batu kandung empedu riana.docx
TRANSCRIPT
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, karena limpahan
rahmat dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan Makalah ini dengan tepat waktu
yang mengenai “ASUHAN KEPERAWATAN BATU KANDUNG EMPEDU“
Dalam menyelesaikan Makalah ini tak lupa kami ucapkan terima kasih banyak
kepada dosen-dosen pembimbing yang telah membimbing kami dalam
menyelesaikan Makalah ini.
Kami menyadari bahwa Makalah ini masih jauh dari kesempurnaan dan juga
masih banyak kekurangannya. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun
dari para pembaca sangat kami harapkan. Mudah-mudahan makalah ini dapat
memberikan manfaat bagi kita semua, dan untuk itu kami mengucapkan banyak
terima kasih.
Mataram, 10 Oktober 2015
Penulis
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Insiden kolelitiasis atau batu kandung empedu di Amerika Serikat
diperkirakan 20 juta orang yaitu 5 juta pria dan 15 juta wanita. Pada pemeriksaan
autopsy di Amerika, batu kandung empedu ditemukan pada 20 % wanita dan 8 %
pria. Insiden batu kandung empedu di Indonesia belum diketahui dengan pasti,
karena belum ada penelitian. Banyak penderita batu kandung empedu tanpa
gejala dan ditemukan secara kebetulan pada waktu dilakukan foto polos
abdomen, USG, atau saat operasi untuk tujuan yang lain. Dengan perkembangan
peralatan dan teknik diagnosis yang baru USG, maka banyak penderita batu
kandung empedu yang ditemukan secara dini sehingga dapat dicegah
kemungkinan terjadinya komplikasi. Semakin canggihnya peralatan dan semakin
kurang invasifnya tindakan pengobatan sangat mengurangi morbiditas dan
moralitas. Batu kandung empedu biasanya baru menimbulkan gejala dan keluhan
bila batu menyumbat duktus sistikus atau duktus koledokus. Oleh karena itu
gambaran klinis penderita batu kandung empedu bervariasi dari yang berat atau
jelas sampai yang ringan atau samar bahkan seringkali tanpa gejala (silent stone).
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui dan memahami lebih dalam lagi yang dimaksud dengan
asuhan keperawatan kolelitiasis.
2. Tujuan Khusus
Untuk mengetahui dan memahami defenisi, etiologi, anatomi fisiologi,
manifestasi klinik, patofisiologi, penatalaksanaan, komplikasi dan asuhan
keperawatan batu empedu
Meningkatkan kemampuan dalam penulisan asuhan keperawatan.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi Kolelitiasis
Kolelitiasis (Batu Empedu) merupakan endapan satu atau lebih komponen
empedu seperti kolesterol, bilirubin, garam empedu, kalsium, protein, asam
lemak, dan fosfolipid. (Price, 2005, hlm 502).
Kolelitiasis adalah batu yang terdapat di saluran empedu utama atau di
duktus koledokus (koledokolitiasis), di saluran sistikus (sistikokolitiasis) jarang
sekali di temukan dan biasanya bersamaan dengan batu di dalam kandung
empedu, dan di saluran empedu intrahepatal atau hepatolitiasis. (Hadi Sujono,
2002 hlm 778).
Batu empedu pada umumnya di temukan di dalam kandung empedu,
tetapi batu tersebut dapat bermigrasi melalui duktus sistikus ke dalam saluran
empedu menjadi batu saluran empedu dan di sebut sebagai batu saluran empedu
sekunder. (Sudoyo, dkk., 2006, hlm 479 ).
Kolelitiasis merupakan batu saluran empedu, kebanyakan terbentuk di
dalam kandung empedu itu sendiri. Unsur pokok utamanya adalah kolesterol dan
pigmen, dan sering mengandung campuran komponen empedu. Manifestasi batu
empedu timbul bila batu bermigrasi dan menyumbat duktus koledukus. (Ester,
2001, hlm 211).
Batu empedu adalah batu yang berbentuk lingkaran dan oval yang di
temukan pada saluran empedu. Batu empedu ini mengandung kolesterol, kalsium
bikarbonat, kalsium bilirubinat atau gabungan dari elemen-elemen tersebut.
(Grace, Pierce. dkk, 2006, hlm 121).
B. Etiologi
Menurut Mansjoer (2006) terdapat beberapa faktor yang menyebabkan
Kolelitiasis yaitu: diantara jenis kelamin, umur, berat badan, makanan, faktor
genetik, aktifitas fisik dan infeksi. Berikut ini akan dijelaskan tentang faktor-
faktor penyebab Kolelitiasis, antara lain:
1. Jenis Kelamin
Wanita mempunyai resiko 3 kali lipat untuk terkena Kolelitiasis
dibandingkan dengan pria, ini dikarenakan oleh hormon Estrogen
2
berpengaruh terhadap peningkatan ekskresi kolestrol oleh kandung empedu,
penggunaan pil kontrasepsi dan terapi hormon (Estrogen) dapat
meningkatkan kolestrol dalam kandung empedu dan penurunan aktifitas
pengosongan kandung empedu.
2. Umur
Resiko untuk terkena Kolelitiasis meningkat sejalan dengan bertambahnya
usia. Orang dengan usia > 60 tahun lebih cenderung untuk terkena
Kolelitiasis dibandingkan dengan orang yang usia lebih muda.
3. Berat Badan
Orang dengan berat badan tinggi mempunyai resiko lebih tinggi untuk terjadi
Kolelitiasis, ini dikarenakan dengan tingginya Body Mass Index (BMI) maka
kadar kolestrol dalam kandung empedu pun tinggi, dan juga mengurangi
garam empedu serta mengurangi kontraksi atau pengosongan kandung
empedu.
4. Makanan
Intake rendah klorida, kehilangan berat badan yang cepat mengakibatkan
gangguan terhadap unsur kimia dari empedu dan dapat menyebabkan
penurunan kontraksi kandung empedu
5. Faktor Genetik
Orang dengan riwayat keluarga Kolelitiasis mempunyai resiko lebih besar
dibandingkan dengan tanpa riwayat keluarga
6. Aktifitas Fisik
Kekurangan aktifitas fisik berhubungan dengan peningkatan resiko terjadinya
Kolelitiasis, ini mungkin disebabkan oleh kandung empedu lebih sedikit
berkontraksi
7. Infeksi
Bakteri dalam saluran empedu dapat berperan dalam pembentukan batu,
mucus meningkatkan viskositas empedu dan unsur sel atau bakteri dapat
berperan sebagai pusat presipitasi
Menurut Mansjoer Arif (2001, hlm. 510) ”Beberapa faktor resiko
terjadinya batu empedu antara lain jenis kelamin, umur, hormon wanita, infeksi
(kolesistitis), kegemukan, paritas, serta faktor genetik. Terjadinya batu kolesterol
adalah akibat gangguan hati yang mengekskresikan kolesterol berlebihan hingga
kadarnya di atas nilai kritis kelarutan kolesterol dalam empedu”.
3
Menurut Price, (2005, hlm. 502) “Penyebab batu empedu masih belum di
ketahui sepenuhnya, akan tetapi tampaknya faktor predisposisi terpenting adalah
gangguan metabolisme yang menyebabkan terjadinya perubahan komposisi
empedu, statis empedu, dan infeksi kandung empedu”.
Perubahan komposisi empedu kemungkinan merupakan faktor terpenting
dalam pembentukan batu empedu. Statis empedu dalam kandung empedu dapat
mengakibatkan supersaturasi progresif, perubahan komposisi kimia, dan
pengendapan unsur tersebut. Gangguan kontraksi kandung empedu, atau spasme
sfingter Oddi, atau keduanya dapat menyebabkan terjadinya statis. Faktor
hormonal (terutama selama kehamilan) dapat di kaitkan dengan perlambatan
pengosongan kandung empedu dan menyebabkan tingginya insidensi dalam
kelompok ini.
Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat berperan dalam pembentukan
batu. Mukus meningkatkan viskositas empedu, dan unsur sel atau bakteri dapat
berperan sebagai pusat presipitasi. Akan tetapi, infeksi mungkin lebih sering
timbul sebagai akibat dari terbentuknya batu empedu, di bandingkan sebagai
penyebab terbentuknya batu empedu.
C. Anatomi Fisiologi
1. Anatomi Empedu
Kandung empedu adalah kantong berbentuk buah pear yang terletak pada
permukaan visceral hepar. Kantung empedu dibagi menjadi fundus, corpus
dan collum. Fundus berbentuk bulat dan biasanya menonjol dibawah pinggir
inferior hepar, dimana fundus berhubungan dengan dinding anterior abdomen
setinggi ujung rawan costa IX kanan. Corpus bersentuhan dengan permukaan
visceral hati dan arahnya ke atas, belakang dan kiri. Collum dilanjutkan
sebagai duktus cysticus yang berjalan dalam omentum minus untuk bersatu
dengan sisi kanan ductus hepaticus comunis membentuk duktus koledokus.
Peritoneum mengelilingi kandung empedu dengan sempurna menghubungkan
corpus dan collum dengan permukaan visceral hati.
2. Fisiologi Empedu
Kandung empedu berperan sebagai resevoir empedu dengan kapasitas
sekitar 50 ml. Kandung empedu mempunyai kemampuan memekatkan
empedu. Untuk membantu proses ini, mukosanya mempunyai lipatan –
4
lipatan permanen yang satu sama lain saling berhubungan. Sehingga
permukaanya tampak seperti sarang tawon. Sel - sel thorak yang
membatasinya juga mempunyai banyak mikrovilli.
Empedu dibentuk oleh sel-sel hati ditampung di dalam kanalikuli.
Kemudian disalurkan ke duktus biliaris terminalis yang terletak di dalam
septum interlobaris. Saluran ini kemudian keluar dari hati sebagai duktus
hepatikus kanan dan kiri. Kemudian keduanya membentuk duktus biliaris
komunis. Pada saluran ini sebelum mencapai doudenum terdapat cabang ke
kandung empedu yaitu duktus sistikus yang berfungsi sebagai tempat
penyimpanan empedu sebelum disalurkan ke duodenum.
D. Manifestasi Klinik
1. Rasa nyeri dan kolik bilier
Jika duktus sistikus tersumbat oleh batu empedu, kandung empedu akan
mengalami distensi dan akhirnya infeksi. Pasien akan menderita panas dan
mungkin teraba massa padat pada abdomen. Pasien dapat mengalami kolik
bilier disertai nyeri hebat pada abdomen kuadaran kanan atas yang menjalar
ke punggung atau bahu kanan; rasa nyeri ini biasanya disertai mual dan
muntah dan bertambah hebat dalam makan makanan dalam porsi besar. Pada
sebagian pasien rasa nyeri bukan bersifat kolik melainkan persisten. Serangan
kolik bilier semacam ini disebabkan kontraksi kandung empedu yang tidak
dapat mengalirkan empedu keluar akibat tersumbatnya saluran oleh batu.
Dalam keadaan distensi, bagian fundus kandung empedu akan menyentuh
dinding abdomen pada daerah kartilago kosta 9 dan 10 kanan. Sentuhan ini
menimbulkan nyeri tekan yang mencolok pada kuadran kanan atas ketika
pasien melakukan inspirasi dalam dan menghambat pengembangan rongga
dada.
2. Ikterus
Obstruksi pengaliran getah empedu ke dalam dudodenum akan
menimbulkan gejala yang khas, yaitu: gatah empedu yang tidak lagi dibawa
kedalam duodenum akan diserap oleh darah dan penyerapan empedu ini
membuat kulit dan menbran mukosa berwarna kuning. Keadaan ini sering
disertai dengan gejal gatal-gatal pada kulit.
5
3. Perubahan warna urine dan feses.
Ekskresi pigmen empedu oleh ginjal akan membuat urine berwarna
sangat gelap. Feses yang tidak lagi diwarnai oleh pigmen empedu aka tampak
kelabu, dan biasanya pekat yang disebut “Clay-colored ”.
4. Defisiensi vitamin
Obstruksi aliran empedu juga akan mengganggu absorbsi vitamin
A,D,E,K yang larut lemak. Karena itu pasien dapat memperlihatkan gejala
defisiensi vitamin-vitamin ini jika obstruksi bilier berlangsung lama.
Defisiensi vitamin K dapat mengganggu pembekuan darah yang normal.
(Smeltzer, 2002)
5. Regurgitasi gas: flatus dan sendawa
Kolelitiasis dapat terjadi dengan atau tanpa faktor resiko dibawah ini.
Namun, semakin banyak faktor resiko yang dimiliki seseorang, semakin besar
kemungkinan untuk terjadinya kolelitiasis. Faktor resiko tersebut antara lain:
8. Jenis kelamin
Wanita mempunyai resiko 3 kali lipat untuk terkena kolelitiasis dibandingkan
dengan pria. Ini dikarenakan oleh hormon esterogen berpengaruh terhadap
peningkatan eskresi kolesterol oleh kandung empedu. Kehamilan, yang
menigkatkan kadar esterogen juga meningkatkan resiko terkena kolelitiasis.
Penggunaan pil kontrasepsi dan terapi hormon (esterogen) dapat
meningkatkan kolesterol dalam kandung empedu dan penurunan aktivitas
pengosongan kandung empedu.
9. Usia
Resiko untuk terkena kolelitiasis meningkat sejalan dengan bertambahnya
usia. Orang dengan usia > 60 tahun lebih cenderung untuk terkena
kolelitiasis dibandingkan dengan orang degan usia yang lebih muda.
10. Berat Badan (BMI)
Orang dengan Body Mass Index (BMI) tinggi, mempunyai resiko lebih tinggi
untuk terjadi kolelitiasis. Ini karenakan dengan tingginya BMI maka kadar
kolesterol dalam kandung empedu pun tinggi, dan juga mengurasi garam
empedu serta mengurangi kontraksi/ pengosongan kandung empedu.
6
11. Makanan
Intake rendah klorida, kehilangan berat badan yang cepat (seperti setelah
operasi gatrointestinal) mengakibatkan gangguan terhadap unsur kimia dari
empedu dan dapat menyebabkan penurunan kontraksi kandung empedu.
12. Riwayat Keluarga
Orang dengan riwayat keluarga kolelitiasis mempunyai resiko lebih besar
dibandingn dengan tanpa riwayat keluarga.
13. Aktifitas Fisik
Kurangnya aktifitas fisik berhungan dengan peningkatan resiko terjadinya
kolelitiasis. Ini mungkin disebabkan oleh kandung empedu lebih sedikit
berkontraksi.
14. Penyakit Usus Halus
Penyakit yang dilaporkan berhubungan dengan kolelitiasis adalah crohn
disease, diabetes, anemia sel sabit, trauma, dan ileus paralitik.
15. Nutrisi Intravena Jangka Lama
Nutrisi intravena jangka lama mengakibatkan kandung empedu tidak
terstimulasi untuk berkontraksi, karena tidak ada makanan/ nutrisi yang
melewati intestinal. Sehingga resiko untuk terbentuknya batu menjadi
meningkat dalam kandung empedu.
E. Patogenesis
Batu empedu hampir selalu dibentuk dalam kandung empedu dan jarang pada
saluran empedu lainnya dan diklasifikasikan berdasarkan bahan pembentuknya.
Etiologi batu empedu masih belum diketahui dengan sempurna, akan tetapi,
faktor predisposisi yang paling penting tampaknya adalah gangguan metabolisme
yang disebabkan oleh perubahan susunan empedu, stasis empedu dan infeksi
kandung empedu. Perubahan susunan empedu mungkin merupakan yang paling
penting pada pembentukan batu empedu, karena terjadi pengendapan kolesterol
dalam kandung empedu. Stasis empedu dalam kandung empedu dapat
meningkatkan supersaturasi progesif, perubahan susunan kimia, dan
pengendapan unsur tersebut. Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat
berperan sebagian dalam pembentukan batu, melalui peningkatan dan
deskuamasi sel dan pembentukan mukus.
7
Sekresi kolesterol berhubungan dengan pembentukan batu empedu. Pada
kondisi yang abnormal, kolesterol dapat mengendap, menyebabkan pembentukan
batu empedu. Berbagai kondisi yang dapat menyebabkan pengendapan kolesterol
adalah : terlalu banyak absorbsi air dari empedu, terlalu banyak absorbsi garam-
garam empedu dan lesitin dari empedu, terlalu banyak sekresi kolesterol dalam
empedu, Jumlah kolesterol dalam empedu sebagian ditentukan oleh jumlah
lemak yang dimakan karena sel-sel hepatik mensintesis kolesterol sebagai salah
satu produk metabolisme lemak dalam tubuh. Untuk alasan inilah, orang yang
mendapat diet tinggi lemak dalam waktu beberapa tahun, akan mudah
mengalami perkembangan batu empedu.
Batu kandung empedu dapat berpindah kedalam duktus koledokus melalui
duktus sistikus. Didalam perjalanannya melalui duktus sistikus, batu tersebut
dapat menimbulkan sumbatan aliran empedu secara parsial atau komplet
sehingga menimbulkan gejalah kolik empedu. Kalau batu terhenti di dalam
duktus sistikus karena diameternya terlalu besar atau tertahan oleh striktur, batu
akan tetap berada disana sebagai batu duktus sistikus.
F. Patofisiologi
Batu pigmen
Batu pigmen terdiri dari garam kalsium dan salah satu dari keempat anion
ini adalah bilirubinat, karbonat, fosfat dan asam lemak. Pigmen (bilirubin) pada
kondisi normal akan terkonjugasi dalam empedu. Bilirubin terkonjugasi karna
adanya enzim glokuronil tranferase bila bilirubin tak terkonjugasi diakibatkan
karena kurang atau tidak adanya enzim glokuronil tranferase tersebut yang akan
mengakibatkan presipitasi/pengendapan dari bilirubin tersebut. Ini disebabkan
karena bilirubin tak terkonjugasi tidak larut dalam air tapi larut dalam
lemak.sehingga lama kelamaan terjadi pengendapan bilirubin tak terkonjugasi
yang bisa menyebabkan batu empedu tapi ini jarang terjadi.
Mekanisme batu pigmen :
Pigmen (bilirubin) tak terkonjugasi dalam empedu
↓
Akibat berkurang atau tidak adanya enzim glokuronil tranferase
↓
Presipitasi / pengendapan
8
↓
Berbentuk batu empedu
↓
Batu tersebut tidak dapat dilarutkan dan harus
dikeluarkan dengan jalan operasi
Batu kolesterol
Kolesterol merupakan unsur normal pembentukan empedu dan
berpengaruh dalam pembentukan empedu. Kolesterol bersifat tidak larut dalam
air, kelarutan kolesterol sangat tergantung dari asam empedu dan lesitin
(fosfolipid).
G. Anamnesis
Setengah sampai duapertiga penderita kolelitiasis adalah asimtomatis.
Keluhan yang mungkin timbul adalah dispepsia yang kadang disertai intoleran
terhadap makanan berlemak. Pada yang simptomatis, pasien biasanya dating
dengan keluhan utama berupa nyeri di daerah epigastrium atau nyeri/kolik pada
perut kanan atas atau perikondrium yang mungkin berlangsung lebih dari 15
menit, dan kadang beberapa jam. Timbulnya nyeri kebanyakan perlahan-lahan
tetapi pada 30% kasus timbul tiba-tiba. Kadang pasien dengan mata dan tubuh
menjadi kuning, badan gatal-gatal, kencing berwarna seperti teh, tinja berwarna
seperti dempul dan penyebaran nyeri pada punggung bagian tengah, scapula, atau
kepuncak bahu, disertai mual dan muntah. Lebih kurang seperempat penderita
melaporkan bahwa nyeri berkurang setelah menggunakan antasida. Kalau terjadi
kolelitiasis, keluhan nyeri menetap dan bertambah pada waktu menarik nafas
dalam.
H. Pemeriksaan Fisik
Pasien dengan stadium litogenik atau batu asimptomatik tidak memiliki
kelainan dalam pemeriksaan fisik. Selama serangan kolik bilier, terutama pada
9
saat kolelitiasis akut, pasien akan mengalami nyeri palpasi/nyeri tekan dengan
punktum maksimum didaerah letak anatomis kandung empedu. Diketahui dengan
adanya tanda Murphy positif apabila nyeri tekan bertambah sewaktu penderita
menarik nafas panjang karena kandung empedu yang meradang tersentuh ujung
jari tangan pemeriksa dan pasien berhenti menarik nafas. Riwayat ikterik maupun
ikterik cutaneous dan sclera dan bisa teraba hepar.
I. Pemeriksaan Laboratorium
Batu kandung empedu yang asimtomatik umumnya tidak menunjukkan
kelainan pada pemeriksaan laboratorium. Apabila terjadi peradangan akut, dapat
terjadi lekositosis. Apabila terjadi sindrom mirizzi, akan ditemukan kenaikan
ringan bilirubin serum akibat penekanan duktus koledokus oleh batu. Kadar
bilirubin serum yang tinggi mungkin disebabkan oleh batu didalam duktus
koledokus. Kadar fosfatase alkali serum dan mungkin juga kadar amylase serum
biasanya meningkat sedang setiap kali terjadi serangan akut.
J. Pencitraan
Foto polos abdomen biasanya tidak memberikan gambaran yang khas karena
hanya sekitar 10-15% batu kandung empedu yang bersifat radioopak. Kadang
kandung empedu yang mengandung cairan empedu berkadar kalsium tinggi dapat
dilihat dengan foto polos. Pada peradangan akut dengan kandung empedu yang
membesar atau hidrops, kandung empedu kadang terlihat sebagai massa jaringan
lunak di kuadran kanan atas yang menekan gambaran udara dalam usus besar, di
fleksura hepatica.
Pemeriksaan ultrasonografi mempunyai derajat spesifisitas dan sensitifitas
yang tinggi untuk mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran saluran
empedu intrahepatic maupun ekstra hepatic. Dengan USG juga dapat dilihat
dinding kandung empedu yang menebal karena fibrosis atau udem yang
diakibatkan oleh peradangan maupun sebab lain. Batu yang terdapat pada duktus
koledokus distal kadang sulit dideteksi karena terhalang oleh udara di dalam
usus. Dengan USG punktum maksimum rasa nyeri pada batu kandung empedu
yang ganggren lebih jelas daripada dengan palpasi biasa.
Kolesistografi, untuk penderita tertentu, kolesistografi dengan kontras cukup
baik karena relative murah, sederhana, dan cukup akurat untuk melihat batu
10
radiolusen sehingga dapat dihitung jumlah dan ukuran batu. Cara ini memerlukan
lebih banyak waktu dan persiapan dibandingkan ultrasonografi. Pemeriksaan
kolesistografi oral lebih bermakna pada penilaian fungsi kandung empedu.
Penataan hati dengan HIDA, metode ini bermanfaat untuk menentukan
adanya obstruksi di duktus sistikus misalnya karena batu. Juga dapat berguna
untuk membedakan batu empedu dengan beberapa nyeri abdomen akut. HIDA
normalnya akan diabsorpsi di hati dan kemudian akan di sekresi ke kantong
empedu dan dapat dideteksi dengan kamera gamma. Kegagalan dalam mengisi
kantong empedu menandakan adanya batu sementara HIDA terisi ke dalam
duodenum.
Computed Tomografi (CT) juga merupakan metode pemeriksaan yang akurat
untuk menentukan adanya batu empedu, pelebaran saluran empedu dan
koledokolitiasis. Walupun demikian, teknik ini jauh lebih mahal disbanding
USG.
Percutaneous Transhepatic Cholangiographi (PTC) dan Endoscopic
Retrograde Cholangio-pancreatography (ERCP) merupakan metode
kolangiografi direk yang amat bermanfaat untuk menentukan adanya obstruksi
bilier dan penyebab obstruksinya seperti koledokolitiasis. Selain untuk diagnosis
ERCP juga dapat digunakan untuk terapi dengan melakukan sfingterotomi
ampula vateri diikuti ekstraksi batu. Tes invasive ini melibatkan opasifikasi
lansung batang saluran empedu dengan kanulasi endoskopi ampula vateri dan
suntikan retrograde zat kontras. Resiko ERCP pada hakekatnya dari endoskopi
dan mecakup sedikit penambahan insidens kolangitis dalam saluran empedu yang
tersumbat sebagian.
K. Pemeriksaan Penunjang
1. laboratorium : lekositosis, blirubinemia ringan, peningkatan alkali posfatase.
2. USG: dapat mendeteksi kalkuli dalam kandung empedu atau duktus
koledokus yang mengalami dilatasi, USG mendeteksi batu empedu dengan
akurasi 95%.
3. CT Scan Abdomen
4. MRI.
11
5. Sinar X abdomen
6. Koleskintografi / Pencitraan Radionuklida: preparat radioaktif disuntikkan
secara intravena. Pemeriksaan ini lebih mahal dari USG, waktu lebih lama,
membuat pasien terpajar sinar radiasi, tidak dapat mendeteksi batu empedu.
7. Kolesistografi: alat ini digunakan jika USG tidak ada / hasil USG meragukan.
L. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada penderita kolelitiasis:
1. Asimtomatik.
2. Obstruksi duktus sistikus.
3. Kolik bilier.
4. Kolesistitis akut.
a. Empiem.
b. Perikolesistitis.
c. Perforasi.
5. Kolesistitis kronis.
a. Hidrop kandung empedu.
b. Empiema kandung empedu.
c. Fistel kolesistoenterik.
d. Ileus batu empedu (gallstone ileus).
M. Prognosis
Untuk penderita dengan ukuran batu yang kecil, pemeriksaan serial USG
diperlukan untuk mengetahui perkembangan dari batu tersebut. Batu bisa
menghilang secara spontan. Untuk batu besar masih merupakan masalah, karena
merupakan risiko terbentuknya karsinoma kandung empedu (ukuran lebih dari 2
cm). Karena risiko tersebut, dianjurkan untuk mengambil batu tersebut. Pada
anak yang menderita penyakit hemolitik, pembentukan batu pigmen akan
semakin memburuk dengan bertambahnya umur penderita, dianjurkan untuk
melakukan kolesistektomi.
N. Penatalaksanaan
1. Non Bedah, yaitu :
a. Therapi Konservatif
12
b. Pendukung diit : Cairan rendah lemak
c. Cairan Infus : menjaga kestabilan asupan cairan
d. Analgetik : meringankan rasa nyeri yang timbul akibat gejala penyakit
e. Antibiotik : mencegah adanya infeksi pada saluran kemih
f. Istirahat
g. Farmako Therapi
Pemberian asam ursodeoksikolat dan kenodioksikolat digunakan untuk
melarutkan batu empedu terutama berukuran kecil dan tersusun dari
kolesterol.
Zat pelarut batu empedu hanya digunakan untuk batu kolesterol pada
pasien yang karena sesuatu hal sebab tak bisa dibedah. Batu-batu ini
terbentuk karena terdapat kelebihan kolesterol yang tak dapat dilarutkan
lagi oleh garam-garam empedu dan lesitin. Untuk melarutkan batu
empedu tersedia Kenodeoksikolat dan ursodeoksikolat. Mekanisme
kerjanya berdasarkan penghambatan sekresi kolesterol, sehigga
kejenuhannya dalam empedu berkurang dan batu dapat melarut lagi.
Therapi perlu dijalankan lama, yaitu : 3 bulan sampai 2 tahun dan baru
dihentikan minimal 3 bulan setelah batu-batu larut. Recidif dapat terjadi
pada 30% dari pasien dalam waktu 1 tahun , dalam hal ini pengobatan
perlu dilanjutkan.
h. Penatalaksanaan Pendukung dan Diet
Suplemen bubuk tinggi protein dan karbohidrat dapat diaduk kedalam
susu skim. Makanan berikut ini ditambahkan jika pasien dapat
menerimanya: buah yang dimasak, nasi atau ketela, daging tanpa lemak,
kentang yang dilumatkan, sayuran yang tidak membentuk gas, roti, kopi
atau teh. Makanan seperti telur, krim, daging babi, gorengan, keju dan
bumbu-bumbu yang berlemak, sayuran yang membentuk gasserta alkohol
harus dihindari. Penatalaksanaan diet merupakan bentuk terapi utama
pada pasien yang hanya mengalami intoleransi terhadap makanan
berlemak dan mengeluarkan gejala gastrointestinal ringan.
i. Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy (ESWL)
Prosedur nononvasif ini menggunakan gelombang kejut berulang
(repeated shock wafes) yang diarahkan kepada batu empedu di dalam
kandung empedu atau doktus koledokus dengan maksud untuk mencegah
13
batu tersebut menjadi sejumlah fragmen. Gelombang kejut dihasilkan
dalam media cairan oleh percikan listrik, yaitu piezoelelektrik, atau oleh
muatan elektromagnetik. Energy ini di salurkan ke dalam tubuh lewat
redaman air atau kantong yang berisi cairan. Gelombang kejut yang
dikonvergensikan tersebut diarahkan kepada batu empedu yang akan
dipecah.Setelah batu dipecah secara bertahap, pecahannya akan bergeraj
spontan dikandung empedu atau doktus koledokus dan dikeluarkan
melalui endoskop atau dilarutkan dengan pelarut atau asam empedu yang
diberikan peroral.
j. Litotripsi Intrakorporeal.
Pada litotripsi intrakorporeal, batu yang ada dalam kandung empedu atau
doktus koledokus dapat dipecah dengan menggunakan grlombang
ultrasound, laser berpulsa atau litotripsi hidrolik yang dipasang pada
endoskop, dan diarahkan langsung pada batu. Kemudian fragmen batu
atau derbis dikeluarkan dengan cara irigasi dan aspirasi. Prosedur tersebut
dapat diikuti dengan pengangkatan kandung empedu melalui luka insisi
atau laparoskopi. Jika kandung empedu tidak di angkat, sebuah drain
dapat dipasang selama 7 hari.
2. Pembedahan
a. Cholesistektomy
Merupakan tindakan pembedahan yang dilakukan atas indikasi
cholesistitis atau pada cholelitisis, baik akut /kronis yang tidak sembuh
dengan tindakan konservatif .
Tujuan perawatan pre operasi pada bedah cholesistectomy :
Meningkatkan pemahaman klien dan keluarga tentang prosedur
operasi.
Meningkatkan kesehatan klien baik fisik maupun psikologis.
Meningkatkan pemahaman klien dan keluarga tentang hal-hal yang
akan dilakukan pada post operasi.
Tindakan Keperawatan Pada Cholecystotomy :
Posisi semi Fowler
Menjelaskan tujuan penggunaan tube atau drain dan lamanya
Menjelaskan dan mengajarkan cara mengurangi nyeri.
b. Kolesistektomi
14
Dalam prosedur ini kandung empedu diangkat setelah arteri dan
duktus sistikus diligasi. Kolesistektomi dilakukan pada sebagian besar
kasus kolesistis akut dan kronis. Sebuah drain (Penrose) ditempatkan
dalam kandung empedu dan dibiarkan menjulur keluar lewat luka operasi
untuk mengalirkan darah, cairan serosanguinus dan getah empedu ke
dalam kasa absorben.
c. Minikolesistektomi
Merupakan prosedur bedah untuk mengeluarkan kandung empedu
lewat luka insisi selebar 4cm. kolesistektomi Laparoskopik (atau
endoskopik), dilakukan lewat luka insisi yang kecil atau luka tusukan
melalui dinding abdomen pada umbilicus. Pada prosedur kolesistektomi
endoskopik, rongga abdomen ditiup dengan gas karbon dioksida
(pneumoperitoneum) umtuk membantu pemasangan endoskop dan
menolong dokter bedah melihat struktur abdomen. Sebuah endoskop serat
optic dipasang melalui luka insisi umbilicus yang kecil. Beberapa luka
tusukan atau insisi kecil tambahan dibuat pada dinding abdomen untuk
memasukkan instrumen bedah lainnya ke dalam bidang operasi.
d. Koledokostomi
Dalam koledokostomi, insisi dilakukan pada duktus koledokus untuk
mengeluarkan batu. Setelah batu dikeluarkan, biasanya dipasang sebuah
kateter ke dalam duktus tersebut untuk drainase getah empedu sampai
edema mereda. Keteter ini dihubungkan dengan selang drainase gravitas.
Kandung empedu biasanya juga mengandung batu, dan umumnya
koledokostomi dilakukan bersama-sama kolesistektomi.
15
BAB III
ASKEP TEORITIS
A. Pengkajian
1. Identitas Klien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, suku/bangsa, agama, pendidikan,
pekerjaan, tanggal masuk, tanggal pengkajian, nomor register, diagnosa
medik, alamat, semua data mengenai identitaas klien tersebut untuk
menentukan tindakan selanjutnya.
2. Identitas Penanggung Jawab
Identitas penanggung jawab ini sangat perlu untuk memudahkan dan jadi
penanggung jawab klien selama perawatan, data yang terkumpul meliputi
nama, umur, pendidikan, pekerjaan, hubungan dengan klien dan alamat.
3. Keluhan Utama
Merupakan keluhan yang paling utama yang dirasakan oleh klien saat
pengkajian. Biasanya keluhan utama yang klien rasakan adalah nyeri
abdomen pada kuadran kanan atas.
4. Riwayat Kesehatan
a. Riwayat Kesehatan Sekarang
Merupakan pengembangan diri dari keluhan utama melalui
metode PQRST, paliatif atau provokatif (P) yaitu focus utama keluhan
klien, quality atau kualitas (Q) yaitu bagaimana nyeri/gatal dirasakan oleh
klien, regional (R) yaitu nyeri/gatal menjalar kemana, Safety (S) yaitu
posisi yang bagaimana yang dapat mengurangi nyeri/gatal atau klien
merasa nyaman dan Time (T) yaitu sejak kapan klien merasakan
nyeri/gatal tersebut.
b. Riwayat Kesehatan Dahulu
Kaji apakah klien pernah dirawat atau diobati sebelumnya dengan
penyakit yang sama.
c. Riwayat Kesehatan Keluarga
16
Kaji pola makan kebiasaan keluarga yang kurang baik seperti
menyimpan dan menyiapkan makanan, pola diet, pola sanitasi yang
kurang (cuci tangan) dan pola memasak makanan.
5. Pemeriksaan Fisik
a. Aktifitas/Istirahat
Gejala : Kelemahan
Tanda : Gelisah
b. Sirkulasi
Tanda : Takikardia, berkeringat
c. Eliminasi
Gejala : Perubahan warna urine dan feses
Tanda : Distensi abdomen.
d. Makanan / Cairan
Gejala : Anoreksia,mual.
Tanda : adanya penurunan berat badan.
e. Nyeri/Kenyamanan
Gejala :Nyeri abdomen atas, dapat menyebar kepunggung atau bahu
kanan. Kolik epigastrium tengah sehubungan dengan makan.
Tanda :Nyeri lepas, otot tegang atau kaku biala kuadran kanan atas
ditekan; tanda murphy positif.
f. Keamanan
Tanda :Ikterik, dengan kulit berkeringat dan gtal (Pruiritus).
Kecenderungan perdarahan (kekurangan vitamin K).
g. Penyuluhan/Pembelejaran
Gejala : Kecenderungan keluarga untuk terjadi batu empedu.Adanya
kehamilan/melahirkan; riwayat DM, penyakit inflamasi usus, diskrasias
darah.
Pertimbangan : DRG menunjukan rerata lama dirawat: 3,4 hari.
Rencana pemulangan:Memerlukan dukungan dalam perubahan diet/
penurunan berat badan.
6. Pemeriksaan Diagnostik
17
a. Ultrasonografi digunakan untuk mengkonfirmasi diagnosis kolelitiasis
dan membedakan antara obstruktif dan non obstruktif ikterus
(Ignatavicius, 1991).
b. Pemeriksaan diagnostik tambahan menurut LeMone, 2000, yaitu:
Darah lengkap : Menunjukkan WBC (sel darah putih) tinggi akibat
infeksi dan peradangan
Kadar bilirubin serum diukur untuk memastikan obstruksi adanya dalam
sistem saluran empedu
X-ray perut, yang disebut plat datar, dilakukan untuk batu yang
divisualisasikan ke layar monitor.
Kolesistogram oral dilakukan dalam situasi darurat.
Gallbladder nonacute scan, juga disebut HIDA scan, dilakukan melalui
teknik kedokteran nuklir untuk menilai kolesistitis akut
7. Diagnosa Keperawatan yang mungkin muncul:
a. Nyeri Akut b/d agen injuri fisik
b. Ketidakseimbangan Nutrisi Kurang dari kebutuhan tubuh b/d
ketidakmampuan pemasukan nutrisi, faktor biologis.
c. Risiko infeksi b/d imunitas tubuh menurun, terpasangnya alat invasif.
d. Kurang perawatan diri b/d kelemahan
e. Kurang Pengetahuan tentang penyakit, diet dan perawatannya b/d mis
interpretasi informasi
NoDiagnosa
KeperawatanTujuan Intervensi
1 Nyeri akut b/d agen
injuri fisik
Setelah dilakukan
Asuhan
keperawatan ….
jam tingkat
kenyamanan klien
meningkat dg KH:
1. Klien
melaporkan
nyeri
berkurang dg
scala 2-3
Manajemen nyeri :
1. Kaji tingkat nyeri secara
komprehensif termasuk lokasi,
karakteristik, durasi, frekuensi,
kualitas dan faktor presipitasi.
2. Observasi reaksi nonverbal
dari ketidak nyamanan.
3. Gunakan teknik komunikasi
terapeutik untuk mengetahui
pengalaman nyeri klien
sebelumnya.
18
2. Ekspresi
wajah tenang
3. klien dapat
istirahat dan
tidur
4. v/s dbn
4. Kontrol faktor lingkungan yang
mempengaruhi nyeri seperti
suhu ruangan, pencahayaan,
kebisingan.
5. Kurangi faktor presipitasi
nyeri.
6. Pilih dan lakukan penanganan
nyeri (farmakologis/non
farmakologis)..
7. Ajarkan teknik non
farmakologis (relaksasi,
distraksi dll) untuk mengetasi
nyeri..
8. Berikan analgetik untuk
mengurangi nyeri.
9. Evaluasi tindakan pengurang
nyeri/kontrol nyeri.
10. Kolaborasi dengan dokter bila
ada komplain tentang
pemberian analgetik tidak
berhasil.
Administrasi analgetik :.
1. Cek program pemberian
analogetik; jenis, dosis, dan
frekuensi.
2. Cek riwayat alergi..
3. Tentukan analgetik pilihan,
rute pemberian dan dosis
optimal.
4. Monitor TV
5. Berikan analgetik tepat waktu
terutama saat nyeri muncul.
19
6. Evaluasi efektifitas analgetik,
tanda dan gejala efek
samping.
2 Ketidakseimbangan
nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh
Setelah dilakukan
asuhan
keperawatan …
jam klien
menunjukan status
nutrisi adekuat
dengan KH:
a. BB stabil,
b.nilai
laboratorium
terkait normal,
c. tingkat energi
adekuat,
d.masukan nutrisi
adekuat
Manajemen Nutrisi
a. Kaji adanya alergi makanan.
b. Kaji makanan yang disukai
oleh klien.
c. Kolaborasi team gizi untuk
penyediaan nutrisi terpilih
sesuai dengan kebutuhan klien.
d. Anjurkan klien untuk
meningkatkan asupan
nutrisinya.
e. Yakinkan diet yang dikonsumsi
mengandung cukup serat untuk
mencegah konstipasi.
f. Monitor jumlah nutrisi dan
kandungan kalori.
g. Berikan informasi tentang
kebutuhan nutrisi.
Monitor Nutrisi
a. Monitor BB jika
memungkinkan
b. Monitor respon klien terhadap
situasi yang mengharuskan
klien makan.
c. Jadwalkan pengobatan dan
tindakan tidak bersamaan
dengan waktu klien makan.
d. Monitor adanya mual muntah.
e. Monitor adanya gangguan
dalam input makanan misalnya
perdarahan, bengkak dsb.
20
f. Monitor intake nutrisi dan
kalori.
g. Monitor kadar energi,
kelemahan dan kelelahan.
3 Risiko infeksi b/d
imunitas tubuh
menurun, prosedur
invasive.
Setelah dilakukan
asuhan
keperawatan …
jam tidak terdapat
faktor risiko
infeksi dan dg
KH:
Tdk ada tanda-
tanda infeksi
AL normal
V/S dbn
Konrol infeksi :
a. Bersihkan lingkungan setelah
dipakai pasien lain.
b. Batasi pengunjung bila perlu.
c. Intruksikan kepada pengunjung
untuk mencuci tangan saat
berkunjung dan sesudahnya.
d. Gunakan sabun anti miroba
untuk mencuci tangan.
e. Lakukan cuci tangan sebelum
dan sesudah tindakan
keperawatan.
f. Gunakan baju dan sarung
tangan sebagai alat pelindung.
g. Pertahankan lingkungan yang
aseptik selama pemasangan
alat.
h. Lakukan dresing infus dan dan
kateter setiap hari Sesuai
indikasi
i. Tingkatkan intake nutrisi dan
cairan
j. berikan antibiotik sesuai
program.
Proteksi terhadap infeksi
a. Monitor tanda dan gejala
infeksi sistemik dan lokal.
b. Monitor hitung granulosit dan
21
WBC.
c. Monitor kerentanan terhadap
infeksi..
d. Pertahankan teknik aseptik
untuk setiap tindakan.
e. Inspeksi kulit dan mebran
mukosa terhadap kemerahan,
panas.
f. Ambil kultur, dan laporkan bila
hasil positip jika perlu
g. Dorong istirahat yang cukup.
h. Dorong peningkatan mobilitas
dan latihan.
i. Instruksikan klien untuk
minum antibiotik sesuai
program.
j. Ajarkan keluarga/klien tentang
tanda dan gejala infeksi.
k. Laporkan kecurigaan infeksi.
4 Sindrom defisit self
care b.d kelemahan
Setelah dilakukan
askep ...... jam
ADLs terpenuhi
dg KH:
a. Klien bersih,
tidak bau
b. Kebutuhan
sehari-hari
terpenuhi
Self Care Assistence
a. Bantu ADL klien selagi klien
belum mampu mandiri
b. Pahami semua kebutuhan ADL
klien
c. Pahami bahasa-bahasa atau
pengungkapan non verbal klien
akan kebutuhan ADL
d. Libatkan klien dalam
pemenuhan ADLnya
e. Libatkan orang yang berarti
dan layanan pendukung bila
dibutuhkan
f. Gunakan sumber-sumber atau
fasilitas yang ada untuk
22
mendukung self care
g. Ajari klien untuk melakukan
self care secara bertahap
h. Ajarkan penggunaan modalitas
terapi dan bantuan mobilisasi
secara aman (lakukan supervisi
agar keamnanannya terjamin)
i. Evaluasi kemampuan klien
untuk melakukan self care di
RS
j. Beri reinforcement atas upaya
dan keberhasilan dalam
melakukan self care
5 Kurang
pengetahuan
keluarga
berhubungan
dengan kurang
paparan dan
keterbatasan
kognitif keluarga
Setelah dilakukan
askep … jam
pengetahuan
keluarga klien
meningkat dg KH:
a. Keluarga
menjelaskan
tentang
penyakit,
perlunya
pengobatan
dan
memahami
perawatan
b. Keluarga
kooperativeda
n mau
kerjasama saat
dilakukan
tindakan
Mengajarkan proses penyakit
a. Kaji pengetahuan keluarga
tentang proses penyakit
b. Jelaskan tentang patofisiologi
penyakit dan tanda gejala
penyakit
c. Beri gambaran tentaang tanda
gejala penyakit kalau
memungkinkan
d. Identifikasi penyebab penyakit
e. Berikan informasi pada
keluarga tentang keadaan
pasien, komplikasi penyakit.
f. Diskusikan tentang pilihan
therapy pada keluarga dan
rasional therapy yang
diberikan.
g. Berikan dukungan pada
keluarga untuk memilih atau
mendapatkan pengobatan lain
yang lebih baik.
h. Jelaskan pada keluarga tentang
23
persiapan / tindakan yang akan
dilakukan
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kolelitiasis/koledokolitiasis merupakan adanya batu di kandung empedu,
atau pada saluran kandung empedu yang pada umumnya komposisi utamanya
adalah kolesterol. Batu kandung empedu merupakan gabungan beberapa unsure
yang membentuk suatu material mirip batu yang terbentuk di dalam kandung
empedu. Penyebab terjadinya kolelitiasis/batu empedu belum diketahui secara
pasti. Penatalaksanaan dari kolelitiasis ini dapat dilakukan dengan pembedahan
maupun non pembedahan serta menjalani diet rendah lemak, tinggi protein, dan
tinggi kalori agar tidak terbentuk batu empedu di dalam kandung empedu. Oleh
karena itu, asuhan keperawatan yang baik diperlukan dalam penatalaksanaan
kolelitiasis ini sehingga dapat membantu klien untuk dapat memaksimalkan
fungsi hidupnya kembali serta dapat memandirikan klien untuk memenuhi
kebutuhan dasar manusia.
B. Saran
Setelah penulisan makalah ini, kami mengharapkan masyarakat pada
umumnya dan mahasiswa keperawatan pada khususnya mengetahui lebih dalam
tentang penyakit kolelitiasis. Kepada para perawat, kami sarankan untuk lebih
aktif dalam memberikan penyuluhan untuk mengurangi angka kesakitan penyakit
kolelitiasis. Dengan tindakan preventif yang dapat dilakukan bersama oleh semua
pihak, maka komplikasi dari kolelitiasis akan berkurang.
24
DAFTAR PUSTAKA
http://nuzulul-fkp09.web.unair.ac.id/artikel_detail-94796-Kep%20Endokrin-Askep%20Kolelitiasis.html#popup
http://pradhitahendriyeni.blogspot.co.id/2014/05/askep-batu-empedu.html
http://fandyarya2.blogspot.co.id/2012/12/askep-kolelitiasis.html
http://indonesia.digitaljournals.org/index.php/idnmed/article/viewFile/543/661
25
MAKALAHSISTEM PENCERNAAN
BATU KANDUNG EMPEDU
DISUSUN OLEH :
KELOMPOK V
1. RIANA INTAN SARI
2. RATNA NANING RISKY
3. BQ. NURLAELA
4. SARI NINGSIH
5. HAYYAN ARDIMAN
6. L. RAMDHONI
YAYASAN RUMAH SAKIT ISLAM NUSA TENGGARA BARAT
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN YARSI MATARAM
PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN
2015
26