budaya bisnis china pada era globalisasi

18
BUDAYA BISNIS RRC PADA ERA GLOBALISASI ditulis oleh: Denis L. Toruan I. PENDAHULUAN Dimulai pada awal era 1980-an RRC mengalami tidak kurang daripada keajaiban ekonomi. Saat ini RRC merupakan negara dengan pertumbuhan ekonomi terbesar di dunia; Dengan GDP sebesar US$ 8,158 trilyun pada 2005, GDP sebesar kurang lebih US$ 1.703 perkapita pada 2005, dan pertumbuhan ekonomi 9,2% setiap tahunnya. 1 Aspek terpenting dari fenomena ini adalah sebuah sistem terbarunya yang sangat unik. Sistem itu bukan jiplakan dari sistem ekonomi yang pernah ada, melainkan sesuai dengan citarasa Cina yang khas (Prof. Michael Hough, 1995). Sistem ekonomi baru itu akan menjamin pertumbuhan dan kemakmuran Cina sampai abad ke-21. Dengan penduduk yang sekarang sudah mencapai sekitar 1,3 milyar (satu perlima total penduduk dunia), pasar terbesar dunia, RRC selalu akan menyediakan peluang bisnis yang menggiurkan dan menguntungkan bagi pengusaha manapun juga. Pencapaian RRC moderen tidak lepas dari usaha Partai Komunis Cina (PKC) yang mereformasi negaranya secara besar-besaran dan menciptakan sistemnya yang unik: you Zhongguo tese de shehuizhuyi 有中国特色的社会主 , atau Sosialisme yang bercirikan Cina. Pada bidang ekonomi, pidato Deng Xiaoping yang dikenal sebagai “ucapan nanxun2 dikristalisasikan dalam 1 http://en.wikipedia.org/wiki/emerging superpowers-People’s Republic of China 2 “ucapan nanxun” adalah bentuk gagasan/pemikiran dari Deng Xiaoping yang mengacu kepada solusi atas rendahnya pertumbuhan ekonomi Cina pada akhir tahun 1980-an hingga awal 1990- an. Pidato ini diucapkannya ketika mengadakan perjalanan ke selatan bersama rombongan kecil Politbiro. Saat itu, Deng Xiaoping sudah mengundurkan diri dari kepemimpinan pemerintahan RRC.

Upload: denis-toruan

Post on 06-Jun-2015

6.276 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

Berbisnis di RRC tidak semudah yang Anda bayangkan.Karakteristiknya berbeda dengan di tempat lain,sangat kontras dengan budaya bisnis Barat.Simak penjelasannya di sini.

TRANSCRIPT

Page 1: Budaya Bisnis China pada Era Globalisasi

BUDAYA BISNIS RRC PADA ERA GLOBALISASI

ditulis oleh: Denis L. Toruan

I. PENDAHULUAN

Dimulai pada awal era 1980-an RRC mengalami tidak kurang daripada

keajaiban ekonomi. Saat ini RRC merupakan negara dengan pertumbuhan

ekonomi terbesar di dunia; Dengan GDP sebesar US$ 8,158 trilyun pada 2005,

GDP sebesar kurang lebih US$ 1.703 perkapita pada 2005, dan pertumbuhan

ekonomi 9,2% setiap tahunnya.1 Aspek terpenting dari fenomena ini adalah

sebuah sistem terbarunya yang sangat unik. Sistem itu bukan jiplakan dari

sistem ekonomi yang pernah ada, melainkan sesuai dengan citarasa Cina yang

khas (Prof. Michael Hough, 1995). Sistem ekonomi baru itu akan menjamin

pertumbuhan dan kemakmuran Cina sampai abad ke-21. Dengan penduduk

yang sekarang sudah mencapai sekitar 1,3 milyar (satu perlima total penduduk

dunia), pasar terbesar dunia, RRC selalu akan menyediakan peluang bisnis yang

menggiurkan dan menguntungkan bagi pengusaha manapun juga.

Pencapaian RRC moderen tidak lepas dari usaha Partai Komunis Cina

(PKC) yang mereformasi negaranya secara besar-besaran dan menciptakan

sistemnya yang unik: you Zhongguo tese de shehuizhuyi 有中国特色的社会主

义, atau Sosialisme yang bercirikan Cina. Pada bidang ekonomi, pidato Deng

Xiaoping yang dikenal sebagai “ucapan nanxun”2 dikristalisasikan dalam

1 http://en.wikipedia.org/wiki/emerging superpowers-People’s Republic of China 2 “ucapan nanxun” adalah bentuk gagasan/pemikiran dari Deng Xiaoping yang mengacu kepada solusi atas rendahnya pertumbuhan ekonomi Cina pada akhir tahun 1980-an hingga awal 1990-an. Pidato ini diucapkannya ketika mengadakan perjalanan ke selatan bersama rombongan kecil Politbiro. Saat itu, Deng Xiaoping sudah mengundurkan diri dari kepemimpinan pemerintahan RRC.

Page 2: Budaya Bisnis China pada Era Globalisasi

Konggres Nasional PKC ke-14 (September 1992), yang kemudian melahirkan

rumusan shehuizhuyi shichang jingji 社会主 市场义 经济 (ekonomi pasar sosialis).

Sejak saat itu, kebijakan yang dituangkan dalam garis besar haluan negara ini,

mendasari pertumbuhan ekonomi RRC hingga saat ini.

Serba perubahan pada awal “era globalisasi” menuntut peninjauan ulang

atas tanggapan lama mengenai budaya bisnis suatu negara, tidak terkecuali

budaya bisnis Cina. Analisis para peneliti diharuskan untuk dapat menyajikan

dengan hidup dan tepat gambaran mengenai bisnis/perekonomian RRC pada

jaman moderen. “Informasi, yang mirip teknologi, cepat usang dan tidak relevan

lagi.” Pentingnya mempelajari cara belajar ini mengingatkan kita pada hakekat

pendidikan di era globalisasi, yang mencerminkan pendekatan yang sangat

praktis terhadap studi tentang Cina kontemporer.

Berangkat dari hal-hal tersebut ketertarikan penulis terhadap budaya RRC

moderen, memberikan banyak pertanyaan menantang yang menarik untuk

dibahas. Sebutlah kasus-kasus seperti konsistensi ideologi negara, perubahan

nilai-nilai kebudayaan, jaringan bisnis Cina, problem diaspora, dan lain-lain.

Namun, hal menarik yang dapat ditemukan ketika berbagai pertanyaan tersebut

akan dituangkan ke dalam suatu analisis mendalam, semuanya berangkat dari

satu hulu yang sama: Apa yang sedang terjadi pada Cina sekarang? Lebih jauh

lagi, pertanyaan tersebut kemudian membawa kita pada suatu usaha pencarian

pemahaman baru akan Cina yang ‘bertransformasi’, atau sama seperti pada

pameo yang belakangan sering kita dengar : “Sang Naga telah bangkit dari

tidurnya.”

Ditinjau dari angle kebudayaan, aspek terpenting dari fenomena yang

terjadi di Cina moderen dapat disajikan dalam suatu titik fokus tertentu, yang

diharapkan dapat memberikan pemahaman atas pertanyaan-pertanyaan dasar

seperti mengapa, kapan, bagaimana, apa, dan siapa; Bidang perekonomian

sebagai ujung tombak pembangunan negara melahirkan banyak elemen

kebudayaan baik itu simbol-simbol, cara interaksi, distribusi konsep, jaringan

bisnis, norma-etika bisnis, dan lain-lain. Ini semua yang kemudian dapat

Page 3: Budaya Bisnis China pada Era Globalisasi

mengantarkan kita pada pemahaman terhadap keberhasilan bisnis Cina di era

globalisasi. Di satu sisi, pernyataan “Budaya Bisnis Cina Moderen” yang berhasil

mendongkrak kebangkitan RRC di mata dunia, mengandung makna yang sangat

luas bagi para peneliti, sebagian menilainya kontradiktif, sebagian lagi

menganggapnya sebagai suatu kewajaran. Dikatakan kontradiktif karena, Cina

sebagai salah satu kekuatan utama komunis dunia sejak 1949 jelas-jelas

mengharamkan konsep kapitalisme & individualisme dalam menjalankan

negaranya. Pada kenyataannya, saat ini ladang bisnis RRC yang potensial

benar-benar digarap pemerintahnya dan dibuka seluas-luasnya untuk pihak

asing (tetapi masih dengan kontrol yang ketat oleh PKC). Apalagi jika kita

menengok kembali pada nilai-nilai lama seperti Konfusianisme yang sangat

mempengaruhi pemikiran orang Cina hingga kini, 3 keberhasilan dunia bisnis di

RRC saat ini dapat dikatakan telah menyimpang sekali dari nilai-nilai lama dan

mencoreng ideologi asal (komunisme). Kewajaran itu sendiri dapat dikatakan

tercipta karena perkembangan jaman dan harga diri RRC yang tinggi di mata

dunia internasional.

Baik itu kontradiktif maupun tidak, studi terhadap budaya bisnis Cina itu

sendiri telah banyak menyita perhatian para peneliti belakangan ini. Tulisan kecil

ini dibuat sebagai salah satu bahan pemahaman terhadap RRC moderen,

khususnya tentang hubungan dalam bidang kebudayaan dan dunia bisnis Cina.

Ruang lingkup yang digunakan adalah RRC pada era 1980-an sampai dengan

2003, di luar kota Hongkong dan Shanghai.

Budaya Bisnis Masyarakat Cina Tradisional

Pembahasan mengenai budaya bisnis RRC pada masa moderen tidak

dapat dilepaskan dari kaitannya dengan kebudayaan masyarakat Cina

tradisional. Pembahasan akan aspek ini memberikan pemahaman yang lebih

mendalam dan sistematis.

3 Yuan Wang dan Rob Goodfellow dan Xin Shengzhang, Menembus Pasar Cina, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2000), hlm. 89.

Page 4: Budaya Bisnis China pada Era Globalisasi

Momentum kebangkitan para kaum bisnis Cina sudah dimulai pada akhir

abad kesembilan belas, tepatnya pada era awal kejatuhan dinasti Qing. Hal ini

dapat dibuktikan dengan munculnya kelas komprador pada struktural

masyarakat Cina saat itu. Akan tetapi, hal ini tidak berarti bahwa sebelum masa

ini kaum bisnis Cina tidak/belum pernah ada. Golongan pedagang sudah dikenal

di Cina sejak runtuhnya feodalisme dinasti Zhou (1122-246 SM). Saat itu dan

hingga seterusnya, golongan ini eksis di masyarakat Cina, namun menempati

posisi sosial yang paling rendah. Masyarakat Cina tradisional menggunakan

sistem hierarkis dalam memandang nilai pekerjaan seseorang. Penekanannya

kepada nilai tenaga kerja (buruh) dan nilai bahan mentah. Berikut adalah empat

lapisan sosial yang terdapat pada masyarakat Cina tradisional, dari strata yang

paling rendah hingga ke yang paling tinggi :

1.Kaum pedagang, pemain teater, tentara, pelacur

2.Kaum pengrajin (tukang batu, tukang kayu, dll)

3.Kaum petani

4.Kaum literati dan elit pemerintahan

Fungsi kaum pedagang pada masyarakat Cina tradisional dalam

hubungannya dengan sistem strata sosial tersebut hanyalah sebatas sebagai

pengelola pasar, pelatihan magang, dan ritual pemujaan. 4 Mereka tidak pernah

menentang sistem sosial yang sudah berjalan seperti itu, dan berharap dapat

meningkatkan status sosial keluarganya dengan mendidik anak-anaknya agar

dapat menjadi bagian dari kaum terpelajar.

Siapa atau apa yang membuat sistem sosial pada masyarakat Cina

tradisional berlaku seperti itu? Sistem masyarakat Cina tradisional sangat

dipengaruhi oleh nilai-nilai lama seperti Konfusianisme. Ajaran yang muncul pada

dinasti Zhou Timur ini mengajarkan suatu ideal tentang bagaimana suatu negara

seharusnya dijalankan, dengan menekankan kepada pendidikan moral

berdasarkan suatu sistem yang hierarkis. Hal ini dapat kita lihat dari konsep-

konsep seperti Wu-lun (lima hubungan), empat konvensi moral, dan lain-lain.

Terkhusus mengenai yang disebut terakhir, Konfusius mengajarkan bahwa

4 H.B. Morse, The Guilds of China, (New York: Longmans, Green and Company, 1932), terutama bab II.

Page 5: Budaya Bisnis China pada Era Globalisasi

negara (Cina) harus dijalankan secara hierarkis, yaitu: Cina dibangun

berdasarkan negara keluarga, satu organisasi sosial yang otokratis, hierarkis,

dan tidak demokratis. Kemakmuran bersama dicapai dari hasil-hasil pertanian.

Kestabilan suatu negara dapat dijamin dengan hierarki yang jelas. Dengan kata

lain, yang lebih rendah taat kepada yang lebih tinggi, dan yang lebih tinggi

menunjukkan kemurahan hati sebagai balasan terhadap kesetiaan tersebut.

Dalam konvensi moralnya Konfusius juga mengajarkan tentang paham

kolektivisme. Menurutnya, kolektivisme ini menentukan status individu yang

ditentukan oleh hubungannya dengan sistem hierarki. Oleh karena itu, orang

yang beretika Konfusian akan bertindak sesuai dengan harapan orang lain

daripada harapan/keinginannya pribadi, sehingga mereka selalu bersedia

bekerjasama. Individu tidak terpisah dari struktur sosial, melainkan sebagai

komponen etis dari suatu bangunan sosial yang lebih besar. Semua hal yang

disebut inilah yang mendasari atas berjalannya sistem sosial pada masyarakat

Cina tradisional.

Telah diketahui bahwa kaum pedagang menempati posisi terbawah dari

strata sosial masyarakat Cina tradisional. Kaum yang dianggap ‘berkemampuan’

lebih, atau ‘lihai’, dan selalu bernafsu mengejar keuntungan sendiri oleh

masyarakat Cina tradisional ini, jelas-jelas diposisikan sebagai golongan inferior

pada masyarakat, sama seperti yang dikemukakan oleh Guo Hengshi pada

sebuah esainya yang berjudul The Early Development of The Modern

Chinese Business Class : “Treacherous Merchant was the usual phrase for

traders or middlemen. All material innovation and prosperity was renounced by

the great teaching of Confucius and his followers. From time to time, merchants

were actually suppressed, especially when they appeared to mount in power.” 5

Konsep pembagian tenaga kerja pada masyarakat Cina tradisional semata-mata

berdasar atas dikotomi : literati dan petani. Literati berperan dalam menjalankan

pemerintahan, petani diperintah dan memproduksi hasil bumi untuk mendukung

para superordinatnya. Akibatnya, prestise kaum literati pada strata sosial lebih

tinggi dibanding golongan lainnya, karena mereka dikatakan ‘bekerja dengan

5 Marion J. Levy & Guo Hengshi, The Rise of The Modern Chinese Business Class, (New York : Institute of Pacific Relations, 1949), hlm. 19.

Page 6: Budaya Bisnis China pada Era Globalisasi

pikiran’, dan petani yang ‘menggunakan tangannya’ menempati posisi di

bawahnya. Semua aktivitas penghidupan selain pengolahan tanah dianggap

tidak lazim dan tanpa dukungan moral.

II. Keunikan Budaya Bisnis Cina

Sistem ekonomi pasar sosialis yang dilakukan di RRC sejak tahun 1992

memberikan banyak sekali kemajuan bagi masyarakat Cina moderen. 6 Seperti

yang telah disinggung sebelumnya, bahwa sistem ekonomi Cina yang baru

memiliki keunikan yang tidak pernah ada di negara manapun di dunia, sistem ini

pun memiliki beberapa elemen-elemen penting yang lahir dari setiap aktivitas

berbudaya (melalui bisnis). Berikut beberapa elemen tersebut :

1.guanxi

2.ganqing

3.xinyong

II.I. guanxi ( 关系 )

Secara harafiah, guanxi berarti hubungan. Makna ini dapat digunakan

untuk setiap jenis hubungan. Dalam budaya bisnis Cina guanxi dapat diartikan

sebagai ‘koneksi’. ‘Koneksi’ di sini bermakna sebagai suatu jaringan hubungan di

antara bermacam-macam personal, kelompok / badan yang saling bekerjasama

dan mendukung satu sama lain. Mental para pebisnis Cina sangat dekat

maknanya dengan sebuah pameo dari Barat, “You scratch my back, I’ll scratch

yours.” Di mana pun, kapan pun, dalam mengurus segala hal, orang Cina selalu

“kao guanxi”, artinya pakai koneksi. 7

Tanpa memperhitungkan pengalaman seseorang / sebuah badan di

negara asalnya, guanxi adalah jaminan akan kelancaran berbisnis di Cina.

Guanxi dapat meminimalisir kemungkinan gagal suatu badan dalam berbisnis di

6 I. Wibowo, Belajar Dari Cina, (Jakarta:Penerbit Buku Kompas, 2004), terutama Bab II.7 Ibid., hlm. 177.

Page 7: Budaya Bisnis China pada Era Globalisasi

Cina dan hambatan-hambatan lainnya seperti ‘prosedur bayangan’, dan lain-lain,

jika didapatkan secara tepat. Seringkali guanxi yang benar-benat tepat

dihubungkan dengan pihak yang berwenang (pejabat setempat / pemerintah)

yang nantinya akan sangat menentukan eksistensi badan (perusahaan) tersebut

di Cina dalam jangka panjang.

Guanxi dapat muncul dalam berbagai bentuk. Bisa saja terjadi dalam

sebuah malam di tempat karaoke dengan pemimpin departemen pemadam

kebakaran setempat, agar proposal pengajuan ruang kerja baru dengan

komputerisasi yang mutakhir disetujui. Atau pada tingkat yang lebih tinggi,

guanxi bisa saja berarti datangnya eksekutif perusahaan asing untuk berjabat

tangan dengan menteri terkait yang menjadi kunci As dalam pengerjaan sektor

industri potensial.

II.II. ganqing ( 感情 )

Secara harafiah ganqing berarti perasaan. Dalam budaya bisnis Cina

konsep ganqing masih berhubungan dekat dengan guanxi. Ganqing

merefleksikan suasana umum dari hubungan sosial dari dua orang atau dua

badan yang saling berinteraksi. Seseorang dapat dikatakan memiliki ganqing

yang baik jika hubungannya dengan orang lain tersebut baik, selain track-record

hubungan yang baik di antara keduanya. Sedangkan ganqing yang mendalam

adalah terdapatnya ikatan perasaan / hubungan batin yang dalam pada

hubungan sosial itu sendiri.

Contoh dari ganqing sering ditemukan pada pernyataan-pernyataan

pemerintah Cina dan seringkali salah diterjemahkan ketika diaplikasikan pada

konteks ini. Perkataan atau tindakan yang dapat melukai perasaan orang Cina

sepatutnya dihindari jika ingin terus bekerjasama (berbisnis) dengan mereka.

Konsep ganqing juga dekat sekali maknanya dengan konsep ‘muka’ dalam

budaya Cina.

Konsep ‘muka’ dalam kebudayaan Cina mengacu kepada dua hal yang

Page 8: Budaya Bisnis China pada Era Globalisasi

berbeda tapi saling berhubungan, yaitu mianzi 面子 dan lianzi 脸子. Lian adalah

kepercayaan masyarakat dalam karakter moral seseorang. Sedangkan mianzi

merepresentasikan persepsi sosial terhadap prestise seseorang. Konsep

menjaga muka sangat penting halnya dalam hubungan sosial masyarakat Cina

karena muka mewakili kekuasaan dan pengaruh. Kehilangan lian berakibat pada

hilangnya kepercayaan sosial terhadap seseorang. Dan kehilangan mianzi

berakibat pada kehilangan wibawa dan wewenang seseorang. Contoh

gampangnya, gosip tentang seseorang yang mencuri dari kas toko; Ia akan

kehilangan lian bukan mianzi. Pada kejadian lainnya, memotong pembicaraan

bos/atasan seseorang menyebabkannya kehilangan mianzi bukan lian.

Orang Cina berusaha sebisa mungkin menghindari suatu konflik dalam

melanggengkan hubungan dengan sesamanya. Ketika mereka menghindari

konflik biasanya orang Cina akan berusaha untuk tidak menyebabkan seseorang

kehilangan mianzi-nya, yaitu dengan tidak memunculkan kenyataan-kenyataan

yang memalukan ke hadapan publik. Sebaliknya, ketika mereka ingin menantang

suatu wewenang atau orang lain dalam suatu komunitas tertentu, orang Cina

akan berusaha menyebabkan orang tersebut kehilangan lian atau mianzi. Satu

contoh publik akan hal ini yaitu saat Tragedi Tian’anmen 1989 di mana Wu’er

Kaixi mencemooh PM Li Peng karena datang terlambat untuk bertemu dengan

para demonstran. Akibatnya, Li Peng kehilangan mianzi karena dia terlihat

datang terlambat dan menjadi figur pemerintah yang sangat tidak populer di

mata kalangan publik Cina, khususnya menyangkut peristiwa Tian’anmen. 8

Konsep serupa juga ditemukan pada kebudayaan Jepang dan Korea.

II.III. Xinyong ( 信用 )

Dalam istilah bahasa Inggris, xinyong disebut sebagai gentlemen’s

agreement (Cheng, 1985). Xinyong dalam budaya bisnis Cina bermakna sebagai

sebuah jaringan antar pribadi.

8 http://en.wikipedia.org/wiki/wu’er kai-xi

Page 9: Budaya Bisnis China pada Era Globalisasi

Bagi orang Cina kepercayaan antar pribadi merupakan hal yang

terpenting. Para pengusaha etnis Cina biasanya hanya berhubungan komersial

dengan orang yang sudah mereka kenal. Oleh karena itu, reputasi seseorang

penting artinya bagi transaksi bisnis. Dahulu, para pebisnis Cina secara pribadi

akan berhubungan langsung dengan rekan-rekan bisnisnya, karena hal ini akan

meningkatkan kemutlakan peran pemilik di samping tetap menjaga reputasinya

sebagai pemilik perusahaan. Fenomena serupa terjadi hingga kini di

perusahaan-perusahaan milik etnis Cina di Asia Tenggara, seperti Singapura,

Malaysia, dan lain-lain. Sebaliknya, fenomena di Cina Daratan menunjukkan

bahwa kehadiran seorang pemimpin perusahaan dalam sebuah pertemuan

bisnis tidak selalu signifikan, karena keputusan final tetap dipegang oleh

komune/dewan eksekutif yang belum tentu hadir di pertemuan tersebut, yang

bisa saja mengakibatkan suatu pertemuan bisnis dengan tema yang sama dapat

terjadi berkali-kali dan mungkin sangat alot bagi pihak asing yang masuk ke

dalam lingkaran mereka. 9

Xinyong dapat tertuang dalam kontrak verbal di suatu transaksi bisnis.

Penandatanganan kontrak kadang-kadang tidak diperlukan, biasanya hanya

diperlukan dengan badan-badan pemerintah. Persetujuan verbal dianggap sudah

cukup. Jika pihak I mengatakan akan melakukan sesuatu maka dia tidak akan

ingkar. Bagi mereka ingkar adalah perbuatan yang dapat mencoreng mianzi. Jika

tersebar reputasinya akan jatuh dan tidak akan ada lagi yang bersedia bisnis

dengannya lagi (atau kehilangan lian).

III. Budaya Bisnis RRC pada Masa Moderen

Angin perubahan pada RRC moderen secara kebudayaan dapat

dikatakan dimulai sejak kejatuhan dinasti Qing, yaitu saat pengaruh asing masuk

secara masif ke daratan Cina dan mempengaruhi segala aspek kehidupan

secara signifikan. Salah satu contohnya adalah dengan diberlakukannya

9 Yuan Wang dan Rob Goodfellow dan Xin Sheng Zhang, op cit., khususnya bab IV.

Page 10: Budaya Bisnis China pada Era Globalisasi

Perjanjian Nanking yang sangat memberatkan bangsa Cina dan mengharuskan

Cina untuk membuka diri terhadap dunia luar. Tercatat pada era ini dasar bagi

perekonomian dan kebudayaan Cina moderen telah mengalami perubahan yang

berarti. Kebudayaan lama mulai ditanggalkan dan nilai-nilai yang dianggap

sudah tidak relevan lagi dienyahkan. Salah satu buktinya adalah wusi yundong

(peristiwa 4 Mei 1919), yang berusaha menghapuskan Konfusianisme di Cina

serta merubah dunia kesusastraan dan sosial-kebudayaan masyarakat Cina.

Cina sejak dahulu penuh dengan nilai-nilai revolusioner.

Budaya bisnis Cina moderen sendiri mengalami perubahan yang

signifikan sejak era tadi. Secara garis besar, gejolak di Cina pada awal abad

kedua puluh memunculkan kelas baru di masyarakat Cina yang disebut dengan

kelas komprador. Golongan ini bertugas mewakili hubungan dagang antara

pemerintah Cina (saat itu masih dipegang Dinasti Qing) dan pihak Barat atau

negara asing lainnya.10 Saat itu, di tengah-tengah masyarakat sendiri

pertentangan konsep antara bisnis dan nilai-nilai patriotisme (bukan lagi nilai

moral), masih hangat sekali. Sebagian masyarakat Cina masih mengharamkan

bisnis (apalagi) dengan pihak barbar/asing, sebagian lagi marah karena diinjak-

injak martabatnya oleh bangsa asing sehingga mereka mencari alternatif-

alternatif dalam mengatasi penghinaan semacam ini. Kelas komprador lah yang

mengawali sepak terjang Cina dalam dunia bisnis moderen.

Pada perkembangannya ketika kaum komunis mutlak menguasai

pemerintahan Cina daratan, dunia bisnis Cina (dalam konteks ini individu

maupun badan swasta) untuk sekali lagi kembali ditekan. Segala individu

maupun badan swasta yang melakukan bisnis tanpa otorisasi elit kaum komunis

pasti akan dicap sebagai antek-antek kapitalis atau dengan kata lain

bertentangan dengan nilai-nilai kaum revolusioner. Begitu ekstremnya tindakan

kaum revolusioner Cina hingga kesusastraan Cina pun dijadikan alat

propaganda untuk mendukung komunisme, salah satunya dengan menyerang

para kapitalis atau individu yang dianggap sebagai oposisi. Sejak merdeka

(1949) hingga sebelum diberlakukannya gaige kaifang (1979), RRC memeluk

10 Pada perkembangannya, terminologi “komprador borjuis” digunakan ketua Mao dan kaum komunis RRC lainnya untuk melabeli orang atau pihak-pihak yang dianggapnya kapitalis.

Page 11: Budaya Bisnis China pada Era Globalisasi

“ekonomi terencana secara pusat”, yang menempatkan negara pada posisi

sentral. Selama 30 tahun itulah dunia bisnis RRC stagnan.

Baru pada Desember 1978, yaitu ketika Kongres XI Partai Komunis Cina

mengesahkan rumusan gaige kaifang atau kebijakan reformasi dan keterbukaan,

bisnis RRC kembali menggeliat. RRC masuk pada tahap baru, jauh berbeda

dibanding sebelumnya. Bahkan seorang Deng Xiaoping sekalipun menegaskan

dalam evaluasinya yang dikeluarkan pada September 1982 : “Kemiskinan bukan

sosialisme. Sosialisme berarti melenyapkan kemisikinan.”.

III.I. Demam Bisnis di Cina Moderen

Nilai-nilai bisnis masyarakat Cina berubah luar biasa sejak 1978. Sejak

saat itu makin banyak masyarakat yang memandang berkarier di bidang bisnis

sebagai profesi yang layak. Media mula-mula menyebut gejala ini sebagai

“demam bisnis”. Terlebih pada 1979 sampai 1997, banyak orang Cina

memandang bisnis sebagai jalan terbaik untuk memperoleh uang. Situasi ini juga

menimpa cendekiawan Cina yang kini memilih bisnis sebagai pilihan karier

terbaik dan menantang nilai tradisional yang memandang studi sebagai jalan

menuju birokrasi. Pergeseran budaya ini telah menjadi pokok pembicaraan

sebagian besar masyarakat Cina.

“Demam bisnis” mula-mula timbul pada 1984, yaitu ketika pasar kerja

paruh waktu melibatkan banyak karyawan perusahaan milik negara, petani di

pedesaan, mahasiswa, dan beberapa cendekiawan. Ledakan kedua yaitu sekitar

tahun 1990, yang ditandai hengkangnya pejabat-pejabat pemerintah, kader

partai, dan dosen-dosen perguruan tinggi ke sektor perdagangan.

Gejala yang dipicu oleh perubahan fundamental ini bermakna perubahan

yang luar biasa pada pola kepercayaan tradisional rakyat kebanyakan dan

cendekiawan Cina. “Demam bisnis” menandai berakhirnya satu nilai sosial yang

telah berumur 2.000 tahun, yaitu bahwa menjadi pejabat negara adalah tujuan

akhir yang wajar dari perjalanan akademis seseorang. Dalam waktu kurang dari

satu generasi, peran ilmuwan/cendekiawan Cina telah bergeser dari penjaga

Page 12: Budaya Bisnis China pada Era Globalisasi

pintu gerbang nilai Konfusian menjadi agen penggerak dan pembela perubahan

sosial yang terbesar di Cina.11

IV. Budaya Perusahaan Cina Moderen

Globalisasi memacu setiap negara di dunia untuk terus meng-update

sistem yang dimilikinya dan bersaing agar dapat terus survive, tidak terkecuali

RRC. Terpengaruh oleh pandangan pemikir dan praktisi manajemen Barat,

sejumlah manajer senior Cina mulai menimbang-nimbang kemungkinan untuk

mengembangkan budaya perusahaan yang khas Cina untuk masa kini. Mereka

menilai bahwa model yang baru harus menyempurnakan budaya tradisional

maupun budaya perekonomian pasar yang kompetitif dan sedang berkembang.

Sejak saat itu, muncullah identitas perusahaan Cina yang unik. Identitas tersebut

mencerminkan budaya tradisional Cina dan nilai-nilai moderen yang dipengaruhi

oleh perubahan sosial, politik, dan ekonomi yang sangat cepat. Berikut beberapa

aspek unik tersebut:

1.Susunan Organisasi - “Dua Kendali”

Perbedaan terbesar antara susunan organisasi kebanyakan perusahaan

di Cina dan semua perusahaan Barat adalah adanya sistem manajemen pararel

di perusahaan Cina. Yang pertama adalah sistem administrasi dan yang kedua

adalah struktur kepemimpinan internal yang melibatkan orang-orang di

lingkungan Partai Komunis. Manajer Cina sering menyebut sistem ini sebagai

sistem “dua kendali”. Sebelum Reformasi Perusahaan pada tahun 1984, seorang

sekretaris Partai Komunis mengawasi semua perusahaan Cina. Setelah 1984,

seorang manajer umum juga diberi tanggung jawab mengelola perusahaan.

Sejak saat itu sekretaris Partai Komunis dan manajer umum dituntut untuk

memikul tanggung jawab yang sama (sistem pararel). Dengan sistem pararel,

Partai Komunis mempunyai wakil hampir di setiap badan usaha milik negara,

perusahaan bersama, dan perusahaan patungan. Tanggung jawab pokok Partai

11 Yuan Wang dan Rob Goodfellow dan Xin Sheng Zhang, op cit., terutama Bab III.

Page 13: Budaya Bisnis China pada Era Globalisasi

Komunis adalah mengawasi dan menjamin arah strategi perusahaan serta turut

serta dalam pengambilan keputusan penting, terutama yang menyangkut

karyawan. Di beberapa perusahaan kecil, direktur eksekutif bisa saja merangkap

menjadi pimpinan perusahaan sekaligus sekretaris Partai Komunis. Akan tetapi,

di kebanyakan perusahaan milik negara dan usaha patungan besar, jabatan

direktur eksekutif dan sekretaris Partai Komunis dipegang oleh orang yang

berbeda. Penerapan sistem pararel sering menimbulkan beda pendapat di

antara kedua manajemen itu.

2.Fungsi Organisatoris - “Masyarakat Kecil”

Salah satu ciri manajemen Cina yang menonjol adalah peranan organisasi

yang sangat besar dalam kehidupan, baik profesional maupun pribadi para

karyawan. Kebanyakan perusahaan di Cina tidak hanya memberi kesempatan

kerja dan gaji kepada para karyawan, tetapi juga harus menyediakan segala

macam keperluan materiil karyawan termasuk asuransi kesehatan, perumahan,

perawatan anak, sekolah, dan hiburan. Bahkan, beberapa perusahaan besar

milik negara membuka toko eceran di sekitar lingkungan kerja untuk melayani

para karyawan. Fungsi organisatoris perusahaan Cina serupa dengan fungsi

suatu masyarakat kecil. Kebanyakan perusahaan Cina (setidaknya karyawan

BUMN) mengetahui dengan jelas bahwa perusahaan yang dapat dipercaya

harus memperhatikan semua segi kehidupan karyawan, termasuk lingkungan

kerja dan keluarga mereka. Di samping menangani masalah pengembangan dan

dan operasi perusahaan sehari-hari, seorang direktur eksekutif harus

menyediakan banyak waktu dan tenaga untuk membina kesejahteraan pribadi

para karyawan. Seorang direktur eksekutif yang dapat dipercaya harus terampil

memimpin tim manajemen yang bertanggung jawab atas pusat perawatan anak,

penyediaan fasilitas perumahan yang terbatas, dan mengatur penyediaan

makanan pada kesempatan istimewa dan pesta-pesta. Bahkan, ia diharapkan

bisa meredakan perselisihan keluarga atau antarpribadi yang serius. Peranan

seorang manajer senior di perusahaan Cina sangat rumit.

Page 14: Budaya Bisnis China pada Era Globalisasi

3.Nilai-nilai perusahaan Cina

Manajemen perusahaan di Cina masih terpengaruh oleh nilai-nilai

Konfusian, yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui

sosialisasi dalam keluarga. Walaupun pemerintah berusaha meniadakan nilai-

nilai lama melalui Revolusi Kebudayaan (1964-1976), pengaruh itu masih kuat

hingga kini. Berikut beberapa karakteristik yang menjadi nilai-nilai perusahaan

Cina tersebut :

• Orientasi Manajemen pada “Prestasi Bersama”

Para manajer Cina memegang teguh prinsip berorientasi pada

kelompok atau kepentingan bersama. Tuntutan atas pengakuan

prestasi individu biasanya ditolak. Meskipun penelitian terakhir

menyebutkan bahwa motivasi karyawan Cina untuk mengukir prsetasi

diri menguat sejak pertengahan dekade 1990-an, tapi sikap

berorientasi pada kelompok ini masih menjadi hal yang utama dalam

manajemen perusahaan. Para manajer yang menganut etika

manajemen non-kompetitif ini, tetap berpandangan bahwa setiap

individu hendaknya bekerjasama secara selaras dengan yang lainnya

sehingga mendukung organisasi tersebut.

• Ketidakpercayaan dalam organisasi

Dalam banyak organisasi para manajer Cina tidak sepenuhnya

mempercayai bawahan, antara lain karena alasan nilai hierarkis.

Mereka menganggap organisasi sebagai sistem keluarga . Dari sudut

pandang budaya, menurut sistem ini bawahan diperlakukan sebagai

“anak-anak” yang bergantung dan tidak dapat dipercayai sepenuhnya.

Di sisi lain, manajer umum Cina dipandang sebagai “orangtua” yang

harus menjaga dan mengawasi “anak-anak”-nya. Oleh karena itu,

banyak perusahaan di RRC yang dijalankan hanya oleh satu figur

ayah yang kuat. Segala keputusan penting perusahaan diambil secara

mutlak oleh senior/para manajer atas perusahaan.

• Kerjasama berdasarkan kepatuhan dan pentingnya keserasian

hubungan

Page 15: Budaya Bisnis China pada Era Globalisasi

Para manajer Cina bekerja dalam lingkungan kerja yang semi otoriter.

Dengan sistem manajemen yang top-down itu, para bawahan

diharapkan tunduk sepenuhnya dan menjalankan instruksi manajer

mereka dengan sungguh-sungguh. Kompromi dan kepatuhan

bawahan merupakan nilai budaya Cina yang fundamental. Pada

dimensi yang sama, hubungan ini diharapkan dapat selalu selaras

sehingga mendukung operasional organisasi tersebut. Oleh sebab itu,

para manajer Cina seringkali lebih banyak memperhatikan hubungan

pribadi di lingkungan kerja dibanding tugas yang ada. Pada dimensi

yang lebih luas, konsep guanxi selalu menjadi acuan utama

perusahaan dalam interaksinya dengan organisasi lain.

V. Budaya Bisnis RRC, Globalisasi, dan Semangat Kebanggaan Nasional

Cina adalah salah satu bangsa tertua di dunia yang memiliki harga diri

dan martabat yang tinggi. Sejarah panjang yang terukir dalam perjalanan

peradaban mereka mencerminkan dinamika kebudayaan yang lahir dan mati

seiring berjalannya waktu. Oleh karena itu, tidak heran jika perubahan selalu

terjadi. Berbagai kejadian domestik hingga internasional yang mempengaruhi,

terbukti menempa masyarakat Cina untuk selalu beradaptasi dengan sekitarnya.

Masih hangat di benak kita saat Deng Xiaoping mengumumkan kebijakan

pintu terbukanya pada 1979, khalayak RRC sekali lagi terhentak oleh angin

perubahan. Di daratan Cina masyarakat setempat begitu antusiasnya

meneriakkan slogan reformasi. Bagaimana mungkin sebuah negara komunis

totaliter yang identik dengan ejekan “Tirai Bambu” ini, tiba-tiba saja menyulap

negaranya menjadi sebuah pasar ekonomi bebas hampir serupa dengan para

seterunya, negara-negara Barat penganut kapitalisme? Ada dua hal signifikan

yang dapat menjelaskan fenomena ini: Globalisasi dan kebanggaan nasional.

Dalam dunia moderen yang semakin sempit ini, RRC melakukan

terobosan-terobosan baru dalam menjaga eksistensinya. Hal ini sangat erat

Page 16: Budaya Bisnis China pada Era Globalisasi

berkaitan dengan globalisasi. Perlu diketahui, bahwa RRC merupakan pemain

lama dalam globalisasi. Hal ini sudah dilakukannya sejak awal abad Masehi

dengan dibukanya jalur sutra, dan pada Dinasti Ming mengirimkan banyak

ekspedisi ke luar negri. Hanya saja, RRC dengan paradigma-nya yang inward-

looking, memiliki cara yang unik dalam menjalankan globalisasi. Ketika dunia

asing (Barat) menyentuh teritori dan otoritas Cina secara masif pada akhir abad

ke-19, Cina mengalami perubahan yang drastis. Konsep monarki runtuh dan

digantikan dengan konsep yang lebih moderen; demokrasi republik.

Perkembangan terakhir yang kita ketahui kini, RRC menjalankan ekonomi pasar

sosialis-nya. Menurut para elit politbiro RRC, Cina saat ini sedang mengalami

tahap awal sosialisme.

Kedua, semangat kebanggaan nasional. Ketika Cina dijajah dan “dibagi-

bagi” oleh bangsa Barat (juga Jepang) pada awal abad ke-20, kebencian

terhadap bangsa asing semakin menjadi-jadi. Pihak Cina yang dipimpin oleh Sun

Yat Sen berhasil merobohkan dinasti Qing dan mengarahkan Cina ke arah

kemerdekaan dengan konsep negara yang lebih moderen dan relevan. Sangat

disayangkan bahwa agresi Jepang dan konflik domestik (pertentangan kaum

nasionalis-komunis) pada era ini, harus menunda kemerdekaan Cina. Setelah

merdeka pada 1949, kaum komunis yang memimpin RRC, mutlak tampil sebagai

penguasa tunggal. Rakyat RRC di bawah kepemimpinan Mao Zedong dipenuhi

oleh gelombang “kediktatoran proletariat”, yang muncul sebagai semangat sosial

dalam menghadapi kekuatan asing di Cina. Akibatnya, segala hal yang berbau

Barat (atau produk kapitalisme) secara ekstrem dilarang dan dienyahkan. Dunia

bisnis RRC dikontrol secara terpusat oleh pemerintah. Baru pada era Deng, RRC

memeluk pendekatan yang berbeda dalam menghadapi globalisasi, namun

masih dengan isu yang sama; kebanggaan nasional. RRC mencapai keajaiban

ekonomi yang menakjubkan dengan pertumbuhan ekonomi yang relatif stabil.

Ladang bisnis pun digarap secara serius oleh pemerintah dan dibuka luas untuk

orang asing.

Dari sudut pandang budaya, RRC saat ini mengalami begitu banyak

perubahan, akan tetapi tidak semuanya merupakan nilai-nilai kebudayaan asing

Page 17: Budaya Bisnis China pada Era Globalisasi

yang diadaptasi. Pada budaya bisnisnya, tidak sedikit orang Cina yang

mensikretiskan nilai-nilai lama dengan nilai bisnis moderen. Ini semua tercermin

dalam elemen kebudayaan yang muncul dalam interaksi dan operasional

perusahaan / organisasi mereka.

BIBLIOGRAFI

Boisot, M. & Child J. From fiefs to clans and network capitalism: Explaining

Page 18: Budaya Bisnis China pada Era Globalisasi

China’s emerging economic order. USA : Administrative Science Quarterly,

2000.

De Dreu, C. & Van de Vliert, E. Using conflict in organizations. Beverly Hills, CA :

Sage, 1997.

Ding, D.Z. In Search of Determinants of Chinese Conflict Management Styles in

Joint Ventures: An Integrated Approach. Paper, City University of

Hongkong : Hongkong, 1996.

Fishman, Ted. C. China Inc. USA : Simon & Schuster Inc, 2005.

Henderson, Callum. China on The Brink. Singapore : McGraw-Hill, 1999.

http://chinese-school.netfirms.com

http://en.wikipedia.org

Kirkbride, P.S. Tang, S.F.Y. & Westwood, R.I. Chinese conflict preferences and

negotiating behaviour: Cultural and Psychological influences.

Organizational Studies, 12, 365-386, 1991.

Levy, Marion J., Jr & Guo Hengshi. The Rise of The Modern Chinese

Business Class. New York : Institute of Pacific Relations, 1949.

Morse, H.B., The Guilds of China. New York: Longmans, Green andCompany,

1932.

Triandis, H.C., McCusker, C. & Hui, C.H. Multimethod probes of individualism

and collectivism. Journal of Personality and Social Psychology, 1990.

Whiteley, A. (Juli 2004). Mengelola Bisnis Pendidikan dalam Konteks Budaya

Cina. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, Juli 2004.

Wibowo, I. Belajar Dari Cina. Jakarta : Penerbit Buku Kompas, Januari 2004.

Yuan, Wang & Goodfellow, Rob. & Xin ShengZhang. Menembus Pasar Cina.

Jakarta : Kepustakaan Populer Gramedia, Agustus 2000.