budaya

13
Budaya a. Definisi budaya Budaya berasal dari bahasa Sangsekerta buddhayah, ialah bentuk jamak dari buddi yang berarti “budi” atau “akal”. Dengan demikian budaya dapat diartikan sebagai hal-hal yang bersangkutan dengan budi dan akal. Adapun istilah inggrisnya, culture, berasal dari kata latin colere yang berarti mengolah mengerjakan, terutama mengolah tanah atau bertani. Dari arti ini berkembang arti culture, sebagai segala daya dan usaha manusia untuk merubah alam (Widyosiswoyo, 2009) Trenholm & Jensen cit., Mulyana (2005) mendefinisikan budaya sebagai seperangkat nilai, kepercayaan, norma, dan adat istiadat, aturan dan kode, yang secara sosial mendefinikan kelompok-kelompok orang, mengikat mereka satu sama lain dan memberikan kesadaran kolektif. Budaya sangat berperan penting dalam kehidupan individu. Apa yang dibicarakan, bagaimana membicarakannya, apa yang individu

Upload: dewinda-sari

Post on 28-Nov-2015

13 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

Definisi budaya, culture shock dan faktor-faktor yang mempengaruhi

TRANSCRIPT

Budaya

a. Definisi budaya

Budaya berasal dari bahasa Sangsekerta buddhayah, ialah bentuk

jamak dari buddi yang berarti “budi” atau “akal”. Dengan demikian

budaya dapat diartikan sebagai hal-hal yang bersangkutan dengan

budi dan akal. Adapun istilah inggrisnya, culture, berasal dari kata

latin colere yang berarti mengolah mengerjakan, terutama

mengolah tanah atau bertani. Dari arti ini berkembang arti culture,

sebagai segala daya dan usaha manusia untuk merubah alam

(Widyosiswoyo, 2009)

Trenholm & Jensen cit., Mulyana (2005) mendefinisikan budaya

sebagai seperangkat nilai, kepercayaan, norma, dan adat istiadat,

aturan dan kode, yang secara sosial mendefinikan kelompok-

kelompok orang, mengikat mereka satu sama lain dan memberikan

kesadaran kolektif. Budaya sangat berperan penting dalam

kehidupan individu. Apa yang dibicarakan, bagaimana

membicarakannya, apa yang individu lihat dan perhatikan, apa yang

dipikirkan individu sangat dipengaruhi oleh budaya.

Barnouw cit., Matsumoto (2004), mendefinisikan budaya sebagai

sekumpulan sikap, nilai, keyakinan, dan perilaku yang dimiliki

bersama oleh sekelompok orang yang dikomunikasikan dari satu

generasi ke generasi berikutnya lewat bahasa atau beberapa sarana

komunikasi lain.

Mulyana (2005) menyatakan aspek budaya ada 2 yakni aspek

budaya terlihat dan tersembunyi. Aspek budaya terlihat adalah

pakaian, makanan, musik, kesenian, dan arsitektur. Sedangkan

aspek budaya tersembunyi adalah etika, nilai, konsep keadilan,

perilaku, hubungan pria-wanita, konsep kebersihan, gaya belajar,

gaya hidup, motivasi bekerja, dan sebagainya.

1. Culture Shock

a. Definisi culture shock

Culture shock merupakan istilah yang pertama kali di perkenalkan oleh Oberg

untuk menggambarkan pengalaman migrasi dari budaya yang lain. Awalnya, istilah ini

digunakan untuk menggambarkan kebingungan dan disorientasi yang menyertai

kontak dan migrasi antar budaya (Austin, 2007). Beberapa peneliti setuju bahwa

culture shock mengacu pada tuntutan penyesuaian yang dialami individu pada level

fisiologis, kognitif, perilaku, emosi, dan sosial, ketika berpindah ke kebudayaan lain.

Oberg cit,. Austin (2007) lebih lanjut menjelaskan hal itu dipicu oleh kecemasan

individu karena kehilangan simbol-simbol yang selama ini dikenalnya dalam interaksi

sosial, terutama terjadi saat individu tinggal dalam budaya baru dalam jangka waktu

yang relatif lama.

Culture shock berkaitan dengan proses adaptasi seseorang yang melakukan migrasi.

Migrasi merupakan proses perubahan sosial ketika seseorang pindah dari satu tatanan

budaya tertentu ke tatanan budaya yang lain dengan beberapa alasan seperti ekonomi,

sosial, pendidikan, maupun psikologi ditempat sekarang berada (Mantra, 2003).

Migrasi dapat menjadi faktor terjadinya gangguan mental seperti depresi dan

kecemasan.

Proses akulturasi menjadi poin penting dalam migrasi seseorang yang selanjutnya

terjadi pertemuan lintas budaya diantara pendatang dengan orang-orang dikebudayaan

yang baru. Ketika berpindah ke lingkungan kebudayaan baru, terjadi benturan-

benturan budaya, termasuk pengetahuan kepercayaan, sistem nilai, dan kebiasaan.

Penyesuaian terhadap perbedaan budaya oleh pendatang dapat menyebabkan stress

psikologis, ketegangan emosional, dan komplikasi mental. Segala sesuatu

dilingkungan baru menjadi asing, dan perasaan alienasi datang karena kurangnya

dukungan dari anggota keluarga dan teman yang biasanya membantu dalam

menghadapi dan menyelesaikan situasi yang sulit (Murphy, 2000, cit Novianti, 2009).

Furhan dan bochner cit,. Austin (2007), menyatakan istilah culture shock digunakan

untuk menggambarkan akibat-akibat negatif pada individu yang pindah ke suatu

daerah baru. Pada umumnya culture shock dialami oleh pendatang selama 6 bulan

sampai 1 tahun pertama kedatangannya. Irwin (2007) menegaskan bahwa culture

shock dialami oleh sebagian besar orang ketika pergi jauh atau pindah ketatanan sosial

dan budaya yang baru dengan gejala depresi dan kecemasan. Venes (2005)

mengemukakan bahwa culture shock adalah trauma emosional yang terkena budaya,

adat-istiadat, dan kebiasaan budaya yang sangat berbeda dari satu ke yang satu telah

terbiasa.

Pendatang dapat mengalami culture shock dan tidak semua orang yang melakukan

mobilitas ke suatu daerah mengalaminya. Milstein cit., Novianti (2009) menjabarkan

bahwa ada 4 kriteria pendatang yang mungkin mengalami culture shock: 1) turis:

pendatang hanya mengunjungi budaya asing dalam waktu <6 bulan; 2) perantau:

pendatang yang tinggal sementara dikebudayaan asing, biasanya dalam waktu .6 bulan

– 5 tahun; 3) imigran: tinggal dikebudayaan asing untuk selamanya; 4) pengungsi:

pendatang terpaksa keluar dari kebudayaan asalnya.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa culture shock adalah gejala

kecemasan yang terjadi ketika seseorang pindah atau berada pada lingkungan yang

benar-benar baru yang dialami selama 6 bulan sampai 1 tahun pertama kedatangannya

yang terjadi karena adanya kesulitan dalam beradaptasi dengan lingkungan yang baru

serta ketidakmampuan dalam mengatasi kendala-kendala komunikasi dan kendala-

kendala budaya yang ditandai dengan gejala-gejala fisik, seperti sakit kepala, gatal-

gatal, sering buang air kecil, dan sulit tidur.

b. Penyebab culture shock

Weaver (1994) menyatakan terjadinya culture shock disebabkan oleh satu atau

lebih dari ketiga faktor tersebut berikut:

1. Kehilangan cues atau tanda dan simbol yang dikenal

Cues adalah bagian dari kehidupan sehari-hari, gerakan bagian tubuh (gesture),

ekspresi wajah ataupun kebiasaan-kebiasaan yang dapat menjelaskan seseorang

bagaimana sebaiknya bertindak dalam situasi-situasi tertentu. Tanda ini digunakan

sebagai bahasa verbal maupun nonverbal sebagai bentuk pesan yang digunakan

oleh manusia untuk mengadakan kontak dengan realitas lingkungannya. Proses

memberikan arti penting pada simbol-simbol yang disampaikan antara individu-

individu yang berhubungan dapat diartikan sebagai komunikasi (Lubis, 2002).

2. Putusnya komunikasi antar pribadi

Baik pada tingkat yang disadari atau tidak, komunikasi interpersonal yang

terputus dapat mengarah pada frustasi dan kecemasan. Bahasa terdiri dari simbol-

simbol (kata-kata) dan aturan-aturan penggunaannya, sehingga bila seseorang

mempelajari bahasa lain, kedua hal tersebut harus diperhatikan. Selain kata-kata,

aturan-aturan juga berbeda pada setiap bahasa (Lubis, 2002). Ketidakmampuan

berbahasa adalah penyebab jelas dari gangguan-gangguan ini.

3. Krisis identitas

Ketika berada pada kebudayaan baru, seseorang akan mengevaluasi kembali

citra dirinya dan pengalaman yang sudah diperoleh dimasa lalu bisakah digunakan

di tempat yang baru. Seseorang yang berpikiran luas, bercitra diri positif, dan

beri’itikad baik dapat kehilangan pegangan lalu mengalami frustasi dan kecemasan

bila berada di lingkungan yang asing. Krisis demikian dapat menimbulkan culture

shock.

c. Tanda dan gejala culture shock

Wilkelman (1994) juga mengklasifikasikan respon dari culture shock menjadi 4

reaksi, yaitu:

1. Reaksi Stres

Paparan terhadap lingkungan baru menyebabkan stres, meningkatkan reaksi

fisiologis tubuh yang dapat menyebabkan disfungsi aktivitas pituitary-adrenal.

Proses ini merupakan konsekuensi normal bila seseorang tinggal dan melakukan

penyesuaian dengan budaya yang baru akibat dari mekanisme pertahanan

psikologis yang bermanifestasi pada respon fisiologis. Keadaan psikologis

berpengaruh pada tubuh dan keterkejutannya menyebabkan meningkatnya stres,

kecemasan, depresi, ketidaknyamanan, dan sebagainya. Culture shock

menyebabkan meningkatnya kekhawatiran menjadi sakit, perasaan sakit secara

fisik, waspada dengan gejala yang didapat, nyeri minor, ketidaknyamanan, dan

dapat menurunkan sistem imun tubuh.

2. Kelelahan Kognitif

Kelelahan kognitif dapat terjadi karena usaha untuk menghadapi culture shock.

Seorang dituntut secara sadar memahami sesuatu yang tidak disadari dalam

kebudayaan sendiri. Usaha harus dilakukan untuk menginterpretasikan segala

sesuatu yang baru, seperti makna bahasa (verbal dan nonverbal), perilaku, dan

komunikasi sosial. Perubahan dari keadaan normal ke keadaan yang menuntut

untuk memahami semua informasi yang baru, sangatlah melelahkan dan berakibat

pada kelelahan mental dan emosional, terutama bermanifestasi pada sakit kepala

dan keinginan untuk mengisolasi diri dari kontak sosial.

3. Syok Peran

Peran penting dalam identitas seseorang dapat hilang ketika memasuki budaya

baru. Perubahan peran sosial dan hubungan interpersonal mempengaruhi kesehatan

dan konsep diri yang dapat mengarah ke syok peran. Identitas seseorang

dipertahankan dalam peran sosial yang berkontribusi terhadap kesejahteraannya

melalui struktur interaksi sosial. Pada setting budaya baru, peran yang dimiliki

sebelumnya sebagian besar tereliminasi dan tergantikan dengan harapan dan peran

yang asing (unfamiliar). Keadaan ini menimbulkan syok peran akibat dari

ambiguitas posisi sosial seseorang, kehilangan peran dan hubungan sosial yang

normal, dan peran baru yang didapat tidak konsisten dengan konsep diri

sebelumnya.

4. Syok Kepribadian

Syok kepribadian dalam culture shock terjadi dalam diri seseorang akibat

perubahan yang beragam dalam kehidupan seseorang seperti hilangnya kedekatan

personal dan kontak interpersonal dengan orang-orang terkait. Kondisi psikologis

seseorang, harga diri, identitas, perasaan sejahtera, dan kepuasan hidup diciptakan

dan dipertahankan oleh sistem budaya seseorang. Kehilangan sistem dukungan ini

dapat menimbulkan kemunduran perasaan sejahtera seseorang yang bermanifestasi

patologis. Syok kepribadian diperbesar dengan kejadian yang mengganggu

seseorang, pemahaman budaya tentang moral dasar, nilai, logika, dan kepercayaan

tentang kewajaran dan kesopanan. Konflik nilai berkontribusi menimbulkan

disorientasi dan khayalan, meningkatkan konflik yang mendalam dengan orang-

orang di sekitarnya.

Guanipa (1998) mengemukakan bahwa gejala munculnya culture shock bisa

berbeda-beda antara satu orang dengan yang lain. Namun ada beberapa gejala yang

biasanya ditunjukkan individu saat mengalami culture shock, yaitu antara lain:

1. Perasaan sedih, kesepian, melankolis, merasa frustasi, kemarahan, kecemasan, dan

disorientasi.

2. Menjadi lebih kuatir tentang kesehatan. Pada orang-orang yang datang dari negara

yang lebih maju, biasanya menjadi lebih sensitif terhadap masalah kebersihan di

tempat yang baru. Tidak bersedia makan atau minum dari makanan setempat,

karena ketakutan akan berbagai penyakit dan sangat kuatir akan kebersihan

makanan dan penduduk setempat.

3. Menderita rasa sakit di berbagai bagian tubuh, muncul berbagai alergi, serta

gangguan-gangguan kesehatan lainnya seperti diare, maag, dan sakit kepala.

4. Adanya perubahan temperamen, rasa depresi, merasa diri lemah dan rapuh, merasa

tidak berdaya.

5. Perasaan marah, mudah tersinggung, penyesalan, tidak bersedia untuk berinteraksi

dengan orang lain.

6. Selalu membanding-bandingkan kultur yang baru dengan kultur asalnya,

mengidolakan kultur asal secara berlebihan.

7. Kehilangan identitas, mempertanyakan kembali identitas diri yang selama ini

diyakininya. Misalnya sebelumnya meyakini bahwa dirinya adalah orang yang

cerdas, tiba-tiba kini merasa menjadi orang yang paling bodoh, aneh, tidak menarik.

8. Mencoba terlalu keras untuk menyerap segala sesuatu yang ada di lingkungan

barunya (karena rasa cemas ingin menguasai/memahami lingkungannya) yang

justru bisa menimbulkan perasaan kewalahan.

9. Tidak mampu memecahkan masalah sederhana.

10. Kehilangan kepercayaan diri.