belajar dari kebijakan pengelolaan lahan · pdf filebelajar dari kebijakan pengelolaan lahan...

Download BELAJAR DARI KEBIJAKAN PENGELOLAAN LAHAN · PDF fileBELAJAR DARI KEBIJAKAN PENGELOLAAN LAHAN PERTANIAN 213 transmigrasi, perluasan perkebunan dengan pola Perkebunan Inti Rakyat (PIR)

If you can't read please download the document

Upload: vodien

Post on 06-Feb-2018

231 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

  • BELAJAR DARI KEBIJAKAN PENGELOLAAN LAHAN PERTANIANFaisal Kasryno1 dan Haryono2

    1)Ekonom Pertanian Senior, Yayasan Pertanian Mandiri2)Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian

    Eksploitasi lahan di Indonesia dapat ditelusuri sejak penjajahan Belanda diawali dengan penerapan kebijakan tanaman paksa. Dengan adanya tekanan politik dalam negeri, Pemerintah Belanda pada awal abad 20 menerapkan ethiesche politiek di negeri jajahannya agar masyarakat miskin dapat menikmati hasil pembangunan. Kebijakan tanaman paksa (cultuur stelsel) dihapus dan dikeluarkan agrarische wet tahun 1870 yang memberikan hak pengelolaan lahan kepada perusahaan perkebunan swasta Belanda yang kemudian berkembang dengan pesat. Masyarakat miskin dan petani dilibatkan dalam pembangunan pertanian dan Pemerintah Belanda mulai membangun irigasi untuk sawah terutama di Jawa. Di sisi lain, irigasi ini juga digunakan oleh perusahaan Belanda untuk mengembangkan perusahaan perkebunan tebu dan mendapatkan hak pengelolaan lahan berdasarkan agrarische wet. Kebijakan ini telah menumbuhkan enclave perkebunan berdampingan dengan petani tradisional yang dikenal sebagai dual economy(Boeke 1953).

    Pada tahun 1950-an, pemerintah menasionalisasi semua perusahaan milik Belanda dan menjadikannya perusahaan milik negara sesuai dengan UUD 1945, terutama Pasal 33. Selanjutnya, UU Pokok Agraria No. 5/1960 diterbitkan. Undang-undang ini menghapus agrarische wet dan semua produk hukum pertanahan lainnya; semua tanah milik swasta dan perorangan dalam skala luas diambil alih pemerintah dan dibagikan kepada petani penggarap. Namun, sampai akhir tahun 1960-an, politik lebih mendominasi kebijakan, sehingga pertumbuhan tidak berkembang dan kemiskinan terus meningkat.

    Menurut laporan Ekonomi Bank Dunia (World Bank, 2006), perkembangan ekonomi Indonesia merupakan contoh yang baik bagi integrasi tiga tema utama pembangunan ekonomi dewasa ini, yaitu:

    a. Pentingnya pemberdayaan kelembagaan petani dan masyarakat pedesaan agar peranan pasar optimal dalam menentukan pembagian kesempatan dan pendapatan.

    b. Peran dukungan politik melibatkan kelompok miskin dalam semua proses yang menentukan kerangka kebijakan pasar dan akumulasi aset.

    c. Pentingnya penerapan good governance pada kelembagaan pemerintahan dan dunia usaha agar dapat menerapkan mekanisme pasar beroperasi dengan baik.

    Pada awal tahun 1970-an, pemerintah lebih memfokuskan perhatian pada kebijakan pertumbuhan ekonomi dengan melibatkan masyarakat miskin. Kebijakan ini antara lain dilakukan dengan berbagai program investasi pada pembukaan lahan baru seperti program

  • BELAJAR DARI KEBIJAKAN PENGELOLAAN LAHAN PERTANIAN

    213

    transmigrasi, perluasan perkebunan dengan pola Perkebunan Inti Rakyat (PIR) yang mengalokasikan lahan untuk petani hingga 80 persen dari total areal perkebunan yang dibuka. Pola PIR ini juga dikembangkan untuk peternakan dan perikanan. Kebijakan ini didukung oleh kebijakan pembangunan prasarana irigasi dan transportasi, kebijakan harga dan perdagangan disertai berbagai bentuk subsidi. Selama tiga dasa warsa pembangunan, kebijakan ini telah berhasil meningkatkan pendapatan per kapita sebesar 5 persen per tahun dengan Gini Ratio 0.36 persen (World Bank 2005). Akses pada pasar difasilitasi dengan menurunnya biaya transportasi melalui pengembangan prasarana dan transportasi serta pengembangan pasar. Kebijakan ini juga ditunjang dengan kebijakan pengembangan pendidikan dan kesehatan.

    Semua paket kebijakan ini dikenal dengan Trilogi Pembangunan, yaitu Pertumbuhan, Stabilitas, dan Pemerataan. Kebijakan pembangunan ekonomi ini diimplementasikan melalui pengembangan berbagai program pembangunan yang diawali dengan fokus pada pembangunan pertanian dan pedesaan, pembangunan sektor industri, pengendalian tingkat inflasi rendah, harga bahan kebutuhan pokok rendah, pembangunan prasarana ekonomi secara masal, kebijakan ekonomi makro, dan pasar terbuka. Kelemahan masih dialami pada pengembangan good governance di pemerintahan dan dunia usaha, sehingga krisis ekonomi tahun 1998 merusak semua sendi perekonomian yang telah dibangun. Ini berarti kelemahan dalam membangun kelembagaan dan tata pemerintahan yang baik (good civil services governance) dan dunia usaha yang beretika bisnis yang baik (good private business governance).

    Memperhatikan berbagai kelemahan dalam politik pertanahan, maka MPR mengeluarkan Ketetapan No. IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Tantangan inilah yang dihadapi untuk meneruskan Trilogi Pembangunan dengan disertai pembangunan good governance, baik di pemerintahan maupun di di dunia usaha dan kehidupan masyarakat madani (civil society). Dalam konteks ini, tujuan tulisan ini adalah untuk membahas kebijakan pertanahan pada pembangunan pertanian dan pedesaan yang penting selama masa penjajahan Belanda sampai sekarang.

    Era Penjajahan BelandaBelanda memulai pembangunan pertanian berawal dari VOC untuk mendapatkan

    komoditas rempah-rempah yang diperlukan di pasar Belanda dan negara-negara Eropa lainnya. Pada era ini belum dilakukan pembudidayaan, hanya melakukan monopoli perdagangan ekspor. Kemudian dilanjutkan dengan Tanaman Paksa (cultuur stelsel) dengan kewajiban rakyat/petani Indonesia menanam komoditas rempah-rempah, karet, kopi, teh, dan tebu.

    Dengan adanya Revolusi Perancis dan Revolusi Industri di Eropa, maka kebijakan Tanaman Paksa dihentikan dan digantikan dengan penerbitan agrarische wet tahun

  • BELAJAR DARI KEBIJAKAN PENGELOLAAN LAHAN PERTANIAN

    214

    1870 tentang hak pengelolaan tanah yang memberikan kewenangan kepada perusahaan Belanda untuk mengembangkan perkebunan di Indonesia.

    Dalam pelaksanaannya, dikeluarkan pula berbagai hak atas tanah seperti hak erfpacht untuk perkebunan asing dan hak eigendom. Hak atas tanah seperti Hak Erfpacht untuk perkebunan besar ini diberikan untuk masa 25 tahun dan dapat diperpanjang selama 25 tahun. Dasar pertimbangannya adalah siklus 25 tahun peremajaan perkebunan.

    Agrarische wet telah berhasil mengembangan perusahaan perkebunan swasta Belanda dan Eropa di Indonesia untuk menyediakan bahan baku bagi keperluan industri di Belanda dan Eropa. Komoditas yang dikembangkan adalah karet, kopi, teh, dan tebu. Warisan ini masih tetap ada sampai saat ini, karena ekspor komoditas pertanian masih didominasi oleh bahan baku. Yang juga diwariskan adalah mind set bahwa hanya perkebunan besar yang efisien dan mampu menerapkan teknologi maju.

    Kebijakan agrarische wet ini menjadikan petani Indonesia menjadi buruh di tanahnya sendiri dan memunculkan dualisme ekonomi. Teori dualisme ekonomi ini terkenal dalam literatur ekonomi pembangunan yang, menurut tinjauan terakhir dari Stigliz (2006), masih relevan saat ini.

    Pemerintah Belanda juga memberikan hak erfpacht dan hak eigendom kepada perusahaan swasta yang umumnya milik warga keturunan Cina dengan lahan pertanian yang cukup luas terutama di Jawa. Umumnya mereka membangun pengolahan hasil seperti penggilingan padi dan menguasai jalur pemasaran.

    Era Kemerdekaan Sampai Akhir 1960-anSetelah 14 tahun dengan beberapa kali pergantian kabinet, maka pada tanggal 24

    September 1960 berhasil dikeluarkan kebijakan pertanahan Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UU PA/Undang-undang Pokok Agraria). UUPA ini sesuai dengan UUD 1945 Pasal 33 ayat 3 yang menyatakan bahwa lahan, air, dan ruang angkasa sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa mempunyai fungsi yang amat penting untuk membangun masyakat yang adil dan makmur. Dengan demikian maka lahan, air dan apa yang terkandung di dalamnya dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

    Kepastian hukum mengenai kepemilikan tanah dijamin namun dibatasi luasnya sesuai dengan UU No. 56 tahun 1960 yang menentukan batas minimum dan maksimum pemilikan lahan pertanian. Dalam undang-undang ini juga dijelaskan perlunya dibuat perencanaan tata-ruang dan tata-guna lahan. Hanya warga negara Indonesia yang boleh mempunyai hak milik atas tanah. Hak Guna Usaha (HGU) hanya dapat diberikan kepada warga negara Indonesia dan badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Badan hukum yang boleh mendapatkan HGU harus

  • BELAJAR DARI KEBIJAKAN PENGELOLAAN LAHAN PERTANIAN

    215

    memiliki modal nasional yang progresif, sedangkan warga negara asing dan usaha yang bermodal asing dapat diberikan sesuai dengan UU yang mengatur Pembangunan Nasional Semesta Berencana.

    Langkah awal yang dilakukan adalah dengan menasionalisasi semua perusahaan milik swasta dan pemerintah Belanda dan dijadikan perusahaan milik negara. Di bidang perkebunan, hasil nasionalisasi ini dibentuk dalam usaha, PT Perkebunan Negara, yang tersebar mulai dari Sumatera bagian utara sampai Sulawesi.

    Dengan UUPA 1960 ini juga dihilangkan dan diambil alih oleh pemerintah kepemilikan lahan pertanian skala luas melebihi batas maksimum oleh swasta dan warga negara asing dan penduduk non pribumi. Lahan ini selanjutnya dibagikan kepada petani penggarap.

    Menurut UU PA tahun 1960 hak Ulayat dan hak-hak yang serupa dari masyarakat-masyarakat hukum adat diakui keberadaannya, sepanjang menurut kenyataannya masih ada. Dengan demikian, hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara serta mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama dan fungsi sosial.

    Hak-hak atas tanah menurut UU PA 1960 terdiri atas: (a) Hak milik; (b) Hak guna-usaha; (c) Hak guna-bangunan; (d) Hak pakai; (e) Hak sewa; (f) Hak membuka tanah; dan (g) Hak memungut hasil hutan. HGU diberikan pada tanah yang luasnya paling sedikit 5 hektar dengan ketentuan bahwa jika luasnya 25 hektare atau lebih harus memakai investasi modal yang layak dan t