basis saintifik analisis dan proyeksi suhu dan curah hujan
TRANSCRIPT
Republik Indonesia
Maret 2010
Basis Saintifik:Analisis dan Proyeksi Suhu
dan Curah Hujan
Tim Penyusun
Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap – ICCSR Basis Saintifik: Analisis dan Proyeksi Curah Hujan dan Temperatur Penasehat Prof. Armida S. Alisjahbana, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Bappenas Kepala Editor U. Hayati Triastuti, Deputi Menteri Bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup, Bappenas Koordinator ICCSR Edi Effendi Tedjakusuma, Direktur Lingkungan Hidup, Bappenas Editor Irving Mintzer, Syamsidar Thamrin, Heiner von Luepke, Dieter Brulez Laporan Sintesis Koordinator Penyusun untuk Adaptasi: Djoko Santoso Abi Suroso Laporan Basis Saintifik: Analisis dan Proyeksi Curah Hujan dan Temperatur Penyusun: Tri Wahyu Hadi. Tim Pendukung Teknis Chandra Panjiwibowo, Hendra Julianto, Leyla Stender, Tom Harrison, Ursula Flossmann-Krauss Tim Administrasi Altamy Chrysan Arasty, Risnawati, Rinanda Ratna Putri, Siwi Handinah, Wahyu Hidayat, Eko Supriyatno, Rama Ruchyama, Arlette Naomi, Maika Nurhayati, Rachman
ii | I C C S R
UCAPAN TERIMA KASIH Dokumen Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap (ICCSR) bertujuan untuk memberikan masukan pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) periode 2009-2014 berkaitan dengan perubahan iklim, serta sebagai masukan pada RPJMN berikutnya hingga tahun 2030. Dokumen ini memberikan arahan detail dalam menghadapi tantangan perubahan iklim di sektor kehutanan, energi, industri, pertanian, perhubungan, daerah pesisir, sumber daya air, limbah, dan kesehatan. Sudah merupakan kebijakan dari Bappenas untuk mengakomodasi peluang dan tantangan di sektor-sektor tersebut melalui perencanaan pembangunan dan koordinasi antara kementerian dan badan terkait secara efektif. Dokumen ini bersifat dinamis dan akan selalu diperbaharui berdasarkan kebutuhan dan tantangan yang timbul dalam menghadapi perubahan ikllim di masa mendatang. Perubahan dan penyempurnaan dari dokumen ini akan dilakukan melalui konsultasi partisipatif antara para pemangku kepentingan. Penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Ibu Armida S. Alisyahbana selaku Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) atas dukungan yang diberikan. Juga kepada Bapak Paskah Suzetta selaku mantan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Bappeanas yang menginisiasi dan member dukungan dalam pembuatan dokumen ICCSR, serta kepada Deputi Menteri Bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup, Bappenas, yang telah menginisiasikan dan mengkoordinasikan pembuatan dokumen ICCSR ini. Kepada seluruh anggota komite pengarah, kelompok kerja, dan para pemangku kepentingan di bawah ini, yang telah memberikan masukan dan saran yang sangat berharga dalam pembuatan dokumen ICCSR Basis Saintifik untuk Analisis dan Proyeksi Curah Hujan dan Temperatur, dedikasi serta kontribusinya sangat dihargai dan diucapkan terima kasih setinggi-tingginya: Komite Pengarah Deputi Kerjasama Internasional, Kementerian Koordinasi Perekonomian; Sekretaris Menteri, Kementerian Koordinasi Kesejahteraan Rakyat; Deputi Menteri Bidang Kependudukan, Kesehatan, dan Lingkungan Hidup, Kementerian Koordinasi Kesejahteraan Rakyat; Sekretaris Utama, Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika; Deputi Bidang Ekonomi, Deputi Bidang Sarana dan Prasarana, Deputi Bidang Pendanaan Pembangunan, Deputi Bidang Sumber Daya Manusia dan Kebudayaan, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, dan Kepala Sekretariat Dewan Nasional Perubahan Iklim. Kelompok Kerja Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/ Bappenas Sriyanti, Yahya R. Hidayat, Bambang Prihartono, Mesdin Kornelis Simarmata, Arum Atmawikarta, Montty Girianna, Wahyuningsih Darajati, Basah Hernowo, M. Donny Azdan, Budi Hidayat, Anwar Sunari, Hanan Nugroho, Jadhie Ardajat, Hadiat, Arif Haryana, Tommy Hermawan, Suwarno, Erik Amundito, Rizal Primana, Nur H. Rahayu, Pungki Widiaryanto, Maraita, Wijaya Wardhana, Rachmat Mulyanda, Andiyanto Haryoko, Petrus Sumarsono, Maliki
iii | I C C S R
Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika Edvin Aldrian, Dodo Gunawan, Nurhayati, Soetamto, Yunus S, Sunaryo Lembaga Penerbangan Antariksa Nasional Agus Hidayat, Halimurrahman, Bambang Siswanto, Erna Sri A, Husni Nasution Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Eddy Supriyono, Fadli Syamsuddin, Alvini, Edie P Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional Suwahyono, Habib Subagio, Agus Santoso Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh staf Deputi Menteri Bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup, Bappenas, yang selalu siap membantu dan menfasilitasi baik dalam hal teknis maupun administrasi dalam proses penyelesaian dokumen ini. Pembuatan dokumen ICCSR ini didukung oleh Deutsche Gesellschaft fuer Technische Zusammenarbeit (GTZ) melalui Study and Expert Fund for Advisory Services in Climate Protection. Atas dukungan tersebut, penghargaan serta terima kasih yang setinggi-tingginya diberikan.
iv | I C C S R
Kata Pengantar dari Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Bappenas
Kita telah melihat bahwa dengan kemampuannya yang dapat mempengaruhi ekosistem dunia, kehidupan populasi manusia dan pembangunan, perubahan iklim telah menjadi isu kritis paling utama yang mendapat perhatian serius dari para pembuat kebijakan di seluruh dunia. Target utamanya adalah untuk mencegah peningkatan suhu rata-rata global melebihi 2˚C, atau dengan kata lain menurunkan emisi tahunan seluruh dunia hingga separuh dari kondisi sekarang pada tahun 2050. Kita percaya bahwa upaya ini tentunya membutuhkan respon international yang solid – aksi kolektif untuk
menghindari konflik antara inisiatif kebijakan nasional dan internasional. Pada saat ekonomi dunia sedang dalam tahap pemulihan dan negara-negara berkembang sedang berupaya keras memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya, dampak perubahan iklim telah ikut serta dalam memperburuk kondisi kehidupan manusia. Untuk itu diperlukan pengintegrasian perubahan iklim sebagai pilar penting dan fokus utama dalam agenda kebijakan pembangunan yang berkelanjutan. Kita menyadari bahwa perubahan iklim telah banyak diteliti dan dibahas di seluruh dunia. Berbagai solusi telah ditawarkan, program-program telah didanai dan kemitraan telah terjalin. Namun di luar itu semua, emisi karbon masih terus meningkat baik di negara maju maupun di negara berkembang. Karena lokasi geografisnya, kerentanan Indonesia terhadap dampak negatif perubahan iklim harus menjadi perhatian yang serius. Kita akan berhadapan, dan sudah terlihat oleh kita beberapa dampak negatif seperti musim kemarau yang berkepanjangan, banjir, serta meningkatnya intensitas kejadian cuaca ekstrim. Kekayaan keanekaragaman hayati kita juga berada dalam resiko. Beberapa pihak yang memilih untuk bersikap diam dalam perdebatan isu perubahan iklim atau memperlambat upaya penanggulangannya kini telah termarginalisasi oleh kenyataan saintifik yang tidak terbantahkan. Puluhan tahun penelitian, analisis dan bukti-bukti nyata yang terjadi telah menunjukkan pada kita bahwa perubahan iklim bukan hanya menjadi isu lingkungan saja, namun juga isu pembangunan secara menyeluruh karena dampaknya akan terasa di semua sektor kehidupan manusia baik sebagai bangsa maupun individu. Sayangnya, kita tidak dapat mencegah atau menghindar dari beberapa dampak negatif perubahan iklim. Kita dan khususnya Negara-negara maju telah terlalu lama berkontribusi dalam memanaskan bumi ini. Kita harus bersiap oleh karena itu, untuk beradaptasi terhadap perubahan yang akan terjadi, dan dengan segenap tenaga berusaha untuk memitigasi agar tidak terjadi perubahan lebih lanjut dari iklim global bumi. Kita telah meratifikasi Protokol Kyoto di masa awal serta berkontribusi aktif dalam negosiasi perubahan iklim dunia, dengan menjadi tuan rumah pada pelaksanaan Konvensi Para Pihak ke 13 United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), yang telah melahirkan Bali Action Plan pada tahun 2007. Kini, kita mencurahkan perhatian kita pada tantangan untuk mencapai target yang telah dicanangkan oleh Presiden yaitu penurunan emisi sebesar 26% hingga tahun 2020. Aksi nyata sangat penting. Namun sebelum
v | I C C S R
melakukan aksi, kita harus siap dengan analisis yang komprehensif, perencanaan strategis dan penetapan prioritas. Untuk itu saya mengantarkan dokumen Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap, atau disebut ICCSR, dengan tujuan agar perubahan iklim dapat diintegrasikan ke dalam sistem perencanaan pembangunan nasional. Dokumen ICCSR menampilkan visi strategis pada beberapa sektor utama yang terkait perubahan iklim,, yaitu sektor kehutanan, energi, industri, perhubungan, pertanian, daerah pesisir, sumber daya air, limbah, dan kesehatan. Dokumen Roadmap ini telah diformulasikan melalui analisis yang komprehensif. Kita telah melakukan penaksiran kerentanan secara mendalam, penetapan opsi prioritas termasuk peningkatan kapasitas dan respon strategis, dilengkapi dengan analisis keuangan dan dirangkum dalam perencanaan aksi yang didukung oleh kementerian-kementerian terkait, mitra strategis dan para donor. Saya meluncurkan dokumen ICCSR ini dan mengundang Saudara untuk ikut mendukung komitmen dan kemitraan, serta bekerjasama dalam merealisasikan prioritas pembangunan berkelanjutan yang ramah iklim serta melindungi populasi kita dari dampak negatif yang ditimbulkan oleh perubahan iklim.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
Prof. Armida S. Alisjahbana
vi | I C C S R
Kata Pengantar dari Deputi Menteri Bidang Sumber Daya Alam dan
Lingkungan Hidup, Bappenas Sebagai bagian dari solusi dalam menghadapi perubahan iklim global, Pemerintah Indonesia telah berkomitmen untuk menurunkan emisi Gas Rumah Kaca secara nasional hingga 26% dari kondisi dasar dalam kurun waktu 10 tahun dengan menggunakan sumber pendanaan dalam negeri, serta penurunan emisi hingga 41% jika ada dukungan international dalam aksi mitigasi. Dua sektor utama yang berkontribusi terhadap emisi adalah sektor kehutanan dan energi, terutama dari kegiatan deforestasi dan pembangkit tenaga listrik, hal ini dikarenakan oleh sebagian pembangkit
yang masih menggunakan bahan bakar tidak terbarukan seperti minyak bumi dan batubara, yang menjadi bagian dari intensitas energi kita yang tinggi. Dengan lokasi geografisnya yang unik, di antara negara-negara di dunia kita termasuk salah satu negara yang paling rentan terhadap dampak negatif perubahan iklim. Pengukuran terhadap hal ini diperlukan untuk melindungi masyarakat dari potensi bahaya yang ditimbulkan oleh naiknya permukaan air laut, banjir, perubahan curah hujan, dan dampak negatif lainnya. Jika upaya adaptasi tidak segera dilakukan, maka berdasarkan prediksi analisis, Indonesia dapat mengalami kekurangan sumber air, penurunan hasil pertanian, serta hilangnya atau rusaknya habitat di berbagai ekosistem termasuk di daerah pesisir pantai. Aksi nasional dibutuhkan baik untuk memitigasi perubahan iklim global maupun untuk mengidentifikasi upaya-upaya adaptasi yang diperlukan. Hal ini menjadi tujuan utama dari dokumen Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap, ICCSR. Prioritas tertinggi dari aksi-aksi tersebut akan diintegrasikan ke dalam sistem perencanaan pembangunan nasional. Untuk itu kita telah berupaya membangun konsensus nasional dan pemahaman mengenai opsi-opsi dalam merespon perubahan iklim. Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap (ICCSR) merepresentasikan komitmen jangka panjang untuk menurunkan emisi dan melakukan upaya adaptasi serta menunjukkan kesiapan perencanaan program-program yang inovatif dalam upaya mitigasi dan adaptasi hingga puluhan tahun mendatang.
Deputi Menteri Bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
U. Hayati Triastuti
i | I C C S R
DAFTAR ISI
Tim Penyusun............ ............................................................................................................. i
UCAPAN TERIMA KASIH .................................................................................................. ii
Kata Pengantar dari Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Bappenas ... iv
Kata Pengantar dari Deputi Menteri Bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan
Hidup, Bappenas .................................................................................................................. vi
DAFTAR ISI ........................................................................................................................... i
DAFTAR GAMBAR .............................................................................................................. iii
DAFTAR TABEL .................................................................................................................. v
BAB 1 PENDAHULUAN ...................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang dan Tujuan ............................................................................................................... 11.2 Ruang Lingkup dan Sistematika Pembahasan ................................................................................. 2
BAB 2 GAMBARAN UMUM ................................................................................................ 4
2.1 Sistem Iklim Global dan Pengertian Perubahan Iklim ................................................................... 42.2 Skenario dan Proyeksi Perubahan Iklim Global ............................................................................. 52.3 Kinerja Model Iklim Global di Daerah Tropis ............................................................................... 72.4 Kajian Perubahan Iklim dan Dampaknya di Indonesia ................................................................. 8
BAB 3 ANALISIS DAN PROYEKSI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA ................ 12
3.1 Ketersediaan Data ............................................................................................................................. 123.1.1 Data Pengamatan ................................................................................................................ 12
3.1.2 Data Keluaran GCM .......................................................................................................... 13
3.1.3 Data Keluaran GCM Resolusi Tinggi .............................................................................. 14
3.2 Metode Pengolahan Data ................................................................................................................. 143.2.1 Pengolahan Data Observasi .............................................................................................. 14
3.2.2 Pengolahan Data GCM ...................................................................................................... 17
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................................. 20
4.1 Trend Perubahan Iklim di Indonesia Saat Ini ............................................................................... 204.1.1 Perubahan Curah Hujan .................................................................................................... 20
4.1.2 Perubahan Temperatur Permukaan ................................................................................. 22
4.1.3 Perubahan Peluang Kejadian Cuaca dan Iklim Ekstrem ............................................... 24
4.2 Perubahan Iklim Pada Periode 2030-an dan 2080-an .................................................................. 264.2.1 Proyeksi Perubahan Temperatur Permukaan ................................................................. 26
4.2.2 Proyeksi Perubahan Curah Hujan ................................................................................... 29
4.2.3 Proyeksi Perubahan Peluang Kejadian Cuaca dan Iklim Ekstrim ............................... 29
BAB 5 REKOMENDASI UMUM UNTUK ADAPTASI SEKTORAL ............................... 31
ii | I C C S R
5.1 Deskripsi Perubahan Iklim di Setiap Wilayah ............................................................................... 315.1.1 Perubahan Iklim di Wilayah Jawa-Bali ............................................................................. 31
5.1.2 Perubahan Iklim di Wilayah Sumatera ............................................................................. 31
5.1.3 Perubahan Iklim di Wilayah Kalimantan ......................................................................... 32
5.1.4 Perubahan Iklim di Wilayah Sulawesi .............................................................................. 32
5.1.5 Perubahan Iklim di Wilayah Nusatenggara ..................................................................... 32
5.1.6 Perubahan Iklim di Wilayah Maluku ................................................................................ 33
5.1.7 Perubahan Iklim di Wilayah Papua .................................................................................. 33
5.2 Catatan Tambahan ............................................................................................................................. 335.2.1 Variabilitas Iklim Jangka Panjang ..................................................................................... 33
5.2.2 Ketidakpastian Proyeksi Iklim .......................................................................................... 36
BAB 6 PENUTUP ................................................................................................................ 37
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................................. 38
LAMPIRAN A – BASELINE CURAH HUJAN BERDASARKAN DATA GPCC ........................ 2
LAMPIRAN B1 – PROYEKSI PERUBAHAN CURAH HUJAN 2010-2015 .................................. 4
LAMPIRAN B2 - PROYEKSI PERUBAHAN CURAH HUJAN 2015-2020 ................................... 7
LAMPIRAN C –PEMBAGIAN WILAYAH (GRID) UNTUK PROYEKSI IKLIM .................... 10
LAMPIRAN D1 - PROYEKSI 2030- DAN 2080-AN TEMPERATUR AREA JAWA-BALI ..... 12
LAMPIRAN D2 - PROYEKSI 2030- DAN 2080-AN TEMPERATUR KALIMANTAN ........ 13
LAMPIRAN D3 - PROYEKSI 2030- DAN 2080-AN TEMPERATUR AREA MALUKU ......... 14
LAMPIRAN D4 - PROYEKSI 2030- DAN 2080-AN TEMPERATUR AREA NUSA
TENGGARA ................................................................................................................................................ 15
LAMPIRAN D5 - PROYEKSI 2030- DAN 2080-AN TEMPERATUR AREA PAPUA .............. 16
LAMPIRAN D6 - PROYEKSI 2030- DAN 2080-AN TEMPERATUR AREA SULAWESI ...... 17
LAMPIRAN D7 - PROYEKSI 2030- DAN 2080-AN TEMPERATUR AREA SUMATERA .... 18
LAMPIRAN E1 - PROYEKSI 2030- DAN 2080-AN CURAH HUJAN AREA JAWA-BALI ... 19
LAMPIRAN E2 - PROYEKSI 2030- DAN 2080-AN CURAH HUJAN AREA
KALIMANTAN .......................................................................................................................................... 20
LAMPIRAN E3 - PROYEKSI 2030- DAN 2080-AN CURAH HUJAN AREA MALUKU ........ 21
LAMPIRAN E4 - PROYEKSI 2030- DAN 2080-AN CURAH HUJAN AREA NUSA
TENGGARA ................................................................................................................................................ 22
LAMPIRAN E5 - PROYEKSI 2030- DAN 2080-AN CURAH HUJAN AREA PAPUA ............ 23
LAMPIRAN E6 - PROYEKSI 2030- DAN 2080-AN CURAH HUJAN AREA SULAWESI ..... 24
LAMPIRAN E7 - PROYEKSI 2030- DAN 2080-AN CURAH HUJAN AREA SUMATERA ... 25
LAMPIRAN F – GRAFIK CURAH HUJAN STASIUN .................................................................... 26
iii | I C C S R
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Identifikasi perubahan iklim secara statistik dari (a)perubahan nilai rerata
(mean), (b)perubahan variansi, dan (c)perubahan nilai rerata dan variansi.
Sumbu vertikal menyatakan peluang dan sumbu horizontal menyatakan nilai
parameter (iklim). (Diadaptasi dari Meehl, 2000). ...................................................... 5
Gambar 2. Proyeksi perubahan temperatur permukaan global dengan tiga skenario SRES
B1, A1B, dan A2. (Sumber : IPCC, 2007) ................................................................... 7
Gambar 3. Bagan alur pikir analisis perubahan iklim dan dampaknya secara bottom-up
dan top-down. (Sumber : IPCC, 2007b) ...................................................................... 9
Gambar 4. Pembagian wilayah kajian dampak perubahan iklim menggunakan model
IPCC AR-4 oleh Naylor et al. (2007) (kiri) dan hasil analisis keterlambatan
awal musim hujan (monsoon onset) untuk P. Jawa pada tahun 2050 (kanan) .
(Sumber : Naylor et al., 2007) ...................................................................................... 11
Gambar 5. Contoh perbandingan data time series dari GHCN (merah) dan GPCC (biru)
untuk Stasiun Jakarta (kiri) dan Ampenan (kanan). ................................................ 15
Gambar 6. Perbandingan data curah hujan stasiun (GHCN) dan GPCC dalam bentuk
diagram pencar (scatter plot) untuk dua lokasi yang sama dengan Gambar 5. ....... 16
Gambar 7. Contoh analisis trend moving average 30-tahun menggunakan polinom orde 1
(linier) sampai dengan orde 6 (atas) dan hasil residu-nya (bawah). ........................ 17
Gambar 8. Distribusi nilai koefisien korelasi komposit base line (1961-1990) antara data
curah hujan keluaran model GFDLCM20 dengan GPCC (kiri), dan contoh
hasil pola ensemble komposit baseline curah hujan untuk suatu wilayah di
Kalimantan (kiri). Garis penuh warna merah dan hitam masing-masing
mewakili nilai rata-rata ensemble dan pengamatan. ................................................. 18
Gambar 9. Perbandingan data temperatur permukaan keluaran GCM dengan temperatur
permukaan ...................................................................................................................... 19
Gambar 10. Perubahan nilai curah hujan rerata 30-tahun untuk setiap bulan pada
beberapa kurun waktu (kiri) dan grafik moving average-nya untuk bulan-bulan
basah D(esember)-J(anuari)-F(ebruari) (kanan). ....................................................... 20
Gambar 11. Contoh hasil analisis trend curah hujan bulan Januari dari data GPCC : nilai
rata-rata base line 1961-1990 (kiri) dan selisih nilai rata-rata periode saat ini
1980-2010 (data sampai 2007) dengan base line. ........................................................ 21
iv | I C C S R
Gambar 12. Contoh hasil proyeksi perubahan curah hujan untuk bulan Januari dalam
bentuk selisih nilai rerata (atas) dan standar deviasi (bawah) 30-tahun antara
periode 1985-2015 (kiri) dan periode 1990-2020 (kanan) terhadap base line. ........ 22
Gambar 13. Contoh hasil analisis perubahan temperatur di Jakarta : (a) data time series
temperatur bulanan, (b) grafik komposit temperatur 30-tahun untuk tiap-tiap
bulan (dengan urutan Juli ke Juni), (c) grafik moving average 30-tahunan
untuk bulan Desember, Januari, Februari, dan (d) sama dengan (c) untuk
bulan Juni, Juli, Agustus. .............................................................................................. 23
Gambar 14. Grafik Cumulative Distribution Function (CDF) empirik, dari data curah hujan
bulanan Jakarta selama beberapa periode 30-tahunan. ............................................ 24
Gambar 15. Grafik Peluang Kumulatif curah hujan harian dari keluaran model MRI-
GCM untuk wilayah Jawa-Bali. Garis putus-putus merah menunjukkan nilai
1 mm (vertikal) dan nilai fungsi peluang 0.95 (horizontal). .................................... 25
Gambar 16 Distribusi peluang curah hujan harian yang tinggi (> 20 mm/hari menurut
keluaran model GCM) di wilayah Jawa-Bali pada tahun 2015 (kiri) dan 2020
(kanan). ........................................................................................................................... 26
Gambar 17. Pembagian wilayah Jawa-Bali menjadi empat bagian untuk analisis proyeksi
iklim. ............................................................................................................................... 27
Gambar 18. Proyeksi kenaikan temperatur rata-rata periode 2030-an (kiri) dan 2080-an
(kanan) untuk skenario B1, A1B, dan A2 (dari bawah ke atas) di atas wilayah
Jawa-Bali (lihat Gambar 17). ....................................................................................... 28
Gambar 19. Sama seperti Gambar 18 tetapi untuk curah hujan. ................................................. 30
Gambar 20. Grafik time-series indeks Pacific Decadal Oscillation (PDO; merah) dan indeks
curah hujan (biru) di stasiun Ampenan (P. Lombok) setelah dilakukan
penghalusan dengan periode 20 tahun. ...................................................................... 35
Gambar 21. Grafik time-series anomali temperatur muka laut tahunan di Atlantik (garis
putus-putus) dan iradiansi matahari total (garis merah). (Sumber : Soon,
2009). .............................................................................................................................. 36
v | I C C S R
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Skenario SRES dan tingkat emisi yang menjadi bahasan dalam kajian ini
(diadaptasi dari IPCC, 2007b) ....................................................................................... 6
Tabel 2. Deskripsi singkat data keluaran GCM yang dianalisis dalam kajian ini ................. 13
1 | I C C S R
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang dan Tujuan
Sejak IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) dibentuk oleh WMO (World Meteorological
Organization) dan UNEP (United Nations Environmental Program) tahun 1988 dan melaporkan hasil-
hasil kajiannya, isu perubahan iklim global telah mempengaruhi opini sebagian besar masyarakat
dunia dan mulai mewarnai berbagai kebijakan pembangunan di banyak negara, termasuk
Indonesia. Masalah utama dalam isu perubahan iklim global adalah naiknya suhu rata-rata dekat
permukaan bumi yang disebabkan oleh efek rumah kaca dari gas-gas seperti CO2
(karbondioksida) dan CH4
(metana). Konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer diketahui telah naik
secara drastis akibat aktifitas industri. Kenaikan suhu dekat permukaan bumi, yang dikenal dengan
isu global warming, tersebut kemudian diperkirakan akan memicu berbagai perubahan seperti
pemuaian volume air laut dan mencairnya lapisan es di kedua Kutub Utara dan Selatan
(Greenland dan Antartika) sehingga muka air laut rata-rata akan naik secara global. Selain itu,
pemanasan global juga diperkirakan telah atau akan mempengaruhi pola iklim yang memicu
peningkatan frekuensi kejadian cuaca dan iklim ekstrem.
Karena banyaknya dampak negatif dari perubahan iklim global yang diperkirakan akan terjadi,
maka kemudian muncul seruan masyarakat internasional untuk melakukan mitigasi (dalam bentuk
pengurangan emisi gas rumah kaca secara antropogenik) dan kebutuhan untuk adaptasi (dalam
bentuk strategi pembangunan yang dapat mereduksi, atau meningkatkan proteksi terhadap,
dampak negatif perubahan iklim). Suatu rencana aksi mitigasi maupun adaptasi membawa
berbagai persoalan pelik karena implementasinya akan berdampak langsung kepada masyarakat
luas.
Secara umum, rencana aksi adaptasi dan mitigasi yang dirumuskan dalam berbagai forum
internasional didasarkan kepada proyeksi iklim oleh IPCC yang dirumuskan dari hasil-hasil kajian
menggunakan model iklim global. Secara inheren, hasil keluaran model iklim mengandung
ketidakpastian (IPCC, 2007) dan menurut Schneider (2002) tingkat ketidakpastian merambat dan
semakin besar dari skenario emisi, respon sistem iklim global, skenario perubahan iklim regional,
sampai ke dampak yang mungkin terjadi. Masalah ketidakpastian model iklim tetap menjadi
perdebatan di kalangan para ahli Klimatologi tetapi keputusan untuk melakukan aksi mitigasi dan
2 | I C C S R
adaptasi tetap diambil meskipun dengan kesenjangan antara pemahaman akademik dan kebijakan
(Pielke, 2003).
Unsur ketidakpastian proyeksi iklim menyebabkan suatu aksi adaptasi akan menghadapi tiga
kemungkinan kegagalan (Australian Government, 2005) yaitu : (1)over-adaptation (adaptasi yang
berlebihan), (2)under-adaptation (adaptasi yang tidak memadai), atau (3)mal-adaptation (adaptasi yang
salah atau sebenarnya tidak diperlukan). Oleh karena itu, untuk mengurangi unsur ketidakpastian,
perencanaan pelaksanaan aksi adaptasi perlu ditunjang oleh pemahaman yang komprehensif
terhadap perilaku perubahan iklim secara regional dan lokal. Suatu kajian Dasar Akademis
(Scientific Basis) yang berisi analisis dan proyeksi iklim diperlukan dalam penyusunan strategi
adaptasi terhadap perubahan iklim yang tepat sasaran.
Laporan kajian Analisis dan Proyeksi Perubahan Iklim di Indonesia ini adalah bagian dari kajian untuk
penyusunan Roadmap Pengarusutamaan Isu Perubahan Iklim Dalam Perencanaan
Pembangunan Nasional (selanjutnya disebut Roadmap). Adapun tujuan dari dilakukannya
kajian ini adalah untuk :
1) Melakukan identifikasi sehingga didapatkan suatu keyakinan ilmiah terhadap adanya
perubahan iklim di Indonesia dan berbagai kemungkinan dampaknya terhadap pembangunan
nasional,
2) Mengetahui karakter (pola dan besaran) perubahan iklim yang terjadi di Indonesia secara
umum sehingga dapat diketahui bahaya serta kemungkinan dampaknya terhadap sektor
pembangunan, dan
3) Menyiapkan data iklim yang dapat digunakan untuk melakukan analisis resiko terhadap
perubahan iklim pada sektor pembangunan dengan resolusi temporal dan spasial yang
sedapat mungkin disesuaikan dengan kekhasan wilayah.
Dengan segala kekurangan dan berbagai kendala yang dihadapi selama pengerjaannya, kajian ini
diharapkan dapat memberikan kontribusi secara signifikan terhadap proses penyusunan Roadmap.
1.2 Ruang Lingkup dan Sistematika Pembahasan
Kajian Analisis dan Proyeksi Perubahan Iklim di Indonesia awalnya diharapkan dapat dilakukan
dengan mengkompilasi hasil-hasil kajian yang sudah ada, baik yang telah dilakukan oleh individu
maupun institusi seperti BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika), LAPAN
(Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional), dan sebagainya. Oleh karena itu, pelaksanaan
kajian ini dimulai dengan mengadakan FGD (Focus Group Discussion) Scientific Basis pada tanggal 4
3 | I C C S R
Februari 2009 yang dimaksudkan untuk memetakan keberadaan produk kajian perubahan iklim
yang relevan di Indonesia dan sesuai dengan ketiga tujuan yang disebutkan di atas. Namun
demikian, dari hasil FGD tersebut kami tidak dapat menemukan informasi yang dibutuhkan.
Oleh karena itu, kami harus memasukkan analisis data, termasuk perumusan metode pengolahan
datanya, di dalam ruang lingkup kajian. Sistematika pembahasan dalam laporan kajian ini secara
umum dapat disampaikan seperti di bawah ini.
Gambaran umum berisi ulasan mengenai permasalahan yang terkait dengan analisis dan proyeksi
perubahan iklim kami bahas dalam Bagian II, sedangkan Bagian III berisi uraian mengenai
metodologi, data, dan teknik pengolahan data yang kami gunakan dalam analisis dan proyeksi
perubahan iklim di Indonesia. Hasil-hasil analisis data kami bahas dalam Bagian IV dan dalam
Bagian V kami diskusikan beberapa hal terkait dengan tingkat kepercayaan pada hasil kajian dan
catatan-catatan lain dari aspek klimatologis, serta rekomendasi umum untuk sektor. Terakhir,
kami sampaikan penutup yang antara lain berisi usulan penguatan kajian akademis untuk
perubahan iklim di Indonesia.
4 | I C C S R
BAB 2 GAMBARAN UMUM
2.1 Sistem Iklim Global dan Pengertian Perubahan Iklim
Secara akademik dan dalam arti luas, iklim dapat diartikan sebagai keadaan (state) dari sistem iklim
yang terbentuk dari seluruh unsur Bumi yakni atmosfer (udara), hidrosfer (laut), litosfer (bumi
padat termasuk mantel, kerak Bumi, dan gunung api), kriyosfer (lapisan es), dan biosfer (vegetasi).
Komponen sistem iklim saling berinteraksi untuk menjaga agar menghasilkan suatu keadaan
tertentu pada ruang dan waktu tertentu. Interaksi di dalam sistem iklim melibatkan proses yang
kompleks dengan skala waktu detik sampai jutaan tahun, dan skala ruang dari skala molekuler
hingga planeter.
Dalam istilah populer (awam), iklim sering diartikan sebagai cuaca rata-rata, tetapi secara
operasional iklim didefinisikan sebagai deskripsi statistik dari unsur-unsur cuaca/iklim seperti
temperatur (suhu), presipitasi (hujan), angin, dsb., yang sedikitnya menyatakan nilai rerata (mean)
dan variansinya dalam rentang waktu beberapa dasawarsa (30 tahun menurut WMO). Menurut
Meehl (2000), perubahan iklim dapat diidentifikasi dengan membandingkan kurva distribusi
peluang seperti diperlihatkan pada Gambar 1 sehingga diketahui perubahan (antar kurun 30
tahun) pada nilai rerata (mean) atau variansi, atau keduanya. Berdasarkan pengertian ini,
perubahan yang terjadi dalam kurun 30 tahun itu sendiri dikatakan sebagai variabilitas iklim dan
untuk melakukan identifikasi perubahan iklim saat ini (current) setidaknya diperlukan data
pengamatan sekitar 60 tahun ke belakang. Namun demikian, hal ini tidak disepakati secara global
karena dalam FCCC (Framework Convection on Climate Change) perubahan iklim didefinisikan
sebagai perubahan pada iklim, sebagai tambahan terhadap variabilitas alamiah dalam kurun waktu
yang sebanding, dan dapat dikaitkan secara langsung ataupun tidak langsung kepada aktifitas
manusia yang menyebabkan perubahan pada komposisi atmosfer global.
5 | I C C S R
Gambar 1. Identifikasi perubahan iklim secara statistik dari (a)perubahan nilai rerata (mean),
(b)perubahan variansi, dan (c)perubahan nilai rerata dan variansi. Sumbu vertikal menyatakan
peluang dan sumbu horizontal menyatakan nilai parameter (iklim). (Diadaptasi dari Meehl, 2000).
Pada kenyataannya, apabila terjadi suatu perubahan iklim global, sangatlah sulit untuk memilah-
milah secara ilmiah mana perubahan alamiah dan mana yang diakibatkan oleh aktifitas manusia.
Terlebih lagi dalam konteks adaptasi, sangatlah tidak relevan untuk mengkaitkan dampak
perubahan iklim yang telah terjadi dengan penyebab perubahan iklim. Oleh karena itu, kami
mengadopsi kerangka pemikiran Meehl (2000) untuk merumuskan perubahan iklim secara
operasional sehingga secara prinsip, bahaya (hazard) perubahan iklim dapat diidentifikasi secara
statistik tanpa mempersoalkan ada atau tidaknya faktor manusia (antropogenik) yang terlibat.
2.2 Skenario dan Proyeksi Perubahan Iklim Global
IPCC secara lengkap membahas masalah proyeksi iklim global berdasarkan hasil simulasi model
iklim global atau GCM (Global Circulation Model) di dalam Climate Change 2007 The Physical
Science Basis yang merupakan bagian dari IPCC AR-4 (The Fourth Assessement Report). Secara
umum, model IPCC hanya memperhitungkan perubahan iklim akibat kenaikan gas-gas rumah
kaca di atmosfer oleh faktor antropogenik berdasarkan mekanisme yang diketahui saaat ini. Untuk
keperluan kajian ilmiah, sebagian besar data keluaran berbagai model iklim global dapat diakses
melalui internet (dijelaskan lebih lanjut di bawah ini). Terkait dengan itu, skenario peningkatan
konsentrasi gas-gas rumah kaca menjadi bagian tak terpisahkan dari proyeksi perubahan iklim.
Skenario ini ditentukan oleh beberapa alternatif asumsi pertumbuhan ekonomi, penduduk,
perkembangan teknologi, dan sebagainya yang dikenal sebagai SRES (Special Report on Emissions
Scenarios) dan dipublikasikan oleh IPCC pada tahun 2000. Selain SRES, ada beberapa skenario lain
seperti IS92 dan SA90 yang digunakan dalam laporan IPCC sebelumnya. Penjelasan yang lengkap
mengenai skenario ini antara lain dapat dilihat dalam IPCC-TGICA (2007). Untuk
6 | I C C S R
menyederhanakan masalah, dalam pembahasan ini kami hanya akan menggunakan data IPCC
yang terkait dengan tiga skenario B1, A1B, dan A2 berdasarkan tingkat konsentrasi CO2
yang
dihasilkan seperti diperlihatkan dalam Tabel 1.
Tabel 1. Skenario SRES dan tingkat emisi yang menjadi bahasan dalam kajian ini (diadaptasi dari
IPCC, 2007b)
Skenario SRES Kategori Emisi Stabilisasi pada 2100
A2 Emisi tinggi Tidak mencapai stabilisasi
A1B Emisi sedang 750 ppm
B1 Emisi terendah dalam SRES 550 ppm
Terkait dengan skenario SRES B1, A1B, dan A2, IPCC memproyeksikan kisaran kenaikan
temperatur permukaan global seperti yang diperlihatkan dalam Gambar 2. IPCC AR-4 juga
mencakup analisis yang lengkap mengenai perubahan iklim global maupun regional dan data
keluaran model juga dapat diakses melalui internet (dijelaskan secara lebih rinci di bawah ini).
Dalam hal kenaikan temperatur permukaan, secara umum semua model menunjukkan trend
kenaikan meskipun dengan nilai yang tidak sama. Seperti terlihat dalam Gambar 2, pada tahun
2100 secara rata-rata temperatur permukaan Bumi akan naik antara 1-4º C relatif terhadap rata-
rata tahun 1980-1999. Akan tetapi, tidak demikian dengan curah hujan yang sangat bervariasi
terhadap ruang dan waktu sehingga ada ketidakseragaman yang tinggi pada hasil simulasi model
iklim. Selain itu, untuk keperluan kajian dampak perubahan iklim, permasalahan yang umum
diketahui dalam pemanfaatan data model GCM adalah resolusi yang tidak memadai untuk
merepresentasikan variabilitas iklim pada lokasi yang spesifik. Oleh karena itu, agar dapat
memenuhi kebutuhan untuk kajian dampak, diperlukan suatu proses yang disebut downscaling.
Downscaling pada dasarnya adalah teknik untuk mengolah data keluaran model global sehingga
didapatkan data simulasi iklim dengan resolusi yang lebih tinggi. Metode yang dapat digunakan
untuk melakukan downscaling secara umum dapat digolongkan ke dalam (1) statistical downscaling dan
(2) dynamical downscaling yang mencerminkan tool pemodelan yang digunakan. Dynamical downscaling
didasarkan kepada penggunaan model matematis yang konsisten dengan gambaran fisis sistem
iklim. Kekurangan metode ini adalah karena biasanya menghasilkan nilai estimasi dengan bias
yang besar terhadap data pengamatan dan keperluan sumberdaya komputasi yang tinggi.
Sebaliknya, metode statistical downscaling dapat menghasilkan estimasi yang cukup akurat dengan
7 | I C C S R
kebutuhan komputasi yang jauh lebih sedikit tetapi hasilnya tidak selalu dapat diinterpretasikan
secara fisis karena model untuk satu variabel bisa sangat berbeda dengan model untuk variabel
lain (tidak konsisten). Selain itu, implementasi statistical downscaling memerlukan data pengamatan
(historis) yang cukup lengkap. Pada dasarnya, kedua metode dapat digunakan karena
menghasilkan ketelitian yang relatif sama (Wilby et al., 2004). Seperti dibahas sebelumnya, sumber
data proyeksi iklim adalah keluaran model global. Sebelum melakukan downscaling, hal yang
penting untuk dilakukan adalah memeriksa apakah data keluaran GCM yang digunakan
memberikan indikator perubahan iklim yang sesuai untuk wilayah kajian.
Gambar 2. Proyeksi perubahan temperatur permukaan global dengan tiga skenario SRES B1,
A1B, dan A2. (Sumber : IPCC, 2007)
2.3 Kinerja Model Iklim Global di Daerah Tropis
Iklim di Indonesia secara umum dikontrol oleh sistem sirkulasi monsun dengan dua musim utama
yakni musim penghujan dan musim kemarau (kering). Berdasarkan periode puncak musim hujan,
di Indonesia terdapat tiga tipe daerah iklim (e.g., Aldrian and Susanto, 2003) yaitu (1) monsunal
(satu puncak musim hujan antara Desember-Januari-Februari), (2) ekuatorial (dua puncak sekitar
April-Mei dan Oktober-November), serta (3) lokal (satu puncak dominan di sekitar Juni-Juli).
Mekipun demikian, Indonesia juga secara klimatologis sangat dipengaruhi oleh dinamika
atmosfer-laut global yang menghasilkan berbagai fenomena variabilitas iklim sehingga sifat hujan
untuk bulan yang sama bisa sangat bervariasi dari tahun ke tahun. Fenomena variabilitas iklim
yang sangat mempengaruhi Indonesia antara lain adalah ENSO (El Nino Southern Oscillation) di S.
Pasifik dan IODM (Indian Ocean Dipole Mode) di S. Hindia yang dapat menyebabkan variasi curah
8 | I C C S R
hujan antar-tahunan (2-5 tahun). Selain itu, ada juga fenomena MJO (Madden-Julian Oscillation)
yang dapat menyebabkan variasi curah hujan dengan periode 30-60 hari dan fenomena lain yang
masih terus dikaji oleh para ahli. Keberadaan berbagai fenomena di daerah tropis ini
menghasilkan interaksi yang sangat kompleks dengan sistem sirkulasi monsun dan menyebabkan
variabiltas yang masih sulit disimulasikan di dalam model iklim.
Beberapa peneliti telah melakukan kajian untuk mengevaluasi kinerja model iklim global di
wilayah Asia Tenggara yang dipengaruhi oleh sistem sirkulasi monsun dan mendapatkan hasil
yang cukup berbeda. Salah satu hal yang ditelaah dalam kajian evaluasi kinerja model global
adalah kecocokan korelasi ENSO-Monsun antara model dengan pengamatan. Joseph and Nigam
(2006) melaporkan bahwa HadCM3, model yang dijalankan di Inggris, menghasilkan sinyal
ENSO yang paling realistik. Sementara itu, Annamalai et al. (2006) mendapati bahwa dari 16
model IPCC AR-4 yang dievaluasi, hanya ada empat yang menunjukkan telkoneksi ENSO-
Monsun yang robust. Keempat model tersebut adalah GFDL 2.0, GFDL 2.1 (USA), MRI (Jepang),
dan ECHAM-5 (Jerman). Kajian (literatur) mengenai kinerja model IPCC juga dilakukan oleh
Smith (2009) dari berbagai hasil validasi yang ada (tidak terbatas pada daerah tropis). Hasilnya
adalah suatu ranking penilian terhadap 22 model, yang cukup konsisten dengan kajian sebelumnya,
dimana 10 besar ditempati oleh model-model : (1)HadCM3, (2)MIROC3.2(hires), (3)GFDL2.1,
(4)GFDL2.0, (5)MIROC3.2(medres), (6)ECHO-G, (7)HadGEM1, (8)ECHAM5, (9)MRI-
CGCM2.3.2, dan (10)CCSM3. Reichler (2008) mengemukakan bahwa rata-rata dari keluaran
model global memberikan hasil yang lebih baik daripada masing-masing model. Dengan begitu,
dapat diasumsikan bahwa apabila kita mengambil model-model yang sudah diketahui baik
kinerjanya di daerah tropis maka nilai komposit (rata-rata) yang dihasilkan juga akan lebih baik.
2.4 Kajian Perubahan Iklim dan Dampaknya di Indonesia
Kajian perubahan iklim dan dampaknya dapat dilakukan dengan dua pendekatan yakni (1) bottom-
up, dan (2) top-down (IPCC-TGICA, 2007) seperti ditunjukkan oleh bagan di dalam Gambar 3
Pendekatan bottom-up dilakukan berdasarkan analisis terhadap data observasi (historis) dan base-
line data lingkungan maupun sosio-ekonomi, sedangkan pendekatan top-down didasarkan kepada
hasil-hasil simulasi GCM yang terkait dengan skenario perubahan kondisi lingkungan serta sosio-
ekonomi global. Pendekatan bottom-up dapat digunakan untuk mengkaji perubahan iklim yang
sedang berlangsung dan proyeksi iklim sampai jangka waktu yang tidak terlalu jauh ke depan.
Adapun pendekatan top-down adalah satu-satunya cara untuk mendapatkan proyeksi iklim apabila
menyangkut masalah kondisi iklim pada waktu yang jauh ke depan.
9 | I C C S R
Gambar 3. Bagan alur pikir analisis perubahan iklim dan dampaknya secara bottom-up dan top-
down. (Sumber : IPCC, 2007b)
Kajian perubahan iklim berdasarkan data pengamatan untuk daerah Indonesia antara lain
dilaporkan oleh Manton et al. (2001), yang mencoba menelaah kencenderungan peningkatan
kejadian ekstrem di kawasan Asia-Pasifik. Dalam kajian ini, mereka tidak menemukan trend yang
jelas untuk perubahan temperatur maupun curah hujan di Indonesia. Namun demikian, perlu
dicatat bahwa salah satu kendala yang mereka hadapi untuk daerah Indonesia adalah ketersediaan
data yang sangat terbatas terutama untuk data temperatur. Di lain pihak, Boer and Faqih (2004)
melakukan analisis terhadap data curah hujan dari 210 stasiun dan membandingkan curah hujan
rata-rata antara periode 1931-1960 dan 1961-1990. Dalam kajian ini dilaporkan bahwa terdapat
trend penurunan curah hujan beberapa wilayah seperti Jawa, Lampung, Sumatra Selatan, Sulawesi
Selatan, and Nusa Tenggara, tetapi ada trend kenaikan untuk wilayah seperti Kalimantan dan
Sulawesi Utara. Sementara itu, Aldrian (2006) menelaah perubahan curah hujan tahunan
menggunakan data pengamatan antara 1950 sampai dengan 1997 dari beberapa stasiun di
Indonesia dan mendapatkan trend penurunan yang signifikan terutama di Kalimantan. Hasil-hasil
ini menunjukkan karakteristik yang berbeda dari perubahan iklim yang sedang berlangsung di
Indonesia sehingga sulit mendapatkan gambaran yang utuh mengenai trend yang terjadi.
10 | I C C S R
Informasi paling mutakhir tentang trend perubahan curah hujan di Indonesia kami dapatkan dari
Soetamto (2009). Dalam presentasi yang disampaikan pada FGD Sektor tanggal 24 Februari
2009, ditunjukkan hasil analisis per bulan data curah hujan 50 tahun (1951-2000) di seluruh
Indonesia berupa trend linier. Hasil ini memperlihatkan bahwa trend perubahan curah hujan
berbeda untuk tiap-tiap bulan. Namun demikian, kebenaran hasil analisis ini sulit dievaluasi
karena tidak terdapat keterangan mengenai sumber data dan metodologi pengolahannya. Oleh
karena itu, untuk memenuhi tujuan kajian ini, perlu dilakukan pengumpulan data dan analisis
lebih lanjut.
Pendekatan top-down (menggunakan data GCM) untuk kajian ilmiah terhadap perubahan iklim di
Indonesia juga belum banyak dilakukan. Boer and Faqih (2004) juga melakukan analisis terhadap
beberapa GCM seperti CSIRO Mark 2 (Australia), HadCM3 (Inggris), dan ECHAM-4 (Jerman),
dan mendapatkan proyeksi iklim yang cukup beragam terutama untuk curah hujan. Santoso and
Forner (2006 ) telah melakukan review terhadap beberapa kajian yang ada dan juga mendapatkan
bahwa proyeksi GCM untuk curah hujan di Indonesia mengandung ketidakpastian yang tinggi.
Suatu kajian yang lebih komprehensif dan mencakup analisis risiko perubahan iklim untuk
pertanian dilaporkan oleh Naylor et al. (2007). Proyeksi iklim dilakukan dengan model downscaling
empirik (statistik) terhadap keluaran sekitar 20 GCM dan data curah hujan rata-rata area yang
didefinisikan pada 8 wilayah. Salah satu hasil penting dari kajian ini adalah identifikasi bahaya
perubahan iklim berupa peningkatan peluang keterlembatan datangnya awal musim hujan sampai
30 hari pada tahun 2050 terutama di Jawa dan Bali (Gambar 4) yang merupakan sentra pertanian
padi. Hal ini akan sangat berpengaruh terhadap kegiatan pertanian padi yang sangat tergantung
kepada ketersediaan air di musim hujan. Hasil kajian Naylor et al. (2007) tersebut masih cukup
terbatas karena analisis hanya dilakukan untuk curah hujan rata-rata area pada tahun 2050 saja.
11 | I C C S R
Gambar 4. Pembagian wilayah kajian dampak perubahan iklim menggunakan model IPCC AR-4
oleh Naylor et al. (2007) (kiri) dan hasil analisis keterlambatan awal musim hujan (monsoon onset)
untuk P. Jawa pada tahun 2050 (kanan) . (Sumber : Naylor et al., 2007)
Dari pembahasan di atas, dapat diketahui bahwa untuk penyusunan Roadmap dengan pendekatan
analisis risiko memerlukan ketersediaan data analisis dan proyeksi iklim, yang belum tersedia
secara lengkap di Indonesia. Untuk mengetahui permasalahannya secara lebih jelas, kami
mendiskusikan masalah ini dengan tiga pakar iklim di Indonesia yaitu Dr. Mezak A. Ratag, Dr.
Edvin Aldrian, dan Dr. Dodo Gunawan dalam pertemuan (FGD) terbatas pada tanggal 6-7 Maret
2009 dengan kesimpulan yang sama bahwa di Indonesia belum tersedia produk proyeksi iklim
untuk seluruh daerah di Indonesia yang sudah teruji dengan baik dan dapat diakses untuk analisis
sektor. Oleh karena itu, dengan berbagai kendala yang ada, kami telah mencoba melakukan
sendiri analisis dan proyeksi perubahan iklim untuk memenuhi tujuan-tujuan kajian ini.
12 | I C C S R
BAB 3 ANALISIS DAN PROYEKSI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA
Seperti dijelaskan sebelumnya, dan juga mengikuti Boer and Faqih (2004), analisis dan proyeksi
perubahan iklim di Indonesia dilakukan dengan dua pendekatan yaitu (1) analisis data historis
(bottom-up) dan (2) analisis keluaran GCM (top-down). Pada dasarnya metoda diupayakan
sesederhana mungkin tetapi menghasilkan keluaran yang dapat digunakan oleh sektor dalam
mengestimasi risiko perubahan iklim. Di bawah ini dijelaskan mengenai data dan metodologi yang
kami gunakan.
3.1 Ketersediaan Data
3.1.1 Data Pengamatan
Seperti tercermin dalam laporan Manton et al. (2001), data klimatologi dengan kualitas dan
kontinuitas yang baik tidaklah mudah untuk didapatkan. Mengingat analisis harus dilakukan
segera, kami mencari data dari sumber-sumber di internet yang dapat diakses dengan mudah dan
cepat. Berikut adalah uraian mengenai data yang tersedia di internet :
• GHCN (Global Historical Climatological Network) menyediakan data temperatur dan curah
hujan bulanan untuk stasiun di seluruh dunia dengan rentang waktu yang cukup panjang
(1860-an – sekarang). Akan tetapi, data untuk stasiun di Indonesia pada umumnya hanya
tersedia hinga tahun 1975-an saja kecuali untuk beberapa stasiun saja. Data ini dapat diakses
melalui situs http://www.ncdc.noaa.gov/ .
• GPCC (Global Precipitation Climatology Center) menyediakan data curah hujan dalam
bentuk grid (kotak) berukuran 0,5º x 0,5º . Data tersedia dalam rentang waktu yang panjang
antara 1901-2007, meskipun sebagian data merupakan hasil interpolasi.
Data ini dapat diakses melalui situs ftp://ftp-
anon.dwd.de/pub/data/gpcc/html/fulldata_download.html
Selain data tersebut di atas, kami juga mendapatkan akses terhadap data ASEAN Compendium of
Climate Statistics (1975 – 1999). Data ini mencakup data curah hujan dan temperatur harian dari
seluruh Indonesia tetapi kualitas data sangat tidak memadai karena banyaknya data kosong.
Meskipun demikian data dari beberapa stasiun yang dioleh menjadi data bulanan dapat digunakan
untuk melengkapi data GHCN.
13 | I C C S R
3.1.2 Data Keluaran GCM
Seperti dijelaskan sebelumnya, data keluaran model GCM dapat diakses dari pusat distribusi data
IPCC-AR4. Dalam hal ini, kami mendapatkan akses ke dua situs internet yang menyediakan data
tersebut yaitu : (1) http://www.ipcc-data.org/ (IPCC Data Distribution Center) dan (2)
http://www-pcmdi.llnl.gov/ (Program for Climate Model Diagnosis and Intercomparison). Karena
berbagai keterbatasan, tidak semua data keluaran model digunakan untuk kajian ini. Tabel 2
memberikan gambaran sederhana mengenai data keluaran GCM yang berhasil kami dapatkan.
Tabel 2. Deskripsi singkat data keluaran GCM yang dianalisis dalam kajian ini
Karakteristik MODEL
NCCSM MPEH5 GFDLCM20 GFDLCM21 MIMR MRIGCM2 HADCM3
Institusi
Pengembang
NCAR,
AS
MPI,
Jerman
GFDL-
NOAA, AS
GFDL-
NOAA, AS
CCSR/NIES/
JAMSTEC,
Jepang
MRI,
Jepang
HC-
UKMO,
Jepang
Resolusi
(Lat x Lon) 2.8°x2.8° 1.8°x1.8° 2.5° x 2.0° 2.5° x 2.0° 2.8° x 2.8° 2.8° x 2.8° 2.75°x3.75°
Skenario Tahun Simulasi
20C3M 1870-
1999
1860-
2000 1861-2000 1861-2000 1850-2000 1850-2000 1860-1999
SRESB1 2000-
2199
2001-
2200 2001-2300 2001-2300 2001-2300 1990-2300 2000-2199
SRESA1B 2000-
2199
2001-
2200 2001-2300 2001-2300 2001-2300 2001-2300 2000-2199
SRESA2 2000-
2099
2001-
2100 2001-2100 2001-2100 2001-2100 2001-2100 2000-2099
Dari Tabel 2 dapat dilihat bahwa resolusi keluaran model GCM pada umumnya sangat kasar ;
berkisar 2º atau lebih dari 200 km untuk daerah tropis. Namun demikian, untuk kajian makro atau
regional, mestinya data ini sudah dapat memberikan gambaran mengenai proyeksi iklim. Pada
beberapa kajian yang sudah ada (Boer and Faqih, 2004; Santoso and Forner, 2006), data GCM
yang digunakan juga masih dengan resolusi kasar (global). Di lain pihak, meskipun sudah
menerapkan model empirical downscaling, Naylor et al. (2007) tidak menghasilkan data dengan
resolusi tinggi melainkan data rata-rata area (bahkan propinsi) yang dikoreksi (dikalibrasi) dengan
data pengamatan.
14 | I C C S R
3.1.3 Data Keluaran GCM Resolusi Tinggi
Selain menggunakan teknik downscaling, terdapat juga keluaran model global resolusi tinggi.
Percobaan semacam ini dilakukan oleh MRI (Meteorological Research Institute) di Jepang. Melalui
BMKG, kami mendapatkan sampel data model MRI dengan resolusi 20 km (harian dan bulanan)
yang digunakan secara terbatas dalam kajian ini. Data tersebut merupakan bagian dari data yang
dipergunakan dalam proyek pengkajian perubahan iklim yang sedang berjalan (2009) di BMKG.
3.2 Metode Pengolahan Data
3.2.1 Pengolahan Data Observasi
Pengolahan data observasi secara umum ditujukan untuk mendapatkan indikasi perubahan iklim
dengan melihat trend perubahan nilai rerata (mean) dan variansi (standar deviasi). Secara garis
besar, analisis yang dilakukan merupakan analisis statistik dasar dan dapat dijelaskan sebagai
berikut :
(a) Perhitungan rata-rata bergerak (moving average) periode iklim (30 tahun) untuk setiap interval
tahun tertentu. Perhitungan ini diterapkan untuk tiap-tiap bulan dalam satu tahun.
(b) Untuk setiap periode perata-rataan dihitung juga standar deviasi sehingga perubahan
variabilitas iklim juga dapat dianalisis.
(c) Perhitungan fungsi distribusi peluang kumulatif atau CDF (Cumulative Distribution Function)
empirik digunakan untuk menganalisis perubahan peluang kejadian (curah hujan) ekstrem
rendah maupun tinggi.
(d) Proyeksi nilai rerata curah hujan menggunakan analisis trend polinomial. Ini berbeda
dengan beberapa analisis sebelumnya (e.g, Aldrian, 2006; Soetamto, 2009) yang
menggunakan trend linier.
Untuk analisis trend perubahan curah hujan secara spasial digunakan data GPCC. Karena data
GPCC merupakan data grid berukuran 0,5º , kecocokannya dengan data stasiun (GHCN) perlu
diuji terlebih dahulu. Dalam hal ini, kami mengambil contoh data dari dua stasiun yakni Jakarta
dan Ampenan (Lombok) sebagai sampel untuk perbandingan kedua data dan hasilnya dapat
dilihat pada Gambar 5 dalam bentuk time series dan Gambar 6 dalam bentuk diagram pencar
(scatter plot). Dalam Gambar ini, nilai data GPCC adalah hasil interpolasi ke titik koordinat stasiun
atau titik terdekatnya. Perlu dicatat bahwa data stasiun adalah merupakan data gabungan GHCN
dengan data lain yang tersedia (data ASEAN Compendium untuk Jakarta dan data dari BMKG
untuk Ampenan).
15 | I C C S R
Gambar 5. Contoh perbandingan data time series dari GHCN (merah) dan GPCC (biru) untuk
Stasiun Jakarta (kiri) dan Ampenan (kanan).
Secara kasat mata (visual) dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan antara data stasiun dengan data
grid GPCC tetapi masih menunjukkan trend yang sama. Gambar 6 juga memperlihatkan bahwa,
meskipun terdapat nilai sebaran yang cukup besar, terdapat korelasi linier yang signifikan dengan
koefisien lebih besar dari 0.8. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa data GPCC dapat
mewakili data pengamatan dengan cukup baik. Meskipun demikian, perlu dicatat bahwa tidak
semua data grid GPCC diestimasi dari pengamatan stasiun karena ada yang murni merupakan
hasil interpolasi.
Dengan asumsi data GPCC dapat mewakili pengamatan, maka sebagaian besar analisis dilakukan
terhadap data ini untuk mendapatkan trend perubahan iklim saat ini, termasuk proyeksi nilai
rerata dan standar deviasi. Seperti disebutkan sebelumnya, proyeksi nilai rerata dilakukan dengan
menggunakan trend polinomial. Hal ini diperlukan karena perubahan curah hujan terhadap waktu
pada umumnya tidak linier. Sebagai contoh, pada Gambar 7 diperlihatkan data moving average 30
tahun dari curah hujan bulan Januari di stasiun Jakarta berikut analisis trend polinomialnya.
Dalam gambar ini, setiap titik data mewakili nilai rata-rata untuk 30 tahun, meskipun perlu dicatat
bahwa sebagian besar data antara 1940-1950 kosong dan rata-rata untuk tahun 1995 hanya
mewakili data antara 1980-2007 (kurang dari 30 tahun).
0 50 100 150 200 250 300 3500
100
200
300
400
500
600
700
800
900
Jan1961 - Dec1990
Rai
nfal
l (m
m)
Rainfall Data of JAKARTA (corr = 0.885)
GPCC DataGHCN Data
0 50 100 150 200 250 300 3500
100
200
300
400
500
600
Jan1961 - Dec1990
Rai
nfal
l (m
m)
Rainfall Data of AMPENEN (corr = 0.876)
GPCC DataGHCN Data
16 | I C C S R
Gambar 6. Perbandingan data curah hujan stasiun (GHCN) dan GPCC dalam bentuk diagram
pencar (scatter plot) untuk dua lokasi yang sama dengan Gambar 5.
Dari Gambar 7 dapat dilihat dengan jelas bahwa perubahan rata-rata 30 tahun mengikuti pola
polinomial. Namun demikian, untuk setiap titik data dan setiap bulannya kita tidak memeriksa
satu persatu polinom derajat berapa yang paling sesuai. Untuk itu, proyeksi terbaik dicari dengan
cara menghitung rata-rata terbotot (weighted average) dari enam estimasi yang ada. Perata-rataan ini
secara matematis dapat dituliskan sebagai
∑=i
niin tPwtP )()(
dimana nilai fungsi bobot untuk setiap estimasi polinom dientukan oleh
∑∑ −
=
ii
iii RMSE
RMSERMSEw
dengan RMSE (root mean squared error) dihitung dari perbedaan antara nilai polinom dengan nilai
observasi untuk setiap titik data.
0 100 200 300 400 500 600 700 800 9000
100
200
300
400
500
600
700
800
GHCN Data
GPC
C D
ata
JAKARTA (corr = 0.885)
0 100 200 300 400 500 6000
100
200
300
400
500
600
GHCN Data
GPC
C D
ata
AMPENEN (corr = 0.876)
17 | I C C S R
Gambar 7. Contoh analisis trend moving average 30-tahun menggunakan polinom orde 1 (linier)
sampai dengan orde 6 (atas) dan hasil residu-nya (bawah).
3.2.2 Pengolahan Data GCM
Pengolahan data GCM pada dasarnya dilakukan untuk mencari satu atau kombinasi beberapa
keluaran model yang paling sesuai dengan data pengamatan. Berdasarkan hasil kajian Reichler
(2008), kami mengasumsikan bahwa rata-rata ensemble dari beberapa model yang cukup
konsisten untuk daerah tropis akan lebih baik menggambarkan keadaan iklim di Indonesia
daripada satu model saja. Pada Gambar 8 diperlihatkan sebaran koefisien korelasi antara curah
hujan komposit (rata-rata untuk tiap-tiap bulan) base line (1961-1990) keluaran salah satu GCM
(GFDLCM20) dengan data GPCC. Dari gambar ini dapat diketahui bahwa keluaran model
GFDLCM20 cukup baik merepresentasikan pola iklim base line di P. Jawa, Kepulauan
Nusatenggara, dan beberapa daerah lainnya di Sulawesi dan Papua. Namun tidak demikian
dengan sebagian besar daerah di P. Kalimantan. Oleh karena itu, untuk tiap-tiap titik grid harus
dihitung koefisien korelasi dari tiap-tiap model dan hanya model-model dengan korelasi yang
cukup baik saja yang dapat dirata-ratakan untuk mendapatkan nilai proyeksi iklim. Dalam hal ini,
untuk mendapatkan nilai proyeksi di setiap titik grid, kami mengambil empat model terbaik
1920 1930 1940 1950 1960 1970 1980 1990
-20
0
20
1910 1920 1930 1940 1950 1960 1970 1980 1990 2000 2010320
340
360
380
400
420
Year
30-y
ear
mean r
ain
fall (
mm
)
Year
Resid
uals
(m
m)
data Projection linear quadratic cubic 4th degree 5th degree 6th degree
18 | I C C S R
berdasarkan nilia koefisien korelasi untuk dirata-ratakan. Pendekatan ini kami sebut sebagai
selective ensemble mean. Dari Gambar 8 juga dapat dilihat bahwa, dengan menggunakan rata-rata
ensemble, pola curah hujan rata-rata yang dihasilkan akan cenderung lebih dekat ke pengamatan
(data GPCC) meskipun sebaran nilai keluaran model cukup besar.
Gambar 8. Distribusi nilai koefisien korelasi komposit base line (1961-1990) antara data curah
hujan keluaran model GFDLCM20 dengan GPCC (kiri), dan contoh hasil pola ensemble
komposit baseline curah hujan untuk suatu wilayah di Kalimantan (kiri). Garis penuh warna
merah dan hitam masing-masing mewakili nilai rata-rata ensemble dan pengamatan.
Pengolahan data keluaran temperatur lebih sulit dilakukan secara spasial karena tidak tersedianya
data pengamatan spasial yang representatif karena data global hanya tersedia pada grid 2,5 derajat.
Untuk beberapa titik pengamatan yang datanya tersedia, kami melakukan perbandingan antara
data ensemble GCM dengan data pengamatan. Gambar 9 memperlihatkan contoh perbandingan
data GCM dengan data pengamatan temperatur permukaan di dua stasiun yakni Polonia-Medan
dan Penfui-Kupang. Perbandingan untuk kedua stasiun tersebut memperlihatkan pola dan orde
yang cukup mirip antara data keluaran GCM dengan pengamatan, meskipun jelas terlihat juga
adanya bias atau perbedaan nilai rata-rata dan variansi. Hal ini antara lain disebabkan oleh faktor
grid yang kasar dari model GCM sehingga representasi kondisi daratan tidak cukup baik.
Mengingat keterbatasan data base line klimatologi, baik untuk curah hujan maupun temperatur,
analisis proyeksi iklim dari keluaran GCM di sini akan lebih difokuskan pada trend perubahan
nilai rata-rata klimatologis dari curah hujan dan temperatur di masa depan relatif terhadap periode
base line dengan hanya menggunakan data model (GCM). Analisis ini diharapkan dapat
memberikan gambaran mengenai ada atau tidaknya bahaya perubahan iklim di masa mendatang.
19 | I C C S R
Gambar 9. Perbandingan data temperatur permukaan keluaran GCM dengan temperatur
permukaan
20 | I C C S R
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Trend Perubahan Iklim di Indonesia Saat Ini 4.1.1 Perubahan Curah Hujan
Berdasarkan kriteria deteksi perubahan iklim yang dibahas sebelumnya, analisis trend perubahan
iklim saat ini dilakukan dengan melihat perubahan nilai rerata 30-tahun (30-year mean). Sebagai
contoh, pada Gambar 10 ditunjukkan grafik perubahan nilai rerata 30-tahun curah hujan dihitung
secara berjalan (moving) untuk setiap 5 tahun dari data stasiun Jakarta. Gambar terebut antara lain
memperlihatkan kenaikan curah hujan bulan Januari yang cukup signifikan pada periode tahun
1970-an dibandingkan dengan tahun 1900-an, dengan selisih nilai rerata 30-tahunan sekitar 100
mm. Secara umum juga diperlihatkan bahwa curah hujan di bulan-bulan Januari sampai dengan
April lebih sensitif terhadap perubahan dibandingkan dengan bulan-bulan lainnya. Selain itu,
dapat dilihat juga bahwa curah hujah Januari cenderung menurun kembali menuju tahun 2000-an,
sebaliknya curah hujan Februari cenderung naik.
Gambar 10. Perubahan nilai curah hujan rerata 30-tahun untuk setiap bulan pada beberapa kurun
waktu (kiri) dan grafik moving average-nya untuk bulan-bulan basah D(esember)-J(anuari)-F(ebruari)
(kanan).
Contoh analisis di atas memperlihatkan bahwa perubahan iklim, pada taraf tertentu telah terjadi di
Jakarta dilihat dari adanya perubahan nilai rerata (mean) pada data curah hujan dari satu periode
30-tahun ke periode 30-tahun lainnya. Untuk mengetahui trend perubahan curah hujan di seluruh
daerah di Indonesia, maka dilakukan analsis serupa terhadap data GPCC yang berbentuk grid
J A S O N D J F M A M J 0
50100150200250300350400450500550600650700750800
Ave
rage
Rai
nfal
l (m
m)
Month
JAKARTA OBSERV. (30-year Annual Pattern)Lat = -6.17 , Lon = 106.82
1891-19201911-19401931-19601951-19801971-2000
1896 1906 1916 1926 1936 1946 1956 1966 1976 1986 0
50
100
150
200
250
300
350
400
450
500
550
600
650
700
Ave
rage
Rai
nfal
l (m
m)
Month
JAKARTA OBSERV. (30-year Average)Lat = -6.17 , Lon = 106.82
DJF
21 | I C C S R
dengan ukuruan 0,5º. Seperti dijelaskan sebelumnya, proyeksi nilai rerata curah hujan juga dicoba
dilakukan berdasarkan analisis trend polinomial. Contoh hasil analisis antara lain diperlihatkan
pada Gambar 11 dan 12, sedangkan hasil selengkapnya ada pada Lampiran A dan B. Pada
Gambar 11 tersebut dapat dilihat bahwa, dibandingkan terhadap base line, terdapat perubahan
nilai curah hujan rata-rata yang tidak seragam untuk bulan Januari. Di P. Sumatera, sebagian besar
daerah mengalami kenaikan nilai curah hujan rata-rata antara 10-50 mm, sedangkan di wilayah lain
terdapat daerah yang curah hujan rata-ratanya naik tetapi ada juga yang turun. Perlu diperhatikan,
misalnya, di wilayah Jawa-Bali dan Nusatenggara terdapat variasi yang cukup menonjol dimana
curah hujan untuk P. Lombok yang cenderung turun berbeda dengan P. Bali yang cenderung naik.
Gambar 11. Contoh hasil analisis trend curah hujan bulan Januari dari data GPCC : nilai rata-rata
base line 1961-1990 (kiri) dan selisih nilai rata-rata periode saat ini 1980-2010 (data sampai 2007)
dengan base line.
Analisis trend di atas setidaknya memberikan gambaran terhadap kondisi iklim saat ini
dibandingkan periode base line 1961-1990. Selebihnya dari itu, hasil ekstrapolasi polinomial pada
Gambar 12 memperlihatkan kecenderungan curah hujan yang mungkin terjadi sampai dengan
tahun 2020 (lihat juga Lampiran B). Selain proyeksi nilai rerata, dengan metode yang sama juga
dicoba dihitung proyeksi nilai deviasi standar yang dapat digunakan sebagai ukuran dari
variabilitas iklim. Meningkatnya nilai deviasi standar dapat diartikan sebagai bertambahnya
ketidakpastian iklim akibat dari kuatnya variabilitas iklim di daerah tertentu. Baik perubahan nilai
rerata maupun deviasi standar memberikan kontribusi tertentu terhadap potensi bahaya
perubahan iklim.
Untuk contoh kasus bulan Januari, dapat dilihat bahwa hampir seluruh daerah Sumatera secara
rata-rata masih berpotensi mengalami peningkatan curah hujan sampai dengan tahun 2020
22 | I C C S R
dengan gangguan (ketidakpastian) pola curah hujan yang meningkat untuk daerah Sumatera Barat
dan Utara. Potensi bahaya perubahan nilai rerata curah hujan dan variabilitasnya juga terjadi di
beberapa wilayah lainnya. Penurunan jumlah curah hujan bulan Januari cenderung terjadi di
sebagian Wilayah Nusa Tenggara, daerah Kepala Burung di Papua dan sebagaian daerah di
Kalimantan Timur. Di P. Jawa, meskipun sebagian daerah mengalami penurunan curah hujan,
variabilitas pada umumnya meningkat.
Gambar 12. Contoh hasil proyeksi perubahan curah hujan untuk bulan Januari dalam bentuk
selisih nilai rerata (atas) dan standar deviasi (bawah) 30-tahun antara periode 1985-2015 (kiri) dan
periode 1990-2020 (kanan) terhadap base line.
4.1.2 Perubahan Temperatur Permukaan
Analisis perubahan temperatur permukaan cukup sulit dilakukan karena tidak terdapatnya data
pengamatan yang representatif (Manton et al., 2001; IPCC, 2007). Namun demikian, kami
mencoba menganalisis data temperatur dengan rentang waktu yang cukup panjang dari beberapa
stasiun untuk mendapatkan gambaran mengenai perubahan temperatur permukaan di Indonesia.
Hasil analisis untuk data temperatur stasiun Jakarta diperlihatkan pda Gambar 13. Data time
series sekilas menunjukkan suatu trend kenaikan temperatur yang signifikan antara tahun 1870-an
dan tahun 1980-an. Namun demikian, apabila dilihat perubahan nilai temperatur rata-rata 30-an
untuk tiap-tiap bulannya, maka dpat diketahui bahwa perubahan pada bulan-bulan kering Juni-
23 | I C C S R
Juli-Agustus (JJA) lebih besar daripada perubahan pada bulan-bulan basah Desember-Januari-
Februari (DJF). Jika diambil trend linier, perubahan temperatur untuk bulan-bulan basah hanya
berkisar 0,5º C pada bulan-bulan basah tetapi pada bulan-bulan kering dapat mencapai 1,5º C
selama abad ke-20. Kenaikan temperatur pada bulan-bulan kering di Jakarta kemungkinan besar
sangat dipengaruhi oleh kondisi lokal dalam bentuk efek pulau panas perkotaan (urban heat island).
Efek pulau panas perkotaan terutama ditimbulkan oleh perubahan tutupan lahan, sedangkan
kontributor lainnya adalah dapat diperkirakan dari pembuangan panas dari kegiatan industri,
transportasi, dan rumah tangga.
Gambar 13. Contoh hasil analisis perubahan temperatur di Jakarta : (a) data time series
temperatur bulanan, (b) grafik komposit temperatur 30-tahun untuk tiap-tiap bulan (dengan
urutan Juli ke Juni), (c) grafik moving average 30-tahunan untuk bulan Desember, Januari,
Februari, dan (d) sama dengan (c) untuk bulan Juni, Juli, Agustus.
1860 1875 1890 1905 1920 1935 1950 1965 1980 1995 201024.5
25
25.5
26
26.5
27
27.5
28
28.5
29
29.5
Time Series of Monthly Mean TemperatureJAKARTA OBSERV. Lat = -6.18 , Lon = 106.83
(Jan1866 - Feb2009)
Time
T (o C
)
J A S O N D J F M A M J24
25
26
27
28
29
30
Ave
rage
Tem
pera
ture
(o C)
Month
30-year Annual Pattern
1879-19081899-19281919-19481939-19681959-19881979-2008
1904 1914 1924 1934 1944 1954 1964 1974 1984 1994 26
26.5
27
27.5
28
28.5
29
Ave
rage
Tem
pera
ture
(o C)
Month
30-year Average (DJF)
DJF
1904 1914 1924 1934 1944 1954 1964 1974 1984 1994 26
26.5
27
27.5
28
28.5
29
Ave
rage
Tem
pera
ture
(o C)
Month
30-year Average (JJA)
JJA
(a) (b)
(c) (c)
24 | I C C S R
4.1.3 Perubahan Peluang Kejadian Cuaca dan Iklim Ekstrem
Analisis terhadap kejadian cuaca ekstrim sebenarnya memerlukan data yang lebih lengkap. Untuk
menganalisis kejadian hujan ekstrim, misalnya, setidaknya diperlukan data curah hujan harian,
bahkan 1 jam-an. Namun demikian, sedikit lebih banyak informasi juga mungkin masih bisa digali
dari data curah hujan bulanan hasil pengamatan di stasiun. Pada Gambar 14 diperlihatkan grafik
Cumulative Distribution Function (CDF) empirik dari kurun 30 tahun yang berbeda sperti halnya
pada Gambar 10. Dari Gambar tersebut dapat dilihat bahwa untuk bulan-bulan Desember-
Januari-Februari (DJF), peluang terjadinya curah hujan bulan dengan nilai sebesar 500 m
meningkat sekitar 10% (dari 10% ke 20 %) pada periode 1961-1990 dibandingkan dengan
periode 1901-1930 dan 1931-1960. Di lain pihak, perubahan dsitribusi peluang untuk curah hujan
di bulan-bulan Maret-April-Mei (MAM) tidak terlalu tampak jelas. Perlu dicatat bahwa distribusi
peluang curah hujan untuk tahun 1991-1997 agak sulit untuk diinterpretasi karena data yang
tersedia tidak cukup banyak untuk membentuk suatu kurva normal. Keterkaitan antara peluang
curah hujan bulanan yang tinggi dengan curah hujan ekstrim tentunya tidak terlalu jelas. Akan
tetapi hujan rata-rata di Jakarta adalah sekitar 200-300 mm/bulan selama bulan-bulan DJF, dan
hujan 500 mm/bulan adalah hampir dua kali rata-rata. Apabila jumlah hari hujan dianggap tetap,
maka dapat diperkirakan bahwa haruslah terjadi peningkatan intensitas curah hujan harian juga.
Gambar 14. Grafik Cumulative Distribution Function (CDF) empirik, dari data curah hujan bulanan
Jakarta selama beberapa periode 30-tahunan.
Dalam hal proyeksi peluang kejadian cuaca ekstrim, keluaran GCM dengan resolusi 20 km dari
MRI dapat memberikan informasi tambahan. Namun demikian, perlu dicatat bahwa sebenarnya
data tersebut memerlukan proses kalibrasi. Secara terbatas, kami mencoba menganalisis distribusi
peluang hujan dari keluaran model MRI-GCM untuk tahun-tahun 2015, 2020, 2025 dan 2030.
Pada Gambar 15 diperlihatkan grafik peluang kumulatif nilai curah hujan untuk wilayah Jawa-Bali
0 100 200 300 400 500 600 700 800 900 0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
0.9
1
Cum
ulat
ive
Prob
abili
ty
Rainfall (mm/month)
Empirical CDF (DJF)
1901-19301931-19601961-19901991-1997
0 100 200 300 400 500 600 700 800 900 0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
0.9
1
Cum
ulat
ive
Prob
abili
ty
Rainfall (mm/month)
Empirical CDF (MAM)
1901-19301931-19601961-19901991-1997
25 | I C C S R
(diambil daratan saja) yang menunjukkan bahwa nilai curah hujan 20 mm/hari sudah merupakan
5% batas atas.
Gambar 15. Grafik Peluang Kumulatif curah hujan harian dari keluaran model MRI-GCM untuk
wilayah Jawa-Bali. Garis putus-putus merah menunjukkan nilai 1 mm (vertikal) dan nilai fungsi
peluang 0.95 (horizontal).
Untuk melihat perubahan peluang curah hujan ekstrim, peta distribusi peluang curah hujan lebih
dari 20 mm dipelihatkan pada Gambar 16. Menurut hasil simulasi MRI-GCM, dapat dilihat
bahwa daerah berpeluang hujan ekstrim di P. Jawa lebih banyak (tersebar) pada tahun 2015
dibandingkan dengan 2020. Namun demikian, peluang kejadian curah hujan ekstrim di sekitar
Jakarta akan lebih besar pada tahun 2020 dibandingkan dengan tahun 2015. Proyeksi ini cukup
konsisten dengan hasil dari analisis data GPCC (Lampiran B2) dimana trend perubahan dari
periode 1981-2010 ke 1990-2020 menunjukkan peningkatan variabilitas yang lebih besar
dibandingkan 1981-2010 ke 1985-2015 untuk daerah Jakarta.
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 1000
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
0.9
1
Curah Hujan (mm/hari)
Dis
tribu
si P
elua
ng K
umul
atif
26 | I C C S R
Gambar 16 Distribusi peluang curah hujan harian yang tinggi (> 20 mm/hari menurut keluaran
model GCM) di wilayah Jawa-Bali pada tahun 2015 (kiri) dan 2020 (kanan).
4.2 Perubahan Iklim Pada Periode 2030-an dan 2080-an
Proyeksi iklim untuk kurun waktu yang lebih jauh ke depan hanya bisa didapatkan melalui analisis
keluaran GCM. Karena keluaran GCM merupakan data 4-dimensi (lintang, bujur, waktu,
skenario), maka sangat sulit untuk menampilkan seluruh data yang ada. Untuk menampilkan
informasi secara lebih ringkas, kami hanya meninjau perubahan temperatur dan curah hujan pada
periode 2020-2050 (2030-an) dan periode 2070-2100 (2080-an) terhadap 1961-1990 yang
merupakan periode base line. Kemudian setiap wilayah dibagi menjadi beberapa area dan data
keluaran GCM dirata-ratakan pada area tersebut. Sebagai contoh, seperti yang diperlihatkan pada
Gambar 17, wilayah Jawa-Bali dibagi mejadi empat area yaitu : (1) Bagian Barat, (2) Bagian
Tengah, (3) Bagian Timur, dan (4) Bali .
4.2.1 Proyeksi Perubahan Temperatur Permukaan
Proyeksi temperatur permukaan untuk keempat area di wilayah Jawa-Bali dapat dilihat pada
gambar 18. Dari gambar tersebut dapat diketahui bahwa proyeksi peerubahan temperatur rata-
rata pada umumnya tidak banyak bervariasi dari satu area ke area yang lain. Selain itu, perubahan
temperatur juga mengikuti trend global dengan kenaikan yang hampir linier.
27 | I C C S R
Gambar 17. Pembagian wilayah Jawa-Bali menjadi empat bagian untuk analisis proyeksi iklim.
Perbedaan skenario memberikan perbedaan kenaikan temperatur secara signifikan pada proyeksi
periode 2080-an, sedangkan kenaikan temperatur pada periode 2030-an secara rata-rata tidak
menunjukkan nilai yang berarti. Skenario A2, dengan konsentrasi CO2 tertinggi di tahun 2100
seperti diharapkan memang memberikan kenaikan yang lebih besar yakni berkisar 3º C. Di lain
pihak, skenario B1 hanya memberikan kenaikan berkisar 2º C dan skenario A1B memberikan nilai
di antara itu. Hal ini menunjukkan bahwa secara pemodelan, kenaikan temperatur permukaan
memang mengikuti mekanisme yang relatif sederhana dimana pertambahan panas ditentukan oleh
kesetimbangan radiasi infra merah yang sangat didikte oleh konsentrasi CO2
sebagai gas rumah
kaca. Grafik kenaikan temperatur untuk wilayah lainnya dapat dilihat pada Lampiran D1-D7.
28 | I C C S R
Gambar 18. Proyeksi kenaikan temperatur rata-rata periode 2030-an (kiri) dan 2080-an (kanan)
untuk skenario B1, A1B, dan A2 (dari bawah ke atas) di atas wilayah Jawa-Bali (lihat Gambar 17).
29 | I C C S R
4.2.2 Proyeksi Perubahan Curah Hujan
Proyeksi perubahan pola curah hujan di atas wilayah Jawa-Bali pada umumnya lebih bervariasi
daripada pola kenaikan temperatur yang cenderung linier. Secara garis besar, potensi bahaya
yang perlu diwaspadai adalah adanya kecenderungan bertambahnya curah hujan di bulan-bulan
basah dan agak berkurangnya curah hujan di bulan-bulan transisi, jika dibandingkan terhadap
kondisi base line (1961-1990). Menurut hasil analisis keluaran GCM, kondisi ini akan semakin
parah memasuki periode 2080-an. Dalam hal semakin berkurangnya curah hujan di bulan-bulan
kering, Jawa Bagian Barat tampaknya merupakan area yang paling besar potensi bahayanya
dibandingkan daerah lain. Perlu diperhatikan juga adanya variasi yang tinggi untuk proyeksi curah
hujan bulan Januari pada hasil untuk ketiga skenario SRES.
Meskipun tidak sesederhana pola temperatur, pengaruh skenario juga terlihat proporsional
terhadap konsentrasi CO2, dimana skenario A2 dengan konsentrasi CO2
tertinggi juga
menghasilkan magnitudo perubahan curah hujan yang besar. Analisis keluaran GCM ini juga
memberikan gambaran mengenai pola perubahan per bulannya sehingga dapat diketahui,
misalnya, area Jawa Bagian Timur dan Bali akan lebih banyak mengalami kenaikan curah hujan di
bulan Februari dibandingkan dengan area Jawa Bagian Barat pada periode 2030-an.
4.2.3 Proyeksi Perubahan Peluang Kejadian Cuaca dan Iklim Ekstrim
Analisis untuk proyeksi perubahan peluang kejadian cuaca dan iklim ekstrim masih perlu
dilakukan sehingga pada tahap ini belum hasilnya belum dapat disampaikan. Karena ketersediaan
data yang cukup terbatas, tidak banyak yang dapat dilakukan untuk mengetahui potensi bahaya
karena cuaca ekstrim. Meskipun demikian, bahaya iklim ekstrim seperti terjadinya tahun kering
secara berturut-turut menjadi salah satu hal yang perlu diwaspadai. Hal ini masih ditelaah dan
akan diulas dalam perbaikan laporan kajian ini.
30 | I C C S R
Gambar 19. Sama seperti Gambar 18 tetapi untuk curah hujan.
31 | I C C S R
BAB 5 REKOMENDASI UMUM UNTUK ADAPTASI SEKTORAL 5.1 Deskripsi Perubahan Iklim di Setiap Wilayah
Sebagai dasar untuk penyusunan Roadmap, kami berupaya agar hasil kajian scientific basis dapat
dirumuskan dalam bentuk sederhana tetapi padat informasi. Namun hal ini tidak terlalu mudah
untuk dilakukan karena permasalahan iklim di Indonesia yang sangat kompleks dan berbagai
keterbatasan data proyeksi iklim yang ada. Di bawah ini kami coba sampaikan secara ringkas
gambaran umum mengenai proyeksi perubahan iklim dan kemungkinan potensi bahayanya di
tiap-tiap wilayah.
5.1.1 Perubahan Iklim di Wilayah Jawa-Bali
Perubahan iklim di wilayah Jawa-Bali telah dibahas dalam contoh hasil analisis proyeksi iklim di
atas. Secara ringkas dapat disampaikan kembali bahwa relatif terhadap kondisi saat ini (rata-rata
1981-2007), perubahan curah hujan antara 2010 sampai dengan 2015 tidak banyak berpengaruh
pada rata-rata klimatologis. Namun demikian, rata-rata curah hujan tahun 2010 sampai dengan
2020 memperlihatkan peningkatan curah hujan yang cukup signifikan pada bulan-bulan
Desember-Januari-Februari-Maret dengan peningkatan variabilitas terutama di Jawa Bagian Barat
dan sepanjang Pantai Utara.
Proyeksi model GCM menunjukkan bahwa kenaikan temperatur permukaan rata-rata pada
periode 2020-2050 sekitar 1º C untuk semua skenario relatif terhadap base line. Pada periode 2070-
2100, kenaikan temperatur berkisar 2º C untuk skenario B1, 2,5 º C untuk A1B, dan 3º C untuk
A2. Pola perubahan curah hujan menunjukkan kecenderungan umum dimana curah hujan di
bulan-bulan kering (Juni-Juli-Agustus) semakin berkurang, sementara peningkatan curah hujan
terjadi pada bulan-bulan musim basah (Desember-Januari-Februari), terutama pada periode 2080-
an.
5.1.2 Perubahan Iklim di Wilayah Sumatera
Curah hujan di sebagian wilayah Sumatera saat ini mempunyai kecenderungan naik relatif
terhadap baseline dan diproyeksikan masih akan terus naik sampai tahun 2020. Potensi bahaya
terdapat secara signifikan pada peningkatan curah hujan rata-rata dan variabilitasnya di Sumatera
Barat dan Utara pada bulan Oktober. Potensi bahaya peningkatan variabilitas curah hujan juga
secara lebih spesifik terdapat di bulan Mei untuk daerah Sumatera Barat.
32 | I C C S R
Proyeksi model GCM menunjukkan bahwa kenaikan temperatur permukaan rata-rata pada
periode 2020-2050 sekitar 1º C untuk semua skenario relatif terhadap base line tetapi lebih
bervariasi dari bulan satu ke bulan lainnya antara 0-2 º C. Pada periode 2070-2100, kenaikan
temperatur berkisar 2º C untuk skenario B1, 2,5 º C untuk A1B, dan 3º C untuk A2 tetapi
perubahan terbesar dapat mencapai 4º C. Pola perubahan curah hujan menunjukkan perbedaan
untuk daerah Sumatera Bagian Selatan dibandingkan dengan bagian Sumatera lainnya.
Kecenderungan umum untuk daerah Sumatera Bagian Tengah sampai Utara dpat dikatakan
berkebalikan dengan pola yang terjadi di wilayah Jawa-Bali dimana curah hujan bulan Desember-
Januari-Februari berkurang tetapi untuk bulan Juli-Agustus-September meningkat. Untuk
Sumatera Bagian Selatan, kecenderungan berkurangnya curah hujan terjadi di bulan-bulan Juli-
Agustus-September tetapi lebih kecil daripada di Wilayah Jawa-Bali.
5.1.3 Perubahan Iklim di Wilayah Kalimantan
Peningkatan curah hujan terjadi di Kalimantan Bagian Timur terutama di sekitar Bulan Januari
dimana variabilitas juga mengalami peningkatan antara 2010-2020. Perubahan temperatur secara
umum mengikuti trend global yaitu sekitar 1º C pada periode 2030-an dan 1,5 º C – 3 º C pada
periode 2080-an dengan variasi yang lebih besar daripada di wilayah Jawa tetapi lebih kecil
daripada Sumatera. Perubahan curah hujan tidak menunjukkan pola yang terlalu jelas tetapi
peningkatan curah hujan lebih dominan pada periode 2080-an untuk skenario A1B dan A2.
5.1.4 Perubahan Iklim di Wilayah Sulawesi
Potensi bahaya perubahan curah hujan di wilayah Sulawesi periode 2010-2020 terdapat pada
peningkatan curah hujan di bulan Desember dan Januari , terutama untuk daerah Sulawesi Bagian
Utara. Perubahan temperatur secara umum mengikuti trend global yaitu sekitar 0.8º C pada
periode 2030-an dan 1,5 º C – 3 º C pada periode 2080-an dengan variasi yang cukup kecil.
Perubahan curah hujan menunjukkan pola yang sangat bervariasi dengan perbedaan yang cukup
mencolok antara daerah Sulawesi Bagian Selatan dan Utara terutama untuk skenario A1B.
5.1.5 Perubahan Iklim di Wilayah Nusatenggara
Proyeksi menggunakan data GPCC secara mencolok memperlihatkan adanya potensi bahaya
variabilitas iklim yang meningkat di Nusatenggara Bagian Barat untuk bulan November selama
periode 2010-2020. Sementara itu, curah hujan bulan Januari cenderung mengalami penurunan
yang signifikan. Perubahan temperatur secara umum mengikuti trend global yaitu naik sekitar 0.8º
C pada periode 2030-an dan 1,5 º C – 3 º C pada periode 2080-an dengan variasi yang cukup
33 | I C C S R
besar antara bulan-bulan basah dengan bulan-bulan kering. Perubahan curah hujan menunjukkan
pola yang sangat bervariasi dengan kecenderungan menurun yang sedikit lebih dominan pada
periode 2080-an.
5.1.6 Perubahan Iklim di Wilayah Maluku
Perubahan curah hujan di wilayah Maluku berpotensi untuk mengalami peningkatan dan
penurunan selama periode 2010-2020 pada bulan-bulan yang berbeda. Potensi peningkatan nilai
rata-rata dan varibilitas curah hujan terutama terdapat pada bulan Juni di sekitar P. Seram.
Perubahan temperatur secara umum mengikuti trend global tetapi sedikit lebih kecil dari 1º C-3 º
C antara periode 2030-an sampai 2080-an. Perubahan curah hujan sangat bervariasi dengan
kecenderungan terjadi penurunan curah hujan pada 2030-an tetapi kemudian terjadi peningkatan
pada 2080-an.
5.1.7 Perubahan Iklim di Wilayah Papua
Perubahan curah hujan di wilayah Papua berpotensi untuk cenderung mengalami penurunan
selama periode 2010-2020. Potensi peningkatan variabilitas iklim terutama terdapat pada bulan
Juli. Perubahan temperatur secara umum mengikuti trend global yaitu 1º C-3 º C antara periode
2030-an sampai 2080-an dengan variasi yang cukup kecil kecuali untuk daerah Papua Bagian
Selatan. Demikian juga, perubahan curah hujan cenderung menunjukkan peningkatan yang
signifikan keculai untuk daerah Papua Bagian Selatan, terutama untuk periode 2080-an.
5.2 Catatan Tambahan
5.2.1 Variabilitas Iklim Jangka Panjang
Pemahaman kita tentang perubahan iklim sangatlah terbatas dalam berbagai hal, baik di masa
lampau dan masa kini, apalagi di masa depan. Namun demikian, dalam menghadapi isu perubahan
iklim, masalah utama yang kita hadapi adalah kenaikan temperatur permukaan bumi yang
disebabkan oleh kenaikan konsentrasi gas rumah kaca. Secara umum, adanya kenaikan
temperatur global setelah era industri telah diakui oleh para pakar iklim dunia. Sejauh ilmu
pengetahuan dan teknologi memungkinkan, kenaikan temperatur global telah dikonfirmasi oleh
para ahli melalui simulasi menggunakan GCM (Global Circulation Model) untuk kondisi abad ke-20.
Akan tetapi, para ahli juga menyadari bahwa keberhasilan GCM dalam mensimulasikan keadaan
iklim masa kini tidak menjamin keabsahan proyeksi iklim yang dihasilkan untuk 100 tahun ke
depan. Menyadari berbagai kelemahan tersebut, institusi pengembang model iklim juga terus
memperbaiki versi model dan keluarannya.
34 | I C C S R
Menyikapi perubahan iklim yang terjadi akhir-akhir ini, selain prediksi perubahan iklim
berdasarkan keluaran model, hal lain yang perlu juga dicermati adalah variabilitas iklim jangka
panjang (interdekadal) seperti PDO (Pacific Decadal Oscillation) yang terkait dengan variasi suhu
muka laut di Pasifik Utara dan Pasifik Tengah (Mantua, 1997), dan AMO (Atlantic Multidecadal
Oscillation) yang terkait dengan perubahan sirkulasi termohalin (di kedalaman lautan) di Samudera
Atlantik (Soon, 2009). Adanya variabilitas iklim jangka panjang tersebut menyebabkan atribusi isu
pemanasan global terhadap perubahan iklim menjadi semakin sengit diperdebatkan di kalangan
ahli Klimatologi di dunia. Laporan IPCC (2007, Bab 6) juga antara lain membahas perdebatan
mengenai variabilitas iklim jangka panjang meskipun dengan kesimpulan bahwa perubahan iklim
yang terjadi saat ini tidak dapat dilepaskan dari pengaruh antropogenik.
Pengaruh variabilitas jangka panjang juga perlu dipertimbangkan dalam analisis proyeksi sehingga
tidak setiap pergeseran pola iklim dengan mudah di-atribusikan kepada pemanasan global. Pada
Gambar 20 diperlihatkan grafik time series indeks PDO dan curah hujan yang diambil dari data
curah hujan stasiun Ampenan (P. Lombok) setelah dilakukan penghalusan dengan periode 20
tahun. Data indeks PDO bisa didapatkan dari situs http://jisao.washington.edu/pdo/
PDO.latest . Dalam analisis ini data curah hujan dikonversi ke dalam indeks curah hujan (rainfall
index) dengan menghitung anomali serta membaginya dengan suatu bilangan skala. Dari Gambar
20 dapat dilihat adanya kecocokan pola variasi temporal antara variasi indeks PDO dengan curah
hujan di P. Lombok. Hal ini menunjukkan kemungkinan yang kuat mengenai keterkaitan antara
perubahan iklim saat ini dengan variabilitas jangka panjang yang mempengaruhi statistik curah
hujan antar kurun klimatologis (30 tahun). Korelasi yang cenderung linier juga diperlihatkan
apabila index curah hujan digeser 14 tahun ke belakang (Hadi et al., 2009)
35 | I C C S R
Gambar 20. Grafik time-series indeks Pacific Decadal Oscillation (PDO; merah) dan indeks curah
hujan (biru) di stasiun Ampenan (P. Lombok) setelah dilakukan penghalusan dengan periode 20
tahun.
Kajian mutakhir oleh Soon (2009) menunjukkan bahwa variabilitas atmosfer dalam jangka
panjang dipengaruhi oleh dinamika laut di S. Atlantik melalui mekanisme yang disebut meridional
overturning circulation (MOC) yang didorong oleh variabilitas radiasi matahari. Gambar 21
memperlihatkan grafik time series temperatur muka laut di Atlantik dan iradiansi matahari total
yang menunjukkan kemiripan pola variasi jangka panjang yang cukup jelas. Dengan catatan ini
kami pertama ingin menegaskan mengenai pentingnya penguatan kajian dasar akademis terhadap
dinamika iklim di Indonesia sehingga perilaku perubahan iklim dapat dipahami secara lebih
komprehensif. Kedua, potensi bahaya perubahan iklim dari variabilitas iklim jangka panjang tidak
kalah pentingnya untuk diperhatikan dibandingkan perubahan iklim karena pemanasan global.
1900 1910 1920 1930 1940 1950 1960 1970 1980 1990 2000 2010
-1
0
1
Year
Rai
nfal
l/PD
O In
dex
36 | I C C S R
Gambar 21. Grafik time-series anomali temperatur muka laut tahunan di Atlantik (garis putus-
putus) dan iradiansi matahari total (garis merah). (Sumber : Soon, 2009).
5.2.2 Ketidakpastian Proyeksi Iklim
Seperti disebutkan di awal pembahasan, proyeksi iklim selalu mengandung ketidakpastian dan
tantangan yang paling besar adalah bagaimana melakukan kuantifikasi terhadap ketidakpastian
tersebut untuk meningkatkan kedayagunaannya di dalam pengambilan keputusan. Dalam hal
proyeksi iklim dari data GCM, setidaknya ada tiga sumber ketidakpastian yang harus
diperhitungkan yakni : (1)skenario emisi gas rumah kaca, (2)sensitivitas iklim global terhadap
emisi gas rumah kaca (pemillihan model GCM), dan (3)response sistem iklim regional terhadap
pemanasan global (model downscaling).
Sebagai ilustrasi, dalam kajian ini diambi tiga skenario emisi (B1, A1B, A2) dan tujuh keluaran
GCM tanpa downscaling. Ini saja sudah menghasilkan 3×7 = 21 kemungkinan proyeksi. Untuk
analisis yang lebih komprehensif, ratusan kombinasi skenario dapat menghasilkan ratusan
kemungkinan yang kemudian dapat tinjau statistiknya. Dalam pembahasan sebelumnya, kami
hanya menampilkan estimasi terbaik (the best estimate) berupa nilai selective ensemble mean dengan
informasi ketidakpastian hanya dari tiga skenario SRES saja.
37 | I C C S R
BAB 6 PENUTUP
Dalam rangka untuk mendukung proses penyusunan Roadmap, kami telah berusahan untuk
melakukan kajian mengenai perubahan iklim di Indonesia dengan sekomprehensif mungkin.
Meskipun demikian, berbagai keterbatasan data maupun metodologi yang kami gunakan, hasil-
hasil yang disampaikan di sini sangatlah bersifat sementara dan masih jauh dari kebutuhan
nasional akan informasi perubahan iklim yang lebih akurat. Oleh karena itu, ke depan perlu
disusun suatu program penguatan dasar akademis (scientific basis) perubahan iklim secara lebih
terkoordinasi melalui pemberdayaan lembaga-lembaga yang relevan secara lebih optimal. Dengan
demikian, Roadmap tidak hanya perlu untuk memandu aksi adaptasi sektor tetapi juga harus
dibuat untuk penguatan scientific basis.
Saat ini berbagai kajian terhadap dampak serta risiko terhadap perubahan iklim telah mulai banyak
dilakukan tanpa dukungan dasar akademis yang memadai. Agar isu perubahan iklim tidak hanya
dijadikan komoditi politis, ke depan kami memandang perlunya disusun suatu buku yang setara
dengan Climate Change 2007 The Physical Science Basis, atau kira-kira dalam semacam versi
Perubahan Iklim Indonesia 20xx : Kajian Dasar Akademis yang berisi kontribusi terbaik dari
seluruh lembaga maupun individu yang berkompeten dalam membahas perubahan iklim di
Indonesia.
38 | I C C S R
DAFTAR PUSTAKA
Aldrian, E. and R.D. Susanto, 2003 : Identification of three dominant rainfall regions within
Indonesia and their relationship to sea surface temperature, Int. J. Climatol., 23, 1453-
1464
Aldrian, E., 2006 : Decreasing trends in annual rainfalls over Indonesia: A Threat to national
water resource?, J. Meteorologi dan Geofisika (in Press version).
Annamalai, H., K. Hamilton, and K.R. Sperber, 2006 : South Asian Summer Monsoon and Its
Relationship with ENSO in the IPCC AR4 simulations, J. Climate (in Press)
Australian Government, Department of the Environment and Heritage Australian Greenhouse
Office, 2005 : Climate Change Risk and Vulnerability,
(http://www.greenhouse.gov.au/ )
Boer, R. and Faqih, A. 2004 : Current and Future Rainfall Variability in Indonesia, Paper
submitted to Assessments of Impacts and Adaptations to Climate Change (AIACC),
( http://www.enfor.com.ph/publications.html )
Hadi, T.W., Halil, and Ibnu Sofian, 2009 : Recent Trend in The Interannual and Interdecadal
Rainfall Variation over Lombok Island, Indonesia, In Preparation (to be submitted
to SOLA in July )
IPCC, 2007: Climate Change 2007 : The Physical Science Basis. Contribution of Working Group
I to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate
Change [Solomon, S., D. Qin, M. Manning, Z. Chen, M. Marquis, K.B. Averyt, M.
Tignor and H.L. Miller (eds.)]. Cambridge University Press, Cambridge, United
Kingdom and New York, NY, USA, 996 pp.
IPCC-Task Group on Data and Scenario Support for Impacts and Climate Analysis (TGCIA),
2007 : General Guidelines on The Use of Scenario Data for Climate Impact and
Adaptation Assessement, Version 2, pp. 66
Joseph, R., and S. Nigam, 2006 : ENSO Evolution and Teleconnections in IPCC’s Twentieth-
Century Climate Simulations: Realistic Representation?, J. Climate, 19, 4360-4377
Kim, J., and T. Reichler, 2008 : Regional Performance of the IPCC-AR4 Models in Simulating
Present-Day Mean Climate, EGU General Assembly, Vienna, Austria, April 13-18,
(http://www.inscc.utah.edu/~reichler/talks/tjr_talks.shtml)
Manton, M.J., P.M. Della-Marta, M.R. Haylock, K.J. Hennessy, N. Nicholls, L.E. Chambers, D.A.
Collins, G. Daw, D. Gunawan, K. Inape, H. Isobe, T.S. Kestin, P. Lefale, C.H. Leyu,
39 | I C C S R
T. Lwin, L. Maitrepierre, N. Ouprasitwong, C.M. Page, J. Pahalad, N. Plummer, M.J.
Salinger, R. Suppiah, V.L. Tran, B. Trewin, I. Tibig, and D. Yee, 2001, Trends in
extreme daily rainfall and temperature in Southeast Asia and the Southeast Pacific :
1961-1998, Int. J. Climatol., 21, 269-284.
Mantua, N.J. and S.R. Hare, Y. Zhang, J.M. Wallace, and R.C. Francis, 1997 : A Pacific
interdecadal climate oscillation with impacts on salmon production. Bull. Amer.
Meteor. Soc., 78, 1069-1079
Meehl, G.A., F. Zwiers, J. Evans, T. Knutson, L. Mearns, and P. Whetton, 2000 : Trends in
extreme weather and climate events : Issues related to modeling extremes in
projections of future clmate change, Bull. Amer. Met. Soc., 81(3), 413-416
Naylor, R.L., D.S. Battisti, D.J. Vimont, W.P. Falcon, and M.B. Burke, 2007 : Assessing risk of
climate variability and climate change for Indonesian rice agriculture, PNAS, 104(19),
7752-7757
Pielke, R.A., Jr., 2003 : What is climate change? Policy consequences of differing political and
scientific definitions, pp. 7, http://www.climateadaptation.net/
docs/papers/pielke.pdf
Santoso, H., and C. Forner, 2006 : Climate change projections for Indonesia, Background document
for the Southeast Asia kick-off meeting of the project Tropical Forests and Climate Change
Adaptation (“TroFCCA”), Bogor, May 29-30
Schneider, S., 2002 : Can we estimate the likelihood of climatic changes at 2100?, Climatic Change,
52, 441-451
Soetamto, 2009 : Analisa Perubahan Hujan di Indonesia, Materi FGD Sektor Air dan
Pengelolaan Limbah, Bappenas, 24 Februari
Soon, W.-H, 2009 : Solar Arctic-Mediated Climate Variation on Multidecadal to Centennial
Timescales: Empirical Evidence, Mechanistic Explanation, and Testable
Consequences, Preprint of publication to appear in Physical Geography (February 12)
Smith, I., 2009 : Current Issues with Climate Change Projections, AusAID Workshop 2009 on
High Resolution Climate Modelling of Climate Change over the Indonesian Region,
CSIRO Marine and Atmospheric Research, Aspendale, 18-29 May
Wilby, R.L., S. Charles, L.O. Mearns, P. Whetton, E. Zorito, B. Timbal, 2004 : Guidelines for use
of climate scenarios developed from statistical downscaling methods, IPCC Task
Group on Data and Scenario Support for Impacts and Climate Analysis (TGCIA),
(http://ipcc-ddc.cru.uea.ac.uk/
guidelines/StatDown_Guide.pdf)
40 | I C C S R
LAMPIRAN
LAMPIRAN A – BASELINE CURAH HUJAN BERDASARKAN DATA GPCC
LAMPIRAN B1 – PROYEKSI PERUBAHAN CURAH HUJAN 2010-2015
LAMPIRAN B2 - PROYEKSI PERUBAHAN CURAH HUJAN 2015-2020
LAMPIRAN C –PEMBAGIAN WILAYAH (GRID) UNTUK PROYEKSI IKLIM
LAMPIRAN D1 - PROYEKSI 2030- DAN 2080-AN TEMPERATUR AREA JAWA-BALI
LAMPIRAN D2 - PROYEKSI 2030- DAN 2080-AN TEMPERATUR KALIMANTAN
LAMPIRAN D3 - PROYEKSI 2030- DAN 2080-AN TEMPERATUR AREA MALUKU
LAMPIRAN D4 - PROYEKSI 2030- DAN 2080-AN TEMPERATUR AREA NUSA TENGGARA
LAMPIRAN D5 - PROYEKSI 2030- DAN 2080-AN TEMPERATUR AREA PAPUA
LAMPIRAN D6 - PROYEKSI 2030- DAN 2080-AN TEMPERATUR AREA SULAWESI
LAMPIRAN D7 - PROYEKSI 2030- DAN 2080-AN TEMPERATUR AREA SUMATERA
LAMPIRAN E1 - PROYEKSI 2030- DAN 2080-AN CURAH HUJAN AREA JAWA-BALI
LAMPIRAN E2 - PROYEKSI 2030- DAN 2080-AN CURAH HUJAN AREA KALIMANTAN
LAMPIRAN E3 - PROYEKSI 2030- DAN 2080-AN CURAH HUJAN AREA MALUKU
LAMPIRAN E4 - PROYEKSI 2030- DAN 2080-AN CURAH HUJAN AREA NUSA TENGGARA
LAMPIRAN E5 - PROYEKSI 2030- DAN 2080-AN CURAH HUJAN AREA PAPUA
LAMPIRAN E6 - PROYEKSI 2030- DAN 2080-AN CURAH HUJAN AREA SULAWESI
LAMPIRAN E7 - PROYEKSI 2030- DAN 2080-AN CURAH HUJAN AREA SUMATERA
LAMPIRAN F – GRAFIK CURAH HUJAN STASIUN
J A S O N D J F M A M J 0
50100150200250300350400450500550600650700750800
Ave
rage
Rai
nfal
l (m
m)
Month
PIRU (30-year Annual Pattern)Lat = -3.07 , Lon = 128.18
1891-19201911-19401931-19601951-19801971-2000
J A S O N D J F M A M J 0
50100150200250300350400450500550600650700750800
Ave
rage
Rai
nfal
l (m
m)
Month
BLANG BINTANG BANDA (30-year Annual Pattern)Lat = 5.52 , Lon = 95.43
1891-19201911-19401931-19601951-19801971-2000
J A S O N D J F M A M J 0
50100150200250300350400450500550600650700750800
Ave
rage
Rai
nfal
l (m
m)
Month
PAYAKUMBUH (30-year Annual Pattern)Lat = -0.22 , Lon = 100.62
1891-19201911-19401931-19601951-19801971-2000
J A S O N D J F M A M J 0
50100150200250300350400450500550600650700750800
Ave
rage
Rai
nfal
l (m
m)
Month
PANGKAL PINANG (30-year Annual Pattern)Lat = -2.17 , Lon = 106.13
1891-19201911-19401931-19601951-19801971-2000
J A S O N D J F M A M J 0
50100150200250300350400450500550600650700750800
Ave
rage
Rai
nfal
l (m
m)
Month
BELINYU (30-year Annual Pattern)Lat = -1.65 , Lon = 105.77
1891-19201911-19401931-19601951-19801971-2000
J A S O N D J F M A M J 0
50100150200250300350400450500550600650700750800
Ave
rage
Rai
nfal
l (m
m)
Month
SINGKAWANG (30-year Annual Pattern)Lat = 0.92 , Lon = 109
1891-19201911-19401931-19601951-19801971-2000
J A S O N D J F M A M J 0
50100150200250300350400450500550600650700750800
Ave
rage
Rai
nfal
l (m
m)
Month
JAKARTA OBSERV. (30-year Annual Pattern)Lat = -6.17 , Lon = 106.82
1891-19201911-19401931-19601951-19801971-2000
J A S O N D J F M A M J 0
50100150200250300350400450500550600650700750800
Ave
rage
Rai
nfal
l (m
m)
Month
BOGOREMPANG (30-year Annual Pattern)Lat = -6.6 , Lon = 106.78
1891-19201911-19401931-19601951-19801971-2000
J A S O N D J F M A M J 0
50100150200250300350400450500550600650700750800
Ave
rage
Rai
nfal
l (m
m)
Month
CIANJUR (30-year Annual Pattern)Lat = -6.82 , Lon = 107.45
1891-19201911-19401931-19601951-19801971-2000
J A S O N D J F M A M J 0
50100150200250300350400450500550600650700750800
Ave
rage
Rai
nfal
l (m
m)
Month
JATIWANGI (30-year Annual Pattern)Lat = -6.75 , Lon = 108.27
1891-19201911-19401931-19601951-19801971-2000
J A S O N D J F M A M J 0
50100150200250300350400450500550600650700750800
Ave
rage
Rai
nfal
l (m
m)
Month
BANJARNEGARA (30-year Annual Pattern)Lat = -7.4 , Lon = 109.7
1891-19201911-19401931-19601951-19801971-2000
J A S O N D J F M A M J 0
50100150200250300350400450500550600650700750800
Ave
rage
Rai
nfal
l (m
m)
Month
SIKAYU (30-year Annual Pattern)Lat = -7.68 , Lon = 109.48
1891-19201911-19401931-19601951-19801971-2000
J A S O N D J F M A M J 0
50100150200250300350400450500550600650700750800
Ave
rage
Rai
nfal
l (m
m)
Month
KARANGASEM (30-year Annual Pattern)Lat = -7 , Lon = 111.1
1891-19201911-19401931-19601951-19801971-2000
J A S O N D J F M A M J 0
50100150200250300350400450500550600650700750800
Ave
rage
Rai
nfal
l (m
m)
Month
TUGUREJO (30-year Annual Pattern)Lat = -6.98 , Lon = 110.35
1891-19201911-19401931-19601951-19801971-2000
J A S O N D J F M A M J 0
50100150200250300350400450500550600650700750800
Ave
rage
Rai
nfal
l (m
m)
Month
TANJUNGTIRTO (30-year Annual Pattern)Lat = -7.8 , Lon = 110.47
1891-19201911-19401931-19601951-19801971-2000
J A S O N D J F M A M J 0
50100150200250300350400450500550600650700750800
Ave
rage
Rai
nfal
l (m
m)
Month
NGLANGON (30-year Annual Pattern)Lat = -7.15 , Lon = 111.15
1891-19201911-19401931-19601951-19801971-2000
J A S O N D J F M A M J 0
50100150200250300350400450500550600650700750800
Ave
rage
Rai
nfal
l (m
m)
Month
SRUNI (30-year Annual Pattern)Lat = -7.4 , Lon = 112.72
1891-19201911-19401931-19601951-19801971-2000
J A S O N D J F M A M J 0
50100150200250300350400450500550600650700750800
Ave
rage
Rai
nfal
l (m
m)
Month
PANDANLARAS (30-year Annual Pattern)Lat = -7.9 , Lon = 113.48
1891-19201911-19401931-19601951-19801971-2000
J A S O N D J F M A M J 0
50100150200250300350400450500550600650700750800
Ave
rage
Rai
nfal
l (m
m)
Month
KABAT (30-year Annual Pattern)Lat = -8.27 , Lon = 114.32
1891-19201911-19401931-19601951-19801971-2000
J A S O N D J F M A M J 0
50100150200250300350400450500550600650700750800
Ave
rage
Rai
nfal
l (m
m)
Month
NEGARA (30-year Annual Pattern)Lat = -8.33 , Lon = 114.65
1891-19201911-19401931-19601951-19801971-2000
J A S O N D J F M A M J 0
50100150200250300350400450500550600650700750800
Ave
rage
Rai
nfal
l (m
m)
Month
BENTENG (30-year Annual Pattern)Lat = -6.12 , Lon = 120.47
1891-19201911-19401931-19601951-19801971-2000
J A S O N D J F M A M J 0
50
100
150
200
250
300
350
400
450
500
Ave
rage
Rai
nfal
l (m
m)
Month
REMBIGA AMPENAN (30-year Annual Pattern)Lat = -8.53 , Lon = 116.07
1891-19201911-19401931-19601951-19801971-2000
J A S O N D J F M A M J 0
50100150200250300350400450500550600650700750800
Ave
rage
Rai
nfal
l (m
m)
Month
LABUHA (30-year Annual Pattern)Lat = -0.65 , Lon = 127.47
1891-19201911-19401931-19601951-19801971-2000
J A S O N D J F M A M J 0
50100150200250300350400450500550600650700750800
Ave
rage
Rai
nfal
l (m
m)
Month
PATTIMURA/AMBON (30-year Annual Pattern)Lat = -3.7 , Lon = 128.1
1891-19201911-19401931-19601951-19801971-2000