bahan kompre 2012

28
MENGGUNAKAN CTL DALAM PEMBELAJARAN DI SMP 1. Pendahuluan Pembelajaran kontekstual atau lebih dikenal dengan CTL (Contextual Teaching and Learning) sebenarnya bukan hal baru, tetapi CTL dewasa ini sangat ditekankan karena perkembangan dunia kerja di jaman global yang ditandai dengan persaingan bebas, sehingga sekolah harus menyusun ulang kurikulumnya untuk menyesuaikan dengan tuntutan global tersebut. Pada awalnya, CTL lebih banyak digunakan pada sekolah-sekolah kejuruan, kemudian digunakan di sekolah umum tetapi untuk anak-anak dengan kemampuan dibawah rata-rata. Kemudian, ketika CTL digunakan untuk belajar konsep-konsep/akademis, CTL digunakan dalam bentuk watered-down dari konsep-konsep abstrak yang harus dipelajari dengan sedikit contoh- contoh penggunaan di dunia nyata. Sekarang CTL digunakan dalam kurikulum, termasuk KBK yang menegaskan bahwa proses belajar mengajar harus berbasis CTL. 2. Konsep Apakah yang dimaksud dengan CTL? CTL adalah strategi pembelajaran yang menghubungkan antara konten pelajaran dengan situasi kehidupan nyata, dan mendorong siswa mengaitkan antara pengetahuan dan pengalaman yang didapatnya di sekolah dengan kehidupannya sebagai anggota keluarga, warganegara, dan dunia kerja. CTL merupakan respons dari ketidakpuasan praktek pembelajaran yang sangat menekankan pada pengetahuan abstrak atau konseptual semata-mata. Pembelajaran demikian memang cocok untuk melahirkan para akademisi, tetapi tidak menyiapkan siswa untuk menjadi seorang professional; dengan kata lain, pembelajaran yang terlampau abstrak telah mengabaikan aspek kontekstual atau terapan dari pengetahuan tersebut. Bagi siswa, proses pembelajaran tradisional yang menekankan pada pengetahuan abstrak/konseptual lebih pasif daripada pembelajaran yang kontekstual. Pada proses pembelajaran tradisional tersebut, siswa diharapkan untuk memahami dan menyusun informasi dalam pikirannya melalui kegiatan mendengarkan guru dan membaca materi yang ditugaskan. Sesuai dengan itu, maka metode pengajaran lebih berpusat pada guru. Tidak semua siswa memiliki kemampuan untuk menyerap nformasi secara abstrak, oleh karena itu banyak siswa yang mengalami kesulitan dalam belajar. Juga banyak yang lulus sekolah tetapi tidak mampu berada di masyarakat sebagai anggota yang bermutu. Penguasaan terhadap pengetahuan faktual atau ‘a need-to-know basis’ masih tetap diperlukan sebagai landasan pengembangan ilmu pengetahuan, tetapi pengetahuan itu lebih mudah untuk dipahami jika diperoleh dari pengalaman langsung, daripada siswa hanya menghafal dan menyimpan informasi itu dalam pikirannya sampai suatu saat nanti diperlukan. Apprenticeship (belajar untuk mencapai keahlian tertentu, magang) adalah suatu metode pembelajaran yang menghubungkan pembelajaran dengan dunia nyata (Bond, 2005). Dalam CTL, pembelajaran konsep-konsep abstrak dilakukan dengan

Upload: wildan-abdulgani

Post on 25-Dec-2015

2 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

deskripsi bahan untuk kompre 2012

TRANSCRIPT

Page 1: Bahan Kompre 2012

MENGGUNAKAN CTL DALAM PEMBELAJARAN DI SMP 1. Pendahuluan

Pembelajaran kontekstual atau lebih dikenal dengan CTL (Contextual Teaching and Learning) sebenarnya bukan hal baru, tetapi CTL dewasa ini sangat ditekankan karena perkembangan dunia kerja di jaman global yang ditandai dengan persaingan bebas, sehingga sekolah harus menyusun ulang kurikulumnya untuk menyesuaikan dengan tuntutan global tersebut. Pada awalnya, CTL lebih banyak digunakan pada sekolah-sekolah kejuruan, kemudian digunakan di sekolah umum tetapi untuk anak-anak dengan kemampuan dibawah rata-rata. Kemudian, ketika CTL digunakan untuk belajar konsep-konsep/akademis, CTL digunakan dalam bentuk watered-down dari konsep-konsep abstrak yang harus dipelajari dengan sedikit contoh-contoh penggunaan di dunia nyata. Sekarang CTL digunakan dalam kurikulum, termasuk KBK yang menegaskan bahwa proses belajar mengajar harus berbasis CTL. 2. Konsep

Apakah yang dimaksud dengan CTL? CTL adalah strategi pembelajaran yang menghubungkan antara konten pelajaran dengan situasi kehidupan nyata, dan mendorong siswa mengaitkan antara pengetahuan dan pengalaman yang didapatnya di sekolah dengan kehidupannya sebagai anggota keluarga, warganegara, dan dunia kerja. CTL merupakan respons dari ketidakpuasan praktek pembelajaran yang sangat menekankan pada pengetahuan abstrak atau konseptual semata-mata. Pembelajaran demikian memang cocok untuk melahirkan para akademisi, tetapi tidak menyiapkan siswa untuk menjadi seorang professional; dengan kata lain, pembelajaran yang terlampau abstrak telah mengabaikan aspek kontekstual atau terapan dari pengetahuan tersebut. Bagi siswa, proses pembelajaran tradisional yang menekankan pada pengetahuan abstrak/konseptual lebih pasif daripada pembelajaran yang kontekstual. Pada proses pembelajaran tradisional tersebut, siswa diharapkan untuk memahami dan menyusun informasi dalam pikirannya melalui kegiatan mendengarkan guru dan membaca materi yang ditugaskan. Sesuai dengan itu, maka metode pengajaran lebih berpusat pada guru. Tidak semua siswa memiliki kemampuan untuk menyerap nformasi secara abstrak, oleh karena itu banyak siswa yang mengalami kesulitan dalam belajar. Juga banyak yang lulus sekolah tetapi tidak mampu berada di masyarakat sebagai anggota yang bermutu. Penguasaan terhadap pengetahuan faktual atau ‘a need-to-know basis’ masih tetap diperlukan sebagai landasan pengembangan ilmu pengetahuan, tetapi pengetahuan itu lebih mudah untuk dipahami jika diperoleh dari pengalaman langsung, daripada siswa hanya menghafal dan menyimpan informasi itu dalam pikirannya sampai suatu saat nanti diperlukan. Apprenticeship (belajar untuk mencapai keahlian tertentu, magang) adalah suatu metode pembelajaran yang menghubungkan pembelajaran dengan dunia nyata (Bond, 2005). Dalam CTL, pembelajaran konsep-konsep abstrak dilakukan dengan prinsip-prinsip apprenticeship tersebut. Karena yang dipelajari adalah konsep (yang lebih berkaitan dengan kognisi daripada keterampilan, maka pembelajarannya disebut dengan cognitive apprenticeship. Cognitive apprenticeship adalah suatu metode melatih siswa dalam menyelesaikan suatu tugas. Ada tiga hal utama yang harus dilakukan guru sebelum pembelajaran dilakukan, yaitu: (1) terlebih dahulu menetapkan kompetensi yang harus dicapai siswa, (2) menunjukkan manfaat dari tugas yang diberikan, dan (3) memberi peluang untuk keberagaman cara belajar siswa. Dalam cognitive apprenticeship, dilakukan visualisasi konsep-konsep abstrak, memahami konsep, dan menggunakannya untuk menyelesaikan tugas yang diberikan. Terkait dengan konsep keberagaman tersebut, dalam CTL perlu dilakukan diversified learning strategies, yaitu yaitu penggunaan strategi pembelajaran yang bervariasi namun kontekstual. Metode ceramah dalam beberapa hal masih diperlukan, tetapi metode-metode yang berpusat pada siswa (student-centered) seperti metode inkuiri dan metode kooperatif akan lebih membantu siswa mengembangkan kompetensi dengan baik. Begitu juga, perlu dilakukan differentiated teaching strategies, yaitu pembelajaran yang demokratis dimana siswa mendapat peluang yang luas untuk memahami informasi sesuai dengan kecenderungan yang dimiliki masing-masing. Disini kita diingatkan dengan konsep multiple intelligence dari Gardner, yang menekankan bahwa setiap individu memiliki kecenderungan yang dominan dalam dirinya, dan keberhasilan individu tersebut (dalam belajar dan bekerja) besar dipengaruhi oleh apakah dia dapat memanfaatkan kecenderungannya tersebut untuk mengatasi permasalahan-permasalahan yang dihadapi

Page 2: Bahan Kompre 2012

. Pemberdayaan (empowerment) sangat diperlukan dalam CTL (Bond, 2005). Pemberdayaan siswa dapat dilakukan dengan cara: (1) Fading (menjauh secara pelahan), yaitu dukungan guru dikurangi sedikit demi sedikit hingga akhirnya siswa dapat menyelesaikan tugasnya secara mandiri; (2) Articulation ( penyampaian), yaitu kesempatan untuk siswa terlibat dalam percakapan atau diskusi mengenai pengetahuannya dalam rangka memecahkan masalah; (3) Reflection (refleksi, melihat kediri-sendiri), yaitu kegiatan dimana siswa dapat membandingkan kemampuan dan keterampilannya dengan ahli di bidangnya; dan (4) Exploration (eksplorasi, berkarya), yaitu yaitu saat dimana guru mendorong siswa untuk mencoba menemukan dan memecahkan persoalan secara mandiri. 3. Strategi CTL

Texas Collaborative for Teaching Excellence (2005) mengajukan suatu strategi dalam melakukan pembelajaran kontekstual yang diakronimkan menjadi REACT, yaitu: relating, experiencing, applying, cooperating, dan transferring. a. Relating: yaitu belajar dalam konteks menghubungkan apa yang hendak dipelajari dengan pengalaman atau kehidupan nyata. Untuk itu, bawa perhatian siswa pada pengalaman, kejadian, dan kondisi sehari-hari. Lalu, hubungkan/kaitkan hal itu dengan pokok bahasan baru yang akan diajarkan. b. Experiencing: yaitu belajar dalam konteks eksplorasi, mencari, dan menemukan sendiri. Memang, pengalaman itu dapat diganti dengan video, atau bacaan (dan bahkan kelihatannya dengan cara ini belajar bisa lebih cepat), tetapi strategi demikian merupakan strategi pasif, artinya, siswa tidak secara aktif/langsung mengalaminya. c. Applying: yaitu belajar mengaplikasikan konsep dan informasi dalam konteks yang bermakna. Belajar dalam konteks ini serupa dengan simulasi, yang seringkali dapat membuat siswa mencita-citakan sesuatu, atau membayangkan suatu tempat bekerja dimasa depan. Simulasi seperti bermain peran merupakan contoh yang sangat kontekstual dimana siswa mengaplikasikan pengetahuannya seperti dalam dunia nyata. Seringkali juga dilakukan berupa pengalaman langsung (firsthand experience) seperti magang. d. Cooperating: yaitu proses belajar dimana siswa belajar berbagi (sharing) dan berkomunikasi dengan siswa lain. Pembelajaran kooperatif merupakan salahsatu strategi utama dalam CTL, karena pada kenyataannya, karyawan berhasil adalah yang 5 mampu berkomunikasi secara efektif dan bisa bekerja dengan baik dalam tim. Aktivitas belajar yang relevan dengan pembelajaran kooperatif adalah kerja kelompok; dan kesuksesan kelompok tergantung pada kinerja setiap anggotanya. Peer grouping juga suatu aktivitas pembelajaran kooperatif. Beberapa teknik pembelajaran kooperatif akan diulas pada bagian lain dari makalah ini. e. Transferring : yaitu belajar dalam konteks pengetahuan yang sudah ada, artinya adalah, siswa belajar menggunakan apa yang telah dipelajari untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapi. Aktivitas dalam pembelajaran ini antara lain adalah pemecahan masalah (problem solving).

Clifford dan Wilson (2000) menyebutkan bahwa CTL tercermin dari pembelajaran yang: a. Berbasis masalah (memecahkan masalah, menemukan dan menjawab masalah) b. Menggunakan konteks yang beragam (teknik pembelajaran kontekstual yang digunakan harus bervariasi, tidak monoton) c. Menghargai keberagaman siswa (dari segi kemampuan, bakat, latar belakang, dll.) d. Mendukung pembelajaran mandiri (self-regulated learning) e. Menggunakan kelompok belajar dengan semangat saling ketergantungan (interdependen, belajar secara kooperatif) f. Menggunakan asesmen otentik

4. Pembelajaran Berbasis Masalah Problem-Based Instruction adalah model pembelajaran yang berlandaskan paham konstruktivistik yang mengakomodasi keterlibatan siswa dalam belajar dan pemecahan masalah otentik (Arends, 1997). Dalam pemerolehan informasi dan pengembangan pemahaman tentang topik-topik, siswa belajar bagaimana mengkonstruksi kerangka masalah, mengorganisasikan dan menginvestigasi masalah, mengumpulkan dan menganalisis data, menyusun fakta, dan mengkonstruksi argumentasi mengenai pemecahan masalah, bekerja secara individual atau kolaborasi dalam pemecahan masalah. Model problem-based instruction memiliki lima langkah pembelajaran (Arends, 1997), yaitu: (1) guru mendefinisikan atau mempresentasikan masalah atau isu yang berkaitan (masalah bisa untuk satu unit

Page 3: Bahan Kompre 2012

pelajaran atau lebih, bisa untuk pertemuan satu, dua, atau tiga minggu, bisa berasal dari hasil seleksi guru atau dari eksplorasi siswa), (2) guru membantu siswa mengklarifikasi masalah dan menentukan bagaimana masalah itu diinvestigasi (investigasi melibatkan sumber-sumber belajar, informasi, dan data yang variatif, melakukan survei dan pengukuran), (3) guru membantu siswa menciptakan makna terkait dengan hasil pemecahan masalah yang akan dilaporkan (bagaimana mereka memecahkan masalah dan apa rasionalnya), (4) pengorganisasian laporan (makalah, laporan lisan, model, program komputer, dan lain-lain), dan (5) presentasi (dalam kelas melibatkan semua siswa, guru, bila perlu melibatkan administrator dan anggota masyarakat). Sistem sosial yang mendukung model ini adalah: kedekatan guru dengan siswa dalam proses teacher-assisted instruction, minimnya peran guru sebagai transmiter pengetahuan, interaksi sosial yang efektif, latihan investigasi masalah kompleks. Prinsip reaksi yang dapat dikembangkan adalah: peranan guru sebagai pembimbing dan negosiator. Peran-peran tersebut dapat ditampilkan secara lisan selama proses pendefinisian dan pengklarifikasian masalah. Sarana pendukung model pembelajaran ini adalah: lembaran kerja siswa, bahan ajar, panduan bahan ajar untuk siswa dan untuk guru, artikel, jurnal, kliping, peralatan demonstrasi atau eksperimen yang sesuai, model analogi, meja dan kursi yang sudah dimobilisasi atau ruangan kelas yang sudah ditata untuk itu. Dampak pembelajaran adalah pemahaman tentang kaitan pengetahuan dengan dunia nyata, dan bagaimana menggunakan pengetahuan dalam pemecahan masalah kompleks. Dampak pengiringnya adalah mempercepat pengembangan self-regulated learning, menciptakan lingkungan kelas yang demokratis, dan efektif dalam mengatasi keragaman siswa. Sintaks pembelajaran ini meliputi lima fase: Fase 1. Mengorientasikan siswa kepada masalah Guru menjelaskan tujuan pembelajaran, menguraikan kebutuhan logistik yang diperlukan, dan mendorong siswa untuk terlibat dalam kegiatan pemecahan masalah yang dipilihnya sendiri. Fase 2. Mengorganisasikan siswa untuk belajar Guru membantu siswa untuk mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah Fase 3. Membimbing investigasi mandiri dan berkelompok Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi, melakukan eksperimen, dan untuk mencari penjelasan dan solusi. Fase 4. Mengembangkan dan mempresentasikan artefak Guru membimbing siswa dalam merencanakan dan menyiapkan artefak yang sesuai, seperti laporan, video, dan model; Guru juga membantu siswa untuk saling menginformasikan pekerjaan merekaFase 5. Menganalisa dan mengevaluasi proses penyelesaian masalah Guru membantu siswa untuk merefleksikan investigasi dan proses-proses yang mereka libatkan dalam penyelesaian masalah. 5. Konteks Pembelajaran yang Beragam (Diverse Life Context) Alam kehidupan diwarnai oleh hal-hal yang sangat beragam. Untuk bisa memotret kehidupan nyata maka CTL menekankan pentingnya guru mengenalkan siswa pada berbagai konteks kehidupan tersebut. Karena itu, aktivitas pembelajaran seperti studi lapangan, bertemu dan mewawancarai tokoh, membuat diorama, menulis cerita dan reportase, dan lain-lain aktivitas nyata. CTL sangat menekankan pembelajaran yang berpusat pada siswa seperti di atas; namun tidak berarti bahwa guru samasekali tidak perlu menanamkan konsep melalui ceramah. Ceramah tetap diperlukan tetapi diupayakan seminimal mungkin. Guru harus selalu berfikir menemukan aktivitas (selain ceramah) yang paling kontekstual untuk menanamkan konsep maupun keterampilan dan sikap. 6. Menghargai Keberagaman Siswa Howard Gardner, seorang ahli psikologi Pendidikan dari Harvard telah mengubah pandangan orang tentang inteligensi. Beliau mengatakan bahwa inteligensi bukanlah satu kesatuan properti manusia, melainkan kumpulan kecenderungan pada manusia dimana satu kecenderungan lebih kuat atau menonjol daripada kecenderungan yang lain. Oleh karena itu, Gardner mengatakan bahwa manusia memiliki multiple intelligences yang dapat menjelaskan kenapa seseorang lebih mampu melakukan sesuatu hal daripada sesuatu hal yang lain. Implikasi dari konsep ini terhadap pendidikan, utamanya terhadap proses belajar seseorang adalah, bahwa setiap orang memiliki caranya masing-masing untuk belajar. Ada orang yang cepat memahami konsep dan mengungkapkannya melalui kata-kata (verbal), tetapi ada juga yang mengungkapkannya dengan gerak tubuh, ada juga dengan menggunakan diagram. Orang jenis pertama disebut Gardner memiliki linguistic intelligence yang dominan dibandingkan intelligences yang lain. Orang kedua memiliki kinesthetic intelligence tinggi, dan yang terakhir memiliki mathematical intelligence yang lebih menonjol. Guru CTL diharapkan dapat memberi peluang kepada setiap siswa untuk belajar dan mengungkapkan kemampuannya dengan cara yang paling baik bagi siswa tersebut. Penyeragaman bentuk respons, misalnya, guru hanya menilai siswa dari hasil ulangan tertulis saja tidak sesuai dengan semangat CTL.

Page 4: Bahan Kompre 2012

Oleh karena itu, keleluasaan untuk memilih bentuk respons perlu disediakan kepada siswa dalam rangka terjadi pertumbuhan siswa secara optimal sesuai dengan kecenderungan yang dimiliki. 7. Mendukung Pembelajaran Mandiri (self-regulated learning) Self-regulated learning (SRL) sebenarnya sudah dikenal sejak tahun 1980an, yaitu sejak disadari pentingnya menanamkan tanggungjawab pada siswa atas preoses belajarnya sendiri. SRL meliputi tiga aspek utama, yaitu kognisi, metakognisi, dan motivasi. Ketiga aspek ini secara bersama-sama membentuk persepsi bahwa: (1) diri (self) adalah agen dalam menetapkan tujuan belajar dan strategi yang ditempuh untuk mencapai tujuan tersebut; dan (2) persepsi tentang diri (jati diri). Kedua hal ini diyakini sangat menentukan dalam keberhasilan dalam belajar. Paris dan Winograd (2005) menyebutkan beberapa ciri dari siswa yang memiliki SRL, yaitu: a. Kesadaraan tentang pikiran, yaitu kesadaran siswa tentang: (i) kebiasaan berfikirnya, dan (ii) bagaimana berfikir yang efektif; dengan kata lain, siswa harus bias berfikir tentang bagaimana pikiran bekerja. Ini merupakan aspek metakognisi, yang dapat berwujud evaluasi diri dan pengelolaan diri. b. Penggunaan strategi belajar, dimana Paris dan Winograd menekankan dua hal, yaitu: (i) strategi yang digunakan dan (ii) menjadi orang yang strategis. Seperti diketahui, terdapat tiga aspek metakognisi, yaitu: pengetahuan deklaratif (pengetahuan tentang strategi), pengetahuan procedural (pengetahuan tentang bagaimana melakukan strategi tersebut), dan pengetahuan kondisional (pengetahuan tentang kapan dan bagaimana suatu strategi harus dilakukan). Ketiga pengetahuan ini bila dimiliki oleh siswa, dapat membantu mereka berfikir strategis dan memilih strategi yang paling tepat untuk memecahkan suatu masalah. c. Motivasi yang terpelihara, yaitu dorongan secara terus-menerus untuk melakukan suatu hal dan mencapai hasil yang tinggi dari usaha yang dilakukan. Guru perlu merangsang timbulnya motivasi pada siswa dan tetap memeliharanya karena perannya yang sangat penting dalam proses belajar siswa. 8. Pembelajaran Kooperatif Model pembelajaran kooperatif dikatakan unik bila dibandingkan dengan model-model lain karena untuk meningkatkan efektivitas pembelajaran digunakan struktur tugas dan

Pendidikan InklusifPenjelasan IstilahIstilah ‘Utara' dan ‘Selatan’ digunakan di sini untuk menggantikanistilah ‘maju’ dan ‘berkembang’ bila merujuk pada perbedaanglobal yang luas dalam kekuatan ekonomi dan politik. ‘NegaranegaraUtara’ mengacu pada negara-negara yang secara ekonomilebih kaya (negara anggota G8 dan banyak negara-negara OECD).Istilah yang digunakan ini lebih “netral” karena perbedaan antara‘berkembang’ dan ‘terbelakang’ dapat diinterpretasikan sebagaipenghinaan, mengabaikan tingkat kekayaan budaya yang tinggi danperkembangan yang terjadi di negara-negara yang lebih miskin.Istilah ‘Selatan’ mengacu pada negara-negara di Asia, Afrika, TimurTengah, Eropa Timur, Amerika Tengah dan Amerika Selatan yangsecara substansial lebih rendah perekonomiannya. Namun jugadiakui bahwa kemiskinan terjadi di semua negara, sehinggapengertian istilah tersebut tidak secara kaku mengacu pada letakgeografis. Istilah ini merupakan suatu generalisasi karena padakenyataannya di dunia ini terdapat keberagaman budaya dankonteks yang sangat luas. Namun demikian perlu diakui bahwa didunia ini terdapat ketidakseimbangan dalam kepemilikan sumbersumberkekuasaan dan ekonomi.

Page 5: Bahan Kompre 2012

RangkumanKonteks dan Asal Muasal Pendidikan Inklusif (Bab 1 dan 2)Pendidikan sebagai hak untuk SEMUA anak telah tercantum dalamberbagai instrumen internasional mulai dari Deklarasi Universal1948. Instrumen-instrumen selanjutnya menunjukkan bahwakelompok-kelompok tertentu, termasuk anak penyandang cacat,sangat rentan untuk dikepinggirkan. Hak untuk memperolehpendidikan DI DALAM sistem pendidikan umum dan tidakdidiskriminasikan telah disorot dalam instrumen-instrumen yanglebih rinci seperti deklarasi Jomtien dan Konvensi PBB tentang HakAnak. Namun, hak atas pendidikan tidak secara otomatismengimplikasikan inklusi. Hak atas Pendidikan Inklusif yang palingjelas telah dinyatakan dalam Pernyataan Salamanca dan KerangkaAksi yang menekankan bahwa sekolah membutuhkan perubahan danpenyesuaian. Pentingnya penggalangan sumber-sumber yang tepatuntuk inklusi dinyatakan dalam Peraturan Standar PBB. Baru-baruini, implementasi instrumen-instrumen PBB tersebut telahdievaluasi oleh sejumlah LSM internasional yang menyatakan bahwaPendidikan untuk Semua belum terlaksana dan tidak akanterlaksana kecuali adanya partisipasi di tingkat akar rumput danadanya alokasi seumber-sumber secara nyata. Penurunan angkakemiskinan merupakan prioritas donor akhir-akhir ini, dan adapengakuan bahwa PUS dan Pendidikan Inklusif tidak akan berjalankecuali langkah-langkah yang berkesinambungan dilakukan untukmengurangi kemiskinan.Dalam kaitannya dengan praktek pendidikan, Pendidikan Inklusifdipandang telah berhasil meningkatkan mutu sekolah danpendidikan kebutuhan khusus. Peningkatan mutu sekolahmerupakan persiapan yang sangat baik untuk Pendidikan Inklusif,tetapi sering kali tidak cukup baik untuk benar-benarmenginklusikan kelompok anak yang paling termarjinalisasi.Pendidikan kebutuhan khusus telah menyumbangkan keahlian yangsangat praktis dan beberapa yang telah mengubah haluan kePendidikan Inklusif dapat menjadi pendukung yang sangat kuattetapi juga dapat menjadi halangan karena filosofi dasarnya tidakmemberikan landasan yang tepat untuk keberlangsungan PendidikanInklusif. Kedua pergerakan ini mempunyai manifestasi yang berbeda di negara-negara Utara dan Selatan tetapi banyak elemen-elemenyang sama.Pengaruh-pengaruh lainnya seperti kelompok-kelompok aktifisstakeholder utama (para penyandang cacat, orangtua, wanita),inisiatif masyarakat dan berbagai contoh keberhasilan dankegagalan juga memberikan kontribusi terhadap perkembanganPendidikan Inklusif.

Page 6: Bahan Kompre 2012

Memahami Pendidikan Inklusif (Bab 3)Kaum fragmatis mungkin bosan dengan segala perdebatan tentangdefinisi, tetapi Pendidikan Inklusif memiliki bermacam-macampemahaman dan interpretasi yang berimplikasi pada keberhasilanatau kegagalan dalam keberlangsungannya. Isu utama dalamPendidikan Inklusif adalah bahwa Pendidikan Inklusif didasarkanpada hak asasi dan model sosial; sistem yang harus disesuaikandengan anak, bukan anak yang menyesuaikan diri dengan sistem.Pelajaran yang dapat diambil dari negara-negara kurang mampu diSelatan menekankan bahwa pendidikan inklusif bukan hanyamengenai sekolah tetapi lebih luas dan mencakup inisiatif danketerlibatan masyarakat luas. Pendidikan inklusif dapat dipandangsebagai pergerakan yang menjunjung tinggi nilai-nilai, keyakinandan prinsip-prinsip utama yang berkaitan dengan anak, pendidikan,keberagaman dan diskriminasi, proses partisipasi dan sumbersumberyang tersedia. Banyak di antara hal tersebut merupakantantangan terhadap status quo, tetapi penting jika masyarakat danpembangunan secara keseluruhan ingin menjadi inklusif danmemberikan manfaat kepada semua warganya.Kebingungan orang tentang pendidikan inklusif diakibatkan olehpenggunaan bermacam-macam istilah seperti inklusi, integrasi,mainstreaming, pendidikan luar biasa dan pendekatan unit kecilsecara bertukar-tukar tanpa kejelasan atau definisi yang pasti.Istilah-istilah tersebut dilandasi oleh nilai dan keyakinan yangberbeda yang memiliki konsekuensi yang berbeda pula. Khususnya dinegara-negara Utara, ada pergerakan historis dari pendidikan luarbiasa ke intergrasi, menuju inklusi. Tetapi urutan ini bukan suatukeharusan, dan bila memungkinkan, akan menghemat waktu dansumber-sumber jika langsung melaksanakan inklusi. Praktekmengadakan ‘unit kecil’ di sekolah umum sering kali disebut inklusi, dan justru hal ini dapat mengakibatkan eksklusi lagi. Ini sebuahcontoh model yang diekspos secara tidak tepat dari Utara keSelatan, yang sering membawa hasil yang sangat tidak diharapkan.Menuangkan Ide pendidikan inklusif ke dalam Praktek (bab 4)Banyak orang mengira bahwa untuk menuangkan ide pendidikaninklusif ke dalam prakteknya hanyalah sekedar memperkenalkanteknik dan metode yang spesifik agar setiap anak dapat belajar.Metode ini punya tempatnya sendiri dan dapat memancingperdebatan lebih mendalam tentang pendidikan inklusif; tetapidengan metode saja tidak akan menghasilkan program pendidikaninklusif yang tepat dan berkesinambungan. Tiga ‘bahan utama’diajukan untuk menghasilkan organisme yang dinamis dan kuat yangdapat beradaptasi, tumbuh dan bertahan dalam berbagai konteks.

Page 7: Bahan Kompre 2012

Ketiga bahan utama itu adalah: 1) kerangka kerja yang kuat –rangka (nilai, keyakinan, prinsip dan indikator keberhasilan); 2)implementasi dalam konteks dan budaya lokal – daging(mempertimbangkan situasi praktis, penggunaan sumber-sumberyang tersedia dan faktor-faktor budaya setempat); 3) partisipasisecara berkesinambungan dan refleksi diri yang kritis – darahkehidupan (siapa yang harus dilibatkan, bagaimana, apa dan kapan).Secara bersama-sama, ketiga bahan utama tersebut dapatmenghasilkan sistem pendidikan yang fleksibel, kuat, sesuai tempatdan berkesinambungan yang menginklusikan semua anak.Membuat pendidikan inklusif Berjalan dalam Jangka Panjang:Kesempatan dan Tantangan (bab 5)Dalam dasawarsa terakhir ini kita dapat menyaksikan tumbuhnyaberbagai model praktis Pendidikan Inklusif di berbagai budayadalam bermacam-macam konteks. Sering kali contoh-contoh inimerupakan cara terbaik untuk belajar mengimplementasikanpendidikan inklusif, karena meskipun ini bukan cetak biru, tetapiterdapat banyak tantangan dan kesempatan yang telah direspondengan berbagai cara yang kreatif. Contoh-contoh studi kasus darinegara-negara di Afrika, Asia, Timur Tengah, Amerika Tengah danEropa Timur menunjukkan adanya semua aspek ‘bahan utama’ yangdisajikan dalam bab sebelumnya. Yang sangat inspiratif adalahcontoh dari masyarakat yang sangat miskin, dan contoh-contoh hasil partisipasi aktif anak, guru dan stakeholder utama lainnya daninisiatif masyarakat.Untuk menghadapi tantangan dan mengatasi hambatan yang akanselalu ada, partisipasi berkesinambungan dari semua stakeholderutama adalah suatu keharusan. Kita dapat menggunakan model yangsederhana untuk menganalisis hambatan dan mengajukan solusisesuai dengan konteks masing-masing.

Bab 1Landasan Pendidikan InklusifPendidikan Inklusif sebagai Hak Asasi ManusiaBab ini akan meninjau sekilas tentang dokumen-dokumeninternasional mengenai hak asasi manusia yang terkait denganPendidikan Inklusif. Kemudian akan dibahas kekuatan dankelemahan dokumen-dokumen internasional tersebut.Instrumen-instrumen Internasional yang relevan dengan PendidikanInklusif:1. 1948: Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia2. 1989: Konvensi PBB tentang Hak Anak3. 1990: Deklarasi Dunia tentang Pendidikan untuk Semua,

Page 8: Bahan Kompre 2012

Jomtien4. 1993: Peraturan Standar tentang Persamaan Kesempatan bagipara Penyandang Cacat5. 1994: Pernyataan Salamanca dan Kerangka Aksi tentangPendidikan Kebutuhan Khusus6. 1999: Tinjauan 5 tahun Salamanca7. 2000: Kerangka Aksi Forum Pendidikan Dunia, Dakar8. 2000: Tujuan Pembangunan Millenium yang berfokus padaPenurunan Angka Kemiskinan dan Pembangunan9. 2001: Flagship PUS tentang Pendidikan dan Kecacatan1.1. Pendidikan sebagai Hak Asasi ManusiaDeklarasi Universal Hak Asasi Manusia 1948 menegaskan bahwa:“Setiap orang mempunyai hak atas pendidikan.”Namun, anak dan orang dewasa penyandang cacat sering kalidirenggut dari haknya yang fundamental ini. Hal ini seringdidasarkan atas asumsi bahwa penyandang cacat tidak dipandang sebagai umat manusia yang utuh, maka pengecualian pundiberlakukan dalam hal hak universalnya. Dengan melakukan lobilobby,kelompok penyandang cacat memastikan bahwa instrumeninstrumenhak asasi manusia PBB berikutnya menyebutkan secaraspesifik orang penyandang cacat, dan menekankan bahwa SEMUApenyandang cacat, tanpa memandang tingkat keparahannya,memiliki hak atas pendidikan.Konvensi PBB tentang Hak Anak 1989, suatu instrumen yangsecara sah mengikat, yang telah ditandatangani oleh semua negarakecuali dua negara (Amerika Serikat dan Somalia), lebih jauhmenyatakan bahwa pendidikan dasar seyogyanya “wajib dan bebasbiaya bagi semua” (pasal 28). Konvensi tentang Hak Anak PBBmemiliki empat Prinsip Umum yang menaungi semua pasal lainnyatermasuk pasal tentang pendidikan:i) Non diskriminasi (Pasal 2) menyebutkan secaraspesifik tentang anak penyandang cacat.ii) Kepentingan Terbaik Anak (Pasal 3).iii) Hak untuk Kelangsungan Hidup dan Perkembangan(Pasal 6).iv) Menghargai Pendapat Anak (Pasal 12).Prinsip penting lainnya yang dinyatakan oleh komite monitoringadalah bahwa “Kesemua hak itu tak dapat dipisahkan dan salingberhubungan”. Secara singkat, ini berarti bahwa meskipunmenyediakan pendidikan di sekolah luar biasa untuk anakpenyandang cacat itu memenuhi haknya atas pendidikan, tetapi inidapat melanggar haknya untuk diperlakukan secara nondiskriminatif,dihargai pendapatnya dan hak untuk tetap berada di

Page 9: Bahan Kompre 2012

dalam lingkungan keluarga dan masyarakatnya.Walaupun Pasal 23 secara khusus memfokuskan pada anakpenyandang cacat, tetapi memiliki kelemahan karena membuat hakanak penyandang cacat ‘tergantung pada sumber-sumber yang ada’dan memfokuskan pada ‘kebutuhan khusus’ tanpamendefinisikannya. Hal ini perlu dipertimbangkan dalam konteksprinsip-prinsip dasar pendidikan, ditambah Pasal 28 dan 29 yangberlaku untuk SEMUA anak. Lihat Lampiran 1 untuk rinciannya.

1.2. Idealisme Pendidikan untuk SemuaSelama beberapa dasawarsa setelah ditetapkannya DeklarasiUniversal, banyak upaya dilakukan untuk menciptakan pendidikanyang universal. Namun, dengan cepat terlihat adanya jurangpemisah antara idealisme dan realitas. Pada tahun 1980-an,pertumbuhan pendidikan universal tidak hanya melambat, tetapi dibanyak negara bahkan berbalik arah. Diakui bahwa ‘pendidikanuntuk semua’ tidak terjadi secara otomatis.Deklarasi Dunia Jomtien tentang Pendidikan untuk Semua diThailand tahun 1990 mencoba untuk menjawab beberapa tantanganini. Deklarasi Jomtien tersebut melangkah lebih jauh daripadaDeklarasi Universal dalam Pasal III tentang “Universalisasi Akses danMempromosikan Kesetaraan”. Dinyatakan bahwa terdapatkesenjangan pendidikan dan bahwa berbagai kelompok tertenturentan akan diskriminasi dan eksklusi. Ini mencakup anakperempuan, orang miskin, anak jalanan dan anak pekerja,penduduk pedesaan dan daerah terpencil, etnik minoritas dankelompok-kelompok lainnya, dan secara khusus disebutkan parapenyandang cacat. Lihat lampiran 2 untuk lebih rincinya.Walaupun istilah ‘inklusi’ tidak digunakan di Jomtien, terdapatbeberapa pernyataan yang mengindikasikan pentingnya menjaminbahwa orang-orang dari kelompok marginal mendapatkan akses kependidikan dalam sistem pendidikan umum.Ringkasan:Jomtien menyatakan kembali bahwa pendidikan merupakanhak mendasar bagi SEMUA orang.Jomtien mengakui bahwa kelompok-kelompok tertentuterasingkan dan menyatakan bahwa “sebuah komitmen aktifharus dibuat untuk menghilangkan kesenjangan pendidikan ....kelompok-kelompok tidak boleh terancam diskriminasi dalammengakses kesempatan belajar...”. (Pasal III, ayat 4)Jomtien menyatakan bahwa “langkah-langkah yang diperlukanperlu diambil untuk memberikan akses ke pendidikan yangsama kepada setiap kategori penyandang cacat sebagai bagianyang integral dari sistem pendidikan”. (Pasal II ayat 5)Namun, dokumen Jomtien itu tidak menjelaskan apa yang

Page 10: Bahan Kompre 2012

dimaksud dengan ‘bagian integral’ itu, dan tidak secara tegasmenyatakan lebih mendukung pendidikan inklusif daripadapendidikan segregasi.Jomtien juga menyatakan bahwa ‘pembelajaran dimulai saatlahir’, dan mempromosikan pendidikan usia dini, sertapentingnya menggunakan berbagai macam sistem pelaksanaanpendidikan dan pentingnya keterlibatan keluarga danmasyarakat.1.3. Pendidikan Inklusif dan Para Penyandang CacatPendidikan Inklusif tidak HANYA menyangkut inklusi penyandangcacat. Sebagaimana ditekankan dalam dokumen Jomtien, terdapatbanyak kelompok yang rentan akan eksklusi dari pendidikan, daninklusi pada esensinya adalah menciptakan sistem yang dapatmengakomodasi semua orang. Namun, demi alasan historis danalasan lainnya (dibahas kemudian), inklusi penyandang cacat telahmemberikan tantangan tertentu dan kesempatan untuk kebijakandan praktek sistem pendidikan umum. Dokumen-dokumenselanjutnya yang spesifik mengenai penyandang cacat setelahdokumen Jomtien lebih jauh mengklarifikasi apa yang dimaksuddengan hak penyandang cacat atas pendidikan dalam prakteknya.Peraturan Standar tentang Persamaan Kesempatan bagi paraPenyandang Cacat (1993) (lihat lampiran 3) terdiri dari peraturanperaturanyang mengatur semua aspek hak penyandang cacat.Peraturan 6 memfokuskan pada pendidikan, dan selaras dengandokumen Jomtien, pendidikan bagi para penyandang cacat harusmerupakan bagian integral dari pendidikan umum, dan bahwaNegara seyogyanya bertanggung jawab atas pendidikan bagipenyandang cacat. Terlalu sering, pendidikan untuk penyandangcacat diselenggarakan oleh lembaga suasta, sehingga‘membebaskan’ pemerintah dari tanggung jawabnya. Peraturan 6mempromosikan Pendidikan Inklusif (disebut pendidikan integrasipada masa itu).Poin-poin kuncinya adalah:Peraturan Standar PBB menekankan bahwa Negara harusbertanggung jawab atas pendidikan penyandang cacat danharus:a) mempunyai kebijakan yang jelas,b) mempunyai kurikulum yang fleksibel,c) memberikan materi yang berkualitas, menyelenggarakanpelatihan guru dan memberikan bantuan yangberkelanjutan.Inklusi didukung dengan beberapa kondisi utama; harusdidukung dengan sumber-sumber yang tepat dan dengankualitas tinggi – bukan ‘pilihan yang murah’.

Page 11: Bahan Kompre 2012

Program-program berbasis masyarakat dipandang sebagaidukungan yang penting terhadap Pendidikan Inklusif.Pendidikan luar biasa tidak dikesampingkan di mana sistempendidikan umum tidak memadai terutama untuk siswatunarungu dan buta tuli. (Peraturan 6, paragraf 8 dan 9)1.4. Pendidikan Inklusif dan Kebutuhan KhususPeraturan Standar berakar pada gerakan Hak penyandang cacat danmencerminkan pengalaman berbagai kelompok penyandang cacat.Penyandang tunanetra dan tunarungu (meskipun jumlahnya sedikit)memperoleh banyak keuntungan dari sistem pendidikan segregasi.Tanpa SLB, mereka mungkin tidak memperoleh kesempatanpendidikan atau tidak dapat mengakses kurikulum di sekolahreguler. Konferensi Salamanca setahun kemudian didasarkan atasperspektif para profesional yang bekerja di sekolah-sekolah, yangberusaha menemukan cara agar semua anak dapat belajar bersamasama.Perbedaan utamanya adalah bahwa Peraturan Standarmembicarakan tentang suatu kelompok tertentu (penyandang cacat)dan hak-haknya. Dalam Salamanca fokusnya terletak padakeberagaman karakteristik dan kebutuhan pendidikan anak.Pernyataan Salamanca dan Kerangka Aksi tentang PendidikanKebutuhan Khusus (1994) hingga saat ini masih merupakandokumen internasional utama tentang prinsip-prinsip dan praktekPendidikan Inklusif. Dokumen ini mengemukakan beberapa19prinsip dasar inklusi yang fundamental, yang belum dibahas dalamdokumen-dokumen sebelumnya. (lihat lampiran 4 untuk lebih rinci)SalamancaBeberapa konsep inti Inklusi meliputi:Anak-anak memiliki keberagaman yang luas dalamkarakteristik dan kebutuhannya.Perbedaan itu normal adanya.Sekolah perlu mengakomodasi SEMUA anak.Anak penyandang cacat seyogyanya bersekolah di lingkungansekitar tempat tinggalnya.Partisipasi masyarakat itu sangat penting bagi inklusi.Pengajaran yang terpusat pada diri anak merupakan inti dariinklusi.Kurikulum yang fleksibel seyogyanya disesuaikan dengan anak,bukan kebalikannya.Inklusi memerlukan sumber-sumber dan dukungan yang tepat.Inklusi itu penting bagi harga diri manusia dan pelaksanaanhak asasi manusia secara penuh.Sekolah inklusif memberikan manfaat untuk SEMUA anak

Page 12: Bahan Kompre 2012

karena membantu menciptakan masyarakat yang inklusif.Inklusi meningkatkan efisiensi dan efektivitas biayapendidikan.Satu paragraf dalam Pasal 2 memberikan argumen yang sangat baikuntuk sekolah inklusif:“Sekolah reguler dengan orientasi inklusif merupakan cara yangpaling efektif untuk memerangi sikap diskriminatif, menciptakanmasyarakat yang terbuka, membangun suatu masyarakat inklusifdan mencapai pendidikan untuk semua; lebih dari itu, sekolahinklusif memberikan pendidikan yang efektif kepada mayoritas anak.dan meningkatkan efisiensi sehingga menekan biaya untukkeseluruhan sistem pendidikan.”1.5. Realitas Pendidikan untuk SemuaForum Pendidikan Dunia di Dakar, Senegal (2000),diselenggarakan untuk mengevaluasi pelaksanaan DasawarsaPendidikan untuk Semua yang telah diawali di Jomtien. Telahdiketahui sebelumnya bahwa tujuan PUS dari Jomtien itu belumtercapai. Lebih dari 117 juta anak masih belum bersekolah.Konferensi Dakar sangat dikecam oleh komunitas non-pemerintahInternasional karena terlalu berkiblat pada donor dan hanya sekedarmenggeser batas waktu untuk pencapaian tujuan PUS dari tahun2000 menjadi 2015. Dengan kata lain, idealisme PUS belumditerjemahkan menjadi realitas. (Lihat lampiran 5 dan 6 untuklebih rinci)Dalam kaitannya dengan kelompok-kelompok yang termarjinalisasi,terdapat penekanan yang lebih besar pada penghapusankesenjangan jender dan mempromosikan akses anak perempuan kesekolah. Tetapi sayangnya anak penyandang cacat tidak secaraspesifik disebutkan walaupun istilah ‘inklusif’ dipergunakan:Dalam kerangka Dakar, pemerintah dan lembaga-lembaga lainnyaberjanji untuk: “Menciptakan lingkungan pendidikan yang aman,sehat, inklusif dan dilengkapi dengan sumber-sumber yangmemadai, yang kondusif untuk kegiatan belajar dengan tingkatpencapaian yang didefinisikan secara jelas untuk semua” (pasal 8).Kerangka Dakar juga menyatakan:“... untuk menarik perhatian dan mempertahankan anak-anak darikelompok-kelompok termarjinalisasi dan terasing, sistempendidikan harus merespon secara fleksibel ... Sistem pendidikanharus inklusif, secara aktif mencari anak yang belum bersekolahdan merespon secara fleksibel terhadap keadaan dan kebutuhansemua siswa” (penjelasan pada paragraf 33).Tidak disebutkannya secara spesifik tentang anak penyandang cacatitu menggugah berbagai lembaga yang mempromosikan PendidikanInklusif, dan sebagai hasil dari beberapa pertemuan berikutnya

Page 13: Bahan Kompre 2012

antara UNESCO dan Kelompok Kerja Internasional untuk Penyandang.

PENGERTIAN RSBI (RINTISAN SEKOLAH BERTARAF INTERNASIONAL) Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) adalah Sekolah Standar Nasional (SSN) yang menyiapkan peserta didik berdasarkan Standar Nasional Pendidikan (SNP) Indonesia dan bertaraf Internasional sehingga diharapkan lulusannya memiliki kemampuan daya saing internasional. LANDASAN HUKUM UU No. 20 Tahun 2003 ps 50

UUNo. 32 Tahun 2004 : Pemerintahan Pusat dan Daerah

UU No 33 Tahun 2004 : Kewenangan Pemerintah (Pusat) dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom

UU No. 25 Tahun 2000 : Program Pembangunan Nasional

PP NoTahun 2005 : Standar Nasional Pendidikan (SNP) ps 61

Permendiknas No. 22,23,24 Tahun 2006 : Standar Isi, SKL dan Implementasinya

TUJUAN PROGRAM RSBI Umum a) Meningkatkan kualitas pendidikan nasional sesuai dengan amanat Tujuan Nasional dalam Pembukaan UUD 1945, pasal 31 UUD 1945, UU No.20 tahun 2003 tentang SISDIKNAS, PP No.19 tahun 2005 tentang SNP( Standar Nasional Pendidikan), dan UU No.17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional yang menetapkan Tahapan Skala Prioritas Utama dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah ke-1 tahun 2005-2009 untuk meningkatkan kualitas dan akses masyarakat terhadap pelayanan pendidikan.

b) Memberi peluang pada sekolah yang berpotensi untuk mencapai kualitas bertaraf nasional dan internasional.

c) Menyiapkan lulusan yang mampu berperan aktif dalam masyarakat global.

Khusus Menyiapkan lulusan yang memiliki kompetensi yang tercantum di dalam Standar Kompetensi Lulusan yang diperkaya dengan standar kompetensi lulusan berciri internasiona. RSBI/SBI adalah sekolah yang berbudaya Indonesia, karena Kurikulumnya ditujukan untuk Pencapaian indikator kinerja kunci minimal sebagai berikut:

1) menerapkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP);

2) menerapkan sistem satuan kredit semester di SMA/SMK/MA/MAK;

3) memenuhi Standar Isi; dan

4) memenuhi Standar Kompetensi Lulusan. Selain itu, keberhasilan tersebut juga ditandai dengan pencapaian indikator kinerja kunci tambahan sebagai berikut: 1) sistem administrasi akademik berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) di mana setiap saat siswa bisa mengakses transkripnya masing-masing;

Page 14: Bahan Kompre 2012

2) muatan mata pelajaran setara atau lebih tinggi dari muatan pelajaran yang sama pada sekolah unggul dari salah satu negara anggota OECD (Organization for Economic Co-operation and Development) dan/ atau negara maju lainnya yang mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan; dan

3) menerapkan standar kelulusan sekolah/ madrasah yang lebih tinggi dari Standar Kompetensi Lulusan.

Adalah tidak benar kalau guru Bahasa Indonesia harus menggunakan Bahasa Inggris dalam memberikan pengantar pelajarannya, walaupun hal tersebut boleh saja dilakukan, tetapi penggunaan Bahasa Inggris adalah untuk pembelajaran mata pelajaran kelompok sains, matematika, dan inti kejuruan saja, sebagaimana dalam Bagian Proses Pembelajaran RSBI/SBI dinyatakan sebagai berikut: ‘’Mutu setiap Sekolah/Madrasah Bertaraf Internasional dijamin dengan keberhasilan melaksanakan proses pembelajaran yang efektif dan efisien. Proses pembelajaran disesuaikan dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Keberhasilan tersebut ditandai dengan pencapaian indikator kinerja kunci minimal, yaitu memenuhi Standar Proses.’’ Selain itu, keberhasilan tersebut juga ditandai dengan pencapaian indikator kinerja kunci tambahan sebagai berikut: a) proses pembelajaran pada semua mata pelajaran menjadi teladan bagi sekolah/madrasah lainnya dalam pengembangan akhlak mulia, budi pekerti luhur, kepribadian unggul, kepemimpinan, jiwa entrepreneural, jiwa patriot, dan jiwa inovator;

b) diperkaya dengan model proses pembelajaran sekolah unggul dari salah satu negara anggota OECD dan/atau negara maju lainnya yang mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan;

c) menerapkan pembelajaran berbasis TIK pada semua mata pelajaran;

d) pembelajaran mata pelajaran kelompok sains, matematika, dan inti kejuruan menggunakan bahasa Inggris, sementara pembelajaran mata pelajaran lainnya, kecuali pelajaran bahasa asing, harus menggunakan bahasa Indonesia; dan

e) pembelajaran dengan bahasa Inggris untuk mata pelajaran kelompok sains dan matematika untuk SD/MI baru dapat dimulai pada Kelas IV. PELAKSANAAN KURIKULUM DAN PROSES PEMBELAJARAN RSBI MENGGUNAKAN ASAS-ASAS SEBAGAI BERIKUT: 1) Menggunakan kurikulum yang berlaku secara nasional dengan mengadabtasi kurikulum sekolah di Negara lain.

2) Mengajarkan bahasa asing, terutama penggunaan bahasa Inggris, secara terintegrasi dengan mata pelajaran lainnya. Metode pengajaran dwi bahasa ini dapat dilaksanakan dengan 2 kategori yakni Subtractive Bilingualism (beri penjelasan oleh penulis) dan Additive Bilingualism, yang menekankan pendekatan Dual Language.

3) Pengajaran dengan pendekatan Dual Language menekankan perbedaan adanya Bahasa Akademis dan Bahasa Sosial yang pengaturan bahasa pengantarnya dapat dialokasikan berdasarkan Subjek maupun Waktu (beri penjelasan oleh penulis).

4) Menekankan keseimbangan aspek perkembangan anak meliputi aspek kognitif (intelektual), aspek sosial dan emosional, dan aspek fisik.

5) Mengintegrasikan kecerdasan majemuk (Multiple Intelligence) termasuk Emotional Intelligence dan Spiritual Intelligence ke dalam kurikulum.

6) Mengembangkan kurikulum terpadu yang berorientasi pada materi, kompetensi, nilai dan sikap serta prilaku (kepribadian ).

7) Mengarahkan siswa untuk mampu berpikir kritis, kreatif dan analitis , memiliki kemampuan belajar (learning how to learn) serta mampu mengambil keputusan dalam belajar. Penyusunan kurikulum ini didasarkan prinsip ”Understanding by Design” yang menekankan pemahaman jangka panjang (”Enduring Understanding”). Pemahaman

Page 15: Bahan Kompre 2012

PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL DAN IMPLEMENTASINYAMakalah disampaikann pada Workshop Sosialisasi dan Iplementasi Kurikulum 2004Madrayah Aliyah DIY, Jateng, Kalsel di FMIPA UNY Th 2003OlehDr. JumadiA. Pembelajaran KontekstualPembelajaran kontekstual merupakan pembelajaran yang mengkaitkanmateri pembelajaran dengan konteks dunia nyata yang dihadapi siswasehari-hari baik dalam lingkungan keluarga, masyarakat, alam sekitar dandunia kerja, sehingga siswa mampu membuat hubungan antara pengetahuanyang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari, denganmelibatkan tujuh komponen utama pembelajaran yakni : kontruktivisme(constructivism), bertanya (questioning), menyelidiki (inquiry), masyarakabelajar (learning community), pemodelan (modeling), refleksi (reflection), danpenilaian autentik (authentic assessment).Makna dari kontruktivisme adalah siswa mengkonstruksi/membangunpemahaman mereka sendiri dari pengalaman baru berdasar padapengetahuan awal melalui proses interaksi sosial dan asimilasi-akomodasi.Implikasinya adalah pembelajaran harus dikemas menjadi proses“mengkonstruksi” bukan menerima pengetahuan. Inti dari inquiry ataumenyelidiki adalah proses perpindahan dari pengamatan menjadipemahaman. Oleh karena itu dalam kegiatan ini siswa belajar menggunakanketerampilan berpikir kritis Bertanya atau questioning dalam pembelajarankontekstual dilakukan baik oleh guru maupun siswa. Guru bertanyadimaksudkan untuk mendorong, membimbing dan menilai kemampuanberpikir siswa. Sedangkan untuk siswa bertanya meupakan bagian pentingdalam pembelajaran yang berbasis inquiry. Masyarakat belajar merupakansekelompok orang (siswa) yang terikat dalam kegiatan belajar, tukarpengalaman, dan berbagi pengalaman. Sesuai dengan teori kontruktivisme,melalui interaksi sosial dalam masyarakat belajar ini maka siswa akanmendapat kesempatan untuk mengkonstruksi pengetahuannya sendiri, olehkarena itu bekerjasama dengan orang lain lebih baik daripada belajar sendiri.Pemodelan merupakan proses penampilan suatu contoh agar orang lain(siswa) meniru, berlatih, menerapkan pada situasi lain, danmengembangkannya. Menurut Albert Bandura, belajar dapat dilakukandengan cara pemodelan ini. Penilaian autentik dimaksudkan untuk mengukurdan membuat keputusan tentang pengetahuan dan keterampilan siswa yangautentik (senyatanya). Agar dapat menilai senyatanya, penilaian autentikdilakukan dengan berbagai cara misalnya penilaian penilaian produk,penilaian kinerja (performance), potofolio, tugas yang relevan dankontekstual, penilaian diri, penilaian sejawat dan sebagainya. Refleksi padaprinsipnya adalah berpikir tentang apa yang telah dipikir atau dipelajari,dengan kata lain merupakan evaluasi dan instropeksi terhadap kegiatanbelajar yang telah ia lakukan.Alasan perlu diterapkannya pembelajaran kontekstual adalah :1. Sebagian besar waktu belajar sehari-hari di sekolah masih didominasikegiatan penyampaian pengetahuan oleh guru, sementara siswa”dipaksa” memperhatikan dan menerimanya, sehingga tidakmenyenangkan dan memberdayakan siswa.2. Materi pembelajaran bersifat abstrak-teoritis-akademis, tdak terkaitdengan masalah-masalah yang dihadapi siswa sehari-hari di lingkungankeluarga, masyarakat, alam sekitar dan dunia kerja.

Page 16: Bahan Kompre 2012

3. Penilaian hanya dilakukan dengan tes yang menekankan pengetahuan,tidak menilai kualitas dan kemampuan belajar siswa yang autentik padasituasi yang autentik.4. Sumber belajar masih terfokus pada guru dan buku. Lingkungan sekitarbelum dimanfaatkan secara optimal. Landasan filosofi pemelajaran kontekstual adalah konstruktivisme yangmenyatakan bahwa pengetahuan tidak dapat ditransfer dari guru ke siswaseperti halnya mengisi botol kosong, sebab otak siswa tidak kosongmelainkan sudah berisi pengetahuan hasil pengalaman-pengalamansebelumnya. Siswa tidak hanya ”menerima” pengetahuan, namun”mengkonstruksi” sendiri pengetahuannya melalui proses intra-individual(asimilasi dan akomodasi) dan inter-individual (interaksi sosial).Pembelajaran kontekstual sebenarnya bukam merupakan pendekatanyang sama sekali baru. Dasar pembelajaran kontekstual sudahdikembangkan oleh John Dewey sejak tahun 1916. Pendekatan ini kemudiandigali kembali, dikembangkan lagi, dan dipopulerkan oleh The WashingtonState Concorcium for Contextual Teaching and Learning engan melibatkan11 perguruan tinggi, 20 sekolah, dan lembaga-lembaga yang bergerak dalamdunia pendidikan di Amerika Serikat.B. Penerapan Pembelajaran KontekstualPembelajaran dikatakan mengunakan pendekatan kontekstual jikamateri pembelajaran tidak hanya tekstual melainkan dikaitkan denganpeneapannya dalam kehidupan sehari-hari siswa di lingkungan keluarga,masyarakat, alam sekitar, dan dunia kerja, dengan melibatkan ketujuhkomponen utama tersebut sehinggga pembelajaran menjadi bermaknabagisiswa. Model pembelajaran apa saja sepanjang memenuhi persyaratantersebut dapat dikatakan menggunakanpendekatan kontekstual.Pembelajaran kontekstual dapat diterapakan dalam kelas besar maupunkelas kecil, namun akan lebih mudah organisasinya jika diterapkan dalamkelas kecil. Penerapan pembelajaran kontekstual dalam kurikulum berbasiskompetensi sangat sesuai.Dalam penerapannya pembelajaran kontekstual tidak memerlukanbiaya besar dan media khusus. Pembelajaran kontekstual memanfaatkanberbagai sumber dan media pembelajaran yang ada di lingkungan sekitar seperti tukang las, bengkel, tukang reparasi elektronik, barang-barang bekas,koran, majalah, perabot-perabot rumah tangga, pasar, toko, TV, radio,internet, dan sebagainya. Guru dan buku bukan merupakan sumber danmedia sentral, demikian pula guru tidak dipandang sebagai orang yang serbatahu, sehingga guru tidak perlu khawatir menghadapi berbagai pertanyaaniswa yang terkait dengan lingkungan baik tradisional maupun modern.Seperti yang dikemukakan di muka, dalam pembelajaran kontekstualtes hanya merupakan sebagian dari teknik/ instrumen penelitian yangbermaca-macam seperti wawancara, observasi, inventory, skala sikap,penilaian kinerja, portofolio, jurnal siswa, dan sebagainya yang semuanyadisinergikan untuk menilai kemampuan siswa yang sebenarnya (autentik).Penilainya bukan hanya guru saja tetapi juga diri sendiri, teman siswa, pihaklain (teknisi, bengkel, tukang dsb.). Saat penilaian diusahakan pada situasiyang autetik misal pada saat diskusi, praktikum, wawancara di bengkel,kegiatan belajar-mengajar di kelas dan sebagainya.siswa.Dalam pembelajaran kontekstual rencana pelaksanaan pembelajaran(RPP) sebenarnya lebih bersifat sebagai rencana pribadi dari pada sebagailaporan untuk kepala sekolah atau pengawas seperti yang dilakukan saat ini.Jadi RPP lebih cenderung berfungs mengingatkan guru sendiri dalam

Page 17: Bahan Kompre 2012

menyapkan alat-alat/media dan mengendalikan langkah-langkah (skenario)pembelajaran sehingga bentuknya lebih sederhana.Beberapa model pembelajaran yang meruapakan aplikasipembelajaran kontekstual antara lain model pembelajaran langsung (directinstruction), pembelajaran koperatif (cooperatif learning), pembelajaranberbasis masalah ( problem based learning).1. Model Pembelajaran LangsungInti dari model pembelajaran langsung adalah gurumendemonstrasikan pengetahuan atau keterampilan tertentu, selanjutnyamelatihkan keterampilan tersebut selangkah demi selangkah kepada siswa.Rasional teoritik yang melandasi model ini adalah teori pemodelantingkah laku yang dikembangkan oleh Albert Bandura. Menurut Bandura,belajar dapat dilakukan melalui pemodelan (mencontoh, meniru) perilaku danpengalaman orang lain. Sebagai contoh untuk dapat mengukur panjangdengan jangka sorong, siswa dapat belajar dengan menirukan caramengukur panjang dengan jangka sorong yang dicontohkan oleh guru.Tujuan yang dapat dicapai melalui model pembelajaran ini terutamaadalah penguasaan pengetahuan prosedural (pengetahuan bagaimanamelakukan sesuatu misalnya mengukur panjang dengan jangka sorong,mengerjakan soal-soal yang terkait dengan hukum kekekalan energi, danmenimbang benda dengan neraca Ohauss), dan atau pengetahuan deklaratif(pengetahuan tentang sesuatu misal nama-nama bagian jangka sorong,pembagian skala nonius pada micrometer sekrup, dan fungsi bagian-bagianneraca Ohauss), serta keterampilan belajar siswa (misal menggarisbawahikata kunci, menyusun jembatan keledai, membuat peta konsep, danmembuat rangkuman).