basis saintifik analisis dan proyeksi suhu dan curah hujan

81

Upload: deenar-tunas-rancak

Post on 24-Oct-2015

172 views

Category:

Documents


24 download

TRANSCRIPT

Page 1: Basis Saintifik Analisis Dan Proyeksi Suhu Dan Curah Hujan

Republik Indonesia

Maret 2010

Basis Saintifik:Analisis dan Proyeksi Suhu

dan Curah Hujan

Page 2: Basis Saintifik Analisis Dan Proyeksi Suhu Dan Curah Hujan

Tim Penyusun

Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap – ICCSR Basis Saintifik: Analisis dan Proyeksi Curah Hujan dan Temperatur Penasehat Prof. Armida S. Alisjahbana, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Bappenas Kepala Editor U. Hayati Triastuti, Deputi Menteri Bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup, Bappenas Koordinator ICCSR Edi Effendi Tedjakusuma, Direktur Lingkungan Hidup, Bappenas Editor Irving Mintzer, Syamsidar Thamrin, Heiner von Luepke, Dieter Brulez Laporan Sintesis Koordinator Penyusun untuk Adaptasi: Djoko Santoso Abi Suroso Laporan Basis Saintifik: Analisis dan Proyeksi Curah Hujan dan Temperatur Penyusun: Tri Wahyu Hadi. Tim Pendukung Teknis Chandra Panjiwibowo, Hendra Julianto, Leyla Stender, Tom Harrison, Ursula Flossmann-Krauss Tim Administrasi Altamy Chrysan Arasty, Risnawati, Rinanda Ratna Putri, Siwi Handinah, Wahyu Hidayat, Eko Supriyatno, Rama Ruchyama, Arlette Naomi, Maika Nurhayati, Rachman

Page 3: Basis Saintifik Analisis Dan Proyeksi Suhu Dan Curah Hujan

ii | I C C S R

UCAPAN TERIMA KASIH Dokumen Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap (ICCSR) bertujuan untuk memberikan masukan pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) periode 2009-2014 berkaitan dengan perubahan iklim, serta sebagai masukan pada RPJMN berikutnya hingga tahun 2030. Dokumen ini memberikan arahan detail dalam menghadapi tantangan perubahan iklim di sektor kehutanan, energi, industri, pertanian, perhubungan, daerah pesisir, sumber daya air, limbah, dan kesehatan. Sudah merupakan kebijakan dari Bappenas untuk mengakomodasi peluang dan tantangan di sektor-sektor tersebut melalui perencanaan pembangunan dan koordinasi antara kementerian dan badan terkait secara efektif. Dokumen ini bersifat dinamis dan akan selalu diperbaharui berdasarkan kebutuhan dan tantangan yang timbul dalam menghadapi perubahan ikllim di masa mendatang. Perubahan dan penyempurnaan dari dokumen ini akan dilakukan melalui konsultasi partisipatif antara para pemangku kepentingan. Penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Ibu Armida S. Alisyahbana selaku Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) atas dukungan yang diberikan. Juga kepada Bapak Paskah Suzetta selaku mantan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Bappeanas yang menginisiasi dan member dukungan dalam pembuatan dokumen ICCSR, serta kepada Deputi Menteri Bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup, Bappenas, yang telah menginisiasikan dan mengkoordinasikan pembuatan dokumen ICCSR ini. Kepada seluruh anggota komite pengarah, kelompok kerja, dan para pemangku kepentingan di bawah ini, yang telah memberikan masukan dan saran yang sangat berharga dalam pembuatan dokumen ICCSR Basis Saintifik untuk Analisis dan Proyeksi Curah Hujan dan Temperatur, dedikasi serta kontribusinya sangat dihargai dan diucapkan terima kasih setinggi-tingginya: Komite Pengarah Deputi Kerjasama Internasional, Kementerian Koordinasi Perekonomian; Sekretaris Menteri, Kementerian Koordinasi Kesejahteraan Rakyat; Deputi Menteri Bidang Kependudukan, Kesehatan, dan Lingkungan Hidup, Kementerian Koordinasi Kesejahteraan Rakyat; Sekretaris Utama, Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika; Deputi Bidang Ekonomi, Deputi Bidang Sarana dan Prasarana, Deputi Bidang Pendanaan Pembangunan, Deputi Bidang Sumber Daya Manusia dan Kebudayaan, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, dan Kepala Sekretariat Dewan Nasional Perubahan Iklim. Kelompok Kerja Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/ Bappenas Sriyanti, Yahya R. Hidayat, Bambang Prihartono, Mesdin Kornelis Simarmata, Arum Atmawikarta, Montty Girianna, Wahyuningsih Darajati, Basah Hernowo, M. Donny Azdan, Budi Hidayat, Anwar Sunari, Hanan Nugroho, Jadhie Ardajat, Hadiat, Arif Haryana, Tommy Hermawan, Suwarno, Erik Amundito, Rizal Primana, Nur H. Rahayu, Pungki Widiaryanto, Maraita, Wijaya Wardhana, Rachmat Mulyanda, Andiyanto Haryoko, Petrus Sumarsono, Maliki

Page 4: Basis Saintifik Analisis Dan Proyeksi Suhu Dan Curah Hujan

iii | I C C S R

Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika Edvin Aldrian, Dodo Gunawan, Nurhayati, Soetamto, Yunus S, Sunaryo Lembaga Penerbangan Antariksa Nasional Agus Hidayat, Halimurrahman, Bambang Siswanto, Erna Sri A, Husni Nasution Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Eddy Supriyono, Fadli Syamsuddin, Alvini, Edie P Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional Suwahyono, Habib Subagio, Agus Santoso Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh staf Deputi Menteri Bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup, Bappenas, yang selalu siap membantu dan menfasilitasi baik dalam hal teknis maupun administrasi dalam proses penyelesaian dokumen ini. Pembuatan dokumen ICCSR ini didukung oleh Deutsche Gesellschaft fuer Technische Zusammenarbeit (GTZ) melalui Study and Expert Fund for Advisory Services in Climate Protection. Atas dukungan tersebut, penghargaan serta terima kasih yang setinggi-tingginya diberikan.

Page 5: Basis Saintifik Analisis Dan Proyeksi Suhu Dan Curah Hujan

iv | I C C S R

Kata Pengantar dari Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Bappenas

Kita telah melihat bahwa dengan kemampuannya yang dapat mempengaruhi ekosistem dunia, kehidupan populasi manusia dan pembangunan, perubahan iklim telah menjadi isu kritis paling utama yang mendapat perhatian serius dari para pembuat kebijakan di seluruh dunia. Target utamanya adalah untuk mencegah peningkatan suhu rata-rata global melebihi 2˚C, atau dengan kata lain menurunkan emisi tahunan seluruh dunia hingga separuh dari kondisi sekarang pada tahun 2050. Kita percaya bahwa upaya ini tentunya membutuhkan respon international yang solid – aksi kolektif untuk

menghindari konflik antara inisiatif kebijakan nasional dan internasional. Pada saat ekonomi dunia sedang dalam tahap pemulihan dan negara-negara berkembang sedang berupaya keras memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya, dampak perubahan iklim telah ikut serta dalam memperburuk kondisi kehidupan manusia. Untuk itu diperlukan pengintegrasian perubahan iklim sebagai pilar penting dan fokus utama dalam agenda kebijakan pembangunan yang berkelanjutan. Kita menyadari bahwa perubahan iklim telah banyak diteliti dan dibahas di seluruh dunia. Berbagai solusi telah ditawarkan, program-program telah didanai dan kemitraan telah terjalin. Namun di luar itu semua, emisi karbon masih terus meningkat baik di negara maju maupun di negara berkembang. Karena lokasi geografisnya, kerentanan Indonesia terhadap dampak negatif perubahan iklim harus menjadi perhatian yang serius. Kita akan berhadapan, dan sudah terlihat oleh kita beberapa dampak negatif seperti musim kemarau yang berkepanjangan, banjir, serta meningkatnya intensitas kejadian cuaca ekstrim. Kekayaan keanekaragaman hayati kita juga berada dalam resiko. Beberapa pihak yang memilih untuk bersikap diam dalam perdebatan isu perubahan iklim atau memperlambat upaya penanggulangannya kini telah termarginalisasi oleh kenyataan saintifik yang tidak terbantahkan. Puluhan tahun penelitian, analisis dan bukti-bukti nyata yang terjadi telah menunjukkan pada kita bahwa perubahan iklim bukan hanya menjadi isu lingkungan saja, namun juga isu pembangunan secara menyeluruh karena dampaknya akan terasa di semua sektor kehidupan manusia baik sebagai bangsa maupun individu. Sayangnya, kita tidak dapat mencegah atau menghindar dari beberapa dampak negatif perubahan iklim. Kita dan khususnya Negara-negara maju telah terlalu lama berkontribusi dalam memanaskan bumi ini. Kita harus bersiap oleh karena itu, untuk beradaptasi terhadap perubahan yang akan terjadi, dan dengan segenap tenaga berusaha untuk memitigasi agar tidak terjadi perubahan lebih lanjut dari iklim global bumi. Kita telah meratifikasi Protokol Kyoto di masa awal serta berkontribusi aktif dalam negosiasi perubahan iklim dunia, dengan menjadi tuan rumah pada pelaksanaan Konvensi Para Pihak ke 13 United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), yang telah melahirkan Bali Action Plan pada tahun 2007. Kini, kita mencurahkan perhatian kita pada tantangan untuk mencapai target yang telah dicanangkan oleh Presiden yaitu penurunan emisi sebesar 26% hingga tahun 2020. Aksi nyata sangat penting. Namun sebelum

Page 6: Basis Saintifik Analisis Dan Proyeksi Suhu Dan Curah Hujan

v | I C C S R

melakukan aksi, kita harus siap dengan analisis yang komprehensif, perencanaan strategis dan penetapan prioritas. Untuk itu saya mengantarkan dokumen Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap, atau disebut ICCSR, dengan tujuan agar perubahan iklim dapat diintegrasikan ke dalam sistem perencanaan pembangunan nasional. Dokumen ICCSR menampilkan visi strategis pada beberapa sektor utama yang terkait perubahan iklim,, yaitu sektor kehutanan, energi, industri, perhubungan, pertanian, daerah pesisir, sumber daya air, limbah, dan kesehatan. Dokumen Roadmap ini telah diformulasikan melalui analisis yang komprehensif. Kita telah melakukan penaksiran kerentanan secara mendalam, penetapan opsi prioritas termasuk peningkatan kapasitas dan respon strategis, dilengkapi dengan analisis keuangan dan dirangkum dalam perencanaan aksi yang didukung oleh kementerian-kementerian terkait, mitra strategis dan para donor. Saya meluncurkan dokumen ICCSR ini dan mengundang Saudara untuk ikut mendukung komitmen dan kemitraan, serta bekerjasama dalam merealisasikan prioritas pembangunan berkelanjutan yang ramah iklim serta melindungi populasi kita dari dampak negatif yang ditimbulkan oleh perubahan iklim.

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional

Prof. Armida S. Alisjahbana

Page 7: Basis Saintifik Analisis Dan Proyeksi Suhu Dan Curah Hujan

vi | I C C S R

Kata Pengantar dari Deputi Menteri Bidang Sumber Daya Alam dan

Lingkungan Hidup, Bappenas Sebagai bagian dari solusi dalam menghadapi perubahan iklim global, Pemerintah Indonesia telah berkomitmen untuk menurunkan emisi Gas Rumah Kaca secara nasional hingga 26% dari kondisi dasar dalam kurun waktu 10 tahun dengan menggunakan sumber pendanaan dalam negeri, serta penurunan emisi hingga 41% jika ada dukungan international dalam aksi mitigasi. Dua sektor utama yang berkontribusi terhadap emisi adalah sektor kehutanan dan energi, terutama dari kegiatan deforestasi dan pembangkit tenaga listrik, hal ini dikarenakan oleh sebagian pembangkit

yang masih menggunakan bahan bakar tidak terbarukan seperti minyak bumi dan batubara, yang menjadi bagian dari intensitas energi kita yang tinggi. Dengan lokasi geografisnya yang unik, di antara negara-negara di dunia kita termasuk salah satu negara yang paling rentan terhadap dampak negatif perubahan iklim. Pengukuran terhadap hal ini diperlukan untuk melindungi masyarakat dari potensi bahaya yang ditimbulkan oleh naiknya permukaan air laut, banjir, perubahan curah hujan, dan dampak negatif lainnya. Jika upaya adaptasi tidak segera dilakukan, maka berdasarkan prediksi analisis, Indonesia dapat mengalami kekurangan sumber air, penurunan hasil pertanian, serta hilangnya atau rusaknya habitat di berbagai ekosistem termasuk di daerah pesisir pantai. Aksi nasional dibutuhkan baik untuk memitigasi perubahan iklim global maupun untuk mengidentifikasi upaya-upaya adaptasi yang diperlukan. Hal ini menjadi tujuan utama dari dokumen Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap, ICCSR. Prioritas tertinggi dari aksi-aksi tersebut akan diintegrasikan ke dalam sistem perencanaan pembangunan nasional. Untuk itu kita telah berupaya membangun konsensus nasional dan pemahaman mengenai opsi-opsi dalam merespon perubahan iklim. Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap (ICCSR) merepresentasikan komitmen jangka panjang untuk menurunkan emisi dan melakukan upaya adaptasi serta menunjukkan kesiapan perencanaan program-program yang inovatif dalam upaya mitigasi dan adaptasi hingga puluhan tahun mendatang.

Deputi Menteri Bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup Badan Perencanaan Pembangunan Nasional

U. Hayati Triastuti

Page 8: Basis Saintifik Analisis Dan Proyeksi Suhu Dan Curah Hujan

i | I C C S R

DAFTAR ISI

Tim Penyusun............ ............................................................................................................. i

UCAPAN TERIMA KASIH .................................................................................................. ii

Kata Pengantar dari Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Bappenas ... iv

Kata Pengantar dari Deputi Menteri Bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan

Hidup, Bappenas .................................................................................................................. vi

DAFTAR ISI ........................................................................................................................... i

DAFTAR GAMBAR .............................................................................................................. iii

DAFTAR TABEL .................................................................................................................. v

BAB 1 PENDAHULUAN ...................................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang dan Tujuan ............................................................................................................... 11.2 Ruang Lingkup dan Sistematika Pembahasan ................................................................................. 2

BAB 2 GAMBARAN UMUM ................................................................................................ 4

2.1 Sistem Iklim Global dan Pengertian Perubahan Iklim ................................................................... 42.2 Skenario dan Proyeksi Perubahan Iklim Global ............................................................................. 52.3 Kinerja Model Iklim Global di Daerah Tropis ............................................................................... 72.4 Kajian Perubahan Iklim dan Dampaknya di Indonesia ................................................................. 8

BAB 3 ANALISIS DAN PROYEKSI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA ................ 12

3.1 Ketersediaan Data ............................................................................................................................. 123.1.1 Data Pengamatan ................................................................................................................ 12

3.1.2 Data Keluaran GCM .......................................................................................................... 13

3.1.3 Data Keluaran GCM Resolusi Tinggi .............................................................................. 14

3.2 Metode Pengolahan Data ................................................................................................................. 143.2.1 Pengolahan Data Observasi .............................................................................................. 14

3.2.2 Pengolahan Data GCM ...................................................................................................... 17

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................................. 20

4.1 Trend Perubahan Iklim di Indonesia Saat Ini ............................................................................... 204.1.1 Perubahan Curah Hujan .................................................................................................... 20

4.1.2 Perubahan Temperatur Permukaan ................................................................................. 22

4.1.3 Perubahan Peluang Kejadian Cuaca dan Iklim Ekstrem ............................................... 24

4.2 Perubahan Iklim Pada Periode 2030-an dan 2080-an .................................................................. 264.2.1 Proyeksi Perubahan Temperatur Permukaan ................................................................. 26

4.2.2 Proyeksi Perubahan Curah Hujan ................................................................................... 29

4.2.3 Proyeksi Perubahan Peluang Kejadian Cuaca dan Iklim Ekstrim ............................... 29

BAB 5 REKOMENDASI UMUM UNTUK ADAPTASI SEKTORAL ............................... 31

Page 9: Basis Saintifik Analisis Dan Proyeksi Suhu Dan Curah Hujan

ii | I C C S R

5.1 Deskripsi Perubahan Iklim di Setiap Wilayah ............................................................................... 315.1.1 Perubahan Iklim di Wilayah Jawa-Bali ............................................................................. 31

5.1.2 Perubahan Iklim di Wilayah Sumatera ............................................................................. 31

5.1.3 Perubahan Iklim di Wilayah Kalimantan ......................................................................... 32

5.1.4 Perubahan Iklim di Wilayah Sulawesi .............................................................................. 32

5.1.5 Perubahan Iklim di Wilayah Nusatenggara ..................................................................... 32

5.1.6 Perubahan Iklim di Wilayah Maluku ................................................................................ 33

5.1.7 Perubahan Iklim di Wilayah Papua .................................................................................. 33

5.2 Catatan Tambahan ............................................................................................................................. 335.2.1 Variabilitas Iklim Jangka Panjang ..................................................................................... 33

5.2.2 Ketidakpastian Proyeksi Iklim .......................................................................................... 36

BAB 6 PENUTUP ................................................................................................................ 37

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................................. 38

LAMPIRAN A – BASELINE CURAH HUJAN BERDASARKAN DATA GPCC ........................ 2

LAMPIRAN B1 – PROYEKSI PERUBAHAN CURAH HUJAN 2010-2015 .................................. 4

LAMPIRAN B2 - PROYEKSI PERUBAHAN CURAH HUJAN 2015-2020 ................................... 7

LAMPIRAN C –PEMBAGIAN WILAYAH (GRID) UNTUK PROYEKSI IKLIM .................... 10

LAMPIRAN D1 - PROYEKSI 2030- DAN 2080-AN TEMPERATUR AREA JAWA-BALI ..... 12

LAMPIRAN D2 - PROYEKSI 2030- DAN 2080-AN TEMPERATUR KALIMANTAN ........ 13

LAMPIRAN D3 - PROYEKSI 2030- DAN 2080-AN TEMPERATUR AREA MALUKU ......... 14

LAMPIRAN D4 - PROYEKSI 2030- DAN 2080-AN TEMPERATUR AREA NUSA

TENGGARA ................................................................................................................................................ 15

LAMPIRAN D5 - PROYEKSI 2030- DAN 2080-AN TEMPERATUR AREA PAPUA .............. 16

LAMPIRAN D6 - PROYEKSI 2030- DAN 2080-AN TEMPERATUR AREA SULAWESI ...... 17

LAMPIRAN D7 - PROYEKSI 2030- DAN 2080-AN TEMPERATUR AREA SUMATERA .... 18

LAMPIRAN E1 - PROYEKSI 2030- DAN 2080-AN CURAH HUJAN AREA JAWA-BALI ... 19

LAMPIRAN E2 - PROYEKSI 2030- DAN 2080-AN CURAH HUJAN AREA

KALIMANTAN .......................................................................................................................................... 20

LAMPIRAN E3 - PROYEKSI 2030- DAN 2080-AN CURAH HUJAN AREA MALUKU ........ 21

LAMPIRAN E4 - PROYEKSI 2030- DAN 2080-AN CURAH HUJAN AREA NUSA

TENGGARA ................................................................................................................................................ 22

LAMPIRAN E5 - PROYEKSI 2030- DAN 2080-AN CURAH HUJAN AREA PAPUA ............ 23

LAMPIRAN E6 - PROYEKSI 2030- DAN 2080-AN CURAH HUJAN AREA SULAWESI ..... 24

LAMPIRAN E7 - PROYEKSI 2030- DAN 2080-AN CURAH HUJAN AREA SUMATERA ... 25

LAMPIRAN F – GRAFIK CURAH HUJAN STASIUN .................................................................... 26

Page 10: Basis Saintifik Analisis Dan Proyeksi Suhu Dan Curah Hujan

iii | I C C S R

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Identifikasi perubahan iklim secara statistik dari (a)perubahan nilai rerata

(mean), (b)perubahan variansi, dan (c)perubahan nilai rerata dan variansi.

Sumbu vertikal menyatakan peluang dan sumbu horizontal menyatakan nilai

parameter (iklim). (Diadaptasi dari Meehl, 2000). ...................................................... 5

Gambar 2. Proyeksi perubahan temperatur permukaan global dengan tiga skenario SRES

B1, A1B, dan A2. (Sumber : IPCC, 2007) ................................................................... 7

Gambar 3. Bagan alur pikir analisis perubahan iklim dan dampaknya secara bottom-up

dan top-down. (Sumber : IPCC, 2007b) ...................................................................... 9

Gambar 4. Pembagian wilayah kajian dampak perubahan iklim menggunakan model

IPCC AR-4 oleh Naylor et al. (2007) (kiri) dan hasil analisis keterlambatan

awal musim hujan (monsoon onset) untuk P. Jawa pada tahun 2050 (kanan) .

(Sumber : Naylor et al., 2007) ...................................................................................... 11

Gambar 5. Contoh perbandingan data time series dari GHCN (merah) dan GPCC (biru)

untuk Stasiun Jakarta (kiri) dan Ampenan (kanan). ................................................ 15

Gambar 6. Perbandingan data curah hujan stasiun (GHCN) dan GPCC dalam bentuk

diagram pencar (scatter plot) untuk dua lokasi yang sama dengan Gambar 5. ....... 16

Gambar 7. Contoh analisis trend moving average 30-tahun menggunakan polinom orde 1

(linier) sampai dengan orde 6 (atas) dan hasil residu-nya (bawah). ........................ 17

Gambar 8. Distribusi nilai koefisien korelasi komposit base line (1961-1990) antara data

curah hujan keluaran model GFDLCM20 dengan GPCC (kiri), dan contoh

hasil pola ensemble komposit baseline curah hujan untuk suatu wilayah di

Kalimantan (kiri). Garis penuh warna merah dan hitam masing-masing

mewakili nilai rata-rata ensemble dan pengamatan. ................................................. 18

Gambar 9. Perbandingan data temperatur permukaan keluaran GCM dengan temperatur

permukaan ...................................................................................................................... 19

Gambar 10. Perubahan nilai curah hujan rerata 30-tahun untuk setiap bulan pada

beberapa kurun waktu (kiri) dan grafik moving average-nya untuk bulan-bulan

basah D(esember)-J(anuari)-F(ebruari) (kanan). ....................................................... 20

Gambar 11. Contoh hasil analisis trend curah hujan bulan Januari dari data GPCC : nilai

rata-rata base line 1961-1990 (kiri) dan selisih nilai rata-rata periode saat ini

1980-2010 (data sampai 2007) dengan base line. ........................................................ 21

Page 11: Basis Saintifik Analisis Dan Proyeksi Suhu Dan Curah Hujan

iv | I C C S R

Gambar 12. Contoh hasil proyeksi perubahan curah hujan untuk bulan Januari dalam

bentuk selisih nilai rerata (atas) dan standar deviasi (bawah) 30-tahun antara

periode 1985-2015 (kiri) dan periode 1990-2020 (kanan) terhadap base line. ........ 22

Gambar 13. Contoh hasil analisis perubahan temperatur di Jakarta : (a) data time series

temperatur bulanan, (b) grafik komposit temperatur 30-tahun untuk tiap-tiap

bulan (dengan urutan Juli ke Juni), (c) grafik moving average 30-tahunan

untuk bulan Desember, Januari, Februari, dan (d) sama dengan (c) untuk

bulan Juni, Juli, Agustus. .............................................................................................. 23

Gambar 14. Grafik Cumulative Distribution Function (CDF) empirik, dari data curah hujan

bulanan Jakarta selama beberapa periode 30-tahunan. ............................................ 24

Gambar 15. Grafik Peluang Kumulatif curah hujan harian dari keluaran model MRI-

GCM untuk wilayah Jawa-Bali. Garis putus-putus merah menunjukkan nilai

1 mm (vertikal) dan nilai fungsi peluang 0.95 (horizontal). .................................... 25

Gambar 16 Distribusi peluang curah hujan harian yang tinggi (> 20 mm/hari menurut

keluaran model GCM) di wilayah Jawa-Bali pada tahun 2015 (kiri) dan 2020

(kanan). ........................................................................................................................... 26

Gambar 17. Pembagian wilayah Jawa-Bali menjadi empat bagian untuk analisis proyeksi

iklim. ............................................................................................................................... 27

Gambar 18. Proyeksi kenaikan temperatur rata-rata periode 2030-an (kiri) dan 2080-an

(kanan) untuk skenario B1, A1B, dan A2 (dari bawah ke atas) di atas wilayah

Jawa-Bali (lihat Gambar 17). ....................................................................................... 28

Gambar 19. Sama seperti Gambar 18 tetapi untuk curah hujan. ................................................. 30

Gambar 20. Grafik time-series indeks Pacific Decadal Oscillation (PDO; merah) dan indeks

curah hujan (biru) di stasiun Ampenan (P. Lombok) setelah dilakukan

penghalusan dengan periode 20 tahun. ...................................................................... 35

Gambar 21. Grafik time-series anomali temperatur muka laut tahunan di Atlantik (garis

putus-putus) dan iradiansi matahari total (garis merah). (Sumber : Soon,

2009). .............................................................................................................................. 36

Page 12: Basis Saintifik Analisis Dan Proyeksi Suhu Dan Curah Hujan

v | I C C S R

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Skenario SRES dan tingkat emisi yang menjadi bahasan dalam kajian ini

(diadaptasi dari IPCC, 2007b) ....................................................................................... 6

Tabel 2. Deskripsi singkat data keluaran GCM yang dianalisis dalam kajian ini ................. 13

Page 13: Basis Saintifik Analisis Dan Proyeksi Suhu Dan Curah Hujan

1 | I C C S R

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang dan Tujuan

Sejak IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) dibentuk oleh WMO (World Meteorological

Organization) dan UNEP (United Nations Environmental Program) tahun 1988 dan melaporkan hasil-

hasil kajiannya, isu perubahan iklim global telah mempengaruhi opini sebagian besar masyarakat

dunia dan mulai mewarnai berbagai kebijakan pembangunan di banyak negara, termasuk

Indonesia. Masalah utama dalam isu perubahan iklim global adalah naiknya suhu rata-rata dekat

permukaan bumi yang disebabkan oleh efek rumah kaca dari gas-gas seperti CO2

(karbondioksida) dan CH4

(metana). Konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer diketahui telah naik

secara drastis akibat aktifitas industri. Kenaikan suhu dekat permukaan bumi, yang dikenal dengan

isu global warming, tersebut kemudian diperkirakan akan memicu berbagai perubahan seperti

pemuaian volume air laut dan mencairnya lapisan es di kedua Kutub Utara dan Selatan

(Greenland dan Antartika) sehingga muka air laut rata-rata akan naik secara global. Selain itu,

pemanasan global juga diperkirakan telah atau akan mempengaruhi pola iklim yang memicu

peningkatan frekuensi kejadian cuaca dan iklim ekstrem.

Karena banyaknya dampak negatif dari perubahan iklim global yang diperkirakan akan terjadi,

maka kemudian muncul seruan masyarakat internasional untuk melakukan mitigasi (dalam bentuk

pengurangan emisi gas rumah kaca secara antropogenik) dan kebutuhan untuk adaptasi (dalam

bentuk strategi pembangunan yang dapat mereduksi, atau meningkatkan proteksi terhadap,

dampak negatif perubahan iklim). Suatu rencana aksi mitigasi maupun adaptasi membawa

berbagai persoalan pelik karena implementasinya akan berdampak langsung kepada masyarakat

luas.

Secara umum, rencana aksi adaptasi dan mitigasi yang dirumuskan dalam berbagai forum

internasional didasarkan kepada proyeksi iklim oleh IPCC yang dirumuskan dari hasil-hasil kajian

menggunakan model iklim global. Secara inheren, hasil keluaran model iklim mengandung

ketidakpastian (IPCC, 2007) dan menurut Schneider (2002) tingkat ketidakpastian merambat dan

semakin besar dari skenario emisi, respon sistem iklim global, skenario perubahan iklim regional,

sampai ke dampak yang mungkin terjadi. Masalah ketidakpastian model iklim tetap menjadi

perdebatan di kalangan para ahli Klimatologi tetapi keputusan untuk melakukan aksi mitigasi dan

Page 14: Basis Saintifik Analisis Dan Proyeksi Suhu Dan Curah Hujan

2 | I C C S R

adaptasi tetap diambil meskipun dengan kesenjangan antara pemahaman akademik dan kebijakan

(Pielke, 2003).

Unsur ketidakpastian proyeksi iklim menyebabkan suatu aksi adaptasi akan menghadapi tiga

kemungkinan kegagalan (Australian Government, 2005) yaitu : (1)over-adaptation (adaptasi yang

berlebihan), (2)under-adaptation (adaptasi yang tidak memadai), atau (3)mal-adaptation (adaptasi yang

salah atau sebenarnya tidak diperlukan). Oleh karena itu, untuk mengurangi unsur ketidakpastian,

perencanaan pelaksanaan aksi adaptasi perlu ditunjang oleh pemahaman yang komprehensif

terhadap perilaku perubahan iklim secara regional dan lokal. Suatu kajian Dasar Akademis

(Scientific Basis) yang berisi analisis dan proyeksi iklim diperlukan dalam penyusunan strategi

adaptasi terhadap perubahan iklim yang tepat sasaran.

Laporan kajian Analisis dan Proyeksi Perubahan Iklim di Indonesia ini adalah bagian dari kajian untuk

penyusunan Roadmap Pengarusutamaan Isu Perubahan Iklim Dalam Perencanaan

Pembangunan Nasional (selanjutnya disebut Roadmap). Adapun tujuan dari dilakukannya

kajian ini adalah untuk :

1) Melakukan identifikasi sehingga didapatkan suatu keyakinan ilmiah terhadap adanya

perubahan iklim di Indonesia dan berbagai kemungkinan dampaknya terhadap pembangunan

nasional,

2) Mengetahui karakter (pola dan besaran) perubahan iklim yang terjadi di Indonesia secara

umum sehingga dapat diketahui bahaya serta kemungkinan dampaknya terhadap sektor

pembangunan, dan

3) Menyiapkan data iklim yang dapat digunakan untuk melakukan analisis resiko terhadap

perubahan iklim pada sektor pembangunan dengan resolusi temporal dan spasial yang

sedapat mungkin disesuaikan dengan kekhasan wilayah.

Dengan segala kekurangan dan berbagai kendala yang dihadapi selama pengerjaannya, kajian ini

diharapkan dapat memberikan kontribusi secara signifikan terhadap proses penyusunan Roadmap.

1.2 Ruang Lingkup dan Sistematika Pembahasan

Kajian Analisis dan Proyeksi Perubahan Iklim di Indonesia awalnya diharapkan dapat dilakukan

dengan mengkompilasi hasil-hasil kajian yang sudah ada, baik yang telah dilakukan oleh individu

maupun institusi seperti BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika), LAPAN

(Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional), dan sebagainya. Oleh karena itu, pelaksanaan

kajian ini dimulai dengan mengadakan FGD (Focus Group Discussion) Scientific Basis pada tanggal 4

Page 15: Basis Saintifik Analisis Dan Proyeksi Suhu Dan Curah Hujan

3 | I C C S R

Februari 2009 yang dimaksudkan untuk memetakan keberadaan produk kajian perubahan iklim

yang relevan di Indonesia dan sesuai dengan ketiga tujuan yang disebutkan di atas. Namun

demikian, dari hasil FGD tersebut kami tidak dapat menemukan informasi yang dibutuhkan.

Oleh karena itu, kami harus memasukkan analisis data, termasuk perumusan metode pengolahan

datanya, di dalam ruang lingkup kajian. Sistematika pembahasan dalam laporan kajian ini secara

umum dapat disampaikan seperti di bawah ini.

Gambaran umum berisi ulasan mengenai permasalahan yang terkait dengan analisis dan proyeksi

perubahan iklim kami bahas dalam Bagian II, sedangkan Bagian III berisi uraian mengenai

metodologi, data, dan teknik pengolahan data yang kami gunakan dalam analisis dan proyeksi

perubahan iklim di Indonesia. Hasil-hasil analisis data kami bahas dalam Bagian IV dan dalam

Bagian V kami diskusikan beberapa hal terkait dengan tingkat kepercayaan pada hasil kajian dan

catatan-catatan lain dari aspek klimatologis, serta rekomendasi umum untuk sektor. Terakhir,

kami sampaikan penutup yang antara lain berisi usulan penguatan kajian akademis untuk

perubahan iklim di Indonesia.

Page 16: Basis Saintifik Analisis Dan Proyeksi Suhu Dan Curah Hujan

4 | I C C S R

BAB 2 GAMBARAN UMUM

2.1 Sistem Iklim Global dan Pengertian Perubahan Iklim

Secara akademik dan dalam arti luas, iklim dapat diartikan sebagai keadaan (state) dari sistem iklim

yang terbentuk dari seluruh unsur Bumi yakni atmosfer (udara), hidrosfer (laut), litosfer (bumi

padat termasuk mantel, kerak Bumi, dan gunung api), kriyosfer (lapisan es), dan biosfer (vegetasi).

Komponen sistem iklim saling berinteraksi untuk menjaga agar menghasilkan suatu keadaan

tertentu pada ruang dan waktu tertentu. Interaksi di dalam sistem iklim melibatkan proses yang

kompleks dengan skala waktu detik sampai jutaan tahun, dan skala ruang dari skala molekuler

hingga planeter.

Dalam istilah populer (awam), iklim sering diartikan sebagai cuaca rata-rata, tetapi secara

operasional iklim didefinisikan sebagai deskripsi statistik dari unsur-unsur cuaca/iklim seperti

temperatur (suhu), presipitasi (hujan), angin, dsb., yang sedikitnya menyatakan nilai rerata (mean)

dan variansinya dalam rentang waktu beberapa dasawarsa (30 tahun menurut WMO). Menurut

Meehl (2000), perubahan iklim dapat diidentifikasi dengan membandingkan kurva distribusi

peluang seperti diperlihatkan pada Gambar 1 sehingga diketahui perubahan (antar kurun 30

tahun) pada nilai rerata (mean) atau variansi, atau keduanya. Berdasarkan pengertian ini,

perubahan yang terjadi dalam kurun 30 tahun itu sendiri dikatakan sebagai variabilitas iklim dan

untuk melakukan identifikasi perubahan iklim saat ini (current) setidaknya diperlukan data

pengamatan sekitar 60 tahun ke belakang. Namun demikian, hal ini tidak disepakati secara global

karena dalam FCCC (Framework Convection on Climate Change) perubahan iklim didefinisikan

sebagai perubahan pada iklim, sebagai tambahan terhadap variabilitas alamiah dalam kurun waktu

yang sebanding, dan dapat dikaitkan secara langsung ataupun tidak langsung kepada aktifitas

manusia yang menyebabkan perubahan pada komposisi atmosfer global.

Page 17: Basis Saintifik Analisis Dan Proyeksi Suhu Dan Curah Hujan

5 | I C C S R

Gambar 1. Identifikasi perubahan iklim secara statistik dari (a)perubahan nilai rerata (mean),

(b)perubahan variansi, dan (c)perubahan nilai rerata dan variansi. Sumbu vertikal menyatakan

peluang dan sumbu horizontal menyatakan nilai parameter (iklim). (Diadaptasi dari Meehl, 2000).

Pada kenyataannya, apabila terjadi suatu perubahan iklim global, sangatlah sulit untuk memilah-

milah secara ilmiah mana perubahan alamiah dan mana yang diakibatkan oleh aktifitas manusia.

Terlebih lagi dalam konteks adaptasi, sangatlah tidak relevan untuk mengkaitkan dampak

perubahan iklim yang telah terjadi dengan penyebab perubahan iklim. Oleh karena itu, kami

mengadopsi kerangka pemikiran Meehl (2000) untuk merumuskan perubahan iklim secara

operasional sehingga secara prinsip, bahaya (hazard) perubahan iklim dapat diidentifikasi secara

statistik tanpa mempersoalkan ada atau tidaknya faktor manusia (antropogenik) yang terlibat.

2.2 Skenario dan Proyeksi Perubahan Iklim Global

IPCC secara lengkap membahas masalah proyeksi iklim global berdasarkan hasil simulasi model

iklim global atau GCM (Global Circulation Model) di dalam Climate Change 2007 The Physical

Science Basis yang merupakan bagian dari IPCC AR-4 (The Fourth Assessement Report). Secara

umum, model IPCC hanya memperhitungkan perubahan iklim akibat kenaikan gas-gas rumah

kaca di atmosfer oleh faktor antropogenik berdasarkan mekanisme yang diketahui saaat ini. Untuk

keperluan kajian ilmiah, sebagian besar data keluaran berbagai model iklim global dapat diakses

melalui internet (dijelaskan lebih lanjut di bawah ini). Terkait dengan itu, skenario peningkatan

konsentrasi gas-gas rumah kaca menjadi bagian tak terpisahkan dari proyeksi perubahan iklim.

Skenario ini ditentukan oleh beberapa alternatif asumsi pertumbuhan ekonomi, penduduk,

perkembangan teknologi, dan sebagainya yang dikenal sebagai SRES (Special Report on Emissions

Scenarios) dan dipublikasikan oleh IPCC pada tahun 2000. Selain SRES, ada beberapa skenario lain

seperti IS92 dan SA90 yang digunakan dalam laporan IPCC sebelumnya. Penjelasan yang lengkap

mengenai skenario ini antara lain dapat dilihat dalam IPCC-TGICA (2007). Untuk

Page 18: Basis Saintifik Analisis Dan Proyeksi Suhu Dan Curah Hujan

6 | I C C S R

menyederhanakan masalah, dalam pembahasan ini kami hanya akan menggunakan data IPCC

yang terkait dengan tiga skenario B1, A1B, dan A2 berdasarkan tingkat konsentrasi CO2

yang

dihasilkan seperti diperlihatkan dalam Tabel 1.

Tabel 1. Skenario SRES dan tingkat emisi yang menjadi bahasan dalam kajian ini (diadaptasi dari

IPCC, 2007b)

Skenario SRES Kategori Emisi Stabilisasi pada 2100

A2 Emisi tinggi Tidak mencapai stabilisasi

A1B Emisi sedang 750 ppm

B1 Emisi terendah dalam SRES 550 ppm

Terkait dengan skenario SRES B1, A1B, dan A2, IPCC memproyeksikan kisaran kenaikan

temperatur permukaan global seperti yang diperlihatkan dalam Gambar 2. IPCC AR-4 juga

mencakup analisis yang lengkap mengenai perubahan iklim global maupun regional dan data

keluaran model juga dapat diakses melalui internet (dijelaskan secara lebih rinci di bawah ini).

Dalam hal kenaikan temperatur permukaan, secara umum semua model menunjukkan trend

kenaikan meskipun dengan nilai yang tidak sama. Seperti terlihat dalam Gambar 2, pada tahun

2100 secara rata-rata temperatur permukaan Bumi akan naik antara 1-4º C relatif terhadap rata-

rata tahun 1980-1999. Akan tetapi, tidak demikian dengan curah hujan yang sangat bervariasi

terhadap ruang dan waktu sehingga ada ketidakseragaman yang tinggi pada hasil simulasi model

iklim. Selain itu, untuk keperluan kajian dampak perubahan iklim, permasalahan yang umum

diketahui dalam pemanfaatan data model GCM adalah resolusi yang tidak memadai untuk

merepresentasikan variabilitas iklim pada lokasi yang spesifik. Oleh karena itu, agar dapat

memenuhi kebutuhan untuk kajian dampak, diperlukan suatu proses yang disebut downscaling.

Downscaling pada dasarnya adalah teknik untuk mengolah data keluaran model global sehingga

didapatkan data simulasi iklim dengan resolusi yang lebih tinggi. Metode yang dapat digunakan

untuk melakukan downscaling secara umum dapat digolongkan ke dalam (1) statistical downscaling dan

(2) dynamical downscaling yang mencerminkan tool pemodelan yang digunakan. Dynamical downscaling

didasarkan kepada penggunaan model matematis yang konsisten dengan gambaran fisis sistem

iklim. Kekurangan metode ini adalah karena biasanya menghasilkan nilai estimasi dengan bias

yang besar terhadap data pengamatan dan keperluan sumberdaya komputasi yang tinggi.

Sebaliknya, metode statistical downscaling dapat menghasilkan estimasi yang cukup akurat dengan

Page 19: Basis Saintifik Analisis Dan Proyeksi Suhu Dan Curah Hujan

7 | I C C S R

kebutuhan komputasi yang jauh lebih sedikit tetapi hasilnya tidak selalu dapat diinterpretasikan

secara fisis karena model untuk satu variabel bisa sangat berbeda dengan model untuk variabel

lain (tidak konsisten). Selain itu, implementasi statistical downscaling memerlukan data pengamatan

(historis) yang cukup lengkap. Pada dasarnya, kedua metode dapat digunakan karena

menghasilkan ketelitian yang relatif sama (Wilby et al., 2004). Seperti dibahas sebelumnya, sumber

data proyeksi iklim adalah keluaran model global. Sebelum melakukan downscaling, hal yang

penting untuk dilakukan adalah memeriksa apakah data keluaran GCM yang digunakan

memberikan indikator perubahan iklim yang sesuai untuk wilayah kajian.

Gambar 2. Proyeksi perubahan temperatur permukaan global dengan tiga skenario SRES B1,

A1B, dan A2. (Sumber : IPCC, 2007)

2.3 Kinerja Model Iklim Global di Daerah Tropis

Iklim di Indonesia secara umum dikontrol oleh sistem sirkulasi monsun dengan dua musim utama

yakni musim penghujan dan musim kemarau (kering). Berdasarkan periode puncak musim hujan,

di Indonesia terdapat tiga tipe daerah iklim (e.g., Aldrian and Susanto, 2003) yaitu (1) monsunal

(satu puncak musim hujan antara Desember-Januari-Februari), (2) ekuatorial (dua puncak sekitar

April-Mei dan Oktober-November), serta (3) lokal (satu puncak dominan di sekitar Juni-Juli).

Mekipun demikian, Indonesia juga secara klimatologis sangat dipengaruhi oleh dinamika

atmosfer-laut global yang menghasilkan berbagai fenomena variabilitas iklim sehingga sifat hujan

untuk bulan yang sama bisa sangat bervariasi dari tahun ke tahun. Fenomena variabilitas iklim

yang sangat mempengaruhi Indonesia antara lain adalah ENSO (El Nino Southern Oscillation) di S.

Pasifik dan IODM (Indian Ocean Dipole Mode) di S. Hindia yang dapat menyebabkan variasi curah

Page 20: Basis Saintifik Analisis Dan Proyeksi Suhu Dan Curah Hujan

8 | I C C S R

hujan antar-tahunan (2-5 tahun). Selain itu, ada juga fenomena MJO (Madden-Julian Oscillation)

yang dapat menyebabkan variasi curah hujan dengan periode 30-60 hari dan fenomena lain yang

masih terus dikaji oleh para ahli. Keberadaan berbagai fenomena di daerah tropis ini

menghasilkan interaksi yang sangat kompleks dengan sistem sirkulasi monsun dan menyebabkan

variabiltas yang masih sulit disimulasikan di dalam model iklim.

Beberapa peneliti telah melakukan kajian untuk mengevaluasi kinerja model iklim global di

wilayah Asia Tenggara yang dipengaruhi oleh sistem sirkulasi monsun dan mendapatkan hasil

yang cukup berbeda. Salah satu hal yang ditelaah dalam kajian evaluasi kinerja model global

adalah kecocokan korelasi ENSO-Monsun antara model dengan pengamatan. Joseph and Nigam

(2006) melaporkan bahwa HadCM3, model yang dijalankan di Inggris, menghasilkan sinyal

ENSO yang paling realistik. Sementara itu, Annamalai et al. (2006) mendapati bahwa dari 16

model IPCC AR-4 yang dievaluasi, hanya ada empat yang menunjukkan telkoneksi ENSO-

Monsun yang robust. Keempat model tersebut adalah GFDL 2.0, GFDL 2.1 (USA), MRI (Jepang),

dan ECHAM-5 (Jerman). Kajian (literatur) mengenai kinerja model IPCC juga dilakukan oleh

Smith (2009) dari berbagai hasil validasi yang ada (tidak terbatas pada daerah tropis). Hasilnya

adalah suatu ranking penilian terhadap 22 model, yang cukup konsisten dengan kajian sebelumnya,

dimana 10 besar ditempati oleh model-model : (1)HadCM3, (2)MIROC3.2(hires), (3)GFDL2.1,

(4)GFDL2.0, (5)MIROC3.2(medres), (6)ECHO-G, (7)HadGEM1, (8)ECHAM5, (9)MRI-

CGCM2.3.2, dan (10)CCSM3. Reichler (2008) mengemukakan bahwa rata-rata dari keluaran

model global memberikan hasil yang lebih baik daripada masing-masing model. Dengan begitu,

dapat diasumsikan bahwa apabila kita mengambil model-model yang sudah diketahui baik

kinerjanya di daerah tropis maka nilai komposit (rata-rata) yang dihasilkan juga akan lebih baik.

2.4 Kajian Perubahan Iklim dan Dampaknya di Indonesia

Kajian perubahan iklim dan dampaknya dapat dilakukan dengan dua pendekatan yakni (1) bottom-

up, dan (2) top-down (IPCC-TGICA, 2007) seperti ditunjukkan oleh bagan di dalam Gambar 3

Pendekatan bottom-up dilakukan berdasarkan analisis terhadap data observasi (historis) dan base-

line data lingkungan maupun sosio-ekonomi, sedangkan pendekatan top-down didasarkan kepada

hasil-hasil simulasi GCM yang terkait dengan skenario perubahan kondisi lingkungan serta sosio-

ekonomi global. Pendekatan bottom-up dapat digunakan untuk mengkaji perubahan iklim yang

sedang berlangsung dan proyeksi iklim sampai jangka waktu yang tidak terlalu jauh ke depan.

Adapun pendekatan top-down adalah satu-satunya cara untuk mendapatkan proyeksi iklim apabila

menyangkut masalah kondisi iklim pada waktu yang jauh ke depan.

Page 21: Basis Saintifik Analisis Dan Proyeksi Suhu Dan Curah Hujan

9 | I C C S R

Gambar 3. Bagan alur pikir analisis perubahan iklim dan dampaknya secara bottom-up dan top-

down. (Sumber : IPCC, 2007b)

Kajian perubahan iklim berdasarkan data pengamatan untuk daerah Indonesia antara lain

dilaporkan oleh Manton et al. (2001), yang mencoba menelaah kencenderungan peningkatan

kejadian ekstrem di kawasan Asia-Pasifik. Dalam kajian ini, mereka tidak menemukan trend yang

jelas untuk perubahan temperatur maupun curah hujan di Indonesia. Namun demikian, perlu

dicatat bahwa salah satu kendala yang mereka hadapi untuk daerah Indonesia adalah ketersediaan

data yang sangat terbatas terutama untuk data temperatur. Di lain pihak, Boer and Faqih (2004)

melakukan analisis terhadap data curah hujan dari 210 stasiun dan membandingkan curah hujan

rata-rata antara periode 1931-1960 dan 1961-1990. Dalam kajian ini dilaporkan bahwa terdapat

trend penurunan curah hujan beberapa wilayah seperti Jawa, Lampung, Sumatra Selatan, Sulawesi

Selatan, and Nusa Tenggara, tetapi ada trend kenaikan untuk wilayah seperti Kalimantan dan

Sulawesi Utara. Sementara itu, Aldrian (2006) menelaah perubahan curah hujan tahunan

menggunakan data pengamatan antara 1950 sampai dengan 1997 dari beberapa stasiun di

Indonesia dan mendapatkan trend penurunan yang signifikan terutama di Kalimantan. Hasil-hasil

ini menunjukkan karakteristik yang berbeda dari perubahan iklim yang sedang berlangsung di

Indonesia sehingga sulit mendapatkan gambaran yang utuh mengenai trend yang terjadi.

Page 22: Basis Saintifik Analisis Dan Proyeksi Suhu Dan Curah Hujan

10 | I C C S R

Informasi paling mutakhir tentang trend perubahan curah hujan di Indonesia kami dapatkan dari

Soetamto (2009). Dalam presentasi yang disampaikan pada FGD Sektor tanggal 24 Februari

2009, ditunjukkan hasil analisis per bulan data curah hujan 50 tahun (1951-2000) di seluruh

Indonesia berupa trend linier. Hasil ini memperlihatkan bahwa trend perubahan curah hujan

berbeda untuk tiap-tiap bulan. Namun demikian, kebenaran hasil analisis ini sulit dievaluasi

karena tidak terdapat keterangan mengenai sumber data dan metodologi pengolahannya. Oleh

karena itu, untuk memenuhi tujuan kajian ini, perlu dilakukan pengumpulan data dan analisis

lebih lanjut.

Pendekatan top-down (menggunakan data GCM) untuk kajian ilmiah terhadap perubahan iklim di

Indonesia juga belum banyak dilakukan. Boer and Faqih (2004) juga melakukan analisis terhadap

beberapa GCM seperti CSIRO Mark 2 (Australia), HadCM3 (Inggris), dan ECHAM-4 (Jerman),

dan mendapatkan proyeksi iklim yang cukup beragam terutama untuk curah hujan. Santoso and

Forner (2006 ) telah melakukan review terhadap beberapa kajian yang ada dan juga mendapatkan

bahwa proyeksi GCM untuk curah hujan di Indonesia mengandung ketidakpastian yang tinggi.

Suatu kajian yang lebih komprehensif dan mencakup analisis risiko perubahan iklim untuk

pertanian dilaporkan oleh Naylor et al. (2007). Proyeksi iklim dilakukan dengan model downscaling

empirik (statistik) terhadap keluaran sekitar 20 GCM dan data curah hujan rata-rata area yang

didefinisikan pada 8 wilayah. Salah satu hasil penting dari kajian ini adalah identifikasi bahaya

perubahan iklim berupa peningkatan peluang keterlembatan datangnya awal musim hujan sampai

30 hari pada tahun 2050 terutama di Jawa dan Bali (Gambar 4) yang merupakan sentra pertanian

padi. Hal ini akan sangat berpengaruh terhadap kegiatan pertanian padi yang sangat tergantung

kepada ketersediaan air di musim hujan. Hasil kajian Naylor et al. (2007) tersebut masih cukup

terbatas karena analisis hanya dilakukan untuk curah hujan rata-rata area pada tahun 2050 saja.

Page 23: Basis Saintifik Analisis Dan Proyeksi Suhu Dan Curah Hujan

11 | I C C S R

Gambar 4. Pembagian wilayah kajian dampak perubahan iklim menggunakan model IPCC AR-4

oleh Naylor et al. (2007) (kiri) dan hasil analisis keterlambatan awal musim hujan (monsoon onset)

untuk P. Jawa pada tahun 2050 (kanan) . (Sumber : Naylor et al., 2007)

Dari pembahasan di atas, dapat diketahui bahwa untuk penyusunan Roadmap dengan pendekatan

analisis risiko memerlukan ketersediaan data analisis dan proyeksi iklim, yang belum tersedia

secara lengkap di Indonesia. Untuk mengetahui permasalahannya secara lebih jelas, kami

mendiskusikan masalah ini dengan tiga pakar iklim di Indonesia yaitu Dr. Mezak A. Ratag, Dr.

Edvin Aldrian, dan Dr. Dodo Gunawan dalam pertemuan (FGD) terbatas pada tanggal 6-7 Maret

2009 dengan kesimpulan yang sama bahwa di Indonesia belum tersedia produk proyeksi iklim

untuk seluruh daerah di Indonesia yang sudah teruji dengan baik dan dapat diakses untuk analisis

sektor. Oleh karena itu, dengan berbagai kendala yang ada, kami telah mencoba melakukan

sendiri analisis dan proyeksi perubahan iklim untuk memenuhi tujuan-tujuan kajian ini.

Page 24: Basis Saintifik Analisis Dan Proyeksi Suhu Dan Curah Hujan

12 | I C C S R

BAB 3 ANALISIS DAN PROYEKSI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA

Seperti dijelaskan sebelumnya, dan juga mengikuti Boer and Faqih (2004), analisis dan proyeksi

perubahan iklim di Indonesia dilakukan dengan dua pendekatan yaitu (1) analisis data historis

(bottom-up) dan (2) analisis keluaran GCM (top-down). Pada dasarnya metoda diupayakan

sesederhana mungkin tetapi menghasilkan keluaran yang dapat digunakan oleh sektor dalam

mengestimasi risiko perubahan iklim. Di bawah ini dijelaskan mengenai data dan metodologi yang

kami gunakan.

3.1 Ketersediaan Data

3.1.1 Data Pengamatan

Seperti tercermin dalam laporan Manton et al. (2001), data klimatologi dengan kualitas dan

kontinuitas yang baik tidaklah mudah untuk didapatkan. Mengingat analisis harus dilakukan

segera, kami mencari data dari sumber-sumber di internet yang dapat diakses dengan mudah dan

cepat. Berikut adalah uraian mengenai data yang tersedia di internet :

• GHCN (Global Historical Climatological Network) menyediakan data temperatur dan curah

hujan bulanan untuk stasiun di seluruh dunia dengan rentang waktu yang cukup panjang

(1860-an – sekarang). Akan tetapi, data untuk stasiun di Indonesia pada umumnya hanya

tersedia hinga tahun 1975-an saja kecuali untuk beberapa stasiun saja. Data ini dapat diakses

melalui situs http://www.ncdc.noaa.gov/ .

• GPCC (Global Precipitation Climatology Center) menyediakan data curah hujan dalam

bentuk grid (kotak) berukuran 0,5º x 0,5º . Data tersedia dalam rentang waktu yang panjang

antara 1901-2007, meskipun sebagian data merupakan hasil interpolasi.

Data ini dapat diakses melalui situs ftp://ftp-

anon.dwd.de/pub/data/gpcc/html/fulldata_download.html

Selain data tersebut di atas, kami juga mendapatkan akses terhadap data ASEAN Compendium of

Climate Statistics (1975 – 1999). Data ini mencakup data curah hujan dan temperatur harian dari

seluruh Indonesia tetapi kualitas data sangat tidak memadai karena banyaknya data kosong.

Meskipun demikian data dari beberapa stasiun yang dioleh menjadi data bulanan dapat digunakan

untuk melengkapi data GHCN.

Page 25: Basis Saintifik Analisis Dan Proyeksi Suhu Dan Curah Hujan

13 | I C C S R

3.1.2 Data Keluaran GCM

Seperti dijelaskan sebelumnya, data keluaran model GCM dapat diakses dari pusat distribusi data

IPCC-AR4. Dalam hal ini, kami mendapatkan akses ke dua situs internet yang menyediakan data

tersebut yaitu : (1) http://www.ipcc-data.org/ (IPCC Data Distribution Center) dan (2)

http://www-pcmdi.llnl.gov/ (Program for Climate Model Diagnosis and Intercomparison). Karena

berbagai keterbatasan, tidak semua data keluaran model digunakan untuk kajian ini. Tabel 2

memberikan gambaran sederhana mengenai data keluaran GCM yang berhasil kami dapatkan.

Tabel 2. Deskripsi singkat data keluaran GCM yang dianalisis dalam kajian ini

Karakteristik MODEL

NCCSM MPEH5 GFDLCM20 GFDLCM21 MIMR MRIGCM2 HADCM3

Institusi

Pengembang

NCAR,

AS

MPI,

Jerman

GFDL-

NOAA, AS

GFDL-

NOAA, AS

CCSR/NIES/

JAMSTEC,

Jepang

MRI,

Jepang

HC-

UKMO,

Jepang

Resolusi

(Lat x Lon) 2.8°x2.8° 1.8°x1.8° 2.5° x 2.0° 2.5° x 2.0° 2.8° x 2.8° 2.8° x 2.8° 2.75°x3.75°

Skenario Tahun Simulasi

20C3M 1870-

1999

1860-

2000 1861-2000 1861-2000 1850-2000 1850-2000 1860-1999

SRESB1 2000-

2199

2001-

2200 2001-2300 2001-2300 2001-2300 1990-2300 2000-2199

SRESA1B 2000-

2199

2001-

2200 2001-2300 2001-2300 2001-2300 2001-2300 2000-2199

SRESA2 2000-

2099

2001-

2100 2001-2100 2001-2100 2001-2100 2001-2100 2000-2099

Dari Tabel 2 dapat dilihat bahwa resolusi keluaran model GCM pada umumnya sangat kasar ;

berkisar 2º atau lebih dari 200 km untuk daerah tropis. Namun demikian, untuk kajian makro atau

regional, mestinya data ini sudah dapat memberikan gambaran mengenai proyeksi iklim. Pada

beberapa kajian yang sudah ada (Boer and Faqih, 2004; Santoso and Forner, 2006), data GCM

yang digunakan juga masih dengan resolusi kasar (global). Di lain pihak, meskipun sudah

menerapkan model empirical downscaling, Naylor et al. (2007) tidak menghasilkan data dengan

resolusi tinggi melainkan data rata-rata area (bahkan propinsi) yang dikoreksi (dikalibrasi) dengan

data pengamatan.

Page 26: Basis Saintifik Analisis Dan Proyeksi Suhu Dan Curah Hujan

14 | I C C S R

3.1.3 Data Keluaran GCM Resolusi Tinggi

Selain menggunakan teknik downscaling, terdapat juga keluaran model global resolusi tinggi.

Percobaan semacam ini dilakukan oleh MRI (Meteorological Research Institute) di Jepang. Melalui

BMKG, kami mendapatkan sampel data model MRI dengan resolusi 20 km (harian dan bulanan)

yang digunakan secara terbatas dalam kajian ini. Data tersebut merupakan bagian dari data yang

dipergunakan dalam proyek pengkajian perubahan iklim yang sedang berjalan (2009) di BMKG.

3.2 Metode Pengolahan Data

3.2.1 Pengolahan Data Observasi

Pengolahan data observasi secara umum ditujukan untuk mendapatkan indikasi perubahan iklim

dengan melihat trend perubahan nilai rerata (mean) dan variansi (standar deviasi). Secara garis

besar, analisis yang dilakukan merupakan analisis statistik dasar dan dapat dijelaskan sebagai

berikut :

(a) Perhitungan rata-rata bergerak (moving average) periode iklim (30 tahun) untuk setiap interval

tahun tertentu. Perhitungan ini diterapkan untuk tiap-tiap bulan dalam satu tahun.

(b) Untuk setiap periode perata-rataan dihitung juga standar deviasi sehingga perubahan

variabilitas iklim juga dapat dianalisis.

(c) Perhitungan fungsi distribusi peluang kumulatif atau CDF (Cumulative Distribution Function)

empirik digunakan untuk menganalisis perubahan peluang kejadian (curah hujan) ekstrem

rendah maupun tinggi.

(d) Proyeksi nilai rerata curah hujan menggunakan analisis trend polinomial. Ini berbeda

dengan beberapa analisis sebelumnya (e.g, Aldrian, 2006; Soetamto, 2009) yang

menggunakan trend linier.

Untuk analisis trend perubahan curah hujan secara spasial digunakan data GPCC. Karena data

GPCC merupakan data grid berukuran 0,5º , kecocokannya dengan data stasiun (GHCN) perlu

diuji terlebih dahulu. Dalam hal ini, kami mengambil contoh data dari dua stasiun yakni Jakarta

dan Ampenan (Lombok) sebagai sampel untuk perbandingan kedua data dan hasilnya dapat

dilihat pada Gambar 5 dalam bentuk time series dan Gambar 6 dalam bentuk diagram pencar

(scatter plot). Dalam Gambar ini, nilai data GPCC adalah hasil interpolasi ke titik koordinat stasiun

atau titik terdekatnya. Perlu dicatat bahwa data stasiun adalah merupakan data gabungan GHCN

dengan data lain yang tersedia (data ASEAN Compendium untuk Jakarta dan data dari BMKG

untuk Ampenan).

Page 27: Basis Saintifik Analisis Dan Proyeksi Suhu Dan Curah Hujan

15 | I C C S R

Gambar 5. Contoh perbandingan data time series dari GHCN (merah) dan GPCC (biru) untuk

Stasiun Jakarta (kiri) dan Ampenan (kanan).

Secara kasat mata (visual) dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan antara data stasiun dengan data

grid GPCC tetapi masih menunjukkan trend yang sama. Gambar 6 juga memperlihatkan bahwa,

meskipun terdapat nilai sebaran yang cukup besar, terdapat korelasi linier yang signifikan dengan

koefisien lebih besar dari 0.8. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa data GPCC dapat

mewakili data pengamatan dengan cukup baik. Meskipun demikian, perlu dicatat bahwa tidak

semua data grid GPCC diestimasi dari pengamatan stasiun karena ada yang murni merupakan

hasil interpolasi.

Dengan asumsi data GPCC dapat mewakili pengamatan, maka sebagaian besar analisis dilakukan

terhadap data ini untuk mendapatkan trend perubahan iklim saat ini, termasuk proyeksi nilai

rerata dan standar deviasi. Seperti disebutkan sebelumnya, proyeksi nilai rerata dilakukan dengan

menggunakan trend polinomial. Hal ini diperlukan karena perubahan curah hujan terhadap waktu

pada umumnya tidak linier. Sebagai contoh, pada Gambar 7 diperlihatkan data moving average 30

tahun dari curah hujan bulan Januari di stasiun Jakarta berikut analisis trend polinomialnya.

Dalam gambar ini, setiap titik data mewakili nilai rata-rata untuk 30 tahun, meskipun perlu dicatat

bahwa sebagian besar data antara 1940-1950 kosong dan rata-rata untuk tahun 1995 hanya

mewakili data antara 1980-2007 (kurang dari 30 tahun).

0 50 100 150 200 250 300 3500

100

200

300

400

500

600

700

800

900

Jan1961 - Dec1990

Rai

nfal

l (m

m)

Rainfall Data of JAKARTA (corr = 0.885)

GPCC DataGHCN Data

0 50 100 150 200 250 300 3500

100

200

300

400

500

600

Jan1961 - Dec1990

Rai

nfal

l (m

m)

Rainfall Data of AMPENEN (corr = 0.876)

GPCC DataGHCN Data

Page 28: Basis Saintifik Analisis Dan Proyeksi Suhu Dan Curah Hujan

16 | I C C S R

Gambar 6. Perbandingan data curah hujan stasiun (GHCN) dan GPCC dalam bentuk diagram

pencar (scatter plot) untuk dua lokasi yang sama dengan Gambar 5.

Dari Gambar 7 dapat dilihat dengan jelas bahwa perubahan rata-rata 30 tahun mengikuti pola

polinomial. Namun demikian, untuk setiap titik data dan setiap bulannya kita tidak memeriksa

satu persatu polinom derajat berapa yang paling sesuai. Untuk itu, proyeksi terbaik dicari dengan

cara menghitung rata-rata terbotot (weighted average) dari enam estimasi yang ada. Perata-rataan ini

secara matematis dapat dituliskan sebagai

∑=i

niin tPwtP )()(

dimana nilai fungsi bobot untuk setiap estimasi polinom dientukan oleh

∑∑ −

=

ii

iii RMSE

RMSERMSEw

dengan RMSE (root mean squared error) dihitung dari perbedaan antara nilai polinom dengan nilai

observasi untuk setiap titik data.

0 100 200 300 400 500 600 700 800 9000

100

200

300

400

500

600

700

800

GHCN Data

GPC

C D

ata

JAKARTA (corr = 0.885)

0 100 200 300 400 500 6000

100

200

300

400

500

600

GHCN Data

GPC

C D

ata

AMPENEN (corr = 0.876)

Page 29: Basis Saintifik Analisis Dan Proyeksi Suhu Dan Curah Hujan

17 | I C C S R

Gambar 7. Contoh analisis trend moving average 30-tahun menggunakan polinom orde 1 (linier)

sampai dengan orde 6 (atas) dan hasil residu-nya (bawah).

3.2.2 Pengolahan Data GCM

Pengolahan data GCM pada dasarnya dilakukan untuk mencari satu atau kombinasi beberapa

keluaran model yang paling sesuai dengan data pengamatan. Berdasarkan hasil kajian Reichler

(2008), kami mengasumsikan bahwa rata-rata ensemble dari beberapa model yang cukup

konsisten untuk daerah tropis akan lebih baik menggambarkan keadaan iklim di Indonesia

daripada satu model saja. Pada Gambar 8 diperlihatkan sebaran koefisien korelasi antara curah

hujan komposit (rata-rata untuk tiap-tiap bulan) base line (1961-1990) keluaran salah satu GCM

(GFDLCM20) dengan data GPCC. Dari gambar ini dapat diketahui bahwa keluaran model

GFDLCM20 cukup baik merepresentasikan pola iklim base line di P. Jawa, Kepulauan

Nusatenggara, dan beberapa daerah lainnya di Sulawesi dan Papua. Namun tidak demikian

dengan sebagian besar daerah di P. Kalimantan. Oleh karena itu, untuk tiap-tiap titik grid harus

dihitung koefisien korelasi dari tiap-tiap model dan hanya model-model dengan korelasi yang

cukup baik saja yang dapat dirata-ratakan untuk mendapatkan nilai proyeksi iklim. Dalam hal ini,

untuk mendapatkan nilai proyeksi di setiap titik grid, kami mengambil empat model terbaik

1920 1930 1940 1950 1960 1970 1980 1990

-20

0

20

1910 1920 1930 1940 1950 1960 1970 1980 1990 2000 2010320

340

360

380

400

420

Year

30-y

ear

mean r

ain

fall (

mm

)

Year

Resid

uals

(m

m)

data Projection linear quadratic cubic 4th degree 5th degree 6th degree

Page 30: Basis Saintifik Analisis Dan Proyeksi Suhu Dan Curah Hujan

18 | I C C S R

berdasarkan nilia koefisien korelasi untuk dirata-ratakan. Pendekatan ini kami sebut sebagai

selective ensemble mean. Dari Gambar 8 juga dapat dilihat bahwa, dengan menggunakan rata-rata

ensemble, pola curah hujan rata-rata yang dihasilkan akan cenderung lebih dekat ke pengamatan

(data GPCC) meskipun sebaran nilai keluaran model cukup besar.

Gambar 8. Distribusi nilai koefisien korelasi komposit base line (1961-1990) antara data curah

hujan keluaran model GFDLCM20 dengan GPCC (kiri), dan contoh hasil pola ensemble

komposit baseline curah hujan untuk suatu wilayah di Kalimantan (kiri). Garis penuh warna

merah dan hitam masing-masing mewakili nilai rata-rata ensemble dan pengamatan.

Pengolahan data keluaran temperatur lebih sulit dilakukan secara spasial karena tidak tersedianya

data pengamatan spasial yang representatif karena data global hanya tersedia pada grid 2,5 derajat.

Untuk beberapa titik pengamatan yang datanya tersedia, kami melakukan perbandingan antara

data ensemble GCM dengan data pengamatan. Gambar 9 memperlihatkan contoh perbandingan

data GCM dengan data pengamatan temperatur permukaan di dua stasiun yakni Polonia-Medan

dan Penfui-Kupang. Perbandingan untuk kedua stasiun tersebut memperlihatkan pola dan orde

yang cukup mirip antara data keluaran GCM dengan pengamatan, meskipun jelas terlihat juga

adanya bias atau perbedaan nilai rata-rata dan variansi. Hal ini antara lain disebabkan oleh faktor

grid yang kasar dari model GCM sehingga representasi kondisi daratan tidak cukup baik.

Mengingat keterbatasan data base line klimatologi, baik untuk curah hujan maupun temperatur,

analisis proyeksi iklim dari keluaran GCM di sini akan lebih difokuskan pada trend perubahan

nilai rata-rata klimatologis dari curah hujan dan temperatur di masa depan relatif terhadap periode

base line dengan hanya menggunakan data model (GCM). Analisis ini diharapkan dapat

memberikan gambaran mengenai ada atau tidaknya bahaya perubahan iklim di masa mendatang.

Page 31: Basis Saintifik Analisis Dan Proyeksi Suhu Dan Curah Hujan

19 | I C C S R

Gambar 9. Perbandingan data temperatur permukaan keluaran GCM dengan temperatur

permukaan

Page 32: Basis Saintifik Analisis Dan Proyeksi Suhu Dan Curah Hujan

20 | I C C S R

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Trend Perubahan Iklim di Indonesia Saat Ini 4.1.1 Perubahan Curah Hujan

Berdasarkan kriteria deteksi perubahan iklim yang dibahas sebelumnya, analisis trend perubahan

iklim saat ini dilakukan dengan melihat perubahan nilai rerata 30-tahun (30-year mean). Sebagai

contoh, pada Gambar 10 ditunjukkan grafik perubahan nilai rerata 30-tahun curah hujan dihitung

secara berjalan (moving) untuk setiap 5 tahun dari data stasiun Jakarta. Gambar terebut antara lain

memperlihatkan kenaikan curah hujan bulan Januari yang cukup signifikan pada periode tahun

1970-an dibandingkan dengan tahun 1900-an, dengan selisih nilai rerata 30-tahunan sekitar 100

mm. Secara umum juga diperlihatkan bahwa curah hujan di bulan-bulan Januari sampai dengan

April lebih sensitif terhadap perubahan dibandingkan dengan bulan-bulan lainnya. Selain itu,

dapat dilihat juga bahwa curah hujah Januari cenderung menurun kembali menuju tahun 2000-an,

sebaliknya curah hujan Februari cenderung naik.

Gambar 10. Perubahan nilai curah hujan rerata 30-tahun untuk setiap bulan pada beberapa kurun

waktu (kiri) dan grafik moving average-nya untuk bulan-bulan basah D(esember)-J(anuari)-F(ebruari)

(kanan).

Contoh analisis di atas memperlihatkan bahwa perubahan iklim, pada taraf tertentu telah terjadi di

Jakarta dilihat dari adanya perubahan nilai rerata (mean) pada data curah hujan dari satu periode

30-tahun ke periode 30-tahun lainnya. Untuk mengetahui trend perubahan curah hujan di seluruh

daerah di Indonesia, maka dilakukan analsis serupa terhadap data GPCC yang berbentuk grid

J A S O N D J F M A M J 0

50100150200250300350400450500550600650700750800

Ave

rage

Rai

nfal

l (m

m)

Month

JAKARTA OBSERV. (30-year Annual Pattern)Lat = -6.17 , Lon = 106.82

1891-19201911-19401931-19601951-19801971-2000

1896 1906 1916 1926 1936 1946 1956 1966 1976 1986 0

50

100

150

200

250

300

350

400

450

500

550

600

650

700

Ave

rage

Rai

nfal

l (m

m)

Month

JAKARTA OBSERV. (30-year Average)Lat = -6.17 , Lon = 106.82

DJF

Page 33: Basis Saintifik Analisis Dan Proyeksi Suhu Dan Curah Hujan

21 | I C C S R

dengan ukuruan 0,5º. Seperti dijelaskan sebelumnya, proyeksi nilai rerata curah hujan juga dicoba

dilakukan berdasarkan analisis trend polinomial. Contoh hasil analisis antara lain diperlihatkan

pada Gambar 11 dan 12, sedangkan hasil selengkapnya ada pada Lampiran A dan B. Pada

Gambar 11 tersebut dapat dilihat bahwa, dibandingkan terhadap base line, terdapat perubahan

nilai curah hujan rata-rata yang tidak seragam untuk bulan Januari. Di P. Sumatera, sebagian besar

daerah mengalami kenaikan nilai curah hujan rata-rata antara 10-50 mm, sedangkan di wilayah lain

terdapat daerah yang curah hujan rata-ratanya naik tetapi ada juga yang turun. Perlu diperhatikan,

misalnya, di wilayah Jawa-Bali dan Nusatenggara terdapat variasi yang cukup menonjol dimana

curah hujan untuk P. Lombok yang cenderung turun berbeda dengan P. Bali yang cenderung naik.

Gambar 11. Contoh hasil analisis trend curah hujan bulan Januari dari data GPCC : nilai rata-rata

base line 1961-1990 (kiri) dan selisih nilai rata-rata periode saat ini 1980-2010 (data sampai 2007)

dengan base line.

Analisis trend di atas setidaknya memberikan gambaran terhadap kondisi iklim saat ini

dibandingkan periode base line 1961-1990. Selebihnya dari itu, hasil ekstrapolasi polinomial pada

Gambar 12 memperlihatkan kecenderungan curah hujan yang mungkin terjadi sampai dengan

tahun 2020 (lihat juga Lampiran B). Selain proyeksi nilai rerata, dengan metode yang sama juga

dicoba dihitung proyeksi nilai deviasi standar yang dapat digunakan sebagai ukuran dari

variabilitas iklim. Meningkatnya nilai deviasi standar dapat diartikan sebagai bertambahnya

ketidakpastian iklim akibat dari kuatnya variabilitas iklim di daerah tertentu. Baik perubahan nilai

rerata maupun deviasi standar memberikan kontribusi tertentu terhadap potensi bahaya

perubahan iklim.

Untuk contoh kasus bulan Januari, dapat dilihat bahwa hampir seluruh daerah Sumatera secara

rata-rata masih berpotensi mengalami peningkatan curah hujan sampai dengan tahun 2020

Page 34: Basis Saintifik Analisis Dan Proyeksi Suhu Dan Curah Hujan

22 | I C C S R

dengan gangguan (ketidakpastian) pola curah hujan yang meningkat untuk daerah Sumatera Barat

dan Utara. Potensi bahaya perubahan nilai rerata curah hujan dan variabilitasnya juga terjadi di

beberapa wilayah lainnya. Penurunan jumlah curah hujan bulan Januari cenderung terjadi di

sebagian Wilayah Nusa Tenggara, daerah Kepala Burung di Papua dan sebagaian daerah di

Kalimantan Timur. Di P. Jawa, meskipun sebagian daerah mengalami penurunan curah hujan,

variabilitas pada umumnya meningkat.

Gambar 12. Contoh hasil proyeksi perubahan curah hujan untuk bulan Januari dalam bentuk

selisih nilai rerata (atas) dan standar deviasi (bawah) 30-tahun antara periode 1985-2015 (kiri) dan

periode 1990-2020 (kanan) terhadap base line.

4.1.2 Perubahan Temperatur Permukaan

Analisis perubahan temperatur permukaan cukup sulit dilakukan karena tidak terdapatnya data

pengamatan yang representatif (Manton et al., 2001; IPCC, 2007). Namun demikian, kami

mencoba menganalisis data temperatur dengan rentang waktu yang cukup panjang dari beberapa

stasiun untuk mendapatkan gambaran mengenai perubahan temperatur permukaan di Indonesia.

Hasil analisis untuk data temperatur stasiun Jakarta diperlihatkan pda Gambar 13. Data time

series sekilas menunjukkan suatu trend kenaikan temperatur yang signifikan antara tahun 1870-an

dan tahun 1980-an. Namun demikian, apabila dilihat perubahan nilai temperatur rata-rata 30-an

untuk tiap-tiap bulannya, maka dpat diketahui bahwa perubahan pada bulan-bulan kering Juni-

Page 35: Basis Saintifik Analisis Dan Proyeksi Suhu Dan Curah Hujan

23 | I C C S R

Juli-Agustus (JJA) lebih besar daripada perubahan pada bulan-bulan basah Desember-Januari-

Februari (DJF). Jika diambil trend linier, perubahan temperatur untuk bulan-bulan basah hanya

berkisar 0,5º C pada bulan-bulan basah tetapi pada bulan-bulan kering dapat mencapai 1,5º C

selama abad ke-20. Kenaikan temperatur pada bulan-bulan kering di Jakarta kemungkinan besar

sangat dipengaruhi oleh kondisi lokal dalam bentuk efek pulau panas perkotaan (urban heat island).

Efek pulau panas perkotaan terutama ditimbulkan oleh perubahan tutupan lahan, sedangkan

kontributor lainnya adalah dapat diperkirakan dari pembuangan panas dari kegiatan industri,

transportasi, dan rumah tangga.

Gambar 13. Contoh hasil analisis perubahan temperatur di Jakarta : (a) data time series

temperatur bulanan, (b) grafik komposit temperatur 30-tahun untuk tiap-tiap bulan (dengan

urutan Juli ke Juni), (c) grafik moving average 30-tahunan untuk bulan Desember, Januari,

Februari, dan (d) sama dengan (c) untuk bulan Juni, Juli, Agustus.

1860 1875 1890 1905 1920 1935 1950 1965 1980 1995 201024.5

25

25.5

26

26.5

27

27.5

28

28.5

29

29.5

Time Series of Monthly Mean TemperatureJAKARTA OBSERV. Lat = -6.18 , Lon = 106.83

(Jan1866 - Feb2009)

Time

T (o C

)

J A S O N D J F M A M J24

25

26

27

28

29

30

Ave

rage

Tem

pera

ture

(o C)

Month

30-year Annual Pattern

1879-19081899-19281919-19481939-19681959-19881979-2008

1904 1914 1924 1934 1944 1954 1964 1974 1984 1994 26

26.5

27

27.5

28

28.5

29

Ave

rage

Tem

pera

ture

(o C)

Month

30-year Average (DJF)

DJF

1904 1914 1924 1934 1944 1954 1964 1974 1984 1994 26

26.5

27

27.5

28

28.5

29

Ave

rage

Tem

pera

ture

(o C)

Month

30-year Average (JJA)

JJA

(a) (b)

(c) (c)

Page 36: Basis Saintifik Analisis Dan Proyeksi Suhu Dan Curah Hujan

24 | I C C S R

4.1.3 Perubahan Peluang Kejadian Cuaca dan Iklim Ekstrem

Analisis terhadap kejadian cuaca ekstrim sebenarnya memerlukan data yang lebih lengkap. Untuk

menganalisis kejadian hujan ekstrim, misalnya, setidaknya diperlukan data curah hujan harian,

bahkan 1 jam-an. Namun demikian, sedikit lebih banyak informasi juga mungkin masih bisa digali

dari data curah hujan bulanan hasil pengamatan di stasiun. Pada Gambar 14 diperlihatkan grafik

Cumulative Distribution Function (CDF) empirik dari kurun 30 tahun yang berbeda sperti halnya

pada Gambar 10. Dari Gambar tersebut dapat dilihat bahwa untuk bulan-bulan Desember-

Januari-Februari (DJF), peluang terjadinya curah hujan bulan dengan nilai sebesar 500 m

meningkat sekitar 10% (dari 10% ke 20 %) pada periode 1961-1990 dibandingkan dengan

periode 1901-1930 dan 1931-1960. Di lain pihak, perubahan dsitribusi peluang untuk curah hujan

di bulan-bulan Maret-April-Mei (MAM) tidak terlalu tampak jelas. Perlu dicatat bahwa distribusi

peluang curah hujan untuk tahun 1991-1997 agak sulit untuk diinterpretasi karena data yang

tersedia tidak cukup banyak untuk membentuk suatu kurva normal. Keterkaitan antara peluang

curah hujan bulanan yang tinggi dengan curah hujan ekstrim tentunya tidak terlalu jelas. Akan

tetapi hujan rata-rata di Jakarta adalah sekitar 200-300 mm/bulan selama bulan-bulan DJF, dan

hujan 500 mm/bulan adalah hampir dua kali rata-rata. Apabila jumlah hari hujan dianggap tetap,

maka dapat diperkirakan bahwa haruslah terjadi peningkatan intensitas curah hujan harian juga.

Gambar 14. Grafik Cumulative Distribution Function (CDF) empirik, dari data curah hujan bulanan

Jakarta selama beberapa periode 30-tahunan.

Dalam hal proyeksi peluang kejadian cuaca ekstrim, keluaran GCM dengan resolusi 20 km dari

MRI dapat memberikan informasi tambahan. Namun demikian, perlu dicatat bahwa sebenarnya

data tersebut memerlukan proses kalibrasi. Secara terbatas, kami mencoba menganalisis distribusi

peluang hujan dari keluaran model MRI-GCM untuk tahun-tahun 2015, 2020, 2025 dan 2030.

Pada Gambar 15 diperlihatkan grafik peluang kumulatif nilai curah hujan untuk wilayah Jawa-Bali

0 100 200 300 400 500 600 700 800 900 0

0.1

0.2

0.3

0.4

0.5

0.6

0.7

0.8

0.9

1

Cum

ulat

ive

Prob

abili

ty

Rainfall (mm/month)

Empirical CDF (DJF)

1901-19301931-19601961-19901991-1997

0 100 200 300 400 500 600 700 800 900 0

0.1

0.2

0.3

0.4

0.5

0.6

0.7

0.8

0.9

1

Cum

ulat

ive

Prob

abili

ty

Rainfall (mm/month)

Empirical CDF (MAM)

1901-19301931-19601961-19901991-1997

Page 37: Basis Saintifik Analisis Dan Proyeksi Suhu Dan Curah Hujan

25 | I C C S R

(diambil daratan saja) yang menunjukkan bahwa nilai curah hujan 20 mm/hari sudah merupakan

5% batas atas.

Gambar 15. Grafik Peluang Kumulatif curah hujan harian dari keluaran model MRI-GCM untuk

wilayah Jawa-Bali. Garis putus-putus merah menunjukkan nilai 1 mm (vertikal) dan nilai fungsi

peluang 0.95 (horizontal).

Untuk melihat perubahan peluang curah hujan ekstrim, peta distribusi peluang curah hujan lebih

dari 20 mm dipelihatkan pada Gambar 16. Menurut hasil simulasi MRI-GCM, dapat dilihat

bahwa daerah berpeluang hujan ekstrim di P. Jawa lebih banyak (tersebar) pada tahun 2015

dibandingkan dengan 2020. Namun demikian, peluang kejadian curah hujan ekstrim di sekitar

Jakarta akan lebih besar pada tahun 2020 dibandingkan dengan tahun 2015. Proyeksi ini cukup

konsisten dengan hasil dari analisis data GPCC (Lampiran B2) dimana trend perubahan dari

periode 1981-2010 ke 1990-2020 menunjukkan peningkatan variabilitas yang lebih besar

dibandingkan 1981-2010 ke 1985-2015 untuk daerah Jakarta.

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 1000

0.1

0.2

0.3

0.4

0.5

0.6

0.7

0.8

0.9

1

Curah Hujan (mm/hari)

Dis

tribu

si P

elua

ng K

umul

atif

Page 38: Basis Saintifik Analisis Dan Proyeksi Suhu Dan Curah Hujan

26 | I C C S R

Gambar 16 Distribusi peluang curah hujan harian yang tinggi (> 20 mm/hari menurut keluaran

model GCM) di wilayah Jawa-Bali pada tahun 2015 (kiri) dan 2020 (kanan).

4.2 Perubahan Iklim Pada Periode 2030-an dan 2080-an

Proyeksi iklim untuk kurun waktu yang lebih jauh ke depan hanya bisa didapatkan melalui analisis

keluaran GCM. Karena keluaran GCM merupakan data 4-dimensi (lintang, bujur, waktu,

skenario), maka sangat sulit untuk menampilkan seluruh data yang ada. Untuk menampilkan

informasi secara lebih ringkas, kami hanya meninjau perubahan temperatur dan curah hujan pada

periode 2020-2050 (2030-an) dan periode 2070-2100 (2080-an) terhadap 1961-1990 yang

merupakan periode base line. Kemudian setiap wilayah dibagi menjadi beberapa area dan data

keluaran GCM dirata-ratakan pada area tersebut. Sebagai contoh, seperti yang diperlihatkan pada

Gambar 17, wilayah Jawa-Bali dibagi mejadi empat area yaitu : (1) Bagian Barat, (2) Bagian

Tengah, (3) Bagian Timur, dan (4) Bali .

4.2.1 Proyeksi Perubahan Temperatur Permukaan

Proyeksi temperatur permukaan untuk keempat area di wilayah Jawa-Bali dapat dilihat pada

gambar 18. Dari gambar tersebut dapat diketahui bahwa proyeksi peerubahan temperatur rata-

rata pada umumnya tidak banyak bervariasi dari satu area ke area yang lain. Selain itu, perubahan

temperatur juga mengikuti trend global dengan kenaikan yang hampir linier.

Page 39: Basis Saintifik Analisis Dan Proyeksi Suhu Dan Curah Hujan

27 | I C C S R

Gambar 17. Pembagian wilayah Jawa-Bali menjadi empat bagian untuk analisis proyeksi iklim.

Perbedaan skenario memberikan perbedaan kenaikan temperatur secara signifikan pada proyeksi

periode 2080-an, sedangkan kenaikan temperatur pada periode 2030-an secara rata-rata tidak

menunjukkan nilai yang berarti. Skenario A2, dengan konsentrasi CO2 tertinggi di tahun 2100

seperti diharapkan memang memberikan kenaikan yang lebih besar yakni berkisar 3º C. Di lain

pihak, skenario B1 hanya memberikan kenaikan berkisar 2º C dan skenario A1B memberikan nilai

di antara itu. Hal ini menunjukkan bahwa secara pemodelan, kenaikan temperatur permukaan

memang mengikuti mekanisme yang relatif sederhana dimana pertambahan panas ditentukan oleh

kesetimbangan radiasi infra merah yang sangat didikte oleh konsentrasi CO2

sebagai gas rumah

kaca. Grafik kenaikan temperatur untuk wilayah lainnya dapat dilihat pada Lampiran D1-D7.

Page 40: Basis Saintifik Analisis Dan Proyeksi Suhu Dan Curah Hujan

28 | I C C S R

Gambar 18. Proyeksi kenaikan temperatur rata-rata periode 2030-an (kiri) dan 2080-an (kanan)

untuk skenario B1, A1B, dan A2 (dari bawah ke atas) di atas wilayah Jawa-Bali (lihat Gambar 17).

Page 41: Basis Saintifik Analisis Dan Proyeksi Suhu Dan Curah Hujan

29 | I C C S R

4.2.2 Proyeksi Perubahan Curah Hujan

Proyeksi perubahan pola curah hujan di atas wilayah Jawa-Bali pada umumnya lebih bervariasi

daripada pola kenaikan temperatur yang cenderung linier. Secara garis besar, potensi bahaya

yang perlu diwaspadai adalah adanya kecenderungan bertambahnya curah hujan di bulan-bulan

basah dan agak berkurangnya curah hujan di bulan-bulan transisi, jika dibandingkan terhadap

kondisi base line (1961-1990). Menurut hasil analisis keluaran GCM, kondisi ini akan semakin

parah memasuki periode 2080-an. Dalam hal semakin berkurangnya curah hujan di bulan-bulan

kering, Jawa Bagian Barat tampaknya merupakan area yang paling besar potensi bahayanya

dibandingkan daerah lain. Perlu diperhatikan juga adanya variasi yang tinggi untuk proyeksi curah

hujan bulan Januari pada hasil untuk ketiga skenario SRES.

Meskipun tidak sesederhana pola temperatur, pengaruh skenario juga terlihat proporsional

terhadap konsentrasi CO2, dimana skenario A2 dengan konsentrasi CO2

tertinggi juga

menghasilkan magnitudo perubahan curah hujan yang besar. Analisis keluaran GCM ini juga

memberikan gambaran mengenai pola perubahan per bulannya sehingga dapat diketahui,

misalnya, area Jawa Bagian Timur dan Bali akan lebih banyak mengalami kenaikan curah hujan di

bulan Februari dibandingkan dengan area Jawa Bagian Barat pada periode 2030-an.

4.2.3 Proyeksi Perubahan Peluang Kejadian Cuaca dan Iklim Ekstrim

Analisis untuk proyeksi perubahan peluang kejadian cuaca dan iklim ekstrim masih perlu

dilakukan sehingga pada tahap ini belum hasilnya belum dapat disampaikan. Karena ketersediaan

data yang cukup terbatas, tidak banyak yang dapat dilakukan untuk mengetahui potensi bahaya

karena cuaca ekstrim. Meskipun demikian, bahaya iklim ekstrim seperti terjadinya tahun kering

secara berturut-turut menjadi salah satu hal yang perlu diwaspadai. Hal ini masih ditelaah dan

akan diulas dalam perbaikan laporan kajian ini.

Page 42: Basis Saintifik Analisis Dan Proyeksi Suhu Dan Curah Hujan

30 | I C C S R

Gambar 19. Sama seperti Gambar 18 tetapi untuk curah hujan.

Page 43: Basis Saintifik Analisis Dan Proyeksi Suhu Dan Curah Hujan

31 | I C C S R

BAB 5 REKOMENDASI UMUM UNTUK ADAPTASI SEKTORAL 5.1 Deskripsi Perubahan Iklim di Setiap Wilayah

Sebagai dasar untuk penyusunan Roadmap, kami berupaya agar hasil kajian scientific basis dapat

dirumuskan dalam bentuk sederhana tetapi padat informasi. Namun hal ini tidak terlalu mudah

untuk dilakukan karena permasalahan iklim di Indonesia yang sangat kompleks dan berbagai

keterbatasan data proyeksi iklim yang ada. Di bawah ini kami coba sampaikan secara ringkas

gambaran umum mengenai proyeksi perubahan iklim dan kemungkinan potensi bahayanya di

tiap-tiap wilayah.

5.1.1 Perubahan Iklim di Wilayah Jawa-Bali

Perubahan iklim di wilayah Jawa-Bali telah dibahas dalam contoh hasil analisis proyeksi iklim di

atas. Secara ringkas dapat disampaikan kembali bahwa relatif terhadap kondisi saat ini (rata-rata

1981-2007), perubahan curah hujan antara 2010 sampai dengan 2015 tidak banyak berpengaruh

pada rata-rata klimatologis. Namun demikian, rata-rata curah hujan tahun 2010 sampai dengan

2020 memperlihatkan peningkatan curah hujan yang cukup signifikan pada bulan-bulan

Desember-Januari-Februari-Maret dengan peningkatan variabilitas terutama di Jawa Bagian Barat

dan sepanjang Pantai Utara.

Proyeksi model GCM menunjukkan bahwa kenaikan temperatur permukaan rata-rata pada

periode 2020-2050 sekitar 1º C untuk semua skenario relatif terhadap base line. Pada periode 2070-

2100, kenaikan temperatur berkisar 2º C untuk skenario B1, 2,5 º C untuk A1B, dan 3º C untuk

A2. Pola perubahan curah hujan menunjukkan kecenderungan umum dimana curah hujan di

bulan-bulan kering (Juni-Juli-Agustus) semakin berkurang, sementara peningkatan curah hujan

terjadi pada bulan-bulan musim basah (Desember-Januari-Februari), terutama pada periode 2080-

an.

5.1.2 Perubahan Iklim di Wilayah Sumatera

Curah hujan di sebagian wilayah Sumatera saat ini mempunyai kecenderungan naik relatif

terhadap baseline dan diproyeksikan masih akan terus naik sampai tahun 2020. Potensi bahaya

terdapat secara signifikan pada peningkatan curah hujan rata-rata dan variabilitasnya di Sumatera

Barat dan Utara pada bulan Oktober. Potensi bahaya peningkatan variabilitas curah hujan juga

secara lebih spesifik terdapat di bulan Mei untuk daerah Sumatera Barat.

Page 44: Basis Saintifik Analisis Dan Proyeksi Suhu Dan Curah Hujan

32 | I C C S R

Proyeksi model GCM menunjukkan bahwa kenaikan temperatur permukaan rata-rata pada

periode 2020-2050 sekitar 1º C untuk semua skenario relatif terhadap base line tetapi lebih

bervariasi dari bulan satu ke bulan lainnya antara 0-2 º C. Pada periode 2070-2100, kenaikan

temperatur berkisar 2º C untuk skenario B1, 2,5 º C untuk A1B, dan 3º C untuk A2 tetapi

perubahan terbesar dapat mencapai 4º C. Pola perubahan curah hujan menunjukkan perbedaan

untuk daerah Sumatera Bagian Selatan dibandingkan dengan bagian Sumatera lainnya.

Kecenderungan umum untuk daerah Sumatera Bagian Tengah sampai Utara dpat dikatakan

berkebalikan dengan pola yang terjadi di wilayah Jawa-Bali dimana curah hujan bulan Desember-

Januari-Februari berkurang tetapi untuk bulan Juli-Agustus-September meningkat. Untuk

Sumatera Bagian Selatan, kecenderungan berkurangnya curah hujan terjadi di bulan-bulan Juli-

Agustus-September tetapi lebih kecil daripada di Wilayah Jawa-Bali.

5.1.3 Perubahan Iklim di Wilayah Kalimantan

Peningkatan curah hujan terjadi di Kalimantan Bagian Timur terutama di sekitar Bulan Januari

dimana variabilitas juga mengalami peningkatan antara 2010-2020. Perubahan temperatur secara

umum mengikuti trend global yaitu sekitar 1º C pada periode 2030-an dan 1,5 º C – 3 º C pada

periode 2080-an dengan variasi yang lebih besar daripada di wilayah Jawa tetapi lebih kecil

daripada Sumatera. Perubahan curah hujan tidak menunjukkan pola yang terlalu jelas tetapi

peningkatan curah hujan lebih dominan pada periode 2080-an untuk skenario A1B dan A2.

5.1.4 Perubahan Iklim di Wilayah Sulawesi

Potensi bahaya perubahan curah hujan di wilayah Sulawesi periode 2010-2020 terdapat pada

peningkatan curah hujan di bulan Desember dan Januari , terutama untuk daerah Sulawesi Bagian

Utara. Perubahan temperatur secara umum mengikuti trend global yaitu sekitar 0.8º C pada

periode 2030-an dan 1,5 º C – 3 º C pada periode 2080-an dengan variasi yang cukup kecil.

Perubahan curah hujan menunjukkan pola yang sangat bervariasi dengan perbedaan yang cukup

mencolok antara daerah Sulawesi Bagian Selatan dan Utara terutama untuk skenario A1B.

5.1.5 Perubahan Iklim di Wilayah Nusatenggara

Proyeksi menggunakan data GPCC secara mencolok memperlihatkan adanya potensi bahaya

variabilitas iklim yang meningkat di Nusatenggara Bagian Barat untuk bulan November selama

periode 2010-2020. Sementara itu, curah hujan bulan Januari cenderung mengalami penurunan

yang signifikan. Perubahan temperatur secara umum mengikuti trend global yaitu naik sekitar 0.8º

C pada periode 2030-an dan 1,5 º C – 3 º C pada periode 2080-an dengan variasi yang cukup

Page 45: Basis Saintifik Analisis Dan Proyeksi Suhu Dan Curah Hujan

33 | I C C S R

besar antara bulan-bulan basah dengan bulan-bulan kering. Perubahan curah hujan menunjukkan

pola yang sangat bervariasi dengan kecenderungan menurun yang sedikit lebih dominan pada

periode 2080-an.

5.1.6 Perubahan Iklim di Wilayah Maluku

Perubahan curah hujan di wilayah Maluku berpotensi untuk mengalami peningkatan dan

penurunan selama periode 2010-2020 pada bulan-bulan yang berbeda. Potensi peningkatan nilai

rata-rata dan varibilitas curah hujan terutama terdapat pada bulan Juni di sekitar P. Seram.

Perubahan temperatur secara umum mengikuti trend global tetapi sedikit lebih kecil dari 1º C-3 º

C antara periode 2030-an sampai 2080-an. Perubahan curah hujan sangat bervariasi dengan

kecenderungan terjadi penurunan curah hujan pada 2030-an tetapi kemudian terjadi peningkatan

pada 2080-an.

5.1.7 Perubahan Iklim di Wilayah Papua

Perubahan curah hujan di wilayah Papua berpotensi untuk cenderung mengalami penurunan

selama periode 2010-2020. Potensi peningkatan variabilitas iklim terutama terdapat pada bulan

Juli. Perubahan temperatur secara umum mengikuti trend global yaitu 1º C-3 º C antara periode

2030-an sampai 2080-an dengan variasi yang cukup kecil kecuali untuk daerah Papua Bagian

Selatan. Demikian juga, perubahan curah hujan cenderung menunjukkan peningkatan yang

signifikan keculai untuk daerah Papua Bagian Selatan, terutama untuk periode 2080-an.

5.2 Catatan Tambahan

5.2.1 Variabilitas Iklim Jangka Panjang

Pemahaman kita tentang perubahan iklim sangatlah terbatas dalam berbagai hal, baik di masa

lampau dan masa kini, apalagi di masa depan. Namun demikian, dalam menghadapi isu perubahan

iklim, masalah utama yang kita hadapi adalah kenaikan temperatur permukaan bumi yang

disebabkan oleh kenaikan konsentrasi gas rumah kaca. Secara umum, adanya kenaikan

temperatur global setelah era industri telah diakui oleh para pakar iklim dunia. Sejauh ilmu

pengetahuan dan teknologi memungkinkan, kenaikan temperatur global telah dikonfirmasi oleh

para ahli melalui simulasi menggunakan GCM (Global Circulation Model) untuk kondisi abad ke-20.

Akan tetapi, para ahli juga menyadari bahwa keberhasilan GCM dalam mensimulasikan keadaan

iklim masa kini tidak menjamin keabsahan proyeksi iklim yang dihasilkan untuk 100 tahun ke

depan. Menyadari berbagai kelemahan tersebut, institusi pengembang model iklim juga terus

memperbaiki versi model dan keluarannya.

Page 46: Basis Saintifik Analisis Dan Proyeksi Suhu Dan Curah Hujan

34 | I C C S R

Menyikapi perubahan iklim yang terjadi akhir-akhir ini, selain prediksi perubahan iklim

berdasarkan keluaran model, hal lain yang perlu juga dicermati adalah variabilitas iklim jangka

panjang (interdekadal) seperti PDO (Pacific Decadal Oscillation) yang terkait dengan variasi suhu

muka laut di Pasifik Utara dan Pasifik Tengah (Mantua, 1997), dan AMO (Atlantic Multidecadal

Oscillation) yang terkait dengan perubahan sirkulasi termohalin (di kedalaman lautan) di Samudera

Atlantik (Soon, 2009). Adanya variabilitas iklim jangka panjang tersebut menyebabkan atribusi isu

pemanasan global terhadap perubahan iklim menjadi semakin sengit diperdebatkan di kalangan

ahli Klimatologi di dunia. Laporan IPCC (2007, Bab 6) juga antara lain membahas perdebatan

mengenai variabilitas iklim jangka panjang meskipun dengan kesimpulan bahwa perubahan iklim

yang terjadi saat ini tidak dapat dilepaskan dari pengaruh antropogenik.

Pengaruh variabilitas jangka panjang juga perlu dipertimbangkan dalam analisis proyeksi sehingga

tidak setiap pergeseran pola iklim dengan mudah di-atribusikan kepada pemanasan global. Pada

Gambar 20 diperlihatkan grafik time series indeks PDO dan curah hujan yang diambil dari data

curah hujan stasiun Ampenan (P. Lombok) setelah dilakukan penghalusan dengan periode 20

tahun. Data indeks PDO bisa didapatkan dari situs http://jisao.washington.edu/pdo/

PDO.latest . Dalam analisis ini data curah hujan dikonversi ke dalam indeks curah hujan (rainfall

index) dengan menghitung anomali serta membaginya dengan suatu bilangan skala. Dari Gambar

20 dapat dilihat adanya kecocokan pola variasi temporal antara variasi indeks PDO dengan curah

hujan di P. Lombok. Hal ini menunjukkan kemungkinan yang kuat mengenai keterkaitan antara

perubahan iklim saat ini dengan variabilitas jangka panjang yang mempengaruhi statistik curah

hujan antar kurun klimatologis (30 tahun). Korelasi yang cenderung linier juga diperlihatkan

apabila index curah hujan digeser 14 tahun ke belakang (Hadi et al., 2009)

Page 47: Basis Saintifik Analisis Dan Proyeksi Suhu Dan Curah Hujan

35 | I C C S R

Gambar 20. Grafik time-series indeks Pacific Decadal Oscillation (PDO; merah) dan indeks curah

hujan (biru) di stasiun Ampenan (P. Lombok) setelah dilakukan penghalusan dengan periode 20

tahun.

Kajian mutakhir oleh Soon (2009) menunjukkan bahwa variabilitas atmosfer dalam jangka

panjang dipengaruhi oleh dinamika laut di S. Atlantik melalui mekanisme yang disebut meridional

overturning circulation (MOC) yang didorong oleh variabilitas radiasi matahari. Gambar 21

memperlihatkan grafik time series temperatur muka laut di Atlantik dan iradiansi matahari total

yang menunjukkan kemiripan pola variasi jangka panjang yang cukup jelas. Dengan catatan ini

kami pertama ingin menegaskan mengenai pentingnya penguatan kajian dasar akademis terhadap

dinamika iklim di Indonesia sehingga perilaku perubahan iklim dapat dipahami secara lebih

komprehensif. Kedua, potensi bahaya perubahan iklim dari variabilitas iklim jangka panjang tidak

kalah pentingnya untuk diperhatikan dibandingkan perubahan iklim karena pemanasan global.

1900 1910 1920 1930 1940 1950 1960 1970 1980 1990 2000 2010

-1

0

1

Year

Rai

nfal

l/PD

O In

dex

Page 48: Basis Saintifik Analisis Dan Proyeksi Suhu Dan Curah Hujan

36 | I C C S R

Gambar 21. Grafik time-series anomali temperatur muka laut tahunan di Atlantik (garis putus-

putus) dan iradiansi matahari total (garis merah). (Sumber : Soon, 2009).

5.2.2 Ketidakpastian Proyeksi Iklim

Seperti disebutkan di awal pembahasan, proyeksi iklim selalu mengandung ketidakpastian dan

tantangan yang paling besar adalah bagaimana melakukan kuantifikasi terhadap ketidakpastian

tersebut untuk meningkatkan kedayagunaannya di dalam pengambilan keputusan. Dalam hal

proyeksi iklim dari data GCM, setidaknya ada tiga sumber ketidakpastian yang harus

diperhitungkan yakni : (1)skenario emisi gas rumah kaca, (2)sensitivitas iklim global terhadap

emisi gas rumah kaca (pemillihan model GCM), dan (3)response sistem iklim regional terhadap

pemanasan global (model downscaling).

Sebagai ilustrasi, dalam kajian ini diambi tiga skenario emisi (B1, A1B, A2) dan tujuh keluaran

GCM tanpa downscaling. Ini saja sudah menghasilkan 3×7 = 21 kemungkinan proyeksi. Untuk

analisis yang lebih komprehensif, ratusan kombinasi skenario dapat menghasilkan ratusan

kemungkinan yang kemudian dapat tinjau statistiknya. Dalam pembahasan sebelumnya, kami

hanya menampilkan estimasi terbaik (the best estimate) berupa nilai selective ensemble mean dengan

informasi ketidakpastian hanya dari tiga skenario SRES saja.

Page 49: Basis Saintifik Analisis Dan Proyeksi Suhu Dan Curah Hujan

37 | I C C S R

BAB 6 PENUTUP

Dalam rangka untuk mendukung proses penyusunan Roadmap, kami telah berusahan untuk

melakukan kajian mengenai perubahan iklim di Indonesia dengan sekomprehensif mungkin.

Meskipun demikian, berbagai keterbatasan data maupun metodologi yang kami gunakan, hasil-

hasil yang disampaikan di sini sangatlah bersifat sementara dan masih jauh dari kebutuhan

nasional akan informasi perubahan iklim yang lebih akurat. Oleh karena itu, ke depan perlu

disusun suatu program penguatan dasar akademis (scientific basis) perubahan iklim secara lebih

terkoordinasi melalui pemberdayaan lembaga-lembaga yang relevan secara lebih optimal. Dengan

demikian, Roadmap tidak hanya perlu untuk memandu aksi adaptasi sektor tetapi juga harus

dibuat untuk penguatan scientific basis.

Saat ini berbagai kajian terhadap dampak serta risiko terhadap perubahan iklim telah mulai banyak

dilakukan tanpa dukungan dasar akademis yang memadai. Agar isu perubahan iklim tidak hanya

dijadikan komoditi politis, ke depan kami memandang perlunya disusun suatu buku yang setara

dengan Climate Change 2007 The Physical Science Basis, atau kira-kira dalam semacam versi

Perubahan Iklim Indonesia 20xx : Kajian Dasar Akademis yang berisi kontribusi terbaik dari

seluruh lembaga maupun individu yang berkompeten dalam membahas perubahan iklim di

Indonesia.

Page 50: Basis Saintifik Analisis Dan Proyeksi Suhu Dan Curah Hujan

38 | I C C S R

DAFTAR PUSTAKA

Aldrian, E. and R.D. Susanto, 2003 : Identification of three dominant rainfall regions within

Indonesia and their relationship to sea surface temperature, Int. J. Climatol., 23, 1453-

1464

Aldrian, E., 2006 : Decreasing trends in annual rainfalls over Indonesia: A Threat to national

water resource?, J. Meteorologi dan Geofisika (in Press version).

Annamalai, H., K. Hamilton, and K.R. Sperber, 2006 : South Asian Summer Monsoon and Its

Relationship with ENSO in the IPCC AR4 simulations, J. Climate (in Press)

Australian Government, Department of the Environment and Heritage Australian Greenhouse

Office, 2005 : Climate Change Risk and Vulnerability,

(http://www.greenhouse.gov.au/ )

Boer, R. and Faqih, A. 2004 : Current and Future Rainfall Variability in Indonesia, Paper

submitted to Assessments of Impacts and Adaptations to Climate Change (AIACC),

( http://www.enfor.com.ph/publications.html )

Hadi, T.W., Halil, and Ibnu Sofian, 2009 : Recent Trend in The Interannual and Interdecadal

Rainfall Variation over Lombok Island, Indonesia, In Preparation (to be submitted

to SOLA in July )

IPCC, 2007: Climate Change 2007 : The Physical Science Basis. Contribution of Working Group

I to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate

Change [Solomon, S., D. Qin, M. Manning, Z. Chen, M. Marquis, K.B. Averyt, M.

Tignor and H.L. Miller (eds.)]. Cambridge University Press, Cambridge, United

Kingdom and New York, NY, USA, 996 pp.

IPCC-Task Group on Data and Scenario Support for Impacts and Climate Analysis (TGCIA),

2007 : General Guidelines on The Use of Scenario Data for Climate Impact and

Adaptation Assessement, Version 2, pp. 66

Joseph, R., and S. Nigam, 2006 : ENSO Evolution and Teleconnections in IPCC’s Twentieth-

Century Climate Simulations: Realistic Representation?, J. Climate, 19, 4360-4377

Kim, J., and T. Reichler, 2008 : Regional Performance of the IPCC-AR4 Models in Simulating

Present-Day Mean Climate, EGU General Assembly, Vienna, Austria, April 13-18,

(http://www.inscc.utah.edu/~reichler/talks/tjr_talks.shtml)

Manton, M.J., P.M. Della-Marta, M.R. Haylock, K.J. Hennessy, N. Nicholls, L.E. Chambers, D.A.

Collins, G. Daw, D. Gunawan, K. Inape, H. Isobe, T.S. Kestin, P. Lefale, C.H. Leyu,

Page 51: Basis Saintifik Analisis Dan Proyeksi Suhu Dan Curah Hujan

39 | I C C S R

T. Lwin, L. Maitrepierre, N. Ouprasitwong, C.M. Page, J. Pahalad, N. Plummer, M.J.

Salinger, R. Suppiah, V.L. Tran, B. Trewin, I. Tibig, and D. Yee, 2001, Trends in

extreme daily rainfall and temperature in Southeast Asia and the Southeast Pacific :

1961-1998, Int. J. Climatol., 21, 269-284.

Mantua, N.J. and S.R. Hare, Y. Zhang, J.M. Wallace, and R.C. Francis, 1997 : A Pacific

interdecadal climate oscillation with impacts on salmon production. Bull. Amer.

Meteor. Soc., 78, 1069-1079

Meehl, G.A., F. Zwiers, J. Evans, T. Knutson, L. Mearns, and P. Whetton, 2000 : Trends in

extreme weather and climate events : Issues related to modeling extremes in

projections of future clmate change, Bull. Amer. Met. Soc., 81(3), 413-416

Naylor, R.L., D.S. Battisti, D.J. Vimont, W.P. Falcon, and M.B. Burke, 2007 : Assessing risk of

climate variability and climate change for Indonesian rice agriculture, PNAS, 104(19),

7752-7757

Pielke, R.A., Jr., 2003 : What is climate change? Policy consequences of differing political and

scientific definitions, pp. 7, http://www.climateadaptation.net/

docs/papers/pielke.pdf

Santoso, H., and C. Forner, 2006 : Climate change projections for Indonesia, Background document

for the Southeast Asia kick-off meeting of the project Tropical Forests and Climate Change

Adaptation (“TroFCCA”), Bogor, May 29-30

Schneider, S., 2002 : Can we estimate the likelihood of climatic changes at 2100?, Climatic Change,

52, 441-451

Soetamto, 2009 : Analisa Perubahan Hujan di Indonesia, Materi FGD Sektor Air dan

Pengelolaan Limbah, Bappenas, 24 Februari

Soon, W.-H, 2009 : Solar Arctic-Mediated Climate Variation on Multidecadal to Centennial

Timescales: Empirical Evidence, Mechanistic Explanation, and Testable

Consequences, Preprint of publication to appear in Physical Geography (February 12)

Smith, I., 2009 : Current Issues with Climate Change Projections, AusAID Workshop 2009 on

High Resolution Climate Modelling of Climate Change over the Indonesian Region,

CSIRO Marine and Atmospheric Research, Aspendale, 18-29 May

Wilby, R.L., S. Charles, L.O. Mearns, P. Whetton, E. Zorito, B. Timbal, 2004 : Guidelines for use

of climate scenarios developed from statistical downscaling methods, IPCC Task

Group on Data and Scenario Support for Impacts and Climate Analysis (TGCIA),

(http://ipcc-ddc.cru.uea.ac.uk/

guidelines/StatDown_Guide.pdf)

Page 52: Basis Saintifik Analisis Dan Proyeksi Suhu Dan Curah Hujan

40 | I C C S R

Page 53: Basis Saintifik Analisis Dan Proyeksi Suhu Dan Curah Hujan

LAMPIRAN

Page 54: Basis Saintifik Analisis Dan Proyeksi Suhu Dan Curah Hujan

LAMPIRAN A – BASELINE CURAH HUJAN BERDASARKAN DATA GPCC

Page 55: Basis Saintifik Analisis Dan Proyeksi Suhu Dan Curah Hujan
Page 56: Basis Saintifik Analisis Dan Proyeksi Suhu Dan Curah Hujan

LAMPIRAN B1 – PROYEKSI PERUBAHAN CURAH HUJAN 2010-2015

Page 57: Basis Saintifik Analisis Dan Proyeksi Suhu Dan Curah Hujan
Page 58: Basis Saintifik Analisis Dan Proyeksi Suhu Dan Curah Hujan
Page 59: Basis Saintifik Analisis Dan Proyeksi Suhu Dan Curah Hujan

LAMPIRAN B2 - PROYEKSI PERUBAHAN CURAH HUJAN 2015-2020

Page 60: Basis Saintifik Analisis Dan Proyeksi Suhu Dan Curah Hujan
Page 61: Basis Saintifik Analisis Dan Proyeksi Suhu Dan Curah Hujan
Page 62: Basis Saintifik Analisis Dan Proyeksi Suhu Dan Curah Hujan

LAMPIRAN C –PEMBAGIAN WILAYAH (GRID) UNTUK PROYEKSI IKLIM

Page 63: Basis Saintifik Analisis Dan Proyeksi Suhu Dan Curah Hujan
Page 64: Basis Saintifik Analisis Dan Proyeksi Suhu Dan Curah Hujan

LAMPIRAN D1 - PROYEKSI 2030- DAN 2080-AN TEMPERATUR AREA JAWA-BALI

Page 65: Basis Saintifik Analisis Dan Proyeksi Suhu Dan Curah Hujan

LAMPIRAN D2 - PROYEKSI 2030- DAN 2080-AN TEMPERATUR KALIMANTAN

Page 66: Basis Saintifik Analisis Dan Proyeksi Suhu Dan Curah Hujan

LAMPIRAN D3 - PROYEKSI 2030- DAN 2080-AN TEMPERATUR AREA MALUKU

Page 67: Basis Saintifik Analisis Dan Proyeksi Suhu Dan Curah Hujan

LAMPIRAN D4 - PROYEKSI 2030- DAN 2080-AN TEMPERATUR AREA NUSA TENGGARA

Page 68: Basis Saintifik Analisis Dan Proyeksi Suhu Dan Curah Hujan

LAMPIRAN D5 - PROYEKSI 2030- DAN 2080-AN TEMPERATUR AREA PAPUA

Page 69: Basis Saintifik Analisis Dan Proyeksi Suhu Dan Curah Hujan

LAMPIRAN D6 - PROYEKSI 2030- DAN 2080-AN TEMPERATUR AREA SULAWESI

Page 70: Basis Saintifik Analisis Dan Proyeksi Suhu Dan Curah Hujan

LAMPIRAN D7 - PROYEKSI 2030- DAN 2080-AN TEMPERATUR AREA SUMATERA

Page 71: Basis Saintifik Analisis Dan Proyeksi Suhu Dan Curah Hujan

LAMPIRAN E1 - PROYEKSI 2030- DAN 2080-AN CURAH HUJAN AREA JAWA-BALI

Page 72: Basis Saintifik Analisis Dan Proyeksi Suhu Dan Curah Hujan

LAMPIRAN E2 - PROYEKSI 2030- DAN 2080-AN CURAH HUJAN AREA KALIMANTAN

Page 73: Basis Saintifik Analisis Dan Proyeksi Suhu Dan Curah Hujan

LAMPIRAN E3 - PROYEKSI 2030- DAN 2080-AN CURAH HUJAN AREA MALUKU

Page 74: Basis Saintifik Analisis Dan Proyeksi Suhu Dan Curah Hujan

LAMPIRAN E4 - PROYEKSI 2030- DAN 2080-AN CURAH HUJAN AREA NUSA TENGGARA

Page 75: Basis Saintifik Analisis Dan Proyeksi Suhu Dan Curah Hujan

LAMPIRAN E5 - PROYEKSI 2030- DAN 2080-AN CURAH HUJAN AREA PAPUA

Page 76: Basis Saintifik Analisis Dan Proyeksi Suhu Dan Curah Hujan

LAMPIRAN E6 - PROYEKSI 2030- DAN 2080-AN CURAH HUJAN AREA SULAWESI

Page 77: Basis Saintifik Analisis Dan Proyeksi Suhu Dan Curah Hujan

LAMPIRAN E7 - PROYEKSI 2030- DAN 2080-AN CURAH HUJAN AREA SUMATERA

Page 78: Basis Saintifik Analisis Dan Proyeksi Suhu Dan Curah Hujan

LAMPIRAN F – GRAFIK CURAH HUJAN STASIUN

J A S O N D J F M A M J 0

50100150200250300350400450500550600650700750800

Ave

rage

Rai

nfal

l (m

m)

Month

PIRU (30-year Annual Pattern)Lat = -3.07 , Lon = 128.18

1891-19201911-19401931-19601951-19801971-2000

J A S O N D J F M A M J 0

50100150200250300350400450500550600650700750800

Ave

rage

Rai

nfal

l (m

m)

Month

BLANG BINTANG BANDA (30-year Annual Pattern)Lat = 5.52 , Lon = 95.43

1891-19201911-19401931-19601951-19801971-2000

J A S O N D J F M A M J 0

50100150200250300350400450500550600650700750800

Ave

rage

Rai

nfal

l (m

m)

Month

PAYAKUMBUH (30-year Annual Pattern)Lat = -0.22 , Lon = 100.62

1891-19201911-19401931-19601951-19801971-2000

J A S O N D J F M A M J 0

50100150200250300350400450500550600650700750800

Ave

rage

Rai

nfal

l (m

m)

Month

PANGKAL PINANG (30-year Annual Pattern)Lat = -2.17 , Lon = 106.13

1891-19201911-19401931-19601951-19801971-2000

J A S O N D J F M A M J 0

50100150200250300350400450500550600650700750800

Ave

rage

Rai

nfal

l (m

m)

Month

BELINYU (30-year Annual Pattern)Lat = -1.65 , Lon = 105.77

1891-19201911-19401931-19601951-19801971-2000

J A S O N D J F M A M J 0

50100150200250300350400450500550600650700750800

Ave

rage

Rai

nfal

l (m

m)

Month

SINGKAWANG (30-year Annual Pattern)Lat = 0.92 , Lon = 109

1891-19201911-19401931-19601951-19801971-2000

Page 79: Basis Saintifik Analisis Dan Proyeksi Suhu Dan Curah Hujan

J A S O N D J F M A M J 0

50100150200250300350400450500550600650700750800

Ave

rage

Rai

nfal

l (m

m)

Month

JAKARTA OBSERV. (30-year Annual Pattern)Lat = -6.17 , Lon = 106.82

1891-19201911-19401931-19601951-19801971-2000

J A S O N D J F M A M J 0

50100150200250300350400450500550600650700750800

Ave

rage

Rai

nfal

l (m

m)

Month

BOGOREMPANG (30-year Annual Pattern)Lat = -6.6 , Lon = 106.78

1891-19201911-19401931-19601951-19801971-2000

J A S O N D J F M A M J 0

50100150200250300350400450500550600650700750800

Ave

rage

Rai

nfal

l (m

m)

Month

CIANJUR (30-year Annual Pattern)Lat = -6.82 , Lon = 107.45

1891-19201911-19401931-19601951-19801971-2000

J A S O N D J F M A M J 0

50100150200250300350400450500550600650700750800

Ave

rage

Rai

nfal

l (m

m)

Month

JATIWANGI (30-year Annual Pattern)Lat = -6.75 , Lon = 108.27

1891-19201911-19401931-19601951-19801971-2000

J A S O N D J F M A M J 0

50100150200250300350400450500550600650700750800

Ave

rage

Rai

nfal

l (m

m)

Month

BANJARNEGARA (30-year Annual Pattern)Lat = -7.4 , Lon = 109.7

1891-19201911-19401931-19601951-19801971-2000

J A S O N D J F M A M J 0

50100150200250300350400450500550600650700750800

Ave

rage

Rai

nfal

l (m

m)

Month

SIKAYU (30-year Annual Pattern)Lat = -7.68 , Lon = 109.48

1891-19201911-19401931-19601951-19801971-2000

Page 80: Basis Saintifik Analisis Dan Proyeksi Suhu Dan Curah Hujan

J A S O N D J F M A M J 0

50100150200250300350400450500550600650700750800

Ave

rage

Rai

nfal

l (m

m)

Month

KARANGASEM (30-year Annual Pattern)Lat = -7 , Lon = 111.1

1891-19201911-19401931-19601951-19801971-2000

J A S O N D J F M A M J 0

50100150200250300350400450500550600650700750800

Ave

rage

Rai

nfal

l (m

m)

Month

TUGUREJO (30-year Annual Pattern)Lat = -6.98 , Lon = 110.35

1891-19201911-19401931-19601951-19801971-2000

J A S O N D J F M A M J 0

50100150200250300350400450500550600650700750800

Ave

rage

Rai

nfal

l (m

m)

Month

TANJUNGTIRTO (30-year Annual Pattern)Lat = -7.8 , Lon = 110.47

1891-19201911-19401931-19601951-19801971-2000

J A S O N D J F M A M J 0

50100150200250300350400450500550600650700750800

Ave

rage

Rai

nfal

l (m

m)

Month

NGLANGON (30-year Annual Pattern)Lat = -7.15 , Lon = 111.15

1891-19201911-19401931-19601951-19801971-2000

J A S O N D J F M A M J 0

50100150200250300350400450500550600650700750800

Ave

rage

Rai

nfal

l (m

m)

Month

SRUNI (30-year Annual Pattern)Lat = -7.4 , Lon = 112.72

1891-19201911-19401931-19601951-19801971-2000

J A S O N D J F M A M J 0

50100150200250300350400450500550600650700750800

Ave

rage

Rai

nfal

l (m

m)

Month

PANDANLARAS (30-year Annual Pattern)Lat = -7.9 , Lon = 113.48

1891-19201911-19401931-19601951-19801971-2000

Page 81: Basis Saintifik Analisis Dan Proyeksi Suhu Dan Curah Hujan

J A S O N D J F M A M J 0

50100150200250300350400450500550600650700750800

Ave

rage

Rai

nfal

l (m

m)

Month

KABAT (30-year Annual Pattern)Lat = -8.27 , Lon = 114.32

1891-19201911-19401931-19601951-19801971-2000

J A S O N D J F M A M J 0

50100150200250300350400450500550600650700750800

Ave

rage

Rai

nfal

l (m

m)

Month

NEGARA (30-year Annual Pattern)Lat = -8.33 , Lon = 114.65

1891-19201911-19401931-19601951-19801971-2000

J A S O N D J F M A M J 0

50100150200250300350400450500550600650700750800

Ave

rage

Rai

nfal

l (m

m)

Month

BENTENG (30-year Annual Pattern)Lat = -6.12 , Lon = 120.47

1891-19201911-19401931-19601951-19801971-2000

J A S O N D J F M A M J 0

50

100

150

200

250

300

350

400

450

500

Ave

rage

Rai

nfal

l (m

m)

Month

REMBIGA AMPENAN (30-year Annual Pattern)Lat = -8.53 , Lon = 116.07

1891-19201911-19401931-19601951-19801971-2000

J A S O N D J F M A M J 0

50100150200250300350400450500550600650700750800

Ave

rage

Rai

nfal

l (m

m)

Month

LABUHA (30-year Annual Pattern)Lat = -0.65 , Lon = 127.47

1891-19201911-19401931-19601951-19801971-2000

J A S O N D J F M A M J 0

50100150200250300350400450500550600650700750800

Ave

rage

Rai

nfal

l (m

m)

Month

PATTIMURA/AMBON (30-year Annual Pattern)Lat = -3.7 , Lon = 128.1

1891-19201911-19401931-19601951-19801971-2000