Download - Budaya
Budaya
a. Definisi budaya
Budaya berasal dari bahasa Sangsekerta buddhayah, ialah bentuk
jamak dari buddi yang berarti “budi” atau “akal”. Dengan demikian
budaya dapat diartikan sebagai hal-hal yang bersangkutan dengan
budi dan akal. Adapun istilah inggrisnya, culture, berasal dari kata
latin colere yang berarti mengolah mengerjakan, terutama
mengolah tanah atau bertani. Dari arti ini berkembang arti culture,
sebagai segala daya dan usaha manusia untuk merubah alam
(Widyosiswoyo, 2009)
Trenholm & Jensen cit., Mulyana (2005) mendefinisikan budaya
sebagai seperangkat nilai, kepercayaan, norma, dan adat istiadat,
aturan dan kode, yang secara sosial mendefinikan kelompok-
kelompok orang, mengikat mereka satu sama lain dan memberikan
kesadaran kolektif. Budaya sangat berperan penting dalam
kehidupan individu. Apa yang dibicarakan, bagaimana
membicarakannya, apa yang individu lihat dan perhatikan, apa yang
dipikirkan individu sangat dipengaruhi oleh budaya.
Barnouw cit., Matsumoto (2004), mendefinisikan budaya sebagai
sekumpulan sikap, nilai, keyakinan, dan perilaku yang dimiliki
bersama oleh sekelompok orang yang dikomunikasikan dari satu
generasi ke generasi berikutnya lewat bahasa atau beberapa sarana
komunikasi lain.
Mulyana (2005) menyatakan aspek budaya ada 2 yakni aspek
budaya terlihat dan tersembunyi. Aspek budaya terlihat adalah
pakaian, makanan, musik, kesenian, dan arsitektur. Sedangkan
aspek budaya tersembunyi adalah etika, nilai, konsep keadilan,
perilaku, hubungan pria-wanita, konsep kebersihan, gaya belajar,
gaya hidup, motivasi bekerja, dan sebagainya.
1. Culture Shock
a. Definisi culture shock
Culture shock merupakan istilah yang pertama kali di perkenalkan oleh Oberg
untuk menggambarkan pengalaman migrasi dari budaya yang lain. Awalnya, istilah ini
digunakan untuk menggambarkan kebingungan dan disorientasi yang menyertai
kontak dan migrasi antar budaya (Austin, 2007). Beberapa peneliti setuju bahwa
culture shock mengacu pada tuntutan penyesuaian yang dialami individu pada level
fisiologis, kognitif, perilaku, emosi, dan sosial, ketika berpindah ke kebudayaan lain.
Oberg cit,. Austin (2007) lebih lanjut menjelaskan hal itu dipicu oleh kecemasan
individu karena kehilangan simbol-simbol yang selama ini dikenalnya dalam interaksi
sosial, terutama terjadi saat individu tinggal dalam budaya baru dalam jangka waktu
yang relatif lama.
Culture shock berkaitan dengan proses adaptasi seseorang yang melakukan migrasi.
Migrasi merupakan proses perubahan sosial ketika seseorang pindah dari satu tatanan
budaya tertentu ke tatanan budaya yang lain dengan beberapa alasan seperti ekonomi,
sosial, pendidikan, maupun psikologi ditempat sekarang berada (Mantra, 2003).
Migrasi dapat menjadi faktor terjadinya gangguan mental seperti depresi dan
kecemasan.
Proses akulturasi menjadi poin penting dalam migrasi seseorang yang selanjutnya
terjadi pertemuan lintas budaya diantara pendatang dengan orang-orang dikebudayaan
yang baru. Ketika berpindah ke lingkungan kebudayaan baru, terjadi benturan-
benturan budaya, termasuk pengetahuan kepercayaan, sistem nilai, dan kebiasaan.
Penyesuaian terhadap perbedaan budaya oleh pendatang dapat menyebabkan stress
psikologis, ketegangan emosional, dan komplikasi mental. Segala sesuatu
dilingkungan baru menjadi asing, dan perasaan alienasi datang karena kurangnya
dukungan dari anggota keluarga dan teman yang biasanya membantu dalam
menghadapi dan menyelesaikan situasi yang sulit (Murphy, 2000, cit Novianti, 2009).
Furhan dan bochner cit,. Austin (2007), menyatakan istilah culture shock digunakan
untuk menggambarkan akibat-akibat negatif pada individu yang pindah ke suatu
daerah baru. Pada umumnya culture shock dialami oleh pendatang selama 6 bulan
sampai 1 tahun pertama kedatangannya. Irwin (2007) menegaskan bahwa culture
shock dialami oleh sebagian besar orang ketika pergi jauh atau pindah ketatanan sosial
dan budaya yang baru dengan gejala depresi dan kecemasan. Venes (2005)
mengemukakan bahwa culture shock adalah trauma emosional yang terkena budaya,
adat-istiadat, dan kebiasaan budaya yang sangat berbeda dari satu ke yang satu telah
terbiasa.
Pendatang dapat mengalami culture shock dan tidak semua orang yang melakukan
mobilitas ke suatu daerah mengalaminya. Milstein cit., Novianti (2009) menjabarkan
bahwa ada 4 kriteria pendatang yang mungkin mengalami culture shock: 1) turis:
pendatang hanya mengunjungi budaya asing dalam waktu <6 bulan; 2) perantau:
pendatang yang tinggal sementara dikebudayaan asing, biasanya dalam waktu .6 bulan
– 5 tahun; 3) imigran: tinggal dikebudayaan asing untuk selamanya; 4) pengungsi:
pendatang terpaksa keluar dari kebudayaan asalnya.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa culture shock adalah gejala
kecemasan yang terjadi ketika seseorang pindah atau berada pada lingkungan yang
benar-benar baru yang dialami selama 6 bulan sampai 1 tahun pertama kedatangannya
yang terjadi karena adanya kesulitan dalam beradaptasi dengan lingkungan yang baru
serta ketidakmampuan dalam mengatasi kendala-kendala komunikasi dan kendala-
kendala budaya yang ditandai dengan gejala-gejala fisik, seperti sakit kepala, gatal-
gatal, sering buang air kecil, dan sulit tidur.
b. Penyebab culture shock
Weaver (1994) menyatakan terjadinya culture shock disebabkan oleh satu atau
lebih dari ketiga faktor tersebut berikut:
1. Kehilangan cues atau tanda dan simbol yang dikenal
Cues adalah bagian dari kehidupan sehari-hari, gerakan bagian tubuh (gesture),
ekspresi wajah ataupun kebiasaan-kebiasaan yang dapat menjelaskan seseorang
bagaimana sebaiknya bertindak dalam situasi-situasi tertentu. Tanda ini digunakan
sebagai bahasa verbal maupun nonverbal sebagai bentuk pesan yang digunakan
oleh manusia untuk mengadakan kontak dengan realitas lingkungannya. Proses
memberikan arti penting pada simbol-simbol yang disampaikan antara individu-
individu yang berhubungan dapat diartikan sebagai komunikasi (Lubis, 2002).
2. Putusnya komunikasi antar pribadi
Baik pada tingkat yang disadari atau tidak, komunikasi interpersonal yang
terputus dapat mengarah pada frustasi dan kecemasan. Bahasa terdiri dari simbol-
simbol (kata-kata) dan aturan-aturan penggunaannya, sehingga bila seseorang
mempelajari bahasa lain, kedua hal tersebut harus diperhatikan. Selain kata-kata,
aturan-aturan juga berbeda pada setiap bahasa (Lubis, 2002). Ketidakmampuan
berbahasa adalah penyebab jelas dari gangguan-gangguan ini.
3. Krisis identitas
Ketika berada pada kebudayaan baru, seseorang akan mengevaluasi kembali
citra dirinya dan pengalaman yang sudah diperoleh dimasa lalu bisakah digunakan
di tempat yang baru. Seseorang yang berpikiran luas, bercitra diri positif, dan
beri’itikad baik dapat kehilangan pegangan lalu mengalami frustasi dan kecemasan
bila berada di lingkungan yang asing. Krisis demikian dapat menimbulkan culture
shock.
c. Tanda dan gejala culture shock
Wilkelman (1994) juga mengklasifikasikan respon dari culture shock menjadi 4
reaksi, yaitu:
1. Reaksi Stres
Paparan terhadap lingkungan baru menyebabkan stres, meningkatkan reaksi
fisiologis tubuh yang dapat menyebabkan disfungsi aktivitas pituitary-adrenal.
Proses ini merupakan konsekuensi normal bila seseorang tinggal dan melakukan
penyesuaian dengan budaya yang baru akibat dari mekanisme pertahanan
psikologis yang bermanifestasi pada respon fisiologis. Keadaan psikologis
berpengaruh pada tubuh dan keterkejutannya menyebabkan meningkatnya stres,
kecemasan, depresi, ketidaknyamanan, dan sebagainya. Culture shock
menyebabkan meningkatnya kekhawatiran menjadi sakit, perasaan sakit secara
fisik, waspada dengan gejala yang didapat, nyeri minor, ketidaknyamanan, dan
dapat menurunkan sistem imun tubuh.
2. Kelelahan Kognitif
Kelelahan kognitif dapat terjadi karena usaha untuk menghadapi culture shock.
Seorang dituntut secara sadar memahami sesuatu yang tidak disadari dalam
kebudayaan sendiri. Usaha harus dilakukan untuk menginterpretasikan segala
sesuatu yang baru, seperti makna bahasa (verbal dan nonverbal), perilaku, dan
komunikasi sosial. Perubahan dari keadaan normal ke keadaan yang menuntut
untuk memahami semua informasi yang baru, sangatlah melelahkan dan berakibat
pada kelelahan mental dan emosional, terutama bermanifestasi pada sakit kepala
dan keinginan untuk mengisolasi diri dari kontak sosial.
3. Syok Peran
Peran penting dalam identitas seseorang dapat hilang ketika memasuki budaya
baru. Perubahan peran sosial dan hubungan interpersonal mempengaruhi kesehatan
dan konsep diri yang dapat mengarah ke syok peran. Identitas seseorang
dipertahankan dalam peran sosial yang berkontribusi terhadap kesejahteraannya
melalui struktur interaksi sosial. Pada setting budaya baru, peran yang dimiliki
sebelumnya sebagian besar tereliminasi dan tergantikan dengan harapan dan peran
yang asing (unfamiliar). Keadaan ini menimbulkan syok peran akibat dari
ambiguitas posisi sosial seseorang, kehilangan peran dan hubungan sosial yang
normal, dan peran baru yang didapat tidak konsisten dengan konsep diri
sebelumnya.
4. Syok Kepribadian
Syok kepribadian dalam culture shock terjadi dalam diri seseorang akibat
perubahan yang beragam dalam kehidupan seseorang seperti hilangnya kedekatan
personal dan kontak interpersonal dengan orang-orang terkait. Kondisi psikologis
seseorang, harga diri, identitas, perasaan sejahtera, dan kepuasan hidup diciptakan
dan dipertahankan oleh sistem budaya seseorang. Kehilangan sistem dukungan ini
dapat menimbulkan kemunduran perasaan sejahtera seseorang yang bermanifestasi
patologis. Syok kepribadian diperbesar dengan kejadian yang mengganggu
seseorang, pemahaman budaya tentang moral dasar, nilai, logika, dan kepercayaan
tentang kewajaran dan kesopanan. Konflik nilai berkontribusi menimbulkan
disorientasi dan khayalan, meningkatkan konflik yang mendalam dengan orang-
orang di sekitarnya.
Guanipa (1998) mengemukakan bahwa gejala munculnya culture shock bisa
berbeda-beda antara satu orang dengan yang lain. Namun ada beberapa gejala yang
biasanya ditunjukkan individu saat mengalami culture shock, yaitu antara lain:
1. Perasaan sedih, kesepian, melankolis, merasa frustasi, kemarahan, kecemasan, dan
disorientasi.
2. Menjadi lebih kuatir tentang kesehatan. Pada orang-orang yang datang dari negara
yang lebih maju, biasanya menjadi lebih sensitif terhadap masalah kebersihan di
tempat yang baru. Tidak bersedia makan atau minum dari makanan setempat,
karena ketakutan akan berbagai penyakit dan sangat kuatir akan kebersihan
makanan dan penduduk setempat.
3. Menderita rasa sakit di berbagai bagian tubuh, muncul berbagai alergi, serta
gangguan-gangguan kesehatan lainnya seperti diare, maag, dan sakit kepala.
4. Adanya perubahan temperamen, rasa depresi, merasa diri lemah dan rapuh, merasa
tidak berdaya.
5. Perasaan marah, mudah tersinggung, penyesalan, tidak bersedia untuk berinteraksi
dengan orang lain.
6. Selalu membanding-bandingkan kultur yang baru dengan kultur asalnya,
mengidolakan kultur asal secara berlebihan.
7. Kehilangan identitas, mempertanyakan kembali identitas diri yang selama ini
diyakininya. Misalnya sebelumnya meyakini bahwa dirinya adalah orang yang
cerdas, tiba-tiba kini merasa menjadi orang yang paling bodoh, aneh, tidak menarik.
8. Mencoba terlalu keras untuk menyerap segala sesuatu yang ada di lingkungan
barunya (karena rasa cemas ingin menguasai/memahami lingkungannya) yang
justru bisa menimbulkan perasaan kewalahan.
9. Tidak mampu memecahkan masalah sederhana.
10. Kehilangan kepercayaan diri.