blok 18 difteri tonsil faring pada anak

25
Difteria Tonsil Faring Pada Anak Marlina Putri Purnamasari Pekpekai 102013041 F2 Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jalan Arjuna Utara No.6, Jakarta Barat 11510 Telp : (021) 5694-2061 [email protected] Pendahuluan Seorang anak laki – laki berusia 3 tahun dibawa ibunya ke IGD RD karena sesak nafas sejak 1 hari yang lalu . Keluhan didahului batuk –pilek sejak 1 minggu yang lalu. Dua hari yang lalu anak mengalami demam disertai nyeri menelan. Pasien juga tidak mau makan. Riwayat imunisasi pasien ternyata tidak lengkap. Diduga anak tersebut menderita penyakit infeksi pernapasan akibat bakteri yaitu Difteria. Difteri adalah penyakit menular akut yang disebabkan oleh eksotoksin yang diproduksi oleh Corynebacterium diphtheria. C.diphtheriae biasanya terlokalisasi pada saluran pernapasan bagian atas, mengakibatkan ulserasi pada mukosa, dan menginduksi pembentukan pseudomembran. Biasanya menyerang pada anak –anak dengan imunitas lemah ataupun dengan gizi buruk. Gejala umum yang timbul berupa demam tidak terlalu tinggi . lesu, pucat , nyeri kepala, anoreksia, penderita tampak lemah , biasa disertai dengan pilek , nyeri menelan ,sesak napas, serak dan stridor. 1,2

Upload: putripekpekai

Post on 12-Dec-2015

37 views

Category:

Documents


18 download

DESCRIPTION

Makalah PBL Blok 18 Difteria Tonsil faring

TRANSCRIPT

Page 1: Blok 18  Difteri tonsil faring pada anak

Difteria Tonsil Faring Pada Anak

Marlina Putri Purnamasari Pekpekai

102013041

F2

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Jalan Arjuna Utara No.6, Jakarta Barat 11510

Telp : (021) 5694-2061

[email protected]

Pendahuluan

Seorang anak laki – laki berusia 3 tahun dibawa ibunya ke IGD RD karena sesak nafas

sejak 1 hari yang lalu . Keluhan didahului batuk –pilek sejak 1 minggu yang lalu. Dua hari yang

lalu anak mengalami demam disertai nyeri menelan. Pasien juga tidak mau makan. Riwayat

imunisasi pasien ternyata tidak lengkap. Diduga anak tersebut menderita penyakit infeksi

pernapasan akibat bakteri yaitu Difteria.

Difteri adalah penyakit menular akut yang disebabkan oleh eksotoksin yang diproduksi

oleh Corynebacterium diphtheria. C.diphtheriae biasanya terlokalisasi pada saluran pernapasan

bagian atas, mengakibatkan ulserasi pada mukosa, dan menginduksi pembentukan

pseudomembran. Biasanya menyerang pada anak –anak dengan imunitas lemah ataupun dengan

gizi buruk. Gejala umum yang timbul berupa demam tidak terlalu tinggi . lesu, pucat , nyeri

kepala, anoreksia, penderita tampak lemah , biasa disertai dengan pilek , nyeri menelan ,sesak

napas, serak dan stridor. 1,2

Pada makalah ini akan dibahas mengenai Difteri meliputi Anamnesis , Pemeriksaan fisik

, pemeriksaan penunjang , working diagnosis dan differential diagnosis , etiologic ,

epidemiologi , patofisiologi , gejala klinis , penatalaksanaan ,dan prognosis terkait dugaan

diagnosis pasien.

Anamnesis

Anamnesis merupakan deskripsi pasien tentang penyakit atau keluhannya, termasuk

alasan berobat. Terdapat sejumlah pertanyaan rutin yang harus diajukan kepada semua pasien,

misalnya pertanyaan tentang identitas ( nama , umur , alamat dan pekerjaan ) , keluhan utama,

Page 2: Blok 18  Difteri tonsil faring pada anak

Riwayat penyakit sekarang ,riwayat penyakit terdahulu, riwayat penyakit menahun, riwayat

penyakit sekarang yang spesifik terhadap diagnosa sementara, riwayat pengobatan , riwayat

pribadi dan riwayat social.

Pada anamnesis perlu ditanyakan : 3

Identitas Pasien

Menanyakan kepada pasien atau orang tua dari anak, meliputi: 3

- Nama lengkap pasien

- Umur pasien

- Tanggal lahir

- Jenis kelamin

- Alamat

- Pendidikan dan pekerjaan (orang tua)

Keluhan Utama

Menanyakan keluhan utama pasien : anak tampak sesak nafas sejak 1 hari yang lalu.

Riwayat Penyakit Sekarang

Menanyakan perjalanan penyakit pasien, diketahui keluhan didahului batuk pilek sejak 1

minggu yang lalu, demam tinggi, nyeri menelan sejak 2 hari yang lalu , diketahui pasien

juga tidak mau makan.

Riwayat Penyakit Dahulu

Apakah sebelumnya anak pernah mengalami hal seperti ini? Jika ya, Kapan? sering

berulang atau tidak ?

Riwayat Imunisasi

Menanyakan pada orang tua riwayat imunisasi anak lengkap , Sudah di imunisasi apa

saja , kapan terakhir di imunisasi , terutama imunisasi DPT , terkait dengan kasus.

Diketahui bahwa riwayat imunisasi pasien tidak lengkap.

Riwayat Penyakit Dalam Keluarga.

Apakah ada anggota keluarga yang menderita penyakit seperti ini?

Riwayat Status Sosial Ekonomi

Keluarga ini termasuk berkecukupan atau tidak. Apakah pasien tinggal ditempat yang

cukup memadai dan kondisi lingkungan rumah yang cukup higienis. Bagaimana pola

makan dan kebersihan diri anak.

Page 3: Blok 18  Difteri tonsil faring pada anak

Riwayat Pengobatan

Apakah pasien sudah berobat sebelumnya atau meminum obat tertentu terkait dengan

gejala pasien , Batuk-pilek , sesak napas ? Jika ya. Apakah obatnya ? dan bagaimana

hasilnya?

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik mempunyai nilai yang sangat penting untuk memperkuat temuan-

temuan dalam anamnesis. Teknik pemeriksaan fisik meliputi pemeriksaan tanda- tanda vital

( Suhu , Tekanan Darah , Nadi, Frekuensi pernapasan ) dan Antropometri . Dilakukan juga

inspeksi memperhatikan keadaan umum pasien, palpasi, perkusi dan auskultasi pada Toraks paru

pasien. 1,3

Pada pemeriksaan fisik , Hal yang harus diperhatikan adalah menilai keadaan umum

pasien setelah itu melakukan Inspeksi dimulai dari bagian kepala , lihat adakah sianosis , adakah

tanda – tanda anemia dengan menyelidiki konjungtiva. Lalu periksa bagian mulut dan faring

pasien , melihat sekilas keadaan faring posterior serta tonsilnya. Inspeksi dan palpasi bagian

leher pasien , dan lakukan pemeriksaan toraks paru.1,4,5

Pemeriksaan mulut dan faring

Pada pemeriksaan ini, inspeksi ukuran, posisi, kesimetrisan dan penampakan tonsil.

Lakukan juga inspeksi pada palatum molle, uvula, dan daerah faring. Perhatikan warna

serta kesimetrisannya dan cari eksudat, pembengkakan, ulserasi, dan pembesaran tonsil.

Hasil pemeriksaan fisik daerah faring pada penderita difteria menunjukkan daerah

tenggorok berwarna merah gelap dan pada uvula, faring, serta lidah terdapat eksudat

(pseudomembran) yang berwarna kelabu. Jalan napas pada penyakit difteria dapat

tersumbat karena adanya udem pada faring, tonsil, atau laring.1,4,5

Pemeriksaan leher

Lakukan inspeksi leher dengan memperhatikan kesimetrisannya dan setiap massa atau

jaringan parut yang ada. Cari pembesaran kelenjar ludah parotis atau submandibular dan

perhatikan setiap nodus limfatikus yang terlihat. Lakukan palpasi nodus limfatikus. Pada

kasus ini, pemeriksaan difokuskan pada pemeriksaan nodus limfatikus submandibular

dan servikal karena pada difteria, kedua kelenjar limfe ini seringkali membesar.

Page 4: Blok 18  Difteri tonsil faring pada anak

Limfonodi yang membesar dan nyeri tekan memberi kesan adanya peradangan oleh

karena infeksi virus atau bakteri, sedangkan limfonodi yang teraba keras memberi kesan

adanya keganasan. Pembesaran limfonodus dapat terjadi bilateral maupun unilateral.

Kelenjar getah bening pada kasus lanjutan membesar dan mungkin tampak kehitaman-

merah dan menjadi hemoragik. Kelenjar Regional merespon, sehingga terjadi

limfadenitis akut non spesifik, khususnya di daerah leher.Saluran pernapasan menyempit,

adenitis parah, dan adanya edema jaringan lunak. Tampak adanya "bull neck" pada

kasus lanjut.1,4,5

Pemeriksaan Toraks

Lakukan inspeksi dengan melaporkan bentuk toraks anterior apakah normal , pectus

excavatum , pectus carinatum , barrel chest. Amati pergerakan dada saat keadaan statis

dan dinamis ( saat bernapas. Laporkan keadaan sela iga adakah bentuknya mencekung

atau adanya retraksi atau mencembung atau normal. Pada palpasi lakukan secara acak

atau terstruktur pada daerah toraks , lihat atau tanyakan ada nyeri atau tidak. Pada

Auskultasi , minta pasien menarik napas dalam , atau bila pada anak biarkan dia bernapas

seperti biasa. Dengarkan apakah ada bunyi patolgis selain dari pada bunyi normal seperti

bunyi tracheal , bronkovesikuler dan vesikuler.1, 4,5 Pada keadaan terdapatnya obstruksi

saluran napas atas, inspirasi akan memanjang dan disertai tanda lain seperti stridor, batuk,

serta ronkhi. Stridor merupakan bunyi pernapasan yang khas pada penderita difteria.

Bunyi ini seringkali terdengar lebih keras pada leher daripada pada dinding dada. Stridor

menunjukkan obstruksi parsial laring atau trachea dan memerlukan tindakan segera.1,4

Dari hasil pemeriksaan didapati bahwa anak datang dengan kesadaran kompos mentis ,

sakit sedang , terdapat agitasi dan sesak . frekuensi pernapasan so x/ menit , nadi 130 x/ menit

dan suhu 40 derajat Celsius. Konjungtiva tidak anemis , pada inspeksi mulut didapati tonsil

terlihat membesar , ditutupi selaput putih ke abu- abuan, ketika selaputnya diangkat terlihat

adanya darah . Leher terlihat membesar teraba keras dikarenakan adanya pembesaran pada

kelenjar getah bening . Pemeriksaan toraks normal, namun didapati stridor positif.

Pemeriksaan penunjang

Pada pemeriksaan darah terdapat penurunan kadar hemoglobin dan leukositosis

polimorfonukleus, penurunan jumlah eritrosit, dan kadar albumin. Pada urin terdapat

Page 5: Blok 18  Difteri tonsil faring pada anak

albuminuria ringan.6 Spesimen untuk biakan harus diambil dari hidung dan tenggorok dan salah

satu tempat lesi mukokutan lain.1

Pemeriksaan Mikroskopik diambul dari apusan tenggorok terdapat kuman

Corynebacterium difteriae. Menggunakan pewarnaan khusus Neisser ( granula baber – Ernst),

dan Albert. Kultur bakteri dengan mengambil bahan dari membrane atau bahan di bawah

membrane, dibiakan dalam media non selective yaitu agar serum Loffler (walaupun tidak

selektif, media tersebut menghasilkan pertumbuhan basil difteri yang berlimpah setelah inkubasi

1 malam) , ataupun media selective Tellurite ( menghambat pertumbuhan flora normal traktus

respiratorius )dan Tinsdale ( terlihat koloni hitam atau kecoklatan yang berhalo) .1,6

Schick Tes yaitu tes kulit untuk menentukan status imunitas penderita, untuk mengetahui

apakah seseorang telah mengandung antitoksin difteri .Pada setiap anak disuntikan 0,1 m toksin

difteri secara intrakutan dengan mengunakan jarum suntik 1 cc pada lengan bawah kiri bagian

volar . Reaksi dianggap positif apabila sesudah 24-36 jam timbul indurasi berwarna merah

kecoklatan atau sama dengan 10 mm. Negatif apabila indurasi tidak terjadi atau < 10 mm yang

berarti anak tersebut kebal terhadap penyakit difteri .7

Working Diagnosis

Harus secepatnya ditegakkan berdasarkan pemeriksaan klinis, di dukung dengan hasil

dari identifikasi bakteri laboratorium, dan juga perhatikan riwayat imunisasi dari anak

tersebut . Dari hasil pemeriksaan klinis Pasien menderita Difteri

Biasanya pembagian dibuat menurut tempat atau lokalisasi jaringan yang terkena infeksi .

Pembagian berat ringanya penyakit adalah sebagai berikut : 1

o Infeksi ringan : pseudomembran terbatas pada mukosa hidung atau fausial dengan gejala

hanya nyeri menelan .

o Infeksi sedang : pseudomembran menyebar lebih luas sampai ke dinding posterior faring

dengan edema ringan laring yang dapat diatasi dengan pengobatan konservatif

o Infeksi berat : Disertai gejala sumbatan jalan nafas yang berat, yang hanya dapat diatasi

dengan trakeostomi . Juga gejala komplikasi miokarditis , paralisis atau penefritis dapat

menyertainya.

Penyakit ini juga dibedakan menurut lokasi gejala yang dirasakan pasien :1,6,8

Page 6: Blok 18  Difteri tonsil faring pada anak

Difteria hidung : Gejala paling ringan dan jarang terdapat ( Hanya 2 % ). Mula – mula

hanya tampak pilek ( commond cold) , tetapi kemudian secret yang keluar tercampur

darah sedikit yang berasal dari pseudomembran . penyebaran pseudomembran dapat pula

mencapai faring dan laring. Penderita diobati sperti penderita difteri lainnya.

Difteri faring dan tonsil ( diferia fausial ) : Paling sering dijumpai ( 75 %) . gejala

mungkin ringan hanya berupa radang pada selaput lendir dan tidak membentuk

pseudomembran sedangkan diagnosis dapat dibuat atas dasar hasil biakan yang positif.

Dapat sembuh sendiri dan memberikan imunitas pada penderita. Pada penyakit yang

lebih berat , mulainya seperti radang akut tenggorok dengan suhu yang tidak terlalu

tinggi, dapat ditemukan pseudomembran yang mula- mula hanya berupa bercak putih

keabu-abuan yang cepat meluas ke nasofaring atau ke laring. Nafas berbau dan timbul

pembengkakan kelenjar regional yaitu servvikal dan submandibular sehingga leher

tampak seperti leher sapi ( bull neck ) . Dapat terjadi susah menelan , dan suara serak

serta stridor inspirasi walaupun belum terjadi sumbatan pada laring . Hal ini disebabkan

oleh paresis palatum mole . Pada pemeriksaan darah dapat terjadi penurunan kadar

haemoglobin dan leukositosis polimorfonuklear , penurunan jumlah eritrosit dan kadar

albumin , sedangkan pada urin dapat ditemukan albuminuria ringan. Psedomembran

yang terbentuk dapat menyebabkan obstruksi saluran napas sehingga anak bias merasa

sesak.

Difteria laring dan trakea : Lebih sering sebagai penjalaran difteria faring dan tonsil ( 3

kali lebih banyak ) . sifat toksik tidak berat oleh karena mukosa laring daya serap toksin

rendah Gejala gangguan napas berupa suara serak dan stridor inspirasi jelas dan bila

berat dapat timbul sesak napas hebat , sianosis dan tampak retraksi suprasternal ,

intercostal serta epigastrium. Pembesaran kelenjar regional akan menyebabkan bull-

neck . Pada pemeriksaan laring tampak kemerahan , sembab , banyak secret dan

permukaan ditutupi oleh pseudomembran , apabila pseudomembran terlepas dapat terjadi

obstruksi saluran napas hingga menyebabkan kematian . Bila anak terlihat sesak dan

payah sekali maka harus segera di tolong dengan tindakan trakeostomi sebagai

pertolongan pertama.

Difteri kutaneus dan vaginal : Dengan gejala berupa luka mirip sariawan pada kulit dan

vagina dengan pembentukan membrane diatasnya. Namun tidak seperti sariawan yang

Page 7: Blok 18  Difteri tonsil faring pada anak

sangat nyeri, pada difteri, luka yang terjadi justru tidak terasa apa-apa. Difteri dapat pula

timbul pada daerah konjungtiva  dan umbilikus.

Differential Diagnosis

Tonsilitis Folikularis

Terutama bila membrane masih berupa bintik – bintik putih . Anak harus dianggap difteri

bila panas tidak terlalu tinggi tetapi anak tampak lemah dan terdapat membrane putih

kelabu yang mudah berdarah . Tonsilitis formikularis biasanya disertai panas tinggi

sedangkan ank tampak tidak terlalu lemah , faringdan tonsil tampak hiperemis dengan

membrane putih kekuningan , rapuh dan lembek , tidak mudah berdarah dan hanya

terdapat pada tonsil saja . 1

Abses retrofaring

Abses retrofaring yang berasal dari faringitis dan disebabkan oleh pecahnya limfadenitis

purulen retrofaring jarang ditemukan pada anak usia di atas 10 tahun. Infeksi terletak

antara m.konstriktor faring dan fasia prevertebralis. Tanda yang mencolok pada abses

retrofaring ialah stridor dengan sikap leher anak yang hiperekstensi. Gejala lain berupa

hipersalivasi dan regurgitasi. Pada inspeksi seluruh dinding posterior faring menonjol ke

depan, mungkin tanpa reaksi radang pada mukosa, sedangkan pada pemeriksaan abses

menunjukkan fluktuasi dan korpus vertebra servikal tak dapat diraba. Jika penderita

adalah bayi, sebaiknya bayi diletakkan dalam posisi tengkurap dengan kepala lebih

rendah agar bila abses pecah pada waktu pemeriksaan, nanah keluar lewat mulut dan

tidak terjadi aspirasi. Abses cukup diinsisi dan tidak perlu dipasang penyalir.9

Abses peritonsiler

Abses peritonsiler yang biasanya disebabkan oleh staphylococcus atau sterptococcus,

merupakan kelanjutan tonsillitis akut atau kronik melalui selulitis peritonsilar. Penderita

biasanya demam, mungkin sakit berat dan merasa sangat nyeri terutama saat menelan dan

membuka mulut disertai trismus. Pada inspeksi tampak arkus palatines anterior terdorong

ke luar dan uvula terdesak melewati garis tengah. Membedakan abses peritonsiler dari

selulitis peritonsiler mungkin sulit. Kira-kira 48 jam setelah mulainya selulitis

peritonsiler akan terbentuk abses peritonsiler. Abses ini perlu diinsisi, disalir (drainage),

dan diberi antibiotik. 9

Page 8: Blok 18  Difteri tonsil faring pada anak

Epidemiologi

Distribusi penyakit ini tersebar di seluruh dunia , terutama dinegara – negara miskin ,

yang penduduknya tinggal rapat , kurang hygenis , kurangnya edukasi tentang imunisasi .

Orang – orang yang beresiko tinggi terkena difteri adalah :1,6,8

Orang dengan social-ekonomi rendah ( populasi anak jalanan ) , anak dengan gizi buruk ,

imun yang lemah.

Orang yang tinggal dipenampungan

Pemakai obat – obatan

Pada awal tahun 1990 WHO menetapkan Indonesia sebagai salah satu endemic Difteri.

Angka kematian karena difteri berkisar antara 5- 10 % , lebih tinggi sampai 20 % pada anak –

anak dengan usia < 5 tahun dan dewsa dengan usia > 40 tahun. Pada laki- laki dan perempuan ,

lebih sering terkena pada wanita , dikarenakan imunitas yang lebih rendah . Merupakan penyakit

terutama pada anak- anak usia < 12 tahun .6

Etiologi

Difteria disebabkan oleh Corynebacterium diphtheria, termasuk dalam kelompok bakteri

batang gram positif , tidak berspora, fakultatif anaerob , berkembang pada kisaran suhu 15-40

derajat Celsius. Meragi glukosa dan maltose tanpa gas . dapat memproduksi eksotoksin .

Bentuknya sepertin palu ( pembesaran pada salah satu ujungnya) , diameter 0,1 – 1 mm dan

panjangnya beberapa mm . basil ini hanya tumbuh pada media tertentu seperti medium loeffler ,

medium tellurite , medium fermentasi glukosa dan agar tindale. Pada medium loeffler , basil ini

tumbuh dengan cepat membentuk koloni – koloni kecil , granular berwarna hitam dan lingkari

warna abu abu coklat. 6,8

Menurut bentuk , besar dan warna koloni yang terbentuk dapat dibedakan 3 jenis basil

yang dapat memproduksi toksin , yaitu gravis : koloninya besar , kasar , irregule, berwarna abu –

abu dan tidak menimbulkan hemolysis eritrosit; mitis : koloninya kecil , halus berwarna hitam ,

konveks dan dapat menimbulkan hemolysis eritrosit ; intermediated : koloni halus , kecil

mempunyai bitnik hitam ditengahnya dapat menimbulkan hemolysis eritrosit. Strain gravis lebih

virulen karena terbentuk toksin lebih cepat.6,8

Faktor virulensi nya adalah toksin , yang diproduksi oleh strain C. diphtheria yang

diinfeksi oleh bekteriofaga yang membawa gen toksin diphtheria ( tox) , C. diphtheria yang

Page 9: Blok 18  Difteri tonsil faring pada anak

menghasilkan toksinlah yang dapat menimbulkan manifestasi klinis. dosis letal bagi manusia 130

ng /KgBB, toksin menghambat sistesi protein sel eukariota , toksin dikeluarkan oleh sel bakteri

lau terpapar dengan tripsin sehingga akan membentuk fragmen A ( toksin ) dan B ( yang

berikatan pada sel eukariota) , lalu akan mediasi fragmen A untuk masuk ke sitoplasma sel

sehingga akan mengganggu sintesa protein . 8

Patogenesis

Basil ini hidup dan berkembang biak pada traktus respiratorius bagian atas terlebih –

lebih bila terdapat peradangan kronis pada tonsil , sinus dan lain – lain . Tetapi walaupun jarang

basil dapat pula hidup pada daerah vulva , teliga dan kulit. Hospes alaminya adalah manusia ,

transmisi penularan dapat melalui droplet , secret nasofaring ataupun kontak tangan kemulut.

Masa inkubasi 2-5 hari , bakterinya yang masuk dalam hidung atau mulut , berkembang biak

pada sel epitel mukosa saluran napas atas terutama pada tonsil , kemudian menghasilkan

eksotoksin , yang dilepaskan oleh edosom , sehingga menyebabkan reaksi inflamasi local ,

selanjutnya terjadi kerusakan jaringan dan nekrosis serta membentuk eksudat. 6,8

Toksin terdiri dari dua fragmen protein , fragmen B akan berikatan dengan reseptor pada

permukaan sel pejamu yang rentan , dan sifat proteolitiknya memotong lapisan membrane lipid ,

sehingga membantu fragmen A masuk kedalam pejamu. Selanjutnya akan terjadi peradangan

dan destruksi sel – sel epitel diiuti nekrosis. Pada daerah nekrosis ini terbentuk fibrin , yang

kemudian diinfiltrasi oleh sel darah putih , akibatnya terbentuk patchy exudat yanv pada awalnya

dapat terkelupas.pada keadaan lanjut , produksi toksin meningkat sehingga daerah nekrosis

makin luas , dan dalam sehingga terbentuk eksudat fibrosa (pesudomembran) yang terdiri atas

jaringan nekrotik , fibrin , sel epitel , sel leukosit , sel eritrosit yang berwarna abu – abu sampai

hitam . membrane ini sulit dilepas , kalau di paksa terkelupas akan menimbulkan perdarahan.

Membrane melekat pada dasar mukosa . membrane dapat menyebar ke bronkial , menyebabkan

obstruksi saluran pernapasan dan dispneu. 1,6,8

Manisfestasi Klinis

Masa tunas difteri singkat, umunya 2-5 hari, tapi kadang-kadang 1 minggu. Gejala klinis

tergantung pada tempat infeksi primer dalam hal tanda dan gejala lokal, tetapi manifestasi

toksiknya sama tanpa memandang tempat primer proliferasi organisme. Tonsil adalah tempat

infeksi yang paling umum. Keluhan-keluhan pertama yang muncul tidak spesifik, seperti 1)

Page 10: Blok 18  Difteri tonsil faring pada anak

Demam yang tidak terlalu tinggi, sekitar 38⁰C, 2) Kerongkongan sakit dan suara parau, 3)

Perasaan tidak enak, mual, muntah, dan lesu, 4) Nyeri kepala, Anoreksia, anak tampak lelah 5)

Rinorea, berlendir kadang-kadang bercampur dara biasa disertai dengan pilek , nyeri

menelan ,sesak napas, serak dan stridor.1,6,8

Penatalaksaanan Medika Mentosa

Antitoksin spesifik merupakan terapi utama dan harus diberikan atas dasar diagnosis

klinis, karena ia hanya menetralisasi toksin bebas. Antitoksin difteri yang sekarang ini tersedia

adalah preparat dari serum kuda. Antitoksin diberikan sekali dengan dosis empiris didasarkan

pada derajat toksisitas, tempat dan ukuran membran, serta lama sakit . 6

Antitoksin bakteri adalah serum yang diambil dari kuda, sehingga tes kepekaan

harus dilakukan dengan memberikan larutan 1:10 ke dalam kantung konjungtiva atau melakukan

tes intradermal dengan larutan antiserum 1:100. Bila pasien mengalami reaksi akut, prosedur

desensitisasi harus dilakukan.

Dosis antitoksin bersifat empirik dan didasarkan pada luasnya penyakit. Dosis tidak

berdasarkan berat badan, tetapi berdasarkan jumlah perkiraan toksin. Dosis yang dianjurkan

diberikan dalam Tabel 1. Antiserum diberikan secara intravena. Kegunaan pemberian antitoksin

diragukan pada pasien yang menderita difteri kulit, tetapi beberapa ahli menganjurkannya karena

manifestasi toksik kadang-kadang juga ditemukan. Pada difteri nasal atau fausial ringan :

20.000-40.000 U , i.v waktu 60 menit , Difteri fausial sedang berikan 40.000-60.000 U i.v ,

Difteri berat diberikan 80.000-120.000 U. iv.

Table 1. Dosis pemberian Antitoksin difteri .6

Anti Diphtheria Serum ( ADS) diberikan sebanyak 20.000 U/ hari selama 2 hari berturut

– turut dengan sebelumnya dilakukan uji kulit dan mata. Bila ternyata peka , maka haru

Dasar Dosis Dosis Antitoksin (U)

Hanya lesi kulit

Penyakit faring/laring, lamanya ≤ 48 jam

Lesi nasofaring

Penyakit meluas lama ≥ 72 jam

Pembengkakan leher difus

20.000 – 40.000

20.000 – 40.000

40.000 – 60.000

80.000 – 100.000

80.000 – 100.000

Page 11: Blok 18  Difteri tonsil faring pada anak

dilakukan desensitisasi dengan interval 20 menit. Hasil uji kepekaan harus negative,

pemberian dapat secara intamuskular atau intravena.

Antibioik yang dianjurkan hanya penisilin atau eritromisin. Eritromisin sedikit lebih

unggul daripada penisilin untuk pemberantasan pengidap nasofaring. Terapi yang tepat

adalah eritromisin yang diberikan secara oral atau parenteral (40-50 mg/kg/24 jam;

maksimum 2 g/24 jam), penisilin G Kristal aqua diberikan secara intramuskuler atau

intravena (100.000 – 150.000 U/kg/24 jam; dibagi dalam 4 dosis), atau penisilin prokain

(25.000 – 50.000 U/kg/24 jam; dibagi dua dosis) diberikan secara intramuskuler. Terapi

antibiotik bukan pengganti terapi antitoksin. Terapi diberikan selama 14 hari. Terapi

diberikan selama 14 hari. Hilangnya organism harus dipantau sekurang-kurangnya 2

biakan berturut-turut dari hidung dan tenggorokan (atau kulit) yang diambil dengan

interval 24 jam setelah selesai terapi. Pengobatan dengan eritromisin diulangi jika hasil

biakan positif. .Pada penderita yang dilakukan trakeostomi ditambahkan kloramfenikol

75 mg/KgBB / hari , dibagi 4 dosis. eg.

Antibiotika penisilin prokain 25.000- 50.000 U/ Kg BB / hari sampai 3 hari bebas panas.

Bila ada hipersensitivitas pilih antibiotic lain seperti Eritromisin 50 mg/kgbb selama 5

hari / 14 hari (maksimal 2g/hari)

Kortikosteroid . Obat ini dimaksudkan untuk mencegah timbulnya komplikasi

miokarditis yang sangat berbahaya . Dapat diberikan prednisolone 2 mg /KgBB/hari

selama 3 minggu yang kemuda dihentikan bertahap.

Non – medika mentosa

Terdiri dari perawatan yang baik Bed rest 2-3 minggu , Isolasi penderita pada fase akut

sampai biakan hapus tengorokan (-) 2 kali berturut turut dan pengawan yang ketat atas

kemungkinan timbulnya komplikasi antara lain pemeriksaan EKG setiap minggu. 1,6,10

Bila terjadi paralisis dilakukan fisioterapi pasif dan diikuti fisioterapi aktif bila keadaan

membaik. Paralisis palatum dan faring dapat menimbulkan aspirasi, maka dianjurkan pemberian

makanan cair melalui selang lambung. Pasien difteri dalam keadaan berat, dianjurkan dirawat di

ruang rawat intensif. Bila terjadi obstruksi laring, secepat mungkin dilakukan trakeostomi.

Page 12: Blok 18  Difteri tonsil faring pada anak

Penderita difteri dirawat selama 3-4 minggu . Bila terdapat sumbatan jalan napas harus

dipertimbangkan tindakan trakeostomi, karena tindakan ini pada difteria laring dengan sumbatan

jalan nafas akan menyelamatkan jiwa pasien.1,6,10

Komplikasi

Eksotoksin yang terbentuk selanjutnya diserap masuk ke dalam sirkulasi darah dan

menyebar ke seluruh tubuh menimbulkan kerusakan jaringan di organ-organ tubuh berupa

degenerasi, infiltrasi lemak, dan nekrosis, terutama pada jantung, ginjal, hati, kelenjar adrenal

dan jaringan saraf perifer. Apabila mengenai jantung menimbulkan miokarditis, disosiasi AV,

sampai blok AV total, dan payah jantung.1,6,8

Kerusakan jaringan saraf perifer yang ditimbulkan adalah berupa demielinasi saraf, yang

dapat menimbulkan paralisis, terutama pada palatum mole, otot mata, dan ekstremitas inferior

serta apabila terjadi paralisis otot diafragma dapat menyebabkan kematian. Akibat lain dari C.

dyphteriae adalah terjadinya trombositopenia dan proteinuria. Kematian biasanya disebabkan

oleh gagal jantung atau asfiksia karena obstruksi saluran pernafasan. Pada daerah tropis, C.

dyphteriae dapat menimbulkan infeksi sekunder pada kulit (difteri kutan), yang dapat

menimbulkan epidemi pada populasi yang menerima imunisasi yang tidak sempurna serta pada

pasien immunocompromise. 1,6,8

Pencegahan

Cara yang paling baik untuk pencegahan penyakit difteri adalah pemberian imunisasi

aktif pada masa anak-anak secara komplit. Antigen difteri secara tunggal belum ada, biasanya

pemberian vaksin difteri bersamaan dengan vaksin pertusis dan tetanus, seperti diphtheria-

acellular-pertussis vaccine (DTaP) untuk anak-anak dan tetanus-diphtheria vaccine (Td) untuk

dewasa. DTaP adalah pilihan vaksin yang tepat untuk anak-anak dari usia 6 minggu hingga 6

tahun. Jadwal rutinnya adalah 4 dosis pada usia 2,4,6, dan 15-18 bulan. Interval dosis DTaP

pertama, kedua, dan ketiga minimal 4 minggu. Dosis vaksin keempat mengikuti dosis ketiga

tidak lebih dari 6 bulan, dan sebaiknya tidak diberikan sebelum usia 12 bulan.10 Imunisasi pasif

dengan menggunakan antitoksin berkekuatan 1.000 - 3.000 unit dapat diberikan kepada orang

tidak kebal yang sering berhubungan dengan kuman-kuman virulen. Oleh karena proteksi

semacam ini berlangsung sebentar dan pemberian antitoksin ini dapat menimbulkan

Page 13: Blok 18  Difteri tonsil faring pada anak

hipersensitivitas atau timbul reaksi anafilaktik pada orang yang sebelumnya pernah kontak

dengan protein asing, maka penggunaannya harus dibatasi pada keadaan-keadaan yang memang

sangat gawat.1,6,8

Prognosis

Kematian penderita difteri sebesar 3 – 5% dan sangat bergantung kepada Umur

penderita , karena makin muda umur anak , prognosis makin buruk ; Perjalanan penyakit , karena

makin lanjut makin buruk; Letak lesi difteria ; Keadaan umum penderita , misalnya prognosis

kurang baik pada penderita kurang gizi; Pengobatan , makin lambat pemberian anti toksin ,

prognosis akan makin buruk.1

Lebih dari separuh pasien dengan difter leher lembu meninggal meskipun diberikan

perawatan intensif yang agresif. Prognosis buruk bila terjadi miokarditis atau gagal ginjal pada

perjalanan penyakit yang dini.1,6,8

Bila pasien ditangani dengan fasilitas perawatan intensif, kematian akibat sumbatan

saluran napas kecil kemungkinannya, kecuali bila pseudomembran meluas ke bronkus.1

Kesimpulan

Jadi diagnose kerjanya adalah tonsilitis difteri ec Corynebacterium diphteriae strain toksin

dengan derajat infeksi sedang. Hipotesis diterima.

Pertusis

Pertusis (batuk rejan) disebut juga whooping cough, tussis quinta, violent cough, dan di

Cina disebut batuk seratus hari. Pertusis yang berarti batuk yang sangat berat atau batuk yang

intensif, merupakan penyakit infeksi saluran nafas akut yang dapat menyerang setiap orang yang

rentan seperti anak yang belum diimunisasi atau orang dewasa dengan kekebalan yang menurun1-

3. Pertusis adalah penyebab utama kematian dari penyakit menular pada anak di bawah usia 14

tahun di Amerika Serikat. Dilaporkan juga bahwa 50 persen adalah bayi kurang dari setahun, 75

persen adalah anak kurang dari 5 tahun , lebih banyak dialami oleh anak laki – laki dari pada

wanita. Cara penularan ialah kontak dengan dengan penderita pertussis. 1,11

Penyebab pertusis adalah Bordetella pertusis. B. pertussis cirinya, tidak bergerak,

cocobacillus gram (-).Bisa didapatkan dengan swab pada daerah nasofaring penderita pertussis,

dan biasanya tumbuh baik pada “glycerin-potato-blood agar media (border-gengou)”.

Page 14: Blok 18  Difteri tonsil faring pada anak

ditemukan pada manusia. Hanya B. pertussis yang mengeluarkan toksin pertusis (TP), protein

virulen utama. 1,11

Bordetella pertusis setelah ditularkan melalui sekresi udara pernapasan kemudian

melekat pada silia epitel saluran pernapasan. Mekanisme patogenesis infeksi oleh Bordetella

pertusis terjadi melalui empat tingkatan yaitu perlekatan, perlawanan terhadap mekanisme

pertahanan pejamu, kerusakan lokal dan akhirnya timbul penyakit sistemik.1,11 Filamentous

Hemaglutinin (FHA), Lymphosithosis Promoting Factor (LPF)/ Pertusis Toxin (PT) dan protein

69-Kd berperan pada perlekatan Bordetella pertusis pada silia. Setelah terjadi perlekatan,

Bordetella pertussis kemudian bermultiplikasi dan menyebar ke seluruh permukaan epitel

saluran napas. Proses ini tidak invasif oleh karena pada pertusis tidak terjadi bakteremia. Selama

pertumbuhan Bordetella pertusis, maka akan menghasilkan toksin yang akan menyebabkan

penyakit yang dikenal dengan whooping cough. Toksin terpenting yang dapat menyebabkan

penyakit disebabkan karena pertusis toxin. 1,11

Toksin menyebabkan peradangan ringan dengan hyperplasia jaringan limfoid

peribronkial dan meningkatkan jumlah lendir pada permukaan silia, maka fungsi silia sebagai

pembersih terganggu, sehingga mudah terjadi infeksi sekunder (tersering oleh Streptococcus

pneumonia, H. influenzae dan Staphylococcus aureus). Penumpukan lendir akan menimbulkan

plak yang dapat menyebabkan obstruksi dan kolaps paru.1,11

Gejala klinis dibagi menjadi stadium kataral, paroksimal, dan konvalesensi . Stadium

kataralis , lamanya 1-2 minggu ( ada batuk ringan terutama malam hari , gejala lain seperti

hidung tersumbat,pilek,bersin bersin ,sesak ,anoreksia, demam ringan atau tidak demam.

Stadium ini menyerupai influenza ,sangat infeksius. Stadium spasmodic selama 2-4 minggu

batuk makin berat, khas , Pasien tampak gelisah wajah kemerahan ,sianosis,lakrimasi , petechiae

tertutama konjungtiva, serangan batuk panjang dan keras, diakhiri dengan whoop, disertai

muntah dan banyak sputum kental. Pada Bayi dapat terjadi apnoe,sianosis hingga kejang.

Stadium konvalensensi , 2 minggu sampai sembuh. Pada minggu ke empat jumlah dan berat

serangan batuk berkurang , muntah berkurang. Serangan paroksismal bisa berulang oleh karena

Infeksi sekunder. 1.11

Penatalaksaannya dapat diberikan Antibiotik Pilihan utama Kelompok makrolide

Eritromisin 40-50 mg/kgBB/hari oral , 4 dosis (maksimal 2 gram) , selama 14 hari. Azithromisin

10 mg/kg BB/ hari dosis tunggal selama 5 hari . Pemberian ampisilin dengan dosis 100

Page 15: Blok 18  Difteri tonsil faring pada anak

mg/KgBB/hari , dibagi dalam 4 dosis . Dapat juga diberikan Ekspektoran dan mukolitik ,

ataupun kodein bila terdapat batuk yanhg hebat sekali dan luminal sebagai sedative . Suportif

dengan cairan, oksigen, dan nutrisi yang baik .1,11

Bayi baru lahir memiliki kekebalan terhadap pertussis yang didapat dari ibu, namun

kekebalan ini hanya bertahan sampai usia 4 bulan. Oleh karena itu, sebaiknya anak usia kurang

dari 1 tahun diberikan vaksin.7 Vaksin pertussis diberikan dalam bentuk vaksin DPT (DTwP atau

DTaP) dimulai pada saat bayi berusia 2 bulan melalui suntikan ke dalam otot. Imunisasi dasar

diberikan sebanyak 3 kali dengan selang waktu 6 – 8 minggu (usia 2 - 4 - 6 bulan). Ulangan

pertama dilakukan 1 tahun sesudahnya (18 bulan) dan ulangan kedua diberikan 3 tahun setelah

ulangan yang pertama (usia 4 – 6 tahun).1,11

Prognosis baik dengan penatalaksanaan yang tepat dan cepat. Kematian biasanya terjadi

karena ensefalopati dan pneumonia atau komplikasi penyakit paru yang lainnya. 11

Daftar Pustaka

1. Hasan R, Alatas H . Buku kuliah ilmu kesehatan anak . Volume 2 . Jakarta . Infomedika :

2007 .h. 551-6, 564-7

2. Hadfield TL , McEvoy P , Polotsky Y, Tzinserling VA, Yakovlev AA. The pathology of

diphtheria. Oxford J Infection Deaseas 2008 ; 181 (1) :116-9

3. Supartondo, Setiyohadi B : Anamnesis . Dalam . AW, Setiohadi B, Alwi I, Simadibrata

M , Setiati S ( Editors). Buku ajar ilmu penyakil dalam. Jilid 1 .Edisi V. Jakarta : Interna

Publishing ;2009.h.25-8

4. Baldwin D. Sistem pernapasan .Dalam : Houghton AR , Gray D . Chamberlain’s gejala

dan tanda dalam kedokteran klinis pengantar diagnosis medis. Edisi 13. Jakarta :Indeks ;

2012.h.106-9.

5. Amin Z : Manisfestasi klinik dan pendekatan pada pasien dengan kelainan system

pernapasan . Dalam . AW, Setiohadi B, Alwi I, Simadibrata M , Setiati S ( Editors). Buku

ajar ilmu penyakil dalam. Jilid 2 .Edisi VI. Jakarta : Interna Publishing ;2014.h.1583-3

6. Long SS. Difteri . Dalam : Behrman RE, Kliegman RM , Arvin AM. Ilmu kesehatan anak

nelson . Volume 2 . edisi 15 . Jakarta : EGC ; 2000. h.955-9

7. Lubis B . Penelitian status imunitas terhadap penyakit difteri dengan schick test pada

murid sekolah taman kanak-kanak di kotamadya medan . Bagian Ilmu Kesehatan Anak

Page 16: Blok 18  Difteri tonsil faring pada anak

Fakultas kedokteran Universitas Sumatra Utara. Di publikasikan pada : 2005 , diunduh

dari : http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/2036/1/anak-bidasari3.pdf , 6 Juli

2015.

8. Ahmad A : Difteri . Dalam . AW, Setiohadi B, Alwi I, Simadibrata M , Setiati S

( Editors). Buku ajar ilmu penyakil dalam. Jilid 1 .Edisi VI. Jakarta : Interna

Publishing ;2014.h.643-6

9. Nelson JD. Esensi pediatri nelson. Jakarta: EGC; 2010. h.635-8.

10. Acang N. Difteri. Dalam: Sudoyo AW, Setiohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S.

Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi 5. Jakarta: Interna Publishing; 2009. h.1856-7

11. Long SS. Pertusis. Croup. Dalam: Behrman, Kliegman & Arvin, Nelson. Nelson

textbook of pediatrics. Cetakan ke-I. Ed.15. Jakarta: EGC; 2000. h. 960-5, 1111-2.