belum nemu judul
DESCRIPTION
cerpen perdamaianTRANSCRIPT
(belum nemu judul )
Kami terbahak di pendopo desa yang tak terlalu luas ini. Kami? Ya, kami; aku
dan Steve. Dia adalah teman semasa awal aku memasuki jenjang perkuliahan, hingga
kini pastinya, dan —semoga— sampai nanti, jika Tuhanku dan Tuhannya menghendaki
kami bersama di alam setelah kami bertemu pati1 nanti. Kalian tak akan mengira jika
keakraban kami justru lahir dari keberbedaan. Bukan berbeda dalam hal sepele, ini
serius, dan bahkan terlalu serius; ya, kami menyebutnya sebagai keyakinan. Tapi kami
—aku dan Steve— mengartikan keberbedaan kami sebagai sesuatu yang saling
melengkapi. Entah berbentuk apa itu, yang jelas aku rasa, tak ada Steve, maka tak
lengkap kebahagiaan ini.
Hawa dingin pedesaan malam ini sedikitpun tak berasa menyentuh kulit kami.
Kami telah terbakar oleh panas masalah mereka yang benar-benar hangat dan riuh.
Ingin rasanya kami melayangkan beribu pertanyaan kepada ‘narasumber’ kami itu
seandainya Steve lupa tak melirik jarum jam yang berada di pergelangan tangannya.
Pukul 23:57 WIB. Pantas jika perlahan, suara kami serasa memantul kembali jelas ke
telinga kami. Sepi.
Kami terbahak. Betapa tidak? Kisah mereka terlalu lucu. Mereka, penduduk
desa ini, mungkin menganggap masalah ini terlalu serius, hingga mereka merasa perlu
untuk kesana-kemari meminta pertolongan untuk sesuatu yang rumit namun indah
yang kami agungkan dan kami sebut sebagai perdamaian.
Ya, mana ada perdamaian yang tak rumit? Keindahan itu rumit, kebahagiaan itu
tak ada yang sederhana. Kata siapa bahagia itu sederhana? Kebahagiaan itu mahal, Bro!
Makanya, untuk suatu kebahagiaan yang terangkum dalam kata ‘damai’ saja, banyak
negara yang rela menggelontorkan dana milyaran rupiah hanya untuk membeli suara
letusan meriam. Hanya untuk mencapai kata mufakat saja, mereka sebagian orang
harus rela membayar ‘orang pintar’ yang mereka percaya bisa membantu mereka dalam
memperbaiki suatu hubungan. Kata guruku semasa kuliah dulu, untuk bisa berbahagian,
kita mewujudkan keadaan pikiran atau perasaan yang ditandai dengan kecukupan,
hingga kesenangan, cinta, kepuasan, kenikmatan, atau kegembiraan yang intens. Ah,
rumit bukan?
1 Ajal. Kematian
Oke, sebagian dari kalian mungkin akan mengatakan bahwa kebahagiaan itu
sederhana, gratis, hanya dengan memakai rumus ‘Toleransi’, jadi. Apalagi itu, Bro!
Toleransi bukan masalah lembaran cek bertuliskan angka berdigit-digit, atau mungkin
berlembar-lembar kertas yang disembah para Koruptor. Tapi toleransi adalah masalah
hati, toleransi adalah masalah fikiran. Bertoleransi berarti bersikap tidak
mendiskriminasi pihak lawan sebagai seseorang yang mempunyai keyakinan berbeda
terhadap suatu hal, dan itu sangat sulit. Membutuhkan kelapangan dada serta
keikhlasan, kata guru ngajiku dulu di surau dekat rumahku.
Sudahlah, damai memang sulit digapai jika kita bersikap kaku. Seperti
penduduk desa ini. Kami —aku dan Steve— kembali terpingkal ketika bersama-sama
kami mengingat dan mencoba menguliti masalah yang diceritakan pamong desa sore
tadi. Kami sengaja tak menggelakkan tawa kami di depan mereka —tentu saja— untuk
tujuan menghormati mereka sebagai si Empunya masalah. Ah, sesuatu yang rumit
menurut segelintir orang, terkadang memang terasa menggelikan bagi sebagian yang
lain. Masalah ini misalnya.
Sudah dua minggu berlalu sejak kejadian meninggalnya Pak Sumadi yang
menimbulkan kontroversi. Kami mendengar, sudah dua minggu jua pendopo ini ramai
dikunjungi warga yang ingin tau perkembangan masalah ini. Sudah dua minggu, namun
tetap tak menemukan titik temu. Kami mengangguk namun tidak benar-benar mengerti.
Dalam rentetan debat yang kami tonton melalui video, perdebatan antar pemuka agama
itu jelas terlalu egois. Si Islam memandang dirinya paling benar, dan si Kristen juga tak
ada beda. Mereka sama-sama ingin menang, bukan menginginkan kata damai dan
mufakat.
“Padahal biasanya kami akrab lho Mas.” Ungkap Mas Budi, Pamong Desa ini.
Kami memanggilnya Mas karna ternyata, umur beliau hanya terpaut 7 tahun dari
umurku dan Steve.
“Akrabnya yang seperti apa, Mas?” Tanya Steve antusias.
“Biasanya kalau misalnya ada kerja bakti mbersihin masjid, mereka meskipun
nonmuslim juga ikut membantu.”
“Lha... bagus itu.” Sahutku.
“Selain itu, mereka juga bertanggung jawab ngepel lantai mesjid kalau misalnya
anjing mereka pipis di emperan masjid. Dengan pengawasan pak Ustadz pastinya Mas,
wong katanya beliau, najis anjing itu najis yang perlu penanganan ekstra. Hahahaa....”
Aku dan Steve mengiyakan sambil megangguk-anggukkan kepala.
“Tapi disini banyak kan Mas yang nikahnya beda agama?” Steve memberi
tanggapan.
“Nggak banyak mas. Tapi adalah satu dua. Biasanya yang seperti itu ditentang
sama keluarganya. Lha siapa yang mau jika anaknya dipek2 orang yang berbeda
agamanya dengan kita?”
“Ya, ya Pak, memang seperti itu.” Aku mengiyakan.
“Yoweslah Mas, Sampeyan lanjut dulu ngobrolnya. Besok saya yang bertugas
nganter sampeyan-sampeyan ini ke rumah Nimas. Saya pulang dulu nggeh”. Mas budi
menyalamiku dan Steve bergantian, lalu beranjak meninggalkan kami.
Nimas dan keempat saudaranya adalah akar dari panasnya permasalahan ini.
Dan besok, aku dan Steve ingin berbincang dengannya. Bukan sebagai ‘sesepuh’ yang
bertugas menasehatinya. Tapi lebih sebagai teman diskusi yang kebetulan lebih
mengetahui apa itu pentingnya toleransi.
***
Seminggu sudah kami mencoba ikut serta dalam ‘diskusi harian’ yang
berlangsung setiap sore di pendopo desa ini. Kami merasa lega saat mereka para
penduduk desa juga sesepuh-sesepuh agama yang dipanggil oleh keluarga Nimas
menerima kami dengan cukup baik. Diskusi selalu berjalan alot dan panjang, yang selalu
diakhiri dengan kata ‘to be continued’ di setiap sorenya.
Kami hampir kehabisan stok kesabaran dalam diri. Di hari keenam, aku sempat
menyampaikan niatku untuk mengajak Steve pulang ke kota dan menyerahkan masalah
ini kepada Tuhan saja. Tapi rupanya Steve masih getol mengikuti perkembangan setiap
dari masalah ini.
2 Diambil kepemilikannya (bahasa Jawa)
“Unik!” Celetuknya berkomentar.
Diam-diam kekagumanku pada sosok Steve semakin menggebu.
Memang, keputusasaanku bukan lantaran tidak adanya perkembangan yang
bersifat positif. Perkembangan positif jelas telah nampak dari adanya sikap keempat
saudara Nimas yang mulai melunak. Mereka —keempat saudara Nimas— telah bersedia
mengakui kekeliruan mereka dan mau untuk meminta maaf padanya. Sekarang tugas
kami tinggal satu; bagaimana caranya membuat Nimas bisa memaafkan keempat
saudara lelakinya tersebut.
“Baik Mbak Nimas, sekarang keempat kakak Mbak sudah mengakui kesahan
dan meminta maaf kepada mbak Nimas dengan tulus. Sekarang apakah Mbak mau
memaafkan kakak Mbak?” Steve menengahi.
“Hanya jika saya diperbolehkan membongkar kuburan ayah saya, dan saya
kuburkan beliau sesuai dengan agama yang beliau anut!” Jawab Nimas tegas. Masih saja
terlihat jelas aura kekesalan dalam nada suaranya.
“Begini Mbak Nimas, masalahnya hingga saat ini, mendiang ayah Mbak sudah
dikuburkan sejak tiga minggu yang lalu. Untuk mengangkat jasad beliau kembali,
dibutuhakan proses yang tidak gampang. Kita perlu mendatangkan pihak medis untuk
membantu terlaksananya keinginan Mbak ini..” Salah satu pastor desa menjelaskan.
“Saya tidak mau tahu. Ayah saya muslim, dan semua warga desa tahu. Jadi yang
saya inginkan sekarang, kuburkan secara Islami, atau saya ajukan saja masalah ini ke
pengadilan. Sudah tiga minggu saya hanya menghabiskan waktu di pendopo desa ini
dan tak juga mendapatkan jalan yang saya inginkan.”
Karena suasana terus memanas, akhirnya kakak tertua Nimas, Sunyoto
menyerah dan mengatakan akan menuruti apa mau adiknya itu. Seketika setelah
Sunyoto menyampaikan ketersediaannya untuk memanggil pihak medis esok hari,
suasana di pendopo sangat gaduh. Berbagai komentar dilontarkan oleh penduduk desa
yang hadir sore itu. Sebagian dari mereka ada yang senang dengan keputusan ‘sidang’,
sedangkan sebagian yang lain tak kuasa untuk melontarkan umpatan pelan.
Esok hari akan terjadi peristiwa penting bagi penduduk desa. Andai-andai dari
setiap otak warga tak bisa dihindarkan, pun dari otakku dan Steve. Kami sama sekali tak
bisa memejamkan mata malam ini.
“Fa..”
“Ya?” Aku menoleh ke arah Steve. Aku tahu ia juga tak berhasil memejamkan
mata malam ini.
“Menurutmu, apakah solusi yang aku tawarkan terlalu memihak agamaku?”
“Ah... nggak! Sudahlah, kita sama-sama mengerti makna ruh dan jasad ketika
kita meninggal kelak. Terserah Tuhan ingin menempatkan ruh kita dimana. Persetan
manusia di dunia mau ngopeni jasad kita seperti apa. Begitu kan maksudmu?” Aku
mengoreksi.
“Ya. Mungkin posisi Mbak Nimas memang sulit, Fa. Setiap dari orang Islam tak
akan terima jika anggota keluarganya disemayamkan tidak dengan cara mereka
sendiri.”
“Iya. Kau juga seperti itu kan? Tapi jika kasusnya seperti ini, kita bisa apa? Jasad
Pak Sumadi sudah terlanjur mereka suapkan ke perut bumi. Coba saat beliau meninggal,
mbak Nimas ada di rumah. Kejadiannya nggak seperti ini toh? Maaf, aku nggak
bermaksud menyalahkan keadaan.” Aku termakan emosi.
“ Iya.. iya... sudahlah, kita dinginkan pikiran kita dulu malam ini. Sudah untung
saudara Mbak Nimas mau minta maaf dan mengijinkan kuburan bapaknya dibongkar.
Jika memang hanya ini yang bisa kita usahakan, kita tak usah menyesal lah. Semoga ada
hikmahnya.”
Steve menutup percakapan kami, dan aku malu untuk menjawabnya. Kami
kembali mencoba memejamkan mata.
***
Sudah kami prediksikan sebelumnya jika hari ini adalah hari sakral bagi
penduduk desa pesisir ini. Tak pernah ada masalah seserius ini sebelumnya. Maka
sepanjang perjalanan menuju perkuburan umat Kristiani di ujung desa sana, kami tidak
menemui satupun petani yang sedang mencangkul sawahnya. Semua dari mereka
berjalan di belakang kami. Tujuan mereka sama dengan kami, ingin mengetahui proses
pembongkaran yang akan dilaksanakan sesaat lagi.
Rupanya kami tiba terlalu cepat. Pihak medis belum berada di tempat. Mungkin
kena macet, celetuk salah satu penduduk setempat. Kami berharap-harap cemas. Bisik-
bisik terdengar lirih. Dan aku baru menyadari jika aku tak melihat Mbak Nimas disini.
26 menit kemudian arak-arakan para medis telah datang ke kompleks
pemakaman. Karena telah disetujui oleh kedua belah pihak yang bersengketa, pihak
medispun langsung bersiap membongkar makam tersebut. Baru sebatas lutut petugas
menggali tanah, kami semua terkagetkan oleh teriakan seorang perempuan.
“Jangan! Jangan dibongkar kuburan ayah! Ayah telah diterima di sisi
Tuhannya!” Nimas berteriak sejadi-jadinya, lengkap dengan air mata bahagia di pipinya.
Dan semua dari kami benr-benar tercekat dan terdiam tanpa kata.
@fikritaniaa
05 Oktober 2014, 22.00