bourdieu

33
ARENA PERTENTANGAN DAN PERJUANGAN KUASA (Serba sedikit tentang Pemikiran Pierre Bourdieu)[1] I. Pengantar Pierre Bourdieu, seorang sosiolog Prancis, mempunyai latar belakang pendidikan filsafat yang cukup kuat. Gagasan dasarnya dikembangkan, diulangi, dan dirumuskan kembali dalam setiap buku-bukunya. Gagasan itu terelaboasi dalam beberapa konsep utama, yaituhabitus, ranah perjuangan, kekuasaan simbolik dan modal budaya. Gagasan-gagasan pemikiran sosial yang “diwarnai pemberontakan” ini patut diperhitungkan karena upayanya menjembatani antara teori dan tindakan. Pada awalnya Bourdieu percaya bahwa ilmu itu bebas nilai, tetapi akhirnya ia mendobrak kebuntuan bebas nilai itu untuk terlibat dalam ranah politik. Menurutnya sosiologi harus mampu menganalisis mekanisme dominasi agar bisa menjadi instrument pembebasan bagi mereka yang didominasi. Secara khusus, saya sangat tertarik dengan pemkiran Bourdieu, karena boleh dikatakan masih cukup “segar” dalam khasana ilmu sosial (sosiologi) khususnya di Indonesia. Pemikiran tokoh ini akan digunakan sebagai “kaca mata” yang mengarahkan saya, dalam rencana penulisan tesis dengan judul : Diskursus Identitas Mel-Mel dan Ren-Ren (Studi Sosiologis Tentang Pergulatan Identitas Mel dan Ren di Desa Ohoiwait Kecamatan Kei Besar Tengah Kabupaten Maluku Tenggara). Karena itu, elaborasi lebih lanjut dari pemikiran tokoh ini, akan sedikit bersinggungan dengan tema penelitian yang akan saya lakukan. Sebelum membahas lebih jauh tentang Bourdieu, ada baiknya dibicarakan soal latar belakang (pendidikan, kelurga dan lingkungan) yang mempegaruhi pemikirannya. Hal ini dianggap penting, sebab menurut Bourdieu cara berpikir dan bertindak seseorang sangat dipengaruhi oleh habitus-nya. Baginya, (Habitus x Modal ) + Ranah = Praktek[2] . Sebenarnya secara sederhana teorinya menyangkut “oposisi absurd antara individu dengan masyarakat” atau “mengatasi oposisi antara objektivisme dan subjektivisme”[3] II. Memahami Latar Belakang Pierre Bourdieu Pandangan, sikap dan tingkah laku seseorang sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan sosial, politik dan ekonomi pada saat dia kecil sampai menginjak

Upload: vinisa-n-aisyah

Post on 25-Nov-2015

166 views

Category:

Documents


15 download

TRANSCRIPT

ARENA PERTENTANGAN DAN PERJUANGAN KUASA(Serba sedikittentang Pemikiran Pierre Bourdieu)[1]I.PengantarPierre Bourdieu, seorang sosiolog Prancis, mempunyai latar belakang pendidikan filsafat yang cukup kuat. Gagasan dasarnya dikembangkan, diulangi, dan dirumuskan kembali dalam setiap buku-bukunya. Gagasan itu terelaboasi dalam beberapa konsep utama, yaituhabitus,ranah perjuangan, kekuasaan simbolik dan modal budaya. Gagasan-gagasan pemikiran sosial yang diwarnai pemberontakan ini patut diperhitungkan karena upayanya menjembatani antara teori dan tindakan. Pada awalnya Bourdieu percaya bahwa ilmu itu bebas nilai, tetapi akhirnya ia mendobrak kebuntuan bebas nilai itu untuk terlibat dalam ranah politik. Menurutnya sosiologi harus mampu menganalisis mekanisme dominasi agar bisa menjadi instrument pembebasan bagi mereka yang didominasi.Secara khusus, saya sangat tertarik dengan pemkiran Bourdieu, karena boleh dikatakan masih cukup segar dalam khasana ilmu sosial (sosiologi) khususnya di Indonesia. Pemikiran tokoh ini akan digunakan sebagai kaca mata yang mengarahkan saya, dalam rencana penulisan tesis dengan judul : Diskursus IdentitasMel-MeldanRen-Ren(Studi Sosiologis Tentang Pergulatan IdentitasMeldanRendi Desa Ohoiwait Kecamatan Kei Besar Tengah Kabupaten Maluku Tenggara). Karena itu, elaborasi lebih lanjut dari pemikiran tokoh ini, akan sedikit bersinggungan dengan tema penelitian yang akan saya lakukan.Sebelum membahas lebih jauh tentang Bourdieu, ada baiknya dibicarakan soal latar belakang (pendidikan, kelurga dan lingkungan) yang mempegaruhi pemikirannya. Hal ini dianggap penting, sebab menurut Bourdieu cara berpikir dan bertindak seseorang sangat dipengaruhi olehhabitus-nya. Baginya, (Habitus x Modal ) + Ranah = Praktek[2]. Sebenarnya secara sederhana teorinya menyangkut oposisi absurd antara individu dengan masyarakat atau mengatasi oposisi antara objektivisme dan subjektivisme[3]II.Memahami Latar Belakang Pierre BourdieuPandangan, sikap dan tingkah laku seseorang sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan sosial, politik dan ekonomi pada saat dia kecil sampai menginjak dewasa. Kondisi ini pulalah yang mungkin memengaruhi Pierre Bourdieu, yang lahir pada tahun 1930 di Denguin, Pyrenia Atlantik (Prancis). Ia berasal dari keluarga sederhana. Ayahnya adalah pegawai kantor pos. Bourdieu muda berhasil meniti tangga pendidikan dengan mulai belajar dilyceedi Pau, kemudianlyceeLouis-le Grand (Paris), ke Fakultas Sastra di Paris, Ecole Normale Superieure pada tahun 1951, ia mendapat Agregasi Filsafat. Namun ia menolak menulis tesis, sebagaian karena ia keberatan dengan kualitas di bawah rata-rata pendidikannya dan karena struktur otoriter sekolah, ia jijik dengan kuatnya orientasi komunis, khususnya Stalinis, sekolah tersebut.[4]Perlu diketengahkan pula bahwa kampus itu merupakan tempat pemikir-pemikir besar, seperti Sartre, Levinas, Foucault, yang pernah melewatkan masa studi mereka.Pada tahun 1955 Bourdieu dianggat menjadi pengajar dilyceedi Maulins, satu sekolah di tingkat provinsi, kemudian dipanggil mengikuti wajib militer pada tahun 1956 dan menghabiskan waktu dua tahun di Aljazair dengan Angkatan Barsenjata Prancis. Ia menulis buku tentang pengalaman-pengalamannya dan tetap berada di Aljazair dua tahun setelah masa wajib kemiliterannya usai. Kembali ke Prancis pada tahun 1960 dan bekerja selama satu tahun sebagai asisten di Universitas Paris. Ia mengikuti kuliah antropolog Levi-Strauss di College de France dan bekerja sebagai asisten sosiolog Raymond Aron. Tahun 1962, Bourdieu menikah dan kemudian dikarunai tiga orang anak laki-laki. Ia berpindah-pinadah mengajar di fakultas Sastra di Alger 1958-1960, di Lille 1961-1964, dan sejak tahun 1964 di Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales (EHESS).Pada tahun-tahun berikutnya Bourdieu menjadi tokoh utama dalam lingkungan intelektual Paris, Prancis, dan pada akhirnya di dunia. Karyanya mempengaruhi sejumlah bidang berbeda, termasuk pendidikan, antropologi dan sosiologi. Pada tahun 1968Center de Sosiologie Europeenedidirikan, dan Bourdieu menjadi direktur sampai ia wafat. Ia pun menjadi direktur pada majalahActes de la Recherche en Sciences Sociales(ARSS) yang didirikannya pada tahun 1975. Pada tahun 1981, ketikaRaymond Aron meninggal dunia, Bourdieu dipercayakan untuk menduduki jabatan prestisius jurusan sosiologi College de France, pada periode ini pula didaulat menjadi pakar sosiologi. Tahun 1993, pusat penelitiannya menerima medali emas dari CNRS (Pusat Riset Ilmiah Nasional). Pierre Bourdieu meninggal pada tanggal 23 Januari 2002[5].Aspek menarik dari karya Bourdieu adalah bagaimana gagasan-gagasannya terbangun dalam dialog yang terus berlanjut, kadang-kadang eksplisit dan kadang-kadang implisit, dengan gagasan-gagasan lainnya. Gagasan-gagasannya cukup dipengaruhi oleh dua pemikir terkemuka dimasa ia belajar yaitu, Jean Paul Sartre dan Claude Levi-Strauss. Dari eksistensialisme Sartre, Bourdieu belajar tentang pemahaman yang begitu kuat bahwa aktor sebagai pencipta dunia sosial mereka. Namun dia merasa bahwa Sartre melangkah terlalu jauh dalam menempatkan kekuasaan pada aktor dan dalam prosesnya mengabaikan hambatan-hambatan struktural. Lewat perspektif struktur ini, dia kemudian berpaling ke karya strukturalis Levi-Strauss. Dia tertarik pada orientasinya; sebaliknya, pada saat itu ia menggambarkan dirinya sebagai strukturalis lugu[6]. Namun beberapa penelitian awalnya membawanya pada kesimpulan bahwa strukturalisme membatasi, kendati dengan arah berbeda, sebagaimana eksistensialisme.Bourdieu mendefinisikan salah satu tujuan dasarnya sebagai reaksi atas eksis strukturalisme: saya berniat untuk mengembalikan aktor di dunia nyata yang telah sirna di tangan Levi-Strauss dan para strukturalis lainyang memandang aktor sebagai epifenomena struktur[7]. Dengan kata lain, Bourdieu ingin mengintegrasikan eksistensialisme Sartre dengan strukturalisme Levi-Strauss. Dalam hal fakta sosial, Bourdieu juga cukup dipengaruhi oleh Durkheim. Ia menempatkan Saussure, Levi-Straus, Durkheim dan Marxis dalam kelompok objektivis, sekaligus mengkritik mereka, karena baginya tokoh-tokoh tersebut mengabaikan proses konstruksi sosial yang digunakan aktor untuk memersepsi, memikirkan dan mengonstruksi struktur-struktur ini dan selanjutnya mulai bertindak atas dasar tersebut.Selain itu, Marx dan Althuser juga cukup mempengaruhi Bourdieu dalam perspektif ideologi, namun ia kemudian melakukan berbagai modifikasi, sekaligus kritik terhadapnya. Dalam perspektif ideologi, Bourdieu menghindari penggunaan kata tersebut, dan mengusulkan konsepDoxa,yang pengertiannya menyerupai ideologi.Doxaadalah sejenis tatanan sosial dalam diri individu yang stabil dan terikat pada tradisi serta terdapat kekuasaan yang sepenuhnya ternaturalisasi dan tidak dipertanyakan[8]. Dalam praktek kongkritnya,doxatampil lewat pengetahuan-pengtahuan yang begitu saja diterima sesuai denganhabitus dan fieldtanpa dipikir atau ditimbang lebih dahulu.III.Akar Pemikiran dan Orientasi Teoritik Pierre BourdieuPemikiran Bourdieu boleh dikatakan membuka tradisi baru dalam sosiologi. Alih-alih jatuh pada salah satu dualisme di atas, Bourdieu memposisikan dirinya dalam upaya mendamaikan oposisiabsurdantara individu dan masyarakat[9].Untuk mengatasi pertentangan ini, Bourdieu memilih menggunakan cara berpikir rasonal[10]bahwa struktur objektif dan representasi subjektif, agen dan pelaku terjalin secara dialektis dan saling mempengaruhi secara timbal-balik (dualitas).[11]Keduanya tidak saling menafikan, tapi saling berpaut dalam sebuah praktik. Di samping model pendekatan Bourdieu, berkembang individualisme-metodelogi Raymond Boudon. Dalam bukunyaLa logique du social(1979), menurut sosiolog ini, fenomena sosial apa pun merupakan produk tindakan-tindakan individual. Oleh karena itu, logika tindakan harus dicari pada sisi rasionalitas pelaku-pelakunya. Pendekatan seperti ini tidak jauh berbeda dari model ekonomi klasik. Konsephabituspada Bourdieu tidak akan menerima pemisahan ketat antara pelaku sosial dan struktur-struktur yang melingkupinya.Model kedua ialah aksionalisme Alain Touraine. Pendekatan ini mendasarkan pada analisis gerakan-gerakan sosial dan peran mereka dalam perubahan sosial. Dalam bukunyaLe retour de lacteur(1984) Alain Touraine menekankan bahwa gerakan-gerakan sosial merupakan objek khas dan masalah sentral analisis sosiologi. Ia membedakan konsep gerakan sosial dari konsep perjuangan kelas dan dari perilaku kolektif. Pembedaan ini didasarkan pada pemahamannya bahwa ada tiga tipe konflik.[12]Kecenderungan ini berbeda dengan pendekatan Bourdieu yang memperhitungkan bahwa posisi-posisi pelaku juga terkait dengan ruang dan memang riil ditempati.Model ketiga ialah pendekatan strategis dari Michel Crozier, yang menekankan analisis hubungan-hubungan kekuasaan dan organisasi-organisasi. Para pelaku sosial yang sekaligus rasional dan rasionalitasnya sebatas mempunyai makna kebebasan yang menjadi dasar kekuasaan mereka. Dalam bukunya yang ditulis bersama Erhard Friedberg,Lacteur et le system(1977), Crozier mencoba menjelaskan dialetika antara pelaku dan sistem: struktur-struktur sosial hanya bisa diciptakan, dilanggengkan dan diubah oleh pelaku-pelaku sosial; sebaliknya pelaku sosial kendati dikatakan bebas, dikondisikan oleh struktur-struktur tersebut. Dimensi dualitas pelaku dan struktur masih sangat kuat. Berbeda dengan Bourdieu, ada upaya penyatuan kedua unsur tersebut, oleh karena itu pendekatannya disebut strukturlisme genetik.[13]Analisis struktur-struktur objektif yang tidak bisa dipisahkan dari analisis asal-usul struktur-struktur mental dalam individu-individu biologis yang sebagian merupakan produk penyatuan struktur-struktur sosial dan asal-usul struktur sosial itu sendiri. Pendekatan ini membuka cakrawala dalam menganalisis masyarakat sehingga memberi sumbangan khas.Berdasarkan ketiga model pendekatan di atas, dapat dikatakan bahwa Bourdieu menawarkan tiga perspektif yang segar (atau boleh dikatakan baru) dalam memahami masyarakat.Pertama,penggunaan konsephabitusdianggap berhasil mengatasi masalah dikotomi individu-masyarakat, agen-struktur sosial, kebebasan-determinisme.Kedua,Bourdieu mencoba membongkar mekanisme dan strategi dominasi. Menurutnya, dominasi tidak lagi diamati melulu dari akibat-akibat luar, tetapi juga akibat yang dibatinkan (habitus). Dengan menyingkap mekanisme tersebut kepada pelaku sosial, sosiologi memberi argumen yang dapat menggerakan tindakan politik. Perubahan politik dan sosial lalu bisa dipahami sebagai bertemunya upaya dari diri dan tindakan kolektif[14].Ketiga,Bourdieu menjelaskan logika praksis pelaku-pelaku sosial dalam lingkup sosial yang tidak setara dan konfliktual. Logika ini mengatasi model Marxis yang hanya berhenti pada penjelasan masyarakat yang dikatakan menjadi infrastruktur ekonomi. Dia mengemukakan pandangan bahwa lingkup sosial dibentuk dari beragam ranah yang otonom, (budaya, politik, gender, seni, dan tidak hanya ekonomi) yang mendefinisikan model-model dominasi.Ketiga sumbangan pemikiran itu, mungkin menunjukan keterputusan dengan beberapa tradisi sosiologis baik dari Marx maupun Weber, meskipun jejak kedekatannya masih terasa. Bourdieu memang terinspirasi dari Marx ketika berbicara tentang tatanan sosial melalui paradigma dominasi, namun ia kemudian membedakan dirinya dari Marx ketika mengembangkan teorinya tentang dominasi simbolis yang terkait dengan bidang budaya.[15]Dari Weber, Bourdieu mengembangkan apa yang disebut tindakan bermakna. Tindakan manusia terkait dengan reaksi atau perilaku orang lain. Legitimasi kekuasaan Weber, oleh Bourdieu digunakan untuk menjelaskan mekanisme-mekanisme dominasi, makna simbol justru sangat berperan untuk penjelasan tentang kekerasan simbolis. Bahwa yang dikuasai menerima dan merasa solider dengan yang menguasai dalam konsensus yang sama tentang tatanan yang ada. Jadi, ada semacam persetujuan dari pihak yang dikuasai.[16]IV.Fokus Pemikiran Bourdieu (Habitus x Modal) + Ranah = PraktikDalam pergulatannya tentang kekerasan simbolik, Bourdieu juga mengungkapkan soal bahasa yang dipakai sebagai kuda tunggangan[17]dalam mengcapai kekuasaan bagi individu atau kelompok tertentu. Bahasa mencerminkan budi manusia, tapi bukan selamanya ia luhung. Sebab perbincangan mengenai bahasa juga mensyaratkan adanya pengetahuan yang ingin diwujutkan dalam realitas konkrit, tujuan yang melekat dalam bahasa bisa berupa kepentingan politik. Dengan teknik yang lebih halus, bahasa digunakan untuk merayu, membujuk orang untuk patuh secara sukarela. Persoalan ini merupakan perhatian Bourdieu, baginya dalam ruang sosial, bahasa memiliki keterkaitan dengan arena pertarungan kekuasaan. Ia bisa bertujuan sebagai alat untuk memperoleh kekuasaan dan juga untuk melestarikan kekuasaan. Perkakas utama Bourdieu dalam memahami masyarakat adalah terletak pada konsephabitus and field,juga strategi untuk mencapai dan mempertahankan kekuasaan.a.HabitusMembahashabitussecara memadai mengandaikan suatu bentuk epistemologi sejarah dalam arti mengungkap relevnasi parktis suatu wacana.[18]Konsep ini sebenarnya berasal dari tradisi pemikiran filsafat, bukan merupakan ciptaan asli Bourdieu. Dalam bahasa Latin,habitusbisa berarti kebiasaan (habitual), penampilan diri (appearance), atau bisa pula merujuk pada tata pembawaan yang terkait dengan kondisi tipikal tubuh. Selain itu, istilahhabitusjuga menunjukan aspek perlengkapan bagi substansi tertentu, seperti yang ditemukan dalam pemikiran Aristoteles mengenai pembagian ada (being).[19]Ritzer (2009), yang menguraikan konsephabitusBourdieu, juga mengungkapkanhabitussebagai akal sehat (common sense) yang merefleksikan pembagian objektif dalam struktur kelas seperti kelompk usia, jenis kelamin, dan kelas sosial. Dalam hal ini,habitusbisa jadi merpakan fenomena kolektif, dia memungkinkan orang untuk memahami dunia sosial, namun keberadaan berbagaihabitusberarti bahwa dunia sosial dan strukturnya tidak menancapkan dirinya secara seragam pada setiap aktor.Dengan demikianhabitusmemungkinkan dibangunnya teori produksi sosial pelaku dan logika tindakan, ia merupakan faktor penjelasan logika berfungsinya masyarakat. Dalam perspektif ini, sosialisasi menjadi bentuk pengintegrasianhabituskelas.[20]Ia menghasilkan kepemilikan individu pada kelas dengan mereproduksi kelas sebagai kelompok yang memiliki kesamaanhabitus.Haryatmoko, yang mengutip Bourdieu (1980:101) mengatakan bahwa setiap sistem disposisi individu adalah variabel struktural sistem disposisi yang lain, dimana terungkap kekhasan posisinya di dalam kelas dan arah yang dituju. Gaya pribadi, praktik-praktik kehidupan atau hasil karya, tidak lain kecuali suatu jarak terhadap gaya khas suatu zaman atau suatu kelas, sehingga gaya itu mengacu pada gaya umum, tidak hanya melakukan keseragaman, tetapi juga melalui pembedaan yang menghasilkan pembawaan tertentu.Pierre Bourdieu mendefinisikanhabitussebagai pengkondisian yang dikaitkan dengan syarat-syarat keberadaan suatu kelas. Menurutnya sistem-sistem disposisi tahan waktu dan dapat diwariskan, struktur-struktur yang dibentuk, yang kemudian akan berfungsi juga sebagai struktur-struktur yang membentuk adalah merupakan hasil dari suatuhabitus.[21]Dengan demikian,habitusadalah merupakan hasil ketrampilan yang menjadi tindakan praktis (tidak selalu disadari) yang kemudian diterjemahkan menjadi suatu kemampuan yang kelihatannya alamiah dan berkembang dalam lingkungan sosial tertentu. Bourdieu mencontohkan dalam hal penguasaan bahasa, penulisan atau pemikiran. Seniman, sastrawan, penulis atau pemikir dikatakan mampu menciptakan karya-karya mereka berkat kebebasan kreatifnya karena mereka tidak lagi menyadari tanda-tanda atau gaya yang sudah mereka integrasikan ke dalam dirinya. Apa yang dipercaya sebagai kebebebasan kereatif sebetulnya merupakan buah pembatasan struktur-struktur. Jadihabitusmenjadi sumber penggerak tindakan, pemikiran dan representasi.Selain itu,habitusjuga dipahami sebagai dasar kepribadian individu. Pembentukan dan berfungsinyahabitusseperti lingkaran yang tidak diketahui ujung-pangkalnya. Di satu sisi sangat memperhitungkan hasil dari keteraturan perilaku dan di lain sisi modalitas praktiknya mengandalkan pada improvisasi dan bukan pada kepatuahan aturan-aturan.Habitusjuga merupakan struktur intern yang selalu dalam proses restrukturisasi, jadi praktik dan represintasi tidak sepenuhnya deterministik (pelaku bisa memilih), namun juga tidak sepenuhnya bebas (pilihannya ditentukan olehhabitus). Hal ini tampak dari pilihan terhadap tempat, peristiwa, orang yang dapat dikunjungi,habituscenderung melindungi diri terhadap krisis dan dari yang mempertanyakan secara kritis dengan menjamin diri dalam lingkungan yang sedapat mungkin sudah disesuaikan, artinya dunia yang cukup stabil yang akan semakin memperteguh disposisi-disposisinya.Teori ini mencoba mengatasi dualisme kebebasan dan determinisme. Di satu pihak teori ini tidak lepas dari suatu bentuk determinisme yang seakan-akan memenjara tindakan-tindakan dalam pembatas-pembatas; dipihak lain teori ini memberi peluang bagi konsep individu otonom, bebas dan rasional. Setiap orang dikondisikan oleh lingkungannya, diarahkan oleh rutinitas tindakan, namun kebiasaan tindakan tidak bekerja seperti halnya program yang memiliki kemampuan kreatif dan strategis dalam suatu lingkungan sosial tertentu. Pierre Bourdieu sendiri menyatakan, Sebagai sistem skema pendorong yang diperoleh,habitusmemungkinkan kreatifitas pemikiran, seluruh persepsi dan tindakan yang terpatri dalam pembatasan yang melekat pada kondisi khas produksinya.Habitusmencoba mengatasi determinisme dan kebebasan, pengkondisian dan kreativitas, kesadaran dan ketidaksadaran, atau individu dan masyarakat.[22]b.Arena / Ranah(Field)[23]Konsephabitustidak dapat dipisahkan dari ranah perjuangan (champ). Dua konsep ini sangat dasariah karena saling mengandaikan hubungan dua arah. Bourdieu lebih memandang arena sebagai relasional ketimbang secara struktural. Arena adalah jaringan relasi antarposisi objektif di dalamnya, yang menduduki posisi bisa jadi merupakan aktor atau institusi, dan mereka dihambat oleh struktur ranah. Bourdieu melihat arena, menurut definisinya sebagai arena pertempuran: arena juga merupakan arena perjuangan.[24]Arena adalah sejenis pasar kompetitif yang di dalamnya terdapat berbagai jenis modal, seperti modal ekonomi, kultural, sosial dan simbolis. Hal ini menunjukan bahwa realitas masyarakat yang terdiferensiasi itu, lingkup hubungan-hubungan objektif mempunyai kekhasan yang tidak bisa begitu saja tereduksi pada hubungan yang mengatur bidang lain. Karena itu, pemikiran Bourdieu yang mengatakan bahwa dalam semua masyarakat ada yang mengusai dan dikuasai, menjadi bermakna. Dalam pembedaan ini terletak prinsip dasar pengorganisasian sosial. Namun, menurutnya dominasi ini sangat tergantung pada situasi, sumber daya, dan strategi pelaku.Dalam penjelasan pada bagian awal, telah disinggung bahwahabitusmendasari terbentuknya ranah, sementara dilain pihak ranah menjadi lokus bagi kinerjahabitus. Ranah merupakan arena kekuatan yang di dalamnya terdapat upaya perjuangan untuk memperebutkan sumber daya (modal), dan juga demi memperoleh akses tertentu yang dekat dengan hierarki kekuasaan. Istilah modal digunakan Bourdieu untuk memetakan hubungan-hubungan kekuasaan dalam masyarakat. Modal dalam perspektif ilmu ekonomi, memuat beberapa ciri penting, yaitu: (1) Modal terakumulasi melalui investasi; (2) Modal bisa diberikan kepada yang lain melalui warisan; (3) Modal dapat memberi keuntungan sesuai dengan kesempatan yang dimiliki oleh pemiliknya untuk mengoperasikan penempatannya.[25]Konsep modal meskipun merupakan khasanah ilmu ekonomi, namun dipakai Bourdieu karena beberapa cirinya yang mampu menjelaskan hubungan-hubungan kekuasaan, seperti yang telah disebutkan di atas. Berdasarkan hal itu, Bourdieu memberikan konstruksi teoritiknya terhadap modal sebagai berikut:capital is a social relation, i.e., an energy which only exists and only produces its effects in the field in which it is produced and reproduced, each of the properties attached to class is given its value and efficacy by the specific laws af each field[26]Ide Bourdieu tentang modal seperti ini, lepas dari pemahaman tradisi Marxian dan juga konsep ekonomi formal. Konsep ini mencakup kemampuan melakukan kontrol terhadap masa depan diri sendiri dan orang lain. Pemetaan itu tidak berbentuk piramida atau tangga, tetapi lebih berupa suatu lingkup pembedaan atas dasar kepemilikan modal-modal dan komposisi modal-modal tersebut. Dengan pendekatan ini, maka setiap kelas sosial tidak dapat didefinisikan secara terpisah, tetapi selalu dalam hubungan dengan kelas-kelsa lain.Menurut Haryatmoko (2003), para pelaku menempati posisi-posisi masing-masing yang ditentukan oleh dua dimensi:pertama,menurut besarnya modal yang dimiliki; dankedua,sesuai dengan bobot komposisi keseluruhan modal mereka: untuk memahami bahwa sistem kepemilikan yang sama (yang menentukan posisi di dalam arena perjuangan kelas) memiliki unsur yang dapat menjelaskan, apapun bidang yang dikaji, konsusmsi makanan, praktik prokreasi, opini politik atau praktik keagamaan, dan bahwa bobot yang terkait dengan faktor-faktor yang membentuknya berbeda di satu arena dengan yang lain, dalam arena perjuangan yang satu mungkin modal budaya, ditempat lain mungkin modal ekonomi, arena lainnya lagi modal sosial, dan seterusnya.Berdasarkan penjelasan di atas, modal-modal tersebut dapat digolongkan menjadi empat golongan, yakni: (1) Modal ekonomi, yang mencakup alat-alat produksi (mesin, tanah, buruh), materi (pendapatan dan benda-benda) dan uang yang dengan mudah digunakan untuk segala tujuan serta diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya; (2) Modal budaya, yang mencakup keseluruhan kualifikasi intelektual yang dapat diproduksi melalui pendidikan formal maupun warisan keluarga. Misalnya kemampuan menampilkan diri di depan publik, pemilikan benda-benda budaya bernilai tinggi, pengetahuan dan keahlian tertentu dari hasil pendidikan, juga sertifikat (gelar keserjanaan); (3) Modal sosial, menunjuk pada jaringan sosial yang dimiliki pelaku (individu atau kelompok) dalam hubungan dengan pihak lain yang memiliki kuasa; dan (4) Modal simbolik, mencakup segala bentuk prestise, status, otoritas, dan legitimasi.[27]Dengan demikian, modal harus ada dalam sebuah ranah agar ranah tersebut memiliki daya-daya yang memberikan arti. Hubunganhabitu, fielddan modal bertaut secara langsung dan bertujuan menerangkan praktek sosial. Karakteristik modal dihubungakan dengan skemahabitussebagai pedoman tindakan dan klasifikasi dan ranah selaku tempat beroperasinya modal. Sedangkan ranah senantiasa dikelilingi oleh relasi kekuasaan objektif berdasarkan pada jenis-jenis modal yang digabungkan denganhabitus.Berdasarkan kriteria di atas, Bourdieu menyusun masyarakat dalam dua dimensi.Pertama,dimensi vertikal, dalam hal ini dapat dipertentangkan antara para pelaku yang memiliki modal besar dalam hal ekonomi dan budaya dengan mereka yang miskin.Kedua,susunan masyarakat menurut struktur modal. Dalam konteks ini dipertentangkan antara mereka yang memiliki modal ekonomi yang besar dengan mereka yang memiliki modal budaya yang besar. Pembedaan ini memungkinkan melihat pemisahan antara keduanya dalam proses satu tangga dalam dimensi vertikal.[28]Model pembagian kelas tersebut mendefinisikan ruang atau jarak yang dapat diramalkan yang memungkinkan perjumpaan, hubungan simpati atau bahkan hasrat. Secara lebih konkrit orang-orang yang termasuk dalam kelas atas, sedikit kemungkinannya menikah dengan orang yang berasal dari kelas bawah. Pertama, karena mereka jarang mempunyai kesempatan untuk bertemu; kedua, seandainya mereka bertemu, mereka tidak akan bisa dengan mudah saling memahami karena perbedaan latarbelakang budaya atauhabitusmereka.Haryatmoko yang mengutip Borudieu (1994), mengatakan hal yang sebaliknya bahwa kedekatan lingkungan sosial sudah memungkinkan kedekatan dalam hal kepemilikan,disposisi dan selera. Mereka lebih mudah saling mendekati, digerakan. Jadi kelas tidak dipahami dalam arti Marx yaitu kelompok yang dimobilisasi untuk kepentingan bersama dan khususnya untuk melawan kelas lainnya. Namun bukan berarti kedekatang lingkungan sosial secara otomatis menjamin kesatuan. Kedekatan itu mendefinisikan secara objektif potensi kesatuan. Sedangkan menurutnya, teori Marx melakukan kesalahan karena menganggap yang ada dalam teori disamakan begitu saja dengan yang ada dalam kenyataan. Dengan menggunakan istilah Marx sendiri, terjadi lompatan yang mematikan dari hal-hal logis ke logika hal itu[29]c.StartegiApabila dalam ranah terjadi ompetisi antar pemain untuk memenangkan pertandingan, maka penggunaan strategi diperlukan. Startegi ini diperlukan untuk mempertahankan dan ada pula yang ingin mengubah distribusi modal-modal dalam kaitannya dengan hirarhki kekuasaan. Menurut Bourdieu strategi yang dipakai oleh pelaku tergantung pada jumlah modal yang dimiliki dan struktur modal dalam posisinya di ruang sosial. Jika mereka berada dalam posisi dominan maka strateginya diarahkan pada usaha melestarikan dan mempertahankanstatus quo. Sedangkan mereka yang didominasi berusaha mengubah distribusi modal, aturan main dan posisi-posisnya sehingga terjadi kenaikan jenjang sosial.Meski mengarahan tindakan, strategi bukan semata-mata hasil dari suatu perencanaan yang sadar dan terdeterminasi secara mekanis strategi merupakan produk intuitif dari pemahaman para pelaku terhadap aturan-aturan permainan dalam lintasan peristiwa atau pada ruang dan waktu tertentu. Strategi berperan sebagaimanuverpara pelaku untuk meningkatkan posisi mereka dalam suatu arena pertarungan. Perjuangan mendapatkan pengakuan, otoitas, modal dan akses atas posisi-posisi kekuasaan terkait dengan strategi yang para pelaku gunakan.Pierre Bourdieu menggolongkan strategi yang digunakan pelaku menjadi 5 (lima) jenis strategi, yakni:a) Strategi investasi bologis. Strategi ini mencakup dua hal, yaitu kesuburan dan pencegaha. Strategi kesuburan berkaitan dengan pembatasan jumlah keturunan untuk menjamin transmisi modal dengan cara membatasi jumlah anak. Sementara strategi pencegahan bertujuan untuk mempertahankan keturunan dan pemeliharaan kesehatan agar terhindar dari penyakit.b) Strategi suksesif, strategi ni ditujukan untuk menjamin pengalihan harta warisan antar generasi, dengan menekankan pemborosan seminimal mungkin.c) Strategi edukatif, strategi ini berupaya menghasilkan pelaku sosial yang layak dan mampu menerima warisan kelompok sosial, serta mampu memperbaiki jenjang hierarki. Ditempu lewat jalur pendidikan, baik secara formal maupun informal.d) Strategi investasi ekonomi, hal ini merupakan upaya mempertahankan atau meningkatkan berbagai jenis modal, yaitu akumulasi modal ekonomi dan modal sosial. Investasi modal sosial bertujuan melanggengkan dan membangun hubungan-hubungan sosial yang berjangka pendek maupun panjang. Agar langgeng kelangsunganya, hubungan-hubungan sosial diubah dalam bentuk kewajiban-kewajiban yang bertahan lama, seperti melalui pertukaran uang, perkawinan pekerjaan dan waktu, dane) Strategi investasi simbolik, strategi ini merupakan upaya melestarikan dan meningkatkan pengakuan sosial, legitimasi, atau kehormatan melalui reproduksi skema-skema persepsi dan apersepsi yang paling cocok dengan property mereka, dan menghasilkan tindakan-tindakan yang peka untuk diapresiasi sesuai dengan kategori masing-masing. Misalnya pewarisan nama keluarga.[30]V.PenutupPemikiran bourdieu, tentunya bukan tanpa kritik. Gagasannnya mengenai ranah sebagai arena pertarungan dianggap terlalu mereduksi dunia kehidupan pada pertarungan semata, pada hal rana sosial bukan saja arena kompetisi, melainkan juga tempat bagi pelaku untuk mendapatkan makna hidup, seperti solidaritas, kerja sama, kasih sayang dan sebaginya. Begitupun dalam konsephabitusdanfield,dikritik karena ide-ide ini dianggap sebagai praktik kekerasan simbolik dalam nuansa baru.Terlepas dari berbagai kritik tersebut, Bourdieu tetap merupakan sosok pemikir yang unik. Keunikannya terletak pada upaya untuk memadukan teori dan praktek. Inti pemikirannya adalah menolak teori murni yang tidak memiliki basis empiris, namun ia pun menolak empirisisme murni yang dikerjakan dalam tempat yang hampa teori. Karena itu, ia mengatakan penelitian tanpa teori berarti buta, dan teori tanpa penelitian berarti hampa.[31]Dengan demikian ada semacam aturan yang tidak terucap dalam setiapfield. Aturan yang bekerja sebagai modus dari apa yang disebutnya sebagai kekerasan simbolik.Dengan konsep ini, ia ingin memperlihatkan bentuk yang tersembunyi dalam kegiatan sehari-hari. Kekerasan dalam bentuk yang sangat halus, kekerasan yang dikenakan pada agen-agen sosial tanpa mengandung resistensi, sebaliknya malah mengandung konformitas sebab sudah terlegitimasi secara sosial karena bentuknya yang sangat halus. Bahasa, makna dan sistem simbolik para pemilik kekuasaan ditanamkan dalam benak individu-individu lewat suatu mekanisme yang tersembunyi dari kesadaran. Dalam konteks ini, tawaranhabitus and fieldmenjadi bermakna untuk mengungkap realitas empirik kekerasan simbolik yang tidak disadari itu.Habitus and Field,sebagai sebuah kerangka analisis, adalah cukup fleksibel dan bagi saya cukup tepat untuk digunakan dalam kerangka analisis dominasi mel-melterhadapren-renpada masyarakat Kei, khususnya pada fokus penelitian yang akan saya lakukan.Daftar PustakaBourdieu, Pierre,In Other Words: Essays Towards a Reflexive Sociology,(Cambridge: Polity Press, 1990)Fashri, Fauzi,Penyingkapan Kuasa Simbol:Apropriasi Reflektif Pemikiran Pierre Bourdieu,(Yogyakarta: Juxtapose, 2007)Giddens, Anthony,Central Problem in Social Theoty,(Berkeley & Los Angeles: University of Callifornia Press, 1997)Haryatmoko,Menyingkap Kepalsuan Budaya Penguasa: Lansdasa Teoritis Gerakan Sosial Menurut Pierre Bourdieu,(Majalah BASIS, Nomor 11-12 Tahun Ke-52, November-Desember, 2003)Jenkins, Richard,Pierre Bourdieu,(London: Routledge, 1992)Priyono, B. Herry,Anthony Giddens: Suatu Pengantar,(Jakarta: KPG, 2002)Ritzer, George and Douglas J. Goodman,Teori Sosiologi,(Yogyakarta: Kreasi Wacana, cetakan ketiga, 2009)Swartz, David,Culture and Power: The Sociology of Pierre Bourdieu,(Chicago & London: The University of Chicago Press, 1997), 62Takwin, Bagus,Akar-Akar Ideologi: Pengantar Kajian Konsep Ideologi dari Plato hingga Bourdieu,(Yogyakarta: Jalasutra, 2003)____________,Habitus: Perlengkapan dan Kerangka Panduan Gaya Hidupdalam bukuResistensi Gaya Hidup: Teori dan Realitas,(Yogyakarta: Jalasutra, 2006)

Pierre Bourdieu: Sekolah, Tempat Reproduksi Kesenjangan Sosial

I.Biografi Pierre Bourdieu[1]Pierre Felix Bourdieu lahir pada 1 Agustus 1930 di desa Denguin Pyrenees-Atlantique, Provinsi Bearn, sebelah barat daya Prancis. Ia adalah anak dari seorang pegawai kantor pos. ketika menjalani pendidikannya diLycee[2], di Pau, ia terkenal sebagai murid yang cerdas. Setelah lulus dari Lycee ia melanjutkan studi ke Fakultas Sastra di Paris. Berkat kecerdasannya, Bourdieu diterima dalam lingkungan elite, yakniEcole Normale Superieure,sebuah kampus yang berisikan orang-orang dari golongan elite. Kampus itu juga merupakan tempat studi pemikir terkenal seperti Sarte, Levinas, dan Foucalt. Di sana ia belajar filsafat kepada Louis Althusser bersama dua rekannya yang juga merupakan pemikir terkenal, Aguste Compte dan Jacques Derrida.Pada masa pendidikannya ia tertarik pada karya-karya Marleau-Ponty dan Husserl. Karya-karya Heidegger Being and Time dan karya-karya Marx juga ikutmemperkaya khazanah pemikirannya. Bahan tesisnya diambil dari Animadversiones karya Leibniz. Bourdieu akhirnya menjadi pengajar Lycee di Moulins pada tahun 1955, setelah ia lulus dan mendapatagregasifilsafat. Akan tetapi tidak lama kemudian dikirim ke Aljazair lantaran adanya wajib militer. Namun selama di sanalah ia menemukan sebuah pemandangan baru, identitas baru mengenai kehidupan sosial. Hal ini ia peroleh ketika mempelajari benturan yang terjadi antara masyarakat Aljazair dengan kolonialisme Prancis melalui sebuah kontruksi mengenai struktur-struktur ekonomi dan sosial populasi pribumi. Ketika masa wajib militer usai, Bourdieu lalu menjadi pengajar yang berpindah-pindah di Fakultas Sastra Universitas Aljazair. Selama di Aljazair, Bourdieu menerbitkan karta pertamanya yang berjudulSociologie de IAlgerie.Pada tahun 1960, ia kembali ke Paris sebagai Antropolog autodidak. Ia juga masih mengajar di dua Universitas besar, yakni Universitas Paris dan Universitas Lille. Sebelum ia mendirikan pusat kajian sosiologi dan pendidikan budaya, Bourdieu sempat menjadi direkturEcoles des HautesEtudes en Sciences Sociales(EHESS), sebuah lembaga akademik yang berkecimpung dalam bidang sosial dan budaya. Pada tahun 1968 ia menjadi directurCentre de Sociologie Europeene(pusat kajian sosiologi Eropa), yang kemudian bersama koleganya, mulai mempelopori riset kolektif tentang permasalahan pelestarian sistem kuasa dengan menggunakan tranmisi dari budaya dominan. Riset tersebut merupakan sebuah usaha Bourdieu untuk meruntuhkan mekanisme reproduksi sistem kuasa yang baginya merupakan sumber dari segala struktur dominant dalam masyarakat. Berkat karya-karya yang ia hasilkan, pada tahun 1993, ia dianugerahi penghargaan Medaille dor du Centre National de la Recherche Scientifique (CNRS). Bourdieu pernah berkeluarga selama 21 tahun dengan Marie-Claire Brizard (1962-1983). Ia meninggal karena kanker di rumah sakit Saint Antione Paris, pada tanggal 23 januari 2002.II. Habitus, Arena Sosial, dan Kapital1. HabitusSecara literer,habitusberasal dari bahasa Latin yang artinya mengacu kepada kondisi, penampakan atau situasi yang tipikal atau habitual, khususnya pada tubuh. Bourdieu mempertahankan beberapa makna asli konsep ini dalam hubungan antara tubuh dan habitus.Pertama,dalam nalar yang sepele, habitus hanya ada selama ia ada di dalam kepala aktor yakni ketika masih menjadi ide dan kepala merupakan bagian dari tubuh.Kedua,habitus hanya ada di dalam, melalui dan disebabkan oleh praksis aktor dan interaksi antara dia dan ligkungan yang melingkupinya: cara berbicara, cara bergerak, cara membuat sesuatu, dll. Dalam hal ini secara empiris, habitus bukanlah konsep yang abstrak dan idealis. Ia bukan hanya termanifestasi dalam perilaku, namun merupakan bagian yang integral dari pelaku.Ketiga,transonomi praktis, yang tampak/dapat diases panca indra:laki-laki/perempuan, depan/belakang, atas/bawah, panas/dingin[3].MenurutBourdieu, Habitus adalah suatu sistem disposisi yang berangsung lama dan berubah-ubah (durable,transposable disposition) yang berfungsi sebagai basis generatif bagi praktik-praktik yang terstruktur dan terpadu secara obyektif. Habitus mengacu pada sekumpulan disposisi yang tercipta dan terformulasi melalui kombinasi struktur obyektif dan sejarah personal.[4]Habitus dapat dipandang sebagai proses perolehan yaknihasil keterampilan yang telah menjadi tindakan praktis. Habitus kemudian menjadi suatu kemampuan alamiah seseorang yang berkembang dalam suatu arena sosial. Sejak dalam kelurga, habitus mulai melekat dan dibentuk. Secara sederhana, habitus dapat juga disebut sebagai kebiasaan, yakni suatu pengulangan yang kreatif sekaligus interaktif. Hal inilah yang membuat habitus bersifat dinamis. Selain itu habitus dapat juga dipahami sebagai dasar kepribadian, yakni merupakan ide, atau kerangka penafsiran yang dapat digunakan untuk memahami dan menilai suatu realitas atau kebiasaan yang dilakukan seseorang.Walaupun begitu, habitus tidak hanya menunjuk pada ide, cara berpikir pola bertutur kata atau berpakaian seseorang, namun juga menunjuk pada raga dan pola tingkah laku seseorang. Selain itu, habitus juga dapat membedakan suatu kelas dengan kelas lainnya. Dalam ranah masyarakat, habitus kaum yang mendominasi biasanya yang lebih muncul ke permukaan dan menguasai medan sosial.Habitus adalah struktur yang dibentuk sekaligus membentuk dunia sosial.Contoh habitus adalah cara berbicara yang lembut dan sopan, aksen dalam berbicara, sikap jujur dan bertanggungjawab, dll. Misalnya seseorang yang lahir dalam keluarga dan lingkungan berbahasa batak. Dalam pertumbuhan dalam keluarganya, ia akan menginternalisasikan struktur bahasa batak yang cenderung beraksen keras, cepat dan menyampaikan sesuatu dengan cenderung tanpatedeng aling-aling.Struktur ini akan tumbuh dan menjadi bagian dari habitusnya dan semakin dewasa habitus akan berkembang menjadi lebih matang. Habitus ini akan menjadi sangat kentara perbedaannya dengan yang lain, ketika ia bergaul dengan orang lain di luar daerahnya.

2. Arena SosialDunia sosial terbagi dalam beberapa arena atau ranah atau wilayah yang berbeda satu sama lain. Artinya masing-masing arena degerakkan oleh mekanisme yang khas atau berbeda satu sama lain dari dalam tubuhnya, namun arena-arena saling mempengaruhi satu sama lain. Arena, menurut Bourdieu, adalah wilayah terbatas yang di dalamnya terdapat perjuangan atau manuver yang memperebutkan sember atau pertaruhan dan akses terbatas. Arena adalah taruhan yang dipertaruhkan seperti gaya hidup, perumahan, pekerjaan, kekuasaan (politik), intelektual, kelas sosial, ekonomi, prestise dll[5].Arena dapat juga diartikan sebagai sebuah permainan di mana di dalamnya capital dan habitus harus bermain. Arena menjadi penentu capital dan berlakunya sebuah habitus. Dalam hal ini arena menjadi tempat berlangsungnya perjuangan dan strategi. Seseorang yang masuk di dalamnya diandaikan telah mengusai aturan main yang ada di dalamnya.[6]Misalnya saja, seseorang yang terjun dalam dunia entertaimen, ia diandaikan mengerti bagaimana harus selalu tampil menarik, dan elegan. Konsep arena sosial ini nantinya akan berhubungan dengan pendapatnya mengenai sekolah yang menurutnya cenderung menjadi arena perjuangan sosial, yang cenderung mendorong peluang terjadinya reproduksi kesenjangan sosial. Dalam arena sosial adalah mereka yang mempunyai kepemilikan modal yang besar, yakni ekonomi, budaya, sosial atau simbolis akan menguasai dan mendominasi arena.

3. KapitalKapital atau modal adalah sumber-sumber daya yang mempunyai nilai tertentu yang dimiliki oleh seseorang agar dapat bertahan dalam suatu arena. Setiap arena menuntut individu untuk mempunyai modal-modal khusus agar dapat hidup baik dan bertahan di dalamnya. Oleh karena, modal tergantung pada arena-arena itu, maka modal bersifat partikular[7]. Misalnya seorang frater yang memiliki kecerdasan dan keberanian untuk mengungkapkan pemikirannya serta memiliki modal mudah bergaul, akan mendapat posisi baik dalam lingkup komunitasnya, ia akan dipercaya dan disukai rekan-rekannya, sehingga selalu dipilih menjadi pemimpin.Modal dapat dibagi dalam berbagai macam bentuk.Pertama,modal ekonomi, modal yang paling mudah berubah dan berpindah dalam bentuk lain (uang, tanah, alat produksi, dll).Kedua,modal sosial, yang berupa berbagau jenis relasi dan hubungan yang bernilai dengan pihak-pihak yang berharga dan mempunyai pengaruh dalam kedudukan sosial.Ketiga,modal kultural, atau pengetahuan sah satu sama lain, yang (1) terintegrasi dalam pribadi seseorang (pengetahuan), (2) yang ada alam bentuk obyektif (buku) dan (3) yang terintsitusionalisasikan (gelar pendidikan SI, S2, S3 atau menjadi anggota sebuat tim peneliti).Modal yangkeempatadalahmodal simbolis, yang merujuk pada pengakuan sosial. Bourdieu melihat modal simbolik atau symbolic capital (seperti: harga diri, martabat, atensi) merupakan sumber kekuasaan yang krusial.

III. Sekolah: Reproduksi Kesenjangan Sosial[8]Mau tak mau Kapital mempunyai pengaruh yang besar dalam menentukan posisi seseorang dalam suatu kelompok sosial. Dalam lingkup budaya sekolah, kelompok sosial menengah atas yang mempunyai dukungan kapital ekonomi akan lebih dimudahkan dalam persaingan. Tak dapat dipungkiri bahwa dalam masyarakat kita terdapat suatu dominasi budaya. Kelas dominan yang menguasai arena sosial adalah mereka yang mempunyai kepemilikan modal yang besar, yakni ekonomi, budaya, sosial atau simbolis. Perbedaan inilah yang nantinya akan menjadisumberkesenjangan sosial. Sekolah yang menjadi tempat seseorang menuntut ilmu ternyata tak lepas dari pengaruh ini, malah menjadi tempat reproduksinya. Sekolah dalam hal ini juga menjadi arena sosial yang menjadi tempat pertarungan kekuatan, dan keberhasilan yang dicapai di dalamnya tergantung pada besarnya kapital dan posisinya dalam lingkup sosial.Bourdieu mengkritik pendidikan melalui sekolah cenderung menjadi tempatreproduksi kesenjangan sosial. Sejak masih di sekolah dasar, peserta didik sudah dipacu untuk berprestasi agar masuk peringkat. Sejak dini mereka mulai berlomba memperebutkan suatu posisi tertentu karena ini bermanfaat untuk jenjang selanjutnya. Fenomena dunia saat ini pun begitu jelas. Perburuan sekolah favorit menjadi hal yang sangat biasa dan memang harus diperjuangkan oleh orang tua. Untuk mendukung proses itu tak rugi mereka mengundang jasa bimbingan belajar persiapan masuk sekolah untuk anaknya. Bagi Bourdieu, sistem sekolah menciptakan mitos bahwa semua punya kesempatan sama. Perburuan sekolah favorit ini memberi bukti, orang telah menyetujui sistem seleksi masyarakat sejak dini. Hal ini sebenarnya menunjukan bahwa tak semua didik punya kesempatan sama. Ideologi bakat melanggengkan mitos secara halus. Asal-usul sosialah yang sebenanya menjadifaktor paling menentukan keberhasilan atau kegagalan peserta didik di sekolah[9].Sistem sekolah lebih menguntungkan kelas menengah ke atas, karena budaya sekolah lebih sesuai dengan habitus yang mereka miliki. Kelas sosial menengah ke atas lebih memiliki kesempatan yang besar untuk berhasil karena latar belakang budaya mereka lebih siap disbanding dengan mereka yang datang dari kelas sosial yang rendah. Dalam upaya untuk memperoleh pengetahuan dan keterampilan dasar (membaca, berbicara runtut, menghitung dan pemecahan masalah) peserta didik dari kelas sosial rendah sudah mengalami banyak hambatan, apalagi dalam hal pembelajaran untuk pengembangan kepribadian dan intelektual (pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap). Mereka harus berjuang keras untuk mencapai pendidikan yang bermutu, karena memang jauh dari fasilitas dan budaya. Berbeda dari mereka yang berasal dari kelas menengah ke atas, yang sejak kecil tidak asing dengan buku, komputer, perpustakaan, majalah atau Koran. Semua itu telah menjadi habitus, bagian hidup sehari-hari. Golongan menengah atas umumnya juga memiliki kebiasaan membaca dan belajar. Habitus ini mempermudah mereka untukmemenangi persaingan. Dari sini muncul ideologi bakat, seakan berkat bakat dan ketekunan, semua peserta didik mempunyai kesempatan yang sama untuk berhasil. Padahal, keberhasilan itu berkat habitus, hasil keterampilan dan pembiasaan. Hal inilalu menjadi bagian kesadaran praktis, yang kemudian diungkapkan dalam kemampuan yang kelihatannya alamiah, dan bisa berkembang lantaran lingkungan sosial tertentu.Menurut Bourdieu, kesenjangan sosial dalam pendidikan terasa sekali ketika melihat kesempatan masuk ke Perguruan Tinggi. Bagi peserta yang berasal dari kelas menengah atas kemungkinannya sampai 80 %, sedangkan mereka yang berasal dari petani dan buruh hanyalah 40 %. Dari prosentasi ini terlihat bagaimana sekolah kemudian dianggapnya ikut berperan dalam memproduksi dan mereproduksi kesenjangan sosial tersebut. Berhadapan dengan sekolah, kesenjangan sosial bukanlah masalah perbedaan pendapatan, tetapi lebih pada perbedaan capital budaya. Sekolah, sejak awal menjadi tempat yang sangat efektif untuk menaikan jenjang sosial. Melalui sekolah, seseorang dapat memperbaiki kehidupannya baik secara ekonomi, budaya maupun dalam kelas sosial. Ada hubungan antara keberhasilan di sekolah dengan pendampingan keluarga terhadap peserta didik, tingkat pendidikan keluarga dan capital ekonomi. Di hadapan masyarakat, sekolah tampak membuka kesempatan yang sama bagi seluruh kelas sosial. Padahal sebenarnyamenuntut suatu syarat tertentu jika ingin menempati suatu posisi tertentu dalam universitas-universitas tertentu.Bahasa bukan hanya menjadi alat komunikasi, namun juga sebagai instrumen tindakan dan kekuasaan. Menurut pengamatan Bourdieu, ada hubungan antara kemampuan berbahasa dan kelas asal sosial. Kelas sosial menengah atas biasanya mempunyai kekayaan bahasa, seperti kemampuan berbicara dengan terstruktur, logis ataupun sistematis sebagai mana diajarkan keluarga. Habitus bahasa yang diperoleh dari keluarga ikut menentukan struktur berpikir dan bertindak yang pada gilirannya akan ikut menentukan keberhasilan atau kegagalan dalam meniti jenjang pendidikan atau masa depan karirnya dalam arena sosial. Dalam arena sosial bahasa menjadi hal yang penting. Bahasa akan menjadi efektif dalam institusi yang memberikan otoritas kepada penutur untuk melakukan tindakan sesuai ujaran yang diucapkan. Seseorang pelaku sosial yang mempunyai otoritas tertentu dalam sebuah institusi akan memanifestasikan otoritasnya dan memberi pengaruh ketika ia berbicara dalam situasi dan kondisi yang sesuai dengan wewenanganya.

IV. Kekerasan SimbolikModal yang cukup berpengaruh dalam kehidupan seseorang adalah modal simbolik. Ketika pemilik modal simbolik menggunakan kekuatannya, ia akan berhadapan dengan agen/pihak yang memiliki kekuatan lebih lemah, dan karena itu si agen berusaha mengubah tindakan-tindakannya. Oleh karena itu pada akhirnya hal ini menunjukkan terjadinya kekerasan simbolik (symbolic violence). Kekerasan simbolik adalah kekerasan yang bentuknya sangat halus, kekerasan yang dikenakan pada agen-agen sosial tanpa mengundang resistensi, tapi sebaliknya malah mengundang konformitas sebab sudah mendapat legitimasi sosial sebab bentuknya sangat halus[10].Contohnya bisa terlihat, ketika seorang gadis membawa pacarnya ke rumah orangtua si gadis. Orangtua si gadis, yang menganggap si pemuda ini tidak pantas disandingkan dengan anak perempuan mereka, menunjukkan wajah dan tindakan dengan rasa kurang simpati. Simbol-simbol ini menyampaikan pesan bahwa si gadis tidak akan diizinkan meneruskan hubungannya dengan sang pacar. Namun, orangtua si gadis tidak secara paksa atau eksplisit menyatakan ketidaksetujuannya. Gadis itu akhirnya merasakan kekuasaan simbolik dan sistem pemaknaan (budaya) sebagai sesuatu yang sah (legitimate) dari pihak orang tuanya. Maka, si gadis akan merasa wajib memenuhi tuntutan orangtuanya yang tak terucapkan, tanpa memperdulikan kebaikan sebenarnya dari si pemuda pelamarnya. Gadis itu dibuat menyalahartikan atau tidak mengenali hakikat si pemuda. Lebih jauh, dengan memandang kekerasan simbolik yang dilakukan orangtuanya sebagai sesuatu yang sah. Dalam pandangan Bourdieu, hal ini dapat disebut sebagai suatudoxaatau wacana yang diterima begitu saja sebagai suatu kebenaran dan tidak dipertanyakan lagi sebab-sebabnya apalagi kebenarannya.Doxamenjadi semacam tatanan sosial dalam suatu individu yang mapan dan terikat pada tradisi, di mana di dalamnya terdapat kekuasaan yang sepenuhnya dianggap alamiah dan tidak dipertanyakan lagi. Contoh laindoxayang kentara dalam periklanan misalnya adalah perusahaan Coca cola yang begitu gencar mengiklankan produknya, sehingga orang sampai-sampai berpikir bahwa minuman yang modern adalah Coca cola, maka tak lengkap rasanya jika lebaran atau pesta tanpa minum minuman ini. Atau Antangin yang dengan berani mengiklankan orang pintar minum tolak angin, membuat orang menjadi gensi jika tidak minum obat ini jika masuk angin. Pengiklanan produk ini adalah sebuah bentuk kekerasan simbolik. Pengiklanan ini secara tidak sadar kita memaksa untuk membelimerkterkenal atau sering diiklankan itu.Modal simbolis penggunaannya rentan jatuh pada penggunaan kekuasaan simbolik untuk mempertahankan pengakuan sosial. Kekerasan simbolik pada dasarnya adalah pemaksaan kategori-kategori pemikiran dan persepsi terhadap agen-agen sosial terdominasi, yang kemudian menganggap tatanan sosial itu sebagai sesuatu yang adil. Ini adalah penggabungan struktur tak sadar, yang cenderung mengulang struktur-struktur tindakan dari pihak yang dominan. Pihak yang terdominasi kemudian memandang posisi pihak yang dominan ini sebagai yang benar. Kekerasan simbolik dalam arti tertentu jauh lebih kuat daripada kekerasan fisik, karena kekerasan simbolik itu melekat dalam setiap bentuk tindakan dan struktur kognisi individual, dan memaksakan momok legitimasi pada tatanan sosial[11].

V. Catatan padapemikiran BourdieuKritik Bourdieu mengenai sekolah yang menjadi tempat reproduksi kesenjangan sosial memang sangatsangat idealis sehingga sebenarnya sulit direalisasikan. Tuntutan terhadap kurikulum pendidikan sangatlah tinggi karena para pembuat kebijakan harus memperhatikan kapital budaya para siswanya sehingga sekolah menjadi tempat untuk menyetarakan diri dengan kaum kelas atas. Jika hal ini terjadi memang sekolah tidak hanya menjadi mitos dalam membuka kesempatan yang sama bagi mobilitas sosial namun sebenarnya gagasan ini sangat sulit direalisasikan. Melihat pemikiran ini, nampaknya Bourdieu mempunyai impian mengenai masyarakat tanpa kelas yang masing-masing anggotanya memiliki kapital budaya yang sejajar, namun rasanya amat sulit orang miskin diterima masuk dalam golongan orang kaya. Pertanyaannya, apakah mereka dapat menyesuaikan diri dengan cara dan gaya hidup mereka.Dengan adanya teori-teori yang ditawarkan oleh Bourdieu, sebenarnya Bourdieu mengajak kita untuk bersikap kritis dan sadar selalu terhadap berbagai wacana yang mewacana dan mendominasi yang dapat. Bourdieu mengajak masyarakat untuk selalu mempertanyakan berbagai paradigma yang mentradisi atau tertanam dalam individu-individu secara turun temurun dan diterima begitu saja sebagai suatu kebenaran tanpa dipertanyakan lagi sebab-sebabnya apalagi kebenarannya (Doxa). Masyarakat terkadang perlu mencurigai jangan-jangan paradigma itu sudah merupakan hasil produksi dari kelas yang mendominasi. Bukan tidak mungkin bahwa mereka yang memiliki modal dengan mudah membelokan wacana untuk suatu kepentingan (politis, ekonomis, budaya, sosial kemasyarakatan) yang menguntungkan mereka. Oleh karena itu, Bourdieu sebenarnya berusaha merubuhkan dominasi dari segi-segi normative yang tidak kelihatan, yang tidak problematis karena diterima begitu saja dan menjadi suatu kebenaran yang diterima[12].Bourdieu berpendapat bahwa kebenarandoxaitu hanya dapat dilawan dnegan munculnya wacana yang berlawanan dengandoxa(heterodoxa). Sangat bahaya jika masyarakat tidak menaruh curiga terhadap berbagai kepentingan terselubung yang ada dalam peraturan-peraturan atau norma adat, agama, wacana atau paradigma dari kelas bermodal yang berkaitan dengan budaya, sikap-sikap dan kontrol ketubuhan, etika, bahasa, sampai pada gaya hidup masyarakat dengan berbagai variablenya.

VI. Penerapan dalam Dimensi Dualitas Struktural Antony GiddensDalam teori dimensi dualitas struktural Antony Giddens disebutkan bahwa dalam masyarakat ada 3 bentuk interaksi sosial yang dominan dan selalu ada, yakni Komunikasi, kekuasaan, dan sanksi. Ke dalam dimensi struktural ini, kami ingin mencoba memasuk cara pikir yang digunakan oleh Pierre Bourdiou mengenai kritiknya terhadap institusi sekolah. Dalam Interaksi sosial, komunikasi yang berpola akan membentuk pemaknaan (struktur). Kualitas struktur yang dihasilkan terbentuk oleh kualitas kerangka penafsiran. Dalam pemikiran Bourdieu, yang termasuk dalam kerangka penafsiran adalah arena sosial, karena di dalamnya agen-agen saling berinteraksi sesuai dengan aturan main yang hanya berlaku dalam arena itu. Selain itu ada juga dari pihak bawah: kesempatan yang sama untuk mobilitas sosial dalam sekolah, sedangkan dari pihak atas:habitusintelektualitas yang dekat dengan budaya sekolah, posisi dalam jenjang sekolah terkenal menentukan masa depan, sistem sekolah lebih menguntungkan kelas menengah ke atas, karena budaya sekolah lebih sesuai dengan habitus yang mereka miliki.Dalam interaksi sosial, kekuasaan yang berpola dalam tempat dan waktu akan membentuk dominasi, tergantung dengan modalitas. Perlu diperhatikan di sini, bahwa dalam setiap hubungan atau interaksi sosial selalu ada dominasi. Menurut Bourdieu, dari pihak kelas bawah sebenarnya hanya memiliki sedikit saja modal yang mendukung mereka dalam interaksi sosial. Mereka yang dari kelas menengah atas memiliki beberapa modal: (1)modal ekonomi:fasilitas pendidikan (komputer, alat tulis, alat komunikasi), biaya sekolah, biaya untuk pembelian buku, fasilitas sekolah, biaya mobilitas pendidikan, biaya penelitian, biaya studi banding, pembiayaan jasa pengajar les/khursus, dll, (2)Modalpolitik:pengaruh orang tua, rekomendasi dari sekolah awal, dll (3)modal budaya:habitusintelektual, keterampilan dasar (membaca, berbicara runtut, menghitung dan pemecahan masalah), pembelajaran untuk pengembangan kepribadian dan intelektual (pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap), kekayaan bahasa (kemampuan berbicara dengan terstruktur, logis ataupun sistematis), (4)modalsosial:hubungan yang baik dengan pihak sekolah atau pihak yang mempunyai pengaruh, (5)modal ideologi:terbiasa dengan pembuatan target belajar, (6)modal fisik:kesehatan yang lebih baik, badan yang terawat dan menarik (untuk yang terjun dalam kecantikan). Sedangkan mereka yang dari kelas bawah: biasanya hanya mengandalkanmodal fisik(keberadaan dirinya) danmodal budaya(kemampuan intelktualitas bermutu yang memang menjadi bakat bawaannya) dalam arena sosial di mana terjadi persaingan untuk mencapai suatu posisi keberhasilan. Oleh karena itu, mereka yang dari kelas bawah sebenarnya telah terhambat sejak awal. Mereka harus berjuang keras untuk mencapai pendidikan yang bermutu, yang memang jauh dari fasilitas dan budaya. Sehingga sebenarnya kemungkinan keberhasilan sudah kecil sejak awal.Dalam interaksi sosial ada pula yang disebut sanksi. Sanksi yang berpola dalam tempat dan waktu akan membentuk legitimasi (dasar pembenaran), namun sekali lagi tetap tergantung pada modalitas. Dalam pemikiran Bouerdieu, (1) Ideologi bakat meracuni masyarakat. Orang-orang berpikir bahwa dasar penentuan keberhasilan dalam persaingan di sekolah semata-mata adalah karena bakat dan kemampuan alamiah, maka tanpa sadar masyarakat melegitimasi persaingan yang ada di sekolah, misalnya dalam seleksi calon murid. Hal ini seolah-olah terlihat adil dan tak perlu lagi dipermasalahkan, masyarakat tak sadar bahwa mereka yang akan berhasil kebanyakan adalah dari masyarakat kelas atas, karena telah memiliki bekal yang kuat, yakni modal-modal yang disebutkan di atas. Selain itu (2)doxa,juga dipandang legitimasi karena kebenarannya tidak lagi dipertanyakan.Doxaseringkali melahirkan kekerasan simbolik, karena terkadang pihak yang dominant menggunakannya tidak untuk kepentingan bersama, melainkan kepentingannya pribadi. Misalnya saja di sekolah: terkadang Dosen menyalahkan pendapat mahasiswanya dengan berbagai macam teori-teori yag seolah-olah mendukungnya, padahal ini dilakukan demi mempertahankan posisi dan kewibawaannya sebagai seorang dosen. Mahasiswa kadang tidak berani atau bahkan mengiyakan atau setuju dengan argumen dosen, karena menganggapnya sebagai suatu materi baru dari sang dosen.Daftar Pustaka

Harker, R - C. Wilkes Cheelen Kahar (eds).,2005(Habitus x Modal) + Ranah = Praktik,diterjemahkan dariAn Introduction to the Work of Pierre Bourdieu: The Practice Theory, oleh Pipit Maizer, Jalasutra, Yogyakarta.

Haryatmoko,2010Dominasi Penuh Muslihat,Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Jenkins, Richard.,2004Membaca Pikiran Pierre Bourdieu,Kreasi Wacana, Yogyakarta.

Widya Nugroho, Y.,2006Membuka Selubung Dominasi Budaya dalam Mekanisme Reproduksi Kesenjangan Sosial menurut Pemikiran Pierre Bourdieu,Skripsi Teologi, Yogyakarta.

http://www.unisosdem.org/kliping_detail.php?aid=2320&coid=1&caid=52.

http://satrioarismunandar6.blogspot.com/2009/05/pierre-bourdieu-dan-pemikirannya.html.

[1]Bagian ini disarikan dari R. Harker- C. Wilkes Cheelen Kahar (eds),(Habitus x Modal) + Ranah = Praktik,diterjemahkan dariAn Introduction to the Work of Pierre Bourdieu: The Practice Theory, oleh Pipit Maizer, Jalasutra, Yogyakarta, 2005, vii-xiii.[2]Sekolah yang rentang waktunya setara dengan pendidikan dasar sampai menengah.[3]Richard Jenkins,Membaca Pikiran Pierre Bourdieu,Kreasi Wacana, Yogyakarta 2004, 106-108.[4]R. Harker- C. Wilkes Cheelen Kahar (eds),(Habitus x Modal) + Ranah = Praktik, 13.[5]Richard Jenkins,Membaca Pikiran Pierre Bourdieu,Kreasi Wacana, Yogyakarta 2004, 124.[6]Bdk. R. Harker- C. Wilkes Cheelen Kahar (eds),(Habitus x Modal) + Ranah = Praktik, 14.[7]Bdk. R. Harker- C. Wilkes Cheelen Kahar (eds),(Habitus x Modal) + Ranah = Praktik, xx.[8]Bagian ini disarikan dari Haryatmoko,Dominasi Penuh Muslihat,Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 2010, 173-180.[9]http://www.unisosdem.org/kliping_detail.php?aid=2320&coid=1&caid=52, diakses pada 27 Oktober 2011.

KERASAN SIMBOLIK DI SEKOLAH: SEBUAH PEMIKIRAN PIERRE BOURDIUE TENTANG HABITUS DALAM PENDIDIKAN

MENGURAI KEKERASAN SIMBOLIK DI SEKOLAH: SEBUAH PEMIKIRANPIERRE BOURDIUE TENTANG HABITUS DALAM PENDIDIKAN*

Oleh : Noor Rochman**

Kekerasan merupakan satu istilah yang tidak asing di telinga kita dan ketika kita mendengar kata kekerasan, sebagian besar di antara kita akan mengarahkannya pada sebuah peristiwa yang mengerikan, menakutkan, menyakitkan, atau bahkan mematikan. Fenomena kekerasan saat ini telah mewarnai hampir seluruh aspek kehidupan sosial kita baik politik, budaya, bahkan hingga pendidikan.Masihjelasdi ingatankita berbagai kasus kekerasan terjadi disepanjangtahun ini antara lain kasus kekerasan etnik dan atas nama agama di Poso dan Lampung, kekerasan terhadap jurnalis, kekerasan terhadap anak menunjukkan bahwa kekerasan adalah masalah yang sangat serius. Kasus kekerasan berikutnya yang cukup marak adalah kasus kekerasan dalam dunia pendidikan.Menurut Nanang Martono (2012), Kekerasan ataubullyingdi sekolah, sering dilegitimasi dengan alasan menegakkan disiplin di kalangan siswa atau mahasiswa misalnya kekerasan yang dilakukan guru karena siswa tidak mengerjakan PR, ribut dikelas dan bolos serta kekerasan yang dilakukan sesama siswa saat ospek. Selain alasan menegakkan disiplin juga dapat terjadi karena motif menunjukkan rasa solidaritas, proses pencarian jati diri, serta kemungkinan adanya gangguan psikologis dalam diri siswa. Misalnya, tawuran antarpelajar yang dapat dilatarbelakangi karena siswa merasa menjadi satu golongan yang membela teman atau membela sekolahnya. Fenomena ini disebut oleh Durkheim sebagai kesadaran kolektif dalam kelompok siswa dimana terjadi konflik antara dua atau tiga siswadari sekolah atau gank yang berbeda, dapat berimbas pada tawuran antarpelajar yang melibatkan puluhan siswa dari sekolah yang berbeda atau kelompok yang berbeda dan bisa berakibat tewasnya beberapa pelajar.Uraian di atas merupakan sebuah fenomena kekerasan fisik dan psikologis yang wujudnya mudah dikenali dan dampaknya mudah untuk diamati. Namun, banyak pihak yang tidak menyadari akan adanya bentuk kekerasan lain yang hampir selalu terjadi di sekolah setiap hari. Bentuk kekerasan tersebut adalahkekerasan simbolik. Konsep ini dikemukakan oleh Pierre Bourdieu, seorang sosiolog dari Perancis. Bourdieu menggunakan konsep ini untuk menjelaskan mekanisme yang digunakan kelompok kelas atas yang mendominasi struktur sosial masyarakat untuk memaksakan ideologi, budaya, kebiasaan, atau gaya hidupnya kepada kelompok kelas bawah yang dodominasinya. Rangkaian budaya ini oleh Bourdieu disebut juga sebagaihabitus. Akibatnya masyarakat kelas bawah, dipaksa untuk menerima, menjalani, mempraktikan, dan mengakui bahwa habitus kelas atas merupakan habitus yang pantas bagi mereka (kelas bawah), sedangkan habitus kelas bawah merupakan habitus yang sudah selayaknya dibuang jauh-jauh.Banyak mekanisme atau cara yang digunakan kelompok kelas atas untuk memaksakan habitusnya, salah satunya melalui lembaga pendidikan. Mekanisme sosialisasi habitus kelompok atas ini pun dapat dijumpai dalam berbagai bentuk. Kita dapat melihat bagaimana anak-anak disekolah diwajibkan memakai sepatu, seragam, serta berbagai atribut atau cara berpakaian kelompok kelas atas yang juga harus dilakukan kelompok kelas bawah. Dengan kata lain, siswa dari kelas bawah dipaksa untuk berbusana layaknya kelas atas, mereka dipaksa menerima habitus kelas atas.

Riwayat Singkat BourdieuPierre-Felix Bourdieu lahir di Desa Denguin (Distrik Pyrenees-Atlanticues), di selatan Prancis pada 1 Agustus 1930. Ayahnya adalah seorang petugas pos desa. Ia mendapatkan pendidikanLyce(SMA) di Pau, sebelum pindah keLyce Louis-le-Granddi Paris, dan akhirnya masuk keEcole Normale Suprieure. Bourdieu belajar filsafat bersama Louis Althusser di Paris diEcole Normale Suprieurepada tahun 1951. Setelah lulus, ia bekerja sebagai guruLycedi Moulins dari 1955 sampai 1958, ketika ia bergabung dengan dunia militer dan dikirim ke Aljazair. Pada 1958 ia menjadi pengajar di Universitas Aljazair.Pada 1960, ia kembali ke Universitas Paris mengajar sampai 1964. Bourdieu memegang jabatan Direktur Kajian dicole Pratique des Hautes tudes(yang kemudian menjadicole des Hautes tudes en Science Sociales), di seksi Vie sejak 1964 dan seterusnya. Sejak 1981, ia menjabat ketua jurusan Sosiologi di Collge de France, di seksi Vie.Di Prancis, ia mendirikanCentre for the Sociology of Education and Culture. Dia sudah menulis beberapa buku, antara lainSociologie de lAlgrie (1958; The Algerians, 1962), La Distinction (1979; Distinction, 1984), Le Sens pratique (1980; The Logic of Practice, 1990), La Noblesse dtat (1989; The State Nobility, 1996), and Sur la tlvision (1996; On Television, 1998).Tema-tema bukunya berkisar kritik terhadap konsep sekaligus praktek ekonomi neoliberal, globalisasi, elitisme intelektual, dan televisi.Bourdieu menikah dengan Marie-Clarie Brizard pada 1962 dan memiliki tiga orang putra. Ia meninggal karena kanker pada usia 71 tahun pada 23 Januari 2002.

Konsep Dasar BourdieuBourdieu merupakan sosiolog yang pemikirannya banyak diwarnai dengan ide-ide filosofis. Berikut ini beberapa konsep-konsep yang nantinya sangat bermanfaat untuk menjelaskan makna kekerasan simbolik yang kemudian dikaitkan dengan konsep pendidikan dan sekolah.1.ModalBourdieu memaknai modal bukan hanya dimaknai modal semata-mata sebagai modal yang berbentuk materi, melainkan modal merupakan sebuah hasil kerja yang terakumulasi (dalam bentuk yang terbendakan atau bersifat menumbuh-terjiwai dalam diri seseorang). Bourdieu menyebut istilah modal sosial (social capital), modal budaya (cultural capital), modal simbolik (symbolic capital). Modal sosial menunjuk pada sekumpulan sumberdaya yang aktual atau potensial yang terkait dengan pemilikan jaringan hubungan saling mengenal dan/atau saling mengakui yang memberi anggotanya dukungan modal yang dimiliki bersama. Modal sosial dapat diwujudkan dalam bentuk praktis seperti pertemanan, dan bentuk terlembagakan terwujud dalam keanggotaan kelompok yang relatif terikat seperti keluarga, suku, sekolah. Modal budaya merujuk pada serangkaian kemampuan atau keahlian individu, termasuk di dalamnya adalah sikap, cara bertutur kata, berpenampilan, cara bergaul, dan sebagainya. Modal simbolik merupakan sebuah bentuk modal yang berasal dari jenis yang lain, yang disalahkenali bukan sebagai modal yang semena, melainkan dikenali dan diatur sebagai sesuatu yang sah dan natural. Modal simbolik ini berupa pemilihan tempat tinggal, pemilihan tempat wisata, hobi, tempat makan, dan sebagainya. Menurut Bourdieu modal simbolik merupakan sumber kekuasaan yang krusial.2.KelasSecara khusus Bourdieu mendefinisikan kelas sebagai kumpulan agen atau aktor yang menduduki posisi-posisi serupa dan ditempatkan dalam kondisi serupa serta ditundukkan atau diarahkan pada pengondisian yang serupa. Menurut Bourdieu setiap kelas memiliki sikap, selera, kebiasaan, perilaku atau bahkan modal yang berbeda. Bourdieu membedakan kelas menjadi tiga. Pembedaan ini sekali lagi didasarkan pada faktor pemilihan modal tadi.Pertama, kelas dominan, yang ditandai oleh pemilikan modal yang cukup besar. Individu dalam kelas ini mampu mengakumulasikan berbagai modal dan secara jelas mampu membedakan dirinya dengan orang lain untuk menunjukkan identitasnya. Kelas dominan juga mampu memaksakan identitasnya kepada kelas lain.Kedua, kelas borjuasi kecil. Mereka diposisikan ke dalam kelas ini karena memiliki kesamaan sifat dengan kaum borjuasi, yaitu mereka memiliki keinginan untuk menaiki tangga sosial, akan tetapi mereka menempati kelas menengah dalam struktur masyarakat. Mereka dapat dikatakan akan lebih banyak melakukan imitasi terhadap kelas dominan.Ketiga, kelas populer. Kelas ini merupakan kelas yang hampir tidak memiliki modal, baik modal ekonomi, modal budaya maupun modal simbolik. Mereka berada pada posisi yang cenderung menerima dominasi kelas dominan, mereka cenderung menerima apa saja yang dipaksakan kelas dominan.3.HabitusKonsep habitus bukanlah konsep yang diciptakan Bourdieu. Bourdiue hanya memperluas kembali konsep habitus yang dikemukakan Marcel Mauss, Norbert Elias, Max Weber, Durkheim, Hegel, dan Edmund Husserl dengan istilah yang berbeda namun memiliki makna yang sama. Pada awalnya, habitus diistilahkan dengan hexis, kemudian diterjemahkan Thomas Aquinas ke dalam bahasa Latin dengan istilahhabitus.Habitus juga dapat dirumuskan sebagai sebuah sebagai sebuah sistem disposisi-disposisi (skema-skema persepsi pikiran, dan tindakan yang diperoleh dan bertahan lama). Habitus juga merupakan gaya hidup (lifestyle), nilai-nilai (values), watak (dispositions), dan harapan (expectation) kelompok sosial tertentu. Sebagian habitus dikembangkan melalui pengalaman.Bourdieu merumuskan konsep habitus sebagai analisis sosiologis dan filsafati atas perilaku manusia. Dalam arti ini, habitus adalah nilai-nilai sosial yang dihayati oleh manusia, dan tercipta melalui proses sosialisasi nilai-nilai yang berlangsung lama, sehingga mengendap menjadi cara berpikir dan pola perilaku yang menetap di dalam diri manusia tersebut. Habitus seseorang begitu kuat, sampai mempengaruhi tubuh fisiknya. Habitus yang sudah begitu kuat tertanam serta mengendap menjadi perilaku fisik disebutnya sebagai Hexis (Reza A.A Wattimena: 2012).Setiap kelas akan memiliki habitus yang berbeda-berbeda. Habitus inilah yang kemudian dipaksakan kelas dominan kepada kelas terdominasi. Kelas dominan akan selalu memaksakan habitusnya melalui berbagai mekanisme kekuasaan.4.Kekerasan dan KekuasaanMenurut Bourdieu, kekerasan berada dalam lingkup kekuasaan. Hal tersebut berarti kekerasan merupakan pangkal atau hasil sebuah praktik kekuasaan. Ketika sebuah kelas mendominasi kelas yang lain, maka di dalam proses tersebut akan menghasilkan sebuah kekerasan. Untuk menjalankan aksi dominasi melalui kekerasan ini, kelas dominan selalu berupaya agar aksinya tidak mudah dikenali. Mekanisme kekerasan yang dilakukan kelas dominan dilakukan secara perlahan namun pasti, sehingga kelas dominan tidak sadar bahwa dirinya menjadi objek kekerasan. Dengan demikian, kelas dominan memiliki kekuasaan yang digunakan untuk mendominasi kelas yang tidak beruntung, kelas tertindas. Mekanisme kekerasan seperti inilah yang kemudian disebut sebagai kekerasan simbolik.Kekerasan simbolik adalah salah satu konsep penting dalam ide teoretis Bourdieu. Makna konsep ini terletak pada upaya aktor-aktor sosial dominan menerapkan suatu makna sosial dan representasi realitas yang diinternalisasikan kepada aktor lain sebagai sesuatu yang alami dan absah, bahkan makna sosial tersebut kemudian dianggap benar oleh aktor lain tersebut. Kekerasan simbolik dilakukan dengan mekanisme penyembunyian kekerasan yang dimiliki menjadi sesuatu yang diterima sebagai yang memang seharusnya demikian. Proses ini menurut Bourdieu dapat dicapai melalui proses inkalkulasi atau proses penanaman yang berlangsung secara terus-menerus.

Sekolah sebagai Arena Terjadinya Kekerasan SimbolikPendidikan bagi Bourdieu, hanyalah sebuah alat untuk mempertahankan eksistensi kelas dominan. Sekolah pada dasarnya hanya menjalankan proses reproduksi budaya (cultural reproduction), sebuah mekanisme sekolah, dalam hubungannya dengan institusi yang lain, untuk membantu mengabadikan ketidaksetaraan ekonomi antargenerasi. Kelas dominan mempertahankan posisinya melalui apa yang disebut Illich-hidden curriculum, sekolah memengaruhi sikap dan kebiasaan siswa dengan menggunakan budaya kelas dominan. Kelas dominan memaksakan kelas terdominasi untuk bersikap dan mengikuti budaya kelas dominan melalui sekolah. Sekolah hampir selalu menerapkan budaya kelas dominan dalam aktivitasnya. Siswa dari latar belakang kelas bawah (kelompok minoritas di sekolah) mengembangkan cara berbicara dan bertindak yang biasa digunakan kelas dominan atau yang biasa diistilahkan Bourdieu dengan habitus.Sekolah-sekolah menurut Bourdieu merupakan tempat untuk menyosialisasikan habitus kelas dominan sebagai jenis habitus yang alami dan memosisikan habitus kelas dominan sebagai satu-satunya habitus yang tepat dan paling baik serta memperlakukan setiap anak (siswa) seolah-olah mereka memiliki akses yang sama kepada habitus tersebut. Menurut Bourdieu: budaya elite begitu dekat dengan budaya sekolah, sehingga anak-anak dari kelas menengah ke bawah hanya dapat memperoleh sesuatu yang diberikan kepada anak-anak dari kelas-kelas terdidik gaya, selera, kecerdasan- dengan usaha yang sangat keras. Pendeknya, berbagai sikap dan kemahiran yang kelihatannya natural dalam anggota kelas terdidik dan yang lazimnya diperkirakan datang dari mereka, tepatnya karena sikap-sikap dan kemahiran itu adalah budaya kelas tersebut.

Dengan cara ini, habitus kelas dominan ditransformasikan menjadi bentuk modal budaya yang diterima begitu saja oleh sekolah-sekolah dan bertindak sebagai alat seleksi yang paling efektif dalam proses-proses reproduksi sebuah masyarakat yang hierarkis. Mereka yang memiliki habitus yang sesuai (dengan habitus kelas dominan) akan menerima keberhasilan, sementara mereka yang tidak mampu menyesuaikan habitusnya, akan mengalami kegagalan. Agar kelas bawah dapat mengalami keberhasilan, maka ia harus melakukan apa yang disebut- proses borjuasi, meniru habitus kelas dominan. Habitus kelas dominan selalu diposisikan sebagai habitus yang paling baik dan paling sempurna.Pernyataan di atas semakin menunjukkan bahwa sekolah akan selalu menciptakan ketidaksetaraan sosial dalam masyarakat. Bagaimanapun juga, meskipun sistem pendidikan memberikan akses seluas-luasnya bagi semua kelas, namun sistem ini tetap tidak akan menguntungkan bagi kelas bawah. Hal ini dikarenakan kelas dominan memiliki modal budaya yang jauh melebihi kapasitas kelas bawah. Bagi Bourdieu, peserta didik dari kelas dominan lebih diuntungkan karena memiliki modal budaya. Mereka beruntung berkat asal keluarga yang memungkinkan mendapatkan kebiasaan budaya (membaca, menulis, diskusi), latihan-latihan dan sikap yang langsung membuat mereka lebih siap bersaing di sekolah. Mereka juga mewarisi pengetahuan dan keterampilan, serta selera yang sangat mendukung pengembangan budaya yang dituntut oleh sistem pendidikan di sekolah.Privilesebudaya ini mengemuka karena familiaritas mereka dengan karya-karya seni dan sastra berkat kunjungan teratur mereka ke museum, nonton teater dan konser serta kegiatan sejenis lainnya.Sebaliknya, peserta didik yang berasal dari kelas bawah, satu-satunya akses ke buaya luar adalah sekolah. Bagi lapisan kelas bawah sekolah merupakan bentuk akulturasi budaya. Perilaku di dalam budaya universitas mengandaikan isi dan modalitas proyek profesional yang merupakan budaya kelas dominan. Pengajaran budaya mengandaikancorpuspengetahuan, keterampilan termasuk dalam cara berbicara atau bertutur kata yang biasanya dimiliki kaum terdidik. Kebiasaan membaca tumbuh di perpustakaan rumah, modal budaya berkembang dengan pembiasaan melihat pertunjukan-pertunjukan pilihan yang berkualitas. Kemampuan percakapan yang bersifat alusif yang hanya bisa ditangkap oleh mereka yang terdidik berkembang dalam kalangan sosial tertentu. Warisan budaya seperti itu biasanya diwariskan secara tidak langsung, penuh diskresi, bahkan dapat dikatakan tanpa upaya metodis atau tindakan yang kelihatan karena telah menjadi bagian dari habitus kalangan terdidik. Untuk itu, tidak mengherankan bila bagi kalangan elite, pendidikan merupakan kelanjutan kelangsungan pewarisan budaya dan bagian dari strategi kekuasaan, sedangkan untuk kelas miskin sekolah merupakan simbolisasi akses ke kalangan elite. Sekolah menjadi satu-satunya alat yang mampu menjanjikan harapan keberhasilan sosial, sedangkan untuk kalangan atas sistem pendidikan menjamin pelanggenganprivilesemereka.Selain itu, sekolah juga beroperasi dalam batasan-batasan habitus tertentu, akan tetapi sekolah juga bereaksi terhadap kondisi eksternal yang berubah-ubah. Sekolah selalu beradaptasi dengan kondisi di luar dirinya, seperti menyesuaikan diri dengan kondisi sosial, ekonomi, politik, perkembangan teknologi yang turut memengaruhi kinerja dan fungsi sekolah. Sekolah menawarkan berbagai fungsi positif yang dinilai berpihak pada kelas bawah, akan tetapi sebenarnya fungsi-fungsi tersebut tidak jauh bedanya sebagai fungsi mempertahankan dominasi kelas atas yang dominan. Ketika tenaga ahli banyak dibutuhkan dalam dunia kerja, maka sekolah pun berlomba-lomba memberikan keterampilan bagi individu dari kelas bawah, seperti kursus komputer, menjahit, bahasa asing, perbankan, dan sebagainya. Individu kelas bawah tersebut sebenarnya digiring untuk mengikuti habitus kelas dominan, mereka diciptakan untuk melayani kelas dominan guna memenuhi kebutuhan akan kelas pekerja. Individu kelas bawah diciptakan untuk menjadi kelas bawah pula dalam dunia kerja.Kegiatan ekstrakurikuler di sekolah lebih banyak menyediakan habitus kelas dominan. Kegiatan les piano atau les-les musik yang ditawarkan lebih banyak berpihak pada selera, keinginan, kegemaran, atau bahkan bakat yang dimiliki kelas dominan. Sekolah-sekolah menawarkan kegiatan belajar tambahan, seperti les mata pelajaran bagi siswanya, tentu saja dalam hal ini adalah siswa yang memiliki materi yang lebih, sehingga mampu membayar biaya les tambahan. Kehadiran berbagai lembaga bimbingan belajar yang menawarkan berbagai cara praktis dalam mengerjakan soal ujian mengindikasikan masih kurangnya materi yang disampaikan guru di sekolah. Pemisahan materi ini, bahkan merupakan proses yang disengaja untuk memaksa siswa mengikuti kegiatan pelajaran tambahan ini. Artinya, secara tidak langsung siswa yang berasal dari kelas bawah tidak akan mampu mendapatkan materi pelajaran secara penuh, karena sebagaian materi yang lain akan disampaikan melalui bimbingan belajar. Siswa dari kelas bawah juga tidak akan mendapatkan trik-trik jitu dalam mengerjakan soal-soal ujian. Sekali lagi, cara-cara ini hanya akan diperoleh bila siswa mengikuti bimbingan belajar yang tentu saja berbiaya mahal.Dengan demikian, sekolah telah menjadi tempat yang paling strategis untuk berlangsungnya praktik-praktik kekerasan simbolik. Proses ini terjadi ketika siswa dari kelas bawah secara tidak sadar dipaksa untuk menerima semua habitus kelas dominan melalui, misalnya, berbagai peraturan sekolah yang hanya mengakomodasi kelas habitus kelas dominan, memberikan materi, baik melalui kurikulum formal maupun kurikulum tersembunyi yang sekali lagi tidak pernah disadari siswa kelas terdominasi: melalui kurikulum, melalui bahasa, melalui kegiatan ekstrakurikuler, dan mekanisme lainnya. Setiap hari mereka selalu dikenalkan dengan habitus kelas dominan, mereka dikenalkan dengan budaya, kebiasaan, gaya hidup, selera, cara berpakaian, cara bersikap, cara berperilaku, cara bertutur kata, cara bertindak yang baik menurut kelas dominan. Akan tetapi, mereka selalu menganggap hal tersebut sebagai sebuah keharusan, sebuah hal biasa yang sudah diatur dari sananya, sehingga mereka pun akhirnya menerima habitus kelas dominan dengan lapang dada. Padahal di sisi lain, mereka tidak sadar bila habitus mereka telah diinjak-injak, dicampakan, dibuang, dianggap sebagai habitus yang tidak berguna di sekolah. Habitus mereka tidak boleh dibawa di sekolah; di sekolah mereka harus berperilaku layaknya kelas dominan. Mereka harus mengenakan berbagai atribut yang notabene bukanlah habitus mereka: berdasi, bersepatu, mereka juga dipaksa berseragam (meskipun mereka tidak mampu membeli seragam dan sepatu), dan lebih parah lagi, warna dan jenis sepatu pun sering kali diatur sedemikian rupa-warna sepatu harus hitam; ketika pelajaran olahraga, siswa harus memakai sepatu khusus olahraga.

Referensi :Martono, Nanang. 2012.Kekerasan Simbolik di Sekolah; Sebuah Ide Sosiologi Pendidikan Pierre Bourdieu. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.Wattimena, Reza A.A. 2012.Berpikir Kritis bersama Pierre Bourdieu.http://rumahfilsafat.com/2012/04/14/sosiologi-kritis-dan-sosiologi-reflektif-pemikiran-pierre-bourdieu/diakses tanggal 13 Oktober 2012