bahasa hukum dan perumusan norma hukum

15
BAHASA PERUNDANG-UNDANGAN DAN PERUMUSAN NORMA HUKUM Bahasa memainkan peranan penting dan besar dalam kehidupan keseharian kita. Hal ini tidak hanya terjadi dalam ruang-ruang pengadilan ketika kita dipanggil untuk menjadi saksi, ataupun dalam tulisan-tulisan yang mendeskripsikan atau menjelaskan soal putusan pengadilan, dan dalam dokumen-dokumen hukum seperti kontrak mengenai hutang-piutang dengan hak tanggungannya, tetapi juga dalam kegiatan rutin kita sehari-hari, terutama dalam menyusun peundang-undangan – mulai undang-undang sampai peraturan daerah. Dalam konteks pembentukan peraturan perundang- undangan, Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3) secara tidak langsung menempatkan bahasa yang komunikatif sebagai salah satu asas, yakni sebagaimana disebut dalam Pasal 5 huruf f. Pasal 5 UU P3 : Dalam membentuk peraturan perundang-undangan harus berdasarkan pada asas pembentukan peraturan perundang- undangan yang baik yang meliputi : a. kejelasan tujuan; b. kelembaagaan aataau organ pembentuk yang tepat; 1

Upload: reza-aulia-hakim

Post on 28-Nov-2015

13 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

bahasa hukum dan perumusan norma hukum

TRANSCRIPT

Page 1: Bahasa Hukum Dan Perumusan Norma Hukum

BAHASA PERUNDANG-UNDANGANDAN PERUMUSAN NORMA HUKUM

Bahasa memainkan peranan penting dan besar dalam kehidupan keseharian kita. Hal

ini tidak hanya terjadi dalam ruang-ruang pengadilan ketika kita dipanggil untuk menjadi saksi,

ataupun dalam tulisan-tulisan yang mendeskripsikan atau menjelaskan soal putusan pengadilan,

dan dalam dokumen-dokumen hukum seperti kontrak mengenai hutang-piutang dengan hak

tanggungannya, tetapi juga dalam kegiatan rutin kita sehari-hari, terutama dalam menyusun

peundang-undangan – mulai undang-undang sampai peraturan daerah. Dalam konteks

pembentukan peraturan perundang-undangan, Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3) secara tidak langsung menempatkan

bahasa yang komunikatif sebagai salah satu asas, yakni sebagaimana disebut dalam Pasal 5

huruf f.

Pasal 5 UU P3 :

Dalam membentuk peraturan perundang-undangan harus berdasarkan pada asas pembentukan

peraturan perundang-undangan yang baik yang meliputi :

a. kejelasan tujuan;

b. kelembaagaan aataau organ pembentuk yang tepat;

c. kesesuaian antara jenis dan materi muatan;

d. dapat dilaksanakan;

e. kedayagunaan dan kehasilgunaan;

f. kejelasan rumusan; dan

g. keterbukaan.

Penjelasan Pasal 5 huruf UU P3 :

“Yang dimaksud dengan asas ‘kejelasan rumusan” adalah bahwa setiap peraturan

perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan

perundang-undangan, sistematika dan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa

hukumnya jelas dan mudah dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam

interpretasi dalam pelaksanaannya.”

Meskipun di mana-mana hukum ada di tengah-tengah kita, acap kali kita tidak dapat

mengerti atau memahami peraturan daerah, undang-undang, putusan-putusan pengadilan dan

dokumen-dokumen hukum lain yang memiliki pengaruh terhadap kita. Kita menyewa advokat 1

Page 2: Bahasa Hukum Dan Perumusan Norma Hukum

(lawyer) untuk membantu kita memperoleh tiket hukum sebab satu langkah keliru dapat

menghapuskan/meniadakan suatu dokumen penting atau lebih jauh lagi ber-komplikasi terhadap

hidup kita. Termasuk kamus-kamus hukum yang mendefinisikan istilah-istilah hukum

mengesankan bahwa ia adalah “bahasa dalam dirinya sendiri”.

Dalam konteks kajian seperti tersebut di atas sesungguhnya kita memasuki suatu

wilayah, baik akademis maupun praktis, mengenai singgungan antara bahasa ( language) dan

hukum (law). Sebagaimana dalam sistem hukum Eropa Kontinental, prosedur hukum dan

administrasi peradilan terikat pada standar yang telah disusun oleh legislatif dalam bentuk

tulisan (tertulis), sehingga bahasa menjadi persoalan sangat penting. Demikian juga halnya

dalam Anglo-Saxons; profesi hukum telah membangun suatu tipe bahasa hukum (a type of legal

language) yang di antaranya berasal dari Old English. The Anglo-Saxon tidak hanya

menggunakan Old English sebagai bahasa hukum, tetapi juga dari bahasa Latin. Bagaimana

halnya dengan “bahasa hukum” Indonesia ?

Bagaimana mengetahui hukum terikat pada bahasa, maka sebenarnya kita memasuki

ruang kolaborasi interdisiplin antara hukum dan ajaran kebahasaan yang saat ini sangat

terbatas. Persoalan yang sama dan kita hadapi adalah bagaimana teks khusus yang tertulis

dalam bahasa itu dapat dimengerti ? Artinya, selalu terdapat ruang interpretasi (room for

interpretation) dan faktor-faktor lain yang menentukan bagaimana ruang ini diisi.

Bahasa menuntut formulasi. Karena itu, suatu formulasi atau teks hukum harus dapat

dipahami (comprehensible) dan pada saat yang sama tidak melahirkan salah pengertian

(misunderstanding). Orang-orang yang tidak ahli di bidang hukum acap kali melontarkan kritik

bahwa teks-teks hukum tidak dapat dipahami. Dalam banyak kasus, cukup mudah untuk

mengapresiasi dasar kritisme tersebut. Di lain pihak, ahli-ahli hukum menyampaikan kebutuhan

formulasi-formulasi yang tidak bermakna ganda (unambiguous formulations), sehingga tidak

menyodorkan pada mereka untuk melakukan reinterpretasi. Bahkan ada yang mengungkapkan

terjadinya paradoks mengenai profesi hukum, seperti lawyer, yang di satu pihak merupakan

pengguna bahasa paling fasih, sementara di pihak lain mereka adalah juga penyalahguna

bahasa paling terkenal.

Teks Hukum : Struktur dan Bahasa

Teks hukum sangat berbeda dari ungkapan atau ucapan umum (ordinary

speech).Sebagaimana juga diungkapkan oleh Cheryl Stephens (2003), “linguists identify

legalese as a distinctive dialect”. Juga seperti pernyataan Peter M. Tiersma (1999), “a legal text

is something very different from ordinary speech”, namun selannjuttnya diungkapkan dengan

2

Page 3: Bahasa Hukum Dan Perumusan Norma Hukum

pertaanyaan, “How does the language of the law differ from ordinary speech and writing ? Do

this differences enhance clear and precise communication, as lawyers typically claim, or detract

from it ?”. Adanya perbedaan dengan ucapan-ucapan biasa atau umunya tersebut benar,

khususnya menyangkut teks-teks hukum yaang otoritatif, yaitu yang menciptakan, memodifikasi,

atau menghapuskan hak dan kewajiban individu atau institusi. Sebagaimana oleh Austin disebut

dengan “written performatives”. Para lawyer sering menunjuk aturan tersebut sebagai aturan

operatif atau dispositif. Teks-teks hukum tersebut muncul dalam berbagai macam (genre), yang

meliputi dokumen-dokumen, seperti :

Konstitusi;

Kontrak/Perjanjian;

Akta;

Perda;

Putusan Pengadilan;

Pledoi (Pembelaan);

Undang-undang.

Masing-masing macam (genre) cenderung memiliki format stereotip sendiri, yang secara

umum ditulis dalam bahasa hukum (legelese), dan biasanya mengandung satu atau lebih

ungkapan hukum suatu perbuatan yang diartikan sesuai dengan fungsi yang dimaksudkan.

Suatu kontrak/perjanjian misalnya, nyaris selalu mengandung satu atau lebih janji (promise).

Adapun suatu peraturan perundang-undangan acap kali mengandung norma (kaidah), yang

berisi perintah, larangan, atau kebolehan melakukan suatu perbuatan. Dalam area hukum publik

(public law), perundang-undangan disusun dengan sangat textualized dan diundangkan melalui

prosedur yang telah ditentukan. Di Indonesia melalui prosedur dan teknis sebagaimana diatur

dalam UU P3 tersebut di atas.

Gambaran yang paling menonjol dari struktur teks-teks hukum adalah sangat tersusun

(highly formulaic) atau stereotipis. Sejumlah teks dapat sangat terinci (detail) dalam kerangka

struktur, tetapi dokumen-dokumen hukum yang rutin cenderung mengikuti struktur yang

ditentukan sebelumnya. Tulisan ini tidak akan membahas lebih jauh mengenai struktur teks-teks

hukum, namun lebih memfokuskan pada bahasa. Struktur teks-teks hukum akan dibahas dalam

bagian perumusan norma-norma hukum. Secara yuridis, hal ini sudah diatur dalam UU P3,

sebagaimana disebutkan dalam Pasal 44-nya, yaitu yang mengatur soal teknik penyusunan

peraturan perundang-undangan.

Sifat Bahasa Hukum

3

Page 4: Bahasa Hukum Dan Perumusan Norma Hukum

Bahasa hukum, yang secara luas diuraikan sebagai bahasa dari profesi hukum (legal

profession), telah menjadi objek dari pelbagai studi, yang sebagian besar dimaksudkan untuk

membantu, sehingga lebih dapat dimengerti oleh warga masyarakat biasa yang hidup dan

nasibnya dapat dipengaruhi oleh teks-teks itu. Banyak ungkapan-ungkapan buruk yang

digunakan untuk menggambarkan bahasa hukum, di antaranya “panjang lebar”, “tidak jelas”,

“muluk” (angkuh), dan sebagainya. Lebih spesifik lagi, literatur-literatur bahasa hukum itu sendiri

menyatakan bahwa bahasa hukum berbeda dari ucapan-ucapan biasa/umum, di antaranya

menyangkut terminologinya yang teknis. Kenyataannya, dalam teks-teks hukum yang otoritatif

tidak semuanya mengandung gambaran sebagaimana bahasa hukum di atas. Namun, memang

sebagian besar dokumen-dokumen hukum masih menggunakan teks-teks yang berbahasa

hukum itu.

Sebagaimana disinggung di atas bahwa bahasa hukum adalah bahasanya para lawyer

karena fakta menunjukkan bahwa orang awam tetap bergantung pada para lawyer untuk

menciptakan dan “mentranslasikan” teks-teks hukum, sehingga membuat sulit bagi para lawyer

itu untuk menolak perbedaan bahasa mereka dari bahasa umum. Para lawyer berusaha untuk

membangun kebiasaan-kebiasaan khusus kebahasaan yang memiiliki sedikit fungsi komunikasi,

dan memberi tanda pada mereka sebagai anggota kelompok (komunitas) hukum. Berdasarkan

hasil studi mengenai bahasa hukum, kebiasaan yang kemudian menjadi sifat bahasa hukum itu

di antaranya :

1. Kalimat-kalimat yang kompleks

Berbagai studi menunjukkan bahwa kalimat-kalimat dalam bahasa hukum nyaris sedikit

lebih panjang dibandingkan dengan pola-pola berbahasa lainnya, dan lebih lekat,

sehingga membuatnya lebih kompleks. Terkadang terkesan ada usaha untuk

menyatakan suatu prinsip peraturan perundang-undangan dalam satu kalimat tunggal.

2. Kalimat panjang lebar dan berlebihan

Para lawyer sangat suka menggunakan frasa-frasa yang panjang dan cenderung

berlebihan, sehingga terkadang disebut “boilerplate’. Di lain pihak, kadang-kadang

bahasa hukum tidak secara berlebihan menggunakan kalimat panjang lebar, namun

sangat padat (compact) atau penuh.

3. Mengandung beberapa frasa yang dihubungakan

Frasa ini mengandung kata-kata seperti dan/atau. Frasa-frasa seperti ini masih sangat

umum dalam bahasa hukum. Struktur kalimat seperti itu dapat membawa pada

ambiguitas, lebih-lebih dikaitkan dengan aturan interpretasi, dimana tiap kata

membutuhkan pengertian.

4

Page 5: Bahasa Hukum Dan Perumusan Norma Hukum

4. Struktur kalimat yang tidak lazim

Para lawyer acap kali membuat struktur kalimat yang tidak lazim. Sering kali struktur

yang tidak lazim itu berakibat memisahkan subjek dari kata kerjanya, atau memisahkan

kata kerja yang kompleks, sehingga mereduksi pemahaman terhadap kalimat tersebut.

5. Peniadaan (Negasi)

Bahasa hukum tampaknya menggunakan jumlah peniadaan (negasi) yang banyak

sekali. Penelitian mengungkapkan bahwa negasi yang berganda khususnya,

mengganggu komunikasi dan harus dihindari.

Berdasarkan gaya tulisan-tulisan hukum yang tidak berfungsi komunikatif, sehingga

mereduksi pengertian, maka kemudian muncul upaya untuk menemukan suatu bahasa hukum

yang berbeda, yakni bahasa hukum yang dapat dikomunikasikan secara sangat tepat (precise

communication). Di antara cara-cara untuk memperkenalkan bahasa hukum yang jelas dan

menciptakan komunikasi yang ringkas/singkat (concise communication) adalah melalui

perbendaharaan kata hukum khusus (specific legal vocabulary), yang secara terminologis sering

disebut dengan “leksikon hukum”. Leksikon hukum tersebut pada umumnya memiliki karakter :

1. Kosa kata kuno (legal archaisms);

Kritik umum terhadap perbendaharaan hukum adalah penuh dengan sisi kuno, termasuk

morfologi (ilmu mengenai bentuk kata) lama. Kosa kata tersebut dipertahankan karena

dianggap lebih tepat dibandingkan dengan bahasa umum (ordinary language).

2. Kreativitas linguistik;

Kendati bahasa hukum sebagian sangat kuno, sebagian besar istilah-istilah hukum lainnya

satu demi satu mati, sehingga menjadi tidak terpakai. Kenyataan juga menunjukkan bahwa

leksikon hukum sangat inovatif, seperti munculnya istilah zona, korporasi. Kendati istilah-

istilah tersebut membingungkan orang-orang awam, namun dapat meningkatkan komunikasi

dalam profesi dengan tetap menyimpan kesenjangan leksikal yang ada dalam bahasa

umum. Namun, bagaimanapun juga beberapa istilah memberi kemampuan pada hukum

untuk berhubungan dengan upaya pembangunan hukum.

Penilaian yang dikemukakan sehubungan dengan hal ini adalah bahwa bahasa hukum

bukan konservatif yang tanpa harapan, juga bukan sangat inovatif. Seringkali terdapat

alasan untuk tetap menggunakan kosa-kosa kata lama atau terjadi keengganan untuk

mengubah karena kekhawatiran translasinya mempengaruhi maknanya.

3. Terminologinya formal dan ritualistis

5

Page 6: Bahasa Hukum Dan Perumusan Norma Hukum

Leksikon hukum juga mengandung kata atau frase yang ritualistis dan formal. Salah satu

fungsinya adalah untuk menegaskan bahwa bekerjanya hukum berbeda dari kehidupan

pada umumnya.

Jika distingsi kosa-kosa kata hukum itu meningkatkan komunikasi, pasti merupakan

istilah-istilah teknis (technical terms) atau “terms of art”, yang digunakan dalam ruang profesi

tertentu. Karena konsep bahwa bahasa hukum, baik leksikonnya maupun kalimat-kalimat-nya,

maka kemudian memunculkan konsep yang berbeda dalam soal interpretasi dan pemaknaan

dibandingkan dengan interpretasi atau pemaknaan dalam bahasa umum. Satu dari sekian

banyak observasi mengenai interpretasi hukum adalah kecenderungan dari sebagian besar

hakim dan lawyer menginterpretasi teks-teks hukum relatif secara harfiah ( literal) dan

menggunakan cara-cara akontekstual.

Sebagaimana diungkapkan oleh Peter M. Tiersma (1999) bahwa anggota masyarakat

kecewa dengan bahasa hukum yang menyebabkan problem-problem dalam pemahaman,

khususnya bagi orang-orang awam. Artinya, kosa-kosa kata teknis, kata-kata yang kuno dan

tidak lazim, konstruksi-konstruksi yang impersonal, penegasian yang multiple, kalimat yang

kompleks dan panjang, adalah merupakan problem. Dalam konteks itulah di Inggris misalnnya

muncul usaha-usaha untuk mereformasi bahasa hukum. Hal ini bisa melalui

penyederhanaan/simplifikasi (menjadikan bahasanya para lawyer itu seperti bahasa biasa) atau

melalui translasi (meninggalkan secara esensi bahasa hukum, dengan memberi translasi yang

lebih baik bagi publik dalam bentuk bahasa biasa, ketika dibutuhkan). Dengan reformasi tersebut

teks-teks hukum menjadi dapat diakses, baik oleh profesi hukum maupun publik. Hal tersebut

juga dilakukan di Australia, pembentuk undang-undang melakukan eksperimen terhadap struktur

undang-undang, yaitu dengan menambah flow charts dan contoh-contoh untuk membantu

pembaca mengerti isi undang-undang tersebut.

Sebagaimana di singgung di atas bahwa aspek bahasa dalam rangka pembentukan

peraturan perundang-undangan tidak hanya menyangkut dapat-tidaknya teks-teks itu dimengerti

oleh publik, namun juga menyangkut persoalan interpretasi. Oleh karena tulisan itu sifatnya

relatif permanen, maka pembentuk peraturan perundang-undangan dapat menciptakan teks-teks

yang mungkin harus dapat diinterpretasikan beberapa tahun mendatang yang saat ini tidak

diketahui publik. Idealnya, minimal pembaca yang berpendidikan hukum, dapat

menginterpretasikan teks tanpa bantuan informasi lain, kendati beberapa tahun kemudian.

Ragam Bahasa Perundang-undanganBerdasarkan UU P3

6

Page 7: Bahasa Hukum Dan Perumusan Norma Hukum

Dalam Lampiran UU P3 – yang merupakan bagian tak terpisahkan dari UU P3, telah

dikemukakan petunjuk teknis penyusunan peraturan perundang-undangan. Khususnya dalam

Bab III, mulai angka 205 sampai dengan 247 diatur mengenai ragam bahasa peraturan

perundang-undangan. Pada angka 205 Lampiran tersebut dikemukakan bahwa “...namun

demikian bahasa peraturan perundang-undangan mempunyai corak tersendiri yang bercirikan

kejernihan atau kejelasan pengertian, kelugasan, kebakuan, keserasian, dan ketaatan asas

sesuai dengan kebutuhan hukum.” Ini menunjukkan bahwa pembentuk UU P3 itu sendiri

berpendirian bahwa bahasa peraturan perundang-undangan adalah “different from ordinary

speech”, setidaknya dapat dipahami dari frase “corak tersendiri’, kendati disyaratkan berciri :

“kejernihan atau kejelasan pengertian, kelugasan, keserasian, dan ketaatan asas sesuai dengan

kebutuhan hukum”.

Sebenarnya ungkapan bahwa “bahasa peraturan perundang-undangan mempunyai

corak tersendiri” tidak perlu diketengahkan, sehingga tidak terkesan terjadi contradictio interminis

dengan ciri sebagaimana dirinci dalam angka 205 itu juga. Lebih dari itu, menjadi terkesan ada

kontradiksi dengan petunjuk pada angka 206 Lampiran UU P3 yang menegaskan bahwa “Dalam

merumuskan ketentuan Peraturan Perundang-undangan digunakan kalimat yanng tegas, jelas,

singkat, dan mudah dimengerti.” Demikian pula jika dihadapkan dengan petunjuk tersebut pada

angka 207 dan 208 Lampiran UU P3.

207. Hindarkan penggunaan kata atau frase yang artinya kurang menentu atau

konteksnya dalam kalimat kurang jelas.

208. Dalam merumuskan ketentuan peraturan perundang-undangan, gunakan kaidah

tata bahasa Indonesia yang baku.

Meminjam ungkapan David Kelly berdasarkan catatan Plain Language Association

International (2003), bahwa pernyataan-pernyataann seperti itu menunjukkan “the different

between plain language.... and the drafting style...” Karena itu, petunjuk teknis, khususnya

mengenai ragam bahasa perundang-undangan sebagaimana Lampiran UU P3, bagaimanapun

juga harus dipahami sebagai kerangka pembentukan bahasa perundang-undangan yang

mengandung “plain language”. Frase “plain language” dalam kajian-kajian kebahasaan bidang

hukum diketengahkan sebagai upaya untuk “menmbongkar” bahasa hukum yang dianggap

menyimpan problem-problem komunikasi.

Menurut CLIC Plain Language Centre, “’Plain language’ is language simplified to make it

readily understandable by the average person’. It is language stripped of unnecessary

complexity, but not stripped of style. It is perhaps language at the lowest common denominator.

It is reader-focused language.” “Plain language” dibedakan dari “Clarified or simplified language”,

7

Page 8: Bahasa Hukum Dan Perumusan Norma Hukum

yang berarti “language that has been worked on to improve its understandability, but retains

technical term (terms of art), if necessary.

Seberapa realistiskah pernyataan-pernyataan mengenai plain language, khususnya

ketika diterapkan pada peraturan perundang-undangan ? Keberhasilan komunikasi atas isi

peraturan perundang-undangan bergantung pada dua faktor. Pertama, kemampuan memahami

dari individu penerima pesan (rumusan norma). Kedua, kompleksitas intrinsik dan karakteristik

lain dari pokok masalah pesan. Jadi sebagai suatu proses, komunikasi bergantung pada

pertemuan antara pengalaman linguistik pengirim dan penerima pesan. Tentu berbeda

pemahaman antara istilah yang dapat diacu pada benda nyata (konkret) dibandingkan dengan

istilah yag lebih mengacu pada pengertian (tidak pada benda). Kata-kata yang tidak megacu

pada benda, antara lain : korupsi, otonomi, partisipasi, demokrasi, dan sebagainya. (lihat

Fatimah Djajasudarma, 1999)

Dalam konteks penggunaan kata atau istilah seperti itu, sangat potensial menimbulkan

ketidakpahaman publik, sehingga perlu pendefinisian untuk mengimprovisasi pemahaman.

Definisi yaang dimaksud adalah nama yang diberi keterangan singkat dan jelas di bidang

tertentu atau pembatasann tentang suatu fakta, peristiwa atau kejadian dan proses. (Fatimah

Djajasudarma, 1999)

8