beda pendapat ditengah umat
DESCRIPTION
asdfghjkTRANSCRIPT
![Page 1: Beda Pendapat Ditengah Umat](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082506/5695cf5f1a28ab9b028dcd20/html5/thumbnails/1.jpg)
BEDA PENDAPAT DI TENGAH UMAT
Judul Asli: Al-Inshaf fi Asbabil Ikhtilaf
Penulis: Syah Waliyullah Ad-Dahlawi
Ikhtilaful Ummati Rohmatun, perbedaan ummatku adalah rahmat. Demikian
sabda Nabi yang populer digunakan untuk menyikapi fenomena perbedaan umat.
Secara implisit hadis ini mengindikasikan bahwa perbedaan adalah sunnatullah yang
harus dikelola agar mendatangkan kemaslahatan. Imam Sufyan As-Syauri
berpendapat bahwa kata “ikhtilafu” (perbedaan) dalam hadis nabi di atas diartikan
dengan usaha memperluas pemahaman hukum Islam kepada umat.
Namun, dalam realitasnya umat Islam selama ini belum mampu menangkap
dan mengimplementasikan pesan agung itu. Bahkan ironisnya, hanya karena beda
madzhab, organisasi, partai maupun kepentingan, antar sesama muslim saling
mengkafirkan, mencaci bahkan tidak jarang saling membunuh. Bukan lagi rahmat,
tapi laknat yang didapat.
Saat kelompok di luar Islam mengembangkan diri dengan ilmu pengetahuan
dan teknologi, umat Islam masih saja berkubang dalam kebodohan karena perpecahan.
Selaras dengan hal tersebut, Suryadarma Ali berpendapat bahwa sikap jumud (beku)
dan tafarruq (pecah belah) adalah faktor pelemah kekuatan dan perusak keutuhan
umat Islam. Demikian ulas Menteri Agama RI dalam pengantar buku berjudul “Beda
Pendapat di Tengah Umat” karya KH A Aziz Masyhuri mantan ketua RMI Pusat (hal.
xviii).
Pendapat tersebut cukup beralasan, sebab kejumudan dan perpecahan tidak
memberikan ruang kepada umat untuk memberdayakan diri dalam ilmu pengetahuan.
![Page 2: Beda Pendapat Ditengah Umat](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082506/5695cf5f1a28ab9b028dcd20/html5/thumbnails/2.jpg)
Kreatifitas terpasung, taqlid hanya kepada pemimpin atau ulama kelompoknya,
namun menegasikan ide-ide besar kelompok lain.
Buku di atas berjudul asli “Al-Inshaf Fi Asbabil Ikhtilaf” karangan ulama
pembaharu India, yakni Syeikh Waliyullah Ad-Dahlawi (1114-1176 M.) Dalam buku
tersebut diungkap sebab-sebab awal terjadinya perbedaan di kalangan umat Islam,
mulai masa sahabat hingga abad keempat Hijriah. Karya besar Ad-Dahlawi ini
terinspirasi oleh fenomena perselisihan antar sesama umat Islam yang tiada kunjung
usai, pertengkaran yang pada akhirnya melemahkan potensi internal umat Islam.
Disinyalir perselisihan itu hanya dilatarbelakangi perbedaan interpretasi al-Qur’an dan
al-Hadis, ditambah kefanatikan serta ketidakcerdasan umat Islam menyikapi
perbedaan.
Sejarah Beda Pendapat dalam Islam
Pasca Rasulullah wafat, tiada lagi otoritas tunggal yang mampu menjawab
segala permasalahan umat yang berkaitan dengan syari’at Islam. Meskipun para
sahabat Nabi adalah manusia-manusia pilihan dan memahami tujuan pensyariatan,
namun tingkat kemampuan para sahabat menangkap pesan al-Qur’an dan sabda Nabi
beragam. Selain itu, tidak semua para sahabat mengetahui segala yang disabdakan
Nabi. Faktor semakin luasnya wilayah Islam juga memunculkan problem sosial baru
yang tidak ditemui saat Rasulullah masih hidup, padahal semua itu membutuhkan
jawaban berdasar syari’at Islam.
Jika jawaban atas permasalahan umat pada masa sahabat itu terdapat dalam al-
Qur’an maupun sabda Nabi, tidaklah menjadikan problem. Namun, bila tidak
ditemukan jawaban secara eksplisit dalam kedua sumber syariat tersebut, atau terdapat
dalam beberapa hadis namun penjelasannya saling bertentangan, ataupun ayat al-
Qur’an yang satu dengan yang lain saling bertentangan menyikapi permasalahan
![Page 3: Beda Pendapat Ditengah Umat](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082506/5695cf5f1a28ab9b028dcd20/html5/thumbnails/3.jpg)
tersebut, di sinilah potensi perbedaan pendapat muncul. Semisal perbedaan penalaran
hadis Rasulullah yang berbunyi: “Inna ahlaha yabkuna ‘alaiha waiyyaha tu’adzabu fi
qabriha” (keluarga menangisinya, padahal ia sedang disiksa dalam kuburnya) (hal.14).
Berkaitan dengan hadis itu Ibnu Umar berpendapat bahwa siksaan atas mayit
dikarenakan tangisan keluarganya. Hal itu dibantah oleh Siti Aisyah; dia berpendapat
bahwa Nabi bersabda demikian tatkala melewati kuburan orang Yahudi yang sedang
diratapi oleh keluarganya. Menurut Istri Nabi Saw tersebut, siksaan itu bukan karena
faktor tangisan dari keluarga mayit, namun karena kekafiran si mayit itu. Jika Ibnu
Mas’ud memandang keumuman lafadznya (al-ibrah biumumil lafdzi), sehingga
memunculkan pemahaman bahwa setiap ratapan atau tangisan keluarga menyebabkan
disiksanya seorang mayit. Maka Aisyah melihat dari kekhususan redaksinya (al-ibrah
bikhususis sabab), yakni sabda nabi hanya berlaku pada kasus si mayit Yahudi itu,
dan tidak ada kaitan dengan ratapan keluarga si mayit. Meskipun kedua sahabat
tersebut berbeda pendapat namun tidak menimbulkan saling klaim paling benar
sendiri dan perselisihan.
Jika di masa sahabat yang nota bene sempat menyaksikan proses pewahyuan
dan berinteraksi langsung terhadap Rasulullah telah terjadi perbedaan penafsiran
sumber syariat, maka wajar jika generasi selanjutnya juga demikian, bahkan semakin
lebar tingkat perbedaannya. Kurun pasca sahabat, pendapat sahabat Nabi yang
beragam itupun dijadikan pegangan hukum oleh para ulama mujtahid di masa tabi’in
dan setelahnya. Kemudian para mujtahid berusaha menciptakan metode-metode yang
dijadikan acuan untuk memahami sumber syariat.
Di sisi lain setiap mujtahid memiliki pendukung yang berusaha
mempertahankan konsep-konsep serta berusaha mengkodifikasikan dan
mengembangkan pola pemikiran mujtahidnya. Hal demikian meniscayakan
munculnya saling beda pendapat dan perdebatan antar pengikut mujtahid, sehingga
![Page 4: Beda Pendapat Ditengah Umat](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082506/5695cf5f1a28ab9b028dcd20/html5/thumbnails/4.jpg)
tradisi debat dan dialog marak menghiasi forum-forum kajian dan majelis-majelis
ilmu. Perbedaan di masa itu menciptakan dialektika keilmuan Islam semakin
berkembang.
Manfaat dan Bahaya Taqlid
Jika di masa tabi’in dan para imam mujtahid dialektika keilmuan Islam menjadi
spirit, berbeda dengan yang terjadi dalam kurun setelahnya. Pada masa ini tradisi
keilmuan Islam menurun jika tidak dikatakan stagnan. Para ulama lebih memilih
mentakhrij (seleksi) pendapat imam mujtahid yang layak dan tidak layak diikuti.
Budaya ijtihad dan ekplorasi dalil al-Qur’an dan al-Hadis tidak lagi menjadi prioritas
ulama dalam dekade ini. Akibatnya dinamika keilmuan Islam tidak berkembang dan
taqlid kepada imam mujtahid sebagai alternatif dan harga mati. Kefanatikan
merambah hampir seluruh dunia Islam, bibit perselisihan antar madzhab mulai
tumbuh. Truth claim, saling counter pendapat seakan melengkapi kemunduran Islam
dalam abad-abad ini. Hingga saat inipun budaya taqlid masih dipegang erat oleh
sebagian umat Islam.
Polemik ijtihad dan taqlid tidak pernah sepi dalam perdebatan antar
cendikiawan Islam. Salah satu ulama yang menentang taqlid adalah Ibnu Hazm, dia
mengatakan “Allah melarang seseorang merujuk ucapan seseorang selain al-Qur’an
dan as-Sunnah ketika berselisih pendapat. Demikian itu haram”. Menanggapi
statemen tersebut, ad-Dahlawi berargumen bahwa pendapat Ibn Hazm itu ditujukan
kepada orang yang telah mampu berijtihad, meskipun hanya dalam satu masalah. Atau
lebih tepat ditujukan kepada orang bodoh yang bertaqlid kepada pakar fikih tertentu,
dengan keyakinan bahwa pakar fikih itu tidak mungkin salah. Apa yang diucapkannya
pasti benar, serta tidak akan meninggalkan pendapat si fakih meskipun ada dalil kuat
yang jelas-jelas bertentangan (hal 106-108). Bagi Ad-Dahlawi,taqlid adalah sebuah
![Page 5: Beda Pendapat Ditengah Umat](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082506/5695cf5f1a28ab9b028dcd20/html5/thumbnails/5.jpg)
solusi alternatif bagi umat Islam yang tidak mampu mencari dalil langsung dalam al-
Qur’an dan al-Hadis.
Taqlid juga berlaku bagi seseorang yang tidak mengetahui Hadis dan tidak tahu
cara mengkompromikan Hadis-hadis yang bertentangan atau tidak mengetahui cara
menggali hukum dari Hadis tersebut. Maka tidak ada cara lain kecuali harus taqlid
kepada pakar yang tepat dan benar ucapan serta fatwanya mengikuti Sunnah
Rasulullah (109). Taqlid adalah media penyelamat dari kesembronoan dan
pendangkalan syariat bagi umat yang awam dan tidak mampu menggali hukum
langsung dari sumber syariat.
Meskipun taqlid adalah sebuah keharusan bagi umat yang masih awam, namun
tidak kalah pentingnya tradisi ijtihad para ulama besar di masa-masa awal Islam harus
terus digalakkan. Sebab hanya dengan ijtihad ilmu pengetahuan Islam akan terus
berkembang, selain akan mampu menjawab problematika umat yang terus
berkembang, Islam juga akan mewarnai gelanggang ilmu pengetahuan dunia yang
telah lama diambil alih dunia Barat. Ijtihad adalah sebuah keniscayaan ditengah-
tengah kejumudan dan keterbelakangan umat Islam, namun dibutuhkan keberanian
dan keuletan umat dalam mendalami ajarannya.
Dalam ijtihad dibutuhkan penguasaan disiplin ilmu yang tidak sedikit, seperti
menguasai ilmu tafsir, hadis, musthalah hadis, ilmu balaghah, mantiq, sejarah, bahasa
dan lain sebagainya. Hal tersebut bukanlah pekerjaan sederhana yang bisa dilakukan
oleh sembarang orang. Ijtihad tidak cukup bermodal terjemah al-Qur’an dan al-Hadis
saja, sebagaimana yang akhir-akhir ini digembar- gemborkan oleh sekelompok umat
yang selalu meneriakkan ijtihad dan kembali kepada al-Qur’an dan al-Hadis, namun
mereka minim ilmu dan tidak menguasai persyaratan ijtihad. Hal ini tidak saja konyol
namun juga sangat berbahaya bagi keberlangsungan syariat Islam.
![Page 6: Beda Pendapat Ditengah Umat](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082506/5695cf5f1a28ab9b028dcd20/html5/thumbnails/6.jpg)
Buku ini mengajak pembaca mengetahui sejarah dan akar perbedaan pendapat
yang terjadi di dunia Islam pasca Rasulullah saw. Dengan harapan umat Islam mampu
mendudukkan perbedaan secara proporsional, sehingga tidak menyebabkan
kefanatikan dan perpecahan yang akan menciptakan kemunduran Islam. Selain itu,
Ad-Dahlawi mengajak umat Islam agar bangkit dari kubangan fanatik buta dan
berusaha menghidupkan tradisi ijtihad. Buku ini penting dibaca oleh seluruh lapisan
umat, dengan harapan dapat tercerahkan jiwa dan pikirannya.Sehingga para pembaca
menyadari bagaimana mereka menyikapi perbedaan selama ini dan sebatas mana
usaha yang dilakukan untuk mengembangkan ajaran Islam.