biograafi usman ismail

10
Irvan Sjafari Saat ini bekerja di sebuah tabloid komunikasi dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. selengkapnya Jadikan Teman | Kirim Pesan 0inShare Usmar Ismail: Biografi Singkat dan Catatannya Tentang Film pada 1953 REP | 06 September 2012 | 19:02 Dibaca: 2051 Komentar: 0 0 Usmar Ismail (Kredit Foto situs Indonesian Film Center) Pada 21 Juni yang lalu hingga beberapa minggu sesudahnya bagi Anda yang sempat menonton hasil restorasi dari film jadul Lewat Djam Malam di Plaza Senayan 21, maka Anda beruntung bisa menyaksikan mahakarya dari Usmar Ismail yang aslinya dirilis pada 1954. Sutradara, penulis skenario, dan produser kelahiran Sumatra Barat, 20 Maret 1921 ini, dipandang telah meletakkan dasar yang kuat bagi kelahiran dan perkembangan perfilman Indonesia.

Upload: atibaus

Post on 20-Nov-2015

18 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

bigrafi

TRANSCRIPT

Irvan SjafariSaat ini bekerja di sebuah tabloid komunikasi dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. selengkapnya Jadikan Teman | Kirim Pesan 0inShare Usmar Ismail: Biografi Singkat dan Catatannya Tentang Film pada 1953REP | 06 September 2012 | 19:02 Dibaca: 2051 Komentar: 0 0

Usmar Ismail (Kredit Foto situs Indonesian Film Center)Pada 21 Juni yang lalu hingga beberapa minggu sesudahnya bagi Anda yang sempat menonton hasil restorasi dari film jadulLewat Djam Malam di Plaza Senayan 21, maka Anda beruntung bisa menyaksikan mahakarya dari Usmar Ismail yang aslinya dirilis pada 1954. Sutradara, penulis skenario, dan produser kelahiran Sumatra Barat, 20 Maret 1921 ini, dipandang telah meletakkan dasar yang kuat bagi kelahiran dan perkembangan perfilman Indonesia.Lewat Djam Malam bukan saja karya, tetapi mahakarya dari Usmar Ismail. Film itu bercerita tentang mantan pejuang bernama Iskandar yang turun gunung-gunung kira-kira awal 1950 ke kota Bandung. Dia menemui kekasihnya Nourma dan diminta mencari pekerjaan oleh mertuanya. Pada masa itu memasyarakatkan kembali bekas pejuang adalah problem besar yang harus dihadapi. Bukan hanya satu atau dua orang tetapi ribuan orang.Ternyata Iskandar bukan hanya tidak bisa menyesuaikan diri dengan zaman tetapi juga bertindak emosional dan gegabah. Terutama ketika ia tahu bahwa mantan komandannya menjadi kaya karena setelah tenaganya dulu untuk membunuh seorang pengungsi dari Jakarta. Di sini Usmar melontarkan kritik sosial yang tajam pada zaman itu, orang yang lurus berjuang dan emmathui perintah kerap terbuang. Namun ada mantan pejuang bisa menjadi kaya, punya mobil dan rumah mewah.Bukankan kritik itu masih relevan untuk saat sekarang ketika menyoroti mantan aktifis 1966 bahkan 1998?Usmar Ismail membawakan semangat zamannya. Karyanya tentangDarah dan Doa (judul lainnya adalah Long March) (1950) berkisah tentang Long March Siliwangi kembali ke Jawa barat dari Yogyakarta setelah Belanda melanggar perjanjian Renville. Bukan hal heroik diceritakan, tetapi sisi kemanusiaan seoarng perwira pertama.Enam Djam di Djogja berkisah tentang serangan umum 1 Maret 1949. Film ini bukan tokoh elite ditonjolkan, tetapi sisi rakyat atau tentara yang berpangkat rendah.Usmar Ismail memang mahir mengangkat tema-tema kemanusiaan ke layar lebar.Dosa tak Berampun(1951) berkisah tentang seorang ayah yang tega meninggalkan rumahnya karena seorang wanita muda. Isteri dan anak tertuanya harus banting tulang. Ketika jatuh miskin, si ayah kembali dan menghadapi sikap permusuhan anak sulungnya. Bukankah tema seperti ini juga menjadi inspirasi bagi beberapa film Indonesia puluhan tahun kemudian? 1Tiga Dara adalah karya Usmar lain yang brilian. Film yang dirlis pada 1965 mengangkat kembali perfilman Indonesia yang waktu itu nyaris terpuruk karena tergusur oleh film Amerika dan India. Drama musikal ini bercerita soal tiga dara yang diasuh nenek dan ayahnya, karena sang ibu meninggal. Karena ada amanat almarhumah ibu mereka , sang nenek berusaha mencarikan jodoh untuk si sulung.

Adegan dalam Tiga Dara (Sumber Foto : Raditherapy.com))Sayangnya calon suami itulah yang kemudian menjadi rebutan dua dari tiga dara, di mana si bungsu Neni berkomplotan untuk menyelesaikan konflik. Cerita yang sederhana dan paling digemari penonton Indonesia masa itu?Bagaimana ceritanya Usmar bisa mendapatkan ide-ide brilian? Setelah menamatkan pendidikan dasarnya di HIS Batusangkar, Sumatera Barat, Anak bungsu dari enam bersaudara melanjutkan belajar ke MULO-B (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) di Padang tahun 1935-1939. Di sinilah Usmar Ismail mulai berkenalan dengan film dengan menjadi pecandu film-film yang diputar di bioskop Pondok, Padang.Alumnus MULO 1941 ini kemudian melanjutkan sekolahnya ke Yogyakarta. Ia masuk AMS-A II (Algemene Middelbare School) bagian A jurusan Klasik Barat. Pada 1953 Usmar Ismail mendapatkan beasiswa dari Rockfeller Foundation untuk mendalami sinematografi di Universitas California Los Angles (UCLA).Pada masa pendudukan Jepang Usmar Ismail pernah mendirikan sandiwara amatir Maya pada tahun 1944 bersama kakaknya Dr. Abu Hanifah dan sahabatnya Rosihan Anwar. Kelompok ini secara teratur mementaskan lakon di Gedung Komidi (sekarang Gedung Kesenian Jakarta). Kelak dari kelompok ini cikal bakal teater modern di Indonesia.Pada masa revolusi Usmar menjadi tentara dengan pangkat Mayor. Tugas domisilinya di pusat pemerintahaan RI, Yogyakarta. Di situ dia memimpin harian Patriot dan majalah Arena, sebagai gelanggang bagi seniman muda, sembari mengetuai Badan Musyawarah Kebudayaan Indonesia, Serikat Artis Sandiwara dan PWI (Persatuan Wartawan Indonesia). Saat itu ia sudah mulai jelas perhatiannya pada film. Dengan para seniman ex anggota Maya dia selenggarakan diskusi-diskusi mengenai film.Usmar Ismail pernah bertandang ke Amerika Serikat pada 1950-an dan setelah pulang ini membuat kariernya di bidang film makin menanjak. Film - film yang disutradarainya antara lain: Krisis (1953), Lewat Djam Malam (1954), Tamu Agung (1955), Tiga Dara (1956) yang mendapat sambutan besar di kalangan penonton. Bahkan Tamu Agung mendapat perhargaan sebagai film komedi terbaik dari Festival Film Asia sedangkan Lewat Djam Malam mendapat perhargaan sebagai film terbaik FPA pertama tahun 1955, dengan Usmar Ismail sebagai produsernya.Sepanjang karirnya Usmar Ismail telah menghasilkan 25 judul film, bersama H Djamaludin Malik mempelopori terbentuknya Federasi Produser Asia (Federation of Motion Picture Producers in Asia) di Manila. Usmar Ismail juga mempelopori diadakannya Festival Film Indonesia yang pertama kali diadakan tanggal 30 Maret - 5 April 1955, di mana pemenang dari Festival Film Indonesia ini akan akan memperebutkan FPA.Usmar Ismail wafat di Jakarta, 2 Januari 1971.Beberapa Tulisan Usmar Ismail Tentang Pefilman Dunia dan indonesiaHistoire est Repite (sejarah berulang) atau Usmar Ismail punya analisis tajam yang jauh ke depan. Saya beruntung mendapatkan sejumlah tulisan Usmar Ismail pada 1953 di harian Pikiran Rakjat. Salah satu di antaranya tulisan dari Usmar Ismail yang menganalisis film Indonesia ketika Republik masih muda yang membuat saya teringat kebangkitan film Indonesia kedua pada 2000-an. Polanya seperti sebangun film yang punya cita-cita atau bahasa yang sekarang harus bertanding dengan film yang hanya semata-mata untuk komersial (kebanyakan dengan budget yang rendah).Pada 1950-an menurut Usmar Ismail orang Indonesia sebagai pengusaha film benar-benar seperti orang baru. Mereka memulai usaha ini semuanya sebagai orang baru sejak penyerahan kedaulatan. Niat sineas Indonesia waktu itu sekurang-kurangnya menyaingi pengusaha Tionghoa yang berpengalaman selama puluhan tahun dan praktis menguasai produksi film dalam negeri.Mereka ingin film Indonesia disalurkan kenasionalannya dan dilepaskan dari sifat-sifat yang semata-mata hanya ditujukan untuk menghiburan dan cari duit. Para sineas Indonesia rupanya ingin membuat film seperti The Long March (Judul lain adalah Darah dan Doa) yang dibuat dengan biaya yang mahal pada waktu itu. Sementara pengusaha-pengusaha Tionghoa memperhitungkan laba-rugi untuk membuat film separuh biaya pembuatan film The Long March sekalipun.Di sisi lain sukses komerasial film Djauh di Mata dan Bengawan Solo telah memulai perlombaan produksi film sesudah perang. Sesudah perang perusahaan-perusahan film tumbuh sebagai cendawan. Keinginan untuk membuat film kebanyakan didorong oleh nafsu untuk menjadi lekas kaya dan lekas dibutakan oleh sukses film-film Indonesia pertama.Dalam tulisannya yang berjudul 3 Tahun Film Indonesia: Diperlukan dengan Segera Politik Film Jang Aktif dalam Pikiran Rakjat 3 Januari 1953 Usmar menyuarakan bahwa perindustrian film sebetulnya mempunyai tanah yang subur di Indonesia. Namun banyak kendala yang dihadapi. Di antaranya ialah kekuarangan penanaman modal ke dalam industri ini. Kalau kegentaran swasta untuk memasukan modalnya dapat difahami, namun ketakutan itu juga menjalar pada instansi pemerintah yang merupakan sumber harapan satu-satunya bagi pengusaha Indonesia.Usmar mengingatkanInggris yang mempunyai perindustrian film yang sama tuanya denagn Hollywood masih dilindungi pemerintahnya. Pemerintah harus obyektif menyelidiki masalah film. Peraturan yang dikeluarkan pemerintah pada saat itu hanya memperkeras sensor, suatu tindakan yang negatif. Sensor bukan hal yang terpenting yang harus diselesaikan.

Kegiatan syuting pada 1950-an (Sumber foto: Sunardian.blogspot.com)Pengamatan Usmar Ismail pada 1950-an orang Indonesia masih banyak yang belum tahu apa yang disebut produser. Produser film Hollywood seperti Zukor, Fox dan Lasky secara aktif ikut dalam seluruh bagian pembuatan sebuah film. Mereka mencari uang, menyewa kamera dan studio, (ikut) menulis rangka cerita hingga menjadi penjual dan melaksanakan distribusi film.Sineas Holywood seperti Jesse Lasky berkata bahwa produser menjadi nabi, jenderal, diplomat dan pendamai, penyayang tetapi tidak royal. Namun di Hollywood ada golongan produser yang menimbulkan pertentangan, karena mau menjqdi ditaktor, merusak film dengan pengetahuan mereka yang sempit dan tidak mempunyai kehormatan terhadap film sebagai medium kesenian dan terhadap pencipta yang bekerja di bawah mereka (Usmar Ismail, Inilah Hollywood: Tjerita tentang Djenderal Nabi dan Diplomat, dalam Pikiran Rakjat, 5 Maret 1953).Dalam tulisan lain yang berjudul Tentang Para Maharadja Hollywood: Rebutan kekuasan Jang Tak Kenal Ampun dalam Pikiran Rakjat, 9 Januari 1953 Usmar Ismail menganalisis persaingan keras antar Big Five yaitu Metro- Goldwyn Mayer-Studios (MGM), Twentieth Century Fox, Paramoutn Pictures Inc, Warner Bros pictures dan Raio Keith Orpheum (RKO) juga the Little Three (Universal Corp, Columbia Pictures Corp dan United Artist Corp).Usmar menceritakan kesukarannya bertemy Frank Y Freeman Vice President Paramount Pictures sekaligus Kepala Paramount Studio di Hollywood.Saya bicara dengan dia di dalam kantornja jang sama besarnja dengan 4 kali kantor Om Monanutu Meneteri Penerangan (dalam Kabinet Wilopo) . Meja tulisnya 2 x 3 meter. Dia heran Usmar ismail adalah Presiden kongsi film di Indonesia. Film Indonesia diperintah oleh orang-orang muda Dalam kunjungannya Usmar mengungkapkan bahwa Hollwydood masa itu sedang cemas denagn kebangkitan industri televisi. Peraturan import terhadap film-film AS yang dijalankan berbagai negara asing seperti Inggris, Meksiko, Prancis dan Italia menganggu mereka. Mereka juga protes terhadap kenaikan pajak.Fenomena cinta lokasi dan gosip percintaan antara para artis dilakukan studio-studio film di Hollywood pada 1930-an hingga 1950-an sebagai publikasi gratis film-nya. Usmar Ismail dalam tulisannya Inilah Hollywood: Tjerita tentang Amor di Kota Film dalam Pikiran Rakjat 10 Februari 1953 mengungkapkan bahwa R.K.O (Radio-Keith-Orpheum Pictures) pernah menghembuskan kabar adanya roman antara pemain Farley Granger dan Shelley Winter karena kebetulan mereka main dalam satu film. Studio M.G.M (Metro-Goldwyn-Mayer Studios) juga menggunakan kisah percintaan Lana Turner dan Fernando Lamas untuk publisitas film Merry Widow. 2Menurut catatan Usmar kebanyakan berita-berita tentang para bintang film yang dimuat dalam berpuluh-puluh fan magazine, seperti Photoplay, Modern Screen, Silver Screen(pada masa 1950-an) adalah berita-berita berdasarkan kejadian yang disengaja disandiwarakan oleh studio-studio. Para pemeran laki-laki disuruh membwa pemain-pemain perempuan ke berbagai pesta atau ninght club. Kemudian studio yang bersangkutan menelepon para wartawan tentang kejadian istimewa ini yang datang berduyun-duyun lengkap dengan alat-alat pemotret. Semua ongkos-ongkos makan-minum-hiburan kedua pemain yang di-romancekan (istilah Usmar) menjadi tanggungan studio.Bukankah jurus jurus gosip, cinta lokasi dan rekayasa percintaan antar bintang ini ini juga digunakan untuk publisitas film Hollywood bahkan tidak tertutup kemungkinan juga digunakan produser film Indonesia saat ini?Selain mengamati film-film Hollywood, Usmar rupanya juga mengamati perfilman Jepang. Dalam tulisannya yang berjudul Industri Film Djepang Tangan Lebih dipertjaja dari Mesin dalam Pikiran Rakjat, 25 September 1953, dia memberikan apresiasi terhadap film Ha Ha No Uta (Lagu Ibu), karena cara pemotretan yang liris dari suatu cerita dramatis dan Rashomon sebuah film sesudah perang.3Setiap tahun pada 1950 Jepang mampu memproduksi 230 buah film yang membuatnya menjadi tiga negara di dunia yang paling banyak memproduksi film bioskop, sesudah AS dan India. Film-film Jepang dalam setahun ditonton 750 juta penonton dan menghasilkan 35 milyar yen. Yang menarik Jepang menggunakan perlaatan buatan sendiri (tangan) daripada mesin modern. Jepang juga pada 1950-an membuat film yang anti AS yaitu Battleship Yamato.Irvan Sjafari (bagian pertama pernah ditulis di http://www.carikabar.com/inspirasi/157-tokoh/1798-lewat-djam-malam-ingat-usmar-ismail)Usmar IsmailUsmar Ismail, dikenal sebagai seniman serba bisa yang punya nama besar pada zamannya. Usmar adalah penyair, dramawan, wartawan, sutradara, dan pembuat film terkemuka Indonesia. Bapak perfilman Indonesia ini mewariskan karya-karya dalam bidang seni dan budaya yang masih bisa dinikmati hingga saat ini. Ia adalah sosok pejuang multidimensional yang penuh warna.Kepeloporannya dalam perfilman Indonesia ditulis oleh Tatiek Malyati, sebagai berikut : Saya kira dia pelopor pada zaman itu. Sebelumnya belum ada film-film yang bisa memberikan cerminan dari masyarakat, masalah-masalah yang ada dimasyarakat. Sementara Chalid Arifin, dosen film di IKJ, menambahkan : Ciri film Usmar itu linier, tidak berdasarkan urutan waktu dan terpecah-pecah. Ada beberapa kejadian yang semula lepas-lepas tetapi kemudian kumpul menjadi satu. Itu luar biasa, sampai sekarang mungkin nggak ada film Indonesia seperti itu.Dia dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang taat beribadah. Usia tujuh tahun Usmar sudah pandai mengaji. Setamat HIS dan Tawalib di Batusangkar bungsu dari enam bersaudara ini melanjutkan sekolah ke MULO di Padang Panjang. Kemudian Usmar yang pandai menggambar bersama dengan sahabatnya Rosihan Anwar merantau ke Jawa. Di Yogyakarta Usmar melanjutkan ke AMS-A II jurusan Klasik Timur. Masa sekolah Usmar Ismail yang indah di Yogyakarta terganggu oleh masuknya balatentara Dai Nippon ke Indonesia. Dengan Mengantongi ijazah darurat Usmar pergi ke Jakarta dan tinggal dengan kakaknya, Dr. Abu Hanifah. Ia kemudian bekerja di kantor pusat kebudayaan dan aktif mengembangkan bakatnya menulis cerpen, syair, dan naskah drama. Menutur Asrul Sani, dalam pengantar buku Usmar Ismail Mengupas Film, sebagai penyair ia merupakan generasi penutup yang menulis puisi dengan gaya Pujangga Baru.Pada tahun 1943, Usmar bersama Rosihan Anwar dan Abu Hanifah mendirikan perkumpulan sandiwara amatir Maya. Diperkumpulan sandiwara itu Usmar yang menikahi Sonia Hermine Sanawi, gadis Betawi dan rekan kerjanya. Menurut Nano Riantiarno, sutradara Teater Koma, apa yang diproduksi Maya boleh dibilang sebagai cikal-bakal teater modern Indonesia. Pada awal revolusi Usmar Ismail memasuki dinas ketentaraan dan aktif di bidang kewartawanan. Bersama dengan Syamsuddin Sutan Makmur dan Rinto Alwi, Usmar dan kawannya mendirikan surat kabar Rakyat. Ketika para pemimpin Republik Indonesia pindah ke Yogyakarta Usmar ikut serta. Di Yogya ia mendirikan harian Patriot dan majalah kebudayaan Arena. Pada tahun 1947 Usmar yang tetap aktif berkesenian terpilih sebagai Ketua Persatuan Wartawan Indonesia.Usmar Ismail memenuhi panggilan hidupnya di dunia perfilman. Minatnya membuat film dengan kemampuan tenaga Indonesia semakin membara. Pada 1950 Usmar dan kawan-kawannya mendirikan Perusahaan Film Nasional Indonesia (Perfini). Usmar memproduksi film pertamanya Darah dan Doa tahun 1950, Enam Djam di Yogyatahun 1950 dan Dosa Tak Berampuntahun 1951. Dengan keterbatasan modal, sumber daya, dan peralatan Usmar bisa membuat film-film yang setara dengan film-film dari luar negeri pada zaman itu. Film pertamanya Darah dan Doa, atau lebih dikenal dengan judul asing The Long March, yang mengisahkan Long March pasukan Siliwangi diberi kesempatan diputar perdana di depan Presiden Soekarno.Pada tahun 1953 Usmar Ismail mendapat beasiswa dari Rockfeller Foundation untuk mendalami sinematografi di Universitas California Los Angeles, Amerika Serikat. Usmar Ismail juga mempunyai keinginan yang kuat untuk memajukan teater modern di Indonesia. Setelah mendirikan kelompok sandiwara Maya, pada tahun 1955 Usmar mendirikan Akademi Teater Nasioanl Indonesia (ATNI), sebuah cikal-bakal Teater sekolahan di Indonesia. Menurut Asrul Sani ini merupakan upaya lain Usmar untuk membuka jalan baru untuk pertumbuhan teater modern di Indonesia.Dalam dunia perfilman Usmar Ismail telah menghasilkan 25 judul film. Beberapa karyanya mendapat penghargaaan dari pemerintah dan dalam berbagai festival film internasional. Hari pertama syuting film Darah Doa, 30 Maret, dinyatakan sebagai Hari Film Nasional. Bersama dengan tokoh-tokoh perfilman luar negeri Usmar mempelopori terbentuknya Federasi Produser Asia Pasifik. Dalam rangka mempromosikan film dan artis Indonesia. Usmar Ismail yang juga dikenal sebagai Ketua Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi) yang bernaung di bawah Nahdlatul Ulama, mendapat penghargaan tertinggi Piagam Widjayakusumah dari Presiden Soekarno. Pengurus PBNU ini lalu memasuki kiprahnya sebagai anggota DPR-Gotong Royong.Usmar Ismail adalah cermin insan film yang bekerja dengan penuh idealisme sekaligus sejumlah kompromi. Di tengah maraknya kritik dan lesunya film nasional Usmar mengembuskan nafasnya yang terakhir pada 2 Januari 1971 dalam usia 49 tahun karena pendarahan otak. Haji Usmar Ismail Mangkuto Ameh adalah sosok pejuang yang pantas menjadi teladan. Dan nama Bapak Perfilman H. Usmar Ismail dibilangan Kuningan Jakarta Selatan.***https://denymazy123.wordpress.com/2011/01/28/profil-usmar-ismail/