biblio q 1

11
Gebretsadik B, Fikre E, and Abraham A. 2012. Treatment outcome of smear-positive pulmonary tuberculosis patients in Tigray Region, Northern Ethiopia. Berhe et al. BMC Public Health 2012, 12:537 Dalam artikel ini, Berhe dkk memaparkan penyakit menular TB masih menjadi ancaman dunia, pencegahan dan pengobatan dalam menangani masalah TN serta mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan DOTS pro-gram pada pasien PTB BTA positif di ulang Tigray, Northern Ethiopia serta tindakan yang harus dilakukan terhadap pasien yang pengobatan TB tidak berhasil. Penulis memaparkan bagaimana penyakit TB masih menjadi masalah kesehatan dunia, dimana kasus TB telah menghilangkan nyawa 1,2 – 1,5 juta jiwa dan penemuan kasus baru tentang perkembangan TB 8,5-9,2 juta diseluruh dunia. Penulis juga menjelaskan bagaimana TB sudah menjadi rencana awal untuk diatasi oleh berbagai negara sejak tahun 1990. Tren pengobatan yang banyak digunakan oleh berbagai negara salah satunya adalah DOTS, mampu menyelamatkan 125 juta jiwa. Penulis memaparkan alasan Trigay, Ethiopia menjadi tempat penelitian dan pengambilan sampel yang dijadikan bahan untuk memberikan informasi kepada masyarakat luas bagaimana peranan DOTS dalam masyarakat, pihak kesehatan dalam menangani masalah TB. Penulis juga menekankan pengobatan DOTS pada TB sebagai pengobatan yang unggul dalam menangani masalah TB di berbagai daerah. Analisis penulis untuk memahami alasan dalam kegagalan pengobatan TB sangatlah penting untuk memperbaiki sistem pengobatannya. Pemantauan merupakan kunci yang penulis tekankan dalam efektivitas pengobatan DOTS tersebut. Penulis menjelaskan kemiskinan dan usia adalah faktor yang dominan dalam ketidaksuksesan pengobatan TB. Kemiskinan akan memberikan status gizi yang akan menghambat penyembuhan TB sedangkan faktor usia adalah penyakit penyerta dan kemungkinan multu drug resisten (MDR). Dalam mensukseskan program penanggulangan TB dengan DOTS ini, diperlukan kerjasama dengan berbagai pihak seperti : pemerintah, petugas kesehatan, masyarakat dalam memberantas

Upload: ardie-speciallis-capuera

Post on 29-Sep-2015

217 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

n

TRANSCRIPT

Gebretsadik B, Fikre E, and Abraham A. 2012. Treatment outcome of smear-positive pulmonary tuberculosis patients in Tigray Region, Northern Ethiopia. Berhe et al. BMC Public Health 2012, 12:537

Dalam artikel ini, Berhe dkk memaparkan penyakit menular TB masih menjadi ancaman dunia, pencegahan dan pengobatan dalam menangani masalah TN serta mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan DOTS pro-gram pada pasien PTB BTA positif di ulang Tigray, Northern Ethiopia serta tindakan yang harus dilakukan terhadap pasien yang pengobatan TB tidak berhasil.

Penulis memaparkan bagaimana penyakit TB masih menjadi masalah kesehatan dunia, dimana kasus TB telah menghilangkan nyawa 1,2 1,5 juta jiwa dan penemuan kasus baru tentang perkembangan TB 8,5-9,2 juta diseluruh dunia. Penulis juga menjelaskan bagaimana TB sudah menjadi rencana awal untuk diatasi oleh berbagai negara sejak tahun 1990. Tren pengobatan yang banyak digunakan oleh berbagai negara salah satunya adalah DOTS, mampu menyelamatkan 125 juta jiwa. Penulis memaparkan alasan Trigay, Ethiopia menjadi tempat penelitian dan pengambilan sampel yang dijadikan bahan untuk memberikan informasi kepada masyarakat luas bagaimana peranan DOTS dalam masyarakat, pihak kesehatan dalam menangani masalah TB. Penulis juga menekankan pengobatan DOTS pada TB sebagai pengobatan yang unggul dalam menangani masalah TB di berbagai daerah. Analisis penulis untuk memahami alasan dalam kegagalan pengobatan TB sangatlah penting untuk memperbaiki sistem pengobatannya. Pemantauan merupakan kunci yang penulis tekankan dalam efektivitas pengobatan DOTS tersebut. Penulis menjelaskan kemiskinan dan usia adalah faktor yang dominan dalam ketidaksuksesan pengobatan TB. Kemiskinan akan memberikan status gizi yang akan menghambat penyembuhan TB sedangkan faktor usia adalah penyakit penyerta dan kemungkinan multu drug resisten (MDR). Dalam mensukseskan program penanggulangan TB dengan DOTS ini, diperlukan kerjasama dengan berbagai pihak seperti : pemerintah, petugas kesehatan, masyarakat dalam memberantas penyakit TB ini. Jurnal artikel ini membahas bagaimana keberhasilan DOTS dalam menangani pasien TB untuk sembuh dan faktor-faktor dalam pelaksanaannya dengan data dan analisis yang akurat. Hanya saja penulis sebagian memberikan saran atau masukan terhadap faktor penghambat pengobatan TB, tidak secara keseluruhan. Selain itu, penulis tidak menjelaskan detail contoh tindakan apa untuk pasien dengan resiko tinggi gagal dalam pengobatan TB. Secara umum jurnal artikel ini bermanfaat untuk menjawab sasaran baca yang meliputi trend utama penyakit menular di dunia, pengaruh faktor kebiasaan, fisik dan sistem kesehatan terhadap penyakit menular dan pencegahan tersier yang tepat dalam pengobatan kasus TB.

Bertin TA, Musrichan. 2011. Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan pengobatan pada pasien tuberkulosis paru dengan resistensi obat anti tuberkulosis di wilayah jawa tengah. FK Universitas Diponegoro.

Dalam artikel ilmiah ini, Bertin dkk menunjukkan faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan pengobatan TB dengan resitensi OAT. Dalam hal ini Bertin dkk menyimpulkan bahwa keteraturan berobat dan lama pengobatan berpengaruh terhadap keberhasilan pengobatan penderita TB paru dengan resitensi OAT. Penulis memaparkan bagaimana TB masih merupakan masalah kesehatan didunia. Diperkirakan sepertiga penduduk dunia telah terkena penyakit ini. Menururt WHO indonesia pada tahun 2009 menduduki peringkat kelima dengan jumlah insiden terbanyak TB didunia. Tantangan bagi pemerintah indonesia dan masyarakat dunia dalam pengobatan TB ini antara lain kegagalan pengobatan, putus obat, pengobatan yang tidak benar. Analisis penulis lebih mendalam pada faktor yang mempengaruhi keberhasilan pengobatan TB. Proporsi keberhasilan pengobatan lebih rendah dibandingkan dengan kegagalan pengobatan pada TB, penulis menemukan beberapa masalah diantaranya akses pengobatan, jarak tempuh dan biaya perjalanan pasien dalam berobat akan mempengaruhi keteraturan akan berobat pasien. Masalah lain yang penulis analisis adalah pemberian edukasi dari petugas kesehatan adalah salah satu indikator keberhasilan dalam pengobatan TB karena lama pengobatan sering membuat pasien enggan untuk meneruskan pengobatan. Selain itu faktor sosial ekonomi juga berdampak pada rendahnya perhatian penderita terhadap kesembuhan TB dikarenakan akan menurunkan daya beli untuk pemenuhan kebutuhan gizi sehingga banyak dijumpai daya tahan tubuh pasien lemah dan hal ini menyebabkan M.tuberculosis mudah utnuk berkembang biak. Pemerintah diharapkan untuk melakukan program penanngulangan TB dengan bekerjasama dengan dinas kesehatan. Jurnal artikel ini membahas tentang faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan pengobatan TB. Hanya saja penulis tidak memberikan penjelasan pengobatan apa yang harus dilakukan pada pasien dengan putus obat atau Multi Drug Resiten (MDR). Secara umum jurnal artikel ini bermanfaat menjawab sasaran baca yang meliputi tred utama penyakit di indonesia dan di dunia, faktor-faktor yang mempengaruhi terhadap penyakit TB, serta peran perawat berkolaborasi dengan institusi terkait.

Siti TZ dan Turijan. 2010. Pemantauan Efektivitas Obat Anti Tuberkulosis Berdasarkan Pemeriksaan Sputum pada Penderita Tuberkulosis Paru. Jurnal Kesehatan. Vol 3, no.10.

Dalam artikel ini, Siti memaparkan TB menjadi masalah bagi indonesia, prinsip pengobatan TB yang dilakukan di indonesia, pemeriksaan sputum pada pasien TB dan efektivitas pengobatan TB agar tidak terjadi resistensi obat dan menghindari terjadinya kekambuhan. Penulis memaparkan bagaimana TB masih menjadi masalah bagi indonesia dan dunia, dimana di indonesia setiap 100.000 penduduk terdapat 130 penderita TB paru positif yang artinya setiap satu penderita akan menularkan kepada 10-15 orang penduduk setiap tahunnya. Penulis menekankan kunci penting dalam menangani kasus tuberkulosis paru adalah penemuan penderita dan pengobatannya. Dalam rangka mensukseskan pelaksanaan penanggulangan TB, peningkatan mutu pelayanan, penggunaan obat yang benar sedang dicoba oleh pemerintah dengan strategi DOTS. Pengaruh pemberian OAT ( obat Anti Tuberkulosis ) pada tahap intensif dapat membunuh kuman TB dalam beberapa hari pengobatan, dan menghambat perkembangbiakan kuman. Penulis menekankan faktor utama perkembangan resistensi obat selama pengobatan adalah karena kekurangnyamanan pasien selama proses pengobatan dikarenakan proses pengoabatan membutuhkan jangka waktu yang lama. Perlunya penderita agar menjalani pengobatan dan meminum obat secara teratur sangatlah penting agar tidak menjadi sumber penular bagi orang yang ada disekitarnya. Mengawasi pasien selama pengobatan bertujuan untuk menjamin kepatuhan agar tidak terjadi resistensi obat. Jurnal artikel ini membahas bagaimana efektivitas obat OAT berdasarkan pemeriksaan sputum pada penderita TB. Hanya saja penulis tidak secara spesifik menjelaskan teknik mengurangi rasa ketidaknyamanan selama pengobatan TB. Secara umum jurnal artikel ini menjawab sasaran baca meliputi trend utama penyakit menular, peran perawat komunitas dan pihak kesehatan dan pencegahan tersier dalam pengobatan penyakit menular, serta model transmisi penyakit menular pada TB.

I Made KW, Bhisma M, Putu S. 2013. Hubungan Pengetahuan, Sikap, Dan Motivasi Kader Kesehatan Dengan Aktivitasnya Dalam Pengendalian Kasus Tuberkulosis Di Kabupaten Buleleng. Jurnal Magister Kedokteran Keluarga. Vol 1. No 1. 38-48.

Dalam artikel ini, I made dkk memaparkan masalah TB merupakan penyakit yang sampai saat ini masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di dunia, arti penting keberadaan kader kesehatan di masyarakat serta faktor-faktor yang mempengaruhi aktivitas dalam pengendalian kasus TB di masyarakat. Penulis memaparkan bagaimana penyakit menular TB menjadi masalah terutama di negara-negara berkembang termasuk indonesia. Kegiatan penanggulangan TB di indonesia sudah menggunakan strategi DOTS dimana strategi ini difokuskan pada menemukan dan menyembuhkan pasien sehingga dapat mencegah penularan. Penulis lebih menekankan bagaimana kolaborasi antara pihak kesehatan, pemerintah dalam menyebarluasakan informasi, menemukan dan memotivasi untuk sembuh dengan aktif berobat dan berkunjung ke pusat pelayanan kesehatan. Kunci keberhasilan dalam meningkatkan pengetahuan dan keterampilan berbasis kesehatan masyarakat terdekat adalah para kader. Peran kader yang meliputi penyuluh, penemu kasus dini, atau sebagai pengawas minum obat dan lain-lain. Banyak faktor yang mempengaruhi aktivitas kader dalam kasus TB. Pengetahuan kader penting dalam menemukan kasus dini TB di masyarakat dimana dengan pemahaman dan pemikiran yang dilakukan akan membuat kader bisa melakukan tindakan terhadap kasus TB di masyarakat. Pengetahuan kader akan membawa dampak positif terhadap penanganan kasus TB. Pengetahuan akan membawa pada sikap dan motivasi yang baik dalam menemukan kasus dan pengendalian kasus TB. Jurnal penelitian ini membahas tentang hubungan faktor pengetahuan, sikap dan motivasi kader terhadap aktivitas dalam kasus TB. Hanya saja penulis tidak spesifik menjelaskan penilalain indikator pengetahuan, sikap dan motivasi yang baik seperti apa. Secara umum jurnla artikel ini bermanfaat dalam menjawab sasaran baca meliputi trend penyakit menular, faktor yang mempengaruhi kader terhadap penyakit menular, peran petugas kesehatan dalam kasus penyakit menular.

Agung G, Sawitri S Dan Wirawan N. 2013. Rendahnya Proporsi Kontak Yang Melakukan Deteksi Dini Tuberkulosis Paru Di Puskesmas I Denpasar Selatan Tahun 2012. Public Health And Preventive Medicine Archive. Volume 1. Nomor 1.

Dalam laporan ini, penulis membahas bagaimana perilaku deteksi dini bagi kelaurga yang mempunyai anggota yang terkena TB, bagaiman cakupan pihak puskesmas dalam mendeteksi kasus baru penyakit TB di daerahnya. Mengetahui frekuensi dalam pemeriksaan dan deteksi dini pihak keluarga. Agung dkk juga membandingkan dan menganalisis menggunakan uji statistik tentang diagnosis penyakit TB.

Prevalensi penderita TB BTA positif di Kota Denpasar sejak tiga tahun terakhir cenderung mengalami peningkatan. Tahun 2009 jumlah penderita TB BTA positif adalah sebanyak 418 kasus atau 61 per 100.000 penduduk dengan kematian 7,65%, tahun 2010 jumlah penderita TB BTA positif yang ditemukan adalah sebanyak 479 kasus atau 70 per 100.000 penduduk dengan angka kematian sebesar 17,45% dan tahun 2011 meningkat menjadi 513 kasus atau 74 per 100.000 penduduk dan angka kematian belum terlaporkan. Penulis memaparkan bahwa prevalensi yang ditemukan lebih dominan yang dilaporkan oleh Rumah Sakit, sedangkan untuk Puskesmas masih rendah. Anggota keluarga kasus TB BTA positif merupakan golongan masyarakat yang paling rentan tertular penyakit TB paru karena sulit menghindari kontak dengan penderita. Namun, penulis memaparkan bahwa tidak semua anggota keluarga mau memeriksaan keadaannya ke puskesmas dalam rangka pendeteksian dini kasus TB. Penulis juga memberikan faktor yang menyebabkan pendeteksian ini kurang diminati. Salah satunya adalah rendahnya kemampuan masyarakat dalam mengenal gejala penyakit TB. Dalam laporan ini frekuensi dalam deteksi dini relatif rendah bila dibandingkan dengan angka harapan program. Idealnya adalah satu kasus BTA positif harus dilakukan pemeriksaan terhadap 10 kontak yang berisiko disekitarnya. Rasio ini harus bisa dicapai sebab penderita TB paru BTA positif dewasa diperkirakan dapat menularkan kuman Mycobacterium tuberculosis kepada 10 sampai 15 orang di lingkungan sekitarnya per tahun. Orang yang paling berisiko terinfeksi adalah anggota keluarga kasus TB paru BTA positif. Pasien TB paru BTA positif memberikan kemungkinan risiko penularan lebih besar dari pasien TB paru dengan BTA negatif. Penulis memperkirakan Tingginya angka persentase positif TB paru pada kontak serumah kemungkinan disebabkan karena faktor perumahan yang tidak memenuhi syarat kesehatan, atau faktor daya tahan tubuh kontak. Untuk meningkatkan proporsi kontak yang melakukan pemeriksaan dahak ke puskesmas, perlu dilakukan promosi yang menekankan bahwa kontak serumah sangat berisiko tertular kuman TB. Penemuan kasus secara aktif khusus terhadap kontak serumah sampai saat ini sebaiknya tetap dilakukan, disamping penemuan secara pasif terhadap pengunjung puskesmas. Survei uji tuberkulin terhadap seluruh kontak perlu dilakukan sewaktu-waktu untuk meyakinkan kontak serumah terinfeksi atau tidak. Hasil laporan penelitian ini, secara umum membahas tentang penularan TB pada anggota keluarga lain dan pencegahan dengan pemeriksaan dan deteksi dini. Hanya saja penulis tidak memberikan penjabaran tugas petugas kesehatan agar deteksi dini keluarga bisa diterima dan dilaksanakan. Secara umum laporan penelitian ini bermanfaat menjawab sasaran baca yang meliputi trend penyakit menular TB, model transmisi penyakit TB pada anggota keluarga lain dan faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan deteksi dini kasus TB.

Samihardjo I. 2011. Senjata Biologi Dan Permasalahannya. Disampaikan Pada Seminar Bioethic. ITB. 12 Februari.

Dalam seminar yang disampaikan oleh samihardjo, membahas tentang senjata pemusnah massal yang menegmuka di dalam ataupun luar negeri, faktor yang menghambat dalam pelaksanaan kebijakan pelarang penggunaan bioterorism, pengenalan senjata pemusnah massal yang sering digunakan oleh berbagai negara.

Senjata pemusnah massal atau weapons of mass destruction (WMD) yang terdiri dari nuklir, biologi dan kimia (Nubika) saat ini menjadi isu yang semakin mengemuka baik diluar maupun didalam negeri terutama setelah munculnya berbagai teror biologi dan kimia. Penulis juga memaparkan fakta bahwa Permasalahan utama yang menyebabkan Nubika menjadi ancaman yang sangat mengerikan adalah dampaknya yang bersifat massal dan terkait dengan berbagai bidang kehidupan yang sangat luas (Ipoleksosbudhankam). Senjata nuklir yang terkenal demikian dahsyatnya, ternyata masih kalah dahsyat oleh agensia biologi (biological agent) karena bahan-bahan tersebut dapat memperbanyak diri, terdapat dimana-mana dan dapat jatuh ke tangan siapa saja. Istilah bioterorisme mungkin belum populer dan menjadi tren para teroris namun tidak dapat dipungkiri bahwa kerawanan ancaman dari bahan hayati sudah di depan mata. WHO sendiri selalu mewaspadai akan kemungkinan adanya bioterorisme bahkan mewaspadai kemungkinan digunakannya penyakit yang sudah dianggap musnah, seperti cacar (smallpox). Peneliti memaparkan Pada prinsipnya, semua pathogen (bahan hayati penyebab penyakit) dapat dijadikan senjata biologi namun Kemkes saat ini mencatat sedikitnya ada sembilan penyakit menular yang potensial digunakan sebagai senjata biologi; yaitu Antraks, Poliomyelitis, Kholera, Demam Tifoid, Tuberkulosis, Flu burung, SARS, Pes paru, dan Cacar. Di indonesia Kemungkinan munculnya penyakit baik yang disengaja atau tidak disengaja memang harus selalu diwaspadai. Tidak mustahil ancaman berasal dari laboratorium. Sebagaimana diakui oleh Kemkes dan Kemtan bahwa belum semua laboratorium biologi menerapkan prosedur biosecurity dan biosafety di indonesia. Hingga saat ini belum ada laporan resmi yang menyatakan secara pasti dari mana asal mula virus tersebut, namun dengan dimasukkannya virus tersebut menjadi salah satu agensia senjata biologi, telah mengindikasikan bahwa wabah tersebut muncul karena adanya faktor ketidakwajaran (unnatural outbreak of disease). Walaupun Bioterorisme dianggap belum populer namun ada satu hal yang perlu selalu diwaspadai bahwa senjata biologi selalu menimbulkan dampak yang sangat besar karena kemampuannya memperbanyak diri dan beradaptasi dengan lingkungan. Penulis juga menekankan adanya kegiatan yang dilakukan dalm upaya peningkatan kesadaran (raising awareness) dan pengkajian ancaman (threat assessment) serta analisis risiko (risk analyses) untuk menentukan langkah-langkah pengamanan lebih lanjut yang sesuai dengan kepentingan nasional. Hanya saja penulis tidak memaparkan bagaimana contoh kegiatannya. Secara umum, ulasan seminar ini menjawab sasaran belajar meliputi trend bioterorism dan efek yang ditimbulkannya.