beda pendapat ditengah umat

9
BEDA PENDAPAT DI TENGAH UMAT Judul Asli: Al-Inshaf fi Asbabil Ikhtilaf Penulis: Syah Waliyullah Ad-Dahlawi Ikhtilaful Ummati Rohmatun, perbedaan ummatku adalah rahmat. Demikian sabda Nabi yang populer digunakan untuk menyikapi fenomena perbedaan umat. Secara implisit hadis ini mengindikasikan bahwa perbedaan adalah sunnatullah yang harus dikelola agar mendatangkan kemaslahatan. Imam Sufyan As-Syauri berpendapat bahwa kata “ikhtilafu” (perbedaan) dalam hadis nabi di atas diartikan dengan usaha memperluas pemahaman hukum Islam kepada umat. Namun, dalam realitasnya umat Islam selama ini belum mampu menangkap dan mengimplementasikan pesan agung itu. Bahkan ironisnya, hanya karena beda madzhab, organisasi, partai maupun kepentingan, antar sesama muslim saling mengkafirkan, mencaci bahkan tidak jarang saling membunuh. Bukan lagi rahmat, tapi laknat yang didapat. Saat kelompok di luar Islam mengembangkan diri dengan ilmu pengetahuan dan teknologi, umat Islam masih saja berkubang dalam kebodohan karena perpecahan. Selaras

Upload: putri-ulfha-raihan

Post on 27-Jan-2016

217 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

asdfghjk

TRANSCRIPT

Page 1: Beda Pendapat Ditengah Umat

BEDA PENDAPAT DI TENGAH UMAT

Judul Asli: Al-Inshaf fi Asbabil Ikhtilaf

Penulis: Syah Waliyullah Ad-Dahlawi

Ikhtilaful Ummati Rohmatun, perbedaan ummatku adalah rahmat. Demikian

sabda Nabi yang populer digunakan untuk menyikapi fenomena perbedaan umat.

Secara implisit hadis ini mengindikasikan bahwa perbedaan adalah sunnatullah yang

harus dikelola agar mendatangkan kemaslahatan. Imam Sufyan As-Syauri

berpendapat bahwa kata “ikhtilafu” (perbedaan) dalam hadis nabi di atas diartikan

dengan usaha memperluas pemahaman hukum Islam kepada umat.

Namun, dalam realitasnya umat Islam selama ini belum mampu menangkap

dan mengimplementasikan pesan agung itu. Bahkan ironisnya, hanya karena beda

madzhab, organisasi, partai maupun kepentingan, antar sesama muslim saling

mengkafirkan, mencaci bahkan tidak jarang saling membunuh. Bukan lagi rahmat,

tapi laknat yang didapat.

Saat kelompok di luar Islam mengembangkan diri dengan ilmu pengetahuan

dan teknologi, umat Islam masih saja berkubang dalam kebodohan karena perpecahan.

Selaras dengan hal tersebut, Suryadarma Ali berpendapat bahwa sikap jumud (beku)

dan tafarruq (pecah belah) adalah faktor pelemah kekuatan dan perusak keutuhan

umat Islam. Demikian ulas Menteri Agama RI dalam pengantar buku berjudul “Beda

Pendapat di Tengah Umat” karya KH A Aziz Masyhuri mantan ketua RMI Pusat (hal.

xviii).

Pendapat tersebut cukup beralasan, sebab kejumudan dan perpecahan tidak

memberikan ruang kepada umat untuk memberdayakan diri dalam ilmu pengetahuan.

Page 2: Beda Pendapat Ditengah Umat

Kreatifitas terpasung, taqlid hanya kepada pemimpin atau ulama kelompoknya,

namun menegasikan ide-ide besar kelompok lain.

Buku di atas berjudul asli “Al-Inshaf Fi Asbabil Ikhtilaf” karangan ulama

pembaharu India, yakni Syeikh Waliyullah Ad-Dahlawi (1114-1176 M.) Dalam buku

tersebut diungkap sebab-sebab awal terjadinya perbedaan di kalangan umat Islam,

mulai masa sahabat hingga abad keempat Hijriah. Karya besar Ad-Dahlawi ini

terinspirasi oleh fenomena perselisihan antar sesama umat Islam yang tiada kunjung

usai, pertengkaran yang pada akhirnya melemahkan potensi internal umat Islam.

Disinyalir perselisihan itu hanya dilatarbelakangi perbedaan interpretasi al-Qur’an dan

al-Hadis, ditambah kefanatikan serta ketidakcerdasan umat Islam menyikapi

perbedaan.

Sejarah Beda Pendapat dalam Islam

Pasca Rasulullah wafat, tiada lagi otoritas tunggal yang mampu menjawab

segala permasalahan umat yang berkaitan dengan syari’at Islam. Meskipun para

sahabat Nabi adalah manusia-manusia pilihan dan memahami tujuan pensyariatan,

namun tingkat kemampuan para sahabat menangkap pesan al-Qur’an dan sabda Nabi

beragam. Selain itu, tidak semua para sahabat mengetahui segala yang disabdakan

Nabi. Faktor semakin luasnya wilayah Islam juga memunculkan problem sosial baru

yang tidak ditemui saat Rasulullah masih hidup, padahal semua itu membutuhkan

jawaban berdasar syari’at Islam.

Jika jawaban atas permasalahan umat pada masa sahabat itu terdapat dalam al-

Qur’an maupun sabda Nabi, tidaklah menjadikan problem. Namun, bila tidak

ditemukan jawaban secara eksplisit dalam kedua sumber syariat tersebut, atau terdapat

dalam beberapa hadis namun penjelasannya saling bertentangan, ataupun ayat al-

Qur’an yang satu dengan yang lain saling bertentangan menyikapi permasalahan

Page 3: Beda Pendapat Ditengah Umat

tersebut, di sinilah potensi perbedaan pendapat muncul. Semisal perbedaan penalaran

hadis Rasulullah yang berbunyi: “Inna ahlaha yabkuna ‘alaiha waiyyaha tu’adzabu fi

qabriha” (keluarga menangisinya, padahal ia sedang disiksa dalam kuburnya) (hal.14).

Berkaitan dengan hadis itu Ibnu Umar berpendapat bahwa siksaan atas mayit

dikarenakan tangisan keluarganya. Hal itu dibantah oleh Siti Aisyah; dia berpendapat

bahwa Nabi bersabda demikian tatkala melewati kuburan orang Yahudi yang sedang

diratapi oleh keluarganya. Menurut Istri Nabi Saw tersebut, siksaan itu bukan karena

faktor tangisan dari keluarga mayit, namun karena kekafiran si mayit itu. Jika Ibnu

Mas’ud memandang keumuman lafadznya (al-ibrah biumumil lafdzi), sehingga

memunculkan pemahaman bahwa setiap ratapan atau tangisan keluarga menyebabkan

disiksanya seorang mayit. Maka Aisyah melihat dari kekhususan redaksinya (al-ibrah

bikhususis sabab), yakni sabda nabi hanya berlaku pada kasus si mayit Yahudi itu,

dan tidak ada kaitan dengan ratapan keluarga si mayit. Meskipun kedua sahabat

tersebut berbeda pendapat namun tidak menimbulkan saling klaim paling benar

sendiri dan perselisihan.

Jika di masa sahabat yang nota bene sempat menyaksikan proses pewahyuan

dan berinteraksi langsung terhadap Rasulullah telah terjadi perbedaan penafsiran

sumber syariat, maka wajar jika generasi selanjutnya juga demikian, bahkan semakin

lebar tingkat perbedaannya. Kurun pasca sahabat, pendapat sahabat Nabi yang

beragam itupun dijadikan pegangan hukum oleh para ulama mujtahid di masa tabi’in

dan setelahnya. Kemudian para mujtahid berusaha menciptakan metode-metode yang

dijadikan acuan untuk memahami sumber syariat.

Di sisi lain setiap mujtahid memiliki pendukung yang berusaha

mempertahankan konsep-konsep serta berusaha mengkodifikasikan dan

mengembangkan pola pemikiran mujtahidnya. Hal demikian meniscayakan

munculnya saling beda pendapat dan perdebatan antar pengikut mujtahid, sehingga

Page 4: Beda Pendapat Ditengah Umat

tradisi debat dan dialog marak menghiasi forum-forum kajian dan majelis-majelis

ilmu. Perbedaan di masa itu menciptakan dialektika keilmuan Islam semakin

berkembang.

Manfaat dan Bahaya Taqlid

Jika di masa tabi’in dan para imam mujtahid dialektika keilmuan Islam menjadi

spirit, berbeda dengan yang terjadi dalam kurun setelahnya. Pada masa ini tradisi

keilmuan Islam menurun jika tidak dikatakan stagnan. Para ulama lebih memilih

mentakhrij (seleksi) pendapat imam mujtahid yang layak dan tidak layak diikuti.

Budaya ijtihad dan ekplorasi dalil al-Qur’an dan al-Hadis tidak lagi menjadi prioritas

ulama dalam dekade ini. Akibatnya dinamika keilmuan Islam tidak berkembang dan

taqlid kepada imam mujtahid sebagai alternatif dan harga mati. Kefanatikan

merambah hampir seluruh dunia Islam, bibit perselisihan antar madzhab mulai

tumbuh. Truth claim, saling counter pendapat seakan melengkapi kemunduran Islam

dalam abad-abad ini. Hingga saat inipun budaya taqlid masih dipegang erat oleh

sebagian umat Islam.

Polemik ijtihad dan taqlid tidak pernah sepi dalam perdebatan antar

cendikiawan Islam. Salah satu ulama yang menentang taqlid adalah Ibnu Hazm, dia

mengatakan “Allah melarang seseorang merujuk ucapan seseorang selain al-Qur’an

dan as-Sunnah ketika berselisih pendapat. Demikian itu haram”. Menanggapi

statemen tersebut, ad-Dahlawi berargumen bahwa pendapat Ibn Hazm itu ditujukan

kepada orang yang telah mampu berijtihad, meskipun hanya dalam satu masalah. Atau

lebih tepat ditujukan kepada orang bodoh yang bertaqlid kepada pakar fikih tertentu,

dengan keyakinan bahwa pakar fikih itu tidak mungkin salah. Apa yang diucapkannya

pasti benar, serta tidak akan meninggalkan pendapat si fakih meskipun ada dalil kuat

yang jelas-jelas bertentangan (hal 106-108). Bagi Ad-Dahlawi,taqlid adalah sebuah

Page 5: Beda Pendapat Ditengah Umat

solusi alternatif bagi umat Islam yang tidak mampu mencari dalil langsung dalam al-

Qur’an dan al-Hadis.

Taqlid juga berlaku bagi seseorang yang tidak mengetahui Hadis dan tidak tahu

cara mengkompromikan Hadis-hadis yang bertentangan atau tidak mengetahui cara

menggali hukum dari Hadis tersebut. Maka tidak ada cara lain kecuali harus taqlid

kepada pakar yang tepat dan benar ucapan serta fatwanya mengikuti Sunnah

Rasulullah (109). Taqlid adalah media penyelamat dari kesembronoan dan

pendangkalan syariat bagi umat yang awam dan tidak mampu menggali hukum

langsung dari sumber syariat.

Meskipun taqlid adalah sebuah keharusan bagi umat yang masih awam, namun

tidak kalah pentingnya tradisi ijtihad para ulama besar di masa-masa awal Islam harus

terus digalakkan. Sebab hanya dengan ijtihad ilmu pengetahuan Islam akan terus

berkembang, selain akan mampu menjawab problematika umat yang terus

berkembang, Islam juga akan mewarnai gelanggang ilmu pengetahuan dunia yang

telah lama diambil alih dunia Barat. Ijtihad adalah sebuah keniscayaan ditengah-

tengah kejumudan dan keterbelakangan umat Islam, namun dibutuhkan keberanian

dan keuletan umat dalam mendalami ajarannya.

Dalam ijtihad dibutuhkan penguasaan disiplin ilmu yang tidak sedikit, seperti

menguasai ilmu tafsir, hadis, musthalah hadis, ilmu balaghah, mantiq, sejarah, bahasa

dan lain sebagainya. Hal tersebut bukanlah pekerjaan sederhana yang bisa dilakukan

oleh sembarang orang. Ijtihad tidak cukup bermodal terjemah al-Qur’an dan al-Hadis

saja, sebagaimana yang akhir-akhir ini digembar- gemborkan oleh sekelompok umat

yang selalu meneriakkan ijtihad dan kembali kepada al-Qur’an dan al-Hadis, namun

mereka minim ilmu dan tidak menguasai persyaratan ijtihad. Hal ini tidak saja konyol

namun juga sangat berbahaya bagi keberlangsungan syariat Islam.

Page 6: Beda Pendapat Ditengah Umat

Buku ini mengajak pembaca mengetahui sejarah dan akar perbedaan pendapat

yang terjadi di dunia Islam pasca Rasulullah saw. Dengan harapan umat Islam mampu

mendudukkan perbedaan secara proporsional, sehingga tidak menyebabkan

kefanatikan dan perpecahan yang akan menciptakan kemunduran Islam. Selain itu,

Ad-Dahlawi mengajak umat Islam agar bangkit dari kubangan fanatik buta dan

berusaha menghidupkan tradisi ijtihad. Buku ini penting dibaca oleh seluruh lapisan

umat, dengan harapan dapat tercerahkan jiwa dan pikirannya.Sehingga para pembaca

menyadari bagaimana mereka menyikapi perbedaan selama ini dan sebatas mana

usaha yang dilakukan untuk mengembangkan ajaran Islam.