bioavailabilitas

14
TINJAUAN BIOAVAILABILITAS Bioavailabilitas merupakan persentase dan kecepatan zat aktif dalam suatu produk obat yang mencapai atau tersedia dalam sirkulasi sistemik dalam bentuk utuh atau aktif setelah pemberian produk obat tersebut, diukur dari kadarnya dalam darah terhadap waktu dari ekskresinya dalam urin (BPOM, 2004). Sirkulasi sistemik disini mencakup vena (kecuali vena porta) dan arteri selama fase absorpsi setelah rute per oral (Abdou, 1989). Banyak proses dilalui oleh obat sebelum obat mencapai sirkulasi sistemik seperti disolusi, difusi, proses pengosongan pada lambung, waktu transit di usus dan absorpsi intrinsik obat di tempatnya yang berbeda setelah obat melarut (Swarbrick, 1970). Bioavailabilitas Relatif Menurut Abdou, bioavailabilitas relatif adalah bioavailabilitas dari suatu obat dibandingkan dengan obat lain yang memiliki bahan aktif yang sama atau dibandingkan pada suatu standar tertentu. Bioavailabilitas relatif adalah ketersediaan dalam sistemik suatu produk obat dibandingkan terhadap suatu standart yang diketahui. Bioavailabilitas relatif dari dua produk obat yang diberikan pada dosis dan rute pemberian yang sama dapat diperoleh dengan persamaan berikut :

Upload: defitritrimardani

Post on 17-Jan-2016

242 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

kmo

TRANSCRIPT

Page 1: Bioavailabilitas

TINJAUAN BIOAVAILABILITAS

Bioavailabilitas merupakan persentase dan kecepatan zat aktif dalam suatu produk

obat yang mencapai atau tersedia dalam sirkulasi sistemik dalam bentuk utuh atau aktif

setelah pemberian produk obat tersebut, diukur dari kadarnya dalam darah terhadap waktu

dari ekskresinya dalam urin (BPOM, 2004). Sirkulasi sistemik disini mencakup vena (kecuali

vena porta) dan arteri selama fase absorpsi setelah rute per oral (Abdou, 1989). Banyak

proses dilalui oleh obat sebelum obat mencapai sirkulasi sistemik seperti disolusi, difusi,

proses pengosongan pada lambung, waktu transit di usus dan absorpsi intrinsik obat di

tempatnya yang berbeda setelah obat melarut (Swarbrick, 1970).

Bioavailabilitas Relatif Menurut Abdou, bioavailabilitas relatif adalah

bioavailabilitas dari suatu obat dibandingkan dengan obat lain yang memiliki bahan aktif

yang sama atau dibandingkan pada suatu standar tertentu. Bioavailabilitas relatif adalah

ketersediaan dalam sistemik suatu produk obat dibandingkan terhadap suatu standart yang

diketahui. Bioavailabilitas relatif dari dua produk obat yang diberikan pada dosis dan rute

pemberian yang sama dapat diperoleh dengan persamaan berikut :

Page 2: Bioavailabilitas

Dimana produk obat B sebagai standar pembanding yang telah diketahui. Fraksi tersebut

dapat dikalikan 100 untuk memberi prosen avaibilitas relatif. Jika dosis yang diberikan

berbeda, suatu koreksi untuk dosis dibuat, seperti dalam persamaan berikut :

Data

ekskresi obat lewat urin juga dapat digunakan untuk mengukur bioavailabilitas relatif apabila

jumlah total obat utuh yang diekskresi dalam urin dikumpulkan. Prosen bioavailabilitas relatif

dengan menggunakan data ekskresi urin dapat ditentukan sebagai berikut:

Page 3: Bioavailabilitas

Bioavailabilitas Absolut Jumlah total obat yang diabsorpsi kadang-kadang menjadi

lebih besar dari yang diperkirakan pada pasien-pasien dengan penyakit kronik maupun

subkronik seperti diabetes dan hipertensi. Pada kondisi ini obat dengan multiple dose

diberikan dan pertambahan akumulasi obat merupakan faktor yang penting pada penentuan

dosis regimen yang diberikan pada pasien. Bioavailabilitas absolut ditentukan dengan

membandingkan kecepatan dan pertambahan absorbsi obat dari suatu formulasi dibawah

suatu pengujian dibandingkan dengan data yang diambil mengikuti rute intravena pada suatu

larutan obat. Penggunaan rute intra vena (IV) sebagai standar meminimalkan adanya

masalah-masalah saat proses absorbsi, sebab obat yang diberikan langsung masuk ke sirkulasi

sistemik sehingga tidak ada fase lain sebelum absorpsi (Abdou, 1989).

Bioavailabilitas absolut suatu obat dapat diukur dengan membandingkan AUC produk

yang bersangkutan setelah pemberian oral dan IV. Pengukuran dapat dilakukan sepanjang Vd

dan K tidak bergantung pada rute pemberian. Bioavailabilitas absolut dengan menggunakan

data plasma dapat ditentukan sebagai berikut:

Bioavailabilitas absolut yang menggunakan data ekskresi obat lewat urin dapat ditentukan

sebagai berikut:

Bioavailabilitas absolut juga sama dengan F, fraksi dosis yang dapat tersedian dalam

sistemik. Untuk obat-obat yang diberikan secara vaskular seperti IV bolus, F=1 oleh karena

seluruh obat secara sempurna tersedia dalam sistemik. Untuk semua rute pemberian

ekstravaskular, F≤ 1 (Shargel et.al, 2005).

Pengukuran Bioavailabilitas

Tujuan utama penentuan bioavailabilitas suatu obat adalah untuk mengetahui

bioavailabilitas suatu obat pada manusia. Bioavailabilitas memerankan peranan penting

Page 4: Bioavailabilitas

dalam mempelajari berbagai efek terapetik antar pasien setelah pemberian suatu obat yang

dianggap ekivalen dimana mengandung bahan aktif yang sama tetapi berbeda pabrik.

Pada studi bioavailabilitas, pengujian terutama ditujukan pada fraksi dosis yang

dilepaskan secara iv vivo dan kemampuannya dalam mencapai sirkulasi sistemik, dimana hal

ini menggambarkan dosis efektif (available dose) yang nantinya dibandingkan dengan label

dose yang tertera pada kemasan. Studi ini terutama bermanfaat bagi formulator obat, ahli

farmakologi, dan mengarahkan farmasis dan dokter agar selalu memperhatikan karakteristik

bioavailabilitas obat sebelum menggunakannya pada pasien (Abdou, 1989).

Studi bioavailabilitas dilakukan baik terhadap bahan obat aktif yang telah disetujui

maupun terhadap obat dengan efek terapetik yang belum disetujui oleh FDA (Food and

Drugs Administration) untuk dipasarkan. Formula baru dari bahan obat aktif atau bahan

terapetik sebelum dipasarkan harus disetujui oleh FDA. FDA dalam menyetujui suatu produk

obat untuk dipasarkan harus yakin bahwa produk obat itu aman dan efektif sesuai label

indikasi penggunaan. Selain itu, produk obat juga harus memenuhi seluruh standar yang

digunakan dalam identitas, kekuatan, kualitas dan kemurnian. Untuk meyakinkan bahwa

standarstandar tersebut telah dipenuhi, FDA menghendaki studi bioavailabilitas

farmakokinetik dan bila perlu persyaratan bioekivalensi untuk semua produk (Shargel et.al,

2005).

Hal ini mencakup pengukuran kecepatan suatu obat melepaskan bahan aktifnya secara

iv vivo, waktu yang dibutuhkan untuk masuk ke sirkulasi sistemik, persen obat yang

dilepaskan dan konsentrasinya pada darah. (Abdou, 1989)

Parameter-parameter yang berguna dalam penentuan bioavailabilitas suatu obat

berbeda dilihat dari sampel yang diambil meliputi data darah, data urin, efek farmakologi

akut, dan pengamatan klinik. Pada penentuan bioavailabilitas dengan data darah ada tiga

parameter yang biasanya diukur untuk menggambarkan profil konsentrasi obat-waktu pada

suatu pemberian obat dengan rute tertentu dan ketiganya merupakan alat penentuan

bioekivalensi (Shargel et. al 2005).

a. Konsentrasi puncak menggambarkan konsentrasi obat tertinggi pada sirkulasi

sistemik biasanya dalam satuan μg/ml, unit/mL, dan lain-lain. Konsentrasi puncak sering

dihubungkan pada intensitas respon biologik dan sebaiknya diatas minimum effective level

(MEC) dari suatu obat dan di bawah minimum toxic level (MTC) (Abdou, 1989).

b.Waktu untuk mencapai konsentrasi puncak (tmaks) menggambarkan banyaknya

waktu yang dibutuhkan obat untuk mencapai konsentrasi maksimumpada sirkulasi sistemik.

Parameter ini menggambarkan kapan suatu obat mencapai respon biologis maksimal dan

Page 5: Bioavailabilitas

dapat digunakan sebagai parameter untuk menentukan kecepatan absorpsi. Harga (tmaks)

menjadi lebih kecil (berarti sedikit waktu yang diperlukan untuk mencapai konsentrasi

plasma puncak) bila laju absorpsi obat menjadi lebih cepat. Satuan (tmaks) adalah satuan

waktu (misal: jam, menit)

c.AUC. Area dibawah kurva kadar obat dalam plasma-waktu adalah suatu ukuran

dari jumlah bioavailabilitas suatu obat. AUC mencerminkan jumlah total obat aktif yang

mencapai sirkulasi sistemik. AUC adalah area dibawah kurva kadar obat dalam plasma-waktu

dari t = 0 sampai t = ∞,dan sama dengan jumlah obat tidak berubah yang mencapai sirkulasi

umum dibagi klirens (Shargel et.al, 2005).

TINJAUAN TENTANG BIOEKIVALENSI

Beberapa obat dibuat dan dipasarkan oleh lebih dari satu pabrik farmasi. Dari studi

biofarmasetik memberi fakta yang kuat bahwa metode fabrikasi dan formulasi dengan nyata

mempengaruhi bioavailabilitas obat tersebut. Karena kebanyakan produk-produk obat

mengandung jumlah bahan obat aktif yang sama, maka dokter, farmasis dan orang lain yang

menulis resep, menyalurkan atau membeli obat harus memilih produk yang memberikan efek

terapetik yang ekivalen. Untuk memudahkan mengambil keputusan tersebut, suatu pedoman

telah dikembangkan oleh US Food and Drug Administration (FDA), dimana setiap produk

harus memenuhi uji secara iv vivo dan in vitro untuk produk- produk tertentu untuk

memastikan produk tersebut bioekivalen dan siap diedarkan (Shargel et.al, 2005).

Dua produk disebut bioekivalen jika keduanya mempunyai ekivalensi farmasetik atau

merupakan alternatif farmasetik dan pada pemberian dengan dosis molar yang sama akan

menghasilkan bioavailabilitas yang sebanding sehingga efeknya akan sama, dalam hal efikasi

maupun keamanan. Jika bioavailabilitasnya tidak memenuhi kriteria bioekivalen maka kedua

produk obat tersebut disebut bioinekivalen. Istilah-istilah lain yang berhubungan dengan

bioekivalensi yaitu ekivalensi farmasetik, alternatif farmasetik, ekivalensi terapetik.

Dua produk obat mempunyai ekivalensi farmasetik jika keduanya mengandung zat

aktif yang sama dalam jumlah yang sama dan bentuk sedian yang sama. Sedangkan dua

produk obat merupakan alternatif farmasetik jika keduanya mengandung zat aktif yang sama

tetapi berbeda dalam bentuk kimia (garam, ester) atau bentuk sediaan atau kekuatan.

Dua produk obat mempunyai ekivalensi terapetik jika keduanya mempuyai ekivalensi

farmasetik atau merupakan alternatif farmasetik dan pada pemberian dosis molar yang sama

akan menghasilkan efikasi klinik dan keamanan yang sebanding. Dengan demikian,

ekivalensi/inekivalensi terapetik seharusnya ditunjukan dengan uji klinik. Akan tetapi untuk

produk obat yang bekerja sistemik, uji klinik mempunyai kendala sebagai berikut:

Page 6: Bioavailabilitas

Pada penyakit ringan tidak terlihat, pada penyakit berat tidak etis;

End point yang diukur seringkali kurang akurat sehingga variabilitasnya besar sekali,

dengan akibat dibutuhkan sampel yang besar;

Sebagai uji klinik untuk menunjukan ekivalensi dibutuhkan sampel yang besar sekali.

Oleh karena itu sebagai alternatif dilakukan uji bioekivalensi yang end pointnya

sangat akurat (yakni kadar obat dalam plasma) sehingga variabilitasnya rendah, dan dengan

demikian sampel yang dibutuhkan jauh lebih kecil. Jika terdapat perbedaan yang bermakna

secara klinik dalam bioavailabilitasnya, maka kedua produk obat tersebut dinyatakan

inekivalen secara terapetik (inekivalensi terapetik) (BPOM,2004).

BIOAVAILABILITAS KETOPROFEN

Ketoprofen [2-(3-benzoyl phenyl) propionic acid] adalah senyawa obat turunan asam

fenilalkanoat yang bekerja sebagai antiinflamasi, antipiretik dan analgesik. Sebagaimana anti-

inflamasi non-steroid lainnya, ketoprofen bekerja menghambat sintesa prostaglandin.

Ketoprofen banyak digunakan dalam pengobatan artritis reumatoid, osteoartritis, pirai dan

keadaan nyeri lainnya (Katzung, 2002).

ketoprofen mengandung tidak kurang dari 98,5% dan tidak lebih dari 100,5%

C6H14O3, dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan. Merupakan serbuk hablur, putih

atau hampir putih, tidak atau hampir tidak berbau. kelarutannya mudah larut dalam etanol,

dalam kloroform, dan dalam eter; praktis tidak larut dalam air. (Depkes RI, 1995)

Kelemahan ketoprofen yaitu memiliki waktu eliminasi yang terlalu cepat, yaitu 1,5−2

jam, sehingga obat tersebut harus sering dikonsumsi. (Sumirtapura dkk, 2002). Selain itu

ketoprofen dapat memicu terjadinya efek samping obat khususnya pada pemberian secara per

oral akan menyebabkan iritasi lambung. (Sugita dkk, 2010)

Ketoprofen apabila diberikan secara oral dengan dosis sedikit berlebih dapat

mengiritasi lambung. Obat ini dapat menyebabkan mual dan rasa sakit pada lambung bila

diberikan pada lambung yang kosong. (Sugita dkk, 2008)

Di Indonesia, ketoprofen tersedia dalam berbagai bentuk sediaan, diantaranya dalam

sediaan peroral (serbuk dan tablet bersalut enteric) dan sediaan rectal (suppositoria).

Pemberian obat peroral termasuk cara pemberian yang fisiologis. Penyerapan obat terjadi

disepanjang saluran cerna asalkan zat aktif dapat diserap. Kecuali pada esofagus, penyerapan

obat terjadi disepanjang canalis buccalis. Walaupun demikian penyerapan obat beragam

menurut bagian saluran cerna. (devissaguet,1993).

Keuntungan utama dari sediaan oral adalah kemudahan pemakaian dan

menghilangkan ketidakenakan yang terjadi pada pemakaian injeksi. Juga menghindarkan

Page 7: Bioavailabilitas

bahaya dari pemberian intravena yang cepat dan menyebabkan konsentrasi obat tinggi yang

toksik dalam darah. Kerugian utama dari sediaan oral adalah persoalan yang potensial dari

penurunan bioavailabilitas dan bioavailabilitas yang berubah-ubah yang disebabkan oleh

absorpsi yang tidak sempurna atau interaksi obat. (Shargel, 2005)

Pemberian obat per rectal, merupakan pilihan lain pemberian obat parenteral dan

merupakan cara yang penting karena kapasitas penyerapan dibagian akhir dari usus tidak

diabaikan. Cara rektal dapat mengurangi pengaruh pH lambung atau enzim-enzim lambung

yang dapat merusak zat aktif. Cara ini juga mencegah inaktifasi zat aktif yang sudah diserap

ke peredaran darah oleh hati. Bahan yang terserap dibagian akhir usus secara langsung

menuju vena cava dan sebagian besar oleh vena haemorroidales superior menuju vea porta

dan hati. (devissaguet,1993)

Perbedaaan bentuk sediaan ketoprofen sangat mempengaruhi laju absorbsinya. Untuk

mendapatkan efek terapeutik yang sama atau kadar obat dalam tubuh yang sama, dosis yang

harus diberikan pada tiap rute dan bentuk sediaan obat harus disesuaikan. Khusus untuk

sediaan-sediaan yang lepas segera, dosis atau kandungan ketoprofen pada tiap bentuk sediaan

yang dipakai adalah 50 mg untuk sediaan kapsul dan tablet salut enterik, dan 100 mg untuk

sediaan supositoria. Berdasarkan penelitian pada jurnal Matematika dan Sains Vol. 7 No. 1,

April 2002, hal 15 – 19 yang berjudul Farmakokinetik dan Ketersediaan Hayati Relatif

Sediaan Kapsul, Tablet Salut Enterik dan Supositoria Ketoprofen, diketahui perkembangan

kadar rata-rata ketoprofen dalam plasma (mg/ml) setelah pemberian masing-masing sediaan

dalam dosis tunggal adalah sebagai berikut :

Tabel 1. Perkembangan Kadar Rata-rata Ketoprofen Dalam Plasma (mg/ml) Setelah

Pemberian Masing-masing Sediaan Dalam Dosis tunggal.

Page 8: Bioavailabilitas

Keterangan : I = Kapsul 50 mg; II = Tablet Salut Enterik 50 mg ; III = Supositoria 100 mg

Ketoprofen diabsorpsi dengan cepat dari saluran cerna setelah pemberian sediaan

kapsul dengan waktu pencapaian kadar maksimum lebih kurang satu jam. Pada pemberian

tablet salut enterik terlihat adanya waktu tunda (lag time), tetapi dengan harga yang relatif

kecil, yaitu sekitar setengah jam dengan waktu pencapaian kadar maksimum lebih kurang dua

jam. Hal ini sangat mungkin terjadi karena tablet salut enterik baru akan hancur dan

melepaskan zat aktif saat masuk ke dalam usus. Pada pemberian secara rektal dalam bentuk

supositoria absorpsi ketoprofen berlangsung lebih lambat dengan waktu pencapaian kadar

maksimum lebih kurang 1,5 jam. Pada pemberian secara rektal fasilitas absorpsi jauh lebih

terbatas dibandingkan pada pemberian secara oral.

Ravaud menyatakan bahwa supositoria yang diberikan melalui anal, penyerapannya

hanya terjadi melalui pembuluh darah secara langsung dan lewat pembuluh getah bening

sehingga tidak melalui sawar hepatik. Hanya vena inferior dan vena intermediet yang

berperan dan membawa zat aktif melalui vena iliaca ke vena cava inverior.(devissaguet,1993)

Berikut merupakan perbandingan nilai beberapa parameter farmakokinetik dari

berbagai sediaan ketoprofen yang diberikan dalam dosis tunggal.

Tabel 2. Beberapa Parameter Farmakokinetik Ketoprofen Setelah Pemberian Masing-

masing Sediaan Dalam Dosis Tunggal.

Page 9: Bioavailabilitas

Keterangan: analisis dilakukan terhadap 6 sukarelawan.

Dari tabel diatas, dapat dilihat bahwa berdasarkan nilai Ka, sediaan kapsul memiliki

nilai Ka paling besar yaitu sebesar 1,63 diikuti dengan sediaan supositoria dengan nilai Ka

sebesar 1,07 dan sediaan tablet bersalut dengan Ka terkecil yaitu 1,06. Nilai Ka sebanding

dengan laju absorpsi, sehingga semakin besar nilai Ka, maka laju absorpsi akan semakin

besar. Untuk itu, sesuai dengan data yang diperoleh pada tabel 1, maka sediaan ketoprofen

supositoria akan lebih cepat mencapai konsentrasi maksimum didalam plasma (t maks kecil).

Sebaliknya, ketoprofen dalam bentuk tablet salut enterik akan lebih lama mencapai kadar

maksimum dalam darah (t maks lebih besar).

Selanjutnya jika melihat nilai waktu paruh yang dimiliki oleh masing-masing bentuk

sediaan, sediaan tablet bersalut enterik memiliki waktu paruh sebesar 3 jam, sediaan kapsul

memiliki waktu paruh sebesar 2,61 jam, dan sediaan supositoria memiliki waktu paruh

sebesar 2,1 jam. Waktu paruh merupakan waktu yang diperlukan oleh suatu obat untuk

mencapai konsentrasi setengah dari konsentrasi semula. (shargel, 2005). Semakin besar

waktu paruh, maka semakin lama obat berada didalam plasma. Dengan demikian, tingginya

waktu paruh akan menurunkan frekuensi pemberian obat.

NSID dengan wartu paruh panjang memerlukan waktu yang lebih lama untuk

mencapai tahap steady state dalam plasma dan cairan sinovium, dan mereka dapat tinggal

dalam tubuh lebih lama setelah pemberian dihentikan. (Albar, 1995)

Ketoprofen yang dibuat dalam bentuk sedian tablet salut enterik merupakan bentuk

sediaan yang paling efektif dibandingkan dengan bentuk sediaan ketoprofen kapsul dan

suppositoria, karena  memiliki nilai Ka paling kecil dan atau waktu paruh yang paling besar,

sehingga frekuensi pemakaian obat dapat dikurangi.