bangunan gkpb jemaat efrata buduk sebagai ......hindu serta penduduk yang ramah-tamah. keragaman...
TRANSCRIPT
i
BANGUNAN GKPB JEMAAT EFRATA BUDUK SEBAGAI BENTUK
RESISTENSI MASYARAKAT KRISTEN BALI
Oleh:
Chindy Rooroh
712012052
TUGAS AKHIR
Diajukan kepada Program Studi Teologi, Fakultas Teologi
guna memenuhi sebagian dari persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana
Sains dalam bidang Teologi (S.Si. Teol)
FAKULTAS TEOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2018
ii
iii
iv
v
vi
MOTTO
Serahkanlah Segala Kekuatiranmu Kepada-Nya
Sebab Ia Yang Memelihara Kamu.
(1Petrus 5:7)
Tinggi Hati Mendahului Kehancuran,
Tetapi
Kerendahan Hati Mendahului Kehormatan.
vii
Kata Pengantar
Segala puji dan syukur yang penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus
Kristus atas kasih dan anugerah yang berlimpah dalam kehidupan ini sehingga
penulis dapat mengerjakan dan menyelesaikan Tugas Akhir dengan judul
Bangunan GKPB Jemaat Efrata Buduk Sebagai Bentuk Resistensi Masyarakat
Kristen Bali. Tugas Akhir ini disusun sebagai pemenuhan salah satu syarat
untuk menyelesaikan Program Studi Sarjana Fakultas Teologi di Universitas
Kristen Satya Wacana. Selama penyusunan Tugas Akhir ini, penulis menerima
banyak saran, kritik dan bimbingan dari berbagai pihak yang sangat berjasa
bagi penulis. Penulis sadar bahwa penyusunan Tugas Akhir ini tidak akan
berjalan lancar dan selesai jika tidak ada pihak-pihak tersebut. Oleh sebab itu,
dengan rendah hati penulis ucapkan terima kasih kepada:
1. Dr. David Samiyono, selaku dosen pembimbing 1 yang banyak
membantu serta meluangkan banyak waktu dan tenaga untuk
membimbing pada saat proses penulisan Tugas Akhir penulis .
2. Pdt. Fidelis Nimali Buke selaku dosen pembimbing 2 yang telah
membantu dan memberikan pengarahan dalam penulisan Tugas Akhir
penulis.
3. Seluruh dosen dan pegawai Tata Usaha Fakultas Teologi Universitas
Kristen Satya Wacanayang telah banyak berjasa memberikan
pengetahuan dan menambah wawasan baru bagi penulis, bahkan
membantu penulis dalam pengurusan berbagai administrasi
perkuliahan dari awal perkuliahan hingga akhir proses penyusunan
Tugas Akhir ini dapat terselesaikan.
4. Pendeta serta seluruh anggota jemaat GKPB Efrata Buduk yang telah
memberikan kesempatan penulis untuk melakukan penelitian dan
memberikan banyak masukan untuk penulisan tugas akhir penulis.
5. Orang tua dan keluarga penulis, yang selalu berdoa dan memberikan
motivasi selama manjalani proses perkuliahan.
6. Evans B. Tamonob yang banyak membantu dan mengingatkan serta
memberikan semangat dalam mengerjakan Tugas Akhir ini bahkan
viii
pada saat penulis sudah menyerah dengan banyak kendala yang ada,
Evans selalu memotivasi sehingga penulisan ini bisa terselesaikan.
7. Teman-teman angkatan 2012 fakultas Teologi yang telah banyak
membantu penulis selama proses perkuliahan. Khususnya Berlian, Eka
papua, Apriana Meyvi, Hesty, Sunny, Ross Dara, Elfira, kak Antoneta
dan lain-lain terimakasih telah menemani dan banyak membantu
selama di Salatiga semoga ada saatnya kita dapat berjumpa kembali.
Penulis sadar bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan Tugas
Akhir. Akhir kata, semoga Tugas Akhir ini bermanfaat bagi mahasiswa
yang akan menulis dengan tema Bangunan Gereja terkhusunya Bangunan
Gereja Bali.
Salatiga, 06 Juni 2018
Chindy Rooroh
ix
DAFTAR ISI
Cover ……………………………………………………………..…..…..……… i
Lembar Pengesahan…..…………………………...………......…………...…… ii
Pernyataan Tidak Plagiat………………………………..………….………… iii
Pernyataan Persetujuan Akses ……………………….....……………..………iv
Pernyataan Persetujuan Publikasi ……………………………...……..…....… v
Motto………………………………………………………...…....…………..… vi
Kata Pengantar ……………………………………………...……………...… vii
Daftar Isi …………………………………..…………….......…………….…… ix
Abstrak ………………………………………………………………..……...… xi
BAB IPendahuluan
1.1 Latar belakang……………………………………………...…….……...… 1
1.2 Tujuan Penelitian……………………………………………..…….……… 4
1.3 Manfaat Penelitian……………………………………………....….……… 5
1.4 Metode Penelitian…………………………………………………...……… 5
BAB II KAJIAN TEORI
A. Bangunan Bali dan Arsitektur Gereja Bali
1. Bangunan Bali…………………………………………………....……… 7
2. Arsitektur Bali………………………………………………….…..….… 8
B. Simbol
1. Pengertian Simbol……………………………………………….........… 10
2. Simbol Menurut Parah Ahli…………………………………….…….… 11
BAB IIIHASIL PENELITIAN
A. Sejarah Singkat Kristen Protestan Masuk di Bali………………….. 15
B. GKPB Jemaat Efrata Buduk……………………………………......… 18
C. Perkembangan Jemaat dan Tempat Ibadah Mula-Mula………...… 19
x
D. Terbentuknya Bangunan Gereja dengan Arsitektur Bali …….....… 21
E. Bangunan GKPB Efrata Buduk…………………………………...… 22
BAB IVANALISA HASIL PENELITIAN…………………………….......… 25
BAB VPENUTUP
Kesimpulan dan Saran …………………………….....…………………….… 31
DAFTAR PUSTAKA ………………………………...……………………..… 33
xi
ABSTRAK
Bali yang terkenal dengan sebutan pulau Dewata dikenal sebagai salah
satu pulau di Indonesia yang menyimpan banyak potensi kehidupan yang unik dan
mempesona. Salah satu konsep yang menjadi kekebalan masyarakat Bali terhadap
pengaruh para pendatang dalam berbagai aspek kehidupan sosial kemasyarakatan
yaitu konsep Tri Hita Karana, Bali memiliki keunikan tersendiri karena bentuk
arsitektur bangunan gereja di Bali terkhusus Gereja Kristen Protestan di Bali
memakai bentuk budaya Bali. Penelitian yang berjudul “Bangunan Gereja Jemaat
Efrata Buduk Sebagai Bentuk Resistensi Masyarakat Kristen Bali” memiliki
tujuan untuk mengkaji lebih dalam latar belakang yang menyebabkan masyarakat
kristen Bali sampai saat ini terus mempertahankan Budaya dalam lingkup gereja.
Penelitian ini menggunakan Metode atau pendekatan kualitatif.
Dalam pendekatan ini, penulis membuat sebuah gambaran yang kompleks,
laporan terperinci dari responden, dan juga melakukan studi pada situasi yang
terjadi dengan pertimbangan bahwa data yang di peroleh dari penelitian ini adalah
data deskriptif kualitatif. Kesimpulan yang didapat yaitu Jemaat tidak dapat
melepaskan diri dari lingkungan dimana dia tinggal yaitu suatu masyarakat yang
berbudaya. Bangunan gereja yang dibangun dengan menerapkan nilai dasar
keseimbangan yang dituangkan oleh umat Hindu dalam konsep Tri Hita Karana
ini diterapkan pada bangunan GKPB Efrata Buduk. Dalam resistensi atau
ketahanan yang ditunjukan oleh jemaat Efrata Buduk melalui bangunan gereja ini,
jemaat ingin mengekspresikan ketaatan, kepercayaan dan cinta kepada Tuhan
melalui budaya yang dimilikinya. Sehingga budaya yang ada juga terus
dilestarikan dan dikembangkan sehingga tidak punah.
Kata Kunci: Bangunan GKPB, Arsitektur, Budaya Bali, Resistensi
1
BAB I
Pendahuluan
1.5 Latar belakang
Pulau Bali sudah dikenal oleh Bangsa-bangsa Eropa sejak zaman penjajahan
Portugis, Spanyol, Inggris dan Belanda. Sejak kedatangannya di Pelabuhan
Banten tahun 1856, pemerintah Belanda berupaya menguasai dan menjajah
seluruh wilayah kepulauan Indonesia termasuk Pulau Bali. Bali disamping
memiliki tanah yang subur juga dikenal sebagai daerah tujuan wisata karena
memiliki obyek-obyek wisata dengan panorama alam yang sangat indah disertai
dengan adanya keragaman seni budaya dan adat-istiadat yang bernafaskan filosofi
Hindu serta penduduk yang ramah-tamah. Keragaman pentas seni budaya dan adat
istiadat secara tidak langsung terjadi di berbagai tempat pada hari hari tertentu
yang berlangsung secara unik, mistis, dinamis dan artistik, serta didukung oleh
panorama alam yang indah sangat memikat hati parawisatawan.
Bali yang juga tersohor dengan sebutan pulau Dewata dikenal sebagai salah
satu pulau di Indonesia yang menyimpan banyak potensi kehidupan yang unik dan
memposona. Penduduknya ramah, panorama keindahan alamnya sangat indah,
adat sitiadat dan seni budayanya sangat unik dan beragam. Potensi kehidupan
masyarakat Bali ini sangat menarik karena dapat menguntungkan pemerintah
Kolonial Hindia Belanda. Nyoman Wijaya menjelaskan bahwa Untuk dapat
menguasai Bali, pemerintah Hindia Belanda menerapkan berbagai strategi baik
secara halus dengan cara menghasut dan memecah belah kerajaan- kerajaan yang
ada di Pulau Bali ataupun secara kasar dengan melakukan agresi/ penyerangan
langsung terhadap suatu kerajaan. Perjuangan Pemerintah Hindia Belanda
berlangsung bertahun-tahun dan pada akhirnya Pulau Bali baru mampu
sepenuhnya ditaklukan oleh Pemerintah Kolonial Belanda tahun 1908.1
I Ketut Suyaga Ayub menerangkan pada tahun 1597, pulau Bali disamping
ditempati oleh orang asli Bali juga telah dihuni oleh suku-suku lain seperti, orang
Jawa, orang Tionghoa, orang Eropa dan orang Asia. Pada tahun 1920 jumlah
1 Nyoman Wijaya,Serat salib dalam lintas Bali, (Denpasar: Yasasan Samaritan. 2003), 29-32
2
penduduk 947.233 jiwa dan pada tahun 1930 meningkat menjadi 1.101.393 jiwa.2
Selanjutnya Nyoman Wijaya, menyebutkan penduduk pendatang tidak hanya
sekedar berkunjung ke Bali tetapi tinggal menetap dan memberi pengaruh
terhadap kehidupan masyarakat Bali. Masyarakat Bali sebagai penganut
Hinduisme juga secara inkulturisasi terjadi saling mempengaruhi, misalnya Hari
Raya Imlek mendapat sebutan sebagai Galungan Cina dan penguburan orang
Tionghoa diiringi dengan musik angklung, serta hari raya Idul Fitri disebut
dengan istilah Galungan Islam.3
Secara Politis kekuasaan pemerintahan para raja-raja di Pulau Bali terbagi
menjadi delapan kerajaan yaitu: Kerajaan Jembrana, Kerajaan Gianyar, Kerajaan
Bangli, Kerajaan Klungkung, Kerajaan Karangasem, Kerajaan Buleleng, Kerajaan
Badung, dan Kerajaan Tabanan. Masing-masing kerajaan dalam menjalankan
pemerintahan dibagi menjadi beberapa Kecamatan yang dipimpin oleh seorang
Punggawa (Camat). Setiap kecamatan dibagi menjadi beberapa desa dan tiap desa
terbagi menjadi beberapa banjar. Disamping itu wilayah pengairan di Bali diatur
oleh organisasi pengairan yang disebut Subak. Kehidupan sosial kemasyarakatan
yang diikat oleh suasana kekerabatan yang kuat, unik dan cendrung statis
sehingga menjadi cukup resisten atau tahan terhadap berbagai pengaruh
masyarakat pendatang baik dalam bidang seni-budaya maupun agama.
Salah satu konsep yang menjadi kekebalan masyarakat Bali terhadap
pengaruh para pendatang dalam berbagai aspek kehidupan sosial kemasyarakatan
menurut I Ketut Suyaga Ayub yaitu konsep Tri Hita Karana, yang menjadi filsafat
Hindu Bali terus menerus dipelihara dan dikembangkan dalam setiap elemen
kehidupan sosial kemasyarakatan sehari-hari. Konsep Tri Hita karana ini
menekankan adanya keharmonisan, baik secara vertikal dengan Ida Sang hyang
Widhi Wasa, maupun secara horisontal dalam hubungannya antara lingkungan
dengan sesama manusia. Manifestasi dari Tri Hita Karana ini maka didirikannya
Pura Desa, Pura Puseh, dan Pura Agung, sebagai tempat pemujaan Ida Sang
2I Ketut Suyaga Ayub,Sejarah Gereja Bali dalam Tahap Permulaan(Malang: Departemen
Literatur YPPII. 1999). 6. 3Nyoman Wijaya. Serat salib..., 59-60.
3
Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagai Trimurti ( Brahma, Wisnu , dan
Siwa ), disamping itu didirikan Sanggah dan Pemrajan baik di tiap Banjar maupun
keluarga sebagai tempat pemujaan dan menghaturkan sesajen. 4
Demikian halnya dengan Hindu Bali yang melakukan berbagai macam
strategi dan cara untuk mempertahankan budaya keBaliannya dan
mempertahankan keharmonisan di daerahnya, orang Kristen Bali juga ikut
mengambil bagian di dalamnya. Orang kristen bali adalah sebutan bagi orang Bali
yang beralih menganut agama kristen pada tahun 1931. Orang kristen Bali di
himpun dan disatukan dalam wadah bergereja yang di sebut dengan GKPB
(Gereja Kristen Protestan di Bali). GKPB pada umumnya mengunakan ornamen
Bali. Hal ini dilihat dari bentuk bangunan GKPB yang menggunakan corak-corak
Bali di setiap gereja. Bentuk bangunan tersebut merupakan bentuk resistensi
terhadap pengaruh dari luar atau untuk pemeliharaan dan pelestariaan budaya
Bali.
Resistensi memiliki banyak makna dalam setiap ilmu pengetahuan dan
memiliki arti yang berbeda ketika maknanya diartikan dalam ilmu pengetahuan
yang berbeda. Dalam hal ini, resistensi yang digunakan yaitu resistensi perubahan.
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, resistensi memiliki arti ketahanan.
Resistensi perubahan pada umumnya akan terjadi ketika ada sesuatu yang
mengancam „nilai‟ seseorang atau individu. Ancaman tersebut bisa saja riel atau
sebenarnya hanya suatu persepsi saja, dengan kata lain ancaman ini bisa saja
muncul dari pemahaman yang memang benar atas perubahan yang terjadi atau
sebaliknya karena ketidak pahaman atas perubahan yang terjadi5. Sebagai orang
Bali yang mencintai budayanya, orang Kristen Bali juga tidak ingin budayanya
tenggelam begitu saja, sehingga orang Kristen Bali mengekspresikan perasaannya
terhadap budaya melalui bangunan Gereja.
Seperti yang kita ketahui Gereja-gereja di Indonesia pada umumnya
memang merupakan hasil bentukan para misionaris Barat, sehingga tidak heran
4I Ketut Suyaga Ayub,Sejarah Gereja Bali..., 8.
5Ame Brachholt “Pengertian Menurut Parah Ahli” Di akses 5 September 2017
http://www.pengertianmenurutparaahli.net/sitemap.xml
4
sebagian besar bangunan-bangunan gereja yang terdapat di Indonesia memiliki
bentuk arsitektur gereja barat. Namun berbeda dari gereja-gereja yang terdapat
disetiap Provinsi di Indonesia, Bali memiliki keunikan tersendiri karna bentuk
arsitektur bangunan gereja di Bali terkusus Gereja Kristen Protestan di Bali
(GKPB) memakai bentuk budaya Bali. Hal ini merupakan salah satu ekspetasi
dari masyarakat kristren Bali terhadap bentuk cinta budayanya serta ungkapan
seninya.Pengaruh lingkungan atau tradisi setempat sangat berperan dalam
perwujudan ungkapan seninya tersebut, sedangkan inti dari simbol-simbol atau
elemen-elemen estetis yang dipakai mengacu pada ajaran Kristiani yang berakar
dari kebudayaan Barat.
Dari 8 kabupaten di Bali GKPB jemaat Efrata Buduk merupakan salah satu
GKPB yang menggunakan bentuk ornament Bali dalam bangunan gedung gereja,
dari luar gereja sampai dalam gereja semuanya memakai ornament Bali serta ukir-
ukiran Bali yang turut memeriahkan hiasan dalam gedung gereja.
Dari latar belakang ini hal yang ingin diteliti dan diketahui lebih dalam oleh
penulis yaitu latar Belakang orang Kristen Bali terkusus di GKPB jemaat Efrata
Buduk mempertahankkan arsitektur Bali ke dalam Bangunan Gereja, serta
mengkaji lebih dalam adanya resistensi yang terjadi tersebut.
1.6 Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang telah diajukan, maka penelitian yang akan
dilakukan bertujuan untuk mengungkap latar belakang orang Kristen yang ada di
Bali terkusus dijemaat GKPB Efrata buduk membangun bangunan Gereja dengan
gaya arsitektur Bali serta motif utama orang Kristen Bali tetap mempertahankkan
arsitektur Bali ke dalam Bangunan Gereja.
5
1.7 Manfaat Penelitian
a. Manfaat bagi GKPB
Manfaat bagi gereja yaitu jemaat-jemat baru dan para pendatang yang
berjemaat di GKPB dapat mengetahui tentang bangunan gereja Bali serta
mengetahu adakah resistensi Ajeg Bali dalam Gereja Bali.
b. Manfaat bagi Universitas
Manfaat bagi universitas yaitu universitas dapat mengetahui budaya Bali
dengan kekhasan tempat ibadah yang memakai bentuk bangunan sebagai ajeg Bali
serta mengetahui lebih dalam proses sinode GKPB melestarikan Budaya yang ada.
c. Manfaat bagi Penulis
Penulis dapat mengetahui seberapa besar dampak budaya yang melekat
dalam diri umat Kristen di Bali dan resistensi seperti yang terjadi di dalam sinode
GKPB.
1.8 Metode Penelitian
Metode yang digunakan oleh penulis adalah metode atau pendekatan
kualitatif. Pendekatan kualitatif merupakan sebuah proses penelitian dan
pemahaman yang mendasari metodologi untuk menyelidiki fenomena yang
terjadi. Dalam pendekatan ini, penulis membuat sebuah gambaran yang kompleks,
laporan terinci dari responden, dan juga melakukan studi pada situasi yang terjadi
dengan pertimbangan bahwa data yang di peroleh dari penelitian ini adalah data
deskriptif kualitatif yang berupa kata-kata dan kalimat untuk menghasilkan
penelitian, lalu menganalisis dari data-data yang didapatkan.6Alasan penulis
menggunakan metode ini karena ingin mengetahui secara langsung situasi atau
fenomena yang terjadi dan dengan mudah melihat ekspresi dari narasumber.
Cara pengambilan data yang digunakan adalah pertama-tama wawancara
terhadap beberapa jemaat, Pendeta GKPB Efrata Buduk serta warga sekitar dan
untuk memastikan hal yang terjadi maka langkah kedua dengan cara observasi dan
melihat sendiri keadaan yang terjadi. Lokasi tempat saya melakukan penelitian
yakni GKPB Efrata Buduk, (Jl. Veteran no 15, BR Umategal, Ds. Buduk,Kec.
6Faisal Sanapiah, Format-format penelitian sosial: dasar-dasar dan aplikasi(Jakarta:
Rajawali Pers, 1989).Diakses tanggal 11 Juni 2017.
6
Mengwi – Badung, Bali), karena gereja tersebut merupakan salah satu gereja dari
sekian banyaknya gereja di Bali yang yang memiliki bangunan Gereja
berarsitektur Budaya Bali.Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah
wawasan para pembaca dan juga orang-orang yang ingin mengenal lebih dalam
Budaya Bali dalam Gereja Kristen Protestan di Bali (GKPB).
7
BAB II
KAJIAN TEORI
C. Bangunan Bali dan Arsitektur Gereja Bali
3. Bangunan Bali
Bangunan dapat diartikan sebagai wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi
yang menyatu dengan tempat kedudukannya, sebagian atau seluruhnya berada di
atas dan atau di dalam tanah dan atau air, yang berfungsi sebagai tempat manusia
melakukan kegiatannya, baik untuk hunian atau tempat tinggal, kegiatan
keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan sosial, budaya, maupun kegiatan khusus.7
Pada buku tanah dan bangunan yang ditulis oleh Ida Pandita Mpu Jawa
Wijayananda, menjelaskan bahwa kehidupan manusia memerlukan sarana-sarana
untuk menunjang kehidupannya, seperti keberadaan sebuah rumah sebagai tempat
tinggal,tempat untuk berteduh, tempat untuk mensosialisasikan hidup dan
kehidupannya. Didalam memilih suatu pekarangan manusia dituntut untuk teliti
karena keberadaan tanah yang akan dipakai untuk tempat tinggal, sangat
berpengaruh terhadap kehiduan sehari-hari penguhinya serta letak bangunannya
harus sesuai dengan fungsinya karena berpengaruh terhadap penghuninya.
Bagi umat Hindu khususnya di Bali pemilihan tanah atau pekarangan
sangatlah penting, karena diyakini oleh umat dan sesuai dengan sastra-sastra
Hindu setiap tempat atau tanah sesuai dengan letak dan bentuknya memiliki sifat-
sifat tertentu, yang mana diyakini sangat berpengaruh terhadap penghuninya.
Keberadaan budaya bangunan yang di warisi dalam tradisi umat Hindu yang
populer dan berkembang pesat di Pulau Bali ini, tidak dapat dipisahkan dengan
arsitek besar Kebo Iwa (pada masa Bali Aga) dan Mpu Kuturan sebagai
pendamping anak Wungsu yang memerintah Bali pada abad ke-11, yang banyak
mewarisi teori-teori arsitektur, adat dan agama.8
7 Sugeng P. Budio et.al., Analis Kapasitas Dan Keandalan Bangunan(Malang: Universitas
Brawijaya,2015) 14. 8 Pandita Mpu Jaya Wijayananda Ida, Tanah dan Bangunan (Surabaya: Paramita, 2004), 1.
8
Nilai dasar keseimbangan yang dituangkan oleh umat Hindu dalam konsep
Tri Hita Karana masing-masing disediakan ruangan. Tempt suci (ibadah
keagamaan), tempat aktivitas kehisupan dan tempat pelayanan umum. Tata nilai
ruangan didasarkan pada Tri Angga, kepala, badan dan kaki dan juga disebut Tri
Mandala, Uttama Mandala sebgai tempat beraktivitas pawongannya dalam
kehidupannya, Nistha mandhala sebagai tempat peternakan atau perkebunan
(Bhuta hita).9 Setiap bangunan yang didirikan/ dibangun oleh umat Hndu, selalu
disertai dengan upacara, memakuh, urip-urip dan mlaspa yang bertujuan agar
bangunan yang dimiliki/ ditempatkannya, dapat memberikan vibrasi kesejukan
dan kedamaian bagi penghuninya.
Bangunan suci Hindu umumnya menyerupai replika sebuah gunung, karena
menurut filsafat Hindu, gunung melambangkan alam semesta dengan ketiga
bagiannya.Selain itu, gunung merupakan kediaman para Dewa, seperti misalnya
gunung Kailasha yang dipercaya sebagai kediaman Dewa Siwa. Selain
menyerupai gunung, terdapat bangunan suci Hindu yang memiliki atap
bertumpuk-tumpuk, dan di Indonesia dikenal dengan istilah Meru. Meru
merupakan lambang dari lapisan alam, mulai dari alam terendah sampai alam
tertinggi. Pura merupakan tempat ibadah dalam agama Hindu, di setiap pura dibali
memiliki makna, serta sejarah yang melatarbelakangi, yang di wariskan oleh
leluhur, untuk masyarakat Hindu kususnya di Bali. Pura Besakih merupakan Pura
terbesar di Bali, dengan sejarah pendirian dan filosofis yang mendasari kehidupan
masyarakat Hindu di Bali hingga saat ini.
4. Arsitektur Bali
Arsitektur Bali diwujudkan pada bangunan tempat ibadah (pura), tempat
musyawarah (Bale Banjar), dan tempat tinggal yang masing-masing dilengakapi
tempat penyimpanan. Baik Pura, Bale Banjar, maupun tempat tinggal membentuk
masa bangunandidalam suatu pekarangan berdasarkan falsafah dan konsep tata-
ruang mengikuti pedoman dari rontal-rontal para undagi. Komposisi, proporsi,
kesatuan, harmoni, kenyamanan serta keindahan sebagai.
9Idem,6-7.
9
Tipe bangunan terbagi menurut jumlah tiang, mulai dari tiang empat, tiang
enam, tiang delapan, tiang Sembilan dan tiang dua belas.Penyelarasan bertingkat
(kepala-badan-kaki) diterapkan sampai kedeatail terkecil dari suatau bangunan.
Secara struktural atap adalah kepala, tiang dan dinding sebagai badan, lantai batur
sebagai kaki bangunan. Keseluruhan struktural bangunan membentuk kesatuan
kontruksi yang setabil, estetis, fungsional dan tahan gempa. Hubungan elemen-
elemen kontruksi hanya memakai pasak, baji dan tali sehingga mudah untuk
dibongkar-pasang.
Arsitektur rumah Bali merupakan penerapan dari filosofi yang ada pada
masyarakat Bali itu sendiri. Ada tiga aspek yang harus di terapkan di dalamnya,
aspek pawongan (penghuni rumah), pelemahan (lokasi/lingkungan) dan yang
terahir parahyangan. Kedinamisan dalam hidup akan tercapai apabila terwujudnya
hubungan yang harmonis antara ke 3 aspek tadi. Untuk itu pembangunan sebuah
rumah Bali harus meliputi aspek-aspek tersebut atau yang biasa disebut Tri Hita
Karana.
5. Arsitektur Gereja
Gereja yang adalah sebuah gedung yang di maknai oleh umat Kristen
sebagai rumah Allah memeliki makna dan pandangan yang berbeda-bedah bagi
setiap orang. Banyak yang menilai kualitas fisik dari bangunan gereja
mempengaruhi persepsi pengguna bangunan gereja. Persepsi dapat dimunculkan
dengan penciptaan elemen-elemen yang dapat menimbulkan suasana tertentu,
dapat berupa bunyi-bunyian, pencahayaan ataupun penempatan simbol lain yang
spesifik. Arsitektur gereja merupakan sebuah seni pertukangan yang menampilkan
gaya tertentu dari suatu bangunan gedung gereja, dimana pertimbangan mulai
ditinjau dari tujuan dibangunnya gedung tersebut, yaitu untuk ibadah.10
Ada
beberapa bentuk arsitektur gereja yaitu Romanesque, Gotik, Basilika, dan
Katedral. Keempat bentuk gereja ini memiliki ciri-ciri bentuk yang berbedah-
bedah. Berkembangnya arsitektur gereja pada zaman modern dilihat dari
kegunaan, kesederhanaan, keluwesan, kedekatan dan keindahan.Aspek teologis
10
TimPenyunting, “Buku Ensiklopedia Dunia”, dalam Arsitektur Gereja, diakses 25 oktober 2017.
10
yang mulai diperhitungkan dikonsep secara kreatif sehingga konsep teologis
filosofis dikembangkan secara baru juga, hal ini dilihat darimunculnya
keterbukaan gereja terhadap dunia luar dan persoalan sosial.11
D. Simbol
3. Pengertian simbol
Simbol tidak akan terlepas dari ingatan manusia, secara tidak langsung
manusia pasti mengetahui apa yang di sebut simbol, terkadang simbol diartikan
sebagai suatu lambang yang digunakan sebagai penyampai pesan atau keyakinan
yang telah dianut dan memiliki makna tertentu, Arti simbol juga sering terbatas
pada tanda konvensionalnya, yakni sesuatu yang dibangun oleh masyarakat atau
individu dengan arti tertentu yang kurang lebih setandar yang disepakati atau
dipakai anggota masyarakat tersebut. Teori tentang simbol berasal dari Yunani
yang dimulai dengan kata symboion dari syimballo (memberi kesan). Simbol atau
lambang sebagai sarana atau mediasi untuk membuat dan menyampaikan suatu
pesan, menyusun sistem epistimologi dan keyakinan yang dianut.12
Simbol memberi orientasi yang jelas kepada manusia untuk mereka
memahami lingkungan tempat mereka berada. Maka dengan itu penjelajahan
persepsi dan simbolisasi, kewujudan manusia mulai diketengahkan menjadi
sebagian dari pemaknaan arsitektur. Oleh karena itu, manusia memerlukan simbol
untuk memahami karya seni dan kewujudan mereka di dalam lingkungan, sejajar
dengan aktifitas yang hendak dilakukan. Perilaku manusia di dalam sesebuah
bangunan mencerminkan fungsi dan simbol arsitektur tersendiri setiap
bangunan.13
Sebuah tanda bersifat sangat penting secara fundamental karena ia
mengabaikan hal-hal kecil, dan memiliki arti yang membuat komunikasi tetap
terlaksana. Sebuah tanda yang memiliki arti yang sudah dikenal masyarakat secara
luas dan telah menjadi tanda dalam sebuah tradisi yang seolah sudah menjadi
11
Zahnd. Markus, Pendekatan dalam Seni Arsitektur (Yogyakarta: Kanisius, 2009), 5. 12
Sujono Soekamto, Sosioligi Suatu Pengantar (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), 187 13
Aristotulus E. Tungka,Jelajah Simbol Arsitektur Gereja Menuju Keberlanjutan di Manado, Sulawesi Utara (Manado: Universitas Sam Ratulangi, 2015), 2.
11
simbol khusus. Dengan kata lain simbol tersebut memberikan sinyal untuk
“berkomunikasi” dengan individu yang berada di sekelilingnya. Sebagai
tanggapan dari individu tersebut maka muncul suatu karakter aktif berupa
mengamati dan menafsirkan makna yang terkandung di dalam simbol tersebut.14
4. Simbol Menurut Parah Ahli
Simbol menurut Durkheim
Belajar dari Durkheim yang bermula dari penelitiannya tentang system
religious dalam hal ini totemisme, membicarakan juga tentang symbol yang
menjelaskan bahwa tidak satupun orang yang berhasil mengungkapkan apa
sebenarnya makna totenisme. Toteisme yang dimaksud disini adalah istilah
menunjuk pada suatu kepercayaan atau agama yang hidup pada sebuah komunitas
atau organisasi yang mempercayai adanya daya atau sifat ilahi yang dikandung
sebuah benda atau makhluk hidup selain manusia.
Menurut Durkheim, terdahulu hanya dapat menggambarkan masyarakat
tribal terbagi dalam beberapa klan, di mana setiap klan memiliki binatang dan
tumbuhan serta benda lain sebagai totem masing-masing. Setiap totem, entah
berupa kijang, kangguru ataupun pohon, dianggap sakral oleh suku yang
memilikinya. Durkheim mengatakan bahwa mereka belum berhasil mengetahui
hal yang lebih penting lagi, yakni kenapa totem-totem itu dapat menggambarkan
konsep yang sacral dan yang profan dalam masyarakat. Durkheim mengamati
bahwa dalam masyarakat primitive, setiap binatang yang bukan totem boleh
diburu dan dimakan.
Sebaliknya, binatang yang dijadikan sebagai totem adalah binatang sacral
bagi seluruh anggota klan dan tentu saja terlarang bagi seluruh anggota klan untuk
membunuh dan memakannya, kecuali untuk dijadikan sebagai korban atau
sebagai sesajian dalam upacara-upacara keagamaan. Durkheim berhasil
menemukan lambang atau symbol-simbol binatang totem tersebut yang
diketahuinya sangat berarti bagi klan yang memujanya, karena binatang tersebut
bukan hanya dianggap sebagai bagian dari yang sacral saja tetapi juga merupakan
14
Laksmi G. Siregar,Makna arsitektur: Suatu Refleksi Filosofis (Makasar: UI Press, 2016), 49.
12
perwujudan dan contoh yang sempurna dari yang sacral. Sikap tersebut dapat
dilihat ketika klan tersebut mengadakan upacara-upacara keagamaan yang selalu
menggunakan symbol-simbol dari totem mereka, terbuat dari ukiran kayu atau
batu dan diletakkan di tengah-tengah mereka dalam upacara tersebut. Bagi klan,
totem tersebut adalah hal yang paling sacral dan dapat mengkomunikasikan
kesakralannya itu kepada makhluk yang ada di sekelilingnya.
Durkheim menyimpulkan kepercayaan terhadap totemisme adalah hal yang
paling penting dalam masyarakat yang sangat sederhana ini, karena seluruh aspek
kehidupan mereka yang lain pun sangat dipengaruhi totem-totem ini.
Symbol menurut Clifford geerz
Menurut Geerz simbol bisa berarti banyak hal.Bisa berarti representasi dari
asosiasi antar dua hal terkait, bisa juga berarti sesuatu yang mengekspresikan hal-
hal yang tidak dapat dijelaskan lewat verbal atau dijelaskan secara langsung.
Geertz melihat simbol sebagai dasar yang digunakan dalam apa yang disebut
konsepsi. Konsepsi itu yang menjadi arti dari simbol.Konsepsi itu merupakan ide,
sikap, penilaian, formulasi dan abstraksi dari pikiran dan pengalaman dituangkan
dalam representasi konkrit tentang simbol.
Pola budaya sistem-sistem simbol memiliki sifat yaitu bahwa ia merupakan
sumber informasi yang eksternal. Ia berada di luar organisme dan dapat
memberikan konsepsi yang bisa didefinisikan secara internal. Manusia
membutuhkan konsepsi-konsepsi yang masuk internal ini melalui simbol
eksternal.Terkadang bentuk pola budaya dianggap sebagai sebuah model.Model
sendiri memiliki dua arti yaitu dari dan untuk.Dalam arti dari, berarti
memanipulasi struktur simbol sesuai dengan konsepsi internal mengenai
simbol.Misalnya pengembangan ide mengenai ideologi politik tertentu
dimanifestasikan dalam bentuk bendera.Sementara dalam arti untuk, konsepsi
internal dimanipulasi dalam hubungannya dengan simbol.Misalnya bentuk
bendera yang terletak di seragam prajurit membangun konsepsi kita bahwa
ideologi politik tertentu berkuasa atas militer.
13
Simbol-simbol agama mampu mengekspresikan iklim dunia dan
membentuknya.Simbol-simbol itu membentuknya dengan menginternalisasi
disposisi-disposisi kepada penyembah yang memberikan karakter terhadap
aktivitas-aktivitasnya dan kualitas dari pengalamannya.Disposisi ini sendiri
sebenarnya merupakan pola dari aktivitas atau kejadian, bukan hanya sekedar satu
kejadian atau aktivitas tertentu.Disposisi-disposisi tersebut terbagi menjadi dua,
yaitu perasaan dan motivasi.Motivasi merupakan kecenderungan dimana terdapat
kemampuan untuk melakukan tindakan tertentu atau berperasaan (feeling)
tertentu. Orang muslim termotivasi untuk tidak memakan daging babi, sementara
orang Hindu termotivasi untuk tidak memakan daging sapi. Perasaan akan
dirasakan oleh penyembah saat misalnya, ketika orang Hindu memakan daging
sapi, terdapat perasaan muak dan perasan tidak menyenangkan. Atau misalnya
ketika umat kristiani pergi ke Bethlehem dan umat Islam pergi ke Mekkah akan
timbul perasaan tenteram. Perasaan ini dapat kemudian berganti-ganti menjadi
perasaan lainnya.Motivasi memiliki arah, sementara perasaan tidak.Motivasi
bertahan sementara perasaan berlangsung begitu saja.Motivasi bermakna karena
memberikan tujuan, sementara perasaan bermakna karena kondisi yang
menyebabkannya terjadi.
Dalam teorinya juga Clifford Geerz menekankan konsepsi mengenai tatanan
eksistensi yang diformulasikan tersebut diberikan oleh sistem simbol agama.
Kekacauan akan terjadi apabila manusia tidak mampu memformulasikan konsepsi
mengenai struktur atau tatanan eksistensi itu. Sehingga, simbol-simbol selalu
memberikan orientasi atau petunjuk bagi manusia atas segala fenomena yang
terjadi pada diri mereka maupun pada alam.
Figur otoritas yang dipercaya dalam agama mampu membuat manusia patuh
karena mereka mengatribusikan konsepsi-konsepsi yang tertuang dalam simbol itu
dengan fakta-fakta yang meyakinkan. Disini, agama berbeda dengan sistem-
sistem simbolis lain. Agama meyakinkan bahwa terdapat sesuatu yang benar-
benar nyata dimana hal itu dianggap lebih penting dari apapun.Melalui ritual
keagamaan yang didalamnya selalu terdapat etos dan pandangan dunia, Geertz
menjelaskan dinamika yang terjadi dalam motivasi dan perasaan
14
manusia.Iamengambil contoh mengenai kisah Rangda dan Barong di Bali. Ritual
yang begitu melibatkan banyak orang dan melibatkan perasaan yang
mendalam.Hal ini menunjukkan bahwa perasaan yang dihasilkan atas fakta-fakta
yang ditampilkan dalam ritual itu begitu diyakini oleh masyarakat Bali.Mereka
termotivasi untuk terus melakukan ritual tersebut sehingga kecenderungan tradisi
(etos) disini terihat jelas, sementara pandangan dunia terlihat dari representasi dari
figure-figur dalam ritual itu.
15
BAB III
HASIL PENELITIAN
A. Sejarah Singkat Kristen Protestan Masuk di Bali
Pada tahun 1630, seorang pendeta yang bernama Justus Heurnius
mengungjungi Bali Bersama-sama VOC (Vorenigde Oost Indische Compagnie)
dalam upaya perdagangan. Pendeta Justus tertarik akan Bali sebagai tempat
penginjilan. Setelah ia kembali ke Belanda, ia memohon kepada pemerintah untuk
mengutus pekabar injil ke Bali, namun pemerintah tidak banyak menaruh
perhatian.15
Tahun 1863 UZV (Utrechtsche Zendingvererniging), memilih Bali sebagai
daerah pekerjaannya. Pengurus UZV tertarik kepada Pulau Bali karena penduduk
dianggap masih kafir atau bukan Islam, sehingga diutuslah Van der Jagt, yang
datang ke Bali pada Tahun 1864. Van der Jagt membawa tugas pokok yang harus
dilaksanakan, yaitu mempelajari bahasa daerah Bali dan menemukan titik-titik
kontak yang dibutuhkan dalam hati mereka bagi berita Injil. Semua itu sebagai
persiapan kedatangan pendeta-pendeta Zending ke Bali.16
Setelah Van der Jagt mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk
tugas-tugas pelayanan, maka datanglah Van Eck kemudian menyususl de Vroom
untuk bersama-sama dalam tugas tersebut. Mereka bekerja dengan giat dengan
harapan pekerjaan yang mereka lakukan akan memperoleh hasil yang Baik.
Namun semuanya tidak sesuai harapan dan tujuan mereka tidak segera menjadi
kenyataan. Akhirnya Van der Jagt dan Van Eck kembali ke Belanda, sehingga
yang masi bertahan hanya De Vroom sendiri. Ia melanjutkan tugas-tugas dengan
semangat, meskih pada akhirnya pada tahun 1868 ia harus menyingkir ke jawa
karena adanya situasi yang tidak memungkin di Bali yang pada saat itu ada
pemberontakan. Pemberontakan tersebut tidak berlangsung lama, pada awal tahun
15
Muller Kruger, Sejarah Gereja di Indonesia (Jakarta: BPK Gunung Mulia,1986), 124 16
Dr. Abineno, Sejarah Apostolat di Indonesia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1979). 111
16
1869 De vroom dan Van Eck sudah kembali ke Bali untuk melanjutkan tugas-
tugas mereka.17
Mereka memulai dengan memberikan pendidikan kepada anak-anak Bali
sebagai awal pembibitan hidup kekristenan yang lebih tinggi dengan membuka
sekolah dengan jumlah murid 40 orang pada akhir tahun 1869. Selain pendekatan
melalui sekolah, mereka membuat pertemun-pertemuan pada hari minggu pagi di
rumah-rumah pendeta zending. Pertemuan itu bukan lah ibadah tetapi hanya
berupa percakapan tentang masalah agama. Mereka lebih suka menerima pendeta
zending datang kerumah mereka, terutama jika pendeta zending datang dengan
obat untuk mengobati orang sakit. Melalui kesempatan itu para pendeta zending
berkesmpatan menyampaikan firman Tuhan kepada orang-orang Bali yang
ditemui. Akhirnya ada beberapa orang yang menyatakan mengikut kristen, yaitu
suami-istri Ida Putu Sideman, dan ketut Srubong dan menyusul Gusti Wayan
Karangasem, sedangkan yang lain mengundurkan diri. Pada hari raya Paskah
1873 Gusti Wayan Karangasem dibaptis sebagai orang Kristen Bali yang
pertama.18
Babtisan pertama yang dilakukan oleh De Vroom dan Van Eck ini tidak
mendatangkan kegembiraan melainkan menimbulkan kekacauan besar dan
kemudian menjadi hambatan besar bagi pekerjaan misi. Kekacawan yang tejadi
mengakibatkan terbunuhnya De vroom pada malam hari tanggal 8 Juni 1881.19
Akibatnya Bali dinyatakan sebagai daerah tertutup bagi misi sejak tahun 1881
sampai 1931, terutama di bawah pemerintahan Hindia Belanda, dengan alasan
tertip hukum.
Bali tidak selamanya tinggal tertutup bagi penginjil karena selanjutnya pada
tahun 1929 seorang yang bernama Salam Watias dari jawa timur yang berprofesi
sebagai penjual buku-buku rohani agen BFBS (British and Foreign Bible Society).
Buku-bukunya banyak terjual karena orang Bali suka membaca pelajaran-
pelajaran agama. Salam Watias dengan rajin melakukan pendekatan dengan
17
Abineno, Sejarah Apostolat di Indonesia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1979)112. 18
Idem.,113. 19
Idem.,115.
17
orang-orang Bali dengan sistem persaudaraan sehingga banyk orang Bali yang
meminta untuk memberikan pengajaran agam kristen, namun watias menyadari
bahwa sebagai penjual buku dia tidak mampu melakukannya sehingga ia meminta
GKJW (Gereja Kristen Jawi Wetan) yang melalukan tugas tersebut. Namun tugas
tersebut tidak segerah ditanggani karena Bali masi merupakan daerah tertutup
bagi penginjilan.
Pada tahun 1929, seorang penginjil CAMA (The Christian and Misionary
Alliance) dari tiongkok yang bernama Tsang Kam Fuk (Tsang To Hang)
mendapat izin pemerintah untuk memberitakan injil di kalangan orang-orang
Tionghoa di Bali.20
Pengabaran Injil yang dilakukan bukan saja di dengar oleh
orang-orang Tionghoa tetapi kebanyakan diantara mereka orang-orang Bali.
Tsang di anggap sebagai pengganti seorang guru dari jawa yang mengajar ilmu
kebatinan karena ia datang setelah guru tersebut keluar dari Bali karena di usir
oleh pemerintah. Oleh karena orang-orang Bali mengira ia pengganti guru itu,
Tsang di minta untuk mengunjungi kampung-kampung orang Bali. Pada akhirnya
tanggal 11 november 1931, 12 orang Bali di babtis oleh Dr. Robert Alexander
Jaffray yang mendapat tugas melakukan Baptisan Kudus yang terdiri dari 1 (satu)
orang wanita dan 11 (sebelas) orang laki-laki, pada sebuah sungai kecil yang
dikenal dengan nama Tukad Yeh Poh, di Untal-Untal, Desa Dalung. Baptisan
tanggal 11 Nopember 1931 terhadap 12 orang Bali ini dipakai sebagai tanggal
kelahiran Gereja Kristen Proteatan Bali (GKPB) Jadi setiap tanggal 11 Nopember
warga GKPB memperingati hari Ulang Tahun berdirinya Gereja Kristen Protestan
Bali. Pada tahun 1932 terulang kembali pembabtisan, sehingga pada tahun
tersebut sudah ada 100 orang kristen Bali.
20
Th Van den End, Ragi Cerita 2, Jilid 3 (Jakarta:BPK Gunung Mulia, 2001), 264.
18
B. GKPB Jemaat Efrata Buduk
Gereja GKPB jemaat Efrata Buduk adalah salah satu gereja yang ada di
Pulau Bali, yang merupakan bagian dari Sinode (GKPB). GKPB Efrata terletak di
kabupaten Badung Selatan di desa Buduk. Tanggal 6 juni 1931 ditetapkan sebagai
tanggal berdirinya Jemaat Efrata Buduk. Nama Efrata sendiri diambil dari suatu
nama tempat di Galelia Israel dimana para gembala menerima berita sorgawi dari
para malekat tentang adanya kelahiran ”Juruselamat Dunia” Tuhan Yesus Kristus.
Terkait dengan menentukan Hari Ulang Tahun Gereja Efrata Buduk, menurut
Bapak Made Paul Sujana menjelaskan bahwa berdasarkan analisis terhadap
pelaksanaan Ibadah atau kebaktian atau pembinaan iman menjelang dilakukan
baptisan di Tukad Yeh Poh, yang diselenggarakan secara bergilir setiap hari dari
satu rumah ke rumah yang lain, maka dapat dikemukakan bahwa Ibadah Pertama
terjadi pada hari Minggu tanggal 6 Juni 1931 di rumah I Ketut Legi, dalam ibadah
ini disamping dihadiri oleh 12 orang yang akan menerima baptisan juga dihadiri
oleh sanak saudara yang lainnya.
Hasil analisis Bapak Made Paul Sujana ini kemudian dipresentasikan dalam
suatu rapat Jemaat tentang pelaporan program kerja jemaat tahun 1978 dan
penyusunan program kerja jemaat tahun 1979, yang salah satunya program
kerjanya melaksanakan perayaan Hari Ulang Tahun Jemaat Efrata Buduk. Pada
saat itu bapak Made Paul Sujana mempresentasikan hasil analisisnya sebagaimana
dengan yang telah dikemukakan di atas, yang selanjutnya rapat jemaat saat itu
19
secara mufakat menetapkan tanggal 6 Juni dijadikan sebagai Hari Ulang Tahun
Jemaat Efrata Buduk.21
C. Perkembangan Jemaat dan Tempat Ibadah Mula-Mula
Perkembangan jemaat Efrata Buduk ditengah tekanan baik secara politis
maupun secara sosial kemasyarakatan dapat dikatagorikan berjalan dengan sangat
pesat seiring dengan perkembangan jemaat-jemaat serumpun lainnya yang masuk
dalam satu wilayah yaitu wilayah badung selatan ini tidak dapat dilepaskan dari
kesungguhan dan kuatnya solidaritas, integritas dan persekutuan diantara sesama
umat kristen. Kuatnya persekutuan yang terbangun dan terpelihara diantara
sesama Umat Kristen sebagaimana dengan yang dikemukakan oleh Bapak Made
Paul Sujana dapat dilihat dari kegiatan-kegiatan ibadah yang mereka lakukan
setiap hari, dari satu rumah yang satu kerumah yang lainnya. Persekutuan ibadah
yang berlangsung setiap hari itu tidak saja dilaksanakan di Buduk, tetapi juga
dijemat-jemat serumpun.22
Jumlah jemaat terus bertambah dari 7 kepala keluarga sampai 12 kepala
keluarga, dimana mereka yang percaya juga mengajak anak dan istri. Peningkatan
pertambahan orang bali-Kristen tidak begitu cepat terjadi karena banyak hambatan
dan tekanan dari lingkungan sekitar. Dalam perkembangan jemaat yang terjadi,
rumah ibadah yang di pakai tidak mencukupi. Sehingga pada tahun 1934-1938
ibadah dilaksanakan di rumah Made Rugrug yang dianggap mencukupi. Tahun
1939 akibat kembali bertambahnya jemaat dan tempat dirumah Made Rugrug juga
sudah tidak mencukupi maka ibadah berpindah kerumah Bapak Made Sunata
yang lebih luas dari sebelumnya. Selanjutnya pada tahun 1948-1960 ibadah mulai
dilaksanakan di Gereja yang mulai dibangun dan sedikit demi sedikit direhab
beberapa kali sampai diperluas karena jemaat terus bertambah, disamping itu luas
tanahnya cukup memadai yaitu sekitar 4 are.23
Pada tanggal 25 Desember tahun 1996, gedung gereja yang terus ditata,
dipelihara atau diperbaikan dari tahun-ketahun sudah terbangun mengah dengan
21
Hasil wawancara 22
Hasil Wawancara 23
Hasil Wawancara
20
bangunan biasa yang sesuai dengan kebutuhan kehidupan berjemaat tiba-tiba
terbakar. Setelah diselidiki kebakaran Gereja Efrata tersebut ternyata penyebabnya
adalah kelalaian terhadap adanya lilin yang masih menyala namun tidak
dipadamkan ketika acara natalan sekolah minggu selesai.24
Pada saat perayaan
natal anak-anak sekolah minggu, diadakan beberapa jenis lomba ringan dan
pembagian hadiah natal kepada anak-anak sekolah minggu. Rupanya setelah
selesai perayaan masih ada lilin yang masih menyala. Kebakaran gereja yang
terjadi tiba-tiba sekitar jam 15.00 sangat mengagetkan semua warga jemaat dan
masyarakat sekitarnya. Upaya pemadamanpun dilakukan beramai-ramai secara
bergotong royong, sambil menunggu bantuan mobil pemadam kebakaran. Mobil
Pemadam Kebakaranpun tiba terlambat sementara gedung gereja sudah hampir
habis terbakar. Pada saat itu yang dapat diselamatkan adalah seperangkat alat
musik gereja.
Hari berikutnya pada tanggal 26 Desember 1996 perayaan Natal
dilaksanakan di Balai Banjar Umacandi yang kemudian dirangkai dengan acara
baptisan terhadap anak-anak warga jemaat yang baru lahir oleh Pendeta I Nyoman
Sukaya, STh. Sekalipun pelaksanaan perayaan natal dan baptisan dilangsungkan
di Balai Banjar, namun ibadah tetap berjalan dengan lancar, hikmat, aman dan
nyaman.
Majelis Jemaat Efrata Buduk dalam suatu rapat internal mendiskusikan
tempat ibadah sementara, sebelum dilakukan perbaiakan yang bersifat sementara
terhadap Gedung Gereja yang terbakar. Atas usul dan sekaligus penawaran
seorang warga jemaat, yaitu I Gst Ngurah Winarta maka ibadah sementara tiap
hari Minggu dan ibadah hari-hari lain dilaksanakan dirumahnya yang berlangsung
sekitar tiga bulan. Sementara itu pada gedung gereja yang terbakar dibuat tempat
ibadah sementara dengan bahan tulang rangka atap dari pipa besi, dan atap terpal
warna coklat.
Pada hari minggu-minggu berikutnya selama lebih dari dua tahun sembari
menunggu gedung gereja yang baru berdiri kokoh, jemaat Efrata Buduk
melaksanakan ibadah dibawah tenda terpal dengan kerangka pipa besi. Namun
24
Hasil wawancara
21
karena tenda tersebut terbuat dari plastik sudah pasti tidak dapat bertahan lama.
Dari kejadian tersebut banyak mujizat yang jemaat terima yang membuat mereka
semakin kuat di dalam iman mereka.
D. Terbentuknya Bangunan Gereja dengan Arsitektur Bali
Bersamaan dengan pergumulan tentang perbaikan gereja yang telah
terbakar, pendeta, majelis dan jemaat mulai memikirkan untuk membangun
gedung gereja baru berlantai dua pada lahan tanah GKPB dengan gaya arsitektur
bangunan Bali. Bapak Nyoman Mawa menjelaskan bangunan GKPB efrata Buduk
di bangun dengan gaya arsitektur Bali untuk mengkontekstualisasikan dengan
Budaya Bali. Lanjut salah satu kutipan wawancara dari bapak Nyoman Mawa
menjelakan bahwa, GKPB jemaat Efrata sadar bahwa pengalaman masa lalu
secara historis, gereja kurang berinteraksi dengan kehidupan luar disekitarnya.25
Jemaat tidak dapat menyangkal bahwa gereja mempunyai hakekat untuk menjadi
terang dunia (Markus 5:14) atau garam dunia (Matius 5:13). Tetapi oleh gereja,
hakekat itu seringkali disalah pahami sebagai salah satu yang mengharuskan
gereja dan umat kristen untuk memisahkan diri dan lain dari dunia. Gereja sebagai
terang hadir di tengah-tengah dunia dan terbuka untuk dunia. Kontekstualisasi
yang di usahakan oleh Gereja Kristen Protestan di Bali (GKPB) jemaat efrata
Buduk, bermula dari suatu keputusan melalui sidang sinode GKPB pada tanggal
21-24 Maret 1972 yang beberapa isinya berkata:
1. Berusaha memberitakan serta menghayati Injil Yesus Kristus melalui
pendekatan-pendekatan yang dipahami oleh orang Bali.
2. Membantu orang-orang kristen Bali menghargai warisan kebudayaan
mereka dalam konteks Iman percaya mereka serta mencari bentuk-bentuk
ekspresi Iman yang baru dalam kebudayaan mereka.
3. Mendorong ke arah pengunaan seni Bali serta lambang-lambang
kebudayaan dalam mengepresikan Iman kepercayaan kristen melalui
kebudayaan Bali.
25
Hasil Wawancara
22
Keputusan sidang sinode GKPB ini adalah usaha yang dilakukan oleh
GKPB dalam rangka menghargai berbagai hal yang terdapat dalam diri serta
terbuka belajar dari berbagai pihak, agar apa yang gereja warisi dari Barat jangan
sampai menguasai atau mendominir serta menentukan penghayatan iman sehingga
kekayaan budaya tersumbangkan dalam pemghayatan iman. Hampir seluruh
gedung-gedung gereja di GKPB mengambil motif dan gaya Bali. Salah satu
contoh yaitu GKPB Efrata buduk, GKPB Efrata secara keseluruhan bangunan
gereja nya mendominasi budaya Bali. Mulai dari pintu masuk luar sampai ke
dalam bangunan gereja mengunaka candi bentar, candi gelung dan sampai
bangunan dalamnya dihiasi dengan ukir-ukiran Bali dipadukan dengan simbol-
simbol kekristenan.
E. Bangunan GKPB Efrata Buduk
Candi Bentar (Zona Madya) Candi Bentar dalam konsep Bali merupakan
simbol mulut yang terbuka.26
Simbol mulut yang terbuka ini menjadikan Candi
Bentar sebagai pintu masuk pada komplek GKPB Efrata Buduk. Candi Bentar
pada Gereja ini memiliki ornament salib sebagai simbol Agama Kristen.
26
Stephanie Arvina Yusuf,Wujud Akulturasi Arsitektur Pada Aspek Fungsi, Bentuk dan makna Bangunan Gereja Kristen Pniel Blimbingsari di Bali (Bandung: Universitas Katolik Parahyangan, 2016). 27.
23
Bangunan bale kul kul yang berada di sisi kiri yang berbentuk menara pada
bangunan gereja, sebagai ekspresi bentuk arsitektur tradisional Bali, yang
berfungsi sebagai simbol menara lonceng / kentongan menurut tradisi Hindu Bali.
Bangunan ini merepresentasikan fungsi menara lonceng pada gereja ini, sehingga
dapat mewakili sebagai simbol bangunan gereja yang berpadu dengan konsep
arsitektur Bali. Lonceng/kul-kul dipakai sebagai alat untuk mengisyaratkan jemaat
untuk mulai ibadah atau pertemuan, namun dalam gereja ini, bale kul-kul hanya
sebagai simbol atau pajangan karena sudah tidak dipergunakan lagi.
Ukiran atau ragam hias Patre Punggel terdiri atas: Bagian Pokok merupakan
perpaduan bentuk cekung dan cembung serta campuran daun ukuran besar atau
tanggung, sehingga dari bentuk daun dapat diketahui jika daun ini adalah motif
ukiran Bali. Pokok Daun, merupakan sehelai daun yang tumbuh di tengah daun
lainnya dan tertutup oleh angkup. Batas dan garis pokok berhimpitan dengan ulir
muka dan masuk pada angkupnya. Angkup merupakan sehelai daun yang menutup
daun pokok dari pangkal hingga ujung, dan pada ujung daunnya berulir.
24
Sunggarsehelai daun yang tumbuh membalik di muka berbentuk krawingan yang
pokoknya tumbuh dari ulir bagian benang. Endong sehelai daun yang selalu
tumbuh di belakang daun pokok yang berbentuk cempalukan berulir atau daun
punggel. Trubusan; sehelai daun tambahan yang tumbuh di bagian ujung atas
daun pokok sehingga menambah keindahan dari daun tersebut. Simbar,sehelai
daun tambahan yang tumbuh pada daun besar atau daun pokok di bagian bawah
berdampingan dengan tangkai angkup. Pecahan suatu cawenan yang memisahkan
daun pokok, terletak di tengah-tengah daun dan menambah baiknya dari suatu
motif Bali. Ragam hias yang diimplementasi oleh efrata buduk ini
menggambarkan buah-buah roh.27
27
Grace Hartanti dan Amarena Nediari,Pendokumentasian Aplikasi Ragam Hias Budaya Bali, Sebagai Upaya Konservasi Budaya Bangsa Khususnya Pada Perancang Interior (Jakarta Barat: BINus University, 2014), 524, diakses tanggal 6 November 2017.
25
BAB IV
ANALISA HASIL PENELITIAN
Data dari hasil penelitian dalam penelitian ini didapatkan melalui
wawancara mendalam yang dilakukan oleh Peneliti pada bulan September 2017.
Berdasarkan hasil wawancara dengan narasumber atau informan, maka peneliti
dapat menganalisis tentang latar belakang masyarakat Kristen bali
mempertahankan budaya melalui bangunan gereja.
Kebubudayaan Bali Mula memang merupakan kebudayaan yang masih
sederhana dari benda-benda alam disekitarnya. Bali aga yang merupakan
penduduk asli Bali mengembangkan kebudayan dengan membentuk benda-benda
alam dalam satu susunan yang harmonis dalam fungsinya menjaga keseimbangan
manusia dengan alam dan lingkungannya. Kebudayaan Bali mula tidak banyak
meninggalkan peninggalan budaya mengingat kayu-kayu dan bebatuan yang
dipakai sebagai bahan perwujudan Arsitekturnya kurang tahan terhadapa iklim
tropis pada kurun waktu yang lama.
Gereja Bali adalah jemaat-jemaat yang tersebar di desa-desa di Bali. Jemaat
tindak dapat melepaskan diri dari lingkungan dimana dia tinggal yaitu suatu
masyarakat yang berbudaya. Kebudayaan dan keagamaan Hindu di Bali saling
berhubungan, artinya masyarakat di Bali hampir seluruhnya di pengaruhi oleh
keagamaan. Hal tersebut didasarkan atas dasar Tri Hita Kirana yang sudah saya
paparkan pada Bab 1, yang intinya yaitu mengenai hubungan manusia dengan
Tuhan, hubungan manusia dengan alam sekitarnya dan hubungan manusia dengan
sesamanya.
Hal tersebut diwujudkan oleh agama Hindu dalam bentuk pura-pura yang
dibangun sebagai tanda hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia
dengan alam yaitu dikaitkan dengan wilaya desanya serta hubungan manusia
dengan sesamanya dibangun sebuah balai desa dimana warga desa dapat bertemu
untuk memikirkan bersama yang akan dilakukan. Segala aktivitas keagamaan
selalu dihubungkan dengan ketiga hal tersebut, dan jika terjadi pelanggaran maka
bagi yang melanggar akan dikenakan hukuman bahkan sampai bisa dikeluarkan
dari desanya.
26
Seperti kepercayan yang dianut oleh agama suku di Australia menurut
Durkheim Toteisme yang yang menunjuk pada suatu kepercayaan atau agama
yang hidup pada sebuah komunitas atau organisasi yang mempercayai adanya
daya atau sifat ilahi yang dikandung sebuah benda atau makhluk hidup selain
manusia ini, memiliki pemahaman yang hampir sama dengan umat Hindu.
Kepercayaan ini memang bertolak belakang dengan kepercayaan umat Kristen,
seperti yang diketahui bahwa umat Hindu memaknai simbol dan bangunan-
bangunan sebagai pemujaan, namun dalam penerapan umat kristen dalam
mengambil simbol-simbol sebagai ciri khas Bali ini di buat dalam bentuk
pemahaman kristen dalam cerita-cerita Alkitab.
Bangunan gereja yang dibangun dengan menerapkan nilai dasar
keseimbangan yang dituangkan oleh umat Hindu dalam konsep Tri Hita Karana
ini diterapkan pada bangunan gereja GKPB Efrata Buduk. Gereja Efrata yang
merupakan salah satu gedung gereja yang menggunakan motif Bali yang berdiri
megah di banjar Umacandi yang terdapat di tengah-tengah pemungkiman warga
yang tidak hanya beragama Kristen. Gedung gereja yang berbentuk Gunung yang
dipahami oleh orang Bali sebagai simbol dari kehadiran Tuhan atau tempat bagi
Tuhan tersebut memberi nuansa kesejukan serta kedamaian sehingga umat dapat
bersekutu dengan Tuhan.
Di dalam Perjanjian Lama peristiwah keluaran dari mesir, di gunung Sinai
Allah menyatakan diri dan di sembah oleh bangsa Israel. Ketika mereka tiba di
Kanaan, karena gunung Sinai itu tidak dapat dipindahkan ke kanaan, sehingga di
tempat yang baru mereka menggunakan gunung sebagai tempat menyembah Allah
yaitu gunung Sion. Jadi jika ditelaah lebih dalam pemahaman orang Bali dan
pengekspresian orang Kristen Bali melalui tempat ibadah yang dibangun melalui
latar belakang budayanya sendiri ini serta didasari dengan menghayati lebih dalam
kehidupan bersama Tuhan, memperoleh titik temu bahwa bentuk gedung gereja
yang menjulang tinggi seperti gunung tersebut sebagai penghayatan orang Kristen
Bali dalam kehidupan bersama Tuhan. Dengan memasukkan unsur-unsur kristiani
di dalam bangunan gereja tersebut dapat memiliki arti sebagai sarana untuk
membuat dan menyampaikan suatu pesan.
27
Jemaat GKPB Erata buduk melalui bangunan gereja dengan arsitektur
budaya bali ini melihat bahwa gereja tidak hanya sebagai rumah ibadah atau
rumah Allah yang memiliki makna tempat peribadatan saja, melainkan gereja juga
harus memiliki dampak bagi daerah tempat lahir dan tinggalnya tersebut. Gereja
yang berdiri megah dengan motif serta simbol yang memiliki arti di dalamnya ini
mau mengekspresikan cinta kasinya terhadap budaya yang dimiliki. Seperti yang
sudah saya kemukakan pada Bab 3 yaitu Arsitektur gereja yang memiliki makna
menampilkan gaya tertentu dari suatu bangunan gedung gereja, dimana
pertimbangan mulai ditinjau dari tujuan dibangunnya gedung tersebut, dapat lihat
telah di realisasikan oleh GKPB Efrata buduk. Melalui bangunan gereja dengan
gaya arsitektur Bali memiliki tujuan untuk mempertahankan budaya ini berjalan
seirama dengan tugas dan tanggung jawab sebagai umat Tuhan.
Kesenian dengan pengekspresian budaya Bali dalam lingkungan gereja tidak
saja memperoleh jalan yang mulus. Dalam perjalanannya menuju pelestarian
tersebut ada kendalah yang terjadi, yaitu penolakan penggunaan simbol-simbol
Bali dalam lingkup Gereja Kristen Protestan di Bali (GKPB). Penolakan ini
dilakukan oleh warga sekitar dan beberapa warga jemaat yang tidak setuju dengan
penggunaan simbol-simbol Bali serta akibat pemahaman yang dangkal terhadap
larangan yang ada pada kitab suci dalam ajaran yang di anutnya. Dalam penolakan
yang terjadi, mereka menyingkirkan keberadaan patung-patung, ukiran, lukisan,
musik (gamelan Bali), nyanyian (mekekawin), dan tari Bali. Penolakan tersebut
berlangsung dari tahun 1931 sampai adanya sidang sinode tanggal 21-24 Maret
tahun 1972.
Banyaknya masalah yang terjadi didalam gereja ketika GKPB berusaha
memasukan unsur-unsur kebudayaan tidak selamanya akan terus berlanjut. Semua
berjalan dalam proses perjalanan waktu yang sangat panjang. Sikap yang telah
diambil oleh GKPB tentang unsur-unsur kebudayaan yang banyak menghadapi
tantangan dari dalam gereja terkusus dari kelompok babtisan pertama pada
akhirnya dapat terselesaikan dengan baik. Tanggapan yang mucul dari para
penolak tersebut bersumber dari ketakutan mereka bahwa kristen akan kembali
kepada Hinduisme. Hal tersebut dapat dipahami karena mereka adalah para jemaat
pada pembaptisan pertama yang lahir dari kekristenan yang ditanamkan oleh
28
misionaris yang menolak semua unsur-unsur kebudayaan Bali. Tetapi melalui
proses yang panjang melalui pendekatan-pendekatan kontruktif mereka dapat
memahami usaha-usaha GKPB tersebut.
Kita tidak dapat menyangkal bahwa gereja mempunyai hakekat untuk
menjadi terang dunia (Markus 5:14) atau garam dunia (Matius 5:13). Namun oleh
gereja, hakekat itu sering kali disalah pahami sebagai salah satu yang
mengharuskan gereja dan umat Kristen untuk memisahkan diri dan lain dari
dunia. Kini kita harus sadar bahwa untuk menjadi “terang dunia”, gereja sebagai
terang hadir ditengah-tengah dunia dan terbuka untuk dunia. Melalui kesadaran
inilah kontekstualisasi yang diusahakan oleh GKPB hadir dan tercipta melalui
siding sinode GKPB tanggal 21-24 Maret 1972 tersebut. Apa yang telah
diputuskan oleh sinode GKPB tersebut, mencerminkan suatu pemikiran yang
sangat berharga dalam rangka pengakaran dan penemuan harga diri sebagai ciptan
Tuhan. Bukan berarti gereja merasa takut mendapat pengaruh-pengaruh dari luar
atau pengaruh barat dan penolakan masa lalu. Pengalaman masa lalu membuat
GKPB tidak harus lari dari kenyataan, tetapi sebaliknya ia harus berkembang
untuk menjalankan misinya di pulau Bali dengan latar belakang kebudayaan yang
ikut mewarnai pelayanannya. Konteks kebudayaan tersebut tidak harus dilihat
sebagai musuh lagi dalam pelayanan gereja.
Berbicara mengenai kontekstualisasi maka harus diketahuhi bahwa
kontekstualisasi, pada mulanya muncul sekitar tahun 1972 di dalam kalangan
Theologia Education Fund (TEF).28
Kontekstualisasi adalah usaha menemukan
harga diri sendiri sebagai orang Kristen didalam konteks di mana kita berada.
Dalam hal ini konteks kita adalah kebudayaan setempat. Kebudayaan setempat ini
terdiri dari unsur-unsur tradisional dan unsur-unsur yang diambil dari luar
termasuk unsur-unsur modern seperti teknologi dan sekularisasi. Menghayati
iman didalam konteks kita sendiri dalam hal ini kebudayaan Bali adalah suatu
usaha yang sah, yang memang seharusnya dilakukan sebagai tanda kedewasaan
gereja setempat.29
Usaha yang dibuat dan dilakukan oleh GKPB tersebut
sebenarnya untuk menghargai apa-apa yang ada pada diri sendiri dan juga terbuka
28
E.G. Singgih, Dari Israel ke Asia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1982), 13. 29
E.G. Singgih., “Kontekstualisasi Usaha Menghayati Kebenaran Injil”, dalam Gema, No. 23, 1983, 2.
29
untuk belajar dari berbagai pihak, agar apa yang gereja warisi dari barat jangan
sampai menguasai atau mendominisir kekayaan yang ada dalam kebudayaan kita.
Melihat dari sejarah jemaat gereja efrata, bahwa leluhur warga jemaat GKPB
Efrata lahir dari agama hindu yang mengaku percaya, sehingga dapat dimengerti
bahwa budaya dalam diri jemaat Efrata sangat kental dalam mempertahankan
budayanya.
Orang-orang Yahudi pengikut kristus mula-mula, menjawab penyataan
Allah didalam Yesus Kristus menurut pola dan tata cara kebudayaan mereka yaitu
kebudayan Yahudi, maka tidak ada salahnya, kalau orang-orang Bali menyambut
penyataan Allah didalam Yesus Kristus menggunakan pola dan tata cara
kebudayaan mereka sendiri. Hal ini yang disadari oleh GKPB sehingga dalam
perkembangannya gereja mengusaha kontekstualisasi yang tujuannya yaitu
bagaimana Injil Kristus semakin dapat dihayati melalui kebudayaan yang dimiliki
sekaligus juga diekspresikan melalui hasil kebudayaan tersebut.
Dengan banyaknya tantangan dari luar dan dalam gereja dapat dilihat
bahwa, jemaat GKPB pada umunya serta jemaat GKPB Efrata khususnya tetap
teguh dengan pendiriannya dalam mengkontekstalisakan keagmaan dan
budayanya. Mengambil pemahaman dari Clifford geerz, yang sudah dijelaskan
pada Bab 2. Geertz melihat simbol sebagai dasar yang digunakan dalam apa yang
disebut konsepsi. Konsepsi itu yang menjadi arti dari simbol. Konsepsi itu
merupakan ide, sikap, penilaian, formulasi dan abstraksi dari pikiran dan
pengalaman dituangkan dalam representasi konkrit tentang simbol. Hal ini yang
telah dituangkan oleh jemaat Efrata dalam pembuatan bangunan Bali. Melalui
konseps dengan ide-ide cemerlang, bangunan gereja dibangun berdasarkan konsep
Hindu melalui filosofi, tata tanah, tata ruang, bangunan dan ukiran Bali, namun di
kaitkan makna teologisnya dengan pemahaman kristen melalui cerita-cerita
Alkitab yang diyakininya.
Ketika melihat dari pengalaman masa lalu saat bagaimana orang-orang
kristen Bali terkusus jemaat Efrata dikucilkan didesa mereka karena menjadi
Kristen. Dengan tidak dapat diterimanya mereka ditengah-tengah desa, mereka
mulai tidak diberikan air untuk perairan di sawah-sawah orang kristen dan juga
30
tidak diizinkan berbicara dengan orang orang sekitar karena dianggap merusak
keseimbangan dengan apa yang harus dipercayainya. Kini ketika permasalah telah
terselesaikan orang kristen sudah bebas melakukan aktifitas dan tidak harus keluar
dari desanya. karena sudah dijelaskan bahwa dalam huhungannya dengan Tuhan
orang kristen juga memiliki tempat ibadahnya sendiri yaitu gereja, dan orang Bali
Hindu berbakti di pura-pura.
Dalam resistensi atau ketahanan yang ditunjukan oleh jemaat Efrata buduk
melalui bangunan gereja ini, jemaat mau mengespresikan ketaatan,
kepercayaannya dan cintanya kepada Tuhan melalui budaya yang
dimilikinya.Sehingga budaya yang ada juga terus dilestarikan dan dikembangkan
sehingga tidak punah. Meskipun banyak goncangan dan halangan yang diterima
oleh masyarakat kristen tetapi dengan keguguhannya dalam mempioristaskan
keimanannya serta diselaraskan dengan budaya sehingga penggabungan budaya
dan keimannya berjalan lancar dan menciptakan bangunan gereja yang berdiri
mengah sebagai bukti resistensi masyarakat kristen Bali
31
BAB V
PENUTUP
Kesimpulan dan Saran
Setelah mengadakan penelitian di GKPB Jemaat Efrata Buduk, dan
menganalisa data maka penulis dapat mengetahui alasan yang melatarbelakangi
Jemaat Efrata Buduk mempertahankan bentuk banguan gereja dengan gaya
arsitektur Bali. Berdasarkan hasil penelitian yang peneliti lakukan maka
kesimpulannya yaitu:
1. Gereja yang adalah sebuah gedung yang di maknai oleh umat Kristen
sebagai rumah Allah memeliki makna dan pandangan tersendiri. Selain
tempat untuk beribadah, Banguan gereja juga dimaknai sebagai wadah
mempertahankan budaya bagi jemaat Efata Buduk. Kontekstualisasi yang
dilakukan oleh jemaat dalam pembangunan gedung gereja ini mulanya
memperole masalah dari berbagai pihak, namun karena keteguhan yang
dilakukan dalam memperikan pemahaman yang baik mengenai konsep
kontekstualisasi yang dibuat tersebut akhirnya dapat diterima dengan baik
oleh pihak-pihak yang menolak.
2. Gereja yang dibangun dengan gaya arsitektur Bali dengan simbol-simbol
di dalamnya tersebut merupakan bentuk resistensi yang dilakukan warga
jemaat Efrata Buduk dalam mempertahankan budayanya. Hal ini
merupakan penghayatan dan ekspresi iman dari jemaat serta bentuk cinta
kasihnya terhadap budaya dari leluhurnya tersebut.
Yang perlu diingat disini, usaha kontekstualisasi bukanlah suatu yang
sudah selesai tetapi suatu yang berada dalam proses yang memakan waktu yang
panjang. Penghayatan iman bukan suatu yang sudah selesai begitu saja tetapi
penghayatan yang terus-menerus selama gereja ada di dunia ini. Untuk itu ada
beberapa hal yang saya lihat perlu dalam menghadapi problemetika yang akan
muncul dalam kontekstualisasi.
32
1. Membeberi pemahaman yang terus menerus kepada warga jemaat
mengapa unsur-unsur kebudayaan tersebut dapat dipakai dalam kehidupan
bergereja. Kebudayaan yang ada pada kita adalah sesuatu yang dianugrahi
Tuhan kepada kita sehingga wajar jika dipakai sebagai wahana pelayanan.
Penghayatan dan pengespresian iman tidak hanya melalui bangunan
gereja, tetapi melalui tari-tarian, gamelan, dan pelatihan seni budaya bali
yang lainnya. Namun dalam penelitian ini saya melihat jemaat Efrata juga
sudah mengkontekstualisasikannya.
2. Dengan pendekatan secara Teologis kritis dan kreatif terhadap unsur-unsur
kebudayaan dalam arti untuk tujuan yang baik. Memakai unsue-unsur
kebudayaan untuk pelayananan kepada Kristus dalam arti bukan sekedar
memakai begitu saja, tetapi memakai dengan pemahaman dan penghayatan
serta dapat dipertanggung jawabkan.
3. Keterbukaan terhadap dunia luar serta mau belajar dan memperkaya diri
dan manamba wawasan yang lebih luas.
4. Dan yang terpenting yang harus disadari oleh gereja bahwa sejahu apapun ia
dapat mengusahakan kontekstualisasi, apabila semua tidak didasarkan oleh
keprihatinan di dalam kasih yang sungguh-sungguh maka kesemuanya itu
tidak aka nada artinya. Seperti yang dikatakan oleh paulus: “sekalipun aku
dapat berkata-kata dengan semua bahasa manusia dan bahasa malaikat,
tetapijika aku tidak mempunyai kasih, aku sama denga gong yang
berkumandang dan canang yang gemerincing; sekalipun aku mempunyai
karunia untuk bernubuat dan aku mengetahui segala rahasia dan memiliki
seluruh pengetahuan; dan sekalipun aku memiliki Iman yang sempurna
untuk memindahkan gunung, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, aku
sama sekali tidak berguna. Dan sekalipun aku membagi-bagikan segala
sesuatu yang ada padaku, bahkan menyerahkan tubuhku untuk dibakar,
tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, sedikitpun tidak ada faedahnya
bagiku” (1 Korintus 13: 1-3). Jadi kasih sangat penting dan tidak boleh
hilang dalam usaha kontekstualisasi dan pertahanan budaya yang dilakukan.
33
DAFTAR PUSTAKA
Abineno, J. L.Ch.Sejarah Apostolat di Indonesia. Jakarta: BPK Gunung Mulia,
1979.
Ayub, I Ketut Suyaga.Sejarah Gereja Bali dalam Tahap Permulaan. Malang:
Departemen Literatur YPPII,1999.
Budio, Sugeng P.et.al. Analis Kapasitas Dan Keandalan Bangunan. Malang:
Universitas Brawijaya, 2015.
End, Th. Van den.Ragi Cerita 2 Jilid 3. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001.
Markus, Zahnd. Pendekatan dalam Seni Arsitektur. Yogyakarta: Kanisius, 2009.
Kruger, Muller. Sejarah Gereja di Indonesia. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1986.
Singgih, E.G. Dari Israel ke Asia. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1982.
Siregar Laksmi G.Makna arsitektur: Suatu Refleksi Filosofis. Makasar: UIP Press,
2016.
Soekamto, Sujono.Sosioligi Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2001.
Tungka, Aristotulus E.Jelajah Simbol Arsitektur Gereja Menuju Keberlanjutan di
Manado, Sulawesi Utara.Manado: Universitas Sam Ratulangi, 2015.
Wijayananda Ida. Pandita Mpu Jaya. Tanah dan Bangunan. Surabaya: Paramita,
2004.
Wijaya Nyoman.Serat salib dalam lintas Bali: menapak jejak pengalaman
keluarga GKPB (Gereja Kristen Protestan di Bali). 1931-2001. Denpasar:
Yasasan Samaritan. 2003.
Jurnal
Hartanti, Grace dan Amarena Nediari, Pendokumentasian Aplikasi Ragam Hias
Budaya Bali, Sebagai Upaya Konservasi Budaya Bangsa Khususnya Pada
Perancang Interior. Jakarta Barat: BINus University, 2014. Diakses tanggal
6 November 2017.
Sanapiah, Faisal. Format-format penelitian sosial: dasar-dasar dan aplikasi.
Jakarta: Rajawali Pers, 1989. Diakses tanggal 11 Juni 2017.
Singgih, E.G. “Kontekstualisasi Usaha Menghayati Kebenaran Injil”, dalam
Gema, No. 23, 1983, Hal. 2.
Yususf, Stephanie Arvina. Wujud Akulturasi Arsitektur Pada Aspek Fungsi,
Bentuk dan makna Bangunan Gereja Kristen Pniel Blimbingsari di Bali.
(Bandung: Universitas Katolik Parahyangan, 2016). Diakses tanggal 5
Oktober 2017
34
Internet
Buku Ensiklopedia Dunia, “Arsitektur Gereja”. Diakses 25 oktober 2017.
http://alumnus-alumni.indonesia-info.info/id3/dunia
Firdaus, Akhmad Andika “ Agama Sebagai Sistem Budaya “ Diakses 19 Oktober 2017
http://akhmadandikfirdaus.blogspot.co.id/2012/10/agama-sebagai-sistem-
budaya.html
Kayrizky “The Elementary Forms of Religious Life “. Diakses 14 oktober 2017
https://kayrizky.wordpress.com/2013/04/04/the-elementary-forms-of-
religious-life/
Ame Brachholt “Pengertian Menurut Parah Ahli” Di akses 5 September
2017 http://www.pengertianmenurutparaahli.net/sitemap.xml
Perasan “Pokok-Pokok Pemikiran Emile Durkheim” Diakses 14 oktober 2017
https://goendomp.wordpress.com/2010/09/28/pokok-pokok-pemikiran-emile-durkheim/