biossay ore
DESCRIPTION
bioassay ujiTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penggunaan kelambu berinsektisida dalam rangka pemberantasan
malaria telah banyak digunakan baik di negara-negara Asia Pasifik, Afrika
maupun Amerika Latin.1 Insektisida yang umum digunakan dalam mencelup
kelambu adalah insektisida dari kelompok sintetik pyrethroid. Di Indonesia
insektisida yang digunakan antara lain permethrine, deltamethrine dan icon.2
Pencampuran deltamethrine ke dalam material pembuat kelambu
dimaksudkan agar kelambu permanet walau sudah dicuci berkali-kali masih
dapat membunub nyamuk. 3
Sebagaimana kita ketahui, usaha pengendalian dan pemberantasan
vektor deemam berdarah telah banyak dilakukan. Namun penggunaan
insektisida yang kurang terkendali akan berakibat terjadinya resistensi
nyamuk. Secara prinsip ini akan mencegah insektisida berikatan dengan titik
targetnya atau tubuh serangga menjadi mampu mengurai bahan aktif
insektisida sebelum sampai titik sasaran. Sedangkan jenis atau tingkatan
resistensi itu sendiri meliputi tahap : toleran baru kemudin tahap resisten.
Beberapa faktor yang mempengaruhi mekanisme resistensi insektisida pada
Aedes aegypti ini, antara lain faktor genetikm, faktor biologis dan faktor
operasional.
Laju perkembangan resistensi sangat dipengaruhi oleh tingkat seleksi
yang diterima oleh suatu nyamuk Aedes aegypti. Pada kondisi yang sama
populasi yang menerima tekanan yang lebih keras akan berkembang menjadi
populasi yang resistensi dalam waktu yang lebih singkat dibandingkan
dengan nyamuk yang menerima tekanan yang lebih lemah.
Pada dasarnya mekanisme resistensi insektisida dibagi menjadi tiga
tahap. Pada tahap pertama terjadi peningkatan detoksifikasi insektisida,
sehingga insektisida menjadi tidak beracun (disebabkan pengaruh kerja enzim
tertentu). Kemudian terjadi penurunan laju penetrasi insektisida melalui kulit,
sehingga menghambat masuknya bahan aktif insektisida dan meningkatkan
enzim ditoksifikasi.
Pengendalian serangga vektor pada walnya dilakukan dengan teknik
yang disebut dengan pemberantasan hama dengan insektisida. Namun seiring
dengan perjalanan waktu, penggunaan insektisida makin tidak terkenadalu
dan telah memberikan dampak yang tidak diduga sebelumnya yaitu terjadinya
resistensi terhadap insektisida, resurjensi hama, peledakan hama, serta
terjadinya kontaminasi lingkungan.
Deltametrin merupakan insektisida sintetis yang termasuk ke dalam
golongan piretroid. Pertama kali diisolasi dari tumbuhan Chrysanthemum
sekitar tahun 1800 dan mulai dikenal secara luas di seluruh dunia pada tahun
1851 (Matsumura 1975). Sedangkan deltametrin yang merupakan generasi
keempat dari piretroid di sintesa pertama kali pada tahun 1974 dan mulai
dipasarkan tahun 1977. Secara umum, insektisida yang termasuk golongan
piretroid bersama dengan DDT dan analognya digolongkan kedalam
kelompok racun saraf (neurotoksik) terhadap seranggga dan vertebrata
( Miller dan Adams dalam Coats 1988).
Deltametrin telah digunakan secara luas pada sektor pertanian dan
kesehatan masyarakat. Penggunaan deltametrin dalam pengendalian penyakit
malaria terutama ditujukan untuk membunuh nyamuk Anopheles dewasa. Di
Cina, deltametrin digunakan secara ekstensif sebagai bahan aktif untuk
kelambu celup berinsektisida (impregnated bednet) untuk mencegah gigitan
nyamuk Anopheles (Rozendaal 1997). Deltametrin diformulasikan dalam
bentuk emulsifiable concentrate (EC) , ultra low-volume concentrate (ULV),
wettable powder (WP), formulasi tersendiri atau dipadukan dengan
insektisida lain.
Tidak ada insektisida alternatif yang benar-benar efektif dan efisien
selain DDT dan pyrethroids, dan selian itu, pengembangan pestisida baru
merupakan proses yang lama dan cukup mahal. Manajemen vektor
menunjukkan bahwa memperkuat manajemen bebas insektisida adalah hal
yang sangat penting. Deteksi resistensi insektisida sebaiknya merupakan hal
rutin yang dilakukan sebagai upaya pengendalian nasional untuk
menunjukkan bahwa cara pengendalian vektor paling efektif sedang
dilakukan.
Uji bioassay adalah suatu uji daya kemampuan dari masing - masing
isolat untuk membunuh larva Aedes sp. Sebagai perlakuan adalah jenis isolat
bakteri dan konsentrasi inokulum mikroba, pada perlakuan diulang sebanyak 3
kali. Sepuluh ekor larva nyamuk Aedes sp dalam 100 ml aquades diinokulasi
dengan biakan bakteri dengan konsentrasi 0,1 , 0,5, dan 1 ml, parameter yang
diamati adalah mortalitas larva selama 3 - 5 hari. (May dan Gheynst, 2002 ).
Tujuan uji Bioassay diantaranya untuk mengetahui daya bunuh insektisida.dan
untuk mengetahui kualitas/cakupan penyemprotan yang dilakukan.
1. Rozendal, J.A ; Curtis C. F. 1989. Recent Research on Impregnated
mosuitos nets. J. Of the American Mosquitos Control Assotiation 5(4).
2. Ditjen P2M dan PLP, Pengendalian Nyamuk Anopheles. Malaria Vol. 4,
Depkes R.I
3. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3075886/ diakses pada 20
juni 2013
4. Fleming GA, Barodji, Shaw RF, Pradhan GD, Bang YH. A Village-Scale
Trial of Bendiocarb (OMS-1394) for Control of the Malaria
Vector Anopheles aconitus in Central Java, Indonesia.World Health
Organization; 1983. WHO/VBC/83.875.
A. Tujuan
1. Untuk mengetahui efektivitas insektisida efektivitas insektisida terhadap
nyamuk aedes aegypti.
2. Untuk mengetahui resistensi nyamuk Aedes aegypti terhadap insektisida.
3. Untuk mengetahui jumlah nyamuk knock down.
B. Manfaat
1. Mahasiswa dapat mengetahui efektivitas insektisida efektivitas insektisida
terhadap nyamuk aedes aegypti.
2. Mahasiswa dapat mengetahui resistensi nyamuk Aedes aegypti terhadap
insektisida.
3. Mahasiswa dapat mengetahui jumlah nyamuk knock down.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Long-lasting insecticidal nets (LLINs)
Long-lasting insecticidal nets (LLINs) adalah kelambu yang
mengandung insektisida yang dicampurkan atau dibalutkan ke benangnya dan
memiliki daya tahan terhadap berkali-kali pencucian serta tetap memiliki
aktivitas biologik sebagai proteksi personal sepanjang masa pemakaiannya.
Masa pemakaian LLIN adalah sekitar tiga tahun untuk kelambu poliester dan
5 tahun untuk polietilen. LLIN yang direkomendasikan oleh World Health
Organization Pesticide Evaluation Scheme (WHOPES) saat ini memiliki
aktivitas biologik sekurang-kurangnya sampai 20 kali pencucian pada kondisi
laboratorium dan tiga tahun pemakaian pada kondisi lapangan (Guillet 2004,
Kulkarni 2006).
WHO telah merekomendasikan dua jenis LLIN yang pada saat ini
telah dikomersialkan, yaitu Olyset®, yang diproduksi di China oleh
Sumitomo Chemical Company, Jepang dan dibawah perjanjian transfer
teknologi antara Sumitomo dan A to Z Textile Mills di Tanzania. Olyset®
disetujui oleh WHO 12 pada tahun 2001. Olyset® berbahan polietilen dan
mengandung permetrin yang dicampurkan ke dalam benangnya yang setiap
saat dapat bermigrasi ke permukaan benang untuk mengganti residu yang
hilang akibat pencucian.
LLINs lain yang direkomendasikan WHO adalah PermaNet, yang
diproduksi oleh Vestergaard Frandsen di Thailand dan Vietnam. PermaNet
berbahan poliester dan mengandung deltametrin yang dibalutkan ke
benangnya. Deltamethrin yang terkandung di benang tahan terhadap
pencucian. PermaNet disetujui oleh WHO pada tahun 2003 (Guillet 2004,
Kulkarni 2006, Shaw 2006, Coticelli 2007).
Kelambu Berinsektisida Long Lasting atau Long Lasting Insecticide
Nets merk PermaNet® adalah Kelambu Malaria yang direkomendasikan
WHO/WHOPES , Kelambu Malaria ini sangat ideal di Sumbang ke para
Korban Bencana Alam baik Gunung Merapi , Korban Banjir atau Tsunami
dan sebagainya,kelambu Malaria PermaNet® cocok juga untuk traveling,
diving, camping, mountain bike, off-road, climbing, caving, dan relawan
bencana alam termasuk juga melindungi bayi di rumah.
Gambar 1. Merk : PermaNet®
Spesifikasi :
Masa Aktif 4 tahun pemakaian ( minimal 20 kali pencucian ) Bahan Kelambu
- Polyester 100% - Denier : 75 denier - Toleransi penyusutan + 10 % Warna
Putih Bentuk Segiempat (Rectangular) Ukuran - Lebar : 160 cm - Panjang :
180 cm - Tinggi : 150 cm Kelengkapan - Mempunyai tali untuk
menggantungkan pada ke 4 sudut - Tanpa pintu Mesh - Jumlah : 156/inch2
Insektisida Deltamethrin Dosis Target dosis 55 mg/m2 atau minimum 45
mg/m2. PermaNet® produksi Vestergaard Frandsen, perusahaan
multinasional asal Denmark.
B. Resistensi dan Mekanismenya
Resistensi merupakan kemampuan kelompok serangga untuk bertahan
hidup terhadap suatu dosis insektisida yang dalam keadaan normal dapat
membunuh spesies serangga tersebut ( WHO 1992) Kasus resistensi pertama
kali dilaporkan pada lalat rumah Musca domestica terhadap DDT di Swedia
pada tahun 1947. Perkembangan resistensi semakin cepat setelah
ditemukannya bahan sintetik organik sebagai insektisida dan acarisida. Pada
era tahun 1940-an hanya tujuh spesies serangga yang dilaporkan resisten
terhadap DDT, tetapi pada era 1980-an jumlahnya meningkat mencapai 447
spesies. Dari jumlah tersebut 59% terdiri dari serangga hama, 38% serangga
pengganggu kesehatan hewan dan manusia. Sedangkan 3% sisanya adalah
serangga yang berguna seperti predator dan parasitoid (Georghiou 1986).
Menurut WHO (1992 ) sampai saat ini lebih dari 100 spesies nyamuk
yang telah resisten terhadap satu atau lebih insektisida. Dari jumlah tersebut,
56 spesies di antaranya adalah nyamuk Anopheles dan 39 spesies Culex.
Anopheles yang mengalami proses resistensi tersebut antara lain; A.
Sacharovi di Lebanon, Iran dan Turki. A. sundaicus di Indonesia dan
Myanmar yang resisten terhadap DDT. A. quadrimaculatus di Meksiko
resisten terhadap dieldrin .
A. aconitus di Indonesia juga mulai resisten terhadap organofosfat
(Widiarti 2003). Sementara itu nyamuk Anopheles yang resisten terhadap
piretroid adalah A. minimus di Thailand (Chareoviriyaphap et al. 2002 ) dan
A. gambiae di Burkina Faso (Diabate et al. 2002).
Mekanisme resistensi secara biokimia dapat digolongkan dalam dua kategori
yaitu (1) Mekanisme target sasaran dan (2) Mekanisme detoksifikasi berbasis
enzim ( Brogdon dan McAllister 1998).
1. Mekanisme target sasaran.
Mekanisme ini terjadi ketika insektisida tidak terlalu lama mengikat
target sasaran.Target sasaran insektisida organofospat dan karbamat
adalah asetilkolinestarase pada sinaps saraf. Sedangkan target sasaran
organokhlorin (DDT) dan sintetik piretroid lainnya adalah saluran
natrium pada lapisan saraf. Resistensi silang DDT-Piretroid dihasilkan
oleh perubahan asam amino tunggal (satu atau kedua target sasaran yang
diketahui) dalam ikatan akson yang menjadi sasaran saluran natrium.
Resistensi silang tersebut menghasilkan perubahan dalam natrium yang
langsung menggerakkan saraf dan menyebabkan sensitivitas piretroid
rendah. Hal serupa terjadi pada resistensi siklodien (dieldrin) karena
perubahan kode gen nukleotida tunggal pada reseptor gamma-
aminobutryc acid (GABA).
Sedikitnya terdapat lima tempat mutasi asetilkolinesterase yang mengikat
target insektisida dan telah diidentifikasi satu per satu
2. Mekanisme detoksifikasi.
Mekanisme ini terbentuk ketika terjadi modifikasi aktivitas esterase,
oksidas dan gluthatione S-transferase (GST) sehingga mencegah
insektisida mencapai target sasaran. Dalam hal ini sejumlah enzim
bertanggung jawab terhadap detoksifikasi xenobiotik dari kehidupan
organisme dan terekam oleh rumpun multigen besar yang terdiri dari
esterase, oksidase dan GST. Enzim tersebut menyebabkan terjadinya
modifikasi mekanisme resistensi yang paling umum pada serangga
dengan aktivitas enzim detoksifikasi eseterase. Enzim ini juga punya
jangkauan yang luas terhadap metabolisme insektisida. Sebagian besar
makhluk hidup mempunyai dua atau lebih golongan GST ganda. Sebagai
kelompok dari gen yang mengaktifkan genom dengan cara rekombinasi,
GST juga mempengaruhi resistensi insektisida DDT.
Jumlah gen GST yang resisten -termasuk bentuk ganda pada serangga
yang sama-mempunyai karakteristik khusus ketika bersinggungan
dengan serangga vektor.
Faktor ekologi yang penting dalam mempengaruhi laju resistensi
adalah tingkah laku isolasi, migrasi dan mobilitas dari individu-individu yang
bersifat rentan (WHO, 1975). Faktor fisiologi dan biokimia sangat
berpengaruh terhadap laju resistensi suatu populasi serangga. Kecepatan
menghasilkan keturunan merupakan faktor yang penting, semakin besar
jumlah generasi per tahun yang dihasilkan maka makin cepat terjadi evolusi
resistensi. Anopheles stephensi di Irak hanya membutuhkan waktu selama
sekali perlakuan dengan DDT untuk menjadi resistensi terhadap DDT.
Spesies yang sama di Arab Saudi membutuhkan waktu 5 tahun untuk menjadi
resistensi terhadap DDT (Davidson, 1958).
Dalam melacak kemungkinan adanya galur yang resisten, WHO
(1980) menganjurkan untuk menggunakan dosis diagnosa tentative yang
besarnya tergantung pada spesies, jenis insektisida dan stadium hidup
serangganya. Untuk menentukan status kerentanan nyamuk A. aegypti
dewasa terhadap malation dengan konsentrasi 5%. Pelacakan untuk
mengetahui timbulnya galur serangga yang resistensi perlu dilakukan di
berbagai tempat secara periodik. Hal ini disebabkan karena waktu timbulnya
resistensi tidak dapat diduga dengan tepat sebab tergantung pada tempat,
waktu, spesies serangga sasaran, dan insektisida yang digunakan. Faktor-
faktor seperti suhu, kelembaban nisbi, umur, jenis kelamin, dan berat badan
mempengaruhi kerentanan serangga terhadap insektisida (Bainbridge et al.
1982). Brown dan Pal (1971), mengatakan bahwa hingga akhir dekade enam
puluhan, belum ada laporan adanya galur A. aegypti yang resisten terhadap
senyawa OP. Tetapi WHO (1980) telah mencatat adanya galur spesies ini
yang resisten terhadap senyawa OP seperti malathion, temephos dan
fenitrithion di Kepulauan Karibia, malation di India, Malaysia, Thailand dan
Vietnam.
PEMBAGIAN RESISTENSI Menurut Soedarto (2008), resistensi
dibagi menjadi resistensi bawaan (natural resistancy) dan resistensi yang
didapat (acquired resistancy).
1. Resistensi bawaan
Serangga yang secara alami sensitif terhadap suatu insektisida akan
menghasilkan secara alami keturunan yang juga sensitif terhadap
insektisida tersebut. Sedangkan serangga yang secara alami sudah resisten
terhadap suatu insektisida, keturunannya juga akan resisten terhadap
insektisida bersangkutan. Selain itu, serangga yang sensitif terhadap suatu
insektisida jika mengalami mutasi (yang terjadi satu kali setiap beberapa
ratus atau ribu tahun) dapat berkembang menjadi serangga yang resisten
terhadap insektisida tersebut.
2. Resistensi didapat
Akibat pemberian dosis insektisida yang di bawah dosis lethal dalam
waktu yang lama, serangga target yang sebelumnya sensitif dapat
menyesuaikan diri berkembang menjadi
3. resisten terhadap insektisida tersebut. Berdasar atas jenis insektisida yang
tidak lagi peka terhadap serangga, resistensi dibedakan menjadi resistensi
silang (cross resistance) dan resistensi ganda (double resistance) (Hoedojo
& Zulhasril, 2000; Soedarto, 2008).
4. Cross resistance
Resistensi serangga yang terjadi terhadap dua insektisida yang satu
golongan atau satu seri, misalnya resisten terhadap malathion dan diazinon
(satu golongan) atau kebal terhadap DDT dan metoksiklor (satu seri).
5. Double resistance
Resistensi serangga yang terjadi terhadap dua insektisida yang berbeda
golongannya atau serinya, misalnya resisten terhadap malathion dan DDT
(beda golongan) atau DDT dan dieldrin (beda seri). Jika satu jenis
serangga telah resisten terhadap suatu insektisida, maka dosis insektisida
harus dinaikkan. Jika dosis insektisida terus-menerus dinaikkan, maka
pada dosis tertentu akan dapat membahayakan kesehatan manusia dan
hewan serta berdampak buruk pada lingkungan hidup. Karena itu,
insektisida harus diganti dengan jenis atau golongan lain atau diciptakan
insektisida baru untuk memberantas serangga tersebut (Soedarto, 2008).
Saat ini laju penemuan insektisida baru sangat lambat, hal ini dapat
disebabkan antara lain: 1) peningkatan biaya penelitian untuk menemukan
insektisida baru yang memenuhi syarat, 2) peningkatan biaya dan
persyaratan registrasi insektisida yang semakin ketat, 3) peningkatan biaya
produksi, serta 4) semakin ketatnya kompetisi antar produsen insektisida
(Untung, 2004).
1. Bang YH, Sudomo M, Shaw RF, Pradhan GD, Supratman, Fleming
GA. Selective Application of Fenitrothion for Control of the Malaria
Vector Anopheles aconitus in Central Java, Indonesia.World Health
Organization; 1981. WHO/VBC/81.822.
C. Deltametrin dan Cara Kerjanya
Deltametrin telah digunakan secara luas pada sektor pertanian dan
kesehatan masyarakat. Penggunaan deltametrin dalam pengendalian penyakit
malaria terutama ditujukan untuk membunuh nyamuk Anopheles dewasa. Di
Cina, deltametrin digunakan secara ekstensif sebagai bahan aktif untuk
kelambu celup berinsektisida (impregnated bednet) untuk mencegah gigitan
nyamuk Anopheles (Rozendaal 1997). Deltametrin diformulasikan dalam
bentuk emulsifiable concentrate (EC) , ultra low-volume concentrate (ULV),
wettable powder (WP), formulasi tersendiri atau dipadukan dengan
insektisida lain.
Deltametrin merupakan insektisida sintetis yang termasuk ke dalam
golongan piretroid. Pertama kali diisolasi dari tumbuhan Chrysanthemum
sekitar tahun 1800 dan mulai dikenal secara luas di seluruh dunia pada tahun
1851 (Matsumura 1975). Sedangkan deltametrin yang merupakan generasi
keempat dari piretroid di sintesa pertama kali pada tahun 1974 dan mulai
dipasarkan tahun 1977. Secara umum, insektisida yang termasuk golongan
piretroid bersama dengan DDT dan analognya digolongkan kedalam
kelompok racun saraf (neurotoksik) terhadap seranggga dan vertebrata
( Miller dan Adams dalam Coats 1988).
Target utamanya adalah saluran natrium pada membran saraf yang
berinteraksi dengan akson pada sistem saraf pusat dan sistem saraf tepi. Cara
kerja piretroid adalah mempengaruhi sistem saraf serangga atau mamalia
dengan merangsang sel-sel saraf untuk menghasilkan efek pengulangan
(repetitive) yang berakhir dengan kelumpuhan dan kematian. Efek ini
disebabkan oleh rendahnya penutupan saluran natrium dalam akson saraf,
sehingga natrium bergerak cepat dalam sel-sel dan merubah fungsi akson
saraf.
Deltametrin termasuk jenis insektisida yang relatif aman terhadap
mamalia tapi sangat toksik terhadap serangga, dengan nilai LD50 oral akut
19-34 mg/kg BB pada tikus, serta mempunyai tekanan uap 1,5 x 10 pada suhu
25°C. Deltametrin berwujud tepung yang tidak berwarna dengan titik didih
98°C -101°C. Insektisida ini larut dalam air pada suhu 20°C dengan
komposisi 2 mg/liter dan juga larut pada hampir semua pelarut organik sepert
aseton, etanol, sikloheksanon dan xilin. Deltametrin merupakan insektisida
golongan piretroid pertama yang tersusun dari isomer tunggal dari delapan
stereoisomer yang dihasilkan dari proses esterifikasi. Berdasarkan struktur
tersebut, diperoleh rumus kimia deltametrin C22H19Br2NO3.
Deltametrin berdasarkan ikatan gamma–aminobutyric acid (GABA)
receptor-ionophore complex diklasifikasikan sebagai piretroid Tipe II.
Berdasarkan ikatan kimia tersebut, piretroid sintetis dapat dikelompokkan
dalam dua tipe. Piretroid tipe I, (T-syndrome), tidak mengandung gugus
kelompok alpa-siano. Tipe II adalah piretroid dengan gugus kelompok alpa-
siano atau (CS-syndrome) (Gammon et al.1982, Gammon dan Casida 1983;
Lawrence dan Casida 1983; Lawrence et al.1985). Perbedaan mendasar dari
kedua tipe tersebut adalah tipe I (termasuk alletrin, d-penotrin, permetrin dan
sismetrin) merupakan penyebab peningkatan sementara permeabilitas natrium
membran saraf selama eksitasi (perangsangan) dengan perpanjangan impuls
yang moderat. Rentetan perulangan impuls saraf relatif lebih pendek pada
organ indera perasa dan serat saraf sensorik. Sebaliknya, piretroid tipe II
menyebabkan peningkatan sementara permeabilitas natrium dari membran
saraf selama eksitasi mengalami perpanjangan yang permanen. Ulangan
impuls organ saraf yang dihasilkan mengalami rangkaian depresi
berkepanjangan, bergantung pada frekuensi impuls dari urat saraf. Hal ini
menunjukkan bahwa kelompok alpa-siano berpengaruh terhadap saluran
natrium membran saraf dan menyebabkan peningkatan sementara
permeabilitas natrium selama berlangsungnya eksitasi.
Sebagai kelompok piretroid tipe II, deltametrin mempunyai karakter
yang dikenal dengan choreoathesis ( coarse tremor progressing to sinuos
writhing), sedasi, pengeluaran cairan saliva, dispnoea dan kadang disertai
dengan badan tremor dan kelumpuhan (McGregor 2000). Karakteristik
deltametrin adalah tindakan eksitasi yang kuat pada sistem saraf. Hal ini
diperoleh dari interaksi spesifik antara deltametrin dengan saluran natrium
pada membran saraf. Sebagai bagian perubahan pada permiabilitas dari
membran kepada natrium akibat efek pengulangan, maka akan dihasilkan
rangkaian impuls saraf.
D. Resistensi Aedes Aegypti terhadap insektisida
Sebagaimana kita ketahui, usaha pengendalian dan pemberantasan
vektor Demam Bedarah telah banyak dilakukan. Selain dengan menerapkan
usaha Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN), juga dilakukan fogging untuk
memutus mata rantai penularan DBD. Fogging dimaksudkan sebagai
pembasmi nyamuk dewasa Aedes aegypti. Namun penggunaan insektisida
yang kurang terkendali akan berakibat terjadinya resistensi nyamuk. Secara
prinsip ini akan mencegah insektisida berikatan dengan titik targetnya atau
tubuh serangga menjadi mampu mengurai bahan aktif insektisida sebelum
sampai titik sasaran. Sedangkan jenis atau tingkatan resistensi itu sendiri
meliputi tahap : toleran baru kemudin tahap resisten. Beberapa faktor yang
mempengaruhi mekanisme resistensi insektisida pada Aedes aegypti ini,
antara lain :
1. Faktor genetik
Faktor genetik tergantung pada keberadaan gen nyamuk yang mampu
mengkode pembentukan enzim tertentu dalam nyamuk. Enzim ini akan
menetralisir keberadaan insektisida (misalnya enzim esterase).
2. Faktor biologis
Faktor biologis ini merupakan kecepatan regenerasi nyamuk Aedes
aegypti. Selain itu juga kemampuan beradaptasi dengan tekanan alam
seperti pemaparan insektisida dan didukung kecepatan regenerasi yang
menyebabkan nyamuk cepat menurunkan generasi yang resiosten.
3. Faktor operasional
Faktor ini meliputi bahan kimia yang digunakan aplikasi, frekuensi, dosis
dan lama pemakaian.
Laju perkembangan resistensi sangat dipengaruhi oleh tingkat seleksi yang
diterima oleh suatu nyamuk Aedes aegypti. Pada kondisi yang sama
populasi yang menerima tekanan yang lebih keras akan berkembang
menjadi populasi yang resistensi dalam waktu yang lebih singkat
dibandingkan dengan nyamuk yang menerima tekanan yang lebih lemah.
Pada dasarnya mekanisme resistensi insektisida dibagi menjadi tiga tahap.
Pada tahap pertama terjadi peningkatan detoksifikasi insektisida, sehingga
insektisida menjadi tidak beracun (disebabkan pengaruh kerja enzim
tertentu). Kemudian terjadi penurunan laju penetrasi insektisida melalui
kulit, sehingga menghambat masuknya bahan aktif insektisida dan
meningkatkan enzim ditoksifikasi.
Gambar 1. Struktur kimia deltametrin , (S)-siano-3-pehoksibenzil (1R)-cis-3-(2,2-
dibromovinil)-2,2-dimetilsik lopropan karboksilat
Hasan, Muhamad. 2006. EFEK PAPARAN INSEKTISIDA DELTAMETRIN
PADA KERBAU TERHADAP ANGKA GIGITAN NYAMUK Anopheles vagus
PADA MANUSIA. (Online),
http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/22940/Hasan,Muhamad_T
06.pdf?sequence=1 Diakses 20 Juni 2013
E. Uji Bioassay
Uji bioassay adalah suatu uji daya kemampuan dari masing - masing
isolat untuk membunuh larva Aedes sp. Sebagai perlakuan adalah jenis isolat
bakteri dan konsentrasi inokulum mikroba, pada perlakuan diulang sebanyak
3 kali. Sepuluh ekor larva nyamuk Aedes sp dalam 100 ml aquades
diinokulasi dengan biakan bakteri dengan konsentrasi 0,1 , 0,5, dan 1 ml,
parameter yang diamati adalah mortalitas larva selama 3 - 5 hari. (May dan
Gheynst, 2002 ). Tujuan uji Bioassay diantaranya untuk mengetahui daya
bunuh insektisida.dan untuk mengetahui kualitas/cakupan penyemprotan yang
dilakukan. Uji Bioassay dibagi menjadi 3 macam, yaitu :
1. Uji bioassay kontak langsung (residu)
a. Bahan dan Alat
1) Nyamuk sehat
2) Permukaan dinding yang akan disemprot (tembok, kayu, bambu)
yang disemprot.
3) Aspirator
4) Kerucut plastic
5) Masking tape/ paku/ karet gelang
6) Gelas plastik/kertas
7) Kotak nyamuk
8) Sling hygrometer dan thermometer
b. Cara kerja :
1) Tempelkan kerucut plastik pada berbagai permukaan (minimal 3)
2) Masukan 10-15 nyamuk kedalam kerucut dengan aspirator
3) Biarkan nyamuk kontak dengan residu insektisida pada
permukaan dinding selama 30 menit
4) Setelah waktu pengujian selesai, nyamuk dipindahkan kedalam
gelasbertutup kasa ( hitung nyamuk yang pingsan)
5) Beri larutan gula 10% pada kapas sebagai nutrisi nyamuk
6) Simpan nyamuk dalam kotak penyimpanan selama 24 jam
7) Hitung kematian nyamuk pada perlakuan dan control
8) Jika kematian nyamuk pada pembanding (kontrol) :
9) < 5 %, maka angka kematian dapat digunakan
10) 5 %-20 %, maka kematian harus dikoreksi
11) > 20 % kematian kontrol uji bioassay harus diulang
12) Uji bioassay kontak tidak langsung (air bioassay) (residu)
13) Uji bioassay untuk pengasapan (fogging/ULV)
F. Air Bioassay (contact Tidak Langsung)
Tujuan : Untuk mengetahui uap residu insektisida.
a. Bahan :
1) Nyamuk sehat
2) Kurungan kasa dengan kerangka kawat
3) Ruangan yang telah disemprot insektisida
4) Kotak nyamuk
5) Air gula 10 %
b. Cara kerja :
1) Kurungan kasa diisi dengan nyamuk 20-25 ekor
2) Gantungkan kurungan tersebut disudut ruangan dengan jarak
daripermukaan yang disemprot (atap, dinding) 50 cm. Minimum
lakukanpada tiga ruangan.
3) Waktu pemaparan bisa 6-12 jam (disarankan 6 jam)
4) Setelah waktu pemaparan selesai, kurungan diambil dan
nyamukdipindahkan kedalam gelas bertutup kasa dan diberi larutan
gula pada kapas dan dihitung berapa nyamuk yang pingsan.
5) Hasil uji dimasukkan kedalam kotak penyimpanan, hidarkan dari
semut.
6) Ukur temperatur waktu pengujian dan selama penyimpanan.
7) Perhitungan sama dengan BIOASSAY kontak langsung.
G. Uji Bioassay untuk Fogging / ULV
Pada prinsipnya sama seperti uji air bioassay, hanya disini yang diukur
adalah efektivitas dari pengasapan / fogging atau penyemprotan ULV.
Nyamuk dalam kurungan dapat diletakkan dalam ruangan lalu disemprot, atau
digantung pada jarak tertentu ( didalam atau diluar ruangan ) dari tempat
penyemprotan lalu disemprot. Waktu pemaparan 1 jam, tiap 15 menit/selama
pemaparan dihitung nyamuk yang pingsan
May, B A.,and J S Vander Gheynst.2002. A Predictor Variable for Efficacy of
Lagenidium giganteum Produced in Solid — state Cultivacion. Journa of
Industrial Microbiology and Biotechnology
H. Nyamuk Aedes Aegypti
1. Ciri Morfologi
Nyamuk Aedes termasuk ke dalam famili Culicidae dengan subfamili
Culicinae. Genus Aedes memilki lebih dari 900 spesies (Kettle 1989).
Secara morfologi nyamuk Aedes aegypti memilki garis putih yang agak
melengkung di bagian thoraksnya sehingga Aedes aegypti dapat
dibedakan dengan nyamuk Aedes albopictus. Selain itu pada tarsus
Aedes aegypti terdapat gelang putih (Christophers 1960).
a. Nyamuk Aedes aegypti berwarna hitam dengan belang-belang
(loreng) putih pada seluruh tubuhnya.
b. Hidup di dalam dan di sekitar rumah, juga ditemukan di tempat
umum .
c. Mampu terbang sampai 100 meter.
d. Nyamuk betina aktif menggigit (menghisap) darah pada pagi hari
sampai sore hari. Nyamuk jantan biasa menghisap sari
bunga/tumbuhan yang mengandung gula.
e. Umur nyamuk Aedes aegypti rata-rata 2 minggu, tetapi sebagian
diantaranya dapat hidup 2-3 bulan (Anggraeni, 2010).
I. Siklus Hidup dan Perilaku Nyamuk Aedes aegypti
Siklus hidup nyamuk Aedes aegypti : Telur ---- Jentik ---- Kepompong ----
Nyamuk
Perkembangan dari telur sampai menjadi nyamuk kurang lebih 9-10 hari
1. Setiap kali bertelur , nyamuk betina dapat mengeluarkan telur sebanyak
100 butir.
2. Telur nyamuk Aedes aegypti berwarna hitam dengan ukuran ± 0.80 mm,
3. Telur ini ditempat yang kering (tanpa air) dapat bertahan sampai 6 bulan,
4. Telur itu akan menetas menjadi jentik dalam waktu lebih kurang 2 hari
setelah terendam air.
5. Jentik kecil yang menetas dari telur itu akan tumbuh menjadi besar yang
panjangnya 0.5-1 cm
6. Jentik Aedes aegypti akan selalu begerak aktif dalam air. Geraknya
berulangulang dari bawah ke atas permukaan air untuk bernafas
(mengambil udara) kemudian turun, kembali ke bawah dan seterusnya.
7. Pada waktu istirahat, posisinya hampir tegak lurus dengan permukaan air.
Biasanya berada di sekitar dinding tempat penampungan air.
8. Setelah 6-8 hari jentik itu akan berkembang/berubah menjadi kepompong.
9. Kepompong berbentuk koma.
10. Gerakannya lamban.
11. Sering berada di permukaan air.
12. Setelah 1-2 hari akan menjadi nyamuk dewasa (Anggraeni, 2010).
Nyamuk Aedes aegypti menyenangi area gelap dan benda-benda
berwarna hitam atau merah. Nyamuk ini banyak ditemukan di bawah meja,
bangku, kamar yang gelap, atau dibalik baju-baju yang digantung. Nyamuk ini
menggigit pada siang hari (pukul 09.00-10.00) dan sore hari (pukul 16.00-
17.00). Demam berdarah sering menyerang anak-anak karena anak-anak
cenderung duduk di dalam kelas selama pagi sampai siang hari (Anggraeni,
2010). Nyamuk Aedes aegypti berkembang biak di tempat penampungan air
untuk keperluan sehari-hari dan barang-barang lain yang memungkinkan air
tergenang yang tidak beralaskan tanah, misalnya bak mandi/WC, tempayan,
drum, tempat minum burung, vas bunga/pot tanaman air, kaleng bekas dan
ban bekas, botol, tempurung kelapa, plastik, dan lain-lain yang dibuang
sembarang tempat (Depkes RI, 2007).
Anggraini, D.S., 2010, Stop Demam Berdarah Dengue, Bogor, Cita Insan Madani
Christopher, S. S. R. 1960. Aedes aegypti (L) The Yellow Fever Moquito.
Cambridge At the Univ. Press. London. 739 hal.
[DEPKES] Departemen Kesehatan R.I. 2007. Media Komunikasi Pokjanal dan
Pokja DBD. No.16. Th. XI. Okt-Nov. 16 hal. [DINKES] Dinas Kesehatan
Kota Surabaya. 20
Kettle, D. S. 1984. Medical and Veterinary Entomology, a wiley-Inter Science
Publ, New York, hal: 99-136