berat pondasi engine harus 1

16
Berat Pondasi Engine Harus 1,5 Hingga 4 Kali Berat Engine? Posted on July 1, 2012 by budisuanda Baru-baru ini ada permasalahan dalam melaksanakan proyek EPC yang menarik perhatian saya. Tentunya sayang untuk tidak dituliskan dalam blog ini. Judul di atas adalah inti masalahnya, walaupun memang tak sesimple itu. Etika profesi sebagai Insinyur pun harus dipertaruhkan ketika akhirnya muncul tantangan untuk menjamin kemampuan pondasi hingga 25 tahun. Engine pembangkit yang satu ini memang luar biasa. Berat sendiri hingga 380 ton per unitnya. Didatangkan dari benua Eropa dimana mesin ini dibuat. Bukan pada masalah pembuatan engine yang akan dibahas, melainkan pondasi yang menjadi dudukan engine selama masa pakai engine itu sendiri. Engine Pembangkit Listrik 16 MW Masalah ini sebenarnya sederhana, namun menjadi rumit karena masalah sepele. Awalnya manufacture memberikan design standart untuk pondasi engine adalah suatu block pondasi berukuran tapak 5m x 18m dengan tinggi 1,2m. Dikarenakan culture VE yang begitu melekat, akhirnya dicoba suatu dimensi yang diharapkan lebih baik performancenya dengan menggunakan pondasi tiang pancang dengan pengikat sloof tinggi yang dikombinasikan dengan pelat beton pada bagian atasnya. Tiang pancang menjadi

Upload: maman-asep

Post on 25-Jul-2015

57 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Berat Pondasi Engine Harus 1,5 Hingga 4 Kali Berat Engine?Posted on July 1, 2012 by budisuanda

Baru-baru ini ada permasalahan dalam melaksanakan proyek EPC yang

menarik perhatian saya. Tentunya sayang untuk tidak dituliskan dalam

blog ini. Judul di atas adalah inti masalahnya, walaupun memang tak

sesimple itu. Etika profesi sebagai Insinyur pun harus dipertaruhkan

ketika akhirnya muncul tantangan untuk menjamin kemampuan pondasi

hingga 25 tahun.

Engine pembangkit yang satu ini memang luar biasa. Berat sendiri

hingga 380 ton per unitnya. Didatangkan dari benua Eropa dimana

mesin ini dibuat. Bukan pada masalah pembuatan engine yang akan

dibahas, melainkan pondasi yang menjadi dudukan engine selama masa

pakai engine itu sendiri.

Engine Pembangkit Listrik 16 MW

Masalah ini sebenarnya sederhana, namun menjadi rumit karena

masalah sepele. Awalnya manufacture memberikan design standart

untuk pondasi engine adalah suatu block pondasi berukuran tapak 5m x

18m dengan tinggi 1,2m. Dikarenakan culture VE yang begitu melekat,

akhirnya dicoba suatu dimensi yang diharapkan lebih baik

performancenya dengan menggunakan pondasi tiang pancang dengan

pengikat sloof tinggi yang dikombinasikan dengan pelat beton pada

bagian atasnya. Tiang pancang menjadi diperlukan lantaran kondisi

tanah dasar / permukaan yang kurang menguntungkan. VE tersebut juga

dilandasi dengan kenyataan bahwa engine duduk di atas base frame

pada dua sisinya. Sehingga idealisasi beban menjadi beban garis pada

kedua sisi memanjang pondasi. Kenyataan ini membawa pemikiran

bahwa beban akan cenderung meneruskan beban ke bawah secara

memanjang pondasi. Bagian tengah pondasi tentu saja diperkirakan

tidak memikul beban sesuai dengan kondisi beban yang ada.

Pertimbangan lain adalah lokasi pondasi berada pada daerah gempa

zona 3. Sehingga diperlukan suatu design pile cap yang tidak berat

namun kuat mengingat gaya lateral gempa yang cukup besar di samping

pertimbangan resonansi antara engine dan pondasi.

Akhirnya diusulkan pondasi dengan 12 tiang pancang (masing-masing 6

tiap lajur) dengan dimensi pondasi berupa sloof tinggi berukuran

60×120 secara memanjang dan diikat oleh sloof melintang berukuran

40×80 di tiap titik pondasi dan pelat beton tebal 50 cm. Design ini

sangat memperhatikan beban aksial engine dan gempa dimana beban

pile cap menjadi jauh lebih kecil dari yang dikeluarkan oleh pabrik.

Sebagai catatan bahwa pabrik jelas belum mempertimbangkan aspek

gempa dan pabrik tentu saja hanya mempertimbangkan aspek dinamis

dan yang pasti konservatif. Design tersebut dianalisis dan dicek terhadap

kapasitas dukung tanah, tiang pancang, gaya gempa sesuai zona gempa,

dan tentu saja kemungkinan terjadi resonansi disamping aspek fatique

beton, defeksi statik, serta defleksi akibat dinamis seperti rocking.

Hasilnya design tersebut cukup aman untuk mendukung beban yang ada.

Masalah kemudian muncul karena konsultan yang menginginkan pondasi

engine harus memiliki berat 2 kali berat engine atau memiliki berat 760

ton. Berat pondasi yang jika menggunakan jenis pondasi block akan

memiliki tinggi pile cap sekitar 3,0 m. Apa yang menjadi landasan

konsultan? Dia mengacu pada buku Surash Arya yang mengatakan initial

design untuk deep pile engine foundation adalah 1,5-4 kali berat engine.

Jika tidak memenuhi kaidah itu, maka design rejected!

Wow….terfikirkankah akan efek gempa yang sangat besar?risiko defleksi

dan yang lainnya? Menurut saya ini menjadi sikap yang cukup berbahaya

karena pemahaman yang tidak menyeluruh dan tidak filosofis. Mari kita

lihat tulisan dari Surash Arya yang dimaksud.

Trial

Sizing oleh Surash Arya 1

 

Trial Sizing

oleh Surash Arya 2

 

Trial Sizing

oleh Surash Arya 3

 

Ini adalah kasus nyata yang menurut saya cukup menyentuh etika

profesi Insinyur Teknik Sipil. Memang perhitungan dinamis tidaklah

sederhana bahkan bisa tergolong paling rumit diantara perhitungan

yang lain seperti statik murni atau dengan kombinasi gempa. Konsultan

harusnya menyadari bahwa initial design untuk trial dimension bukanlah

hal yang kaku menurut Surash Arya. Hal yang paling penting untuk

pondasi engine adalah bahwa tidak terjadi resonansi sebagai akibat

natural frequency pondasi yang dekat dengan frequency engine. Dalam

hal ini batas resonansi adalah rasio frekuensi sebesar <0,8 (high tuned)

dan >1,2 (low tuned). Kondisi batas dapat dilihat pada grafik di bawah.

Di samping itu, konsultan haruslah melihat analisis dan parameter check

secara teknik sipil yang menjadi inti bahwa design telah memenuhi

persyaratan yang umumnya meliputi statik, gempa, displacement,

fatique, dll.

Surash Arya hanya mengatakan initial design yang tidak menjadi

penentu design. Disebutkan pula bahwa jika design tidak sesuai maka

harus melakukan trial dimension ulang. Lalu perlu dilihat bahwa gaya

dinamis yang dikeluarkan oleh pabrik engine untuk proyek ini sangatlah

kecil karena teknologi vibration isolator dengan menggunakan spring

mounted dan flexible coupling antara engine dan generator yang sudah

semakin maju sedemikian hingga beban dinamis menjadi sangat kecil.

Haruskah kemajuan teknologi ini diabaikan dalam analisis teknik sipil?

Menjadi aneh kemudian jika konsultan berargumen bahwa design harus

mengasumsi bahwa spring mounted mengalami fatique atau failure.

Padahal “service life”nya yang panjang dan tidak serta merta mengalami

failure secara seketika dan dapat diganti dengan mudah jika terjadi

fatique. (spring mounted diproduksi oleh perusahaan bidang vibration

isolator : vibratek akustikprodukter, Sweden)

Jika pola pikir yang demikian, tentu kita tak bisa menikmati kemajuan

teknologi yang memungkinkan kita bisa bepergian dengan pesawat

terbang, saling berkomunikasi jarak jauh dengan media canggih,

membangun gedung pencakar langit, dan lain sebagainya.

Memahami ilmu jelas tidak bisa kaku, parsial, ataupun dangkal. Ilmu

harus dipahami secara filosofis untuk memahami alam semesta ini. Kita

haruslah berdiri tegak pada ilmu, bukan pada motif lain.

Tim proyek lalu mencoba untuk mendalami literatur lain mengenai trial

sizing atas pondasi engine. Berdasarkan journal “Foundation for

Vibration Engine” yang ditulis oleh Prof. Shamsher Prakash dan Prof.

Vijay K. Puri tahun 2006, disebutkan bahwa trial dimension dapat

menggunakan design standart yang dikeluarkan oleh pabrik, namun

tetap harus dianalisis berbagai parameter pentingnya.

“Foundation for Vibration Engine” by Prakash &Vijay, 2006, hal. 8

“Foundation for Vibration Engine” by Prakash &Vijay, 2006, hal. 9

Berdasarkan literatur di atas, lalu dibuat suatu design berdasarkan

standart pabrik berupa block foundation berukuran tapak 5m x 18m

dengan tinggi 1,2m dengan jumlah titik tiang pancang menjadi 17 titik

(spun pile dia. 40 cm) dimana gaya dinamis mengacu pada output yang

dikeluarkan oleh pabrik (sangat kecil). Pada design ini, semua paramater

dianalisis dan hasilnya ada bahwa design sangat aman dimana single pile

capacity adalah 70 ton.

Pada akhirnya, posting ini dengan cukup meyakinkan mengatakan bahwa

ketentuan pada initial / trial dimension yang disebutkan oleh surash arya

hanyalah suatu pendekatan empirik pada masa lalu (disebutkan pula

oleh Surash Arya) dimana manufarturer / pabrik belum mengeluarkan

design standart ataupun karena keterbatasan data dan teknologi mesin

pada masa lalu karena buku tersebut diterbitkan pada tahun 1979.

Pertimbangan utama haruslah pada hasil analisis teknik sipil yang lebih

mendalam dengan parameter check yang lebih kompleks demi

tercapainya suatu design yang lebih baik. Perlu pula mempertimbangkan

aspek gempa yang justru lebih kritis karena Indonesia terletak pada

wilayah yang memiliki risiko gempa tinggi. Pedoman design pile cap

yang harus memiliki berat 2-4 kali berat engine tidak bisa menjadi

pedoman, bahkan cukup berbahaya karena mengabaikan variabel lain

seperti kondisi tanah dan zona gempa.

Tulisan ini dibuat sama sekali tidak untuk memojokkan seseorang

ataupun institusi tertentu. Tulisan ini justru ingin memberikan

penjelasan singkat mengenai lesson learn atas suatu kasus demi

kemajuan dunia teknik sipil di Indonesia. Semoga dunia teknik sipil kita

menjadi cepat lebih maju..

Mengambil Gaya Joint Reaction akibat Gempa Dinamik untuk Desain Pondasi

 

Pada setiap tahap desain bangunan, desain struktur pondasi idealnya dilakukan pada tahap terakhir setelah desain “struktur atas” selesai dilakukan. Namun ironisnya, pada tahap konstruksi di lapangan, konstruksi pondasi adalah kegiatan yang lebih awal dilakukan sebelum proses erection struktur atas dapat dilakukan. Ini menyebabkan proses engineering pasti akan selalu bermasalah jika kenyataan ini tidak diantisipasi sejak awal. Saya kira ini adalah tantangan yang selalu terjadi terutama pada setiap proyek EPC (Engineering, Procurement, & Construction). Sering terjadi, untuk mengejar schedule, desain struktur bawah lebih didahulukan daripada desain struktur atas.

Loh? Kok bisa? Data beban pondasinya bagaimana?

Hal ini bisa saja dilakukan jika beban yang dikenakan untuk desain pondasi adalah beban asumsi yang dapat dipertanggungjawabkan secara teknis (berdasarkan data dari proyek-proyek terdahulu yang memiliki banyak kemiripan ataupun berasal dari data beban “kasar” yang telah dikalikan dengan safety factor yang besar). Sehingga dibutuhkan keberanian, pengalaman yang cukup, dan sense of engineering yang cukup baik untuk melakukan hal ini. Untuk itu sebenarnya dibutuhkan senior engineer yang sudah berpengalaman untuk mengawal desain struktur atas maupun struktur bawah jika metode ini ingin dilakukan.

Walaupun beban yang dikenakan masih berupa asumsi, namun tentu saja kita juga perlu memahami perilaku struktur atas untuk “membaca” reaksi yang tepat untuk dikenakan pada perhitungan pondasi. Jika salah memasukkan gaya reaksi, ada dua kemungkinan yang dapat terjadi; pondasi menjadi tidak aman atau pondasi akan menjadi semakin boros.

Memahami perilaku struktur atas untuk membaca reaksi yang tepat dikenakan pada pondasi itu bagaimana, mas?

Untuk mendesain pondasi, kita membutuhkan reaksi join tumpuan struktur atas yang dihasilkan oleh Sap2000. Untuk beban bolak-balik seperti beban gempa, reaksi beban yang dihasilkan melalui analisis dinamik dengan metode reponse spectrum selalu memiliki dua nilai, yaitu beban MAX (maksimum) dan beban MIN (minimum). Beban max dan min ini sangat berhubungan dengan arah bekerjanya gaya dan dapat kita analisa dimana terjadinya kondisi max/min ini melalui perilaku strukturnya.

Namun, yang perlu kita perhatikan adalah jika kita menampilkan gaya reaksi tumpuan (untuk beban gempa dinamik) secara visual di Sap2000 (melalui menu “show joint reaction force”), Sap2000 ternyata hanya menampilkan gaya reaksi maksimum saja. Jadi seolah-olah, reaksi maksimum pada tiap joint ini terjadi secara bersamaan dan seolah-olah tidak terjadi gaya angkat (gaya reaksi min) pada pondasi. Jelas tampilan visual ini sebenarnya cukup menyesatkan jika kita tidak memahaminya. Karena secara refleks kita akan berpikir: reaksi max di suatu joint tumpuan akan selalu berpasangan dengan reaksi max di joint tumpuan lainnya. Untuk struktur portal dua kolom yang dikenakan gaya lateral pada joint kolom bagian atas, yang terjadi sebenarnya adalah sebaliknya. Jika di joint tumpuan kolom a yang terjadi adalah reaksi max, maka reaksi yang terjadi di tumpuan joint b seharusnya adalah reaksi min. Jadi, reaksi max berpasangan dengan reaksi min, bukan sebaliknya. Penjelasannya adalah seperti ketika kita mendorong sebuah meja yang tinggi dengan kuat hingga meja hampir terguling, maka pada bagian kaki meja yang terangkat akan terjadi reaksi min, dan pada kaki meja yang tidak terangkat akan terjadi reaksi max.

Ya kalo gitu langsung saja pakai beban max dan min tersebut untuk desain pondasi tho mas?

Eits, tunggu dulu.. Jika yang kita desain adalah pondasi terpisah (masing-masing pondasi memikul gaya dari satu kolom struktur), desain pondasi dapat dilakukan tanpa harus ribet memikirkan mana tumpuan yang seharusnya mengalami gaya reaksi max dan mana yang seharusnya mengalami gaya reaksi min. Kedua reaksi max dan min langsung saja kita perhitungkan untuk mendesain struktur pondasi secara terpisah. Akan berbeda cerita jika yang kita desain adalah berupa pondasi gabungan (dimana pondasi memikul gaya gabungan dari beberapa kolom). Kondisi max min ini perlu kita perhatikan baik-baik agar tidak terjadi kesalahan dalam menginput data beban pada perhitungan desain pondasi. Jika yang kita desain adalah pondasi dangkal seperti pondasi telapak, kesalahan dalam menginput beban ini akan mengakibatkan tegangan tanah yang tidak valid. Jika yang terjadi adalah “overload”, di satu sisi (sisi engineering) pastinya kita akan bersyukur (karena hasil desain pondasi akan memiliki nilai safety factor yang besar). Tapi jika sebaliknya, maka doa kepada Tuhan biasanya dipanjatkan.. he2..

Seperti biasa, saya akan memberikan contoh kasus agar dapat lebih mudah dipahami. Kita coba buat struktur portal 2D sederhana seperti di bawah:

Agar Sap2000 menghasilkan reaksi max/min pada tumpuan, maka perlu kita berikan gaya gempa secara otomatis menggunakan metode response spectrum (walaupun sebenarnya untuk bangunan rendah dan sederhana semacam ini cukup digunakan analisa gempa statik). Masukkan aja nilai parameter apa adanya untuk input gempa karena kita hanya akan mengecek hasil reaksinya.

Setelah di-run, maka hasil reaksi gaya tumpuan untuk beban gempanya saja secara visual (Klik Display –> Show Forces/stresses –> Joints) adalah sebagai berikut:

Gambar di atas adalah hasil gaya reaksi tumpuan hanya akibat beban gempa (EXR) saja. Jika beban mati struktur sendiri dimasukkan (COMB1= SW + EXR), maka hasilnya adalah sbb:

Terlihat, nilai gaya aksial (F3) reaksi tumpuan di masing-masing kolom (baik hanya karena beban gempa maupun beban COMB 1) nilainya sama. Jadi, untuk reaksi beban gempa dinamik, Sap2000 hanya menampilkan reaksi maksimum saja untuk reaksi visual-nya, sedangkan untuk reaksi minimumnya tidak ditampilkan. Untuk mengetahui reaksi max dan min-nya secara lengkap, kita perlu mengekspor datanya ke dalam excel. Caranya mudah. Pilih/select kedua tumpuan, lalu klik Display –> Show Tables, maka akan keluar jendela seperti berikut:

Pilih “Joint Output Reaction” pada “Analysis Result”. Dan pastikan pada “Analysis Cases (Results)” beban mati sendiri, beban gempa, dan beban kombinasi COMB1 sudah terpilih. Setelah itu klik “Ok”, maka akan keluar jendela berikut:

Setelah itu klik File –> Export Current Table –> To Excel, maka akan langsung didapatkan data-data di atas tersaji dalam bentuk excel seperti berikut (pastikan program excel sudah terinstal dalam komputer) :

Lalu bagaimana mengecek bahwa nilai max memang berpasangan dengan nilai min?

Secara logika pun sebenarnya kita sudah bisa memastikan bahwa nilai max dan min memang sudah seharusnya terjadi secara bersamaan (dengan analogi meja yang didorong hingga hampir terguling). Namun secara analisis matematis, hal ini pun sebenarnya dapat kita buktikan juga.

Pertama, kita perlu mencari tahu total gaya vertikal. Untuk kasus ini, total gaya vertikal adalah berat sendiri struktur. Melalui data di atas, nilai berat sendiri struktur dapat kita ketahui melalui nilai SW (Self Weight) yang secara otomatis dihitung oleh Sap2000. Jika nilai SW joint 1 dan 3 dijumlahkan, maka berat sendiri struktur secara total adalah sebesar 1.805 kN + 1.805 kN = 3.61 kN. Nilai ini menjadi acuan untuk pengecekan karena seberapapun besarnya gaya lateral, hasil penjumlahan reaksi tumpuannya haruslah sama dengan beban mati sendiri struktur ini. Kenapa? Karena prinsip hukum kesetimbangan gaya berlaku dimana penjumlahan dari gaya vertikal haruslah sama dengan 0 (Σ V = 0). Pada kasus ini, gaya gempa adalah gaya lateral (bukan gaya vertikal), maka besar gaya gempa tidak akan merubah total reaksi beban vertikal.

(Pemahaman ini juga dapat kita aplikasikan untuk mengecek tegangan tanah pada pondasi dangkal ataupun gaya tekan dan tarik pada pondasi tiang pancang akibat beban momen. Jika rumus yang kita gunakan benar, maka total dari gaya reaksinya pasti akan sama dengan total jumlah dari gaya vertikal.)

Langkah selanjutnya, kita ambil kondisi joint 1 mengalami beban max, sedangkan joint 3 mengalami beban min. Jika ditotal, maka hasilnya adalah sebagai berikut:

Hasilnya: Sinkron! Terbukti, reaksi beban max dapat dibuktikan secara matematis berpasangan dengan beban min, bukan sebaliknya. Untuk pondasi dimana struktur atas dikenakan gaya lateral yang memiliki arah gaya yang bermacam-macam (seperti dari gaya tarik mesin), tentu penentuan lokasi dimana terjadinya beban max dan min pada suatu tumpuan kolom akan menjadi lebih ribet/rumit. Untuk mempermudah, breakdown hasil gaya reaksi per beban, jangan hanya melihat hasil gaya reaksi tumpuan dari beban kombinasinya saja. Sekian. CMIIW..