batas-batas perbuatan melawan hukum dalam hukum perdata dan hukum pidana kaitannya dengan hukum...

6

Click here to load reader

Upload: taufik-munajat-anwar

Post on 29-Jul-2015

93 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

Page 1: Batas-Batas Perbuatan Melawan Hukum Dalam Hukum Perdata Dan Hukum Pidana Kaitannya Dengan Hukum Pidana Korupsi

Batas-batas Perbuatan Melawan Hukum

Dalam Hukum Perdata dan Hukum Pidana

Kaitannya dengan Hukum Pidana Korupsi

Oleh : Hisar Tambunan, SH.,MH

Pendahuluan

Sejarah bangsa ini dalam usaha untuk memberantas perbuatan korupsi boleh dibilang

telah cukup panjang. Secara formal setidak-tidaknya telah lahir empat generasi undang-undang

yakni undang-undang No. 24 Prp tahun 1960, Undang-undang No.3 tahun 1971, undang-

undang No.31 tahun 1999, dan terakhir undang-undang No.20 tahun 2001. Semua produk

undang-undang itu merupakan kebijakan formulatif dalam rangka pemberantasan tindak pidana

korupsi.

Kesadaran terhadap pemberantasan korupsi juga dijiwai oleh nilai-nilai yang berubah

dari masa ke masa.Kalau pada awal-awal aksi pemberantasan korupsi nilai yang dianut adalah

bahwa perbuatan korupsi merupakan perbuatan yang sangat merugikan

keuangan/perekonomian Negara dan menghambat pembangunan nasional.Dalam

perkembangannya perbuatan korupsi dipandang sebagai penghambat bagi terwujudnya

masyarakat yang adil dan makmur, menghambat pertumbuhan dan kelangsungan

pembangunan nasional yang menuntut efisiensi tinggi, dan pada akhirnya perbuatan korupsi

dipandang sebagai perbuatan yang melanggar hak-hak sosial dan ekonomi secara luas sehingga

pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa.

Menyadari hal itu maka lembaga Negara tertinggi, MPR, sampai-sampai mengeluarkan

produk berupa Tap No.XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas

Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.

Keseluruhan usaha diatas harus dilihat sebagai sesuatu yang positif dalam arti bahwa

telah tumbuh kesadaran bersama sedemikian rupa guna melakukan reformasi terhadap

substansi perundang-undangan agar legalitas pemberantasan korupsi makin lengkap dan

kokoh.Lengkap karena perbuatan-perbuatan yang dikriminalisasikan sebagai legalitas bagi

pengadilan untuk mengadili terdakwa korupsi makin lengkap.Di samping itu dukungan dari sisi

hukum acara, penegak hukum dan masyarakat luas baik nasional maupun internasional serta

seluruh sistem yang terkait tidak kalah penting dalam turut memberantas tindak pidana korupsi.

Dari sekian aspek penting yang dapat dibaca dalam pengantar, saya akan melihat bagian

tertentu dalam kaitannya dengan kebijakan formulasi dalam penegakan hukum khususnya

proses kriminalisasi yakni perihal aspek perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad)dalam

hukum perdata atau perbuatan melawan hukum (wederrechtelijk) dalam hukum pidana.

Page 2: Batas-Batas Perbuatan Melawan Hukum Dalam Hukum Perdata Dan Hukum Pidana Kaitannya Dengan Hukum Pidana Korupsi

Wederrechtelijk

Bagian itu menjadi penting utamanya dalam konteks kriminalisasi karena sejak

keluarnya Undang-undang No.3 Tahun 1971, kata “melawan hukum” yang tujuannya untuk

memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan menjadi semacam ‘bestanddeel delict’

atau delik inti dari suatu perbuatan korupsi {Pasal 1 ayat (1) huruf a}. Undang-undang No. 31

Tahun 1999 mengulanginya lagi dalam Pasal 2 ayat (1)-nya.

Saya akan mulai dari ‘wederrechtelijk’ dalam hukum pidana. Telah diketahui secara luas

bahwa suatu perbuatan pidana (strafbaarfeit) intinya adalah feit yang ‘wederrechtelijk’ atau

perbuatan yang melawan hukum.Ukuran normatif untuk menentukan dapat dipidananya

perbuatan dalam hukum pidana sudahlah jelas karena Hukum Pidana memiliki asas umum yang

harus dijunjung tinggi yakni asas legalitas (legality principle), Nullum delictum nulla poena

sinepraevia legi poenali –tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana yang

mendahuluinya-. Sering juga dipakai istilah ‘Nullum crimen sine lege stricta’ -tidak ada delik

tanpa ketentuan yang tegas- yang terdapat dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP. Jadi jelas bahwa untuk

adanya pidana (straf) harus didahului oleh kriminalisasi perbuatan dalam peraturan perundang-

undangan.

Hukum Pidana Korupsi adalah hukum pidana khusus. Sebagai hukum pidana khusus

maka asas-asasumum (algemene beginselen) yang terdapat dalam Buku I KUHP berdasar Pasal

103 KUHP dapat berlaku untuk tindak pidana khusus diluar KUHP kecuali ia menentukan lain.

Dengan demikian langkah pemberantasan korupsi harus dimulai dan selalu didasarkan pada

formulasi perundang-undangan.Hal itu –seperti saya katakana di atas- telah dimulai secara

formal pada tahun 1964-.

Kembali kepada persoalan ‘melawan hukum ‘. Diketahui pula bahwa dalam hukum

pidana –seperti juga dalam hukum perdata yang akan saya uraikan kemudian- telah terjadi

pergeseran pengertian mengenai ajaran sifat melawan hukum. Doktrin yang kemudian terkristal

dalam Arrest Hoograad pertama-tama mengartikan melawan hukum sebagai ‘melawan undang-

undang’ (wet). Ini harus dimengerti karena apabila kita menengok pada sejarah lahirnya asas

legalitas, antara lain karena pertimbangan adanya asas politik agar rakyat mendapat jaminan

pemerintah tidak sewenang-wenang, sehingga dalam Declaration Des Droits De L’Homme Et

DuCitoyen tahun 1789 dinyatakan :‘Tidak ada orang yang dapat dipidana selain atas kekuatan

undang-undang yang sudah ada sebelumnya’. Mr.Simons adalah salah seorang yang menganut

ajaran formil ini.

Ajaran itu mulai bergeser kea rah pendirian melawan hukum yang materiil yang di

negeri Belanda pertama-tama ditandai dengan keluarnya Arrest Hoograad Nederland 31 januari

Tahun 1919 yaitu LindenbaumCohen Arrest. Dalam Arrest itu H.R Belanda menyatakan bahwa :

“Perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad) adalah bukan saja perbuatan yang

Page 3: Batas-Batas Perbuatan Melawan Hukum Dalam Hukum Perdata Dan Hukum Pidana Kaitannya Dengan Hukum Pidana Korupsi

bertentangan dengan wet, tetapi juga perbuatan yang dipandang dari pergaulan masyarakat

tidak patut”. Mr.Vost adalah salah satu penganut ajaran ini.

Namun demikian, dalam menentukan dapat tidaknya suatu perbuatan diancam dengan

pidana (tentu di lapangan hukum pidana) seperti sudah saya katakan di atas harus tunduk pada

asas legalitas (formil) yang tersebut dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP.Dengan demikian ajaran sifat

melawan hukum materiil dalam fungsi yang positif, tidak dianut dalam hukum pidana.Sebaliknya

hukum pidana (termasuk Hukum Pidana Indonesia) berpendirian untuk mengikuti ajaran sifat

melawan hukum materiil dalam fungsi yang negatif. Di negeri Belanda sendiri fungsi negatif ini

telah dianut tersebut dalam Arrest Dokter Hewan dari kota Huizen (Putusan H.R. 20 Februari

1933)

Onrechtmatige daad

Telah diketahui dalam lapangan hukum perdata perbuatan melawan hukum biasa di

sebut dengan terminology ‘onrechtmatige daad’.Biasanya mendengar kata perbuatan melawan

hukum, orang langsung tertuju pada Pasal 1365 BW sebagai aturan yang bersifat genus yang

menjadi referensi bagi peraturan-peraturan khusus yang juga mengatur mengenai perbuatan

melawan hukum.

Pasal 1365 BW juga biasa disebut sebagai ketentuan all catches atau pasal keranjang

sampah. Namun demikian ketentuan tersebut justru merupakan pemicu dan pemacu untuk

terjadinya penemuan hukum (rechtsvinding).Melalui pasal ini, hukum yang tidak tertulis menjadi

diperhatikan oleh undang-undang.Ini terbukti baik dalam doktrin maupun yurisprudensi di mana

telah terjadi pergeseran arti (dari sempit ke arti yang luas). Setidak-tidaknya ada dua putusan

H.R. Belanda yang mengartikan perbuatan melawan hukumdalam arti sempit (formil) yakni

Arrest 6 Januari 1905 yakni Arrest Mesin Jahit Singer dan Arrest 10 juni 1910 mengenai De

Zutphense Juffrouw Arrest.

Pergeseran ke arti yang luas, seperti saya telah jelaskan di atas terlihat dalam Arrest

Hoograad Nederland 31 januari Tahun 1919 yaitu Lindenbaum Cohen Arrest. Melawan hukum

dipandang sebagai berbuat atau tidak berbuat yang bertentangan dengan atau melanggar hak

subyektif orang lain, kewajiban hukum pelaku, kaedah kesusilaan, dan kepatutan dalam

masyarakat.

Saya sendiri menganut ajaran yang luas itu. Saya mengartikan perbuatan melawan

hukum sebagai perbuatan yang tidak hanya bertentangan dengan undang-undang saja tetapi

juga berbuat atau tidak berbuat yang melanggar hak orang lain atau bertentangan dengan

kewajiban hukum, bertentangan dengan kesusilaan maupun sifat berhati-hati sebagaimana

patutnya dalam lalu lintas masyarakat.

WederrechtelijkdanOnrechtmatig dalam Hukum Pidana Korupsi

Page 4: Batas-Batas Perbuatan Melawan Hukum Dalam Hukum Perdata Dan Hukum Pidana Kaitannya Dengan Hukum Pidana Korupsi

Kiranya batas-batas wederrechtelijk dan onrechtmatige daad sudah jelas seperti apa

yang telah saya uraikan di depan. Seperti telah saya katakan bahwa ajaran wederrechtelijk

dalam lapangan hukum pidana memiliki dua fungsi yakni fungsi positif dan fungsi negatif.

Hukum pidana korupsi nampaknya menganut kedua fungsi ajaran sifat melawan hukum

tersebut di atas. Penjelasan Umum Undang-undang No. 3 tahun 1971 menyiratkan

digunakannya ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsi yang positif dengan menyebut

‘sarana melawan hukum yang mengandung pengertian formil dan materiil’. Namun demikian

dalam praktik peradilan ajaran sifat melawan hukum materiil dalam arti negatiflah yang telah

digunakan. Yurisprudensi mengenai tindak pidana korupsi menyatakan bahwa apabila terdapat

keadaan antara lain Negara tidak dirugikan, terdakwa tidak mendapat untung dan kepentingan

umum terlayani, maka hapuslah sifat melawan hukumnya perbuatan.

Sedangkan Penjelasan Umum Undang-undang No. 31 tahun 1999 tegas-tegas menganut

ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsi yang positif.Pengertian melawan hukum

dalam tindak pidana korupsi dapat pula mencakup perbuatan-perbuatan tercela yang menurut

perasaan keadilan masyarakat harus dituntut dan dipidana. Hal yang sama juga dijumpai dalam

Penjelasan Pasal 2 ayat (1) yang jelas-jelas menyatakan bahwa “Yang dimaksud dengan ‘secara

melawan hukum’ dalam Pasal ini (Pasal 2-pen-) mencakup perbuatan melawan hukum dalam

arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam

peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena

tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka

perbuatan tersebut dapat dipidana.

Seperti telah saya nyatakan di depan bahwa perkataan melawan hukum adalah sesuatu

yang masih umum (genus) sehingga dengan demikian harus diberi arti yang nyata. Benturan

dengan asas legalitas (formil) dalam hukum pidana (positif-KUHP-) dan penghormatan terhadap

HAM maka menurut Prof.Indriyanto, penggunaaan ajaran ini (sifat melawan hukum dalam

fungsi yang positif) harus digunakan dengan sangat selektif, hati-hati dan ketat.

Menarik untuk dikaji karena RUU-KUHP telah tidak lagi sepenuhnya menganut ajaran

legalitas formil melainkan asas legalitas yang materiil, artinya dalam menentukan suatu tindak

pidana, tidak lagi semata-mata menyandarkan pada peraturan perundang-undangan melainkan

juga pada hukum yang hidup dimasyarakat (living law). Secara ratio legisbisa diterima

mengingat kata Prof.Moeljatno bahwa hampir semua hukum Indonesia asli adalah hukum yang

tidak tertulis.

Variabel lain yang barangkali perlu dikaji pula adalah kenyataan bahwa secara formal,

sejak tahun 1999, kita telah memasuki era otonomi daerah. Daerah memiliki kewenangan yang

relatif besar dan ini bisa juga termasuk dalam menggali nilai-nilai budaya termasuk hukum

setempat yang selama ini tidak terpelihara.

Kedua variable di atas secara paralel akan sangat mendukung bagi pertumbuhan ajaran

sifat melawan hukum materiil dalam fungsi yang positif disatu sisi- juga sekaligus fungsi yang

Page 5: Batas-Batas Perbuatan Melawan Hukum Dalam Hukum Perdata Dan Hukum Pidana Kaitannya Dengan Hukum Pidana Korupsi

negatif- (walaupun harus diingat bahwa harus digunakan secara sangat hati-hati dan ketat).

Pada sisi yang lain, hal itu juga bermanfaat dalam mendorong hakim untuk melakukan

penggalian dan penemuan hukum (rechtsvinding), yang akhirnya tentu sangat bermanfaat bagi

kepentingan legal reform, utamanya dalam kebijakan formulasi dan aplikasi dalam penegakan

hukum (pidana korupsi).

Berbeda dengan ajaran sifat melawan hukum materiil (utamanya dalam fungsi yang

positif) dalam lapangan hukum pidana, ajaran yang sama dalam hukum perdata lebih leluasa

berkembang ditandai dengan banyaknya yurisprudensi MA yang telah menganut ajaran sifat

melawan hukum dalam arti yang luas.

Kaitannya dengan problem yang sedang kita bicarakan adalah, adakah peran ajaran

melawan hukum dalam hukum perdata kaitannya dengan hukum pidana korupsi?

Perlu diketahui bahwa sesungguhnya secara normatif, secara umum peran Hukum

Perdata dalam turut menegakkan hukum pidana korupsi telah ada antara lain telah tercermin

dalam proses kriminalisasi atau pada kebijakan penegakan hukum pada fase formulasi peraturan

perundang-undangan. Pasal 1 ayat 1(a) Undang-undang No. 3 tahun 1971, Pasal 2 ayat (1)

Undang-undang No. 31 tahun 1999 telah mencantumkan ‘melawan hukum’. Keduanya diberi

arti yang luas, arti mana secara historis merupakan produk dari pergulatan asas dalam lapangan

Hukum Perdata.

Kontribusi Hukum Perdata dalam Hukum Pidana Korupsi lebih banyak terletak pada

hukum acaranya. Seperti diketahui bahwa Pasal 32, Pasal 33 dan Pasal 34 Undang-undang No.

31 tahun 1999 membuka ruang bagi Negara untuk menggugat secara perdata apabila terjadi

hal-hal:

a. Penyidik berpendapat bahwa satu atau lebih unsur tindak pidana tidak terdapat cukup

bukti sedang secara nyata telah terjadi kerugian keuangan Negara;

b. Tersangka meninggal dunia saat penyidikan padahal nyata-nyata telah ada kerugian

keuangan negara, gugatannya ditujukan kepada ahli warisnya, dan

c. Terdakwa meninggal dunia saat persidangan padahal nyata-nyata terjadi kerugian

negara, gugatan ditujukan kepada ahli warisnya.

Gugatan perdata kepada ahli waris dalam hukum perdata memang memungkinkan

berdasar “Titel Umum” di mana segala hak berikut segala kewajiban dari pewaris, sejak ia

meninggal dunia jatuh/beralih sepenuhnya menjadi hak dan kewajiban ahli warisnya.

Lebih jauh, bahkan Undang-undang No.20 Tahun 2001, dalam Pasal 38 dinyatakan

bahwa : “Apabila setelah putusan pengadilan telah memperoleh kekuatan hukum tetap,

diketahui masih terdapat harta benda milik terpidana yang diduga atau patut diduga juga

berasal dari tindak pidana korupsi yang belum dikenakan perampasan untuk negara maka

negara dapat melakukan gugatan perdata terhadap terpidana dan atau ahli warisnya”.

Page 6: Batas-Batas Perbuatan Melawan Hukum Dalam Hukum Perdata Dan Hukum Pidana Kaitannya Dengan Hukum Pidana Korupsi

Selain dari hal di atas oleh karena Undang-undang anti korupsi menempatkan badan

hukum (rechtspersonen) sebagai subyek hukum maka pola pertanggungjawaban pengganti

(vicarious liability) yang tersebut dalam Pasal 1367 BW juga berlaku bagi gugatan perdata dalam

tindak pidana korupsi.

Penutup

Akhirnya kita harus sama-sama menyadari bahwa tindak pidana korupsi telah

berkembang begitu pesat, sistemik dan merambah ke seluruh lini dalam seluruh aspek

kehidupan, sehingga upaya pemberantasannyapun memerlukan upaya yang sistemik dan luar

biasa pula.

Masyarakat internasional sangat menaruh perhatian akan upaya tersebut. United

Nations Convention against Corruption pada tataran international dan terakhir masih segar

dalam ingatan kita, dalam Forum Law Summit III yang diselenggarakan di Mahkamah Agung

pada tataran nasional, tanggal 16 April lalu, kita semua menyadari perlunya langkah strategis

pembenahan sistem dan pembaruan hukum merupakan salah satu prasyarat pencegahan

perbuatan korupsi.

Dalam tataran formulasi dan aplikasi, peran serta hukum perdata baik hukum perdata

formil maupun materiil telah Nampak disana.Namun demikian berhasil/tidaknya penegakan

ketentuan normatif akhirnya semua berpulang pada kesungguhan dan profesionalitas para

penegak hukum yang berada pada tataran kebijakan aplikasi.