biossay ore

31
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penggunaan kelambu berinsektisida dalam rangka pemberantasan malaria telah banyak digunakan baik di negara-negara Asia Pasifik, Afrika maupun Amerika Latin. 1 Insektisida yang umum digunakan dalam mencelup kelambu adalah insektisida dari kelompok sintetik pyrethroid. Di Indonesia insektisida yang digunakan antara lain permethrine, deltamethrine dan icon. 2 Pencampuran deltamethrine ke dalam material pembuat kelambu dimaksudkan agar kelambu permanet walau sudah dicuci berkali-kali masih dapat membunub nyamuk. 3 Sebagaimana kita ketahui, usaha pengendalian dan pemberantasan vektor deemam berdarah telah banyak dilakukan. Namun penggunaan insektisida yang kurang terkendali akan berakibat terjadinya resistensi nyamuk. Secara prinsip ini akan mencegah insektisida berikatan dengan titik targetnya atau tubuh serangga menjadi mampu mengurai bahan aktif insektisida sebelum sampai titik sasaran. Sedangkan

Upload: js-orenda

Post on 01-Dec-2015

119 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

bioassay uji

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penggunaan kelambu berinsektisida dalam rangka pemberantasan

malaria telah banyak digunakan baik di negara-negara Asia Pasifik, Afrika

maupun Amerika Latin.1 Insektisida yang umum digunakan dalam mencelup

kelambu adalah insektisida dari kelompok sintetik pyrethroid. Di Indonesia

insektisida yang digunakan antara lain permethrine, deltamethrine dan icon.2

Pencampuran deltamethrine ke dalam material pembuat kelambu

dimaksudkan agar kelambu permanet walau sudah dicuci berkali-kali masih

dapat membunub nyamuk. 3

Sebagaimana kita ketahui, usaha pengendalian dan pemberantasan

vektor deemam berdarah telah banyak dilakukan. Namun penggunaan

insektisida yang kurang terkendali akan berakibat terjadinya resistensi

nyamuk. Secara prinsip ini akan mencegah insektisida berikatan dengan titik

targetnya atau tubuh serangga menjadi mampu mengurai bahan aktif

insektisida sebelum sampai titik sasaran. Sedangkan jenis atau tingkatan

resistensi itu sendiri meliputi tahap : toleran baru kemudin tahap resisten.

Beberapa faktor yang mempengaruhi mekanisme resistensi insektisida pada

Aedes aegypti ini, antara lain faktor genetikm, faktor biologis dan faktor

operasional.

Laju perkembangan resistensi sangat dipengaruhi oleh tingkat seleksi

yang diterima oleh suatu nyamuk Aedes aegypti. Pada kondisi yang sama

populasi yang menerima tekanan yang lebih keras akan berkembang menjadi

populasi yang resistensi dalam waktu yang lebih singkat dibandingkan

dengan nyamuk yang menerima tekanan yang lebih lemah.

Pada dasarnya mekanisme resistensi insektisida dibagi menjadi tiga

tahap. Pada tahap pertama terjadi peningkatan detoksifikasi insektisida,

sehingga insektisida menjadi tidak beracun (disebabkan pengaruh kerja enzim

tertentu). Kemudian terjadi penurunan laju penetrasi insektisida melalui kulit,

sehingga menghambat masuknya bahan aktif insektisida dan meningkatkan

enzim ditoksifikasi.

Pengendalian serangga vektor pada walnya dilakukan dengan teknik

yang disebut dengan pemberantasan hama dengan insektisida. Namun seiring

dengan perjalanan waktu, penggunaan insektisida makin tidak terkenadalu

dan telah memberikan dampak yang tidak diduga sebelumnya yaitu terjadinya

resistensi terhadap insektisida, resurjensi hama, peledakan hama, serta

terjadinya kontaminasi lingkungan.

Deltametrin merupakan insektisida sintetis yang termasuk ke dalam

golongan piretroid. Pertama kali diisolasi dari tumbuhan Chrysanthemum

sekitar tahun 1800 dan mulai dikenal secara luas di seluruh dunia pada tahun

1851 (Matsumura 1975). Sedangkan deltametrin yang merupakan generasi

keempat dari piretroid di sintesa pertama kali pada tahun 1974 dan mulai

dipasarkan tahun 1977. Secara umum, insektisida yang termasuk golongan

piretroid bersama dengan DDT dan analognya digolongkan kedalam

kelompok racun saraf (neurotoksik) terhadap seranggga dan vertebrata

( Miller dan Adams dalam Coats 1988).

Deltametrin telah digunakan secara luas pada sektor pertanian dan

kesehatan masyarakat. Penggunaan deltametrin dalam pengendalian penyakit

malaria terutama ditujukan untuk membunuh nyamuk Anopheles dewasa. Di

Cina, deltametrin digunakan secara ekstensif sebagai bahan aktif untuk

kelambu celup berinsektisida (impregnated bednet) untuk mencegah gigitan

nyamuk Anopheles (Rozendaal 1997). Deltametrin diformulasikan dalam

bentuk emulsifiable concentrate (EC) , ultra low-volume concentrate (ULV),

wettable powder (WP), formulasi tersendiri atau dipadukan dengan

insektisida lain.

Tidak ada insektisida alternatif yang benar-benar efektif dan efisien

selain DDT dan pyrethroids, dan selian itu, pengembangan pestisida baru

merupakan proses yang lama dan cukup mahal. Manajemen vektor

menunjukkan bahwa memperkuat manajemen bebas insektisida adalah hal

yang sangat penting. Deteksi resistensi insektisida sebaiknya merupakan hal

rutin yang dilakukan sebagai upaya pengendalian nasional untuk

menunjukkan bahwa cara pengendalian vektor paling efektif sedang

dilakukan.

Uji bioassay adalah suatu uji daya kemampuan dari masing - masing

isolat untuk membunuh larva Aedes sp. Sebagai perlakuan adalah jenis isolat

bakteri dan konsentrasi inokulum mikroba, pada perlakuan diulang sebanyak 3

kali. Sepuluh ekor larva nyamuk Aedes sp dalam 100 ml aquades diinokulasi

dengan biakan bakteri dengan konsentrasi 0,1 , 0,5, dan 1 ml, parameter yang

diamati adalah mortalitas larva selama 3 - 5 hari. (May dan Gheynst, 2002 ).

Tujuan uji Bioassay diantaranya untuk mengetahui daya bunuh insektisida.dan

untuk mengetahui kualitas/cakupan penyemprotan yang dilakukan.

1. Rozendal, J.A ; Curtis C. F. 1989. Recent Research on Impregnated

mosuitos nets. J. Of the American Mosquitos Control Assotiation 5(4).

2. Ditjen P2M dan PLP, Pengendalian Nyamuk Anopheles. Malaria Vol. 4,

Depkes R.I

3. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3075886/ diakses pada 20

juni 2013

4. Fleming GA, Barodji, Shaw RF, Pradhan GD, Bang YH. A Village-Scale

Trial of Bendiocarb (OMS-1394) for Control of the Malaria

Vector Anopheles aconitus in Central Java, Indonesia.World Health

Organization; 1983. WHO/VBC/83.875.

A. Tujuan

1. Untuk mengetahui efektivitas insektisida efektivitas insektisida terhadap

nyamuk aedes aegypti.

2. Untuk mengetahui resistensi nyamuk Aedes aegypti terhadap insektisida.

3. Untuk mengetahui jumlah nyamuk knock down.

B. Manfaat

1. Mahasiswa dapat mengetahui efektivitas insektisida efektivitas insektisida

terhadap nyamuk aedes aegypti.

2. Mahasiswa dapat mengetahui resistensi nyamuk Aedes aegypti terhadap

insektisida.

3. Mahasiswa dapat mengetahui jumlah nyamuk knock down.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Long-lasting insecticidal nets (LLINs)

Long-lasting insecticidal nets (LLINs) adalah kelambu yang

mengandung insektisida yang dicampurkan atau dibalutkan ke benangnya dan

memiliki daya tahan terhadap berkali-kali pencucian serta tetap memiliki

aktivitas biologik sebagai proteksi personal sepanjang masa pemakaiannya.

Masa pemakaian LLIN adalah sekitar tiga tahun untuk kelambu poliester dan

5 tahun untuk polietilen. LLIN yang direkomendasikan oleh World Health

Organization Pesticide Evaluation Scheme (WHOPES) saat ini memiliki

aktivitas biologik sekurang-kurangnya sampai 20 kali pencucian pada kondisi

laboratorium dan tiga tahun pemakaian pada kondisi lapangan (Guillet 2004,

Kulkarni 2006).

WHO telah merekomendasikan dua jenis LLIN yang pada saat ini

telah dikomersialkan, yaitu Olyset®, yang diproduksi di China oleh

Sumitomo Chemical Company, Jepang dan dibawah perjanjian transfer

teknologi antara Sumitomo dan A to Z Textile Mills di Tanzania. Olyset®

disetujui oleh WHO 12 pada tahun 2001. Olyset® berbahan polietilen dan

mengandung permetrin yang dicampurkan ke dalam benangnya yang setiap

saat dapat bermigrasi ke permukaan benang untuk mengganti residu yang

hilang akibat pencucian.

LLINs lain yang direkomendasikan WHO adalah PermaNet, yang

diproduksi oleh Vestergaard Frandsen di Thailand dan Vietnam. PermaNet

berbahan poliester dan mengandung deltametrin yang dibalutkan ke

benangnya. Deltamethrin yang terkandung di benang tahan terhadap

pencucian. PermaNet disetujui oleh WHO pada tahun 2003 (Guillet 2004,

Kulkarni 2006, Shaw 2006, Coticelli 2007).

Kelambu Berinsektisida Long Lasting atau Long Lasting Insecticide

Nets merk PermaNet® adalah Kelambu Malaria yang direkomendasikan

WHO/WHOPES , Kelambu Malaria ini sangat ideal di Sumbang ke para

Korban Bencana Alam baik Gunung Merapi , Korban Banjir atau Tsunami

dan sebagainya,kelambu Malaria PermaNet® cocok juga untuk traveling,

diving, camping, mountain bike, off-road, climbing, caving, dan relawan

bencana alam termasuk juga melindungi bayi di rumah.

Gambar 1. Merk : PermaNet®

Spesifikasi :

Masa Aktif 4 tahun pemakaian ( minimal 20 kali pencucian ) Bahan Kelambu

- Polyester 100% - Denier : 75 denier - Toleransi penyusutan + 10 % Warna

Putih Bentuk Segiempat (Rectangular) Ukuran - Lebar : 160 cm - Panjang :

180 cm - Tinggi : 150 cm Kelengkapan - Mempunyai tali untuk

menggantungkan pada ke 4 sudut - Tanpa pintu Mesh - Jumlah : 156/inch2

Insektisida Deltamethrin Dosis Target dosis 55 mg/m2 atau minimum 45

mg/m2. PermaNet® produksi Vestergaard Frandsen, perusahaan

multinasional asal Denmark.

B. Resistensi dan Mekanismenya

Resistensi merupakan kemampuan kelompok serangga untuk bertahan

hidup terhadap suatu dosis insektisida yang dalam keadaan normal dapat

membunuh spesies serangga tersebut ( WHO 1992) Kasus resistensi pertama

kali dilaporkan pada lalat rumah Musca domestica terhadap DDT di Swedia

pada tahun 1947. Perkembangan resistensi semakin cepat setelah

ditemukannya bahan sintetik organik sebagai insektisida dan acarisida. Pada

era tahun 1940-an hanya tujuh spesies serangga yang dilaporkan resisten

terhadap DDT, tetapi pada era 1980-an jumlahnya meningkat mencapai 447

spesies. Dari jumlah tersebut 59% terdiri dari serangga hama, 38% serangga

pengganggu kesehatan hewan dan manusia. Sedangkan 3% sisanya adalah

serangga yang berguna seperti predator dan parasitoid (Georghiou 1986).

Menurut WHO (1992 ) sampai saat ini lebih dari 100 spesies nyamuk

yang telah resisten terhadap satu atau lebih insektisida. Dari jumlah tersebut,

56 spesies di antaranya adalah nyamuk Anopheles dan 39 spesies Culex.

Anopheles yang mengalami proses resistensi tersebut antara lain; A.

Sacharovi di Lebanon, Iran dan Turki. A. sundaicus di Indonesia dan

Myanmar yang resisten terhadap DDT. A. quadrimaculatus di Meksiko

resisten terhadap dieldrin .

A. aconitus di Indonesia juga mulai resisten terhadap organofosfat

(Widiarti 2003). Sementara itu nyamuk Anopheles yang resisten terhadap

piretroid adalah A. minimus di Thailand (Chareoviriyaphap et al. 2002 ) dan

A. gambiae di Burkina Faso (Diabate et al. 2002).

Mekanisme resistensi secara biokimia dapat digolongkan dalam dua kategori

yaitu (1) Mekanisme target sasaran dan (2) Mekanisme detoksifikasi berbasis

enzim ( Brogdon dan McAllister 1998).

1. Mekanisme target sasaran.

Mekanisme ini terjadi ketika insektisida tidak terlalu lama mengikat

target sasaran.Target sasaran insektisida organofospat dan karbamat

adalah asetilkolinestarase pada sinaps saraf. Sedangkan target sasaran

organokhlorin (DDT) dan sintetik piretroid lainnya adalah saluran

natrium pada lapisan saraf. Resistensi silang DDT-Piretroid dihasilkan

oleh perubahan asam amino tunggal (satu atau kedua target sasaran yang

diketahui) dalam ikatan akson yang menjadi sasaran saluran natrium.

Resistensi silang tersebut menghasilkan perubahan dalam natrium yang

langsung menggerakkan saraf dan menyebabkan sensitivitas piretroid

rendah. Hal serupa terjadi pada resistensi siklodien (dieldrin) karena

perubahan kode gen nukleotida tunggal pada reseptor gamma-

aminobutryc acid (GABA).

Sedikitnya terdapat lima tempat mutasi asetilkolinesterase yang mengikat

target insektisida dan telah diidentifikasi satu per satu

2. Mekanisme detoksifikasi.

Mekanisme ini terbentuk ketika terjadi modifikasi aktivitas esterase,

oksidas dan gluthatione S-transferase (GST) sehingga mencegah

insektisida mencapai target sasaran. Dalam hal ini sejumlah enzim

bertanggung jawab terhadap detoksifikasi xenobiotik dari kehidupan

organisme dan terekam oleh rumpun multigen besar yang terdiri dari

esterase, oksidase dan GST. Enzim tersebut menyebabkan terjadinya

modifikasi mekanisme resistensi yang paling umum pada serangga

dengan aktivitas enzim detoksifikasi eseterase. Enzim ini juga punya

jangkauan yang luas terhadap metabolisme insektisida. Sebagian besar

makhluk hidup mempunyai dua atau lebih golongan GST ganda. Sebagai

kelompok dari gen yang mengaktifkan genom dengan cara rekombinasi,

GST juga mempengaruhi resistensi insektisida DDT.

Jumlah gen GST yang resisten -termasuk bentuk ganda pada serangga

yang sama-mempunyai karakteristik khusus ketika bersinggungan

dengan serangga vektor.

Faktor ekologi yang penting dalam mempengaruhi laju resistensi

adalah tingkah laku isolasi, migrasi dan mobilitas dari individu-individu yang

bersifat rentan (WHO, 1975). Faktor fisiologi dan biokimia sangat

berpengaruh terhadap laju resistensi suatu populasi serangga. Kecepatan

menghasilkan keturunan merupakan faktor yang penting, semakin besar

jumlah generasi per tahun yang dihasilkan maka makin cepat terjadi evolusi

resistensi. Anopheles stephensi di Irak hanya membutuhkan waktu selama

sekali perlakuan dengan DDT untuk menjadi resistensi terhadap DDT.

Spesies yang sama di Arab Saudi membutuhkan waktu 5 tahun untuk menjadi

resistensi terhadap DDT (Davidson, 1958).

Dalam melacak kemungkinan adanya galur yang resisten, WHO

(1980) menganjurkan untuk menggunakan dosis diagnosa tentative yang

besarnya tergantung pada spesies, jenis insektisida dan stadium hidup

serangganya. Untuk menentukan status kerentanan nyamuk A. aegypti

dewasa terhadap malation dengan konsentrasi 5%. Pelacakan untuk

mengetahui timbulnya galur serangga yang resistensi perlu dilakukan di

berbagai tempat secara periodik. Hal ini disebabkan karena waktu timbulnya

resistensi tidak dapat diduga dengan tepat sebab tergantung pada tempat,

waktu, spesies serangga sasaran, dan insektisida yang digunakan. Faktor-

faktor seperti suhu, kelembaban nisbi, umur, jenis kelamin, dan berat badan

mempengaruhi kerentanan serangga terhadap insektisida (Bainbridge et al.

1982). Brown dan Pal (1971), mengatakan bahwa hingga akhir dekade enam

puluhan, belum ada laporan adanya galur A. aegypti yang resisten terhadap

senyawa OP. Tetapi WHO (1980) telah mencatat adanya galur spesies ini

yang resisten terhadap senyawa OP seperti malathion, temephos dan

fenitrithion di Kepulauan Karibia, malation di India, Malaysia, Thailand dan

Vietnam.

PEMBAGIAN RESISTENSI Menurut Soedarto (2008), resistensi

dibagi menjadi resistensi bawaan (natural resistancy) dan resistensi yang

didapat (acquired resistancy).

1. Resistensi bawaan

Serangga yang secara alami sensitif terhadap suatu insektisida akan

menghasilkan secara alami keturunan yang juga sensitif terhadap

insektisida tersebut. Sedangkan serangga yang secara alami sudah resisten

terhadap suatu insektisida, keturunannya juga akan resisten terhadap

insektisida bersangkutan. Selain itu, serangga yang sensitif terhadap suatu

insektisida jika mengalami mutasi (yang terjadi satu kali setiap beberapa

ratus atau ribu tahun) dapat berkembang menjadi serangga yang resisten

terhadap insektisida tersebut.

2. Resistensi didapat

Akibat pemberian dosis insektisida yang di bawah dosis lethal dalam

waktu yang lama, serangga target yang sebelumnya sensitif dapat

menyesuaikan diri berkembang menjadi

3. resisten terhadap insektisida tersebut. Berdasar atas jenis insektisida yang

tidak lagi peka terhadap serangga, resistensi dibedakan menjadi resistensi

silang (cross resistance) dan resistensi ganda (double resistance) (Hoedojo

& Zulhasril, 2000; Soedarto, 2008).

4. Cross resistance

Resistensi serangga yang terjadi terhadap dua insektisida yang satu

golongan atau satu seri, misalnya resisten terhadap malathion dan diazinon

(satu golongan) atau kebal terhadap DDT dan metoksiklor (satu seri).

5. Double resistance

Resistensi serangga yang terjadi terhadap dua insektisida yang berbeda

golongannya atau serinya, misalnya resisten terhadap malathion dan DDT

(beda golongan) atau DDT dan dieldrin (beda seri). Jika satu jenis

serangga telah resisten terhadap suatu insektisida, maka dosis insektisida

harus dinaikkan. Jika dosis insektisida terus-menerus dinaikkan, maka

pada dosis tertentu akan dapat membahayakan kesehatan manusia dan

hewan serta berdampak buruk pada lingkungan hidup. Karena itu,

insektisida harus diganti dengan jenis atau golongan lain atau diciptakan

insektisida baru untuk memberantas serangga tersebut (Soedarto, 2008).

Saat ini laju penemuan insektisida baru sangat lambat, hal ini dapat

disebabkan antara lain: 1) peningkatan biaya penelitian untuk menemukan

insektisida baru yang memenuhi syarat, 2) peningkatan biaya dan

persyaratan registrasi insektisida yang semakin ketat, 3) peningkatan biaya

produksi, serta 4) semakin ketatnya kompetisi antar produsen insektisida

(Untung, 2004).

1. Bang YH, Sudomo M, Shaw RF, Pradhan GD, Supratman, Fleming

GA. Selective Application of Fenitrothion for Control of the Malaria

Vector Anopheles aconitus in Central Java, Indonesia.World Health

Organization; 1981. WHO/VBC/81.822.

C. Deltametrin dan Cara Kerjanya

Deltametrin telah digunakan secara luas pada sektor pertanian dan

kesehatan masyarakat. Penggunaan deltametrin dalam pengendalian penyakit

malaria terutama ditujukan untuk membunuh nyamuk Anopheles dewasa. Di

Cina, deltametrin digunakan secara ekstensif sebagai bahan aktif untuk

kelambu celup berinsektisida (impregnated bednet) untuk mencegah gigitan

nyamuk Anopheles (Rozendaal 1997). Deltametrin diformulasikan dalam

bentuk emulsifiable concentrate (EC) , ultra low-volume concentrate (ULV),

wettable powder (WP), formulasi tersendiri atau dipadukan dengan

insektisida lain.

Deltametrin merupakan insektisida sintetis yang termasuk ke dalam

golongan piretroid. Pertama kali diisolasi dari tumbuhan Chrysanthemum

sekitar tahun 1800 dan mulai dikenal secara luas di seluruh dunia pada tahun

1851 (Matsumura 1975). Sedangkan deltametrin yang merupakan generasi

keempat dari piretroid di sintesa pertama kali pada tahun 1974 dan mulai

dipasarkan tahun 1977. Secara umum, insektisida yang termasuk golongan

piretroid bersama dengan DDT dan analognya digolongkan kedalam

kelompok racun saraf (neurotoksik) terhadap seranggga dan vertebrata

( Miller dan Adams dalam Coats 1988).

Target utamanya adalah saluran natrium pada membran saraf yang

berinteraksi dengan akson pada sistem saraf pusat dan sistem saraf tepi. Cara

kerja piretroid adalah mempengaruhi sistem saraf serangga atau mamalia

dengan merangsang sel-sel saraf untuk menghasilkan efek pengulangan

(repetitive) yang berakhir dengan kelumpuhan dan kematian. Efek ini

disebabkan oleh rendahnya penutupan saluran natrium dalam akson saraf,

sehingga natrium bergerak cepat dalam sel-sel dan merubah fungsi akson

saraf.

Deltametrin termasuk jenis insektisida yang relatif aman terhadap

mamalia tapi sangat toksik terhadap serangga, dengan nilai LD50 oral akut

19-34 mg/kg BB pada tikus, serta mempunyai tekanan uap 1,5 x 10 pada suhu

25°C. Deltametrin berwujud tepung yang tidak berwarna dengan titik didih

98°C -101°C. Insektisida ini larut dalam air pada suhu 20°C dengan

komposisi 2 mg/liter dan juga larut pada hampir semua pelarut organik sepert

aseton, etanol, sikloheksanon dan xilin. Deltametrin merupakan insektisida

golongan piretroid pertama yang tersusun dari isomer tunggal dari delapan

stereoisomer yang dihasilkan dari proses esterifikasi. Berdasarkan struktur

tersebut, diperoleh rumus kimia deltametrin C22H19Br2NO3.

Deltametrin berdasarkan ikatan gamma–aminobutyric acid (GABA)

receptor-ionophore complex diklasifikasikan sebagai piretroid Tipe II.

Berdasarkan ikatan kimia tersebut, piretroid sintetis dapat dikelompokkan

dalam dua tipe. Piretroid tipe I, (T-syndrome), tidak mengandung gugus

kelompok alpa-siano. Tipe II adalah piretroid dengan gugus kelompok alpa-

siano atau (CS-syndrome) (Gammon et al.1982, Gammon dan Casida 1983;

Lawrence dan Casida 1983; Lawrence et al.1985). Perbedaan mendasar dari

kedua tipe tersebut adalah tipe I (termasuk alletrin, d-penotrin, permetrin dan

sismetrin) merupakan penyebab peningkatan sementara permeabilitas natrium

membran saraf selama eksitasi (perangsangan) dengan perpanjangan impuls

yang moderat. Rentetan perulangan impuls saraf relatif lebih pendek pada

organ indera perasa dan serat saraf sensorik. Sebaliknya, piretroid tipe II

menyebabkan peningkatan sementara permeabilitas natrium dari membran

saraf selama eksitasi mengalami perpanjangan yang permanen. Ulangan

impuls organ saraf yang dihasilkan mengalami rangkaian depresi

berkepanjangan, bergantung pada frekuensi impuls dari urat saraf. Hal ini

menunjukkan bahwa kelompok alpa-siano berpengaruh terhadap saluran

natrium membran saraf dan menyebabkan peningkatan sementara

permeabilitas natrium selama berlangsungnya eksitasi.

Sebagai kelompok piretroid tipe II, deltametrin mempunyai karakter

yang dikenal dengan choreoathesis ( coarse tremor progressing to sinuos

writhing), sedasi, pengeluaran cairan saliva, dispnoea dan kadang disertai

dengan badan tremor dan kelumpuhan (McGregor 2000). Karakteristik

deltametrin adalah tindakan eksitasi yang kuat pada sistem saraf. Hal ini

diperoleh dari interaksi spesifik antara deltametrin dengan saluran natrium

pada membran saraf. Sebagai bagian perubahan pada permiabilitas dari

membran kepada natrium akibat efek pengulangan, maka akan dihasilkan

rangkaian impuls saraf.

D. Resistensi Aedes Aegypti terhadap insektisida

Sebagaimana kita ketahui, usaha pengendalian dan pemberantasan

vektor Demam Bedarah telah banyak dilakukan. Selain dengan menerapkan

usaha Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN), juga dilakukan fogging untuk

memutus mata rantai penularan DBD. Fogging dimaksudkan sebagai

pembasmi nyamuk dewasa Aedes aegypti. Namun penggunaan insektisida

yang kurang terkendali akan berakibat terjadinya resistensi nyamuk. Secara

prinsip ini akan mencegah insektisida berikatan dengan titik targetnya atau

tubuh serangga menjadi mampu mengurai bahan aktif insektisida sebelum

sampai titik sasaran. Sedangkan jenis atau tingkatan resistensi itu sendiri

meliputi tahap : toleran baru kemudin tahap resisten. Beberapa faktor yang

mempengaruhi mekanisme resistensi insektisida pada Aedes aegypti ini,

antara lain :

1. Faktor genetik

Faktor genetik tergantung pada keberadaan gen nyamuk yang mampu

mengkode pembentukan enzim tertentu dalam nyamuk. Enzim ini akan

menetralisir keberadaan insektisida (misalnya enzim esterase).

2. Faktor biologis

Faktor biologis ini merupakan kecepatan regenerasi nyamuk Aedes

aegypti. Selain itu juga kemampuan beradaptasi dengan tekanan alam

seperti pemaparan insektisida dan didukung kecepatan regenerasi yang

menyebabkan nyamuk cepat menurunkan generasi yang resiosten.

3. Faktor operasional

Faktor ini meliputi bahan kimia yang digunakan aplikasi, frekuensi, dosis

dan lama pemakaian.

Laju perkembangan resistensi sangat dipengaruhi oleh tingkat seleksi yang

diterima oleh suatu nyamuk Aedes aegypti. Pada kondisi yang sama

populasi yang menerima tekanan yang lebih keras akan berkembang

menjadi populasi yang resistensi dalam waktu yang lebih singkat

dibandingkan dengan nyamuk yang menerima tekanan yang lebih lemah.

Pada dasarnya mekanisme resistensi insektisida dibagi menjadi tiga tahap.

Pada tahap pertama terjadi peningkatan detoksifikasi insektisida, sehingga

insektisida menjadi tidak beracun (disebabkan pengaruh kerja enzim

tertentu). Kemudian terjadi penurunan laju penetrasi insektisida melalui

kulit, sehingga menghambat masuknya bahan aktif insektisida dan

meningkatkan enzim ditoksifikasi.

Gambar 1. Struktur kimia deltametrin , (S)-siano-3-pehoksibenzil (1R)-cis-3-(2,2-

dibromovinil)-2,2-dimetilsik lopropan karboksilat

Hasan, Muhamad. 2006. EFEK PAPARAN INSEKTISIDA DELTAMETRIN

PADA KERBAU TERHADAP ANGKA GIGITAN NYAMUK Anopheles vagus

PADA MANUSIA. (Online),

http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/22940/Hasan,Muhamad_T

06.pdf?sequence=1 Diakses 20 Juni 2013

E. Uji Bioassay

Uji bioassay adalah suatu uji daya kemampuan dari masing - masing

isolat untuk membunuh larva Aedes sp. Sebagai perlakuan adalah jenis isolat

bakteri dan konsentrasi inokulum mikroba, pada perlakuan diulang sebanyak

3 kali. Sepuluh ekor larva nyamuk Aedes sp dalam 100 ml aquades

diinokulasi dengan biakan bakteri dengan konsentrasi 0,1 , 0,5, dan 1 ml,

parameter yang diamati adalah mortalitas larva selama 3 - 5 hari. (May dan

Gheynst, 2002 ). Tujuan uji Bioassay diantaranya untuk mengetahui daya

bunuh insektisida.dan untuk mengetahui kualitas/cakupan penyemprotan yang

dilakukan. Uji Bioassay dibagi menjadi 3 macam, yaitu :

1. Uji bioassay kontak langsung (residu)

a. Bahan dan Alat

1) Nyamuk sehat

2) Permukaan dinding yang akan disemprot (tembok, kayu, bambu)

yang disemprot.

3) Aspirator

4) Kerucut plastic

5) Masking tape/ paku/ karet gelang

6) Gelas plastik/kertas

7) Kotak nyamuk

8) Sling hygrometer dan thermometer

b. Cara kerja :

1) Tempelkan kerucut plastik pada berbagai permukaan (minimal 3)

2) Masukan 10-15 nyamuk kedalam kerucut dengan aspirator

3) Biarkan nyamuk kontak dengan residu insektisida pada

permukaan dinding selama 30 menit

4) Setelah waktu pengujian selesai, nyamuk dipindahkan kedalam

gelasbertutup kasa ( hitung nyamuk yang pingsan)

5) Beri larutan gula 10% pada kapas sebagai nutrisi nyamuk

6) Simpan nyamuk dalam kotak penyimpanan selama 24 jam

7) Hitung kematian nyamuk pada perlakuan dan control

8) Jika kematian nyamuk pada pembanding (kontrol) :

9) < 5 %, maka angka kematian dapat digunakan

10) 5 %-20 %, maka kematian harus dikoreksi

11) > 20 % kematian kontrol uji bioassay harus diulang

12) Uji bioassay kontak tidak langsung (air bioassay) (residu)

13) Uji bioassay untuk pengasapan (fogging/ULV)

F. Air Bioassay (contact Tidak Langsung)

Tujuan : Untuk mengetahui uap residu insektisida.

a. Bahan :

1) Nyamuk sehat

2) Kurungan kasa dengan kerangka kawat

3) Ruangan yang telah disemprot insektisida

4) Kotak nyamuk

5) Air gula 10 %

b. Cara kerja :

1) Kurungan kasa diisi dengan nyamuk 20-25 ekor

2) Gantungkan kurungan tersebut disudut ruangan dengan jarak

daripermukaan yang disemprot (atap, dinding) 50 cm. Minimum

lakukanpada tiga ruangan.

3) Waktu pemaparan bisa 6-12 jam (disarankan 6 jam)

4) Setelah waktu pemaparan selesai, kurungan diambil dan

nyamukdipindahkan kedalam gelas bertutup kasa dan diberi larutan

gula pada kapas dan dihitung berapa nyamuk yang pingsan.

5) Hasil uji dimasukkan kedalam kotak penyimpanan, hidarkan dari

semut.

6) Ukur temperatur waktu pengujian dan selama penyimpanan.

7) Perhitungan sama dengan BIOASSAY kontak langsung.

G. Uji Bioassay untuk Fogging / ULV

Pada prinsipnya sama seperti uji air bioassay, hanya disini yang diukur

adalah efektivitas dari pengasapan / fogging atau penyemprotan ULV.

Nyamuk dalam kurungan dapat diletakkan dalam ruangan lalu disemprot, atau

digantung pada jarak tertentu ( didalam atau diluar ruangan ) dari tempat

penyemprotan lalu disemprot. Waktu pemaparan 1 jam, tiap 15 menit/selama

pemaparan dihitung nyamuk yang pingsan

May, B A.,and J S Vander Gheynst.2002. A Predictor Variable for Efficacy of

Lagenidium giganteum Produced in Solid — state Cultivacion. Journa of

Industrial Microbiology and Biotechnology

H. Nyamuk Aedes Aegypti

1. Ciri Morfologi

Nyamuk Aedes termasuk ke dalam famili Culicidae dengan subfamili

Culicinae. Genus Aedes memilki lebih dari 900 spesies (Kettle 1989).

Secara morfologi nyamuk Aedes aegypti memilki garis putih yang agak

melengkung di bagian thoraksnya sehingga Aedes aegypti dapat

dibedakan dengan nyamuk Aedes albopictus. Selain itu pada tarsus

Aedes aegypti terdapat gelang putih (Christophers 1960).

a. Nyamuk Aedes aegypti berwarna hitam dengan belang-belang

(loreng) putih pada seluruh tubuhnya.

b. Hidup di dalam dan di sekitar rumah, juga ditemukan di tempat

umum .

c. Mampu terbang sampai 100 meter.

d. Nyamuk betina aktif menggigit (menghisap) darah pada pagi hari

sampai sore hari. Nyamuk jantan biasa menghisap sari

bunga/tumbuhan yang mengandung gula.

e. Umur nyamuk Aedes aegypti rata-rata 2 minggu, tetapi sebagian

diantaranya dapat hidup 2-3 bulan (Anggraeni, 2010).

I. Siklus Hidup dan Perilaku Nyamuk Aedes aegypti

Siklus hidup nyamuk Aedes aegypti : Telur ---- Jentik ---- Kepompong ----

Nyamuk

Perkembangan dari telur sampai menjadi nyamuk kurang lebih 9-10 hari

1. Setiap kali bertelur , nyamuk betina dapat mengeluarkan telur sebanyak

100 butir.

2. Telur nyamuk Aedes aegypti berwarna hitam dengan ukuran ± 0.80 mm,

3. Telur ini ditempat yang kering (tanpa air) dapat bertahan sampai 6 bulan,

4. Telur itu akan menetas menjadi jentik dalam waktu lebih kurang 2 hari

setelah terendam air.

5. Jentik kecil yang menetas dari telur itu akan tumbuh menjadi besar yang

panjangnya 0.5-1 cm

6. Jentik Aedes aegypti akan selalu begerak aktif dalam air. Geraknya

berulangulang dari bawah ke atas permukaan air untuk bernafas

(mengambil udara) kemudian turun, kembali ke bawah dan seterusnya.

7. Pada waktu istirahat, posisinya hampir tegak lurus dengan permukaan air.

Biasanya berada di sekitar dinding tempat penampungan air.

8. Setelah 6-8 hari jentik itu akan berkembang/berubah menjadi kepompong.

9. Kepompong berbentuk koma.

10. Gerakannya lamban.

11. Sering berada di permukaan air.

12. Setelah 1-2 hari akan menjadi nyamuk dewasa (Anggraeni, 2010).

Nyamuk Aedes aegypti menyenangi area gelap dan benda-benda

berwarna hitam atau merah. Nyamuk ini banyak ditemukan di bawah meja,

bangku, kamar yang gelap, atau dibalik baju-baju yang digantung. Nyamuk ini

menggigit pada siang hari (pukul 09.00-10.00) dan sore hari (pukul 16.00-

17.00). Demam berdarah sering menyerang anak-anak karena anak-anak

cenderung duduk di dalam kelas selama pagi sampai siang hari (Anggraeni,

2010). Nyamuk Aedes aegypti berkembang biak di tempat penampungan air

untuk keperluan sehari-hari dan barang-barang lain yang memungkinkan air

tergenang yang tidak beralaskan tanah, misalnya bak mandi/WC, tempayan,

drum, tempat minum burung, vas bunga/pot tanaman air, kaleng bekas dan

ban bekas, botol, tempurung kelapa, plastik, dan lain-lain yang dibuang

sembarang tempat (Depkes RI, 2007).

Anggraini, D.S., 2010, Stop Demam Berdarah Dengue, Bogor, Cita Insan Madani

Christopher, S. S. R. 1960. Aedes aegypti (L) The Yellow Fever Moquito.

Cambridge At the Univ. Press. London. 739 hal.

[DEPKES] Departemen Kesehatan R.I. 2007. Media Komunikasi Pokjanal dan

Pokja DBD. No.16. Th. XI. Okt-Nov. 16 hal. [DINKES] Dinas Kesehatan

Kota Surabaya. 20

Kettle, D. S. 1984. Medical and Veterinary Entomology, a wiley-Inter Science

Publ, New York, hal: 99-136