaringan tubuh. Radionuklida ini bisa terdapat dalam air dan dapat terakumulasi dalam tubuh manusia, menyebabkan beberapa jenis penyakit, seperti kanker tulang dan leukemia.

Chemical Oxygen Demand ( COD )

Merupakan ukuran akan banyaknya zat-zat organik yang terdapat dalam suatu perairan. Zat-zat organik yang terdapat dalam air laut :

a. berasal dari alam atau buangan domestik, industri dan pertanian.b. ada yang mudah diuraikan dan ada yang sukar diuraikan oleh mikroorganisme

c. umumnya bersifat toksik, sehingga membahayakan kehidupan organisme perairan.

BOD5

BOD5, yakni banyaknya oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme untuk menguraikan zat organik yang terdapat dalam air selama 5 hari, menggambarkan banyaknya zat organik mudah terurai oleh kegiatan biokimia dalam suatu perairan. Air dengan nilai BOD yang tinggi kurang baik untuk budidaya.

Senyawa organik

NH3-.    Toksisitas NH3 dalam air laut lebih tinggi dibandingkan dalam air tawar. Hal ini

disebabkan air laut bersifat basa. Kandungan oksigen dan karbon dioksida dalam air laut dapat mengurangi toksisitas amoniak (NH3).

H2S-     Gas H2S yang terdapat dalam air laut berasal dari limbah perkotaan dan industri. Disamping itu juga berasal dari hasil proses penguraian zat-zat organik oleh mikroorganisme. Toksisitas H2S tergantung pada pH air laut. Semakin rendah pH air laut semakin tinggi toksisitas H2S. Pada kadar 0.05 ppm sudah bersifat fatal bagi organisme-organisme yang sensitif seperti ikan “trout” (ikan forel).

CN-     Radikan sianida banyak terdapat dalam limbah industri. Toksisitas sianida sangat dipengaruhi oleh oksigen terlarut, pH dan temperatur perairan. Dalam bentuk bebas (HCN dan CN ) sangat beracun. Pada kadar 0,01 ppm sudah bersifat fatal bagi beberapa jenis ikan yang sensitif.

W a r n a

Air laut berwarna karena proses alami, baik yang berasal dari proses biologis maupun non-biologis. Produk dari proses biologis dapat berupa humus, gambut dan lain-lain, sedangkan produk dari proses non-biologis dapat berupa senyawa-senyawa kimia yang mengandung unsur Fe, Ni, Co, Mn, dan lain-lain. Selain itu perubahan warna air laut dapat pula disebabkan oleh kegiatan manusia yang menghasilkan limbah berwarna. Air laut dengan tingkat warna tertentu/dapat mengurangi proses fotosintesa serta dapat menganggu kehidupan biota akuatik terutama fitoplankton dan beberapa jenis bentos.

Minyak bumi

Minyak bumi lebih ringan daripada air laut dan di permukaan laut minyak ini menyebar. Kecepatan penyebaran tergantung pada volume dan viskositas. Ketebalan lapisan minyak bumi yang tertumpah di laut dapat berkisar antara 3 – 300 m. Sebanyak 10.000 ton minyak dapat menyebar dengan radius antara 55 mm sampai 5 ½ km (WISAKSONO 1978).

Oksigen dari udara dapat terhalang masuk ke laut karena lapisan minyak. Namun minyak setebal 1 mm tidak akan mengurangi melarutnya O2ke dalam air laut.

Minyak bumi dapat tenggelam di dasar laut oleh penguapan di permukaan air sehingga tertinggal fraksi-fraksi yang lebih berat dari air laut. Selain itu suhu, salinitas, pH, angin, reaksi dengan zat-zat lain dapat pula merubah berat jenis.

Tumpahan minyak di laut dapat mempengaruhi biota laut atau pantai langsung maupun tidak langsung. Kecelakaan tanker “Torry Canyon” di British Channel pada tahun 1967 telah menyebarkan minyak ke pantai Cornwall, Inggris, dan membunuh banyak burung-burung penyelam. Minyak tersebut telah menyebabkan ikan-ikan tak termakan karena bau minyak. Baru 6 minggu sesudahnya bau itu hilang. Jika kontaminasi minyak tidak terlalu lama maka pengaruh letal menjadi kurang penting.

Dalam minyak bumi terdapat berbagai jenis logam seperti Vanadium Nikel, Tembaga, besi, Seng, Titan dan lain-lainnya yang kadarnya bervariasi sampai ratusan ppm. Dalam kadar tinggi dapat beracun.

PERSYARATAN KUALITAS AIR UNTUK BUDIDAYA LAUT

Dampak negatif dari faktor-faktor lingkungan, khususnya yang diakibatkan oleh zat-zat pencemar, terhadap kehidupan biota laut, terutama yang dibudidayakan, memaksa kita untuk menentukan persyaratan persyaratan kualitas air yang nampaknya cukup rumit dan kadang-kadang sulit untuk dipenuhi.

DITJEN PERIKANAN (1982) telah menerbitkan petunjuk teknis budidaya laut untuk berbagai jenis biota. Tercantum didalamnya persyaratan kualitas air yang terdiri dari 6 parameter (Tabel 2).

Tabel 2. Persyaratan Kualitas Air untuk Budidaya Laut (Sumber Direktorat Jendral Perikanan 1982)

ParameterKerang hijau Kerang darah/bulu Tiram Rumput laut

Dept. Pertanian GSA Dept. Pertanian Dept. Pertanian Dept. Pertanian

1. DO (mg/1) 3 – 8 - 2 – 8 2 – 8 3 – 8

2. pH 6,5 – 9 - 6,5 – 9 6,5 – 9 6,5 – 8

3. Salinitas (5‰) 26 – 35 30 – 31 18 – 30 15 – 35 32

4. Suhu (°C) 15 – 32 20 – 29 15 – 31 15 – 32 27 – 30

5. Nitrat (mg/1) 2,5 – 3 - 1,5 – 3 1,5 – 3 -

6. Phosphat (mg/1) 0,5 – 1 - 0,5 – 1 0,5 – 1 -

ParameterIkan Beronang Ikan Kerapu Ikan Kakap

Dept. Pertanian Dept. Pertanian Dept. Pertanian

1. DO (mg/1) 4 – 8 4 – 8 4 – 8

2. pH 6,5 – 8 6,5 – 8 6,5 – 8

3. Salinitas (‰) 25 – 31 25 – 30 15 – 30

4. Suhu (°C) 25 – 32 25 – 32 25 – 32

5. Nitrat (mg/1) 1,0 – 3,2 0,9 – 3,2 0,9 – 3,2

6. Phosphat (mg/1) 0,2 – 0,5 0,2 – 0,5 0,2 – 0,5

Dengan adanya pencemaran laut dalam dasawarsa terakhir ini, maka persyaratan-persyaratan tersebut sangat tidak cukup.

Dalam tahun 1984 telah tersusun bahan untuk Rencana Peraturan Pemerintah tentang baku mutu air laut yang diantaranya diperuntukkan bagi budidaya laut, meliputi 18 paremter (Table 3). Bahan-bahan tersebut diharapkan akan menjadi bahan Peraturan Pemeritah yang dapat digunakan untuk melindungi perairan yang telah digunakan untuk budidaya dan sekaligus untuk dipakai sebagai pedoman untuk memilih suatu perairan untuk budidaya laut.

Tabel 3. Baku Mutu Air Laut untuk Budidaya biota laut

Parameter Satuan Nilai

Fisika    

1. Suhu °C ±2° variasi alami

2. Warna CU ≤50

3. B a u - alami

4. Kecerahan/secchi m alami

5. Kekeruhan JTU ≤30

6. Sampah terapung - -

7. Minyak mineral - tidak ada lapisan minyak

Kimia    

1. pH - 6,5–8,5

2. Salinitas   18–32/±10 variasi alami

3. Daya hantar listrik umho/cm ±10 variasi alami

4. BOD5 mg/1 ≤6,0

5. COD mg/1 ≤11

6. Nilai Permanganat mg/1 ≤9,0

7. N - NH3 mg/1 ≤0,30

8. p PO3 mg/1 Luwes

9. N - NO3 mg/1 Luwes

10. H2S mg/1 ≤0,01

11. Sianida mg/1 ≤0,01

12. Senyawa mg/1 ≤0,02

13. Hidrokarbon minyak mineral total ≤2

14. Oksigen terlarut mg/1 ≤5

15. Pestisida mg/1  

Aldrin   ≤0,01

Klordan   ≤0,01

Parameter    

DDT   ≤0,02

Dieldrin   ≤0,05

Endrin   ≤0,002

Heptaklor   ≤0,01

Metoksiklor   ≤0,005

Roksafen   ≤0,02

Lindan   ≤0,02

Organofosfat   ≤0,100

Karbamat   ≤0,100

16. PCB mg/1 seangin

17. Detergen     

MBAS mg/1  

18. Logam/semi    

Logam mg/1  

     

Hg   ≤0,003

Pb   ≤0,01

AS   ≤0,01

Cd   ≤0,01

Cr   ≤0,01

Se   - - -

Zn   - - -

Ag   - - -

Ni   ≤0,002

Radio-nuklida pCi/1  

    ≤1

    ≤1000

Sr - 90   ≤1

Ra - 226   ≤3

Biologi    

MPN E. coli cel/100 ml  ≤1000

patogen   nihil

KESIMPULAN DAN SARAN

Usaha budidaya laut selalu dilakukan di perairan dekat darat, baik di pulau maupun di pantai, agar mudah dilakukan pengawasan. Tersedianya perairan yang bersih dan subur banyak ditentukan oleh ada tidaknya kegiatan-kegiatan manusia di sektor lain di laut maupun di darat. Kegiatan-kegiatan pelayaran, rekreasi dan pertambangan di perairan pantai dapat menurunkan kualitas air laut sehingga tidak layak untuk budidaya. Demikian pula kegiatan-kegiatan industri pertanian dan pemukiman di darat yang menghasilkan limbah yang dapat terangkut oleh sungai-sungai besar maupun kecil ke laut mengancam

kebersihan dan kesuburan dan kesuburan perairan pantai sehingga tidak layak untuk budidaya.

Di perairan pantai yang masih jauh dari kegiatan manusia di darat maupun di laut kondisi perairan masih relatif bersih. Namun dengan pesatnya pembangunan di Indonesia keadaan semacam itu sering tidak bertahan lama. Perairan yang telah diperuntukkan bagi budidaya yang semula bersih dan subur terpaksa harus mengalami tekanan pada lingkungan, baik yang berasal dari kegiatan-kegiatan manusia di sebelah menyebelah perairan maupun di darat.

Untuk menjaga kelestarian usaha budidaya laut, karenanya menjaga pula kelestarian kualitas dan kesuburan air yang diperlukan, maka sedini mungkin perlu diambil langkah-langkah pencegahan sebagai berikut :

1. Dalam hal perairan pantai masih jauh dari kegiatan-kegiatan manusia maka Pemerintah Daerah perlu menentukan wilayan-wilayah perairan mana yang diperuntukkan budidaya laut dan mana yang untuk sektor lain, sedemikian rupa sehingga tak terjadi tumpang tindih yang merugikan dan tidak mengancam perairan peruntukan ini.

2. Jika di sekitar perairan budidaya laut telah ada kegiatan-kegiatan baik di laut maupun di darat, yang menghasilkan limbah, maka untuk menjaga kualitas air laut, perlu diterapkan peraturan-peraturan tentang kualitas air dan tentang pencegahan pencemaran laut.

3. Untuk meyakinkan para pembudidaya laut tentang layaknya kualitas air laut yang dijaga, maka perlu diadakan pemantauan kondisi perairan untuk budidaya laut.

REFERENS

1. BIROWO, S. 1983 - Hydro-oceanographic condition of the Sunda Strait : A reviev Kertas Kerja untuk Symposium 100 th Krakatau 1883 – 1983, Jakarta, 23 – 27 Agustus 1983 : 8 hal.

2. BARDACH, J.E. ; J.H. RYTHER and W.O. Mc LARNEY 1972 - Aquaculture. The farming and Khusbandry of veshwater and marine organisms. John Wiley & Sons. Inc; New York : 868 pp.

3. DIREKTORAT JENDRAL PERIKANAN 1982 - Petunjuk teknis budidaya laut DIT- JEN PERIKANAN, Jakarta : 24 hal.

4. ENVIRONMENTAL PROTECTION AGENSY 1973 - Water Quality Criteria ; a report of the Committee on Water Quality Criteria. EPA, Washington D.C.

5. KANTOR MENTERI NEGARA KEPENDUDUKAN DAN LINGKUNGAN HIDUP 1984. Bahan penyusunan RPP baku mutu air laut untuk mandi dan renang, biota laut, dan budidaya biota laut; Lokakarya Buku Mutu Lingkungan Laut, Bogor, 23 – 25 Februari 1984.

6. WISAKSONO, W. 1978 - Kegiatan-Kegiatan industri minyak bumi di lepas pantai dan laut dalam hubungannya dengan soal-soal biologi. Kertas kerja pada Seminar Biologi II, Ciawi, 18–20 Februari 1970:20 pp.

7. WYRTKI,K 1961 - Physical Oceanography of the Southeast Asian Waters. Naga Report Vol. 2. The Univ. California, Scrips. Inst. of Oceanography.

WBL/85/WP - 35UJI COBA BUDIDAYA IKAN DI LAUT

DI PILOT FARM

Oleh

Dadang Gunarso, A.Zainollah, I.G. Ngurah Rai Sedana, Setyabudi 1), Budiono M dan Nugroho Aji2)

1. PENDAHULUAN

Budidaya ikan di laut sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan dimana kegiatan tersebut dikembangkan, disamping itu juga tergantung kepada tingkat tehnologi budidaya yang dikuasai. Wilayah perairan Indonesia sangat luas dan memiliki kondisi lingkungan perairan yang beraneka ragam sehingga memerlukan pendekatan yang berbeda-beda dalam pengembangannya. Berdasarkan pada pemikiran ini maka telah dipilih beberapa lokasi uji coba budidaya ikan. Jenis ikan yang diuji coba tergantung pada benih ikan yang mudah diperoleh dan mempunyai nilai ekonomi tinggi.

Sampal dengan tahun 1985 telah dipilih lokasi uji coba budidaya ikan di daerah Riau (Selat Dompak), Jawa Timur (Grajagan), Bali (Pejarakan), Sulawesi Utara (Teluk Talengen, Sangihe) dan Ambon (Maluku). Sampai dengan saat ini baru 4 lokasi yang telah melaksanakan kegiatan uji coba, sedangkan di Ambon baru sampai pada taraf persiapan penyediaan sarana uji coba.

Uji coba budidaya ikan di Grajagan, Jawa Timur dan Pejarakan, Bali dimulai pada tahun 1984/1985 melalui APBN Bagian Proyek Penerapan Tehnik Budidaya Laut, Proyek Pengembangan Tehnik Budidaya Laut, Lampung. Sedang uji coba di Talengen/Sulawesi Utara dan Dompak/Riau merupakan kegiatan lanjutan dari Proyek Pembinaan Sumber Hayati Perikananan Pusat tahun anggaran 1984/1985 yang bekerja sama dengan INFIDEP dan pada tahun anggaran berikutnya dibiayai dari Proyek Pengembangan Tehnik Budidaya Laut, Lampung. Kegiatan uji coba di Teluk Ambon/Maluku merupakan kegiatan baru yang dibiayai dari Proyek Pengembangan Tehnik Budidaya Laut, Lampung tahun anggaran 1985/1986.

1) Pilot farm : Riau, Jawa Timur, Bali dan Sulawesi Utara.

2) Balai Budidaya Laut, Lampung.

2. BAHAN DAN METODA

2.1 Sarana pemeliharaan

Uji coba budidaya ikan di laut secara umum dilakukan dalam kurungan apung yang dibuat dari bahan jaring polyethylene dengan ukuran mata bervariasi dari 0,75 inci - 1,5 inci. Kurungan apung digantung pada rakit yang dibuat dari bambu atau kayu dan sebagai pelampung dipakai drum plastik, drum olie dengan volume sekitar 200 liter. Untuk mengusahakan drum oil lebih tahan lama, maka perlu dicat anti karat atau diberi lapisan fibre glass. Satu unit rakit pada umumnya dapat menampung 2 – 4 buah kurungan apung. Untuk menahan agar rakit tetap pada posisinya dipergunakan jangkar dari besi, balok semen atau kayu.

Ukuran kurungan apung dan rakit yang dipergunakan dimasing-masing lokasi uji coba berbeda-beda, begitu pula halnya dengan bahan rakit dan pelampung tergantung pada bahan yang mudah didapat dengan harga yang relatif murah. Tabel 1, menunjukkan spesifikasi sarana uji coba yang dipergunakan dimasing-masing lokasi.

Tabel 1. Sarana uji coba budidaya ikan di pilot farm

Sarana Lokasi Dompak/RiauGrajagan/Ja. Tim

Pejarakan/BaliTalengan/Sul. Ut.

Ambon/Maluku

Kurungan apung

- ukuran (panjang × lebar × dalam)

4m × 3m × 2,5m3,5m × 3,5m × 2m

2m × 2m × 2m 4m × 3m × 3m

masih dalam taraf persiapan

- bahan PE PE 280 D/12 PE PE

- ukuran mata 1 – 1,5 inci 1 inci 1,5 inci 0,75 inci

- pemberatpipa besi φ 1,25 inci

blok semen semen 1 kgpipa besi φ 1,5 cm

Rakit

- bahan kerangkabalok kayu groti/kayu kapur

bambu betung balok kayu balok kayu  

- jumlah kurungan apung per unit

4 kurungan 2 kurungan 4 kurungan 4 kurungan  

- jonis pelampung

drum oli berlapiskan fibre glass vol 200 liter

drum 200 liter jeriken plastik

jeriken plastik isi 25 liter

drum 200 liter  

- jumlah pelampung/rakit

24 buah 8 buah 16 buah 8 buah  

- jangkar besi 20 kgbesi 25 kg + karung pasir

semen 20 kg besi 25 kg  

- kedalaman air pada saat surut terendah

7m 3 – 7m 8 – 10m 6m  

Beberapa cara dipergunakan untuk mengusahakan agar kurungan apung terbuka secara maksimal didalam air. Di Grajagan, Jawa Timur dipakai pemberat dari batu yang diikatkan pada setiap sudut kurungan apung bagian bawah. Pada setiap sudut tersebut diikatkan seutas tali yang dihubungkan ke atas untuk mengangkat kurungan apung pada waktu sampling atau penggantian jaring. Di Selat Dompak, Riau dipakai pipa besi yang ditenggelamkan didalam kurungan apung. Pipa besi ini panjangnya sama dengan kurungan apung dan dipasang tegak lurus kebawah pada setiap sudut. Masing-masing sudut kurungan apung bagian bawah diikatkan pada ujung pipa besi yang dilakukan dengan menyelam.

2.2 Jenis ikan uji coba.

Jenis ikan yang diuji coba untuk dibudidayakan tergantung pada jenis benih yang diperoleh di setiap lokasi dan memiliki harga pasaran yang relatif tinggi. Jenis ikan di masing-masing lokasi tercantum dalam Tabel 2.

Tabel 2. Jenis ikan uji coba budidaya di masing-masing lokasi

Jenis ikan Dompak/Riau Grajagan Ja. Tim Pejarakan Bali Talengen Sul. Ut. Ambon/Maluku

Lokasi

Lates sp - X - - X

Epinephelus spp X X X X X

Plectropomus sp X X - - -

Caranx spp - X - X -

Lutjanus spp - X X - -

Siganus spp - - - X X

Panulirus sp - X - - -

2.3 Pengelolaan

Benih ikan uji coba diperoleh dari alam yang ditangkap sendiri maupun dipesan dari nelayan setempat. Benih kerapu ditangkap dengan alat bubu atau pancing, sedangkan benih beronang ditangkap dengan alat pukat pantai (beach seine) atau sudu. Benih kakap pada umumnya diperoleh dari tambak yang ditangkap dengan jala.Padat penebaran yang dipakai dalam uji coba budidaya sebagai berikut :

- ikan beronang : 25 – 50 ekor/m3 (berat rata-rata 50 g/ekor)

- ikan kakap : 10 ekor/m3 (berat rata-rata 100 g/ekor)

- ikan kerapu : 10 ekor/m3 (berat rata-rata 150 g/ekor).

Pakan yang diberikan untuk kakap dan kerapu berupa ikan rucah yang dicacah sebanyak 5 – 10 % berat total stock per hari, untuk beronang diberikan pakan dalam bentuk pellet sebanyak 10 % berat total stock per hari. Pemberian pakan dilakukan 2 x sehari dengan cara ditebar merata. Pemberian pakan dihentikan apabila ikan sudah tidak mau makan, hal ini untuk menghindari adanya pakan tersisa.

Pemeliharaan dilakukan sampai ikan mencapai ukuran 600 – 800 g/ekor untuk kakap dan kerapu sedangkan 200 – 300 g/ekor untuk beronang. Pemantauan pertumbuhan ikan dilakukan setiap 2 minggu atau 1 bulan sekali tergantung pada kondisi tempat uji coba. Pembersihan jaring dari kotoran-kotoran yang menempel dilakukan 1 bulan sekali atau lebih tergantung pada kondisi pengotoran.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Secara umum pemilihan lokasi uji coba di lima propinsi tersebut memenuhi persyaratan teknis yaitu terlindung dari pengaruh ombak yang besar, kedalaman air yang memadai dan pergerakan air yang cukup. Tabel 3 memperlihatkan data parameter kualitas air di tiap-tiap lokasi uji coba.

Tabel 3. Parameter air secara umum di lokasi uji coba

Parameter Dompak Grajagan Pejarakan Talengan Ambon

Salinitas(ppt) 30– 34 15 – 39 30 – 35 tidak diperboleh data dalam tahap persiapan

Suhu(°C) 30 25 – 30 29 – 30    

pH 6,0 – 7,8 6,5 – 7,5 7 – 8    

Oksigen (ppm) 7,5 - - - -    

Kecepatan arus (cm/det) 15 sedang 8,3 – 16,6    

Kecerahan (m) 3 0,5 – 4 m 3    

Keterangan : - - tidak ada data

Pada umumnya padat penebaran dalam uji coba ini masih dibawah padat penebaran yang direncanakan, juga ukuran benih yang diperoleh dari alam sangat bervariasi sehingga stock uji coba tidak seragam. Uji coba di Grajagan, Jawa Timur sudah mampu menebar ikan

kerapu dengan kepadatan 250 ekor per kurungan apung atau 10,2 ekor/m3 dengan ukuran benih berkisar antara 50 – 150 g/ekor. Jenis ikan kerapu yang dipelihara masih bermacam-macam antara lain Epinephelus tauvina, E. malabaricus, Plectropomus leopardus. Benih ditangkap dengan pancing, jala, bubu atau gill net dan dibeli dari nelayan seharga Rp. 200 – Rp. 300,-/ ekor. Benih ikan yang tertangkap dengan pancing atau gill net banyak mengalami kematian dalam penampungan (± 75%).

Pengadaan bibit ikan kerapu di Jawa Timur memakan waktu relatif lama. Untuk mengumpulkan benih sebanyak 2.000 ekor diperlukan waktu sekitar 3 bulan. Hal ini dapat dipahami, karena usaha penangkapan ikan kerapu merupakan suatu hal yang baru di daerah tersebut dan konsumennya masih sangat terbatas.

Dengan pakan sebanyak 5 – 10 % berat total stock yang diberikan sekali setiap hari dalam jangka waktu pemeliharaan 6 – 9 bulan, diperoleh laju pertumbuhan di lokasi uji coba Grajagan sebagai berikut :

- ikan kerapu/kakap

: 70 – 100 gr/ekor/bulan

- ikan putihan : 60 – 100 gr/ekor/bulan

- ikan bambangan : 90 – 100 gr/ekor/bulan

Uji coba budidaya di Pejarakan, Bali dilaksanakan dengan padat penebaran 970 ekor untuk 1 unit rakit ukuran 4 m x 4 m x 3 m yang terdiri dari 4 kurungan apung (20 ekor/m3). Bibit kerapu yang dipakai terdiri dari berbagai jenis dengan ukuran antara 100 – 150 gr/ekor.

Dalam waktu pemeliharaan waktu 2 bulan pertama terjadi tingkat kematian yang tinggi sekitar 70 %, kemungkinan besar disebabkan oleh penangkapan benih yang dilakukan dengan menggunakan racun potas. Memang sulit untuk mengetahui bahwa para nelayan menggunakan bahan racun, tetapi terdapat tanda-tanda kematian ikan yang menunjukkan bahwa penangkapan benih kerapu dilakukan dengan bahan racun.

Uji coba budidaya ikan di Riau dan Sulawesi Utara baru dalam tahap persiapan pengadaan benih yang diusahakan dari hasil tangkapan nelayan. Sedangkan sarana uji coba berupa rakit dan kurungan apung telah tersedia dari proyek INFIDEP/Pembinaan Sumber Hayati Perikanan Pusat, Jakarta.

Gangguan hama atau penyakit maupun pencemaran air sampai saat ini belum pernah terjadi. Khususnya di Grajagan, Jawa Timur, gangguan yang dihadapi adalah sampah dan kotoran-kotoran lain yang hanyut dari daratan membentur rakit pada waktu musim hujan, yaitu pada bulan-bulan Desember - Januari.

4. KESIMPULAN DAN SARAN

Pengembangan budidaya ikan masih menghadapi berbagai permasalahan, antara lain benih, pakan dan pemasaran. Benih ikan terutama jenis-jenis kerapu dan kakap masih belum dapat diperoleh dalam jumlah yang cukup. Hingga kini suplai benih masih tergantung dari hasil penangkapan di alam, sedang potensi, musim, daerah penyebaran dan alat tangkap yang efektif belum banyak diketahui. Perlu diadakan survai dan penelitian tentang berbagai faktor tersebut, guna membantu memecahkan penyediaan benih alami.

Disamping itu perlu diupayakan kemungkinan untuk mengusahakan pembenihan buatan, yang menjamin kontinuitas suplai benih yang memenuhi persyaratan kualitas dan kuantitas pada waktu diperlukan.

Pakan yang dipakai dalam budidaya kakap dan kerapu berupa ikan rucah yang komposisi jenisnya berubah-ubah menurut musim, sehingga konversi yang diperoleh tidak selalu sama. Juga harga yang cukup tinggi dan ketidakpastian suplai di tempat-tempat tertentu sehingga tidak menjamin penyediaan pakan yang cukup secara kontinyu. Perlu diupayakan penggunaan jenis pakan yang lain atau pakan buatan.

Hingga kini pada umumnya belum berkembang pemasaran ikan konsumsi dalam keadaan hidup. Jenis-jenis ikan tertentu seperti kerapu dan kakap dapat mencapai harga yang jauh lebih tinggi bila disampaikan dalam keadaan hidup ; hal ini akan mempengaruhi perhitungan untung rugi suatu pengusahaan budidaya dengan harga pakan yang dipergunakan.