bioproses dan teknologi pembuatan bioetanol
TRANSCRIPT
Bioproses dan Teknologi Pembuatan Bioetanol
Bioetanol atau etil alkohol adalah alkohol yang dibuat dari bahan baku
yang bersifat dapat diperbarui. Bioetanol biasanya diproduksi secara
fermentasi dari bahan yang mengandung glukosa atau polimer glukosa
(polisakarida). Hampir 93% etanol di dunia merupakan bioetanol yang
merupakan hasil konversi biomassa secara anaerobik, sedangkan sisanya
adalah etanol yang disintesis secara kimia dari turunan minyak bumi.
Bioetanol dapat dimanfaatkan sebagai agen untuk meningkatkan angka oktan pada bensin
karena angka oktan etanol cukup tinggi (135) sedangkan angka oktan premium yang dijual
sebagai bahan bakar adalah 98. Makin tinggi bilangan oktan, bahan bakar makin tahan
untuk tidak terbakar sendiri sehingga menghasilkan kestabilan proses pembakaran untuk
memperoleh daya yang lebih stabil. Proses pembakaran dengan daya yang lebih sempurna
akan mengurangi emisi gas karbon monoksida. Campuran bioetanol 3% saja, mampu
menurunkan emisi karbonmonoksida menjadi hanya 1,35% [Anonim, 2007].
Konsumsi bensin di Indonesia pada tahun 2005 mencapai 16 jutakilo liter (Sutanto). Fraksi
premium yang dihasilkan oleh unit pengolahan minyak bumi di Indonesia tidak cukup
memenuhi kebutuhan premium Indonesia. Untuk menanggulangi defisit premium,
Indonesia mengimpor kebutuhan premium dari pasar internasional. Kebutuhan premium
Indonesia pada tahun 2008 diprediksikan sebesar 19,6 juta kilo liter. Dengan jumlah unit
pengolahan minyak bumi yang tidak bertambah, produksi premium yang dihasilkan
Indonesia tetap, maka Indonesia akan mengimpor premium dalam jumlah yang lebih besar
di tahun-tahun mendatang.
Pemerintah sebenarnya telah berusaha mencari jalan keluar untuk memperkecil impor
minyak bumi di masa mendatang dengan mengeluarkan Peraturan Presiden No. 5 tahun
2006 tentang kebijakan energi nasional untuk mengembangkan sumber energi alternatif
sebagai pengganti bahan bakar minyak. Berdasarkan peraturan tersebut diharapkan pada
tahun 2025, 17% kebutuhan energi Indonesia disediakan oleh energi baru terbarukan
(Yudhoyono, 2005). Salah satu sumber energi yang bisa dimanfaatkan sebagai energi
alternatif adalah etanol. Meskipun densitas energi spesifik etanol lebih kecil daripada
premium (densitas energi spesifik etanol 23,4-26,8 MJ/kg, densitas energi spesifik premium
45-48,3 MJ/kg) (Sutanto), tetapi bahan baku etanol yang melimpah di Indonesia dan proses
produksi etanol dapat dikembangkan di Indonesia, maka etanol sebagai sumber energi
alternatif untuk substitusi premium sangat memungkinkan untuk diterapkan di Indonesia.
Pemanfaatan etanol dan campuran bensin-etanol sebagai bahan bakar telah lama dilakukan
sejak awal adanya kendaraan automobil. Pemanfaatan etanol murni sebagai bahan bakar
kendaraan pertama kali diperkenalkan oleh Henry Ford pada model mobil rakitannya
(Husky Energy, 2007), bahkan pada April 1933 di Nebraska sudah dijual campuran
bioethanol 10% dengan premium (Praj Industries, 2006). Sebelumnya, dengan stok jumlah
minyak bumi yang tak terbatas dan lebih murah, penggunaan etanol sebagai bahan bakar
dirasa belum diperlukan. Namun beberapa dekade belakangan ini, naiknya harga minyak
bumi telah mendorong pencarian energi alternatif untuk mengatasi krisis energi yang mulai
mengancam dunia. Dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh penggunaan bahan bakar
fosil juga menjadi pertimbangan pemilihan energi alternatif yang tepat dan ramah
lingkungan. Penggunaan etanol sebagai bahan bakar mempunyai beberapa keunggulan
dibanding dengan BBM, yaitu : a) kandungan oksigen yang tinggi (35%) sehingga jika
dibakar sangat bersih, b) ramah lingkungan karena emisi gas karbon-mono-oksida lebih
rendah 19-25% dibanding BBM sehingga tidak memberikan kontribusi pada akumulasi
karbon dioksida di atmosfer (Costello and Chun, 1988), dan bersifat terbarukan, sedangkan
BBM akan habis karena bahan bakunya fosil.
Produksi Bioetanol
Bioetanol diproduksi secara konversi biomassa secara fermentasi anaerobik dari bahan
yang mengandung gugus glukosa. Proses fermentasi secara umum terdiri dari tiga tahap,
yaitu pembuatan gula terlarut, fermentasi gula menjadi etanol, dan pemisahan serta
pemurnian etanol yang biasanya dilakukan secara distilasi (Badger, 2002).
Teknologi pembuatan bioetanol telah mengalami perkembangan dan dibedakan menjadi
teknologi generasi pertama dan kedua. Perbedaan kedua generasi tersebut berdasarkan
bahan baku untuk memproduksi bioetanol (McCutcheon, 2007). Bioetanol generasi
pertama diproduksi dari bahan yang mengandung gula atau pati, seperti molase, gula bit,
gula tebu, barley, beberapa macam gandum, jagung, kentang, singkong, tebu.
Bahan berpati pada umumnya mengandung amilase dan amilopektin. Amilase adalah
polimer glukosa linier yang tersusun atas unit glukosa yang dihubungkan oleh ikatan a-l,4-
glikosidik, sedangkan amilopektin adalah polimer bercabang yang pada cabangnya
dihubungkan oleh ikatan a-1,6. Bahan-bahan berpati yang digunakan untuk memproduksi
bioetanol tersebut juga dimanfaatkan sebagai bahan pangan. Kompetisi bahan baku sebagai
bahan pangan dan bahan produksi etanol mendorong usaha penggunanaan bahan baku lain
di luar rantai makanan manusia. Hasil dari pengembangan tersebut menghasilkan teknologi
generasi kedua yang memanfaatkan bahan yang mengandung selulosa atau hemiselulosa.
Produksi etanol dengan teknologi generasi pertama sudah banyak diterapkan di dunia,
termasuk Indonesia. Sedangkan teknologi generasi kedua masih dalam taraf penelitian dan
pengembangan pada skala pilot. Meskipun masih dalam taraf penelitian, produksi etanol
dengan teknologi generasi kedua sangat berpotensi untuk dikembangkan mampu karena
menghasilkan bioetanol dengan perolehan tinggi tanpa berkompetisi dengan pangan.
Produksi Bioetanol dengan Teknologi Generasi Pertama
Proses produksi bioetanol yang selama ini sudah dikembangkan dan diterapkan secara
umum meliputi 2 tahap, yaitu proses sakarifikasi dan fermentasi. Proses sakarifikasi
bertujuan untuk memecah karbohidrat (seperti gula, selulosa dan hemiselulosa) menjadi
monomer-monomer gula.
Pada bahan baku molase, gula bit, dan gula tebu yang selama ini sudah digunakan secara
luas sebagai bahan baku etanol, proses pembuatan etanol lebih sederhana karena bahan
baku tersebut dapat langsung disakarifikasi dengan menambahkan glukoamilase (Caylak
dan Sukan, 1998). Sedangkan untuk bahan baku berpati, sebelum proses sakarifikasi harus
dilakukan proses liquefaksi terlebih dahulu, proses dengan bahan baku berpati ini sudah
diterapkan secara luas terutama di Brazil dan di Amerika untuk menghasilkan bioetanol,
tetapi di Indonesia masih dilangsungkan pada skala rumah tangga. Proses liquefaksi
dilakukan karena mikroorganisme fermentasi etanol tidak dapat mengkonversi pati menjadi
etanol secara langsung, diperlukan enzim untuk mengkonversi oligosakarida pada pati
menjadi maltosa, kemudian melalui proses sakarifikasi diubah menjadi gula sederhana yang
mudah difermentasi.
Proses Sakarifikasi
Proses sakarifikasi bertujuan untuk mengkonversi dekstrin yang dihasilkan pada proses
liquefaksi sehingga menghasilkan mono-atau di-sakarida (Frings, 2007). Proses sakarifikasi
dilangsungkan dengan menambahkan glukoamilase. Pada proses ini terjadi pelepasan a-D-
glukosa dari ujung gula non pereduksi 1,4-a-glukan. Reaksi berlangsung pada pH 4-5 dan
pada temperatur 50-60 derajat C (Frings, 2006) selama 2 jam (Anonim, 2007).
Proses Fermentasi
Proses fermentasi dilangsungkan pada pH 4-6, pada temperatur 30-35 derajat C (Frings,
2006) dan kondisi fermentasi dijaga anaerobik. Mikroba yang membantu proses fermentasi
adalah Saccharomyces cerevisiae atau Zimomonas mobilis. Proses fermentasi mampu
menghasilkan etanol sampai kadar 12% karena diatas kadar tersebut mikroorganisme yang
membantu proses fermentasi tidak dapat bekerja lagi.
Proses Liquefaksi
Pada tahap liquefaksi terjadi proses gelatinasi untuk memecah pati sehingga pati mejadi
dekstrin. Proses liquefaksi dilangsungkan pada suhu tinggi yaitu 80-90 derajat C dan pH 5
(Frings, 2006) selama 30 menit (Anonim, 2007), proses pemecahan pati dilakukan dengan
menambahkan enzim amilase. Amilase yang ditambahkan bisa terdiri dari dua tipe, yaitu
endo-amilase yang akan menyerang ikatan a-1,4 glikosidik pada polimer pati secara acak
dan ekso-amilase yang akan menghidrolisa glukosa atau maltosa dari ujung pereduksi
polimer pati (Neves, 2006).
Proses Pemisahan dan Pemurnian
Untuk memisahkan broth etanol dengan biomassa mikroba dilakukan dengan dekantasi.
Sebagian biomassa dikembalikan lagi padatangki fermentasi untuk melakukan fermentasi
selanjutnya. Untuk memisahkan etanol dari broth fermentasi dapat dilakukan dengan
distilasi secara bertingkat karena kandungan air pada broth masih tinggi. Distilasi
bertingkat mampu menghasilkan etanol dengan kemurnian maksimum 95,6%, karena pada
kemurnian tersebut etanol membentuk azeotrop dengan air sehingga tidak dapat dipisahkan
lagi dengan pemisahan biasa. Untuk mendapatkan etanol standar bahan bakar, kemurnian
99%, dapat dilakukan dengan menambahkan entrainer, pemisahan dengan membrane
secara evaporasi, ataupun dengan menggunakan molecular sieve (Frings, 2006).
Proses Hidrolisis dan Fermentasi
Dalam perjalanan pengembangan proses produksi bioetanol, proses hidrolis (sakarifikasi)
dan fermentasi dapat diklasifikasikan menjadi dua proses yang berbeda, yaitu proses
Separate-Hydrolysis-Fermentation (SHF) dan Simultaneous Saccharification and
Fermentation (SSF) (Neves, 2006).
Proses Separate-Hydrolysis-Fermentation
Proses Separate-Hydrolysis-Fermentation (SHF) adalah proses pembuatan etanol dimana
tahap hidrolisis dan tahap fermentasi berlangsung terpisah. Bahan baku yang mengandung
pati mengalami proses hidrolisis (liquefaksi dan sakarifikasi) secara terpisah dari proses
fermentasi. Setelah proses hidrolisis selesai, dilanjutkan proses fermentasi. Hal ini
dimaksudkan untuk memudahkan pengontrolan terhadap tiap tahap, agar tercapai hasil
yang diinginkan. Selain itu, interaksi antar dua tahap dapat diminimalkan.
Proses SHF ini memiliki beberapa kelemahan, diantaranya adalah kinerja a-amilase yang
tidak optimal akibat terjadinya inihibisi enzim oleh akumulasi gula meskipun
kandungan a-amilase dalam system tinggi. Jika a-amilase terinhibisi maka proses liquefaksi
akan terhenti meskipun belum semua pati yang tersedia diubah menjadi gula sederhana
(Neves, 2006). Inhibisi tersebut pada akhirnya akan mempengaruhi etanol yang dihasilkan.
Simultaneous Saccharification and Fermentation
Untuk mengatasi kelemahan yang terjadi pada proses SHF, dikembangkanlah proses baru
yang disebut dengan proses Simultaneous Saccharification and Fermentation (SSF), seperti
yang telah dipatenkan oleh Gulf Oil Company dan University of Arkansas (1979). Proses
SSF memiliki dasar yang sama dengan proses SHF, hanya saja tahap hidrolisis dan tahap
fermentasi berlangsung simultan dalam satu tangki. Beberapa saat setelah ditambahkan a-
amilase, pada tangki ditambahkan glukoamilase untuk mengkonversi dekstrin yang
dihasilkan oleh a-amilase menjadi gula sederhana untuk difermentasi menjadi etanol.
Kemudian pada tangki juga ditambahkan Saccharomyces cerevisiae untuk
memfermentasikan gula menjadi etanol, sehingga tidak terjadi akumulasi gula yang akan
menyebabkan inhibisi pada a-amilase (Neves, 2006).
Keberadaan ragi/bakteri bersama-sama dengan enzim pada satu tangki reaksi, dapat
mengurangi akumulasi gula dalam tangki sehingga kinerja a-amilase dapat maksimum dan
pati dapat terkonversi semua menjadi gula sederhana dan etanol yang dihasilkan lebih
tinggi daripada proses SHF [Neves, 2006].
Proses SSF ini beberapa tahun terakhir telah dimodifikasi dengan menyertakan juga tahap
cofermentasi dari substrat gula rangkap. Proses ini dikenal sebagai Simultaneous
Saccharijication and coFermentation (SSCF).
Sebelum perlakuan hidrolisis oleh enzim, biomassa akan mengalami perlakuan awal (pre-
treatment) terlebih dahulu, dengan tujuan untuk mengkondisikan biomassa tersebut dengan
sifat enzim. Setelah mengalami pre-treatment, biomassa kemudian mengalami hidrolisis
enzimatis. Hasil hidrolisis ini tidak semuanya difermentasi, karena sebagian akan
membentuk residu. Dari hasil fermentasi-lah, etanol dapat terbentuk.
Produksi Bioetanol dengan Teknologi Generasi Kedua
Etanol atau campuran bensin-etanol sebagai alternatif pengganti bahan bakar telah banyak
diaplikasikan di sejumlah negara seperti Brazil, USA, dan beberapa negara di Eropa.
Bahkan di Amerika, lebih dari 5 juta kendaraan sudah menggunakan E85 yang merupakan
campuran bioetanol 85% dan premium 15% (Anonim, 2006). Banyaknya biomassa yang
dibutuhkan untuk menghasilkan bioetanol sebagai biofuel menjadi problem tersendiri
dikarenakan biomassa yang berupa gula sederhana (seperti gula, gula tebu, jagung) yang
mudah terdegradasi menjadi monomer gula, juga bertindak sebagai sumber bahan pangan
baik bagi manusia maupun hewan. Selain itu pengurangan emisi oleh pembakaran bioetanol
belum serendah yang diharapkan.
Kedua hal diatas memacu berkembangnya alternatif lain sebagai bahan baku bioetanol,
yaitu bahan-bahan lignoselulosa (bahan-bahan kayu, serat atau bahkan limbah yang dapat
terdegradasi). Bioetanol dengan bahan baku ini disebut sebagai bietanol Generasi Kedua
(Second Generation) karena mencakup jenis bahan baku yang lebih luas.
Keuntungan dari bioetanol yang berbahan dasar lignoselulosa, antara lain (Hagerdal et.al,
2006):
• Bahan baku lignoselulosa akan mengurangi kemungkinan konflik antara lahan yang
digunakan untuk produksi pangan (dan pakan) dan lahan untuk produksi
pasukanenergi.Harga bahan baku jenis ini lebih murah dibanding bahan baku generasi
pertama dan dapat diperoleh dengan jumlah pupuk, pestisida dan energi yang relatif lebih
sedikit.
• Bioetanol berbahan dasar lignoselulosa menghasilkan emisi gas rumah kaca yang lebih
rendah, mengurangi dampak lingkungan terutama perubahan iklim.
• Bioetanol ini kemungkinan dapat membuka lapangan pekerjaan di area pedesaan
Dengan melihat keuntungan-keuntungan tersebut, prospek penelitian mulai menuju ke arah
pengembangan bioetanol berbahan dasar lignoselulosa. Penelitian tentang pemanfaatan
bahan berselulosa sebagai bahan baku produksi etanol sudah dimulai sejak tahun 1950.
Prinsip produksi bioetanol dari bahan berselulosa sama dengan produksi bioetanol dari
bahan gula atau bahan berpati, yaitu terdiri dari dua tahap. Tahap pertama adalah konversi
selulosa menjadi gula dan tahap kedua adalah produksi etanol dari gula hasil konversi.
Konversi selulosa menjadi gula dilakukan melalui reaksi hidrolisis. Reaksi hidrolisis dapat
dilakukan secara kimia maupun secara enzimatis. Setelah didapatkan gula sederhana dari
proses hidrolisa, fermentasi untuk menghasilkan etanol sama dengan produksi etanol
konvensional menggunakan mikroba dan kondisi reaksi yang telah disebutkan sebelumnya.
Hidrolisis secara Kimia dengan Asam
Reaksi hidrolisis secara kimia dapat dilakukan dengan menggunakan asam encer maupun
asam pekat. Penggunaan asam encer pada proses hidrolisis dilakukan pada temperatur dan
tekanan tinggi dengan waktu reaksi yang singkat (beberapa menit). Temperatur yang
dibutuhkan adalah mencapai 200 derajat C. Asam encer yang digunakan adalah 0,2-4%
berat (Nguyen and Tucker, 2002). Penggunaan asam encer untung menghidrolisis selulosa
biasa mampu mencapai konversi reaksi sampai 50% (Badger, 2002). Konversi yang rendah
ini disebabkan oleh degradasi gula hasil hidrolisis yang terbentuk karena temperatur reaksi
yang digunakan tinggi. Proses hidrolisis mengguna-kan asam encer terdiri dari dua tahap.
Tahap pertama adalah konversi bahan berselulosa menjadi gula sederhana dan tahap kedua
adalah degradasi gula sederhana yang terbentuk menjadi struktur kimia yang lain.
Degradasi gula tersebut tidak hanya menurunkan konversi reaksi, namun juga dapat
meracuni mikroorganisme pada saat reaksi fermentasi pada pembentukan etanol.
Selain asam encer, proses hidrolisis juga dapat dilakukan dengan menggunakan asam pekat.
Penggunaan asam pekat pada proses hidrolisis selulosa dilakukan pada temperatur yang
lebih rendah daripada asam encer. Konsentrasi asam yang digunakan adalah 10-30%
(Zimbardi et.al). Sumber asam yang biasa digunakan adalah asam sulfat. Temperatur reaksi
adalah 100 derajat C dan membutuhkan waktu reaksi antara 2 dan 6 jam. Temperatur yang
lebih rendah meminimalisasi degradasi gula. Keuntungan dari penggunaan asam pekat ini
adalah konversi gula yang dihasilkan tinggi, yaitu bisa mencapai konversi 90% (Badger,
2002). Kekurangan reaksi ini adalah waktu reaksi yang dibutuhkan lebih lama dan
membutuhkan proses pencucian yang baik untuk mencapai pH reaksi sebelum ditambahkan
mikroba pada proses fermentasi pembentukan etanol.
Hidrolisis secara Enzimatis
Metode lain yang digunakan untuk menghidrolisis selulosa adalah secara enzimatis. Enzim
merupakan protein alam yang dapat mengkatalisis reaksi tertentu. Untuk dapat bekerja,
enzim harus kontak langsung dengan substrat yang akan dihidrolisa. Karena selulosa secara
alami terikat oleh lignin yang bersifat permeabel terhadap air sebagai pembawa enzim,
maka untuk proses hidrolisis secara enzimatik membutuhkan pretreatmen sehingga enzim
dapat berkontak langsung dengan selulosa. Pretreatmen dilakukan untuk memecah struktur
kristalin selulosa dan memisahkan lignin sehingga selulosa dapat terpisah. Pretreatmen
dapat dilakukan secara kimia maupun fisik. Metode fisik yang dapat dilakukan adalah
dengan menggunakan temperatur dan tekanan tinggi, penggilingan, radiasi, atau
pendinginan, kesemuanya membutuhkan energy yang tinggi. Sedangkan metode
pretreatmen secara kimia menggunakan solven untuk memecah dan melarutkan lignin
(metode deligniflkasi) (Badger, 2002).
Hidrolisis secara enzimatik memanfaatkan enzim penghidrolisis selulosa, yaitu selulase
atau bisa juga langsung menggunakan mikroba penghasil selulase, misalnya
Trichodermareesei. Keuntungan hidrolisis secara enzimatik adalah efisisensi reaksi tinggi
karena enzim bersifat selektif sehingga pembentukan produk samping bisa diminimalisasi,
kondisi reaksi temperatur dan tekanan tidak tinggi, bahkan bisa dilakukan pada temperatur
ruang dan tekanan atmosfer sehingga tidak membutuhkan peralatan khusus untuk reaksi.
Sedangkan kekurangan proses hidrolisis secara enzimatik adalah waktu reaksi yang
dibutuhkan lebih lama, bisa mencapai 72 jam.
Industri Pulp dan Kertas
A. BAHAN BAKU
Selulosa (terdapat dalam tumbuhan berupa serat)
Jenis-jenis selulosa :
-selulosa → untuk pembuatan kertas1.
-selulosa disebut dengan hemi selulosa2.
-selulosa —→ menjadi pengotor3.
Sifat selulosa
Sifat penting pada selulosa yang penting untuk pembuatan kertas :
1. gugus aktif alkohol (dapat mengalami oksidasi)
2. derajat polimerisasi (serat menjadi panjang)
Makin panjang serat, kertas makin kuat dan tahan terhadap degradasi (panas, kimia dn
biologi)
Karakteristik beberapa serat
Jenis-jenis kertas
Kertas bungkus : untuk semen, kertas llilin
Kertas tisu : sigaret, karbon, tisu muka
Kertas cetak : untuk buku cetak
Kertas tulis : HVS
Kertas koran
Kertas karton
B. PROSES PEMBUATAN KERTAS
1. Pembuatan pulp (bubur kertas)
2. Pembuatan kertas basah
3. Pengeringan dalam mesin Fourdrinier
4. Pembuatan kertas kering
Pembuatan pulp (pulping)
Pulping adalah proses pemisahan serat selulosa dari bahan pencampur (lignin & pentosan),
pelepasan bentuk bulk menjadi serat atau kumpulan serat
Lignin harus dihilangkan karena dapat membuat kertas mengalami degradasi
Proses pembuatan pulp ada 3 jenis :
1. cara mekanis (groundwood)
2. cara kimia
3. cara semi kimia
Pulping dengan cara mekanis
- pemisahan serat secara mekanis
- kekuatan dan derajat putih kertas tidak diutamakan
- cocok untuk kertas koran, tisu
- konversi 95 %
2. Pulping dengan cara kimia
- pemisahan selulosa dengan bahan kimia
- bahan pemisah :
basa (proses soda & proses kraft)
asam (proses sulfit, proses magnetik, proses netral sulfit)
- dasar pemilihan proses :
1. bahan baku yang digunakan
2. sifat pulp
- kekuatan dan derajat putih kertas diutamakan
- cocok untuk kertas tulis (HVS)
- konversi 65 – 85 %
3. Pulping dengan cara semi kimia
- proses campuran antara
kimia & mekanis
pelunakan untuk pemisahan serat
dengan larutan sulfit,
sulfat astau soda
- jenis proses : * proses soda dingin
proses chemi-groundwood
- konversi : 85 – 95 %
Pulping di Indonesia
Proses : soda,
dengan bahan NaOH : Na2CO3 = 4 : 1
Alasan :
1. cocok untuk bahan baku serat pendek
(merang, jerami)
2. tidak menggunakan senyawa sulfur, sehingga bahan polusi sedikit dan tidak perlu
recovery
3. kapasitas kecil (25 – 50 ton/hai), murah
Proses setelah pulping
Beating agar lebih kuat, uniform,
Refining rapat, pori berkurang
Cara : dengan menambah bahan-bahan penolong
a) bahan pengisi (filler)
Untuk meratakan permukaan
Untuk memperbaiki warna putih
(TiO2,BaCO4, ZnS, Calcium)
efek samping : mengurangi daya lipat
b) bahan sizing : resin size, kanji, resin sintetis
guna :
- untuk mencegah penetrasi zat cair pada pori-pori kertas
- memperbaiki dispersi kertas
- menaikkan retensi kertas
Cara :
- dicampur dengan pulping
- diberikan pada permukaan
c) alum (Al2SO4.18H2O= tawas)
Untuk koagulant (penggumpal)
d) bahan penambah lain
Pewarna
Resin sintetis (untuk meningkatkan kekuatan)
Pembuatan kertas basah - kering
Mesin Fourdrinier
Proses-proses dalam mesin Fourdrinier
Penyusunan secara random serat-serat di atas kawat menjadi lembaran kertas basah
Penghilangan kadar air dari lembaran basah secara gravity, dihisap dan dipres, menjadi
lembaran kertas basah yang lebih kompak, siap dikeringkan
(60 – 70 % menjadi 90 – 94 %)
Pengeringan kertas dengan silinder yang dipanasi, hingga kadar airnya 5 – 7 %
Buangan
Pabrik pulp
black liquor (natrium lignat)
Pabrik kertas
white water (serat-serat halus)
Aspek ekonomis
Pabrik pulp dan pabrik kertas biasanya digabung, karena :
Untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar, pada kapasitas pabrik tidak terlalu besar
Untuk menjamin kontinuitas produksi
Untuk mendapatkan kualitas produk kertas yang lebih terjamin
Penggabungan tidak sulit
ETANOL
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Etanol, (C2H5OH) disebut juga etil alkohol, alkohol murni, alkohol absolut, atau alkohol
saja, adalah sejenis cairan yang mudah menguap, mudah terbakar, tak berwarna, dan
merupakan alkohol yang paling sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Etanol merupakan senyawa yang sering digunakan dalam industri kimia antara lain sebagai
pelarut (40%), untuk membuat asetaldehid (36%), eter, glikol eter, etil asetat dan kloral
(9%). Kebutuhan akan etanol semakin bertambah seiring dengan menipisnya persediaan
bahan bakar minyak bumi. Negara yang secara luas telah menggunakan etanol sebagai
bahan bakar adalah Brasil. Negara tersebut memproduksi etanol dari tetes tebu dengan
proses fermentasi.
Beberapa komoditas pertanian yang mengandung karbohidrat seperti gula sederhana, pati
dan selulosa (seperti rumput, kayu pohon, jerami) merupakan sumber energi penting untuk
fermentasi etanol. Sumber karbohidrat tersebut dapat diperoleh dari kultivasi tanaman
sumber energi, tanaman potensial yang tumbuh secara alami, maupun limbah hasil
pertanian.
Untuk fermentasi etanol perlu dipertimbangkan terlebih dahulu bahan-bahan yang akan
dipilih. Bahan yang mengandung gula memerlukan teknologi sederhana, bahan berpati juga
melalui penerapan teknologi sederhana yang telah dikembangkan, sedangkan untuk bahan
berselulosa memerlukan proses biokonversi yang lebih kompleks. Komoditas hasil
pertanian mengandung bahan berpati yang lazim dipakai untuk fermentasi etanol misalnya
serelia dan umbi-umbian. Golongan umbi-umbian seperti ubi kayu, ubi jalar dan kentang
telah banyak diteliti sebagai bahan pembuatan etanol
2. Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini yaitu:
a. Untuk mengetahui cara pembutan etanol
b. Untuk mengetahui mikroba yang tepat dalam menghasilkan etanol
BAB II
ISI
Bahan baku pembuatan etanol dibagi menjadi tiga kelompok yaitu:
a. Bahan sukrosa
Bahan - bahan yang termasuk dalam kelompok ini antara lain nira, tebu, nira nipati, nira
sargum manis, nira kelapa, nira aren, dan sari buah mete.
b. Bahan berpati
Bahan - bahan yang termasuk kelompok ini adalah bahan - bahan yang mengandung pati
atau karbohidrat. Bahan - bahan tersbut antara lain tepung - tepung ubi ganyong, sorgum
biji, jagung, cantel, sagu, ubi kayu, ubi jalar, dan lain - lain.
c. Bahan berselulosa (lignoselulosa)
Bahan berselulosa (lignoselulosa) artinya adalah bahan tanaman yang mengandung selulosa
(serat), antara lain kayu, jerami, batang pisang, dan lain-lain.
1. pembuatan etanol
proses pembuatan etanol dari bahan yang mengandung selulosa maupun pati dapat
dilakukan dengan proses hidrolisis dengan menggunakan asam sulfat (H2SO4) atau asam
klorida (HCl). namun dengan cara ini dihasilkan kadar etanol yang lebih kecil. Selain itu,
biaya produksinya besar karena menggunakan bahan kimia yang relatif mahal,
menimbulkan masalah korosi serta kurang ramah lingkungan karena penggunaan asam
pada proses hidrolisisnya. Cara yang lebih baik untuk produksi bioetanol yaitu dengan
pengembangan teknologi bioproses dengan pendekatan enzimatik .
a. produksi etanol dari tetes (molasses)
Tetes merupakan hasil sampingan proses pembuatan gula. Tetes mengandung sejumlah
besar gula baik sukrosa maupun gula pereduksi. Total kandungan gula berkisar 48-56
persen sedangkan pH-nya 5,5 -6.5.
Untuk pembuatan etanol, tetes terlebih dahulu diencerkan dengan air sehingga konsentrasi
air gulanya menjadi 14-18%. Jika konsentrasi gula terlalu tinggi akan berakibat buruj pada
khamir yang digunakan atau alkohol yang dihasilkan akan menghambat aktifitas khamir.
Nutrisi yang ditambahkan biasanya berupa ammonium sulfat atau (NH4)2SO2 sebanyak 70-
400 g/100liter cairan tetes.
Sebagai sumber nitrogen dapat digunakan ammonia (NH3), garam ammonium, asam
amino,peptide, pepton, nitrat atau urea dan tergantung jenis khamir yang digunakan. pH
menjadi 4,5-5,0 dilakukan dengan cara menambahkan sulfat antara 1-21/1000 1 cairan
tetes.
Selanjutnya cairan tetes diatas diinokulasi dengan biakan khamir sebanyak 5-8% volume.
Lama fermentasi berkisar 30-72 jam, tergantung pada komposisi tetes, konsentrasi gula dan
suhu fermentasi. Kondisi fermentasi berjalan secara anaerob dan laju pembentukan CO2
sebesar 160kg/ton tetes. Suhu optimum berkisar antara 32-33oC.kandungan alkohol pada
akhir proses antara 6-9 persSalah satu species ragi yang telah dikenal mempunyai daya
konversi gula menjadi etanol yang sangat tinggi adalah Saccharomiyces cerevisiae. S.
cerevisiae menghasilkan enzim zimase dan invertase. Enzim zimase berfungsi sebagai
pemecah sukrosa menjadi monosakarida. Enzim invertase selanjutnya mengubah glukosa
menjadi etanol.
b. pembuatan etanol dari onggok
Onggok merupakan hasils ampingan pengolahan ubi kayu. Komponen utama padaonggok
adalah pati dan serat kasar.kandungan karbohidrat onggok sekitar 65 % persen dan serat
kasar8%.
Onggok dikeringkan pada suhu 55oC selama 24 jam. Setelah kering, onngok digiling
menjadi berukuran ± 30 mesh.dalampembuatan larutan suspense, tepung onggok dicampur
dengan larutan HCl 0,2N dengan perbandingan 1: 20 (g/ml). Hidrolisa dilakukan dalam
autoclavepadasuhu 121oC, tekanan 1 kg/cm2selama3 jam.
Selanjutnya pengaruh pH menjadi 4,8 dengan menggunakan Ca(OH)2. Untuk meningkatkan
nutrisinya, ditambahkan pupuk NPK sebanyak 0,08 gram dan ZA0,3 gram. Pateurisasi pada
suhu 80oCselama5menit.setlah suhu turun ±30oC, dilakukan inokulasi dengan starter
sebanyak 10% volume substrat.
Fermentasi dilakukan pada kondisi aneobik pada suhu kamar selama 7 hari.setelah itu
produk dipasteurisasi pada suhu 65oC selama 30 menit.
Dari hasil perlakuan tersebut didapatlah rendemen etanol dengan menggunakan biakan
Saccharomomyces cerevisiae ver ellipsoids diperoleh dengan konsentrasi substrat 7,06
persen TSS dengan pH 4,48.
c. pembuatan etanol dari selulosa (bagas)
Bagas merupakan residu padat pada proses pengolahan tebu menjadi gula. yang sejauh ini
masih belum banyak dimanfaatkan menjadi produk yang mempunyai nilai tambah (added
value). Bagas yang termasuk biomassa mengandung lignocellulose sangat dimungkinkan
untuk dimanfaatkan menjadi sumber energi alternatif bioetanol atau biogas. Pemanfaatan
bagas menjadi etanol merupakan suatu skenario yang mengaju pada kebijakan pemerintah
yang telah menetapkan salah fokus penelitian dan penerapan Iptek (litbangrap Iptek)
sampai tahun 2025 adalah penciptaan dan pemanfaatan energi baru dan terbarukan.
Pada proses pembuatannya bagas dihaluskan (kurang lebih 30-60 mesh) sehingga ukuran
partikel lebih seragam, kemudian dikeringkan dengan oven selama 1 jam pada suhu 60-70
oC sehingga kadar air maksimal 10 % dan disimpan di tempat yang kering.
Enzim komersial dipakai dalam hidrolisis yaitu enzim xylanase digunakan sebagai enzim
pada proses hidrolisis dalam SSF.
Stock pembiakan Saccharomyces Cerevisiae
Saccharomyces Cerevisiae di-preculture pada Potato Dextrose Agar (PDA) 2%, Agar (0,25
g), H2O (50ml)
dan diinkubasi selama 1-3 hari pada suhu 28 oC,kemudian digunakan sebagai yeast pada
proses SSF.
Persiapan yeast inoculum
Saccharomyces Cerevisiae dari stock di-preculture pada 50 ml medium (glukosa, 10 g l-1;
yeast extract, 1,0 g l-1; KH2PO4, 0,1 g l-1; MgSO4.7H2O, 0,1 g l-1; dan (NH4)2SO4, 0,1
g l-1) dalam 200 ml flask, kemudian diinkubasi pada suhu 30 oC selama 24 jam
menggunakan orbital shaker dengan kecepatan 100 rpm.
Proses Sakarifikasi dan Fermentasi Serentak
Medium untuk SSF sebanyak 5 ml terdiri dari sampel bagas (0,25 g), nutrients medium (2,5
ml), 0,05 M Nacitrate buffer (pH 5.0), selulase/xylanase (10 FPU), dan 10% (v/v) yeast
inoculum. Sampel, nutrients medium dan buffer disterilisasi selama 121 oC dan 20 min
pada autoclave, namun larutan enzim ditambahkan tanpa sterilisasi. Nutrients medium
teridiri dari 1,0 g l-1 (NH4)2PO4; 0,05 g l-1 MgSO4.7H2O dan 2 g l-1 yeast extract.
Kultivasi diambil dan dimasukan dalam testtube sebanyak 5.0 ml kemudian disentrifugasi
menggunakan orbital shaker pada kecepatan 100 rpm selama 96 jam pada suhu 35 oC.
Cairan bersih sampel diambil dengan sampling 24, 48, 72 dan 96 jam dan diuji etanol yang
dihasilkan.
Perlu diketahui bahwa proses hidrolisis sampel yang mengandung selulusa pada umumnya
akan menghasilkan hemiselulosa. Hemiselulosa terbentuk dari polisakarida jenis pentosa
dengan kandungan paling banyak adalah xylosa. Oleh karena itu digunakan enzim xylanase
untuk memecah monomer-monomer xylan pada hemiselulosa menjadi xylosa. Setelah
polisakarida dipecah menjadi monosakarida, maka oleh yeast akan difermentasi menjadi
etanol
Monosakarida yang terbentuk akan diubah oleh yeast menjadi alkohol dan karbondioksida
(CO2). Secara umum persamaan reaksinya dapat ditulis sebagai berikut:
Saccaromyces cerevisiae
3C5H10O5 ---------------------------> 5C2H5OH + 5CO2
Xylosa etanol gas
Proses pembuatan etanol dari selulosa menggunakan pH 5 dengan perlakuan awal
penambahan jamur pelapuk putih maka akan dihasilkan etanol yang maksimum. Jamur
pelapuk putih berfungsi untuk menghancurkan kandungan lignin pada bagas.
Selain itu selulosa yang dihidrolisis (oleh enzim selulase) dapat menghasilkan disakarida
selobiosa. Oleh karena itu selain enzim xylanase , pada proses ini digunkana enzim
selobiase untuk memecah slobiosa menjadi glukosa. Selanjutnya hasil sakarifikasi tersebut
akan difermentasi menggunkan Saccaromyces cerevisiae untuk menghasilkan etanol.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
a. etanol dapat dihasilkan dari tumbuhan yang mengandung karbohidrat
b. etanol dapat dihasilkan dengan proses hidrolisis dan fermentasi
c. saccharomyses cerevisiae merupakan ragi yang paling tepat untuk menghasilkan etanol.
Konversi Dari Zat selulosik Ke Alkohol
Alkohol dari kayu, - Dalam memperoleh alkohol dari serbuk gergaji atau sisa-kayu bahan ,
yang "selulosa" apa yang disebut dari kayu tersebut dihidrolisis oleh perlakuan dengan
asam di bawah tekanan. Dengan ini berarti itu adalah sebagian diubah menjadi dekstrosa
dan difermentasi lainnya gula . Asam ini kemudian dinetralisir, atau hampir jadi, dengan
kapur atau alkali, dan cairan yang dihasilkan fermentasi dan distilasi.
Ada beberapa keraguan seperti apa adalah "selulosa" sebenarnya dihidrolisis. Selulosa
kapas tidak menanggapi pengobatan. Juga bahan yang ditinggalkan oleh serbuk gergaji
yang telah pernah diobati masih mengandung selulosa, tetapi suatu pengulangan proses
menghasilkan sangat sedikit lebih gula difermentasi. Bagian yang diubah kadang-kadang
dibedakan sebagai selulosa "mudah-menyerang '. Ini mungkin terdiri dari polisakarida dari
pentosa dan heksosa.
Sejauh 1819, Braconot menunjukkan bahwa ketika limbah kayu dipanaskan dengan asam
sulfat produk diperoleh yang berisi gula. Simonsen, namun, beberapa delapan puluh tahun
kemudian, tampaknya telah menjadi yang pertama untuk mencoba pembuatan gula dari
serbuk gergaji pada setiap scale.1 besar Dia menggunakan diencerkan atau klorida asam
sulfat, dengan kekuatan 0 3-0 7 persen., dan dipanaskan campuran serbuk gergaji dan asam
di bawah tekanan 7 sampai 8 atmosfer. Ekstrom berusaha untuk memecahkan masalah yang
sama dengan menggunakan acid.2 sulfat kuat
Classen, pada tahun 1900, menunjukkan bahwa air asam sulfit Selulosa kayu diubah
menjadi dekstrosa saat campuran dipanaskan di bawah tekanan untuk suhu 120-140 °. Ada
keuntungan dalam menggunakan asam volatile , seperti belerang atau klorida, bukannya
sulfat, karena penetrasi yang lebih baik dari kayu diperoleh.
Setelah percobaan laboratorium di Aachen, dengan metode dicoba di pabrik eksperimental
dekat Chicago, dan setelah instalasi pada skala komersial didirikan di Hattiesburg,
Missouri. Ini terdiri dari aparat bagi penyusunan belerang dioksida, sebuah konverter di
mana kayu dirawat dengan asam, sebuah baterai ekstraksi; tong netralisasi, fermentasi
kapal, dan distilasi aparat. serbuk gergaji dirawat di converter dengan larutan jenuh
belerang dioksida, suhu yang secara bertahap diangkat ke 143-149 ° dan tindakan diizinkan
untuk melanjutkan selama 4-6 jam. Kemudian belerang dioksida telah tertiup angin oleh
uap dan dikumpulkan untuk digunakan kembali, residu kayu diobati dengan air dalam
pembuluh ekstraksi-untuk menghapus gula, dan solusi sehingga diperoleh dinetralkan,
fermentasi, dan suling. Seratus kilo, serbuk gergaji memberi dari 7 1 / 2 sampai 8 1 / 2 liter
alkohol.
Seperti dengan demikian bekerja, proses jatuh hanya pendek keberhasilan. Alasan yang
diberikan atas kegagalan ini adalah: (1) Panjang waktu yang dibutuhkan untuk konversi
(empat sampai enam jam untuk dua ton), (2) produksi urusan bergetah dan caramelisation
karena aksi yang berkepanjangan; (3) jumlah besar asam yang diperlukan, dan (4) kesulitan
karena aksi asam pada lapisan memimpin converter - sebuah ft 30 silinder panjang, dan 3 ft
diameter.
Dua insinyur kimia, Tuan Ewen dan Tomlinson, meningkatkan proses dengan
menggunakan konverter jauh lebih singkat dan lebih luas (12 ft by 8 ft), dan lapisan dengan
batu bata tahan api, bukan dengan timbal 1 gas Sulfur dioksida sampai sebatas 1 per persen,
dari berat kayu diperlakukan diperkenalkan ke konverter, dan uap lulus dalam sampai
tekanan £ 100 diperoleh. uap ini kemudian dimatikan dan converter silinder berputar
perlahan-lahan selama empat puluh empat puluh lima menit, suhu dan tekanan yang dijaga
konstan: total waktu yang dibutuhkan untuk konversi adalah sekitar satu jam. Suhu
dinaikkan secepat mungkin untuk titik "kritis", antara 135 ° dan 163 °, di atas yang ada
penghancuran berlebihan gula dan produksi zat unfermentable.
Ketika ekstraksi selesai, solusi yang diperoleh memiliki keasaman total sebesar 064 persen,
(dihitung sebagai H1SO4), dan berisi sekitar 5 1 / 2 persen, mengurangi gula, dengan
sejumlah kecil fenol, tanin , dan furfural . Hal ini dinetralkan, fermentasi, dan suling seperti
biasa, dan memberikan sekitar 38 1 / 2 galon (US) alkohol per ton kayu kering, atau antara
75 dan 80 persen, dari yield.2 teoritis
keterangan lebih baru telah diberikan oleh GH Tomlinson.3 The digester atau konverter
sekarang yang digunakan adalah standar 14 ft boiler pemutihan bulat berputar, dilindungi di
dalam dengan lapisan ubin asam-bukti. Pemisahan gula dari residu kayu yang dilakukan
dalam standar bit gula-difusi baterai dilengkapi dengan lapisan mirip dengan digester. Dari
80 hingga 100 ton material per hari dapat dirawat di alat ini. Per ton kayu kering, hasil
maksimum adalah 35 galon alkohol (95 persen.), tetapi pada skala besar rata-rata hasil
panen yang sebenarnya hampir tidak melebihi setengah dari jumlah ini.
PROSES PEMBUATAN BIOETHANOL BERKADAR 90 %
1. SEKILAS TENTANG BIOETHANOL
Ethanol merupakan senyawa Hidrokarbon dengan gugus Hydroxyl (-OH) dengan 2 atom
karbon (C) dengan rumus kimia C2H5OH. Secara umum Ethanol lebih dikenal sebagai Etil
Alkohol berupa bahan kimia yang diproduksi dari bahan baku tanaman yang mengandung
pati seperti ubi kayu, ubi jalar, jagung, dan sagu yang kemudian dipopulerkan dengan nama
Bioethanol. Ubi kayu, ubi jalar, dan jagung merupakan tanaman pangan yang biasa ditanam
rakyat hampir di seluruh wilayah Indonesia, sehingga jenis tanaman tersebut merupakan
tanaman yang potensial untuk dipertimbangkan sebagai sumber bahan baku pembuatan
bioethanol atau gasohol. Namun dari semua jenis tanaman tersebut, ubi kayu merupakan
tanaman yang setiap hektarnya paling tinggi dapat memproduksi ethanol. Selain itu
pertimbangan pemakaian ubi kayu sebagai bahan baku proses produksi bio-ethanol juga
didasarkan pada pertimbangan ekonomi. Pertimbangan keekonomian pengadaan bahan
baku tersebut bukan saja meliputi harga produksi tanaman sebagai bahan baku, tetapi juga
meliputi biaya pengelolaan tanaman, biaya produksi pengadaan bahan baku, dan biaya
bahan baku untuk memproduksi setiap liter ethanol/bio-ethanol.
Secara umum ethanol/bio-ethanol biasa digunakan sebagai bahan baku industri turunan
alkohol, campuran untuk miras, bahan dasar industri farmasi, dan campuran bahan bakar
untuk kendaraan. Mengingat pemanfaatan ethanol/bio-ethanol beraneka ragam, sehingga
grade ethanol yang dimanfaatkan harus berbeda sesuai dengan penggunaannya. Untuk
ethanol/bio-ethanol yang mempunyai grade 90-95% vol dapat digunakan pada industri,
sedangkan ethanol/bioethanol yang mempunyai grade 95-99% vol dapat digunakan sebagai
campuran untuk miras dan bahan dasar industri farmasi. Berlainan dengan besarnya grade
ethanol/bioethanol yang dimanfaatkan sebagai campuran bahan bakar untuk kendaraan
yang harus betul-betul kering dan anhydrous supaya tidak menimbulkan korosif, sehingga
ethanol/bio-ethanol harus mempunyai grade sebesar 99,6-99,8 % volume (Full Grade
Ethanol = FGE). Perbedaan besarnya grade akan berpengaruh terhadap proses konversi
karbohidrat menjadi gula (glukosa) larut air.
Bioethanol atau Ethanol (Alkohol)
2. PROSES PRODUKSI BIO-ETHANOL
Produksi ethanol/bio-ethanol (alkohol) dengan bahan baku tanaman yang mengandung pati
atau karbohydrat, dilakukan melalui proses konversi karbohidrat menjadi gula (glukosa)
larut air. Konversi bahan baku tanaman yang mengandung pati atau karbohydrat dan tetes
menjadi bio-ethanol ditunjukkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Konversi Bahan Baku Tanaman Yang Mengandung Pati Atau Karbohidrat Dan
Tetes Menjadi Bio-Ethanol
Bahan BakuKandungan
Gula Dalam
Bahan Baku
(Kg)
Jmlh Hasil
Konversi
Bio-
ethanol
(Liter)
Perbandingan Bahan
Baku dan Bio-
ethanolJenis Konsumsi (Kg)
Ubi Kayu 1000 250-300 166,6 6,5 : 1
Ubi Jalar 1000 150-200 125 8 : 1
Jagung 1000 600-700 200 5 : 1
Sagu 1000 120-160 90 12 : 1
Tetes 1000 500 250 4 : 1
Glukosa dapat dibuat dari pati-patian, proses pembuatannya dapat dibedakan berdasarkan
zat pembantu yang dipergunakan, yaitu Hydrolisa asam dan Hydrolisa enzyme.
Berdasarkan kedua jenis hydrolisa tersebut, saat ini hydrolisa enzyme lebih banyak
dikembangkan, sedangkan hydrolisa asam (misalnya dengan asam sulfat) kurang dapat
berkembang, sehingga proses pembuatan glukosa dari pati-patian sekarang ini
dipergunakan dengan hydrolisa enzyme. Dalam proses konversi karbohidrat menjadi gula
(glukosa) larut air dilakukan dengan penambahan air dan enzyme; kemudian dilakukan
proses peragian atau fermentasi gula menjadi ethanol dengan menambahkan yeast atau ragi.
Reaksi yang terjadi pada proses produksi ethanol/bio-ethanol secara sederhana ditujukkan
pada reaksi 1 dan 2.
H2O
(C6H10O5)n ----------------------------N C6H12O6 (1)
enzyme
(pati) ------------------------------------ (glukosa)
(C6H12O6)n ----------------------------2 C2H5OH + 2 CO2. (2)
yeast (ragi)
(glukosa) -------------------------------- (ethanol)
Selain ethanol/bio-ethanol dapat diproduksi dari bahan baku tanaman yang mengandung
pati atau karbohydrat, juga dapat diproduksi dari bahan tanaman yang mengandung selulosa
(mis: jerami padi), namun dengan adanya lignin mengakibatkan proses penggulaannya
menjadi lebih sulit, sehingga pembuatan ethanol/bio-ethanol dari selulosa sementara ini
tidak direkomendasikan. Meskipun teknik produksi ethanol/bioethanol merupakan teknik
yang sudah lama diketahui, namun ethanol/bio-ethanol untuk bahan bakar kendaraan
memerlukan ethanol dengan karakteristik tertentu yang memerlukan teknologi yang relatif
baru di Indonesia antara lain mengenai
neraca energi (energy balance) dan efisiensi produksi, sehingga penelitian lebih lanjut
mengenai teknologi proses produksi ethanol masih perlu dilakukan.
Secara singkat teknologi proses produksi ethanol/bio-ethanol tersebut dapat dibagi dalam
tiga tahap, yaitu Persiapan Bahan Baku,Liquefikasi dan
Sakharifikasi,Fermentasi,Distilasi,dan Dehidrasi.
I. Persapan Bahan Baku
Bahan baku untuk produksi biethanol bisa didapatkan dari berbagai tanaman, baik yang
secara langsung menghasilkan gula sederhana semisal Tebu (sugarcane), gandum manis
(sweet sorghum) atau yang menghasilkan tepung seperti jagung (corn), singkong (cassava)
dan gandum (grain sorghum) disamping bahan lainnya. Persiapan bahan baku beragam
bergantung pada jenis bahan bakunya, sebagai contoh kami menggunakan bahan baku
Singkong (ubi kayu). Singkong yang telah dikupas dan dibersihkan dihancurkan untuk
memecahkan susunan tepungnya agar bisa berinteraksi dengan air secara baik.
Penghancuran Singkong
Pemasakan bahan baku
II. Liquifikasi dan Sakarifikasi
Kandungan tepung atau pati pada bahan baku singkong dikonversi menjadi gula sederhana
(glukosa) menggunakan Enzym Alfa Amilase dan Glukoamilase melalui proses pemanasan
(pemasakan) pada suhu 90 derajat celcius. Pada kondisi ini tepung akan mengalami
gelatinasi (mengental seperti Jelly). Pada kondisi optimum Enzym bekerja memecahkan
struktur tepung secara kimia menjadi gula komplex (dextrin). Proses Liquefaction selesai
ditandai dengan parameter dimana bubur yang diproses berubah menjadi lebih cair seperti
sup. Tahap sakarifikasi (pemecahan gula kompleks menjadi gula sederhana) melibatkan
proses sebagai berikut :
-Pendinginan bubur sampai mencapai suhu optimum enzim sakarifikasi bekerja.
-Pengaturan pH optimum enzim.
-Penambahan Enzym Glukosa Amilase secara tepat dan mempertahankan pH serta
temperatur pada suhu 60 derajat celcius hingga proses Sakarifikasi selesai (dilakukan
dengan melakukan pengetesan kadar gula sederhana yang dihasilkan).
Liquefikasi dan Sakharifikasi
III. Fermentasi
Pada tahap ini, tepung telah telah berubah menjadi gula sederhana (glukosa dan sebagian
fruktosa) dengan kadar gula berkisar antara 14 hingga 18 %. Tahapan selanjutnya adalah
mencampurkan ragi (yeast) pada cairan bahan baku tersebut dan mendiamkannya dalam
wadah tertutup (tanki fermentasi) pada kisaran suhu optimum 27 s/d 32 derajat celcius
selama kurun waktu 3 hingga 7 hari (fermentasi secara anaerob). Keseluruhan proses
membutuhkan ketelitian agar bahan baku tidak terkontaminasi oleh mikroba lainnya.
Dengan kata lain,dari persiapan baku,liquifikasi,sakarifikasi,hingga fermentasi harus pada
kondisi bebas kontaminan. Selama proses fermentasi akan menghasilkan cairan
etanol/alkohol dan CO2
Hasil dari fermentasi berupa cairan mengandung alkohol/ethanol berkadar rendah antara 7
hingga 12 % (biasa disebut cairan Beer). Pada kadar ethanol max 12 % ragi menjadi tidak
aktif lagi,karena kelebihan alkohol akan beakibat racun bagi ragi dan mematikan
aktifitasnya.
Fermentasi bahan baku bioethanol
IV. Distilasi.
Distilasi atau lebih umum dikenal dengan istilah penyulingan dilakukan untuk memisahkan
alkohol dari cairan beer hasil fermentasi. Dalam proses distilasi, pada suhu 78 derajat
celcius (setara dengan titik didih alkohol) ethanol akan menguap lebih dulu ketimbang air
yang bertitik didih 100 derajat celcius. Uap ethanol didalam distillator akan dialirkan
kebagian kondensor sehingga terkondensasi menjadi cairan ethanol. Kegiatan penyulingan
ethanol merupakan bagian terpenting dari keseluruhan proses produksi bioethanol. Dalam
pelaksanaannya dibutuhkan tenaga operator yang sudah menguasai teknik penyulingan
ethanol. Selain operator, untuk mendapatkan hasil penyulingan ethanol yang optimal
dibutuhkan pemahaman tentang teknik fermentasi dan peralatan distillator yang berkualitas.
Penyulingan ethanol dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara :
1. Penyulingan menggunakan teknik dan distillator tradisional (konvensional). Dengan cara
ini kadar ethanol yang dihasilkan hanya berkisar antara antara 20 s/d 30 %.
2. Penyulingan menggunakan teknik dan distillator model kolom reflux (bertingkat).
Dengan cara dan distillator ini kadar ethanol yang dihasilkan mampu mencapai 60-90 %
melalui 2 (dua) tahapan penyulingan.
V. Dehidrasi
Hasil penyulingan berupa ethanol berkadar 95 % belum dapat larut dalam bahan bakar
bensin. Untuk substitusi BBM diperlukan ethanol berkadar 99,6-99,8 % atau disebut
ethanol kering. Untuk pemurnian ethanol 95 % diperlukan proses dehidrasi (distilasi
absorbent) menggunakan beberapa cara,antara lain : 1. Cara Kimia dengan menggunakan
batu gamping 2. Cara Fisika ditempuh melalui proses penyerapan menggunakan Zeolit
Sintetis. Hasil dehidrasi berupa ethanol berkadar 99,6-99,8 % dikatagorikan sebagai Full
Grade Ethanol (FGE),barulah layak digunakan sebagai bahan bakar motor.
Mesin atau Distillator Bioethanol
Model Kolom Reflux
Bioethanol kadar 95 % (Industrial Grade)
Pengukuran kadar ethanol (alkohol)
V. Hasil samping penyulingan ethanol.
Akhir proses penyulingan (distilasi) ethanol menghasilkan limbah padat dan cair. Untuk
meminimalisir efek terhadap pencemaran lingkungan, limbah padat dengan proses tertentu
dirubah menjadi pupuk kalium,bahan pembuatan biogas,kompos,bahan dasar obat nyamuk
bakar dan pakan ternak. Sedangkan limbah cair diproses menjadi pupuk cair. Dengan
demikian produsen bioethanol tidak perlu khawatir tentang isu berkaitan dengan dampak
lingkungan.
Limbah padat (sludge)
Limbah cair (Vinase)
Bioetanol
1. Abstrak
Ethanol atau etil alkohol C2H5OH, merupakan cairan yang tidak berwarna, larut
dalam air, eter, aseton, benzene, dan semua pelarut organik, serta memiliki bau khas
alkohol. Salah satu pembuatan ethanol yang paling terkenal adalah fermentasi.Bioethanol
dapat diperoleh salah satunya dengan cara memfermentasi singkong.
Alkohol merupakan bahan kimia yang diproduksi dari bahan baku tanaman yang
mengandung pati seperti ubi kayu, ubi jalar, jagung, dan sagu biasanya disebut dengan
bioethanol. Ubi kayu, ubi jalar, dan jagung merupakan tanaman pangan yang biasa ditanam
rakyat hampir di seluruh wilayah Indonesia, sehingga jenis tanaman tersebut merupakan
tanaman yang potensial untuk dipertimbangkan sebagai sumber bahan baku pembuatan
bioethanol atau gasohol.
2. Pendahuluan
Seiring dengan menipisnya cadangan energi BBM, jagung menjadi alternatif yang
penting sebagai bahan baku pembuatan ethanol (bahan pencampur BBM). Karenanya,
kebutuhan terhadap komoditas ini pada masa mendatang diperkirakan mengalami
peningkatan yang signifikan.Bioetanol (C2H5OH) adalah cairan biokimia dari proses
fermentasi gula dari sumber karbohidrat menggunakan bantuan mikroorganisme.
Namun dari semua jenis tanaman tersebut, ubi kayu merupakan tanaman yang setiap
hektarnya paling tinggi dapat memproduksi ethanol. Selain itu pertimbangan pemakaian ubi
kayu sebagai bahan baku proses produksi bio-ethanol juga didasarkan pada pertimbangan
ekonomi. Pertimbangan keekonomian pengadaan bahan baku tersebut bukan saja meliputi
harga produksi tanaman sebagai bahan baku, tetapi juga meliputi biaya pengelolaan
tanaman, biaya produksi pengadaan bahan baku, dan biaya bahan baku untuk memproduksi
setiap liter ethanol/bio-ethanol.
Secara umum ethanol/bio-ethanol dapat digunakan sebagai bahan baku industri
turunan alkohol, campuran untuk miras, bahan dasar industri farmasi, campuran bahan
bakar untuk kendaraan.
Mengingat pemanfaatan ethanol/bio-ethanol beraneka ragam, sehingga grade ethanol yang
dimanfaatkan harus berbeda sesuai dengan penggunaannya. Untuk ethanol/bio-ethanol
yang mempunyai grade 90-96,5% vol dapat digunakan pada industri, sedangkan
ethanol/bioethanol yang mempunyai grade 96-99,5% vol dapat digunakan sebagai
campuran untuk miras dan bahan dasar industri farmasi. Berlainan dengan besarnya grade
ethanol/bioethanol yang dimanfaatkan sebagai campuran bahan bakar untuk kendaraan
yang harus betul-betul kering dan anhydrous supaya tidak korosif, sehingga ethanol/bio-
ethanol harus mempunyai grade sebesar 99,5-100% vol. Perbedaan besarnya grade akan
berpengaruh terhadap proses konversi karbohidrat menjadi gula (glukosa) larut air.
3. Metodologi
Singkong diolah menjadi bioetanol, pengganti premium. singkong salah satu
sumber pati. Pati senyawa karbohidrat kompleks. Sebelum difermentasi, pati diubah
menjadi glukosa, karbohidrat yang lebih sederhana. Untuk mengurai pati, perlu bantuan
cendawan Aspergillus sp. Cendawan itu menghasilkan enzim alfamilase dan gliikoamilase
yang berperan mengurai pati menjadi glukosa alias gula sederhana. Setelah menjadi gula,
bam difermentasi menjadi etanol.
Produksi ethanol/bio-ethanol (alkohol) dengan bahan baku tanaman yang mengandung pati
atau karbohydrat, dilakukan melalui proses konversi karbohidrat menjadi gula (glukosa)
larut air.
Konversi bahan baku tanaman yang mengandung pati atau karbohydrat dan tetes menjadi
bio-ethanol.
Glukosa dapat dibuat dari pati-patian, proses pembuatannya dapat dibedakan berdasarkan
zat pembantu yang dipergunakan, yaitu Hydrolisa asam dan Hydrolisa enzyme.
Berdasarkan kedua jenis hydrolisa tersebut, saat ini hydrolisa enzyme lebih banyak
dikembangkan, sedangkan hydrolisa asam (misalnya dengan asam sulfat) kurang dapat
berkembang, sehingga proses pembuatan glukosa dari pati-patian sekarang ini
dipergunakan dengan hydrolisa enzyme. Dalam proses konversi karbohidrat menjadi gula
(glukosa) larut air dilakukan dengan penambahan air dan enzyme; kemudian dilakukan
proses peragian atau fermentasi gula menjadi ethanol dengan menambahkan yeast atau ragi.
Reaksi yang terjadi pada proses produksi ethanol/bio-ethanol secara sederhana ditujukkan
pada reaksi 1 dan 2.
H2O
(C6H10O5)n ---------------->N C6H12O6 (2)
Enzyme
(pati) (glukosa)
(C6H12O6)n--------------->2 C2H5OH + 2 CO2. (3)
yeast (ragi)
(glukosa) (ethanol)
Selain ethanol/bio-ethanol dapat diproduksi dari bahan baku tanaman yang
mengandung pati atau karbohydrat, juga dapat diproduksi dari bahan tanaman
yang mengandung selulosa, namun dengan adanya lignin mengakibatkan proses
penggulaannya menjadi lebih sulit, sehingga pembuatan ethanol/bio-ethanol dari
selulosa tidak perlu direkomendasikan. Meskipun teknik produksi ethanol/bioethanol
merupakan teknik yang sudah lama diketahui, namun ethanol/bio-ethanol untuk bahan
bakar kendaraan memerlukan ethanol dengan karakteristik tertentu yang memerlukan
teknologi yang relatif baru di Indonesia antara lain mengenai neraca energi (energy
balance) dan efisiensi produksi, sehingga penelitian lebih lanjut mengenai teknologi proses
produksi ethanol masih perlu dilakukan.
Secara singkat teknologi proses produksi ethanol/bio-ethanol tersebut dapat dibagi dalam
tiga tahap, yaitu gelatinasi, sakharifikasi, dan fermentasi.
Hasil dan Pembahasan
Teknologi proses produksi ethanol/bio-ethanol tersebut dapat dibagi dalam tiga tahap,
yaitu:
a. Proses Glatinasi
Dalam proses gelatinasi, bahan baku ubi kayu, ubi jalar, atau jagung dihancurkan dan
dicampur air sehingga menjadi bubur, yang diperkirakan mengandung pati 27-30 persen.
Kemudian bubur pati tersebut dimasak atau dipanaskan selama 2 jam sehingga berbentuk
gel. Proses gelatinasi tersebut dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu:
Bubur pati dipanaskan sampai 130oC selama 30 menit, kemudian didinginkan sampai
mencapai temperature 95oC yang diperkirakan memerlukan waktu sekitar ¼ jam.
Temperatur 95oC tersebut dipertahankan selama sekitar 1 ¼ jam, sehingga total waktu yang
dibutuhkan mencapai 2 jam.
Bubur pati ditambah enzyme termamyl dipanaskan langsung sampai mencapai
temperatur 130oC selama 2 jam.
Gelatinasi cara pertama, yaitu cara pemanasan bertahap mempunyai keuntungan, yaitu pada
suhu 95oC aktifitas termamyl merupakan yang paling tinggi, sehingga mengakibatkan yeast
atau ragi cepat aktif. Pemanasan dengan suhu tinggi (130oC) pada cara pertama ini
dimaksudkan untuk memecah granula pati, sehingga lebih mudah terjadi kontak dengan air
enzyme. Perlakuan pada suhu tinggi tersebut juga dapat berfungsi untuk sterilisasi bahan,
sehingga bahan tersebut tidak mudah terkontaminasi.
Gelatinasi cara kedua, yaitu cara pemanasan langsung (gelatinasi dengan
enzyme termamyl) pada temperature 130oC menghasilkan hasil yang kurang baik, karena
mengurangi aktifitas yeast. Hal tersebut disebabkan gelatinasi dengan enzyme pada suhu
130oC akan terbentuk tri-phenyl-furane yang mempunyai sifat racun terhadap yeast.
Gelatinasi pada suhu tinggi tersebut juga akan berpengaruh terhadap penurunan aktifitas
termamyl, karena aktifitas termamyl akan semakin menurun setelah melewati suhu 95oC.
Selain itu, tingginya temperature tersebut juga akan mengakibatkan half life dari termamyl
semakin pendek, sebagai contoh pada temperature 93oC, half life dari termamyl adalah
1500 menit, sedangkan pada temperature 107oC, half life termamyl tersebut adalah 40
menit (Wasito, 1981).
Hasil gelatinasi dari ke dua cara tersebut didinginkan sampai mencapai 55o C, kemudian
ditambah SAN untuk proses sakharifikasi dan selanjutnya
difermentasikan dengan menggunakan yeast (ragi) Saccharomyzes ceraviseze.
b. Fermentasi
Proses fermentasi dimaksudkan untuk mengubah glukosa menjadi ethanol/bio-ethanol
(alkohol) dengan menggunakan yeast. Alkohol yang diperoleh dari proses fermentasi ini,
biasanya alkohol dengan kadar 8 sampai 10 persen volume. Sementara itu, bila fermentasi
tersebut digunakan bahan baku gula (molases), proses pembuatan ethanol dapat lebih cepat.
Pembuatan ethanol dari molases tersebut juga mempunyai keuntungan lain, yaitu
memerlukan bak fermentasi yang lebih kecil. Ethanol yang dihasilkan proses fermentasi
tersebut perlu ditingkatkan kualitasnya dengan membersihkannya dari zat-zat yang tidak
diperlukan. Alkohol yang dihasilkan dari proses fermentasi biasanya masih mengandung
gasgas antara lain CO2 (yang ditimbulkan dari pengubahan glucose menjadi ethanol/bio-
ethanol) dan aldehyde yang perlu dibersihkan. Gas CO2 pada hasil fermentasi tersebut
biasanya mencapai 35 persen volume, sehingga untuk memperoleh ethanol/bio-ethanol
yang berkualitas baik, ethanol/bio-ethanol tersebut harus dibersihkan dari gas tersebut.
Proses pembersihan (washing) CO2 dilakukan dengan menyaring ethanol/bio-ethanol yang
terikat oleh CO2, sehingga dapat diperoleh ethanol/bio-ethanol yang bersih dari gas CO2).
Kadar ethanol/bio-ethanol yang dihasilkan dari proses fermentasi, biasanya hanya mencapai
8 sampai 10 persen saja, sehingga untuk memperoleh ethanol yang berkadar alkohol 95
persen diperlukan proses lainnya, yaitu proses distilasi. Proses distilasi dilaksanakan
melalui dua tingkat, yaitu tingkat pertama dengan beer column dan tingkat kedua dengan
rectifying column.
Definisi kadar alkohol atau ethanol/bio-ethanol dalam % (persen) volume adalah “volume
ethanol pada temperatur 15oC yang terkandung dalam 100 satuan volume larutan ethanol
pada temperatur tertentu (pengukuran).“
Pada umumnya hasil fermentasi adalah bio-ethanol atau alkohol yang mempunyai
kemurnian sekitar 30 – 40% dan belum dpat dikategorikan sebagai fuel based ethanol. Agar
dapat mencapai kemurnian diatas 95% , maka lakohol hasil fermentasi harus melalui proses
destilasi.
c. Distilasi
Sebagaimana disebutkan diatas, untuk memurnikan bioetanol menjadi berkadar lebih dari
95% agar dapat dipergunakan sebagai bahan bakar, alkohol hasil fermentasi yang
mempunyai kemurnian sekitar 40% tadi harus melewati proses destilasi untuk memisahkan
alkohol dengan air dengan memperhitungkan perbedaan titik didih kedua bahan tersebut
yang kemudian diembunkan kembali.