balai penelitian dan pengembangan teknologi … · 2020-02-10 · vol. viii/no. 2/2019 balai...

44
Vol. VIII/No. 2/2019 BALAI PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM PROFIL: DR. IR. AGUS JUSTIANTO, M.Sc. STRUKTUR DAN VEGETASI HUTAN ADAT TANA PERA MENCARI CHIROPTERA DI UJUNG TANA PERA KEKAYAAN HERPETOFAUNA DI TANA PERA LAHAM, DARI “A” SAMPAI “Z” TANA PERA: WUJUD KEPEDULIAN MASYARAKAT LAHAM UNTUK MELINDUNGI A CONCEPT OF DEVELOPING HUNTING PARK IN EAST KALIMANTAN HUTAN DISEKITARNYA

Upload: others

Post on 16-Feb-2020

9 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BALAI PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI … · 2020-02-10 · vol. viii/no. 2/2019 balai penelitian dan pengembangan teknologi konservasi sumber daya alam profil: dr. ir. agus

Vol. VIII/No. 2/2019

BALAI PENELITIANDAN PENGEMBANGAN

TEKNOLOGI KONSERVASISUMBER DAYA ALAM

PROFIL:DR. IR. AGUS JUSTIANTO, M.Sc.STRUKTUR

DAN VEGETASIHUTAN ADATTANA PERA

MENCARI CHIROPTERA DI UJUNG TANA PERA

KEKAYAAN HERPETOFAUNADI TANA PERA LAHAM,DARI “A” SAMPAI “Z”

TANA PERA:WUJUD KEPEDULIAN

MASYARAKAT LAHAMUNTUK MELINDUNGI A CONCEPT OF DEVELOPING

HUNTING PARK IN EASTKALIMANTAN

HUTAN DISEKITARNYA

Page 2: BALAI PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI … · 2020-02-10 · vol. viii/no. 2/2019 balai penelitian dan pengembangan teknologi konservasi sumber daya alam profil: dr. ir. agus

Klik

ProfilDr. Ir. Agus Justianto, M.Sc.

[ ]Bina Swasta Sitepu

20

Tajuk Utama

Artikel

Struktur dan VegetasiHutan Adat Tana Pera

Jenis Katakdan Kodokdi Hutan AdatTana Pera

Daftar Isi

14

[ ]Mukhlisi

Mencari Chiropteradi Ujung Tana Pera

[ ]Chandra Boer

A Concept of DevelopingHunting Park in East Kalimantan

31

37

[ ]Tri Sayektiningsih

Tana Pera:Wujud Kepedulian Masyarakat Lahamuntuk Melindungi HutanDisekitarnya

Balitek KSDA Ujicoba Alat Bioakustik

Peneliti Balitek KSDA dan MitraBelajar Teknik Survey Owa

Balitek KSDA Identifikasi Jenis TanamanKoleksi Kebun Raya Balikpapan

39

02

SalamRedaksi 01

08

19 [ ]Teguh Muslim

Kekayaan Herpetofaunadi Tana Pera Laham,dari “A” sampai “Z”

Page 3: BALAI PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI … · 2020-02-10 · vol. viii/no. 2/2019 balai penelitian dan pengembangan teknologi konservasi sumber daya alam profil: dr. ir. agus

Salam Konservasi,

Pengelolaan keanekaragaman hayati oleh masyarakat adat di Pulau Kalimantan dilakukan melalui penerapan hukum adat maupun norma sosial dan budayanya. Pengelolaan hutan adat Tana Pera merupakan salah satu upaya masyarakat untuk melindungi keanekaragaman hayati pada areal hutan di sekitar Kampung Laham, Kabupaten Mahakam Hulu, Provinsi Kalimantan Timur. Untuk mendukung pengelolaan hutan adat di Tana Pera, kajian potensi flora, fauna dan sosial dilakukan oleh masyarakat adat Laham bersama tim peneliti Balitek KSDA dan lembaga pendamping. Hasil kajian dituangkan pada Majalah Swara Samboja edisi khusus kali ini dengan tema “Menelisik Hutan Adat Tana Pera”.

Bina Swasta Sitepu akan mengawali dengan kajian potensi flora dan catatan baru 2 (dua) individu tumbuhan Hutan Adat Tana Pera yang belum pernah ditemukan di wilayah hulu sungai Mahakam, yaitu Etlingera pyramidosphaera dan Merrillia caloxylon dalam tulisan “Struktur dan Vegetasi Hutan Adat Tana Pera”.

Selanjutnya, Mukhlisi akan membagikan hasil survei jenis-jenis Kelelawar (Chiroptera) dan bagaimana peranannya bagi Hutan Adat Tana Pera dalam tulisan berjudul “Mencari Chiroptera di Ujung Tana Pera”.

Berdasarkan survei herpetofauna di sekitar kawasan Hutan Adat Tana Pera berhasil diidentifikasi 41 spesies herpetofauna yang

dari 2 (dua) kelas yaitu Amfibi dan Reptil. Jenis-jenis apa saja yang ditemukan? selengkapnya dapat disimak dalam tulisan berjudul “Kekayaan Herpetofauna di Tana Pera Laham, dari A sampai Z” yang ditulis oleh Teguh Muslim.

Tak hanya potensi di kawasan hutan, Tri Sayektinigsih juga membahas mengapa masyarakat kampung Laham membentuk Hutan Adat Tana Pera dalam tulisan “Tana Pera: Wujud Kepedulian Masyarakat Laham untuk Melindungi Hutan Di Sekitarnya”. Dalam artikel ini, Tri akan memaparkan kondisi sosial masyarakat, persepsi masyarakat Laham terhadap Tana Pera serta Hutan Sekitarnya, dan pelajaran apa yang dapat dipetik dari upaya masyarakat Laham dalam membangun Hutan Adat Tana Pera.

Dalam rubrik Artikel, Chandra Boer menyampaikan gagasannya tentang pembangunan Taman Buru (Hunting Park) di Kalimantan Timur dalam artikel berjudul “A concept of Developing Hunting Park in East Kalimantan”. Tidak hanya berkonsep pengelolaan SDA, khususnya satwa, namun juga peluang ekonomis bagi masyarakat sekitar.

Pada edisi ini, Swara Samboja mengetengahkan sosok inspiratif yaitu Dr. Ir. Agus Justianto, M.Sc yang sekarang menjabat sebagai Kepala Badan Penelitian, Pengembangan dan Inovasi (BLI) KLHK. Beliau akan berbagi pengalaman dalam upaya membawa BLI berkiprah di kancah internasional.

Pembaca kami yang budiman, akhir kata, selamat membaca dan salam hangat.

PENANGGUNG JAWAB :

DEWAN REDAKSI :

Dr. Ishak Yassir, S.Hut., M.Si.

Prof. Riset. Dr. Chandradewana Boer

Tri Atmoko, S.Hut, M.Si.

Dr. Hendra Gunawan

REDAKSI PELAKSANA :Taufiqurrohman, S.Hut., MPA.Hari Hadiwibowo, S.PSi., M.T.

DESAIN GRAFIS DAN LAYOUT :Agustina Dwi Setyowati, S.Sn.

redaksi

alamat redaksiBalai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Konservasi Sumber Daya AlamJl. Soekarno - Hatta Km. 38 PO BOX 578 Balikpapan 76112 Samboja - Kalimantan Timur Phone. (0542) 7217663, Fax. (0542) 7217665 E-mail : [email protected]

DIPA BPTKSDA 2019

Join usMajalah Swara SambojaGroup Majalah Swara Samboja

Majalah Swara Samboja merupakan majalah ilmiah populer mengenai konservasiyang diterbitkan oleh Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam setiap caturwulan (4 bulan) sekali.

Redaksi menerima artikel untuk Majalah Swara Samboja dengan ketentuan sebagai berikut :- Naskah diketik diatas kertas kuarto (A4) dengan huruf Times New Roman 12 point dengan 1,5 spasi dan maksimal 3000 karakter.- Naskah dilengkapi dengan gambar atau foto pendukung dengan resolusi >300 dpi lengkap dengan keterangannya.- Naskah yang masuk akan dikoreksi oleh dewan redaksi dan akan dikembalikan ke penulis sampai naskah dinyatakan siap terbit.

team

Salam Redaksi

Page 4: BALAI PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI … · 2020-02-10 · vol. viii/no. 2/2019 balai penelitian dan pengembangan teknologi konservasi sumber daya alam profil: dr. ir. agus

Profil

Dr. Ir. Agus Justianto, M.Sc

02

Raditya A

rief

Page 5: BALAI PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI … · 2020-02-10 · vol. viii/no. 2/2019 balai penelitian dan pengembangan teknologi konservasi sumber daya alam profil: dr. ir. agus

03

Tempat dan Tanggal LahirSurabaya, 7 Agustus 1963

JabatanKepala Badan Litbang dan Inovasi KLHK

Riwayat JabatanKepala Badan Penelitian, Pengembangan dan InovasiDirektur Jenderal Pengendalian Perubahan IklimStaf Ahli Bidang Ekonomi Sumber Daya AlamDirektur Pengolahan dan Pemasaran Hasil HutanKepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan KehutananDirektur Bina Rencana Pemanfaatan dan Usaha KawasanCo-Director of Forest Governance and Multistakeholder Foresty Programme

PNS Diperbantukan pada Multistakeholder Foresty ProgrammeKepala Bidang Penyusunan Rencana Umum KehutananKepala Bidang Inventarisasi HutanKepala Seksi Inventarisasi BiogeofisikKepala Sub Bagian Kerja Sama TeknikKepala Seksi Inventarisasi Terestris Wilayah IKepala Seksi Kerjasama Bilateral dan RegionalStaf pada Sub Bagian Kerjasama Teknik Luar Negeri

Nama LengkapDr. Ir. Agus Justianto, M.Sc

Motto“Do Your Best”Kerjakan dengan Cara Terbaik Hal Remeh Akan Menjadi Istimewa

Foto bersama dengan keluarga disela kesibukan rutinitas kantor

Dokumen P

ribadi

Nama IstriIr. Husnelly, M.Si

Nama Anak1. Aditya Faruq Nugroho2. Asri Kamilia

Penghargaan1. Satyalancana Karya Satya X 2. Satyalancana Karya Satya XX 3. Satyalancana Karya Satya XXX

Buku/Publikasi PentingBuku “Saatnya Berubah: Aksi Koreksi Siti NurbayaMengelola Lingkungan Hidup dan Kehutanan”

Buku “Trilogi Indonesia Menghadapi Perubahan Iklim”

Buku “Peta Jalan Tujuan PembangunanBerkelanjutan/SDG's“

Buku “Pojok Iklim: Praktik Cerdas Mengatasi Krisis Iklim”

1.

2.

3.

4.

Page 6: BALAI PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI … · 2020-02-10 · vol. viii/no. 2/2019 balai penelitian dan pengembangan teknologi konservasi sumber daya alam profil: dr. ir. agus

Dr Agus Justianto, Kepala Badan Litbang dan Inovasi (BLI) KLHK sejak November 2017 - sekarang adalah sosok yang cerdas, tegas, berani dan disiplin. Berkarier di kehutanan sejak 1986, beliau sering mengikuti pelatihan seminar, workshop, maupun persidangan di luar negeri sebagai anggota maupun ketua tim delegasi Indonesia. Banyaknya pengalaman dan jam terbang dalam even-even internasional membawanya dipercaya sebagai Asean Senior Officer on Environment (ASOEN) Chair, Asean Senior Officer on Forestry (ASOF) Leader, Board of Trustees The Center for International Forestry Research (BoT CIFOR), serta Inisiator International Tropical Peatlands Center (ITPC).

Motto beliau adalah Do Your Best, kerjakan dengan cara terbaik hal remeh akan menjadi istimewa mejadi pegangan dalam memimpin Badan Litbang dan Inovasi. Bagaimana kisah perjalanan hidup beliau selengkapnya? Mari kita simak wawancara Swara Samboja dengan Dr. Agus Justianto berikut ini.

Bisa diceritakan mengenai latar belakang kehidupan Bapak yang paling mengesankan di masa kecil sampai remaja?

Saya memperoleh kesempatan untuk menyelesaikan sekolah dasar hanya dalam waktu 5 tahun karena selalu berprestasi dalam setiap jenjang pendidikan di sekolah dasar dan terus berlanjut sampai lulus SMA di Surabaya. Selanjutnya, mendapatkan kesempatan untuk meneruskan pendidikan di IPB melalui jalur tanpa test (Proyek perintis II) karena prestasi selama di SMA. Hal ini menunjukkan bahwa kerja keras yang konsisten membawa prestasi yang membanggakan.

Jika ada, siapa sosok yang menjadi inspirasi ataupun motivasi bagi perjalanan karier maupun hidup Bapak? Bisa diceritakan secara singkat.

Ayah saya yang bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil di Kejaksaan menjadi inspirasi saya dalam perjalanan karir maupun hidup saya sebagai Pegawai Negeri Sipil. Prinsip beliau untuk selalu jujur, kerja keras dan selalu berprestasi menginspirasi saya

Foto bersama pada Bedah Buku Menangkal Kejahatan Lingkungan dan Kehutanan di Indonesia pada 23 Oktober 2017, di Jakarta

Foto bersama Kapuslitbang Hasil Hutan yang menerima penghargaan/award pada Malam Apresiasi Hari Kebangkitan Teknologi Nasional, di Bali Tahun 2019

Menjadi Ketua DELRI dan menyampaikan intervensi pada Sidang UN Forum on Forests (UNFF) ke-14 tahun 2019 di Markas PBB, New York

Foto bersama Mantan Wakil Presiden Amerika Serikat Mr. Al Gore yang menjadi Pembicara di Paviliun Indonesia pada COP-24 UNFCCC tahun 2018 di Katowice, Polandia

Dokumen P

ribadi

Page 7: BALAI PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI … · 2020-02-10 · vol. viii/no. 2/2019 balai penelitian dan pengembangan teknologi konservasi sumber daya alam profil: dr. ir. agus

05

untuk bisa mengikuti jejak langkah beliau hingga purna tugas. Alhamdulillah, saya tidak hanya mengikuti jejak beliau, tetapi juga melampaui beliau dalam karir dan pendidikan dan tentunya sangat membanggakan almarhum ayah.

Bagaimana kisah karier Bapak mulai dari awal meniti jenjang karier di kehutanan hingga mencapai posisi saat ini? Bisa diceritakan apa suka duka selama meniti karier?

Saya memulai karir di Badan Inventarisasi dan Tata Guna Hutan Departemen Kehutanan pada tahun 1986. Karir saya diawali sebagai staf di Sub Bagian Kerjasama Teknik Luar Negeri yang membuat saya mendapat kesempatan untuk mengikuti berbagai pelatihan, seminar, workshop, symposium maupun persidangan/negosiasi internasional. Oleh karena itu, perjalanan awal karir saya memberikan pondasi yang kokoh dalam karir saya selanjutnya termasuk menempuh pendidikan di luar negeri. Selanjutnya, saya juga menempati jabatan – jabatan teknis di lingkup Badan INTAG dan di berbagai unit Eselon I lainnya seperti di Ditjen Bina Usaha Kehutanan, Ditjen

Pengelolaan Hutan Produksi Lestari, Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM serta diperbantukan pada proyek kerjasama luar negeri sebagai secondee di Multistakeholder Foresty Programme I (MFP I) dan sebagai Director di Multistakeholder Foresty Programme (MFP II). Banyak pengalaman saya berkaitan dengan kerjasama luar negeri termasuk dalam negosiasi di persidangan tingkat ASEAN maupun di sidang PBB seperti UN Forum on Forests, UN Environment Assembly (UNEA), International Tropical Timber Organization (ITTO), CIFOR dan ICRAF. Pengalaman tersebut menyebabkan banyak sekali penugasan saya ke luar negeri baik sebagai peserta maupun sebagai Ketua Delegasi Republik Indonesia hingga mencapai posisi sebagai Pejabat Eselon I di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yaitu sebagai Staf Ahli Bidang Ekonomi Sumber Daya Alam dan Kepala Badan Litbang dan Inovasi. Alhamdulillah, jenjang karir tersebut dapat dicapai melalui kerja keras untuk selalu menjadi nomor satu baik dalam pendidikan, diklat dan seleksi jabatan.

Foto bersama Delegasi RI pada Sixth Assembly of the Global Environment Facility 2018 di Danang, Vietnam

Menjadi Pembicara pada Global Peatland Initiative Meeting tahun 2018 di Brazzaville, Republik Kongo

Foto bersama Tim KLHK berkunjung ke Karuizawa, Jepang pada Desember 2019

Dokumen P

ribadi

Page 8: BALAI PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI … · 2020-02-10 · vol. viii/no. 2/2019 balai penelitian dan pengembangan teknologi konservasi sumber daya alam profil: dr. ir. agus

Apa mimpi dan cita-cita Bapak yang belum terwujud selama karier Bapak di dunia Lingkungan Hidup dan Kehutanan?

Setelah saya mencapai pangkat dan jabatan tertinggi sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN), saya belum berkesempatan untuk membagikan ilmu, pengetahuan dan pengalaman yang saya miliki kepada siapapun dengan menuangkan ke dalam sebuah buku yang bisa menjadi inspirasi bagi banyak orang.

Bagaimana cara Bapak menjaga motivasi diri maupun organisasi agar selalu bekerja dengan baik dan maksimal? Nilai-nilai apa yang Bapak internalisasikan ke bawahan yang Bapak pimpin?

Saya selalu memiliki motivasi untuk diri sendiri maupun organisasi agar selalu menjadi nomor satu. Saya selalu mendorong bawahan saya untuk selalu mengembangkan kapasitas yang bermanfaat untuk diri sendiri maupun organisasi.

Selama masa kepemimpinan Bapak, banyak capaian di BLI. Dari 77 penghargaan di KLHK, 24 di antaranya adalah dari BLI. Di antara beberapa capaian tersebut, bisa diceritakan prestasi yang paling berkesan dalam hal prosesnya, hasil maupun implikasinya?

Prestasi yang berkesan antara lain adalah ketika mencanangkan Xylarium Bogoriense sebagai nomor satu di dunia yang mempunyai tantangan sangat besar dalam mengumpulkan spesimen kayu yang ada di Indonesia yang berjumlah sekitar 200.000 spesimen. Alhamdulillah, prestasi menjadi nomor satu di dunia dapat tercapai dan dicanangkan oleh Presiden Republik Indonesia. Kemudian dilanjutkan dengan menciptakan Alat Identifikasi Kayu Otomatis (AIKO) yang dapat dimanfaatkan oleh banyak pihak baik intansi pemerintah, perusahaan maupun perorangan.

Menurut Bapak, sejauh mana posisi BLI saat ini di dalam pembangunan LHK di Indonesia?

BLI saat ini sedang menuju sebagai Policy Think Tank dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sehingga BLI

Mendampingi Menteri LHK, Dr. Siti Nurbaya dalam Bilateral Meeting dengan Menteri Lingkungan Hidup Australia pada COP-23 UNFCCC Fiji di Bonn, Jerman, November 2017

Dokumen P

ribadi

Page 9: BALAI PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI … · 2020-02-10 · vol. viii/no. 2/2019 balai penelitian dan pengembangan teknologi konservasi sumber daya alam profil: dr. ir. agus

07

harus dapat memberi input atau masukan dalam proses penyusunan peraturan perundangan dan pengambilan kebijakan. Selain itu, produk litbang dan inovasi yang dihasilkan BLI menjadi referensi oleh banyak pihak.

Hal-hal apa yang masih perlu diperbaiki ataupun ditingkatkan di dalam BLI LHK khususnya supaya kiprah BLI semakin nyata baik nasional maupun internasional?

Strategi komunikasi dan promosi hasil litbang dan inovasi masih perlu dikuatkan agar produk - produk litbang dan inovasi dari BLI LHK dapat dikenal dan dimanfaatkan oleh berbagai pihak baik nasional maupun internasional.

Selain sebagai kepala BLI, Bapak juga pernah dan sedang menduduki beberapa posisi penting di organisasi internasional. Bisa diceritakan pengalaman dan pembelajaran apa yang bisa ditularkan kepada para pembaca dari organisasi-organisasi tsb?

Saat ini saya menduduki berbagai posisi di organisasi internasional seperti anggota Common Board of CIFOR-ICRAF,

anggota Steering Committee International Resource Panel (IRP) dari UN Environment, sebagai Leader dari ASEAN Senior Officials on Forestry (ASOF) dan ASEAN Senior Officials on Environment (ASOEN), Ketua Delegasi RI pada sidang – sidang internasional seperti pada United Nations Forum Forests (UNFF), AFoCO, UNEA, ASEAN Meeting. Pengalaman dalam negosiasi dan memimpin delegasi RI pada sidang internasional memerlukan leadership yang kuat. Saya pernah memimpin sidang sebagai Co-Chair pada UNEA-4 yang memutuskan resolusi yang diusulkan oleh lebih dari 170 negara yang sangat alot dalam pembahasannya sampai akhirnya dapat mengadopsi 23 resolusi.

Di luar rutinitas kerja sehari-hari, kegiatan lain atau hobi apa yang Bapak tekuni saat ini?

Saya hobi bermain musik untuk mengimbangi rutinitas kerja sehari – hari selain juga berolahraga seperti jalan kaki dan tenis. Disamping itu, juga terlibat dalam kegiatan sosial (DKM, Himpunan Alumni) dan organisasi profesi seperti Persatuan Insinyur Indonesia, Dewan Kehutanan Nasional, Dewan Riset Nasional.

Foto Bersama Delegasi Indonesia dan Tim Paviliun Indonesia pada penutupan Paviliun Indonesia pada COP-24 UNFCCC tahun 2018 di Katowice, Polandia

Dokumen P

ribadi

Page 10: BALAI PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI … · 2020-02-10 · vol. viii/no. 2/2019 balai penelitian dan pengembangan teknologi konservasi sumber daya alam profil: dr. ir. agus

Bina Swasta Sitepu

Struktur dan VegetasiHutan Adat Tana Pera

Tajuk Utama

[Peneliti pada Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam ]

Bina S

wasta

Sitepu

Page 11: BALAI PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI … · 2020-02-10 · vol. viii/no. 2/2019 balai penelitian dan pengembangan teknologi konservasi sumber daya alam profil: dr. ir. agus

09

Pendahuluan

Pengelolaan keanekaragaman hayati oleh masyarakat adat di pulau Kalimantan dilakukan melalui hukum adat maupun norma sosial dan budayanya. Pengelolaannya meliputi pemanfaatan, perlindungan dan budidaya berbagai jenis tanaman asli Kalimantan. Kita mengenal sistem perladangan gilir balik, perlindungan pohon buah di areal kebun, perlindungan areal sumber air, serta pelarangan penebangan jenis-jenis pohon tertentu yang memiliki nilai hasil hutan non kayu sebagai kearifan tradisional masyarakat sekitar hutan.

Pengelolaan hutan adat Tana Pera merupakan salah satu upaya masyarakat di kampung Laham, Kabupaten Mahakam Hulu, untuk melindungi keanekaragaman hayati pada areal hutan di sekitar kampung. Untuk mendukung pengelolaan hutan adat di Tana Pera, kajian potensi flora dilakukan oleh masyarakat adat Laham bersama tim penelitian Balitek KSDA dan lembaga pendamping. Hasil dari kajian ini dapat dijadikan dasar dalam rencana pengelolaan kawasan hutan adat sesuai potensi hutan dan aspirasi masyarakat.

Kajian dilakukan dengan cara pengamatan vegetasi dengan menggunakan petak contoh berukuran 20x50 meter sebanyak 11 petak (1,1 ha) dan transek pengamatan cepat sepanjang 500 meter dan lebar 10 meter, sehingga total luas areal contoh 1,6 ha. Tingkatan hidup tumbuhan dibagi atas semai dan tumbuhan bawah, pancang, dan pohon dengan kriteria diameter individu >10 cm. Pengambilan data dilakukan pada bulan Desember 2018, dan dilanjutkan dengan analisa data untuk menentukan Indeks Nilai Penting (INP) per jenis, Indeks keragaman dan Indeks kemerataan jenis pada tingkat pohon, identifikasi material tumbuhan di Herbarium Wanariset, serta kajian pustaka hingga April 2019.

Potensi Flora

Hutan adat tana Pera memiliki 250 jenis (species) tumbuhan yang terdiri dari 138 marga (genus) dan 59 suku (family) berdasarkan data dari petak contoh. Tumbuhan tingkat pohon ditemukan sebanyak 227 jenis, sedangkan tumbuhan bawah berupa herba, semak, perdu dan liana (termasuk rotan) sebanyak 23 jenis. Berdasarkan pengamatan di petak contoh, jenis Callicarpa pentandra memiliki nilai INP tertinggi untuk tumbuhan tingkat pohon dengan nilai 13, 53 % diikuti oleh

Bunga Etlingera fimbriobracteata

Bina S

wasta

Sitepu

Page 12: BALAI PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI … · 2020-02-10 · vol. viii/no. 2/2019 balai penelitian dan pengembangan teknologi konservasi sumber daya alam profil: dr. ir. agus

Macaranga hypoleuca (10,12%), Macaranga pearsonii (8,95 %), Macaranga gigantea (7,87 %), dan Shorea spp. (7,65%). Empat jenis pertama merupakan jenis-jenis perintis yang sering ditemukan di kawasan hutan sekunder (Silk, 2003), sedangkan genus Shorea umumnya hadir pada areal hutan sekunder tua atau primer. Pada tumbuhan tingkat pancang, Ficus sp. memiliki INP tertinggi dengan nilai 19,5% diikuti oleh Leea indica (16,7 %), Syzygium sp. (16,6 %), Pternandra coerulescens (14,5 %), dan Alangium javanicum (14.4%).

Pada tumbuhan tingkat semai dan tumbuhan bawah, Etlingera sp. memiliki INP tertinggi dengan nilai 31,2 %, diikuti oleh Zingiber sp. (14,4 %), Litsea sp. (11,0%), Pandanus sp. (10,0%), dan Sp.1 (10.0%). Dari kelima jenis tumbuhan ini, hanya Litsea sp. yang merupakan semai dari jenis pohon, walaupun ditemukan juga Pternandra coerulescens dan Shorea leprosula dengan nilai INP yang lebih kecil. Sebagian besar tumbuhan yang ditemui di petak contoh 2x2 adalah jenis-jenis tumbuhan bawah yang diketahui dapat bertahan dibawah naungan dengan asupan cahaya yang terbatas. Keberadaan jenis-jenis dari marga Calamus yang dikenal sebagai penghasil utama Rotan juga teramati di hutan adat Tana Pera. Rotan digunakan oleh masyarakat sebagai bahan baku pembuatan topi khas Laham, Tikar, dan peralatan rumah tangga lainnya dan hanya dapat dipanen dari kawasan hutan.

10

No. Jenis (Species) Suku (Family) INP

Tabel 1. Lima jenis tumbuhan dengan INP tertinggi di Hutan Adat Tana Pera

1

2

3

4

5

1

2

3

4

5

1

2

3

4

5

Semai

Pancang

Pohon

Etlingera sp.

Zingiber sp.

Litsea sp.

Pandanus sp.

Sp.1

Ficus sp.

Leea indica

Syzygium sp.

Pternandra coerulescens

Alangium javanicum

Callicarpa pentandra

Macaranga hypoleuca

Macaranga pearsonii

Macaranga gigantea

Shorea sp.

Zingiberaceae

Zingiberaceae

Lauraceae

Pandanaceae

-

Moraceae

Vitaceae

Myrtaceae

Melastomataceae

Alangiaceae

Lamiaceae

Euphorbiaceae

Euphorbiaceae

Euphorbiaceae

Dipterocarpaceae

31.2%

14.4%

11.0%

10.0%

10.0%

19.5%

16.7%

16.6%

14.5%

14.4%

13.30%

10.12%

8.95%

7.87%

7.56%

Walaupun pada tingkat jenis tidak menempati posisi tertinggi, Suku Dipterocarpaceae mendominasi tingkat pohon dengan nilai INP tertinggi (53,04%) diikuti oleh Euphorbiaceae (42,34%), Moraceae (19,24%), Fabaceae (18,31%), dan Lamiaceae (14,65%). Suku Dipterocarpaceae juga memiliki jenis terbanyak di Hutan adat Tana Pera, yaitu sebanyak 30 jenis dari tujuh marga. Berikutnya, suku Euphorbiaceae dengan 24 Jenis dari 13 marga, Suku Malvaceae dengan 13 jenis dari delapan marga, Suku Anacardiaceae dengan 11 Jenis dari delapan marga, suku Fabaceae dengan 11 jenis dari 10 marga, dan suku Moraceae dengan 11 jenis dari tiga marga. Indeks keragaman (H') di Hutan adat Tanah Pera sebesar 4,68 menunjukkan keragaman jenis tumbuhan tingkat pohon termasuk besar, dan Indeks Kemerataan Jenis sebesar 0,919 yang menunjukkan jenis-jenis pohon pada ekosistem Hutan Tana Pera memiliki dominansi yang hampir merata atau dengan kata lain tidak ada jenis pohon yang mendominasi secara signifikan.

Page 13: BALAI PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI … · 2020-02-10 · vol. viii/no. 2/2019 balai penelitian dan pengembangan teknologi konservasi sumber daya alam profil: dr. ir. agus

Diameter pohon penyusun hutan adat Tana Pera terbesar mencapai 100 cm, namun rata-rata hanya 23.63 cm dengan median 19.10 cm. Hasil ini menunjukkan bahwa sebagian besar individu pohon memiliki diameter 10-20 cm (256 individu), diikuti oleh pohon dengan diameter antara 20-40 cm sebanyak 188 individu, dan pohon-pohon besar (>40 cm) hanya 58 individu. Jika dilihat dengan menggunakan grafik batang, sebaran diameter individu pohon pada plot pengamatan menunjukkan bentuk J terbalik yang menandakan kondisi ekosistem hutan dalam kondisi normal atau baik.

11

Bunga Etlingera coccinea di Hutan Adat Tana Pera

Gambar histogram jumlah individu per kelas diameter tingkat pohon di Hutan Adat Tana Pera

350

300

230

200

150

100

50

0

JUM

LAH

PO

HO

N

DIAMETER

Sebaran Diameter Pohon di Hutan Adat Tana Pera

265

187

449 5

10-20 20-40 40-60 60-80 80-100

Bina S

wasta

Sitepu

Page 14: BALAI PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI … · 2020-02-10 · vol. viii/no. 2/2019 balai penelitian dan pengembangan teknologi konservasi sumber daya alam profil: dr. ir. agus

12

Berdasarkan komposisi vegetasi di atas, hutan adat Tana Pera dapat dikategorikan sebagai hutan sekunder yang sedang dalam proses pemulihan kondisi ekosistem menjadi hutan primer. Pemanenan kayu pada tahun 1980-1990an merupakan penyebab kerusakan hutan di lokasi pengamatan sebagaimana diinformasikan oleh ketua adat kampung Laham. Sebagian besar jenis yang ditebang adalah kelompok Dipterocarpaceae, khususnya kayu Meranti yang dikenal memiliki kualitas kayu baik dan nilai ekonomis yang tinggi. Selain untuk penggunaan sendiri oleh masyarakat Laham, kayu-kayu tersebut juga dipasarkan hingga ke wilayah Samarinda.

Selain genus Shorea (Meranti), beberapa genus dari suku Dipterocarpaceae juga hadir di hutan adat Tana Pera seperti Anisoptera (Mersawa), Dipterocarpus (Keruing), Hopea (Merawan), Parashorea (Meranti), dan Vatica (Resak). Secara umum masyarakat lokal telah menggunakan kayu dari Dipterocarpaceae sebagai bahan konstruksi bangunan, peti mati, dan kapal dikarenakan sifat kayu memiliki tingkat kekuatan dan keawetan yang tinggi. Suku Euphorbiaceae dikenal sebagai suku tumbuhan jenis perintis di hutan sekunder, khususnya pada marga Macaranga yang memiliki INP 34, 84% pada petak contoh di hutan adat Tana Pera. Jenis dari marga ini hampir selalu ditemukan di setiap petak contoh, sembilan petak dari 11 petak contoh, dan sering tumbuh berkelompok pada areal terbuka.

Suku Malvaceae, Anacardiaceae, Fabaceae, dan Moraceae merupakan suku-suku penyusun hutan dataran rendah Kalimantan dan dapat ditemukan pada hutan sekunder maupun hutan primer (Keßler et al, 2000). Keberadaan mereka selain menambah keanekaragaman hayati di Hutan adat Tana Pera, juga memiliki manfaat sebagai pohon pangan yang dapat dikonsumsi manusia dan satwa liar seperti: Durio kutejensis, Artocarpus elasticus, A. anisophyllus, Dracontomelon dao, dan Mangifera spp.

Selain itu, kajian tumbuhan bermanfaat bagi masyarakat, khususnya tanaman berkhasiat obat dari alam juga menarik untuk dilakukan. Sebagai contoh, Euricoma longifolia dan Luvunga scandens dikenal sebagai tumbuhan obat alami masyarakat asli Kalimantan untuk menyembuhkan demam, penambah daya tahan tubuh, dan obat kuat lelaki (Noorcahyati, 2012). Kedua jenis ini terdapat di hutan adat Tana Pera, namun belum tereksplorasi dengan baik. Untuk itu, penelitian lebih lanjut perihal populasi, distribusi, dan potensi pengembangan diperlukan untuk kedua jenis di atas, maupun jenis-jenis lain yang berpotensi sebagai tanaman obat.

Catatan Baru Tumbuhan

Dua individu tumbuhan Hutan adat Tana Pera merupakan catatan baru yang belum pernah ditemukan di wilayah hulu

Bunga Etlingera pyramidosphaera (Zingiberaceae)

Bina S

wasta

Sitepu

Page 15: BALAI PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI … · 2020-02-10 · vol. viii/no. 2/2019 balai penelitian dan pengembangan teknologi konservasi sumber daya alam profil: dr. ir. agus

13

sungai Mahakam, yaitu: Etl ingera pyramidosphaera (Zingiberaceae) dan Merrillia caloxylon (Rutaceae). Sebaran Etlingera pyramidosphaera di Kalimantan bagian timur berdasarkan publikasi oleh Poulsen (2006) hanya meliputi areal sekitar Gunung Lumut, Paser dan Seturan, Malinau. Merrillia caloxylon merupakan jenis dari keluarga jeruk-jerukan (Rutaceae) dengan status Rentan (Vulnerable) yang ditengarai telah punah (extinct) di Semenanjung Malaysia dan catatan persebarannya hanya di areal Thailand, Sabah dan Serawak, Malaysia, dan Sumatera (Jones, 1995; IUCN, 1998). Temuan ini juga menjadi catatan keberadaannya yang pertama untuk wilayah Kalimantan. Bagian akar dan batang jenis ini ditengarai memiliki kandungan anti-implantation, serta dapat digunakan untuk meredakan sakit perut dan gatal pada kulit.

Catatan terbaru dua jenis ini menunjukkan masih besar potensi keragaman tumbuhan yang belum tereksplorasi di Kalimantan, khususnya pada wilayah yang sulit dan jarang dikunjungi. Ini juga tantangan dan kesempatan bagi penelitian selanjutnya dalam melakukan penelitian lanjutan agar informasi biodiversitas, khususnya tumbuhan, di Kalimantan dapat semakin lengkap.

Penutup

Potensi tumbuhan yang cukup besar di Hutan adat Tana Pera merupakan sumber daya yang harus dikelola dengan baik

sesuai dengan asas keberlanjutan dan bermanfaat bagi masyarakat itu sendiri. Paradigma masyarakat kampung Laham yang memandang penting penyelamatan kawasan hutan sebagai penyedia kayu dan non-kayu dapat dijadikan landasan dalam perencanaan pengelolaan pemanfaatan, perlindungan dan pelestarian jenis-jenis tumbuhan di dalamnya. Selain itu, pengembangan potensi manfaat non-kayu dari Hutan adat Tana Pera juga salah satu langkah penting untuk dilakukan berdasarkan hasil kajian ini.

Daftar Pustaka

IUCN-World Conservation Monitoring Centre. 1998. Merrillia caloxylon. The IUCN Red List of Threatened Species 1998: e.T32108A9679768. Downloaded on 28 October 2019.

Jones, DT. (1995). Rutaceae. In Soepdamo, E. (Ed.). Tree flora of Sabah and Sarawak. (vol. 1). (pp. 119-180). Malaysia: Joint publication of Sabah Forestry Department, Forest Research Institute Malaysia & Sarawak Forestry Department.

Kebler, PJA., Pelser, PB., Ridsdale, CE., Sidiyasa, K. 2000. Secondary Forest Tree of Kalimantan, Indonesia. Tropenbos series 3. Tropenbos International, Wageningen, The Netherlands.

Noorcahyati. 2012. Tumbuhan Berkhasiat Obat Etnis Asli Kalimantan. Balai PenelitianTeknologi Konservasi Sumber Daya Alam. Samboja.

Poulsen, AD. 2006. Etlingera of Borneo. Natural History Publication (Borneo) and Royal Botanic Garden Edinburgh. Kota Kinabalu.

Buah Merrillia caloxylon

Bina S

wasta

Sitepu

Page 16: BALAI PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI … · 2020-02-10 · vol. viii/no. 2/2019 balai penelitian dan pengembangan teknologi konservasi sumber daya alam profil: dr. ir. agus

Mukhlisi

Mencari Chiropteradi Ujung Tana Pera

[Peneliti pada Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam ]

Mu

kh

lisi

Page 17: BALAI PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI … · 2020-02-10 · vol. viii/no. 2/2019 balai penelitian dan pengembangan teknologi konservasi sumber daya alam profil: dr. ir. agus

15

Pendahuluan

Kami melakukan survei ke areal hutan yang disebut Tana Pera atau dalam bahasa setempat artinya “tanah yang disayang”. Areal hutan ini terletak di Kampung Laham, di tepi Sungai Mahakam bagian hulu. Perjalanan ke hulu Sungai Mahakam sesungguhnya tidak jauh, bagi orang yang baru pertama kali datang ke Kabupaten Mahakam Ulu, terasa amat jauh. Hal ini karena perjalanan harus ditempuh dengan kendaraan roda empat selama seharian dari Samboja sampai Sendawar, ibu kota Kabupaten Kutai Barat, kemudian esoknya, dilanjutkan dengan menggunakan speed boat sekitar dua jam sampai Kampung Laham di Kabupaten Mahakam Ulu. Speed boat adalah alat transportasi andalan masyarakat karena mampu menaklukkan derasnya arus sungai di hulu Mahakam.

Beruntungnya, perjalanan dilakukan saat musim raya durian di akhir 2018. Sepanjang perjalanan melintasi sungai Mahakam, buah durian tampak dimana-mana. Mulai dari durian berkulit merah yang dikenal dengan nama lokal lahung (Durio dulcis), yang berdaging oranye atau dikenal dengan nama lokal lai (Durio kutejensis), durian kecil yang manis dengan nama lokal

kerantungan (Durio graveolens), sampai durian yang sangat umum di Indonesia (Durio zibethinus). Pengalaman ini sangat mengesankan, meskipun hanya dua jam melintas Sungai Mahakam.

Kampung Laham adalah kampung binaan World Wide Fund for Nature (WWF). Kampung Laham memiliki sebuah areal hutan yang disebut Tana Pera atau “tanah yang disayang” yang merupakan inisiasi adat sebagai hutan cadangan. Hal ini yang diapresiasi, ditengah euforia konversi hutan menjadi kebun sawit yang dianggap lebih memberikan keuntungan ekonomi langsung.

Bersama tim WWF Program Lanskap Hulu Mahakam, Balitek Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) melakukan survei bidiversitas di areal hutan Tana Pera. Tim survei dibagi menjadi beberapa tim kecil untuk mengamati vegetasi serta satwa (mamalia, burung, dan herpetofauna). Chiroptera adalah bagian dari kelompok mamalia yang juga disurvei di Tana Pera. Chiroptera adalah ordo dari kelas mamalia yang lebih dikenal dengan sebutan kelelawar.

Mu

kh

lisi

Codot krawar, jenis kelelawar yang paling umum ditemukan di Kalimantan

Page 18: BALAI PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI … · 2020-02-10 · vol. viii/no. 2/2019 balai penelitian dan pengembangan teknologi konservasi sumber daya alam profil: dr. ir. agus

Si Mamalia Terbang

Kelelawar adalah satu-satunya hewan menyusui yang dapat terbang dalam arti sesungguhnya. Beberapa jenis mamalia lain, seperti bajing terbang dan kubung sebetulnya tidaklah terbang. Ia hanya sekedar meluncur dan melayang. Dengan memanfaatkan modifikasi bentuk tubuh serta momentum gravitasi, kedua spesies satwa tersebut mampu melayang jauh, seolah terbang dari satu tajuk pohon ke tajuk pohon lain yang lebih rendah. Berbeda dengan kelelawar, ia mempunyai sayap yang dapat dikepakkan sebagai alat untuk berpindah tempat. Sayap tersebut sebenarnya juga modifikasi dari kaki depan, di mana sayapnya merupakan perpanjangan dari jari kedua hingga jari ke lima yang diselimuti kulit membran.

Mamalia terbang ini kerap diperspektifkan negatif oleh

sebagian orang. Ada yang menganggap sebagai hewan penghisap darah manusia (vampire), ada yang menganggap sebagai sumber penyebar penyakit, hama tanaman, dan bahkan sebagian ada yang mempercayainya sebagai hewan jadi-jadian. Tidak sepenuhnya salah, tapi umumnya tidak benar. Mamalia terbang ini memang diketahui menjadi agent beberapa penyakit viral zoonosis yang dapat menular ke

16

manusia (Wiyatno dan Pengesti, 2017). Selebihnya, informasi tentang hewan jadi-jadian dan vampire adalah tidak benar.

Secara taksonomis, Chiroptera (kelelawar) merupakan ordo terbesar dalam kelas mamalia. Dengan semakin majunya teknologi identifikasi menggunakan DNA, selama dua dekade terakhir ordo Chiroptera telah ditata ulang dari 18 famili menjadi 21 famili dengan jumlah spesies mencapai 1.300 (Caio et al., 2017). Ordo Chiroptera dibagi menjadi dua sub ordo, yaitu Megachiroptera (berukuran besar, pemakan buah, nectar dan serbuk sari) serta Microchiroptera (berukuran kecil dan pemakan insecta).

Survei kelelawar di Tana Pera dilakukan sangat singkat karena keterbatasan waktu dan akses jalan yang sulit, sehingga hanya 5 hari efektif jala kabut terpasang. Survei kelelawar hanya bagian dari pengamatan satwa secara keseluruhan yang sedang dilakukan. Berdasarkan pengamatan, ditemukan dua jenis kelelawar di sekitar hutan Tana Pera, yaitu codot krawar (Cynopterus brachyotis) dan kelelawar ladam lapet kuning

Dengan waktu pengamatan lebih lama, akan bisa diperoleh lebih banyak jenis yang terdata.

Kelelawar di Tana Pera

(Rhinolophus trifoliatus).

Kelelawar ladam lapet kuning, lipatan hidung berwarna kuning serta rambut tubuh tebal seperti wol menjadi salah satu ciri khasnya

Mu

kh

lisi

Page 19: BALAI PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI … · 2020-02-10 · vol. viii/no. 2/2019 balai penelitian dan pengembangan teknologi konservasi sumber daya alam profil: dr. ir. agus

al.,2008). Ia adalah pemburu serangga yang ulung di bawah tajuk pohon yang rendah dengan menggunakan bantuan sistem ekolokasi. Payne et al. (2000) menjalaskan bahwa jenis ini mempunyai sebaran geografis di Asia Tenggara, termasuk China. Salah satu ciri khas kelelawar ladam lapet kuning adalah mempunyai rambut cukup tebal menyelimuti tubuh mirip wol, dan bagian lipatan hidung (lapet) berwarna kuning cerah.

Kelelawar mempunyai kontribusi yang sangat penting dalam menjaga stabilitas ekosistem hutan. Sayangnya, studi tentang kelelawar masih minim dilakukan di Indonesia. Bahkan, mungkin saja kita tidak menyadari jika sebagian spesies kelelawar di Indonesia telah mengalami kepunahan secara lokal. Hal ini bisa disebabkan oleh kurangnya pemahaman akan pentingnya peran kelelawar baik secara ekologi maupun ekonomi, serta kurangnya data status populasi dan sebarannya. Secara ekonomi, ordo Chiroptera telah dimanfaatkan sebagai sumber pangan yang diperjualbelikan, misalnya di Sulawesi Utara.

Dari dua jenis kelelawar yang terdata, tidak ada yang dimanfaatkan sebagai sumber pangan oleh masyarakat sekitar

Peran Chiroptera untuk Tana Pera

Codot krawar adalah jenis kelelawar yang umum dijumpai di Kalimantan mulai dari hutan pantai dan mangrove, areal budidaya perkebunan, hutan Dipterocarpaceae, sampai hutan-hutan pegunungan bawah (Payne et al., 2000). Jenis ini juga ditemukan di areal reklamasi tambang batubara (Yassir dan Atmoko, 2014). Selama survei di Tana Pera terdata sebanyak tujuh individu codot krawar, satu di antaranya termasuk kelas umur infant. Codot krawar aktif di malam hari, biasanya terbang berkelompok mencari makan dengan memanfaatkan indra penciuman yang tajam. Jenis ini sangat suka dengan buah-buahan dan bunga yang berbau harum, seperti dari famili Anacardiaceae dan Apocynaceae (Soegiharto et al., 2010).

Kelelawar ladam lapet kuning hanya ditemukan satu individu selama survei di Tana Pera. Ia memang kelelawar yang senang menyendiri (soliter). Kelelawar jenis ini lebih menyukai interior hutan dan menghindari areal terganggu. Hal ini juga terkonfirmasi di mana titik temuan kelelawar ini hanya pada jala kabut yang di pasang di bagian interior hutan Tana Pera. Jenis ini cenderung sensitif terhadap gangguan habitat, namun dapat beradaptasi mulai dari hutan tepi pantai sampai hutan pegunungan dengan ketinggian 1.800 m dpl (Hutson et

17

Codot krawar, memiliki moncong menyerupai anjing

Mu

kh

lisi

Page 20: BALAI PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI … · 2020-02-10 · vol. viii/no. 2/2019 balai penelitian dan pengembangan teknologi konservasi sumber daya alam profil: dr. ir. agus

18

Tana Pera. Namun demikian, codot krawar sebagai kelelawar pemakan buah, memiliki peran penting dalam membantu pemencaran benih tumbuhan di hutan Tana Pera. Codot krawar membantu proses suksesi hutan sukender Tana Pera dengan mempercepat regenerasi hutan melalui pemencaran biji. Jenis ini mampu terbang jarak jauh, kemudian menjatuhkan biji tumbuhan di berbagai tempat ketika membuang kotorannya. Codot krawar diketahui berperan penting dalam memencarkan 54 jenis benih tumbuhan di Serdang, Malaysia (Tan et al., 1998) dan 47 jenis tumbuhan di sekitar Kebun Raya Bogor (Suyanto, 2002). Lebih lanjut, studi terbaru yang dilakukan oleh Yazid et al. (2018) melaporkan jika codot krawar berperan juga dalam membantu proses penyerbukan bunga. Keberadaan lembo, yaitu kebun buah yang dikelola secara agroforestri oleh masyarakat lokal di sekitar Tana Pera, secara ekologi dapat terbantu dengan kehadiran codot krawar dalam proses penyerbukan dan menghasilkan buah-buahan.

Kelelawar ladam lapet kuning memiliki peran yang berbeda dengan codot krawar. Sebagai pemakan serangga, jenis ini bertanggung jawab dalam mengendalikan ledakan populasi serangga di alam. Jenis ini menggunakan sistem suara berfrekuensi tinggi untuk membantunya dalam menentukan arah terbang dan posisi target mangsa serangga. Dalam ekosistem hutan yang seimbang, tidak akan terjadi ledakan populasi serangga menjadi hama, karena rantai makanan masih berfungsi dengan baik, yang diindikasikan dengan adanya populasi kelelawar ladam lapet kuning. Secara tidak langsung, populasi jenis ini juga ikut mengontrol hama serangga pada kebun-kebun lembo tradisional sekitar Tana Pera.

Penutup

Daftar Pustaka

Keberadaan kelelawar (Chiroptera) di Tana Pera mengindikasikan kondisi ekosistem habitatnya masih baik dan rantai makanan masih berfungsi. Walaupun baru terdata dua jenis, informasi ini menjadi temuan awal yang penting untuk pengelolaan hutan Tana Pera ke depan. Hal ini karena keberadaan dua jenis kelelawar tersebut dapat memastikan proses regenerasi hutan tetap berjalan sehingga hutannya lestari.

. Caio, C.G.S., R.J. Baker., and M. Volleth 2017. Chromosomal evolution in Chiroptera. Genes 8(10): 272.

Hutson, A.M., Kingston, T., Francis, C., Molur, S. & Srinivasulu, C. 2008. Rhinolophus trifoliatus. The IUCN Red List of Threatened Species 2008: e.T19574A8980740. http://dx.doi.org/10.2305/IUCN.UK.2008.RLTS.T19574A8980740.en. Downloaded on 14 September 2019.

Payne, J., C. M. Francis, K. Phillips dan S.N. Kartikasari. 2000. Panduan lapangan mamalia di Kalimantan, Sabah, Serawak dan Brunei Darussalam . Wildlife Conservation Society. Bogor. Indonesia.

Soegiharto, S., A.P. Kartono., I. Maryanto. 2010. Grouping of fruit and nectar-eating bats based on the characteristics of pollen feed types in Bogor Botanical Garden, Indonesia, Jurnal Biologi Indonesia 6: 225-235.

Suyanto, A. 2002. Perilaku makan codot Cynopterus Spp. (Chiroptera: Pteropodioae) di Kebun Raya Bogor. Zoo Indonesia 29: 59-65.

Tan, K.H., A. Zubaid., and T.H. Kunz. 1998. Food habits of Cynopterus brachyotis (Muller)(Chiroptera: Pteropodidae) in PeninsularMalaysia. Journal of Tropical Ecology(1998) 14:299–307.

Wiyatno, A., dan K.N.A. Pangesti. 2017. Interaksi kelelawar dan manusia: potensi zoonosis di Indonesia. Vektora 9 (2): 87-100.

Yassir, I. dan T. Atmoko. 2014. Burung dan kelelawar di lahan bekas tambang batu bara. Balitek KSDA. Samboja.

Mu

kh

lisi

Kelelawar frugivor yang aktif membantu menyebarkan benih

Page 21: BALAI PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI … · 2020-02-10 · vol. viii/no. 2/2019 balai penelitian dan pengembangan teknologi konservasi sumber daya alam profil: dr. ir. agus

Teguh M

uslim

KekayaanHerpetofauna

di Tana Pera Laham,dari “A” sampai “Z”

Teguh Muslim[Peneliti pada Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam ]

Page 22: BALAI PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI … · 2020-02-10 · vol. viii/no. 2/2019 balai penelitian dan pengembangan teknologi konservasi sumber daya alam profil: dr. ir. agus

Duttaphrynus melanostictus Phrynoidis aspera Ingerophrynus divergensA B C

G

O

W

H

P

X

I

Q

Y

J

R

Z

Polypedates otilophus Polypedates colletti Polypedates leucomystax Rhacophorus gauni

Limnonectes malesianus Limnonectes ingerii Limnonectes leporinus Limnonectes hascheanus

Occidozyga laevis Leptobrachium abbottii Chalcorana chalconata Pulcharana picturata

Z5 Z6 Kalophrynus subterrestris Kalophrynus pleurostigma

Page 23: BALAI PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI … · 2020-02-10 · vol. viii/no. 2/2019 balai penelitian dan pengembangan teknologi konservasi sumber daya alam profil: dr. ir. agus

Teguh Muslim

Ingerophrynus quadriporcatus Leptophryne barbonicaD E F Polypedates macrotis

K

s

Z1

L

T

Z2

M

U

Z3

N

V

Z4

Rhacophorus pardalis Rhacophorus rufipes Limnonectes finchi Limnonectes paramacrodon

Limnonectes blythii Limnonectes ibanorum Limnonectes kuhlii Occidozyga baluensis

Amnirana nicobariensis Meristogenys jerboa Hylarana erythraea Microhyla berdmorei

Jenis Katak dan Kodok ditemukan di kawasan hutan adat Tana Pera

Page 24: BALAI PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI … · 2020-02-10 · vol. viii/no. 2/2019 balai penelitian dan pengembangan teknologi konservasi sumber daya alam profil: dr. ir. agus

PENDAHULUAN

Secara etimologis, herpetofauna berasal dari bahasa Yunani, yaitu kata herpet berarti melata dan fauna berarti binatang/hewan/satwa. Jadi herpetofauna adalah satwa melata yang terdiri dari kelompok amfibi dan reptil. Amfibi adalah vertebrata atau binatang bertulang belakang yang memiliki kemampuan untuk hidup di dua alam atau lingkungan yang berbeda. Ketika baru menetas hidup dalam air dan bernafas menggunakan insang, kemudian ketika dewasa hidup di darat dan bernafas dengan paru-paru. Amfibi mempunyai ciri antara lain: bentuk bervariasi, fertilisasi ekternal (kawin dengan pembuahan sel telur diluar tubuh), telur tidak bercangkang, melalui proses metamorphosis (perkembangan bersamaan dengan perubahan bentuk), kulit tipis dan permeable, memerlukan suhu eksternal.

22

Air sebagai habitat pada fase bertelur dan anakan katak yang masih berekor (inset: busa dihasilkan pada proses perkawinan katak untuk menjaga kelembaban telur (kiri atas);

disekitar lokasi perkawinan berhamburan telur-telur katak (kanan bawah)

Teguh M

uslim

Page 25: BALAI PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI … · 2020-02-10 · vol. viii/no. 2/2019 balai penelitian dan pengembangan teknologi konservasi sumber daya alam profil: dr. ir. agus

23

Sedangkan reptil merupakan satwa bertulang belakang yang bersisik. Ciri reptil antara lain: bentuk bervariasi, fertilisasi internal, telur bercangkang, kulit tertutup sisik, memerlukan suhu eksternal. Amfibi dan Reptil merupakan hewan yang sering disebut berdarah dingin. Namun, istilah ini kurang tepat karena suhu bagian dalam yang diatur menggunakan perilaku mereka seringkali lebih panas daripada burung dan mamalia terutama pada saat mereka aktif. Amfibi maupun Reptil bersifat ektoterm dan poikiloterm yang berarti mereka menggunakan sumber panas dari lingkungan untuk memperoleh energi.

Herpetofauna juga memiliki penyebaran yang sangat luas hampir di semua tipe habitat, akan tetapi ada beberapa jenis yang hanya dijumpai pada tipe habitat spesifik tertentu sehingga baik dijadikan sebagai indikator terjadinya perubahan lingkungan. Secara ekologis merupakan salah satu komponen penyusun ekosistem yang memiliki peranan sangat penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem, karena sebagian besar herpetofauna berperan sebagai predator pada tingkatan rantai makanan di suatu ekosistem.

Menurut catatan pada database reptil terdapat 750 spesies di Indonesia, 301 spesies atau 40% diantaranya terdapat di Kalimantan (reptile database, 2018), sedangkan katak di Indonesia tercatat sekitar 354 spesies dan 42% terdapat di Kalimantan (Inger dan Stuebing, 2005). Secara berurutan klasifikasi berdasarkan kelompok famili dari yang terbanyak sampai yang paling sedikit yaitu: Microhylidae, Rhacophoridae,

Ranidae, Dicroglossidae, Bufonidae, dan Megophryidae. Dari 354 spesies katak di Indonesia tedapat 201 spesies merupakan endemik Indonesia (Amphibia Web, 2018). Data jumlah spesies belum semua terbaharui, karena banyak riset survei yang ternyata menemukan spesies baru yang belum pernah ditemukan dan tercatat sebelumnya.

Tana Pera adalah kawasan hutan adat yang dijaga dan dikelola oleh masyarakat adat kampung Laham untuk dimanfaatkan potensi yang ada didalamnya selain kayu (Hasil Hutan Non Kayu). Kawasan ini sendiri sebenarnya relatif jauh dari pemukiman masyarakat adat dan harus menyeberang sungai menuju hilir dan dilanjutkan jalan darat. Di sekitar Hutan adat Tana Pera terdapat perkebunan karet, konsesi perusahaan kayu, dan sebagian kecil pertanian masyarakat. sendiri belum dimanfaatkan secara maksimal oleh masyarakat adat dan baru dilakukan penataan batas. Potensi hasil hutan non kayu yang diketahui masyarakat juga masih terbatas pada konsumsi langsung seperti rotan dan hewan buruan mamalia kecil dan besar. Sementara potensi keanekaragaman hayati yang lebih besar belum terungkap, meskipun mungkin beberapa atau sebagian besar telah dimanfaatkan secara terbatas pada sebagian kecil kelompok masyarakat.

TANA PERA KAMPUNG LAHAM DI MAHAKAM HULU

Tana Pera

Lokasi Survei Herpetofauna di Tana pera Kampung Laham

Page 26: BALAI PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI … · 2020-02-10 · vol. viii/no. 2/2019 balai penelitian dan pengembangan teknologi konservasi sumber daya alam profil: dr. ir. agus

24

Menyisakan sebagian hutan merupakan salah satu upaya masyarakat lokal di kampung Laham, Kabupaten Mahakam Hulu, untuk melindungi keanekaragaman hayati yang ada di areal hutan disekitar kampung. Hilangnya kawasan hutan secara cepat menjadi perkebunan sawit ataupun pertambangan menimbulkan kekhawatiran warga akan hilangnya kekayaan tumbuhan yang memiliki manfaat dalam keseharian mereka. Kehilangan keanekaragaman hayati tidak dapat diketahui atau akan terabaikan apabila tidak pernah dilakukan inventarisasi atau pendataan potensi yang ada, karena untuk melakukan perlindungan semestinya telah diketahui apa saja yang harus dilindungi dan bagaimana mengelolanya.

Sebagian besar keanekaragaman jenis baik tumbuhan ataupun satwa mungkin diketahui dan memiliki nama daerah, akan tetapi secara umum juga perlu diketahui sehingga perlu dilakukan inventarisasi potensi biodiversitas yang dapat diketahui oleh semua pihak baik masyarakat lokal, nasional maupun internasional. Untuk itu, perlu dilakukan kajian potensi biodiversiti di kawasan hutan adat sebagai langkah awal untuk melindungi dan mengelola kawasan secara lestari.

Selain secara khusus untuk melengkapi data keanekaragaman (Herpetofauna) di kawasan Hutan , juga dapat mendukung kelengkapan daftar spesies herpetofauna dan penyebarannya di Kalimantan dan secara umum di Indonesia. Berdasarkan survei singkat yang telah dilakukan di dalam dan sekitar kawasan hutan Laham berhasil teridentifikasi 41 spesies herpetofauna yang terwakili dari 2 kelas yaitu: Amfibi dan Reptil. Dari 2 (dua) kelas tersebut mewakili Ordo Sauria: Colubridae, Phytonidae, Agamidae, Scincidae, Geckonidae dan Varanidae, sedangkan Ordo Anura: Dicroglossidae, Megophryidae, Bufonidae, Microhylidae, Ranidae dan Rhacophoridae.

Dari hasil temuan survei ini menunjukkan bahwa peluang perjumpaan herpetofauna cukup tinggi melihat waktu survei yang relatif singkat dengan luasan areal survei yang relatif sempit. Potensi penambahan spesies baru yang belum terdata sebelumnya masih berpeluang besar dengan waktu yang relatif panjang dengan areal survei yang lebih luas. Sedangkan untuk mengidentifikasi spesies baru memang dibutuhkan keahlian khusus dibidang taxonomi herpetofauna, walaupun tidak menutup kemungkinan hasil temuan di lapangan terdapat spesies baru atau spesies yang belum teridentifikasi.

Dari kelas amfibi hanya ordo anura yang berhasil ditemukan yang terdiri dari 6 famili yaitu: Megophryidae (1 spesies), Bufonidae (5 spesies), Dicroglossidae (11 spesies),

Tana Pera

Tana Pera

Tana Pera

KEANEKARAGAMAN HERPETOFAUNA DI TANA PERA

AMFIBI (KATAK DAN KODOK “A” SAMPAI “Z” PLUS)

Ranidae (5 spesies), Rhacophoridae (7 spesies) dan Microhylidae (3 spesies). Bila dibandingkan dengan jumlah spesies setiap kelompok famili yang ada di Kalimantan terlihat bahwa hasil survei realtif mewakili persentase spesies setiap kelompok.

Leptobrachium abbottii bertubuh sedang, antara 50-70 mm, jantan umumnya lebih kecil daripada yang betina. Gendut pendek dengan kepala bulat dan besar, lebih besar daripada tubuhnya. Mata besar dan melotot. Dorsal (bagian punggung) berwarna coklat abu-abu kebiruan atau keunguan (fase gelap), atau keemasan (fase terang). Terdapat bercak-bercak bulat telur berwarna gelap yang terletak simetris, tepi luar bercak berwarna keemasan. Coreng hitam berjalan dari ujung moncong hingga mata, dan dilanjutkan di bawah lipatan supratimpanik hingga ke pundak. Iris berwarna gelap kehitaman. Ventral (sisi bawah tubuh) abu-abu hingga kehitaman di perut, berbintik-bintik putih. Tangan dan kaki bercoret-coret gelap dengan selaput renang pendek dan hanya terdapat di kaki belakang.

Leptophryne barbonica, kodok dengan ukuran 20-40 mm, merupakan kodok kecil dan kelenjar parotoid yang kurang jelas serta terdapat tanda berbentuk jam pasir di bagian belakang dengan warna coklat keabuan, ventrum leher dan kaki berwarna kecoklatan. Terdapat pada air yang jernih dan berarus lambat. Mempunyai tekstur kulit berkeriput tanpa kelenjar parotoid yang jelas. Di areal ditemukan di lantai hutan dekat dengan genangan air bersama Kalophrynus pleurostigma. Penyebaran Regional: Semenanjung Malaysia, Thailand, dan Indonesia (Sumatera, Kalimantan dan Jawa)

Duttaphrynus melanostictus memiliki benjolan-benjolan hitam yang terbesar di bagian atas tubuh dengan moncong yang runcing. Jenis ini mempunyai alur supraorbital yang bersambung dengan alur supratimpatik dan tidak memiliki alur parietal. Terdapat pula kelenjar parotoid yang berbentuk elips. Jari kaki dan jari tangan hampir sama dalam keadaan tumpul. Pada jari kaki terdapat selaput yang melebihi setengah jari. Jenis ini merupakan kodok paling umum ditemukan di berbagai termasuk perkampungan dan kota yang luas, lahan olahan, tempat terbuka, kebun, parit di pinggiran jalan serta biasa berada di tanah kering, di atas rumput dan di atas serasah. Penyebaran meliputi China, India, Asia Tenggara, Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Ambon dan Papua.

Phrynoidis aspera merupakan jenis kodok sungai yang juga dapat hidup di darat dengan ukuran sangat besar dibandingkan jenis kodok lain dari genus bufonidae dengan penyebaran di Brunei Darussalam, Indonesia (Jawa, Kalimantan, Sulawesi Introduksi, Sumatera), Malaysia (Peninsular Malaysia, Sabah, Sarawak), Myanmar, Thailand. Kodok berukuran besar dan kuat, alur supraorbital dihubungkan dengan kelenjar paratoid oleh alur supratimpanik. Tekstur kuli sangat kasar dan

Megophryidae (Katak Serasah)

Bufonidae (Kodok)

Tana Pera

Page 27: BALAI PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI … · 2020-02-10 · vol. viii/no. 2/2019 balai penelitian dan pengembangan teknologi konservasi sumber daya alam profil: dr. ir. agus

25

berbenjol, diliputi bintil-bintil berduri. Warna coklat tua yang kusam, keabu-abuan atau kehitaman, bagian bawah biasanya tedapat titik-titik hitam, jantan biasanya memiliki kulit dagu kehitaman. Ukuran tubuh jantan 70-100 mm dan betina 95-120 mm. Kelenjar parotoid nampak jelas, berbentuk bulat sampai lonjong, bagian kepala tanpa alur, selaput renang antara jari kaki sampai ke ujung. Dapat dijumpai terbatas dipinggir sungai hutan hujan aliran dan sepanjang sungai siklus hidup dan tercatat hanya dari area hutan lebat. Di sendiri hanya ditemukan 1 ekor yang berhasil diidentifikasi tetapi belum dilakukan pengukuran karena terlepas.

Ingerophrynus quadriporcatus merupakan jenis endemik Indonesia (Sumatera dan Kalimantan) yang hidup didaratan dan air tawar di area rawa, di pinggir sungai di dataran rendah hingga ketinggian 700 m dpl. Kecebong hidup di tanah berair keruh, dewasa berukuran tidak besar akan tetapi lebih besar jika dibandingan dengan Ingerophrynus divergens. Kedua jenis ini mirip, hanya saja Ingerophrynus quadriporcatus lebih gelap dibandingkan Ingerophrynus divergens yang memiliki warna lebih terang dan kontras. Ciri jenis ini antara lain terdapat 4 tonjolan kulit tulang di bagian kepala, dewasa berukuran tubuh sedang panjang 50 mm jantan dan 60 mm betina, tekstur kulit kasar dan tidak rata, dengan bintil-bintil berwarna merah kegelapan. Kelenjar parotoid kecil, berbentuk agak segitiga sampai lonjong dan terlihat jelas. Beberapa individu jantan memiliki leher berwarna kemerahan sampai kehitaman.

Limnonectes leporinus berukuran 90-125 mm dengan warna tubuh coklat kemerahan hingga coklat. Memiliki kepala yang nampak runcing dan jari kaki belakang berselaput penuh. Umumnya dijumpai pada sungai-sungai besar maupun kecil yang berpasir atau berkerikil.

Limnonectes hascheanus berukuran sedang dengan warna coklat dengan bercak hitam. Jari kaki berselaput penuh. Tekstur kulit berbintil-bintil. Warna tubuh cokelat kemerahan sampai cokelat kehitaman. Beberapa individu terdapat warna kuning memanjang pada bagian atas tubuh. Katak ini ditemukan di sungai yang tidak terganggu dataran rendah. Penyebaran Regional: Sumatera dan Kalimantan.

Limnonectes paramacrodon berukuran sedang dengan panjang SVL Jantan berkisar 60–75 mm, sedangkan betina berkisar 55–66 mm. Punggung tegap dan dan bonggol kecil. Terdapat area bercak hitam berkilau pada postocular, dengan tympanium terlihat bersih dan garis hitam memanjang dari ujung moncong sampai menyempit. Bagian perut bawah dan paha berwarna pucat, sementara kepalanya, tubuh bagian atas dan sisi samping berwarna abu-abu atau berwarna coklat kemerahan. Ujung dari jari kaki belakang membulat (dengan selaput diantara jari, kecuali pada jari ke-4), tetapi kaki bagian depan tidak. Habitat jenis ini sementara tercatat hanya

Tana Pera

Dicroglossidae

ditemukan di ketinggian kurang dari 200 m dpl. Secara umum, jenis ini dapat ditemukan di hutan rawa dataran rendah dengan sungai-sungai kecil dan aliran air, akan tetapi di areal Kampung Laham merupakan hutan dataran rendah yang relatif jarang ditemukan sumber air yang berasal dari aliran sungai. Kehadiran Limnonectes paramacrodon mencirikan kualitas hutan Kampung Laham masih cukup baik. Penyebarannya di wilayah Borneo, Singapura, Thailand, Natuna dan Sumatera. Penyebarannya mungkin dapat terjadi lebih luas dari cacatan yang sudah ada.

Limnonectes blythii merupakan katak berukuran besar, kaki belakang panjang dan kuat, moncong tajam. Jari kaki berselaput sampai ke ujung. Kulit halus dengan warna merah sampai coklat. Terdapat garis berwarna coklat gelap dari hidung sampai mata. Jantan memiliki kepala yang lebih besar daripada betina. Jenis ini tersebar luas di Asia Tenggara, dari Vietnam dan Laos, ke Thailand dan Semenanjung Malaysia, Singapura dan Sumatra, Kepulauan Anambas dan Kepulauan Natuna (Indonesia).

Limnonectes kuhlii bertubuh gemuk berotot, panjang tubuh dari moncong ke anus (SVL, snout vent length) sampai dengan 80 mm pada kodok jantan, dan sekitar 70 mm pada yang betina. Kepala lebar dengan pelipis berotot, tangan dan kaki pendek berotot. Timpanum (gendang telinga) tidak jelas atau tidak nampak. Jari kaki berselaput renang penuh hingga ke ujung, jari tangan tanpa selaput renang. Kulit di punggung (dorsal) sangat berkerut-kerut, sebagian membentuk pola serupa bintang, paha, betis dan pantat sering dengan bintil-bintil yang agak besar. Lipatan supratimpanik terlihat jelas, warna punggung bervariasi dari polos kecoklatan atau kehitaman, sampai berbercak-bercak kecoklatan atau kehitaman dengan belang-belang pada kaki. Katak ini menyukai hidup di aliran air yang tenang pada anak sungai dan aliran air yang dangkal, terutama pada genangan-genangan bercampur serasah dedaunan. Juga di genangan di antara batu-batu tepi sungai atau rawa-rawa dangkal.

Limnonectes ingeri ditemukan pertama kali di bagian utara Kalimantan (Borneo) dengan penyebaran hampir merata di beberapa lokasi di Kalimantan dengan ketinggian dataran di bawah 300 m dpl. Di Kalimantan sendiri baru tercatat dari Taman Nasional Kayan Mentarang, Bukit Peninjau, sungai Ngaung Tapah dan sungai Tayan (Kepulauan Karimata). Katak jenis ini berukuran sedang sampai besar mencapai panjang lebih dari 130 mm, perawakan mirip dengan L. leporinus dan L. malesianus, tidak terdapat strip gelap antara mata dan lubang hidung (seperti L. leporinus) dan profil moncong membulat dan bintil memanjang diatas kelopak mata (seperti L. malesianus) tetapi lebih pendek serta dinding telinga tidak sehitam L. malesianus. Sangat umum dijumpai di area terbuka diatas tanah (terestrial) dalam hutan primer dan sekunder dataran rendah, meskipun juga dapat dijumpai perairan berarus lambat dengan dasar berpasir atau bebatuan yang licin berlumut aliran sungai,

Tana Pera

Tana Pera

Page 28: BALAI PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI … · 2020-02-10 · vol. viii/no. 2/2019 balai penelitian dan pengembangan teknologi konservasi sumber daya alam profil: dr. ir. agus

26

daerah rawa atau kawasan dengan sedikit gangguan. Di beberapa lokasi dapat toleran terhadap perubahan habitat seperti ditemukan pada habitat yang sudah konversi, bertahan hidup pada kolam-kolam membentuk koloni baru.

Limnonectes ibanorum berukuran 80-101 mm dengan jari kaki depan tanpa selaput dan jari kaki belakang berselaput hingga ruas terakhir. Tubuh bagian belakang mempunyai lipatan kulit yang tersusun paralel. Berwarna coklat dan dijumpai pada sungai-sungai yang jernih dan berbatu. Jenis ini ditemukan di ketiga plot pengamatan dengan jumlah individu yang melimpah dan merupakan jenis yang paling banyak ditemukan jumlah individunya.

Limnonectes malesianus berukuran 70-150 mm dan memiliki kaki yang besar dimana kaki belakang berselaput renang sampai jari ketiga dan keempat. Memiliki tekstur kulit yang halus berwarna kemerahan dan terdapat garis coklat gelap yang menutupi separuh dari timpanum. Memiliki habitat beragam dari hutan rawa dan hutan dataran rendah.

Limnonectes finchi berukuran sedang 80-100 mm yang kemungkinan pertama kali dan dipublikasi berasal dari Sabah, Malaysia sehingga dianggap sebagai endemik Sabah. Saat ini bukan menjadi endemik Sabah tetapi mungkin endemik Kalimantan (Borneo). Habitat alaminya di hutan tropis basah dataran rendah. Keunikan spesies ini adalah pada proses pengasuhan telur sampai menjadi berudu yang diletakkan diatas punggung (dorsal) jantan dalam area berair dangkal pada lantai hutan.

Occidozyga laevis habitatnya di genangan air atau rawa di hutan alluvial, kubangan berlumpur dan ditepi kolam dalam hutan. Merupakan jenis akuatik yang seringkali dijumpai berdiam di dasar air dangkal, dan biasanya hanya mata dan lubang hidung yang muncul dipermukaan air. Berukuran 30 mm – 48 mm dengan warna punggung (dorsal) coklat atau abu-abu, terkadang terdapat perpaduan warna pada bagian leher. Beberapa individu memiliki strip pada punggung dan perut kekuningan.

Occidozyga baluensis merupakan katak yang habitatnya diperairan dangkal, rembesan atau genangan air jernih umumnya berada dilereng yang tidak terlalu curam. Ciri dari jenis ini yaitu tubuh berukuran kecil berkisar 25 mm – 35 mm, bagian bawah atas (dorsal) berwarna variasi antara coklat, abu-abu atau olive terkadang memiliki bercak gelap. Beberapa individu ada yang berwarna krem dengan spot coklat. Meskipun kecil tetapi terlihat lebih kekar proporsional dibandingkan Occidozyga laevis yang lebih datar. Katak ini sering ditemukan pada spot air yang dasarnya banyak serasah, yang berguna untuk menyembunyikan diri.

Ranidae

Rhacophoridae (Katak Pohon)

Hylarana erythraea bertubuh ramping berukuran 30-45mm (Jantan) dan 50-75mm (Betina). Kulit licin dan halus berwarna hijau zaitun, hijau lumut atau hijau muda di punggungnya. Sepasang lipatan dorsolateral yang jelas, besar, berwarna kuning gading dan kadang disertai dengan garis hitam, terdapat di kanan kiri punggung. Habitatnya di kolam kolam terbuka, tepi telaga, sawah dan lebih sering berada di air. Persebarannya meliputi Indochina, Filipina, Jawa, Sumatera dan Kalimantan, kemungkinan dapat dijumpai di Sulawesi.

Chalcorana chalconata memiliki kecendrungan soliter sedangkan Amnirana nicobariensis lebih sering ditemukan secara berkelompok. Chalcorana chalconata tidak mudah ditemukan didaratan (terestrial) meskipun termasuk dalam kelompok Ranidae akan tetapi lebih umum dijumpai diatas vegetasi semak ataupun pohon seperti halnya kelompok katak pohon Rhacophoridae khususnya genus Polypedates. Sedangan Amnirana nicobariensis umumnya mendiami spot-spot air di areal terbuka. Perjumpaan jenis A. nicobariensis yang sangat jarang dapat menjadikan indikasi bahwa areal sekitar yang lebih luas relatif masih baik dan belum terdegradasi. Berbeda halnya jika jenis A. nicobariensis mudah ditemukan dalam jumlah banyak mengindikasikan bahwa suatu areal telah terdegradasi secara masif.

Amnirana nicobariensis berukuran kecil dan perawakan ramping, memiliki kaki yang panjang dan ramping serta jari kaki setengahnya berselaput. Ukuran tubuhnya sekitar 35-50 mm. Tekstur kulit berbintil tetapi halus dan lipatan dorsalateral yang halus. Biasanya terdapat di perbatasan hutan daerah yang terganggu dimana terdapat air yang mengalir lambat atau tergenang.

Pulchrana picturata berukuran 33-68 mm dengan kepala berbentuk segitiga dan jari kaki belakang berselaput lebih dari separuh bagian. Memiliki warna coklat tua hingga hitam dengan noktah-noktah berwarna kuning pada bagian punggung, sisi tubuh dan kaki. Selalu dijumpai di tepian sungai-sungai berukuran kecil dan sedang, pada tumbuhan herba atau akar dan terkadang dijumpai agak jauh dari sungai.

Meristogenys jerboa katak yang sering kali dijumpai malam hari bertengger pada batu besar atau vegetasi yang tumbuh pada bebatuan besar di sungai. Betina berukuran panjang mencapai 82 mm, tetapi jantan biasanya berukuran lebih kecil seperti pada umumnya katak jenis lain.

Polypedates macrotis berukuran 45-85 mm yang memiliki kepala segitiga dan mata yang relatih besar. Tubuh berwarna

Page 29: BALAI PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI … · 2020-02-10 · vol. viii/no. 2/2019 balai penelitian dan pengembangan teknologi konservasi sumber daya alam profil: dr. ir. agus

coklat kayu pada bagian punggung dan coklat pada bagian kepala, mempunyai garis coklat tua mulai dari belakang mata menutupi timpanum, dan terkadang mempunyai sepasang garis hitam pada bagian punggung. Hidup di dalam hutan primer maupun hutan sekunder. Biasanya dijumpai pada habitat kolam-kolam kecil, sungai kecil, perbukitan dan area terganggu di hutan sekunder juga dijumpai dipinggir hutan primer pada vegetasi bawah dan berasosiasi dengan Rhacophorus pardalis dan Polypedates otilophus. Di areal terganggu seperti di pinggir kolam bekas pertambangan juga banyak ditemukan. Jenis ini menyukai karakter habitat bervegetasi rendah dengan air disekitarnya Penyebaran di Asia Tenggara dan di Indonesia penyebarannya hampir merata dibeberapa daerah.

Polypedates leucomystax berukuran sedang, jari melebar dengan ujung rata. Kulit kepala menyatu dengan tengkorak. Jari tangan setengahnya berselaput, sedangkan jari kaki hampir sepenuhnya berselaput. Tekstur kulit halus tanpa bintil dan lipatan. Bagian bawah berbintil granular yang jelas. Warna biasanya coklat keabu-abuan, satu warna atau dengan bintik hitam atau dengan garis yang jelas memanjang dari kepala sampai ujung tubuh. tersebar luas di beberapa negara diantaranya India, Bangladesh, Nepal, China, sampai di Asia Tenggara. Katak ini hidup di antara tetumbuhan atau sekitar rawa dan bekas tebangan hutan sekunder dan dapat bertoleransi diberbagai habitat alami (dipingir atau luar hutan, danau, rawa) ataupun buatan (area pertanian, parit, kolam, taman, dekat pemukiman)

Polypedates colletti, katak pohon yang berukuran 44-77 mm dengan kepala segitiga dan moncong runcing. Warna pola seperti jam pasir berwarna coklat tua biasanya terdapat di bagian atas punggung, namun kadang-kadang terdapat pola lain. Hidup di dalam hutan primer, sekunder dataran rendah dan rawa gambut.

Rhacophorus pardalis, katak pohon yang berukuran 39-71 mm dan memiliki moncong yang bulat. Jari kaki belakang dan tiga jari terluar kaki depan berselaput penuh, bagian lengan terdapat kulit yang bulat. Memiliki warna tubuh coklat kemerahan sampai berwarna gelap dengan bagian pinggir tubuh berbintik-bintik hitam dan terkadang terdapat bintik kuning pada bagian atas tunit dan punggung. Warna perut pada umumnya krem dengan jala berwarna merah. Hidup di dalam hutan primer maupun sekunder dataran rendah. Sering dijumpai di pinggiran sungai-sungai yang mengalir lambat sampai agak deras, lebih umum pada kolam-kolam kecil bekas kubangan.

Rhacophorus cyianopunctatus, katak pohon berukuran kecil dengan mata kecil dan terdapat bercak putih pada bagian bawah mata. Jari berselaput setengah sampai sepertiga bagian. Memiliki tekstur kulit yang halus pada bagian atas dan kasar berkerikil pada bagian bawah. Mepunyai warna coklat pada

bagian kepala dan warna yang lebih gelap pada bagian mata dan memiliki sisi hitam dengan nomor titik terang biru muda dan biasanya bagian atas jari kaki bagian dalam memiliki pola yang sama. Ukuran jantan: 28-35 mm dan betina: 34-43 mm. spesies ini ditemukan hanya di hutan primer pada ketinggian rendah.

Rhacophorus gauni, katak pohon berukuran kecil dan mempunyai tubuh yang ramping dengan moncong yang sangat pendek dan menonjol serta mata yang melotot. Ukuran tubuh pada jantan: 26-30 mm dan betina: 35-38 mm. Semua jari berselaput kecuali jari yang keempat. Memiliki tekstur kulit yang halus dan berwarna coklat terang dengan beberapa bintik hitam serta waarna kuning keemasan pada pangkal paha. Jenis ini hidup di hutan primer dan biasanya dijumpai pada pohon-pohon di sekitar sungai dan sungai yang berbatu.

Rhacophorus harrissoni, katak berukuran kecil dengan kepala lebar dan moncong yang pendek. Jari-jari kaki berselaput kecuali jari keempat. Memiliki Kulit yang halus di bagian kepala dan belakang serta memiliki butiran di dada dan perut. Memiliki warna yang pucat abu-abu-hijau dan berpasir coklat. Sisi tubuh dan permukaan bagian dalam kaki biasanya kuning dengan beberapa bintik-bintik hitam. Ukuran jantan: 31-33 mm dan betina: 45-51 mm. Tubuh berbentuk oval dan agak pipih di atas. Bibir sekitar mulut yang lebar dan membentuk struktur seperti cangkir. Katak ini hidup di hutan primer dan umumnya dijumpai di sekitar sungai yang berbatu.

Kalophrynus pleurostigma, katak yang berukuran sedang sampai 60 mm dengan kepala sempit dan memiliki moncong runcing dan tertutup seluruhnya oleh bintil-bintil kecil runcing. Satu garis tipis dari ujung moncong sampai ke tepi mulut lipatan paha dengan bulatan hitam dikelilingi oleh garis tipis. Mempunyai tekstur kulit yang kasar terutama pada jantan yang biasanya tertutup oleh bintil-bintil kecil. Kulitnya mempunyai kelenjar yang mengeluarkan cairan sangat pekat. Warna tubuh coklat kemerahan sampai mendekati hitam, satu garis tipis dari moncong sampai ke selangkangan, bercak hitam di depan kaki belakang. Jantan biasanya mempunyai kulit berduri. Hampir selalu di jumpai diantara serasah di dalam hutan-hutan.

Microhyla berdmorei, katak yang berukuran kecil dengan kaki belakang yang panjang dan gendang telinga yang tidak terlihat. Memiliki jari yang jelas dan ujung jari sedikit melebar. Pada tubuh bagian belakang berwarna abu-abu sampai coklat dengan tanda yang berwarna coklat tua atau ungu di tengah-tengah punggung. Pada bagian dada dan perut memiliki bintik-bintik coklat dan putih. Ukuran tubuh pada jantan 17-18 mm dan pada betina 19-23 mm. Spesies ini hidup di hutan primer dan hutan dataran rendah dan umumnya dijumpai di lantai hutan dan pada saaat berkembangbiak di temukan di dalam kubangan.

Microhylidae (Katak bermulut sempit)

27

Page 30: BALAI PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI … · 2020-02-10 · vol. viii/no. 2/2019 balai penelitian dan pengembangan teknologi konservasi sumber daya alam profil: dr. ir. agus

REPTILIA

Sedangkan dari hasil survei singkat tercatat 9 spesies reptil yang tediri dari 6 kelompok famili diantaranya: Colubridae (1 spesies), Phytonidae (1 spesies), Agamidae (1 spesies), Scincidae (3 spesies), Geckonidae (2 spesies), Varanidae (1 spesies). Dari hasil temuan spesies reptil relatif lebih rendah dibandingkan dengan amfibi, walaupun jumlah spesies reptil yang ada di Kalimantan sebenarnya lebih banyak dibandingkan amfibi. Peluang perjumpaan yang kecil untuk menemukan reptil dapat disebabkan oleh beberapa faktor baik dari faktor internal (perilaku reptil) ataupun faktor lingkungan serta pemilihan lokasi dan waktu survei. Survei belum dilakukan secara intensif untuk melakukan pencarian reptil di lokasi terrestrial, arboreal dan fossorial dengan waktu survei hanya dilakukan pada malam hari terkadang hanya menemukan spesies-spesies reptil yang aktif pada malam hari ataupun reptil yang beristirahat ditempat terbuka.

Aplopeltura boa, tubuh ular ini sangat ramping, sisik vertebralnya lebih besar dari sisik dorsal. Warna tubuhnya ada yang kekuningan, keabu-abuan atau cokelat gelap dengan titik-titik lebih gelap. Kepalanya pendek, tumpul dan besar. Bibirnya berwarna putih dan matanya berukuran besar. Sisik pada bibir atas tidak menyentuh mata karena dibatasi oleh sisik sub-okular. Termasuk jenis ular yang tidak berbisa yang makanan utamanya adalah siput, keong dan kadal ini hidup secara arboreal di pohon. Penyebaran Regional: Myanmar, Brunei, Thailand selatan, Malaysia, Indonesia (Nias, Sumatera, Bangka, Kep Natuna, Kalimantan, Jawa) dan Filipina.

Malayophyton reticulatus, jenis ular terpanjang di dunia dengan panjang dapat mencapai lebih dari 10 m. Pupil vertikal, terdapat lubang sensor panas pada labial. Kepala berwarna coklat, terdapat garis hitam di belakang mata sampai dibelakang sisik labial. Dorsal cokelat dengan pola garis hitam tidak teratur dengan tepi kuning. Bagian samping terdapat pola segitiga gelap dengan warna putih ditengah. Termasuk jenis ular yang tidak berbisa. Habitat: Umum dijumpai di dekat sungai dan dataran rendah. Penyebaran Regional: Seluruh kawasan Asia Tenggara, Indonesia (Sumatera, Kalimantan, Jawa dan Sulawesi).

Aphaniotis ornata (Bunglon Pinokio/berhidung daun) memiliki ciri-cirinya pada bagian kepala membentuk sudut

Colubridae

Phytonidae (Sanca)

Agamidae (Bunglon)

dengan ujung moncong terdapat bagian yang menonjol panjang seperti kutil, tubuh ramping dengan kaki belakang panjang. Warna tubuh dominan coklat dengan bintik coklat muda, kepala berwarna coklat atau hijau zaitun, kaki belakangnya berwarna coklat atau zaitun gelap. Beberapa specimen memiliki garis mata diagonal yang tidak jelas dan gelap.

Eutropis indeprensa kadal terestrial yang habitatnya diarea terbuka dalam hutan dataran rendah dan area terganggu lainnya, terkadang dijumpai disekitar pemukiman dekat dengan hutan. Tubuh padat bagian atas (dorsal) berwarna kecoklatan atau coklat terang, terdapat bercak coklat pada bagian bawah tubuh, dan di leher biru keabu-abuan. Penyebaran di Filipina dan Borneo. (Das, 2004). Meskipun termasuk jenis terestrial, perjumpaan kadal ini di Tana Pera tidak dipermukaan tanah (terestrial) tetapi merayap batang pohon.

Kadal kebun (Eutropis multifasciata) kadal terestrial banyak dan paling sering dijumpai pada kawasan yang terbuka atau terganggu yang ditutupi serasah, di sekitar persawahan, perkebunan dan semak belukar. Tubuh berwarna coklat dibagian atas dan kekuningan atau jingga di bagian bawah sekitar leher. Penyebarannya meliputi Cina, India, dan di Asia Tenggara. Di Indonesia menyebar hampir di seluruh kepulauan.

Eutropis rudis relatif tidak mudah ditemukan, selain karena bersembunyi didalam semak juga memiliki kemiripan dengan Eutropis multifasciata apabila pengamatan kurang teliti apalagi untuk ukuran yang kecil sampai sedang. Berbeda ketika pengamatan individu tersebut untuk ukuran besar, karena E. rudis hanya berukuran kecil sampai sedang sehingga bila berukuran besar dapat dipastikan jenis tersebut adalah E. multifasciata. Meskipun apabila dapat ditangkap akan memudahkan untuk identifikasi karena E. rudis memiliki ciri yang khusus pada bagian punggung sisi kanan dan kiri yaitu garis warna gelap yang jelas perbedaannya dengan bagian lain disekitar badan.

Cyrtodactylus cavernicolus (Cecak Gua) merupakan merupakan bangsa cecak yang diklaim sebagai endemik Serawak, kemungkinan karena pertama kali ditemukan di temukan di Serawak (Utara Kalimantan). Sebenarnya tidak ada yang membatasi penyebaran di Kalimantan karena menjadi satu daratan. Lebih tepatnya saat ini menjadi spesies endemik Kalimantan (Borneo). Disebut Cecak Gua karena sering ditemukan dalam gua, di lubang-lubang tanah atau lubang-

Scincidae (Kadal)

Geckonidae (Cecak)

28

Page 31: BALAI PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI … · 2020-02-10 · vol. viii/no. 2/2019 balai penelitian dan pengembangan teknologi konservasi sumber daya alam profil: dr. ir. agus

Jenis Reptil ditemukan di kawasan hutan adat Tana Pera

Eutropis rudis Eutropis indeprensa

Aphaniotis ornata Cyrtodactylus cavernicolus

Eutropis multifasciata

A

F

Cyrtodactylus ingerii

G

Malayaphyton reticulatus

H

Aplopeltura boa

I

Varanus salvator

Teguh M

uslim

dan A

mir M

a’ruf

B C

D E

29

Page 32: BALAI PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI … · 2020-02-10 · vol. viii/no. 2/2019 balai penelitian dan pengembangan teknologi konservasi sumber daya alam profil: dr. ir. agus

lubang pada batang pohon. Memangsa kecoa, serangga terbang berukuran kecil.

Cyrtodactylus ingerii (Cecak Jari Busur) merupakan endemik Kalimantan (Borneo) yang habitatnya menyebar di daerah riparian, hutan dataran rendah di bawah 800 m dpl, Habitatnya terestrial dan arboreal lebih mudah ditemukan pada malam hari, lebih sering memangsa laba-laba daripada serangga lainnya. Disebut juga sebagai cecak jari busur karena mirip dengan panah yang lebih tepatnya pangkal anak panah (>>>),

Varanus salvator ditemukan pada saat survei malam hari dekat dengan aliran sungai kecil diperbatasan kebun karet dengan kawasan hutan. Varanus salvator yang ditemukan berukuran kurang dari 1 meter dan masih memiliki corak warna yang terang dan diperkirakan berusia dewasa muda. Jenis ini juga dapat memanjat pohon untuk yang berukuran kecil sampai sedang tetapi hal itu jarang dilakukan. Varanus salvator memiliki corak warna yang lebih menyolok dengan variasi beberapa warna terutama pada saat umur anakan sampai dewasa muda. Sedangkan pada umur dewasa tua cenderung berwarna gelap.

AmphibiaWeb, 2018. https://amphibiaweb.org/cgi-bin/amphib_query -- Search Results Diunduh tanggal 11 Oktober 2018

Das, I. 2004. A Pocket Guide. The Lizards of Borneo. Natural History Publications (Borneo) Sdn Bhd. Kota Kinabalu

Varanidae (Biawak)

Sumber Acuan

Kurniati, H dan E. Sulistyadi. 2016. Kepadatan Kodok Fejervarya Cancrivora di Persawahan Daerah Kabupaten Kerawang, Jawa Barat pada Tahun 2016. Laboratorium Ekologi Bidang Zoologi, Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Cibinong, Juni 2016

Iskandar D.T, Mumpuni. 2004. Ingerophrynus biporcatus. The IUCN Red List of ThreatenedSpecies2004:e.T54588A11156606.http://dx.doi.or g/10.2305/IUCN.UK.2004. RLTS.T54588A11156606.en. Downloaded on 18 August 2016.

Iskandar, D. T. 1996. The biodiversity of the amphibians and reptiles of the Indo-Australian archipelago: assessment for future studies and conservation, p. 353-365 in Turner, I. M., Diong, C. H., Lim, S. S. L., and Ng, P. K. L. (editors). Biodiversity and the Dynamics of Ecosystems (DIWPA Series) Volume 1.

Inger R.F., dan R. B. Stuebing. A Field Guide To The Frogs of Borneo. 2005. Natural History Publication (Borneo). Kota Kinabalu.

IUCN SSC Amphibian Specialist Group 2018. Limnonectes ingeri. The IUCN Red List of Threatened Species 2018:….http://dx.doi.org/10.2305/IUCN.UK.2018...Di unduh tanggal 15 Januari 2019

Kusrini MD, A. Mardiastuti dan T. Harvey. 2003. Konservasi Amfibi dan Reptil di Indonesia. Bogor: Fakultas Kehutanan IPB. Hal. 27-44.

Malkmus R., U. Manthey, G. Vogel, P. Hoffmann dan J. Kosuch. 2002. Amphibians and Reptiles of Mount Kinabalu (North Borneo). Germany

Mistar. 2008. Panduan Lapangan Amfibi dan Reptil di Areal Mawas Provinsi Kalimantan Tengah (Catatan Di Hutan Lindung Beratus). The Borneo Orang Utan Survival Foundation. Palangkaraya. 118 hlm.

Muslim, T. 2017. Herpetofauna community establishment on the micro habitat as a result

of land mines fragmentation in East Kalimantan, Indonesia. BIODIVERSITAS. Volume 18, Number 2, April 2017 E-ISSN: 2085-4722. Pages: 709-714 DOI: 10.13057/biodiv/d180238

Stuebing R.B, dan R.F. Inger. A Field Guide To The Snakes of Borneo. 1999. Natural History Publication (Borneo). Kota Kinabalu.

The Reptile Database, 2018. http://reptiledatabase.reptarium.cz/advanced. Diunduh tanggal 11 Oktober 2018

30

Page 33: BALAI PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI … · 2020-02-10 · vol. viii/no. 2/2019 balai penelitian dan pengembangan teknologi konservasi sumber daya alam profil: dr. ir. agus

Tri Sayektiningsih[Peneliti pada Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Makassar]

Tana Pera: Wujud Kepedulian

Masyarakat Laham untuk Melindungi Hutan

Disekitarnya

Bina S

wasta

Sitepu

Hutan Adat Tana Pera yang berbatasan dengan ladang masyarakat

Page 34: BALAI PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI … · 2020-02-10 · vol. viii/no. 2/2019 balai penelitian dan pengembangan teknologi konservasi sumber daya alam profil: dr. ir. agus

32

Kondisi Sosial Masyarakat Kampung Laham

Laham adalah kampung yang identik dengan Suku Dayak Bahau. Nenek moyang mereka berasal dari Kalimantan Utara tepatnya di daerah perbatasan antara Indonesia dan Malaysia. Dari segi jumlah penduduk, Dayak Bahau jumlahnya mendominasi. Di Kampung Laham juga terdapat etnis lain seperti Dayak Kayan (terbesar kedua), serta suku Jawa dan Banjar tetapi dengan proporsi yang sangat kecil. Suku Jawa dan Banjar yang menetap di Laham biasanya adalah pekerja pada kantor kecamatan atau istri yang mengikuti suami.

Kampung Laham dipimpin oleh seorang petinggi. Sama seperti kepala desa, pemilihan petinggi langsung dipilih oleh warganya setiap 5 tahun sekali. Dalam menjalankan pemerintahannya, petinggi dibantu oleh staf desa seperti sekretaris desa, kepala seksi pemerintahan, kepala seksi kesejahteraan, kepala seksi pelayanan dan RT.

Sebagian besar masyarakat Laham bekerja sebagai petani atau peladang. Sistem pertanian yang diterapkan di desa tersebut adalah gilir balik. Pada teknik ini, petani membuka ladang dan menanaminya dengan padi. Setelah panen dan berkurang kesuburannya, petani akan berpindah dan membuat

Laham merupakan nama sebuah kampung yang terletak di tepi sungai Mahakam tepatnya di Kecamatan Laham, Kabupaten Mahakam Ulu, Kalimantan Timur. Bagi

sebagian kelompok masyarakat terutama penganut Katolik, Laham sudah tidak asing lagi karena dari kampung kecil inilah upaya penyebaran agama Katolik di Kalimantan Timur dimulai yang akhirnya berkembang sampai Kalimantan Selatan. Tidak hanya dari sisi religi, bagi sebagian orang yang aktif dalam kegiatan pendampingan masyarakat, Kampung Laham memiliki nilai tersendiri yang patut diteladani oleh kampung lainnya di Indonesia. Ya, masyarakat Laham adalah salah satu contoh masyarakat yang peduli akan kelestarian hutan dan bentuk kepedulian tersebut diref leksikan dengan pembentukan Tana Pera.

Tulisan ini akan membahas tentang Tana Pera yang ada di Kampung Laham dan mengapa masyarakat membentuknya. Tulisan akan dimulai dengan gambaran singkat kondisi masyarakat di Kampung Laham, asal mula Tana Pera, dan ringkasan singkat tentang persepsi masyarakat terhadap Tana Pera. Bahan yang menjadi rujukan dalam tulisan ini adalah hasil kegiatan yang dilakukan oleh Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam (Balitek KSDA) – dimana dahulu penulis bertugas - dengan bekerjasama dengan WWF Kutai Barat Project.

Upacara pernikahan di kampung Laham

Bina S

wasta

Sitepu

Page 35: BALAI PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI … · 2020-02-10 · vol. viii/no. 2/2019 balai penelitian dan pengembangan teknologi konservasi sumber daya alam profil: dr. ir. agus

33

Pola pemanfaatan ruang di Laham termasuk menarik untuk diketahui. Pola pemanfaatan ruang terdiri dari hutan desa, hutan paroki, Tana Pera, kebun perorangan, lahan cadangan, lembo masyarakat, dan kebun kelompok tani. Hutan paroki dan Tana Pera masih berupa rencana. Meskipun demikian, pola lahan tersebut sudah diakui oleh seluruh masyarakat. Hutan desa merupakan tutupan vegetasi yang harus dirawat oleh masyarakat. Mereka boleh memanfaatkannya tanpa harus menebang atau merusak. Hutan paroki adalah hutan umat yang dibangun dengan tujuan utama untuk membantu kelangsungan paroki atau gereja. Tana Pera, selanjutnya, merupakan hutan yang dilindungi oleh masyarakat dimana masyarakat tidak boleh menebang kayu didalamnya kecuali dengan alasan tertentu. Kebun perorangan merupakan ladang atau lahan yang dimiliki oleh pribadi. Lahan cadangan merupakan tanah yang dapat dimanfaatkan sewaktu-waktu. Biasanya lahan cadangan berupa belukar yang dulunya merupakan lahan yang digunakan untuk ladang. Lembo adalah istilah yang ditujukan untuk kebun buah masyarakat. Lembo biasanya dimiliki oleh keluarga dan dapat diturunkan ke anggota keluarga yang lain.

ladang baru. Dalam jangka waktu beberapa tahun kemudian, petani akan kembali ke ladang yang lama setelah yakin ladang bekas telah kembali kesuburannya. Sistem gilir balik sebenarnya merupakan salah satu bentuk kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat. Dalam teknik ini, masyarakat tidak membutuhkan pupuk buatan pabrik tetapi lebih bergantung kepada pupuk alami berupa abu sisa pembakaran belukar atau hutan. Namun, di kemudian hari, sistem gilir balik ini menimbulkan keresahan apabila dilihat dari sisi pembukaan areal baru terutama jika harus membuka hutan.

Sistem pemilikan lahan di Laham adalah sistem perorangan. Akan tetapi, ladang atau lahan tersebut dapat diwariskan, disewakan, ataupun dijual kepada pihak lain. Batas pemilikan ladang adalah batas alam seperti sungai dan pematang. Pohon-pohon buah seperti durian juga kadang-kadang dimanfaatkan oleh beberapa warga untuk menandai ladang mereka. Dalam pengaturan pola ladang, petani memiliki aturan tersendiri. Menurut adat Dayak Bahau, ladang-ladang milik petani tidak boleh disusun memotong satu sama lain melainkan harus dalam posisi sejajar. Ladang-ladang tersebut umumnya ditanami padi oleh petani. Walaupun memiliki ladang yang luas, petani hanya menanam padi dalam luasan yang kecil (< 2 ha).

Masyarakat Kampung Laham mengambil rotan untuk dijadikan kerajinan tangan

Bina S

wasta

Sitepu

Page 36: BALAI PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI … · 2020-02-10 · vol. viii/no. 2/2019 balai penelitian dan pengembangan teknologi konservasi sumber daya alam profil: dr. ir. agus

34

Tana Pera

Pera dalam Bahasa Dayak Bahau berarti disayang. Dengan demikian, secara sederhana Tana Pera dapat diartikan sebagai tanah yang disayangi atau dilindungi oleh masyarakat. Tana Pera sendiri adalah hutan seluas kurang lebih 430 ha yang letaknya di seberang kampung Laham. Untuk menuju Tana Pera, warga harus menyeberangi Sungai Mahakam terlebih dahulu dengan menggunakan perahu. Penunjukkan dan penetapan Tana Pera adalah murni dari warga dan merupakan hasil kesepakatan kampung. Hal demikian cukup menarik karena di tengah-tengah gempuran perusahaan sawit yang tengah berkembang di sekitar desa, warga masih memiliki kesadaran akan pentingnya keberadaan hutan. Bahkan, warga sendiri dengan tegas menolak kehadiran sawit di desa mereka. Terdapat beberapa alasan mengapa warga sangat menginginkan pembentukan Tana Pera.

Pertama, Tana Pera menyimpan potensi keanekaragaman hayati yang cukup tinggi menurut warga. Di dalam Tana Pera masih terdapat pohon-pohon berdiameter besar terutama dari jenis meranti yang sangat dibutuhkan oleh warga. Perlu diketahui, warga Laham sebagian besar adalah penganut Katolik yang taat, seperti umat Katolik lainnya saat meninggal mereka membutuhkan peti mati. Pohon-pohon besar di Tana

Pera tersebut dilindungi dengan maksud untuk menjaga ketersediaan bahan baku peti mati yang dibutuhkan warga pada acara penguburan jenazah. Selain untuk peti mati, kekayaan hayati yang ada di dalam Tana Pera juga diperlukan warga untuk menunjang upacara ritual Suku Dayak serta keperluan hidup sehari-hari. Sebagai contoh, warga mengambil daun biru (Johannesteijsmannia altifrons) untuk membuat saraung (caping khas Dayak) yang biasa dipakai ke ladang atau upacara adat.

Kedua, aktivitas perladangan dengan sistem gilir balik ternyata menimbulkan kekhawatiran bagi sebagian warga. Sistem gilir balik memungkinkan warga untuk membuka dan memiliki tanah yang luas. Sehingga memungkinkan terjadinya pembukaan hutan dalam skala yang luas. Untuk mencegah kerusakan yang lebih besar, beberapa warga berinisiatif untuk membuat Tana Pera dengan maksud untuk melindungi hutan yang masih ada sekaligus untuk membatasi aktivitas pembukaan ladang baru oleh warga. Saat ini walaupun sistem gilir balik masih diterapkan, warga akan kembali ke ladang bekas yang telah ditinggalkan jika ladang yang telah ditanami berkurang kesuburannya.

Ketiga, bagi masyarakat Tana Pera yang ada sekarang memiliki sejarah tersendiri yang tidak bisa dilepaskan dari

Proses pembuatan saraung oleh salah satu pengrajin di Kampung Laham

Tri Sayektinigsih

Page 37: BALAI PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI … · 2020-02-10 · vol. viii/no. 2/2019 balai penelitian dan pengembangan teknologi konservasi sumber daya alam profil: dr. ir. agus

35

sejarah Kampung Laham. Menurut tokoh adat, sebelum di tempat sekarang, Kampung Laham berada di Tana Pera. Menurut cerita pada jaman dahulu ada seorang pendekar yang menemukan kulit ular. Bukan kulit ular biasa, kulit ular yang ditemukan bisa menghilangkan sesuatu, misalnya jika kulit ular tersebut dikaitkan di senjata maka senjata tersebut bisa tak kasat mata. Pada saat itu, perang suku banyak terjadi sehingga kulit ular tersebut biasa digunakan untuk melindungi desa. Namun, karena alasan tertentu kulit ular tersebut disalahgunakan sehingga menghilangkan satu desa. Bagi beberapa orang yang masih tinggal di Tana Pera, hilangnya desa menimbulkan suasana yang kurang nyaman. Mereka sering mendengar suara-suara aneh seperti kokok ayam atau suara orang bercakap-cakap. Akibat ketidaknyamanan tersebut mereka meninggalkan Tana Pera. Bagi orang Laham Tana Pera disebut juga tana langah yaitu tanah yang hilang. Dengan demikian, Tana Pera memiliki arti tersendiri bagi warga. Beberapa warga mungkin masih percaya jika salah satu anggota dari keluarganya dari generasi terdahulu pernah ada dan ikut hilang di Tana Pera. Untuk tetap menjaga ikatan keluarga tersebut warga yang ada sekarang berusaha untuk mempertahankan dan melindungi Tana Pera.

Tana Pera merupakan hutan yang dilindungi dan ditetapkan berdasarkan kesepakatan warga. Akan tetapi, sampai saat ini, Tana Pera belum memiliki status hukum karena keberadaannya belum diakui oleh pemerintah kabupaten. Sehingga, sampai sekarang masyarakat terus berjuang untuk memperoleh status hukum tersebut. Dalam rangka mendorong percepatan proses tersebut, saat ini warga Kampung Laham dengan didampingi oleh WWF berupaya untuk memenuhi segala persyaratan yang diperlukan, yaitu salah satunya dengan melakukan survei persepsi. Survei tersebut dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana pengetahuan masyarakat tentang Tana Pera dan bagaimana sikap mereka terhadap Tana Pera. Dengan kata lain apakah masyarakat mendukung Tana Pera atau sebaliknya.

Secara umum, masyarakat sudah mengetahui Tana Pera sebagai tanah atau hutan yang dilindungi. Pengertian mereka tentang Tana Pera juga bermacam-macam. Ada yang menyebut Tana Pera sebagai tanah yang disayangi, hutan adat, hutan yang disegel untuk suatu rencana ke depan dan beberapa pengertian lainnya. Tetapi, inti dari pengetahuan masyarakat mengisyaratkan jika Tana Pera adalah tanah yang dilindungi. Dari pengertian tersebut sudah jelas bahwa segala aktivitas warga dalam Tana Pera dibatasi. Warga tidak diperkenankan secara sembarangan menebang pohon didalamnya atau

Persepsi Masyarakat Laham Terhadap Tana Pera dan Hutan Disekitarnya

berburu satwa. Hal demikian dimaksudkan untuk kebaikan warga Kampung Laham sendiri yang sebagian keperluan hidupnya bergantung terhadap hutan.

Tana Pera secara hukum berada dalam wilayah hukum adat Kampung Laham dan secara administrasi berada di bawah pengelolaan kampung. Aturan-aturan pemanfaatan hasil hutan sudah tertuang secara lengkap dalam sebuah buku peraturan, namun belum disosialisasikan. Hal ini berakibat pada perbedaan persepsi dalam pemanfaatan hasil hutan. Bagi beberapa warga, hasil hutan dalam Tana Pera sama sekali tidak boleh dimanfaatkan. Dengan kata lain, Tana Pera mutlak dilindungi. Sebagian warga yang lain menyebutkan bahwa masyarakat Laham boleh memanfaatkan hasil hutan dalam Tana Pera terutama jenis-jenis yang biasa dimanfaatkan untuk keperluan sehari-hari atau adat. Warga juga menyebutkan bahwa pengambilan hasil hutan berupa satwa liar sebaiknya diperbolehkan khususnya satwa-satwa yang bersifat hama seperti babi hutan. Perbedaan pendapat yang terjadi di masyarakat membawa konsekuensi berupa pentingnya penyamaan persepsi melalui sosialisasi atau dengan menggelar pertemuan-pertemuan khusus di balai adat. Penyamaan persepsi menjadi penting karena salah satunya terkait dengan penegakan sanksi jika terjadi pelanggaran.

Masyarakat Laham secara tegas menyebutkan jika keberadaan Tana Pera bukan menjadi suatu ancaman terhadap aktivitas berladang mereka. Masyarakat tidak merasa dibatasi aktivitasnya dalam membuka ladang dengan adanya Tana Pera. Menurut mereka, apabila kesuburan lahan sudah tidak baik, ladang bekas bisa dimanfaatkan kembali. Selain itu, tanda batas Tana Pera di lapangan sudah jelas sehingga mereka dengan sadar akan mengikutinya. Sebaliknya, masyarakat memberikan dukungan moril terhadap upaya mendapatkan pengakuan status hukum Tana Pera serta terhadap upaya pelestariannya. Beberapa warga juga memberikan dukungan berupa tenaga dan pikiran yang beberapa diantaranya diwujudkan dalam keaktifannya mengikuti pertemuan kampung yang membahas Tana Pera serta memasang tanda batas di lapangan. Tingginya dukungan masyarak at tersebut se lanjutnya ak an menguntungkan pihak pengelola karena akan lebih mudah untuk mengimplementasikan program-program pengelolaan dan konservasi Tana Pera.

Menurut masyarakat, hutan yang ada di sekitar kampung saat ini kondisinya sudah memprihatinkan. Rusaknya hutan ditandai dengan semakin jauh dan susahnya untuk mencari hasil hutan. Sebagai contoh, jika dahulu babi hutan mudah ditemukan dan tidak membutuhkan waktu lama untuk berburu, sekarang untuk menangkap seekor babi hutan warga harus masuk jauh ke dalam hutan bahkan sampai menginap.

Page 38: BALAI PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI … · 2020-02-10 · vol. viii/no. 2/2019 balai penelitian dan pengembangan teknologi konservasi sumber daya alam profil: dr. ir. agus

36

Penyebab rusaknya hutan, menurut warga, dapat dihubungkan dengan berkembangnya perusahaan sawit. Perkebunan sawit yang sedang berkembang sekarang ini membutuhkan lahan yang luas untuk memenuhi target produksinya. Akibatnya, berhektar-hektar hutan dikonversi menjadi areal sawit untuk tujuan tersebut. Hutan yang ada di Kampung Laham pun bahkan sempat akan dialih fungsikan untuk sawit. Beruntungnya, masyarakat sadar dan menolak upaya tersebut. Menurut responden, konversi hutan menjadi sawit tidak hanya merugikan dari aspek ekologi tetapi juga sosial dan ekonomi masyarakat. Mereka berpendapat jika sawit diijinkan beroperasi, masyarakat Laham akan kehilangan hak untuk mengolah tanah dan hutan serta tidak bisa lagi memungut hasil hutan.

Pelajaran yang bisa dipetik dari Laham

Tana Pera di Laham memberikan wawasan yang cukup berharga akan pentingnya kesadaran masyarakat dalam upaya konservasi hutan dan biodiversitas yang ada didalamnya. Rusaknya hutan Indonesia yang sekarang ini terjadi selain disebabkan karena kebakaran, pembangunan jalan yang memotong kawasan konservasi, perubahan fungsi hutan menjadi perkebunan, hutan monokultur, tambang, dan industri lainnya, juga disebabkan oleh rendahnya partisipasi masyarakat dalam menjaga dan merawat hutan. Di Indonesia kerap terjadi, dengan dalih pemenuhan kebutuhan dan kemiskinan, sebagian masyarakat masih melakukan perambahan hutan, berburu satwa dilindungi, memungut tumbuhan atau pohon langka dan melakukan tindakan lainnya yang merusak hutan. Tindakan tersebut terjadi salah satunya dikarenakan masyarakat tidak mengetahui fungsi hutan sebagai aset masa depan selain manfaat langsung seperti kayu dan satwa liar yang bernilai ekonomi. Berbeda dengan Laham, masyarakat Laham secara sadar mengakui bahwa hutan adalah harta berharga, terlebih karena mereka adalah Suku Dayak yang telah lama dikenal memiliki keterikatan dengan alam. Hasil wawancara menunjukkan bahwa sebagian orang di Laham menginginkan agar sumber daya yang dinikmati sekarang, seperti kayu meranti, ulin, tumbuhan obat, dan burung-burung khas Kalimantan, dapat pula dilihat dan dinikmati manfaatnya oleh anak cucu kelak. Pemikiran inilah yang kurang dipahami maknanya oleh sebagian orang di Indonesia sehingga tindakan pengrusakan hutan masih marak terjadi.

Oleh karena itu, kita sebagai manusia yang masih peduli dengan alam perlu melakukan hal-hal kecil seperti mulai mengenalkan alam kepada keluarga dan lingkungan sekitar. Selain itu, pada level yang sedikit lebih luas kita dapat melakukan hal-hal seperti berperan aktif dalam pendidikan lingkungan dan konservasi serta berpikir kreatif untuk mencari solusi dalam pemanfaatan jasa lingkungan tanpa harus mengurangi fungsinya.

Laham, Tana Pera dan masyarakat adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan. Tana Pera ada karena ada keinginan dan usaha yang gigih dari masyarakatnya yang pada akhirnya menciptakan sebuah identitas baru bagi Laham sebagai desa atau kampung yang pro konservasi. Sebuah cerita dari pinggir Sungai Mahakam yang menarik, semoga semangat masyarakat Laham diteladani oleh masyarakat lainnya di Indonesia demi menjaga dan mencegah kerusakan hutan. Semoga ada Laham-laham lain yang lahir dengan cerita yang tentunya berbeda.

Hiasan upacara pernikahan dari kayu Mahang

Bina S

wasta

Sitepu

Page 39: BALAI PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI … · 2020-02-10 · vol. viii/no. 2/2019 balai penelitian dan pengembangan teknologi konservasi sumber daya alam profil: dr. ir. agus

Chandra Boer[ ]Wildlife and Biological Diversity Laboratory Forestry Faculty of Mulawarman University

Artikel

Re

dra

wn

by

Ag

ust

ina

DS

A Concept of Developing Hunting Parkin East Kalimantan

Page 40: BALAI PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI … · 2020-02-10 · vol. viii/no. 2/2019 balai penelitian dan pengembangan teknologi konservasi sumber daya alam profil: dr. ir. agus

monitoring on the target population and study the dynamic of it. Hunting-park development is useful for the practices of the sciences, such as wildlife inventory, population study and wildlife ecology in general. Don't we just so far refer to references produced by outsiders (foreign researchers) on population dynamic of wildlife of ours (in our country)? We have not been so sure the number of orangutan exactly remain in Kalimantan, we also have not had a certainty on how many Hylobates still exist per extent of unit habitat.

There are so many examples of our weaknesses related to wildlife management that can be mentioned here, this includes animals that commonly hunted by people in Kalimantan; Sus Barbatus and Cervus unicolor. For these species, we don't even have a prediction figure of their population number within tropical forests of Kalimantan. By developing a hunting park, which may function as a miniature of the wide extent of Kalimantan tropical forest, it is expected that it will contribute to the development of wildlife science of Indonesia that is globally classified left behind comparing to other countries. The development of hunting park in East Kalimantan may also show to some parties that forest is not only be utilized for timber production alone. There are many biotic elements of it that can be utilized to prosper people (economically, socially, health and culturally) as far as it is managed wisely. This also includes in fulfilling the ambition of hunting and ecotourism as national culture that should be conserved. Hunting park is one type of a region that can be managed integrally by keeping in its management programme that forestry should play a dominant role (key activator) in the line of conserving the extent-reducing tropical forest. Hunting park will prepare new jobs for foresters and make them to really work in their field; managing population dynamic and planning the harvest.

Hunting is an activity that has been practiced a sort of “behavior” of traditional communities in the islands of Indonesia, including for indigenous people of

Kalimantan (Dayakish). This tribe practices hunting to fulfill the needs of animal-protein in their lives. Some researches have shown that the existence of wildlife as target for hunting plays a strategic roles for the income of communities surround forest areas. This makes the condition of communities in remote places seems to be economically stable in response to the rising price of oil, which is usually followed by the rising prices of various goods for daily needs.

In Indonesia, hunting has always been exclusively related to the tradition or sophisticated skill of the indigenous people, while in other parts of the world hunting has developed becoming a type of sport in the nature that is possibly learned by young generations. In many elements, hunting modernization has also made a correction on traditional hunting in the context of its attributes; such as subsistence, wise and environmentally friendly. In fact, they can be changed by money and market orientation. There are many hunters of traditional ones nowadays do not use their traditional equipments in practice anymore. They have been replaced by locally modified guns, which in fact are more efficient in obtaining the hunting targets. It is a pity that prevailingly hunting practice is generally classified as illegal activity. The government of Indonesia has not put good effort on managing hunting, except only by producing some regulations and or announcing a list of species that are prohibited to be hunted in the shake of fear to be extinct or for other reasons.

Hunting park is a location that is specifically prepared/ managed as a place to conduct a legal hunting. In this place, the management institution has the chance to conduct a

38

Page 41: BALAI PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI … · 2020-02-10 · vol. viii/no. 2/2019 balai penelitian dan pengembangan teknologi konservasi sumber daya alam profil: dr. ir. agus

lintas Peristiwa

Pantau Biodiversitas KHDTK Samboja,

Balitek KSDA Ujicoba Alat Bioakustik

39

Berbagai metode survei pemantauan biodiversitas terus berkembang pesat, salah satunya adalah bioakustik. Untuk mengikuti perkembangannya, tim peneliti Balai Litbang Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam (Balitek KSDA) Samboja melakukan ujicoba. Sebanyak 8 buah alat bioakustik dipasang di areal Rintis Wartono Kadri Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Samboja. Tujuannya untuk untuk memantau biodiversitas hutan di sana.

Alat bioakustik yang digunakan adalah hasil pengembangan dari Cornell University Lab. Penggunaan alat ini sebagai bagian program kemitraan antara The Nature Conservancy (TNC) dan Balitek KSDA. Rencananya alat bioakustik tersebut akan dipasang di lapangan selama 7 hari, terhitung mulai 14 januari 2019.

Alat ini merupakan salah satu tools yang digunakan untuk mempelajari soundscape ecology. Yakni sebuah cabang ilmu ekologi yang mempelajari interaksi antara suara dengan lingkungan sekitarnya, termasuk di dalamnya satwa, baik di perairan maupun darat. Penggunaan alat ini sudah cukup maju untuk studi satwa mamalia laut seperti lumba-lumba dan paus, namun masih minim untuk satwa di darat.

“Selain digunakan sebagai alat bantu identifikasi keberadaan satwa liar, output dari metode bioakustik juga dapat

digunakan untuk menghitung berbagai indeks biodiversitas, seperti Acoustic Diversity Index (ADI),” jelas Mukhlisi, S.Si., M.Si, peneliti bidang Konservasi Kehati, Balitek KSDA.

Lebih lanjut diterangkannya, bahwa tutupan hutan yang lebat terkadang kurang berarti, jika tidak diimbangi dengan nyanyian satwa di dalamnya. Beberapa studi kini berkembang untuk menggunakan metode bioakustik sebagai alat monitoring kesehatan hutan.

Aplikasi metode bioakustik di hutan tropis Indonesia sangat potensial untuk melengkapi metode yang telah ada. Metode ini sangat mudah diaplikasikan dan bersifat non invasif, sehingga perilaku alami satwa tidak terganggu selama proses perekaman. Sayangnya, metode ini membutuhkan perangkat bersifat “super computer”. Ini untuk mengakomodir rekaman data suara yang sangat besar yang dihasilkannya.

Pekan ini, tim peneliti Balitek KSDA akan mengambil alat perekam di lapangan, dan kemudian menganalisis data suara yang diperoleh. Analisis akan dilakukan bersama dengan tim dari TNC Kalimantan. Kegiatan ini akan didampingi langsung oleh peneliti bioakustik dari Cornell University, Zuzana Burilova, PhD.

Pemantauan biodiversitas hutan secara berkala sangat penting. Hasil pemantauan sangat diperlukan untuk menentukan tingkat keberhasilan pengelolaan hutan dan dasar peningkatan kualitas pengelolaannya.

Mengingat pentingnya pemantauan tersebut, melalui Convention on Biological Diversity di Nagoya (CBD, 2010), UNESCO meluncurkan inisiatif bersama dalam rangka mendukung usaha-usaha internasional untuk mencapai target konservasi biodiversitas. Oleh karenanya, kehadiran metode bioakustik ini diharapkan mampu melengkapi sistem pemantauan biodiversitas menjadi lebih efektif dan efisien, untuk mencapai target tersebut.

Page 42: BALAI PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI … · 2020-02-10 · vol. viii/no. 2/2019 balai penelitian dan pengembangan teknologi konservasi sumber daya alam profil: dr. ir. agus

Sambangi Hutan Lindung Petungkriyono, Peneliti Balitek KSDA dan Mitra

Belajar Teknik Survey Owa

40

Untuk belajar teknik survey owa, dua peneliti Balai Litbang Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam (Balitek KSDA) bersama Manajer Kemitraan Yayasan Konservasi Alam Nusantara Samarinda dan empat penelitinya yang tergabung dalam Forum Kawasan Ekosistem Esensial Wehea Kelay berkunjung ke Hutan Lindung Petungkriyono di Pekalongan beberapa waktu lalu.

Praktik langsung di habitat Owa Jawa yang berada di Desa Sokokembang, Petungkriyono, peneliti Balitek KSDA, Tri Atmoko, S.Hut, M.Si dan Mukhlisi, S.Si., M.Si beserta mitra dilatih oleh Arif Setiawan, S.Hut, pimpinan komunitas “Swara Owa”, yang ada di sana. Komunitas “Swara Owa” adalah komunitas pelestari Owa Jawa yang sangat berpengalaman menggunakan metode survey Owa.

Adapun materi yang disampaikan pada pelatihan yang dilaksanakan selama tiga hari, 14 - 16 Januari 2019 ini terbagi menjadi dua, teori dan praktik lapangan. Diselingi diskusi, pelatihan berlangsung secara santai.

“Survey owa punya tantangan tersendiri karena perilaku owa sangat pemalu dan sulit untuk melakukan perjumpaan secara langsung,” kata Arif Setiawan.

“Uniknya, primata ini mempunyai rutinitas harian berupa aktivitas “great call” di pagi hari. Atas dasar aspek vokalisasi tersebut, kemudian deteksi owa disebut metode vocal count-triangulation,” tambah Arif Setiawan.

Menurutnya, meskipun klasik, namun metode triangulasi masih sangat handal untuk digunakan dalam survey owa. Pada dasarnya metode ini dilakukan dengan cara menempatkan minimal tiga titik pengamatan (Listening Post/LPS). Di setiap LPS masing-masing pengamat harus mencatat jumlah kelompok owa, arah suara great call, dan estimasi jarak dengan sumber suara. Kegiatan pengamatan tersebut minimal harus dilakukan selama 4 hari.

Arif menjelaskan, dalam analisis data, untuk mengetahui jumlah kelompok owa maka hasil pengamatan berupa arah beserta jarak dari sumber suara kelompok owa tiap LPS harus disatukan dalam sebuah gambar. “Perpotongan garis triangulasi inilah yang kemudian dapat disimpulkan sebagai jumlah kelompok owa yang terdeteksi,” jelas Arif.

Menurutnya, faktor pengalaman dan jam terbang sangat mempengaruhi kepekaan pengamat. Selain itu, kondisi topografi dan kebisingan suara sekitar juga berpengaruh terhadap suara owa yang terdengar. Namun demikian, Arif memastikan jika estimasi metode ini memiliki konstanta/faktor koreksi untuk mengeliminir kelemahannya.

Pelatihan ini tentunya memberi banyak pengalaman dan ilmu baru bagi tim Balitek KSDA dan TNC. Harapannya, pengalaman tersebut dapat diaplikasikan untuk survey owa di Kalimantan Timur. Manajer Kemitraan Yayasan Konservasi Alam Nusantara Samarinda, Edy Sudiono memaparkan bahwa Balitek KSDA dan Yayasan Konservasi Alam Nusantara Samarinda telah lama berkolaborasi dan dapat mengembangkan metode ini untuk studi bersama.

Kegiatan pelatihan ini juga diisi dengan sharing pengalaman kegiatan penelitian yang dilakukan oleh Balitek KSDA dan Yayasan Konservasi Alam Nusantara Samarinda kepada 30 orang anggota komunitas pecinta lingkungan di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Tri Atmoko, S.Hut., M.Si memaparkan pengalamannya tentang Bekantan (Nasalis larvatus), sedangkan Mohammad Arief Rifqi dari Yayasan Konservasi Alam Nusantara Samarinda memaparkan tentang Orangutan kalimantan (Pongo pygmaeus morio).***

Page 43: BALAI PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI … · 2020-02-10 · vol. viii/no. 2/2019 balai penelitian dan pengembangan teknologi konservasi sumber daya alam profil: dr. ir. agus

Balitek KSDA Identifikasi Jenis Tanaman

Koleksi Kebun Raya Balikpapan

Tim Herbarium Wanariset Balai Litbang Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam (Balitek KSDA) Samboja melakukan identifikasi 223 jenis koleksi Kebun Raya Balikpapan yang belum terdeterminasi dengan tepat pada 8-12 April 2019. Kegiatan ini merupakan bentuk dukungan Balitek KSDA kepada Kebun Raya Balikpapan.

Tim Herbarium Wanariset Balitek KSDA yaitu Priyono, Zainal Arifin, Bina Swasta Sitepu, Iman Suharja dan Mira Kumala Ningsih didampingi teknisi Kebun Raya Balikpapan melakukan identifikasi jenis pohon dan melakukan pelabelan sesuai hasil identifikasi. Dalam proses identifikasi tersebut, tim Herbarium Wanariset berbagi informasi teknik identifikasi dan pengenalan ciri-ciri khusus setiap tanaman yang diidentifikasi kepada teknisi Kebun Raya Balikpapan.

Kegiatan ini merupakan tindak lanjut dari hasil rapat bersama yang diadakan di Balitek KSDA (21/3/2019) lalu. Pada pertemuan itu, Kepala UPTD Pengelolaan Kebun Raya Balikpapan, Arrizal Rahman meminta bantuan tim Herbarium

Wanariset untuk mengidentifikasi semua jenis tanaman koleksi Kebun Raya Balikpapan yang belum memiliki nama jenis.

Kepala Balitek KSDA, Dr. Ishak Yassir menyambut baik kegiatan alih teknologi ini. “Sudah menjadi tugas kami sebagai lembaga penelitian dan pengembangan yang terdekat dengan Kebun Raya Balikpapan, untuk saling bersinergi dalam mendukung pengembangan Kebun Raya Balikpapan ke depannya,” kata Ishak.

Sebagai informasi, Kebun Raya Balikpapan merupakan tempat konservasi tumbuhan tropis Kalimantan, dimana pengkayaan jenis tanaman koleksi menjadi tujuan utama untuk keberlanjutan pengembangannya. Saat ini, koleksi spesimen yang telah ditanam di Kebun Raya Balikpapan berjumlah 2.849 spesimen dari berbagai lokasi di Kalimantan.

Selain identifikasi jenis, dilakukan juga pengambilan sampel spesimen herbarium dari individu tumbuhan yang memiliki organ bunga dan buah untuk menambah koleksi di Herbarium Wanariset Balitek KSDA.***

Page 44: BALAI PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI … · 2020-02-10 · vol. viii/no. 2/2019 balai penelitian dan pengembangan teknologi konservasi sumber daya alam profil: dr. ir. agus

Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam

(0542) 7217663 (0542) [email protected]

Jl. Soekarno - Hatta Km. 38 PO BOX 578 Balikpapan 76112 Phone. , Fax.

E-mail :Samboja - Kalimantan Timur

Join us

Majalah Swara SambojaGroup Majalah Swara Samboja 9 772089 742003